Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM LINGKUNGAN DAN PENGELOLAAN LIMBAH

ACARA LUMPUR AKTIF

Penanganan Limbah Cair Industri Tempe Secara Biologis Menggunakan Proses


Lumpur Aktif Tipe Aerasi yang diperpanjang

Disusun oleh :

Nama : Sekar Kusumaning Dewi


NIM : 21/482710/TP/13331
Hari/Tanggal Praktikum : Sabtu, 23 April 2022
Nama Asisten : Yesinta Fitria Dewi
Elsa Amalia
Yusuf Kamil P
Rifka Puspita Sari

LABORATORIUM LINGKUNGAN DAN PENGELOLAAN LIMBAH


DEPARTEMEN TEKNOLOGI PANGAN DAN HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN
PRAKTIKUM LINGKUNGAN DAN PENGELOLAAN LIMBAH

Penanganan Limbah Cair Industri Tempe Secara Biologis Menggunakan Proses


Lumpur Aktif Tipe Aerasi yang diperpanjang

Telah disusun dan dipersiapkan oleh :

SEKAR KUSUMANING DEWI


21/482710/TP/13331

Yogyakarta, 12 Mei 2022


Asisten Praktikum, Praktikan,

(Yesinta) (Elsa) (Kamil) (Rifka) (Sekar Kusumaning D)


PENANGANAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TEMPE SECARA BIOLOGIS
MENGGUNAKAN PROSES LUMPUR AKTIF TIPE AERASI YANG
DIPERPANJANG

I. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat memahami prinsip pengolahan limbah cair industri tempe
dengan proses lumpur aktif tipe aerasi yang diperpanjang.
2. Mahasiswa dapat mengukur parameter-parameter proses lumpur aktif tipe
aerasi yang diperpanjang (MLSS, COD & COD Removal Efficiency, pH, DO,
kekeruhan, debit influent, SVI, HRT, F/M Ratio, dan pengamatan
mikroskopis).
3. Mahasiswa dapat mengevaluasi proses lumpur aktif tipe aerasi yang
diperpanjang berdasarkan parameter-parameter.

II. PENDAHULUAN
Pengelolaan limbah mekanis konvensional adalah kombinasi dari proses
kimiawi dan fisika yang didesain untuk menghilangkan bahan organik dan
padatan dari larutan. Metode mekanis yang paling awal adalah sedimentasi
sederhana pada tangki septis. Sekarang ini, sedimentasi primer dan pemrosesan
lumpur dilakukan pada tangki terpisah. Penemuan besar pertama pada
pengelolaan sekunder terjadi ketika suatu pengamatan menemukan bahwa
pergerakan pelan limbah cair melewati tumpukan kerikil berdampak pada
pengurangan pesat bahan organik dan BOD. Prosses ini, dikenal sebagai trickling
filtration, dikembangkan untuk instalasi perkotaan mulai sekitar tahun 1910.
Penemuan besar kedua dalam pengelolaan biologis terjadi ketika suatu
pengamatan menunjukkan bahwa padatan biologis yang terbentuk pada air
berpolusi dapat memflokulasikan koloid organik. Massa mikroorganisme ini,
disebut sebagai lumpur aktif, secara drastis memetabolisme polutan dari suatu
larutan dan kemudian dapat disingkirkan melalui gravity settling. Pada 1920,
tempat pengelolaan dengan continuous-flow pertama dikonstruksi menggunakan
lumpur aktif untuk menyingkirkan BOD dari limbah cair. Nama lumpur aktif
awalnya merujuk pada suspensi biologis balik, karena massa mikroorganisme
tersebut terlihat sangat “aktif” dalam menyingkirkan bahan organik yang larut
dalam suatu larutan. Proses ekstraksi ini adalah respon metabolic dari bakteri
dalam kondisi respirasi endogen atau kelaparan. Proses lumpur aktif benar-benar
aerobic karena flok biologis dalam proses ini tersuspensi dalam campuran cairan
mengandung oksigen (Hammer, 2014).
Salah satu tipe dari proses lumpur aktif adalah extended aeration yang terdiri
dari penghapusan biologis dan konversi limbah organik. Konversi terjadi dalam
dua tahap yang berlangsung serentak di tangki yang sama. Pertama, limbah
organik, sebagian dioksidasi menjadi energy dan sebagian disintesis menjadi sel
bakteri baru. Pada tahap kedua, dengan aerasi berlanjut, perpanjangan periode
aerasi normalnya digunakan. Sehingga, semua parameter yang dibutuhkan untuk
penghapusan biologis limbah organik pada tahap pertama yang efisien sudah ada.
Untuk alasan ini, sekitar 98 persen atau lebih dari bahan organik yang
ditambahkan pada proses extended aeration disingkirkan dan dikonversi menjadi
karbondioksida dan air atau menjadi padatan biologis baru. Efisiensi
penyingkiran BOD kurang dari 98 persen seringkali terjadi paa prakteknya,
namun, hal tersebut tidak terkait dengan konversi limbah menjadi padatan
biologis ini tetapi terkait dengan pembuangan padatan biologis yang dapat terurai
menuju tangki effluent. Padatan biologis aktif menggunakan oksigen saat
melakukan respirasi endogen untuk mengoksidasi bagian sel mereka yang dapat
diurai menjadi karbondioksida dan air, hasilnya adalah pengurangan massa
lumpur. Idealnya, dengan extended aeration, lumpur ini akan terus mengoksidasi
dirinya menjadi karbondioksida dan air supaya tidak aka nada akumulasi jaring
lumpur pada system. Hanya saja, kasus ini jarang terjadi karena sekitar 23 persen
dari padatan biologis yang dihasilkan relatif lembam dan tidak bereksi terhadap
oksidasi biologis sehingga berakumulasi pada system. Dari itu, dengan operasi
berkelanjutan dan tanpa pembuangan lumpur atau kehilangan padatan ke effluent
dari sistem extended aeration, akan menghasilkan peningkatan mixed liquor
volatile solid. Karena di kebanyakan tempat pengoperasian extended aeration
pengontrolan pembuangan lumpur tidak dipraktekkan, padatan akan terus
bertambah hingga kapasitas system untuk mengendakan dan menyimpan padatan
melewati batas. Kelebihan padatan yang diproduksi tiap harinya akan dibuang ke
effluent, dengan peningkatan BOD effluent dan penurunan efisiensi unit sebagai
hasilnya (McCarty & Brodersen, 1962).

Di tas adalah skema pengolahan limbah menggunakan metode lumpur aktif


standar (Hartaja & Setiadi, 2016).

III. METODE PENELITIAN


A. Alat
 Cawan porselen  pipet tetes
 kertas filter  gelas ukur
 desikator  gelas beaker
 spatula  labu takar
 capitan  Erlenmeyer
 mesin vakum filter  bak pengendapan
 pendingin balik  tangki effluent
 pH meter  spektrofotometer
 oven  kuvet
 buret dan statif  kaca preparat
 DO meter  mikroskop
 tangki aerasi  ruang asam
 tangki limbah influent
B. Bahan
 Sampel limbah cair tempe  Larutan Ag2SO4 dalam
 Aquades H2SO4
 K2Cr2O7  batu didih
 H2SO4  indicator ferroin
 Larutan Fe(NH4)2(SO4)2
C. Cara Kerja
 lakukan analisis padatan total suspended solid pada sampel dari tangki aerasi.
 Siapkan 3 sampel influent, effluent filter, dan effluent non-filter.
 Ambil sampel influent sebanyak 20 ml ke labu takar 100 ml lalu ditambah
aquades dan digojok supaya homogen, ambil sampel effluent ke gelas beaker,
ambil sampel influent yang sudah diencerkan sebanyak 20 ml ke Erlenmeyer,
lakukan hal yang sama pada sampel effluent 2x untuk sampel effluent filter dan
non-filter, untuk sampel filter sampel diteteskan ada kertas filter pada mesin
vakum filter lalu hasilnya di taruh ke Erlenmeyer.
 Lakukan standardisasi Ferro Amonium Sulfat.
 Lakukan pengujian COD blangko.
 Lakukan penguian COD pada sampel influent, sampel effluent filter, dan
sampel effluent non-filter.
 Lakukan pengambilan sampel effluent dan influent, amati dengan pH meter
dengan mencelupkan elektroda pembanding pada sampel dan diamati pHnya
lewat monitor, bilas elektroda dengan akuades, ukur sampel satunya.
 Nyalakan DO meter, celupkan elektroda ke tangki aerasi, diamati hingga angka
konstan.
 Ambil sampel dari tangki aerasi, masukkan ke gelas ukur 250 ml, diamkan 30
menit, catat volume endapan.
 Selang influent yang terhubung pompa peristaltic diletkkan ke dalam gelas
ukur, amati untuk mengisi 10 ml sampel butuh berapa lama.
 Spektrofotometer diatur untuk mengukur absorbansi dengan panjang
gelombang 660 nm, cuci kuvet dengan akuades, uji sampel influent dan
effluent bergantian, sampel dituang ke kuvet lalu kuvet masuk
spectrofotometer, nyalakan, catat hasil, pencatatan dilakukan 3 kali dan
dihitung rata-ratanya.
 Sampel diambil dari tangki aerasi, ambil sebanyak 2 tetes ke kaca preparat,
tutup dengan kaca penutup, amati dengan mikroskop perbesaran 400x, diamati
dengan optilab, identifikasi mikrobia dengan mencocokkan karakteristik
dengan pustaka yang ada.

D. Fungsi Perlakuan
Pengeringan dilakukan untuk mensterilkan cawan, ditempatkan pada
desikator untuk mendinginkan dan menjaga kelembaban, standardisasi dilakukan
supaya hasil pengujian COD lebih akurat, kalium dikromat digunakan sebagai
oksidator sementara Ag2SO4 digunakan sebagai katalis, campuran limbah dan
oksidator direflux supaya bahan organic terurai, indicator ferroin dan Ferro
Amonium Sulfat digunakan untuk menguji limbah.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Percobaan lumpur aktif dilakukan untuk menghilangkan padatan dan bahan organik dari
larutan. Percobaan dilakukan dengan metode extended aeration dimana limbah cair masuk
pada tangki effluent kemudian berpindah ke tangki aerasi dan lalu menuju tangki influent.
Pertama limbah diuji padatannya, kemudian dilakukan pengujian nilai COD serta nilai DO,
limbah kemudian diukur pHnya, dihitung debit dan nilai SVInya, dan terakhir dilihat
kekeruhannya. Dari percobaan yang telah dilakukan didapatkan data sebagai berikut,

MLSS
Bobot Bobot Mg/L Standar
Kelompok Rata-rata CV (%)
Akhir awal sampel Deviasi
1 35,5484 35,5118 3660
2 33,7687 33,7328 3590 3590 70 0,0195
3 32,5754 32,5402 3520
Standardisasi

Ulangan Volume Titrasi (mL) N Fe(NH3)2SO4 Rata-rata


1 25.9 0,0965
2 24.2 0,1033 0,0981
3 26.5 0,0943
COD

Vol titrasi Vol. titrasi Nilai COD Rerata


COD Ulangan fp
blanko (mL) sampel (mL) (mg/mL) COD
1 5 17,0 1332,8
Influent 1352,4
2 5 16,8 1372
Effluent 1 1 21,4 94,08
23,8 109,76
(non-filter) 2 1 20,6 125,44
Effluent 1 1 21,2 101,92
96,04
(filter) 2 1 21,5 90,16
COD removal efficiency non filter = 0,918841
COD removal efficiency filter = 0,928986

pH influent

Ulangan pH Rata-rata Standar deviasi

1 5,29
2 5,37 5,3733 0,0850
3 5,46
pH effluent
Ulangan pH Rata-rata Standar deviasi

1 8,19
2 8,28 8,2733 0,0802
3 8,35
DO

Ulangan DO Rata-rata Standar deviasi

1 2,95
2 3,07 3,0833 0,1405
3 3,23
Debit influent

Volume Debit
Ulangan Waktu (s) Rata-rata Standar deviasi
sampel (L/hari)
1 10 60.2 14,3522
2 10 58.9 14,6689 14,3642 0,2988
3 10 61.4 14,0717

HRT = 0,8354

F/M ratio = 0,4509

SVI

Volume endapan
Ulangan SVI (mL/g) Rata-rata Standar deviasi
30 menit
1 92 102,5070
2 85 94,7075 98,7929 3,9130
3 89 99,1643
Kekeruhan influent
Absorbansi pada
Ulangan Rata-rata Standar deviasi
λ = 660 nm
1 0,25
2 0,25 0,2467 0,0058
3 0,24
Kekeruhan effluent

Absorbansi pada
Ulangan Rata-rata Standar deviasi
λ = 660 nm
1 0,2
2 0,2 0,2 3,3993
3 0,2
Dari tabel, didapatkan bahwa sampel limbah mengandung MLSS sebesar 3590 mg/L,
kandungan COD influent 1352,4 mg/L, COD effluent non-filter 109,76 mg/L, COD
effluent filter 96,04 mg/L dengan removal efficiency non filter sebesar 91,8841% dan
removal efficiency filter sebesar 92,8986%, pH influent dengan rata-rata sebesar 5,3733,
pH effluent 8,733, nilai DO sebesar 3,0833 mg/L, debit harian 14,3642 L/hari, HRT 0,8354,
F/M ratio 0,4509, nilai SVI 98,7929 mL/g, dan kekeruhan influent dengan absobansi
0,2467 serta kekeruhan eefluent 0,2.

Menurut Perda DIY no.7 tahun 2016, kadar maksimal TSS dari limbah industry tempe
adalah 100 mg/L. Nilai ini dapat digunakan sebagai acuan nilai MLSS yang mana pada
pecobaan ini nilainya sangat tinggi. Nilai MLSS yang tinggi dapat meningkatkan aerasi
biomassa sehingga proses lebih efisien. Selain itu, pada baku mutu air limbah disebutkan
bahwa kadar COD maksimal limbah tempe adalah 300 mg/L dengan pH 6 sampai 9 dan
debit maksimal 10 m3/ton. Diketahui nilai COD pada pada sampel lebih tinggi dari batas
yang ditetapkan untuk sampel influent sementara pada samppel effluent, baik filter dan
non-filter, nilai COD berada dibawah batas yang ditetapkan, artinya proses lumpur aktif
terbukti dapat mengurangi kadar COD pada air limbah yang sedang diproses. Sementara
pH limbah influent tadinya bernilai 5 yang mana terlalu asam dan berada di luar rentang
yang telah ditentukan, namun setelah pengolahan nilai pH berubah menjadi lebih tinggi
yaitu 8 dan berada pada rentang batas yang telah ditentukan. Nilai HRT yang didapat pada
percobaan ii 0,8 sendiri berada pada rentang yang sudah ditetapkan yaitu 0,75-1,5 hari.

Sampel juga diamati di bawah mikroskop dengan optilab untuk melihat mikroorganisme
apa saja yang ada pada sampel limbah. 3 diantaranya adalah Arcella discoides, Notommata
ansata, dan Callidina vorax. Mikrobia pertama adalah Arcella discoides, merupakan
amoeba dari family arcellidae, berbentuk lingkaran berwarna cokelat, dikelilingi semacam
cangkang, memiliki bukaan dan berpori,umum ditemukan di air kolam (NIES, -).
Notommata ansata merupakan Animalia dari filum Rotifera family Notommatidae
berbentuk gelondong dengan leher dibelakang faring yang memisahkan kepala dan
abdomen, bentuknya assimetris, memiliki kaki bersendi dua dengan jari pendek (NIES, -).
Callidina vorax atau Philodina vorax adalah Rotifera dari famili Philodinidae, memiliki
paruh dan mahkota, dimana mahkotanya dapat ditarik ke mulut, punya empat jari (dua
dorsal dua terminal), umumnya berada di tempat pengelolaan air selokan atau kultur
protozoa lama (NIES, Philodina Morphology, -). Berikut adalah gambar mikroorganisme
yang tertangkap selama percobaan,

1Arcella discoides 2Notommata Ansata 3Callidina vorax

Perbandingan dengan spesies dari pustaka

4Arcella discoides, 5Notommata ansata,


gbif.org
http://rotifera.hausdernatur.at/
6Callidina vorx, gbif.org
V. KESIMPULAN
1. Percobaan lumpur aktif tipe aerasi diperpanjang dilakukan dengan memproses limbah
pada suatu system yang terdiri dari tangki pengendapan pertama atau tangki influent,
tangki aerasi, dan terakhir tangki pengendapan kedua atau tangki influent.
2. Pada percobaan didapatkan hasil nilai parameter MLSS sebesar 3590 mg/L, kandungan
COD influent 1352,4 mg/L, COD effluent non-filter 109,76 mg/L, COD effluent filter
96,04 mg/L dengan removal efficiency non filter sebesar 91,8841% dan removal
efficiency filter sebesar 92,8986%, pH influent dengan rata-rata sebesar 5,3733, pH
effluent 8,733, nilai DO sebesar 3,0833 mg/L, debit harian 14,3642 L/hari, HRT
0,8354, F/M ratio 0,4509, nilai SVI 98,7929 mL/g, dan kekeruhan influent dengan
absobansi 0,2467 serta kekeruhan effluent 0,2.
3. Proses lumpur aktif terbukti dapat mengurangi nilai COD pada limbah cair dimana
pada percobaan ini, sampel limbah cair industry tempe mengalami penurunan nilai
COD sebesar 92-93%.
VI. DAFTAR PUSTAKA

Hammer, M. (2014). Water and Wastewater Technology. Harlow: Pearson Education Limited.

Hartaja, D. R., & Setiadi, I. (2016). Perencanaan Desain Instalasi Pengolahan Limbah Industri
Nata De Coco Dengan Proses Lumpur Aktif. JRL, 97-112.

McCarty, P. L., & Brodersen, C. F. (1962). Theory of Extended Aeration Activated Sludge.
Water Pollution Control Federation, 1095-1103.

NIES. (-, - -). Notommata Morphology. Retrieved from The World of Protozoa, Rotifera,
Nematoda and Oligochaeta: https://www.nies.go.jp/chiiki1/protoz/morpho/rotifera/r-
notomm.htm

NIES. (-, - -). Philodina Morphology. Retrieved from The World of Protozoa, Rotifera,
Nematoda and Oligochaeta: https://www.nies.go.jp/chiiki1/protoz/morpho/rotifera/r-
philod.htm

NIES, N. I. (-, - -). Arcella Morphology. Retrieved from The World of Protozoa, Rotifera,
Nematoda and Oligochaeta:
https://www.nies.go.jp/chiiki1/protoz/morpho/testacea/arcella.htm#Arcella%20discoides
VII. LAMPIRAN
A. Hasil Diskusi
 Apa fungsi sebenarnya dari penggunaan akuades sebagai larutan blanko?
: Larutan blanko merupakan larutan yang tidak mengandung analit yang akan
dianalisis, biasanya merupakan zat pelarut (dalam percobaan ini merupakan
akuades) yang diuji dengan reagen dan prosedur yang sama dengan pengujian pada
sampel. Penggunaan larutan blanko berfungsi untuk mengetahui nilai error yang
disebabkan oleh kontaminan atau interferen yang disebabkan oleh pelarut dan
reagen. Pada pengujian titrasi, pengujian larutan blanko juga berfungsi untuk
menentukan kelebihan larutan standar yang dibutuhkan untuk mencapai titikk akhir
titrasi.
 Izin bertanya, pada analisis SVI dilakukan pendiaman selama 30 menit, apakah
waktu tersebut sudah pasti atau dapat lebih cepat maupun lebih lama? Jika dapat
lebih cepat atau lama, apa yang akan terjadi pada limbah tersebut? Terima kasih,
kak
: Pendiaman pada pengujian SVI dilakukan selama 30 menit mengacu pada standar
ISO untuk pengujian SVI pada limbah cair, yaitu pendiaman limbah pada gelas ukur
selama 30 menit. Pada perhitungan SVI, variabel waktu tidak diperhitungkan
karena waktu pengendapan dianggap sama sesuai standar. Jika sampel limbah
didiamkan lebih lama, berpotensi terjadi peningkatan volume endapan sehingga
nilai SVI tidak akurat.
 Mengapa dalam praktikum ini menggunakan pengukuran COD tidak BOD sebagai
F/M ratio nya?
: Pada perhitungan F/M ratio digunakan nilai COD karena pada rangkaian
praktikum lumpur aktif, yang diuji hanya parameter COD. Kalau menggunakan
BOD, harus didahului dengan pengujian BOD.
 Apakah panjang gelombang yang digunakan pada spektrofotometer harus 660 nm?
: Panjang gelombang 660 nm merupakan panjang gelombang yang maksimal yang
efektif untuk peneraan absorbansi pada sampel yang digunakan. Apabila digunakan
panjang gelombang lain maka kemungkinan hasil atau nilai absorbansi yang
diperoleh tidak optimal
 apa yang dimaksud dengan RCE influent dan effluent ?
: CRE (COD Removal Efficiency) merupakan nilai yang menunjukkan besarnya
pengurangan kadar COD pada limbah. Pada praktikum ini terdapat dua jenis CRE,
yaitu CRE effluent filtrable dan non filtrable. Effluent filtrable merupakan limbah
effluent yang melalui proses filtrasi dulu (vakuum filter), sedangkan non filtrable
tidak melalui filtrasi. Dengan menggunakan dua jenis CRE tersebut, maka dapat
diketahui apakah filtrasi dapat mempengaruhi nilai COD atau nggak. Kalau misal
data hasilnya bener, nanti nilai COD filter bakal lebih rendah dari COD non filter,
karena filtrasi bisa ngurangi bahan organik pada limbah. Jadi tujuan dari pengujian
COD filter dan non filter itu membuktikkan kalau COD limbah yang diproses
dengan lumpur aktif + filtrasi bakal lebih baik hasilnya dibanding yang hanya
melalui proses lumpur aktif.

B. Hasil Perhitungan
*File excel terlampir

Anda mungkin juga menyukai