“Sirkus Lumba-Lumba”
1. 1 Latar Belakang
berbeda-beda dari Sabang hingga Merauke. Indoneisa memiliki kombinasi iklim tropis,
17.504 pulau, tujuh lokasi di Indonesia titetapkan oleh UNESCO masuk dalam daftar Situs
Warisan Dunia.Mulai dari hutan tropisnya yang luas, pegunungan hingga laut membentang
yang luas. Begitu banyak wilayah yang bisa dijadikan tujuan wisata. Pusat destinasi wisata
sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia,
walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan dunia. Indonesia merupakan negara
nomor satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat dari sekitar 1.539
jenis burung dan 45% jenis ikan di dunia. Potensi tersebut merupakan aset yang tak ternilai
Dewasa ini, banyak terjadi pemanfaatan satwa liar dilindungi sebagai objek peragaan.
Peragaan adalah salah satu bentuk pemanfaatan satwa liar dan tumbuhan yang dikenali di
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa Liar, selanjutnya disebut PP 8/1999. Peragaan satwa liar hanya dapat
Peragaan satwa liar dilindungi sering ditemukan dalam bentuk atraksi. Padahal dalam
dibawahnya tidak dikenali bentuk pertunjukan atraksi dalam pemanfaatan satwa liar,
khususnya peragaan satwa. Sirkus satwa liar baru disebut secara eksplisit pada definisi
P.52/Menhut-II/2006 Tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi, yang
selanjutnya disebut Permenhut Peragaan, dengan kata “atraksi”.5 Tidak ada pengaturan lebih
lanjut terkait atraksi atau sirkus satwa liar. Padahal atraksi satwa liar dilindungi merupakan
bentuk eksploitasi berlebihan satwa. Maka perlu adanya pengaturan lebih lanjut terkait atraksi
satwa liar dilindungi agar menjaga hak-hak dasar yang dimiliki satwa liar dilindungi. Dengan
mancanegara, setiap pengusaha bersaing untuk membuat usaha hiburan mereka lebih menarik
daripada dengan tempat yang lainnya. Salah satunya adalah Hotel dan Resort yang ada di Bali
menyediakan dolphin pool yang membuat para wisatawan tertarik pada Hotel dan Resort
tersebut.
Peragaan Satwa liar dilindungi menjadi tontonan menarik bagi pengunjung. Atas
nama edukasi, satwa liar dilindungi yang biasa hidup di alam bebas harus berada dalam
kandang yang sempit demi menjadi hiburan masyarakat. Tidak jarang dalam peragaan satwa
pada lembaga konservasi seperti kebun binatang dan taman safari memaksa satwa liar untuk
berperilaku tidak semestinya sebagaimana dilakukan satwa pada habitat aslinya, sebagai
contoh lumba-lumba di resort Bali ini ditempatkan di kolam renang yang tidak begitu luas
dan kolam yang berada tidak jauh dari pantai sendiri, tempat asli dimana seharusnya mereka
berada. Penempatan Kolam yang ditempati mereka hanya sebesar 10 meter x 20 meter,
sedangkan di dalam kolam itu terdapat lebih dari dua ekor lumba-lumba. Lumba-lumba dapat
berenang hingga ratusan kilometer di laut bebas tetapi di dalam kolam ruang gerak mereka
menjadi sangat terbatas. Stress yang dihasilkan dari ketakutan, kecemasan, frustrasi, dan
penangkapan, serta kebosanan dan isolasi, dapat menyebabkan penurunan psikologis dan
perubahan fisik yang dapat menyebabkan penyakit berkepanjangan dan kematian. Lumba-
lumba sendiri merupakan satwa mamalia yang di lindungi. Di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1999 di dalam lampirannya tertulis dalam bagian mamalia, lumba-lumba air
laut semua jenis dari family Ziphiidae. Maka perawatan dan pengawasannya haruslah dengan
Maraknya ekploitasi satwa liar dilindungi berkedok atraksi oleh para lembaga
konservasi ini menciderai semangat pelestarian jenis tumbuhan dan satwa dilindungi yang
berupa penyiksaan satwa liar dilindungi. Hal ini sangatlah bertentangan dengan semangat
pelestarian satwa mengingat jumlah individu satwa liar dilindungi setiap harinya semakin
sedikit yang seharusnya diutamakan upaya pelestarian dan memperbanyak jumlah
populasinya. Masyarakat perlu tahu dan ikut dalam menegakkan perlindungan terhadap
juga ikut turut serta dalam penegakkan ini karena upaya masyarakat saja tidak cukup. Peran
serta masyarakat memerlukan penyaluran informasi kepada masyarakat dengan cara yang
berhasil guna dan berdaya guna. Butuh pengembangan dan pendidikan akan kepedulian ini,
seperti yang kita tahu masyarakat Indonesia masih kurang peduli dan kurang mengetahui
1.3 Tujuan
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi sarana penyediaan informasi tentang eks
ploitasi yang terjadi terhadap lumba-lumba dalam penyelenggaraan sirkus dan dapat
memberikan pemahaman mengenai natural habitat lumba-lumba yang seharusnya sert
a dapat menjadi sarana informasi empiris dan ilmiah.
BAB II PEMBAHASAN
Zoonosis pada ikan perlu mendapatkan perhatian lebih dalam kaitannya denga
n penularan penyakit zoonosis. Zoonosis juga melibatkan penularan penyakit dan inan
g yang memproduksi biotoxin dari ikan ke manusia. Masih banyak pula organisme me
miliki potensi untuk menginfeksi dan membahayakan manusia yang hidup pada ikan
namun belum dilaporkan. Status dari sistem kekebalan tubuh manusia turut menentuk
an tingkat keparahan infeksi penyakit
Interaksi antara manusia dan patogen di air sangat kompleks karena terdapat b
anyak rute transmisi ditambah dengan kenyataan bahwa banyak patogen zoonosis tida
k menyebabkan penyakit pada organisme akuatik. Dengan demikian, sebagai carrier y
ang tidak terpengaruh, ikan yang sehat memiliki potensi untuk menularkan patogen ke
manusia. Penularan penyakit zoonosis dari hewan terutama melalui kontak langsung,
kontak langsung dengan vektor dan media yang terkontaminasi, serta konsumsi.
Lumba-lumba adalah satwa liar yang dilindungi dan dapat menjadi pembawa a
gen penyakit dari alam yang dapat menular kepada manusia (zoonosis) sehingga diper
lukan adanya kewaspadaan terhadap timbulnya wabah emerging zoonosis. Salah satu
nya adalah penyakit brucellosis yang disebabkan oleh bakteri Brucella ceti dan penya
kit parasitik seperti anisakiasis yang disebabkan oleh cacing Anisakis sp.
Brucellosis merupakan penyakit menular yang bersifat zoonosis akibat mengk
onsumsi susu yang tidak terpasteurisasi, daging dari hewan yang terinfeksi ataupun ko
ntak langsung dengan sekreta ataupun cairan aborsi. Penyakit ini selain menyerang he
wan domestic juga menyerang manusia dengan gejala pada hewan menunjukkan adan
ya kejadian aborsi dan steril, sedangkan pada manusia menyebabkan demam (undulan
t fever’s) ataupun Malta Fever (Corbel, 2006). Brucella sp. merupakan bakteri gram n
egatif, non motil, tidak berspora, berbentuk coccobacilli dan bersifat fakultatif intra se
l. Distribusi brucellosis pada mamalia laut telah tersebar di Samudra Atlantik Utara, la
ut Mediterania dan Arktik termasuk Laut Barents, selain itu ditemukan juda pada lum
ba-lumba yang hidup bebas di laut Peru, Costa Rica dan Florida. Tachibana et al. (200
6) melaporkan bahwa lumba-lumba infopasific yang terdapat di pulau Solomon juga t
elah terinfeksi oleh Brucella sp, demikian juga pada lumba lumba yang ada di tempat
penangkaran di USA dan Rusia. Indrawati dan Affif (2012) melaporkan bahwa ditem
ukan satu sampel positif terinfeksi Bricella sp. dari total 23 sampel lumba-lumba hidu
ng botol Indo pasifik.
Anisakiasis adalah penyakit gastrointestinal akut yang disebabkan oleh infeksi
dengan baik cacing herring (spesies Anisakis) atau cacing cod (Pseudoterranova deci
piens). Cacing ini merupakan parasit alami pada mamalia air seperti paus dan lumba-l
umba (Adams et al., 1997). Larva cacing berada pada otot dan organ visceral ikan lau
t, dengan intensitas infeksi bervariasi antara spesies ikan. Infeksi pada manusia terjadi
melalui konsumsi ikan mentah atau setengah matang. Larva biasanya menembus dindi
ng lambung menyebabkan nyeri akut pada perut, mual, dan muntah dalam beberapa m
enit sampai beberapa jam (anisakiasis lambung). Parasit ini tidak dapat hidup terlalu l
ama di tubuh manusia. Infeksi anisakis banyak ditemukan di Jepang, Belanda dan beb
erapa Amerika Utara (Darmawan dan Rohaendi, 2014).
Erysipeloid dianggap sebagai zoonosis kerja yang disebabkan oleh kontak den
gan hewan yang terkontaminasi, terutama saat menangani ikan, produk, limbah atau ta
nah. Erysipelothrix rhusiopathiae adalah spesies pathogen dari genus Erysipelothrix.
Bakteri ini termasuk anaerob fakultatif, nonspore, non-acid-fast, kecil, gram positif, b
atang bacillus (rod-shapped bacillus). Spesies yang menyerang pada lumba-lumba yai
tu E. Insidioae. Bakteri ini dapat bertahan lama dalam waktu lama di lingkungan, term
asuk di laut. Bakteri ini telah diisolasi dari lendir kulit ikan segar dan air laut, dan dap
at bertahan pada serangga, moluska dan krustasea (Wang et al., 2010). Terdapat tiga b
entuk penyakit yang disebabkan Erysipelothrix rhusiopathiae dijelaskan pada manusi
a: bentuk kutaneous local, bentuk kutaneous umum dan bentuk septikemik yang terkai
t dengan endokartitis. Bentuk septicemia dermatologis dan akut telah dilaporkan di cet
acean salah satunya lumba-lumba hidung botol (Tursiops trucantus). Jika bentuk septi
kemik tidak diobati dapat mengakibatkan kematian pada hewan. Sumber infeksi pada
lumba-lumba hidung botol yang hidup bebas dilautan yaitu lender kulit ikan segar (se
bagai mangsanya) dan air laut yang terkontaminasi bakteri Erysipelothrix rhusiopathi
ae yang pathogen. Tanda patognomonik erysipelas pada kebanyakan spesies adalah a
danya lesi kulit berbentuk berlian (diamond skin). Pada cetacean (Tursiops trucantus),
lesi tanpa abu-abu peningkatan plak rhomboid yang dengan tepi yang terdefinisi
dengan baik yang terjadi di seluruh tubuh. Erysipelas jarang ditemui pada pinniped
dan tidak dianggap sebagai masalah klinis, sedangkan pada cetacea adalah mamalia
laut yang paling rentan terhadap penyakit ini (Suer & Vedros, 1988).
Konsep animal welfare dalam lima kebebasan hewan (The Five Freedoms) dit
etapkan pada akhir 1960-an. Pada periode itu, pemerintah Inggris Raya mendirikan ko
misi untuk menginvestagasi bagaimana hewan diperlakukan di pertanian setempat. Ko
misi itu menarik kesimpulan bahwa ada kebutuhan untuk menetapkan garis kebijaksa
naan tentang bagaimana hewan seharusnya diperlakukan. Pada permulaannya, garis k
ebijaksanaan itu hanya sederhana dan memfokuskan pada perilaku terhadap hewan di
pertanian. Akhirnya, garis-garisnya menjadi lebih lengkap dan sekarang mempunyai j
angkauan yang lebih luas dan telah dikenal sebagai The Five Freedoms di seluruh dun
ia (Agustina, 2017).
Penyiksaan lumba – lumba untuk pertunjukan sirkus telah menjadi sorotan, dal
am kondisi lapar lumba – lumba diharuskan tampil dalam pertunjukan yang merupaka
n trik agar patuh perintah pelatih dan akan diberi imbalan berupa ikan untuk tetap bert
ahan hidup. Dalam hal ini aspek bebas dari rasa lapar dan haus tidak dapat dilakukan,
pemberian pakan minum dan kemudahan lumba – lumba dalam mengakses pakan dan
minum kapanpun tidak dapat dikehendaki (Yovanda, 2017).
Kematian dari lumba-lumba yang mengakibatkan kebutaan dan stress juga lan
gsung digantikan dengan lumba-lumba lainnya yang diambil langsung maupun diberi
kan pengganti yang baru. Dengan dalih penangkaran, pihak yang berdalih sebagai pen
angkar ini mengirim lumbalumba baru untuk menggantikan yang sakit maupun menga
mbil langsung dari laut lalu dijual kembali kepada pihak pengusaha. Lumba-lumba ya
ng sakit selanjutnya ditukarkan dan diserahkan ke pihak penangkaran. Hal ini sangat b
ertentangan dengan kesejahteraan hewan aspek bebas dari rasa sakit, luka, dan penyak
it (Fanny, 2018).
Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse
rvasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatakan bahwa setiap orang d
ilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, mengangkut,
dan memperniagakan satwa yang dilindungi. Hal ini sudah sangat jelas dilarang untuk
melakukan hal-hal tersebut. Pengecualian untuk aturan ini diperbolehkan apabila dilak
ukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis satw
a yang bersangkutan.
Undang – undang yang mengatur lumba – lumba yang sudah dijadikan alat atr
aksi sendiri akan dimasukkan terlebih dahulu di dalam penangkaran seperti yang tertu
lis di dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 ayat 1 tentang Peman
faatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (yang selanjutnya disebut PP Pemanfaatan Jen
is Tumbuhan dan Satwa Liar) yang berbunyi;
Lalu diatur juga dalam pasal 16 Peraturan Pemerintahan 7 Tahun 1990 menge
nai Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa merupakan pengelolaan di luar habitat un
tuk pembembangan populasi di alam agar tidak punah. Hal ini bertujuan agar lumba –
lumb ayang sudha dijadikan alat atraksi sebelumnya bisa mendapatkan rehabilitas dan
juga penanganan yang maksimal agar tidak lagi dijadikan alat atraksi.
“Targetnya, sirkus lumba-lumba di Medan dan seluruh dunia ditutup. Masyarakat bera
ni mengatakan tidak untuk menonton sirkus lumba-lumba,” katanya.
Dia bilang, menyedihkan sekali ketika satwa laut ini dipaksa bekerja untuk me
muaskan penonton. Ia melompat dan bermain gelang dan tali.
Belum lagi perlakuan terhadap lumba-lumba saat mereka dipindahkan dari sua
tu tempat ke tempat lain. Mereka dalam kandang sempit, tanpa air laut seperti di habit
at asli, hanya diolesi mentega dan pond pelembab yang dibalutkan di tubuh. Makan se
adanya, cenderung kurang, diterbangkan dari satu lokasi ke lokasi lain. Bentuk seperti
ini, katanya, penyiksaan langsung lumba-lumba.
Ketika masuk dalam kolam pun, air bukan air laut melainkan air tawar dicamp
ur clorin dan dimasukkan garam sebanyak-banyaknya.
“Ini bentuk penyiksaan langsung terhadap lumba-lumba. Ini satwa dilindungi dan tera
ncam punah,” kata Sinta.
“Di sini buat aku tertawa terhadap KLHK. Izin dikeluarkan dengan alasan sebagai edu
kasi. Padahal, sama sekali tak ada edukasi selain unsur penyiksaan dan eksploitasi. Ka
mi mendesak tidak lagi memberikan izin atraksi lumba-lumba dan mendesak segera m
enutup sirkus lumba lumba,” katanya.
Benvika, Direktur Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Kamis siang (27/7/1
9) kepada Mongabay mengatakan, JAAN sendiri fokus menangani kampanye lumba-l
umba sejak 2009. Berbagai hal mereka lakukan, mulai MoU dengan KLHK, dan Tam
an Nasional Karimunn Jawa untuk membuat fasilitas rehabilitasi lumba-lumba.
Secara administrasi, katanya, penyelenggara sirkus lumba lumba ini legal kare
na mendapatkan izin. Namun, katanya, penekanan di sini bukan masalah legal atau ile
gal, tetapi masalah kesejahteraan satwa.
“Bagaimana hewan itu sejahtera, kalau mulai dari pengangkutan, pengadaan atraksi d
an lain-lain jauh dari kesejahteraan satwa.”
“Lumba lumba tidak akan bisa bertahan hidup lama di dalam kolam. Mereka stres dan
cepat mati. Jadi, jika mati mereka mencari lagi yang baru dengan nama sama dengan
yang mati. Itu tidak akan diketahui karena tidak ada pemasangan chip atau tanda khus
us terhadap setiap lumba-lumba yang dititipkan ke lembaga konservasi.”
Meski demikian, JAAN akan terus menggelar aksi dan penolakan untuk pena
mpilan dan eksploitasi lumba-lumba. “Itu akan terus dilakukan sampai sirkus lumba-l
umba berhenti total.”
Ada tiga pihak mengantongi izin konservasi lumba-lumba jadi sirkus keliling.
Ketiganya, Taman Safari, Ancol, dan WSI. Taman Safari, dua tahun ini sudah mengh
entikan sirkus keliling dan lumba-lumba yang ada dititipkan ke lembaga konservasi di
Batang, Jawa Tengah, untuk rehabilitasi dan habituasi.
Sedang dua lembaga lagi, Ancol dan WSI, sampai sekarang masih terus adaka
n atraksi lumba-lumba.
Segala peraturan yang ada dan mengatur terkait lumba-lumba sebagai satwa di
lindungi dan sebagai peragaan sudah diatur oleh pemerintah, tetapi masih ada celah da
n kelalaian oleh pemegang lumba-lumba. Seharusnya segala bentuk hiburan peragaan
lumba-lumba ditiadakan karena hal ini murni hanya sebatas bisnis. Alasan pendidikan
mengenai lumba-lumba dan pengobatan hanya sebuah kedok dari bisnis ini. Karena hi
buran ini memberikan masukan pendapatan juga kepada negara, hingga saat ini masih
tetap berjalan. Sebuah pentas lumba-lumba bisa mengasilkan hinggal Rp8.000.000,- s
ebuah angka yang cukup besar. Dalam hiburan lebih menitik beratkan sisi ekonominy
a disbanding sisi kemanusiaan terhadap kehewanan.
Pemeliharaan dan perawatan hewan haruslah dilakukan dengan baik dan sesua
i dengan aturan yang berlaku. Sirkus atau pertujukan lumba-lumba merupakan salah s
atu penyebab atas penderitaan yang dialami oleh mamalia laut yang menakjubkan, pin
tar dan sosial ini. Wahana semacam ini adalah bentuk pariwisata yang sangat tidak ber
tanggungjawab, karena mendukung satwa untuk dieksploitasi hingga sakit dan mati.
Manusia dianggap tidak memiliki hak untuk membuat satwa menderita dan sudah sela
yaknya meningkatkan derajat kesejahteraannya dengan perlakuan yang lebih manusia
wi. (John Webster, 1995). Perlindungan keragaman hayati juga terkait dengan masala
h pencegahan, sebab mencegah kepunahan jenis dan keberagaman hayati diperlukan p
encegahan dini (Syamsuharya Bethan, 2008).
Salah satu wilayah yang digunakan sebagai lokasi untuk rehabilitasi lumba-lu
mba adalahdi Kemujen, Karimun Jawa. Pusat rehabilitasi tersebut sebagai jawaban ata
s kebutuhan akan penegakan hukum yang efektif atas pelarangan terhadap penangkap
an lumba-lumba liar di Indonesia. Lokasi ini dipilih karena berada di dekat lokasi ala
miah tempat lumba-lumba tinggal. Lumba-lumba akan kembali dilepaskan kealam liar
setelah menjalani rehabilitasi namun jika lumba-lumba dianggap tidak dapat dilepaska
n, mereka akan tetap dirawat di pusat rehabilitasi di mana akan terjamin keamanan te
mpat tinggalnya selama proses penyembuhan.
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan rangkaian makalah diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai beriku
t:
1. Sirkus lumba-lumba berkedok edukasi adalah bentuk penyiksaan dan eksploita
si satwa serta meningkatkan perburuan dan menjadikannya terancam punah.
2. Pertunjukan yang menampilkan lumba-lumba di Indonesia banyak melanggar k
onsep kesejahteraan hewan.
3. Interaksi dengan manusia dalam sirkus meningkatkan potensi penyebaran peny
akit zoonosis seperti Malta Fever oleh Brucella ceti dan anisakiasis oleh cacing
Anisakis sp.
4. Beberapa undang – undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan lainn
ya dalam upaya pemerintah dalam regulasi mengenai satwa liar termasuk lumb
a – lumba.
5. Rehabilitasi pada lumba – lumba menjadi salah satu cara tepat yang dapat dilak
ukan dalam upaya dalam mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh sirkus s
ehingga dapat dikembalikan ke habitatnya dalam kondisi yang baik.
3.2 Saran
Perlu dilakukan penyadaran kepada masyarakat tentang sisi lain yang mengeri
kan dalam pertunjukan terhadap satwa liar serta pemberian tindakan tegas terhadap pe
langgaran dalam eksploitasi lumba – lumba.
DAFTAR PUSTAKA
Adams A.M, K.D. Murrell, and J.H. Cross. 1997. Parasites of Fisf And Risks To Publ
ic Health. Rev sci tech off int epiz 16(2):652-660.
Agustina, K.K. 2017. Kesejahteraan Hewan Laboratorium. Diktat kuliah. Universitas
Udayana. 8 – 9.
Andri Wibisana, ‘Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Konserva
si Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem’, Pusat Penelitian dan Pengembang
an Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrisn Huk
um dan Ham RI, 2015, 3.
Audrian, N. (2019). Makna Pengalaman Pelatih Berinteraksi Dengan Lumba-Lumba
Dalam Pertunjukan “Dolphin Show” Ocean Dream Samudra. Jurnal Common, 3
(01), 81-93.
Ayat S Karokaro 2019. Aksi menolak eksploitasi lumba-lumba jadi sirkus oleh
komunitas pencinta satwa di Medan.
Bhayangkara, S, C & Gunadha, R. (2020). Sirkus Lumba-Lumba Keliling Resmi Dila
rang di Indonesia, https://www.suara.com/news/2020/02/07/131724/sirkus-lumb
a-lumba-keliling-resmi-dilarang-di-indonesia?page=all, diakses pada 2 Desember
2021 pukul 19.43.
Cooke, R. G., Wake, T. A., Martínez-Polanco, M. F., Jiménez-Acosta, M., Bustamant
e, F., Holst, I., Lara-Kraudy, A., Martín, J. G., & Redwood, S. (2016). Exploitatio
n of dolphins (cetacea: Delphinidae) at a 6000 yr old preceramic site in the Pearl
Island Archipelago, Panama. Journal of Archaeological Science: Reports, 6, 733
–756. https://doi.org/10.1016/j.jasrep.2015.12.001
Corbel, M.J. (2006) Brucellosis in Humans and Animal. World Health Organization.
Darmawan, B. D. dan O.E. Rohaendi. 2014. Zoonosis : Infeksi penyakit ikan terhadap
manusia akibat kesalahan manajemen dan penanganan ikan maupun produk olaha
nnya. Journal of Aquatropica Asia. 1: 1-9.
Faizah, R., Dharmadi, F.S.Purnomo. 2006. Distribusi dan Kepadatan Lumba-Lumba S
tenella longirostris di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Perika
nan Indonesia. Vol.12 No.3. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta:175-181.
Fanny, Vivian. 2018. Perlindungan Lumba – Lumba sebagai Satwa Langka yang Dili
ndungi dari Tidakan Penempatan dan Atraksi Hiburan yang Tidak Sesuai. J
urnal Hukum Adigama. 1(1): 1086.
Gunadha, Reza dan Bhayangkara, C.S. 2020. Sirkus Lumba-Lumba Keliling Resmi
Dilarang di Indonesia.
Huda, M.N. 2013. Peran animals asia dalam penanggulangan penyiksaan hewan di Ci
na. eJournal Ilmu Hubungan Internasional. 1(3) : 741 - 752.
Ika, I. (2011, March 21). Lumba-lumba Rentan Eksploitasi. Liputan Berita Universita
s Gadjah Mada.
Indrawati, A. dan U. Affif. 2012. Brucella ceti : Ancaman Emerging Zoonosis pada L
umba-Lumba Hidung Botol Indo Pacific (Tursiops aduncus). JSV. 30 (2): 27-34
John Webster, Animal Welfare A Cool Eye Towards Eden, (Willey-Blackwel, 1995),
hal. 3
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Loka Pengelolaan Sd Pesisir & Laut Sorong
Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut.
Lasmani, S., K. Nawawi, dan E. Sudarti. 2019. Penegakan Hukum Pidana Atas Perlak
uan Tidak Wajar Terhadap Satwa yang Dilindungi Menurut Undang-Undang No
mor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jurnal Inovatif 7
(1).
Nick Carter, “effect of psycho-psychological stress on captive dolphins”, The Human
e Society Institute for Science and Policy Anial Studies Repository, Edisi No. 3 T
ahun 1982, hal. 194
Peraturan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : P.09/I
V-SET/2011 tentang Pedoman Etika dan Kesejahteraan Satwa di Lembaga Konse
rvasi.
Peraturan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: P.16/I
V-SET/2014 tentang Pedoman Peragaan Lumba-Lumba.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.40/MenhutII/2012 tentan
g Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.40/Menhut-II/2012
tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.52/Menhut-II/2006 Tenta
ng Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi Menteri Kehutanan. Ps
1 angka 7.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan da
n Satwa Liar.
Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 mengenai Kesehatan Masyarakat Veteri
ner dan Kesejahteraan Hewan.
Peraturan Pemerintahan 7 Tahun 1990 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa.
Prayitno, N.A. 2021. 7 Alasan Kamu Perlu Berhenti Menonton Sirkus Lumba – Lumb
a. www.popbela.com. [1 Desember 2021].
Stefue, N. (2006). Fish & Fishing. Multimedia Publishing.
Suer LD, Vedros NA (1988) Erysipelothrix rhusiopathiae. I. Isolatiom and
characterization from pinnipeds and bite/abrasion wounds in humans. Dia aquat
Org 5: 1-5
Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungn Hidup
dalam Aktivitas Industri Nasional, (Jakarta: PT Alumni, 2008), hal. 99.
Tachibana et al. (2006) Antibodies to Brucella spp. In Pacific bottlenose dolphins fro
m the Solomon Islands. J. Wild Dis. 42: 412-414.
Undang Undang No. 6 Tahun 1967 Tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan
Dan Kesehatan Hewan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosis
temnya.
Wangi, B. S. 2018. Penciptaan Perhiasan Logam Sebagai Representasi Visual Penolak
an Eksploitasi Lumba-Lumba Sirkus. Jurnal Karya Seni.
Wang Q, Chang BJ, Riley TV (2010) Erysipelothrix rhusiopathiae. Vet. Microbiol
149:405-41.
Yovanda. 2017. Resahnya Aktivis lingkungan pada Pertunjukan Sirkus Lumba – Lum
ba. www.mongabay.co.id. [1 Desember 2021].