Anda di halaman 1dari 46

BUNDEL SIDANG APOTEKER

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

SEKOLAH FARMASI

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2016

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
PEMERINTAHAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Penandaan obat
Jenis Obat Definisi Penandaan
Obat Bebas Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter
disebut obat OTC (Over The Counter), terdiri atas obat bebas dan
obat bebas terbatas. Obat bebas dapat dijual bebas di warung
kelontong, toko obat berizin, supermarket serta apotek. Obat
golongan ini relatif aman sehingga pemakaiannya tidak
memerlukan pengawasan khusus tenaga medis selama diminum
sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat.
Jadi sebaiknya golongan obat ini tetap dibeli bersama kemasannya.
Obat bebas Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan obat-
terbatas obatan ke
dalam daftar obat “W” (Waarschuwing) memberikan pengertian
obat bebas terbatas adalah obat keras yang dapat diserahkan kepada
pemakainya tanpa resep dokter, bila penyerahannya memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1. CUMA DIJUAL DALAM BUNGKUSAN ASLI DARI
PABRIKNYA.
2. DI KEMASANNYA HARUS ADA TANDA
PERINGATAN

Obat Keras (1) Di kemasan luar oleh si pembuat disebutkan bahwa hanya
boleh diserahkan dengan resep dokter.
(2) Dipergunakan secara parenteral, baik dengan cara suntikan
maupun dengan cara pemakaian lain dengan jalan merobek
rangkaian aslii dari jaringan.
(3) Semua obat baru, kecuali jika Depkes sudah berstatement
bahwa obat tersebut tidak berbahaya
(4) Obat baru  semua obat yang tidak tercantum dalam
Pharmacope Indonesia dan Daftar Obat Keras atau obat
yang hingga saat dikeluarkannya Surat Keputusan ini secara
resmi belum pernah diimport atau digunakan di
Indonesia.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Narkotika zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis,yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang.
Gol 1 opium, kokain, DMHP, MDMA
Gol 2  fenil, metaon, morfin
Gol 3  etilmorfin, kodein
Psikotropika Zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan prilaku.

2. Jelaskan tentang JKN secara detail !


Jawaban:
JKN merupakan suatu program pemerintah, yang merupakan bagian dari SJSN (sistem Jaminan Sosial
Nasional). JKN diselenggarakan dengan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat mandatory (wajib),
bertujuan untuk memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia untuk
dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera.
Sebelum era JKN, jaminan sosial di bidang kesehatan antara lain:
 ASKES Sosial untuk PNS, Penerima pensiun & Veteran
 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) JAMSOSTEK untuk pegawai BUMN dan swasta
 Jaminan kesehatan untuk TNI dan POLRI
 JPKMM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin) yang berubah nama menjadi
JAMKESMAS
Setelah dimulainya JKN per 1 januari 2014, semua program kesehatan tersebut ddiintegrasikan ke dalam satu
badan penyelenggara yaitu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

BPJS dibagi menjadi 2, yaitu BPJS kesehatan (menyelenggarakan program jaminan kesehatan) dan BPJS
ketenagakerjaan (menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan
jaminan kematian)

Yang menjadi peserta program JKN tersebut adalah wajib bagi seluruh warga Indonesia, termasuk warga
negara asing yang telah berkerja minimal 6 bulan dan telah membayar iuran. Peserta program
JKN dikelompokkan menjadi 2, yaitu peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan peserta non PBI.
Paling lambat tahun 2019, seluruh penduduk Indonesia sudah menjadi peserta BPJS kesehatan yang dilakukan
secara bertahap.
Landasan hukum program JKN:
 UU 40/2004  tentang SJSN
 UU 24/2011  tentang BPJS
 UU 36/2009  tentang Kesehatan
 Perpres 12/2013  tentang Jaminan Kesehatan
 PP 101/2012  tentang PBI
BPJS
Jawaban:
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) merupakan suatu badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggara sistem jaminan sosial nasional (SJSN) untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Dalam penyelenggaraannya, BPJS menganut prinsip:
 Kegotongroyongan
 Nirlaba
 Keterbukaan
 Kehati-hatian
 Akuntabilitas
 Mortabilitas
 Kepesertaan bersifat wajib
 Dana amanat
 Hasil pengelolaan dana dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-
besarnya kepentingan peserta

BPJS dibagi menjadi 2, yaitu BPJS kesehatan (yang menyelenggarakan jaminan kesehatan) dan BPJS
ketenagakerjaan (menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun,
jaminan kematian).

Yang menjadi peserta BPJS adalah wajib bagi seluruh warga Indonesia, termasuk warga negara asing yang
telah berkerja minimal 6 bulan dan telah membayar iuran. Peserta program JKN dikelompokkan menjadi 2,
yaitu peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan peserta non PBI.

Tarif pelayanan kesehatan


Untuk Fasilitas kesehatan tingkat pertama dibagi menjadi 2 jenis, yaitu tarif kapitasi dan tarif non kapitasi.
 Tarif kapitasi  BPJS membayar pembayaran per-bulan Dwimuka berdasarkan jumlah peserta yang
terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
 Tarif non kapitasi  BPJS membayar klaim berdasarkan jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang
diberikan.
Untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan
Tarif INA-CBG’s (Indonesian Case Based Groups)  BPJS membayar klaim berdasarkan atas paket layanan
yang diberikan berdasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.

3. Klasifikasi PBF dan perbedaannya


Jawaban:
Klasifikasi PBF berdasarkan keagenan:
 PBF pusat  perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran
obat &/atau bahan obat dalam jumlah besar. Dalam pendiriannya, harus memiliki izin dari Dirjen.
Pengajuan permohonan izin ke dirjen dengan tembusan Kepala BPOM, kepala Dinkes Provinsi, Kepala
Balai POM. Izin berlaku 5 thn.
 PBF cabang  cabang dari PBF yang memiliki pengakuan utak melakukan pengadaan, penyimpanan,
penyaluran obat &/atau bahan obat dalam jumlah besar. Dalam pendiriannya, harus memiliki pengakuan
dari Kepala Dinkes Provinsi setempat. Pengajuan permohonan Pengakuan ke kepala Dinkes Provinsi
dengan tembusan dirjen, kepala Dinkes Kabupaten/Kota, Kepala Balai POM. Pengakuan berlaku selama
izin PBF pusat berlaku. PBF cabang hanya dapat menyaluran ke provinsi setempat. Boleh ke provinsi lain
terdekat, namun penyaluran harus atas nama PBF pusat dan dibuktikan dengan surat penugasan yang
disahkan oleh Dinkes Provinsi yang dimaksud.
Klasifikasi PBF berdasarkan komoditi:
 Obat jadi  PBF yang memilki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat jadi dalam jumlah
besar.
 Bahan Obat  PBF yang memilki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran bahan obat dalam
jumlah besar. Dalam perizinannya sama dengan PBF obat jadi, namun memiliki laboratorium yang mampu
menguji bahan obat yang disalurkan. Selain itu, harus memilki gudang khusus tempat menyimpan bahan
obat yang terpisah dari ruangan lain.
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Klasifikasi PBF berdasarkan jejaring bisnis:
 PBF distributor
 PBF sub-distributor  PBF yang ditunjuk oleh PBF lain untuk melakukan penyaluran obat &/atau bahan
obat.
(pustaka: Permenkes 1148 tahun 2011 & pembaruannya yaitu Permenkes 34 tahun 2014 tentang “Pedagang
besar farmasi”;

Persyaratan suatu pbf dapat melayani Pesanan Apotek atau Toko Obat
Jawaban:
 Pengiriman obat dan/atau bahan obat harus diberikan kepada pelanggan yang memiliki izin sesuai dengan
perUU.
o Melayani obat narkotik dan psikotropika
 Surat pesanan dengan format khusus.
 Asli, tidak fotokopi dan tidak dalam bentuk faksimile.
 Surat pesanan lengkap meliputi nama & alamat PJ sarana pemesan; Nama narkotika /
psikotropika, jenis & kekuatan sediaan, isi kemasan & jumlah dalam bentuk angka & huruf;
Nomor surat pesanan; Nama, alamat dan izin sarana pemesanan.
 Keabsahan SP meliputi tanda tangan dan nama jelas PJ; nomor SIKA/SIPA PJ
 Stempel fasilitas distribusi atau sarana pelayanan kefarmasian
 Surat pesanan narkotik / psikotropika yang dapat dilayani, disahkan oleh PJ fasilitas
distribusi dengan memberi ttd atau paraf atau sistem lain yang dapat dipertanggung
jawabkan.
 Dokumen pengiriman: surat jalan &/atau faktur penjualan &/atau surat pengiriman barang
yang ditandatangani oleh kepala gudang dan PJ PBF.
 Obat narkotik / psikotropika yang telah diterima pemesan dibuktikan dengan telah
ditandatanganinya surat pengantar atau pengiriman barang pemesan (PJ sarana pemesan
diserta dengan nama jelas, nomor SIKA/SIPA, ttd, tanggal penerimaan, dan stempel sarana.
 Bila pada saat pengiriman terjadi kerusakan atau kehilangan, harus dicatat dalam berita
acara dan dilaporkan segera ke PJ PBF dan selanjutnya dilaporkan kepada BPOM.
 Pelaporan kegiatan pengiriman setiap 1 bulan sekali sesuai dengan ketentuan.
 Pengiriman obat dengan alat transportasi yang memadai dan ditangani sedemikian rupa agar terjaga mutu
dan identitas obat tidak rusak.
 Dalam pengiriman harus disertai dengan dokumen pengiriman berupa surat jalan &/atau faktur penjualan
&/atau surat pengiriman barang. PBF bertanggung jawab atas pengiriman hingga diterima oleh pemesan
yang dibuktikan dengan ditandatanganinya dokumen pengiriman (nama jelas penerima, ttd, no
SIKA/SIPA/SIKTTK, tanggal penerima, stempel sarana).
 PBF yang menyalurkan bahan obat harus memiliki laboratorium untuk menguji bahan obat yang diedarkan
dan memiliki gudang khusus penyimpanan bahan obat yang terpisah dari ruangan lain.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Perizinan PBF

4. Jelasin Balai besar dan Badan POM. Bedanya? Kalo sama dinkes prov apa bedanya?
Jawaban:
Perbedaan Badan POM dengan Balai Besar POM:
Balai besar POM merupakan perpanjangan tangan BPOM yang terdapat di daerah-daerah. Balai Besar POM
merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM.
Balai Besar POM diketuai oleh Kepala Balai yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala
Badan POM. Sedangkan Badan POM diketuai oleh Kepala Badan POM dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Dalam pelaksanaan tugasnya, secara teknis Balai Besar POM dibina oleh para Deputi Badan POM dan secara
administrasi dibina oleh Sekeretaris Utama Badan POM.
Tugas utama BPOM adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan makanan sesuai
ketentuan PerUU yang berlaku.
Tugas utama Balai Besar POM yaitu melaksanakan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan, yang
meliputi pengawasan atas produk terapeutik, NAPZA, OT, kosmetik, produk komplemen, serta pengawasan atas
keamanan pangan dan bahan berbahaya.

Perbedaan Balai Besar POM dengan Dinkes Provinsi:


Dinas Kesehatan Provinsi merupakan lembaga teknis di bidang kesehatan yang berada di bawah naungan
Departemen Kesehatan Pemerintah RI yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan. Sedangkan Balai Besar POM
merupakan unit pelayanan teknis yang berada di bawah naungan Badan POM yang dikepalai oleh Kepala Badan
POM dan merupakan Lembaga Non-Departemen. Kepala Badan POM bertanggung jawab langsung kepada
Presiden RI.
Dilihat dari fungsinya, Balai Besar POM bertugas terhadap pengawasan produk obat dan makanan, yaitu produk
terapeutik, NAPZA, OT, kosmetik, produk komplemen, serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan
berbahaya.
Sedangkan Dinas Kesehatan Provinsi bertugas dalam melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang
kesehatan seperti regulasi dan kebijakan kesehatan, bina pelayanan kesehatan, bina penyehatan lingkungan,

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
pencegahan penyakit, serta sumber daya kesehatan. Jadi, berbeda pada BBPOM yang berfokus pada produk
obat dan makanan, DinKes berfokus pada manusia agar berada pada taraf kesehatan yang baik.
Balai Besar POM dan BPOM memberikan izin terhadap produk obat dan makanan, sedangkan DinKes dan
DepKes memberikan izin terhadap berdirinya rumah sakit, klinik, apotek, dst.

5. STRA, SIPA, SIKA, dan bedanya?


Jawaban:
 STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) adalah surat tanda registrasi yang diberikan kepada Apoteker oleh
menteri. Menteri mendelegasikan pemberian STRA kepada KFN. Masa berlaku STRA adalah 5 tahun.
Pengajuan permohonan STRA kepada KFN dengan melampirkan:
o fotokopi ijazah apoteker,
o fotokopi surat sumpah apoteker,
o fotokopi sertifikat kompetensi profesi,
o surat keterangan sehat fisik dan mental
o surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
o Pas foto
 SIPA (Surat Izin Praktek Apoteker) adalah surat izin apoteker untuk dapat melaksanakan praktek
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
 SIKA (Surat Izin Kerja Apoteker) adalah surat izin apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi.
 SIPA dan SIKA dikeluarkan oleh kepala Dinkes Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan.
Berlaku sepanjang STRA berlaku dan tempat kerja sesuai dengan yang tercantum dalam SIPA atau SIKA.
Pengajuan permohonan SIPA dan SIKA kepada Kepala Dinkes Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
o Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN
o Surat pernyataan tempat praktek profesi/ surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian
atau fasilitas produksi atau distribusi.
o Surat rekomendasi dari organisasi profesi
o Pas foto
(pustaka: Permenkes 889 tahun 2011 tentang “Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga
Kefarmasian”)

a. Cara membuat STRA, SIPA, Surat Izin Apotek


Jawab:
STRA
- Dikeluarkan oleh menteri didelegasikan kepada KFN
- Persyaratan STRA:
a. Memiliki ijazah apoteker
b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi
c. Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji
d. Surat keterangan sehat fisik dan mental
e. Pernyataan mematuhi dan melaksanakan etika profesi
- Cara mengajukan STRA: mengajukan permohonan ke KFN dengan melampirkan:
a. Fotokopi ijazah apoteker
b. Fotokopi surat sumpah/janji
c. Fotokopi sertifikat kompetensi yang masih berlaku
d. Surat keterangan sehat fisik dan mental
e. Pasfoto
f. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika farmasi
g. Untuk apoteker lulusan luar negeri yang akan bekerja di indonesia harus melaksanakan
adaptasi pendidikan  surat keterangan telah melakukan adaptasi
- STRA berlaku 5 tahun dan dapat diregistrasi ulang

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
SIPA
- SIPA  untuk yg bekerja di fasilitas pelayanan kefarmasian
- Sebagai penanggung jawa hanya berlaku untuk 1 tempat fasilitas kefarmasian. Sebagai apoteker
pendamping dapat diberikan untuk maksimal 3 tempat fasilitas kefarmasian. Apoteker PJ dapat
bekerja sebagai Apoteker pendamping di luar jam kerja.
- Mengajukan permohonan dengan menggunakan formulir tertentu kepada kepala dinkes kab/kota
dengan melampirkan:
a. Fotokopi STRA yang dilegalisir KFN
b. Surat pernyataan memiliki tempat praktek profesi surat keterangan dari pimpinan fasilitas
pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau dari distribusi/penyaluran.
c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi
d. Pasfoto 4x6 & 3x4 @2 lembar
- Dinkes kab/kota paling lambat 20 hari kerja harus menerbitkan SIPA/SIKA
- SIPA/SIKA masih tetap berlaku sepanjang :
a. STRA atau STRTTK masih berlaku
b. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPA/SIKA.

SURAT IZIN APOTEK

Izin apotek
Jawaban:
Perizinan apotek diatur dalam KMK 1332 tahun 2002 yang merupakan pembaharuan dari PMK 922 tahun 1993
tentang “Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek”.

Izin Apotek diberikan oleh Menteri Kesehatan. MenKes melimpahkan wewenang pemberian izin apotek kepada
Kepala Dinkes Kab/Kot. Kepala Dinkes Kab/Kot wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan
izin, dan pencabutan izin setiap 1 thn sekali kepada Menkes dengan tembusan Kepala Dinkes Provinsi.

Tata cara pemberian izin apotek:


 Melakukan permohonan izin kepada Kepala Dinkes Kab/Kot dengan melampirkan:
o fotokopi SIPA APA
o fotokopi KTP APA,
o Surat Pernyataan bahwa APA tidak merangkap/bekerja di Apotek lain/ Industri lain dan
sanggup sebagai APA di Apotek dimaksud
o Fotokopi perjanjian kerjasama antara APA dan Pemilik Sarana Apotek (PSA) (di depan
Notaris)
o Surat pernyataan PSA bahwa tidak pernah terlibat pelanggaran perundang-undangan dibidang
Farmasi
o Peta Lokasi dan Denah bangunan
o Status Bangunan dan kaitannya dengan PSA (Hak Milik/Sewa/Kotrak)
o Daftar Asisten Apoteker dilampiri Fotokopi Ijasah dan SIKTTK
o Surat Izin Tempat Usaha (SITU)
 Kepala Dinkes Kab/Kot setelah menerima surat permohonan (selambatnya 6 hari kerja), meminta
bantuan teknis kepada Ka Balai POM untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotek untuk
melakukan kegiatan.
 Kepala Dinkes Kab/Kot atau Ka Balai POM setelah permintaaan bantuan teknis (selambatnya 6 hari
kerja), melaporkan hasil pemeriksaan setempat.
 Dalam waktu 12 hari kerja setelah diterima laporan hasil pemeriksaan, Ka Dinkes Kab/Kot
mengeluarkan SIA bila apotek memenuhi syarat.
Persyaratan APA:
 Ijazah terdaftar pada DepKes
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
 Telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker
 Memiliki SIPA
 Memenuhi syarat fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya sebagai apoteker
Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tik menjadi APA di Apotek lain
- Izin apotek diberikan oleh Menkes, dilimpahkan ke Kadinkes Kab/kota.
- Berlaku seterusnya selama apotek aktif dan ada APA.
- Tata cara permintaan SIA:

Sertifikat Kompetensi Profesi

Merupakan tanda pengakuan terhadap kompetensi apoteker untuk menjalankan pekerjaan/praktek


profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. Uji kompetensi dilakukan dan sertifikatnya
dikeluarkan oleh organisasi profesi. Masa berlaku 5 tahun. Pedoman penyelenggaraan uji kompetensi
ditetapkan oleh KFN.

KFN
KFN merupakan unit non struktural yang dibentuk oleh menteri dengan tujuan meningkatkan dan
menjamin mutu tenaga kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian. KFN bertanggung jawab
kepada menteri melalui DirJen.
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
 Tugas: Sertifikat & registrasi, Pendidikan & pelatihan berkelanjutan, Pembinaan dan pengawasan
 Terdiri atas 3 divisi:
o Divisi Sertifikat & Registrasi. Bertugas  menyiapkan rancangan blueprint sertifikasi dan
registrasi; menyusun pedoman tata laksana sertifikasi & registrasi; melaksanakan registrasi.
o Divisi Pendidikan & Pelatihan. Bertugas  menyusun blueprint pengembangan & pendidikan
berkelanjutan; menyusun pedoman pengembangan dan pendidikan berkelanjutan; menetapkan
angka SKP pada pelaksanaan pengembangan & pendidikan berkelanjutan.
o Divisi Pembinaan dan pengawasan. Bertugas  melaksanakan pembinaan & pengawasan terhadap
tenaga kefarmasian dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian.
 Keanggotaan terdiri atas 9 orang. Ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan Dirjen. Masa bakti
selama 3 tahun. Anggota terdiri dari unsur-unsur yang berasal dari: Kemenkes (2 orang); BPOM (1
orang); Organisasi profesi (3 orang); Organisasi yang menghimpun TTK (1 orang); Perhimpunan dari
perguruan tinggi farmasi (1 orang); Kementerian Pendidikan Nasional (1 orang).
 Ketua KFN harus apoteker dan ditetapkan oleh menteri.

6. IAI
Jawaban:
IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) merupakan organisasi profesi yang menaungi Apoteker di Indonesia. Nama IAI
ditetapkan pada Kongres Nasional ISFI XVIII pada tanggal 8 Des 2009 di Jakarta yang merupakan kelanjutan
dari nama ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia).
Visi IAI:
 Terwujudnya profesi apoteker yang paripurna, sehingga mampu mewujudkan kualitas hidup sehat bak
setiap manusia
Misi IAI:
 Menyiapkan apoteker yang berbudi luhur, profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi, dan inovatif,
serta berorientasi ke masa depan
 Membina, menjaga dan meningkatkan profesionalisme Apoteker sehingga mampu menjalankan praktek
kefarmasian secara bertanggung jawab
 Memperjuangkan dan melindungi kepentingan anggota dalam menjalankan praktek profesinya
 Mengembangkan kerja sama dengan organisasi profesi lainnya baik nasional maupun internasional
IAI mempunyai fungsi:
 Sebagai wadah berhimpun para Apoteker Indonesia
 Menampung, memadukan, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi Apoteker Indonesia
 Membina para anggota dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan Profesi Farmasi dan IPTEK
Kefarmasian
IAI mempunyai tugas pokok:
 Meningkatkan motivasi anggota dalam upaya pelayanan kefarmasian, upaya penggalian, penelitian,
pengujian pengembangan dan produksi obat-obatan dan OT
 Meningkatkan kemampuan dan mutu pelayanan anggota dalam bidang kefarmasian kpd masyarakat luas
 Mengadakan dan membina hubungan & kerja sama dan organisasi nasional & internasional yang berkaitan
dgn kefarmasian, kedokteran, dan organisasi internasional serupa
 Mengadakan serta menyelenggarakan program kegiatan melalui pertemuan/ seminar ilmiah yang bersifat
lokal, nasional, dan internasional
 Memantapkan peran anggota dalam usaha:
o Melindungi masyarakat terhadap pencemaran profesi, bahaya narkotika dan penyalahgunaan obat
o Pengawasan kesehatan lingkungan, pemanfaatan dan penganan obat, makanan, minuman, kosmetika
dan obat tradisional
 Memberikan advokasi kepada anggota berkaitan dengan masalah yurisprudensi
 Mengadakan berbagai kegiatan lain yang dipandang perlu untuk mencapai visi dan misi organisasi
Keanggotaan IAI:
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
 Anggota IAI adalah Apoteker WNI lulusan Perguruan Tinggi dalam atau luar negeri yang ijazahnya diakui
oleh Dept. Pendidikan Nasional, dan cara mengajukan permintaan menjadi anggota serta memenuhi syarat
yg ditentukan dalam ART & Peraturan Organisasi.
 Anggota muda IAI adalah Sarjana Farmasi WNI lulusan Perguruan Tinggi dalam atau luar negeri yang
ijazahnya diakui oleh Dept. Pendidikan Nasional, dan cara mengajukan permintaan menjadi anggota serta
memenuhi syarat yg ditentukan dalam ART & Peraturan Organisasi.
 Anggota luar biasa IAI adalah Apoteker WNA yang diangkat oleh pengurus pusat IAI karena berasa dalam
perkembangan IPTEK Farmasi atau profesi kefarmasian di Indonesia
 Anggota kehormatan IAI adalah WNI bukan Apoteker atau Sarjana farmasi yang diangkat oleh pengurus
pusat IAI karena berasa dalam perkembangan IPTEK Farmasi atau profesi kefarmasian di Indonesia
(pustaka: www.ikatanapotekerindonesia.net”)

Organisasi profesi apoteker luar negeri adalah International Pharmaceutical Federation (FIP)

7. Peran BPOM
Jawaban:
 Melindungi kesehatan masyarakat dari risiko peredaran produk terapeutik, alat kesehatan, obat tradisional,
produk komplemen dan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keimanan dan khasiat, serta
produk pangan yang tidak aman dan tidak layak konsumsi.
 Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan yang salah satu dari produk obat, narkotik,
psikotropika, dan zat adiktif serta risiko akibat penggunaan produk dan bahan berbahaya.
 Mengembangkan obat asli Indonesia dengan mutu, khasiat, keamanan yang dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
 Memperluas akses obat bagi masyarakat luas dengan mutu yang tinggi dan harga yang terjangkau.

8. Nomor izin edar


Merupakan nomor izin yang dikeluarkan oleh BPOM. Tujuannya adalah, menjamin bahwa obat yang akan
diedarkan di pasaran sudah memenuhi persyaratan dan aman digunakan. Karena pada dasarnya, produsen perlu
memenuhi persyaratan yang ditentukan terlebih dahulu agar bisa mendapatkan NIE. Bentuknya berupa nomor
registrasi 15 digit. DKLxxxxxxxxxxxx

IZIN EDAR
Suatu obat dapat memperoleh ijin edar setelah melakukan prareg dan reg (bisa elektronik ataupun tertulis,
dengan persyaratan disusun sesuai format ACTD – ASEAN Common Technical Dossier)

Dokumen yang diserahkan: administrasi, informasi produk dan penandaan, dokumen mutu, non klinis serta
klinis.

Ijin edar diberikan kepada pendaftar yang memenuhi persyaratan administrasi dan teknis (eval efikasi,
keamanan, mutu, kemanfaatan dan penandaan). Berlaku selama 5 tahun, selama memenuhi ketentuan yang
berlaku, dapat diperpanjang. Jika tidak diperpanjang, obat tidak memiliki NIE.

Setelah IE keluar, pabrik wajib melakukan:


 produksi atau impor dan mengedarkan obat kurang dari 1 tahun sejak tanggal persetujuan dikeluarkan
 melaporkan pelaksanaan kegiatan
 menyerahkan kemasan siap edar (kemasan primer, sekunder, dan brosur) kpd KBPOM max 1 bulan sblm
mengedarkan

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
9. Manajemen pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan alat medis habis pakai
Rumah Sakit (PMK 58 2014) Apotek (PMK 35 2014) Puskesmas (PMK 30 2014)

a. pemilihan; a. perencanaan; a. perencanaan kebutuhan;


b. perencanaan kebutuhan; b. pengadaan; b. permintaan;
c. pengadaan; c. penerimaan; c. penerimaan;
d. penerimaan; d. penyimpanan; d. penyimpanan:
e. penyimpanan; e. pemusnahan; e. pendistribusian
f. pendistribusian; f. pengendalian; dan f. pengendalian;
g. pemusnahan dan penarikan; g. pencatatan dan pelaporan. g. pencatatan, pelaporan,
h. pengendalian; dan dan pengarsipan; dan
i. administrasi. h. pemantauan dan
evaluasi pengelolaan.

10. Standar Pelayanan kefarmasian


Rumah Sakit (PMK 58 2014) Apotek (PMK 35 2014) Puskesmas (PMK 30 2014)

a. pengkajian dan pelayanan a. pengkajian Resep; a. pengkajian resep, penyerahan


Resep; b. dispensing; Obat, dan pemberian informasi
b. penelusuran riwayat c. Pelayanan Informasi Obat Obat;
penggunaan Obat; (PIO); b. Pelayanan Informasi Obat
c. rekonsiliasi Obat; d. konseling; (PIO);
e. Pelayanan Kefarmasian di c. konseling;
d. Pelayanan Informasi Obat
rumah (home pharmacy care); d. ronde/visite pasien (khusus
(PIO);
f. Pemantauan Terapi Obat Puskesmas rawat inap);
e. konseling; (PTO); dan e. pemantauan dan pelaporan
f. visite; g. Monitoring Efek Samping efek samping Obat;
g. Pemantauan Terapi Obat Obat (MESO); f. pemantauan terapi Obat;
(PTO); g. evaluasi penggunaan Obat.
h. Monitoring Efek Samping
Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat
(EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat
dalam Darah (PKOD)

11. Nomor Reg dan persyaratan obat copy

no. Registrasi, persyaratan registrasi obat copy


Jawaban:
Nomor Registrasi:
Terdiri atas 15 digit
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Keterangan:
Digit 1  membedakan obat jadi.
D : untuk nama Dagang

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
G : untuk nama Generik
Digit 2  membedakan golongan obat.
N : obat Narkotika
P : obat Psikotropika
K : obat Keras
T : Obat Bebas Terbatas
B : Obat Bebas
H : Obat Hewan
Digit 3  membedakan jenis produksi
I : obat jadi Impor
E : obat jadi Ekspor
L : obat jadi Lokal
X : obat jadi untuk keperluan khusus
Digit 4, 5  membedakan tahun pendaftaran
Digit 6, 7, 8  menunjukkan nomor urut pabrik
Digit 9, 10, 11  menunjukkan nomor urut obat jadi disetujui untuk masing-masing pabrik
Digit 12, 13  menunjukkan bentuk sediaan obat jadi

Digit 14  menunjukkan kekuatan sediaan obat jadi


A : menunjukkan kekuatan sediaan obat jadi yang pertama disetujui
B : menunjukkan kekuatan sediaan obat jadi yang ke-2 disetujui
C : menunjukkan kekuatan sediaan obat jadi yang ke-3 disetujui, dst.
Digit 15  menunjukkan kemasan berbeda untuk tiap nama, kekuatan, dan bentuk sediaan obat
jadi, tidak lebih dari 10 kemasan.
1 : menunjukkan kemasan pertama
2 : menunjukkan beda kesan yang pertama
3 : menunjukkan beda kemasan yang ke-2
4 : menunjukkan beda kemasan yang ke-3, dst.
Persyaratan registrasi obat copy adalah sebagai berikut:
Nama obat
Dapat menggunakan nama generik atau nama dagang. Jika menggunakan nama generik sesuai
degan FI atau sesuai dengan INN yang ditetapkan WHO. Jika menggunakan nama dagang harus
memperhatikan hal-hal berikut:
Nama dagang harus objektif dan tidak menyesatkan
Satu nama dagang hanya dapat digunakan oleh satu IF pelik izin edar untuk obat dengan zat
aktif, indikasi dan golongan yang sama.
Nama dagang tidak boleh enggunakan selruhnya atau potongan nama generik
Nama dagang tidak boleh sama atau sangat mirip dalam hal bunyi atau penulisan dengan nama
dagang obat yang tercantum dalam ada nama obat jadi dengan zat aktif yang berbeda
Registrasi obat dilakukan pendaftar dengan menyerahkan dokumen registrasi, yang terdiri atas:
Bagian I : Dokumen Administratif, Informasi Produk (terdiri dari ringkasan karakteristik produk
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
dan informasi produk untuk pasien), dan Penandaan (etiket/label, strip/blister, ampul/vial, catch
cover/amplop, dan bungkus luar)
Bagian II : Dokumen Mutu
Bagian III : Dokumen Non-Klinik
Bagian IV: Dokumen Klinik
Obat Copy wajib dilakukan uji ekuivalensi atau uji disolusi terbanding
Pendaftar memiliki izin industri farmasi
Pendaftar memiliki sertifikat CPOB yang masih berlaku sesuai dengan jenis dan bentuk
sediaan yang di registrasi.

Tambahan:
kalau ditanya buku cokelat itu berarti buku tata laksana registrasi obat (BPOM). Yang sekarang
yang dipakai yang tahun 2011.

Registrasi obat dilakukan oleh pendaftar dengan menyerahkan dokumen


registrasi k e BPOM. Dokumennya apa saja cek di Peraturan KBPOM RI No.
HK.03.1.23.10.11.08481 tahun 2011 tentang kriteria dan tata laksana registrasi
obat (obat copy  kategori 2)

12. Syarat apt kalau kerja di industri alkes?


Jawaban:
Kalau dari peraturan perundang-undangan terkait Alkes dan PKRT:
Permenkes no 1189 tahun 2010 tentang produksi Alkes & PKRT
Permenkes no 1190 tahun 2010 tentang Izin Edar Alkes & PKRT
Permenkes no 1191 thn 2010 tentang PAK
Permenkes no 4 tahun 2014 tentang CDAKB
Dari peraturan perundang-undangan diatas ga menyebutkan terkait persyaratan apoteker. Yang aku dapat itu
untuk memproduksi alkes dan PKRT harus butuh sertifikat alkes dan PKRT. Klasifikasi sertifikat produksi alkes
dan PKRT masing –masing dibagi menjadi 3 kelas, yaitu kelas A, kelas B, dan kelas C. PJ teknis dalam
produksi yaitu sbb:
Sertifikasi Alkes
Kelas A  apoteker , atau sarjana lain sederajat dan D3 atem untuk elektromedik
Kelas B  D3 ( farmasi ,kmia ,tehnik sesuai bidangnya )
Kelas C  SMK farmasi atau sederajat
Sertifikasi PKRT
Kelas A  apoteker , atau sarjana lain sederajat dan D3 atem untuk elektromedik
Kelas B  D3 ( farmasi ,kmia ,tehnik sesuai bidangnya )
Kelas C  SMK farmasi atau sederajat

Intinya sih kalo apoteker mau kerja di Alkes setidaknya mengetahui berbagai regulasi terkait ALkes, mulai dari
produksi dan CDOB Alkes serta juga mempunyai wawasan mengenai berbagai jenis Alkes dan persyaratan
tentang Alkes yang dapat release di pasaran seperti apa.

13. Pekerjaan Kefarmasian


Jawaban:
Pekerjaan kefarmasian diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009.
Pekerjaan kefarmasian adalah:
o Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi
o Pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat
o Pengelolaan obat

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
o Pelayanan obat atas resep dokter
o Pelayanan informasi obat
o Pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.

Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian dapat meliputi:


o Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan farmasi
o Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi
o Pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran sediaan farmasi
o Pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi
PP 51, yg harus ada apoteker dari PP 51 di bagian mana saja?
- Produksi sediaan farmasi (industri farmasi minimal harus ada 3 apoteker PJ  Pemastian mutu,
produksi, pengawasan mutu. Industri OT dan pabrik kosmetik minimal 1 apoteker PJ)
- Distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat (minimal 1 apoteker PJ)
- Pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas, atau IFRS

14. Jenis fasilitas kefarmasian dari hulu ke hilir menurut PP No. 51 tahun 2009
Jawaban:
Jenis fasilitas/sarana kefarmasian berdasarkan PP No. 51 tahun 2009, yaitu:
o Fasilitas Produksi sediaan farmasi industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat
tradisional, pabrik kosmetika
o Fasilitas Distribusi sediaan farmasi  pedagang besar farmasi, penyalur alkes, instalasi sediaan farmasi
milik pemerintah, pemda provinsi, pemda kabupaten/kota
o Fasilitas Pelayanan kefarmasian  apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, dan
praktek bersama

(pustaka: Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang “Pekerjaan Kefarmasian”)

Jenis Fasilitas Kesehatan

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang selanjutnya disingkat FKTP adalah fasilitas kesehatan yang
melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan observasi, promotif,
preventif, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya.
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan yang selanjutnya disingkat FKRTL adalah fasilitas
kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang
meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan dan rawat inap di ruang perawatan khusus.

- Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Faskes I): pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh
puskesmas, klinik atau dokter umum. Disebut juga Faskes Primer.
- Fasilitas Kesehatan Tingkat Kedua (Faskes II): pelayanan kesehatan spesialistik oleh dokter spesialis
atau dokter gigi spesialis.
- Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKRTL): 1. Klinik utama atau yang setara, 2. Rumah Sakit
Umum, 3. Rumah Sakit Khusus.

15. DOWA

OWA: OK yang dapat diserahkan oleh Apoteker kpd pasien di apotek tanpa resep dokter. Dalam pelayanan
kepada pasien tersebut, apoteker diwajibkan memenuhi ketentuan dan batasan obat per pasien yang
disebutkan dalam OWA yang bersangkutan membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan,
memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, KI, ES, dll yang perlu diperhatikan pasien

KMK 347/1990, PMK 924/1993, KMK 1176/1999

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
16. Wewenang TTK dan Apoteker

 Menurut UU No. 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, posisi Asisten apoteker berubah. Asisten
Apoteker tidak lagi disebut Tenaga Kesehatan tetapi masuk sebagai Asisten Tenaga Kesehatan. Asisten
apoteker tidak dimasukkan tenaga kesehatan karena pendidikannya di bawah D3.
 Karena bukan Tenaga Kesehatan konsekuensinya Asisten Apoteker tidak dapat memperoleh Surat Tanda
Registrasi (STR) Tenaga Kesehatan. Penjelasan pasal 11 ayat 6 Draft UU Tenaga Kesehatan
menyebutTenaga Teknis Kefarmasian meliputi sarjana farmasi, ahli madya farmasi, dan analis
farmasi. Karena tidak termasuk Tenaga Teknis Kefarmasian, asisten apoteker tidak perlu lagi mengurus
STRTTK dan SIKTTK apabila bekerja di apotek.

17. Obat generik, dagang, dan paten


 Obat generik berlogo atau yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat jadi yang
menggunakan nama zat aktifnya (nama generik) yang diedarkan dengan mencantumkan logo khusus
penandaannya pada kemasan obat (Depkes RI, 1996) dan merupakan obat yang telah habis masa
patennya (off patent) sehingga dapat diproduksi oles semua perusahaan farmasi tanpa membayar royalti.
 Obat bermerek merupakan obat yang diberi merek oleh perusaaan farmasi pembuatnya
 Obat paten adalah obat yang baru ditemukann berdasarkan riset dan memiliki masa hak paten yang
tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No 14 Tahun 2001, masa berlaku hak paten di indonesia
adalah 20 tahun. selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif untuk
memproduksi obat tersebut di indonesia. Perusahaan lain tidak diperkenankan memproduksi atau
memasarkan obat serupa kecuali memiliki perjanjian dengan pemilik paten. Beberapa obat memiliki
masa paten lebih pendek, biasanya obat yang mempengaruhi kehidupan manusia seperti obat HIV atau
flu burung. Setelah masa paten habis, perusahaan farmasi lain dapat memproduksi obat yang sama
untuk dibuat generik atau obat merek dagang.

18. Obat itu apa?


Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
(Permenkes no 35 thn 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek)

Jenis sediaan farmasi?


obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
(Permenkes no 35 thn 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek)

Bedanya obat, bahan obat dan kosmetik.


Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
(Permenkes no 35 thn 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek)

Kosmetika adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis,
rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin luar, gigi, dan rongga mulut) untuk membersihkan, menambah daya
tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan, tetapi tidak
dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit.
(permenkes no 445 tahun 1998 tentang bahan, zat warna, substratum, zat pengawet dan tabir surya
pada kosmetika)

Bahan obat adalah bahan penyususn obat yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, dibuat oleh
industri farmasi yang memiliki izin dari menteri kesehatan.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Perbedaan:
Bahan obat : bahan penyusun obat
Obat : bahan atau paduan bahan yang dapat berfungsi untuk penyembuhan, pemulihan
kesehatan
Kosmetik : sediaan atau paduan bahan yang tidak dimaksudkan untuk menyembuhkan penyakit.

19. Kalau anda sudah jadi apoteker, ada sejawat anda yang ingin anda menggantikan dia jadi
apoteker penanggung jawab di apoteknya, boleh ngga? pertimbangan apa saja yang anda harus
perhatikan?
Boleh.
Pertimbangan yang harus diperhatikan:
- penggantian ini apakah bersifat sementara atau selamanya
- jika bersifat sementara, maka status saya adalah sebagai apoteker pengganti
apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola apotek selama apoteker
pengelola apoteker tersebut tidak berada di tempat > 3 bulan secara terus menerus.
Syarat menjadi apoteker pengganti adalah telah memiliki SIPA dan tidak bertindak sebagai apoteker
pengelola apotek di apotek lain.
Penunjukan tersebut harus dilaporkan kepada kepala dinkes kab/kota dengan tembusan kepada kepala
dinkes prov setempat.
Jika APA sebelumnya berhalangan tugas selama > 2 tahun maka SIA atas nama apoteker tersebut dicabut.
- Jika penggantian tidak bersifat sementara, maka hal yang harus diperhatikan adalah:
a. Kejelasan pertanggung jawaban obat-obatan, khususnya narkotika, psikotropika oleh apoteker
Sebelumnya
b. Tugas dan wewenang antara PSA dan apoteker jelas da nada bukti tertulis

20. Jelasin PBF


1. Berdasarkan permenkes tahun 2011, PBF adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin hanya untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau
bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan per UU-an dan teknis yang sesuai dengan
CDOB (ada sertifikat CDOB).
2. Setiap pendirian PBF wajib memiliki izin edar dari Direktur Jenderal.
3. Setiap PBF dapat mendirikan PBF cabang, PBF cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki
pengakuan dari Kepala Dinkes Provinsi di wilayah cabang PBF berada, hanya untuk pengadaan,
penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan per UU-an
dan teknis yang sesuai dengan CDOB (ada sertifikat CDOB).
4. Izin PBF berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang, begitu juga dengan PBF cabang mengikuti
jangka waktu izin PBF.
5. Setiap PBF dan PBF cabang harus memiliki apoteker PJ dan dilarang merangkap jabatan
sebagai direksi/pengurus PBF atau PBF cabang.

21. Apakah PBF sudah wajib punya CDOB? Berupa sertifikat atau berupa apa?
Permenkes No. 1148 tahun 2011 tentang Pedagang Besar Farmasi Pasal 15 ayat 1:
‘PBF dan PBF Cabang harus melaksanakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat dan/atau bahan
obat sesuai dengan CDOB yang ditetapkan oleh Menteri.’

PBF wajib memenuhi persyaratan CDOB, antara lain :


 Sebagai pemenuhan persyaratan izin, PBF memiliki ruang penyimpanan obat terpisah dari ruangan lain
yang sesuai CDOB.
 Dalam pengadaan Obat dan Bahan Obat, harus memenuhi CDOB
 Dalam penyaluran Bahan Obat, PBF memiliki Ruang pengemasan Ulang sesuai CDOB
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
 Dokumentasi PBF mengikuti Pedoman CDOB
Dalam Penyesuaian Izin PBF/Cabang PBF, melampirkan Rekomendasi Pemenuhan CDOB dari Ka
Badan POM

Penerapan CDOB pada PBF :


Dalam rangka perizinan  Pemenuhan CDOB
Sudah melakukan kegiatan  Sertifikat CDOB (Sertifikasi CDOB)

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
RUMAH SAKIT

1. Peraturan standar pelayanan RS? yang lama dan baru & perbedaannya?
Jawaban:
Standar Pelayanan Kefarmasian merupakan tolak ukur yang digunakan sebagai pedoman bagi tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
Standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit diatur dalam PMK no 58 thn 2014 tentang” Standar Pelayanan
Kefarmasian”, yang merupakan pembaharuan dari KMK no 1197 thn 2004 tentang” Standar Pelayanan
Kefarmasian”.
Perbedaan peraturan yang baru dengan yang lama adalah sebagai berikut:
KMK No 1197 thn 2004 PMK No 58 thn 2014
Tidak terdapat peraturan sistem satu pintu Pengelolaan sediaan farmasi, alkes, dan
BMHP dilakukan oleh IFRS sistem satu
pintu yaitu pengelolaan merupakan
tanggung jawab IFRS sehingga tidak ada
pengelolaan yang dilaksanakan selain oleh
IFRS.
Hanya tertuliskan kebutuhan apoteker ideal Terdapat perhitungan kebutuhan apoteker
di ruang rawat inap yaitu 1 apoteker : 30 berdasarkan beban kerja ideal yaitu 1
tempat tidur apoteker : 30 pasien untuk pelayanan rawat
inap dan 1 apoteker : 50 pasien untuk
pelayanan rawat jalan, serta diperlukan 1
apoteker masing-masing untuk di ruang
tertentu yaitu UGD;
ICU/ICCU/NICU/PICU; dan untuk PIO
Sandar pelayanan kefarmasian tidak dibagi Sandar pelayanan kefarmasian dibagi
secara gamblang, namun terdapat kegiatan menjadi 2 kegiatan yaitu:
sbb:  manajerial (pengelolaan sediaan
 Pengelolaan perbekalan farmasi farmasi, alkes, dan BMHP). Terdiri
o Pemilihan atas:
o Perencanaan o Pemilihan
o Pengadaan o Perencanaan
o Produksi o Pengadaan
o Penerimaan o Penerimaan
o Penyimpanan o Penyimpanan
o Pendistribusian o Pendistribusian
 Pelayanan kefarmasian dalam o Pemusnahan dan penarikan
penggunaan obat dan Alkes o Pengendalian
o Pengkajian resep o Administrasi
o Dispensing  Pelayanan farmasi klinis
o Pemantauan dan pelaporan ESO o Pengkajian dan pelayanan resep
o PIO o Penelusuran riwayat penggunaan
o Konseling obat
Kriteria pasien tidak menyebutkan o Rekonsiliasi obat
pasien gangguan ginjal, hati, ibu o PIO
hamil, dan ibu menyusui o Konseling
o PKOD o Visite
o Visite o PTO
o Pengkajian Penggunaan Obat o MESO
o EPO (Eval. Penggunaan Obat)
o Dispensing sed. Steril
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
o PKOD

Resep  permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun
electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.
Pemusnahan Resep
Untuk resep yang telah disimpan leih dari 5 (lima) tahun. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan
lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep menggunakan Formulir 2 sebagaimana terlampir
dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.

Resep narkotika ditebus di luar kota


Resep narkotika tidak boleh ditebus diluar daerah, boleh ditebus di luar daerah akan tetapi harus
melewati prosedur yang telah ditetapkan misalnya dengan legalisasi resep. Artinya, pasien boleh menebus
resep yang mengandung obat narkotika di daerah tujuan, asal ada persetujuan terhadap resep terkait dari dokter
pada daerah tujuan.

Skrining resep
Jawaban:
Skrining resep memiliki 3 aspek yaitu:
 Persyaratan administratif, meliputi:
 Nama Dokter, SIP, alamat dan nomor telp., dan paraf dokter
 Tanggal penulisan resep
 Nama, alamat, umur, jenis kelamin, BB/TB pasien
 Tanggal penulisan resep
 Kesesuaian farmasetik
 Nama obat, bentuk sediaan, kekuatan sediaan
 Jumlah obat
 Aturan, cara penggunaan, dan lama penggunaan
 Kesesuaian farmakologi
 Tepat indikasi, dosis, dan waktu penggunaan obat
 Alergi obat
 Interaksi obat
 Efek samping obat
 Kontraindikasi
 ROTD

Pelayanan Informasi Obat  kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi Obat oleh apoteker.
Harus akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif dari apoteker ke pasien atau tenaga professional kesehatan
lainnya PENGGUNAAN OBAT SUPAYA RASIONAL DAN EFEK YANG DIHARAPKAN
TERCAPAI.
Biasanya yang disampaikan : nama obat, untuk indikasi penyakit apa, aturan pemakaiannya (berapa kali sehari,
waktu penggunaan siang atau malam, setelah atau sebelum makan,terus missal kalo antibiotic ditegaskan untuk
digunakan teratur sampai obat habis)

2. Peran apoteker di RS
Jawaban:
 Berperan dalam manajemen perbekalan sediaan farmasi  Pemilihan, perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan & penarikan, pengendalian, administrasi.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
 Berperan dalam pelayanan farmasi klinis  konseling, visite, pengkajian dan pelayanan resep, evaluasi
penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, pemantauan terapi obat, monitoring efek
samping obat, pemantauan kadar obat dalam darah.
 Berperan dalam Panitia Farmasi dan Terapi  dalam perumusan kebijakan prosedur berkaitan dengan
obat dan terapi, perumusan formularium.
 Berperan dalam Manajemen Instalasi Farmasi Rumah Sakit  Menyusun prosedur tetap, mengelola
sumber daya (manusia, obat, peralatan, dan fasilitas) secara efektif dan efisien.
 Berperan dalam pendidikan dan penelitian  memberikan pembinaan dan edukasi SDM yang terlibat
dalam pelayanan, menyusun program orientasi staf baru, dan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk
SDM, melakukan penelitian secara mandiri atau berkontribusi dalam tim penelitian, sebagai fasilitator
pendidikan bagi anak PKL.

3. Penandaan LASA di rumah sakit


- Pastikan dengan teliti nama obat kategori LASA yang dipesan, mengenai nama dagang, nama
generik dan indikasi, serta kekuatan sediaannya.
- Berikan tanda khusus seperti “CAREFUL LASA” di sediaan yang memang termasuk dalam kategori
LASA.
- Letakkan obat kategori LASA berjauhan satu sama lainnya.
- Buatlah nama obat dengan label yang jelas misalnya dengan tall-man lettering, penebalan, atau
warna huruf yang berbeda misalnya PROneuroN vs FORneurO, ChlorproMAZINE vs
ChlorproPAMIDE.
- Hindari penulisan nama obat dengan singkatan.
- Berikan edukasi mengenai informasi obat, bukan hanya nama dagangnya saja, tetapi juga nama
generiknya, indikasi, kekuatan sediaannya, serta kemungkinan adanya LASA sehingga pasien dapat
lebih memperhatikan obat yang digunakan tersebut.
- Cross check kembali apakah obat yang ingin dibeli benar obat tersebut telah sesuai dengan yang
dimaksuddengan meyakinkan kembali nama dagangnya, nama generiknya, indikasi, dan kekuatan
sediaannya.
Pada dasarnya, penanganan LASA di Industri sama kaya di rumah sakit, sedikit perbedaannya :
1. Sediaan-sediaan dengan kategori LASA diproduksi dengan selang beberapa produk untuk
menghindari mixed up.
2. Satu sediaan dengan kandungan dan kekuatan sediaan yang sama harus disimpan di satu rak
yang sama, jangan sampai tercampurkan dengan yang lain terutama untuk sediaan LASA dan
diberi tanda keterangan LASA serta diberi label tall-Man pada merk dan kekuatan sediaan yang
ditempel di rak obat-obatan dengan kategori LASA.
3. Proses penyimpanan sediaan dengan kategori LASA harus dijauhkan satu sama lain, untuk
menghindari kesalahan saat pengambilan obat.

4. Apa perbedaan cara penyampaian ke dokter & perawat?


Jawab:
Perbedaannya mungkin lebih terletak pada konten yang disampaikan. Kepada dokter, informasi
yang disampaikan meliputi nama obat, indikasi dan kontraindikasi, mekanisme kerja obat, guideline
terapi, dosis dan aturan pakai, waktu dan lama pemberian, efek samping dan reaksi merugikan yang
mungkin muncul dan penanganannya, interaksi dengan obat lain atau makanan dan cara
penanganannya, dll.
Karena pada dasarnya dokter yang mempunyai hak dalam menuliskan obat di resep, maka focus
penekanan informasi yang harus diberikan adalah kea rah farmakologinya. Infokan tentang
kesesuaian pemilihan obat berdasarkan guideline terapi dengan ketersediaan obat di apotek/depo
farmasi,infokan tentang kemungkinan adanya interaksi obat dan juga efek samping dengan
prevalensi tertinggi.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Kepada perawat, informasi yang disampaikan meliputi nama obat, dosis dan aturan pakai, cara
penggunaan obat yang khusus, waktu pemberian, efek samping dan reaksi merugikan yang mungkin
muncul dan penanganannya, cara penyimpanan, cara mendeteksi obat yang sudah rusak.
Nah, kalo perawat kan pekerjaannya lebih kea rah pemberian obat kepada pasien, maka penekanan
informasinya lebih kea rahcara penggunaan obat dan handling dari obat tersebut, seperti cara
penyiapan dan penyimpanan obat di Unit-unit pelayanan.

5. Bagaimana jika obat kita ingin dimasukkan ke formularium rumah sakit?


Jawab:
Melalui PFT (Panitia Farmasi & Terapi) di RS, dimana PFT berfungsi mengevaluasi, menyetujui,
atau menolak obat yang diusulkan untuk dimasukkan/dikeluarkan dari formularium RS (dalam rapat
PFT). Kriteria penerimaan seperti faktor pola penyakit, faktor obat (ROM, rute, cara penyiapan,
penyimpanan, dll), faktor harga, pertimbangan pengalaman klinis, produsen dengan reputasi baik,
komposisi produk, tersedia dan mudah diperoleh, rasio cost benefit, dll.

Formularium nasional Formularium yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah formularium


Nasional, sebagaimana diatur oleh Kemenkes No 328 Th 2013.
Fornas  daftar obat terpilih yang diperlukan dan harus tersdian di Pelayanan Kesehatan untuk
memenuhi JKN.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
6. Saat sedang melakukan PTO, data apa saja yang dilihat pada rekam medik?
Jawab:
Rekam medik berisi data demografi pasien, keluhan utama, riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat, riwayat
keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik dan laboratorium, diagnosis, terapi, catatan terintegrasi mengenai
perkembangan pasien dan tindakan/saran, catatan/kartu pengobatan saat ini, dokumen status pasien seperti:
tanggal masuk/keluar RS, keterangan kondisi pasien saat keluar dari RS, status pembayaran (umum/BPJS), dll.
Data yang dilihat untuk melakukan PTO antara lain diagnosis, keluhan, riwayat penggunaan obat, catatan/kartu
penggunaan obat saat ini, catatan terintegrasi tentang perkembangan pasien (kalau di RSHS, bagian ini diisi
bareng oleh dokter, apoteker, perawat, nutrisionis. Bentuknya SOAP), data laboratorium dan hasil pemeriksaan
fisik, status pembayaran.

7. Swamedikasi

Yaitu pengobatan yang dilakukan sendiri oleh pasien. Swamedikasi dilakukan untuk mengatasi penyakit
ringan yang sering dialami oleh masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, flu, maag, cacingan, diare,
penyakit kulit. Obat yang relatif aman digunakan untuk swamedikasi adalah obat bebas, obat bebas terbatas, dan
obat keras yang masuk ke dalam DOWA (harus diserahkan oleh apoteker di apotek).

Pasien perlu diberikan informasi tentang obat2an yang digunakan dalam swamedikasi oleh apoteker. Hal ini
dilakukan karena swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan akibat keterbatasan
pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya. Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi
obat yang tepat kepada masyarakat agar masyarakat terhindar dari drug abuse dan salah pengunaan obat.

8. Konseling
Perbedaan dengan PIO adalah konseling dilakukan terhadap pasien yang perlu diberikan konseling (penyakit
kronis, cara penggunaan khusus, pasien khusus), dan PIO diberikan setiap pemberian obat kepada pasien.
Informasi yang diberikan yaitu nama, indikasi, aturan pakai, ES yang mungkin terjadi, dan cara penyimpanan.

Langkah2 Konseling:
1) Perkenalan dan identifikasi pasien
2) Izin dan beritahukan tujuan konseling
3) Ases data pasien
4) Tanyakan 3 prime question (Obat yang diberikan, cara penggunaan, harapan)
5) Diskusi informasi yang diperlukan
6) Eval Pemahaman
7) Akhiri Konseling

3 Prime Question:
Apa yang Anda ketahui tentang obat tsb dan alasan peresepan (nama, indikasi)?
Bagaimana Anda mengonsumsi obat tsb? (dosis, frekuensi, lama terapi, penyimpanan, yg harus dihindari)
Apa yang Anda harapkan dari obat tsb? (manfaat, ES, onset kerja)

9. Kategori obat untuk ibu hamil


Pengkategorian untuk ibu hamil ditentukan oleh FDA, dengan definisi kategori sebagai berikut:
A: Umumnya aman, uji terkontrol pada ibu hamil menunjukkan tidak ada bukti risiko pada fetus.
B: Dapat digunakan. Baik uji pada hewan menunjukkan tidak berisiko tapi uji pada manusia tidak tersedia, atau
studi pada hewan menunjukkan risiko minor dan uji pada manusia tidak menunjukkan adanya risiko.
C: Gunakan dengan perhatian jika manfaat lebih banyak dari risiko. Studi pada hewan menunjukkan risiko dan
studi pada manusia belum ada, atau studi belum dilakukan baik pada hewan maupun manusia.
D: Gunakan pada kondisi darurat yang MENGANCAM NYAWA, ketika tidak tersedia obat yang lebih aman.
Terdapat bukti risiko pada fetus manusia.
X: Jangan gunakan pada kehamilan. Risiko yang terjadi melebihi potensi manfaat. Ada alternatif yang lebih
aman.
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
NA: Informasi tidak tersedia.

10. Dispensing
Dispensing obat proses kegiatan yg terdiri dari menerima dan memvalidasi resep obat, mengerti dan
menginterpretasikan maksud resep yang dibuat dokter, membahas solusi masalah yang terdapat dalam resep
bersama-sama dengan dokter penulis resep, mengisi Profil Pengobatan Penderita (P-3), menyediakan atau
meracik obat, memberi wadah dan etiket yang sesuai dengan kondisi obat, merekam semua tindakan,
mendistribusikan obat kepada Penderita Rawat Jalan (PRJ) atau Penderita Rawat Tinggal (PRT), memberikan
informasi yang dibutuhkan kepada penderita dan perawat.

11. Klasifikasi Rumah Sakit


Klasifikasi
Rumah Sakit

Berdasarkan Berdasarkan Berdasarkan


fasilitas&kemamp
Pengelolaan Afiliasi
uan pelayanan
Pendidikan kesehatan

Publik  Privat  dikelola Rumah Sakit Rumah Sakit Rumah Sakit Rumah Sakit
oleh badan Umum Khusus
dikelola oleh Pendidikan Non
hukum dengan
pemerintah tujuan profit Pendidikan Kelas A, B, C Kelas A, B dan
dalam bentuk PT
dan D C

12. Medication error adalah setiap peristiwa yang dapat menyebabkan penggunaan obat tidak tepat
atau membahayakan pasien saat pengobatan berada dalam kontrol profesional kesehatan, pasien,
atau konsumen. Peristiwa tersebut mungkin terkait dengan praktek profesional, produk perawatan
kesehatan, prosedur, dan sistem, termasuk peresepan; komunikasi; label produk, kemasan; peracikan;
distribusi; administrasi; edukasi; monitoring; dan menggunakan.
Contoh: Pembuatan/penyiapan yg keliru (LASA), Teknik pemberian keliru (Suppositoria tanpa
informasi yg tepat), dll.

Kategori Medication error


No Error A Ada kapasitas/kondisi yang dapat menyebabkan kesalahan

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Error, No Harm B Ada kesalahan, tapi obat belum (tidak) sampai ke pasien

C Ada kesalahan, sampai ke pasien tapi tidak menyebabkan kerusakan

D Ada kesalahan dan menyebabkan perlunya peningkatan pemantauan pasien


tapi tidak ada kerusakan
Error, Harm E Kesalahan terjadi dan menyebabkan perlunya penanganan (intervensi)
serta terjadi kerusakan temporer pada pasien
F Kesalahan terjadi dan menyebabkan bertambahnya waktu dirawat di RS
serta terjadi kerusakan temporer pada pasien
G Kesalahan terjadi dan menyebabkan kerusakan pasien yang permanen

H Kesalahan terjadi dan menyebabkan pasien hampir meninggal (syok


anafilaksis, ‘cardiac arrest’, dll.)
Error, Death I Terjadi kesalahan dan pasien meninggal

13. Pengadaan obat di rumah sakit


a. Pembelian
 Pelelangan umum
 Pelelangan terbatas
 Penunjukan langsung
 Pemilihan langsung
 Pembelian langsung
b. Produksi
Kriteria obat yang di produksi:
 Tidak ada dipasaran
 Lebih murah jika diproduksi sendiri
 Formula khusus
 Kemasan lebih kecil
 Untuk penelitian
 Sediaan yang harus dibuat baru (fresh)
c. Sumbangan/Droping/hibah
Sumber:
 Pemerintah
 Negara lain
 Lembaga swasta internasional atau Lembaga donor internasional

14. Penanganan efek samping,


Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:
a. mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);
b. mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami ESO;
c. mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
d. mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Tim Farmasi dan Terapi;
e. melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
INDUSTRI

1. Cara pembuatan obat, kelas-kelas ruangan pembuatan obat (nimbang dmn, filling dmn?)
Jawab:
Tergantung sediaan dan metode pembuatannya.
Kelas A, B, C, D  kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk steril
Kelas E  kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk nonsteril
Kelas F  ruang pengemasan sekunder
Kelas G  gudang
Untuk produk sterilisasi akhir  penyiapan bahan awal di kelas D, penyiapan produk dengan risiko
kontaminasi tinggi di kelas C, pengisian di kelas C, pengisian produk dengan risiko kontaminasi
tinggi di kelas A/C
Untuk produk aseptik  penanganan bahan awal setelah pencucian di kelas D (jika bahan awal dan
komponennya disterilkan di awal  kelas A/B), pembuatan larutan di kelas C (yang akan
disterilisasi filtrasi) atau di kelas A/B (untuk larutan, jika tidak dilakukan filtrasi), penanganan dan
pengisian di kelas A/B untuk produk yang dibuat aseptik atau berupa salep/krim/suspensi/emulsi
steril yang tidak dilakukan penyaringan.

2. Bagaimana jika metode pembuatan yang dilakukan tidak sesuai kompendial?


Jawab: metode harus divalidasi terlebih dahulu. Parameter validasi: presisi, akurasi, LOD (limit of
detection), LOQ (limit of quantification).

3. Ada apa saja dokumen CPOB?


Jawab: (CPOB 2012 bab DOKUMENTASI)
- Dokumen spesifikasi: bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan, produk
jadi.
- Dokumen produksi: dokumen produksi induk, prosedur produksi induk (prosedur pengolahan
induk dan prosedur pengemasan induk), catatan produksi bets (catatan pengolahan bets dan
catatan pengemasan bets)
- Prosedur dan catatan: penerimaan, pengambilan sampel, pengujian, lain-lain (mis. Prosedur
pelulusan/penolakan, distribusi bets, catatan tindakan, pengoperasian alat, dll)
Sebutkan CPOB, bedanya CPOB yg sekarang dan terdahulu.
Jawaban:
CPOB 2012 merupakan penyempurnaan dari CPOB 2006.
Penjabaran aspek dan ruang lingkup di CPOB 2006 dijelaskan secara garis besar sedangkan pada CPOB
2012, dijabarkan secara terperinci. Selain itu, terdapat beberapa klausul tambahan di CPOB 2012 yang
sebelumya tidak ada di CPOB 2006.
CPOB 2006 CPOB 2012
Aspek & R.lingkup, terdiri dari 12 bab: Aspek & R.lingkup, terdiri dari 12 bab:
1. Manajemen mutu 1. Manajemen mutu
2. Personalia 2. Personalia
3. Bangunan & fasilitas 3. Bangunan & fasilitas
4. Peralatan 4. Peralatan
5. Sanitasi & Hygine 5. Sanitasi & Hygine
6. Produksi 6. Produksi
7. Pengawasan mutu 7. Pengawasan mutu
8. Inspeksi diri & audit mutu 8. Inspeksi diri dan audit mutu &
9. Penanganan keluhan terhadap produk, persetujuan pemasok
penarikan kembali produk, dan produk 9. Penanganan keluhan terhadap produk
kembalian dan penarikan kembali produk
10. Dokumentasi 10. Dokumentasi
11. Pembuatan & analisis berdasarkan 11. Pembuatan & analisis berdasarkan
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
kontrak kontrak
12. Kualifikasi & validasi 12. Kualifikasi & validasi
Anneks. Terdapat 7 anneks: Anneks. Terdapat 14 anneks:
1. Pembuatan produk steril 1. Pembuatan produk steril
2. Produksi produk biologi 2. Produksi obat produk biologi
3. Pembuatan gas medisinal 3. Pembuatan gas medisinal
4. Pembuatan inhalasi dosis terukur 4. Pembuatan inhalasi dosis terukur
bertekanan (aerosol) bertekanan (aerosol)
5. Pembuatan produk darah 5. Pembuatan produk dari darah atau
6. Pembuatan obat investigasi untuk uji plasma manusia
klinis 6. Pembuatan obat investigasi untuk uji
7. Sistem terkomputerisasi klinis
7. Sistem terkomputerisasi
8. Cara pembuatan bahan baku aktif
obat yang baik
9. Pembuatan radiofarmaka
10. Penggunaan radiasi pengion dalam
pembuatan obat
11. Sampel pembanding & sampel
pertinggal
12. Cara penyimpanan & pengiriman
obat yang baik
13. Pelulusan paramedis
14. Manajemen resiko mutu

4. Peran apoteker di Industri


Jawaban:
Peran apoteker di industri sebagai 8th star of pharmacist:
 Care giver: pemberi pelayanan dalam bentuk informasi obat.
 Decision maker: sebagai pengambil keputusan yang tepat dalam mengefisienkan dan mengefektifkan
sumber daya yang ada di industri.
 Comunicator: Memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik secara lisan maupun tulisan.
 Leader: apoteker sebagai pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam mengatasi berbagai
permasalahan di Industri dan memberikan bimbingan ke bawahannya dalam mencapai sasaran Industri.
 Manager: sebagai pengelola sumber daya yang ada di Industri Farmasi dan mampu mengakumulasikannya
untuk meningkatkan kinerja industri dari waktu ke waktu.
 Long-life learner: Belajar terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan sesuai
perkembangan IPTEK.
 Teacher: Bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan dunia industri
kepada teman sejawat apoteker dan lainnya.
 Researcher: Melakukan penelitian dalam mengembangkan produk obat baru yang lebih baik dan bermanfaat
untuk kesehatan masyarakat.
Peran Apoteker sebagai penanggung jawab produksi:
 Bertanggung jawab atas terselenggaranya pembuatan obat agar obat tersebut memenuhi persyaratan
kualitas yang ditetapkan dan dibuat dengan memperhatikan pelaksanaan CPOB, dalam batas waktu dan
biaya produksi yang ditetapkan.
Peran Apoteker sebagai penanggung jawab Pengawasan Mutu (Quality Control)
 Bertanggung jawab untuk memberikan kepastian bahwa bahan awal, produk antara, produk ruahan,
dan produk jadi memiliki mutu yang konsisten yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
 Tambahan  Kegiatan QC antara lain: kegiatan analisis di laboratorium, termasuk pengambilan sampel,
pemeriksaan dan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini juga
mencakup uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi,
penanganan sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan, produk serta metode
pengujiaannya.
Peran Apoteker sebagai penanggung jawab Pemastian Mutu (Quality Assurance)
Bertanggung jawab terhadap memastikan bahwa seluruh pelaksanaan proses produksi, pemenuhan sarana
penunjang produksi dan pelulusan obat jadi serta hal-hal lain yang dapat mempengaruhi mutu obat
seperti personal , sanitasi dan higiene, bangunan, sarana penunjang, dll memenuhi persyaratan dan spesifikasi
yang ditetapkan.
 Memastikan mutu produk sesuai standar acuan nasional/internasional (BPOM, WHO)
 Mengendalikan proses pembuatan obat guna mencegah pelulusan produk yang tidak sesuai
 Bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan yang berkaitan dengan mutu produk

PENTING
QMS-QA-GMP-QC

Manajemen kualitas adalah “sebuah sistem manajemen strategis terpadu yang melibatkan semua staf dan
menggunakan metode-metode kualitatif dan kuantitatif untuk terus meningkatkan proses-proses di dalam
organisasi demi memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan pelanggan”. QMS diperlukan dalam
suatu industri untuk mengatur atau mengelola seluruh komponen atau sumber daya yang ada di dalam industri
farmasi agar tujuan mutu, yaitu jaminan terhadap khasiat,keamanan dan kualitas produk dapat tercapai.

QA (Quality Assurance) : tugasnya memahami specification customer dan standard yang berhubungan
dengan produk, kemudian membuat / menentukan cara inspectionnya (berupa prosedur) dan mendokumentasi
hasil inspectionnya (manufacturing data report). QA lebih banyak paper work, umumnya memiliki skill
inspection yang baik dan skill menulis procedure dan familiar dengan engineering & industrial standards.

QC (Quality Control) : tugasnya melakukan inspection berdasarkan prosedur yang dibuat dan disahkan oleh
QA. QC lebih banyak melakukan inspection pada process manufacturing dan membuat laporannya

5. Persyaratan ruang produksi


Jawaban:
 Untuk memproduksi antibiotik tertentu (misal gol. Penisilin), hormon tertentu (misal hormon seks),
sitotoksik tertentu, produk yang memiliki bahan aktif potensi tinggi, dan produk non-obat  hendaklah
diproduksi di bangunan terpisah. Untuk produk yang diklasifikasikan sebagai racun (pestisida dan herbisida)
tidak boleh dibuat di fasilitas pembuatan obat.
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
 Tata letak ruang yang saling berhubungan mengikuti urutan tahapan produksi dan menurut kelas kebersihan
yang dipersyaratkan.
 Luas area kerja memadai, terdapat area khusus untuk menyimpan bahan dan in process products (produk
antara), terdapat area untuk menyimpan peralatan. Tujuannya agar memperkecil risiko kekeliruan atau
kesalahan serta pencemaran silang.
 Permukaan dinding, lantai, langit-langit area produksi  halus, bebas retak, bebas sambungan terbuka, tidak
melepaskan partikular, mudah dibersihkan.
 Konstruksi lantai dari bahan kedap air, permukaan rata. Tidak ada sudut antara dinding dengan lantai
(berbentuk lengkungan).
 Terdapat lubang udara masuk dan keluar yang dipasang sedemikian rupa untuk mencegah pencemaran.
 Terdapat sistem pengendali udara sebagai pengendali suhu, kelembaban, dan tekanan yang terpantau secara
teratur untuk mencegah pencemaran dan pencemaran silang.
Rekomendasi sistem tata udara untuk tiap kelas kebersihan
kelas Ventilasi
Bag. dari oC %RH Efisiensi Pertukaran Keterangan
bangunan filter udara /jam
A Di bawah 16 - 45 – H14 Satu arah  Pengolahan dan
aliran udara 25 55 (99,995%) dgn kec. pengisian aseptis
laminer 0.36 – 0.54  Pegisian salep mata
m/dt steril
 Pengisian bubuk steril*
 Pengisian suspensi steril
B Ruang steril 16 - 45 – H14 Aliran  Latar belakang kelas A
25 55 (99,995%) udara utk pengolahan dan
turbulen pengisian aseptis
dgn
pertukaran
min. 20x
C Ruang steril 16 - 45 – H13 (99,95%) Min. 20x  Pembuatan larutan bila
25 55 ada risiko diluar
kebiasaan
 Pengisian produk yang
akan di sterilisasi akhir
 Pembuatan larutan yang
akan disterilisasi dengan
filtrasi di kelas A/B
D Bersih 20 - 40 – F8 (75%) atau Min. 20x  Pembuatan obat steril
27 60 90% dengan sterilisasi akhir
ASHRRAE
52/76. Bila
menggunakan
single pass
(100% fresh
air)

H13 (99,95%)
Bila
menggunakan
sistem
resirkulasi 
ditambah
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
make up air
(10-20% fresh
air)
E Umum 20 - Maks. F8 (75%) atau 5 - 20  Ruang pengolahan dan
27 70 90% pengemasan primer obat
ASHRRAE nonsteril, pembuatan
52/76. Bila salep kecuali salep mata
menggunakan
single pass
(100% fresh
air)

H13 (99,95%)
Bila
menggunakan
sistem
resirkulasi 
ditambah
make up air
(10-20% fresh
air)
E Khusus 20 - Maks. F8 (75%) atau 5 - 20  Pengolahan bahan
27 40 90% higroskopis
ASHRRAE
52/76. Bila
menggunakan
single pass
(100% fresh
air)

H13 (99,95%)
Bila
menggunakan
sistem
resirkulasi 
ditambah
make up air
(10-20% fresh
air)
F Pengemasan 20 - TD TD TD 
sekunder 28
Ket:
TD  Tidak diklasifikasikan
*  untuk produk tertentu, kelembaban ruangan dapat memepengaruh material flow pada waktu pengisian
bubuk steril sehingga memerlukan kelembabab nisbi < 40%

Klasifikasi kebersihan ruang pembuatan obat


Kelas Ukuran partikel
Non-operasional Operasional
≥ 0.5 μm ≥ 5 μm ≥ 0.5 μm ≥ 5 μm
A 3.520 20 3.520 20
B 3.520 29 352.000 2.900
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
C 352.000 2.900 3.520.000 29.000
D 3.520.000 29.000 Tidak Tidak
ditetapkan ditetapkan
E 3.520.000 29.000 Tidak Tidak
ditetapkan ditetapkan
Keterangan:
Kelas A, B, C dan D adalah kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk steril
Kelas E adalah kelas kebersihan untuk pembuatan produk non-steril
(pustaka: CPOB 2012 dan POPP-CPOB 2013)

6. Pengemasan
Jawaban:
Bahan Pengemas
 Bahan pengemas primer, bahan pengemas cetak serta bahan cetak lain disimpan di ruang dengan kondisi
keamanan yang memadai. Bahan label disimpan di tempat terkunci.
 Bahan pengemas primer, bahan pengemas cetak, atau label yang tidak terlalu lagi  dimusnahkan dan
pemusnahannya dicatat. Bahan yang hendak dimusnahkan di letakkan di tempat terpisah dari sistem
persediaan dan diberi label “ditolak” agar menghindari kesalahan pengambilan bahan kemas.
 Yang boleh dimasukkan ke dalam ruang kodifikasi pada saat yang sama hanya bahan pengemas cetak atau
bahan cetak yang akan dipakai untuk satu bets dari satu sediaan dan dari satu produk yang bersangkutan untuk
menghindari kecampurbauran.

Kegiatan pengemasan:
Kegiatan pengemasan dilaksanakan di bawah pengendalian yang ketat untuk menjaga identitas, keutuhan dan
mutu produk akhir yang dikemas. Pada proses pengemasan, produk yang berbeda tidak boleh dikemas
berdekatan kecuali ada pemisahan dengan memberi sekat minimal 1.5m dari lantai.
Sebelum melakukan pengemasan  “Line Clearance” = dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa area
kerja, peralatan, dokumen (yg tidak diperlukan) telah bersih serta bebas dari produk lain. Kesiapan jalur
pengemasan dilaksanakan sesuai daftar periksa yang tepat.
Setiap menerima produk ruah, bahan pengemas dan bahan cetak lain diperiksa dan diverifikasi kebenarannya
terhadap PPI atau instruksi terlebih dahulu.
Diakhir proses pengemasan dilakukan proses rekonsiliasi. Bila selama rekonsiliasi ditemukan perbedaan yang
signifikan atau tidak normal antara jumlah produk ruahan dan bahan pengemas cetak dibandingkan terhadap
jumlah unit yang diproduksi, maka sebelum diluluskan hendaklah dilakukan investigasi dan
pertanggungjawaban secara memuaskan terlebih dahulu.
Setelah rekonsiliasi disetujui, produk jadi hendaklah ditempatkan di area karantina produk jadi sambil
menunggu pelulusan dari kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).

7. Expire Date
Jawaban:
Masa kadaluwarsa obat dapat ditentukan dari beberapa aspek, antara lain stabilitas obat, Expirate Date dari
zat aktif yang digunakan, produk kompetitor, dan literatur standar.
Indikator stabilitas obat sendiri merupakan aspek utama pembuktian untuk penentuan masa kadaluwarsa suatu
produk obat yang dihasilkan. Dalam stabilitas obat, item pengamatan yang menjadi standar dalam penelitian
obat adalah warna, bau, bentuk, rupa, kadar zat aktif/potensi, waktu hancur obat, kelembaban, dan disolusi obat.
Obat dikatakan kadaluwarsa jika salah satu atau keseluruhan dari item test tersebut diluar dari batas yang telah
ditetapkan.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
8. Terkait pelaporan efek samping ditangani siapa di industri, proses pengkajiannya seperti apa,
apabila dilaporkan sediaan kita menimbulkan efek parah pada suatu pasien tindakan yg
dilakukan oleh industri apa?
Jawaban:
Yang menangani terkait pelaporan efek samping obat dapat dilakukan oleh bagian Pemastian mutu atau bagian
lain yang ditunjuk bertanggungjawab untuk menangani keluhan dan memberikan tindakan. Atau yang menerima
keluhan adalah bagian pemasaran namun penanganan dan memberi tindakan bagian pemastian mutu.

Proses penanganan pelaporan efek samping:


1. Mencatat tiap keluhan yang diterima
2. Melakukan penilaian keluhan berdasarkan kategori teknis (terkait mutu produk seperti kondisi fisik,
kimiawi, mikrobiologi, penampilan) dan kategori farmakologi (misalnya efek samping obat (adverse
reaction) yang bersifat unexpected serius & non-serius atau expected serius).
3. Apabila bersifat serius, melakukan penghentian distribusi dan melakukan penarikan obat TMS
4. Melakukan investigasi penyebab dan cakupan produk TMS dengan pemeriksaan pada sampel pertinggal
dengan bets yang sama
5. Melakukan analisis resik terhadap keamanan obat
6. Tindakan CAPA
7. Membuat laporan hasil pengujian dan penyelidikan dan memberi laporan kepada BPOM

9. Apabila sediaan kita dilaporkan rusak apa tindakan yg dilakukan?


Jawaban:
1. Mencatat keluhan yang diterima
2. Melakukan penilaian keluhan berdasarkan kategori teknis atau farmakologi. Karena soalnya dilaporkan
bahwa obat rusak, maka termasuk kategori teknis (mutu obat).
3. Melakukan investigasi penyebab dan cakupan produk TMS
4. Melakukan analisis risiko tehadap keamanan obat
5. Melakukan penilaian klasifikasi recall :
a. Recall kelas 1  obat apabila digunakan dapat menyebabkan efek serius terhadap kesehatan yang
berpotensi menyebabkan kematian. Misalnya:
i. Telah memiliki izin edar yg tidak memenuhi pesyaratan keamanan
ii. Terkontaminasi mikroba pada obat injeksi dan OTM
iii. Terkontaminasi kimia yg berefek serius
iv. Label tidak sesuai kandungan atau kekuatan ZA
v. Ketercampuran obat dalam lebih dari satu wadah
vi. Kandungan ZA salah dalam obat Multi komponen yang menyebabkan efek serius
b. Recall kelas 2  bila digunakan dapat menyebabkan penyakit atau pengobatan keliru yang
efeknya bersifat sementara terhadap kesehatan dan bisa pulih kembali. Misalnya:
i. Label tidak lengkap atau salah cetak
ii. Brosur atau leaflet salah informasi atau tidak lengkap
iii. Kontaminasi mikroba pada obat non-steril
iv. Kontaminasi kimia atau fisika (zat pengotor atau partikular, kontaminasi silang)
v. Tidak memenuhi spesifikasi keseragaman kandungan, keragaman obat, uji disolusi, uji
potensi, pH, stabilitas
vi. Kadaluwarsa
c. Recall kelas 3  tidak menimbulkan bahaya signifikan terhadap kesehatan tetapi karena alasan
lain yang tidak termasuk kelas 1 dan kelas 2. Misalnya:
i. Tidak ada nomor betas atau tanggal kadaluwarsa
ii. Tidak memenuhi spesifikasi waktu hancur, volume terpindahkan, dll
iii. Penutup kemasan rusak
iv. Obat TMS yg tidak termasuk kelas 1 dan kelas 2
6. Tindakan CAPA dan penarikan kembali sesuai kelas recall
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Pelaporan kepada BPOM

10. Peraturan yg mengatur pengkajian efek samping di industri?


Jawaban:
Peraturan yang mengatur pengkajian efek samping di industri  PMK nomor 1799 tahun 2010 tentang
“Industri Farmasi”, pasal 9 yaitu Industri Farmasi wajib melakukan farmakovigilans.
Ketentuan farmakovigilans diatur oleh kepala badan dengan PerKa BPOM Nomor HK 03.1.23.12.11.10690
tahun 2011 tntang “Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Farmasi.

Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek
samping atau masalah lainnya terkait penggunaan obat.
Kegiatan ini dilakukan untuk memantau aspek keamanan obat pasca pemasaran sehingga dapat mengetahui
efektivitas dan keamanan penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktek klinis yang sebenarnya.
Apabila IF menemukan obat hasil produksi nya TMS keamanan, khasiat, dan mutu, maka IF wajib melaporkan
hal tersebut kepada kepala BPOM.
Jenis pelaporan pada penerapan farmakovigilans:
 Pelaporan spontan
 Pelaporan berkala pasca pemasaran
 Pelaporan studi keamanan pasca pemasaran
 Pelaporan publikasi/literatur ilmiah
 Pelaporan tindak lanjut regulator badan otoritas negara lain
 Pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain
Pelaporan dari perencanaan manajemen risiko

11. Alat yg digunakan untuk uji waktu hancur?


Jawaban:
Alat uji waktu hancur
Terdiri atas rangkaian keranjang, gelas piala berukuran 1000 ml, termostat, dan mesin penggerak keranjang
dengan frekuensi yang tetap antara 29 sampai 32 kali.
Rangkaian keranjang terdiri dari 6 tabung transparan yang kedua ujungnya terbuka dengan sisi bawah terdapat
kasa baja tahan karat dengan ukuran 10 mesh.
Uji waktu hancur bertujuan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang tertera dalam masing-
masing monografi.

12. Disolusi
Jawaban:
 Disolusi  adalah pelepasan senyawa obat dari sediaan dan melarut dalam media pelarut
 Laju disolusi  adalah jumlah zat aktif yang dapat larut dalam waktu tertentu pada kondisi antar permukaan
cair-padat, suhu, & komposisi media yang dibakukan.
 Larutan  adalah zat yang terdispersi secara molekuler
 Uji disolusi bertujuan untuk  menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam
masing-massing monografi untuk sediaan yang digunakan secara oral
 Alat Disolusi, di FI ada 4 jenis. Yaitu:
o Alat 1: tipe keranjang
o Alat 2: tipe dayung
o Alat 3: Silinder kaca olak balik
o Alat 4: sel yang dapat dialiri
Alat uji yang umum digunakan adalah jenis 1 dan 2.
13. Jenis-jenis suhu penyimpanan obat
Jawab: (FI V)
- Lemari pembeku  -20 s/d -10ᵒ C

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
- Dingin/Lemari pendingin  tidak > 8ᵒC 2-8ᵒ C
- Sejuk  8-15ᵒ C
- Suhu ruang  tidak > 30ᵒ C
- Suhu ruang terkendali  20-25ᵒ C, dengan toleransi penyimpangan antara 15 dan 30ᵒ C

14. Perluasan Industri FarmasiSyarat harus sertifikasi CPOB


Perubahan bermakna terhadap persyaratan CPOB (kapasitas dan/atau fasilitas produksi) WAJIB
mendapat permohonan persetujuan Kepala BPOM.
Meliputi perubahan :
1. Kapasitas produksi (perubahan ruangan, peralatan)
2. Sistem tata udara dan/atau pengolahan air
3. Peralatan yang berdampak langsung pada sterilitas produk
4. Vendor biologis untuk proses pembuatan produk biologi
5. Penambahan gudang (di luar alamat yang tercantum pada izin IF)

15. Sistem Tata Udara (AHU/HVAC)


Sistem Tata Udara atau yang lebih sering dikenal dengan AHU (Air handling Unit) atau HVAC
(Heating, Ventilating and Air Conditioning), memegang peran penting dalam industri farmasi.
Sistem Tata Udara adalah suatu sistem yang mengondisikan lingkungan melalui pengendalian suhu,
kelembaban nisbi, arah pergerakan udara dan mutu udara – termasuk pengendalian partikel dan pembuangan
kontaminan yang ada di udara (seperti ‘vapors’ dan ‘fumes’).
Disebut “sistem” karena AHU terdiri dari beberapa mesin/alat yang masing-masing memiliki fungsi
yang berbeda, yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu sistem tata udara yang dapat
mengontrol suhu, kelembaban, tekanan udara, tingkat kebersihan, pola aliran udara serta jumlah pergantian
udara di ruang produksi sesuai dengan persyaratan ruangan yang telah ditentukan.

16. Pembuatan WFI:

Syarat wfi

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
17. LAF
Laminar Air Flow adalah meja kerja steril untuk melakukan kegiatan inokulasi/ penanaman.

18. KCKT
Prinsip dasar dari HPLC adalah pemisahan analit-analit berdasarkan kepolarannya. Adapun prinsip kerja dari
alat HPLC adalah ketika suatu sampel yang akan diuji diinjeksikan ke dalam kolom maka sampel tersebut
kemudian akan terurai dan terpisah menjadi senyawa-senyawa kimia ( analit ) sesuai dengan perbedaan
afinitasnya. Hasil pemisahan tersebut kemudian akan dideteksi oleh detector (spektrofotometer UV, fluorometer
atau indeks bias) pada panjang gelombang tertentu, hasil yang muncul dari detektor tersebut selanjutnya dicatat
oleh recorder yang biasanya dapat ditampilkan menggunakan integrator atau menggunakan personal computer
(PC) yang terhubung online dengan alat HPLC tersebut.

Parameter KCKT; jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepataan alir fase gerak, suhu kolom,
dan ukuran sampel.

Ada 3 sistem KCKT yang dikenal, yaitu:


1. Sistem elusi isokratik (isocratic elution)
Sampel diinjeksikan ke dalam kolom yang komposisi fasa geraknya tidak berubah selama analisis dilakukan
sampai sampel terelusi dari kolom, sistem isokratik yang memiliki nilai k’ (rasio atau koefisien partisi yang
bervariasi) akan menghasilkan resolusi yang buruk dan sukar mendeteksi pita elusinya.

2. Sistem elusi gradient (gradient elution)


Ada perubahan fasa gerak baik secara bertahap atau berkesinambungan selama proses berlangsung. Pada mula-
mula elusi, seluruh komponen sampel ditahan di bagian atas kolom, setelah gradien mulai, kekuatan elusi fase
gerak akan meningkat. Pada akhirnya harga k’ akan menjadi cukup kecil sehingga komponen zat tersebut akan
bermigrasi sepanjang kolom secara cepat sampai ia keluar dari kolom.

3. Sistem elusi bertahap


Baik digunakan untuk sampel yang mengandung komponen-komponen yang bergerak cepat, yang diikuti
senyawa-senyawa yang lambat gerakannya, tetapi tidak mengandung senyawa dengan nilai k’ setelah sampai
diinjeksikan. Komposisi fase gerak secara bertahap diganti.

Hasil sistem KCKT dan optimasinya sangat tergantung pada beberapa hal, antara lain :
a. Temperatur
b. Tekanan
c. Diameter partikel fase diam
d. Viskositas
e. Panjang kolom

19. KCKT Fase normal dan fase balik


Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan dengan fase terbalik adalah campuran larutan bufer
dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril. Untuk pemisahan dengan fase normal, fase gerak yang
paling sering digunakan adalah campuran pelarut-pelarut hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau
menggunakan pelarut-pelarut jenis alkohol.

20. Tekanan udara


Pedoman CPOB Edisi 2012 merekomendasikan sistem koridor bersih (untuk sediaan padat, nonsteril), di mana
tekanan udara di koridor lebih tinggi daripada tekanan udara di ruang proses produksi, sehingga aliran
udara terjadi dari koridor ke ruang produksi. Semua barang yang dibawa melalui koridor tetap dalam keadaan
bersih / tidak terkontaminasi oleh (partikel) bahan/ produk dari ruang-ruang produksi. Untuk sediaan steril

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
direkomendasikan koridor bertekanan udara negatif relatif terhadap ruang produksi demi perlindungan
pada proses kritis yang sensitif terhadap kontaminan mikroorganisme.

21. Media fill


Media fill adalah validasi proses aseptis untuk membuktikan bahwa prosedur dan semua langkah proses yang
dilakukan memberikan “sterility assurance”;
Media fill merupakan metode pengukuran kontaminasi yang potensial terjadi dalam keseluruhan
proses produksi sediaan steril secara aseptis. Guideline FDA menyarankan tes media fill untuk
mengevaluasi overall sterility dari lineproduksi aseptis dan hasil tes ini merupakan syarat kritis untuk jaminan
kualitas terhadap produk. Tes media fill juga dapat memberikan jaminan dan validasi terhadap teknik
aseptik seluruh personil peracikan. Tes media fill berupa simulasi proses untuk membuktikan bahwa produk
memiliki kualitas serta sterilitas yang konsisten, dalam tes ini, semua peralatan, bahan kemas, prosedur dan
personil yang terlibat dan digunakan dalam proses rutin disimulasikan dengan akurat, benar-benar seperti proses
produksi normal. Simulasi ini dilakukan dengan mengganti obat dengan suatu placebo, yang berupa media
pertumbuhan bakteri.

22. Tanggal produksi


Penentuan tanggal produksi biasanya berbeda-beda tergantung industrinya. Tetapi biasanya ditetapkan saat
penimbangan bahan.

23. Het wajib cantumin ga? Fungsinya? Aturannya apa?

HET (Harga Eceran Tertinggi) diatur dalam Permenkes No. 98 Tahun 2015 tentang Pemberian Informasi
Harga Eceran Tertinggi Obat. Berdasarkan peraturan tersebut, Harga Eceran Tertinggi obat (HET) adalah harga
jual tertinggi obat di apotek, toko obat, dam instalasi farmasi RS/klinik. Industri farmasi wajib memberikan
informasi HET dengan mencantumkan pada label obat. Pencantuman HET pada kemasan obat memiliki fungsi
untuk meminimalkan variasi harga obat yang beredar di pasaran. Selain itu, untuk memberikan informasi
harga obat yang benar dan transparan bagi masyarakat.

24. Uji stabilitas

Uji stabilitas jangka pendek (dipercepat)

Uji stabilitas jangka pendek dilakukan selama 6 bulan dengan kondisi ekstrim (suhu 40±20C dan Rh 75% ±
5%).Interval pengujian dilakukan pada bulan ke – 3 dan ke-6.

Uji stabilitas jangka panjang (real time study)

Uji stabilitas jangka panjang dilakukan sampai dengan waktu kadaluwarsa produk seperti yang tertera
pada kemasan.Pengujiannya dilakukan setiap 3 bulan sekali pada tahun pertama dan setiap 6 bulan sekali
pada tahun kedua. Pada tahun ketiga dan seterusnya, pengujian dilakukan setahun sekali. Misalkan untuk
produk yang memiliki ED hingga 3 tahun pengujian dialkukan pada bulan ke-3, 6, 9, 12, 18, 24 dan 36.
Sedangkan produk yang memiliki ED selama 20 bulan akan diuji pada bulan ke-3, 6, 9, 12, 18 dan 20.Untuk uji
stabilitas jangka panjang, sampel disimpan pada kondisi:

Ruangan dengan suhu 30+-20C dan Rh 75+-5% untuk menyimpan produk-produk dengan klaim penyimpanan
pada suhu kamar.

Ruangan dengan suhu 25+-20C dan Rh 75+-5% untuk menyimpan produk-produk dengan klaim penyimpanan
pada suhu sejuk.

Cara pengujian pada uji stabilitas


Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
Pengamatan pada perubahan kimia : identifikasi ZA, penetapan kadar, pH dan disolusi

Pengamatan pada perubahan fisika :pemerian sediaan, keseragaman sediaan, kejernihan sediaan ,kemasan

Pengamatan biologi :sterilitas , endotoksin

Sampel per tinggal berguna untuk melakukan uji stabilitas dan juga untuk apabila terjadi kejadian efek
samping atau toksik yang bersifat parahpada obat terkait maka industry terkait dapat melakukan pengujian pada
sampel per tinggal.

25. Jenis Industri Tradisional

Note : Obat tradisional tidak memerlukan NIE

26. Waktu ipc homogenitas udah oke, tb2 diakhir ga memenuhi kadar kenapaa?
Kalau sediannya tablet maka kemungkinan terkait kelarutan zat aktif yang jelek sehingga mempengaruhi
uji disolusi. Uji disolusi yang jelek membuat sediaan tidak memenuhi kadar yang ditentukan

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
27. Green pharmacy ada ga di CPOB?
PERINDUSTRIAN – UU No. 3/2014
Industri hijau : Industri yang proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektifitas penggunaan
sumber daya secara berkelanjutan  mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

28. UDT
Penggunaan uji disolusi terbanding:
 Uji disolusi terbanding sebagai data pelengkap uji bioekivalensi  pengawasan mutu produksi
rutin
 Uji disolusi terbanding yang diharuskan sebagai pengganti uji bioekivalensi (biowaiver)
 Uji disolusi terbanding sebagai pendekatan/pengembangan formulasi untuk mendapatkan produk
copy yang bioekivalen
 Melihat konsistensi bets per bets produk uji maupun produk pembanding (dasar untuk pemilihan bets
untuk uji BE)

29. Jika hasil uji sampel TMS.


Jika dalam prakteknya sediaan yang dibuat tidak memenuhi standart yang ditentukan maka dilakukan
penelusuran, apakah pengujian sudah sesuai SOP kemudian di evaluasi apakah sediaan bisa
diperbaiki dengan mempertimbangkan kualitas dan biaya

30. Uji ekivalensi? UDT dan BE? Kapan UDT kapan BE?
Per KBPOM No. HK.03.1.23.12.11.110217 tentang Obat Wajib Uji Ekivalensi
Uji ekivalensi adalah uji in vivo dan/atau in vitro untuk menentukan ekivalensi antara obat uji (obat copy)
dengan obat komparator.
 Uji Ekivalensi in vivo yang selanjutnya disebut Uji Bioekivalensi adalah uji bioavailabilitas atau
farmakodinamik komparatif yang dirancang untuk menunjukkan bioekivalensi antara obat uji (obat
copy) dengan obat inovator/komparator.
 Uji Ekivalensi in vitro yang selanjutnya disebut Uji Disolusi Terbanding adalah uji disolusi komparatif
yang dilakukan untuk menunjukkan similaritas profil disolusi antara obat uji dengan obat
inovator/komparator.

Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in vitro, karena hasil uji disolusi berhubungan
dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh (Banakar,1992). Uji disolusi bertujuan untuk memprediksi
korelasi bioavailabilitas in vivo dari produk obat. Uji disolusi penting sebagai (1) petunjuk untuk
pengembangan formulasi dan produk obat, (2) kontrol kualitas selama proses produksi (3) memastikan
kualitas bioekivalen in vitro antar batch dan (4) regulasi pemasaran produk obat (Allen dkk., 2005).

Per KaBPOM No. HK.00.05.3.1818 tahun 2005 tentang Pedoman Uji Bioekivalen

Kriteria produk obat yang wajib Uji Bioekivalensi In-Vivo:


Uji ekivalensi in vivo dapat berupa studi bioekivalensi farmakokinetik, studi farmakodinamik
komparatif, atau uji klinik komparatif. Dokumentasi ekivalensi in vivo diperlukan jika ada resiko bahwa
peredaran bioavailabilitas dapat menyebarkan inekivalensi terapi.
1.) produk obat oral lepas cepat yang bekerja sistemik, jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut ini :
a. obat-obat untuk kondisi yang serius yang memerlukan respon terapi yang pasti (critical use drugs),
misal: antituberkulosis, antiretroviral, antibakteri, antihipertensi, antiangina, obat gagal jantung,
antiepilepsi, antiasma.
b. Batas keamanan/ indeks terapi yang sempit; kurva doses-respons yang curam, misal: digoksin,
antiaritmia, antikoagulan, obat-obat sitostatik, litium, feniton, siklosporin, sulfonilurea, teofilin.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
c. Terbukti ada masalah bioavailabilitas atau bioinekivalensi dengan obat yang bersangkutanatau obat-
obat dengan struktur kimia atau formulasi yang mirip (tidak berhubungan dengan masalah disolusi,)
misal:
 absorpsi bervariasi atau tidak lengkap;
 eliminasi presistemik yang tinggi;
 farmakokinetik nonlinear;
 sifat-sifat fisiokimia yang tidak menguntungkan (misal: kelarutan rendah, permeabilitas rendah,
tidak stabil, dsb.)
d. eksipien dan proses pembuatannya diketahui mempengaruhi bioekivalensi
2.) Produk obat non-oral dan non –parenteral yang didesain untuk bekerja sistemik, misal : sediaan
transdermal, supositoria, permen nikotin, gel testosteron dan kontraseptif bawah kulit
3.) Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik.
4.) Produk kombinasi tetap untuk bekerja sistemik, yang paling sedikit salah satu zat aktifnya memerlukan
studi in vivo.
5.) Produk obat bukan larutan bukan untuk penggunaan non sistemik (oral nasal, okular, dermal, rektal,
vaginal, dsb), dan dimaksudkan untuk bekerja lokal (tidak untuk diabsorpsi sistemik). Untuk produk
demikian, bioekivalensi harus ditunjukkan dengan studi klinik atau farmakodinamik,
dermatofarmakokinetik komparatif dan / atau studi in vitro. Pada kasus-kasus tertentu, pengukuran
kadar obat dalam darah masih diperlukan dengan alasan keamanan untuk melihat adanya absorpsi yang
tidak diinginkan.
Poin1-4, pengukuran kadar obat dalam plasma versus waktu biasanya cukup untuk membuktikan efikasi dan
keamanan. Jika tidak, studi klinik atau farmakodinamik dapat digunakan untuk membuktikan ekivalensi.

Kriteria produk obat yang wajib Uji Disolusi Terbanding:


1.) Produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo (tidak termasuk poin-poin diatas).
2.) Produk obat” copy” yang hanya berbeda kekuatan uji disolusi terbanding dapat diterima untuk kekuatan
yang lebih rendah berdasarkan perbandingan profil disolusi.
a. Tabel lepas cepat Produk obat “copy” dengan kekuatan berbeda, yang dibuat oleh pabrik obat yang
sama di tempat produksi yang sama, jika:
 semua kekuatan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat aktif
yang sangat poten (sampai 10 mg persatuan dosis), zat inaktifnya sama banyak untuk semua
kekuatan)
 studi ekivalensi telah dilakukan sedikitnya pada salah satu kekuatan ( biasanya kekuatan yang
tertinggi, kecuali untuk alasan keamanan dipilih kekuatan yang lebih rendah)
b. Kapsul berisi butir-butir lepas lambat jika kekuatannya berbeda hanya dalam jumlah butir yang
mengandung zat aktif, maka perbandingan profil disolusi (f > 5) dengan satu kondisi uji yang
2
direkomendasi sudah cukup.
c. Tablet lepas lambat Jika produk uji dalam bentuk sediaan yang sama tetapi berbeda hanya dalam
jumlah butir yang mengandung zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat aktif yang
sangat poten (sampai 10 mg persatuan doses) zat inaktifnya sama banyak, dan mempunyai
mekanisme pelepasan obat yang sama, kekuatan yang lebih rendah tidak memerlukan studi in vivo
jika menunjukkan profil disolusi yang mirip, f > 50 dalam 3 pH yang berbeda (antara pH 1.2 dan
2
7.5) dengan metode uji yang direkomendasi.
3.) Berdasarkan sistem klasifikasi biofarmaseutik ( Biopharmaceutic Classification System= BCS) dari zat
aktif * serta karakteristik disolusi ** dan profil disolusi *** dari produk obat. Berlaku untuk produk
obat oral lepas cepat, tetapi tidak berlaku untuk produk obat lepas cepat yang disebutkan dalam Produk
Uji BE In-vivo poin 1.
a. zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi dan permeabilitas dalam usus yang tinggi (BCS
kelas 1), serta:
 Produk obat memiliki disolusi yang sangat cepat, atau;

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
 Produk obat memiliki disolusi yang cepat dan profil disolusinya mirip dengan produk
pembanding.
b. Zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi tetapi permeabilitas dalam usus yang rendah
(BCS kelas 3) serta:
 Produk obat memiliki profil disolusi yang cepat pada pH 6.8, dan;
 Produk obat memiliki profil disolusi yang mirip dengan produk pembanding (juga berlaku jika
disolusi < 10 % pada salah satu pH).
Catatan:
 BCS dari zat aktif
o kelas 1: kelarutan dalam air tinggi, permeabilitas dalam usus tinggi;
o kelas 2: kelarutan dalam air rendah, permeabilitas dalam usus tinggi;
o kelas 3 : kelarutan dalam air tinggi, permeabilitas dalam usus rendah);
o kelas 4 : kelarutan dalam air rendah, permeabilitas dalam usus rendah.
 Kelarutan dalam air tinggi (dari zat aktif): Jika dosis tertinggi yang direkomendasi WHO (jika
terdapat dalam Daftar Obat Esensial WHO) atau kekuatan dosis tertinggi ( yang ada di pasar)
dari produk obat larut dalam < 250 ml media air pada kisaran pH 1.2 s/d 6.8 pada suhu 37 + 1
*

c. penentuan kelarutan pada setiap pH harus dilakukan minimal triplo


 Kelarutan dalam usus tinggi (dari zat aktif): Jika absorpsi pada manusia > 85% dibandingkan
dosis intravena dari pembandingnya.
** Karakteristik disolusi (dari produk obat lepas cepat)
o Disolusi sangat cepat: Jika > 85 % dari jumlah zat aktif yang tertera di label melarut
dalam waktu < 15 menit dengan menggunakan alat basket pada 100 rpm atau alat
paddle pada 50 rpm (atau 75 rpm jika terjadi coning) dalam volume < 900 ml
masing-masing media berikut: (I ) larutan HCI pH 1.2; (ii) bufer asetat pH 4.5; dan
(iii) bufer fosfat pH 6.8.
o Disolusi cepat:
*** Profil disolusi (dari produk obat)
o Uji disolusi terbanding dilakukan dengan menggunakan metode basket pada 100 rpm
atau metode paddle pada 50 rpm dalam media pH 1.8 (larutan HCI), pH 4,5 (bufer
sitrat) dan PH 6.8 (bufer fosfat);
o Waktu – waktu pengambilan sampel untuk produk obat lepas cepat: 10,15,30,45 dan
60 menit;
o Digunakan produk obat minimal 12 unit dosis;
o Profil disolusi dibandingkan dengan menggunakan faktor kemiripan f
2
Di samping itu harus ditunjukkan bahwa eksipien dalam komposisi produk obat sudah dikenal, bahwa tidak
ada efek terhadap motilitas saluran cerna atau proses lain yang mempengaruhi absorpsi, juga diperkirakan
tidak ada interaksi antara eksipien dan zat aktif yang dapat mengubah farmakokinetik zat aktif. Jika
digunakan tetapi dalam jumlah yang luar biasa besar, diperlukan tambahan informasi yang menunjukkan
tidak adanya dampak terhadap bioavailabilitas.
Uji disolusi terbanding juga dapat digunakan untuk memastikan kemiripan kualitas dan sifat-sifat produk
obat dengan perubahan monitor dalam formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran obat.

Kriteria produk obat yang tidak perlu Uji Ekivalensi:


1.) Produk obat “ copy” untuk penggunaan intravena sebagai larutan dalam air yang mengandung zat aktif
yang sama dalam kadar molar yang sama dengan produk pembanding.
2.) Produk obat “copy” untuk penggunaan parenteral yang lain (misal: intramuskular, subkutan) sebagai
larutan dalam air dan mengandung zat aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dan eksipien yang
sama atau mirip (similar) dalam kadar yang sebanding seperti dalam produk pembanding. Eksipien
tertentu (misal: bufer, pengawet, antioksidan) boleh berbeda asalkan perubahan eksipien ini
diperkirakan tidak mempengaruhi keamanan dan/ atau efikasi produk obat tersebut.
Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
3.) Produk obat” copy” berupa larutan untuk penggunaan oral (termasuk sirup), eliksir, tingtur atau bentuk
larutan lain tetapi bukan suspensi),yang mengandung zat aktif dalam kadar molar yang sama dengan
produk pembanding, dan hanya mengandung eksipien yang diketahui tidak mempunyai efek terhadap
transit atau permeabilitas dalam saluran cerna dan dengan demikian terhadap absorpsi atau stabilitas zat
aktif dalam saluran cerna.
4.) Produk obat “copy” berupa bubuk untuk dilarutkan dan larutannya memenuhi kriteria 4.3.1., 4.3.2, atau
4,3,3, tersebut diatas
5.) Produk obat “ copy” berupa gas
6.) Produk obat “copy” berupa sediaan obat mata atau telinga sebagai larutan dalam air dan mengandung
zat (-zat) aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dan eksipien yang praktis sama dalam kadar
yang sebanding. Eksipien tertentu (misal : pengawet , bufer, zat untuk menyesuaikan tonisitas atau zat
pengental) boleh berbeda asalkan penggunaan eksipien ini diperlukan tidak mempengaruhi keamanan
dan/ atau efikasi produk obat tersebut.
7.) produk obat “copy” berupa sediaan obat topikal sebagai larutan dalam air dan mengandung zat (-zat)
aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dan eksipien yang praktis sama dalam kadar yang
sebanding.
8.) Produk obat “copy” berupa larutan untuk aerosal atau produk inhalasi nebulizer atau semprot hidung,
yang digunakan dengan atau tanpa alat yang praktis sama, sebagai larutan dalam air dan mengandung
zat( zat) aktif yang sama dalam kadar yang sama daneksipien yang praktis sama dalam kadar yang
sebanding. Produk obat tersebut boleh memasukkan eksipien lain asalkan penggunaannya diperkirakan
tidak akan mempengaruhi keamanan dan/ atau efikasi produk obat tersebut.
Untuk ketentuan 6,7, dan 8 tersebut diatas, pemohonan harus menunjukkan bahwa eksipien dalam produk
“copy” nya praktis sama dan dalam kadar yang sebanding dengan produk pembandingnya. Jika informasi
mengenal produk pembanding ini tidak dapat diberikan oleh pemohon dan Badan POM tidak memiliki data
ini, pemohon harus melakukan studi in vivo atau in vitro untuk menunjukkan bahwa perbedaan dalam
eksipien ini tidak mempengaruhi keamanan dan/ atau efikasi produk obat tersebut.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
APOTEK

1. Fungsi manajerial apoteker di apotek


Jawaban:
Di Apotek, apoteker memiliki 3 fungsi yaitu sebagai profesional, manager, dan retailer. Fungsi manajerial
apoteker di apotek yaitu apoteker memiliki kemampuan manajerial meliputi pengelolaan administrasi,
persediaan, sarana dan prasarana, keuangan dan sumber daya manusia.
1. Pengelolaan persediaan  perencanaan persediaan yang matang agar tidak terjadi penumpukan barang
namun memenuhi semua permintaan akan obat baik obat resep maupun non-resep.
2. Pengelolaan uang
3. Pengelolaan sumber daya manusia  mampu menjadi pemimpin yang baik bagi pegawai, mampu
membina pegawai, menerapkan reward and punishment, memberikan pelayanan ramah kepada pasien
atau pembeli.
4. Pengelolaan sarana dan prasarana  apotek berlokasi di daerah yang mudah terjangkau oleh
masyarakat; lingkungan apotek terjaga kebersihannya; apotek memiliki r.tunggu yang nyaman, tempat
pemberian informasi obat; tempat pemberian konseling; r.racik, tempat pencucian alat dan keranjang
sampah; perabotan dan rak-rak tempat penyimpanan obat tertata rapi.

2. Dimana dan bagaimana posisi asisten apoteker di apotek nanti?


Bila dilihat dari fungsi membantu apoteker di apotek, tampaknya tidak ada yang berubah . Dalam PP 51 dan
Permenkes 889 wewenang dan tanggung jawab pekerjaan kefarmasian tidak berada pada asisten apoteker,
tetapi berada pada apoteker. Wewenang yang tampaknya lenyap adalah wewenang asisten apoteker pada
tempat-tempat tertentu seperti tertera pada PP 51 pasal 21 ayat 3: Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat
apoteker, Menteri dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki STRTTK pada sarana
pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien. Karena
bukan lagi Tenaga Teknis Kefarmasian tentu berdampak hilangnya wewenang melaksanakan pekerjaan
kefarmasian pada tempat-tempat tertentu tersebut.

Berdasarkan Permenpan no. 8 tahun 2008, tugas pokok asisten apoteker adalah melaksanakan penyiapan
pekerjaan kefarmasian yang meliputi penyiapan rencana kerja kefarmasian , penyiapan pengelolaan
perbekalan farmasi dan penyiapan pelayanan farmasi klinik. asisten apoteker berkedudukan sebagai pelaksana
teknis fungsional penyiapan pekerjaan kefarmasian pada unit pelayanan kesehatan.

Berdasarkan Permenpan no. 07 tahun 2008, wewenang apoteker adalah melaksanakan pekerjaan
kefarmasian di unit pelayanan kesehatan meliputi penyiapan rencana kerja kefarmasian , pengelolaan
perbekalan farmasi dan pelayanan farmasi klinik, dan pelayanan farmasi khusus. apoteker berkedudukan sebagai
pelaksana teknis fungsional pekerjaan kefarmasian pada unit pelayanan kesehatan
.
3. Apotek – uji feasibilitas
Atau dikenal juga dengan uji kelayakan merupakan uji yang pertama kali dilakukan sebelum memulai suatu
usaha. Uji kelayakan ini dilakukan sebagai bahan pertimbangan apakah usaha yang akan dijalankan layak,
dengan mempertimbangkan lokasi, lalulintas di sekitar lokasi, kompetitor, survey pasar (atau target market),
termasuk kecenderungan masyarakat di sekitar lokasi.

4. Apotek – suhu penyimpanan


Cara untuk menjaga suhu penyimpanan tetap dapat menjamin stabilitas obat adalah dengan menyediakan
termometer ruangan. Akan lebih baik jika menggunakan AC. Untuk obat yang harus disimpan pada suhu 2-8 C,
apotek perlu menyediakan lemari pendingin (yang disertai termometer agar suhu tetap terjaga) untuk
menyimpan obat-obat tersebut.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015
5. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan PBF
i. Legal (terdaftar secara resmi), misalnya izin resmi, Certificate of Original, dan Certificate of Analysis.
ii. Mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
iii. Memberikan potongan harga yang besar.
iv. Kontinuitas dan kecepatan pengiriman barang yang tepat waktu.
v. Cara pembayaran (TOP=Term Of Payment).
vi. Adanya perjanjian antara Apotek dengan PBF tersebut.

6. Kalau di apotek hanya ada Aping, boleh pesan narkotika?


Apoteker Pengelola Apotek (APA) : Apoteker yang telah diberi STRA
Apoteker Pendamping (Aping) : Apoteker yang bekerja di Apotek di samping dan/atau menggantikan
APA pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.
Apoteker Pengganti : Apoteker yang menggantikan APA yang tidak berada di tempat lebih
dari 3 bulan. Tidak bertindak sebagai APA di Apotek lain.
Penunjukkan apoteker pendamping dan pengganti harus dilaporkan:
 Ka Dinkes Kab/Kota
 Tembusan: Ka Dinkes Provinsi setempat
Bila berhalangan bertugas : APA  Aping  Apoteker Pengganti
Bila APA dan Aping berhalangan  Apoteker Pengganti

Permenkes No. 922/MENKES/PER/X/1993 pasal 23:


APA melakukan Pengalihan Tanggungjawab  Serah terima Resep, Narkotika, Obat, Kunci lemari N,
dll. kepada APING.
 Berita Acara Serah Terima (Formulir model APT-10)
Jadi kalau ada resep narkotika boleh dilayani oleh Aping.
Kalau tidak ada APA, pemesanan atau pengadaan Narkotika oleh Aping  Boleh. Asalkan sudah serah
terima dan membuat Berita Acara.

Created by : Agil, Afifah, Ali, Anas, Andriani, Auliya, Bagus, Deka, Desi, Disas, Endah, Ericka, Fatima, Fikria, Hanni,
Imandyah, Intan, Irma, Marizka, Meutia, Weni,Widyaning – Apoteker 2015

Anda mungkin juga menyukai