Anda di halaman 1dari 4

BANYAKNYA MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk.
Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya
punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang,
guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima
di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama
mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka
memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi
masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di
Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor bahwasemakin terpuruknya pendidikan
di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di
daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai
buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara
normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan mereka justru
menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”.
Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat
manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya sering kali tidak begitu. Sering
kali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi
oleh sistem pendidikan yang ada.
Seperti yang kita lihat dan rasakan jugs bahwa masih banyak masalah pendidikan di
Indonesia ini mulai dari sarana dan prasarana, biaya pendidikan, kurangnya guru profesional,
kurangnya bahan pembelajaran, sampai ke mutu pendidikanpun rendah. Mungkin masih
banyak lagi yang belum terlihat sampai saat ini. Dari sekian banyak masalah, itu akan
menghambat negara indonesia untuk mewujudkan UU NO.20 Tahun 2003 tentang tujuan
pendidikan yaitu menciptakan atau mengembangkan potensi peserta didik untuk bangsa dan
negara.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan
“manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat
sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan,
kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa
(afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi.
Padahal belajar tidak hanya berpikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang
sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati,
membandingkan, meragukan, menyukai, semangat, dan sebagainya. Hal yang sering
disinyalir ialah pendidikan sering kali dipraktikkan sebagai sederetan instruksi dari guru
kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai
“pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai". Dan “siap pakai” di sini berarti
menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang
industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam
hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti,
lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan
atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru
disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau
kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah
pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta
didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi
mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang
diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang
sebagai safe deposit box, di mana pengetahuan dari guru ditransfer ke dalam otak murid dan
bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya
menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model
pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan
bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang
dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang
dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan
pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis
terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi)
merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan
manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita
telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal
yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
“strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan
penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional.
Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak
mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia
pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi
kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan
masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya
dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Ada masalah dari sarana pendidikan ( peralatan dan perlengkapan yang secara
langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan ) dan prasarana pendidikan
( fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan). Seperti kita
lihat, masih banyak sekolah yang sarana dan prasarananya kurang, sehingga memungkinkan
mengurangi semangat belajar anak-anak untuk menuntut ilmu di sekolah. Misalnya,
lapangan, perpustakaan, ruang komputer/ lab, buku-buku, alat olahraga dan lain-lain. Itu
masalah yang akan menghambat semangat belajar anak-anak, karena seperti yang kita ketahui
anak-anak jamam sekarang yang mudah bosan karna suasana terebut.
Kemudian, masalah dari biaya pendidikan ( biaya yang dikenakan kepada
mahasiswa atau peserta didik lainnya untuk penyelenggaraan, pembinaan, pembelajaran
pendidikan serta layanan administrasi). Ini merupakan masalah besar yang dialami
masyarakat Indonesia, karena rendahnya penghasilan orang tua menjadi alasan untuk
anaknya tidak di sekolahkan. Banyak orang-orang sana yang ingin bersekolah, tapi keinginan
mereka terhalang oleh biaya. Ini justru jadi PR untuk mentri pendidikan, supaya
memfasilitasi orang-orang kurang mampu yang berkeingin untuk bersekolah. Seperti biaya
pendidikan dan barang-barang yang di perlukan untuk sekolah.
kurangnya guru (seorang yang mempunyai tugas untuk mengajar, mendidik,
melatih, menilai, mengarahkan, membingbing, dan mengevaluasi peserta didik) profesional
atau terampil. Ini masalah yang harus segera di berantas oleh mentri pendidikan, karena
kunci kesuksesan seorang peserta didik salah satunya dari seorang guru.karena masih banyak
guru yang belum cukup terampil atau professional, ada juga guru yang tidak memiliki sifat
atau karakteristik sebagaimana mestinya seorang guru, karena guru akan jadi tiruan seorang
siswa ketika dia sedang berada disekolah.
Selanjutnya, kurangnya bahan pembelajaran ( segala bentuk bahan yang digunakan
untuk membantu seorang guru/ instructor dalam menjelaskan kegiatan belajar mengajar
dikelas ). Ini juga masalah yang ada di Indonesia meskipun hanya beberapa sekolah yang
mengalaminya, bias jadi hanya sebagian saja. Yang di maksud dari bahan pengajaran yaitu
( modul, buku teks, lembar kegiatan siswa dan lain sebagainya). Kenapa ini menjadi masalah,
karena ada saja seorang guru yang belum mempesiapkan bahan ajaran untuk dipraktekan
kepada siswa atau peserta didik nya, sehingga bisa jadi metode atau maksud tujuan dari
pembelajaran tersebut sedikit berubah dengan kurikulum atau karakteristik siswa

Secara garis besar ada dua solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, yaitu:
1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan
sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam
konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan.
2. Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan
pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah sarana dan prasarana, biaya
pendidikan, kualitas guru, bahan pembelajaran dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan, soslusinya yaitu agar
mentri pendidikan atau pemerintahan Indonesia untuk memfasilitasi orang kurang mampu
yang berkeinginan sekolah, Sarana dan prasarana solusinya agar pemerintahan memfasilitasi
sarana dan prasarana di sekolah seluruh Indonesia, Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru. Bahan pembelajaran solusi untuk guru-guru agar
mempersiapkan bahan pembelajaran sebelum memulai praktek pembelajaran, sehingga tidak
merubah bahan pembelajaran dari tuntutan kurikulum, dan karakteristik siswa, Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi
pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat
bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang ber-
SDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
Banyak sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Faktor-faktor yang bersifat teknis di antaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya
sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan
guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan
pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia
adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek,
sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk
memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka di
sinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala
permasalahan pendidikan di Indonesia.

Artikel ini disusun oleh :


Nama : Imam badawi
NIM : 0142S1C021020
Prodi : Pendidikan Bahasa Inggris
Semester : ganjil ( satu )

Anda mungkin juga menyukai