Anda di halaman 1dari 10

PENDIDIKAN BERKARAKTER BERBASIS PROFETIK

Oleh: Amri Ikhsan*


 
Sudah lama pendidikan berkarakter digaungkan oleh pemerintah, tapi sampai saat itu
tidak pernah ada ‘juknis’ bagaimana pelaksanaan pendidikan semacam ini. Pendidikan
berkarakter ‘hanya’ sebagai bahan diskusi, dan kalau ada ekspos negative tentang pendidikan
kita, ‘bersamaan’ pejabat kita menyebut pendidikan karakter sebagai solusi. Kelihatannya
pendidikan berkarakter lebih banyak dibicarakan dari pada dilaksanakan.
Secara sederhana pendidikan berkarakter adalah segala sesuatu yang dilakukan yang
mempengaruhi karakter anak-anak yang diajar. Dr Thomas Lickona mendefinisikan
pendidikan berkarakter adalah usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan
bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti.” Dr Lickona menegaskan bahwa “Ketika kita
berpikir tentang jenis karakter yang kita inginkan bagi anak-anak kita, jelas bahwa kita ingin
mereka bisa menilai apa yang benar, peduli secara mendalam tentang apa yang benar, dan
kemudian melakukan apa yang mereka yakini untuk menjadi benar – bahkan dalam
menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam.
Itulah sebabnya, definisi pendidikan karakter berbeda dengan jumlah dan jenis pilar
karakter mana yang akan lebih menjadi penekanan. Sebagai contoh, disebutkan bahwa
“character education involves teaching children about basic human values including
honesty, kindness, generosity, courage, freedom, equality, and respect”
(http://www.ascd.org). Definisi pendidikan karakter ini lebih menekankan pentingnya tujuh
pilar karakter sebagai berikut: (1) ketulusan, kejujuran; (2) rasa sayang; (3) kedermawanan;
(4) keberanian; (5) kebebasan; (6) persamaan, dan (7) hormat.
Kemudian Prof. Suyanto, PhD menjelaskan bahwa karakter adalah “cara berpikir
dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik
dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara”, dan memaparkan
sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia, adalah: (1) cinta
Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggungjawab; (3)
kejujuran/amanah, (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka tolong-menolong dan gotong
royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8)
baik dan rendah hati, dan; (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Pendidikan berkarakter akan menjadi mindset apabila ada kalaborasi antara proses
pembelajaran yang berkarakter dengan dengan lingkungan yang kondusif. Proses
pembelajaran merupakan inti dari pendidikan. Berkualitas atau tidak, berkarakter atau tidak
sebuah produk pendidikan sangat tergantung dari pengelolaan proses pembelajaran. Semua
pihak menyakini bahwa aktor utama proses pembelajaran adalah peserta didik dan guru.
Setiap proses pembelajaran (selanjutnya ditulis PP) terjadi, pastilah kedua aktor saling
berinteraksi. Proses interaksi dan komunikasi ini lah mulai ditanamkan nilai-nilai kepribadian
pada peserta didik. Lingkungan merupakan dunia lain peserta didik dan hampir 2/3 waktu
siswa berada di lingkungan diluar sekolah. Apa yang dilihat, ditonton, dirasakan, dialami
sedikit banyak akan mempengaruhi ‘ketahanan’ karakter siswa dalam bertindak. Ketahanan
siswa akan cepat terkikis apabila lingkungan mereka mempertontonkan hal-hal negatif.
Yang ‘mungkin’ bisa dilakukan guru dibantu oleh ‘para atasan guru’ dalam membentuk
karakter peserta didik adalah menyakinkan diri bahwa mengajar itu ibadah yang tak terhitung
pahalanya. Membuat peserta didik berilmu merupakan pekerjaan mulia di sisi Allah SWT.
Supaya ‘ibadah’ ini tidak kehilangan arah, guru harus mencari ‘seorang figur’, sosok
berkarakter sejati, seorang suri tauladan yang menjadi acuan guru dalam ‘ibadah’ itu. Figur
yang ideal yang bisa dicontoh pada setiap kondisi adalah model pembelajaran para nabi:
kepemimpinan profetik.
Micheal H. Hart menempatkan Nabi Muhammad saw dalam urutan pertama di antara
seratus tokoh yang paling berpengaruh. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Nabi Muhammad saw
berhasil mengubah sendi-sendi kehidupan manusia. Perubahan yang dilakukan olehnya masih
terasa sampai saat ini. Ajarannya senantiasa dilaksanakan terus-menerus oleh umatnya tanpa
perubahan apa pun. Ini dikarenakan “proses pembelajaran” nabi berbasis ‘trust’ sesuainya
perkataan dengan perbuatan.
Kepemimpinan profetik adalah model kepemimpinan yang digali dari konsep dan
praktik kepemimpinan Rasulullah Saw dalam membangun masyarakat baru yang berdasarkan
keyakinan ilahiyah dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kepemimpinan profetik membawa misi
kemajuan moral dan spiritual manusia, menanamkan motif-motif kehidupan yang lebih tinggi
dan agung, yaitu berupa kualitas kebaikan, keindahan, keadilan, kedermawanan, kehalusan,
dan sifat-sifat agung lainnya. Berbekalkan sifat dan karakter tersebut, maka semua nabi dan
rasul sukses membawa perubahan dan kemajuan membangun sikap hidup pengikut dan
masyarakatnya sesuai dengan zamannya masing-masing (Mujtahid, 2011).
PP profetik dipandang sebagai pola pembelajaran yang dinilai sukses dalam
membentuk sebuah tatanan kehidupan manusia yang berkarakter. Nilai-nila profetik
seyogyanya dapat ditransformasikan ke dalam model pembelajaran disekolah. Nilai nilai ini
akan memunculkan ‘trust’ antara guru dan peserta didik, karena munculnya ‘trust’ akan
memberikan semangat baru bagi peserta didik untuk mengikuti PP.
Idealnya guru mempertimbangkan 7 (tujuh) ayat tentang karakteristik pembelajaran
profetik yang akan melenjitkan karakter peserta didik yang diadaptasi dari Mujtahid, 2011:
Pertama, shidiq (jujur). Guru yang profetik mengedepankan integritas moral (akhlak),
satunya kata dan perbuatan. Guru yang "shiddiq" selalu bekerja pada kebenaran, tulus, adil,
serta menghormati kebenaran yang diyakini pihak lain, bukan merasa diri atau pihaknya
paling benar. Dalam PP, dia jujur menggunakan model, disain, pendekatan, strategi, metode,
prosedur, tehnik, taktik sesuai dengan karakteristik materi pembelajaran. Dia tidak pernah
mengajar ‘permainan bola kaki dengan metode ceramah, dsb. Dia jujur dalam merencanakan
PP ‘dengan keringat sendiri’, melaksanakan PP juga ‘dengan keringat sendiri’. Dia juga jujur
dalam menilai: hebat dibilang hebat, gagal dibilang gagal bukan sebaliknya. Dia tidak pernah
menilai siswa dengan membanding ilmu yang dia miliki dengan ilmu siswa.
Kedua, amanah. Guru yang profetik mengutamakan nilai-nilai tanggungjawab, dapat
dipercaya, dapat diandalkan, jaminan keberhasilan, profesional dalam melaksanakan
tugasnya.  Dalam PP, guru dipercaya, diandalkan karena dia selalu memberi yang terbaik
untuk siswanya, selalu bertanggung jawab atas beban kerja yang diberikan dan kerjanya
selalu memuaskan semua pihak.
Ketiga, tabligh. Guru yang profetik berinteraksi dan berkomunikasi dengan efektif,
memiliki visi, inspirasi dan motivasi yang jauh ke depan. Dia ‘orator’ sejati, bahasanya
simple, mudah dipahami, diamalkan, dan dialami oleh siswa. Apa yang disampaikan kepada
siswa selalu menjadi motivasi untuk belajar
Keempat, fathanah (cerdas). Guru yang profetik itu punya kecerdasan majemuk:
intelektual, emosional dan spiritual. Guru ini tidak pintar tapi cerdas. Guru ini adalah
pemimpin pembelajar, mampu mengambil hikmah dari pengalaman, percaya diri, cermat,
inovatif dan bermotivasi tinggi. Setiap kata yang keluar dari ‘mulut’ guru selalu
menginspirasi siswa untuk berkarya bukan mematikan kreativitas siswa.
Kelima, istiqamah (konsisten). Guru yang profetik berprinsip selalu ingin berubah
kearah yang lebih baik. Guru yang istiqamah adalah guru yang taat peraturan, tekun, disiplin,
pantang menyerah, bersungguh-sungguh. Kalau ada siswa yang belum mengerti dengan
materi pelajarannya, dia tidak akan menyerah, dia akan mencari metode lain untuk
membelajarkan siswa itu.
Keenam, ijtihad. Guru yang profetik selalu berfikir, menguras tenaga, mengerahkan
segala kemampuan, mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan untuk mengerjakan
sesuatu yang sulit (Al-Hajibi). Setiap kasus yang terjadi selama PP dijadikan media baginya
untuk berijtihad mencari solusi terbaik dalam membelajarkan siswa. Guru itu tidak melihat
sebuah masalah dengan ‘kasat mata’, tetapi dia melihat dengan kacata ilmiah, dia seorang
peneliti sejati.
Pendidikan berkarakter memerlukan  ijtihad pedagogik yang berprinsip ARTS:
Amanah, Rahmah, Tausyiyah, dan Sillah (Suherdi, 2007)
Amanah berarti melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab, tuntas dan adil. Ini
mengharuskan guru menunaikan tanggung jawabnya dan memastikan bahwa semua siswa
mendapat kesempatan untuk mengalami segala kegiatan dan pengalaman belajar yang
merupakan syarat keberhasilan belajar siswa.
Secara operasional, amanah dapat diidentifikasi melalui: (1) mengoptimalkan
keaktifan seluruh siswa; (2) memberi penjelasan, model yang menjamin tercapainya
kejelasan cara cara mencapainya. Bagi kalangan siswa, amanah dapat diidentifikasi melalui:
(1) frekuensi keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran; (2) kualitas perilaku belajar
yang sesungguhnya yang merupakan indikasi usahanya dalam menyelesaikan tugas tugas
belajar yang diharapkan.
Rahmah yaitu perasaan kasih sayang antara seseorang kepada orang lain. Rahmah
dapat membantu guru mengoptimalkan kasih sayang dan kesabaran dalam menuntun
siswanya untuk menunaikan tugas belajar secara tuntas, sehingga siswa mendapatkan rasa
aman dan memiliki optimisme untuk mencapai keberhasilan. Seorang guru yang rahmah
bukan hanya memperhatikan kegiatan menyampaikan bahan ajar, melainkan juga kegiatan
pemotivasian secara sabar.
Dalam proses pembelajaran, tingkat rahmah merujuk pada kualitas kelembutan dan
kearifan guru dalam membantu siswa menyelesaikan tugas tugas belajarnya dalam bentuk:
(1) pilihan ungkapan dan ciri ciri bahasa yang dilakukan guru dan siswa; (2) ketuntasan
bantuan guru dan siswa dalam membantu semua anggota kelas menyelesaikan tugas tugas
belajar; (3) frekuensi kegiatan siswa membantu siswa lain.
Tausiyah yaitu saling menasehati untuk senantiasa berbuat kebaikan dan kebenaran.
Ini dapat berperan dalam mengembangkan kesediaan untuk mengoreksi dan dikoreksi.
Tausiyah akan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk memaksimalkan
perkembangan kemampuannya.
Dalam proses pembelajaran, bagi guru menjamin: (1) terselenggaranya kegiatan
yang menghendaki siswa untuk saling bertausiyah; (2) pemberian penjelasan mengenai tata
cara dan lingkup kegiatan pemberian saran.
Sillah yakni menghubungi sesama untuk menyambung kasih sayang. Sillah
digunakan untuk mendorong tumbuhnya kesediaan siswa untuk bermitra dengan kawan-
kawanya. Akan terlihat bahwa semakin banyak mitra siswa, semakin tinggi sillah yang
diwujudkan. Ini menunjukan keberhasilan guru dalam menhubungkan silaturrahmi antar
siswa.
Dalam proses pembelajaran, sillah muncul bagi guru yang menyediakan (1) pola
interaksi yang mendorong siswa untuk bekerja sama dengan siswa yang lain; (2) penjelasan
mengenai tatacara dan lingkup bermitra dalam topik dan pengalaman belajar tertentu; (3)
optimalisasi intensitas kegiatan siswa bermitra.
Ketujuh, muhasabah (intropeksi diri). Guru yang profetik berprinsip tulis apa yang
dikerjakan dan kerjakan apa yang ditulis dalam rangka menjadi bahan untuk intropeksi diri.
Dia selalu belajar dari kesalahan dan tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Dia
bermuhasabah dan berpikir kritis untuk mencari alternatif melenjitkan prestasi siswa.
Jadi, pendidikan berkarakter mesti dimulai dari ‘keringat’ guru dalam kelas dengan
mengedepankan nilai-nilai profetik dilanjutkan dengan memberi ‘panggung’ bagi peserta
didik untuk mempraktekkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari hari. Dan jangan lupa,
orang-orang yang berada disekitar peserta didik untuk tidak mempertontonkan hal-hal buruk
yang bisa mengubah karakter anak bangsa.
Diakui, perndidikan berkarakter merupakan proses yang komplek dan serius yang
mencakup aspek multidisiplin dan multi dimensi yang harus melibatkan semua stakeholder
pendidikan dan harus dilakukan secara komprehensif. Disini, guru harus membuat terobosan
baru dan berani memulai. Coba saja!
 
Ada yang mengatakan bahwa pendidikan Indonesia tidak bisa membawa manusia
seutuhnya, yaitu pribadi-pribadi yang unggul, berintegritas, berakhlaq, bertanggung jawab
dan humanis. Hasil pendidikan kita tidak mampu menyebarkan nilai-nilai kebaikan (virtue) di
tengah masyarakat. Tidak mampu merespon gerakan globalisasi, sistem pendidikan yang
sangat tergantung pada figur guru, belajar kalau ada guru, kalau tidak ada guru, persepsinya
tidak ada belajar, siswa berada pada posisi lemah. Pendidikan kita hanya menghasilkan ahli
fisika, ahli biologi, ahli agama (baca- yang tahu sedikit). Keahlian mereka tidak
memunculkan keingintahuan intelektual (intelectual curiosity) yang haus akan ilmu
pengetahuan, yang penting lulus, tamat, yang penting dapat ijazah.
Sebagian dari fenomena diatas bisa dihipotesakan dikarenakan minimalnya
pendidikan berkarakter yang diberikan di sekolah. Untuk itu, puasa bisa dimanfaatkan untuk
memberi pencerahan pada pendidikan berkarakter karena keduanya punya visi dan misi yang
sama, ingin membuat manusia menjadi insan kamil. Kalau pemerintah ‘agak susah’
memformulasikan pendidkan berkarakter di sekolah, alangkah baiknya pemerintah ‘belajar’
dari proses puasa.
 
Disekolah, PPK ini dilakukan dalam bentuk kegiatan (1) Intrakurikuler: kegiatan
pembelajaran untuk pemenuhan beban belajar dalam kurikulum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; (2) kokurikuler: kegiatan yang dilaksanakan untuk
penguatan, pendalaman, dan/atau pengayaan kegiatan Intrakurikuler; dan (3) ekstrakurikuler:
kegiatan pengembangan karakter dalam rangka perluasan potensi, bakat, minat, kemampuan,
kepribadian, kerja sama, dan kemandirian peserta didik secara optimal.
Bagi guru, penyelenggaraan PPK dalam kegiatan Intrakurikuler merupakan penguatan
nilai-nilai karakter melalui kegiatan penguatan materi pembelajaran, metode pembelajaran
sesuai dengan muatan kurikulum. Kegiatan Kokurikuler yaitu penguatan nilai-nilai karakter
yang dilaksanakan untuk pendalaman dan/ atau pengayaan kegiatan Intrakurikuler sesuai
muatan kurikulum. Sedangkan kegiatan Ekstrakurikuler merupakan penguatan nilai-nilai
karakter dalam rangka perluasan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerja sama,
dan kemandirian Peserta Didik secara optimal.
Kegiatan Ekstrakurikuler meliputi kegiatan krida, karya ilmiah, latihan olah bakat/olah
minat, dan kegiatan keagamaan, serta kegiatan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan PPK pada Satuan Pendidikan jalur Pendidikan Formal dilaksanakan
selama 6 (enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam 1 (satu) minggu. Ketentuan hari sekoiah
diserahkan pada masing-masing Satuan Pendidikan bersama-sama dengan Komite Sekolah/
Madrasah. Dalam menetapkan 5 (lima) hari sekolah, Satuan Pendidikan dan Komite Sekolah/
Madrasah mempertimbangkan: a) kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan; b)
ketersediaan sarana dan prasarana; c) kearifan lokal; dan d) pendapat tokoh masyarakat
dan/atau tokoh agama di luar Komite Sekolah/Madrasah. (Perpres nomor 87 Tahun 2017)
Apa yang dilakukan pemerintah yang berhubungan dengan pendidikan, aktor utamanya
adalah guru, orang pertama yang akan menggerakkan peserta didik disekolah. Sebaik apapun,
sekualitas apapun program, tidak akan berdampak signifikan bila guru tidak ‘diajak’ terlibat
dalam program tersebut.
PPK, misalnya, tidak akan mengubah ‘wajah’ peserta didik bila guru dipandang
‘sebelah mata’, guru hanya sebagai pelengkap penderita. Dalam menentukan kelayakan PPK,
hanya ormas Islam diminta pendapatnya: pimpinan pimpinan ormas yang ada, NU,
Muhammadiyah, Al-Irsyad, Al-Islamiyah, Jami'atul Al-Washliyah, Dewan Dakwah Islam
Indonesia, Mathla'ul Anwar, Tarbiyah Islamiyah, Forum Komunitas Diniyah Takmiliyah,
Rabithh Ma'ahid Islamiyah, MUI, ICMI (detik)
Diperkirakan, implementasi Perpres ini tidaklah mudah. Ada banyak hal yang perlu
diperhatikan untuk membangun karakter anak dalam pembelajaran di sekolah. Pertama,
membangun karakter harus dimulai dengan membangun budaya sekolah (school culture).
Artinya melibatkan seluruh stakeholder di sekolah, mulai dari pendidik, tenaga kependidikan,
kepala sekolah, siswa dan bahkan orang tua serta masyarakat sekitar.
Kedua, guru adalah garda terdepan dalam proses pendidikan. Keberadaan guru
memiliki arti yang sangat penting dalam keberhasilan pendidikan. Sebagai orang atau tokoh
utama yang mengelola kegiatan pembelajaran, dipundak guru terdapat tanggung jawab sukses
atau tidaknya sebuah pembelajaran. Oleh karena itu, upaya meningkatkan kinerja guru
merupakan suatu keharusan yang harus dipikirkan dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Ketiga, membangun kapasitas guru terkesan tidak lebih dari hanya sebagai proyek
saja, bukan sebagai sebuah proses yang sinergi dan bersinambungan. Sehingga habis dana,
habis proyek, kualitas guru masih jalan di tempat. Seharusnya quality control system harus
selalu ada. Sistem pembinaan guru belum mampu membagun dan mendorong perubahan
sikap (afektif) guru yakni kemauan belajar para guru.
Keempat, guru juga manusia biasa, dengan plus-minus sebagai manusia, guru tetap
kunci utama. Seorang murid menyukai pelajaran bukan sekadar karena buku atau
kurikulumnya, melainkan karena gurunya. Guru yang menyebalkan membuat murid
menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan dan inspiratif membuat murid mencintai
pelajarannya.
Kelima, kualitas guru merupakan faktor terpenting dalam meningkatkan kualitas
pendidikan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan kemampuan guru
memiliki dampak yang signifikan pada kinerja akademis anak didiknya. Seperti catatan
dalam laporan McKinsey yang menyatakan bahwa, “Kualitas sistem pendidikan tidak
mungkin melampaui kualitas gurunya” (Barber dan Mourshed, 2007).
Jadi, berhenti memandang soal guru sebagai ”sekadar” soal perangkat pembelajaran,
baju seragam, finger print atau sebatas urusan kepegawaian. Soal guru adalah soal masa dep
an bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan
Indonesia. Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa
depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa depan bangsa
Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah
cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya!
*) Penulis adalah Pendidik
 
 
Pendidikan Karakter dan Budaya Literasi
Oleh: Amri Ikhsan
 
Pendidikan karakter bukan barang baru dalam kurikulum Indonesia. Kurikulum
1968 sebenarnya sudah memuat substansi dari karakter ini. Kurikulum 1968 telah mencantum
visi pendidikan karakter, yaitu membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada
pelaksanaan UUD 1945 secara murni.
Begitu juga dalam Undang-undang RI No. 20 tahun 2003, tentang SPN pasal 3
dijelaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta  didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang  Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”. (Depdiknas, 2003:3).
Kurikulum paling mutakhir K13, dalam Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) juga
dengan terang benderang mengatakan bahwa Pendidikan karakter bertujuan untuk
meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan, yang mengarah pada pembentukan budi
pekerti dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang.
Belum puas dengan ‘tulisan’ yang ada dalam muatan kurikulum maupun perundang
undangan, akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan presiden (Perpres) nomor 87 Tahun
2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Kelihatannya, Perpres ini menambah panjang
deretan produk hukum dan muatan kurikulum tentang pendidikan karakter. Isi perpres tidak
ada bedanya dengan konsep dan muatan kurikulum yang selama ini dipraktikkan di sekolah.
Integrasi pendidikan karakter melalui Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD)
sudah ada dalam struktur Kurikulum 2013.
Diyakini, bisa jadi disebabkan implimentasi kurikulum di lapangan tidak ‘sempurna’.
Artinya, pemahaman stakeholder tentang kurikulum khususnya implementasi pendidikan
karakter tidak menyentuh substansi dari nilai pendidikan karakter itu. Bisa jadi belum
sempurnanya kemampuan literasi dari stakeholder pendidikan.
Begitu juga dengan implementasi perpres nomor 87 tahun 2017 tidak akan berdampak
signifikan bila kemampuan literasi stakeholder tidak maksimal. Literasi bukan hanya masalah
tulis baca. Literasi adalah pemahaman terhadap membaca dan menulis, pemahaman terhadap
teks yang memerlukan interpretasi agar bisa dilaksanakan.
Literasi informasi merupakan kompetensi mutlak yang harus dimiliki guru. Literasi
informasi menuntut kemampuan berpikir kritis guru dan kemauan untuk terus menjadi
pembelajar yang menerjemahkan isi kurikulum dan perundang undangan secara holistik.
Kemampuan untuk menganalisis informasi yang terdapat dalam Kurikulum atau dalam
UU, PP, Permendikbud merupakan sebuah entitas yang berpotensi untuk menjadi sebuah
kekuatan sekaligus sumber kebingungan (Hidayat) bagi sekolah.  Dalam konteks pendidikan,
keterampilan dasar dalam melek informasi adalah kemampuan untuk mengakses,
mengevaluasi dan menggunakan informasi dalam proses pembelajaran.
Kemampuan untuk menemukan informasi, mengolah dan menyajikan informasi
sebenarnya kemampuan umum yang dimiliki oleh setiap orang (Freebody dan Luke). Tetapi
tidak semua orang dapat dikatakan mempunyai kemampuan literasi informasi. Seseorang
dikatakan mempunyai keterampilan literasi informasi mampu memahami kebutuhan
informasi dan mendapatkan informasi yang tepat dalam berbagai format lalu mampu
mengimplementasikan dalam proses pembelajaran. (Alwasilah)
Kemampuan literasi informasi memiliki peran yang strategis dalam meningkatkan
kemampuan menjadi guru profesional sejati. Semakin terampil dalam mencari, menemukan,
mengevaluasi dan menggunakan informasi, semakin paham guru melaksanakan aturan itu.
Itulah kemampuan literasi ideal guru.
Waktunya kemampuan literasi stakeholder pendidikan ditingkatkan agar substansi
kurikulum dan perundang undangan dapat diimplentasikan dengan sempurna!.
Pendidikan karakter bukan barang baru dalam kurikulum Indonesia. Kurikulum
1968 sebenarnya sudah memuat substansi dari karakter ini. Kurikulum 1968 telah mencantum
visi pendidikan karakter, yaitu membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada
pelaksanaan UUD 1945 secara murni.
Begitu juga dalam Undang-undang RI No. 20 tahun 2003, tentang SPN pasal 3
dijelaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta  didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang  Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”. (Depdiknas, 2003:3).
Kurikulum paling mutakhir K13, dalam Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) juga
dengan terang benderang mengatakan bahwa Pendidikan karakter bertujuan untuk
meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan, yang mengarah pada pembentukan budi
pekerti dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang.
Belum puas dengan ‘tulisan’ yang ada dalam muatan kurikulum maupun perundang
undangan, akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan presiden (Perpres) nomor 87 Tahun
2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Kelihatannya, Perpres ini menambah panjang
deretan produk hukum dan muatan kurikulum tentang pendidikan karakter. Isi perpres tidak
ada bedanya dengan konsep dan muatan kurikulum yang selama ini dipraktikkan di sekolah.
Integrasi pendidikan karakter melalui Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD)
sudah ada dalam struktur Kurikulum 2013.
Perpres PPK dinilai akan memperkuat Permendikbud 23 Tahun 2017 tentang Hari
Sekolah. Dalam Pasal 9 mempersilahkan satuan pendidikan untuk memilih penerapan PPK
dalam lima atau enam hari dalam sepekan. Namun, dalam Pasal 14, menteri yang mengatur
peraturan teknisnya. (Jawa Pos)
Apabila mencermati Permendikbud 23 Tahun 2017, tidak ada yang bertentangan
dengan Perpres PPK ihwal penerapan PPK di satuan pendidikan. Orientasi Perpres PPK dan
Permendikbud Hari Sekolah masih sama, yakni ihwal pemenuhan beban kerja guru. Pasal 6
menjelaskan penyelenggaraan PPK merupakan tanggung jawab kepala satuan pendidikan
formal dan guru, dan tanggung jawab itu ditunaikan sebagai pemenuhan beban kerja guru.
Tujuan  PPK adalah pemenuhan beban guru, bukan atas dasar kebutuhan siswa.
Soft Skill bisa menjadi salah satu alternatif untuk membantu para remaja mengisi salah
satu ruang yang kosong dalam pikiran mereka. Skill ini merupakan bagian ketrampilan lebih bersifat
“kehalusan” atau sensitifitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Dikarenakan
soft skill lebih mengarah kepada ketrampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih abstrak
namun tetap bisa dirasakan seperti perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama,
membantu orang lain, dsb. Institusi formal seperti sekolah merupakan tempat yang paling kondusif
untuk mengasah keahlian soft skill seseorang, karena hampir semua remaja merupakan “keluaran”
dari sekolah tersebut.

Konsep soft skill merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan
istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan
diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan
interpersonal. Kecerdasan Intrapersonal (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan memahami
diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan tentang diri. Kemampuan berefleksi dan
keseimbangan diri, kesadaran diri tinggi, inisiatif dan berani. Kecerdasan Interpersonal (interpersonal
Intelligence) adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi,
motivasi, watak, dan temperamen orang lain. Kepekaan akan ekspresi wajah, suara dan gerak tubuh
orang lain (isyarat), dan kemampuan untuk menjali relasi dan komunikasi dengan berbagai orang lain
(Gardner, 1993).

Soft skills adalah sikap dasar perilaku. Yakni keterampilan seseorang dalam berhubungan
dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, meliputi nilai motivasi,
perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap.

Jadi, soft skill merupakan kemampuan anak untuk menerapkan ilmu teori terhadap Tuhan,
manusia lain dan ataupun alam (EQ dan SQ), misalnya bagaimana keiklasan beribadah, hormat pada
orang tua, menghargai yang lebih tua, mau mengalah, bersikap, bagimana cara bicara dan lain-lain.
Kemampuan softskill juga dapat dilihat dengan bagaimana bersosialisasi, berkreatif, menghargai
makhluk hidup lainnya termasuk menghargai alam.

Proses pembelajaran softskill remaja dipastikan tidak akan produktif apabila hanya dengan
metode pembelajaran yang telah dilakukan selama ini (cara konvensional sekolah). Proses
pembelajaran yang baik tentunya dengan aplikasi nyata.Wiratna (2008) mengatakan bahwa soft
skills yang perlu diasah dapat dikelompokkan ke dalam enam kategori yaitu: keterampilan
komunikasi lisan dan tulisan (communication skills), keterampilan berogranisasi (organizational
skills), kepemimpinan (leadership), kemampuan berpikir kreatif dan logis (logic and creative),
ketahanan menghadapi tekanan (effort), kerja sama tim dan interpersonal (group skills) dan etika
kerja (ethics).

Ketidakmampuan memberikan pendidikan soft skill mengakibatkan remaja hanya pandai


menghafal pelajaran dan sedikit punya keterampilan ketika sudah berada ditengah masyarakat.
Mereka akan menjadi ''mesin'' karena penguasaan keterampilan tetapi lemah dalam memimpin dan
bergaul. Mereka juga merasa sudah sukses kalau punya keterampilan, padahal bergaul dan
berkomunikasi juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam kegiatan kemasyarakatan.

Anda mungkin juga menyukai