Anda di halaman 1dari 16

FENOMENA GURU TERPUJI/TELADAN

Chika Variza Hikmah1 , Nabila Putri Maulida2, Zahra Nabilla3

Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,


Universitas Sriwijaya

ABSTRACT
This study begins with the many phenomena of character education failures that implemented
in schools due to the absence of good character figures can be exemplified even though
character education will be successful when the environment supporting character building.
One of them is the availability of role models. An example is something that should be
imitated in terms of values, attitudes, and behavior Educators are not only in the school
environment but also in the family and community such as teachers, parents and community
leaders. To facilitate the achievement of character education goals, it must be formed role
model in a character-building environment as part of the reinforcing component student
character. Therefore, character education in schools must be provide role models for
students as examples. With the teacher having values, attitudes, and behaviors that can be
imitated so that students not only have an understanding of values but also an understanding
and belief in values who want to be formed because of the exemplary figure.
Keywords: exemplary, teacher, character building.

ABSTRAK
Kajian ini berawal dari banyaknya fenomena kegagalan pendidikan karakter yang
dilaksanakan di sekolah-sekolah yang diakibatkan tidak adanya figur karakter yang dapat
dicontohnya padahal pendidikan karakter akan berhasil ketika lingkungan pembentuk
karakter mendukung. Salah satunya adalah ketersediaannya figur teladan. Teladan adalah
sesuatu yang patut dicontoh baik itu nilai, sikap, dan perilakunya. Pendidik bukan hanya di
lingkungan sekolah namun juga di lingkungan keluarga dan masyarakat seperti guru, orang
tua dan tokoh masyarakat. Untuk memperlancar pencapaian tujuan pendidikan karakter maka
harus dibentuk teladan dalam lingkungan pembentuk karakter sebagai bagian dari komponen
penguat karakter peserta didik. Maka dari itu, pendidikan karakter di sekolah harus
menyediakan figur teladan untuk contoh bagi peserta didik. Dengan guru memiliki nilai,
sikap, dan perilaku yang dapat diteladani maka peserta didik bukan hanya memiliki
pengertian tentang nilai namun juga pemahaman dan keyakinan akan nilai yang ingin
dibentuk karena adanya figur teladan.
Kata Kunci : keteladanan, guru, pendidikan karakter.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah bangsa yang besar yang kaya akan keanekaragaman budaya. Budaya
hadir dan membentuk manusia menjadi manusia yang beradab. Namun pemanfaatan modal
budaya belumlah dirasakan cukup untuk membentuk karakter bangsa karena tidak adanya
keteladanan dari pendidik. Dari berbagai penelitian tentang keteladanan dalam membangun
karakter memiliki pengaruh yang signifikan (Noviatri, 2014; Istinganah, 2015; dan Sani,
2016).
Dalam mendidik karakter yang terpenting adalah keteladanan. Keteladanan telah
dikaji oleh Bourdieu dalam menjelaskan tentang pendidikan moral bahwa yang terpenting
bukanlah apa yang ternyatakan (eksplisit) dalam ajaran maupun aturan moral, melainkan apa
yang tak ternyatakan (implisti), yang hanya dapat dilihat dalam perilaku sehari-hari. Manusia
melakukan sesuatu terkadang bukan atas dasar teori yang mereka pelajari melalui pendidikan
begitupun dalam pendidikan karakter. Figur seorang pendidik dalam mendidik karakter
sangat menentukan tercapai tidaknya nilai-nilai yang diajarkan hingga dapat secara sadar
diimplemen tasikan. Pada dasarnya, kebutuhan manusia akan figur teladan bersumber dari
kecenderungan meniru yang sudah menjadi karakter manusia. Peniruan bersumber dari
kondisi mental seseorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang
sama dengan kelompok lain (empati), sehingga dalam peniruan ini, anak-anak cenderung
meniru orang dewasa, kaum lemah cenderung meniru kaum kuat serta bawahan cenderung
meniru atasannya
Pandangan Humanistik menga- takan bahwa, pada dasarnya manusia itu adalah
makhluk yang terus berusaha yang diibaratkan dengan air mengalir yang tanpa hentinya.
Manusia itu selalu dalam proses “akan menjadi” (on becoming), yang berpotensi untuk
berusaha atau menjadi apa yang dibutuhkan dirinya. Oleh karena itu, urusan utama
pendidikan adalah manusia. Perbuatan pendidikan diarahkan kepada manusia untuk
mengembangkan potensi-potensi dasar manusia agar menjadi nyata.
Keteladanan bagi proses pendidikan karakter sangatlah penting. Karena pendidikan
karakter bukan hanya tanggung jawab pendidik di sekolah maka keteladanan pun bukan
hanya dari guru tetapi juga dari orang tua dan masyarakat. Keteladanan bukan hanya dari
orang terdekat namun juga dari seorang tokoh. Maka penting bagi semua pihak mulai dari
keluarga, sekolah dan masyarakat harus dapat memberikan perilaku-perilaku kete- ladanan
kepada anak sebagai upaya penguatan karakter dalam diri anak tersebut.

METODOLOGI PENULISAN
Metode yang digunakan dalam menulis makalah ini adalah dengan cara mengumpulkan
informasi dari beberapa sumber artikel, refrensi, dan jurnal yang ada di internet. Makalah ini
juga dengan cara membaca dan mempelajari beberapa literatur yang berkaitan dengan topik
permasalahan yang menjai objek pembahasan di makalah ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN KETELADANAN


Bukan hanya pendidikan yang harus berasaskan kebudayaan namun kemampuan
pendidik dalam mengajarkan nilai-nilai budaya juga dibutuhkan. Gay (2000) mengatakan
bahwa pendidikan guru tanggap budaya mempersyaratkan adanya pengakuan bahwa budaya
merupakan sistem nilai yang dinamis yang di dalamnya mencakup kode pengetahuan
(cognitive codes), standar prilaku (behavioral standards), pandangan hidup (world views), dan
keyakinan (beliefs) yang berfungsi sebagai penata keseimbangan dan pemberi makna
kehidupan. Dengan demildan kearifan lokal secara lebih spesifik berpengaruh dan turut
mewarnai bagaimana guru meyakini, berfikir dan bertindak serta menentukan bagaimana
pengajaran dan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini yang dinamakan keteladanan
pendidik.Keteladanan berasal dari kata dasar teladan yang berarti sesuatu yang patut ditiru
atau baik untuk dicontoh, baik itu perbuatan, sikap, sifat, ataupun perkataan (KBBI,
1995:129). Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode influentif yang paling
meyakinkan keberhasilannya dalammemper-siapkandan membentuk anak didalam moral,
spiritual dan sosial.Dalam hal ini pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak,
karena segala tindak tanduknya, sopan santunnya, cara berpakaiannya dan tutur katanya akan
selalu diperhatikan oleh peserta didik.
Teori pembelajaran human-isme dalam pendidikan nilai yang selama ini dilakukan
menganggap bahwa setiap orang dewasa dapat menjadi pendidik nilai. Namun kenyataannya,
tidak semua orang dapat menjadi pendidik nilai yang baik, akibatnya anak dapat
melaksanakan nilai-nilai yang dike- hendaki oleh orang dewasa sebagai pengajar nilai, tetapi
tidak memahami alasannya. Mereka dapat menghafalkan tetapi tidak mengerti maknanya.
Cara demikian tidak menghormati anak sebagai subyek nilai, sehingga yang terbentuk adalah
nilai-nilai heteronom dan bukan nilai-nilai yang otonom.
Karakter bukanlah hal yang mudah untuk diajarkan dimana kemerosotan moral ada
didalam diri manusia dan masyarakat bahkan ada didalam komponen pendidikan. Sternberg
adalah seorang pakar dan aktivis pendidikan yang telah menulis hampir 1000-an karya yang
tersebar dalam bentuk artikel di jurnal, entri dalam ensiklopedia, dan sejumlah buku best
seller. Sternberg telah memberi perhatian dan menekuni penelitian mengenai kearifan sejak
tahun 1990- an, hal ini dilatarbelakangi kegelisahannya terhadap gaya hidup manusia modern
yang cenderung mekanistik dan kehilangan makna (Preiss dan Sternberg, Ed., 2010).
Menurut Sternberg (2003) terdapat enam prosedur pengajaran karakter. Pertama,
peserta didik dikenalkan untuk membaca literatur klasik untuk membiasakannya belajar dan
melakukan refleksi terhadap contoh-contoh kearifan. Kedua, peserta didik dilibatkan dalam
diskusi kelas, proyek, dan penulisan esai yang dapat mendorong mereka mendiskusikan
pelajaran kearifan yang diperoleh dari literatur klasik, dan bagaimana mengaplikasikannya
untuk dirinya dan orang lain. Ketiga, peserta didik tidak dituntut sebatas mengetahui
kebenaran (truth), tetapi juga mendalami nilai- nilai yang mendasari kebenaran. Keempat,
pembelajaran kearifan menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreatif
dan praktik dalam pencapaian tujuan akhir yang balk (good ends). Kelima, peserta didik
diberi penguatan untuk berpikir bahwa hampir semua yang mereka pelajari dapat digunakan
untuk pencapaian tujuan yang baik atau yang buruk. Keenam, pendidik memerankan diri
sebagai model atau teladan mengenai karakter yang ingin dibentuk.
Keteladanan menjadi bagian sangat menentukan berhasil atau tidaknya pendidikan karakter.
Pendidikan karakter menghendaki terwujudnya ruang bagi siswa untuk mengembangkan
kapasitas berpikir, sehingga para siswa dapat menerima nilai, norma, dan moral sebagai
produk
dan pilihan sendiri. Kebebasan memilih harus juga didukung dengan iklim atau budaya
sekolah sebagai wadah persemaian yang membiasakan pikiran, sikap, dan tindakan yang
ingin dibentuk. Ujung tombaknya adalah guru yang dapat dijadikansebagai teladan bagi para
siwanya. Tanpa keteladanan, kearifan hanya akan menjadi pengetahuan yang tidak
memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembentukan karakter ideal. Seperti yang
dikatakan Sternberg, Jarvin dan Reznitskaya (dalam Ferrari dan Potworowski, Ed., 2009)
menyatakan, "the most effective teacher is likely to be one who can create a classroom
community in wich wisdom is practiced, rather than preached" Keteladanan pendidik
meninggalkan pengaruh lebih mendalam dibanding ucapan yang disampaikannya berulang-
ulang. Hal ini sesuai dengan pesan sebuah Hadits yang menyatakan, "lisanul hal afsahu min
lisani maqal." Artinya, keteladanan melalui tindakan memberi pengaruh lebih besar dibanding
penjelasan lisan. Kearifan tidak dapat ditransfer, tetapi pengembangan kearifan tidak mustahil
dilakukan melalui melalui pemodelan dan lingkungan yang kondusif.

PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan merupakan hal yang penting bagi pembentukan karakter dan mendidik
karakter tidaklah mudah karena mendidik karakter harus dimulai sejak dini, secara terus
menerus dan berkelanjutan dalam berbagai ranah pendidikan (formal, informal, dan non
formal), yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan. Pendidikan mempunyai
peranan yang strategis dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kualitas manusia
yang ingin dicapai dalam pendidikan telah tercantum dalam Undang-Undang No.20 tahun
2013 tentang tujuan pendidikan nasional yaitu “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencer- daskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Dengan demikian
pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses
belajar agar peserta didik memiliki karakter yang kuat sebagai penerus bangsa dan pemimpin
masa depan.
Pendidikan karakter dalam pengertian umum mengarah pada apa yang dilakukan oleh
seorang guru yang berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Winton mengatakan
pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk
mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya (Samani, 2011: 43). Pendidikan karakter menurut
Lickona (1992: 24) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui
pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah
laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hal orang lain, kerja keras, dan
sebagainya. Lickona (1992:24) juga mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “deliberate
effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values” Lickona,
menambahkan bahwa usaha itu tidak terjadi secara otomatis melainkan melalui kerja keras &
tekun.
Selanjutnya menurut Heri Gunawan (2012: 24) pendidikan karakter adalah segala
sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru
membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru,
cara
guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan bagaimana hal
terkait lainnya. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
karakter, bukan sekedar mengajarkan benar dan salah, baik dan tidak baik tetapi pendidikan
karakter lebih ditekankan pada menanamkan kebiasaan baik sesuai dengan nilai yang benar
sehingga peserta didik mengerti mana yang benar dan mana yang salah serta mana yang baik
dan mana yang tidak baik, mampu merasakan dan membedakan nilai yang benar dan salah
serta yang baik dan yang tidak baik, dan terbiasa melakukannya sehingga tercermin dari
perilakunya.Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladan, penciptaan
lingkungandan pembiasaan.
John C. Maxwell (1991) dalam bukunya The 21 Indispensable Qualities of a Leader
menyatakan: “Karakter yang baik lebih dari sekadar perkataan. Karakter yang baik adalah
sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, tapi dibangun sedikit demi
sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan nyata, melalui pembiasaan, keberanian, usaha
keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan demi kesulitan saat menjalani kehidupan”. Menurut
Foerster yang dikutip oleh Koesoema, ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter.
Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai.
Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan; Kedua, koherensi yang memberi
keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada
situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu
sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang; Ketiga, otonomi. Di
situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak
lain; Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mempertahankan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter pada dasarnya dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada
setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada
setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikait- kan dengan konteks
kehidupan sehari- hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya
tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan ntara dalam kehidupam
peserta didik sehari- hari di masyarakat. Pendidikan karakter pada tingkat institusi mengarah
pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan seharian, dan simbol- simbol yang dipraktikan oleh semua warga sekolah, dan
masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan
citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pendidikn karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu
membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru,
cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya.
GURU TELADAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter siswa harus bermula dan ditanamkan sejak dari lingkungan
keluarga, sebab keluarga merupakan fondasi utama pendidikan. Namun tidak hanya didalam
keluargapun hasilnya tidak akan sempurna tanpa dukungan masyarakat pelestari nilai-nilai
budaya. Nilai budaya yang diajarkan harus dimengerti, dipahami, diyakini, dan diamalkan
oleh pendidik nilai sebelum diajarkan pada generasi muda penerus nilai. Betapa pun baiknya
pendidikan formal di sekolah, betapapun sudah didukung oleh perangkat teknologi canggih,
jika tidak didukung oleh guru yang dapat diteladani maka nilai yang didapat oleh peserta
didik hanyalah sebatas pengertian. Jika tidak begitu, pendidikan karakter akan sulit untuk
direalisasikan dan hanya akan menjadi wacana saja.
Dalam melaksanakan pendidi- kan karakter, guru hendaknya berpedoman pada grand
design pendidikan karakter yang sudah disusun oleh Kementerian Pendidikan Nasional
sebagai langkah untuk meningkatkan kualitas pengajaran pendidikan karakter, untuk setiap
jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan teoritis,
konseptualdanoperasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan
jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-
kultural tersebut dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development),
Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)
(Kementerian Pendidikan Nasional, 2010). Peran guru tidak hanya sebagai pengajar dan
pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter yang bertugas
menstransformasikan nilai-nilai kepada peserta didik. Guru haruslah menjadi teladan, seorang
model sekaligus mentor dari peserta didik di dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter
yang meliputi olah pikir, olah hati dan olah rasa.

Jika merujuk apa yang ada dalam gambar di atas,


keteladanan menjadi sebuah pondasi dalam
mewujudkan seorang guru yang memiliki karakter
terpuji. Keteladanan yang menjadi pondasi dari
terwujudnya guru berkarakter terpuji di dalamnya
mengandung nilai pemberdayaan, kebiasaan atau
habituasi, pembuda yaan, pembelajaran, dan penguatan. Guru maupun orang tua dapat
melakukan kesemua nilai tersebut
dalam melaksanakan pendidikan karakter. Dengan keteladanan yang dimiliki, maka
diharapkan seorang guru akan bisa memberdayakan apa yang dia ketahui tentang hal baik,
membiasakan siswanya, untuk melakukan hal terpuji memberdayakan segala potensi yang
dimilikinya untuk melaksanakan pendidikan karakter, budayakan kebiasaan baik kepada diri
siswa, melaksanakn pembelajaran di kelas, dan melakukan penguatan pendidikan karakter
melalui metode dan model pembelajaran yang sesuai dengan pendidikan karakter.
Dengan keteladanan yang dimiliki, guru diharapkan mampu mengetahui nilai-nilai karakter
yang harus diajarkannya kepada peserta didik, memahami bagaimana memberikan
keteladanan kepada siswa, membiasakan melakukan atau menpraktekan hal-hal terpuji di
hadapan para peserta didik, baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
Selain itu juga seorang guru harus meyakini apayang dilakukannya itu ialah hal baik dan
mampu juga meyakinkan peserta didik bahwa mereka pun bisa melakukan apa yang telah
guru tersebut lakukan. Selanjutnya agar dapat menjadi guru yang memiliki karakter terpuji,
maka seorang
guru harus konsisten dengan mampu mempertahankan apa yang telah dirinya lakukan sebagai
bentuk keteladanan dihadapan para siswanya. Jika guru mampu konsisten dalam
mempertahankan keteladanan yang ia contohkan kepda para peserta didik, maka diharapkan
guru tersebut akan menjadi guru yang memiliki karakter terpuji yang dengan keteladanannya
itu dirinya menjadi sosok guru yang memberikan sikap teladan yang akan diikuti oleh para
siswanya.
Koesoema(2007:212) mengajukan 5 metode pendidikan karakter yang salah satunya ialah
keteladanan. Keteladan dalam hal ini idak hanya bersumber dari guru atau dosen saja,
melainkan juga dari seluruh manusia yang ada di lembaga pendidikan tersebut. Keteladanan
juga bersumber dari orang tua, kerabat, teman, dan siapapun yang sering berhubungan dengan
peserta didik. Dengan demikian, pendidikan karakter membutuhkan lingkungan pendidikan
yang utuh yaitu adanya korelasi penerapan karakter dari setiap elemen yang ada. Pendidikan
karakter dengan mengajarkan menganai hal-hal kebaikan dann akhlak, memberikan contoh
atau keletadanan yang baik sehingga patut untuk ditiru, menentukan dan membuat target yang
akan dicapai dari strategi pengembangan karakter, dan memberikan sebuah refleksi dengan
berbagai kegiatan untuk merenungkan betapa pentingnya karakter untuk kemalahatan bangsa
dan negara.
Dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan
ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada
asih, asah dan asuh atau ngerti, ngroso nglakoni. Hal ini merupakan modal awal bagi guru
untuk menjadi guru yang memiliki sifat keteladanan. Metode ini secara teknik pengajaran
meliputi
„kepala, hati dan panca indera (educate the head, the heart, and the hand). Keteladan yang
dimiliki oleh seorang guru sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari proses mengajar,
hubungan dan interaksi selama proses pendidikan berlangsung yang kemudian pada hari ini
atau di masa yang akan datangdijadikan oleh peserta didik sebagai contoh yang selalu di tiru
dan di gugu. Jika merujuk pada motivasi pendidikan karakter yang diungkapkan oleh Ki
Hajar Dewantara, maka seorang pendidik atau guru yang sikap dan peruilakunya ingin
diteladani oleh peserta didiknya haruslah melepaskan trompah dari jiwa, sikap, dan perilaku
mengajarnya. Guru tidak berangkat dari kepahlawanan untuk kemudian mendidik tetapi dari
mendidiklah kemudian dia layak menjadi pahlawan pada hati setiap manusia lain.
Sistem pendidikan budi pekerti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara
merupakan warisan luhur yang sangat cocok diimplementasikan dalam perwujudan
masyarakat berkarakter. Jika para pendidik saar bahwa keteladanan merupakan upaya nyata
dalam membentuk generasi penerus yang berkarakter, kita tentu akan selalu mengedepankan
keteladanan dalam segala perbuatan, perkataan, dan pikiran. Sebabb dengan keteladanan itu
maka karakter religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, cinta damai, peduli sosial, dan
karakter lain tentu akan berkembang dengan baik (Kemdiknas:2016).
PENGERTIAN GURU TELADAN/TERPUJI
Guru memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses pembelajaran yang akan
mewujudkan kepribadian handal dan terpuji bagi peserta didik. Berangkat dari hal ini, guru
sebagai role model bagi mereka, tentu guru perlu menunjukan nilai-nilai yang baik untuk
dijadikan suri tauladan (Bahar, 2016: 199).
Menurut Abdulwaly dan Jamillah (2016: 115) Keteladanan adalah suatu cara yang
dapat ditempuh dalam mendidik anak dengan jalan memberi contoh atau teladan yang baik.
Jadi, guru teladan adalah guru yang baik yang berhubungan dengan sikap, prilaku, tutur kata,
mental, maupun yang terkait dengan akhlak dan dan moral yang patut dijadikan contoh bagi
peserta didik. Hal ini penting dimiliki tenaga pendidik untuk dijadikan dasar dalam
membangun kembali etika, moral, dan akhlak yang sudah sampai pada tataran yang
menyedihkan.
Kegiatan guru di sekolah harus mencerminkan nilai-nilai kebaikan. Segala informasi
dan pengetahuan yang disampaikan oleh guru adalah kebaikan. Guru sama dengan kebaikan
itu sendiri, proses pendidikan, bimbingan dan pengajaran yang disampaikan oleh guru adalah
nilai-nilai dan pengetahuan untuk kebaikan peserta didiknya. Oleh karena itu profesi guru
sebagai symbol kebaikan, pencerahan dan pencerdasan peserta didik merupakan suatu
keteladanan yang patut ditiru oleh semua pihak, baik masyarakat maupun peserta didik.
KARAKTERISTIK GURU TELADAN
Abdulwaly dan Jamillah (2016: 117) mengatakan untuk bisa menjadi teladan, maka
ada beberapa karakteristik yang perlu diperhatikan sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
1. Karakteristik akidah, akhlak dan perilaku, yaitu: guru harus mempunyai akidah yang
bersih dari hal-hal yang bertentangan dengannya. Senantiasa merasa diawasi oleh
Allah SWT (muraqabah) di mana pun berada, melakukan koreksi diri (muhasabah)
atas kelalaian dan kesalahan. Menanamkan sikap tawadhu’ (rendah hati), jangan
sampai timbul perasaan ujub dan ghurur, karenaorang yang tawadhu’ akan
diangkatkan derajatnya oleh Allah Swt. Guru harus berakhlak mulia, berkelakuan
baik, dan menjauhi halhal yang bertentangan dengan hal itu, baik di dalam maupun di
luar kelas. Mampu mengatur waktu dengan baik, sehingga tidak ada waktu yang
terlewatkan tanpa mendatangkan manfaat duniawi dan ukhrawi. Guru harus menjadi
teladan siswa-siswa dalam segala perkataan, perbuatan dan perilaku.
Guru harus selalu jujur, adil, berkata yang baik, dan memberi nasihat serta pengarahan
kepada anak didik.
2. Karakteristik profesional. Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Risalah yang
diemban guru sangat agung. Seorang guru harus memiliki bekal dan persiapan agar
dapat menjalankan profesi dan risalahnya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
bagi seorang guru dan dan dibutuhkan dalam proses belajar mengajar, yakni
menguasai materi pelajaran dengan matang melibihi siswa-siswanya dan mampu
memberikan pemahaman kepada mereka secara baik.
Guru harus memiliki kesiapan alami (fitrah) untuk menjalani proses mengajar, seperti
pemikiran yang lurus, bashirah yang jernih, tidak melamun, berpandangan jauh ke depan,
cepat tanggap, dan dapat mengambil tindakan yang tepat pada saat-saat kritis. Guru harus
menguasai cara-cara mengajar dan menjelaskan. Sebelum memasuki pelajaran, guru harus
siap secara mental, fisik, waktu dan ilmu (materi).
GURU YANG BAIK DAN DISUKAI OLEH SISWA
Menurut Darmadi (2018:23-24) adapun ciri-ciri guru yang baik, yaitu:
1. Guru yang baik adalah guru yang waspada secara profesional. Ia terus berusaha untuk
menjadikan masyarakat sekolah menjadi tempat yang paling baik bagi anak-anak
muda.
2. Mereka yakin akan nilai atau manfaat pekerjaannya. Mereka terus berusaha
memperbaiki dan meningkatkan mutu pekerjaannya.
3. Mereka tidak lekas tersinggung oleh larangan-larangan dalam hubungannya dengan
kebebasan pribadi yang dikemukakan oleh beberapa orang untuk menggambarkan
profesi keguruan. Mereka secara psikologi lebih matang sehingga rangsangan-
rangsangan terhadap dirinya dapat ditaksir.
4. Mereka memiliki seni dalam hubungan-hubungan manusiawi yang diperolahnya dari
pengamatannya tentang bekerjanya psikologi, biologi, dan antropologi kulkutural di
dalam kelas.
5. Mereka berkeinginan untuk terus tunbuh, mereka sadar bahwa dibawah pengaruhnya,
sumber-sumber manusia dapat berubah nasibnya.
Marrie F. Hassett (dalam Rahman & Amri: 2014:183) mengemukakan bahwa ketika
berbicara tentang kualitas mengajar seorang guru, fokusnya berkaitan dengan masalah-
masalah teknik konten dan prestasi, tapi banyak orang yang tahu bahwa guru yang memiliki
pengetahuan yang luar biasa. Guru yang baik bercirikan sebagai berikut:
a) Memiliki kesadaran dan tujuan.

b) Memiliki harapan dan keberhasilan bagi semua siswa.

c) Mentolerir ambiguitas.

d) Melanjutkan kemauan beradaptasi dan berubah untuk memenuhi kebutuhan siswa.

e) Merasa tidak nyaman jika kurang mengetahui.

f) Mencerminkan kometmen pada pekerjaan mereka.

g) Belajar dari berbagai modal.

Jadi kesimpulannya adalah semua guru harus menjadi guru yang baik, guru itu harus
memiliki misi untuk memperoleh pengalaman hidup melalui mengajar orang lain. Dan kita
semua tahu guru itu dikategorikan baik atau buruk ketika melihatnya tampil di kelas dan di
luar kelas. Berikut ini beberapa ungkapan kualitas guru yang baik:
a) Keyakinan diri sendiri. Guru yang baik akan tetap memiliki kepercayaan diri meski sekali
merasakan kemunduran.
b) Kesadaran. Guru yang baik bisa membantu siswa yang mengalami gangguan mental.

c) Memiliki rasa kasih sayang sejati pada siswanya. Guru yang baik, ketika siswa
membutuhkan perhatian ekstra dan memberikannya dengan senang hati, serta guru-guru
lain jika perlu mereka peduli tentang siswanya meski berada diluar kelas.
d) Pemahaman. Guru yang baik memiliki pemahaman benar prima bagaimana mengajar.
Guru harus memberi perlakuan yang berbeda dikalangan siswa. Karena semua siswa dapat
menyerap materi pelajaran yang dapat diajarkan oleh setiap guru itu secara cepat. Guru itu
harus memberi perlakuan yang berbeda untuk siswa yang berbeda, guru yang baik tidak
hanya menggunakan satu buku untuk semua pokok pembahasan yang disajikan tapi guru
yang baik melakukan pembuatan mengajar berdasarkan bagaimana siswa belajar.
e) Dedikasi untuk keunggulan. Seorang guru tidak puas dengan nilai siswanya yang kecil,
melainkan mengabdikan diri untuk secara penuh menuju kemampuan siswa untuk unggul.
Guru-guru yang terbaik mendorong berbagai ide dan menawarkan inisiatif tidak harus
melakukan pekerjaan rumah setiap hari untuk siswa bisa berpikir di luar kotak sekolar.
f) Teguh dalam memberikan dukungan. Guru mendorong siswa yang frustasi untuk
berprestasi dan memberikan keyakinan besar kepada siswanya bahwa ia bisa memahami
materi pelajaran dengan baik. Guru-guru yang terbaik selalu ada disamping siswa jika dia
memerlukan bantuan dan dorongan exstra.
g) Kesediaan untuk membantu siswa mencapai prestasi. Guru melaksanakan pekerjaan secara
serius dan tahu bahwa siswa tidak mendapatkan nilai bagus pada ujian tapi rasa prestasi
dengan menguasai materi pelajaran dan mereka bersedia bekerja dengan siswa untuk
mencapai rasa berprestasi itu. Bangga atas prestasi siswa yang mendapatkan nilai yang
baik atau memperoleh kehormatan dari masyarakat. Dan guru terbaik merayakan
keberhasilan untuk siswa terbaik tersebut.
GURU YANG DISUKAI OLEH SISWA
Menurut Mustakim (2004: 93-94) adapun ciri-ciri guru yang disukai oleh siswa, yaitu sebagai
berikut:
Suka membantu dalam pekerjaan sekolah menerangkan pelajaran dan tugas dengan
jelas serta mendalam menggunakan contoh sewaktu belajar. Riyang, gembira mempunyai
perasaan humor dan punya lelucon atas dirinya. Bersikap akrab seperti sahabat, merasa
seorang anggota dalam kelompok kelas. Menunjukkan perhatian kepada murid dan
memahami mereka. Berusaha agar pekerjaan menguasai kelas membangkitkan rasa hormat
pada murid. Tegas, sanggup menguasai kelas, membangkitkan rasa hormat pada murid. Tidak
pilih kasih, tidak mempunyai anak kesayangan. Tidak suka marah, mencela, mengejek dan
menyindir. Betul- betul mengajarkan sesuatu kepada murid, yang berharga bagi mereka.
Mempunyai pribadi yang mengyenangkan Guru merupakan sumber utama bagi siswa
dan merupakan harapan juga bagi kedua orang tua dari anak didik tersebut, karena kecuali
orang tua, guru sangat berperan aktif dalam proses kesuksesan seorang anak, dalam proses
belajar mengajar guru harus selalu memeberikan motivasi yang terbaik untuk siswanya.
Guru terbaik adalah mereka yang tidak secara otomatis “berhenti mengajar” ketika
mengadakan sisi tambahan untuk persiapan tes peristiwa siswa, dan guru melaksanakan
pekerjaan secara serius dan tahu bahwa siswa tidak mendapatkan nilai bagus pada ujian tapi
rasa prestasi dengan menguasai materi pelajaran dan mereka bersedia bekerja dengan siswa
untuk mencapai rasa berprestasi itu. Dalam hal ini guru merupakan kunci utama dalam
keberhasilan diri siswa.
Sepuluh hal yang harus dihindari agar siswa tetap cinta kepada guru:
1. Tidak menilai hasil kerja siswa.
Apa pun tugas yang kita berikan, sekecil apa pun itu, wajib kita nilai atau setidaknya
kita bahas bersamasama sehingga siswa minimal tau dan bisa menilai sendiri hasil
pekerjaan mereka. Hal ini sebagai penghargaan atas kerja keras mereka. Jika hal ini
terulang, sudah tentu mereka akan malas mengerjakan tugas dan akan tumbuh
kebencian akan etos kerja kita.
2. Memanggil dengan nama yang tidak disukai.

Kebiasaan guru memanggil nama dengan julukan yang tidak dia sukai akan
menimbulkan kebencian. Meskipun itu dalam bentuk gurauan. Apa lagi jika
memanggilnya di depan teman sekelas atau forum yang lebih besar. Hal ini akan
menyakiti hatinya. Jangan sekali-sekali guru memanggil siswa dengan sebutan seperti
item, si gendut, si lemot, dan kata-kata lain yang meyakitinya.
3. Jarang tersenyum.

Ada guru yang berfikir gengsi tersenyum di depan siswa. Ada juga yang beranggapan
senyum membuat kita tidak dihormati siswa, karena kita dianggap sebagai teman.
Padahal senyum adalah bahasa wajah dengan sejuta kabar gembira bagi yang
melihatnya. Kami pikir ini adalah cara jitu untuk meluluhkan hati siswa agar mudah
menerima kita dalam rangka keberhasilan tujuan belajar.
4. Berpakaian tidak rapi.

Guru figur teladan. Bukan hanya ilmunya saja, namun hampir keseluruhan aspek
kehidupan guru menjadi kaca perilaku siswa. Termasuk cara berpakaian guru. Siswa
akan cenderung mencemooh serta malu jika memiliki guru yang berpakaian tidak rapi
dan kurang sopan, tambah parah lagi bau badan yang tidak sedap.
Jadi, agar siswa suka pada guru perhatikan kerapian dan bau badan.
5. Suka menghukum fisik.

Tujuan mendidik yang mulia kadang-kadang lepas kontrol menjadi hal yang
menakutkan. Semisal ada siswa yang tidak patuh pada peraturan sekolah. Banyak
diantara kita berpikir hukuman fisiklah solusinya. Padahal cara ini tidak efektif untuk
perbaikan siswa. Di sisi lain akan menimbulkan kebencian pada guru. Jadi, agar siswa
tetap menghormati seorang guru, ganti hukuman fisik dengan hukuman lain yang
lebih mendidik. Misalkan meminta tanda tangan kepala sekolah, orang tua, dan guru-
guru lainnya, membaca ayat suci Al-Quran, menulis kata-kata motivasi dengan
berulang.
6. Meremehkan siswa.

Bagaimanapun kondisi siswa, guru harus tetap menghargainya. Dari golongan orang
miskin, berfisik jelek, berpenyakit, atau terbelakang sekalipun. Guru yang berjiwa
besar akan tetap menghargainya sebagai siswa yang akan berhasil. Bahkan guru-guru
yang luar biasa akan memberikan perilaku yang lebih.
7. Sering mengumpat.
Sangat tidak pantas jika ada guru mengumpat siswa karena kecerobohan atau siswa
tidak menguasai mata pelajaran. Jika guru melakukan hal ini, maka siap-siap siswa
akan membenci.
8. Pilih-pilih siswa.

Pilih-pilih siswa atau dengan kata lain pilih kasih adalah tindakan yang sangat dibenci
siswa. Baik itu dengan alasan karena si siswa lebih pintar, lebih kaya, anak pengurus
yayasan, anak teman guru, atau apa pun alasannya hal ini tidak disukai siswa. Jadi,
miliki hati semua siswa dengan memperhatikan mereka dengan prosentase yang sama.
9. Menyentuh tubuh siswa.

Terkadang kita berpikir karena murid kita, maka sebagai bentuk kasih sayang kita
melakukan hal-hal yang kurang etis. Misalkan memegang, menyentuh, atau memeluk
siswa. Jika siswa kita sudah mulai memasuki masa pubertas atau bahkan di atasnya,
tentunya kita harus menghormati dia dengan menjaga jarak.
10. Tidak pernah mendoakan.

Tidak pernah mendoakan siswa merupakan sikap yang kurang terpuji dari guru. Guru-
guru yang sering mendoakan muridnya akan terpancar dari kegigihannya dalam
mengajar dan mendidik. Artinya guru yang jarang mendoakan siswanya akan tampak
dari etos kerjanya yang bermalas-malasan dan tidak bersemangat.

ANALISIS FENOMENA GURU TELADAN


Menurut Hamalik (dalam Bahar, 2016:200) mengatakan bahwa menjadi guru adalah
suatu pekerjaan profesional, jabatan guru memerlukan keahlian khusus yang menuntut
seorang guru itu harus menguasai seluk-beluk pendidikan dan pengajaran serta ilmu-ilmu
lainnya, supaya dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan secara otomatis akan mampu
menghasilkan output yang baik.
Guru sebagai teladan untuk peserta didik guru harus memiliki kepribadian yang baik
dan dapat dijadikan sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari. Guru juga harus selalu
melakukan perbuatan yang positif terutama di depan peserta didiknya agar dapat mengangkat
kewibawaannya dan menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya dalam
kerangka pembangunan pendidikan.
Terlepas dari perencanaan guru terkadang guru secara tidak sadar melakukan
kesalahan dalam melaksanakannya tugas dan fungsinya. Sebagai manusia biasa, tentu saja
guru tidak akan terlepas dari kesalahan baik dalam berperilaku maupun dalam melaksanakan
tugas pokoknya mengajar. Namun demikian, bukan berarti kesalahan guru harus dibiarkan
dan tidak dicarikan cara pemecahannya. Guru harus mampu memahami kondisi-kondisi yang
memungkinkan dirinya berbuat salah dan yang paling penting adalah mengendalikan diri
serta menghindari dari kesalahan-kesalahan.
Mulyasa (2011:20-32) mengatakan dari berbagai kajian menunjukkan bahwa sedikitnya
terdapat tujuh kesalahan yang sering dilakukan oleh guru dalam pembelajaran adalah sebagai
berikut :
1. Mengambil jalan pintas dalam pembelajaran.

Tugas guru yang paling utama adalah mengajar dalam pengertian menata lingkungan
agar terjadinya kegiatan belajar pada peserta didik. Berbagai kasus menunjukan
bahwa di antara para guru banyak yang merasa dirinya sudah dapat mengajar dengan
baik, meskipun tidak dapat menunjukan alasan yang mendasari asumsi tersebut.
Asumsi keliru tersebut seringkali menyesatkan dan menurunkan kreatifitas, sehingga
bannyak guru yang suka mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, baik dalam
perencanan, pelaksanaan, maupun evaluasi.
Tugas guru dalam pembelajaran tidak terbatas pada penyampaian informasi kepada
peserta didik. Guru harus memiliki kemampuan untuk memahami peserta didik
dengan berbagai keunikannya agar mampu membantu mereka dalam menghadapi
kesulitan belajar. Agar tidak tergiur untuk mengambil jalan pintas dalam
pembelajaran guru hendaknya memandang pembelajaran sebagai suatu sistem, yang
jika salah satu komponen terganggu maka akan menganggu seluruh sistem tersebut.
2. Menunggu peserta didik berperilaku negatif.

Dalam pembelajaran di kelas, guru berhadapan dengan sejumlah peserta didik yang
semuanya ingin diperhatiakan. Peserta didik akan berkembang secara optimal melalui
perhatian guru yang positif, sebaliknya perhatian yang negatif akan menghambat
perkembangan peserta didik, mereka juga menganggap bahwa mengajar adalah
memberikan sejumlah pengetahuan kepada peserta didik. Tidak sedikit guru yang
mengabaikan perkembangan keperibadian, serta lupa memberikan pujian kepada
mereka yang berbuat baik dan tidak membuat masalah. Biasanya guru baru
memberikan perhatian kepada peserta didik ketika ribut, tidak memperhatikan, atau
mengantuk di kelas, sehingga menunggu peserta didik berperilaku buruk. Kondisi
tersebut seringkali mendapat tanggapan yang salah dari peserta didik, mereka
beranggapan bahwa jika ingin mendapat perhatian dari guru maka harus berbuat salah.
3. Menggunakan Destructive Discipline

Akhir-akhir ini banyak perilaku negatif yang dilakukan oleh para peserta didik,
bahkan melampau batas kewajaran karena telah menjurus pada tindak melawan
hukum, melanggar tata tertib, melanggar norma agama dan telah membawa akibat
yang sangat merugikan masyarakat. Demikian halnya dengan pembelajaran, guru akan
menghadapi situasi-situasi yang menuntut mereka harus melakukan tindakan disiplin.
Seperti alat pendidikan lain jika guru tidak memiliki rencana tindakan yang benar,
maka dapat melakukan kesalahan yang tidak perlu. Seringkali guru memberikan
hukuman kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kesalahan yang
dilakukannya, tidak jarang guru yang memberikan hukuman melampau batas.
KESIMPULAN
Keteladanan adalah suatu cara yang dapat ditempuh dalam mendidik anak dengan jalan
memberi contoh atau teladan yang baik. Guru sebagai role model bagi peserta didik sudah
menjadi keharusan dan memiliki kepribadian yang baik, karena peserta didik selalu
mengidentifikasikan dirinya pada guru mereka, untuk itu sudah sepatutnya guru merupakan
suru tauladan bagi murud-murudnya.
Karakteristik guru teladan yang harus diperhatikan adalah karakteristik akidah, akhlak, serta
perilaku dan karakteristik profesional. Ada beberapa hal yang harus dihindari agar siswa tetap
cinta keada guru, yaitu tidak menilai hasil kerja siswa, memanggil dengan nama yang tidak
disukai, jarang tersenyum, berpakaian tidak rapi, suka menghukum fisik, meremehkan siswa,
sering mengumpat, pilih-pilih siswa, menyentuh tubuh siswa, dan tidak pernah mendoakan
siswanya.
Sebagai teladan untuk peserta didik guru harus memiliki kepribadian yang baik dan dapat
dijadikan sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari. Guru juga harus selalu melakukan
perbuatan yang positif terutama di depan peserta didiknya agar dapat mengangkat
kewibawaannya dan menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya dalam
kerangka pembangunan pendidikan. Guru harus bisa merefleksikan diri tentang apa yang dia
lakukan pada peserta didik. Selau menyadari akan kekurangan diri dan siap dikritik
merupakan salah satu cara untuk membangun pendidikan manjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Ferrari, M., & Potworowski, G. Ed. 2009. Teaching for Wisdom: Cross-Cultural Perspectives
Gay, G. 2000. Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and Partice.
New York: Teachers Collage Press.
Gede Raka, Dkk. 2011. Pendidikan karakter di sekolah. Kompas Gramedia: Jakarta.
Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter, Konsep dan Implementasi. Bandung:
Alfabeta.
Hidayat, Ujang Syarif dan Ramdhan, Muhammad Rizki. 2015. Pendidikan Karakter Di
Sekolah (strategi membangun generasi muda yang bermartabatb dan budi pekerti).
Budi mulya: Sukabumi.
Istinganah, Ifa. 2015. Pengaruh Keteladanan Guru Aqidah Akhlak Dan Keteladanan Orang
Tua Terhadap Nilai-Nilai Akhlakul Karimah Siswa Di MTSN Sekabupaten Blitar.
Pascasarjana IAIN Tulungagung: Tulungagung.
Koesoema, Doni 2010. Pendidikan Karakter strategi mendidik anak di zaman global.
Grasindo: Jakarta . (2015). Strategi Pendidikan Karakter Revolusi mental dalam
lembaga pendidikan. Kanisius: Jakarta.
Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility. Bantam Books: New York.
Maxwell, john C. 1991. The 21 Indispensable Qualities of a Leader. Thomas Nelson
Publishing. Canada
Noviatri, Nurna. 2014. Kontribusi Keteladanan Guru Dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap
Kedisiplinan Siswa Kelas V Sd Negeri Se-Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta
Tahun Ajaran 2013/2014. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa Tahun
2010-2015.
Preiss D.D., & Sternberg, R.J., Ed. 2010. Innovations in Educational Psychology: Perspective
on Learning, Teaching and Human Development. New York: Springer.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2011, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung : PT
Remaja Rosda Karya.
Sani, Miss Nisaipah. 2016. Peranan Keteladanan Guru Dalam Penanaman Akhlak Siswa
(Studi Kasus Di Smp Muhammadiyah 10 Surakarta Tahun 2015/2016). Universitas
Muhammadiyah Surakarta: Surakarta.
Sternberg, R.J. 2003. Wisdom Intelligence, and Creativity Synteshized. New York: Oxford
University Press.
Sternberg, R.J., & Jordan, J. Ed. 2005. A Handbook of Wisdom: Psychological Perspective.
Cambridge: Cambridge University Press.
Undang-Undang No.20 Tahun 2013 Tentang Tujuan Pendidikan Nasional.
Abdulwaly, Cece & Fauziah Jamillah. 2016. Mendidik dengan Teladan yang Baik.
Yogyakarta: Diandra.
Bahar, Herwina. 2016. Etika dan Profesi Keguruan. Tangerang Selatan: FIP
UMJ Darmadi. 2018. Membangun Paradigma Baru Kinerja Guru. Bandung:
Guepedia.
Mulyasa, E. 2011. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mustakim. 2004. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandug: PT Songo.
Rahman, Muhammad & Sofan Amri. 2014. Kode Etik Profesi Guru
(Legalitas, Realita dan Harapan). Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Anda mungkin juga menyukai