Anda di halaman 1dari 10

TUGAS RESUME MODUL 2 & 3

METODE PENGEMBANGAN MORAL DAN NILAI – NILAI AGAMA

Nama : Unifatus sa’diyah


NIM : 857565676

MODUL 2

KECERDASAN MORAL MENURUT PARA AHLI

KEGIATAN BELAJAR 1

TEORI KECERDASAN MORAL MENURUT LICKONA

Pendidikan anak usia dini dalam kapasitas pendidikan moral dan karakter manusia sangat terpengaruh
oleh pola asuh orang tua dan lingkungan keluarganya. Dari anak bangsa yang terbina dan terdidik oleh
pola asuh orang tua yang baik, akan lahir, tumbuh, dan berkembang suatu generasi baik pula. Betapa
besar pengaruh kehidupan masyarakat dalam pembentukan moralitas bangsa pada umumnya.

Menurut lickona terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif.

1. Kembangkan nilai – nilai etika inti dan nilai – nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi
karakter yang baik.
2. Definisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan dan perilaku.
3. Gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter.
4. Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian.
5. Beri siswa kesempatan unutk melakukan tindakan moral.
6. Buat kurikulum akademis yang bermakna, menantang, yang menghormati semua peserta didik,
mengembangkan karakter, serta membantu anak untuk berhasil.
7. Usahakan mendorong motivasi diri anak.
8. Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab
dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai – nilai inti yang sama dan yang
membimbing pendidikan anak.
9. Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif
pendidikan karakter.
10. Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11. Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana peserta
didik memanifestasikan karakter yang baik.

Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan, terdapat tiga hal
penting yang perlu mendapat perhatian.

1. Karakter sekolah sampai sejauh mana sekolah menjadi komunikasi yang lebih peduli dan saling
menghargai.
2. Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter sampai sejauh mana staf sekolah
mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong
pengembangan karakter,
3. Karakter anak sejauh mana peserta didik memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan
atau nilai – nilai etis inti.

Manusia adalah animal saducandum, artinya, manusia adalah binatang yang harus dan dapat dididik.
Dengan tepat, aristoteles mengatakan, sebuah masyarakat yang budayanya tidak memperhatikan
pentingnya mendidik good habits ( melakukan kebiasaan berbuat baik) akan menjadi masyarakat
yang terbiasa dengan hal buruk.

A. PERANAN GURU DALAM MENINGKATKAN KECERDASAN MORAL


BERDASARKAN TEORI LICKONA
Peran dan kedudukan guru dalam meningkatkan kecerdasan moral anak dapat berbentuk sebagai
model, programmer, dan motivator yang baik. Menurut lickona, sehari – hari. Agar anak usia dini
dapat berperilaku yang baik, dibutuhkan standar model perilaku yang langsung mereka amati atau
ditiru. Orang terdekat dalam kehidupan mereka tentunya, selain ibu dan ayahnya adalah guru.
Sangatlah naïf apabila seorang guru tidak mempersiapkan diri memiliki moral, sikap, perilaku,
kepribadian, dan karakter yang dapat dijadikan standar model bagi anak didiknya.
Seorang guru perlu mewaspadai jangan sampai ada perilaku, sikap, dan perbuatannya yang
kurang baik. Hal itu akan ditiru secara langsung maupun tidak langsung oleh peserta didik.
Mengingat profesi guru dalam pandangan masyarakat umum sangatlah mulia, seyoginya setiap
guru memeprhatikan seara seriu kedudukannya sebagai pendidik, pengajar, Pembina, model, dan
teladan bagi seluruh anak didiknya. Hal itu sangat penting sebaba dalam proses pendidikan
makna semangat seorang pendidik dan kehadirannya sebagai Pembina, model, dan teladan bagian
yang turut mempengaruhi proses pendidikan moral anak didik.
Thomas Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam
merespon situasi secara bermoral yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah
laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, dan karakter mulia lainnya.
Menurut Berkowitz, kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah
terbiasa secara sadar menghargai pentingnya nilai –nilai karakter. Misalnya, seseorang terbiasa
berkata jujur karena takut mendapatkan hukuman.
Menurut Lickona, komponen ini disebut desiring the good atau keinginan untuk berbuat baik.
Namun, untuk dapat menemukan hal tersebut, setiap anak memerlukan proses pendidikan dan
pembiasaan yang di dukung oleh aspek lingkungan kondusif. Hal itu, tentu akan menjadi factor
pendukung dalam proses pendidikan karena manusia sesungguhnya memiliki keinginan untuk
berbuat atau melakukan sesuatu hal yang didorong oleh energi.

1. Sebagai Model
Guru diambil dari suatu istilah “GU” = digugu (dipercaya) ucapannya dan “RU” = ditiru
(diikuti) perbuatannya. Istilah demikian memiliki makna bahwa sosok dan profesi guru
adalah figure manusia yang haru dapat dipercaya dan baik perilakunya. Dalam proses belajar
mengajar, guru memiliki kapasitas sebagai pendidik, model, atau teladan bagi peserta
didiknya. Hal ini ssesuai dengan salah satu dari empat kompetensi yang harus dimiliki oleh
guru, yaitu kompetensi personal.
Kompetensi ini sangat penting, terutama pada tingkatan pendidikan anak usia dini, jarang kita
sadari bahwa sesungguhnya anak usia dini mudah sekali meniru apapun yang dilihat dan
diperhatikan. Oleh sebab itu, seyogianya sosok guru, khususnya di pendidikan anak usia dini,
memperhatikan hal-hal yang terkadang luput dari ingatan dan kesadaran kita pada saat
mengajar. Seperti penampilan fisik yang meliputi cara berpakaian dan memilih warna baju,
penataan wajah dan rambut (bagi guru laki-laki), cara berjalan, cara duduk dan berdiri, serta
cara makan dan bergaul di antara sesama guru. Semua hal itu tidak kalah pentingnya kita
perhatikan karena dalam ilmu pendidikan, kita juga mengenal istilah
hidden curriculum = kurikulum tersembunyi/yang tidak terprogramkan/terencanakan.
Dari mulai performa sampai dengan profesionalitas, guru sesungguhnya akan memberikan
dampak serius terhadap proses belajar mengajar di setiap satuan pendidikan yang pada
akhirnya juga akan turut menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk itulah,
Anda diharapkan mampu menjadi pelopor dalam kebaikan, profesionalitas, komitmen,
kredibilitas, konsistensi, dan keteladanan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Yakinlah
bahwa kita semua mampu menghayati dan mencintai profesi sebagai pendidik di setiap
satuan pendidikan di mana pun.
2. Sebagai Pembimbing
Program pengembangan moral anak usia dini memerlukan program yang workable
(dapat dilaksanakan) dan bukan program yang muluk atau berlebihan. Sebaik apa pun
program, jika tidak mengakar pada kebiasaan hidup yang sesuai ukuran dan norma kehidupan
kita sendiri, kita akan mengalami banyak kendala dan sia-sia belaka. Sebaiknya, pada saat
Anda menyusun program pembiasaan, rutinitas, dan aktivitas yang berkaitan dengan
pengembangan moral anak usia dini, baik dalam RKH maupun pelaksanaan pembelajaran
sehari-hari, guru senantiasa berfungsi dan berperan sebagai pembimbing.
Keterarahan sikap, perbuatan, perilaku, dan kepribadian anak-anak usia dini berdasar pada
apa yang mereka dapat dari para pembimbingnya. Keteraturan hidup dalam aktivitas sehari-
hari mereka juga sangat terpola, bagaimana para pembimbingnya menyelenggarakan
program rutin. Cetak biru kehidupan mereka sesungguhnya dimainkan dan dibuat oleh
kiprah Anda di lapangan pendidikan. Sangat disayangkan apabila mereka hidup tanpa arah
yang jelas, tanpa mematuhi aturan kehidupan yang nyata, dan berperilaku tanpa landasan
moral yang tinggi. Di sinilah peranan yang sangat strategis dari guru yang bertindak sebagai
pembimbing bagi para peserta didik atau anak-anak usia dini di mana pun kita berada.
3. Sebagai Pelatih
Anak usia dini adalah sosok manusia yang masih sangat membutuhkan latihan, pengulangan,
dan perbaikan berbagai macam perilaku dan perbuatan. Moralitas manusia seperti yang telah
sama-sama kita pelajari pada bagian sebelumnya membutuhkan pembiasaan, latihan, dan
pengulangan pada bentuk perilaku dan perbuatan positif sehingga hal itu menjadi suatu
kebiasaan (habit).
4. Sebagai Motivator
Perjalanan waktu kadang kala membuat kita lesu, lemah, dan motivasi diri menjadi turun.
Demikian juga dengan peserta didik. Tentu kita harus pahami bahwa peserta didik juga
manusia, bahkan mereka masih memiliki banyak perbedaan dengan kita sebagai orang
dewasa. Untuk memelihara kondisi psikologis seperti itu, pada posisi seperti ini guru
berperan sebagai pemberi semangat (motivator). Stabilitas motivasi peserta didik sangat
perlu dijaga dengan baik dan konsisten. Adanya fluktuasi (naik-turun) dalam suasana
kebatinan pada peserta didik adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat kita hindari. Untuk
memelihara motivasi peserta didik selama mengikuti proses belajar mengajar, guru dapat
melakukan refresh (pengulangan kesegaran) dengan cara-cara, seperti mengajak peserta didik
mengikuti tepuk tangan berpola, bernyanyi bersama, atau tebak-tebakan lucu.
5. Sebagai Penilai
Setiap perkembangan dan adanya perubahan dari suatu program pendidikan memerlukan
evaluasi. Fungsi evaluasi tersebut tentunya untuk mengetahui tingkat pencapaian
keberhasilan program sekaligus untuk menentukan langkah-langkah perbaikan. Profesi guru
yang salah satu kompetensinya adalah profesional sangat diperlukan dalam kaitan hal
tersebut. Tingkat keprofesionalan seorang guru harus diwujudkan dalam bentuk melakukan
penilaian terhadap seluruh peserta didik.’
Perkembangan moral anak usia dini memerlukan program evaluasi secara berkesinambungan
agar pembentukan moralitas dan karakteristik anak bangsa menjadi baik dan kuat. Peranan
guru dalam kedudukannya sebagai penilai perkembangan moral anak usia dini menjadi
tahapan strategis. Pada tahap inilah, anak-anak mulai diperkenalkan secara terstruktur norma
dan hakikat kehidupan bersosialisasi yang sesungguhnya. Proses penilaian yang dimaksud
memberi manfaat yang sangat baik untuk tindak lanjut proses pendidikan selanjutnya.

Kegiatan Belajar 2
Strategi dan Metode dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral Anak TK Menurut
Lickona
Moral action
merupakan puncak prestasi dari seseorang dalam mengembangkan moralitas dirinya.
Sebelum seseorang mampu melakukan
moral action, tentu dia memerlukan proses pendidikan, pembinaan, pelatihan, dan
pembiasaan. Jika semua itu telah dilakukan dan dilewati, bukan tidak mustahil setiap anak
akan memiliki kemauan (will ) untuk melakukan perilaku moralis yang merupakan buah dari
proses pembisaan (habit ) dalam kehidupannya.
Lickona (1991) lebih lanjut menjelaskan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada
tataranmoral action, diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan, yaitu (1) mulai
dari prosesmoral knowing, (2) moral feeling,hingga sampai pada (3)moral action.Ketiganya
harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian, diharapkan potensi
peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu
memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk, benar
salah, maupun menentukan mana yang bermanfaat.
Kecerdasan emosional itu berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan
mengerti perasaan orang lain, serta mampu bekerja dengan orang lain. Ada kata yang menarik
untuk diperbincangkan dalam pembahasan ini, yaitu kemampuan mengendalikan emosi.
Penggunaan kata“mengendalikan” berasal dari kata dasar “kendali”. Kata tersebut secara arti
kamus memiliki makna suatu alat yang berfungsi untuk mengatur, mengarahkan, menentukan
pilihan, dan mengamankan suatu arah yang dituju.
Kecerdasan sosial adalah memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman,
senang bekerja sama, dan senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kalau kita kaitkan
antara kecerdasan sosial dan hakikat dari unsur-unsur dalam berkomunikasi, kita akan
mengenal unsure communicant,communicator , danmission.
Hal ini beralasan bahwa pada hakikatnya, manusia bersosialisasi itu tidak dapat lepas dari
proses berkomunikasi dengan sesamanya. Maka, tidak ada salahnya kita akan mempelajari
bagaimana sesungguhnya hakikat dari kecerdasan seseorang dalam aspek sosial. Dalam
berkomunikasi, orang yang cerdas tentu akan melakukan pertimbangan yang tepat dengan
siapa dia berhadapan, seperti apa teman berkomunikasinya, dan akan menjaga proses
komunikasi itu tetap berjalan efektif. Untuk itu, diperlukan kemampuan mengenal karakter
orang lain, memahami dan menjaga perasaannya, dan menghormati derajatnya sebagai
manusia sehingga proses komunikasi tersebut akan berjalan dengan baik dan lancar. Tidak
akan terjadi hambatan komunikasi, apalagi salam pengertian yang akan berdampak kurang
baik. Dengan demikian, pendidikan dan pengembangan moral sangat membutuhkan
kontribusi penjelasan hakikat sosialisasi yang di dalamnya ada aspek berkomunikasi efektif.

A. METODE PERTAMA
Metode pembelajaran dengan pendekatan Heart Start dikembangkan oleh Indonesia Heritage
Foundation, yaitu memberikan pendidikan karakter secara sistematis selama 20 menit setiap
pagi hari dengan menanamkan sembilan pilar karakter. Hal tersebut diwujudkan dalam nilai-
nilai luhur universal berikut.
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty).
2. Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance,
discipline, and orderliness).
3. Kejujuran/amanah dan arif (trustworthiness, honesty, and tactful ).
4. Hormat dan santun (respect, courtesy, and obedience).
5. Dermawan, suka menolong, dan gotong royong/kerja sama (love, compassion, caring,
empathy, generosity, moderation, and cooperation).
6. Percaya diri, kreatif, dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity
resourcefulness, courage, determination, and enthusiasm).
7. Kepemimpinan dan keadilan ( justice, fairness, mercy, and leadership).
8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, and modesty).
9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, and unity).

B. METODE KEDUA
Metode yang kedua adalah mengintegrasikan proses pendidikan pilar- pilar karakter dalam
sentra-sentra. Adapun kurikulum yang diterapkan dalam kegiatan SBB itu mirip dengan
leambaga PAUD pada umumnya. Namun, itu menerapkan
character-based integrated curriculum system yang terjalin dengan pendidikan sembilan pilar
sesuai aspek perkembangan anak secara utuh dan patut (sosial emosi, kognitif, fisik, dan
moral/spiritual). Sentra-sentra tersebut dapat dilihat berikut ini.
1. Imajinasi di sentra ini, anak dicelupkan dalam kegiatan berfantasi dan berimajinasi untuk
merangsang kreativitas.
2. Rancang bangun Di sentra ini, anak-anak dicelupkan dalam kegiatan bereksplorasi dan
bekerja dengan balok-balok kayu serta kegiatan pertukangan. Kegiatan ini mengembangkan
konsep dasar spasial, logika matematika, dan rasa seni yang mendorong tumbuhnya karakter
percaya diri, kreatif, pantang menyerah, serta kerja sama.
3. Seni kreasi Sentra ini berkaitan dengan perkembangan motorik halus dan motorik kasar
anak. Anak-anak dicelupkan dalam kegiatan yang menyentuh cipta, rasa, dan karsa.
4. Eksplorasi Terkait dengan perkembangan kognitif, sosial, emosi, fisik, motorik halus, dan
kasar serta moral-spiritual. Anak-anak ditenggelamkan dalam keasyikan bekerja,
bereksplorasi, dan bereksperimen dengan laboratorium alam. Kegiatan ini merupakan upaya
untuk tumbuhnya rasa keingintahuan yang besar sebagai dasar tumbuhnya karakter cinta
kepada Tuhan dan alam semesta, kasih sayang, kepedulian, kerja sama, pantang menyerah,
kerja keras, amanah, hormat, dan santun. Bereksplorasi dengan alam merupakan cara yang
dapat membantu pembentukan jiwa yang penuh kepedulian, kekaguman, cinta, dan kasih
saying.
5. Kebun, ikan, dan ternak Sentra ini dapat menenggelamkan anak dalam keasyikan bekerja,
bereksplorasi, dan berhubungan dengan tanaman, binatang ternak, dan ikan. Mereka belajar
mengenal proses tumbuhnya tanaman, menyiramnya, sampai memanen. Memberi pakan
ternak dan ikan serta memeliharanya dengan baik sehingga diharapkan karakter yang
terbangun adalah tanggung jawab, amanah, kepedulian, dan rasa cinta sesama makhluk
sebagai ciptaan Tuhan. 6. Persiapan Sentra ini merupakan tempat untuk mempersiapkan anak
masuk ke jenjang pendidikan formal di SD dengan mengenalkan huruf dan angka secara
patut (bukan mengajar membaca, menulis, atau berhitung). 7. Keimanan dan ketakwaan
(optional ) Ini terkait dengan aspek perkembangan moral spiritual. Bagi yang beragama
Islam, kegiatan ini menyentuh tauhid uluhiyah dan akhlakul karimah sesuai dengan
pengembangan pilar karakter cinta Allah dan kebenaran yang meyakini, mencintai, dan patuh
kepada Allah SWT.
Metode di atas (kesatu dan kedua) diterapkan dengan menggunakan metode student active
learning, contextual learning, joyful learning, developmentally appropriate practices,dan
whole language.Dengan cara ini, diharapkan anak-anak dapat mengoptimalkan dan
menyeimbangkan perkembangan head, heart, and hand anak sehingga mereka dapat menjadi
manusia kreatif, mandiri, dan berpikir kritis.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam rangka pembentukan karakter anak adalah
menciptakan iklim sekolah yang kondusif, dengan guru-guru yang ramah, penuh dedikasi,
serta menjadi fasilitator yang disenangi dan dicintai oleh anak. Guru yang baik dalam
pandangan ilmu pendidikan adalah guru yang senantiasa belajar. Hal itu beralasan karena
yang dihadapi oleh guru bukanlah benda mati, melainkan manusia yang punya hati,
perasaan, cita-cita, keinginan, hasrat, dan kemauan yang disenangi dan dicintai oleh anak.
Guru yang baik dalam pandangan ilmu pendidikan adalah guru yang senantiasa belajar. Hal
itu beralasan karena yang dihadapi oleh guru bukanlah benda mati, melainkan manusia yang
punya hati, perasaan, cita-cita, keinginan, hasrat, dan kemauan. Di hadapan Anda, ada
sejumlah anak manusia yang tidak boleh sembarangan dan asal-asalan dididik. Sebagai upaya
kerja sama dengan pihak orang tua, perlu juga diadakan program co- parenting
dalam penerapan pendidikan karakter di rumah (orang tua diberi petunjuk khusus untuk
menerapkan setiap pilar beserta lembar evaluasi). Program co-parenting
dapat berwujud sistem piket bergiliran, yaitu setiap hari ada dua orang tua murid yang
membantu di kelas sehingga para orang tua akan belajar bagaimana mendidik dan
membangun karakter anak atau program lain yang disesuaikan dengan kondisi sekolah di
lingkungannya masing-masing yang disenangi dan dicintai oleh anak. Guru yang baik dalam
pandangan ilmu pendidikan adalah guru yang senantiasa belajar. Hal itu beralasan karena
yang dihadapi oleh guru bukanlah benda mati, melainkan manusia yang punya hati,
perasaan, cita-cita, keinginan, hasrat, dan kemauan.

MODUL 3
Pemahaman dan Penanaman Moral pada Anak Usia Dini
Kegiatan Belajar 1
Hakikat Moral Knowing
pembiasaan yang kontradiktif, membingungkan, mendapat hal yang secara tidak langsung
akan membentuk kepribadian ganda anak, dan menyulitkan pengembangan moralnya ke arah
yang sebenarnya pada kemudian hari. Banyak kasus yang dapat diungkap dalam hal ini,
seperti penanganan anak usia dini yang karena kedua orang tuanya sibuk bekerja, kemudian
anak tersebut dititipkan kepada nenek-kakek atau mertuanya. Perbedaan latar belakang
keluarga, pendidikan, tradisi, pemahaman terhadap pola asuh, tingkat kepedulian, serta
persepsi antara kedua orang tuanya dan orang lain cenderung banyak menimbulkan
permasalahan terhadap perkembangan moralitas anak usia dini. Pada usianya yang relatif
dini, anak akan mudah beradaptasi dan adaptif dengan apa pun yang dianggap sebagai
pengetahuan awal tentang moralitas kehidupan. Permasalahan-permasalahan yang dimaksud
adalah perbedaan cara menangani anak, cara mendidik anak tentang pengenalan moralitas
kehidupan, pembiasaan berperilaku, pendidikan kemandirian, sampai pada masalah
pembentukan karakter anak itu sendiri. Seyogianya, kondisi dan bentuk-bentuk permasalahan
tersebut harus dihindari. Pada usianya yang relatif dini, anak manusia sangat membutuhkan
modeling, konsistensi, dan keseragaman.
Modeling
, konsistensi, dan keseragaman adalah tiga faktor utama dalam pembentukan karakter awal
anak usia dini. Tanpa model, anak akan kehilangan contoh terbaik dalam mempelajari
berbagai perilaku normatif. Justru dengan model, anak akan mendapatkan kemudahan untuk
meniru, mencontoh, melakukan, dan mempraktikkan pengetahuan tentang berbagai hal,
termasuk pengetahuan moral. Konsistensi adalah suatu kondisi yang memberikan makna
bahwa proses dari suatu aktivitas manusia dalam situasi ajek, sama, tidak berubah, dan terus
berulang secara teratur. Dalam kaitannya dengan pengembangan pendidikan moral, aspek
konsistensi ini sangat diperlukan. Hal itu bertujuan agar pembentukan karakter seorang
manusia lebih teratur, terpola, terprogram, dan berkesinambungan. Tidak terjadi
penghambatan dalam pembentukan karakter yang sesuai aturan norma dan moralitas
kehidupan manusia. Tanpa adanya aspek konsistensi dalam pengembangan moral anak usia
dini, besar kemungkinan anak akan menghadapi kebingungan, ketidakpastian, kegalauan,
ketidakyakinan, dan ketidakjelasan dalam bersikap. Sangat disayangkan apabila para orang
tua dan praktisi pendidikan anak usia dini kurang memperhatikan masalah ini.

A. NILAI-NILAI KEJUJURAN, TOLERANSI, DAN SETIA KAWAN PADA ANAK


TAMAN KANAK-KANAK

Pembentukan kepribadian manusia memerlukan proses dan program yang intensif serta
berkesinambungan. Pendidikan dalam kaitan pembahasan ini menjadi jalan atau wahana
Strategis karena memiliki mekanisme progresif dan didukung oleh sistem
yang jelas. Strategis memiliki makna bahwa jalur pendidikan sangat dipercaya oleh
masyarakat luas untuk membantu anak dan keturunannya agar dapat tumbuh dan berkembang
sesuai harapan masyarakat itu. Progresif dapat diartikan bahwa institusi pendidikan akan
mampu mengembangkan berbagai potensi tersembunyi pada diri setiap anak yang pada
kurun waktu tertentu dapat memberikan bukti nyata hasil pendidikan dalam wujud prestasi
akademis ataupun nonakademis. Sementara itu, sistem dalam konteks pendidikan dimaknai
dengan serangkaian komponen atau unsur penyelenggaraan proses pendidikan yang saling
berkaitan. Dengan sistem tersebut, penyelenggaraan pendidikan sangat memerlukan
dukungan dari seluruh komponen yang terkait.

B. MODEL PENDIDIKAN YANG TOLERAN

1. Model Aksi-Refleksi-Aksi
Dalam pembelajaran ini, pendekatannya lebih mementingkan pada siswanya. Model
ini diterapkan oleh Paulo Freire yang lebih mementingkan pembelajaran terhadap
masalah ( problem posing ) dengan paradigma kritis, yaitu menggunakan dialog
antara fasilitator dan pembelajar yang membawa percakapan yang bernilai
pengalaman divergen (meluas), harapan,perspektif(pandangan), dan nilai (value).
Dialog yang digunakan bukan bermakna sebatas teknis dan taktik, tetapi komunikasi
kritis yang berarti merefleksikan bersama (guru dan siswa) apa yang diketahui dan
tidak diketahui, kemudian bertindak kritis untuk mentransformasi realitas
(menghubungkannya dengan kegiatan nyata) (Freire dan Shor, 2001: 51-52). Hal
yang utama dari paradigma ini adalah pengakuan manusia sebagai hal yang sentral
bagi sebuah perubahan yang memandang sistem dan struktur sosial secara kritis
(Mansour Fakih, 1996: 63).
Pembelajaran ini bersifat membebaskan diri dari hal-hal yang memiliki prasyarat
(diilhami dari sebuah buku riset Partisipatoris Riset Pembebasan
karya Walter Fernandes dan Rajesh Tandon) seperti berikut.
a. Pembagian kekuasaan, kedudukan guru, dan peserta didik adalah seimbang dalam
mencari kebenaran ilmu pengetahuan (setara dalam srawung ilmiah). Keduanya
merupakan mitra belajar sehingga harus saling menghormati.
b. Penggunaan sumber daya setempat (khususnya murid, sumber belajar, bahan ajar,
dan lainnya yang terkait dengan pembelajaran). Sumber dari luar siswa hanya
memainkan peran pendukung dan tidak lagi merupakan sumber dominan dan kontrol.
c. Pembelajaran mengakar pada konteks setempat, model rancangan, dan
pelaksanaan model secara sederhana serta relevan berasal dari masukan siswa.
d. Menekankan pada pembelajaran kualitatif dan berorientasi pada proses.

2. Model Ignasian

Model ini hampir mirip dengan yang pertama. Langkah yang ditempuh meliputi
konteks, pengalaman (langsung ataupun tidak langsung), refleksi (daya ingat,
pemahaman, daya imajinasi, dan perasaan) untuk menangkap arti dan nilai hakiki
dari apa yang dipelajari, aksi (tindakan ini mengacu pada pertumbuhan batin
manusia berdasarkan pengalaman yang telah direfleksikan dan mengacu pada yang
ditampilkan), serta evaluasi (Drost, 1999: 45-58). Penerapannya bagi anak usia dini,
sebaiknya pendidik dalam mengenalkan hakikat sikap toleran mampu menyiapkan
diri dengan sikap demokratis, memandang anak didik sebagai manusia utuh yang
memiliki harga diri, cita-cita, gagasan atau pendapat, serta memberi kebebasan untuk
bertanya berbagai hal yang ditangkap sesuai dengan pemahamannya tentang hakikat
perbedaan yang ada. Sedikit mungkin kita melakukan doktrinisasi. Namun justru
memberikan ruang kebebasan kepada anak usia dini untuk bertanya, mengamati, dan
mengomentari berbagai hal dari pemahamannya terhadap fenomena sosial yang
ditangkap dalam kehidupannya.

Kegiatan Belajar 2
Penanaman Nilai-nilai Kejujuran, Toleransi, dan Setia Kawan pada Anak Usia Dini

Penanaman nilai-nilai yang terkait dengan wilayah pembelajaran moral dan etika bagi anak
usia dini, meliputi:
(1) mengenal kehidupan pribadi dalam kaitannya dengan orang lain, (2) mengenal dan
menghargai perbedaan di lingkungan, (3) mengenal peran jenis (rule of gender ) dan orang
lain, serta (4) mengembangkan kesadaran hak dan tanggung jawab (Al Mabrur, 2003). Setiap
wilayah pembelajaran tersebut dijabarkan ke dalam sejumlah topik kegiatan inti sebagai
rambu-rambu bagi pengembangan lingkungan pembelajaran. Ragam kegiatan ini dapat
dikembangkan secara terus-menerus melalui kolaborasi antara guru dan orang tua.
Argumentasi yang mendasari disusunnya ruang lingkup pembelajaran dan etika bagi anak
usia dini dimulai dari yang terdekat dengan lingkungan hidup anak. Pada pemilihan ruang
lingkup yang mengenal kehidupan pribadi dalam kaitannya dengan orang lain, diharapkan
pribadi anak menguasai kompetensi yang berkaitan erat dengan keberadaannya dalam
kehidupan supaya mampu memainkan peran sosialnya secara baik. Pada akhirnya, dia akan
dapat beradaptasi dengan orang di sekitarnya. Ruang lingkup mengenal dan menghargai
perbedaan di lingkungan adalah fase kedua yang perlu diketahui dan dipahami oleh anak usia
dini pada saat mereka belajar mengembangkan moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Pada saat anak usia dini telah melek (memedulikan) berbagai hal dari lingkungan sekitarnya,
akan muncul pemahaman bahwa mengapa begitu banyak hal yang berbeda dengan dirinya.
Mulai dari perbedaan jenis kelamin, bentuk fisik, bahasa, sampai dengan sifat dan karakter
teman-temannya. Berkaitan dengan penanaman nilai-nilai moral pada pendidikan anak usia
dini, dengan beradaptasi pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun
2007 tentang Standar Proses Belajar Mengajar, kegiatan pembelajaran dilakukan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemis melalui proses
eksplorasi,elaborasi, dan konfirmasi.

1. Proses Eksplorasi
Eksplorasi adalah kegiatan anak didik dalam upaya menggali informasi/pengetahuan
mengenai materi/topik/tema yang sedang dipelajari. Adapun bentuk-bentuk aktivitas yang
dapat dilakukan pada proses eksplorasi ini sebagai berikut.
a. Melibatkan anak untuk menggali informasi terkait dengan materi/topik/tema.
b. Menggunakan strategi/pendekatan/metode pembelajaran yang berpusat pada anak.
c. Menggunakan media/alat bantu pembelajaran.
d. Menggunakan sumber belajar/pembelajaran.
e. Memfasilitasi terjadinya komunikasi antaranak dalam proses pembelajaran.
f. Memfasilitasi terjadinya interaksi antaranak dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar
lainnya.
g. Melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran.
h. Menguasai materi yang terkait dengan topik/tema.
i. Menerapkan konsep sesuai materi/topik/tema dalam kehidupan anak sehari-hari.
j. Mengembangkan kecakapan hidup
(life skill).
k. Merancang tugas yang harus anak kerjakan.

2. Proses Elaborasi
Proses elaborasi adalah kegiatan anak untuk menyampaikan hasil eksplorasinya. Bentuk
aktivitas yang dapat dilakukan sebagai berikut.
a. Menfasilitasi anak melalui berbagai kegiatan belajar.
b. Memfasilitasi anak dalam membuat laporan hasil eksplorasi.
c. Memberi kesempatan kepada anak untuk bertindak tanpa rasa takut atau salah.
d. Memfasilitasi anak dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif.
e. Memberi kesempatan kepada anak untuk mempresentasikan hasil kerjanya

3. Proses Konfirmasi
Proses konfirmasi adalah kegiatan interaktif antara guru dan anak untuk memberikan umpan
balik. Bentuk aktivitas yang dapat dilakukan:
a. memberikan umpan balik positif
b. memberikan penguatan terhadap keberhasilan anak
c. memberikan informasi yang menantang rasa keingintahuan anak
d. melakukan penilaian proses pembelajaran. Berdasarkan paparan di atas, kita tahu bahwa
penanaman nilai-nilai kejujuran, toleransi, dan setia kawan pada anak usia dini dapat
diterapkan dengan beberapa contoh penerapan pembelajaran dengan story telling , simulasi,
atau test case sebagai berikut.

a. Nilai-nilai Kejujuran
Pada bagian modul terdahulu, Anda telah membaca bahwa pada saat pelaksanaan
pengembangan moral, termasuk penanaman nilai-nilai kejujuran, hindari pembelajaran yang
bersifat verbalisme atau hanya pemberian konsep. Hal ini disebabkan anak usia dini tidak
cocok dengan pendekatan tersebut. Mereka masih sangat memerlukan pembelajaran nyata
(operational concrete) dan akan sangat efektif apabila mereka memperoleh sesuatu hal yang
disimpulkannya sendiri (eksplorasi).

b. Toleransi
Tidak gampang menanamkan sikap toleransi pada kehidupan anak usia dini. Lazimnya, pada
usia tersebut, anak cenderung lebih bersikap egosentris (lebih mementingkan dirinya sendiri,
tetapi tidak merugikan temannya). Anak juga relatif melakukan aktivitas bermain soliter
(bermain sendiri). Pada kondisi inilah, sesungguhnya Anda sebagai guru perlu berperan aktif
menstimulasi agar potensi tersembunyi anak dapat muncul dan berkembang ke arah positif.
Salah satu potensi yang perlu Anda stimulasi dari anak usia dini adalah mengembangkan
sikap toleransi di kalangan anak-anak.

c. Setia Kawan
Seperti telah diuraikan pada modul sebelumnya, setia kawan adalah buah dari kebaikan
suasana kebatinan seseorang yang memiliki moral yang tinggi. Suasana kebatinan seseorang
yang telah dipenuhi oleh kesadaran dan pembiasaan yang melembaga pada dirinya akan
mampu mendorong seseorang melakukan perilaku setia kawan. Lebih jauh, pribadi seperti
itu akan memiliki rasa empati atau mampu merasakan apa yang diderita/dirasakan oleh orang
lain di sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai