Anda di halaman 1dari 4

Jangan Biarkan Guru Stres

Oleh: Amri Ikhsan*)

Pendidikan adalah proses kehidupan yang masalahnya sangat


kompleks dan tetap ada sepanjang keberadaan manusia di muka bumi ini.
Namun dalam prosesnya pendidikan tetap memerlukan pembenahan sesuai
masalah yang dihadapi pada zamannya.
Proses pendidikan tidak selalu ‘mulus’, berjalan lancar, pendidikan
bukan sebuah ‘teks book’ yang selalu dinamis dalam setiap kegiatan. Tapi
pendidikan selalu mengalami ‘pasang surut’, penuh dinamika. 
Dalam dunia pendidikan berlaku juga prinsip Mengajak pada kebaikan
dan mencegah kemungkaran bisa menjadi ciri utama stakeholder dalam
mengelola pendidikan.  Amar ma’ruf  dan nahi mungkar bisa mensukseskan
dan membuat proses pendidikan berkualitas. Dan bahwa sikap diam atau
tidak peduli terhadap amar ma’ruf nahi mungkar dalam pendidikan
merupakan sesuatu yang bisa membahayakan dan mengikis kualitas
pendidikan kita.
Memerintahkan untuk suatu kebajikan dan melarang terhadap suatu
kemungkaran adalah perintah agama, karena itu ia wajib melaksanakan oleh
setiap umat manusia. Amar ma’ruf nahi munkar dalam dunia pendidikan
tidak boleh dilakukan sembarangan orang kecuali oleh orang yang tahu betul
permasalahan dan dipercaya menyampaikan hal itu.
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan usaha mendorong dan
menggerakkan stakeholder untuk menerima dan melaksanakan semua
kewajiban dalam menjalankan proses pendidikan. Sedang nahi munkar
mengandung segala bentuk ketidakpatutan yang bisa menghambat
terjadinya proses pendidikan.
Amar ma’ruf dalam pendidikan harus dalam prinsip-prinsip keadilan,
kejujuran dan perlu dijalankan dengan sidiq, amanah, fatonah, tabligh,
istiqomah dan sabar. Hal itu hendaknya bisa menghilangkan raiya’, sum’ah,
ujub, dengki, munafik, kufur, dan lain sebagainya. Semua dijalankan secara
global, konferhensif, stimulan dan berkelanjutan.
Pada hakikatnya amar ma’ruf nahi munkar dalam pendidikan
merupakan bagian dari upaya menegakkan aturan dan perundangan
undangan yang berlaku dan akan membuat pendidikan itu berkualitas.
Secara spesifik amar ma’ruf nahi munkar lebih dititiktekankan dalam
mengantisipasi maupun menghilangkan “kemunkaran” dalam proses
pembelajaran, dengan tujuan utamanya menjauhkan setiap hal negatif di
dunia pendidikan tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.
Itulah guru, dengan segala kelebihan dan kekurangan memiliki beban
kerja yang harus dipenuhi. Sebagian pihak menyebutkan guru sebenarnya
melaksanakan tugas mulia yang memiliki segudang kewajiban:
merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang bermutu, menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran, membimbing, membina peserta didik
demi tercapainya tujuan pembelajaran secara maksimal.
Guru juga dituntut terus mengembangkan, meningkatkan kapasitas,
dan mengualifikasi akademik seiring perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni yang pesat. Guru harus menyesuaikan kompetensi
dengan zaman kekinian, guru abad 21, pendidikan 4.0, dll.
Itulah guru selalu menjadi ‘subjek’ kebijakan. Semua pihak selalu ingin
‘membantu’ guru untuk bekerja sebanyak banyaknya. Seolah olah kualitas
pendidikan sangat tergantung pada kerja guru sendiri. Dan kelihatanya para
stakeholder tidak pernah kehabisan ide untuk menambah beban kerja guru.
Selalu ada sesuatu yang baru untuk menambah beban kerja guru.
Begitu banyak tuntutan yang harus dipenuhi dan ditunaikan guru
tentunya mempengaruhi kinerja. Guru itu bukan hanya sebagai pendidik.
Guru itu orang tua bagi anak-anaknya, suami atau istri bagi pasangannya,
bagian dari masyarakat yang memiliki peran tersendiri. Tentu ini menyita
waktu, pikiran. Kalau kurang bijak bisa memunculkan stres.
Sering ditemukan sebagian kebijakan yang tidak bersahabat: 1)
terlampau banyak aplikasi yang harus disi, kadang kadang aplikasinya
belum siap atau sering error; 2) kerja dulu baru dilatih, idealnya dilatih dulu
baru kerja; 3) urusan kenaikan pangkat yang begitu ‘panjang dan
melelahkan’;
Kemudian, 4) sosialisasi yang tidak selesai, bahkan, suatu kebijakan
belum dipahami, sudah muncul kebijakan baru; 5) pelatihan guru yang tidak
otentik, terlalu percaya pada ‘the expert theory bukan pada the teacher
theory; 6) mementingkan kehadiran guru atau jumlah jam dari pada kinerja;
7) penilaian atau pemeriksaan oleh pihak tertentu yang terlalu document
oriented, kadang kadang guru sudah melaksanakan aturan itu, tapi tidak ada
bukti fisik.
Penelitian yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir melalui metode
survei membuktikan bahwa setidaknya terdapat 53% dari sampel 2.126 guru
di salah provinsi mengalami stres, dari mulai tingkat ringan sampai berat.
Hal itu berdampak terhadap mutu pembelajaran yang diampu seperti guru
malas dan sering tidak mengajar dengan alasan sakit, sering marah dan
mudah tersinggung, mengajar tidak serius dan asal-asalan, serta berbagai
efek lain yang ditimbulkan (Dadi dan Daeng: 2013).
Munculnya stres pada guru bukan tanpa alasan. Berbagai tuntutan
yang menuntut guru untuk selalu sempurna, tidak boleh salah, siswa yang
dididik harus menjadi orang baik, pintar (insan kamil) tapi kadang kadang
tidak didukung dengan sarana prasarana yang memadai sedikit banyak
memunculkan rasa cemas, gagal, lelah, dan tidak percaya diri terhadap tugas
dan tanggung jawabnya. Secara fisik: kelelahan yang berlebihan dalam
mengajar dan menyelesaikan administrasi pembelajaran, dll.
Stress merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja guru. Stress
membuat guru tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai
dengan tanggung jawabnya. Karena adanya tekanan dan gangguan yang
tidak menyenangkan membuat kinerja tidak optimal (Charles D.
Spielberger).
Kalau itu terjadi, stres bisa membuat berbagai pekerjaan guru menjadi
terbengkalai, bahkan bisa berdampak pada siswa. Menurut McLean (2015),
stres pada guru dapat membuat lingkungan kelas menjadi tidak kondusif.
Akibatnya motivasi siswa dalam belajar menjadi turun karena sulit
memahami materi yang disampaikan.
Banyak hal dapat dilakukan guru dalam menunaikan kewajibannya
agar tidak terbebani dan menimbulkan stres: 1) menguasai ‘ilmu’ untuk
berhadapan dengan siswa baik secara profesional maupu pedogogik; 2)
berkomunikasi secara santun dengan siswa, berinteraksi dengan para
stakeholder; 3) selalu bermuhasabah; 4) selalu ber-muraqobah (merasa
selalu dilihat oleh Allah swt); 5) meng-upgrade dan update ilmu; 6) banyak
membaca dan menulis, banyak meneliti.
Dan yang penting, bisa mengelola waktu dengan bijak dan tepat juga
hal yang perlu dilakukan guru. Ada begitu banyak tugas yang harus
diselesaikan, maka gunakanlah skala prioritas dengan mengatur waktu yang
tepat, dan hindari tuntutan kegiatan yang tidak produktif. Menyeimbangkan
waktu kerja dengan waktu istirahat merupakan hal yang harus dilakukan.
Guru jangan memaksa menyibukkan diri dalam menyelesaikan
pekerjaan namun mengabaikan waktu istirahat, tidur yang cukup (6-8 jam
sehari) sangat diperlukan, dan juga mengonsumsi makanan yang seimbang
serta olahraga paling tidak tiga kali dalam seminggu (Dadi dan Daeng:
2013).
Ternyata, guru rupanya tidak lepas dari tekanan. Beban pekerjaan
dalam mempersiapkan bahan ajaran sampai beban moral dalam mendidik
siswa membuat guru rentan mengalami stres. Sayangnya, kondisi stres ini
kerap tidak terdeteksi sampai akhirnya berdampak pada aktivitas mengajar.
Jangan biarkan stres guru mengendap terlalu lama, mari membuat
kebijakan yang ramah dengan guru!
*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah

Anda mungkin juga menyukai