Pendidikan adalah proses kehidupan yang masalahnya sangat
kompleks dan tetap ada sepanjang keberadaan manusia di muka bumi ini. Namun dalam prosesnya pendidikan tetap memerlukan pembenahan sesuai masalah yang dihadapi pada zamannya. Proses pendidikan tidak selalu ‘mulus’, berjalan lancar, pendidikan bukan sebuah ‘teks book’ yang selalu dinamis dalam setiap kegiatan. Tapi pendidikan selalu mengalami ‘pasang surut’, penuh dinamika. Dalam dunia pendidikan berlaku juga prinsip Mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran bisa menjadi ciri utama stakeholder dalam mengelola pendidikan. Amar ma’ruf dan nahi mungkar bisa mensukseskan dan membuat proses pendidikan berkualitas. Dan bahwa sikap diam atau tidak peduli terhadap amar ma’ruf nahi mungkar dalam pendidikan merupakan sesuatu yang bisa membahayakan dan mengikis kualitas pendidikan kita. Memerintahkan untuk suatu kebajikan dan melarang terhadap suatu kemungkaran adalah perintah agama, karena itu ia wajib melaksanakan oleh setiap umat manusia. Amar ma’ruf nahi munkar dalam dunia pendidikan tidak boleh dilakukan sembarangan orang kecuali oleh orang yang tahu betul permasalahan dan dipercaya menyampaikan hal itu. Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan usaha mendorong dan menggerakkan stakeholder untuk menerima dan melaksanakan semua kewajiban dalam menjalankan proses pendidikan. Sedang nahi munkar mengandung segala bentuk ketidakpatutan yang bisa menghambat terjadinya proses pendidikan. Amar ma’ruf dalam pendidikan harus dalam prinsip-prinsip keadilan, kejujuran dan perlu dijalankan dengan sidiq, amanah, fatonah, tabligh, istiqomah dan sabar. Hal itu hendaknya bisa menghilangkan raiya’, sum’ah, ujub, dengki, munafik, kufur, dan lain sebagainya. Semua dijalankan secara global, konferhensif, stimulan dan berkelanjutan. Pada hakikatnya amar ma’ruf nahi munkar dalam pendidikan merupakan bagian dari upaya menegakkan aturan dan perundangan undangan yang berlaku dan akan membuat pendidikan itu berkualitas. Secara spesifik amar ma’ruf nahi munkar lebih dititiktekankan dalam mengantisipasi maupun menghilangkan “kemunkaran” dalam proses pembelajaran, dengan tujuan utamanya menjauhkan setiap hal negatif di dunia pendidikan tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar. Itulah guru, dengan segala kelebihan dan kekurangan memiliki beban kerja yang harus dipenuhi. Sebagian pihak menyebutkan guru sebenarnya melaksanakan tugas mulia yang memiliki segudang kewajiban: merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang bermutu, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, membimbing, membina peserta didik demi tercapainya tujuan pembelajaran secara maksimal. Guru juga dituntut terus mengembangkan, meningkatkan kapasitas, dan mengualifikasi akademik seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang pesat. Guru harus menyesuaikan kompetensi dengan zaman kekinian, guru abad 21, pendidikan 4.0, dll. Itulah guru selalu menjadi ‘subjek’ kebijakan. Semua pihak selalu ingin ‘membantu’ guru untuk bekerja sebanyak banyaknya. Seolah olah kualitas pendidikan sangat tergantung pada kerja guru sendiri. Dan kelihatanya para stakeholder tidak pernah kehabisan ide untuk menambah beban kerja guru. Selalu ada sesuatu yang baru untuk menambah beban kerja guru. Begitu banyak tuntutan yang harus dipenuhi dan ditunaikan guru tentunya mempengaruhi kinerja. Guru itu bukan hanya sebagai pendidik. Guru itu orang tua bagi anak-anaknya, suami atau istri bagi pasangannya, bagian dari masyarakat yang memiliki peran tersendiri. Tentu ini menyita waktu, pikiran. Kalau kurang bijak bisa memunculkan stres. Sering ditemukan sebagian kebijakan yang tidak bersahabat: 1) terlampau banyak aplikasi yang harus disi, kadang kadang aplikasinya belum siap atau sering error; 2) kerja dulu baru dilatih, idealnya dilatih dulu baru kerja; 3) urusan kenaikan pangkat yang begitu ‘panjang dan melelahkan’; Kemudian, 4) sosialisasi yang tidak selesai, bahkan, suatu kebijakan belum dipahami, sudah muncul kebijakan baru; 5) pelatihan guru yang tidak otentik, terlalu percaya pada ‘the expert theory bukan pada the teacher theory; 6) mementingkan kehadiran guru atau jumlah jam dari pada kinerja; 7) penilaian atau pemeriksaan oleh pihak tertentu yang terlalu document oriented, kadang kadang guru sudah melaksanakan aturan itu, tapi tidak ada bukti fisik. Penelitian yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir melalui metode survei membuktikan bahwa setidaknya terdapat 53% dari sampel 2.126 guru di salah provinsi mengalami stres, dari mulai tingkat ringan sampai berat. Hal itu berdampak terhadap mutu pembelajaran yang diampu seperti guru malas dan sering tidak mengajar dengan alasan sakit, sering marah dan mudah tersinggung, mengajar tidak serius dan asal-asalan, serta berbagai efek lain yang ditimbulkan (Dadi dan Daeng: 2013). Munculnya stres pada guru bukan tanpa alasan. Berbagai tuntutan yang menuntut guru untuk selalu sempurna, tidak boleh salah, siswa yang dididik harus menjadi orang baik, pintar (insan kamil) tapi kadang kadang tidak didukung dengan sarana prasarana yang memadai sedikit banyak memunculkan rasa cemas, gagal, lelah, dan tidak percaya diri terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Secara fisik: kelelahan yang berlebihan dalam mengajar dan menyelesaikan administrasi pembelajaran, dll. Stress merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja guru. Stress membuat guru tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan tanggung jawabnya. Karena adanya tekanan dan gangguan yang tidak menyenangkan membuat kinerja tidak optimal (Charles D. Spielberger). Kalau itu terjadi, stres bisa membuat berbagai pekerjaan guru menjadi terbengkalai, bahkan bisa berdampak pada siswa. Menurut McLean (2015), stres pada guru dapat membuat lingkungan kelas menjadi tidak kondusif. Akibatnya motivasi siswa dalam belajar menjadi turun karena sulit memahami materi yang disampaikan. Banyak hal dapat dilakukan guru dalam menunaikan kewajibannya agar tidak terbebani dan menimbulkan stres: 1) menguasai ‘ilmu’ untuk berhadapan dengan siswa baik secara profesional maupu pedogogik; 2) berkomunikasi secara santun dengan siswa, berinteraksi dengan para stakeholder; 3) selalu bermuhasabah; 4) selalu ber-muraqobah (merasa selalu dilihat oleh Allah swt); 5) meng-upgrade dan update ilmu; 6) banyak membaca dan menulis, banyak meneliti. Dan yang penting, bisa mengelola waktu dengan bijak dan tepat juga hal yang perlu dilakukan guru. Ada begitu banyak tugas yang harus diselesaikan, maka gunakanlah skala prioritas dengan mengatur waktu yang tepat, dan hindari tuntutan kegiatan yang tidak produktif. Menyeimbangkan waktu kerja dengan waktu istirahat merupakan hal yang harus dilakukan. Guru jangan memaksa menyibukkan diri dalam menyelesaikan pekerjaan namun mengabaikan waktu istirahat, tidur yang cukup (6-8 jam sehari) sangat diperlukan, dan juga mengonsumsi makanan yang seimbang serta olahraga paling tidak tiga kali dalam seminggu (Dadi dan Daeng: 2013). Ternyata, guru rupanya tidak lepas dari tekanan. Beban pekerjaan dalam mempersiapkan bahan ajaran sampai beban moral dalam mendidik siswa membuat guru rentan mengalami stres. Sayangnya, kondisi stres ini kerap tidak terdeteksi sampai akhirnya berdampak pada aktivitas mengajar. Jangan biarkan stres guru mengendap terlalu lama, mari membuat kebijakan yang ramah dengan guru! *) Penulis adalah Pendidik di Madrasah