Anda di halaman 1dari 8

Kierkegaard: Menjadi Seorang Manusia

Schmuel Matthew Muhea/9B/18

Setiap manusia mempunyai kecenderungan dan kebiasaan masing-masing.


Kecenderungan tersebutlah yang membuat manusia menjadi seorang “homo sapiens” yang
berbeda dengan hewan. Oleh sebab itu seorang filsuf dan teolog Denmark bernama
Kierkegaard membahas hal ini secara terperinci. Mulai dari kehidupan mula-mula seorang
manusia yang dengan berselangnya waktu mempelajari arti kehidupan yang sebenarnya.
Meskipun tidak semua orang mungkin mengalami tahapan-tahapan kehidupan ini tetapi
Kierkegaard sudah menyusun secara terperinci mengenai hal-hal yang mungkin akan dilewati
oleh setiap manusia atau bahkan sudah terlewati atau sudah berada pada tahap itu. Melalui
tulisan ini penulis ingin memaparkan secara terperinci mengenai tahapan-tahapan kehidupan
ini dengan contoh-contoh sederhana yang bisa dikaitkan dengan tahapan kehidupan tersebut
ataupun yang berkaitan dengan tulisan penulis.

Sebelum masuk ke dalam penjelasan yang lebih dalam penulis akan terlebih dahulu
menjelaskan salah satu hal penting dalam filsafat Kierkegaard, yaitu komitmen. Apa itu
komitmen? Apakah hal ini penting sekali sehingga hal ini bisa menjadi tujuan hidup
manusia? Ya, komitmen itu penting. Tidak banyak yang menyadarinya, tetapi orang yang
tidak berkomitmen justru tidak memiliki tujuan apa-apa. Di lain hal orang yang berkomitmen
biasanya akan memiliki tujuan dan bisa menjadi lebih maju daripada orang yang tidak
memiliki komitmen sama sekali. Hal yang menarik di sini adalah meskipun orang
berkomitmen dalam hal yang salah kekuatan dari komitmen tersebut juga tetap besar.

Orang yang berkomitmen secara filsafat bisa dikatakan membatasi dirinya. Hal ini
sudah jelas dari arti katanya sendiri bahwa komitmen itu adalah sebuah dedikasi kepada
sesuatu atau kepada seseorang. Dedikasi tersebut tidaklah main-main, berarti orang hanya
bisa berdedikasi kepada hal tersebut dan tidak dapat melakukan hal lain selama dia masih di
dalam lingkaran dedikasi tersebut. Contoh yang sederhana mengenai komitmen ini bisa kita
andaikan seperti seorang muda yang mau pergi ke suatu tempat, dia sudah menetapkan bahwa
dari rumahnya ke tempat itu ia akan melewati jalan yang mana dan yang paling cepat. Di
sinilah kita lihat ketika dia sudah menetapkan mau ke jalan yang mana dia justru membatasi
dirinya untuk tidak menuju jalan yang lain karena bisa membuat dirinya mungkin tersesat dan
lain hal. Di lain pihak orang yang justru tidak memiliki komitmen dia justru tidak memiliki
tujuan apapun sehingga bisa kemanapun.

Orang yang mau apa saja boleh tidak memiliki tujuan hidup sama sekali, masa depan
pun tidak dapat menjadi jelas. Tetapi, begitu ada komitmen (memiliki suatu tujuan) tidak
semua jalan/hal dalam kehidupannya boleh dijalankan. Semakin serius seseorang hidup maka
akan semakin memiliki tujuan hidup dengan membatasi diri (berkomitmen). Kierkegaard
sendiri pun menjelaskan secara jelas bahwa sebuah perjalanan yang panjang itu baru bisa
dimulai kalau ada komitmen. Keputusan awal itu sangat penting. Seorang presiden dalam
masa jabatannya memulai pekerjaannya dengan bersumpah atas nama Tuhan dan kepada
masyarakat. Hal ini pun bisa menjadi salah satu bentuk komitmen yang sangat penting.
Keberanian adalah salah satu hal yang diperlukan dalam komitmen. Orang yang tidak berani,
tidak mau berkomitmen itu adalah pengecut! Komitmen sebaiknya dilakukan secepat
mungkin dan jangan ditunda-tunda. Komitmen paling dasar bisa dibagi menjadi dua hal yaitu
komitmen hidup untuk Tuhan atau untuk diri sendiri. Jika sudah memilih Tuhan, komitmen
sederhana adalah hal yang baik asalkan benar. Komitmen tidak usah tinggi-tinggi, komitmen
dilakukan mulai dari hal yang sederhana. Komitmen untuk diri sendiri bisa kita lakukan
untuk diri kita sendiri misalnya, tujuan kehidupan kita dan pencapaian-pencapaian yang kita
ingin capai.

Hal yang terpenting dalam komitmen adalah pilihannya dan pilihan tersebut
ditentukan oleh siapa yang memilihnya. Oleh sebab itu pilihan manusia harus yang baik
berdasarkan yang benar. Hal/siapakah yang benar itu? Tuhan yang mahakuasa. Setiap kali
kita memilih harus terdapat kemurnian hati, yang adalah hanya untuk menginginkan satu hal,
“Purity of heart is to will only one thing”, demikian kalimat Kierkegaard. Yaitu
menyenangkan Tuhan. Orang yang mengambil keputusan baik dan benar disebut otentik.
Lawan dari orang yang tidak mau berkomitmen adalah yang mendua hati. Jikalau tidak mau
memilih maka sama saja membiarkan orang lain memilih untuk kita, dengan demikian
menghilangkan diri sendiri dan tidak bertumbuh.

Adapun pilihan bisa terbagi menjadi dua juga yaitu pilihan eksistensial yaitu pilihan
yang beresiko. Pilihan ini penting sekali bagi pertumbuhan seseorang khususnya yang ingin
menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin yang bagus biasanya mampu dengan baik
mengambil keputusan-keputusan yang beresiko. Pilihan lainnya adalah pilihan yang biasa.
Tetapi dari semua keputusan yang diambil hal yang terpenting adalah mengambil keputusan
sebisa mungkin jujur di hadapan Tuhan. Salah satu contoh orang yang mengambil komitmen
paling nyata dan jujur yang bisa kita lihat merupakan Yusuf. Dia hidup di hadapan Tuhan
dengan jujur dan suci dan melalui hidupnya kita dapat melihat bahwa ia komit untuk hidup
dengan benar. Hal yang seperti inilah yang wajib kita lakukan.

Setiap orang memiliki hal yang membuat dia ingin melakukan sesuatu dalam
hidupnya. Ada “spirit” tertentu yang ingin membuat hidup terus-menerus, meskipun ia
mungkin tahu bahwa kehidupannya tidak selancar orang lain atau bahkan memiliki lebih
banyak masalah tetapi, ada orang yang tetap bersemangat dan memilih untuk melanjutkan
hidupnya. Pada tahapan-tahapan inilah yang menjadi materi penulisan Kierkegaard mengenai
tahapan hidup seorang manusia. Disini Kierkegaard ingin lebih khusus menekankan
bagaimana seseorang bisa hidup “sempurna” dan memiliki hidup yang berarti.

Tahapan yang pertama adalah tahapan estetis. Kata estetis berarti keindahan, bahkan
kesenangan. Pada tahap ini seseorang berkomitmen pada kesenangan dan kesenangan adalah
hidupnya. Maka, kejadian di dalam hidup orang tersebut diputuskan berdasarkan
kesenangannya sendiri. Orang yang mau mengejar kesenangan terus-menerus biasanya tidak
mau berkeluarga, karena kalau berkeluarga ia harus mengorbankan dirinya, waktunya, dan
banyak hal lainnya untuk membangun keluarga tersebut. Pada tahapan ini Kierkegaard
membaginya menjadi 2 tipe orang:

1. Immediate Aesthetic (kesenangan langsung): orang yang berada pada tahapan ini lebih
menyukai kesenangan-kesenangan yang langsung dapat membahagiakannya sebagai seorang
manusia. Entah kesenangannya adalah kemabukan, seks, atau bahkan hawa nafsu lainnya
yang membuat dia ingin langsung merasakan kesenangan tersebut. Bahkan musik yang
langsung membawa kesenangan tertentu pada seseorang bisa menjadi salah satu hal dari
immediate aesthetic. Contoh fiksi yang bisa kita lihat adalah Don Juan yang “berkomitmen”
secara tidak langsung untuk berhubungan dengan perempuan secara terus-menerus, tetapi
dengan perempuan yang berbeda-beda, yang pada zaman sekarang seringkali disebut dengan
istilah “playboy”.

2. Reflective Aesthetic (kesenangan reflektif): orang-orang pada tahapan ini menikmati


proses kesenangan dalam refleksi. Orang tersebut harus belajar baru menghargai hal tersebut
atau bisa dikatakan orang tersebut untuk menikmati hidupnya perlu belajar. Misalnya musik
klasik, tidak semua orang menyukainya secara langsung tetapi ada orang yang
mempelajarinya dan menghargai musik tersebut karena usaha keras yang dilakukan komponis
tersebut untuk menciptakan suatu lagu yang indah dan memiliki arti yang baik. Contoh yang
terdapat pada kehidupan nyata adalah seperti Albert Einstein yang menyukai fisika dan haus
akan ilmu pengetahuan. Ia menikmati proses belajar tersebut sejak ia kecil dan menjadi
seorang reflective aesthetic.

Uniknya dari tahapan ini seseorang yang memiliki tipe estetik yang berbeda bisa
bingung melihat orang yang memiliki tipe estetik yang berbeda dengan dirinya. Tetapi, orang
estetis bisa menjadi bosan (boredom), dia hanya melakukan hal-hal yang dia senangi saja dan
jika hal itu sama secara terus-menerus orang tersebut bisa menjadi bosan ketika sudah sampai
puncaknya. Maka orang yang sudah bosan seperti ini biasanya akan masuk ke tahapan
berikutnya yaitu tahapan etis.

Tahapan etis atau yang biasa kita sebut dengan etika merupakan tahap yang membuat
orang hidup berdasarkan pikirannya yang berpikir dengan rasio dan akal sehat dan etika.
Orang yang mengikuti hal ini biasanya akan memiliki pemikiran yang jauh lebih berkembang
daripada orang yang hanya hidup karena kesenangannya, karena ia mulai berpikir sesuatu
yang benar dan menjalankannya. Orang yang seperti ini sudah mulai mendekati prinsip
komitmen yang berdasarkan kebenaran. Salah satu contoh dalam sejarah filsafat mengenai
orang seperti ini merupakan Socrates. Socrates hidup dengan pikiran etikanya dan juga
berpikir tentang etika itu sendiri. Singkat cerita mengenai Socrates, ia adalah seseorang yang
tidak mempercayai dewa/dewi Yunani pada waktu itu dan mengajarkan ajaran baru kepada
generasi muda. Hal ini membuatnya dijatuhi hukuman mati dengan meminum hemlock yang
membuatnya mati. Tetapi uniknya adalah Socrates memiliki peluang untuk kabur tetapi
memilih untuk tidak melakukannya, berdasarkan prinsip etika yang benar. Hal ini membuat
Kierkegaard dan penulis pun setuju bahwa Socrates termasuk dalam kategori orang yang
menjalani hidup dengan etis.

Tahapan yang terakhir menurut Kierkegaard merupakan tahapan religius. Tahapan ini
merupakan tahapan yang membuat orang berserah sepenuhnya kepada Tuhan menurut
kepercayaan mereka. Dalam tahapan ini diperlukan iman yang besar dan sebuah “lompatan
iman (leap of faith)” dari rasionalitas kepada iman. Bagi Kierkegaard kita percaya terlebih
dahulu baru ada Tuhan. Beliau sangat mementingkan hubungan personal dengan Tuhan.
Tetapi hal ini pun masih bisa dibagi berdasarkan reaksi orang tersebut:
1. Penggemar religius: orang yang seperti ini mengikuti sebuah ajaran agama karena
menurutnya menarik dan seringkali ketika datang krisis atau hal buruk yang bisa saja
berkaitan dengan agama tersebut ia langsung mengingkari imannya.
2. Religius yang mau berkorban: bisa saja sama dengan tipe orang yang pertama, yang
mulai mengikuti karena menarik tetapi perbedaannya adalah tipe yang ini mau
berkorban bahkan walaupun harus mati. Maka krisis pun tidak menjadi ombak yang
terlalu tinggi baginya untuk tidak menyebrangi lautan. Oleh sebab itu krisis ini sangat
krusial untuk pertumbuhan iman dan juga pengujian iman.

Manusia yang menurut Kierkegaard memiliki kehidupan religius yang benar adalah
Abraham yang meskipun diminta oleh Allah untuk mempersembahkan anaknya satu-satunya
ia tetap mau taat dan benar-benar mengikuti imannya meskipun dicobai. Hasilnya pun setara
ia justru bukan hanya tidak jadi mengorbankan anaknya tetapi ia juga memiliki keturunan
yang banyak seperti pasir di pantai dan bintang di laut yang masih bertumbuh hingga zaman
ini yaitu Israel.

Disinilah puncak kehidupan seseorang menurut Kierkegaard. Setiap orang yang


semakin menuju ke arah kehidupan religius menjadi lebih otentik. Tetapi tidak semua orang
dapat melalui tahapan ini. Ada mungkin yang terus-menerus di tahapan itu sampai mati. Ada
juga yang mulainya bukan dari tahapan estetis tapi mungkin langsung etis yaitu orang-orang
yang dari kecilnya sudah berpikir dengan etis. Tetapi ada juga orang yang justru mundur
misalnya dari etis menjadi estetis. Ada juga yang langsung lompat dari tahapan estetis
menuju religius. Salah satu contohnya adalah Agustinus dari Hippo yang pada masa mudanya
hidup berdasarkan kesenangannya, kesenangan duniawi dan akhirnya bertobat dan menjadi
hamba Tuhan disinilah adalah lompatan dari tahapan estetis menjadi tahapan religius.

Kritik Kierkegaard terhadap Hegel:

Kierkegaard sangat sedih melihat Kekristenan yang terjadi pada zamannya. Banyak
orang yang pergi ke gereja hanya sebagai ritual sehari-hari dan kehidupannya sangatlah
sekuler. Kierkegaard merasa yang bertanggung jawab atas hal ini merupakan pemikiran
Hegel. Hegel meninggalkan konsep individu sehingga, manusia lebih tereduksi menjadi
kelompok. Kemampuan subjektif manusia/komitmen pribadi tidak dianggap pada masa itu
karena Hegel lebih mengutamakan suatu hal yang bersifat komunal. Ajaran Hegel membuat
manusia tidak bertanggung jawab karena hampir semua tanggung jawab dilemparkan pada
komunal. Hubungan pribadi dengan Tuhan sudah tidak dipentingkan lagi. Banyak orang yang
percaya akan injil tetapi tidak semua orang mau melakukannya/mempraktikkan yang sudah
diajarkan. Maka, Kierkegaard mendorong semua umat Kristen untuk menjadi otentik dan
cara untuk menjadi manusia otentik adalah dengan berkomitmen. Dengan adanya komitmen
hidup manusia bisa menjadi lebih berkualitas (lebih berarti). Kierkegaard berpikir bahwa
eksistensi seseorang harus dipertanggungjawabkan secara individu. Bereksistensi menurut
Kierkegaard adalah bahwa saya tidak bisa direduksi dalam masyarakat. Eksistensi seseorang
secara personal dan otentik bisa didapat jika sudah melewati 3 tahapan hidup yang sudah
dibahas sebelumnya. Kierkegaard mengatakan bahwa hanya saya yang bisa mengambil
keputusan bagi diri saya sendiri dan tidak boleh diwakili oleh siapapun (eksistensialisme).

Menjadi sebuah diri bisa dibagi menjadi 2 hal. Pertama adalah diri sebagai substansi,
hal ini ada pada hakikatnya. Kedua adalah diri sebagai subjek. Diri sebagai subjek bisa kita
lihat pada kalimat Descartes mengenai dirinya yaitu “Cogito Ergo Sum”, “Aku berpikir maka
aku ada”. Kedua hal ini bisa menjadikan seseorang menjadi “wujud” manusia. Untuk menjadi
diri sendiri ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi yang pertama adalah this sickness not unto
death dan yang kedua adalah sickness unto death yang berarti bahwa kita ingin menjadi orang
lain dan menolak untuk menjadi diri sendiri.

Permasalahannya pasti ada, tetapi juga penting dengan siapa menjalani pergumulan
tersebut. Menjadi diri sendiri adalah suatu proses untuk menggali potensi dan harus dilakukan
dengan tanggung jawab. Manusia yang gagal menjadi diri sendiri akan menjadi manusia yang
putus asa dan hal ini terjadi karena pilihan manusia. Sedangkan jika Tuhan yang memilih
jalan tersebut dan kita menjalaninya maka kita bisa menjadi berhasil dengan bertanggung
jawab. Tetapi ketika kita berontak, kita bisa gagal dan harus menanggung konsekuensi yang
menyakitkan.

Semua hal ini pasti terjadi dalam kehidupan manusia yang mau berusaha untuk bisa
menjadi manusia yang terbaik dalam hidupnya. Entah dia ingin menjadi baik bagi satu orang
secara khusus, bagi Tuhan, ataupun bagi sesamanya, ataupun bisa juga bagi Tuhan dan bagi
semua orang yang hidup bersama-sama dengannya. Tetapi penulis ulangi bahwa yang
terpenting adalah hidup dengan jujur dan setia di hadapan Tuhan, coram deo.
Pemikiran Kierkegaard Mengenai Media Sosial:

Menurut Kierkegaard media sosial itu membuat orang menjadi abstrak, tidak
bergumul pribadi, dan tidak membuat orang berkomitmen. Misalnya karena terlalu banyak
teori pada media sosial maka tidak dapat ditarik kesimpulan yang jelas. Tesis dan antitesis
yang tidak pernah berhenti menyebabkan orang tidak jelas mau memilih yang mana yang
menyebabkan orang tidak dapat berkomitmen dengan jelas juga. Media sosial juga membuat
orang menjadi lebih berani sedikit karena dalam media sosial mereka dikenal sebagai
anonim. Seorang anonim tidak dapat bertanggung jawab dan biasanya menyembunyikan diri
dalam kerumunan. Kierkegaard mau orang Kristen harus berani bertanggung jawab oleh
sebab itu tidak memakai anonim. Individu adalah orang yang berani bertanggung jawab di
hadapan Tuhan dan di hadapan masyarakat.

Kesimpulan:

Penulis menyetujui pemikiran Kierkegaard mengenai komitmen, 3 tahapan hidup


manusia, kritik Kierkegaard terhadap Hegel, dan juga pemikiran mengenai media sosial.
Tetapi, menurut penulis ada hal yang masih kurang mengenai tahapan kehidupan manusia.
Masalahnya tidak semua orang mau berkembang ataupun dapat berkembang. Orang yang
akhirnya bunuh diri karena pasrah dan tidak mau berjuang lagi dan akhirnya memutuskan
untuk mengakhiri hidupnya menurut penulis dapat dibuat menjadi suatu kategori baru.
Bahkan orang-orang yang tidak mau berkembang atau hidup begitu-begitu saja bisa menjadi
kategori ini yang penulis sebut tahapan budak. Sama seperti budak yang tidak dapat
melakukan hal apa-apa lagi di dalam hidupnya selain menuruti majikannya. Tentu budak
tersebut masih bisa melakukan 3 tahapan kehidupan di dalam hatinya, tetapi dia sudah tidak
berkuasa atas dirinya sendiri (fisik dan bisa saja mental) berarti dia sudah tidak menjadi
seorang individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Penulis membagi tahapan ini menjadi 2 bagian:

1. Desperate Life (Kehidupan putus asa): siapapun sebenarnya bisa masuk ke dalam tahapan
ini jika sudah putus asa dengan kehidupannya dengan alasan apapun. Akhirnya orang tersebut
hanya menjalani kehidupannya seperti itu saja dan tidak memiliki komitmen dan hanya
pasrah terhadap keadaan seperti seorang budak.
2. Freedom in Death (Kebebasan dalam kematian): hal ini bukanlah hal yang baik untuk
dilakukan yaitu bunuh diri. Tetapi tidak sedikit orang yang putus asa dan akhirnya ingin
bunuh diri. Bahkan budak pun bisa melakukan hal ini. Pada kondisi seperti ini bisa dikatakan
kondisi di mana budak tersebut mempunyai kontrol terhadap kehidupannya untuk mengakhiri
kehidupannya sendiri meskipun tidak selalu semua budak dapat melakukan hal ini. Di lain hal
orang bisa juga diambil nyawanya dan mendapatkan kebebasan karena sudah mati meskipun
tentu tidak akan bebas di akhirat. Salah satu contohnya adalah Aesop, di beberapa cerita ia
mati karena bunuh diri karena tidak diizinkan pulang tetapi, ada juga yang mengatakan
bahwa dia dihukum mati karena mencuri. Orang tersebut tidak mempunyai kontrol atas
kematian dan mungkin saja mempunya kontrol atas kematiannya tetapi ketika ia sudah mati
ia mempunya kontrol sepenuhnya terhadap dirinya sendiri.

Dengan demikian kita sudah mengetahui bahwa setiap orang mempunyai


tahapan-tahapannya sendiri dalam kehidupannya yang harus dilalui agar bisa menjadi dirinya
sendiri. Jika dia memang mau menjadi seorang religius ia pasti akan menjadi seorang religius
atas tuntunan Tuhan. Tetapi ada orang yang semasa hidupnya tetap dalam satu tahapan terus
sampai akhir hidupnya yang bisa membuat hidupnya tidak memiliki arti.

Referensi:

Catatan Pribadi

Alkitab (Kitab Kejadian dan Yohanes 11:4)

Anda mungkin juga menyukai