pribadi, tetapi juga mendorong revolusi sosial politik yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan lebih makmur. Hasil dari proses berpikir filosofis yang mendorong revolusi ini adalah hidup yang bahagia. Kebahagiaan, dengan kata lain, lahir dan berkembang, setelah orang mengalami revolusi berpikir di dalam hidupnya. Kebahagiaan adalah hasil dari revolusi hidup. Maka buku ini, yakni "Bahagia, Kenapa Tidak?" bisa dipahami sebagai lanjutan dari buku "Filsafat sebagai Revolusi Hidup". Pertanyaan penting berikutnya, apa yang dimaksud dengan hidup yang bahagia? Ada begitu banyak definisi tentang hidup yang bahagia. Definisi ini tersebar di berbagai displin ilmu, mulai dari filsafat, psikologi, teologi, spiritualitas bahkan biologi. Setelah menelusuri berbagai definisi tersebut, saya sampai pada kesimpulan sederhana. Hidup yang bahagia menyentuh tiga tingkatan. Yang pertama adalah hidup yang bernilai dari kaca mata pribadi. Artinya, kita menganggap cara hidup kita itu penting dan menarik untuk diri kita sendiri. Yang kedua adalah cara hidup tersebut tidak hanya bernilai secara pribadi, tetapi juga bermakna untuk orang lain. Orang lain terbantu dengan cara hidup yang kita pilih. Yang ketiga adalah, hidup kita lalu bergerak terlepas dari nilai pribadi dan makna sosial. Kita melampaui diri pribadi serta tuntutan sosial, dan menjadi bebas sepenuhnya. Hidup kita lalu menjadi alamiah sepenuhnya, serta mampu menanggapi segala keadaan yang terjadi secara tepat. Inilah yang saya sebut dengan kebahagiaan sebagai pencerahan batin. Hegel, filsuf Jerman abad 19, menyebut hidup yang bernilai secara pribadi sebagai moralitas, dan hidup yang bermakna sosial sebagai hukum. Yang pertama memberikan kepuasan pribadi. Yang kedua memberikan kesesuaian dengan kehidupan sosial. Namun, keduanya lalu dilampaui ke dalam Sittlickeit, yakni tata moral yang mendamaikan tegangan antara keinginan pribadi dan tuntutan sosial masyarakat. Michael Bordt, dosen di Hochschule für Philosophie München, menyebut hidup yang bahagia sebagai hidup yang berhasil (das gelungene Leben). Ia memberikan kepuasan pribadi maupun makna kepada orang lain. Tidak ada pertentangan antara prinsip hidup pribadi dan nilai-nilai sosial masyarakat. Dengan cara berpikir semacam ini, orang lalu bisa menjalani hidupnya dengan bahagia. Bordt juga menegaskan, bahwa kita kini hidup di dalam masyarakat yang serba tidak pasti. Identitas diri kita pun lalu juga tidak pasti. Mungkin, kemarin saya bekerja sebagai guru, dengan identitas diri dan identitas sosial sebagai seorang guru.