Menurut KBBI (2023), alienasi adalah keadaan merasa terasing (terisolasi) dari kelompok atau
masyarakat. Eksistensialisme adalah salah satu pandangan yang menempatkan manusia dengan
berbagai macam persoalannya sebagai pusat kajian. Pandangan eksistensialisme terhadap
persoalan alienasi adalah bahwa manusia harus menyadari bahwa kehidupan manusia memang
berpusat pada diri sendiri yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas. Dari pandangan
ini manusia tidak harus merasa terasingkan (terisolasi) dari kelompok masyarakat. Manusia harus
bisa hidup dengan baik dengan berpusat pada dirinya sendiri.
Sumber: https://kbbi.web.id/alienasi
Tahapan perkembangan eksistensi yairu estetis, etis dan religius. Pertama, Tahapan
Estetis. Tahapan digambarkan sebagai usaha mendefinisikan dan menghayati kehidupan
tanpa merujuk pada hal yang baik (good) dan hal yang jahat (evil). Artinya, ketika setiap
orang melakukan sesuatu, ia tidak memikirkan apakah tindakan itu baik atau jahat dan
kemudian menilai apakah hal itu boleh dilakukan. Tahap Estetis merupakan tingkatan
awal manusia mengikuti apa yang disenanginya secara egois. Manusia masih hanya
mementingkan kebutuhan dan kepentingan sendiri, baik dalam memenuhi kebutuhan,
urusan yang saat ini termasuk dalam asspek sosial.
Kedua, Tahapan etis. Tahapan ini merupakan tahapan lanjutan dari estetis, dan dianggap
lebih tinggi daripada tahapan sebelumnya yang hanya bisa berakhir pada keputusasaan
dan kekecewaan. Pada tahapan ini manusia mulai memperhitungkan dan mempergunakan
kategori baik (good) dan jahat (evil) dalam melakukan sebuah tindakan. Hidupnya secara
hakiki tidak lagi ditandai oleh sifat langsung (immediacy) tindakan- tindakannya
melainkan sudah membuat pilihan-pilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio, suara
hati, dan refleksi. Semua ini tentu saja dapat memberikan peranan penting dalam tahapan
ini. Soren Kierkegaard mengatakan bahwa manusia yang telah menjadikan tahapan etis
sebagai bagian dari hidupnya. Maka mempunyai pilihan untuk melakukan perbuatan baik
atau buruk. Tetapi pilihan tersebut bukan untuk dipilih, melainkan dari pilihan tersebut
dapat memberikan kehidupan yang lebih baik kedepannya bagi orang tersebut. Manusia
sudah tahu tentang yang baik dan buruk tetapi keduanya masih menjadi pilihan. Belum
ada aturan yang terkelola dalam pemikiran untuk mengarah kepada pilihan tersebut.
Ketiga, tahapan religius. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, bahwa estetika dan moral
memiliki kekurangan, yang paling signifikan karena keduanya mengarah pada
keputusasaan. Seharusnya, manusia tidak perlu khawatir, karena dia tidak lebih dari
portal menuju kondisi keberadaan yang lebih besar daripada yang pernah diketahui siapa
pun. Dimensi religius menjadi tersedia pada saat itu. Akibatnya, Kierkegaard
menganggap keberadaan agama sebagai entitas tertinggi. Ini tidak dapat disangkal benar
untuk beberapa alasan. Manusia menyadari bahwa agama adalah penuntun bagi
kehidupan. Manusia dapat memilih yang baik daripada yang buruk dengan aturan dari
agama. Kehidupan manusia pada tahap ini sudah mulai menjalankan yang baik dan
menaati agama untuk menentukan kelangsungan hidup.
reduksi fenomologis yaitu menyaring pengalaman sehingga orang sampai pada fenomen
semurni-murninya, setiap orang (subjek) harus melepaskan benda itu dari pandangan-
pandangan lain: agama, addat, pandangan ilmu pengetahuan. Maksudnya adalah bahwa
setiap pengalaman pribadi yang bersifat inderawi dan subjektif perlu disisihkan dan
disaring terlebih dahulu sehingga pengertian terhadap suatu objek tidak terdistorsi oleh
prasangka, praanggapan, prateori, dan prakonsepsi, baik yang berdasarkan keyakinan
tradisional maupun berdasarkan keyakinan agama. Pengalaman sangat penting tapi harus
disaring terlebih dahulu untuk menentukan keberlangsungan hidup sehingga tidak terjadi
kerugian dimasa mendatang.
.
Reduksi transendental: berbeda dengan dua jenis reduksi sebelumnya yang terkait erat
antara pemahaman subjek terhadap objek, maka reduksi transendental fokus terhadap
subjek itu sendiri. Jadi, reduksi transendental merupakan subjek yang dihayati oleh
kesadaran itu sendiri. Subjek empiris diletakkan di dalam kurung untuk mencapai subjek
yang sejati. Manusia pada reduksi ini mampu menguasai dirinya dan menjadi subjek
sejati seperti yang dimaksud pada penjelasan tentang reduksi transcendental
Siswanto, D. (1997). Refleksi Aktualitas Fenomenologi Edmund Husserl Dalam Filsafat
Kontemporer. Jurnal Filsafat, 1(1), 37-57.
https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/yaqzhan/index