Anda di halaman 1dari 4

Tafsir

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa guna mendidik jiwa,

mengendalikan syahwat, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan

hewan, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu dari umat para nabi terdahulu

agar kamu bertakwa dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.

Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa, misalnya: untuk mempertinggi

budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang

lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah

kesehatan dan lain sebagainya.

Uraian seperti di atas tentu ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap orang.

Karena, lapar, haus dan lain-lain akibat berpuasa tidak selalu mengingatkan kepada penderitaan

orang lain, malah bisa mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan bermacam-macam

makanan pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka pada malam

harinya. Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa puasa itu

membantu kesehatan, walaupun para dokter telah memberikan penjelasan secara ilmiah, bahwa

berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit

yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadan ini, maka

pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang yang

beriman.

Orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hati, karena ia

merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur yang pokok bagi kehidupan manusia

yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk

ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan akhirat.

Pada ayat 183 ini Allah mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana

diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka agar mereka menjadi orang yang bertakwa. Jadi,

puasa sungguh penting bagi kehidupan orang yang beriman. Kalau kita selidiki macam-macam

agama dan kepercayaan pada masa sekarang ini, dijumpai bahwa puasa salah satu ajaran yang

umum untuk menahan hawa nafsu dan lain sebagainya.

Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya'ban tahun kedua Hijri, ketika Nabi Muhammad saw

mulai membangun pemerintahan yang berwibawa dan mengatur masyarakat baru, maka dapat

dirasakan, bahwa puasa itu sangat penting artinya dalam membentuk manusia yang dapat

menerima dan melaksanakan tugas-tugas besar dan suci.


Beribadah kepada Allah ialah menghambakan diri kepada-Nya, dengan penuh kekhusyukan,

memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya, karena merasakan bahwa hanya Allah-lah yang

menciptakan, menguasai, memelihara dan mendidik seluruh makhluk. Ibadah seorang hamba

sebagaimana yang disebutkan itu akan dinilai Allah swt menurut niat hamba yang melakukannya.

Pada ayat ini Allah swt disebut dengan "rabb", kemudian diiringi dengan perkataan "¦yang telah

menciptakan kamu dan orang-orang sebelummu¦" Hal ini memberi pengertian bahwa Allah

menciptakan manusia, mengembangbiakkannya, memberi taufik, menjaga dan memelihara, dan

memberi nikmat agar dengan nikmat itu manusia dapat melaksanakan tugas-tugasnya sebagai

hamba Allah. Semua rahmat tersebut diberikan kepada manusia sejak permulaan adanya, sampai

akhir kehidupannya di dunia ini. Barang siapa yang mensyukuri nikmat Allah maka akan

ditambahkan-Nya nikmat itu, sebaliknya barang siapa yang mengingkari nikmat Allah, maka ia akan

menerima azab di dunia sebagaimana yang telah ditimpakan-Nya kepada umat-umat yang

terdahulu dan di akhirat nanti akan disediakan azab yang pedih.

Allah swt berfirman:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku

akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku

sangat berat." (Ibrahim/14: 7)

Dengan beribadah kepada Allah sebagaimana yang diperintahkan itu, manusia akan terhindar dari

azab Allah dan ia akan mencapai derajat yang tinggi lagi sempurna.

Allah menjelaskan bahwa semua perintah dan larangan yang telah disebut dua ayat sebelum ini

adalah jalan kebenaran yang harus diikuti. Jika tidak, maka akan menimbulkan petaka dalam

kehidupan. Inilah wasiat yang kesepuluh: dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, yaitu agama

Islam yang diridai Allah dengan semua kelengkapan ajarannya, mulai dari akidah, kekeluargaan,

dan kemasyarakatan. Maka ikutilah jalan ini, karena inilah jalan yang benar yang bisa memberikan

jaminan kebahagiaan dan ketenteraman hidup di dunia dan di akhirat. Jangan kamu ikuti jalan-jalan

yang lain seperti agama-agama selain Islam, kelompok-kelompok yang mengajarkan ajaran yang

menyimpang dan sesat yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Setan terus berusaha

untuk membelokkan manusia dari jalan lurus ini dengan segala cara. Demikianlah Dia

memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa dengan selalu menjaga diri agar jangan sampai

celaka, yaitu dengan melaksanakan ajaran Islam dengan baik dan benar, baik itu kewajiban atau

larangan. Inilah bentuk kasih sayang Allah kepada manusia agar mereka bahagia.
Ayat ini menerangkan bahwa Rasulullah saw diperintahkan untuk menjelaskan kepada kaumnya

bahwa Al-Qur'an yang mengajak kepada jalan yang benar, menghimbau mereka agar mengikuti

ajaran Al-Qur'an demi kepentingan hidup mereka, karena Al-Qur'an adalah pedoman dan petunjuk

dari Allah untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridai-Nya. Inilah jalan yang

lurus, ikutilah dia, dan jangan mengikuti jalan yang lain yang akan menyesatkan kamu dari jalan

Allah.

Dalam Sunan Ahmad, an-Nasa'i, Abu Syaikh dan al-Hakim dari Abdullah bin Mas'ud, diriwayatkan

dalam sebuah hadis yang maksudnya: Aku dan beberapa sahabat lainnya duduk bersama

Rasulullah, lalu Rasulullah, membuat garis lurus dengan tangannya dan bersabda, "Ini jalan Allah

yang lurus", kemudian beliau menggariskan beberapa garis lagi dari kanan-kiri garis pertama tadi

lalu bersabda, "ini jalan-jalan yang sesat." Pada setiap ujung jalan dari jalan-jalan itu ada setan yang

mengajak manusia untuk menempuhnya, kemudian Rasulullah membaca ayat ini (al-An'am/6: 152).

Para ahli tafsir mengatakan, bahwa bercerai-berai dalam agama Islam, karena perbedaan pendapat

dan mazhab dilarang oleh Allah, karena melemahkan persatuan mereka dan sangat

membahayakan agama itu sendiri. Kemudian ayat 153 ini, diakhiri dengan anjuran bertakwa karena

dengan bertakwalah dapat dicapai kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridai Allah.

Tafsir

Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan bagi manusia yang menggunakan nalar dan

mengikuti hati nurani. Sekiranya Kami turun-kan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung yang diberi

akal, pikiran, dan perasaan seperti manusia; pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah

disebabkan takut kepada Allah, karena gunung-gunung itu akan menggunakan nalar, rasa, dan

nuraninya dalam memahami Al-Qur’an dan mengamalkannya. Dan perumpamaan-perumpamaan

itu, yakni manusia yang kecil dan lemah dibandingkan dengan gunung yang begitu besar, tinggi dan

keras; Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir bahwa gunung bisa menggunakan nalar, rasa

dan nurani untuk memahami dan menerapkan Al-Qur’an hingga tunduk dan pecah karena takut

kepada Allah. Mengapa manusia yang benar-benar memiliki nalar, rasa dan nurani tidak

menggunakannya secara optimal dalam memahami dan menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupan

ini?

Dalam ayat ini diterangkan bahwa seandainya gunung-gunung itu diberi akal, pikiran, dan perasaan

seperti yang telah dianugerahkan kepada manusia, kemudian diturunkan Al-Qur'an kepadanya,

tentulah gunung-gunung itu tunduk kepada Allah, bahkan hancur-lebur karena takut kepada-Nya.

Akan tetapi, Al-Qur'an bukan untuk gunung, melainkan untuk manusia. Sungguh indah metafora ini,

membandingkan manusia yang kecil dan lemah, dengan gunung yang begitu besar, tinggi, dan

keras. Dikatakan bahwa gunung itu akan tunduk di hadapan wahyu Allah, dan akan hancur karena

rasa takut.
Ayat ini merupakan suatu peringatan kepada manusia yang tidak mau menggunakan akal, pikiran,

dan perasaan yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Mereka lebih banyak terpengaruh

oleh hawa nafsu dan kesenangan hidup di dunia, sehingga hal itu menutup akal dan pikiran mereka.

Karena takut kehilangan pengaruh dan kedudukan, maka mereka tidak akan mau mengikuti

kebenaran.

Betapa tingginya nilai Al-Qur'an, sehingga tidak semua makhluk Allah dapat memahami dengan baik

maksud dan tujuannya. Untuk memahaminya harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain:

ilmu yang memadai, menggunakan akal pikiran, membersihkan hati nuraninya, dan niat yang

setulus-tulusnya.

Keadaan sebagian manusia diterangkan dalam firman Allah:

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras.

Padahal dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar daripadanya. Ada pula

yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya. Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut

kepada Allah. Dan Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. (al-Baqarah/2: 74)

Ayat ini sama pula dengan firman Allah:

Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab Suci) yang dengan itu gunung-gunung dapat diguncangkan,

atau bumi jadi terbelah, atau orang yang sudah mati dapat berbicara, (itulah Al-Qur'an). (ar-Ra'd/13:

31)

Kemudian diterangkan bahwa perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam Al-Qur'an itu

harus menjadi pelajaran bagi orang yang mau mempergunakan akal, pikiran, dan perasaannya.

Dengan demikian, mereka dapat melaksanakan petunjuk-petunjuk Al-Qur'an dengan sebaik-

baiknya.

Anda mungkin juga menyukai