Anda di halaman 1dari 5

Saluran Pembuangan Air Limbah 

(SPAL)
Date: January 22, 2012Author: Taty 0 Comments

Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) adalah bangunan yang digunakan untuk
mengumpulkan air buangan sisa pemakaian dari kran / hidran umum, sarana cuci tangan,
kamar mandi, dapur, dan lain-lain, sehingga air limbah tersebut dapat tersimpan atau meresap
ke dalam tanah dan tidak menyebabkan penyebaran penyakit serta tidak mengotori
lingkungan sekitarnya. SPAL tidak menyalurkan air kotor dari peturasan/jamban).

SPAL berbasis masyarakat (di kawasan peri-urban dan perdesaan), di Indonesia telah dikembangkan
sistem sanitasi berbasis masyarakat yang diprakarsai oleh WSP-EPA bekerja sama dengan
Kementerian Pekerjaan Umum, Borda (LSM Jerman), dan LSM lokal. Sejauh menyangkut sistem
pengumpulan (jika direncanakan sebagai off-site system), prinsip desain tidak jauh berbeda dari
sistem saluran limbah kondominial di Brasil. Namun, sistem Sanimas tidak tersambung ke SPAL dan
IPAL publik karena dikelola oleh warga. Sistem seperti ini memiliki IPAL sendiri yang umumnya
menggunaan teknologi anaerobic baffled reactor, yang terkadang menggunakan digester untuk
koleksi biogas dari black water yang dihasilkan.
Dalam tahun-tahun terakhir, ratusan sistem sanitasi berbasis masyarakat ini telah dibangun untuk
menyediakan layanan sanitasi terpusat dan setempat bagi masyarakat berpenghasilan rendah di
pinggiran perkotaan. Sistem sanitasi ini mampu melayani 50 hingga 200 kepala keluarga di daerah.

Desain dan Proses


ABR dirancang agar alirannya turun naik seperti terlihat pada gambar. Aliran seperti ini
menyebabkan aliran air limbah yang masuk (influent) lebih intensif terkontak dengan biomassa
anaerobik, sehingga meningkatkan kinerja pengolahan. Penurunan BOD dalam ABR lebih tinggi
daripada tangki septik, yaitu sekitar 70-95%. Perlu dilengkapi saluran udara. Untuk operasi awal perlu
waktu 3 bulan untuk menstabilkan biomassa di awal proses.
Pemeliharaan
Busa dan lapisan kotoran (scum) akan rusak jika terlalu tebal. Karena itu, pengendalian padatan
harus dilakukan untuk setiap ruang (kompartemen). Lumpur atau endapan harus dibuang setiap 2–3
tahun dengan memakai truk penyedot tinja.
Aplikasi dan Efisiensi
• Cocok untuk semua macam air limbah, seperti air limbah permukiman, rumah-sakit,
hotel/penginapan, pasar umum, rumah potong hewan (RPH), industri makanan. Semakin banyak
beban organik, semakin tinggi efisiensinya.
• Cocok untuk lingkungan kecil. Bisa dirancang secara efisien untuk aliran masuk (inflow) harian
hingga setara dengan volume air limbah dari 1000 orang (200.000 liter/hari).
• ABR terpusat (setengah-terpusat) sangat cocok jika teknologi pengangkutan sudah ada.
• Tidak boleh dipasang jika permukaan air tanah tinggi, karena perembesan (infiltration) akan
memengaruhi efisiensi pengolahan dan akan mencemari air tanah.
• Truk tinja harus bisa masuk ke lokasi.
• Digunakan pada beberapa lokasi Sanimas dan MCK di Indonesia.
Pro
+ Tahan terhadap beban kejutan hidrolis dan zat organik.
+ Tidak memerlukan energi listrik.
+ Grey water dapat dikelola secara bersamaan.
+ Dapat dibangun dan diperbaiki dengan material lokal yang tersedia.
+ Umur pelayanan panjang.
+ Penurunan zat organik tinggi.
+ Biaya investasi dan operasi moderat.
Kontra
- Memerlukan sumber air yang konstan.
- Efluen memerlukan pengolahan sekunder atau dibuang ke tempat yang cocok.
- Penurunan zat patogen rendah.
- Pengolahan pendahuluan diperlukan untuk mencegah
penyumbatan.
Referensi
1. Compendium of Sanitation Systems and Technologies.
2. Philippines Sanitation Sourcebook and Decision Aid.
3. Evaluation of existing low cost conventional as well as innovative santitation system and
technologies.

Arsip Kategori: SPAL/IPAL


MANAJEMEN IPAL RUMAH SAKIT
10 Apr

Sesuai dengan kegiatannya, air limbah dari seluruh ke-giatan Rumah Sakit mengandung bahan-
bahan organik, bahan-bahan anorganik/bahan kimia beracun, mikroorganisme pathogen, dan
sebagainya yang dapat mencemari lingkungan. Oleh sebab itu, pengolahan terhadap air limbah
sangat penting untuk dilakukan agar lingkungan sebagai penerima limbah cair yang dihasilkan dari
kegiatan pelayanan kesehatan tidak mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan serta tidak
mengakibatkan  dampak penyakit kepada masyarakat sekitarnya.

Pengolahan air limbah melalui IPAL merupakan cara/ upaya untuk meminimalkan kadar pencemar
yang terkandung dalam limbah cair tersebut sehingga dapat memenuhi Baku Mutu dan layak untuk
dibuang ke lingkungan maupun dimanfaatkan kembali.

Mungkin anda pernah mendengar bahwa banyak rumah sakit telah memiliki IPAL, namun yang dapat
beropersi secara optimal masih sangat sedikit bahkan ada beberapa diantaranya sudah tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya, dengan kata lain tidak ada pengelolaan air limbah yang berarti,
padahal IPAL merupakan salah satu fasilitas utama yang harus ada dan beroperasi dengan baik
dengan efesiensi pengolahan yang harus baik pula.

Mengenai seberapa pentingnya IPAL bagi sebuah rumah sakit dapat dilihat dari Regulasi atau
peraturan yang ada, yang diantaranya adalah Undang-undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan     Pengelolaan Lingkungan Hidup,PP No.82/2001 tentang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air, UU 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yaitu pada bagian ke empat
pasal 11, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 58 Th 1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi  Kegiatan Rumah Sakit, Permenkes RI NOMOR 340/MENKES/PER/III/2010 tentang
Klasifikasi Rumah Sakit, PP 18/1999 Tentang : Pengelolaan Limbah B3 dimana pada Pasal 3 berbunyi
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang
membuang limbah yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup tanpa
pengelolaan terlebih dahulu”.

Dengan  sedemikian banyaknya peraturan  yang didalamnya memerintahkan kepada setiap Rumah
Sakit untuk mengelola air limbahnya ternyata masih banyak pengelola Rumah Sakit yang belum dan
tidak melakukan upaya pengelolaan terhadap air limbah yang mereka hasilkan. Kenapa hal ini bisa
terjadi ? tidak lain karena tidak tersedianya dana untuk membangun Sarana Pengolahan Air Limbah
(SPAL) atau sering disebut dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), dan bila ternyata sudah
memiliki SPAL/IPAL tetapi dana untuk kegiatan operasionalnya tidak tersedia dan atau tidak
mencukupi. Selain itu juga dapat disebabkan karena pengetahuan SDM yang bertugas untuk
mengawasi jalannya proses pengolahan air limbah yang masih kurang.

Untuk masalah SDM dapat ditanggulangi dengan melakukan pelatihan/training/workshop mengenai


proses pengolahan air limbah, namun untuk ketersediaan dana operasional maka pihak manajemen
suatu rumah sakit harus melakukan perhitungan yang benar-benar matang. Jika ada anggapan
bahwa IPAL rumah sakit hanya sebagai sumber beban pengeluaran /tidak menghasilkan keuntungan
maka itu adalah anggapan yang salah besar, karena IPAL merupakan salah satu dari prasarana yang
telah diprasyaratkan dalam penentuan kelas rumah sakit dan merupakan sarana yang penting dalam
jalannya pelayanan kesehatan terutama pelayanan rawat inap sehingga harus dimasukkan dalam
unit cost tariff pelayanan.

Jika dana operasional IPAL hanya diletakkan sebagai “Sumber” pengeluaran tanpa diperhitungkan
dalam unit cost suatu tarif pelayanan rumah sakit jelas akan sangat memberatkan sumber keuangan
rumah sakit, karena biaya perawatan peralatan dan perlengkapan IPAL tidak dapat dikatakan murah
apalagi jika harus melakukan penggantian dengan peralatan yang baru maka cost yang dikeluarkan
akan sangat besar, namun akan terlalu mahal jika harus dibayar dengan rusaknya nama baik rumah
sakit karena menyandang predikat sebagai rumah sakit yang tidak peduli dengan kesehatan
lingkungan disekitarnya.

Saya yakin tim yang bertugas untuk membuat standar tarif pelayanan rumah sakit sudah sangat
mengerti tentang hal ini, selanjutnya tinggal datanya saja yang harus valid. Serta perlu kedisiplinan
para pengelola keuangan yang harus memasukkan setiap cost yang terkumpul sesuai dengan
unitnya.
Mungkin yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa setiap sumber penghasil limbah cair
merupakan pemakai jasa dari IPAL, karena setiap 100% air bersih yang digunakannya 80%nya
berpotensi untuk menjadi air limbah dan akan menjadi sumber beban pengolahan air limbah di IPAL,
maka sangatlah wajar jika operasional IPAL dijadikan salah satu unit cost yang diperhitungkan dalam
tariff pelayanan tertentu di rumah sakit. Penghasil limbah cair di rumah sakit adalah Ruang Rawat
Inap, Laboratorium, Laundry, Dapur/Kitchen, Poli kesehatan, IGD, CSSD, Pencucian Boiler dan lain-
lain.

Berapa cost yang tepat untuk dimasukkan kedalam tarif jasa rawat inap ? Anggaplah di rumah sakit
terdapat 500 TT dan setiap TT dikenakan Cost Rp.1.500 perhari dengan asumsi TT terpakai 100%
maka potensi dana operasional IPAL yang bisa dikumpulkan perbulannya adalah berjumlah Rp.
22.500.000. saya kira untuk nilai 1.500 rupiah per hari tergolong sangat murah,  karena jika kita
bandingkan dengan tariff pemakaian wc/toilet umum di pasar atau mall yang rata-rata mengenakan
tariff Rp.1.000 per sekali pakai dan mereka tidak peduli jika kita harus bolak balik menggunakannya
maka tetap harus membayar per sekali pakai dan itupun yang menggunakannya rata-rata orang yang
sehat, Sedangkan di rumah sakit yang menggunakan rata-rata adalah orang yang sakit, baik itu
penyakit infeksi ataupun non-infeksi.

Jika dipandang dari sudut pandang efektif dan efesien maka dengan memiliki IPAL sendiri akan lebih
murah, karena jika menggunakan jasa pihak ketiga contohnya PT.PAL maka Rumah Sakit harus
membayar biaya pengelolaan air limbah beserta lumpurya Rp.10.000/m3 (Tarif PT.PAL tahun 2012)
dan jika di estimasi penghasilan limbah cair untuk 500 TT adalah; 0.5 m3 x 500 = 250 m3/hari = 250
m3/bulan x 10.000 maka yang harus dibayar rumah sakit adalah Rp. 75.000.000/bulan.

Yang harus diperhitungkan dalam biaya operasional IPAL antara lain, Biaya Pemakaian Listrik, Biaya
Perawatan Mesin, Biaya Perbaikan Mesin, Penggantian suku cadang, Penyediaan Chemical,
Penyediaan Nutrisi bakteri, penyediaan peralatan dan bahan pemantauan parameter proses
pengolahan air limbah, biaya pemantauan parameter di titik pentaatan oleh laboratorium yang
terakreditasi, penyediaan perlengkapan pelindung diri (APD) operator, biaya jaminan kesehatan bagi
petugas di IPAL baik berupa medical checkup secara berkala dan pemberian ekstra fooding, dan
gaji/insentif untuk petugas.

Untuk pemberian ekstra fooding bagi pengelola/petugas IPAL banyak para pengambil kebijakan yang
masih ragu untuk memberikannya atau tidak, karena mereka merasa tidak ada atau tidak
menemukan regulasi / dasar hukum yang jelas yang melegalkan pemberian ekstra fooding kepada
petugas IPAL. Karena yang ada saat ini hanyalah regulasi yang mengatur tentang pemberian ekstra
fooding kepada dokter,perawat, dan petugas medis lainnya yang beresiko tinggi  terpapar sumber
infeksi dan terpapar bahan radioaktif dengan hitungan waktu tinggal beberapa jam.

Padahal, para petugas di IPAL juga memiliki resiko tinggi karena kontak langsung dengan air limbah
yang mengandung  bibit penyakit  atau bakteri pathogen yang terkumpul di setiap bak-bak
pengumpul limbah  dari semua jenis ruangan dengan berbagai jenis penyakit, dan tidak menutup
kemungkinan juga mengandung bahan radioaktif yang berasl dari ruang radiologi/radioterapi. Resiko
lainnya adalah terjadi paparan secara langsung dengan Chemical/bahan kimia yang digunakan dalam
proses pengolahan air limbah seperti chlor, untuk membunuh mikroorganisme pathogen diperlukan
sedikitnya 0,6 ppm, sedangkan bagi manusia ketika terjadi kontak

Anda mungkin juga menyukai