Anda di halaman 1dari 11

BAB 6

PEMISAHAN SUMBER DAYA MANUSIA


Pemisahan (separation) merupakan bagian akhir dari fungsi-fungsi manajemen sumber daya
manusia. Pemisahan berarti memutuskan hubungan sumber daya manusia dengan pekerjaan-
pekerjaan dalam organisasi, baik diakibatkan pengunduran diri karyawan, diberhentikan, maupun
pensiun. Tentu, yang menjadi permasalahan dalam pemutusan hubungan kerja alasan
diberhentikan. Berbagai penyebab diberhentikannya seorang karyawan dalam jabatannya, pada
umumnya karena terdapat pelanggaran dan tidak tercapainya target kerja atau
rendah/menurunnya kinerja karyawan. Sebagai akibat pemutusan hubungan kerja ini ada pihak-
pihak yang merasa dirugikan akibat ketidakadilan atas pihak lain
Hukum Indonesia telah mengatur tentang pemutusan hubungan kerja, namun dalam pelaksanaan
masih ada pelanggaran-pelanggaran oleh satu pihak sehingga menimbulkan kerugian pihak lain.
Sistem perundang-undangan ketenagakerjaan Indonesia dinilai masih perlu penyempurnaan
dalam pelaksanaan. Misalnya, pada berbagai kasus tertentu memberikan keleluasaan kepada
pihak pengusaha tetapi menimbulkan kerugian kepada pekerja, demikian sebaliknya. Setiap
pihak masih melakukan kegiatan untuk memaksimalkan kepentingan kelompoknya walaupun
disadari melanggar undang-undang dan ketentuan yang berlaku.
Pada setiap pergantian rezim (setelah Indonesia merdeka), pelaksanaan hukum hanya secara
sepihak, penekanan lebih cenderung kepada pekerja. Akan tetapi, sekarang Rancangan Undang-
undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU-PPHI) mengusulkan terbentuknya
sistem peradilan khusus untuk memberikan penyelesaian perselisihan yang independen.
Penyusunan RUU ini dapat mengatasi persoalan hubungan industrial di Indonesia dan dapat
disesuaikan dengan praktek pada tingkat Internasional.
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa masalah perselisihan dan pemutusan hubungan kerja
menjadi bagian penting dalam hubungan industrial. Sering terjadi perselisihan antara pemberi
kerja dengan pekerja dalam mempertahankan kepentingan kelompoknya masing-masing.
Pertentangan antarpihak akan menjadi lebih serius jika salah satu pihak akan tetap pada
pendiriannya, sehingga akan mengorbankan unsur-unsur kelompok lainnya dalam organisasi.
Sebagai akibat dari perselisihan adalah pemisahan hubungan kerja yang dilakukan oleh sepihak.
Pemberi kerja melakukan pemutusanhubungan kerja bagi pekerja yang melanggar peraturan
perusahaan. Tindakan itu dilakukan karena dinilai akan merugikan perusahaan, baik secara moral
maupun material. Pasal 88 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 telah
menetapkan bahwa pemutusan hubungan kerja dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Demikian sebaliknya, para pekerja akan melakukan aksi atas Tindakan pemutusan hubungan
kerja yang merugikan pihaknya. Berbagai respon karyawan atas ketidakpuasan kerja yang
dialami, antara lain, keluar (exit), suara (voice),kesetiaan (loyalty), and pengabaian
(neglect).Karyawan akan keluar dari perusahaan akibat ketidakpuasan atas perlakuan pemberi
kerja yang mrugikan pihaknya. Para karyawan akan bersuara, menyampaikan keluhan-keluhan
kepada pemberi kerja atas ketidakadilan yang mereka rasakan. Tindakan ini dilakukan melalui
diskusi dan memberi masukan kepada pemberi kerja agar hubungan menjadi lebih baik. Bagi
pekerja yang setia terhadap perusahaan akan memilih untuk tidak melakukan tindakan apa-apa,
secara pasif mereka menunggu sampai keadaan lebih baik. Namun, sebagian pekerja lainnya aka
melakukan tindakan untuk mengabaikan dan membiarkan keadaan menjadi lebih memburuk.
Mereka mengurangi aktivitas di perusahaan, tingginya tingkat absensi dan kesalahan kerja
merupakan tindakan pasif yang mengakibatkan penurunan aktivitas perusahaan secara
keseluruhan. Apapun bentuk Tindakan atas kekecewaan pekerja atas perlakuan pemberi kerja
merupakan Tindakan sepihak tanpa perundingan dengan pihak pemberi kerja.
Perselisihan hubungan industrial merupakan ciri dari ketidakharmonisa hubungan antarpihak
dalam organisasi. Oleh sebab itu, perlu penataan ketenagakerjaan yang mengatur pemutusan
hubungan kerja secara rinci. Setiap pihak dengan segala upaya harus menghindari terjadinya
pemutusan hubungan kerja. Setiap pihak dalam hubungan industrial melakukan perundingan
terlebih dahulu sebelum pemutusan hubungan kerja bila hal tersebut tidak dapat dihindarkan.
Pemutusan hubungan kerja akibat perselisihan hubungan industrialmerupakan kegagalan
perjanjian bersama dan tindakan lain.
Kemenakertrans telah mencatat angka pemutusan hubungan kerja tahun 2010 sebanyak 16.393
tenaga kerja, tahun 2011 sebesar 17.106 tenaga kerja, dan tahun 2012 sebanyak 7.465 tenaga
kerja. Kondisi tersebut dapat dikatakan kondusif, karena terdapat penurunan mencapai 60 persen.
Sementara itu, penyelesaian perselisihan Januari sampai dengan Juni 2012 untuk penyelesaian
putusan bipartit sebanyak 18 kasus dan penyelesaian putusan yang berupa anjuran sebanyak 4
kasus. Hal ini disebabkan karena fungsi kerja mediator hubungan industrial sebagai ujung
tombak dalam suatumekanisme mediasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
jalur pengadilan.
Pemutusan hubungan kerja dapat dilihat berdasarkan penggolongan menurut bagian, posisi, jenis
kelamin, usia, status perkawinan, status sosial, dan masa kerja. Melalui penggolongan ini, akan
dapat dicari metode untuk mengatasinya untuk memperkecil perputaran kerja. Secara nasional,
pada tahun 2011 pemutusan hubungan kerja di Indonesia terdapat sebanyak 12.845 dan
pemutusan hubungan kerja (kasus) sebanyak 981 pekerja/buruh, tersebar pada 33 provinsi.
Pemutusan hubungan kerja terbesar di Jawa Tengah sebanyak 2.465 orang, menyusul Banten
2.291, kemudian Jawa Barat 1.755, dan Jawa Timur sebanyak 1.430 orang, kemudian disusul
secara merata pada provinsi-provinsilain di seluruh Indonesia. "Penyebab terjadinya kasus
perselisihan hubungan industrial antara lain pembayaran upah, pelaksanaan upah, jamsostek,
tunjangan hari raya, upah lembur, dan cuti. Selain itu penyebab lainnya seperti adalah kenaikan
upah, insentif/kesejahteraan, uang makan, uang transport, bonus, tunjangan kesehatan, premi
hadir, uang shift, dan sarana ibadah.
Telah dikemukakan sebelumnya, dalam hubungan industrial melibatkan berbagai pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan proses produksi. Semua
pihak mengambil bagian dan memiliki kepentingan yang berbeda terhadap perusahaan, tetapi
mencapai tujuan yang sama yaitu meningkatkan produktivitas. Kesamaan tujuan merupakan
harapan semua pihak untuk merealisasikan dan memenuhi kepentingan kelompoknya terhadap
organisasi. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap organisasi
diharapkan akan memiliki kerja sama dan mendukung visi yang telah ditetapkan. Namun, dalam
kenyataan setiap pihak akan bekerja pada kelompoknya untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
Ada kesan bahwa satu pihak kurang mempedulikan pihak lain untuk memaksimalkan
kepentingan kelompoknya, berakibat pada terdapatnya perselisihan antarkelompok di dalam
organisasi.
Dalam kegiatan proses produksi, pihak yang paling berkaitan secara langsung adalah manajemen
dan karyawan didukung pula oleh para pihak pemangku kepentingan lain, seperti penyedia
bahan, konsumen, dan lain sebagainya. Oleh karena manajemen dan karyawan adalah pihak yang
paling berkaitan secara langsung dalam aktivitas perusahaan, maka kedua pihak inilah yang
selalu terlibat dalam perselisihan. Walaupun mereka telah membuat suatu kesepakatan bersama
mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, namun tidak luput dari perselisihan, apakah
karena kesalahpahaman atau pelanggaran yang dilakukan masing-masing pihak. Sebagai
akibatnya, satu pihak merasa dirugikan, sehingga mengambil suatu tindakan yang menurutnya
dapat mengatasi masalah kelompoknya.
Biasanya, pihak karyawan merupakan posisi tawar (bargaining position) yang lemah, oleh karena
itu untuk memperkuat posisi tawarnya, pihaknya mengambil berbagai tindakan, yang akan
dibahas pada bagian lain di bab ini. Misalnyadalam hal pemahaman dan prosedur keluhan,
pengertian perselisihan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tertera pada
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, pihak ketiga dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, seperti lembaga kerja sama bipartit; mediator, arbitrator, konsiliator, dan melalui
pengadilan hubungan industrial. Pemogokan dan bentuk-bentuk pemogokan juga dijelaskan
dalam bab ini sebagai tindakan yang dilakukan pekerja/buruh bila jalan buntu yang dipecahkan
melalui pihak ketiga tidak dapat diselesaikan dengan baik. Untuk mengakhiri fungsi-fungsi
manajemen sumber daya manusia akan dijelaskan pula pemahaman tentang pemberhentian dan
bentuk-bentuk pemberhentian pekerja/buruh,
6.1 PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Setelah melaksanakan seluruh fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia, mulai dari
pengadaan, pelatihan dan pengembangan, dan seterusnya, sampailah akhirnya pada pemutusan
hubungan sumber daya manusia. Dalam prosesnya, manusia di tengah-tengah masyarakat
merupakan input bagi organisasi untuk dilibatkan dalam kegiatan produksi, pada suatu saat akan
dikembalikan lagi ke tengah-tengah masyarakat. Gambar 6.1 menunjukkan, manusia merupakan
bagian terpenting dalam organisasi yang berasal dari masyarakat, suatu ketika akan kembali lagi
kepada masyarakat umum. Pemutusan hubungan kerja, disingkat PHK, merupakan suatu
kegiatan rutinitas dilakukan setiap organisasi untuk kepentingan kelanjutan usahanya. PHK
adalah keluarnya anggota organisasi dari keanggotaan yang diakibatkan terbatasnya kemampuan
untuk memenuhi kepentingan organisasi. PHK merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh
para pihak dalam organisasi. PHK bagi karyawan merupakan hilangnya pekerjaan yang berarti
berkurangnya sebagian gaji/upah yang menjadi sumber penghasilan karyawan, oleh karena itu
karyawan tidak menghendakinya kecuali dengan alasan tertentu, PHK atas permintaan karyawan
itu sendiri. Bagi perusahaan, PHK akan menimbulkan proses dalam sumber daya manusia
sehinga mengeluarkan biaya relatif besar, kecuali hal-hal lain berdasarkan pertimbangan
perusahaan.
Dengan berbagai alasan yang telah dijelaskan, baik pihak karyawan maupun manajemen, dan
pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam hubungan industrial tidak menghendaki PHK. Tetapi,
dengan segala upaya telah dilakukan, PHK tidak dapat dihindari, terlebih dahulu dicari jalan
melalui perundingan oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau dengan karyawan yang tidak
menjadianggota serikat pekerja/buruh. Bila hasil perundingan tidak mendapatkan kesepakatan,
maka pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawan setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dengan demikian, PHK tidak dapat dilakukan oleh hanya sepihak saja dalam organisasi, apakah
pada pihak manajemen maupun serikat pekerja/ buruh, tentu ada ketentuan yang menjadi dasar
untuk dilaksanakan. Undang- undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 153
menjelaskan bahwa pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan-alasan berikut: (1)
pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu
tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus, (2) berhalangan menjalankan
pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, (3) menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, (4)
pekerja/buruh menikah, (5) perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya, (6) mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahan, atau perjanjian kerja bersama, (7) mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh di luar
jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkanketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama, (8)
mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan
tindak pidana kejahatan, (9)karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan, (10) dalam keadaan cacat tetap,
sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerjyang menurut surat keterangan
dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Berbagai bentuk pemutusan hubungan kerja akan dijelaskan pada bagian ini, pensiun karyawan,
berhenti karena permintaan karyawan itu sendiri, karena faktor fisik dan kesehatan, dan
diberhentikan karena ketidakmampuan melaksanakan tugas dengan baik. Terlebih dahulu akan
dijelaskan pula mengena perputaran tenaga kerja dalam bagian ini, karena berhubungan dengan
pemutus hubungan kerja dalam organisasi. Lalu, apa hak karyawan yang diberhentikan? Tentu,
karyawan yang diberhentikan disebabkan oleh faktor apapun akan menerima penghargaan,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam organisasi dan tidak melanggar undang-undang.
6.2 PEMBERHENTIAN
PHK atau pemberhentian kerja dapat saja terjadi kepada setiap unsur manusia dalam perusahaan,
baik karyawan itu sendiri, manajer tingkat menengah dan bawah, serta eksekutif sekalipun. Dari
kesemua lapisan golongan ini, karyawan nonmanajerial yang paling mudah terkena nasib
pemberhentian, mungkin karena bargaining position yang paling lemah dalam organisasi.
Mereka umumnya termasuk pada kelompok buruh pabrik, pramuniaga, tenaga penjual,
pengemudi truk, dan sekuriti. Perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja, tindakan
pemberhentian akan lebih mudah dilaksanakan karena kurangnya perlindungan dan lemahnya
bargaining position karyawan. Pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan yang telah disepakati
dalam perjajian kerja menjadi suatu alasan kuat untuk pemberhentian karyawan. Tentu, proses
pemberhentian tetap dilakukan sebagaimana telah diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan
dan peraturan pemerintah yang berlaku. Kadang-kadang, khusus untuk perusahaan kecil atau
mili keluarga, tindakan pemberhentian akan berjalan secara tidak formal, supervisor
menyampaikan informasi pemberhentian secara langsung kepada karyawan. Pemberhentian tidak
saja mudah dialami karyawan nonmanajerial, manajer tingkat menengah dan bawah pun sangat
rentan mengalami nasib yang sama. Manajer pada tingkat ini lebih banyak menagani tugas secara
teknis dan memiliki sedikit kekuatan dibandingkan karyawan nonmanajerial. Pemberhentian
biasanya dilakukan karena berkaitan dengan sikap dan tanggung jawab yang dinilai kurang
sesuai dalam penanganan pekerjaannya. Seorang supervisor penjualan, mungkin gagal mencapai
target penjualan pada beberapa periode tertentu. Tingginya tingkat pengembalian barang karena
rusak merupakan tanggung jawab kepala pabrik.
Pemberhentian juga tidak luput dialami pimpinan tertinggi perusahaan, namun para eksekutif
tersebut tidak perlu cemas karena kemungkinan yang lebih kecil dialami dibandingkan unsur-
unsur manusia lain dalam perusahaan, Tindakan pemberhentian kepada CEO hanya dilakukan
oleh dewan direksi karena berbagai alasan yang tidak dapat dihindari, seperti dijelaskan berikut
Kondisi Ekonomi, menurunnya keadaan ekonomi akan menghambat kegiatan usaha
menimbulkan berkurangnya kegiatan, keadaan ini merupakan pilihan untuk mengurangi jumlah
CEO.
Menurunnya Produktivitas, suatu kemungkinan pemberhentian dialami oleh banyak CEO karena
menurunnya produktivitas kerja. Keadaan ini akanmenimbulkan penurunan kinerja perusahaan
secara keseluruhan.
Perubahan Bentuk, tidak sedikit perusahaan merubah bentuk organisasi dan merger serta bentuk
lain untuk meningkatkan efisiensi, sehingga menimbulkan hilangnya sebagian posisi eksekutif.
Perbedaan Filosofi, ini bisa terjadi di kalangan eksekutif sehingga mengganggu jalannya
kegiatan, bila ini dibiarkan terus-menerus akan berdampak pada penurunan kinerja perusahaan.
Suatu tindakan yang paling tepat adalahdengan mengganti posisi eksekutif, namun penggantian
ini harus dilakukandengan bijaksana dan hati-hati mengikuti prosedur yang berlaku.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberhentian kepada berbagai pihak tidak diinginkan
karena akan menimbulkan kekosongan pada posisi tertentu untuk harus diisi dalam menjamin
efektivitas pekerjaan. Bila peristiwa semacam ini sering terjadi akan mengakibatkan tingkat
perputaran karyawan tinggi, sehingga berdampak pada efektivitas kerja akan dibahas pada
bagian lain dalam bab ini. Namun, pemberhentian kepada berbagai pihak dalam perusahaan tidak
dapat dihindari karena berbagai alasan berikut.
Karyawan melakukan Pelanggaran. Di antara pihak pekerja dengan pemben kerja telah dibuat
perjanjian kerja di mana dijelaskan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak sebagai suatu
kesepakatan untuk dipatuhi bersama. Pihak karyawan telah menyetujui kewajiban-kewajibannya
merupakan tanggung jawab atas pekerjaannya. Perusahaan dapat melakukan tindakan
pemberhentian bila terbukti melakukan pelanggaran.
Perubahan Bentuk Organisasi. Untuk tujuan efisiensi, organisasi dapat mencapainya melalui
perubahan bentuk organisasi, penggabungan beberapa organisasi, perubahan status, perubahan
kepemilikan, tindakan ini akan menimbulkan pemberhentian sebagian karyawannya.
Perusahaan Tutup. Pemberi kerja dapat memberhentikan pekerja karena perusahaan tutup
disebabkan mengalami kerugian selama dua tahun berturut- turut, atau keadaan lain yang
memaksa perusahaan tersebut harus tutup.
Demikian pula, pada kejadian lain pemberi kerja memutuskan untuk mengambil tindakan
pemberhentian atas karyawannya karena perusahaan pailit. Suatu kejadian yang memaksa
karyawan terpaksa diberhentikan dari pekerjaannya, bila karyawan mengalami kecelakaan
menimbulkan cacat permanen sehingga tidak memungkinkan untuk bekerja lagi, dan bila
karyawan meninggal dunia.
6.3 PENGUNDURAN DIRI
Berbeda dengan situasi sebelumnya, PHK dilakukan atas permintaan karyawan itu sendiri. Tidak
sedikit dialami pada berbagai organisasi di mana karyawannya memisahkan diri dengan
organisasi melalui cara mengundurkan diri. Walaupun upaya organisasi menjaga keamanan dan
kenyamanan kerja di lingkungan organisasinya, tetap saja ada beberapa karyawan yang ingin
mengundurkan diri. Berbagai alasan sebagai penyebab pengunduran adalah kecilnya peluang
promosi, kurang bergengsinya perusahaan, dan faktor-faktor kompensasi nonfinansial lainnya.
Tetapi, faktor finansial paling mendominasi alasan pengunduran dirikaryawan.
PHK melalui pengunduran diri dapat dilakukan secara langsung oleh pekerjsebagai pemohon
kepada pihak pengusaha, tanpa melalui penetapan Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Undang-undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, Pasal
162 menetapkan bahwa pekerja mengundurkan diri mengajukan permohonan pengunduran diri
secara tertuliselambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri, tidak terikat dalam
ikatan dinas, dan yang bersangkutan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri.
Pada umumnya, pengunduran diri sebagai pilihan karyawan karenamandeknya kegiatan
perusahaan yang menurut ramalan karyawan sulit untuk mengembangkan karirnya bila
dipertahankan pada perusahaan tersebut. Pada kondisi krisis ekonomi melanda Indonesia pada
pertengahan tahun 1998, banyak perusahaan yang mengurangi aktivitas usahanya sehingga harus
mengurangi sejumlah karyawan. Pada kondisi ini karyawan diberikan kebebasan untuk memilih
apakah ia akan tetap bekerja atau mengundurkan diri. Keadaan ini memaksa pada banyak pekerja
yang memilih untuk mengundurkan diri secara sukarela sebagai pekerja.
6.4 PENSIUN
Bagi setiap karyawan akan sampai pada akhir pekerjaan, bila telah sampai masausia kerja yang
telah ditetapkan perusahaan, disebut sebagai pensiun (pension). Seorang pekerja dinyatakan
pensiun dinilai pada kemampuannya bekerja secara produktif. Jadi, berapa usia seseorang
dinyatakan kurang produk pada jenis pekerjaan. Untuk jenis pekerjaan yang menggunakan fisik,
secara Penetapan masa usia kerja berbeda pada setiap jenis pekerjaan bergantung umum berkisar
antara 40 sampai 45 tahun. Seorang pemain sepak bola, setelah usia 40 tahun mungkin mulai
menurun kemampuan bermain di lapangan, di samping stamina mulai menurun. Seorang pekerja
pemikul barang di pelabuhanmungkin memiliki kemampuan bekerja sampai pada usia 40 tahun,
setelah usia tersebut produktivitas mereka akan semakin berkurang, Pekerja menjahityang
memiliki keahlian dengan mengutamakan penglihatan, pada usia 40-an tahun sudah menurun
hasil kerjanya. Berbeda dengan karyawan pada bidang administrasi memiliki keahlian bukan
mengutamakan fisik, masih produktifsampai pada usia 55 sampai 60 tahun. Bahkan untuk tenaga
pengajar di sekolah atau perguruan tinggi, masa kerjanya bisa mencapai 65 tahun.
Pada umumnya, semakin tinggi tingkatan manajemen pada posisi pekerjaan seseorang, lebih
mengarah pada pekerjaan yang bersifat administratif, sesuai dengan unsur kepemimpinannya.
Sebagai contoh, pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2011, tentang Pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil (PNS), pensiun pada usia bagi PNS yang memangku jabatan Peneliti
Madya dan Peneliti Utama yang ditugaskan secara penuh di bidang penelitian, usia 62 tahun bagi
PNS yang memangku jabatan Wakil Menteri. Bagi PNS yang memangku jabatan struktural
Eselon I dinaikkan dari usia 60 tahun menjadi 62 tahun, sedangkan Eselon II, jabatan Dokter
yang ditugaskan secara penuh pada unit pelayanan kesehatan negeri, jabatan Pengawas Sekolah
Menengah Atas, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Dasar, Taman Kanak-Kanak atau jabatan
lain yang sederajat mencapai usia 60 tahun. Bagi PNS yang memangku jabatan Hakim pada
Mahkamah Pelayaran pensiun pada usia 58 tahun.
PHK dengan jenis ini, pensiun, pekerja telah melaksanakan tugasnya dengan baik selama
berbakti di perusahaan atau instansi tempatnya bekerja Karyawan tersebut telah menjalani
fungsi-fungsi manajemen sumber daya manus mulai dari awal sampai terakhir dengan lancar.
Walaupun telah ditetapkan masa usia produktif untuk PNS telah dijelaskan sebelumnya,
penetapan tersebut masih sering menjadi perdebatan dikalangan swasta. Bagi banyak manajer
masih memperdebatkan usia pensiun pada batas usia tertentu, karena kurang memerhatikan
kondisi fisik dan kesehatan karyawan. Untuk karyawan administratif dan manajerial misalnya
ditetapkan pada usia pensiun pada usia tahun, padahal banyak pekerja yang kondisi kesehatannya
kurang memadai pada usia tersebut. Sebetulnya, penetapan usia pensiun kuranglah efektif bila
dilihat hanya pada batas usia saja, tetapi suatu hal penting disertakan factor kesehatan pekerja.
Memang, penetapan batas usia penting ditetapkan sebagai perencanaan karier pekerja, tetapi
dalam perjalanan kariernya, bila tidak mampu lagi berproduksi, karyawan tersebut tidak perlu
menunggu sampai batas usia pensiun.
1. TAHAPAN PADA PENSIUN
Pensiun merupakan suatu peristiwa yang harus dialami setiap orang untuk mengakhiri masa
pekerjaannya, transisi besar dalam kehidupan setiap sesuatu karyawan. Mungkin bagi
kebanyakan orang mengakhiri masakerja yang menyenangkan dan diimpikan untuk bersenang-
senang menikmati sisa hidupnya. Tidak terpikirkan oleh mereka bahwa sebenarnya proses
pension akan menimbulkan emosional dan menantang. Seorang ahli soisologi Bernama Robert
C. Atchley menemukan enam tahap yang dilalui seorang karyawan yang akan dan setelah
pensiun, antara lain: Pre-retirement, Retirement, Disenchantment, Reorientation, Routine, dan
Termination of Retirement. Tahapan-tahapan tersebut, dapat digambarkan pada Gambar 6.2
secara berurutan, setiap individu telah sampai pada pensiun mungkin mengalami transisi saat ia
keluar dari dunia kerja. Perlu diingat bahwa tidak semua orang mengalami semua tahapan-
tahapan tersebut. Meskipun demikian, kesadaran atas tahapan-tahapan ini dapat membantu
seorang pensiunan dalam mengelola transisi secara efektif.
Pre-retirement, setiap orang pasti mnginginkan proses masa bekerja berkhir dengan baik dan
sampai pada pensiun. Pada tahap ini, jauh sebelum pensiun individu sudah memikirkan
persiapan-persiapan menghadapi pensiun, melibatkan diri pada kegiatan sosial, berbisnis, bahkan
ada yang melibatkan diri pada partai politik. Tentu, untuk sampai pada cita-cita yang diinginkan,
mereka mulai merancang tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Pada umumnya, perspektif
individu mulai bergeser, kurang fokus pada pekerjaan dan lebih pada rencana pensiun jangka
panjang. Mereka lebih mempersiapkan pada apa yang dilakukan setelah masa pensiun tiba, dan
mempersiapkan mental untuk menghadapi pensiun. Banyak orang yang tidak siap menghadapi
pensiun, tetapi karena merupakan suatu persyaratan yang telah disepakati dalam perjanjian kerja,
sesuatu yang harus dijalani individu dalam mengakhiri masa jabatannya. Banyak waktu yang
dihabiskan untuk berdiskusi dengan kolega, keluarga, dan rekan-rekan sekerja mengenai
"kehidupan pada saat pensiun", dan "kegiatan apa yang dilakukan untuk mengisi masa pensiun".
Retirement, beberapa saat menjelang usia pensiun, mereka benar-benar telah siap untuk
menghadapi masa pensiun, baik mental dan mengimplementasikan rencana-rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya. Untuk pegawai negeri sipil diberikan waktu setahun untuk menghadapi
masa pensiun, dikenal dengan istilah masa persiapan pensiun (MPP). Pada tahap ini, umumnya
individu kurang dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan penting perusahaan. Menjelang masa usia
pensiun ini, mereka diminta untuk membina dan melatih para karyawan yang akan menggantikan
pada posisinya kelak. Pada tahap ini, tiba saat pensiun, akan diadakan upacara pelepasan dan
penghargaan-penghargaan atas jasa yang telah disumbangkan selama mengabdi di perusahaan.
Sebagian orang merasa bebas dari beban dan keterikatan atas pekerjaan dan waktu, untuk
sementara waktu mereka merasa senang dan dapat menikmati hari-harinya dengan santai.
Kadang-kadang mereka lupa akan rencana yang disusun pada masa prapensiun. Di samping itu,
dana pensiun yang diperoleh dapat digunakan untuk bersenang-senang. Terlepas dari
aktivitasnya ketika masih bekerja, sebagian besar individu mengalami rasa kepuasan, yang
kadang-kadang disebut tahap "bulan madu”.
Disenchantment, tahap kekecewaan akan dilalui bila harapan tidak sesuai dengan rencana-
rencana yang telah dibuat pada saat persiapan pensiun. Tidak semua orang melalui tahap ini,
orang yang telah membuat persiapan secara matang untuk menghadapi masa usia pensiun, tentu
mereka telah mempersiapkan diri secara mental dan materi dengan baik. Pada tahap ini beberapa
individu akan merasa kehilangan, ketidakpastian, sehingga beberapa orang di antaranya akan
kurang percaya diri dalam bermasyarakat. Setelah melewati masa bulan madu, individu sudah
mulai terasa kesepian, dan sebagian dari harta benda mereka sudah mulai berkurang untuk
kebutuhan hidup. Tentu ini terjadi bagi individu yang tidak memanfaatkan dana mereka dengan
baik, apakah untuk usaha agar dana mereka tetap terjaga dengan baik. Berbeda dengan individu
yang pensiun pada usia di bawah 65 tahun, karena pada usia tersebut tingkat kesehatan menurun
dan ditunjukkan juga pada kebosanan kerja. Mereka memang benar-benar sudah ingin menikmati
masa pensiun dengan beristirahat untuk menikmati masa pensiun.
Reorientation, setelah mencapai puncak kekecewaan, umumnya individu mulai sadar bahwa
kekayaan semakin menipis, tahap kekecewaan itu diikuti tahap reorientasi. Individu akan menata
kembali gaya hidup dan memikirkan kembali, dan sebagian akan melaksanakan rencana usaha
yang disusun pada saat prapensiun. Sebagian lainnya, lembaga-lembaga sosial dan berbagai
gereja memerhatikan pensiunan untuk membantu keuangan mereka dalam menjalani hidup
sehari-harinya. Tetapi sebagian lainnya yang pensiun pada usia 45 tahun, mereka lebih
cenderung untuk berbisnis, melakukan kegiatan-kegiatan sosial, dan sebagian melibatkan diri
pada partai politik.
Routine, tahap ini merupakan tahap stabilitas dari siklus ini, individu telah memperbaiki gaya
hidupnya untuk kembali pada kesibukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka tahu
dalam menghabiskan waktu yang bermanfaat bagi diri dan keluarganya, untuk mencapai
kepuasan yang dicita-citakan. Atas kesibukan mereka, baik dalam berbisnis maupun aktivitas
lainnya, secara psikologis, kekayaan mereka akan kembali sesuai harapan. Tidak jarang pula,
individu pensiun mengalami kekayaan yang semakin menipis karena tidak produktif lagi, sisa
dana pensiun digunakan untuk memenuhikebutuhan hidupnya.
Termination of retirement, tahap ini merupakan akhir dari proses pensiun, identitas individu dan
rutin sebagai seorang pensiunan menjadi prioritas yang lebih rendah dalam hidupnya. Sebagian
besar pensiunan akan menipis harta benda karena tidak produktif lagi untuk menghasilkan
sebagai pemasukan.Tetapi, sebagian lainnya dibantu oleh lembaga-lembaga sosial atau anak-
menantu,ekonomi mereka dapat stabil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi lain,
individu yang pensiun dalam usia relatif muda, bukan tidak mungkin ekonominya bangkit sama
seperti bahkan melebihi ketika masih bekerja.
6.5 PERPUTARAN KARYAWAN
Perputaran karyawan (employee turnover) berhubungan dengan keluar dan masuknya karyawan
dalam sebuah organisasi, menunjukkan indeks stabilitas karyawan dalam organisasi. Perputaran
karyawan yang tinggi tidak diinginkan oleh banyak organisasi karena mengeluarkan biaya yang
relatif besar. Di sampingitu, akan menyita waktu dalam proses perekrutan dan pelatihan
karyawan baru.Seorang karyawan meninggalkan perusahaan akan melibatkan berbagai kerugian
yang ditanggung perusahaan, antara lain:
1. Pesangon Karyawan yang Keluar. Merupakan suatu kewajiban bagi pengusaha untuk
membayar pesangon karyawan yang keluar atau berhenti kerja karena alasan tertentu. Dalam hal
PHK, ditetapkan pada Undang- undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, pasal 156
tentang Ketenagakerjaan, pengusahan diwajibkan membayar uang pesangon sebagai masa kerja
dan penggantian hak yang seharusnya uang penghargaan diterima, 12
2. Biaya Pengangkatan dan Pelatihan Karyawan Pengganti. Perusahaan mengeluarkan sejumlah
biaya untuk perekrutan dan seleksi karyawan pengganti, termasuk honor penguji dan
pewawancara, serta fasilitas-fasilitas lain yang berhubungan dengan kegiatan perekrutan
karyawan baru. Demikianpula, karyawan baru perlu pelatihan untuk mengenal dan meyamakan
persepsi mengenai pekerjaan dan rekan sekerjanya. Kegiatan sumber daya manusia semacam ini
membutuhkan waktu relatif tidak singkat, sehingga bila intensitas tinggi perusahaan akan
mengeluarkan biaya relatif besar, di samping kerugian waktu, dan kerugian lain yang
berhubungan dengan kegiatan produksi.
3. Gaji/Upah Karyawan Baru. Pada umumnya karyawan baru yang memiliki kompetensi yang
lebih baik akan menginginkan kompensasi yang lebih besar. Suatu pertimbangan bagi
perusahaan, bila merekrut karyawan yang memiliki kemampuan standar tentu akan
membutuhkan pelatihan, dan tentunya akan mengeluarkan biaya pelatihan. Bagi kebanyakan
perusahaan mengeluarkan suatu kebijaksanaan untuk memilih karyawan yang kompeten pada
bidangnya dengan mengeluarkan biaya relatif besar.
4. Tingkat Kecelakaan Kerja Tinggi. Pada umumnya karyawan baru belum mengenal secara
keseluruhan lingkungan pekerjaan, walaupun telah mengikuti tahap pelatihan, karena senioritas
seseorang terhadap suatu pekerjaan pada suatu perusahaan tertentu sangat menentukan
produktivitas. Intensitas yangtinggi pada aspek ini akan mengeluarkan biaya relatif besar, di
samping kualitas kerja rendah, dan dapat berakibat menurunkan citra pada pelanggan.
5. Peralatan Produksi Tidak Dimanfaatkan Sepenuhnya. Banyak karyawan baru belum mengenal
sepenuhnya peralatan dan mekanisme kerja, sehingga sebagian peralatan tidak digunakan,
berakibat pada pemborosan dan tidak efektifnya sistem kerja.
6. Hilangnya Sebagian Aset Perusahaan. Karyawan yang keluar akan membawa sebagian
peralatan yang merupakan harta perusahaan, misalnya alat tulis, perlengkapan kerja, dan lain
sebagainya. Intensitas perputaran karyawan yang tinggi dan dalam jumlah besar akan
menimbulkan kerugian besar dialami perusahaan.
Menyadari besarnya biaya-biaya yang timbul akibat perputaran karyawan, para manajer mencari
jalan untuk menghindarinya. Hasil survei memperlihatkan, alasan terbanyak keluarnya karyawan
dari perusahaan adalah karena faktor ketidakpuasan. 14 Para manajer mempunyai tanggung
jawab untuk mengembangkan karyawan dalam meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja.
Tetapi, yang menjadi permasalahan besar dialami banyak perusahaan di Indonesia, tingginya
perputaran kerja diakibatkan rendahnya upah, pada beberapa daerah tertentu masih ada di bawah
kebutuhan hidup layak (KHL). Memang belakangan ini, secara nasional upah nominal rata-rata
terus meningkatdengan stabil, pada bulan Agustus 2012 upah nominal rata-rata per bulan bagi
pekerja diperkirakan Rp.1.630.193, mengalami peningkatan 6,2 persen dari tahun sebelumnya.
Pada 2012 upah minimum rata-rata untuk Indonesia diperkirakan Rp.1.121.460, naik sebesar
11,8 persen dari tahun lalu.Sejalan dengan waktu, kesenjangan antara upah minimum rata-rata
dan upah nominalrata-rata menyempit. Pada 2001 upah minimum mencapai 58,5 persen dari
upah rata-rata. Pada 2012 kesenjangan ini menyempit hingga 68,8 persen.

Anda mungkin juga menyukai