Anda di halaman 1dari 4

Nama : Niken Windya Damayanti

NIM : 180810201189
Mata Kuliah : Manajemen Sumber Daya Manusia Lanjutan / D

1. Pekanbaru Jumat, 11 November 2011 - 16:19:10 WIB (detakriau.com), PT Besmindo


yang bergerak sebagai kontraktor di PT CPI Minas melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) terhadap 6 karyawannya dengan tanpa alasan yang jelas. Hal ini membuat
karyawannya geram sehingga melaporkan PT Besmindo ke polisi. Dugaan sementara,
perusahaan mengintimidasi karena penggabungan beberapa karyawan ke Serikat Buruh
Cahaya Indonesia (SBCI). Namun, manajemen PT Besmindo memilih bungkam atas
kasus ini. Bagaimana pandangan anda mengenai kasus perselisihan hubungan
industrial tersebut serta berikan teori yang mendukung penjelasan anda!
Jawab:
Manulang (2001:1995) menyatakan bahwa pengertian PHK adalah pengakhiran
hubungan kerja karena suatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja dengan pengusaha. Menurut Mulia S. Panggabean jenis Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) ada 4 jenis yaitu diantaranya, (1) Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) atas kehendak sendiri (Voluntary Turnover). (2) Pemberhentian Karyawan karena
habis masa kontrak atau karena tidak dibutuhkan lagi oleh organisasi (Lay Off). (3)
Pemberhentian karena sudah mencapai umur pensiun (Retirement). (4) Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan atas kehendak pengusaha. Dalam hal ini pengusaha
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja mungkin disebabkan adanya pengurangan
aktivitas atau kelalaian pegawai atau pelanggaran disiplin yang dilakukan pekerja.
Namun dari contoh kasus yang terjadi, PT Besmindo telah melakukan tindakan
pelanggaran dan menyalahi aturan sebab dilakukannya PHK sepihak tanpa alasan yang
jelas dan dimusyawarahkan dengan pekerjanya terlebih dahulu. Pada dasarnya
melalui Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah disebutkan bahwa pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Jika PHK tidak bisa dihindarkan, tetap
wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau dengan pekerja/buruh
apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh.
Melihat hal tersebut, berarti PHK harus dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu.
Barulah apabila hasil perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha
hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam kenyataan
kasus yang terjadi, tindakan PHK sepihak yang dilakukan oleh PT Besmindo tanpa
perundingan terlebih dahulu menjadi persoalan yang bertentangan dengan UU
Ketenagakerjaan. Mengingat alasan PHK oleh perusahaan tidak menunjukkan adanya
kesalahan pekerja dalam hubungan kerja.
Tindakan yang dilakukan oleh PT Besmindo ini pula menunjukkan bahwa apa yang
mereka lakukan sangat tidak menghargai yang namanya undang – undang yang berlaku
di Indonesia dan serikat pekerja. Tindakan perusahan yang terkesan melakukan
intimidasi terhadap karyawan dikarenakan karyawan yang aktif ataupun masuk ke dalam
organisasi serikat pekerja telah melanggar ketentuan yang ada dalam undang – undang
yang berlaku di Indonesia. Para pekerja diberi hak untuk membentuk ataupun aktif dalam
organisasi serikat pekerja. Hal ini diatur dalam pasal 104 ayat (1) yang menyatakan
“Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh”.
Jadi, harusnya PT Besmindo tidak boleh melakukan intimidasi terhadap karyawan –
karyawannya yang aktif dalam organisasi serikat pekerja. Karena dalam perundang –
undangan kita sudah diatur dengan jelas mengenai hal tersebut. Selain itu, Soepomo
dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perburuhan” juga mengatakan bahwa
perlindungan tenaga kerja mencakup perlindungan sosial yaitu kebebasan berserikat dan
hak berorganisasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh PT
Besmindo terhadap pekerjanya melanggar dan membatasi hak yang dimiliki oleh setiap
pekerja. Oleh karena itu, perselisihan hubungan industrial ini perlu diselesaikan dengan
cara perundingan bipartit terlebih dahulu, yaitu penyelesaikan konflik pekerja dan
pengusaha dengan cara kekeluargaan (hal ini diatur dalam Undang – Undang Nomor 13
Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 15A/MEN/1994). Jika tetap
belum menemukan kesepakatan, maka perlu melewati tahap mediasi ke pengadilan
hubungan industrial. Kasus tersebut harus segera diselesaikan tanpa saling merugikan
satu sama lain. Sebab masalah ketenagakerjaan adalah hal – hal yang krusial karena
banyak hal yang terlibat, seperti keluarga para pekerja dan mitra – mitra perusahaan.

2. Angka keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum
ternyata masih rendah. Berdasarkan data ILO, Indonesia menduduki peringkat ke–26 dari
27 negara. Sumber: Rudi Suardi, "Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan
Kerja". Dimana bidang kontruksi ternyata masih menjadi peringkat pertama penyumbang
tingginya angka kecelakaan kerja. Beberapa diantaranya adalah kasus ambruknya crane
proyek double – double track (DDT) kereta api di Jatinegara Jakarta Timur pada tahun
2018 akibat kelalaian operator (human error) dan Standar Operasional Prosedur (SOP)
tidak dijalankan dengan semestinya sehingga menewaskan 4 pekerjanya. Menyikapi
kasus tersebut, bagaimana sikap dan argumentasi anda mengenai masih buruknya
implementasi dan rendahnya kesadaran dari perusahaan maupun tenaga kerja
terhadap K3 serta berikan teori yang memadai!
Jawab:
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan proses perlindungan pekerja dalam
kegiatan yang dilakukan pekerja pada suatu perusahaan atau tempat kerja yang
menyangkut risiko baik jasmani dan rohani para pekerja. Undang – undang tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia sudah memadai, hal ini telah tercantum
dalam undang – undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Namun dalam
penerapannya, masih banyak perusahan yang belum menerapkan undang – undang
tersebut terhadap pekerjanya, sehingga dalam melakuan pekerjaan masih banyak pekerja
yang mengalami kecelakaan. Padahal, perlindungan kerja merupakan kewajiban
perusahaan demi menjaga lingkungan dan mencegah kecelakaan kerja.
Kecelakaan biasanya timbul sebagai hasil gabungan dari beberapa faktor. Dari
beberapa teori tentang faktor penyebab kecelakaan yang ada, salah satunya yang sering
digunakan adalah teori tiga faktor utama (Three Main Factor Theory). Menurut teori ini
disebutkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Ketiga
faktor tersebut adalah faktor manusia, faktor lingkungan, dan faktor peralatan. Dari kasus
yang terjadi, dapat dilihat bahwa faktor yang menyebabkan kecelakaan kerja tersebut
berasal dari faktor manusia. Memang, dari data statistik kecelakaan didapatkan bahwa
85% sebab kecelakaan adalah karena faktor manusia. (Suma’mur PK., 1989:3). Didalam
Teori Tiga Faktor Utama, faktor manusia juga mencakup variabel perilaku sebagai faktor
individual yang mempengaruhi tingkat kecelakaan. Hal ini menyangkut pada sikap
ceroboh pekerja hingga menimbulkan terjadinya kecelakaan dalam kerja. Akan tetapi,
meskipun kepribadian, sikap karyawan, dan karakteristik individual karyawan tampaknya
berpengaruh pada kecelakaan kerja, namun hubungan sebab akibat masih sulit dipastikan
(Robert L. Mathis, 2002:226).
Rendahnya pemahaman / kesadaran K3 baik dari perusahaan maupun tenaga kerja
karena seringkali K3 dianggap sebagai cost atau beban biaya, bukan sebagai investasi
untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Oleh karena itu, menyikapi hal tersebut
menurut saya upaya membangun kesadaran akan pentingnya K3 harus terus ditanamkan
sejak dini. Para pengusaha, pekerja, dan masyarakat umum harus dilibatkan secara terus
menerus sehingga keselamatan kerja menjadi hal yang diutamakan. Pelaksanaan pelatihan
K3 juga sebaiknya diadakan secara rutin atau teratur dengan mengikut sertakan seluruh
elemen perusahaan. Selain itu, mengontrol dan memperbaiki sarana prasarana yang telah
menjadi penyebab terjadinya kecelakaan kerja juga harus diutamakan guna meminimalisir
terjadinya kecelakaan kerja. Peralatan standar keselamatan dan kesehatan kerja pada
proyek konstruksi sangatlah penting dan wajib digunakan untuk melindungi seseorang dari
kecelakaan ataupun bahaya yang mungkin terjadi dalam proses konstruksi. Mengingat
pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja maka semua perusahaan kontraktor
berkewajiban menyediakan semua keperluan peralatan / perlengkapan perlindungan diri
atau Personal Protective Equipment (PPE) untuk semua karyawan yang bekerja (Ervianto,
2005).

Anda mungkin juga menyukai