Anda di halaman 1dari 8

Nama : Miftahul Huda

Nim : 201510043

Kelas : MN5B

Jurusan : Manajemen

Dosen : Karmila Utari, S.E, M.M.

MK : Hubungan Industrial

“ Analisis Implementasi Kebijakan Hubungan Industrial “

Pada bagian ini akan dibahas berbagai materi kebijakan hubungan industrial yang telah
ditetapkan berdasarkan konstruksi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta berbagai
peraturan pelaksanaannya.

I. Ketentuan Umum

Pada bagian pertama Bab XI UU Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan tentang peran dan fungsi
Pemerintah, Pekerja dan Pengusaha. yang ditetapkan di dalam Pasal 102 ayat (1), (2) dan
(3).

Pemerintah

“Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan


kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan dan melakukan penindakan
terhadap pelanggaran peraturan perundangundangan ketenagakerjaan”. Pasal 102 ayat (1), (2)
dan (3).

Representasi pemerintah di dalam Undang-Undang di atas adalah Menteri, “Menteri adalah


menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan” (Pasal 1 point 33 UU. No. 13
Tahun 2003).

Fungsi-fungsi spesifik dalam pelaksanaan hubungan industrial dan ketenagakerjaan


pada umumnya, yaitu:

1. Fungsi Pengaturan (Regulating)

Negara/pemerintah menetapkan kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan


untuk mengatur hubungannya dengan anggota masyarakat (para pelaku produksi), serta
hubungan diantara para pelaku produksi itu sendiri. Kebijakan harus bersifat obyektif dan
katalistik serta mengarah pada tujuan yang yang lebih baik untuk kepentingan bersama.
Sehingga dengan kebijakan tersebut terwujud keteraturan dan keseimbangan yang dinamis,
pertumbuhan dan pengembangan usaha, serta meningkatnya kesejahteraan pekerja beserta
keluarganya.

2. Fungsi Pelayanan (Services)

Merupakan fungsi negara/pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang memerlukan


kehadiran pemerintah, seperti: bimbingan dan pembinaan, pelayanan perijinan, lisensi dan
akreditasi, membantu penyelesaian konflik hubungan industrial melalui mediasi/arbitrasi atau
rekonsiliasi, perumusan/penetapan dan pengesahan perjanjian kerja bersama, analisis risiko-
risiko kerja, pelatihan dan pengembangan kerja dan sebagainya.

3. Fungsi Pengawasan (Control)

Merupakan fungsi pemerintah untuk memastikan terselenggara/terlaksananya kebijakan


dengan efektif dan efisien, agar tujuan kebijakan tercapai melalui kontrol dan penegakan
hukum yang ketat. Fungsi ini secara struktural dan fungsional telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan, dimana secara definitif dikatakan “Pengawasan
ketenagakerjaan adalah kegiatan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan” (Pasal 1 point 32 UU. No. 13 Tahun 2003).
4. Fungsi Penindakan

Merupakan fungsi represif dari pemerintah jika ditemukan pelanggaran yang dinilai fatal atau
sudah tidak bisa ditangani secara preventif-edukatif secara berulang-ulang. Untuk
menghindari dampak yang lebih luas dan masif, maka dilakukan tindakan penegakan hukum
yang bersifat represif yustisial melalui penyidikan (Pasal 182 UU No. 13 Tahun 2003).
Ketentuan pidana ketenagakerjaan diatur secara khusus pada pasal 183 sampai pasal 189 UU.
No. 13 Tahun 2003, sedangkan sanksi administratif di atur di dalam pasal 190 UU. No. 13
Tahun 2003

Analisis Implementasi Kebijakan Hubungan Industrial

Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Buruh

“Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/ buruh


mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
keterampilan dan keahliannya, serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya” (Pasal 102 ayat (2) UU. No. 13 Tahun 2003).

Fungsi aspiratif subyektif serikat pekerja berkaitan dengan pemenuhan kepentingan pekerja
yaitu fungsi menyalurkan aspirasi secara demokratis, serta memperjuangkan kesejahteraan
anggota dan keluarganya. Sedangkan fungsi partisipatifnya adalah mengembangkan
keterampilan dan keahlian, serta ikut memajukan perusahaan.

Pengusaha

Dalam satu hubungan kerja pengusaha memiliki kedudukan sebagai pemberi kerja, yaitu
perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan hukum lainnya yang mempekerjakan
tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 point 4 UU.
No. 13 Tahun). Sedangkan status /kedudukan pengusaha sendiri meliputi 3 kualifikasi, yaitu
orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang:

1. Menjalankan perusahaan milik sendiri.

2. Menjalankan perusahaan bukan miliknya.

3. Mewakili pemilik perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.


Kesimpulan dari I. Ketentuan Umum

Pada bagian ketentuan umum Bab XI UU Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan tentang peran
dan fungsi Pemerintah, Pekerja dan Pengusaha. dalam melaksanakan hubungan industrial,
dimana ketiganya memiliki fungsi yang spesifik sesuai peran masing-masing dalam
mempertahankan dan mengembangkan perusahaan, yang ditetapkan di dalam Pasal 102 ayat
(1), (2) dan (3)

1. Pemerintah : memiliki fungsi-fungsi spesifik dalam pelaksanaan hubungan industrial


dan ketenagakerjaan pada umumnya, yaitu : Fungsi pengaturan, fungsi pelayanan,
fungsi pengawasan, fungsi penindakan.

2. Pekerja : Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain Sedangkan serikat pekerja/buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di tingkat perusahaan maupun di
luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan
bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.

3. Pengusaha : Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi


pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha,
memperluas lapangan kerja, memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,
demokratis dan berkeadilan

Analisis Implementasi Kebijakan Hubungan Industrial

II. Sarana Hubungan Industrial

Hubungan industrial merupakan pola interrelasi dan interaksi antara pengusaha dan pekerja
untuk terwujudnya hubungan yang harmonis, maka faktor komunikasi yang intensif dan
dengan cara yang tepat dapat dijadikan solusi sebagai pengungkit yang efektif. Oleh karena
itu, diperlukan institusi yang dapat mewadahi struktur, fungsi dan proses komunikasi antara
pekerja dan pengusaha, yang pada dasarnya merupakan sarana bagi terwujudnya tujuan
hubungan industrial. Di dalam Pasal 103 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003, telah ditetapkan 8 kelembagaan yang diyakini dapat mengambil peran positif sebagai
sarana yang efektif, yang terdiri dari: Serikat Pekerja /Serikat Buruh, Organisasi Pengusaha,
Lembaga Kerja Sama Bi-partit, Lembaga Kerjasama Tri-partit, Peraturan Perusahaan,
Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaam, serta Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,

8 Kelembagaan Hubungan Industrial

1. Serikat Pekerja/ Serikat Buruh (SP/SB)

Serikat pekerja/buruh dapat berperan serta lebih luas dalam pertumbuhan dan pengembangan
perusahaan, yaitu melalui peningkatan kapasitas pekerja, menyampaikan pemikiran
konstruktif bagi pengembangan perusahaan, serta memobilisasi partisipasi pekerja bagi
kemajuan perusahaan. Oleh karena itu, inti dan peran utama dari serikat pekerja adalah
sebagai sarana komunikasi antara pekerja dengan pengusaha, agar tidak terjadi dampak
negatif dalam proses hubungan hubungan industrial.

2. Organisasi Pengusaha

Organisasi pengusaha yang dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah


organisasi yang mewadahi para pengusaha khusus untuk menangani bidang sumber daya
manusia serta ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Organisasi tersebut selama ini hanya
ada satu yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).

3. Lembaga Kerja Sama Bi-partit (LKS Bi-partit)

Keduanya merupakan sarana hubungan industrial yang berfungsi sebagai forum komunikasi
dan konsultasi mengenai hal yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan dan hubungan
industrial. Perbedaannya, LKS Bi-partit berada di satu perusahaan yang anggotanya terdiri
dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara
demokratis, dimana perusahaan yang mempekerjakan pekerja 50 orang atau lebih, wajib
membentuknya.

4. Lembaga Kerja Sama Tri-partit (LKS Tri-partit)

LKS Tri-partit merupakan lembaga yang berada di luar perusahaan yang kedudukannya
berjenjang mulai dari tingkat nasional, tingkat provinsi, hingga tingkat kabupaten/kota.
Keanggotaannya terdiri dari organisasi pengusaha, gabungan serikat pekerja serta
pemerintah.

5. Peraturan Perusahaan

Peraturan perusahaan (PP) atau company regulation adalah seperangkat peraturan yang
dibuat, disusun dan menjadi tanggung jawab pengusaha secara sepihak, yang isinya mengatur
pola hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan dan hubungan antar pekerja, termasuk
penetapan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha yang bersifat kolektif, serta syarat-
syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

6. Perjanjian Kerja Bersama

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Collective Labor Agreement (CLA) adalah “bentuk
perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau beberapa serikat
pekerja yang secara resmi tercatat pada instansi pemerintah di bidang ketenagakerjaan
dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak” (Pasal 1 point 21 Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003).

7. Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan

Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan merupakan sejumlah peraturan yang


merupakan produk kebijakan negara/ pemerintah sebagai wujud kehadirannya untuk
mengatur hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha serta hubungan antara
pemerintah dengan pekerja dan pengusaha.

8. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Satu lagi sarana yang digunakan untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis
adalah tersedia dan berfungsinya dengan lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI). Perselisihan diantara pekerja dengan pengusaha, sebagaimana juga
perselisihan yang terjadi diantara manusia (human conflict) merupakan hal yang natural dan
kodrati yang dapat terjadi karena berbagai penyebab yang juga bersifat manusiawi. Ada
dimensi lain yang masuk dalam ruang lingkup penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
yaitu menangani mogok kerja dan penutupan perusahaan (lock-out).
Kesimpulan dari II. Sarana hubungan industrial

Tidak terlalu mudah untuk menyelenggarakan dan mencapai hubungan industrial yang efektif
dan harmonis, karena terhampar hambatan faktor-faktor ekonomis, psikologis, sosiologis,
yuridis, demografis bahkan politik dan keamanan yang kompleks dan komprehensif. Untuk
mengatasinya harus dicari satu faktor mendasar yang dapat dijadikan sebagai pengungkit
(leverage) yang mampu mengatasi berbagai faktor gangguan tersebut secara komprehensif
pula. Mengingat bahwa pada dasarnya hubungan industrial merupakan pola interrelasi dan
interaksi antara pengusaha dan pekerja untuk terwujudnya hubungan yang harmonis, maka
faktor komunikasi yang intensif dan dengan cara yang tepat dapat dijadikan solusi sebagai
pengungkit yang efektif. Oleh karena itu, diperlukan institusi yang dapat mewadahi struktur,
fungsi dan proses komunikasi antara pekerja dan pengusaha, yang pada dasarnya merupakan
sarana bagi terwujudnya tujuan hubungan industrial. Di dalam Pasal 103 Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, telah ditetapkan 8 kelembagaan yang diyakini dapat
mengambil peran positif sebagai sarana yang efektif, Kedelapan kelembagaan di atas bukan
merupakan tujuan, tetapi berfungsi sebagai kapasitas yang sebaiknya dimiliki dan digunakan
oleh suatu organisasi sebagai alat (tools, instrument) untuk memudahkan dalam proses
hubungan industrial. Oleh karena itu, kedudukannya bukan sebagai unsur/elemen/komponen
yang kehadirannya bersifat mutlak (absolut) di dalam proses hubungan industrial, tetapi
merupakan alat kelengkapan meskipun memiliki tingkat pengaruh yang penting dan berarti
(significant).

Kesimpulan dari Analisis Implementasi Kebijakan Hubungan Industrial

Disebutkan di dalam Undang-Undang tersebut bahwa terdapat tiga pihak yang memiliki
fungsi serta peran yang berbeda-beda. Pihak-pihak tersebut adalah pekerja, perusahaan, dan
pemerintah. Fungsi bagi ketiga pihak tersebut sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan No.
13 Tahun 2003 Pasal 102. Dalam pengertian hubungan industrial, pemerintah adalah entitas
yang memiliki fungsi sebagai pihak yang membuat kebijakan, memberikan pelayanan, serta
mengawasi jalannya sebuah usaha. Selain itu, pemerintah juga berhak menindak jika ada
pihak yang melanggar aturan yang sudah dimuat di peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan. Untuk menciptakan hubungan yang harmonis, karyawan memiliki fungsi
untuk menyelesaikan pekerjaannya di perusahaan sesuai dengan kewajiban mereka masing-
masing. Karyawan juga memiliki fungsi untuk menjaga ketertiban di perusahaan dan
menghindari terjadinya konflik. Karyawan juga dapat menyampaikan pendapatnya secara
demokratis serta mengembangkan keahlian mereka guna meningkatkan performa perusahaan.
Sementara itu, sebuah perusahaan memiliki fungsi untuk menjalin hubungan yang baik
dengan karyawan, mengembangkan usaha mereka, memberikan kesempatan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat, serta memberi kesejahteraan untuk karyawan mereka. Perusahaan
juga sebisa mungkin harus menciptakan hubungan industrial yang harmonis dengan
karyawan. Perusahaan harus memastikan hak-hak karyawan terpenuhi sehingga konflik
perselisihan hingga berujung ke pengadilan hubungan industrial bisa dihindari. Hubungan
industrial punya sejumlah prinsip serta sarana pendukung. Ia dipakai untuk acuan agar
menciptakan hubungan yang baik antara pekerja dan pengusaha.

Anda mungkin juga menyukai