Anda di halaman 1dari 3

Analisis Ringan Kebijakan Makroekonomi Indonesia

Nama : Fikri Alfian

NIM : 210820201011

Prodi : Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dosen : Dr. Moehammad Fathorrazi, M.Si.

Ketika saya menjadi presiden?

Pertanyaan yang menarik yang dilontarkan kepada saya. Bagi saya berangan-angan
menjadi apapun menjadi rutinitas sebelum terlelap istirahat dalam tidur. Menjadi presiden
mungkin impian banyak orang. Siapa yang tidak mau, pasalnya kita akan dikenal oleh seluruh
masyarakat dari sabang sampe Merauke, foto kita akan dipajang di setiap dinding sekolah mulai
dari Pendidikan taman kanak-kanak sampe perguruan tinggi, nama kita akan dikenang oleh
sejarah sebagai orang nomor satu se antero negeri. Tidak hanya itu, menjadi presiden, kita bisa
dekat dengan banyak orang, dikenal oleh negara-negara di dunia, menjadi pemimpin dari ratusan
juta penduduk yang ada di Indonesia.

Meskipun demikian, menjadi presiden tidaklah mudah. Banyak harus dipikirkan, mulai
dari rapat ini rapat itu, kunjungan ini kunjungan itu, undangan ini dan undangan itu. Belum lagi
jika ada apapun masalah di negeri kita yang tercinta ini, presiden selalu menjadi sasaran utama
sebagai kambing hitam, presiden selalu jadi orang yang dituntut pertanggung jawaban atas
kesalahan yang dilakukan anak buahnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat. Terlebih tugas
presiden yang begitu sensitive, yaitu masalah kebijakan ekonomi yang dibuat, karena
bagaimanapun orang akan melihat perkembangan suatu negara dengan melihat perkembangan
pertumbuhan ekonominya. Oleh karena itu, isu ekonomi berkembang begitu pesat di kalangan
masyarakat. Inilah yang menjadi tugas paling berat presiden, yakni menata kebijakan-kebijakan
terkait ekonomi secara makro maupun mikro.

Melihat karakter presiden-presiden sebelumnya, mereka punya ciri khas masing-masing,


seperti gus dur yang meninggalkan warisan prularismenya dan menguatkan martabat Indonesia
sekaligus menumbuhkan rasa kepercayaan asing untuk investasi ke Indonesia Ketika kunjungan-
kunjungan beliau gus dur ke luar negeri. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, dikenal Ketika
masa pemerintahan beliau harga komoditi dan sembako begitu stabil murah, subsidi BBM
banyak dikeluarkan. Sehingga jika dilihat Sekarang bahkan harga BBM 2 kali lipat lebih mahal,
terlepas dari adanya inflasi dan peningkatan nilai mata uang, tapi pada saat itu BBM naik sebesar
500 rupiah saja rakyat sudah berombong-rombong demo. Namun bukan berarti saat ini bapak
Jokowi tidak bagus atau dinilai salah atau kurang mendukung masyarakat kecil dengan
kebijakannya mengurangi atau bahkan mencabut subsidi BBM. Pada kenyataanya, ternyata
meskipun BBM naik 2 kali lipat dari era pak SBY, tapi daya beli masyarakat saat ini memang
dinilai kuat, tingkat konsumsi juga tinggi meskipun di kalangan bawah. Jokowi dinilai lebih
memprioritaskan anggaran banyak digelontorkan kearah infrastruktur. Menurut Jokowi dengan
adanya infrastruktur yang baik dan memadai, ekonomi akan terdistribusi semakin mudah dan
merata. Pak Jokowi juga selalu menekankan akan masalah investasi. Bisa dilihat sejak tahun
2016, Jokowi mwnggaungkan slogan-slogan semacam “Yuk Nabung Saham” dan lain sebainya
sebagai bentuk upaya mengajak masyarakat untuk aktif berinvestasi. Jokowi juga kesana kemari,
bertemu dengan pimpinan negara sana sini, hanya untuk mengajak mereka berinvestasi, yang
terakhir kemaren dan sempat booming di media social, Jokowi melalui Menteri investasi Luhut
Binsar Panjaitan menemui pimpinan perusahaan mobil listrik terbesar di dunia, pimpinan Tesla,
Elon Musk.

Jika dikaitkan dengan teori makroekonomi, gaya pemerintahan Jokowi mengikuti


madzhab yang beranggapan bahwa ekonomi akan tumbuh dengan cara menambah agregat of
demand yang kita tahu variable demand di makroekonomi yakni investasi, termasuk juga belanja
pemerintah konsumsi dan ekspor dikurangi impor. Perlu diketahui ada 3 madzhab dalam
perkembangan ekonomi secara makro. Madzhab pertama, yakni klasik, yang beranggapan
ekonomi suatu negara akan tumbuh jika kita menambah agregat of support (AS), seperti di sisi
produksinya. Madzhab kedua, Keynes, yang mengatakan ekonomi secara short time akan
tumbuh dengan menambah agregat of demand (AD) nya, sedangkan pada long time penambahan
agregat of demand tidak lagi efisien dalam menumbuhkan ekonomi, melainkan harus menambah
sisi agregat of support nya. Madzhab ketiga, Milton Friedman, yang menilai ekonomi akan
tumbuh jika kita terus-terusan menambah agregat of demand.
Kembali berangan, Ketika saya menjadi presiden? Tentunya kebijakan terbaik saat ini
yang bisa saya fikirkan adalah saya akan terus terusan menambah agregat of demand maupun
agregat of support. Jika bisa keduanya kenapa harus memilih salah satu bukan? Namun pilihan
ini bukan tanpa pertimbangan. Dengan mangadopsi gaya dari Keynes, yakni dalam jangka waktu
pemerintahan saya yang hanya 5 tahun, saya akan terus-terusan focus menaikkan agregat of
demand dengan tanpa meninggalkan AS nya. Karena saya tahu kepemimpinan presiden menurut
undang-undang hanya di batasi 10 tahun yang tentu waktu yang masih sebentar untuk
menumbuhkan ekonomi menjadi jauh lebih baik. Peningkatan AS akan saya sesuaikan dengan
peningkatan AD dengan melihat kebutuhan dan tingkat ekuilibriumnya. Bagaimanapun setelah
saya melepas kepimimpinan tentunya ekonomi dalam long time nya masih terjaga dan bisa
terlihat masa depan yang cerahnya.

Anda mungkin juga menyukai