Anda di halaman 1dari 18

KOGNITIF NEUROSAINS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Kognitif

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Sarwi, M. Si

Disusun oleh:

Nur Rohmah Tria Romadhoni


Nim. 0402522016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA (KONSENTRASI BIOLOGI)


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2022
PENDAHULUAN

Secara sederhana, neurosains adalah ilmu yang secara khusus mempelajari neuron (sel
saraf). Sel-sel saraf ini yang menyusun sistem saraf, baik susunan saraf pusat (otak dan saraf
tulang belakang) maupun saraf tepi (31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kepala)
(Taufik, 2006). Umumnya, para neurosaintis memfokuskan pada sel saraf yang ada di otak.
Tujuan utama analisis tentang otak dewasa ini adalah mempelajari lokalisasi fungsi, terutama
fungsi kognitif. Lokalisasi ini mengacu pada wilayah-wilayah spesifik otak yang mengontrol
perilaku-perilaku yang juga spesifik yang dominan mengarah pada kemampuan individu
dalam ranah kognitifnya (Diana, 2011).
Pemahaman tentang bagaimana otak belajar akan mendorong seluruh komponen
terkait dalam sistem pendidikan untuk menempatkan diri secara bijaksana. Banyak penelitian
menemukan bahwa manusia belum maksimal dalam memakai otaknya baik untuk
memecahkan masalah maupun menciptakan ide-ide baru. Hal ini tidak lepas dari sistem
pendidikan yang berlaku saat ini yang hanya berfokus  pada otak luar bagian kiri. Otak ini
berperan dalam pemrosesan logika, kata-kata, matematika, dan urutan yang dominan untuk
pembelajaran akademis (Dewi et.al, 2018). Otak kanan yang berurusan dengan irama musik,
gambar, dan imajinasi kreatif belum mendapat bagian secara proporsional untuk
dikembangkan. Demikian juga dengan sistem limbik sebagai pusat emosi yang belum
dilibatkan dalam pembelajaran, padahal pusat emosi ini berhubungan erat dengan sistem
penyimpanan memori jangka panjang. Lebih dari itu pemanfaatan seluruh bagian otak secara
terpadu belum diaplikasikan dengan efektif dalam sistem pendidikan (Lusi, 2011).
Sistem pendidikan saat ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk hanya
menerima satu jawaban dari permasalahan. Jawaban itulah yang kemudian diajarkan oleh
dosen/guru untuk kemudian diulangi oleh peserta didik dengan baik pada saat ujian. Secara
tak sadar kita sebagai guru maupun orangtua telah banyak memasung potensi berpikir anak-
anak dan menghambat pengembangan otaknya (Rivalina, 2020).
Pada dasarnya suatu ide baru merupakan kombinasi dari ide-ide lama, dan tak ada
sesuatu yang betul-betul baru. Telah terbukti bahwa selain memiliki kemampuan hebat untuk
menyimpan informasi, otak juga memiliki kemampuan yang sama hebat untuk menyusun
ulang informasi tersebut dengan cara baru, sehingga tercipta ide baru.Tantangan yang
dihadapi adalah bagaimana menerapkan sistem pendidikan yang memungkinkan optimalisasi
seluruh otak sehingga penerimaan, pengolahan, penyimpanan dan penggunaan informasi
terjadi secara efisien (Rivalina, 2020).
PEMBAHASAN

1. Pengertian Neurosains Koginitif


Neurosains merupakan kajian ilmu yang secara khusus mempelajari seluk beluk sel
saraf (neuron). Sel-sel saraf ini yang menyusun sistem saraf, baik susunan saraf pusat ( otak
dan saraf tulang belakang ) maupun saraf tepi ( 31 pasang saraf spinal dan12 pasang saraf
kepala) (Taufik, 2006). Umumnya, para neurosaintis memfokuskan pada sel saraf yang ada di
otak. Tujuan utama analisis tentang seluk beluk otak ini adalah untuk mempelajari lokalisasi
fungsi, terutama fungsi kognitif. Lokalisasi ini mengacu pada wilayah-wilayah spesifik otak
yang mengontrol perilaku-perilaku yang juga spesifik yang dominan mengarah pada
kemampuan individu dalam ranah kognitifnya (Diana, 2011).
Sedangkan neurosains kognitif menurut Solso, dkk. (2007) adalah pendekatan dalam
neurosains kognitif yang memusatkan kajiannya pada otak. Neurosains kognitif ini
merupakan bidang studi yang menghubungkan otak dan aspek-aspek lain sistem syaraf,
khususnya otak dengan pemrosesan kognitif dan dengan perilaku. Otak merupakan organ
dalam tubuh manusia yang mengontrol langsung pikiran, emosi, dan motivasi manusia. Otak
bersifat direktif sekaligus reaktif terhadap organ-organ tubuh yang lain. Sementara sistem
saraf, merupakan dasar bagi kemampuan manusia untuk memahami, beradaptasi, dan
berinteraksi dengan dunia sekitar (Pickering & Joward. 2007). Melalui sistem ini, manusia
menerima, memroses, dan merespon informasi dari lingkungan.
Neurosains kognitif merupakan disiplin ilmu yang bertugas membongkar ulang otak,
membedah arsitektur komputasinya menjadi unit-unit pemrosesan informasi yang terisolasi
dan kemudian menentukan bagaimana unit-unit tersebut bekerja secarakomputasi maupun
fisik (Gazzaniga, et.al. 2002). Karena sifatnya yang multidisiplin, para ilmuan neurosains
kognitif dapat memiliki bermacam latar belakang. Ilmuan neurosains kognitif dapat berasal
dari latar belakang neurobiologi, rekayasa biologi, psikiatri, neurologi, fisika, sains komputer,
linguistik,filsafat dan matematika (Robert, 2008).

2. Metode dalam Mempelajari Otak Manusia


Mempelajari otak manusia terdapat lima metode menurut Robert, (2008) yakni
sebagai berikut :
1. Studi post mortem
Peneliti mempelajari dengan hati-hati perilaku manusia yang menunjukkan tanda-
tanda kerusakan otak ketika mereka masih hidup. Mereka mendokumentasikan perilaku
pasien sedetail mungkin dalam studi kasus sebelum pasien meninggal. Selanjutnya, setelah
pasien meninggal peneliti menguji otak pasien untuk mencari lokasi terjadinya lesi (area-area
jaringan tubuh yang mengalami kerusakan seperti karena luka benturan atau penyakit).
Peneliti kemudian mengambil kesimpulan dan melacak kaitan antara tipe perilaku yang
diamati dengan anomaly yang terdapat di lokasi tertentu pada otak.
2. Studi terhadap hewan
Studi ini dilakukan secara in vivo terhadap makhluk yang masih hidup. Langkah yang
dilakukan adalah, Elektroda mikro dimasukkan ke dalam otak hewan (biasanya kera atau
kucing). Kemudian akan didapati rekaman sel tunggal tentang aktivitas sebuah neuron di
otak. Dengan cara ini ilmuan dapat mengukur efek dari jenis-jenis stimuli tertentu. Selain itu
jga dilakukan penghilangan dan perusakan bagian otak tertentu lewat pembedahan
untuk mengamati cacat fungsional yang diakibatkannya.
3. Rekaman-rekaman listrik
Metode ini dilakukan pada manusia yang masih hidup melalui EEG, dimungkinkan
untuk mempelajari aktivitas gelombang otak yang mengindikasikan perubahan konsisi-
kondisi mental, seperti tidur lelap atau bermimpi. Metode ini dilakukan dengan
memasangkan elektroda di beberapa titik kulit kepala. Aktivitas listrik di otak kemudian
direkam.Contohnya rekaman-rekaman EEG yang diambil selama tidur menyingkapkan pola-
pola perubahan aktivitas listrik yang melibatkan seluruh bagian otak. Pola-pola yang muncul
ketika seseorang bermimpi sangat berbeda ketika dia tertidur lelap.
4. Teknik pencitraan statis
Teknik-teknik ini mencakup angiogram, pemindaian tomografi aksial
dengan menggunakan komputer CAT (computerized axial tomography) dan pemindaian
dengan pencitraan resonansi magnetis (MRI). Teknik yang berbasis sinar X (CAT)
memungkinkan pengamatan yang lebih mendetail tentang abnormalitas otak skala besar
seperti kerusakan yang diakibatkan benturan atau tumor, namun terbatas dalam resolusi
sehingga tidak bisa menyediakan banyak informasi tentang lesi-lesi dan penyimpangan yang
lebih kecil.
5. Pencitraan metabolis
Teknik ini mengandalkan perubahan-perubahan yang berlangsung didalam otak
sebagai hasil dari peningkatan konsumsi glukosa dan oksigen di area-area aktif dantidak
aktif. Ide dasarnya adalah area-area aktif didalam otak mengonsumsi lebih banyak glukosa
dan oksigen ketimbang area-area yang tidak aktif. Dua teknik dengan metode ini di
antaranya adalah PET (Positron EmissionTomography) dan FMRI (Functional Magnetic
Resonance Imaging).
3. Struktur dan Fungsi Otak
Otak adalah sebuah jaringan yang sangat vital dalam tubuh manusia. Otak tidak hanya
berfungsi untuk berpikir, tetapi juga menunjang kehidupan itu sendiri. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa, seseorang yang sudah meninggal dunia beberapa saat yang lalu,
menunjukkan otaknya secara fisiologis masih hidup. Secara struktural, seluruh otak manusia
adalah sama. Jumlah sel neuron pada otak diperkirakan sekitar 100 juta sel saraf. Tetapi
dalam populasi di dapatkan bahwa, variasi berat otak dan volumenya sangat besar (Barbara,
2007).
Otak manusia dapat dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan struktur dan
fungsinya. Pembagian yang paling populer adalah berdasarkan lobus. Ada empat macam
lobus yaitu lobus frontalis, lobus parientalis, lobus oksiptalis dan lobustemporalis. Otak juga
dapat dikelompokkan berdarkan letak dan fungsinya, menjadi serebrum, serebellum,
braistem, dan sistem limbik (Coffield, et.al. 2004). Struktur otak dapat dilihat pada gambar
dibawah ini (Robert, 2008):

Gambar 1: Bagian Otak berdasarkan Letak


Sumber: Robert J. Sternberg,Cognitive Psychologi, 4th Edition
a. Cerebrum (Otak Besar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama
Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang
membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan
berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual.
Kecerdasan intelektual seseorang juga ditentukan oleh kualitas bagian ini. Cerebrum terbagi
menjadi empat bagian lobus, yakni: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital, dan
Lobus Temporal.
 Lobus Frontal : Merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak besar.
Bagian anterior (depan atas) mempunyai peran dalam tingkah laku tidak sadar. Misalnya:
kepribadian, tingkah laku social, memberi alasan, memberi pendapat dan aktifitas
itelektual, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual, dan kemampuan bahasa
secara umum. Bagian sentral posterior (depan belakang) mengatur fungsi motorik.
 Lobus Parietal : Berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti
tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
 Lobus Temporal : Menerima input dari tiga indera perasa, yaitu: pendengaran, pengecap,
dan penciuman dan mempunyai peran dalam proses memori.
 Lobus Occipital : Ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual
yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang
ditangkap oleh retina mata. Misalnya penglihatan, menerima informasi dan menafsirkan
warna, juga berperan dalam refleks visual untuk menentukan mata pada sebuah objek yang
diam dan bergerak.

Gambar 2: Lateralisasi Otak


Sumber : https://bacakilat.com
Cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan otak kanan
dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabel saraf di bagian
bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan otak
kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan kemampuan
artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir rasional. Dapat dilihat pada gambar 2
diatas.
Kedua belahan otak kiri dan kanan di hubungkan oleh bundel saraf yangs angat besar
yang disebut dengan corpus callosum (Gambar 3), yang melintasi garis tengah diatas tingkat
thalamus. Di samping itu ada juga penghubung antara belahan kiri dan belahan kanan.
Corpus callosum adalah jalan utama komunikasi antara dua belahan, meskipun Ini
menghubungkan setiap titik pada korteks ke titik bayangan cermin dibelahan hemisfer
sebaliknya, dan juga menghubungkan ke titik fungsional terkait di daerah kortikal berbeda.

Gambar 3 : Corpus callosum


Sumber : https://study.com

b. Cerebellum (Otak Kecil)


Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung
leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatisotak, diantaranya: mengatur
sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak
Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari
seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu
dan sebagainya. Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada
sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang
tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu
mengancingkan baju.
c. Brainstem (Batang Otak)
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak
ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu
tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight
or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya. Batang otak dijumpai juga pada hewan
seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil.
Otak ini mengatur perasaan teritorial sebagai insting primitif. Contohnya kita akan merasa
tidak nyaman atau terancam ketika orang yang tidak kita kenal terlalu dekat dengan kita.
Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) Mesencephalon atau Otak Tengah
adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil.
Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran
pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran. (2) Medulla oblongata adalah titik
awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga
sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah,
pernafasan, dan pencernaan. (3) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data
ke pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga
atau tertidur (Paul, et.al. 2012).
d. Limbic System (Sistem Limbik)
Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otaki barat kerah
baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Komponen limbik antara lain
hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Secara umum, sistem
limbik berfungsi menghasilkan emosi, motivasi, berperan dalam menyimpan memori dan
pembelajaran. Secara khusus, sistem limbik mengontrol perasaan dan sikap. Selain itu, juga
menyimpan memori emosional, mengontrol nafsu makan dan siklus tidur. Sistem limbik juga
memungkinkan kita untuk fleksibel dalam bersikap dan merespon perubahan lingkungan.
f. Sistem Saraf 
Sistem Saraf Pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang (Robert, 2008).
1. Otak: berfungsi untuk menerima, memproses, menginterpretasikan dan menyimpan
informasi sensoris yang datang, seperti rasa, suara, bau, warna, tekanan pada kulit, dll.
2. Saraf tulang belakang : kumpulan neuron dan jaringan pendukung yang dimulai daridasar
otak sebagai perpanjangan otak yang menjulur di sepanjang punggungbagian tengah dan
dilindungi oleh tulang belakang.
Gambar 4 : Saraf Tulang Belakang
Sumber: Pustekkom Depdiknas
 Neuron
Neuron adalah unsur dasar pembentuk sistem saraf pusat yakni sel khusus yang
mengirimkan informasi sepanjang sistem syaraf, berjumlah sangat padat. Otak manusia
tersusun dari massa neuron yang sangat padat, berfungsi menerima & mengirimkan impuls
neural ke ribuan neuron lain. Neuron memiliki ukuran dan bentuk yang berlainan tergantung
dari lokasi dan fungsinya, di antarannya Syaraf tulangbelakang, Talamus, Serebelum, dan
Korteks.

Gambar 5 : Neuron dan Bagian-bagiannya


Sumber : https://sel.co.id

Bagian utama dalam neuron adalah sebagai berikut:


1. Dendrit, yang menerima impuls neural dari neuron lain, dendrit berbentuk seperti pohon
(arborized), lengkap dengan cabang dan ranting.
2. Tubuh sel, yang bertanggung jawab menjaga kondisi dasar neuron. Tubuh sel
(menerima) nutrisi dan melenyapkan limbah organik dan menyerang limbah tersebut
melalui dinding sel yang permeabel
3. Akson, serabut perluasan yang membawa dan menghantarkan impuls dari tubuhsel
ke neuronlain.
4. Terminal prasinaptik, terminal-terminal tempat berakhirnya akson terletak dekat
permukaan dendrit dendrit pada neuron lain (yang bersifat reseptif) meskipun tidak
berhubungan langusng, terminal prasinaptik dan dendrit bersama-sama membentuk
sinapsis. Sinapsis memiliki tugas penting yaitu berperan menukarkan informasi kimia
yang disebut neurotransmitter dari satu neuron ke neuron lain.

4. Gangguan pada Otak
Beberapa contoh gangguan pada otak menurut penelitian Gazzaniga, dkk (dalam
Robert) (2002) adalah :
1. Disleksia : Kemampuan membaca pada orang dewasa, melibatkan penggunaan otak kiri,
termasuk posterior superior temporal cortex. Area otak ini penting dalam kemampuan
memisahkan kata-kata dalam komponen berdasarkan pelafaannya. Pada anak dengan
disleksia, area otak inimenunjukkan penurunan aktivitas, yang mengakibatkan kesulitan
mengeja, mambaca, dan mengenali huruf atau angka.
2. Afasia : Wernick Afasia Disebabkan oleh kerusakan area otka Wernick. Ditandai
penurunan pemahaman kata” dan kalimat yg diucapkan.
3. Autisme : Gangguan perkembangan yg ditandai dg kelainan perilaku, sosial, bahasa,
dan kognisi Anak” dengang autism memiliki kelainan di banyak area otak; lobus frental
dan parietal, serebelum, batang otak, corpus callosum, ganglia basal, amigdala,
hippocampus.

5. Perkembangan Otak dan Kaitannya dengan Saat Memulai Pembelajaran


Saat yang tepat untuk memulai pembelajaran, terutama melalui jalur pendidikan
formal, dapat dikaitkan dengan proses perkembangan otak. Secara umum, otak mengalami
restrukturisasi pada usia dini, usia remaja, dan dewasa. Di bawah ini adalah gambaran
perkembangan otak pada tiga fase tersebut, yang dikaitkan dengan kemampuan otak untuk
belajar .
a. Perkembangan Otak pada Usia Dini
Sekalipun pendidikan formal pada usia dini semakin populer, sebenarnya tidak ada
bukti meyakinkan di bidang neurosains untuk memulai pendidikan formal lebih awal.Tiga
pendapat menjadi dasar bagi pemikiran ini, namun dengan bukti yang masih sedikit, dengan
interpretasi yang berlebihan. Pendapat pertama, bahwa synaptogenesis, pembuat sinapsis
yang menghubungkan antar neuron, terbentuk pada tingkat yang lebih tinggi pada anak-
anak dibandingka orang dewasa (Paul, et.al. 2012).
b. PerkembanganOtak Saat Remaja
Neurosains menunjukkan bahwa, di saat remaja pun, otak tetap mengalami
perkembangan. Namun demikian, berbagai penelitian menunjukkan bahwa otak remaja
berusia belasan tahun, tidak lebih siap dari otak dewasa untuk mengerjakan berbagai proses.
Beberapa proses ini, misalnya, mengarahkan perhatian, merencanakan masa depan,
mencegah perilaku tidak pantas, multitasking, dan tugas-tugas yang membutuhkan
keterampilan sosial. Dapat disimpulkan bahwa reorganisasi otak tahap kedua, setelah masa
kanak-kanak, terjadi pada masa remaja. Pada masa remaja ini, otak masih dapat dipertajam
dan dibentuk. Oleh karenanya, kurikulum yang tepat dalam pendidikan formal dapat
membantu pengembangan otak remaja.
c. Perkembangan Otak Saat Dewasa
Walaupun perubahan tidak lebih radikal seperti yang terjadi pada masa remaja, otak
terus berubah dan berkembang pada masa dewasa. Dengan meningkatnya usia, otak menjadi
lebih sedikit dapat ditempa, dan neuron mulai hilang dalam tingkat yang lebih besar,
walaupun efek pendidikan terhadap hilangnya neuron ini masih belum dapat dijelaskan.
Sekalipun demikian, ternyata neuron baru lahir di satu bagian otak: hippocampus, satu bagian
di otak yang memegang peranan penting dalam belajar dan mengingat (Wara,2013).
Kondisi ini menunjukkan otak sangat fleksibel dan memungkinkan penggunanya
untuk belajar sepanjang hayat, terus beradaptasi terhadap keadaan baru dan pengalaman baru.
Penelitian bahkan menunjukkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi struktur otak,
termasuk pada orang dewasa. Penelitian Dragansky, dkk (dalam Jones) menunjukkan bahwa
bagian otak tertentu membesar setelah dilakukan pendidikan dan pelatihan selama tiga bulan.
Tiga bulan setelah pelatihan tersebut usai, volume otak kembali menyusut ke asalnya.
Penelitian juga menunjukkan bahwa kemungkinan untuk menderita alzheimers menurun
dengan adanya pencapaian pendidikan, atau dengan peningkatan tantangan dalam pekerjaan.
Dengan melihat pemaparan di atas, jelaslah bahwa sesungguhnya, otak manusia dapat
melakukan pembelajaran sepanjang hayat. Sekalipun pentingnya pendidikan formal yang
dimulai di usia dini masih menjadi pertentangan, pendidikan formal hingga usia remaja
adalah hal yang penting. Otak juga dapat terus memperbaharui neuronnya, sehingga
melanjutkan pendidikan hingga usia dewasa, bahkan tua, bukanlah permasalahan.
Pembelajaran terus menerus bahkan ditengarai dapat mengurangi terjadinya gangguan otak.

6. Program Belajar Berbasis Kemampuan Otak: Penafsiran yang Salah


Paradigma program belajar dengan berbasis kemampuan otak ini, mulai
diperkenalkan sejak tahun 1990, dan mulai bermunculan berbagai program dengan tema
(brain-based). Sekalipun demikian, tampaknya bercampur antara ekliktik dan neurosains,
sehingga tidak seluruh program berbasis kemampuan otak yang umumnya diketahui guru dan
masyarakat awam, benar-benar berdasarkan neurosains kognitif. Berikut ini adalah beberapa
contoh :
a. Senam otak (Brain Gym) : Program ini mengajukan ide bahwa mekanisme kerja otak dapat
ditingkatkan dengan latihan-latihan tertentu. Termasuk dalam senam otak ini,misalnya,
gerakan cross crawl, pergerakan bagian kanan dan kiri tubuh bergantian yang diklaim dapat
mengaktifkan otak kiri dan kanan. Sekalipun penjelasan dan argumentasi yang diajukan
tampak logis, sebenarnya konsep ini tidak dikenal dalam neurosains. Senam otak
menekankan sinergi dan keseimbangan antara otak kiri dan kanan, sehingga menciptakan
“jalan” baru antara otak kiri dan kanan. Pada kenyataannya, antara otak bagian kiri dan
kanan, memang sudah terhubung secara permanen, yang dapat dilihat dengan jelas melalui
corpus callosum. Menciptakan jalan jalan atau rangkaian hubungan baru antara kedua otak,
hingga saat ini belum dapat dibuktikan.
b. Learning Style Preferences : merupakan pilihan gaya belajar, cukup populer digunakan di
bidang pendidikan. Umumnya, gaya belajar siswa dibedakan menjadi tiga: visual, auditori,
atau kinestetik. Konsep yang banyak digunakan adalah, penggunaan salah satu gaya belajar
yang cocok dengan seorang individu, akan meningkatkan pembelajaran. Namun, terdapat
kekurangan dalam hal metode penentuan gaya belajar yang sesuai dengan tiap individu.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa menyajikan pembelajaran secara khusus yang cocok
dengan satu jenis gaya belajar saja, adalah membuang-buang waktu. Sekalipun demikian,
guru yang menggunakan berbagai jenis media yang menjangkau semua murid apapun gaya
belajarnya, tetap memiliki nilai tambah.
c. Kecenderungan Pembedaan Otak Kiri atau Otak Kanan : Beberapa buku teks menyarankan
guru mengetahui apakah siswa mereka termasuk pengguna otak kanan atau otak kiri.
Penelitian lama memang menganjurkan pengkhususan tersebut. Jerre Levy dan Sperry (dalam
Given) misalnya, menegaskan perbedaan antara kedua belahan otak dengan menyatakan
bahwa belahan kanan khusus untuk proses holistic, dan belahan kiri untuk proses analitik.
Laporan ini menimbulkan kegairahan guru untuk menerapkan konsep ini dalam bidang
pendidikan. Namun penelitian yang lebih baru, seperti yang dilakukan oleh Gazaninga,
mendapati bahwa pada beberapa individu, kedua belahan otak sama-sama mampu merespon
input visual dan tugas menggambar. Demikian pula interpretasi bahasa, ada di kedua belahan
otak ini.
Berbagai penelitian lanjutan yang berupaya mengaburkan perbedaan global dan
analitik tentang kedua belahan otak, tampaknya belum dihiraukan. Bagaimanapun juga,
kedua belahan otak ini secara normal memang selalu aktif. Selain itu, kebanyakan tugas
belajar sehari-hari, mensyaratkan kedua belahan otak untuk bekerja sama dalam sistem yang
kompleks. Tidak terdapat bukti yang kuat bahwa kategorisasi siswa menjadi kecenderungan
otak kanan atau kiri, dapat membantu proses pembelajaran.
7. Prinsip dan Kerangka Belajar dalam Konsep Neurosains Kognitif
Prinsip utama yang melatar belakangi terlaksananya pembelajaran berbasis otak
menurut Caine dan Caine menjelaskan 12 prinsip pembelajaran secara alami yakni sebagai
berikut :
1. Otak merupakan processor parallel : Pikiran, perasaan, sifat bawaan, dan emosi saling
berhubungan satu sama lain dan berinteraksi dengan berbagai macam model informasi
yang diterima otak.
2. Belajar melibatkan seluruh fisiologi tubuh. Hal ini berarti bahwa kesehatan fisik seseorang,
seperti jumlah waktu tidur, nutrisi yang dikonsumsi, kondisi lelah, mempengaruhi otak.
3. Pencarian makna dilakukan secara innate. Kita secara alamiah terprogram untuk
mencari makna dalam segala hal. Kebutuhan otak untuk selalu mencari makna juga
beberapa hal familiar yang akan terdaftar secara otomatis saat melakukan pencarian
dan merespon makna secara terus-menerus untuk menambah stimulus.
4. Pencarian makna terjadi dengan "berpola." Berpola disini lebih dimaksudkan pada
pengorganisasian dan pengkategorian dari informasi. Otak menolak pola mengagumkan
dari sesuatu yang tanpa makna. Otak mencoba untuk membuat pengertian dari informasi
dengan mengurangi kata-kata acak yang tidak berhubungan dengan suatu pola yang lebih
familiar.
5. Emosi merupakan salah satu bagian penting dalam pembentukan pola. Dalam otak, kita
tidak bisa memisahkan emosi dengan kemampuan otak dalam berpikir secara kognitif,
karena kedua hal tersebut merupakan faktor yang saling berhubungan. Emosi
merupakan sesuatu hal yang membuat kita lebih bersemangat untuk belajar, untuk
membuat sesuatu.
6. Setiap otak, secara simultan mengamati dan membangun suatu informasi mulai dari
bagian-bagian terkecil, hingga keseluruhan bagian. Dalam pembelajaran, penting untuk
melibatkan kedua belahan hemisfer pada otak secara bersamaan.
7. Belajar melibatkan perhatian yang dipusatkan dan persepsi sekitar. Setiap anak belajar
dari segala hal. Oleh karena itu, keadaan sekeliling menjadi sangat penting.
8. Belajar selalu melibatkan proses yang terjadi secara langsung dan tidak langsung. Kita
belajar lebih banyak dari segala sesuatu yang secara langsung dapat kita pahami.
Banyak komponen-komponen belajar yang diterima dari lingkungan sekeliling kita
dan langsung masuk ke dalam otak kita tanpa kita sadari dan langsung berinteraksi
dengan level proses belajar secara tidak langsung.
9. Kita memiliki paling sedikit dua tipe memori sistem memori spatial dan satu pasang
sistem untuk pembelajaran hafalan.
10. Otak mengerti dan mengingat dengan sangat baik saat fakta/kenyataan ditanamkan
pada sistem memory spatial. Solusinya adalah melakukan tingkatan pembelajaran
dengan menempatkan si pembelajar pada lingkungan belajar seperti dunia sungguhan.
11. Dalam proses pembelajaran, perlu diperbanyak kesempatan dan dilarang adanya
ancaman. Belajar akan terjadi secara optimum, saat otak dikondisikan pada keadaan
"waspada yang rileks." Selain itu, ritme/pola hidup kita juga ikut berpengaruh pada
cara belajar yang kita lakukan.
12. Setiap otak itu unik. Hal ini terlihat dari gaya belajar dan cara seseorang
menyimpan informasi dalam sebuah pola. Setiap individu mungkin saja memiliki
banyak kesamaan, tapi sebenarnya mereka sungguh berbeda.
Selain prinsip yang dijelaskan di atas, riset menunjukkan bahwa otak
mengembangkan lima sistem pembelajaran. Barbara (2007) menjelaskan kelima kerangka
ini sebagai berikut.
1. Sistem Pembelajaran emosional : Guru perlu menciptakan iklim kelas yang nyaman dan
kondusif bagi keamanan emosional dan hubungan pribadi siswa. Guru berfungsi sebagai
mentor yang membantu siswa menemukan hasrat untuk belajar. Ini harus didukung
dengan membuat pembelajaran yang menarik, relevan, berkaitan, dan bisa dicapai, yakni
mampu menyelesaikan tugas secara mandiri ataupun dibantu guru dan rekan.
2. Sistem Pembelajaran Sosial : Ini merupakan kecenderuangan alamiah untuk menjadi
bagian dari kelompok. Guru perlu menerima perbedaan sebagai kelebihan siswa,
memberi penghargaan dan perhatian kepada siswa. Guru berkolaborasi dengan siswa
sebagai mitra setara, alih-alih sebagai gudang informasi yang menyimpan dan membagi
jawaban.
3. Sistem Pembelajaran Kognitif : Sistem ini berhubungan dengan membaca, menulis,
berhitung, dan semua aspek lain dalam pengembangan kecakapan akademis. Menurut
pandangan neurosains kognitif, guru lebih berperan sebagai fasilitator pembelajaran,
sementara siswa berperan sebagai pemecah masalah dan pengambil keputusan nyata.
4. Sistem Pembelajaran Fisik : Pembelajaran memiliki kecenderungan siswa untuk terlibat
aktif dalam banyakhal. Sistem pembelajaran fisik tugas akademis yang menantang mirip
olahraga, dengan guru melatih, dam mendukung partisipasi aktif siswa.
5. Sistem Pembelajaran Reflektif : Sistem ini melibatkan pertimbangan pribadi terhadap
pembelajarannya sendiri. Ia menimbang-nimbang prestasi dan kegagalannya, mana yang
berhasil atau tidak, dan mana yang perlu ditingkatkan.
8. Implementasi Cognitive Neuroscience dalam Pembelajaran
Optimalisasi otak pada dasarnya adalah menggunakan seluruh bagian otak secara
bersama-sama dengan melibatkan sebanyak mungkin indra secara serentak. Berbagai cara
yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi otak dalam kegiatan pembelajaran adalah
sebagai berikut (Wara, 2004):
1. Penggunaan berbagai media pembelajaran. Media pembelajaran yang berbeda merupakan
salah satu usaha membelajarkan seluruh bagian otak, baik kiri maupun kanan, rasional
maupun emosional, atau bahkan spiritual. Permainan warna, bentuk, tekstur, dan suara
sangat dianjurkan.
2. Menciptakan suasana gembira karena rasa gembira akan merangsang keluarnya endorfin
dari kelenjar di otak, dan selanjutnya mengaktifkan asetilkoloin di sinaps. Seperti
diketahui sinaps yang merupakan penghubung antar sel saraf menggunakan zat kimia
terutama asetilkolin sebagai neurotransmiternya. Dengan aktifnya asetilkolin maka
memori akan tersimpan dengan lebih baik. Lebih jauh suasana gembira akan
mempengaruhi cara otak dalam memproses, menyimpan, dan mengambil kembali
informasi.
3. Mengkondisikan otak untuk waspada sekaligus relaks. Hal ini dapat dilakukan dengan
musik yang menenangkan dan latihan pernapasan yang dapat menghilangkan pikiran yang
mengganggu. Musik juga dapat mengaktifkan otak kanan untuk siaga menerima informasi
dan membantu memindahkan informasi tersebut ke dalam bank memori jangka panjang.
Kondisi relaks dan waspada merupakan pintu masuk bawah sadar. Jika informasi
dibacakan dengan dibarengi musik, maka akan mengambang dibawah sadar dan
ditransmisikan dengan lebih cepat serta disimpan dalam “file” yang benar.
4. Menyimpan informasi dengan pola asosiatif dan tidak linier merupakan langkah pertama
menuju pengembangan kemampuan otak yang belum dikembangkan.
5. Asupan oksigen yang cukup. Berhentinya pasokan oksigen akan merusak sel-sel saraf di
otak. Ruang kelas dengan penyediaan oksigen yang berlimpah sangat kondusif untuk
belajar sehingga siswa lebih rileks dan berkonsentrasi dalam menerima pembelajaran.
6. Belajar melalui praktik, sehingga melibatkan banyak indra sehingga memori akan lebih
mantap. Selain itu, karena tiap orang memiliki dominasi indra yang berbeda, melibatkan
banyak indra akan menyentuh dominasi tersebut dan meningkatkan optimalisasi otak.
PENUTUP
Kesimpulan
Neurosains kognitif ini merupakan bidang studi yang menghubungkan otak dan
aspek-aspek lain sistem syaraf, khususnya otak dengan pemrosesan kognitif, dan
akhirnya dengan perilaku. Otak merupakan organ dalam tubuh manusia yang mengontrol
langsung pikiran, emosi, dan motivasi manusia. Otak bersifat direktif sekaligus reaktif
terhadap organ-organ tubuh yang lain.
Sementara sistem saraf, merupakan dasar bagi kemampuan manusia untuk
memahami, beradaptasi, dan berinteraksi dengan dunia sekitar. Melalui sistem ini,
manusia menerima, memroses, dan merespon informasi dari lingkungan. Terdapat beberapa
metode dalam mempelajari otak manusia. Sternberg menjelaskan lima metode, yakni: (1)
studi post mortem, (2) studi terhadap hewan, (3) rekaman-rekaman listrik, (4) teknik
pencitraan statis, dan (5) Pencitraan metabolis.
Cognitive Neuroscience ini sebenarnya merupakan penerapan neurosains dalam
psikologi kognitif. Studi ini mengkaji otak sekaligus mempelajari mental. Bisa dibilang
merupakan cara baru dalam mempelajarai psikologi kognitif. Studi ini memetakan
wilayah-wilayah spesifik di otak beserta fungsinya, dan mengkaitkannya dengan proses
kognitif. Merupakan sebuah bidang akademis yang mempelajari secara ilmiah substrat
biologis dibalik kognisi, dengan fokus khusus pada substrat syaraf dari proses mental.
Prinsip utama yang melatar belakangi terlaksananya pembelajaran berbasis otak
menurut Caine menjelaskan 12 prinsip pembelajaran secara alami. Prinsip ini menjadi
dasar bagi brain-based learning yang banyak berkembang kini. Kedua belas prinsip
tersebut sebagai berikut : (1) Otak merupakan processor parallel, (2) Belajar melibatkan
seluruh fisiologi tubuh, (3) Pencarian makna dilakukan secara innate, (4) Pencarian makna
terjadi dengan "berpola.", (5) Emosi merupakan salah satu bagian penting dalam
pembentukan pola, (6) Setiap otak, secara simultan mengamati dan membangun suatu
informasi mulai dari bagian-bagian terkecil, hingga keseluruhan bagian, (7) Belajar
melibatkan perhatian yang dipusatkan dan persepsi sekitar, (8) Belajar selalu melibatkan
proses yang terjadi secara langsung dan tidak langsung, (9) Kita memiliki paling sedikit
dua tipe memori sistem memori spatial dan satu pasang sistem untuk pembelajaran
hafalan, (10) Otak mengerti dan mengingat dengan sangat baik saat fakta/kenyataan
ditanamkan pada sistem memory spatial, (11) Dalam proses pembelajaran, perlu diperbanyak
kesempatan dan dilarang adanya ancaman, dan (12) Setiap otak itu unik.

DAFTAR PUSTAKA
Barbara K. Given. 2007 Brain-Based Teaching: Merancang Kegiatan Belajar-Mengajar yang
Melibatkan Otak Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetis, dan Reflektif, cet. 2.
Penj. Lala Herawati Dharma. Bandung: Mizan Pustaka..
Coffield, Moseley, Hall, E., & Ecclestone, K. 2004. “Learning Styles and Pedagogy In
Post-16 Learning: A Systematic And Critical Review”, (Report No. 041543).
London: Learning and Skills Research Centre.
Dewi, C. T., Fitri, N. W., & Soviya, O. (2018). Neurosains dalam Pembelajaran Agama
Islam. Ta'allum: Jurnal Pendidikan Islam, 6(2), 259-280.
Diana S. Mandar. 2011 “Peranan Cognitive Neuroscience dalam Bidang Pendidikan”.
Prosiding Sains, Teknologi, dan Kesehatan.Vol 2 No 1.
Gazzaniga, et.al. 2002 Cognitive Neuroscience: The Biology of the Mind. New York:
Norton.
Lusi Nur Ardhiani. 2011. Psikologi Kognitif. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan Ajar
Universitas Mercubuana.
Paul Howard-Jones, et.al. 2012. Neuroscience and Education: Research and
Opportunities. London: TLRP & ESRC.
Rivalina, R. (2020). Pendekatan Neurosains Meningkatkan Keterampilan Berpikir Tingkat
Tinggi Guru Pendidikan Dasar. Kwangsan, 8(1), 332456.
Robert J. Sternberg. 2008. Cognitive Psychologi, 4th Edition. Belmont: Wadsworth,
Cengage Learning.
Pickering S.J. dan Joward-Jones. 2007. “Educators View of the Role of Neuroscience In
Education: A Study of UK and International Perspective”. Mind, Brain and
Education, Vol 1.
Robert J. Sternberg, 2008. Cognitive Psychologi, 4th Edition, (Belmont: Wadsworth,
Cengage Learning), hh. 48-84.
Solso, Robert, dkk. Psikologi Kognitif. (Jakarta: Erlangga, 2007), 434.
Taufik Pasiak. 2006. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk
Kesuksesan Hidup. Bandung: Mizan.
Wara Kushartanti. 2013. “Perkembangan Aplikasi Neurosains dalam Pembelajaran di
TK”, disampaikan dalam dies natalis UNY ke 40. Yogyakarta: UNY.

Anda mungkin juga menyukai