Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Secara sederhana, neurosains adalah ilmu yang secara khusus mempelajari neuron (sel
saraf). Sel-sel saraf ini yang menyusun sistem saraf, baik susunan saraf pusat (otak dan saraf
tulang belakang) maupun saraf tepi (31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kepala)
(Taufik, 2006). Umumnya, para neurosaintis memfokuskan pada sel saraf yang ada di otak.
Tujuan utama analisis tentang otak dewasa ini adalah mempelajari lokalisasi fungsi, terutama
fungsi kognitif. Lokalisasi ini mengacu pada wilayah-wilayah spesifik otak yang mengontrol
perilaku-perilaku yang juga spesifik yang dominan mengarah pada kemampuan individu
dalam ranah kognitifnya (Diana, 2011).
Pemahaman tentang bagaimana otak belajar akan mendorong seluruh komponen
terkait dalam sistem pendidikan untuk menempatkan diri secara bijaksana. Banyak penelitian
menemukan bahwa manusia belum maksimal dalam memakai otaknya baik untuk
memecahkan masalah maupun menciptakan ide-ide baru. Hal ini tidak lepas dari sistem
pendidikan yang berlaku saat ini yang hanya berfokus pada otak luar bagian kiri. Otak ini
berperan dalam pemrosesan logika, kata-kata, matematika, dan urutan yang dominan untuk
pembelajaran akademis (Dewi et.al, 2018). Otak kanan yang berurusan dengan irama musik,
gambar, dan imajinasi kreatif belum mendapat bagian secara proporsional untuk
dikembangkan. Demikian juga dengan sistem limbik sebagai pusat emosi yang belum
dilibatkan dalam pembelajaran, padahal pusat emosi ini berhubungan erat dengan sistem
penyimpanan memori jangka panjang. Lebih dari itu pemanfaatan seluruh bagian otak secara
terpadu belum diaplikasikan dengan efektif dalam sistem pendidikan (Lusi, 2011).
Sistem pendidikan saat ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk hanya
menerima satu jawaban dari permasalahan. Jawaban itulah yang kemudian diajarkan oleh
dosen/guru untuk kemudian diulangi oleh peserta didik dengan baik pada saat ujian. Secara
tak sadar kita sebagai guru maupun orangtua telah banyak memasung potensi berpikir anak-
anak dan menghambat pengembangan otaknya (Rivalina, 2020).
Pada dasarnya suatu ide baru merupakan kombinasi dari ide-ide lama, dan tak ada
sesuatu yang betul-betul baru. Telah terbukti bahwa selain memiliki kemampuan hebat untuk
menyimpan informasi, otak juga memiliki kemampuan yang sama hebat untuk menyusun
ulang informasi tersebut dengan cara baru, sehingga tercipta ide baru.Tantangan yang
dihadapi adalah bagaimana menerapkan sistem pendidikan yang memungkinkan optimalisasi
seluruh otak sehingga penerimaan, pengolahan, penyimpanan dan penggunaan informasi
terjadi secara efisien (Rivalina, 2020).
PEMBAHASAN
4. Gangguan pada Otak
Beberapa contoh gangguan pada otak menurut penelitian Gazzaniga, dkk (dalam
Robert) (2002) adalah :
1. Disleksia : Kemampuan membaca pada orang dewasa, melibatkan penggunaan otak kiri,
termasuk posterior superior temporal cortex. Area otak ini penting dalam kemampuan
memisahkan kata-kata dalam komponen berdasarkan pelafaannya. Pada anak dengan
disleksia, area otak inimenunjukkan penurunan aktivitas, yang mengakibatkan kesulitan
mengeja, mambaca, dan mengenali huruf atau angka.
2. Afasia : Wernick Afasia Disebabkan oleh kerusakan area otka Wernick. Ditandai
penurunan pemahaman kata” dan kalimat yg diucapkan.
3. Autisme : Gangguan perkembangan yg ditandai dg kelainan perilaku, sosial, bahasa,
dan kognisi Anak” dengang autism memiliki kelainan di banyak area otak; lobus frental
dan parietal, serebelum, batang otak, corpus callosum, ganglia basal, amigdala,
hippocampus.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara K. Given. 2007 Brain-Based Teaching: Merancang Kegiatan Belajar-Mengajar yang
Melibatkan Otak Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetis, dan Reflektif, cet. 2.
Penj. Lala Herawati Dharma. Bandung: Mizan Pustaka..
Coffield, Moseley, Hall, E., & Ecclestone, K. 2004. “Learning Styles and Pedagogy In
Post-16 Learning: A Systematic And Critical Review”, (Report No. 041543).
London: Learning and Skills Research Centre.
Dewi, C. T., Fitri, N. W., & Soviya, O. (2018). Neurosains dalam Pembelajaran Agama
Islam. Ta'allum: Jurnal Pendidikan Islam, 6(2), 259-280.
Diana S. Mandar. 2011 “Peranan Cognitive Neuroscience dalam Bidang Pendidikan”.
Prosiding Sains, Teknologi, dan Kesehatan.Vol 2 No 1.
Gazzaniga, et.al. 2002 Cognitive Neuroscience: The Biology of the Mind. New York:
Norton.
Lusi Nur Ardhiani. 2011. Psikologi Kognitif. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan Ajar
Universitas Mercubuana.
Paul Howard-Jones, et.al. 2012. Neuroscience and Education: Research and
Opportunities. London: TLRP & ESRC.
Rivalina, R. (2020). Pendekatan Neurosains Meningkatkan Keterampilan Berpikir Tingkat
Tinggi Guru Pendidikan Dasar. Kwangsan, 8(1), 332456.
Robert J. Sternberg. 2008. Cognitive Psychologi, 4th Edition. Belmont: Wadsworth,
Cengage Learning.
Pickering S.J. dan Joward-Jones. 2007. “Educators View of the Role of Neuroscience In
Education: A Study of UK and International Perspective”. Mind, Brain and
Education, Vol 1.
Robert J. Sternberg, 2008. Cognitive Psychologi, 4th Edition, (Belmont: Wadsworth,
Cengage Learning), hh. 48-84.
Solso, Robert, dkk. Psikologi Kognitif. (Jakarta: Erlangga, 2007), 434.
Taufik Pasiak. 2006. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk
Kesuksesan Hidup. Bandung: Mizan.
Wara Kushartanti. 2013. “Perkembangan Aplikasi Neurosains dalam Pembelajaran di
TK”, disampaikan dalam dies natalis UNY ke 40. Yogyakarta: UNY.