Anda di halaman 1dari 23

HALAMAN SAMPUL

HUBUNGAN KARAKTER DAN KEPRIBADIAN MANUSIA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pendidikan
Karakter yang dibina oleh Baiq Rina Amalia, M.Pd.

Disusun oleh:

1. Agus Mulia Bakti / 18081006


2. Dita Ariana / 18081005
3. Maulida Apriani / 18081004

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN MATARAM


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga kelompok kami bisa
menyelesaikan tugas makalah “Menganalisis Hubungan Karakter dan
Kepribadian Manusia” sebagai mana mestinya. Tak lupa pula kami ucapkan
banyak terima kasih terhadap pihak-pihak yang turut ikut andil dalam
menyelesaikan tugas ini.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekeliruan dan
kekurangan dalam segi penyusunan dan sistematika penulisan yang baik dan
benar oleh karena itu kami selaku penyusun sangat berharap banyak terhadap
para pembaca agar memberi saran dan masukkan sehingga kami bisa
menyempurnakan kekurangan tersebut. Semoga makalah yang kami susun ini
bermanfaat bagi kita semua terutama terhadap tim penyusun.

Mataram, 26 September 2019

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................4
1.1 Latar Belakang...............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................5
1.3 Tujuan.............................................................................................................5
BAB 2. PEMBAHASAN.........................................................................................6
2.1 Karakter dan Asesmennya..............................................................................6
2.2 Kepribadian.................................................................................................14
2.2.1 Konsep yang berhubungan dengan Kepribadian...............................15
2.3 Hubungan Karakter dan Kepribadian........................................................17
BAB 3. PENUTUP................................................................................................21
3.1 Kesimpulan...................................................................................................21
DAFTAR TABEL..................................................................................................22
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini dunia pendidikan semakin tertantang untuk menyiapkan siswa
maupun mahasiswa dalam menghadapi globalisasi yang semakin meningkat,
kemampuan penguasaan teknologi dan berbagai keterampilan sesuai
perkembangan jaman. Sebagai akibatnya, diperlukan perubahan kurikulum.
Pada saat yang sama, perhatian terhadap permasalahan-permasalahan
karakter juga harus dilakukan, mengingat berbagai suguhan berita yang
membuat kita terhenyak. Berbagai kasus seperti tindak kekerasan remaja
kepada sesama temannya, perkelahian antar siswa, menurunnya rasa hormat
anak pada orangtua dan gurunya, menurunnya rasa tanggung jawab,
meningkatnya ketidakjujuran, menurunnya moral, kasus bunuh diri, cyber
bullying, dan sebagainya. Sungguh menjadikan bahan pemikiran bagi dunia
pendidikan kita tidak lain hanya untuk menumbuhkan karakter yang baik
namun diharapkan juga agar hasil implementasi kepribadian yang tertuju pada
lingkungan sosial juga baik.

Karakter bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir, tidak dapat


diharapkan diberikan oleh orangtua sebagai satu-satunya penyedia 'karakter
baik', juga tidak dapat 'diajarkan' dari buku teks. Karakter dapat terbentuk
oleh seseorang atau sesuatu yang dipengaruhi oleh jumlah waktu interaksi
dan konten interaksinya. Semakin banyak waktu yang dihabiskan seorang
anak dengan seseorang atau sesuatu, maka akan semakin banyak mereka akan
menyerap dan “dibentuk” oleh seseorang atau sesuatu tersebut. “Sesuatu”
tersebut dapat berupa TV, video game, ponsel, iPad, atau lainnya. Ada
banyak faktor penting yang terlibat dalam pengembangan karakter seseorang,
antara lain dari keluarga, komunitas dan sekolah, dan lainnya.

Pendidikan karakter telah lama diwacanakan dan dilaksanakan. Secara


eksplisit, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 1 ayat 1, disebutkan
bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Nampak bahwa ayat tersebut sarat dengan muatan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter adalah gerakan nasional untuk menciptakan sekolah yang
dapat menumbuhkan generasi muda yang etis, bertanggung jawab, dan peduli
dengan memberi contoh dan membelajarkan karakter.

4
Pendidikan karakter sesungguhnya tidak asing lagi bagi umat beragama.
Setiap agama mengutamakan penanaman nilai-nilai karakter yang baik. Umat
muslim, memiliki Sang Teladan karakter yaitu Rasulullah SAW. Rasulullah
tidak saja memberikan ilmu dalam hal ibadah dan ketaqwaan kepada Allah
SWT, namun juga menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi
umatnya. Allah bahkan menjamin hal tersebut dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah, suri teladan yang baik
bagimu yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah. (QS. Al Ahzab: 21). Ayat
ini merupakan landasan dalam meneladani Rasulullah dalam hal perkataan,
perbuatan, dan keadaan Beliau. Rasulullah juga bersabda: “innama bu’itstu
liutammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang baik). Tugas Rasulullah adalah
menyempurnakan karakter mulia dilandasi kasih sayang dengan empat pilar:
shidiq (benar), amanah (jujur, bisa dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan
fathonah (cerdas).

Banyak kisah yang menunjukkan agungnya budi pekerti Rasulullah yang


menjadi teladan bagi umatnya. Rasulullah SAW memiliki beberapa metode
dalam mengajarkan banyak hal kepada umatnya termasuk mengajarkan
akhlak, diantaranya dengan keteladanan, ceramah, berkisah, diskusi,
penugasan, dan metode lainnya. Metode yang pertama (keteladanan) menjadi
sangat bermakna karena perilaku orangtua atau guru dapat ditiru sang anak
dalam kehidupan sehari-hari. Upaya memperbaiki akhlak inilah yang pada
pendidikan zaman modern disebut dengan beberapa istilah, diantaranya
dengan istilah pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan nilai,
pendidikan karakter, atau istilah lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana karakter dan asesmennya
2. Bagaimana definisi kepribadian
3. Bagaimana hubungan karakter dan kepribadian

1.3 Tujuan
1. Mengetahui karakter dan asesmennya
2. Mengetahui definisi kepribadian
3. Mengetahui hubungan karakter dan kepribadian

5
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Karakter dan Asesmennya


Karakter banyak didefiniskan dengan ragam pengertian yang sebenarnya
tidak jauh berbeda. Karakter berasal dari kata Yunani “charaktêr” yang
artinya “menandai” seperti “ukiran”. Karakter berarti tanda khas dimana satu
hal dibedakan dari yang lain, atau kumpulan kualitas yang membedakan satu
individu dari yang lain. Dengan kata lain, karakter adalah ciri khas seseorang
yang membedakan dari orang lain. Orang yang berkarakter baik adalah
individu yang mengetahui mana yang baik, mencintai kebaikan, dan
melakukan kebaikan (Pala, 2011).

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, adab, atau ciri kepribadian


seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai nilai kebajikan
(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan berpikir, bersikap,
dan bertindak. Kebajikan bersumber dari sejumlah nilai, moral, dan norma,
yang diyakini kebenarannya yang terwujud dalam hubungan-hubungan yang
membangun interaksi antara manusia dengan Tuhannya, sesama manusia,
lingkungan hidupnya, bangsa dan negaranya, dan dengan dirinya sendiri.
Hubungan- hubungan itulah yang menimbulkan penilaian baik-buruknya
karakter seseorang (Akbar, 2011).

Karakter adalah "suatu kecenderungan dan minat aktif" yang membuat


seseorang "terbuka, siap dan senang terhadap tujuan tertentu atau
berperasaan, dingin, tidak mau tahu menahu terhadap orang lain". Karakter
terdiri dari seperangkat disposisi dan kebiasaan yang membentuk tindakan
dengan cara yang relatif tetap. Karakter adalah pendekatan umum seseoranag
terhadap masalah dan tanggung jawab kehidupan sosial, responsif terhadap
dunia yang didukung oleh reaksi emosional terhadap kesusahan orang lain,
perolehan keterampilan prososial, pengetahuan tentang konvensi sosial dan
pembangunan nilai-nilai pribadi; termasuk kapasitas untuk disiplin diri dan
empati (Lapsley, 2006).

Karakter mencakup semua hal tentang "sikap," "perilaku," "disposisi,"


"pola pikir," "kepribadian," "temperamen," "nilai-nilai" atau "keterampilan
sosial dan emosional”. Karakter dapat diartikan sebagai seperangkat sifat atau
watak pribadi yang menghasilkan emosi moral tertentu, menunjukkan
motivasi dan membimbing perilaku sedangkan pendidikan karakter
mencakup semua kegiatan pendidikan yang eksplisit dan implisit yang
membantu siswa mengembangkan kekuatan pribadi yang positif yang disebut
kebajikan (virtue).

Park dan Peterson (2009) mendefinisikan “karakter yang baik”sebagai


suatu kelompok multidimensi dari sifat-sifat moral positif yang dianggap

6
penting dalam kehidupan. Sifat-sifat tersebut tercermin dalam pemikiran,
emosi, dan perilaku seseorang. Secara spesifik, telah diidentifikasi enam inti
kebajikan-karakteristik moral yang dipegang teguh oleh para filsuf dan tokoh-
tokoh relijius di dunia. Keenam inti kebajikan ini adalah kebijaksanaan,
keberanian, keadilan, kemanusiaan, kesederhanaan, dan transendensi.

Kekuatan karakter muncul dalam berbagai situasi dan konteks dan


berkontribusi terhadap kondisi dan fungsi psikologis seseorang. Karakter-
karakter tersebut dianggap penting bagi anak-anak ataupun orang dewasa
untuk berkembang secara optimal. Perkembangan, praktik, dan penggunaan
kekuatan karakter memampukan individu melakukan yang terbaik, karena
kekuatan karakter merupakan manifestasi dari potensi individu. Hal ini telah
banyak dibuktikan oleh penelitian empiris, yang menunjukkan bahwa anak-
anak ataupun orang dewasa yang memiliki kekuatan karakter menghadapi
lebih sedikit permasalahan psikologis dan lebih bahagia. Secara umum,
kekuatan karakter yang dimiliki oleh anak-anak dan remaja sering dikaitkan
dengan perilaku serta kondisi psikososial dan akademik yang baik.

Terdapat berbagai pendapat tentang nilai karakter. Kementerian


Pendidikan Nasional telah merumuskan 18 (delapan belas) nilai karakter yang
perlu ditanamkan dalam diri siswa sebagai upaya membangun karakter
berikut ini:

(1) religius, (7) mandiri, (13) bersahabat/komunikatif,


(2) jujur, (8) demokratis, (14) cinta damai,
(3) toleransi, (9) rasa ingin tahu, (15) gemar membaca,
(4) disiplin, (10) semangat kebangsaan (16) peduli lingkungan,
(nasionalisme),
(5) kerja keras, (11) cinta tanah air, (17) peduli sosial, dan
(6) kreatif, (12) menghargai prestasi, (18) tanggung jawab.

Ruark (2018) menyatakan ada 36 nilai karakter yang dapat dilatihkan.


Nilai karakter tersebut adalah berikut ini:

(1) akuntabilitas, (13) antusiasme, (25) (bertindak dengan


terencana),
(2) keberanian, (14) etika, (26) kegembiraan,
(3) kepedulian, (15) keadilan, (27) kebaikan hati,
(4) kerja sama, (16) kesetiaan, (28) penuh rasa cinta,
(5) amanah, (17) keramahan, (29) ketekunan,
(6) kasih saying (18) kemurahan hati, (30) kesopanan,
(7) kreativitas, (19) kemurnian hati, (31) produktivitas,
(8) dedikasi(pengabdian), (20) rasa bersyukur, (32) tanggung jawab,
(9) ketabahan, (21) kerja keras, (33) melayani orang lain,
(10) disiplin, (22) kejujuran, (34) ketulusan,

7
(11) semangat, (23) kehormatan diri, (35) dapat dipercaya, dan
(12) empati, (24) integritas, (36) kerelaan hati.

Asesmen atau pengukuran karakter seseorang atau dampak pendidikan


karakter cukup sulit karena sifat karakter yang kompleks. Oleh karena itu,
kebijaksanaan dan kehati-hatian diperlukan dalam setiap cara untuk
mengukur karakter secara holistik. Berikut adalah proses yang dapat
dilakukan untuk mengases karakter siswa.

Mengevaluasi bagaimana budaya dan etos sekolah berkontribusi pada


pendidikan karakter. Sekolah dapat merancang dan mengevaluasi seperangkat
kriteria karakter apa yang ingin diketahui. Evaluasi semacam itu berdasar
pada pengetahuan dan penilaian guru sehingga memberikan bukti tentang
kekuatan dan kelemahan sekolah, dengan demikian dapat menyoroti lebih
banyak upaya, sumber daya, dan waktu yang harus diarahkan.

Mengevaluasi efektivitas, strategi, aktivitas, atau pendekatan dari


pendidikan karakter yang dilakukan. Metode yang berbeda, termasuk survei
pra-intervensi dan pasca-intervensi, pengamatan dan wawancara dengan guru
dan siswa dapat diterapkan untuk mendapatkan bukti tentang dampak dari
strategi atau aktivitas pendidikan karakter yang ada. Disarankan untuk
mengukur hanya beberapa saja dari komponen karakter dan akan lebih baik
untuk melakukan triangulasi data dengan menggunakan lebih dari satu
sumber bukti.

Melakukan refleksi diri pada karakter dan kebajikan pribadi yang


dilakukan oleh siswa sendiri. Hal ini mungkin direkam secara berkala selama
perjalanan pendidikan siswa, misalnya dalam jurnal. Bukti yang diperoleh
dari teman sebaya, guru dan orang tua akan mendukung proses ini.

Karakter bukanlah sesuatu yang dapat dihitung atau kekal dan tidak bisa
berubah, oleh karena itu seringkali diistilahkan juga dengan “kualitas
karakter”. Berikut ini adalah enam (6) kualitas karakter yang diidentifikasi
oleh Bialik, Bogan, Fadel, & Horvathova (2015) sebagai kualitas karakter
yang paling tinggi (Tabel 1). Namun demikian, daftar dalam tabel tersebut
belum lengkap dan bukan konsep yang fixed, masih bisa berubah.

Tabel 1. Kualitas Karakter Tertinggi yang Terpilih

No Kualitas Karakter Konsep dan Kualitas Karakter Terkait (Bisa


Berubah)
1 Mindfullness Kebijaksanaan, kesadaran diri, aktualisasi diri
(penuh manajemen probadi, observasi, refleksi,
perhatian) kesadaran, kasih sayang, syukur, empati,

8
perhatian, pertumbuhan, visi, wawasan,
keseimbangan batin, kebahagiaan, kehadiran,
keaslian, mendengarkan, berbagi, keterkaitan,
saling ketergantungan, kesatuan, penerimaan,
keindahan, sensibilitas, kesabaran, ketenangan,
keseimbangan, kerohanian, eksistensialitas,
kesadaran sosial, kesadaran lintas budaya, dan
lain-lain.
2 Curiosity Keterbukaan pikiran, eksplorasi, hasrat,
(Keingintahuan) pengarahan diri sendiri, motivasi, inisiatif,
inovasi, antusiasme, keingintahuan, penghargaan,
spontanitas, dan lain-lain.
3 Courage Keberanian, tekad, ketabahan, kepercayaan diri,
(Keberanian) pengambilan risiko, kegigihan, ketangguhan,
semangat, optimisme, inspirasi, energi, kekuatan,
kegairahan, keceriaan, humor, dan lain-lain.
4 Resilience Ketekunan, ketabahan, keuletan, inisiatif,
(Ketangguhan) keberanian, disiplin diri, upaya, ketekunan,
komitmen, kontrol diri, harga diri, kepercayaan
diri, stabilitas, kemampuan beradaptasi,
berurusan dengan ambiguitas, fleksibilitas,
umpan balik, dan lain-lain.
5 Ethics (Etika) Kemurahan hati, kemanusiaan, integritas, rasa
hormat, keadilan, kesetaraan, keadilan, kebaikan,
percaya diri, inklusif, toleransi, penerimaan,
kesetiaan, kejujuran, kebenaran, kemurnian hati,
keaslian, dapat dipercaya, kesopanan,
pertimbangan, pengampunan, kebajikan, cinta,
membantu, kemurahan hati, amal, pengabdian,
rasa memiliki, kewarganegaraan, kesetaraan, dan
lain- lain.
6 Leadership Tanggung jawab, akuntabilitas, ketergantungan,
(Kepemimpinan) keandalan, kesadaran diri, tidak mementingkan
diri sendiri, kerendahan hati, kesederhanaan,
keterampilan hubungan, refleksi diri, inspirasi,
organisasi, delegasi, bimbingan, komitmen,
kepahlawanan, karisma, membimbing,
keterlibatan, keteladanan, orientasi-tujuan, fokus,
orientasi hasil, ketepatan, efisiensi, negosiasi,
konsistensi, sosialisasi, kecerdasan sosial,
keanekaragaman, kesopanan, dan lain-lain.

9
Pada bagian berikut diberikann penjelasan sekilas tentang enam (6)
kualitas karakter tertinggi menurut Bialik dkk (2015), beserta ringkasan cara
mempelajari dan mengasesnya. Hal-hal berikut hanya contoh saja. Penilaian
setiap kualitas karakter dapat dikembangkan sesuai kebutuhan.

1. Mindfullness

Mindfulness (penuh pengertian) dapat diartikan sebagai kesadaran yang


muncul melalui perhatian pada tujuan, dan tanpa menghakimi terhadap
pengalaman dari waktu ke waktu. Hal yang penting untuk dipahami adalah
bahwa seseorang yang mengajarkan mindfullness juga mempraktikkannya
dalam kehidupannya sendiri, karena jika tidak melakukan demikian maka
keaslian dan keefektifannya kemungkinan akan berkurang.

Mindfullness dapat dimiliki oleh siswa ketika guru secara eksplisit


berdiskusi dengan siswa untuk mengatasi kesalahpahaman. Instrumen yang
dapat digunakan untuk mengases mindfullness adalah kuisioner laporan diri,
yang mempertimbangkan berbagai segi perhatian. Siswa dapat dipicu untuk
merefleksikan diri mereka dan pengalaman mereka sendiri.

2. Curiosity

Curiosity (keingintahuan) merupakan kesenangan bawaan terhadap


pembelajaran dan pengetahuan, tanpa mengharapkan keuntungan apa pun.
Curiosity juga dapat diartikan sebagai dorongan internal (homeostatis) serta
respons terhadap isyarat eksternal (stimulus yang ditimbulkan). Sebuah studi
telah menemukan bahwa semakin besar rasa ingin tahu, semakin banyak
sumber daya (waktu) yang rela dihabiskan siswa untuk mencari tahu, dan
semakin besar kemungkinan mereka akan mengingat informasi itu kelak.
Selain itu, rasa ingin tahu yang lebih tinggi juga berkorelasi dengan aktivasi
area otak yang lebih tinggi seperti kesalahan prediksi, dan memori.

Pembelajaran yang hanya memberikan informasi kepada siswa tidak


akan efektif dalam memunculkan curiosity. Oleh karena itu, teknik yang bisa
dilakukan guru adalah menyajikan hal-hal yang bersifat kontradiktif, dan atau
melalui pembelajaran berbasis penyelidikan dan pembelajaran berbasis
masalah. Selain itu, curiosity terkait erat dengan dorongan intrinsik siswa
untuk memahami dunia di sekitar mereka sehingga proses pembelajaran yang
terlalu terkendali oleh guru tidak menyisakan ruang bagi siswa dalam
mendorong curiosity. Teknik lain yang bisa dilakukan guru adalah
menumbuhkan kesadaran siswa bahwa proses belajar yang dilakukan ini
adalah penting bagi diri mereka.

Pengukuran curiosity secara langsung cukup sulit dilakukan karena


beberapa penelitian telah menunjukkan setiap tes yang dilakukan menjadi bias

10
terhadap pengukuran curiosity. Cara yang sesuai untuk mengases curiosity
adalah menggunakan kuesioner. Biasanya kuesioner berisi tentang keterlibatan
dalam pembelajaran. Misalnya sejauh mana siswa tampak termotivasi secara
intrinsik, dan seberapa jauh mereka mendorong diri mereka sendiri.

3. Courage

Courage (keberanian) merupakan kemampuan untuk bertindak terlepas


dari ketakutan atau ketidakpastian, dalam situasi berisiko atau ketika dirinya
merasa lemah. Keberanian diperlukan untuk semua individu baik dalam
kehidupan profesional dan pribadi. Pengambilan risiko lebih tinggi pada
remaja daripada anak-anak atau orang dewasa, dan lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita. Keberanian dapat dianggap sebagai pengalaman
subjektif, di mana seseorang mengatasi rasa takut dan memilih untuk
mengambil tindakan dalam menghadapi ketidakpastian. Ciri-ciri courage
termasuk keterbukaan terhadap pengalaman, kesadaran, dan ciri-ciri evaluasi
diri seperti self-efficacy.

Courage dapat dibelajarkan di dalam sekolah maupun di luar sekolah.


Courage dibutuhkan di kelas bagi guru dan siswa untuk mengatasi rasa takut,
mempelajari konsep dan keterampilan baru. Pengambilan risiko yang
signifikan terbukti meningkatkan kompetensi, imajinasi, kepercayaan diri, dan
kecerdikan siswa. Untuk mengembangkan courage, seorang guru dapat
menggunakan empat taktik: (1) berperan sebagai teladan pengambil risiko, (2)
mengambil pelajaran dari kesalahan sebagai peluang untuk belajar, (3)
memberi kebijakan penilaian yang memaafkan kesalahan dan mendorong
perbaikan, dan (4) berdiskusi tentang kesalahan yang membuahkan hasil yang
sukses.

Contoh membelajarkan courage di luar sekolah dengan program belajar


informal dalam waktu tertentu untuk membangun hubungan, tantangan fisik
dan perolehan keterampilan. Kualitas pengalaman belajar informal ini,
bersama dengan dukungan sosial dapat menumbuhkan keberanian, dengan
memastikan bahwa siswa “dilihat, didengar, dan dihargai.” Program-program
semacam itu dapat meningkatkan self-efficacy, dan mendorong siswa untuk
membuat pilihan yang baik dan terlepas dari ketakutan. Cara mengukur
courage berdasarkan tanggapan siswa terhadap studi kasus dan tugas penilaian
situasional.

4. Resilience

Resilience (ketangguhan) merupakan kemampuan atau serangkaian


kualitas yang memungkinkan seseorang untuk mengatasi rintangan.
Pengertian lain dari resilience adalah proses dinamis yang mencakup adaptasi

11
positif yang signifikan dalam menghadapi kesulitan. Tiga faktor utama yang
telah diidentifikasi di sekolah, masyarakat, dan sistem dukungan sosial yang
secara positif mempengaruhi ketangguhan remaja adalah: hubungan yang
terjaga, komunikasi yang baik, dan peluang untuk keterlibatan dan partisipasi
yang bermakna.

Situasi pembelajaran di kelas dapat menentukan resilience siswa. Oleh


karena itu, cara tepat mendorong resilience adalah dengan meningkatkan tujuh
sifat berikut: perhatian dan hubungan, pro-sosialitas dan dukungan,
keterlibatan, inklusivitas, kolaborasi, pemberdayaan, dan fokus pada
pembelajaran. Dengan mengajarkan resilience kepada semua siswa, guru tidak
hanya melindungi siswa yang diidentifikasi sebagai "berisiko" tetapi juga
membekali setiap siswa untuk menghadapi kesulitan yang harus mereka atasi
dalam kehidupan mereka. Kehidupan dalam keluarga dan keterlibatan
masyarakat telah diidentifikasi sebagai dua faktor lingkungan lain yang
memengaruhi resilience anak. Semakin banyak faktor protektif yang dimiliki
anak, semakin besar kemungkinan mereka untuk berhasil ketika dihadapkan
dengan tantangan.

Pengukuran resilience menggunakan berbagai metode dengan berfokus


pada enam domain yaitu keamanan, pendidikan, persahabatan, bakat dan
minat, nilai- nilai positif dan kompetensi sosial. Pengukuran resilience perlu
dilakukan secara berkelanjutan.

5. Ethics

Ethics (etika) adalah norma atau aturan yang dipakai sebagai pedoman
dalam berperilaku di masyarakat bagi seseorang terkait dengan sifat baik dan
buruk. Etika dikaitkan dengan kesusilaan dan perilaku manusia di dalam
pergaulannya dengan sesama yang menyangkut prinsip dan aturan tentang
tingkah laku yang benar. Etika adalah kewajiban dan tanggungjawab moral
setiap orang dalam berperilaku di masyarakat.

Penelitian menunjukkan bahwa metode drill tidak terlalu efektif, namun


sebaiknya pembelajaran etika otonomi siswa jauh lebih efektif. Salah satu cara
untuk memberi siswa otonomi dengan keputusan etis adalah melalui
pembelajaran demokratis, yaitu siswa bertanggung jawab secara kolektif
dalam membuat keputusan. Tanggung jawab ini melibatkan mereka dalam
peran yang sesuai dengan usia namun yang lebih penting membutuhkan
perilaku etis. Pembelajaran etika juga dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan ethics ke dalam kurikulum, misalnya melalui serangkaian
studi kasus dilema etis.

12
Cara mengases ethics dengan mengkategorikan penalaran siswa terhadap
berbagai pertanyaan etis. Seseorang dapat ditempatkan pada suatu titik dalam
kerangka yang lebih besar dari pengembangan penalaran moralnya.

6. Leadership

Leadership (kepemimpinan) tidak selalu diidentikkan dengan organisasi


yang di dalamnya terdapat bawahan yang dipandang sebagai pengikut dan
pemimpin yang dipandang sebagai ahli yang berusaha memaksimalkan kontrol
mereka dan memotivasi bawahan untuk bertindak dengan cara tertentu menuju
tujuan organisasi. Leadership bukan tentang satu individu, tetapi serangkaian
proses, praktik dan interaksi, serta kontrol penuh. Leadership dapat diartikan
sebagai proses relasional dan etis dari orang-orang yang bersama-sama
berusaha mencapai perubahan positif. Model leadership relasional ini
mencakup dimensi menjadi inklusif, memberdayakan, bertujuan, beretika, dan
berorientasi pada proses.
Leadership tidak boleh hanya ditujukan untuk siswa yang diidentifikasi
berbakat saja, tetapi harus menjadi bagian dari semua pendidikan karena
leadership sejati tumbuh dari proses kelompok. Dengan demikian, memberikan
contoh pemimpin yang sukses tidak akan membantu, namun fokusnya adalah
pada proses kepemimpinan dan menggunakan pengalaman kepemimpinan
bersama dengan diskusi seputar pengalaman-pengalaman yang memungkinkan
siswa untuk memahami bagaimana kelompok berfungsi dan membangun
kapasitas yang relevan dalam diri mereka sendiri. Siswa harus didorong untuk
mengambil peran kepemimpinan dan meningkatkan metakognitif tentang
pengalaman mereka bekerja dengan kelompok.
Pengukuran leadership dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner
dengan berdasarkan gagasan bahwa leadership yang efektif adalah menjadi diri
sendiri, dan menilai berbagai dimensi (intelektual, manajerial, dan sosial-
emosional). Cara lain yang bisa digunakan untuk mengases kepemimpinan
melalui laporan diri, evaluasi guru, dan penilaian situasional.

13
2.2 Kepribadian
Istilah kepribadian dalam bahasa inggris dinyatakan dengan
personality. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu persona yang
berarti topeng dan personare yang artinya menembus.istilah topeng
berkenaan dengan salah satu atribut yang digunakan oleh para pemain
sandiwara pada zaman Yunani Kuno. Dengan topeng yang dikenakan
dan diperkuat dengan gerak-gerik dan yang diucapkan, karakter dari
tokoh yang diperankan tersebut dapat menembus keluar dalam arti dapat
dipahami oleh para penonton. Kata kepribadian dalam kehidupan sehari-
hari di gunakan untuk menggambarkan: (1) identitas diri, contoh: “Saya
seorang yang terbuka” atau “Saya seorang pendiam”, (2) kesan umum
seseorang tentang diri anda atau orang lain, contoh “Dia agresif” atau
“Dia jujur”, dan fungsi-fungsi kepribadian sehat atau bermasalah,
contoh: “Dia baik” atau “Dia mendendam.”
Untuk memperoleh pemahaman tentang kepribadian ini, berikut di
kemukakan beberapa pengertian dari para ahli: Hall dan Lindzey
mengemukakan bahwa secara populer, kepribadian dapat di artikan
sebagai: (1) keterampilan atau kecakapan sosial (social skill), dan (2)
kesan yang paling menonjol, yang di tunjukkan seseorang kepada orang
lain. Selain itu Woodworth juga mengemukakan bahwa kepribadian
merupakan “Kualitas tingkah laku total individu”. Sementara Dashiell
mengartikannya sebagai “Gambaran total tentang tingkah laku individu
yang terorganisasi”. Derlega, Winstead dan Jones mengartikannya
sebagai “Sistem yang relative stabil mengenai karakteristik individu
yang bersifat internal, yang berkontribusi terhadap pikiran, perasaan, dan
tingkah laku yang konsisten.” (Suryabrata, 2006)
Pada mulanya Allport mendefinisikan kepribadian sebagai “What a
man really is”, tetapi definisi tersebut oleh Allport dipandang tidak
memadai, lalu ia merevisi definisi tersebut. Definisi yang dirumuskan
oleh Allport adalah: “Personality is the dynamic organization within the
individual of those psychophysical systems that determine his unique
adjustments to his environment.” (Kepribadian adalah organisasi
dinamis dalam individu sebagaai sistem psikofisis yang menentukan
caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan)
(Singgih & Dirgagunarsa, 1987).
David Krech dan Richard S. Crutchfield (1969) dalam bukunya
yang berjudul Elements of Psikologi mendefinisikan sebagai berikut,
“Personality is the integration of all of an individual’s characteristic
into a unique organization that determines, and is modified by, his
attemps at adaption to his continually changing environtment.”

14
(Kepribadian adalah integrasi dari semua karakteristik individu kedalam
suatu kesatuan yang unik yang menentukan, dan yang dimodifikasi oleh
usaha-usahanya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang
berubah terus menerus). Sedangkan Adolf Heuken SJ menyatakan
sebagai berikut: “Kepribadian adalah pola menyeluruh semua
kemampuan, perbuatan serta kebiasaan seseorang, baik yang jasmani,
mental, rohani, emosional maupun yang sosial. Semuanya ini telah
ditata dalam caranya yang khas dibawah beraneka pengaruh dari luar.
Pola ini terwujud dalam tingkah lakunya, dalam usahanya menjadi
manusia sebagaimana dikehendakinya.”
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli dapat disimpulkan pokok-pokok
pengertian kepribadian sebagai berikut: pertama, kepribadian merupakan
kesatuan yang kompleks, yang terdiri atas aspek psikis, seperti intelegensi,
sifat, sikap, minat, cita-cita, dan sebagainya serta aspek fisik, seperti bentuk
tubuh, kesehatan jasmani, dan sebagainya. Kedua, kesatuan dari kedua
aspek tersebut berinteraksi dengan lingkungannya yang mengalami
perubahan secara terus-menerus, dan terwujudlah pola tingkah laku yang
khas atau unik. Ketiga, kepribadian bersifat dinamis, artinya selalu
mengalami perubahan, tetapi dalam perubahan tersebut terdapat pola-
pola yang bersifat tetap. Keempat, kepribadian terwujud berkenaan
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh individu (Sujanto, 2001).

2.2.1 Konsep yang berhubungan dengan Kepribadian


Konsep-konsep kepribadian sebenarnya merupakan aspek-aspek
atau komponen- komponen kepribadian karena pembicaraan mengenai
kepribadian senantiasa mencakup apa saja yang ada di dalamnya, seperti
karakter, sifat-sifat, dan lainnya. Interaksi antara berbagai aspek tersebut
kemudian terwujud sebagai kepribadian. Ada beberapa konsep yang
berhubungan erat dengan kepribadian bahkan kadang-kadang disamakan
dengan kepribadian. Konsep-konsep yang berhubungan dengan
kepribadian diantaranya: 1) Character (Watak) ialah kepribadian yang
dipengaruhi oleh motivasi yang menggerakkan kemauan sehingga orang
tersebut bertindak. Yang dimaksudkan bahwa kepribadian seseorang
menunjukkan tindakan akibat kemauan yang teguh dan kukuh maka ia
dinamakan seseorang yang berwatak atau sebaliknya (Alwisol, 2005)
Menurut Sumadi (2006) watak adalah keseluruhan atau totalitas
kemungkinan-kemungkinan bereaksi secara emosional dan volisional
seseorang yang terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam
(dasar, keturunan, dan faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur dari luar
(pendidikan dan pengalaman, serta faktor-faktor eksogen). Secara arti
normatif kata watak dipergunakan apabila orang bermaksud
mengenakan norma-norma kepada orang yang sedang dibicarakan,
misalnya ungkapan “Ia orang yang pandai, tetapi sayang tidak berwatak
dan Ia orang yang terdidik, tetapi tak punya watak”. Orang berwatak
apabila sikap, tingkah laku, dan perbuatannya dipandang dari segi

15
norma-norma sosial adalah baik dan sebaliknya.
Secara arti deskriptif watak menurut Allport bahwa “Character is
personality evaluated, and personality is character devaluated”.
Menurutnya kepribadian dan watak adalah satu dan sama, tetapi
dipandang dari segi yang berlainan. Apabila orang akan mengenakan
norma-norma, yang berarti mengadakan penilaian lebih tepat
dipergunakan istilah “watak”. Apabila tidak mengadakan penilaian
sehingga menggambarkan apa adanya, dipakai istilah “kepribadian”. 2)
Temperament (Tabiat) adalah kepribadian yang lebih bergantung pada
keadaan badaniah, atau kepribadian yang berkaitan erat dengan
determinan biologis atau fisiologis. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa tabiat adalah konstitusi kejiwaan.
Temperament memiliki aspek yang meliputi: Motalitas (kegestian
atau kelincahan) ditentukan oleh otot, tulang dan saraf perifer. Contoh:
Orang bekerja dan bereaksi dengan lincah dan gesit. Vitalitas (daya
hidup) lebih ditentukan keadaan hormonal dan saraf otonom. Contoh:
Orang dengan vitalitas tinggi: baru bangun pagi sudah penuh gairah
hidup dan memiliki berbagai rencana. Orang yang mudah bosan, kurang
kreatif, dan kurang inovatif. Emosionalitas (daya rasa) lebih ditentukan
keadaan neurohormonial dan saraf pusat. Contoh: Bila ada sesuatu yang
menakutkan, ada orang yang bereaksi segera dan spontan secara
emosional. 3) Traits (Sifat) ini berfungsi untuk menguntegrasikan
kebiasaan, sikap dan ketrampilan kepada pola-pola pikir, merasa dan
bertindak. Traits dapat diartikan sebagai aspek atau dimensi kepribadian
yang terkait dengan karakteristik respon atau reaksi seseorang yang
relatif konsisten (ajeg) dalam rangka menyesuaikan dirinya secara khas.
Diartikan juga kecenderungan yang dipelajari untuk mereksi rangsangan
dari lingkungan. Deskripsi di atas menggambarkan bahwa traits
merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dipelajari untuk
mengevaluasi situasi dan mereaksi situasi dengan cara-cara tertentu.
Setiap traits mempunyai tiga karakteristik (a) uniquencess,
kekhasan dalam berperilaku), (b) likeableness, traits itu ada yang
disenagi dan ada yang tidak disenangi, sebab traits itu berkontribusi
kepada keharmonisan atau ketidak harmonisan, kepuasan atau ketidak
kepuasan orang orang yang mempunyai traits tersebut.26
Traits yang disengai seperti jujur, murah hati dan bertanggung
jawab. Sementara yang tidak disenagi seperti egois, tidak sopan dan
kejam/bengis. Sikap sesorang terhadap traits ini merupakan hasil belajar
dari lingkungan sosialnya; dan (c) consistency, artinya seseorang itu
diharap dapat berperilaku atau bertindak secara ajeg. Konsep yang
keempat dari kepribadian adalah tipe. Perbedaan antara sifat dan tipe
menurut Allport adalah: Individu dapat memiliki sesuatu sifat, tetapi
tidak dapat memiliki suatu tipe, tipe adalah konstruksi ideal si pengamat
dengan mengabaikan sifat-sifat khas individualnya, tipe menunjukkan
perbedaan buatan, sedangkan sifat refleksi sebenarnya dari individu. 5)
Sementara yang terakhir adalah Habit (Kebiasaan). Kebiasaan adalah
bentuk tingkah laku yang tetap dari usaha menyesuaikan diri terhadap
lingkungan yang mengandung unsur afektif perasaan (Yusuf, 2012).

16
2.3 Hubungan Karakter dan Kepribadian
Karakter dan kepribadian memiliki serangkaian hubungan yang
kompleks atau saling terikat satu sama lain yang dapat diasumsikan dari
definisi dan asesmen dari karakter dan kepribadian. Hubungan-hubungan
yang terkadung didalamnya bersipat satu kesatuan yang didapatkan dari
hasil internalisasi berbagai nilai kebajikan yang digunakan sebagai
landasan berpikir dan bertindak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
karakter pada diri manusia sebagai pembentuk atau pendamping dari
kepribadian pada manusia. Pada (Tabel 2) memperlihatkan bahwa
karakter dan kepribadian bersipat satu kesatuan;

Karakter Karakter

Karakter

Karakter Karakter
Kepribadian
Karakter Karakter

Karakter Karakter

Karakter

Karakter Karakter

Gambar 1. Karakter dan Kepribadian Satu Kesatuan


Terdapat banyak penjelasan dari para ahli mengenai karakter dan
kepribadian berikut Lickona menekankan pentingnya tiga komponen karakter
yang baik yang menjadi landasan hubungan antara karakter dan kepribadian
(components of good character) yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral
action.

1. Moral Knowing (Pengetahuan Moral)


Moral knowing akan lebih mengisi pada ranah kognitif individu, yang
memiliki aspek yaitu:
 Kesadaran Moral (moral awareness)
Aspek dalam kesadaran moral ini adalah pertama, menggunakan
pemikirannya untuk melihat suatu situasi yang memerlukan penilaian moral.
Sehingga kemudian dapat memikirkan dengan cermat tentang apa yang

17
dimaksud dengan arah tindakan yang benar. Kedua, memahami informasi
dari permasalahan yang bersangkutan. Jadi, dalam pengetahuan moral ini,
harus mebngetahui fakta yang sebenarnya mengenai suat hal yang
bersangkutan sebelum mengambil suatu penilaian moral.

 Pengetauan Nilai Moral (knowing moral values)


Nilai-nilai moral diantaranya yaitu menghargai kehidupan dan
kemerdekaan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan,
toleransi, penghormatan, disiplin diri, integritas, kebaikan, belas kasihan, dan
dorongan atau dukungan. Jika seluruh nilai digabung, maka akan menjadi
warisan moral yang diturunkan dari satu generasi, ke generasi yang
berikutnya.
Mengetahui sebuah nilai berarti memahami bagaimana caranya
menerapkan nilai yang bersangkutan dalam berbagai macam situasi.
Pengetahuan moral ini membutuhkan “penerjemahan”, yang mana membantu
setiap individu menerjemahkan nilai-nilai abstrak dari seluruh nilai yang ada
ke dalam hubungan personal mereka.

 Penentuan Perspektif/ sudut pandang (perspective taking)


Penentuan perspektif atau penentuan sudut pandang ini merupakan
kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain, melihat situasi
sebagaimana adanya, membayangkan bagaimana mereka akan berfikir,
bereaksi, dan merasakan masalah yang ada.

 Pemikiran/logika Moral (moral reasoning)


Pemikiran moral mengikutsertakan pemahaman atas prinsip moral klasik
yaitu, “hormatilah hak hakiki intrinsik setiap individu”, bertindaklah untuk
mencapai kebaikan yang terbaik demi jumlah yang paling besar”, dan
“bertindaklah seolah-olah Anda akan membuat semua orang lain akan
melakukan hal yang sama di bawah situasi yang serupa”.

 Pengambilan Keputusan (decision making)


Aspek komponen moral knowing ini lebih kepada individu itu mampu
memikirkan cara bertindak melalui permasalahan moral pada situasi tertentu.

 Pengtahuan Pribadi/ Pengenalan diri (self knowledge)


Pengetahuan tentang diri masing-masing sangat diperlukan dalam
pendidikan karakter. Menjadi orang yang bermoral memerlukan keahlian
untuk mengulas kelakuan dirinya sendiri dan mengevaluasi perilakunya
masing-masing secara kritis.
 
2. Moral Feeling (Perasaan Moral)
Komponen karakter ini merupakan komponen yang akan mengisi dan
menguatkan aspek afeksi individu agar menjadi manusia yang berkarakter baik.
Beberapa aspek komponen ini adalah:
 Hati Nurani/ kesadaran akan jati diri (conscience)
Hati nurani memiliki empat sisi yaitu sisi kognitif, mengetahui apa yang
benar, dan sisi emosional, serta merasa berkewajiban untuk melakukan apa

18
yang benar. Banyak orang tahu apa yang benar, namun merasakan sedikit
kewajiban untuk berbuat sesuai dengan hal tersebut.

 Harga Diri (self esteem)


Berdasarkan penelitian, anak-anak dengan harga diri yang tinggi lebih
tahan terhadap tekanan teman sebayanya dan lebih mampu untuk mengikuti
penilaian mereka sendiri daripada anak-anak yang memiliki harga diri yang
rendah (Lickona, 2013:93).
Harga diri yang tinggi tidak menjamin karakter yang baik karena lebih
kepada kepemkilikan, popularitas, atau kekuasaan. Seharusnya, mampu
mengembangkan harga diri berdasarkan nilai seperti tanggung jawab,
kejujuran, dan kebaikan serta berdasarkan pada keyakinan kemampuan diri
sendiri demi kebaikan.

 Empati (empathy)
Perlunya empati yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain
sehingga kita mampu keluar dari zona kita. Sebagai aspek dari komponen
karakter, empati harus dikembangkan secara generalisasi. Mempu melihat di
luar perbedaan dan menanggapi kemanusiaan bersama.

 Mencintai Hal yang Baik/ Mencintai kebenaran (loving the good)


Ketika setiap individu mencintai hal-hal yang baik atau mencintai
kebenaran, maka setiap individu akan melakukan hal-hal yang bermoral baik
dan benar atas dasar keinginan, bukan hanya karena tugas.

 Kendali Diri/ Pengendalian Diri (self control)


Kendali diri atau pengendalian diri sangat diperlukan dalam pendidikan
karakter. Emosi tinggi mampu membuat karakter baik menjadi buruk ketika
tidak ada pengendali diri. Dengan pengendalian diri, juga dapat menahan segala
hasrat dan keinginan negatif dalam diri.

 Kerendahan Hati (humility)


Kerendahan hati merupakan keterbukaan yang sejati terhadap kebenaran
dan keinginan untuk bertindak guna memperbaiki kegagalan kita. Kerendahan
hati adalah sisi afektif pengetahuan pribadi.
 
3. Moral Action (Tindakan Moral)
Komponen tindakan ini merupakan hasil dari kedua komponen karakter
lainnya yaitu moral knowing dan moral feeling. Aspek dari komponen tindakan
moral atau moral action ini yaitu:
 Kompetensi (competence)
Aspek ini mampu mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam
tindakan moral yang efektif. Untuk hal ini, kita harus mampu merasakan dan
melaksanakan rencana tindakan.

 Keinginan (will)
Keinginan berada pada inti dorongan moral. Menjadi orang yang baik
memerlukan tindakan keinginan yang baik, suatu penggerakkan energy moral

19
untuk melakukan apa yang kita pikir harus dilakukan.
 Kebiasaan (habit)
Kebiasaan yang baik melalui pengalaman yang diulangi dalam apa yang
dilakukan itu membantu, ramah, dan adil dapat menjadi kebiasaan baik yang
akan bermanfaat bagi dirinya ketika menghadapi situasi yang berat.
 
Komponen karakter di atas dengan aspek komponennya masing-masing
menjelaskan bahwa karakter dan kepribadian manusia saling berhubungan,
bekerjasama untuk saling mendukung sehingga dapat menciptakan kepribadian
yang baik (Lickona, 2013).

20
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hubungan karakter dan kepribadian manusia didasari dari komponen
pembentuk yang eksplist dan implisit pada diri manusia. Aspek pada
komponen-komponen pembentuk karaker memiliki peran dalam
terbentuknya kepribadian yang baik dikarenakan karakter dan kepribadian
bersipat satu kesatuan yang saling bekerjasama dan saling mendukung.
Bentuk rincinya meliputi Moral Knowing, Moral Felling dan Moral Action.
Tiga komponen ini yang menjadi ujung pangkal dari komponen-komponen
karakter untuk bekerjasama dalam hubungan terbentuknya kepribadian yang
baik.
Karakter terbentuk akibat interaksi yang cukup lama dengan seuatu
hal atau konten interaksinya. Pada asesmen karakter cukup sulit dianalisis
dikarenakan sipatnya yang kompleks sehingga perlu keterlatihan dan kehati-
hatian dalam mendidik seseorang yang akan menuju pengembangan
karakter yang baik. Kemajuan teknologi juga tidak luput dari proses
terbentuknya karakter. Dewasa ini sering kita lihat bagaimana kelakuan
remaja maupun siswa dan mahasiwa karena efek kemajuan teknologi. Tidak
dapat dipungkiri bahwa majunya teknologi juga berakibat terbentuknya
karakter karena dengan mudahnya seseorang mengakses sesuatu hal, baik
dalam bentuk game, vidio dan lain sebagainya. Hal itu menimbulkan
karakter yang tidak baik jika digunakan dengan tidak cermat karena
interaksinya yang cukup lama dengan seseorang yang mengaksesnya.
 
 

21
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kualitas Karakter Tertinggi yang Terpilih.................................................8

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Karakter dan Kepribadian Satu Kesatuan...........................................17

22
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. (2011). Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar. Pidato


Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu
Pendidikan Dasar 7 pada Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UM, Kamis 8
Juni 2019.

Alwisol. (2005). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM.

Bialik, M., Bogan, M., Fadel, C., & Horvathova. (2015). Character Education
for the 21st Century: What Should Students Learn? Boston,
Massachusetts: Center for Curriculum Redesign.

Lapsley, D. K. (2006). Character education. Handbook of child psychology ,


248-295.

Lickona, T. (2013). Educating for Character: ow Our Schools Can Teach


Respect and Responsibility. Jakarta: Bumi Aksara.

Pala, A. (2011). The Need for Character Education. International Journal of


Social Sciences and Humanity Studies , 3(2): 23-32.

Park, N., & Peterson, C. (2009). Strengths of character in schools. Handbook


of Positive Psychology in Schools , 65–76.

Singgih, & Dirgagunarsa, G. (1987). Pengantar Psikologi. Jakarta: Gunung


Mulia.

Sujanto, A. (2001). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Perkasa.

Sumadi. (2006). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.

Suryabrata, S. (2006). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.

Yusuf, S. (2012). Teori kepribadian. Bandung: Remaja Rosdakarya.

23

Anda mungkin juga menyukai