Anda di halaman 1dari 19

RESENSI BUKU

TELA’AH KRITIS EVALUASI PENDIDIKAN NASIONAL UN VS ANBK

Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran PAI dengan dosen pengampu:

Bapak Dr. Aris Adi Leksono, M.Pd.

Dibuat Oleh:

Nana Supriatna Ahmad Munawar


Ade Oo Wilda Fauziyah

PRODI S2 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUTE PESANTREN K.H ABDUL CHALIM

Jalan Raya Tirtowening No.17, Bendunganjati, Pacet, Bendorejo,


Bendunganjati, Kec. Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur 61374
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa yang telah memberi taufiq dan
hidayah kepada hambanya sehingga penyusunan makalah dengan judul ” Tela’ah
Kritis Evaluasi Pendidikan Nasional UN vs ANBK” ini dapat terselesaikan.
Shalawat dan salam kami panjatkan kepada baginda nabi besar Nabi Muhammad SAW.
Yang mana berkat jasa dan perjuangannya, seluruh umat manusia dapat menikmati terangnya
dunia ini yakni dengan agama Islam.

Kami sangat menyadari, bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kritik serta sarannya dari semua pihak, menuju perbaikan
dan penyempurnaan makalah ini kami harapkan.

Dengan terselesaikannya penyusunan laporan ini, dengan segala kerendahan hati kami
menghaturkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak-pihak yang membantu
terselesaikannya makalah ini, mudah-mudahan jasa-jasa mereka di beri penghormatan oleh
Allah SWT Aamiin.

Mojokerto, 5 November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................................1
B. Pengertian Evaluasi...................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................5
A. Ujian Nasional ( UN )..................................................................................................................5
B. Asesmen Nasional Berbasis Komputer ( ANBK )......................................................................10
C. Perbedaan UNBK dengan ANBK...............................................................................................12
PENUTUP.............................................................................................................................................15
Kesimpulan......................................................................................................................................15
REFERENSI...........................................................................................................................................16

ii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Evaluasi pendidikan merupakan bagian dari strategi pembelajaran yang dipandang


dari teori belajar sosial (social learning theory) merupakan bagian dari reinforcement
strategy yang memiliki tujuan untuk menumbuhkan sikap dan kemampuan yang
diharapkan, seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, dan belajar secara terus menerus.
Oleh karena itu, model evaluasi harus komprehensif, terus menerus, dan objektif.
Evaluasi yang komprehensif bermakna untuk menilai berbagai kemampuan seperti
dimensi ketekunan, ketelitian, disiplin dalam belajar, disiplin waktu, disiplin diri,
kemandirian, sikap demokratis, rasa tanggung jawab, dan kejujuran, bukan seperti yang
selama ini hanya menilai kemampuan kognitif saja. Terus menerus bermakna evaluasi
yang sasarannya meliputi segala dimensi pembelajaran sebagai proses pembudayaan
bila dilakukan secara terus menerus tanpa dirasakan sebagai beban melainkan sebagai
sarana untuk meningkatkan motivasi dan tanpa sikap yang diharapkan terbentuk
sebagai bagian dari upaya tercapainya tujuan pendidikan nasional. Objektif bermakna
bahwa evaluasi itu tidak ada bisa dan tidak ada negosiasi dalam memberikan penilaian.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menganut model pembelajaran active learning
dan student center learning untuk mewujutkan sekolah sebagai pusat pembudayaan
kemampuan, nilai dan sikap.

Secara teoretis banyak pengertian tentang evaluasi pendidikan yang kita pelajari
selama ini. Di antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain terkadang
seperti berbeda meskipun ada benang merah yang sama. Ralph W. Tyler (1975)
mendefinisikan evaluasi pendidikan sebagai suatu proses untuk memastikan apakah
tujuan pendidikan benar-benar sudah direalisasi. Sementara Daniel Stufflebeam (1971)
mendefinisikan evaluasi pendidikan sebagai suatu proses memilih, memilah dan
menyedia-kan informasi yang bermanfaat untuk melakukan justifikasi
alternatifalternatif pendidikan. Lain lagi dengan Michael Scriven (1969) yang
menyatakan evaluasi pendidikan merupakan suatu observasi nilai-nilai pendidikan
yang diban-dingkan dengan nilai-nalai standar. Sementara itu Norman E. Gronlund
(1976) menyatakan bahwa eva-luasi pendidikan adalah suatu proses secara sistematis
yang bermanfaat untuk menentukan atau membuat keputusan yang dapat dijadikan

1
2

indikator untuk mengetahui sejauh mana tujuan-tujuan pendidikan dan/atau pembela-


jaran sudah dapat dicapai. Beragamnya pengertian tentang evaluasi pendidikan
tersebut pada satu sisi menunjukkan bahwa evaluasi pendidikan itu sendiri merupakan
suatu ilmu yang sedang berkembang; di sisi yang lain terdapatnya benang merah dalam
beragamnya pengertian evaluasi pendidikan, yaitu dicapaianya tujuan pendidikan,
menunjukkan sedemikian pentingnya ilmu tentang evaluasi pendidikan itu sendiri
dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan (dan/atau
pembelajaran) sudah tentu berkait dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Artinya, apabila kita bisa menjalankan evaluasi pendidikan secara tepat diharapkan
secara otomatis peningkatan kualitas pendidikan nasional bisa direalisasi.

B. Pengertian Evaluasi

Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti tindakan atau
proses untuk menentukan nilai sesuatu atau dapat diartikan sebagai tindakan atau
proses untuk menentukan nilai se-gala sesuatu yang ada hubungan dengan pendidikan
(Nata, 2001: 131). Dalam bahasa Arab menurut Arifin istilah evaluasi dikenal dengan
imtihan yang berarti ujian. Istilah ini dikenal juga dengan dengan termonologi
khataman sebagai cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa evaluasi dapat pula diartikan dengan proses membandingkan
situasi yang ada dengan kriteria tertentu karena evluasi ada-lah proses mendapatkan
informasi dan menggunakannya untuk me-nyusun penilaian dalam rangka membuat
keputusan (Arifin, 2003: 26). Dengan melihat definisi dasar tersebut, maka menurut
Abudin Nata bahwa evaluasi pendidikan adalah suatu proses yang tidak hanya mem-
bandingkan situasi yang ada dengan kriteria tertentu terhadap masalah-masalah yang
berkaitan dengan pen-didikan (Nata, 2001: 131). Untuk itu evaluasi pendidikan
sebenarnya tidak hanya menilai melainkan juga berkenaan dengan penilaian terhadap
berbagai aspek yang mempengaruhi proses belajar siswa tersebut, seperti evaluasi
terhadap guru, kurikulum, metode, sarana prasarana, lingkungan dan sebagainya.
Kendati demikian umumnya evaluasi dalam pendidikan lebih ditujukan kepada upaya
mengetahui dengan jelas dan obyektif terhadap hasil belajar yang dilakukan oleh suatu
lembaga pendidikan.

Edwind Wand dan Gerald W. Brown (1997: 12) ia mengemukakan bahwa


penilaian atau evaluasi adalah the act or prosess to detemining the value of something.
3

Evaluasi dalam pendidikan berarti seperangkat tindakan atau proses untuk me


nentukan nilai suatu yang ber-kaitan dengan dunia pendidikan. Menurut ilmu jiwa
evaluasi berarti menetapkan penomena yang di-anggap berarti di dalam hal yang sama
berdasarkan suatu standar (Qahar, 2002). Disamping istilah evaluasi juga dikenal
istilah measurement atau pengukuran. Pengukuran dalam pendidikan ada-lah usaha
untuk memahami kondisi obyektif tentang sesuatu yang akan dinilai. Ukuran atau
patokan yang menjadi pembanding perlu ditetap-kan secara kongkrit guna menetap-
kan nilai atau hasil perbandingan (Ramayulis, 2002). Hal senada di-kemukakan oleh
Ahmad Tafsir bahwa istilah evaluasi juga sering dikenal dengan istilah tes, peng-
ukuran, penilaian dan lain-lain. Dalam perspektif Ahmad Tafsir evaluasi diartikan
dengan suatu tindakan yang dilakukan untuk mengetahui hasil pengajaran khususnya,
hasil pendidikan pada umum-nya. Selain itu lanjutnya bahwa evaluasi berguna dalam
upaya per-baikan lesson plan, juga sebagai pertimbangan utama dalam me-nentukan
kenaikan kelas, bahkan perbaikan bagi program tertentu (Tafsir, 2005). Untuk itu,
evaluasi dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan keputusan-ke-putusan
kependidikan, baik yang terkait dengan perencanaan, penge-lolaan, proses dan tindak
lanjut pendidikan baik yang menyangkut perorangan, kelompok maupun ke-
lembagaan. Keputusan apapun yang ditetapkan dimaksudkan agar tujuan yang
dicanangkan dapat tercapai. Dengan kata lain bahwa evaluasi bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan dalam berbagai apsek.

Suatu pendidikan dikatakan berkualitas (bermutu) jika diukur dari perannya


dalam ikut mencerdas-kan kehidupan bangsa dan memaju-kan kebudayaan nasional
adalah pendidikan yang berhasil mem-bentuk generasi muda yang cerdas, berkrakter,
bermoral dan berke-pribadian. UNESCO mendefinisikan mutu dengan “moulding the
character and mind of young generation” (Roy, 1998: 16). Untuk itu perlu dirancang
suatu sistem pendidikan yang mampu mencipta-kan suatu suasana dan proses pem-
belajaran yang aktif, kreatif, inovatif, menyenangkan, merangsang, dan menantang
peserta didik untuk me-ngembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan
kemampu-annya. Memberikan kesempatan ke-pada setiap peserta didik ber-kembang
secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip
pendidikan yang demokratis. Hal senada juga dikemukakan Soedijarto bahwa bagi
negara yang maju seperti Amerika Serikat dan Jerman tidak mengenal UN untuk
4

memilah dan memilih. Kegiatan pendidikan dilakukan dengan membantu peserta didik
dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:

1. menyediakan guru yang professional yang se-luruh waktunya dicurahkan untuk


menjadi pendidik;
2. menyediakan fasiltas sekolah yang memungkin-kan peserta didik belajar dengan
penuh kegembiraan dengan fasili-tas olah raga dan bermain dan ruang kerja
guru;
3. menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik
belajar terus-menerus belajar dengan membawa buku wajib, buku rujukan serta
kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik
belajar sampai tingkatan me-nikmati belajar;
4. evaluasi yang terus- menerus, komprehensif, dan obyektif (Soedijarto, 2008).
5

PEMBAHASAN

A. Ujian Nasional ( UN )

Ujian nasional yang dilakukan sekali pada akhir jenjang pendidikan dalam beberapa
mata pelajaran dalam bentuk tes objektif sukar diharapkan dapat membudayakan
berbagai dimensi pembelajaran. Ekses dari ujian nasional adalah terjadinya proses
belajardi sekolah sebagai proses menghafal dan latihan menjawab soal. Ujian nasional
(UN) hakekatnya memperkuat model pembelajaran yang mengutamakan kegiatan
mendengar, mencatat, dan menghafal suatu proses pembelajaran yang sejak tahun 1971
ingin ditinggalkan, tetapi karena alasan ketersediaan dana model ini terus berjalan.
Melalui Undang-Undang tahun 2003 model semacam ini sesungguhnya ingin
ditinggalkan tetapi malah diperkuat dengan ditetapkannya UN sebagai penentu
kelulusan. Jika UN disebut hanya untuk menguji dimensi kognitif itupun masih dirasa
kurang karena kemampuan kognitif dalam artian yang luas meliputi kemampuan
meneliti, kemampuan menganalisis, kemampuan menilai, kemampuan mengidentifikasi
masalah, dan kemampuan memecahkan masalahyang kesemuanya memerlukan
kemampuan membaca, kemampuan menuliskan pemikiran dan laporan, kemampuan
kalkulasi, yang kesemuanya perlu dibudayakan sehingga segala kemampuan yang
berkembang menjadi bagian dari sistem kepribadian peserta didik yang meliputi watak
dan moralnya. Oleh karena itu diperlukan peninjauan ujian nasional kecuali untuk
kepentingan pemetaan dan seleksi dan bukan kelulusan. Guna meneropong tujuan itu
maka diperlukanlah apa yang disebut dengan istilah evaluasi.

Evaluasi itu terdapat berbagai model, yang secara nasional di Indonesia dikenal
dewasa ini dengan Ujian Nasional. Hal itu selama ini dijadikan sebagai standar nasional
untuk mengevaluasi pendidikan yang telah berlangsung di Indonesia setiap tahunnya.
Di tengah gencarnya pemerintah menyuarakan perlunya UN, dengan dalih untuk
meningkatkan mutu pendidikan, penolakan ter-hadap UN yang tak kalah nyaringnya
juga disuarakan oleh kalangan DPR, masyarakat, orang tua dan sejumlah elemen
masyarakat lainnya. Per-debatanpun masih terus berlanjut. Pemerintah dan
masyarakat, tetap berpegang pada argumentasinya masing-masing. Di sisi lain, para
siswa merasa tertekan dan cemas yang berlebihan takut tidak lulus; para orang tua
6

merasa khawatir dengan nasib dan masa depan anaknya; para praktisi pendidikan
merasakan penyelenggaran UN me-nimbulkan diskriminasi terhadap sejumlah mata
pelajaran; para pe-ngamat dan akademisi menilai UN tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip evaluasi pendidikan dan mengesampingkan aspek pedagogis dalam pendidikan;
sedangkan sebagian anggota legislatif yang menolak menilai pelaksanaan UN
bertentang-an dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasio-nal. UN hanya sebatas control kualitas untuk meng-awasi taraf
pendidikan (Kompas, 5 Mei 2004). Meskipun terdapat pro dan kontra terhadap
penyelenggara-an UN, BSNP dengan persetujuan Mendik-nas, tetap melaksanakan UN
hingga saat ini. Dengan mem-perhatikan penomena demikian, maka penulis tertarik
untuk menganalisa lebih jauh seputar pro dan kontra terhadap penye-lenggaraan UN.

UN sebuah kebijakan yang sering bahkan setiap kali penyelenggaraannya tak pernah
lepas dari kritik. Mulai dari pe-nyediaan soal yang sentralistik, distribusi soal,
percetakan soal, pengamanan soal hingga sampai ke sekolah penyelenggara, pelaksana-
an UN, pelibatan tim independen, pengamanan selama proses UN, pengembalian LJK
siswa, dan seterusnya hingga proses scaner hingga pengumuman kelulusan. Bila
diruntut akar masalahnya, harus diakui bahwa betapa banyak energi yang terkuras,
biaya yang dikeluarkan, politisasi pendidikan, intervensi birokrat dan kegelisahan
orang tua dan kecemasan anak. Inilah pertanyaan mendasar yang harus dikritisi
sehingga secara komprehensif menemukan formula yang memadai penyelenggaraan
UN yang benar-benar pro mutu pendidikan, bukan sekedar hajatan tahunan yang padat
modal?

1. Dampak Positif Ujian Nasional

Secara umum bahwa kegunaan UN dilaksanakan dalam rangka melaksanakan:

a. Pertama Pemetaan mutu program dan/atau satuan pen-didikan;


b. Kedua, Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikut-nya;
c. Ketiga Penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidik-an; dan
d. Keempat Dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan
dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Dengan demikian, maka dampak
positif pelaksanaan UN antara lain adalah:
 memperoleh data hasil belajar siswa;
7

 memperoleh data untuk menentukan lulusan SMP/ Mts yang dapat


melanjutkan pen-didikan ke SMA/MA/SMK;
 memperoleh data yang akan digunakan sebagai dasar untuk program
tindak lanjut. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pen-didikan.

2. Dampak Negatif Ujian Nasional

Selain dampak positif yang di-timbulkan oleh penyelenggaraan UN, maka terdapat pula
dampak negatif penerapan UN, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah: Pembatasan mata pelajaran yang


diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya
ditekankan pada penguasaan mata pelajaran yang di UN-kan, sedangkan mata
pelajaran lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini menyebabkan
terjadinya dis-kriminasi dan pengabaian ter-hadap mata pelajaran lain. Para
siswa dan bahkan orang tua lebih memusatkan perhatiannya ter-hadap mata
pelajaran yang akan di UN-kan, terutama pada siswa kelas akhir. Disorientasi
juga ter-jadi pada arah dan tujuan pem-belajaran yang harus dicapai.
b. Proses pembelajaran yang kurang bermakna: Untuk mempersiapkan siswa
menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan
metode pem-belajaran drill, dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan
sejumlah soal yang diduga akan keluar pada saat UN. Melalui metode ini guru
mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal UN, dan menguasai teknik-
teknik dan trik mengerjakan soal UN yang dihadapi. Pembelajaran dengan model
ini jelas tidak bermakna, karena apa yang di-pelajari bersifat mekanistik, bukan
pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran seperti ini kurang me-
ngembangkan kemampuan ver-pikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi
salah satu indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui
pembelajaran.
c. Upaya-upaya yang tidak fair: Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap
persentase/ jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang
diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk me-lakukan berbagai upaya
untuk mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada
terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah. Sekolah yang mampu
8

meluluskan siswanya dengan prosentase yang tinggi dengan nilai UN yang tinggi,
dinilai sebagai sekolah yang berkualitas dan unggul. Setiap sekolah
menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk mencapai posisi tersebut.
Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya yang tidak fair dilakukan oleh
oknum guru dan kepala sekolah untuk men-capai target kelulusan yang setinggi-
tingginya.. Kasus di beberapa sekolah, guru dengan berbagai modus memberi
kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan
daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk meng-gelembungkan (mark-up)
hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan
jawaban-jawaban siswa Kondisi seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran
dalam pendidikan yang seharus-nya menjadi bagian yang harus dikembangkan
secara serius di sekolah. Bila ini berlanjut, bisa dibayangkan manusia-manusia
seperti apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan (formal) kita.
d. Hanya ranah kognitif yang terukur: UN yang menggunakan bentuk soal multiple
choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Mengacu
pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui
bentuk soal MC hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini
mendorong para siswa belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan
psikomotorik yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus
diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan
mengguna-kan UN, yang sifatnya masal dan dilakukan dalam waktu yang sangat
terbatas. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di sekolah
hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara kecerdas-an
lainnya (multiple intelegence Gardner) akan tidak mendapat-kan perhatian yang
memadai.
e. Keputusan penentuan kelulusan yang kurang obyektif: Pada umumnya satuan
pen-didikan hanya mengacu pada hasil UN untuk menentu kan kelulusan siswa
artinya kalau hasil UN sudah memenuhi syarat kelulusan maka siswa tersebut
sudah pasti lulus walaupun nilai mata pelajaran yang tidak di UN-kan jelek dan
sikapnya kurang baik. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di
SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil UN yang dikerjakan beberapa
jam saja. Ketidak-lulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor ke-
9

tidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan


mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan soal UN.
f. Pengukuran hasil belajar yang kurang fair: Disparitas pendidikan di pulau jawa
dengan di luar pulau jawa sangat berbeda (Kompas, 2 Juni 2008). Berdasarkan
hasil akre-ditasi sekolah yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah (BAS)
yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan pada tahun 2007, dari 57292
sekolah negeri/swasta dan madrasah yang diakreditasi di peroleh data antara
lain sebagai berikut: (1) hasil akreditasi sekolah di Provinsi DKI Jakarta,
Yogyakarta dan Jawa Barat ada-lah yang terakreditasi A sekitar (35 – 48)%,
yang terakreditasi C kurang dari 10 %; (2) hasil akreditasi sekolah di Provinsi
Sulawesi Barat, Bengkulu, Aceh, NTB, Kalimantan Barat dan Papua adalah yang
terakreditasi A kurang dari 10% dan yang terakreditasi C antara (40–55)%.
Contoh lainnya adalah: (1) hasil akreditasi TK/RA, SD/MI, SMP/MTSP pada
tahun 2007 yang berjumlah 869 di provinsi DKI Jakarta adalah yang ter-
akreditasi A=57,6%, terakredi-tasi B=28,0% dan terakreditasi C =4,1%; (2) hasil
akreditasi TK/RA, SD/MI, SMP/ MTS pada tahun 2007 yang berjumlah 798 di
provinsi Maluku adalah yang terakreditasi A=2,0%, terakreditasi B= 24,7% dan
yang terakreditasi C=59,3%. Dengan menggunakan UN yang tingkat
kesukarannya sama pada dis-paritas kualitas pendidikan yang berbeda baik
antar provinsi dan antar kabupaten/kota akan me-nimbulkan pengukuran hasil
be-lajar yang kurang fair.
g. Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin: Hasil UN
dijadikan juga sebagai acuan penentuan untuk melanjut-kan ke jenjang yang
lebih tinggi seperti dari SMP ke SMA. Sekolah-sekolah yang berkualitas dan
‘favorit’ akan menjadi tujuan para siswa, yang berakibat pada terjadinya
persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain
berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan
impian itu, bagi orang tua yang ber-kecukupan (kaya) berusaha melibatkan
anaknya untuk me-ngikuti pelajaran tambahan dengan mencari guru privat atau
mengikuti bimbingan be-lajar. Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh
mereka yang mampu, karena upaya memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Sedangkan siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas kemampuannya sen-
10

diri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka yang miskin akan kalah bersaing
untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas.

B. Asesmen Nasional Berbasis Komputer ( ANBK )

Peningkatan sistem evaluasi pendidikan adalah bagian dari kebijakan Merdeka


Belajar yang juga didukung penuh oleh Presiden Joko Widodo. Tujuan utamanya adalah
mendorong perbaikan mutu pembelajaran dan hasil belajar peserta didik. Untuk itu,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengundang para
pemangku kepentingan untuk memberikan masukan terhadap rencana penerapan
Asesmen Nasional pada 2021. Asesmen Nasional tidak hanya dirancang sebagai
pengganti Ujian Nasional dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional, tetapi juga sebagai
penanda perubahan paradigma tentang evaluasi pendidikan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim


mengatakan perubahan mendasar pada Asesmen Nasional adalah tidak lagi
mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, akan tetapi mengevaluasi dan
memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil. “Potret layanan dan
kinerja setiap sekolah dari hasil Asesmen Nasional ini kemudian menjadi cermin untuk
kita bersama-sama melakukan refleksi mempercepat perbaikan mutu pendidikan
Indonesia,” ucap Mendikbud saat Webinar Koordinasi Asesmen Nasional di Jakarta yang
dihadiri oleh jajaran Dinas Pendidikan dari seluruh Indonesia, dan perwakilan
Kementerian Agama, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), serta Balai
Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini (BP PAUD).

Asesmen Nasional 2021 adalah pemetaan mutu pendidikan pada seluruh sekolah,
madrasah, dan program keseteraan jenjang sekolah dasar dan menengah. Asesmen
Nasional terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM): AKM dirancang untuk mengukur


capaian peserta didik dari hasil belajar kognitif yaitu literasi dan numerasi.
Kedua aspek kompetensi minimum ini, menjadi syarat bagi peserta didik untuk
berkontribusi di dalam masyarakat, terlepas dari bidang kerja dan karier yang
ingin mereka tekuni di masa depan. “Fokus pada kemampuan literasi dan
numerasi tidak kemudian mengecilkan arti penting mata pelajaran karena justru
11

membantu murid mempelajari bidang ilmu lain terutama untuk berpikir dan
mencerna informasi dalam bentuk tertulis dan dalam bantuk angka atau secara
kuantitatif,” jelas Mendikbud.
2. Survei Karakter: Survey Karakter yang dirancang untuk mengukur capaian
peserta didik dari hasil belajar sosial-emosional berupa pilar karakter untuk
mencetak Profil Pelajar Pancasila. “Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME
serta berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, bergotong royong,
bernalar kritis, dan kreatif,”.
3. Survei Lingkungan Belajar: Survey Lingkungan Belajar untuk mengevaluasi dan
memetakan aspek pendukung kualitas pembelajaran di lingkungan sekolah.

Asesmen Nasional pada tahun 2021 dilakukan sebagai pemetaan dasar (baseline) dari
kualitas pendidikan yang nyata di lapangan, sehingga tidak ada konsekuensi bagi
sekolah dan murid. “Hasil Asesmen Nasional tidak ada konsekuensinya buat sekolah,
hanya pemetaan agar tahu kondisi sebenarnya,” kata Mendikbud.

Kemendikbud juga akan membantu sekolah dan dinas pendidikan dengan cara
menyediakan laporan hasil asesmen yang menjelaskan profil kekuatan dan area
perbaikan tiap sekolah dan daerah. “Sangat penting dipahami terutama oleh guru,
kepala sekolah, murid, dan orang tua bahwa Asesmen Nasional untuk tahun 2021 tidak
memerlukan persiapan-persiapan khusus maupun tambahan yang justru akan menjadi
beban psikologis tersendiri. Tidak usah cemas, tidak perlu bimbel khusus demi
Asesmen Nasional,” kata Mendikbud. Senada dengan Mendikbud, anggota Badan
Standar Nasional Pendididikan (BSNP), periode 2019 – 2023, Doni Koesoema
mengatakan Asesmen Nasional ini menjadi salah satu alternatif transformasi
pendidikan di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, pengajaran,
dan lingkungan belajar di satuan pendidikan.

“Melalui asesmen yang lebih berfokus, diharapkan perbaikan kualitas, layanan


pendidikan bisa semakin efektif. Dengan demikian Kepala Dinas harus memastikan
pelaksanaan Asesmen Nasional di daerah dengan memperhatikan kesiapan sarana
prasarana dan keselamatan peserta didik bila pandemi COVID-19 di daerahnya belum
teratasi dengan baik” ujar Doni.
12

Untuk itu, Pemerintah mengajak semua para pemangku kepentingan untuk bersiap
dalam mendukung pelaksanaan Asesmen Nasional mulai tahun 2021 sebagai bagian
dari upaya peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Kementerian Pendidikan
Kebudayaan Riset dan Teknologi disingkat Kemdikbudristek meluncurkan empat
program kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”, termasuk ANBK.

Asesmen Nasional Berbasis Komputer atau ANBK sebagai pengganti Ujian


Nasional Berbasis Komputer atau UNBK. Penyelenggaraan ANBK telah diterapkan di
sejumlah sekolah dasar sejak Senin, 15 November 2021.

C. Perbedaan UNBK dengan ANBK

Mengutip laman pusmendik.kemdikbud.go.id, program Merdeka Belajar bertujuan


untuk mendorong perbaikan mutu pembelajaran dan hasil belajar peserta didik. Untuk
itu, Kemdikbud Ristek menerapkan ANBK pada 2021. Asesmen Nasional ini tak hanya
dirancang sebagai pengganti Ujian Nasional dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional.
Tetapi juga sebagai penanda perubahan paradigma tentang evaluasi pendidikan.
Asesmen Nasional merupakan program evaluasi yang diselenggarakan oleh Kemdikbud
Ristek untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan memotret input, proses dan
output pembelajaran di seluruh satuan pendidikan. Asesmen Nasional terdiri dari tiga
instrumen, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei
Lingkungan Belajar. AKM berfungsi untuk mengukur literasi membaca dan literasi
matematika atau numerasi murid. Survei Karakter untuk mengukur sikap, nilai,
keyakinan, dan kebiasaan yang mencerminkan karakter murid, sedangkan Survei
Lingkungan Belajar berfungsi mengukur kualitas berbagai aspek input dan proses
belajar-mengajar di kelas maupun di tingkat satuan pendidikan. Sementara UNBK atau
disebut juga Computer Based Test (CBT), sebagaimana dikutip dari laman
unbk.kemdikbud.go.id, adalah sistem pelaksanaan ujian nasional menggunakan
komputer sebagai media ujian. UNBK pertama kali dilaksanakan pada 2014 secara
online dan terbatas di SMP Indonesia Singapura dan SMP Indonesia Kuala Lumpur
(SIKL). Penggunaan komputer untuk ujian ini mendorong peningkatan literasi siswa
terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi atau TIK. Sementara itu,
Mendikbudristek, Nadiem Makarim mengatakan, perubahan mendasar pada Asesmen
Nasional dibandingkan dengan Ujian Nasional adalah tidak lagi mengevaluasi capaian
peserta didik secara individu. Tetapi sistem pendidikan dievaluasi dan dipetakan
13

berupa input, proses, dan hasil. Potret layanan dan kinerja setiap sekolah dari hasil
Asesmen Nasional ini kemudian menjadi refleksi capaian pendidikan secara nasional.
“Untuk kita bersama-sama melakukan refleksi mempercepat perbaikan mutu
pendidikan Indonesia,” ucap Nadiem saat Webinar Koordinasi Asesmen Nasional
untuk ANBK di Jakarta pada Selasa, 6 Oktober 2020 lalu. Asesmen Nasional Berbasis
Komputer atau ANBK merupakan program penilaian terhadap mutu setiap sekolah,
madrasah, dan program kesetaraan pada jenjang pendidikan dasar hingga menengah.
Dilansir dari situs resmi Kemendikbud.go.id, mutu satuan pendidikan ini dinilai
berdasarkan hasil belajar siswa di beberapa aspek: literasi, numerasi, dan karakter.
Program penilaian mutu sekolah ANBK dapat dilakukan secara online dan semi online.
ANBK online dilakukan melalui akses internet yang stabil menggunakan komputer
proctor untuk membuka token, sedangkan ANBK semi online, komputer yang
digunakan tidak membutuhkan internet langsung, namun akan terhubung dengan
komputer proctor yang memiliki akses internet.

ANBK sangat berbeda dengan Ujian Nasional.   Karena Ujian Nasional hanya fokus
pada penilaian aspek kognitif siswa, sementara ANBK sifat penilaiannya menyeluruh,
baik kognitif maupun non-kognitif, bahkan sampai ke kualitas lingkungan belajar yang
dimiliki setiap sekolah.

Asasmen Nasional ini kemudian dibagi menjadi tiga instrumental, meliputi:

1. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang mengukur literasi membaca dan


literasi matematika (numerasi) murid. Literasi membaca didefinisikan sebagai
kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan
berbagai jenis teks tertulis untuk mengembangkan kapasitas individu sebagai
warga Indonesia dan warga dunia dan untuk dapat berkontribusi secara
produktif kepada masyarakat. sedang numerasi, adalah kemampuan berpikir
menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk
menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang relevan
untuk individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia
14

2. Survei Karakter yang mengukur sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang
mencerminkan karakter murid.
3. Survei Lingkungan Belajar yang mengukur kualitas berbagai aspek input dan
proses belajar-mengajar di kelas maupun di tingkat satuan pendidikan.

Di bawah ini merupakan perbedaan ANBK dengan ujian nasional, antara lain:

a. Periode Tes Per Siswa Salah satu perbedaan ANBK dan UN dilihat dari periode
tes per siswa. ANBK dilaksanakan selama dua hari sedangkan UN berlangsung
dalam empat hari.
b. Subjek Siswa ANBK mengacu pada sensus sekolah dasar dengan sampel siswa,
Sementara UN mengacu pada sensus seluruh murid sehingga setiap siswa wajib
melaksanakan ujian sedangkan pada ANBK, murid akan dipilih secara acak
dengan mempertimbangkan faktor ekonomi oleh Kemdikbud.
c. Jenjang Penilaian ANBK dan UN bisa dilihat dari jenjang penilaiannya. Pada
ANBK jenjang penilaian mulai dari pendidikan dasar hingga menengah (SD/MI,
SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK). Sementara pada UN jenjang penilaian hanya
untuk SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK.
d. Level Siswa yang menjadi peserta ANBK dipilih dari kelas 5 SD, kelas 8 (2 SMP),
dan kelas 11 (2 SMA/SMK). Berbeda dengan ANBK, peserta UN hanya diikuti
oleh para siswa di tingkat akhir.
e. Jadwal ANBK di Jenjang Pendidikan SD, SMP, SMA/SMK: sebagai contoh
pelaksanaan ANBK Tahun 2022: Jadwal ANBK 2022 untuk jenjang SMA/SMK
dan sederajat adalah pada tanggal 29 Agustus hingga 1 September 2022. Untuk
jenjang SMP dan sederajat, ANBK 2022 dilaksanakan pada tanggal 19 hingga 22
September 2022. Sementara ANBK 2022 jenjang pendidikan SD/MA
dilaksanakan pada 24 hingga 27 Oktober 2022. Sedangkan pada UN dilakukan di
Akhir Masa Pendidikan peserta didik.
15

PENUTUP

Kesimpulan

Evaluasi pendidikan yang terus berkembang dan berkembang dari jaman kemerdekaan
hingga jaman teknologi yang akan selalu mengalami perkembangan kemasa depan,
sejatinya merupakan sebuah perbaikan system yang akan terus beriringan dengan
kemajuan yang bersifat progresif.

Semua metode atau cara dalam melaksanaan evaluasi pendidikan memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing, sesuai dengan kebutuhan tujuan pembelajaran dari
perkembangan kurikulum yang terus dinamis.
16

REFERENSI

 Ki Supriyoko_ Seminar Nasional Evaluasi Pendidikan Tahun 2013


 Aoer, Cyprianus, 2005. Masa Depan Pendidikan Nasional, Jakarta: Center for Poverty Studies.
 Arifin,.Muzayyin, 2003. Kapita Se-lekta Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.
 Fajar, A. Malik, 1998. Visi Pem-baharuan Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Alfa
Grafikatama.

 Jasmine, Julia, 2007. Mengajar dengan Metode Kecerdasan Maje-muk: Implementasi


Multiple Intel-ligence. Bandung: Nuansa
 Sumber diambil dari:
https://www.kemdikbud.go.id

Anda mungkin juga menyukai