Anda di halaman 1dari 4

Nama : Natasya Debora Dobiki

Nim : 2231150004

Sila Ke-3 (Persatuan Indonesia)


Nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam Sila Ke-3

https://amp.kompas.com/nasional/read/2022/04/28/04000011/nilai-yang-terkandung-dalam-sila-
ketiga-pancasila

Penetapan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia
dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pertanyaan kritisnya adalah: jika Pancasila ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, mengapa
Pancasila diperingati hari kelahirannya pada setiap tanggal 1 Juni? Jawabannya adalah rumusan
Pancasila sebagai falsafah hidup dan dasar negara Republik Indonesia resmi disepakati pada
tanggal 1 Juni 1945, yang diperkuat oleh pidato Presiden Soekarno pada tanggal yang sama.
Namun bagi penulis, hari lahir Pancasila bukanlah hal yang menjadi focus untuk dibahas kali ini.
Yang terpenting adalah nilai-nilai apa saja yang terpatri di dalamnya, dan bagaimana nilai-nilai
tersebut dijalankan oleh para penyelenggara negara untuk menjamin kelangsungan hidup
warganya. Digali dari nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia yang telah berakar kuat dan terus
hidup dalam masyarakat jauh sebelum penetapannya, Pancasila sesuai namanya, memiliki lima
nilai dasar, yaitu nilai keagamaan yang terdapat pada sila pertama, nilai kemanusiaan yang
terkandung pada sila kedua, nilai persatuan yang termuat pada sila ketiga, nilai demokrasi yang
ada pada sila keempat, serta nilai keadilan social yang dapat kita jumpai pada sila kelima.
Kelima nilai Pancasila tersebut, karena digali dari kepribadian bangsa Indonesia, maka juga
disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia. Siapa pun yang membaca atau mempelajari
Pancasila, akan memahami jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dalam bukunya yang
berjudul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Mohammad Yamin (1962) menyatakan:
“Ajaran Pancasila yang tersusun secara harmonis mencerminkan betapa harmonisnya hubungan
berbagai sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa Indonesia.” Senada dengan Mohammad
Yamin, Muhammad Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyebutkan bahwa:
“Indonesia memiliki jati diri yang unik dan kuat sebagaimana terdapat dalam semboyan bersatu
kita teguh, bercerai kita runtuh.”
Sebagai Bapak Proklamator, Mohammad Hatta memang sangat mendorong terimplementasinya
nilai-nilai Pancasila dengan baik. Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1977 di Gedung
Kebangkitan Nasional Jakarta, Muhammad Hatta menyampaikan pertanyaan, “Adakah cukup
rasa tanggung jawab untuk menyelenggarakan cita-cita bangsa dan tujuan negara Indonesia
sebagaimana mestinya menurut Pancasila?” Dari pertanyaan di atas, ada dua hal yang
berkecamuk di pemikiran Mohammad Hatta pada waktu itu berdasarkan analisis penulis.
Pertama, Mohammad Hatta sedang meragukan kesungguhan para penyelenggara negara atau
pemimpin bangsa Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Yang
kedua, Mohammad Hatta sedang mengkhawatirkan bahwa nilai-nilai Pancasila di kemudian hari
akan luntur dan diabaikan pelaksanaannya.

Penetapan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia
dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pertanyaan kritisnya adalah: jika Pancasila ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, mengapa
Pancasila diperingati hari kelahirannya pada setiap tanggal 1 Juni? Jawabannya adalah rumusan
Pancasila sebagai falsafah hidup dan dasar negara Republik Indonesia resmi disepakati pada
tanggal 1 Juni 1945, yang diperkuat oleh pidato Presiden Soekarno pada tanggal yang sama.
Namun bagi penulis, hari lahir Pancasila bukanlah hal yang menjadi focus untuk dibahas kali ini.
Yang terpenting adalah nilai-nilai apa saja yang terpatri di dalamnya, dan bagaimana nilai-nilai
tersebut dijalankan oleh para penyelenggara negara untuk menjamin kelangsungan hidup
warganya. Digali dari nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia yang telah berakar kuat dan terus
hidup dalam masyarakat jauh sebelum penetapannya, Pancasila sesuai namanya, memiliki lima
nilai dasar, yaitu nilai keagamaan yang terdapat pada sila pertama, nilai kemanusiaan yang
terkandung pada sila kedua, nilai persatuan yang termuat pada sila ketiga, nilai demokrasi yang
ada pada sila keempat, serta nilai keadilan social yang dapat kita jumpai pada sila kelima.
Kelima nilai Pancasila tersebut, karena digali dari kepribadian bangsa Indonesia, maka juga
disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia. Siapa pun yang membaca atau mempelajari
Pancasila, akan memahami jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dalam bukunya yang
berjudul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Mohammad Yamin (1962) menyatakan:
“Ajaran Pancasila yang tersusun secara harmonis mencerminkan betapa harmonisnya hubungan
berbagai sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa Indonesia.” Senada dengan Mohammad
Yamin, Muhammad Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyebutkan bahwa:
“Indonesia memiliki jati diri yang unik dan kuat sebagaimana terdapat dalam semboyan bersatu
kita teguh, bercerai kita runtuh.”
Sebagai Bapak Proklamator, Mohammad Hatta memang sangat mendorong terimplementasinya
nilai-nilai Pancasila dengan baik. Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1977 di Gedung
Kebangkitan Nasional Jakarta, Muhammad Hatta menyampaikan pertanyaan, “Adakah cukup
rasa tanggung jawab untuk menyelenggarakan cita-cita bangsa dan tujuan negara Indonesia
sebagaimana mestinya menurut Pancasila?” Dari pertanyaan di atas, ada dua hal yang
berkecamuk di pemikiran Mohammad Hatta pada waktu itu berdasarkan analisis penulis.
Pertama, Mohammad Hatta sedang meragukan kesungguhan para penyelenggara negara atau
pemimpin bangsa Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Yang
kedua, Mohammad Hatta sedang mengkhawatirkan bahwa nilai-nilai Pancasila di kemudian hari
akan luntur dan diabaikan pelaksanaannya.
Penetapan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia
dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pertanyaan kritisnya adalah: jika Pancasila ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, mengapa
Pancasila diperingati hari kelahirannya pada setiap tanggal 1 Juni? Jawabannya adalah rumusan
Pancasila sebagai falsafah hidup dan dasar negara Republik Indonesia resmi disepakati pada
tanggal 1 Juni 1945, yang diperkuat oleh pidato Presiden Soekarno pada tanggal yang sama.
Namun bagi penulis, hari lahir Pancasila bukanlah hal yang menjadi focus untuk dibahas kali ini.
Yang terpenting adalah nilai-nilai apa saja yang terpatri di dalamnya, dan bagaimana nilai-nilai
tersebut dijalankan oleh para penyelenggara negara untuk menjamin kelangsungan hidup
warganya. Digali dari nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia yang telah berakar kuat dan terus
hidup dalam masyarakat jauh sebelum penetapannya, Pancasila sesuai namanya, memiliki lima
nilai dasar, yaitu nilai keagamaan yang terdapat pada sila pertama, nilai kemanusiaan yang
terkandung pada sila kedua, nilai persatuan yang termuat pada sila ketiga, nilai demokrasi yang
ada pada sila keempat, serta nilai keadilan social yang dapat kita jumpai pada sila kelima.
Kelima nilai Pancasila tersebut, karena digali dari kepribadian bangsa Indonesia, maka juga
disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia. Siapa pun yang membaca atau mempelajari
Pancasila, akan memahami jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dalam bukunya yang
berjudul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Mohammad Yamin (1962) menyatakan:
“Ajaran Pancasila yang tersusun secara harmonis mencerminkan betapa harmonisnya hubungan
berbagai sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa Indonesia.” Senada dengan Mohammad
Yamin, Muhammad Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyebutkan bahwa:
“Indonesia memiliki jati diri yang unik dan kuat sebagaimana terdapat dalam semboyan bersatu
kita teguh, bercerai kita runtuh.”
Sebagai Bapak Proklamator, Mohammad Hatta memang sangat mendorong terimplementasinya
nilai-nilai Pancasila dengan baik. Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1977 di Gedung
Kebangkitan Nasional Jakarta, Muhammad Hatta menyampaikan pertanyaan, “Adakah cukup
rasa tanggung jawab untuk menyelenggarakan cita-cita bangsa dan tujuan negara Indonesia
sebagaimana mestinya menurut Pancasila?” Dari pertanyaan di atas, ada dua hal yang
berkecamuk di pemikiran Mohammad Hatta pada waktu itu berdasarkan analisis penulis.
Pertama, Mohammad Hatta sedang meragukan kesungguhan para penyelenggara negara atau
pemimpin bangsa Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Yang
kedua, Mohammad Hatta sedang mengkhawatirkan bahwa nilai-nilai Pancasila di kemudian hari
akan luntur dan diabaikan pelaksanaannya.
Penetapan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia
dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pertanyaan kritisnya adalah: jika Pancasila ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, mengapa
Pancasila diperingati hari kelahirannya pada setiap tanggal 1 Juni? Jawabannya adalah rumusan
Pancasila sebagai falsafah hidup dan dasar negara Republik Indonesia resmi disepakati pada
tanggal 1 Juni 1945, yang diperkuat oleh pidato Presiden Soekarno pada tanggal yang sama.
Namun bagi penulis, hari lahir Pancasila bukanlah hal yang menjadi focus untuk dibahas kali ini.
Yang terpenting adalah nilai-nilai apa saja yang terpatri di dalamnya, dan bagaimana nilai-nilai
tersebut dijalankan oleh para penyelenggara negara untuk menjamin kelangsungan hidup
warganya. Digali dari nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia yang telah berakar kuat dan terus
hidup dalam masyarakat jauh sebelum penetapannya, Pancasila sesuai namanya, memiliki lima
nilai dasar, yaitu nilai keagamaan yang terdapat pada sila pertama, nilai kemanusiaan yang
terkandung pada sila kedua, nilai persatuan yang termuat pada sila ketiga, nilai demokrasi yang
ada pada sila keempat, serta nilai keadilan social yang dapat kita jumpai pada sila kelima.
Kelima nilai Pancasila tersebut, karena digali dari kepribadian bangsa Indonesia, maka juga
disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia. Siapa pun yang membaca atau mempelajari
Pancasila, akan memahami jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dalam bukunya yang
berjudul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Mohammad Yamin (1962) menyatakan:
“Ajaran Pancasila yang tersusun secara harmonis mencerminkan betapa harmonisnya hubungan
berbagai sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa Indonesia.” Senada dengan Mohammad
Yamin, Muhammad Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyebutkan bahwa:
“Indonesia memiliki jati diri yang unik dan kuat sebagaimana terdapat dalam semboyan bersatu
kita teguh, bercerai kita runtuh.”
Sebagai Bapak Proklamator, Mohammad Hatta memang sangat mendorong terimplementasinya
nilai-nilai Pancasila dengan baik. Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1977 di Gedung
Kebangkitan Nasional Jakarta, Muhammad Hatta menyampaikan pertanyaan, “Adakah cukup
rasa tanggung jawab untuk menyelenggarakan cita-cita bangsa dan tujuan negara Indonesia
sebagaimana mestinya menurut Pancasila?” Dari pertanyaan di atas, ada dua hal yang
berkecamuk di pemikiran Mohammad Hatta pada waktu itu berdasarkan analisis penulis.
Pertama, Mohammad Hatta sedang meragukan kesungguhan para penyelenggara negara atau
pemimpin bangsa Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Yang
kedua, Mohammad Hatta sedang mengkhawatirkan bahwa nilai-nilai Pancasila di kemudian hari
akan luntur dan diabaikan pelaksanaannya.

Kendati Pancasila masih diakui sebagai dasar negara, tetapi praktek penyelenggaraan negara
jauh melenceng dari pancasila. Bahkan, banyak sekali kebijakan pemerintah yang bertolak
belaoang dengan nilai-nilai pancasila, khususnya pada masa pemerintahan SBY yang sudah jauh
meninggalkan pancasila.

Berikut adalah bukti dan contoh kasusnya:

Pertama,, pemerintahan SBY tidak bisa melindungi kepentingan nasional bangsa


Indonesia dari praktek eksploitasi dari luar/asing. Kegagalan ini juga terjadi dalam dua
hal penting. Satu, kebijakan ekonomi-politik SBY tidak mencerminkan negara
berdaulat. Banyak sekali kebijakan ekonomi dan politik pemerintahan SBY disetir
oleh pihak dari luar, terutama oleh negara-negara imperialis dan lembaga-lembaga
internasional (USAID, IMF, Bank Dunia, WTO, dll). Dua, pemerintahan SBY tidak
bisa menegakkan kedaulatan ekonomi dan kontrol negara terhadap aset-aset strategis
nasional dan kekayaan alam Indonesia.

Kedua, pemerintahan SBY mendistorsikan prinsip kebangsaan Indonesia menjadi


chauvinistik ketika menyelesaikan pertikaian antara pemerintahan nasional dan
daerah. Sebagai misal, SBY menggunakan pendekatan militeristik dalam menangani
persoalan Papua.

Anda mungkin juga menyukai