Peraturan Tentang K3
Peraturan K3 di Indonesia sempat disinggung sedikit dalam pembahasan sebelumnya. Jadi ada banyak
peraturan turunan yang mengatur tentang K3. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah dapat
dikategorikan seperti berikut ini:
#1. Undang-Undang
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.: Kep. 155/MEN/1984 Tentang Penyempurnaan Keputusan
Menteri Tenaga Dan Transmigrasi Nomor Kep. 125/MEN/82, Tentang Pembentukan, Susunan Dan
Tata Kerja Dewan Keselamatan Dan Kesehtan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja Wilayah Dan Panitia Pembina Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja Dan Menteri Pekerjaan Umum No.: Kep. 174/MEN/1986.
No.: 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi
Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. Kep. 1135/MEN/1987 tentang Bendera Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja
Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No.: KEPTS.333/MEN/1989 tentang Diagnosis dan Pelaporan
Penyakit Akibat Kerja
#5. Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan
Contoh salah satu isi peraturan K3 yakni Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang
Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja pasal 5:
Ketentuan mengenai tingkat potensi bahaya tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pengusaha dalam menerapkan SMK3 wajib berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan
peraturan perundang-undangan serta dapat memperhatikan konvensi atau standar internasional
Mengingat pentingnya K3, dalam dunia pendidikan sudah ada pelatihan ahli K3 yang menghasilkan Ahli
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Lulusan pelatihan ini nantinya akan menjadi ahli K3 yang
bertanggung jawab dalam penerapan K3 di perusahaan tempatnya bekerja. Mereka mendapatkan
sertifikasi keahlian K3.
Jadi kamu harus memperhatikan K3 saat memasuki dunia kerja nanti. Pastikan bahwa tempat kerjamu
aman. Ada jaminan keselamatan dan kesehatan.
============================================
Pada dasarnya, setiap pekerja mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan atas Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (“K3”). Demikian yang disebut dalam Pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal, diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Upaya
keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan
meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit
akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.[1]
Sebelum adanya UU Ketenagakerjaan, K3 telah diatur lebih dulu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja (“UU 1/1970”). Yang diatur oleh UU ini ialah keselamatan kerja dalam
segala tempat kerja.
"tempat kerja" ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di
mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan
di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2;
termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan
bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut;
Tempat kerja yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1970 adalah tempat kerja di mana:
dibuat, dicoba, dipakai, atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau instalasi
yang berbahaya, atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran, atau peledakan;
dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut, atau disimpan bahan atau barang
yang: dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi;
dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung
atau bangunan lainnya, termasuk bangunan pengairan, saluran, atau terowongan di bawah tanah
dan sebagainya atau di mana dilakukan pekerjaan persiapan;
dilakukan usaha: pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu
atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan, dan lapangan kesehatan;
dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan: emas, perak, logam atau bijih logam lainnya, batu-
batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar
perairan; dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui
terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara;
dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun atau gudang;
dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air;
dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan;
dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah;
dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan
benda, terjatuh atau terperosok, hanyut, atau terpelanting;
dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang;
terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap, gas, hembusan angin,
cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran;
dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah;
dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar, televisi atau telepon;
dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang
menggunakan alat teknis;
dibangkitkan, diubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak
atau air;
diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi lainnya yang memakai
peralatan, instalasi listrik atau mekanik.
Ini artinya, di tempat kerja dimana dilakukan kegiatan di atas, diperlukan aturan K3.
Lebih khusus lagi, aturan K3 dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang
Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (“PP 50/2012”), yakni yang tercantum
dalam Pasal 5 PP 50/2012:
Ketentuan mengenai tingkat potensi bahaya tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengusaha dalam menerapkan SMK3 wajib berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan
peraturan perundang-undangan serta dapat memperhatikan konvensi atau standar internasional.
Yang dimaksud dengan “tingkat potensi bahaya tinggi” adalah perusahaan yang memiliki potensi bahaya
yang dapat mengakibatkan kecelakaan yang merugikan jiwa manusia, terganggunya proses produksi dan
pencemaran lingkungan kerja.[2]
Menjawab pertanyaan Anda, jadi pada dasarnya, jika perusahaan jasa konsultasi hukum tersebut
mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang, maka perusahaan tersebut wajib
menerapkan SMK3 atau Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di dalamnya. Namun dari
segi lingkungan kerja perusahaan jasa konsultasi hukum yang umumnya minim potensi bahaya yang
tinggi, maka perusahaan tersebut tidak wajib menerapkan SMK3 di dalamnya.
Menurut praktisi Hukum Ketenagakerjaan Umar Kasim, dalam hal tertentu tidak semua perusahaan
harus memiliki divisi K3 (divisi yang melakukan pengesahan yang lengkap untuk norma K3, seperti
pengesahan penggunaan listrik di tempat kerja, pengesahan penggunaan instalasi penyalur petir, dan
pemakaian instalasi proteksi kebakaran). Tapi secara umum, jika mengandung potensi bahaya tinggi,
maka perusahaan harus mempunyai divisi K3 yang mengelola hal-hal tersebut.
Bagi perusahaan jasa konsultasi hukum di suatu gedung, hanya wajib mematuhi standar kerja sesuai
ketentuan K3 yang bukan wilayahnya pengelola gedung. Maksudnya, pada prinsipnya jika sebuah kantor
konsultan hukum berada di suatu gedung, maka penerapan SMK3 nya melekat pada pengelola gedung.
Misalnya K3 penggunaan listrik, K3 elevator, K3 alat pemadam kebakaran, dan sebagainya. Semua itu
dikelola oleh manajemen gedung. Kantor konsultan hukum ini tidak perlu mengelola seluruh aspek K3
seperti adanya SMK3.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.