Anda di halaman 1dari 11

Model Pengelolaan Dan Problematika Di Lembaga Madrasah Ma’arif NU

Oleh: Muhammad Amin Fathih

Pendahuluan

Nahdhatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Kiprah Nahdhatul Ulama (NU) secara historis memiliki peran yang sangat besar terhadap
perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari berdirinya beberapa lembaga
pendidikan Islam berupa pondok pesantren yang sebagian besar didirikan oleh para pendiri
organisasi NU seperti pesantren Lirboyo, Sidogiri, Salafiyah Safi’iyah dan Tebu Ireng, yang
usianya bisa dikatakan cukup tua dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya
yang ada di Indonesia.

Banyaknya lembaga pendidikan seperti pesantren, majlis ta’lim, diniyah atau madrasah
yang merupakan basis kultural NU menjadi salah satu bukti bahwa pergerakan organisasi NU
memiliki peran yang cukup besar dalam perkembangan pendidikan di Indonesia.1 Berdirinya
pesantren-pesantren dan madrasah di bawah naungan NU juga menjadi salah satu faktor
keberhasilan NU menarik masyarakat Indonesia untuk masuk dalam pergerakannya. Sehingga
NU mampu menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Dalam perjalanannya, NU telah banyak memberikan perhatian yang sangat besar


terhadap sektor pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pesantren dan madrasah
yang dikelola oleh NU. Pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan tuntutan zaman dan
kebutuhan masyarakat. NU terus berupaya berinovasi dan mengembangkan lembaga-lembaga
yang dikelolanya dari yang awalnya hanya terdiri dari pesantren dan madrasah non formal,
dikembangkan dengan diadakannya sekolah-sekolah formal seperti MI, MTs dan MA di bawah
naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU serta turut juga mengadakan perguruan tinggi guna
memfasilitasi semua kebutuhan masyarakat sesuai dengan zamannya agar mendapatkan
kualitas pendidikan Islam yang lebih kompetitif dalam persaingan global.2

1
“QUO VADIS PENDIDIKAN NAHDLATUL ’ULAMA; Membaca Problematika Pesantren Dan Madrasah - PCNU
Pati,” accessed October 17, 2022, https://pcnupati.or.id/quo-vadis-pendidikan-nahdlatul-ulama-membaca-
problematika-pesantren-dan-madrasah/.
2
Jamal Syarif, “Dinamika Lembaga Pendidikan Ma,Arif NU Dalam Sistem Pendidikan Nasional,” Jurnal Syarif,
2015, 2.
Pendidikan NU dalam perkembangannya dikenal ke terdekatannya dengan pesantren.
Hal itu dapat di lihat dari ciri khas dan pola pendidikan yang kental dengan nilai-nilai cultural
teologis dan praktik keagamaan (amaliyah ubudiyah). Berkat kuatnya kultur pesantren yang
melekat pada lembaga pendidikan NU. Mampu menjadikan NU terkenal akan ke unggulannya
dalam bidang pendidikan Islam model pesantren yang dinaunginya. Akan tetapi disisi lain,
lembaga-lembaga pendidikan sekolah formal yang ada di bawah naungan NU ternyata sedikit
mengalami ketertinggalan dibandingkan lembaga formal yang berafiliasi selain NU. Padahal
secara perjuangan, NU memiliki modal besar untuk bisa mewujudkan pendidikan formal yang
berkualitas. Hal ini dapat di lihat dari kesadaran dan semangat tinggi kaum nahdliyin dalam
membangun dan mendukung perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia, dengan
banyaknya lembaga yang sudah dinaungi LP Ma’arif NU sudah berjumlah ribuan yang tersebar
diberbagai daerah di Indonesia.3

Ketertinggalan sebagian LP Ma’arif NU dibandingkan lembaga pendidikan lainnya


tidak lepas dari berbagai problematika yang terjadi sebagaimana yang terjadi di lembaga-
lembaga lainnya, seperti halnya dana pendidikan, minimnya sumber daya manusia yang
berkualitas dan pengelolaan atau manajemen madrasahnya. Adanya berbagai problematika
yang terjadi di sebagian LP Ma’arif NU tentunya menjadi persoalan yang harus segara
diselesaikan oleh para pemegang kebijakan di organisasi NU. Salah satunya dengan mereka
mengetahui problematika apa saja yang terjadi di lapangan. Karena dengan kita mengetahui
problematika yang terjadi di lapangan, seseorang akan dapat menemukan solusi yang tepat
untuk dapat menyelesaikannya.4 Terutama dalam segi manajemen atau pengelolaanya. Melihat
baik dan tidaknya pengelolaan dalam suatu lembaga pendidikan akan berdampak besar kepada
output semua komponen pendidikan yang ada.

Sejarah Perkembangan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU

Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) merupakan salah satu
aparat departementasi di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Tujuan didirikannya
lembaga ini untuk mendukung cita-cita atau visi dan misi NU dalam bidang pendidikan. Bagi
nahdliyin, pendidikan menjadi pilar utama yang harus ditegakkan demi mewujudkan
masyarakat cerdas dan mandiri. Gagasan dan gerakan pendidikan ini telah dimulai sejak
perintisan pendirian NU di Indonesia. Salah satu bentuknya dimulai dari gerakan ekonomi

3
M. Gufron, “Strategi Pengembangan Madrasah Di Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Nahdlatul Ulama Kota
Salatiga,” INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 2012, https://doi.org/10.18326/infsl3.v6i1. hal 100.
4
William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 2000), 226.
kerakyatan melalui Nadlatut Tujjar (1918), disusul dengan Tashwirul Afkar (1922) sebagai
gerakan keilmuan dan kebudayaan, hingga Nahdlatul Wathan (1924) yang merupakan gerakan
politik di bidang pendidikan. Dari ketiga gerakan tersebut kemudian ditemukanlah tiga pilar
penting bagi Nadhlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1334 H,
yaitu: (1) wawasan ekonomi kerakyatan; (2) wawasan keilmuan, sosial, budaya; dan (3)
wawasan kebangsaan.5

Pada masa selanjutnya, dalam rangka merealisasikan ketiga pilar tersebut di kehidupan
bangsa Indonesia utamanya kaum nahdliyin, akhirnya NU melahirkan lembaga-lembaga dan
lajnah seperti Lembaga Dakwah, Lembaga Pendidikan Ma’arif, Lembaga Sosial Mabarrot,
Lembaga Pengembangan Pertanian, dan lain sebagainya. Kemudian setelah resmi didirikan
sebagai jam’iyah pada tanggal 31 Januari 1926 NU telah banyak mendirikan madrasah-
madrasah yang berdiri disamping pondok pesantren yang telah lama ada dan mengakar di
Indonesia. Dengan ada banyaknya beberapa lembaga penndidikan di lingkup pesantren, maka
dalam Muktamar II tahun 1927 NU mulai membicarakan masalah perbaikan metode
pengajaran di pondok pesantren dan madrasah-madrasah. Selanjutnya pada Muktamar III tahun
1928 di Surabaya dibicarakan pengembangan dan perluasan pondok pesantren dan madrasah. 6

Di awal pertumbuhan organisasi NU, pesantren merupakan satu-satunya basis lembaga


pendidikan NU yang di unggulkan. Baru ketika dinamika ilmiah Islam di Indonesia digerakkan
dengan ditandai munculnya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) tahun 1950, baik negeri
maupun swasta, adanya proyek Madrasah Wajib Belajar (MWB) tahun 1958, dan adanya SKB
Tiga Menteri tahun 1975. Maka sebagian pesantren dan organisasi Islam lainnya termasuk NU
mulai bertransformasi sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat, salah satunya
dengan diselenggarakannya sistem madrasah yang sebelumnya belum terlaksana.7

LP Ma’arif NU sendiri merupakan program dalam divisi pendidikan yang ada pada
organisasi NU. Di dirikannya LP Ma’arif sebagai salah satu pelaksanaan perintah Agama di
bidang pendidikan dan pengajaran sekaligus merupakan keikutsertaan Nahdatul Ulama dalam
usaha mencerdaskan bangsa dan umat. Sebagai organisasi yang benar-benar tumbuh dari
bawah, berakar dibumi masyarakat Kaum Muslimin Indonesia. Sebagian besar madrasah atau

5
“Sejarah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU - Keluarga Mahasiswa Nahdlatul ’Ulama,” accessed October 18,
2022, https://kmnu.or.id/sejarah-lembaga-pendidikan-maarif-nu/.
6
Achmad Hasyim dkk Muzadi, Profil Dan Direktori Nahdlatul Ulama Dari Masa Ke Masa (Jakarta: PT. Yellow
Multi Media, 2009). 80
7
Syarif, “Dinamika Lembaga Pendidikan Ma,Arif NU Dalam Sistem Pendidikan Nasional.” 33.
sekolah Nahdatul Ulama didirikan, dibangun dan dibiayai oleh masyarakat sendiri dan
simpatisan, dengan kesediaan dikordinasikan, dibimbing dan diawasi oleh LP Ma’arif NU.8

LP. Ma’arif NU memiliki peran dan fungsi sebagai pelaksana kebijakan NU dalam
bidang pendidikan dan pengajaran baik formal ataupun non formal, selain pondok pesantren.
Karena pesantren dalam kalangan NU dibina oleh RMI (Rabithah Ma’ahid Al-Islamiyah). 9

Secara institusional, LP Ma’arif NU mendirikan satuan-satuan pendidikan mulai dari tingkat


dasar, menengah hingga perguruan tinggi; sekolah yang bernaung di bawah Kemendikbud
maupun madrasah di bawah naungan Kemenag. Hingga saat ini tercatat kurang lebih sekitar
6000 lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air di bawah naungan Ma’arif
NU, mulai dari TK, SD, SLTP, SMU/SMK, MI, MTs, MA, dan beberapa perguruan tinggi.

Model Pengelolaan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU

Setiap lembaga pendidikan akan memiliki pola pengelolaan yang berbeda-beda antara
satu lembaga dengan lembaga lainnya, begitupun lembaga di bawah naungan LP Ma’arif NU.
Pendidikan yang berkualitas akan membutuhkan pengelolaan yang baik, karena pengelolaan
yang baik akan memberikan out put yang baik juga bagi kualitas pendidikan yang diharapkan.
Dalam pengelolaann di bidang pendidikannya, NU membentuk LP Ma’arif dengan tugas
utamanya melaksanakan kebijakan dan tanggung jawab atas bidang pendidikan dan pengajaran
di keorganisasian NU baik formal maupun non formal, selain pondok pesantren.

Dengan adanya tanggung jawab tersebut lembaga Pendidikan Ma’arif memahami


pendidikan sebagai usaha sadar, terencana dan terarah untuk mengembangkan potensi anak
didik baik intelektual, emosional, praktek, sosial, moral dan spiritual sehingga mereka mampu
mengelola fungsinya sebagai khalifatullah fil ‘ard, penggerak dan pemelihara kesatuan bangsa
serta pengembang nilai-nilai dan prinsip Ahlusunnah wal Jama’ah.10 LP Ma’arif NU sendiri
tumbuh atas keinginan, kebutuhan dan semangat dari masyarakat. Oleh karenanya, madrasah
dan sekolah di bawah naungan LP Ma’arif NU memiliki karakter khusus, yaitu karakter
masyarakat, diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat. Hal itu

8
Ali Rahim, “Nahdatul Ulama (Peran Dan Sistem Pendidikannya),” Jurnal Al-Hikmah 14, no. 2 (2013): 177.
9
Ali Rahim. 178
10
Endang Turmudi, Nahdlatul ’Ulama;, Ideology Politics and The Formation of Khaira Ummah, The Central
Board of The Ma’arif Education Institution of NU (Yogyakarta: LKiS, 2003). 137-145
dapat dilihat sejak awal masyarakat mendirikan madrasah selalu dilandasi oleh mental al
it’timad alannafsi.11

Sedangkan dalam buku standar pendidikan yang di keluarkan oleh LP Ma’arif pusat
menyebutkan bahwa satuan pendidikan Ma’arif memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan
lembaga lainnya diantaranya sebagai berikut: (a) Menjadikan paham Ahlussunah Waljama’ah
sebagai kekhasan dan keunggulan; (b) Memelihara suasana keagamaan di satuan pendidikan
dalam hal amaliyah ibadah, pergaulan, dan akhlakul karimah dalam perilaku sehari-hari sesuai
dengan ajaran Ahlussunah Waljama’ah; (c) Menekankan semangat penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan negara untuk
mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat; (d) Menjadikan Mabadi Khaira Ummah sebagai
landasan manajemen yang merefleksikan nilai-nilai kebenaran atau kejujuran (ash-shidq),
kepercayaan (al-amanah), keadilan (al-‘adalah), gotong royong (at-ta’awun), konsistensi
terhadap kebenaran (al-istiqamah), kerja keras, serta menjunjung tinggi nilai amal kerja dan
prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.12

Secara kurikulum madrasah dan sekolah di bawah satuan LP Ma’arif NU tetap mengacu
kepada isi kurikulum nasional, akan tetapi disisi lain LP Ma’arif NU memberikan kebebasan
seluas-luasnya kepada madrasah dan sekolah yang di naunginya untuk meningkatkan kualitas
dan mengembangkan pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, pada dasarnya lembaga-lembaga Pendidikan Ma’arif berasal dari
masyarakat dan untuk masyarakat. Maka dari itu, kemampuan untuk mengembangkan
pendidikannya pun tergantung pada masyarakat itu sendiri.13 Paradigma seperti inilah yang
terkadang memberikan kesemangatan tenaga pendidik di Ma’arif untuk terus mempertahankan
pengabdian mereka di satuan lembaga Ma’arif, meskipun dalam kenyataannya sebagian tenaga
pendidik yang ada di lembaga Ma’arif belum sepenuhnya mendapatkan kesejahteraan seperti
halnya fasilitas kurang memadai dan gaji yang sedikit.

LP Ma’arif NU memiliki fungsi dan tanggung jawab sebagai koordinasi lembaga-


lembaga pendidikan yang tumbuh dari masyarakat, dalam artian membimbing, membina,
mendorong, dan mengayomi, serta melindunginya sebuah yayasan di bawah naungan mereka
dengan badan hukum. Koordinasi yang dilaksanakan berupa pengkoordinasian bantuan-

11
A Siddiq, Khitthah Nahdliyyah (Diterbitkan bersama Khalista [dan] Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN NU) Jawa
Timur, 2005), https://books.google.co.id/books?id=TDKOAAAAMAAJ. 87-90
12
Standar Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (Jakarta: LP Ma’arif NU, 2014). 6-7
13
Syarif, “Dinamika Lembaga Pendidikan Ma,Arif NU Dalam Sistem Pendidikan Nasional.” 70
bantuan dari pemerintah, baik berupa uang, sarana prasarana, maupun bantuan tenaga pengajar
atau guru. LP Ma’arif memiliki alur koordinasi dalam pengelolaan madrasah yang di
bawahinya, diantaranya bisa dilihat dari gambar berikut:

Kurikulum yang dipakai oleh semua madrasah atau sekolah di bawah naungan LP
Ma’arif NU memakai kurikulum nasional. Dalam mata pelajaran agama sendiri terdiri dari lima
bidang mata pelajaran keagamaan, diantaranya mencakup: Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak,
Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Sedangkan untuk pelajaran umumnya
sama dengan sekolah formal pada umumnya. Hal itu karena keterikatannya dengan peraturan
pemerintah. Meskipun kurikulum mengikuti acuan nasional, akan tetapi LP Ma’arif berusaha
menambah kurikulum nasional tersebut dengan mata pelajaran ke-NU-an, dengan tidak
mengurangi jumlah mata pelajaran yang berlaku secara nasional.

Sikap tersebut memberi sinyal, bahwa Madrasah-madrasah Ma’arif memang bersedia


menerima pelajaran umum, namun menolak mengurangi pelajaran agama. Karena LP Ma’arif
NU berpandangan bahwa pendidikan berfungsi sebagai salah satu agent dan sarana bagi NU
untuk mentranfer nilai-nilai (transfer of values), baik berupa ilmu pengetahuan dan teknologi
maupun berupa ajaran, doktrin atau paham yang mereka anut, yakni ahlu al-sunnah wa al-
jama’ah. Pendidikan itu berakar dan tumbuh dari masyarakat (grass-roots). Oleh karena itu
pengembangan pendidikan pun harus berdasarkan pada nilai-nilai dan kebutuhan yang
diperlukan oleh masyarakat itu sendiri (community based education).14

Hal yang ditekankan dalam pelaksanaan pendidikannya adalah prinsip ibadah dan budi
pekerti atau akhlak, serta prinsip kesederhanaan. Dengan prinsip tersebut, dan dengan status
Lembaga Pendidikan Ma’arif NU yang merupakan suatu organisasi sosial yang bergerak dalam
organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan, berusaha membangun budi pekerti dan
akhlaq manusia dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam sumber pendanaanya sendiri lembaga di bawah naungan LP Ma’arif NU,


bersumber dari dana pemerintah (BOS), simpatisan dan dari LP Ma’arif pusat. Akan tetapi
pemberian dana dari LP Ma’arif pusat dalam realita di lapangan belum sepenuhnya merata ke
semua lembaga Ma’arif yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini tentunya menjadi
evaluasi yang perlu diperhatikan oleh para ketua Ma’arif dan PWNU setempat, agar
pengembangan lembaga di bawah naungan Ma’arif NU dapat merata. Mengingat sebagian
lembaga Ma’arif sedikit demi sedikit mengalami penurunan peserta didiknya dikarenakan
faktor pendanaan, sumber daya manusia yang profesional dan fasilitas yang memadai sangat
minim sekali didapat disebagian daerah.

Adapun jalur pendidikan sekolah formal yang ditangani oleh Lembaga Pendidikan
Ma’arif terdiri dari berbagai jenjang diantaranya : 1) jenjang pendidikan dasar, seperti MI/sD
dan MTs/SLTP, 2) jenjang pendidikan menengah, seperti MA, SMU, dan SMK, dan 3) jenjang
pendidikan tinggi, seperti universitas, sekolah tinggi, institute, dan akademi. Idenya lembaga
pendidikan formal tersebut mempunyai sistem dan kurikulum yang dikeluarkan oleh Lembaga
Pendidikan Ma’arif, namun selama ini sistem dan kurikulum yang diterapkan di lembaga
pendidikan formal tersebut adalah sistem dan kurikulum pemerintah yang ditambah dengan
mata pelajaran ke-NU-an.

Problematika Pendidikan LP Ma’arif NU

Dalam kehidupan manusia tidak akan lepas dari adanya berbagai problematika yang
akan dihadapinya. Adanya masalah tidak selamanya akan menjadi sebuah kendala bagi
manusia, jika manusia sadar akan masalah yang sedang dihadapi dan dilakukannya. Maka hal
itu akan menjadi sebuah evaluasi yang akan mengantarkan mereka kepada pencapaian kualitas.

14
Jamal Syarif, Fakultas Tarbiyah, and Dan Keguruan, “DINAMIKA LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NU DALAM
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL,” 2015. 75
Menurut Andree Feillard, pengelolaan yang tidak baik dan pemusatan konsentrasi para
aktifis pada kegiatan politik menjadi penyebab lemahnya sistem pendidikan NU. Sedangkan
KH. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa kegagalan pemenuhan target pengelolaan tersebut
dikarenakan dua kemungkinan, yaitu : Pertama, lemahnya manajemen yang berujung pada
stagnasi atau bahkan kebangkrutan secara perlahan. Kedua, tidak jelasan porsi NU yang
mempertegas adanya ikatan kepemilikan atau setidaknya koordinatif keorganisasian.
Hubungan koordinatif keorganisasian yang kabur merupakan variasi lain dari ketidak jelasan
tersebut yang kebanyakan menyelimuti pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan di bawah
naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU.15

Di satu sisi tidak sedikit dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut yang memiliki
kualitas bagus dan secara mandiri berhasil mengembangkannya sesuai dengan tuntutan
profesionalita manajemen. Tanpa meninggalkan nuansa kepesantrenan yang mengental dalam
komposisi kurikulumnya. Lembaga-lembaga pendidikan ini juga menawarkan berbagai
kelebihan yang menjadi produk andalan lembaga-lembaga pendidikan swasta maupun negeri
pada umumnya. Sementara di sisi lain, jumlah lembaga-lembaga pendidikan yang juga
menginduk pada Lembaga Pendidikan Ma’arif NU masih banyak yang mengalami kesulitan
dalam mengembangkan diri.

Secara historis sosiologis, paradigma pendidikan Nahdlatul ‘Ulama, tidak akan terlepas
dari paradigma teologi yang mendasarinya, karena pendidikan bagi organisasi memiliki
multifungsi sebagai sarana transfer of value, transfer of religious character, sekaligus sebagai
media kaderisasi organisasi. Sehingga model pendidikan pesantren yang kemudian
berkembang menjadi madrasah ini dianggap oleh sebagian pakar pendidikan sudah “out of
date”,“the second education” dan tidak lagi mempresentasikan pendidikan modern karena
cenderung mempertahankan nilai-nilai tradisional, konservatif dan ortodoks. Sebagaimana
Clifford Geertz yang memberikan atribut sangat negative terhadap kaum tradisionalis sebagai
anti modernisme dan contra-reformist organization.16

Philip H. Coombs dalam bukunya “What is Educational Planning?”, menyebutkan


empat permasalahan yang akan dilewati oleh dunia pendidikan, diantaranya: 1) Tahap
rekonstruksi, pendidikan dihadapkan pada permasalahan pengkondisian otoritas pendidikan,
desentralisasi pendidikan, serta perencanaan fasilitas pendidikan. 2) Tahap

15
Achmad Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama Di Tengah Agenda Persoalan Bangsa (Jakarta: Logos, 1994). 28.
16
Geertz Clifford, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). 461.
Ketenagakerjaan/Penyiapan SDM, pendidikan dihadapkan pada penyiapan tenaga kerja yang
terampil dan cakap (tenaga ahli), 3) Tahap Perluasan/Pengembangan pendidikan meliputi
pengembangan kurikulum, metode, pengujian, demokrasi pendidikan, serta adaptasi sistem
pendidikan dan ekonomi, 4) Tahap Inovasi, berhubungan dengan perencanaan pendidikan dan
strategi-strategi pengembangan.17

Secara umum problematika yang dihadapi lembaga pendidikan pada


umumnya termasuk oleh lembaga pendidikan Ma’arif NU memiliki beberapa kesamaan
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Philip H. Coombs di atas, antara lain; Pertama,
lemahnya manajemen penyelenggaraan pendidikan. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan
manajerial para penyelenggara pendidikan yang masih dipengaruhi oleh sumber daya manusia
yang terbatas dan pengaruh budaya pedesaan yang cenderung mengacu pada pola
manajement “alon-alon asal kelakon”.

Kedua, Bidang Sumber Daya Manusia/ tenaga Kependidikan. Masalah yang dihadapi
adalah masih adanya tenaga pendidik atau guru yang mengajar kurang sesuai dengan
kompetensi yang dimilikinya (miss-match and underqualified), disamping itu masih banyak
pula guru-guru swasta yang mempunyai peran ganda sebagai pengajar di lembaga pendidikan
lain, sehingga kurang bisa berperan secara maksimal. Kondisi tenaga kependidikan terutama
profesionalisme guru, masih perlu mendapat perhatian serius karena hal ini juga akan
berpengaruh terhadap out put pendidikan yang dihasilkan.18

Menurut hasil penelitian dari Kementerian Agama RI, bahwa semakin nampak
persoalan yang dihadapi madrasah adalah guru yang mengajar kurang sesuai dengan
kompetensi yang dimilikinya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika,
ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia, bahkan guru PAI mengajar Bahasa
Inggris. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dalam menyampaikan materi sehingga
mereka kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar
berkualitas. Diantara faktor yang menyebabkan kurangnya profesionalisme guru, sehingga
pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar
professional yang mampu mengantisipasi tantangan dalam dunia pendidikan.

17
“QUO VADIS PENDIDIKAN NAHDLATUL ’ULAMA; Membaca Problematika Pesantren Dan Madrasah - PCNU
Pati.”
18
Masyhuri AM, Problematika Madrasah (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001). 18.
Ketiga, Bidang Kurikulum, permasalahan klasik yang dihadapi pada umumnya adalah
ketidakmapanan kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum yang terlalu cepat dan kebelum
siapan tenaga-tenaga kependidikan menjadi faktor penyebab tidak jelasan arah dan target
kurikulum. Disisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut relevansi
kurikulum pendidikan dengan dunia kerja. Out put yang dihasilkan pendidikan dipertanyakan,
apalagi jika dihadapkan pada permasalahan IPTEK.

Keempat, Bidang Sarana dan Prasarana. Pemenuhan sarana dan prasarana serta fasilitas
tidak akan lepas dari pendanaan yang stabil. Problem yang terjadi di sebagian pendidikan
Ma’arif tidak lepas dari adanya dikotomi dalam pendidikan antara Depag dan Diknas, sebab
elemen pendidikan agama (Depag) yang ada selama ini sudah terlampau lama mengalami
proses ketidak-adilan dalam pengalokasian anggaran pendidikan. Akibatnya, seluruh infra
stuktur dan supra struktur pendidikan agama (Depag), dalam hal ini tampak jelas pada
madrasah-madrasah kondisinya begitu memprihatinkan dibandingkan saudara kembarnya
pendidikan umum. Pemerintah di dalam memberikan anggaran terhadap pendidikan agama
(Depag) jauh lebih kecil dibanding dengan pendidikan umum (Diknas), padahal dana
Departemen Agama yang kecil itu tidak hanya untuk pendidikan saja, tetapi dibagi-bagi untuk
kebutuhan selain pendidikan. Akibatnya, fasilitas dan sarana pendidkan di madrasah secara
umum tidak sebagus yang dimiliki di sekolah umum.19

Kelima, masalah Networking/pengembangan jaringan. Secara kuantitas, jumlah warga


NU sangat besar dan tersebar dalam berbagai bidang kehidupan. Namun sangat disayangkan,
potensi yang sangat luar biasa ini belum bisa dikelola secara baik dalam sebuah networking
atau jaringan organisatoris. Seharusnya LP Ma’arif bisa menjembatani lembaga yang
dinaunginya dengan memberikan jaringan dan kerjasama seluas-luasnya dengan lembaga-
lembaga lain yang sudah maju. Tujuannya agar bisa mengangkat kualitas lembaga yang
dinaunginya. Terutama lembaga Ma’arif yang ada di pedesaan. Mengingat madrasah di bawah
Ma’arif banyak berdiri di pedesaan, karena memang dilatar belakangi oleh masyarakat.

Daftar Pustaka

Ahid, Nur. “Problem Pengelolaan Madrasah Aliyah Dan Solusinya.” ISLAMICA: Jurnal Studi
Keislaman 4, no. 2 (2014): 336. https://doi.org/10.15642/islamica.2010.4.2.336-353.
Ali Rahim. “Nahdatul Ulama (Peran Dan Sistem Pendidikannya).” Jurnal Al-Hikmah 14, no.
2 (2013): 174–85.
AM, Masyhuri. Problematika Madrasah. Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag
19
Nur Ahid, “Problem Pengelolaan Madrasah Aliyah Dan Solusinya,” ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 4, no. 2
(2014): 336, https://doi.org/10.15642/islamica.2010.4.2.336-353. 343
RI, 2001.
Clifford, Geertz. Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya,
1981.
Gufron, M. “Strategi Pengembangan Madrasah Di Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif
Nahdlatul Ulama Kota Salatiga.” INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan,
2012. https://doi.org/10.18326/infsl3.v6i1.97-118.
Muzadi, Achmad Hasyim. Nahdlatul Ulama Di Tengah Agenda Persoalan Bangsa. Jakarta:
Logos, 1994.
Muzadi, Achmad Hasyim dkk. Profil Dan Direktori Nahdlatul Ulama Dari Masa Ke Masa.
Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2009.
N. Dunn, William. Pengantar Analisis Kebijakan. Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 2000.
https://www.academia.edu/38361189/_William_N_Dunn_Pengantar_Analisis_Kebijaka
n_Pul_pdf.
“QUO VADIS PENDIDIKAN NAHDLATUL ’ULAMA; Membaca Problematika Pesantren
Dan Madrasah - PCNU Pati.” Accessed October 17, 2022. https://pcnupati.or.id/quo-
vadis-pendidikan-nahdlatul-ulama-membaca-problematika-pesantren-dan-madrasah/.
“Sejarah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU - Keluarga Mahasiswa Nahdlatul ’Ulama.”
Accessed October 18, 2022. https://kmnu.or.id/sejarah-lembaga-pendidikan-maarif-nu/.
Siddiq, A. Khitthah Nahdliyyah. Diterbitkan bersama Khalista [dan] Lajnah Ta’lif Wan Nasyr
(LTN NU) Jawa Timur, 2005. https://books.google.co.id/books?id=TDKOAAAAMAAJ.
Standar Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama. Jakarta: LP Ma’arif NU, 2014.
Syarif, Jamal. “Dinamika Lembaga Pendidikan Ma,Arif NU Dalam Sistem Pendidikan
Nasional.” Jurnal Syarif, 2015, 1–86.
Syarif, Jamal, Fakultas Tarbiyah, and Dan Keguruan. “DINAMIKA LEMBAGA
PENDIDIKAN MA’ARIF NU DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL,” 2015.
Turmudi, Endang. Nahdlatul ’Ulama;, Ideology Politics and The Formation of Khaira
Ummah, The Central Board of The Ma’arif Education Institution of NU. Yogyakarta:
LKiS, 2003.

Anda mungkin juga menyukai