Anda di halaman 1dari 80

Na’rif

Mari Peduli Pendidikan Kita

Oleh
Drs. H.M. Nadjid Muchtar, MA
Ketua PP LP Ma’arif NU

Bahwa bidang pendidikan merupakan primadona Nahdlatul Ulama (NU)


sudah tidak lagi diperdebatkan. Baik syuriah maupun tanfidziyah di
semua tingkatan struktural organisasi, semua banom, lembaga dan lajnah,
bahkan warga nahdhiyyin pada umumnya, secara kolektif atau perorangan,
telah tahu, sadar dan sepakat terhadap pentingnya NU terlibat secara
langsung dalam memaksimalkan fungsi dan peran kelembagaan pendidikan.
Yang belum dilakukan adalah action atau bekerja riil untuk bidang
pendidikan.
Hingga kini, pendidikan lebih banyak dibicarakan pada forum yang
bertujuan meluaskan wacana an sich, bukan pada forum yang diproyeksikan
untuk melisting daftar pekerjaan, sebagai upaya memperbaiki bidang
pendidikan. Sebab, baik secara kelembagaan, manajemen, pembelajaran
(didaktik-metodik) maupun ketenagaan pendidikan di lingkungan NU, masih
perlu mendapatkan penyegaran kembali untuk mendongkrak mutunya agar
lebih baik di masa yang akan datang.
Dalam rangka penerbitan jurnal Ma’arif edisi VIII kali ini, tak terbatas dari
kalangan dan kelompok manapun yang concern pada pendidikan, Pimpinan
Pusat LP Maarif NU menghimbau kembali agar kita dapat menyisihkan
waktu, rizki dan kepintaran kita masing-masing untuk “mendewasakan”
(baca: meningkatkan mutu) pendidikan NU. Dewasa dalam arti yang
sesungguhnya, yakni mandiri, kuat, dan memiliki jati diri.
Di tengah-tengah hiruk-pikuk politik yang tidak mungkin terelakkan, kami
ingin mengingatkan, bahwa kiranya program peningkatan mutu pendidikan,
jangan sampai terabaikan. Sumber Daya Manusia (human resources) yang
baik, sudah pasti dilahirkan dari proses pendidikan yang baik, terutama dari
lembaga pendidikan yang baik-baik juga. Oleh karena itu, derap-langkah
dan gerak-maju NU pun tak wajar kiranya jika tidak menempatkan
penggarapan bidang pendidikan pada posisi sentral, urgen dan sebagai
prioritas utama.
Realitas yang sesungguhnya tentang pendidikan di lingkungan NU yang
diperoleh dari hasil visiting, monitoring dan evaluasi internal PP LP Maarif
NU menunjukkan, bahwa sebagian besar masih berada pada level di bawah
menengah. Banyak pula sekolah, madrasah dan jalur pendidikan lainnya di
lingkungan NU yang memprihatinkan. Mereka tidak tersentuh oleh berbagai
bentuk program apa pun, termasuk program atau proyek yang dijalakan
pemerintah selama reformasi ini.
Marilah kita meringankan langkah untuk menengok lahan kependidikan NU.
Apa pun kapasitas dan posisi kita, seluruhnya tetap ditunggu perannya. PP
LP Maarif NU ingin sekali menjembatani semua kalangan yang concern
dalam dunia pendidikan untuk turut memperbaiki mutu pendidikan NU.
Oleh karena itu, PP LP Maarif NU siap untuk menjembatani para hartawan
yang akan menyumbangkan miliknya, para politisi, birokrat dan berbagai
kalangan lainnya yang merasa prihatin dengan lemahnya kependidikan NU
untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan NU.
Selama mengurus PP LP Maarif NU, kami telah memotret wajah
kependidikan NU yang makin hari makin berat bebannya. Ini riil di lapangan.
Fakta yang membutuhkan agar kita semua dapat berpartisipasi untuk
membangkitkan kembali semangat para penyelenggara pendidikan di
daerah-daerah, juga agar kita semua dapat terlibat secara langsung
memberdayakan lembaga pendidikan. Sebagai penerima amanat PBNU
dalam pengembangan pendidikan, penerbitan Jurnal Ma’arif merupakan
media untuk sharing tanggung jawab agar kelak di kemudian hari lembaga
pendidikan Ma’arif dan pesantren-pesantren, tidak hanya menjadi catatan
sejarah dari perjalanan Nahdlatul Ulama, melainkan juga bisa memberikan
sumbangsih bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) generasi
bangsa. 
Khazanah
NU dan Perkembangan Pendidikan Nasional:
Membangun Indonesia Membangun Tradisionalitas

Oleh
Ahmad el Chumaedy
Didi Ahmadi

Pendidikan adalah aspek yang paling menentukan bagi kemajuan atau


kemunduran sebuah negara-bangsa (nation-state), bahkan suatu peradaban
(civilization). Islam di Indonesia hadir sebagai agama mayoritas. Karena
posisinya sebagai mayoritas, maka Islam kemudian diletakkan sebagai
barometer baik perkembangan ataupun kemunduran Indonesia secara
keseluruhan. Tanpa berpretensi menggeneralisasi persoalan, tak ayal lagi
tanggung jawab besar kemajuan bangsa pun dilekatkan kepadanya.
Bagaimana pendidikan yang diciptakan oleh Islam, bagaimana Islam
mencetak kader-kadernya, akan seperti itulah wajah Indonesia terlihat.
Kemana pun Islam membawa umatnya, akan ke situlah arah sejarah
Indonesia.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa (ormas) terbesar di
Indonesia, dengan demikian memperoleh porsi yang sama sebagaimana porsi
yang diberikan kepada Islam atas kemajuan atau kemunduran Indonesia ini.
Meskipun NU sama sekali bukan gambaran satu-satunya wajah Islam
Indonesia, namun posisinya sebagai ormas terbesar, menyebabkannya tidak
bisa lari begitu saja dari tanggung jawab yang kadung melekat pada tubuh
besarnya. Di sinilah NU diuji kapasitas dan kapabilitasnya sebagai pembawa
umat terbesar Indonesia. Sekali salah melangkah, sorotan dan banjir cacian
tak bisa ditampik, mendarat tepat pada ulu hatinya. Namun, NU tetap eksis
‘melebarkan sayap’, bahkan salah satu putra mahkotanya pernah
menduduki kursi nomor satu Indonesia. Apakah dengan ini berarti NU telah
barhasil menjalankan tugasnya sebagai pengemban dan penentu gerak
sejarah Indonesia? Menjawab pertanyaan ini, tentu saja tidak semudah
membalikkan telapak tangan.
Ketika disebut NU, seketika akan terbayang dalam benak kita, sebuah
komunitas besar yang beratributkan sarung, kopyah, dan kitab kuning.
Sebuah komunitas tradisional yang terkesan ‘tidak mau menikmati
kemodernan’. Demikian juga halnya dengan praktek pendidikan yang
dijalankannya. Jika mendengar pendidikan NU, maka spontan akan
terbayang dalam benak kita sebuah pendidikan tradisional yang bernama
pesantren yang sebagian besar santri (peserta didik)-nya kurang atau tidak
mengakrabi modernitas. Santri NU, dalam praktek pendidikannya tidak
memakai celana bahan, dasi dan tas nyentrik, sebagaimana sekolah-sekolah
lain setingkatnya. Peserta didik di lingkungan pesantren-pesantren NU
justru menggunakan sarung, tentunya tanpa dasi dan tas (ia menenteng
langsung setumpuk kitab kuningnya dengan gagah), bahkan tidak sedikit
yang menjalankan proses pendidikannya tanpa kursi belajar. Suasana
belajar-mengajar yang sering dijumpai cukup hanya dengan lesehan.
Dengan formasi tempat duduk seperti inilah, kemudian sering disebut
pendidikan sistem bandongan, pasaran atau sebutan lainnya. Pendidikan
yang dipraktekkan adalah pendidikan klasik--konsentrasi penuh pada kitab-
kitab salaf Islam dan ukhrawi oriented. Model kurikulum pendidikan yang
tidak punya (baca: sepi) orientasi profesi dan keterampilan kerja bagi
peserta didiknya. Citra tradisional inilah yang sejak sekian lama dilekatkan
pada pendidikan di tubuh NU. Apakah benar demikian? Anggapan seperti ini
tidak sepenuhnya benar, apalagi ketika melihat banyak kader NU yang
menduduki tempat-tempat penting pada beberapa posisi ‘penentu’
kemajuan bangsa. Meskipun pada saat yang sama, persepsi itu juga tidak
sepenuhnya salah.
Sejarah telah membuktikan, betapa figur-figur besar yang terlahir dari
rahim NU--tidak perlu menyebutkan nama--tidak terhitung jumlahnya.
Semenjak zaman perjuangan kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, rezim Orde
Lama, rezim Orde Baru, hingga sampai saat ini, kiprah kader-kader NU telah
banyak memberi warna dalam menentukan arah-gerak kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Pendidikan NU dalam sejarah perjalanannya mengalami pembaharuan oleh
KH. Wahid Hasyim--tokoh ini kemudian dikenal sebagai anggota Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) bagian Ma’arif pada tahun 1940. Idealisasi
pembaharuan, sebagai upaya perbaikan sistem pesantren, merupakan buah
tangan dari hasil perjalanannya ke Timur Tengah. Namun, idealisasi itu
tidak bisa diejewantahkan dengan seketika. Kendatipun demikian, berkat
niat yang tulus yang dibarengi dengan perjuangan yang gigih, pada tahun
1962, tepatnya saat musyawarah tingkat wilayah PB NU bagian Ma’arif
berlangsung di Bandung Jawa Barat, usaha pembaharuan pendidikan yang
diperjuangkan oleh KH. Wahid Hasyim berhasil disahkan, bahkan akhirnya
diterima sebagai model pendidikan yang akan diterapkan pada lembaga-
lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU, terutama yang
berbentuk madrasah.
Pada kurun pembaharuan inilah, terjadi pergeseran penting di lingkungan
pendidikan NU. Materi pembelajaran mulai tidak melulu berorientasi pada
penguasaan pengetahuan agama, dengan sumber pokoknya dari kitab
kuning. Materi pelajaran umum mulai dimasukkan ke dalam sistem
pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan di
bawah naungan NU. Model pendidikan seperti ini, tepatnya berbentuk
pendidikan campuran, yang komposisinya terdiri dari 70 % pendidikan agama
dan 30 % pendidikan umum (pendidikan yang memperhatikan kebutuhan
modernitas). Pendidikan NU tidak lagi agama an sich, ia mengadopsi juga
pendidikan-pendidikan Barat-sekuler, seperti bahasa Inggris, Ilmu Ukur,
Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial--yang tentunya di
sana-sini banyak dilakukan penyesuaian dengan konteks ke-Indonesia-an.
Bahkan, dalam ilmu-ilmu sosial, kemudian tidak sedikit kader-kader NU
yang terpengaruh oleh faham-faham, atau isme-isme dari perkembangan
ilmu sosial Barat yang nota bene non-Muslim. Dengan begitu, NU secara
sadar ataupun tidak telah mengkarakterisasikan model pendidikannya
sebagai pendidikan agama berciri khas umum, bukan sebaliknya, pendidikan
umum bercirikan agama, seperti yang dewasa ini menggejala di madrasah-
madrasah. Ini membuktikan, bahwa NU tidak lagi sepenuhnya tradisional.
Dalam tradisionalitasnya justeru menyimpan segudang muatan bahan baku
modernitas, bahkan postmodernitas. Pada saat inilah pandangan simplistis
yang menuding NU tidak bergeser dari tradisionalitasnya, atau dengan lain
kata menolak modernitas, tidak lagi dibenarkan.
Sebagai bentuk kesungguhan untuk meningkatkan mutu pendidikan, pada
penutup tahun 2003, tepatnya tanggal 30 Desember 2003 lalu, Pengurus
Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (PP. LP. Ma’arif NU)
mengadakan sebuah seminar buku publikasi NU yang bertajuk, “NU: Dari
Ulama untuk Indonesia”. Dalam seminar tersebut, salah seorang pembicara,
Aceng Abdul Azis Dy, yang tak lain adalah Sekjen PP. LP. Ma’arif NU sendiri,
memfokuskan tulisannya seputar dunia pendidikan NU. Ia mengangkat tajuk,
“Kiprah Nahdlatul Ulama dalam Bidang Pendidikan”.
Sebagai predikat ormas terbesar Islam di Indonesia, secara otomatis beban
moral untuk mengemban tugas berat bangsa, mau tidak mau menjadi
tanggung jawabnya . Melihat tuntutan demikian, NU kemudian semakin giat
melakukan perubahan internal di tubuh besarnya. Upaya ke arah itu, salah
satunya adalah melalui pengembangan bidang pendidikan. Langkah
strategis ini diambil mengingat pendidikan bagaimanapun juga adalah
sektor yang paling menentukan bagi arah dan gerak-maju suatu bangsa,
termasuk tentu saja bangsa ini. Oleh karena itu, sebagai ormas yang
memiliki kepedulian penuh atas perkembangan bangsa, NU lalu
menempatkan peningkatan mutu pendidikan sebagai konsentrasi utamanya.
Indikasi keseriusan NU terhadap dunia pendidikan bisa diperhatikan dari
setiap digelarnya forum muktamar ke muktamar selanjutnya. Hingga
muktamar ke-30 (tahun 1999) yang digelar oleh NU di Lirboyo, Kediri, sektor
pendidikan tetap dijadikan mainstream. Dalam konteks inilah, makalah
yang ditulis Aceng Abdul Azis dirasakan relevansi dan ketepatannya.
Bahkan, dalam kondisi demikian, letak strategis Lembaga Pendidikan
Ma’arif NU mendapatkan legitimasi yang sepatutnya.
Dalam makalahnya, Aceng menyebutkan bahwa tuntutan format guideline
baru yang akan dijadikan pegangan hidup, baik bagi individu (sebagai
pribadi yang otonom) ataupun untuk totalitas kehidupan berbangsa dan
bernegara, mutlak diperlukan. Letak urgensinya mulai dirasakan terlebih
paska krisis multidimensi yang mendera bangsa Indonesia sejak paruh akhir
tahun 1997. Musibah nasional itupun tak ayal lagi menyumbulkan kesadaran
akan pentingnya tuntunan komprehensif sebuah pandangan hidup
(weltanschauung) anak bangsa.
Kesadaran ini lalu menjadi awal dimulainya upaya penyegaran sektor
pendidikan. Dalam konteks ini, bangsa ini dituntut untuk bukan hanya
berani meninggalkan format pendidikan yang telah sekian lama sejatinya
tidak menciptakan dan menyuguhkan solusi atas berbagai ketimpangan
bangsa, melainkan juga ‘berani’ menjelajahi belantara konseptual untuk
menemukan sistem dan model pendidikan baru yang lebih segar dan
kontekstual dengan perkembangan zaman. Sebab, dalam kenyataannya
pendidikan selama ini acap kali hadir lebih sebagai kedok di mana wajah
sesungguhnya adalah praktek ‘pembodohan’, praktek penghapusan hati
nurani.
Dalam kondisi inilah, NU kemudian terpanggil untuk turut berupaya
merekonstruksi realitas demikian. Sebagai proses ikhtiar untuk mencari
sistem dan model pendidikan yang bermutu, solutif, dan kontekstual, tentu
saja perlu mempertimbangkan kecenderungan perubahan yang terjadi
sekarang dan akan datang. Kita membutuhkan model pendidikan yang
kontekstual, demikian menurut Aceng.

NU dan Perhatiannya terhadap Dunia Pendidikan Nasional


Sejauh mana NU sungguh-sungguh menyiapkan dan memperhatikan
pendidikan bangsa? Sejak awal, bahkan sejak cikal-bakal berdirinya NU,
masih menurut Aceng, pendidikan adalah sektor paling penting yang selalu
dikedepankan.
Sebelum mengenakan nama NU secara definitif, kaum Nahdliyyin (sebutan
bagi warga NU) telah membuat komunitas-komunitas perjuangannya dengan
beberapa topik atau spesifikasi pergerakan. Semuanya bermula dari
pendidikan pada masing-masing bidang. Pada tahun 1916, didirikan sebuah
perkumpulan yang diberi nama Nahdlatul Wathan. Komunitas ini terutama
sebagai refleksi dari kesadaran politik umat. Selang dua tahun kemudian,
pada tahun 1918, didirikan Nahdlatul Tujjar, yang bertujuan untuk
menyumbulkan kesadaran ekonomi umat. Menyusul kemudian pada tahun
1924, dibentuklah Tashwirul Afkar , sebagai refleksi kuatnya budaya
berpikir warga nahdliyin. Pada gilirannya, sebagai akumulasi dari
kesemuanya didirikanlah apa yang kini kita kenal dengan Nahdlatul Ulama
pada tahun 1926, sebagai gerbong besar yang mewadahi keseluruhan
gerakan yang dibentuk sebelumnya.
Secara spesifik, sejarah prestisius di bidang pendidikan telah diukir NU
sejak satu tahun paska pendiriannya, tepatnya pada muktamar ke-2 (1927).
Di sini muktamirin mengagendakan penggalangan dana nasional untuk
membangun madrasah dan pesantren sebagai sarana pendidikan. Tahun
1928, pada saat berlangsungnya muktamar ke-3, muktamirin memprakarsai
gerakan peduli pendidikan nasional. Kemudian dalam muktamar ke-4
disepakati pembentukan Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) untuk
menangani bidang pendidikan NU. Sebagai puncaknya adalah dengan
dibentuknya Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama pada muktamar
ke-20 (1959) di Jakarta. Lembaga ini kemudian menjadi sentrum bidang
pendidikan bagi PB NU, dengan wilayah sosialisasinyanya yang tersebar
hampir di seluruh penjuru tanah air.
Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa betapa kepedulian terhadap
pendidikan sejak lama telah menjadi perhatian utama NU. Sehingga dapat
dikatakan, bahwa sejarah pergerakan NU adalah sejarah pendidikan
Nusantara, karena intensitas dan cakupannya yang teramat luas di bidang
pendidikan.
Dalam konsep pendidikannya, sebagaimana tertuang dalam hasil muktamar
NU ke-30 (1999), disebutkan bahwa pendidikan bagi NU adalah upaya
membangun individu untuk menjadi manusia yang aktual, yang mampu
mengemban fungsi khalifah di bumi. Ciri khas yang melekat padanya
adalah, berupa komitmennya terhadap ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Sekalipun demikian, NU melalui PP. LP Ma’arif lahir untuk menyuguhkan
pendidikan dengan karakternya yang populis, Islami, dan berkualitas.
NU memandang bahwa sistem pendidikan yang telah sekian lama dianut dan
dipraktekkan di Indonesia adalah bentuk pendidikan yang menitik tekankan
pada proses transfer, baik pengetahuan maupun teknologi an sich. Hal ini
bagi NU justru tidak lebih hanya akan merendahkan martabat kemanusiaan
peserta didik itu sendiri. Karena proses transfer, pada satu sisi, hanya
menempatkan peserta didik sebagai tabung yang akan diisi pengetahuan dan
teknologi. Dengan lain kata pola demikian meletakkan murid sebagai objek
yang pasif (the education of bank system). Sementara pada lain sisi, guru
hanya dipergunakan tidak lebih sekedar instrumen pemindah (penghubung,
katalis) pengetahuan dan teknologi kepada tabung (murid-murid, anak
didik). Sebuah hubungan yang sama sekali tidak manusiawi, cenderung
mekanistik dan kaku. Manusia diperlakukan tak ubahnya seperti mesin dan
alat-alat produksi lainnya yang hanya diambil nilai gunanya. Padahal sisi
kehidupan manusia tidak homogen, justru pada dirinya tersimpan multi sisi.
Oleh karena itu, perlakuan terhadapnya haruslah juga multi perspektif.
Maka, hanya dengan inilah manusia yang seutuhnya dapat dipahami dan
dapat ditangani.
Dalam praktek pendidikannya, NU menempatkan anak didik sebagai subjek
yang aktif, sebagai pencari pengetahuan dan pembentuk dirinya, yaitu
melalui pengaktualisasian dan pengembangan seluruh potensi kemanusiaan
yang dimilikinya (kognitif, psikomotorik dan afektif). Sedang guru dalam
hal ini diposisikan bukan sekedar pengajar suatu mata pelajaran tertentu,
melainkan yang paling penting adalah bertanggung jawab sebagai pendidik
dalam membimbing perkembangan kepribadian, moralitas dan spiritualitas
anak didik. Lebih jauh lagi, bagi NU pendidikan adalah upaya memfasilitasi
anak didik untuk menjadi dirinya sendiri yang akan hidup dan membangun
masyarakatnya kelak dalam kehidupan masyarakat sipil yang beragam.
Melalui konsep pendidikannya, NU merekomendasikan, bahwa pendidikan
nasional (seharusnya) mengembangkan demokratisasi pendidikan
(pendidikan dari, oleh dan untuk rakyat), memberi pengakuan pada
kenyataan yang multikultural, menghargai pendidikan lokal (menciptakan
pendidikan kontekstual), dan menghapus dikotomi antara pendidikan agama
dan umum.

Pendidikan NU dalam Konteks Pendidikan Nasional


Pengembangan pendidikan keagamaan semula dilakukan secara swakelola
oleh masyarakat melalui perkumpulan atau organisasi. Ormas seperti
Muhammadiyah, NU, dan Jam’iyatul Wasliyah telah mencoba
mengaplikasannya dalam berbagai bentuk: Pesantren, Diniyah dan
Madrasah, baik pendekatan pembelajaran individual, klasikal maupun
sistem terbuka yang diselenggarakan dengan paruh waktu ataupun purna
waktu (full-day).
NU sendiri, berdasarkan laporan Departemen Agama RI tahun 2001, telah
menginventarisasai sekitar 12.817 pesantren. Sedangkan berdasarkan data
kantor pusat LP. Ma’arif NU, dari sembilan wilayah provinsi yang telah
diverifikasi, 12 provinsi lainnya belum tergarap, lembaga pendidikan NU
(Ma’arif) untuk tingkat dasar dan menengah telah mencapai jumlah 12.000
sekolah atau madrasah. Selain itu, terdapat pula sebanyak 79 Perguruan
Tinggi NU dan sebanyak 6.000 TK/RA (dikelola PP Muslimat NU). Jumlah
yang sangat besar ini tentunya memiliki pengaruh yang besar pula atas
jalannya pendidikan nasional secara keseluruhan.
Dalam khazanah nasional, lebih lanjut Aceng menegaskan, madrasah
merupakan fenomena budaya yang telah berusia lebih dari satu abad.
Bahkan bukan suatu hal yang berlebihan, madrasah telah menjadi salah satu
wujud entitas budaya Indonesia yang dengan sendirinya menjalani proses
sosialisasi yang relatif intensif. Ia telah menjadi arus utama pembangunan
bangsa sampai abad ke-21 ini.
Pada zaman kolonial Belanda, pendidikan Islam berada dalam fase awal,
yaitu melakukan eksperimentasi materi dan metodologi pembelajarannya.
Lembaga pesantren merupakan cikal-bakal format pendidikan Islam.
Kemudian ia melakukan improvisasi dengan sistem sekolah ala Belanda. Ada
yang mengambil utuh kurikulum Belanda, lalu menambahkan jam pelajaran
agama dan ada pula yang hanya memakai sistem sekolah serta metodologi
pembelajarannya saja, sementara materinya tetap pelajaran agama.
Sementara pada jaman penjajahan Jepang, urusan pendidikan agama Islam
ditangani secara khusus. Pemerintah Jepang membuat relasi positif dengan
kiyai dan ustadz, yang kemudian mendirikan Kantor Urusan Agama
(shumubu). Pada tahun 1946, ia diubah menjadi Kementrian Agama
(sekarang dikenal dengan Departemen Agama) yang mengelola pendidikan
agama baik di sekolah umum ataupun di sekolah agama itu sendiri. Hal ini
kemudian dipertahankan dari Orde Lama (Sukarno), Orde Baru (Suharto),
sampai sekarang.
Pada konteks pengembangan madrasah, NU pernah melewati jalan panjang
dalam pencarian bentuk, pendirian, dan pengembangannya. Madrasah
tertua yang telah ada adalah madrasah Tashwirul Afkar dan madrasah
Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh KH. Wahab Chasbullah dan KH. Mas
Mansyur. Saat itu pendidikan di madrasah sudah memakai sistem klasikal
dan sudah mengajarkan mata pelajaran umum meskipun terhitung langka
(bisa dikatakan tidak ada), karena baru HIS, sekolah kelas I, kelas II, dan
lain-lain, yang nota bene adalah sekolah Belanda, yang telah
mempraktekkan sistem itu. Perhatian NU atau Ma’arif saat itu, baru
terpusat pada penyelenggaraan dan pembinaan madrasah dan pondok
pesantren yang melulu ‘mengutamakan pendidikan dan pelajaran agama’.
Baru pada tahun 1927, pada muktamar NU ke-2, perhatian terhadap
madrasah semakin besar. Perhatian tersebut bahkan sampai ke masalah
biaya pembangunan madrasah, anggaran dan metode pendidikan di
kalangan NU. Perhatian intensif terhadap madrasah atau sekolah NU
semakin terfokus, dengan dijadikannya Ma’arif sebagai badan khusus yang
menangani bidang pendidikan.
Dari sudut historis pendidikan madrasah di lingkungan NU, tampaklah bahwa
peran NU dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah tidaklah kecil.
Bahkan langkah kategorisasi dan penjenjangan madrasah yang dilakukan NU
merupakan inspirasi bagi pembakuan penjenjangan pendidikan madrasah
(juga pendidikan umum) akhir-akhir ini, sebagaimana diterapkan oleh
Sistem Pendidikan Nasional. Dari uraian di atas dapat kita tangkap sebuah
kesimpulan, bahwa NU sejak semula telah memiliki inisiatif dan niat mulia
untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertuang, dan
menjadi tujuan bangsa, dalam UUD 1945.

NU dan Partisipasi Program Pemerintah


Ada anggapan bahwa NU punya kecenderungan untuk menempatkan dirinya
sebagai oposisi pemerintah, terutama sejak lahirnya pemerintahan Orde
Baru (ORBA) di bawah tangan besi Soeharto. Apakah benar? Persoalan
tersebut harus ditilik dari berbagai perspektif agar terbangun sebuah
kesimpulan yang akurat. Dalam hal-hal tertentu, anggapan demikian
memang tidak terlalu salah, bahwa pada taraf tertentu, NU memosisikan
diri sebagai oposisi pemerintah. Sebab justru dengan kehadiran oposisi--
sebagai bentuk eksternal check--di panggung kekuasaan, akan
memungkinkan tetap berjalannya demokratisasi. Dengan demikian akan
tetap terjaga budaya kritis yang mampu membatasi despotisme yang acap
kali dipraktekkan penguasa. Inilah yang barangkali disebut oposisi
konstruktif. Namun jangan salah juga, kita harus jujur, bahwa untuk
beberapa hal lain, NU bahkan bersikap kooperatif dengan pemerintah,
apalagi ketika putra NU sendiri yang berada pada tampuk kekuasaan.
Dalam konteks pendidikan, meskipun NU tetap melaksanakan otonomisasi
pendidikannya lewat pesantren-pesantren (bahkan hal ini tidak
bertentangan dengan keinginan secara umum dari pemerintah), pada saat
yang sama NU secara formal —lewat LP Ma’arifnya— juga ikut
mensukseskan program pemerintah, yaitu wajib belajar (Wajar) sembilan
tahun. Ini dibuktikan dengan sangat banyaknya lembaga pendidikan Ma’arif
—khususnya tingkat dasar dan menengah— didirikan di seluruh Indonesia.
Lebih jauh dari itu, dengan lembaga-lembaga pesantren yang didirikan oleh
para ulama, NU telah berpartisipasi dalam upaya menjaga umat dari
kemerosotan moral dan prilaku deviatif manusia Indonesia pada umumnya--
sebuah pola perilaku yang berakibat pada timbulnya budaya korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) dan pada akhirnya mengkristal menjadi krisis
multidimensi. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Menteri Agama RI Prof. Dr.
H. Said Aqil Husein Almunawwar, dalam pembukaan Raker LP Ma’arif NU
tahun 2002 di Malang.
Persoalan desentralisasi pendidikan yang akhir-akhir ini menjadi kebijakan
pemerintah pusat untuk menciptakan pendidikan yang lebih demokratis dan
berorientasi pada penguasaan kompetensi yang kontekstual bagi peserta
didik, tak luput dari perhatian NU. Kalau pada umumnya desentralisasi
pendidikan ini baru dilaksanakan paska kebijakan Otonomi Daerah (OTDA)
dari Pemerintah Pusat, NU justru sudah sejak mula pendiriannya telah
menggelar praktek desentralisasi. Pesantren-pesantren dan lembaga
pendidikan Ma’arif telah lahir dan mengelola seluruh manajerial praksis
pendidikannya secara swakelola, yaitu melalui inisiatif kreatif pemilik
yayasan, ketua lembaga, dan masyarakat sekitar sebagai orang tua (wali)
dari anak didik. Kelahirannya tanpa dibidani oleh Surat keputusan atau
uluran bantuan finansial dari Pemerintah Pusat. Dengan demikian,
desentralisasi (sesungguhnya) adalah budaya murni yang lama terpelihara di
lingkungan NU. Oleh karena itu, wajar jika NU lalu pantas dijadikan sebagai
teladan oleh Pemerintah Pusat dalam penurunan kebijakan desentra-
lisasinya. Inilah yang barangkali disebut partisipasi sejati.
Meskipun agak telat, tidak terlalu salah, jika pemerintah menurunkan
kebijakan desentralisasi pendidikan dan penerapan manajemen berbasis
sekolah (MBS) serta berbagai konsep lanjutannya. Karena dengan inilah
kemandirian, kemajuan, dan mutu out-put yang memiliki kompetensi dari
sekolah dan madrasah, akan tercipta. Dari sini akan lahir sebuah generasi
yang sadar diri, punya kapabilitas dan kompetensi mutu. Pada
keseluruhannya akan terbangun sebuah generasi yang qualified dan
menghadirkan kesejahteraan bersama seluruh bangsa dengan mengentaskan
manusia Indonesia dari multikrisis yang dideritanya.
Partisipasi NU sendiri dalam penyuksesan implementasi Mana-jemen
Berbasis Sekolah yang digalakan pemerintah, sangat besar. Dalam banyak
kasus, lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah koordinasi NU,
telah mengelola segalanya oleh sendiri secara otonom, dengan keterlibatan
penuh masyarakat sekitar sebagai stakeholders dalam kesuksesan proses
pendidikan. Walaupun, harus juga diakui bahwa, pada saat yang sama, NU
belum bisa mewujudkan suatu sistem manajerial yang profesional dan
mumpuni. Dalam dunia pendidikan, hal ini akan berimplikasi terhadap
kekurangan mutu out-put. Sehingga kemudian banyak dijumpai lulusan
pendidikan NU yang kurang dibekali dengan ketrampilan profesi yang
memadai. Ia akan kembali dan kembali lagi pada kehidupan seputar agama,
seputar tahlil, jadi imam di mushalla, mengajar ngaji anak-anak kampung
dan lain sebagainya, meskipun hal ini sama sekali bukanlah sesuatu yang
jelek, bahkan disana sini masih dibutuhkan.
Dalam konteks kemandirian sekolah, NU bisa membuktikan kesuksesannya,
meskipun banyak keluhan dari para pengelola lembaga tentang kesulitan
finansial yang dihadapinya. Sayangnya, kesuksesan bidang ini tidak disertai
dengan kesuksesan pada bidang sistem pengajaran dan manajemen
operasional proses pendidikan. Dalam hal ini, NU masih menyisakan
setumpuk PR yang segera dituntut penyelesaiannya.
Untuk mengatasi persoalan ini, NU—melalui LP Ma’arif—dalam waktu dekat
berinisiatif untuk menyelenggarakan berbagai bentuk pelatihan dan
workshop, perihal Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), dan pelatihan bagi guru-guru mata pelajaran eksakta
(sebagai sesuatu yang dirasa menjadi kelemahan dalam lembaga pendidikan
Ma’arif NU). Ini menggambarkan betapa NU sebagai ormas yang menaungi
umat terbesar di Indonesia memiliki kuriositas yang intens terhadap niat
pemerintah untuk memulai pendidikannya dengan penggalaan program MBS
dan KBK, atau dunia pendidikan secara umum. Lebih menggembirakan lagi,
NU akan melakukan pembaharauan konsep pendidikannya yang tidak
terbatas pada lembaga sekolah formal yang dimiliki, tetapi lebih dari itu,
niat ini juga akan dilaksanakan pada pendidikan luar sekolah NU, sebagai
pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan (capacity building). Hal ini
merupakan manifestasi rasa tanggung jawab NU demi mengentaskan
Indonesia dari jurang krisis yang telah menjeratnya selama kurang lebih
tujuh tahun terakhir. 
Ma’rifat
Kebijakan Yang Diperlukan Untuk
Peningkatan Mutu Pendidikan

Oleh
Jahja Umar, Ph.D

A. Pengantar
Pendidikan merupakan hak azasi manusia yang paling mendasar dan
bersifat universal. Di Indonesia, kesempatan untuk memperoleh pendidikan
dijamin dalam UUD 1945. Sementara itu, maju atau mundurnya suatu
bangsa tergantung dari kualitas SDM-nya. Hal ini terkait langsung dengan
peningkatan mutu pendidikan. Telah banyak contoh bahwa negara yang
secara geografis kecil dan relatif tidak mempunyai sumber daya alam,
tumbuh menjadi bangsa yang unggul karena kualitas lulusan dari sistem
pendidikannya yang dapat diandalkan dan terjaga.
Apabila bangsa Indonesia tidak mau lebih jauh lagi tertinggal dari bangsa-
bangsa lain di dunia, maka pendidikan di Indonesia harus lebih berorientasi
pada pengendalian mutu lulusannya. Pada tahun 2003, walaupun Indonesia
dipuji sebagi salah satu negara yang mampu menurunkan tingkat kematian
bayi yang berumur dibawah 5 tahun, tetapi berdasarkan Human
Development Index (HDI) untuk tahun 2003 ini, Indonesia masih berada pada
urutan ke -112 dari 151 negara di dunia. Hal ini berarti, Indonesia
mengalami penurunan rangking, sebab pada tahun 2002 Indonesia
menempati urutan ke-110 pada tahun 2002. Berdasarkan penelitian tim
Human Development Report (HDR) tahun 2003, salah satu penyebab
penurunan rangking tersebut adalah karena Indonesia mengalami penurunan
dalam hal mutu pendidikan dasar.
Hasil survai Third International Mathematics and Science Study (TIMSS)
tahun 1998/1999 menunjukkan, bahwa dalam kemampuan bidang IPA
(science) siswa SMP, Indonesia berada di urutan ke-32 dan dalam bidang
matematika (mathematics) berada di urutan ke-34 dari 38 negara-negara
peserta.
Demikian pula dengan hasil survai international yang lain, yaitu pada
Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2000/2001
untuk anak-anak usia 15 tahun, yang menunjukan Indonesia berada pada
urutan ke-38 dari 41 negara untuk bidang kemampuan IPA, untuk
matematika di urutan ke-39, dan kemampuan membaca (reading) diurutan
ke 39 dari 41 negara yang sama.
Pada saat di Indonesia terjadi penurunan mutu lulusan, di negara lain
terutama seperti di Malaysia dan Singapura justru terjadi yang sebaliknya.
Upaya yang mereka lakukan ialah menerapkan standar kelulusan bertaraf
international (Standar Cambridge, Inggris). Artinya, guru dan sekolah bila
perlu diberi kebebasan besar dalam memilih kurukulum, cara mengajar,
dsb. asalkan muridnya dapat dibuktikan lulus pada ujian yang dilakukan
dengan standar yang ditetapkan itu. Untuk itu,didirikanlah lembaga yang
berkewenangan penuh untuk menguji dan memberi sertifikasi, terpisah dari
lembaga yang membina sekolah. Meskipun pada mulanya terasa berat,
namun pada saat ini sebagian besar sekolah di Malaysia telah mampu
memenuhi tuntutan standar tersebut.
Memang, untuk mewujudkan “Malaysian Vision 2020 Steers the Nation
Towards Achieving the Status Of A Fully Developed And Industrialized
Country”, maka Kementrian Pendidikan Malaysia telah sejak dahulu
menetapkan misinya yang berbunyi; “to develop a world class quality
education system which will realize the full potential of the individual and
fulfil the aspiration of the Malaysian nation.” Karena di negara-negara
tetangga tersebut mutu lulusannya makin lama makin tinggi, kesenjangan
mutu dengan negara kita pun makin lebar, dan pada gilirannya tentu akan
membuat kita makin terpuruk dalam persaingan.
Sistem pendidikan di Indonesia selama ini cendrung terlihat lebih
berorientasi dan terfokus pada input pendidikan dan prosesnya. Input
pendidikan seperti sarana prasarana pendidikan dan kurikulum beserta
prosesnya, memang sangat penting bagi keberhasilan seseorang belajar,
tetapi hal ini saja tidak cukup. Karena itu, untuk memperbaiki keadaan di
atas, sistem pendidikan di Indonesia sekarang sudah harus mulai lebih
difokuskan pada pengendalian kualitas mutu lulusannya.
Tidak boleh lagi ada dikotomi antara pemerataan dan mutu, di mana
dengan alasan untuk pemerataan lalu mutu boleh dikorbankan dulu.
Memenuhi hak asasi warga negara untuk memperoleh pendidikan haruslah
terkait dengan mutunya. Dan untuk itu diperlukan adanya sistem
pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan (quality management).
Seiring dengan upaya pemenuhan sarana prasarana yang memerlukan biaya
besar, diperlukan upaya pengendalian mutu yang sebenarnya lebih
membutuhkan tekad dan komitmen dari pada biaya.
Sebagai konsekuensi logis dari komitmen untuk mengendalikan dan
meningkatkan mutu, maka penggunaan angka partisipasi murid (prosentase
anak usia tertentu yang berada di sekolah) saja sebagai indikator kualitas,
seperti “prosentase murid kelas tiga SD yang sudah mampu membaca,”
“prosentase murid kelas tiga SMP yang mampu lulus standar wajar 9 tahun,”
“prosentase lulusan SMA yang memiliki kemampuan bahasa Inggris pada
level tertentu,” dsb. Artinya, ada suatu standar yang digunakan pada setiap
tingkatannya.
Negara yang berhasil meningkatkan kualitas SDM-nya melalui pendidikan,
cenderung tidak menggunakan angka partisipasi murid sebagai bentuk
pertanggung jawaban (akuntabilitas) di bidang pembangunan pendidikan,
melainkan selalu menggunakan indikator kemampuan lulusan. Malaysia,
misalnya, bahkan menggunakan pula peningkatan “prosentase murid kelas 3
yang berhasil lompat ke kelas 5” dari tahun ke tahun, sebagai salah satu
dari indikator keberhasilan pendidikan. Amerika Serikat terkenal dengan
“National Assessment of Education Progress” ( NAEP ), Australia dengan
“National Benchmark Result,” bahkan India pun lebih mengutamakan
pelaporan pencapaian standar kelulusan daripada angka partisipasi murid.
Negara-negara tersebut biasanya memiliki lembaga yang memiliki otoritas
untuk menguji calon lulusan, atau bertugas memantau dan memetakan
mutu sekolah. Dalam hal ini, masyarakat mendapat informasi mengenai
sekolah mana saja yang sekalipun mempunyai sarana yang melimpah, tetapi
sebenarnya tidak bermutu, atau sebaliknya.
Di Indonesia, Pusat Penilaian Depdiknas mengklasifikasikan sekolah
berdasarkan ujian akhir, yaitu: A untuk yang lulusan dengan rata-rata 7.5 ke
atas, B untuk nilai rata-rata lulusan 6.5 sampai 7.5, dan C untuk yang nilai
rata-ratanya 5.5 sampai 6.5, serta D jika nilai rata-rata di bawah 5.5. Dari
hasil pemantauan selama lima tahun (1996-2001), prosentase sekolah SMP
kategori A (dari 1980 SMP Negeri dan Swasta), selalu di bawah 0.5 %.
Sementara sekolah kategori D mengalami peningkatan, dari 54.71 % pada
tahun 1996, menjadi 81.93 % pada tahun 2001. Demikian juga untuk tingkat
SMA, menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda.
Jika dilihat tingginya standar yang digunakan dalam arti tingkat kesukaran
soal yang diujikan, maka gambaran yang tampak lebih memperhatinkan.
Sebagi contoh, dapat dibandingkan soal ujian penghabisan kelas 6 sekolah
rakyat tahun 1952 dan 1961, dengan soal ujian ebtanas tahun 1997 dan
1999. Di sana, jelas sekali memperlihatkan, betapa terjadi penurunan
tingkat kesukaran soal yang sangat ekstrim dari waktu sebelum standar
kelulusan nasional dihapuskan pada tahun 1968, dibanding setelahnya.
Sebelumnya, standar kelulusan minimum adalah nilai rata-rata 5.5 dan
dengan soal yang sulit. Sesudahnya, tidak digunakan lagi istilah kelulusan
karena semua tamat, dan dengan soal yang amat mudah. Tahun 2004 ini,
rencananya akan diterapkan persyaratan lulus dengan nilai minimum 4.0,
tapi hanya tiga mata pelajaran yang diujikan secara nasional.
Pada tahun 1984 sampai dengan tahun 2000, sudah diberlakukan kebijakan
penyesuain (pengkatrolan) nilai dengan rumus PQR, yang membuat nilai
akhir dalam STTB selalu tinggi. Hal ini bukan saja merupakan sejenis proses
“pembodohan” secara nasional, tetapi juga melestarikan bahkan
memperlebar jurang kesenjangan mutu lulusan antar daerah. Akibatnya,
ketika terjadi investasi besar ke daerah, yang berarti membutuhkan SDM
terdidik, yang penerimannya melalui seleksi, maka lulusan lokal cendrung
kalah bersaing dengan lulusan dari daerah lain yang lebih berkualitas,
khususnya dari Jawa. Terpinggirkannya lulusan lokal ini tidak mustahil akan
memicu konflik, bahkan dapat mengancam keutuhan persatuan bangsa.
Dampak lain yang serius dari tidak diterapkannya suatu standar nasional
untuk kelulusan (lulus 100 %) adalah terhadap prilaku belajar murid dan
prilaku mengajar guru. Karena tidak ada yang tidak lulus, betapa pun
malasnya seorang murid, maka amatlah sulit untuk mendorong agar murid
rajin belajar. Kalau pada tahun 1960-an atau sebelumnya, setiap orang
belajar mati-matian agar dapat lulus, maka setelah tahun 1970-an, hanya
murid di sekolah tertentu atau di keluarga dengan tradisi tertentu saja yang
masih mau rajin belajar. Hal itu disebabkan karena tidak adanya kecemasan
siswa terhadap hasil ujian. Padahal, semua orang tahu, bahwa secerdas
apapun seseorang, jika tidak pernah membaca dan berlatih, tentulah tidak
dapat mencapai prestasi yang tinggi. Apalagi kalau kecerdasannya cuma
rata-rata dan kerjanya hanya bermain, malas-malasan, nonton TV, tanpa
belajar, tentu tidak mungkin menjadi pandai. Oleh karena itu, berapapun
besarnya kenaikan anggaran pendidikan, betapapun lengkap fasilitas
sekolah, jika muridnya tidak dituntut untuk rajin membaca dan berlatih,
maka sudah barang tentu tidak akan menghasilkan lulusan yang dapat
diandalkan. Sekolah-sekolah yang ada di Jepang, Taiwan, Korea, Hongkong,
Singapura dan Malaysia adalah contoh di mana murid harus belajar amat
rajin sehari-harinya. Itulah sebabnya kenapa lalu kualitas SDM di sana
meningkat pesat dan terbukti menjadikan mereka sebagai bangsa yang
maju. Padahal di Korea Selatan, selama puluhan tahun jumlah murid
perkelas mencapai rata-rata 60-65 orang.
Keadaan lulusan 100 % juga berdampak buruk pada prilaku mengajar guru.
Mereka umumnya sudah merasa aman dan selesai tugasnya jika telah
melaksanakan semua kewajiban kurikuler, meskipun murid-muridnya tidak
memahami materi yang diajarkannya. Memang, pada kenyataannya
penilaian ataupun angka kredit bagi kinerja guru bukan diukur dari prestasi
muridnya, melainkan lebih pada sejauh mana ia telah melaksanakan cara
mengajar yang ditentukan. Itu sebabnya kebanyakan guru tidak merasa
gagal sepanjang seluruh rangkaian tugasnya selesai. Kenyataan bahwa
setiap tahun lebih dari satu juta murid tamat SLTA, yang berarti telah
belajar Bahasa Inggris sebanyak 4 jam per minggu selama 6 tahun, namun
nyaris tidak ada yang dapat berbahasa Inggris, tampaknya tidak dianggap
masalah serius. Padahal betapa besarnya anggaran/biaya yang telah
dikeluarkan untuk itu. Bahkan, banyak orang yang cenderung menyalahkan
kurangnya anggaran/sarana dan kurang tepatnya kurikulum serta cara
mengajar yang menjadi penyebabnya. Padahal penyebab yang sebenarnya
adalah murid kurang belajar dan berlatih, karena gurunya maupun
sistemnya tidak menuntut untuk itu.
Uraian di atas menunjukkan, bahwa pendidikan yang tidak menghasilkan
lulusan yang bermutu bukanlah merupakan investasi SDM, melainkan
pemborosan biaya, tenaga dan waktu. Pembangunan gedung-gedung sekolah
yang menelan biaya besar, penataran-penataran guru maupun pencetakan
buku-buku yang juga menelan biaya yang sangat besar, akan kehilangan
maknanya apabila pengetahuan dan kemampuan lulusannya rendah. Dengan
demikian, strategi peningkatan mutu pendidikan harus dipusatkan terutama
pada pengendalian mutu lulusan. Selain itu, perlu ditumbuhkan kesadaran
masyarakat bahwa lembaga pendidikan yang baik bukanlah yang gedungnya
bagus, melainkan yang lulusannya bermutu.
Upaya peningkatan kualitas SDM harus dilakukan melalui konsepsi, strategi,
dan kebijakan yang tegas dalam pengendalian mutu, tanpa melupakan
untuk mengedepankan pendidikan yang murah dan merata. Indikator yang
dapat digunakan antara lain adalah: 1) prestasi belajar siswa, khususnya
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah; 2) kesenjangan mutu
pendidikan, baik antar sekolah maupun antar daerah; 3) mutu pendidikan
Indonesia yang secara rata-rata jauh berada di bawah, jika dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN maupun Internasional. Ketiganya hanya dapat
dipantau jika diterapkan suatu standar nasional dalam meluluskan seorang
murid.
Suatu standar nasional dalam hal ini hanya dapat diterapkan secara
konsekuen, jika ada sistem ujian yang objektif dan memiliki skala
ukurannya yang comparable (dapat dibandingkan) dari tahun ke tahun. Ini
memerlukan adanya lembaga otoritas pengujian yang menerapkan standar
nasional secara konsekuen, yang terpisah dari lembaga
penyelenggara/pembina sekolah. Artinya, penetapan kelulusan seorang
murid berdasarkan standar yang ada, adalah sepenuhnya kewenangan
lembaga pengujian, tanpa campur tangan sekolah, dinas, maupun direktorat
jenderal. Hal ini karena hasilnya justru menyangkut penilaian kinerja
sekolah, dinas dan direktorat jenderal yang terkait tersebut. Sebab otoritas
pengujian dan pemantauan mutu berfungsi sebagai pendorong bagi kinerja
sekolah, dinas dan direktorat jendral. Ini sejalan dengan azas akuntabilitas
yang telah diterapkan di negara-negara yang maju pendidikannya.
Seperti telah diketahui bersama, bahwa selain mutu pendidikan yang secara
rata-rata rendah, ternyata kesenjangan mutu lulusan pendidikan kita bukan
hanya terjadi antar sekolah, melainkan juga antar daerah. Hal seperti ini
tampak jelas pada data ujian masuk ke perguruan tinggi negeri yang setiap
tahun dilakukan. Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan terus
berlangsung, karena ketimpangan tersebut akan secara langsung terkait
dengan kesenjangan dalam hal peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Hingga pada gilirannya akan
merupakan ancaman terhadap persatuan dan kesatuan nasional.
Hal lain yang penting adalah, bahwa pendidikan harus dilihat sebagai
masalah bangsa, bukan sekedar masalah orang per orang atau keluarga.
Seorang pejabat di bidang pendidikan, tidak boleh hanya memikirkan
keadaan selama masa jabatannya, melainkan apa yang akan dicapai sepuluh
atau dua puluh tahun kemudian. Kondisi hasil pendidikan yang dialami saat
ini adalah buah dari kebijakan 10 atau 20 tahun yang lalu. Setiap orang yang
menangani kebijakan pendidikan harus berbuat sebagai seorang negarawan
yang berfikir untuk selanjutnya, bukan sebagai politisi yang berfikir untuk
satu periode pemilu, lantas setelah itu untuk pemilu berikutnya. Dalam
menangani pendidikan, apa yang kita lakukan mungkin baru dinikmati
hasilnya oleh generasi berikutnya.

B. Bebarapa Masalah Pokok dalam Peningkatan Mutu


Dari potret keadaan mutu pendidikan di Indonesia yang ada pada saat ini,
seperti telah diuraikan di atas, dapat dirangkum ke dalam pokok-pokok
permasalahan berikut:
a. Belum Ada Standar Nasional tentang Mutu Pendidikan
Di Indonesia umumnya para peserta ujian nasional pada tingkat dasar dan
menengah tidak secara optimum mempersiapkan dirinya dengan belajar
keras. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, mereka tahu bahwa walaupun
tidak belajar keras, toh mereka pun akan dapat lulus ujian. Yang tidak lulus
ujian biasanya hanya karena betul-betul yang jarang masuk sekolah. Adalah
mustahil untuk mendapatkan lulusan yang bermutu, apabila murid-muridnya
tidak mau belajar keras. Tidak adanya standar nasional yang berisi
pernyataan tentang kualifikasi lulusan dan kenyatan bahwa setiap orang
pada umumnya lulus, membuat masyarakat sering menganggap bahwa
sekolah yang gedungnya megah dengan kelengkapan kulikuler yang
melimpah adalah sekolah yang bagus, meskipun prestasi akademik para
muridnya rendah.

b. Kurikulum Nasional dan Strukturnya


Proses belajar mengajar di sekolah di seluruh Indonesia harus mengikuti
kurikulum atau GBPP Nasional yang telah ditentukan strukturnya. Setiap
guru di seluruh Indonesia harus mengikuti dan memenuhi semua target dan
urutan kurikuler yang ada. Jadi, setiap mata pelajaran pada setiap jenjang
dan jenis sekolah sudah ada GBPP nasionalnya. Banyak keluhan dari guru,
bahwa waktu atau jam yang disediakan terlalu singkat. Juga ada yang
mengeluh tentang pokok-pokok bahasan. Belum lagi ditambah dengan
kualitas/kemampuan guru yang sangat beragam di seluruh wilayah
Indonesia. Dengan keadaan seperti inilah, guru-guru harus melaksanakan
tugasnya di sekolah. Mereka akan ditegur jika tidak bisa memenuhi target
mengajarnya. Efek dari proses belajar mengajar seperti ini adalah, bahwa
guru akan merasa sudah tenang apabila telah memenuhi target mengajar,
tanpa begitu memperhatikan lagi apakah murid telah memahaminya. Akibat
lainnya ialah, guru nyaris tidak mempunyai waktu untuk mengevaluasi
murid-muridnya di kelas. Mereka dikejar oleh target dan waktu yang jika
tidak dapat dipenuhi, maka kinerja mereka dianggap tidak baik. Ringkasnya,
saat ini kurikulum lebih merupakan belenggu dan beban bagi guru, daripada
sebagai instrumen mengajar.

c. Sistem Ujian, Sertifikasi/Ijazah, dan Seleksi


Sejak Indonesia merdeka, tahun 1945, sampai dengan sekarang, sudah
beberapa kali pendidikan tingkat dasar dan menengah menggunakan ujian
nasional. Pada tahun 2003, ujian nasional dikenal dengan nama Ujian Akhir
Nasional (UAN), sedangkan sebelumnya diberi nama Evaluasi Belajar Tahap
Akhir Nasional (EBTANAS). Di tahun ’50 dan ’60-an, disebut ujian
penghabisan. Namun sejak kemerdekaan sampai sekarang, belum ada
lembaga khusus yang independen dan bertanggung jawab secara penuh
terhadap penyelenggaraan ujian nasional. Inilah yang membedakan kita
dengan Malaysia, Singapura, Inggris, Belanda, dsb. Negara-negara tersebut
memiliki lembaga pengujian dengan mandat penuh untuk melaksanakan
misinya dalam mengendalikan mutu lulusan. Bahkan, negara kecil seperti
Hongkong pun memiliki “Hongkong Examination Authority“. Padahal
sebenarnya fungsi ujian nasional itu sangat penting untuk meyakinkan atau
menjamin adanya mutu pendidikan. Tetapi bagaimana orang bisa yakin jika
soal yang digunakan rendah kualitasnya, tidak ada standar kualifikasi
lulusan yang diacu, dan dilaksanakan oleh birokrasi penyelenggara
persekolahan itu sendiri. Dalam kenyataannya, memang perguruan tinggi
yang lantaran berbeda direktorat jendral saja, enggan untuk mengakui hasil
ujian SMA. Mereka menguji kembali apa yang telah diujikan di SMA. Apalagi
mengingat hampir setiap langkah dalam proses penyelenggaraan ujian itu
merupakan kegiatan proyek yang melibatkan birokrasi di semua
tingkatannya, mulai dari pusat sampai daerah.
Seperti telah disebutkan di muka, bahwa sampai saat ini di Indonesia masih
belum ada lembaga khusus yang independen dan profesional untuk
menangani masalah-masalah ujian, khususnya uijan nasional,
ijazah/sertifikat, dan seleksi. Kebijaksanaan tentang kelulusan, misalnya,
justru ditentukan sendiri oleh lembaga yang seharusnya dinilai
keberhasilannya melalui ujian tersebut, yaitu Direktorat Jendral Dikdasmen.
Tidak adanya lembaga “Examination Authority“ di Indonesia,
mengakibatkan birokratisasi penanganan ujian. Hal ini menimbulkan banyak
masalah dalam hal sistem ujian, sistem seleksi, dan sistem
sertifikasi/ijazah. Padahal ini menyangkut secara langsung dengan masalah
pengendalian mutu pendidikan.

d. Guru
Pada masa penjajahan dan pasca kemerdekaan sampai dengan tahun 1960-
an, jabatan sebagai seorang guru demikian terpandang. Pemerintah
melakukan berbagai cara untuk menarik pemuda terbaik menjadi guru.
Pemberian ikatan dinas dan penyediaan asrama bagi mahasiswa calon guru,
merupakan salah satu insentif yang mengundang generasi muda, melalui
jalur pendidikan tertentu untuk menjadi seorang guru. Tidak sedikit
mahasiswa fakultas tehnik di universitas terpandang yang pindah jalur
memasuki pendidikan guru. Tetapi sekarang tidak dapat dipungkiri, bahwa
banyak mahasiswa yang memasuki lembaga pendidikan guru, bukan karena
mereka memilih jabatan guru sebagai pilihan utama, melainkan karena
mereka tidak diterima di lembaga pendidikan tinggi lainnya. Sebagai
bandingannya, di negara-negara maju seperti USA, syarat untuk menjadi
seorang guru minimal S-1, ditambah satu tahun credential. Mahasiswa yang
akan menjadi guru juga disyaratkan termasuk dalam 20 % teratas lulusan
sekolah menengah. Masalah lainnya ialah menyangkut proses pengangkatan
dan penempatannya. Penataran guru yang selama puluhan tahun telah
menghabiskan triliunan rupiah, yang umumnya berasal dari pinjaman luar
negeri, praksis tidak membuahkan hasil pada peningkatan kualitas lulusan.
Isi penataran umumnya adalah mengenai metode mengajar yang ditawarkan
oleh para konsultan asing yang kemudian dijadikan metode baku bagi guru
di Indonesia. Akibatnya, hal ini bukan saja membuat guru semakin
terbelenggu dan dipaksa menerapkannya, tetapi juga membuat sistem
pendidikan Indonesia makin terfokus pada aspek kurikulum (kurikulum-
sentris), daripada hasilnya. Dengan situasi dan kondisi seperti ini, tentu
sangat sulit untuk mengharapkan guru sebagai ujung tombak peningkatan
mutu lulusan sekolah-sekolah di Indonesia.

e. Sistem Akreditasi dan Pengawasan


Sekolah-sekolah di Indonesia mempunyai situasi dan kondisi yang sangat
beragam. Dalam mengatasi keberagaman tersebut, maka diberlakukan
sistem akreditasi. Akreditasi pada dasarnya merupakan upaya untuk
mengetahui tentang sejauh mana suatu sekolah diyakini akan mampu
menghasilkan lulusan yang bermutu, sesuai standar yang ditetapkan. Namun
sayangnya akreditasi yang telah dilakukan sampai saat ini di Indonesia,
masih lebih terfokus pada kondisi fisik, sarana-prasarana dan personel
sekolah saja. Sebagai bukti, sekolah yang fasilitasnya melimpah akan
terakreditasi sebagai sekolah unggulan, meskipun lulusannya tidak lebih
baik dari kebanyakan sekolah lainnya. Akreditasi yang telah dilakukan juga
hanya sebatas untuk sekolah swasta saja. Mengapa sekolah negeri tidak
diakreditasi? padahal variasi kualitasnya tidak jauh berbeda ragam
variasinya dengan sekolah swasta. Bukankah sekolah negeri juga banyak
yang kondisinya amat memperhatinkan? Sementara di pihak lain, proses
pelaksanaan akreditasi juga dipermasalahkan. Lembaga atau sekolah yang
diakredaitasi tidak cukup diberi kesempatan untuk mendiskusikan atau
mendebat hasil akreditasi yang telah dilakukan oleh tim akreditasi.
Komponen-komponen dalam laporan hasil akreditasi juga belum cukup kuat
untuk membuktikan adanya kualitas atau mutu pendidikan di sekolah yang
bersangkutan.
Pada saat ini, di Indonesia baru saja diresmikan Badan Akreditasi Sekolah.
Fungsi yang dijalankannya adalah untuk menilai, baik sekolah negeri
maupun swasta, dengan perlakuan yang sama. Semoga peran lembaga ini
akan menyumbang terhadap upaya penjaminan mutu pendidikan di
Indonesia. Masalah utama yang dihadapi lembaga ini adalah dalam
menentukan kriteria yang tepat untuk penilaian sekolah dan bagaimana
prosedur pengukuran/assesmentnya agar diterima semua pihak.
Sistem pengawasan yang dilakukan oleh pengawas-pengawas sekolah juga
masih belum profesional. Selain mereka belum secara sistematis dan
periodik mengunjungi sekolah-sekolah, mereka umumnya juga apabila
mengunjungi sekolah, lebih banyak menanyakan tentang administrasinya
saja. Hal ini dapat dipahami, karena memang masih cukup banyak di antara
mereka yang menjadi pengawas, hanya karena sekedar memperpanjang
masa pensiun mereka. Sebab, pengawas adalah jabatan fungsional yang
batas usia pensiunnya lebih tinggi.

f. Sistem Pemantauan Mutu Pendidikan


Sistem pemantauan mutu pendididkan sangat penting untuk menjawab
pertanyan-pertanyaan, seperti: Apakah mutu pendidikan di Indonesia
cendrung menurun? Mengapa demikian? Faktor-faktor atau variabel-variabel
apa saja yang menentukan mutu pendidikan di Indonesia dan bagaimana
upaya memperbaikinya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
di perlukan data-data yang setiap saat secara sistematis dan otomatis harus
selalu tersedia. Namun hingga saat ini, sistem pemantauan mutu itu belum
ada. Kalaupun ada, hanya bersifat adhoc, yaitu melalui proyek penelitian
atau survey, dan tidak merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem
pendidikan yang berjalan. Padahal, tanpa keberadaan sistem pemantauan
tersebut, maka kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang pendidikan akan
cenderung diputuskan secara spekulatif saja. Usaha perbaikan/peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia umumnya diambil tidak berdasarkan analisis
terhadap data empirik secara komprehensif. Belum ada survey nasional yang
secara periodik dilakukan khusus untuk mengumpulkan data guna
menunjang upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Begitu pula
mengenai lembaga yang secara khusus diberi tanggung jawab untuk hal ini
yang sampai saat ini belum ada.

g. Sistem Birokrasi Pendidikan Nasional


Sistem birokrasi pendidikan di Indonesia masih belum mendukung bagi
pengendalian dan penjaminan mutu lulusannya. Dari segi strukturnya,
direktorat jenderal dan direktorat yang ada tidak menjamin adanya
penanganan masalah secara professional karena disusun menurut sub-
sektor. Sebagai contoh, Direktorat Pendidikan Dasar dapat dipimpin siapa
saja dengan latar belakang apa saja, sekalipun tanpa keahlian khusus di
bidang manajemen pendidikan (yang penting telah lulus Sepamen dan
kepangkatan yang memenuhi syarat). Akan sangat lain situasinya jika
misalnya nama direktorat disusun berdasarkan fungsi, seperti misalnya
Direktorat Kurikulum dan Sarana Pendidikan, yang tentu saja tidak mungkin
dapat dipimpin oleh orang tidak menguasai aspek teknis dari fungsi
tersebut. Akibat dari situasi seperti ini, setiap orang merasa mampu dan
menginginkan jabatan yang ada karena toh tidak ada persyaratan keahlian
yang spesifik. Jelas hal ini tidak menimbulkan iklim yang sehat bagi
pengendalian dan penjaminan mutu dan pendidikan.
Masalah lainnya ialah, bahwa birokrasi pendidikan di Indonesia lebih
cenderung menjadi penguasa dan pembina sekolah dari pada melayani
sekolah dalam rangka membantunya agar lebih berhasil. Setiap pejabat
yang datang ke sekolah akan dipersepsikan sebagai atasan yang sedang
melakukan fungsi kontrol dan pengawasan, bukan sebagai konsultan dan
atau “service provider”. Dalam fungsi kontrol yang jauh lebih dominan dari
pada pelayanan, para pejabat pendidikan mulai dari yang tinggi sampai
yang paling rendah akan cenderung tidak henti-hentinya mengeluarkan
aturan-aturan tentang bagaimana sekolah dan guru harus berbuat. Sungguh
kasihan guru di Indonesia. Sudah gajinya minim, semua orang ingin turut
mengendalikan pekerjaannya. Di negeri yang lebih maju, umumnya
pemerintah hanya menetapkan standar nasional tentang kualifikasi lulusan
yang harus dicapi, sedang kurikulum nasional hanyalah rambu-rambu dan
acuan untuk dipertimbangkan oleh guru. Pada sekolah-sekolah di Inggris,
guru/sekolah bahkan berhak menentukan apakah untuk mata pelajaran
fisika, misalnya, mereka akan menggunakan standar Cambridge ataukah
Oxford bagi lulusannya.

h. Sistem Pembiayaan dan Anggaran Pendidikan


Banyak orang mengatakan bahwa masalah utama pendidikan di Indonesia
adalah minimnya anggaran. Memang ini ada benarnya. Padahal, sebenarnya
yang lebih penting ialah sejauh mana penggunaan anggaran pendidikan
(APBN) itu sendiri yang pada kenyataannya selalu meningkat. Masalahnya
ialah, bahwa kenaikan anggaran tidak dibarengi dengan kenaikan mutu
lulusan. Hal ini mudah di mengerti, karena alokasi anggaran cenderung
sama peruntukan dan proporsinya dari tahun ke tahun, hanya saja dengan
jumlah yang meningkat. Yang memperoleh porsi terbesar tahun
sebelumnya, akan mendapatkan posisi yang sama pada tahun berikutnya,
apapun teori dan rasional yang disampaikan dalam pengajuan anggaran.
Masalah lain yang menyangkut anggaran ialah pada sistem penyalurannya.
Hampir seluruh dana yang dialokasikan untuk pendidikan, umumnya melalui
jalur yang panjang untuk sampai kepada pelaku utama pendidikan, yaitu
“guru” dan “murid” di sekolah. Biasanya jalur tersebut melalui berbagai
stasiun seperti Direkotrat Jendral, Direkotrat Sub-Direktorat, Proyek, Bagian
Proyek, baru sampai ke sekolah. Begitu pula yang disalurkan melalui
pemerintah daerah, akan menempuh jalurnya sendiri yang tidak kalah
panjangnya. Terlepas dari ada atau tidaknya kebocoran, yang pasti tentu
ada biaya yang harus dikeluarkan untuk beroperasinya setiap stasiun yang
dilalui. Menilik prosedur seperti ini, maka porsi pelayanan kepada sistem
bahkan dapat terjadi sama besarnya dengan pelayanan terhadap sekolah.
Kebanyakan negeri maju, penyaluran anggaran pendidikan secara langsung
didistribusikan ke sekolah. Tentu saja sistem seperti itu akan lebih
memfasilitasi tumbuhnya sistem pengendalian dan penjaminan mutu.
Karena semua anggaran dalam bentuk block grant yang penggunaannya
sepenuhnya bergantung keputusan di tingkat sekolah, tetapi sekolah harus
bertanggung jawab atas hasilnya yang dalam hal ini adalah mutu lulusan
yang dihasilkan. Pada saat ini, memang sudah ada block grant langsung ke
sekolah serta bantuan langsung kepada murid, seperti beasiswa, dsb.,
tetapi proporsinya masih kecil dibanding dengan anggaran keseluruhan.

i. Kesenjangan Mutu Antar-Daerah


Situasi dan kondisi daerah-daerah di Indonesia, baik sumber daya alamnya
maupun sumber daya manusianya sangat bervariasi. Demikian pula dengan
sarana dan prasarana sekolah dan tenaga kependidikan atau gurunya, juga
bervariasi, baik kuantitas maupun kualitasnya. Jadi, bisa dimaklumi apabila
mutu lulusan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, juga sangat bervariasi.
Sebagai ilustrasi, dari data NEM SLTP Negeri dan Swasta tahun 2000/2001
terlihat bahwa hanya ada tiga (3) sekolah di luar pulau Jawa yang berada
pada urutan 30 teratas. Demikian pula untuk SMU Negeri dan Swasta
program studi IPA tahun 2000/2001, terlihat bahwa hanya ada 6 sekolah di
pulau Jawa yang termasuk rangking 30 teratas. Data hasil tes masuk ke
perguruan tinggi negeri juga menunjukkan hasil yang serupa. Kesenjangan
mutu ini terjadi karena tidak ada standar nasional yang diterapkan.
Andaikan kelulusan menggunakan standar nasional yang sama, maka tidak
akan terjadi kesenjangan mutu lulusan. Yang terjadi hanya kesenjangan dari
segi jumlah lulusan. Masalah kesenjangan mutu lulusan yang sekilas justru
tidak tampak, sebenarnya adalah secara potensial lebih berbahaya dan
dapat menimbulkan masalah-masalah baru ketimbang kesenjangan dalam
hal jumlah yang lebih konkrit dan terukur perubahan atau kemajuannya.

j. Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya Mutu


Di Indonesia masih sedikit sekali orang yang tidak menyadari akan
pentingnya mutu pendidikan. Umumnya di Indonesia orang bersekolah,
bukan karena untuk mendapatkan ilmu tetapi seakan-akan hanya untuk
mendapatkan ijazah dan gelar. Oleh karena itu, banyak sekali terjadi di
mana orang berusaha untuk mendapatkan ijazah dengan berbagai cara yang
tidak legal. Kalau di bagian terdahulu dikemukakan kenyataan bahwa
lulusan SMA di Indonesia hampir tidak ada yang dapat berbahasa Inggris,
padahal telah bertahun-tahun mempelajarinya dan mengeluarkan biaya
yang tidak sedikit, namun kita tidak pernah mendengar ada orang tua yang
protes, apalagi menuntut sekolah atau pejabat yang bertanggung jawab
atas persekolahan. Ini terjadi karena mereka merasa tidak dirugikan.
Dengan kata lain, orang tua tidak merasa dirugikan jika anaknya tidak
mendapat ilmu, tetapi akan merasa kecewa jika anaknya tidak dapat ijazah
atau gelar.

C. Kebijakan Pengendalian Mutu


Dalam realitas pendidikan nasional dewasa ini, kita dapat mengamati
beberapa hal berikut:
1. Ujian akhir nasional (UAN). Meskipun hanya tiga mata pelajaran yang
diujikan. Di mana mulai tahun 2004 ini, nilai batas lulusnya adalah
angka empat, sekalipun belum ada standar nasional kualifikasi
lulusan yang terdiskripsikan. Namun demikian, hal ini diharapkan
akan mempengaruhi perilaku belajar murid, maupun guru dalam
mengajar.
2. Telah dibentuk Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS) yang
akan mengakreditasi sekolah, baik negeri maupun swasta.
3. Tahun 2004 ini akan diangkat ratusan ribu guru dan dosen untuk
mengatasi kekurangan guru. Seleksi akan menggunakan standar
nasional.
4. Program pertukaran kepala sekolah antara kawasan Barat dengan
Timur Indonesia, sebagai usaha untuk mengurangi kesenjangan mutu
antar daerah.
5. Sekolah-sekolah yang merasa mampu diizinkan untuk menerapkan
standar internasional, seperti “Internasional Bacaloriate”, atau
lainnya.
6. Pada peringatan HARDIK-NAS Tahun 2002 yang lalu, dicanangkan
suatu gerakan nasional untuk peningkatan mutu pendidikan.

D. Kebijakan Yang Diharapkan


Agar ditetapkan suatu kebijakan dasar di bidang pengendalian mutu. Penulis
mengusulkan, “Menciptakan sistem pengendalian dan penjaminan mutu
pendidikan dasar dan menengah melalui (1) pengembangan, penetapan dan
penerapan suatu standar nasional tentang kualifikasi lulusan, (2)
penyesuaian sistem sertifikasi dan ijazah persekolahan, (3) penerapan
proses belajar yang menuntut murid harus belajar giat dan guru harus
mengajar dengan tuntas, (4) menghindari pembakuan proses mengajar
tetapi membakukan proses ujian akhir, (5) penyederhanaan kurikulum
nasional, (6) pembaruan sistem akreditasi sekolah, dan (7) peningkatan
kesadaran masyarakat akan pentingnya mutu pendidikan; sehingga dapat
dihasilkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam rangka
pembangunan nasional”.

Kebijakan umum di atas dapat dirinci sebagai berikut:


1. Pengembangan, penetapan dan penerapan suatu standar nasional
tentang kompetensi lulusan bagi pendidikan dasar dan menengah
agar kualitas dari setiap lulusan dapat diketahui dan terkendali, agar
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) segera menyiapkan
Peraturan Pemerintah tentang standar nasional pendidikan, yang
diperlukan untuk dijadikan landasan hukum penerapannya. Juga,
agar Depdiknas mengembangkan standar nasional untuk kompetensi
lulusan SD dan SMP, serta untuk setiap tingkatan kompetensi yang
diperlukan pada setiap mata pelajaran yang ditawarkan sebagai mata
pilihan di tingkat SMU.
1. Penyesuaian sistem sertifikasi/ijazah persekolahan, sehingga ijazah
pendidikan dasar merupakan bukti pendidikan dasar minimal yang
harus dimiliki oleh semua warga negara, sedangkan ijazah di tingkat
pendidikan menengah (SMU)adalah menunjukkan
kualifikasi/kompetensi yang telah dimiliki oleh pemegangnya.
2. Penerapan proses belajar mengajar yang menuntut murid agar
belajar giat dan menuntut guru agar mengajar secara tuntas. Kondisi
ini diperlukan dalam rangka penjaminan mutu lulusan. Untuk itu,
agar (a) dikembangkan sistem kenaikan kelas di SD dan SMP yang
lebih menggambarkan kemampuan akademik murid, (b) standar
nasional benar-benar dilaksanakan secara konsekuen, (c) dibuat
program penghargaan, bonus, atau beasiswa bagi guru yang berhasil.
3. Menghindarkan diri dari sistem yang membakukan proses mengajar,
yang lebih menggambarkan pembelengguan terhadap guru dari pada
pencapaian hasil. Agar dilakukan deregulasi yang lebih memberi
kebebasan kepada guru untuk memilih dan mengembangkan cara dan
gayanya sendiri dalam mengajar sepanjang ia dapat
mempertanggung-jawabkan hasilnya serta tidak ada aturan dan etika
yang dilanggar.
4. Pembakuan proses ujian, khususnya ujian akhir pada setiap tingkatan
kompetensi, sehingga hasil ujian dapat objektif dan dapt dipercaya
oleh berbagai pihak yang akan menerima atau menggunakan lulusan,
termasuk perguruan tinggi. Agar dibentuk lembaga pengujian yang
memiliki otoritas penuh dalam menyiapkan, menyelenggarakan, dan
menentukan kelulusan, tanpa adanya campur tangan birokrasi
penyelenggara persekolahan (ini sesuai dengan tuntutan UU No. 20
Tahun 2003), serta dikembangkan sistem penye-lenggaraan ujian
yang handal, valid, dan murah serta mudah dilaksanakan, sehingga
para pengguna lulusan dapat mempercayai setiap hasil ujian.
5. Penyederhanaan kurikulum nasional, sehingga yang diwajibkan bagi
semua murid diupayakan sesedikit mungkin jumlah mata
pelajarannya, sedangkan kurikulum pilihan diupayakan selengkap
mungkin sesuai kebutuhan murid, apakah ia akan melanjutkan atau
akan bekerja setelah lulus.
6. Pembaruan sistem akreditasi sekolah, sehingga yang disebut sekolah
baik bukanlah sekolah yang sarana dan prasarananya melimpah,
tetapi sekolah yang mampu menghasilkan lulusan dengan mutu
tinggi. Dengan kata lain, menyesuaikan kriteria penilaian sekolah,
sehingga hasil akreditasi akan lebih menggambarkan kemampuan
sekolah dalam menghasilkan lulusan yang bermutu dari pada
menggambarkan kepemilikan sarana dan prasarana.
7. Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mutu
pendidikan, sehingga orang akan merasa rugi jika hanya dapat ijazah,
tetapi tidak memiliki kompetensi yang diharapkan. 
Ma’rifat
BADAN HUKUM PENDIDIKAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2003:
Kajian Implikasi & Pelaksanaannya

Oleh
Dr. Umaedi, M.Ed.
(Direktur Centre of Education Quality Management)

Pendahuluan
Masalah nasional bidang pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia
yang sampai saat ini belum terpecahkan secara baik adalah masalah
pendidikan bermutu dan pemerataan kesempatan untuk memperolah
pendidikan yang bermutu bagi seluruh anak bangsa. Berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah sejak Orde Baru hingga sekarang, tapi hasilnya
belum menggembirakan. Bukti dari masalah ini sudah diketahui bersama,
baik melalui media maupun pengakuan pemerintah secara resmi dalam
dokumen Program Pembangunan Nasional (Propenas) pada kurun 2000-2004.
Sorotan utama ditujukan pada masalah efektivitas (mutu) dan efisiensi.
Sementara itu juga terjadi perubahan-perubahan lingkungan dan tuntutan
masyarakat yang terus berkembang terhadap pendidikan yang bermutu, baik
karena pengaruh globalisasi maupun kesadaran dan keinginan untuk lebih
berpartisipasi dalam pengelolaan kebijakan publik.
Sejalan dengan inefektivitas dan inefisiensi di sektor-sektor lain,
pemerintahan reformasi telah menjawabnya dengan “desentralisasi.”
Desentralisasi pendidikan merupakan pelimpahan wewenang dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, yaitu Pemerintah
Kabupaten/Kota dan Pemerintah Propinsi, kecuali masalah-masalah
tertentu yang memerlukan standar nasional (UU No. 22 Tahun 1999).
Pelaksanaan Otonomi Daerah (selanjutnya dibaca OTDA) tidak dengan
sendirinya menjamin efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan,
terutama kalau prakarsa dan inisiatif lembaga pendidikan dan masyarakat
tidak diberi peran semestinya. Desentralisasi justru dapat menjebak kita
dalam situasi sentralisasi baru, di mana lembaga-lembaga pendidikan hanya
berganti majikan, tetapi tidak memperoleh kesempatan untuk
memberdayakan diri secara semestinya. Di beberapa daerah, bahkan
muncul keluhan bahwa anggaran yang diperoleh sekolah pada masa
desentralisasi, lebih kecil daripada masa sentralisasi. Model pendidikan yang
ingin diwujudkan untuk masa depan adalah model pendidikan yang efektif
(bermutu), efisien dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat
(lingkungan), baik lokal maupun global.
Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) mengartikulasikan masalah
ini dalam bentuk model peningkatan mutu yang berbasis sekolah (School
based Management). Konsep ini kemudian memperoleh bentuk formal di
dalam Undang-undang SISDIKNAS Pasal 51 Ayat 1, dan ayat-ayat lainnya
sebagai konsekuensi dari penerapan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
Badan Hukum Pendidikan (BHP) dalam hal ini sebagai salah satu bentuk
alternatif yang dapat memberikan kepastian hukum bagi kemandirian
sekolah/madrasah untuk menerapkan MBS, tidak selalu harus dengan
membentuk BHP. BHP yang diamanatkan oleh UU SISDIKNAS Pasal 53,
sebagai kebijakan baru yang ketentuannya harus diatur dengan undang-
undang dan berlaku secara nasional perlu disoroti dari aspek legal (legal
bases), aspek konsepstual (conseptual beses), dan kemungkinan praktek
pelaksanaannya. Sebagai kebijakan yang melibatkan pemerintah
Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota, orang tua dan masyarakat, BHP perlu
memperjelas peran masing-masing.
Oleh karena itu, dalam tulisan selanjutnya mengenai BHP, penulis akan
meninjaunya berdasarkan ketiga aspek di atas, sekaligus peran para pelaku
penyelenggaraan pendidikan.

Landasan Hukum (legal bases)


Menurut hemat penulis yang notabene bukan sebagai ahli hukum, bahwa
pasal-pasal yang tertera pada UU SISDIKNAS, tidak bisa diterjemahkan
secara sendiri-sendiri atau secara terpisah dengan pasal-pasal lainnya dan
tentu saja tidak bisa terdapat kontradiksi dengan pasal-pasal lainnya. BHP,
sebagai satu kebijakan yang akan dituangkan dalam undang-undang, tentu
yang paling utama adalah harus mendukung jiwa dan semangat pelaksanaan
SISDIKNAS, sesuai dengan Undang-Undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. Ia
tidak boleh bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan Daerah, bahkan kalau bisa saling mengisi. Demikian juga
dengan UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan berbagai perundang-
undangan lainnya yang masih berlaku, seperti Keputusan Mendiknas No.
060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah yang di dalamnya
menegaskan, bahwa BHP merupakan sebuah alternatif, tapi bukan satu-
satunya.
Beberapa pasal yang barangkali penting untuk dimasukkan dalam tulisan ini
adalah pasal 53 yang selengkapnya berbunyi:
1. Penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan
oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum.
2. Badan Hukum Pendidikan sebagaimana dimaksud pasal (1) berfungsi
memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
3. Badan Hukum Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk
memajukan satuan pendidikan.
4. Ketentuan tentang Badan Hukum Pendidikan diatur dengan undang-
undang tersendiri.
Sementara dalam penjelasan pasal 53 ayat (1), dirumuskan bahwa: “Badan
Hukum Pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain berbentuk Badan
Hukum Milik Negara (BHMN).”
Dari rumusan tersebut terkesan bahwa BHP menjadi satu-satunya alternatif
bentuk penyelenggaraan satuan pendidikan, khususnya untuk pendidikan
formal. Sementara itu, mensinkronkan ketentuan-ketentuan hukum dan
menjaga konsistensinya dengan produk-produk hukum dan peraturan
perundang-undangan lainnya, bukanlah pekerjaan yang mudah serta
memerlukan ketelitian, sehingga tidak menimbulkan tumpang-tindih
kewenangan, kerancuan maupun bertentangan. Sekalipun demikian, yang
lebih esensial adalah, bagaimana suatu produk hukum yang dibuat dapat
mewadahi, mengatur dan mendukung konsep yang diinginkan, sesuai dengan
aspirasi perubahan yang dikehendaki bersama. Oleh karena itu, cita-cita
dan konsep itulah yang harus jelas terlebih dahulu, baru bagaimana
mengatur ketentuan-ketentuan hukumnya.
Di samping itu, pengalaman-pengalaman praktek dan pertimbangan-
pertimbangan sejauhmana keterlaksanaan ketentuan tersebut dalam
konteks dan kondisi pendidikan yang ada, perlu menjadi pertimbangan
penting, sehingga ketentuan hukum yang baik tidak akan menjadi suatu
yang baik di atas kertas saja.

Landasan Konseptual (conseptual bases)


Menurut hemat penulis, ada beberapa dasar pemikiran yang harus diwadahi
dalam penyelenggaraan dan pengelolaan suatu pendidikan. Yang penting,
untuk tidak mengulangi kelemahan-kelemahan sistem pendididkan yang lalu
yang cendrung sentralistis adalah: Pertama, kita ingin mengurangi atau
menghilangkan serba ketergantungan lembaga pendidikan terhadap
berbagai macam petunjuk, pengarahan dan kebijakan lainnya, selain
kebijakan dan standar nasional yang telah disepakati. Sikap serba
ketergantungan ini menjadikan suatu pendidikan kurang bersikap mandiri,
kurang inisiatif dan kurang kreatif. Kedua, kita menginginkan lembaga yang
responsif terhadap lingkungan, baik dalam konteks perubahan yang bersifat
lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu, maka bentuk organisasi BHP
dan fungsinya harus fleksibel. Ketiga, kita menginginkan efesiensi dalam
pengelolaan satuan pendidikan, baik dalam hal penggunaan Sumber Daya
Manusia (SDM), dana maupun waktu. Keempat, kita juga menginginkan
akuntabilitas penyelenggaran pendidikan yang jelas kepada semua
stakeholders, bukan hanya dalam masalah administratif, tetapi juga
masalah tehnik edukatif, tarutama kaitannya dengan upaya melahirkan
pendidikan yang bermutu. Kelima, kita juga menginginkan partisipasi
masyarakat yang lebih besar dalam penyelenggaraan pendidikan, sebagi
wujud demokratisasi pendidikan. Keenam, kita ingin tetap mempertahankan
tanggung jawab sosial lembaga pendidikan, dalam situasi yang
mengedepankan profesionalisme dan kompetitif. Ketujuh, kita
menginginkan pemerintah dengan adanya BHP mengurangi atau lepas
tanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam hal
menjaga keadilan dan persamaan (equity) yang berakibat mengurangi
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi anak-anak warga
masyarakaat yang kurang/tidak mampu.
Keinginan yang tercakup dalam butir-butir di atas akan merefleksikan
pendidikan yang bermutu, relevan dan kompetitif. Sementara keinginan
keeenam dan ketujuh merefleksikan tuntutan akan keadilan di bidang
pendidikan, equality dan equity merupakan kebijakan dasar dalam
pendidikan.
Untuk mewujudkan pelbagai keinginanan tersebut, di samping perlu
penjabaran dalam ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pokok
masalah yang bersangkutan, juga perlu adanya ketegasan dan kejelasan
kebijakan yang berkaitan dengan penyelengaraan satuan pendidikan oleh
pemerintah dan swasta (masyarakat), utamanya dalam hal pendanaan
pendidikan, dan lebih khusus lagi pada jenjang wajib belajar (pasal 34, UU
No. 20 tahun 2003).
Penerapan manajemen berbasis sekolah atau madrasah memerlukan
formula pendanaan (funding formula) yang jelas dan adil, sehingga ada
kepastian sumber pendanaan dalam menyelenggarakan pendidikan.
Bagimana pengaturan alokasi antara satuan pendidikan yang kaya dan
miskin, dan antara satuan pendidikan yang diselengarakan pemerintah dan
masyarakat.
BHP sebagi satuan organisasi nirlaba (social enterprise) yang harus tetap
hidup sejauh mana ia boleh mencari pendapatan dari masyarakat, dan
seberapa ia berhak memperoleh biaya dari pemerintah, perlu jelas
terutama untuk satuan pendidikan swasta.
Aspek Pelaksanan (praktical bases)
Bertolak dari kondisi real yang ada, satuan pendidikan kita baik yang
berstatus negeri maupun swasta, paling tidak terdapat tiga kelompok
sekolah/madrsah, yaitu: Pertama, sekolah/madrasah yang tergolong mampu
karena didukung baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah maupun
karena kemampuan masyarakat sendiri. Kedua, sekolah/madrasah yang
tergolong “sedang”, sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
mendukungnya. Ketiga, sekolah/madrasah yang lemah (miskin) yang
disebabkan baik karena kurangnya dukungan pemerintah maupun latar
belakang sosial ekonomi masyarakat yang lemah.
Untuk merespon persaingan dan mutu yang dihadapi, setiap kelompok
satuan pendidikan memiliki kadar kesiapan yang berbeda-beda. Sementara
kebijakan Pemerintah Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota yang adil belum jelas
formulanya, apalagi pelaksanaanya.
Kelompok sekolah/madrasah yang maju (kelompok pertama) akan relatif
lebih mudah untuk melaksanakan bentuk badan hukum penyelenggara
pendidikan apapun yang banyak memberikan keleluasaan dan kemandirian
untuk mencapai persaingan dan mutu. Sebagian di antaranya justru sudah
lebih dekat pada komersialisasi pendidikan, bahkan sudah ada yang
mengambil ancang-ancang untuk mengusulkan agar penyelenggaraan
pendidikan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT).
Kelompok tersebut tidak puas terhadap Undang-undang Yayasan yang sebagi
wadah penyelenggara pendidikan kurang memberi insentif untuk
persaingan, apalagi dalam konteks global.
Kita juga melihat kenyataan bahwa “pendidikan yang bermutu” sudah
menjadi komoditas bisnis oleh negara-negara di sekitar kita, seperti
Australia, Singapura dan Malaysia. Pendidikan yang diselenggarakan
beberapa negara tersebut berusaha menarik siswa-siswi dari Indonesia,
melalui pameran pendidikan yang dilakukan setiap tahun.
Di sisi lain, sebagian besar sekolah-sekolah yang sedang lemah, khususnya
swasta untuk memenuhi ketentuan undang-undang Yayasan tahun 2001 saja
sudah merasa berat. Utamanya dalam hal pemisahan antara penyelenggara
dan pengelola serta aturan pendanaan dan penggunannya.
Manajemen berbasis sekolah/madrasah yang sudah mulai dirintis oleh
pemerintah dapat berjalan tanpa harus menunggu adanya BHP, asalkan
“funding formula”-nya ditetapkan dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-
Undang SISDIKNAS pasal 49 ayat 3.
Sejalan dengan pelaksanaan MBS yang pelaksanaanya juga tidak dapat
dilakukan secara massal (harus secara bertahap), maka BHP sebagai bentuk
akhir model penyelenggaraan satuan pendidikan yang mandiri,
penerapannya harus dilakukan juga secara bertahap, yaitu melalui uji coba
atau program perintisan.
Hal tersebut penting, karena kemandirian suatu lembaga pendidikan
memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu, utamanya pengelola dan
pelaksana yang profesional dan pendanaan pendidikan yang pasti. Dengan
kata lain, untuk membuat sekolah/madrasah yang mendiri, langkah yang
pertama kali adalah dengan mempersiapkan SDM yang profesional.
Sehingga, mereka mempunyai kepercayaan diri yang kuat, tidak cukup
dengan peraturan atau keputusan-keputusan kebijakan. Di samping, untuk
menyiapkan satuan pendidikan menjadi mandiri, tentu saja diperlukan
waktu pelaksanaan secara bertahap.
Memperhatikan kondisi sekolah/madrasah di Indonesia yang sangat
beragam, menurut hemat penulis, BHP sebagai bentuk badan hukum
penyelenggaran pendidikan, merupakan salah satu alternatif. Sementara
bagi sekolah-sekolah yang masih sangat lemah, pengelolaannya harus
ditangani secara langsung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Hanya saja,
kebijakan keberpihakan pemerintah (affirmative policy) ini jangan sampai
berdampak pada sikap sekolah/madrasah dan masyarakat yang terus
menerus kurang mandiri. Sebab, masalah ini amat berkaitan dengan
kemajuan bangsa kita dalam sektor-sektor lain, misalnya sosial ekonomi.

Penutup
BHP sebagai bentuk badan hukum dalam penyelenggaran pendidikan/satuan
pendidikan formal merupakan pesan yang diamanatkan oleh Undang-undang
SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2002, yang ketentuan-ketentuannya masih akan
diatur dengan undang-undang. Dalam merancang undang-undang dimaksud,
kita tidak berangkat dari nol tetapi kita memperhatikan ketentuan dan
perundangan yang berlaku, konsep-konsep dan misi perubahan tatanan
pendidikan yang sedang berjalan. Di samping itu, kita juga memperhatikan
praktek pelaksanaan dan kondisi yang ada sekarang serta antisipasi kondisi
yang akan datang.
Dengan kondisi Indonesia yang sangat beragam, BHP hendaknya disikapi
sebagi satu alternatif bentuk final kemandirian sekolah yang setatusnya
bukan merupakan satu-satunya model badan hukum penyelenggaran satuan
pendidikan. Penerapan BHP yang diharapkan dapat memacu mutu dan daya
saing pendidikan di Indonesia, hendaknya tidak mengabaikan kesempatan
dan keadilan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu bagi Warga
Negara Indonesia (WNI) yang kurang mampu. 
Ma’rifat
SEKOLAH DAN PERAN STRATEGISNYA DALAM MEMPERSIAPKAN
MUTU PENDIDIKAN DI ERA DESENTRALISASI

Sumber
Direktorat Jenderal Dikdasmen

Pendahuluan
Dalam bagian pendahuluan ini disajikan sebagian hasil yang dicapai hingga
saat ini dari berbagai upaya peningkatan mutu di bidang pendidikan
antara lain:
Kondisi mutu saat ini dari hasil perolehan Nilai Ujian Akhir Nasional Tahun
2002:
Baik Sekali : 0,7 % (7,50) : 132 Sekolah
Baik : 4,49 % (6,50-7,49) : 831 Sekolah
Sedang : 23,69 % (5,50-6,49) : 4.382 Sekolah
Kurang : 57,37 % (4,50-5,49) :10.612 Sekolah
Kurang Sekali : 13,74 % (<4,49) : 2.542 Sekolah
Hasil studi yang dilakukan oleh The International Association for the
Evaluation of Education Achievement (IEA) terhadap kemampuan
Matematika, siswa SLTP Indonesia berada pada urutan ke-34, dan untuk IPA
pada urutan ke-32 dari 38 negara peserta.
Hasil observasi Taufik Ismail di beberapa negara ternyata anak-anak
Indonesia “rabun membaca dan lumpuh menulis”
Hasil berbagai Lomba Ilmiah, misalnya Lomba Internasional Fisika yang
diikuti oleh siswa kita dari tahun ke tahun cukup menggembirakan, bahkan
sempat meraih predikat Juara Umum (Lomba Internasional Fisika di Bali).
Sajian informasi seperti tersebut di atas, dimaksudkan untuk mengajak kita
semua, baik para pembuat kebijakan maupun para pelaksana kebijakan,
terutama untuk mengkaji kembali mengapa berbagai upaya yang
dilaksanakan selama ini dalam meningkatkan mutu pendidikan, belum
memperlihatkan hasil yang menggembirakan? Apakah sebenarnya yang
terjadi di sekolah kita?
Bagaimanakah Keadaan Lembaga Pendidikan Sekolah Kita?
Prof. DR. H. Soedijarto, MA. dalam tulisannya tentang Pendidikan sebagai
Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa (hal. 68-69)
diantaranya menyatakan: sekolah-sekolah kita di Indonesia saat ini pada
umumnya hanya merupakan tempat para murid mengikuti pelajaran di
kelas. Mereka datang ke sekolah untuk masuk kelas dan setelah selesai
langsung kembali ke rumah. Dalam banyak kasus, sesampai di rumah,
terutama anak usia sekolah dasar, mereka sering tidak menemukan orang
tua yang menunggu, tetapi hanya pembantu atau bahkan sering terjadi
mereka tidak menemui siapapun di rumah. Sekolah di Indonesia pada
umumnya tidak memungkinkan murid atau siswa kembali ke sekolah setelah
sampai di rumah untuk melakukan kegiatan skolastik seperti memanfaatkan
perpustakaan atau bertemu dengan guru untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi.
Sekolah semacam ini sukar diharapkan menjadi tempat untuk dikenang
sebagai pusat orientasi. Sekolah yang dipandang akan mampu menjadi pusat
sosialisasi, khususnya bagi kesetiaan kepada almamater adalah, sekolah
yang dapat dimanfaatkan oleh para siswa untuk belajar dan bergaul, tidak
hanya dalam pengertian skolastik, tetapi juga dalam bidang lainnya.
Interaksi para siswa dalam lingkungan akademik, dan interaksi yang terus
menerus antara siswa dan para gurunya dalam suasana kehidupan
intelektual dan akademik yang menantang, dan interaksi sosial dalam
bidang non-akademik yang melampaui batas disiplin ilmunya akan mampu
mempribadikan nilai-nilai perolehan pengetahuannya, yang intinya adalah
kejujuran yang tulus, sikap dan tanggung jawab serta pengabdian kepada
kebenaran ilmu bagi pembangunan bangsa pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan adanya suatu
pandangan bahwa hanya dengan sekolah yang dapat menjadi lembaga
sosialisasi dan pusat belajar seperti digambarkan di atas, kita dapat
berharap ampuhnya lembaga pendidikan (sekolah) sebagai wahana strategis
bagi terbinanya generasi muda yang bermutu, baik dalam watak dan
sikapnya sebagai warga negara, termasuk solidaritas nasional dan disiplin
nasional maupun kemampuannya. Sekolah-sekolah di negara maju seperti di
RFJ, Amerika Serikat, dan Jepang adalah pusat belajar bagi anak-anak
dalam segala seginya. Di Indonesia, sekolah yang ada sekarang hanya
merupakan tempat untuk bertemu guru di kelas sehingga proses sosialisasi
sangatlah minim. Sering orang melupakan bahwa kebersamaan di sekolah
dengan disiplinnya dan kedudukan sekolah sebagai pusat belajar dalam arti
yang luas sudah merupakan kurikulum tersendiri.
Bagaimana dengan Kondisi Proses Pembelajaran Yang Ada di Sekolah?
Tahun 1980 Direktorat Pendidikan Menengah Umum dengan bantuan grant
dari UNDP berupaya memperbaiki cara pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) melalui kegiatan pelatihan guru yang dikenal dengan
Pemantapan Kerja Guru (PKG) IPA bagi guru SMP dan SMU yang awalnya
dimulai pada 8 propinsi di Indonesia. Pelatihan menggunakan Pola In-Service
(pelatihan yang dilaksanakan pada Pusat Pelatihan Guru di Propinsi) dan On-
Service Trainning (praktik hasil pelatihan di sekolah peserta), serta
pertemuan mingguan. (pertemuan para peserta pelatihan di propinsi untuk
saling berbagi pengalaman anatar peserta selama On-Service dengan
fasilitator Pelatih Nasional yang ada di Propinsi).
Pembaharuan yang dilakukan antara lain dengan memperkenalkan
bagaimana pembelajaran IPA yang seharusnya dilakukan, diperkenalkan
metode, pendekatan, maupun penguatan latar belakang materi serta
penyusunan pokok uji. Selain itu juga diperkenalkan taknik bertanya,
menganalisis kurikulum, menganalisis pokok uji.
Pelatih (dikenal dengan sebutan instruktur) berasal dari guru IPA terpilih
dari berbagai propinsi (melalui seleksi) dan dilatih di Regional Center for
Science and Mathematic (RESCAM) di Penang, Malaysia, dengan materi
pelatihan yang dirancang khusus untuk keperluan pengajaran IPA di
Indonesia. Selain di RESCAM, sebelum melatih di propinsi, para instruktur
nasional mengikuti Lokakarya Nasional untuk mempersiapkan bahan
pelatihan di pusat Pengembangan Penataran Guru IPA di Bandung, dengan
pelatih berasal dari Perguruan Tinggi (IKIP Bandung, ITB, UI dan konsultan
dari Australia dan Inggris). Hasil dari upaya ini berdasarkan hasil studi oleh
Tim Nasional maupun internasional menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu
berhasil memperbaiki cara kerja guru dan hasil pembelajaran siswa. Bahkan
siswa-siswa yang diajar oleh guru peserta PKG, berkecenderungan untuk
dapat menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Selain PKG-IPA juga
dikembangkan untuk Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Ilmu
Pengetahuan Sosial. Kegiatan PKG juga diiringi kegiatan pelatihan bagi
Kepala Sekolah maupun pengawas. Namun dalam perkembangannya,
mempertahankan hasil-hasil yang ada selama kurun waktu sampai dengan
tahun 2000-an bukanlah pekerjaan yang mudah dilaksanakan. Berbagai
kebijakan dan perubahan yang terjadi di negeri ini rupanya banyak
mempengaruhi kinerja sekolah. Terlebih lagi adanya kebiasaan kurang baik
pada sebagian tenaga kependidikan kita, yang hanya rajin dan tekun pada
setiap pelatihan, namun setelah selesai program pelatihan tidak dapat
mempertahankan pengaruh lingkungan sekitar yang akhirnya kembali
menggunakan pola pembelajaran yang konvensional.
Reformasi dalam Bidang Pendidikan
Reformasi pendidikan melalui pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam
rangka otonomi daerah dewasa ini akan sangat menentukan sosok dan
kinerja sistem pendidikan nasional di masa depan. Tujuan utama reformasi
pendidikan adalah membangun suatu sistem pendidikan nasional yang lebih
baik, lebih mantap, dan lebih maju dengan seoptimal mungkin
memberdayakan potensi daerah dan partisipasi masyarakat lokal. Dalam hal
ini perlu ditekankan bahwa meskipun pengelolaan pendidikan menjadi lebih
berkonteks lokal, namun semuanya harus tetap berada dalam kerangka satu
sistem pendidikan nasional di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dengan kata lain, diberlakukannya otonomi daerah termasuk dalam
bidang pendidikan, tidak ada yang disebut “sistem pendidikan daerah”
karena yang ada “sistem pendidikan nasional” yang sebagian besar urusan
atau penyelenggaraannya dilaksanakan oleh daerah (Jalal dan Supriyadi,
2001: v).
Pelaksanaan reformasi pendidikan memerlukan kesiapan semua pihak untuk
berubah. Untuk itu, pertama-tama perlu pemahaman yang komprehensif
tentang berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan nasional saat
ini dan kemauan untuk mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu.
Berdasarkan pemahaman tersebut, dapatlah ditetapkan pilihan-pilihan
kebijakan yang rasional untuk membenahi dan meningkatkan kinerja sistem
pendidikan nasional.
Salah satu aspek yang mengalami perubahan sangat signifikan pada era
otonomi daerah dn desentrelisai adalah peran dan hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bila di masa lalu pemerintah
pusat sangat berperan dalam menentukan berbagai kebijakan pendidikan
nasional, maka dewasa ini peran pemerintah pusat lebih terfokus pada
penetapan kebijakan strategi yang bersifat nasional. Di pihak lain, hal-hal
yang bersifat teknis dalam pengelolaan pendidikan ditangani oleh daerah
dengan titik berat pada tingkat kabupaten dan kota.
Seiring dengan adanya reformasi di bidang pendidikan, hal ini berpengaruh
pada berbagai kebijakan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.
Kebijakan dimaksud antara lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan
persekolahan yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Salah
satu wujud dari penjabaran MBS dalam rangka peningkatan mutu pada
jenjang pendidikan dasar dikenal dengan kebijakan Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang diartikan secara umum, manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah,
memberikan fleksibiltas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah dan
mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat,
ilmuan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku (catatan: MPMBS tidak dibenarkan menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku).
MPMBS memiliki sejumlah karakteristik yang tidak dapat dipisahkan dengan
karakteristik sekolah efektif. Adapun karakteristik sekolah efektif yaitu: 1).
strong leadership of the principal; 2). emphasis on mastery of basic
skills; 3). a clean and orderly school environment; 4). high teacher
expectations of student performance; and 5). frequent assessments of
student progress.
Agar aktifitas yang ada di sekolah dapat mengikuti perubahan maupun
perkembangan jaman khususnya dibidang pendidikan, perlu kiranya
memperhatikan Empat Pilar Belajar sebagai titik berangkat yang strategis
mengaktualisasikan potensi sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Empat Pilar Belajar (Learning to know, learning to do, learning to live
together, and learning to be) oleh UNESCO dipandang sebagai pendekatan
belajar yang perlu diterapkan untuk menyiapkan generasi muda memasuki
abad ke-21, hakekatnya merupakan pendekatan belajar yang telah
diperkenalkan oleh tokoh-tokoh pemikir pendidikan sejak permulaan abad
ke-20.
Learning to know, adalah proses belajar yang memungkinkan siswa
menguasai teknik memperoleh pengetahuan, yang mengutamakan proses
pembelajaran yang memungkinkan siswa terlibat dalam proses meneliti dan
mengkaji.
Learning to do, sasarannya adalah mempersiapkan generasi yang intelegent
dalam bekerja, pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan
berinovasi.
Learning to live together, adalah kemampuan untuk hidup bersama dengan
orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa
prasangka. Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang
bersamaan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki
kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman
tersebut terdapat persamaan.
“Learning to be,” tiga pilar yang terdiri dari: learning to know, learning
to do dan learning to live together ditujukan bagi lahirnya generasi muda
yang mampu mencari informasi dan atau menemukan ilmu pengetahuan,
yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu
bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila
ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa
percaya diri pada masing-masing peserta didik. Hasil akhirnya adalah
manusia yang mampu mengenal dirinya, yaitu manusia yang berkepribadian
yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan
emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat
mengendalikan dirinya yang konsisten dan memilki rasa empati (emotional
intellegance).
Ke empat pilar tersebut di atas sejalan dengan pemikiran-pemikiran yang
pernah digagas oleh Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan “agar akal dan
kecerdasan yang dibawa anak sejak lahir dapat tumbuh dan berkembang
dengan wajar dan optimal, maka Ki Hadjar menerapkan “tut wuri
handayani”, memberi kesempatan anak didik maju ke depan (para
guru/pendidik cukup di belakang memberi dorongan) agar supaya ada
keberanian bertindak, berani mengemukakan pendapat, berinisiatif dan
mempunyai rasa tanggung jawab, selama berlangsungnya proses belajar
mengajar. Kondisi ini hanya mungkin terjadi jika suasana pembelajaran
dapat membangun atau menumbuhkan kemauan (ing madya mangun karsa),
dan juga sekaligus memberikan contoh-contoh pada saat diperlukan,
sehingga perlu berada di depan (ing ngarsa tulada), agar setiap anak didik
dapat mengamati berbagai proses yang sedang dan akan dialami (hal ini
erat hubungannya dengan perlunya pengalaman yang oleh Jhon Dewey
diartikan sebagai ciri dari dinamika hidup).

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa:
1. Pendidikan masa depan memerlukan kesiapan sekolah dan pihak
terkait untuk menciptakan terjadinya interaksi dibidang akademik
maupun non akademik.
2. Sekolah dituntut mampu memberikan layanan bagi murid atau siswa
kembali ke sekolah (setelah pulang sekolah) melakukan kegiatan non
skolastik seperti olahraga, kesenian atau kegiatan kepemudaan
lainnya serta kegiatan skolastik seperti memanfaatkan perpustakaan
atau bertemu dengan guru untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi.
3. Perlu diciptakan kondisi yang memungkinkan penerapan empat pilar
sebagai landasan kerangka pembelajaran di sekolah.
4. Perlu diciptakan kemandirian sekolah sebagai perwujudan MPMBS
yang menerapkan prinsip-prinsip yang merupakan ciri sekolah efektif.
5. Aktivitas di sekolah hendaknya selalu diwarnai dengan tuntutan
perubahan paradigma pendidikan dengan maksud agar mampu
menjawab tantangan perkembangan zaman, namun tetap
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan
wajar dan optimal.
6. Perlunya kesungguhan semua pihak terkait untuk memberikan
dukungan dalam layanan pendidikan yang mampu menjawab
tantangan zaman.
Turats
SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI:
AKAR TRADISI INTELEKTUAL NU

Oleh
Dr. Mamat Slamet Burhanuddin, MA
Dosen UIN Jakarta & IAIN Raden Intan Lampung

Nama Syaikh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi di telinga umat
Islam di Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya
dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i. Karya-karya Imam Nawawi (w.
676 H/1277M) yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional di seluruh
Indonesia, sampai sekarang masih banyak dikaji. Sehingga, nama kiyai asal
Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat dalam memberikan
wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majelis taklim,
karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, mulai ilmu
tauhid, fiqh, tasawuf sampai bidang tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa
dalam mengarahkan mainstream keilmuan yang dikembangkan di lembaga-
lembaga pesantren yang berada di bawah naungan organisasi Nahdlatul
Ulama (NU).
Di kalangan komunitas pesantren, Syaikh Nawawi tidak hanya dikenal
sebagai ulama penulis kitab, tetapi ia juga adalah maha guru sejati (the
great scholar). Nawawi telah berjasa meletakkan landasan teologis dan
batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia
turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri
pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi NU.
Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa
dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syaikh Nawawi adalah guru
utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, sering kali
KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syaikh
Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan airmata karena
besarnya kecintaan beliau terhadap gurunya.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum Organisasi
NU berdiri merupakan kajian yang luput dari para pemerhati NU. Terlebih
lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama
tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu
faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi
pemahaman masyarakat yang simplistis terhadap NU. NU seringkali
dipahami sebagai organisasi keagamaan yang melulu bergerak dalam sosial-
politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, tapi
bukan sebagai organisasi intelektual-keagamaan yang bergerak dalam
bidang keilmuan untuk mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran
dan terkaget-kaget ketika menyaksikan situasi belakangan ini, banyak anak
muda NU yang mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan
progresif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar
tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal.
Dari fakta sejarah dapat diasumsikan bahwa sebenarnya kelahiran NU dapat
dikatakan sebagai pelembagaan dari gerakan pelestarian tradisi keilmuan
Islam. Berbeda dengan kalangan modernis yang melakukan pembaharuan
secara revolusioner dengan meninggalkan jejak para as-salaf as-shalihun
ketika dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan modernitas, maka NU
menanggapinya secara evolusioner, yakni tetap apresiatif terhadap
khazanah klasik dan terus melakukan inovasi-inovasi kreasi baru yang lebih
berdaya guna. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi
keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf.
Figur ulama seperti Syaikh Nawawi Banten merupakan sosok ulama
berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian. Ia memegang
teguh, mempertahankan tradisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang
tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam
pembentukan keilmuan agama Islam. Karena besarnya pengaruh pola
pemahaman dan pemikiran Syaikh Nawawi Banten terhadap para tokoh
ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi
keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok
sang kiyai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak
menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di
pesantren-pesantren.

Mengenang Hidup Syaikh Nawawi


Syaikh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad
ibn Umar al-Tanara al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad
Nawawi al-Jawi al-Bantani yang dilahirkan di kampung Tanara, Serang,
Banten pada tahun 1815 M/1230 H. pada tanggal 25 Syawwal 1314 H/1897
M, Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir diusia 84 tahun. Ia
dimakamkan di Ma’la di dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin, istri
Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa, khususnya Banten,
Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at
terahir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk mempe-ringati
jejak peningg-alan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin
masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-
12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu
keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama
Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad
melalui Imam Ja’far al-Shiddiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal
Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Makkah
menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu
kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir, dan terutama ilmu fiqh.
Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833
dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk
membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah
menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat.
Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak
didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya
beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai
dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama
kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas dan Syeikh Abdul
Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar
pada Syaikh Ahmad Dimyati dan Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di
Mekkah. Sedang di Madinah ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hambali.
Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir
dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga
pernah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya
pun berasal dari Mesir seperti Syaikh Yusuf Sumbulawini dan Syaikh Ahmad
Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung
halamannya, ia menimba ilmu lebih dalam lagi di sana selama 30 tahun.
Baru kemudian pada tahun 1860, Nawawi mulai mengajar di lingkungan
Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan
kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syaikh di sana.
Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis
kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang
meminta untuk menuliskan beberapa kitab, kebanyakan permintaan itu
datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan
untuk dibacakan kembali didaerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat
dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya.
Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar
(Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit
dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang lain,
Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang
sering mengalami perubahan (tahrif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-
ulama besar lainnya, sebelum naik cetak, naskahnya terlebih dahulu dibaca
oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya
mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan
bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke
daerah Mesir dan syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama
Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke
14 H/ 19 M. karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama al-
Qur’an al-Rabi’ ‘Asyr li al-Hijrah; Al-Imam al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-
Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam
mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia
sering mendelegasikan siswa-siswa senior untuk membantunya. Cara ini
kelak ditiru sebagai metode pembelajaran dibeberapa pesantren di Pulau
Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu
dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses
pembelajaran dengan kiai tidak mendapat kesulitan.

Kontaknya dengan Ide Pembaharuan di Mesir


Dedikasi Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan
menulis, mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya
yang tersebar luas setelah diterbitkan diberbagai daerah memberi kesan
tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas
al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di
suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena
nama Nawawi sudah dikenal lewat karya-karyanya yang telah banyak
tersebar di Mesir. Mereka ingin mendengar lebih detail langsung dari
penulisnya.
Kunjungan Nawawi ke Mesir, terlebih di Universitas al-Azhar, suatu tempat
yang kelak menjadi pusat pembaharuan pemikiran Islam, dalam forum
ilmiah, mengindikasikan interaksi intelektual antara Nawawi dengan
dinamika gejolak pemikiran yang terjadi di negeri tersebut. Dalam prediksi
Azyumardi Azra, kontak intelektual antara ulama Mesir dan Mekkah memang
sudah lama terjadi. Sejak abad ke-18, kontak antara Kairo dan Mekkah
sudah cukup intens. Banyak di antara murid-murid di Mekkah tertarik
berguru pada sejumlah guru besar asal Kairo. Nawawi sendiri memilih
Syaikh Sumbulaweni yang berasal dari Kairo sebagai guru utamanya.
Bahkan kontak Nawawi dengan Mesir diperkirakan sudah berlangsung lama
karena menurut Snouck Hurgronje, tafsir Marah Labid adalah karya Nawawi
yang pertama dicetak di Mekkah , di mana karya-karya sebelumnya dicetak
di Mesir. Ini menunjukkan bahwa Nawawi sudah lama menjalin hubungan
dengan ulama Mesir, karena menurut Zamakhsyari, semua tulisannya yang
mau naik cetak selalu dikonsultasikan kepada ulama setempat.
Penting untuk diperhatikan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, gerakan
pembaharuan di Mesir sudah banyak disuarakan oleh Jamaluddin Al-Afghani
dan Muhammad Abduh. Gema seruannya terdengar di seluruh pelosok
negara-negara Islam. Di bidang pemikiran, gerakan ini tengah menggalakkan
untuk kembali kepada sumber utama Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis.
Menurut gambaran Azyumardi Azra, Mesir ketika itu, suhu pemikiran
Islamnya, tidak jauh berbeda dengan Mekkah dan Madinah. Kedua kawasan
ini masih kuat bertitik tolak pada Islam tradisional, dengan titik tekan pada
kajian hadis dan sufisme. Bahkan sebenarnya, ide kontroversial Jamaluddin
al-Afghani dan Muhammad Abduh mendapat tantangan keras dari para
ulama. Ketika Abduh melakukan reformasi kurikulum al-Azhar, Azyumardi
mengibaratkan bahwa Abduh membenturkan kepalanya sendiri di tembok
keras. Sekalipun tidak berhasil, gerakan Abduh bukan berarti tidak
berdampak, tetapi bahkan terjadi polarisasi antara modernis dan
tradisionalis dalam masalah “ijtihad-taklid.”
Bertepatan dengan itu, beberapa tahun seusai kunjungan ke daerah Mesir,
Nawawi terdorong untuk menulis karya tafsir al-Qur’an. Boleh jadi sewaktu
di Mesir, ia mendapat desakan sekaligus tantangan dari para ulama Mesir
untuk segera menulis karya tafsir, sebagai respon terhadap seruan gerakan
pembaharuan modernis. Sebagaimana diketahui, bahwa tafsir Marah Labid
ditulis atas desakan koleganya pada tahun 1884 dan diterbitkan pada tahun
1888. Hal ini menunjukkan, di saat kedua tokoh pembaharu (Al-Afghani dan
Muhammad Abduh) masih menggeluti gerakan politik, jauh di Jazirah Arab,
tepatnya di Mekkah, sudah ada yang menyadari pentingnya tafsir al-Qur’an,
meski masih kental dengan ciri tradisionalnya. Dan yang sangat dibanggakan
adalah, bahwa dua puluh tahun sebelum tafsir Al-Manar karya Muhammad
Abduh yang sering diidentikkan dengan rujukan gerakan pembaharuan
pemikiran Islam, ternyata ulama tersebut adalah putra terbaik dari Melayu
Indonesia. Apabila disandingkan dengan nama Muhammad Abduh, bagi
masyarakat Indonesia, Nawawi bagaikan Al-Ghazali abad ke-20-an yang
menawarkan sikap spiritualitas moderat. Sementara Abduh merupakan Ibnu
Rusyd yang lahir kembali pada abad ke-20 untuk mengkampanyekan sikap
rasional dalam memahami Islam.
Dilihat dari segi penamaan kitab tafsirnya, nampaknya Nawawi memiliki
ambisi untuk memberikan identitas Qur’ani bagi masyarakat muslim yang
kuat mempertahankan khasanah tradisionalnya. Dalam prediksi Asnawi,
kitab ini diposisikan sebagai jawaban terhadap tuntutan kondisi umat Islam
yang dianggap masih lemah dalam menghadapi budaya Barat, sekaligus
juga sebagai pionir dalam kajian al-Qur’an di tengah-tengah tradisi
intelektual yang hanya mengulang karya ulama klasik dengan mensyarah
saja. Dalam laporan Abd al-Jabbar yang telah menginventarisasi tokoh-
tokoh ulama Mekkah dan Madinah di abad ke-14 H, diindikasikan bahwa
hanya sedikit –kalau tidak dikatakan tidak ada– tokoh yang menulis kitab
tafsir. Dari 129 tokoh yang terkenal hanya dua orang yang menulis kitab
tafsir: Nawawi al-Bantani dengan kitab Marah Labid-nya dan Sayyid Bakri
bin Muhammad Zainul Abidin Syata (1266 H/1849-1893 M) dengan karyanya
Tafsir Al-Qur’an. Dari kedua tokoh ini pun hanya Nawawi yang menulis
lengkap sampai penerbitannya. Sedangkan Bakri hanya menulis sampai Surat
al-Mu’minun saja.

Karakteristik Pemikirannya
Dari puluhan risalah kitab yang ditulis Syaikh Nawawi, Brockleman
membaginya dalam tujuh kategorisasi bidang, yakni bidang Tafsir, Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Sejarah Nabi, Bahasa dan Retorika. Hampir semua bidang
ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang Tafsir yang ditulis hanya satu
kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini, dapat dijadikan bukti
bahwa memang KH. Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin
dan all round, dalam semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan
pengetahuam Nawawi yang tersebar dipuluhan karyanya ini membuat
kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara
komprehensif.
Tetapi dari sudut epistemologi-nya, tentu ada satu benang merah yang
dapat ditarik dan disimpulkan dari semua pemikirannya, yaitu bahwa
ternyata ia memiliki karakteristik pola pikir yang khas dan tipikal. Hampir
disemua bidang keilmuan, Nawawi konsisten mengacu pada rujukan yang
dinilainya otoritatif. Ia menggunakan warisan keilmuan (turats) ulama salaf
sebagai pijakan analisisnya untuk merekonstruksi opini pemikirannya.
Dengan perspektifnya yang orisinal, ia merancang ulang rumusan bangunan
keilmuan Islam dalam formulasi pemikirannya. Pada saat yang sama ia juga
dengan tegas menolak corak pemikirannya dikategorikan sebagi taklid
semata. Menurutnya taklid tanpa mengetahui dalil sangat dilarang dalam
agama, namun taklid dalam arti memegang argumentasi yang sama sangat
dianjurkan. Bahkan ia menegaskan bahwa semua bidang keilmuan Islam
harus dibangun berdasarkan hasil ijtihad (berpikir rasional) terhadap dalil-
dalil Yang sesuai dengan bidang keilmuannya.
Dalam kitab Nihayat al-Zain, salah satu kitab fiqh-nya, Nawawi mengatakan
bahwa seorang yang telah memiliki kualifikasi sebagai seorang mujtahid
muthlaq haram hukumnya bila mengikuti pendapat orang lain. Ia akan
berdosa karena bersalah tidak melakukan upaya ijtihad. Namun dalam kitab
yang sama ia memberikan formulasi tertentu dalam membangun opini
pemikiran bagi orang yang tidak memiliki perangkat keilmuan sebagi
seorang mujtahid muthlaq. Di sana dikatakan bahwa bagi mereka yang tidak
termasuk dalam kelompok ahli ijtihad wajib mengikuti salah satu dari
empat madzhab. Dalam bidang hukum (fiqh) yakni Syafi’i, Maliki, Hanafi
dan Hambali; Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-
Maturidi dalam bidang teologi (tauhid); serta mengikuti al-Ghazali dan Abu
al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dalam bidang tasawuf. Selanjutnya
Nawawi meyakinkan pembaca kalau formulasinya ini direkomendasikan oleh
al-Qur’an “Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mengetahui jika
kamu tidak memahami” (QS 16: 43).

Bidang Fiqh
Tidak berlebihan bila dalam bidang Fiqh Nawawi dikatakan sebagai
“corong” madzhab Imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. melalui karya-
karyanya seperti Syarh Safinah al-Naja, Syarh Sulam al-Taufiq, Nihayat al-
Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ‘ala Fath al-Qarib, Nawawi
berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna. Bahkan ia telah
berhasil membentuk masyarakat muslim menjadi apa yang dikritik oleh para
sarjana modernis sebagai “fiqh oriented”. Selain itu karya-karyanya pun
dipandang sebagai rujukan standar madzhab Syafi’i mengenai petunjuk-
petunjuk kehidupan praktis dan aktifitas ibadah sehari-hari.
Menjadi pengikut madzhab Imam Syafi’i bagi Nawawi bukan tanpa alasan.
Justru ini adalah pilihan yang telah digariskan dalam prinsip pola
pemikirannya. Sejalan dengan prinsip tersebut ia mengaku bahwa dirinya
bukan termasuk golongan yang berkualifikasi mujtahid muthlaq karena ia
merasa tidak memiliki keilmuan yang cukup, maka dari itu ia memilih
bermadzhab. Menurutnya dalam memilih madzhab pun umat Islam
dianjurkan untuk selektif. Hanya ada empat madzhab yang otoritatif. Selain
kepada empat madzhab ini dianggap tidak bermadzhab. Karenanya kita
tidak diperbolehkan mengikuti al-Imam Sufyan al-Tsauri, Sufyan ibn
Uyainah, Abd ar-Rahman ibn Jauziy dan sebagainya.
Hal menarik untuk dicermati adalah Nawawi juga melarang untuk mengikuti
madzhab para sahabat Nabi, alasannya karena pendapat para sahabat
belum terhimpun dalam rumusan pemikiran yang sistematik. Larangan ini
dapat dipahami bila bermadzhab diartikan sebagai langkah mengikuti pola
pikir argumentatif dari seseorang sebagai wujud langkah bersikap taqlid.
Sementara para sahabat belum memiliki kaidah ilmiah yang jelas.
Karena alasan inilah barangkali kenapa Nawawi dalam menyusun tulisannya
tidak bisa dilepaskan dari rujukan ulama klasik yang dianggapnya otoritatif.
Rujukan ulama madzhab yang banyak diikuti Nawawi adalah Muhammad
Ramliy dan Ahmad ibn Hajar. Dalam penilaiannya kedua orang ini adalah
umdat li al-mutaakhir min ‘ulama al-Syafi’y (pilar bagi ulama Syafi’iyah
kontemporer).
Meskipun Nawawi hidup di tengah-tengah lingkungan yang mulai banyak
dipengaruhi aliran Wahabi yang mengharamkan ziarah kubur, dan
mengunjungi tempat-tempat keramat, akan tetapi Nawawi tetap
menganjurkan para jema’ah haji untuk melakukan ziarah kubur ke makam
Nabi dan makam orang-oarang shaleh. Dia berargumen bahwa ziarah kubur
bisa menjadi wahana untuk mempertebal kecintaan kepada Nabi
(istihbaban muakkadan). Mengunjungi makam Nabi identik dengan tawajjuh
(dialog) bersama sang pemimpin umat dan mengenang perjuangan dan
keberhasilan dakwah Nabi. Selain itu hal yang penting adalah Nabi pun
pernah menyuruh untuk berziarah setelah sekian lama dilarangnya.

Bidang Teologi
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai
penganut teologi Asy’ari. Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di
bidang ini diantaranya Fath al-Mjid, Tijan al-Durari, Nur al-Zulam, al-
Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat al-
Saja, dan Mirqat al-Su’ud. Sejalan dengan prinsip pola pikir yang
dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Sebagai penganut Asy’ariyah
Nawawi banyak memperkenalkan konsep shifatiyyah Allah. Seorang muslim
harus mempercayai bahwa Allah dapat diketahui dari perbuatan-Nya,
karena sifat Allah adalah perbuatan-Nya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga
bagian: wajib, mustahil, dan mumkin. Sifat wajib adalah sifat yang pasti
melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat
yang pasti tidak melekat pada Allah dan pasti tidak adanya, sementara
mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.
Meskipun Nawawi bukan orang yang pertama yang membahas shifatyiyyah
Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil
memperkenalkan teologi Asy’ari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri
ini.
Kemudian mengenai dalil naqli dan ‘aqli, menurutnya harus digunakan
bersama-sama, tetapi kadang-kadang bila terjadi pertentangan diantara
keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk
meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan
Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari ‘aql. Bahkan tiga sifat di
atas pun diperkenalkan dan dilekatkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf
diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam akal pikirannya.
Tema penting yang perlu diketahui di sini adalah tentang kemahakuasaan
Allah (absoluteness of God). Sebagaimana teolog Asy’ariyah lainnya,
Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di
tengah-tengah dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabariyah. Dia
mengakui kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai jatuh
pada konsep Jabariyah yang meyakini bahwa sebenarnya semua perbuatan
manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya
manusia. Manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam
konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan
menyegarkan kembali ajaran agama dalam bidang teologi dan berhasil
mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabariyah di
Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi
Asy’ariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan
kolonialisme. Padahal fenomena kolonialiosme pada waktu itu telah
melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang
dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asy’ariyah pun turut
terkena. Dalam konteks Islam Jawa, teologi Asy’ariyah dalam kadar
tertentu sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari
kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan
diri kepada Allah, umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain
kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis.
Disinilah letak peran Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asy’ariyah-nya
yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Makkah berkumpul dalam
“koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprofokasi
bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non-muslim) haram
hukumnya. Dan sering kali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh
kolonial Belanda karena memiliki potensi perlawanan terhadap mereka.

Bidang Tasawuf
Demikian pula dalam bidang tasawuf, dengan aktivitas intelektualnya,
tercermin bahwa Nawawi amat bersemangat untuk menghidupkan disiplin
ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan
tasawuf ortodoks. Menarik untuk kita kritisi pendapat Snouck dalam
masalah ini. Menurut Snouck Nawawi tidak mengikuti anggota tasawuf apa
pun dan lebih banyak mempraktekkan ajaran al-Ghazali yang mengajarkan
etika tasawuf sederhana dan moderat. Selain itu kita sulit membuktikan
pendapat Karel Steenbrink yang menempatkan Nawawi sebagai tokoh yang
banyak mengkritisi tasawuf terutama tarekat, seakan Nawawi tidak setuju
dengan amalan-amalan praktek tasawuf. Padahal dari karyanya saja telah
menunjukkan bahwa Nawawi adalah seorang sufi brilian, ia banyak memiliki
tulisan di bidang tasawuf yang banyak dijadikan sebagai rujukan standar
bagi seorang sufi.
Brockleman mencatat ada tiga karya Nawawi yang dapat merepresentasikan
pandangan tasawuf: Misbah al-Zulam, Qami’ al-Tughyan, dan Salalim al-
Fudlala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ikhya’ ‘Ulumuddin
karya al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap
tarekat. Kita sulit menerima pendapat Snouck dan Steenbrink tersebut.
Bagaimana mungkin seorang penentang tasawuf banyak mengikuti ajaran-
ajaran tasawuf. Sri Mulyati dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
Nawawi, dalam pandangan tasawufnya, tidak tergantung pada gurunya
Syeikh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin
sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat,
namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat,
syari’at dan hakikat sangat erat sekali. Untuk memahami lebih mudah dari
keterkaitan ini, Nawawi mengibaratkan syari’at dengan sebuah kapal,
tarekat dengan lautnya, dan hakikat merupakan intan dalam lautan yang
dapat diperoleh dengan kapal yang melakukan pelayaran di laut. Dalam
proses pengamalannya, syari’at (hukum) dan tarekat merupakan awal dari
perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari
syari’at dan tarekat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Nawawi tidak
menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak
mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Dari paparan konsepsi tasawufnya ini, nampak terlihat bahwa Nawawi
konsisten dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf.
Term-term yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik.
Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan
dengan tokoh sufi indonesia lainnya. Ia dapat dibedakan dari karakteristik
tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf
Singkel dan sebagainya. Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih
banyak porsinya dalam menyadur teori-teori gnostik Ibn Arabi, Nawawi
justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syari’at.
Dalam formulasi pandangan taswufnya tampak upaya perpaduan antara fiqh
dan tasawuf. Ia lebih Ghazalian dalam hal ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai sesosok
al-Ghazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh
dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dalam pandangannya tentang
ilmu alam lahir dan ilmu alam bathin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh
dengan proses ta’allum dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat
‘alim. Sedangkan ilmu bathin dapat diperoleh dengan proses muraqabah
dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘arif. Seorang ‘abid diharapkan
tidak hanya menjadi alim yang hanya mengetahui ilmju-ilmu lahir saja
tetapi juga harus arif, memahami rahasia pengalaman spiritual ilmu bathin.
Bagi Nawawi tasawuf berarti pembinaan etika (adab). Penguasaan ilmu
lahiriyah semata tanpa penguasaan ilmu lahir akan berakibat terjerumus
dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu bathin
semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerembab dalam zindiq. Jadi
keduanya tidak dapat dipisahkan dalam pembinaan etika atau moral (adab).
Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap
moderatnya. Sikap ini terlihat ketika ia diminta oleh Sayyid Utsman bin
Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang
tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan sistem “yang
durhaka”. Permintaan Sayyid Utsman ini bertujuan untuk mencari sokongan
dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah
Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara
hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung
p e r a s a a n Sayyid
Utsman, sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami
kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual, namun di
sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.

Pengaruhnya Bagi Komunitas Pesantren NU


Untuk konteks Indonesia, Nawawi cukup memiliki arti tersendiri dan posisi
penting di antara para tokoh ulama. Sejumlah jama’ah haji yang mukim dan
belajar pada Nawawi di Mekkah, dengan bangga mengajarkan kembali
karya-karya Nawawi di tanah airnya. Masuknya karya-karya Nawawi di
kalangan muslim Indonesia, memiliki arti tersendiri karena saat itu tengah
dilanda kontroversi pemikiran kaum muda dan kaum tua atau dalam istilah
Deliar Noor antara kaum modernis dan Tradisionalis. Karya-karya Nawawi ini
berperan sebagai jembatan di antara keduanya. Apalagi terhadap kitab
tafsir al-munirnya, bagi kalangan modernis tafsir ini menjadi inspirator
untuk berani menggunakan al-Qur’an secara langsung sesuai kapasitas
keilmuannya sebagai sumber ajaran Islam. Dan bagi kaum tradisionalis
memberi cakrawala baru dalam menggunakan sumber referensi di bidang
tafsir.
Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keislaman yang
dikembangkan di pesantren mulai berkembang, misalkan dalam laporan
penelitian Van Bruinessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap
kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Bila sebelumnya
seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakan tidak ditemukan sumber
referensi di bidang tafsir, ushul fiqh dan hadits sejak saat itu bidang
keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya
perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim
Indonesia yang sangat berpengaruh: Syeikh Nawawi Banten sendiri yang
telah berjasa menyemarakkan bidang tafsir, Syeikh Ahmad Khatib (W. 1915)
yang telah berjasa mengembangkan ushul fiqh dengan kitabnya al-Nafahat
‘ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfud Termas (1915/20 M) yang telah
berjasa dalam bidang ilmu hadits.
Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di
seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan diseluruh wilayah Asia
Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok
tradisional di Malaysia, Filipina, dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di
sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan) dan Thailand. Menurut
Rai Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam University of
Philipines, ada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih
menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang
dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia,
mengajar karya-karya Nawawi semenjak periode 1950-1958 di Johor dan
beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia, menurut
Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 pondok
pesantren klasik yang tersebar di Indonesia, mencatat bahwa karya-karya
Nawawi memang mendominasi kurikulum pesantren. Sampai saat ia
melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan ada 22 judul tulisan
Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan
sampel penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren, ada
sekitar 11 judul populer diantaranya adalah karya Nawawi.
Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di
Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang
cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam
perjuangan nasional, diantaranya adalah: KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu
Ireng Jombang, Jawa Timur, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Kiai
Khalil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asy’ari dari Bawean yang
menikah dengan putri KH. Nawawi, Ny Maryam, KH. Najihun dari Kampung
Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Ny.
Salmah binti Ruqayah, binti Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari
Caringin, Labuan, Pandeglang, Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras,
Tanjung Keragilan, Serang, Banten, KH. Abd Ghaffar dari kampung
Lampung, Tirtayasa, Serang, Banten dan KH. Tubagus Bakri dari Sempur,
Purwakarta. Penyebaran karyanya disejumlah pesantren yang tersebar
diseluruh wilayah Nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofier mencatat bahwa pesantren di Indonesia
dapat dikatakan memiliki rangkaian genealogi yang sama. Polarisasi
pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring
dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut
mempercepat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagian besar
adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul
pengikat disejumlah pesantren yang ada, maka semuanya dapat diurai
peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan
warna jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah syaikh Ahamad Khatib
Sambas, Syaikh Nawawi Banten, KH. Mahfud Termas, KH. Abdul Karim, KH.
Khalil Bangkalan, dan KH. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama
merupakan guru dari tiga tokoh terahir. Mereka berjasa dalam menyebarkan
ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar dibeberapa
pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. KH. Hasyim Asy’ari, salah seorang
murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam
memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa.
Dalam respon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-
Hadits di setiap pemikiran Islam, misalkan KH. Hasyim Asy’ari lebih
cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang
tidak sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang
membaca kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir,
Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis
mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannya kepada santri dan ia
lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya
berjasa di daerah asalnya. KH Khalil Bangkalan dengan pesantrennya di
Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya
Nawawi. Begitu juga dengan Syeikh Abdul Karim yang berperan di Banten
dengan pesantrennya, ia terkenal dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat
Qadiriyah wa al-Naqsabandiyah, Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang
tasawuf di daerah Jawa Barat.
Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut
mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan
referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir, karya Nawawi telah dijadikan
sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassit di
dunia pesantren setelah al-Jalalain. Peranan kiai para pemimpin pondok
pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali.
Mereka, diberbagai pesantren, merupakan ujung tombak dalam transmisi
keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan Hasyim Asy’ari memiliki
semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi, sehingga
semakin memperkuat pengaruh pemikirannya.
Dalam bidang tasawuf saja, kita bisa menyaksikan betapa ia banyak
mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang
menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi, memang selain
menjadi benteng penyebaran ajaran tasawwuf dan tempat pengajaran kitab
kuning, juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat
heterodok versus tarekat ortodok di satu sisi dan pergulatan antara gerakan
fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karya di bidang tasawwuf
cukup memberikan kontribusi dalam melerai dua arus tasawwuf dan fiqh
tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua
kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu
sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.
Pada akhir abad ke-20an peasantren memiliki peran yang sangat strategis
dalam upaya penyebaran ajaran Islam di Nusantara. Pesantren berfungsi
sebagai agen perubahan dan pembaharuan di saat masyarakat Islam
Indonesia tengah membutuhkan penjelasan doktrin-doktrin Islam tradisional
yang sederhana dan praktis. Masyarakat Indonesia yang saat itu masih dalam
cengkeraman kolonial, belum membutuhkan tradisi pemikiran filosofis yang
kritis terhadap ide-ide pemikiran ulama klasik. Pesantren dalam hal ini
banyak menyuplai tokoh-tokoh agama yang cukup menopang kebutuhan
pemahaman keagamaan masyarakat.
Selain itu pengaruh kuat K.H. Nawawi dalam dunia pesantren tersebut telah
memperkuat fungsi pesantren sebagai agen intelektual di Indonesia. Dalam
konteks tradisi keilmuan pesantren ini, dapat dikatakan bahwa Nawawi
memang pantas disebut sebagai enciklopedy of Islamic sciences, karena
hampir semua bidang kurikulum pesantren mengacu pada hasil karya-
karyanya. Kita harus berterima kasih kepada murid-muridnya serta ulama
sejaman lainnya yang telah berjasa meletakkan dasar-dasar keintelektualan
dan memperkokoh pesantren sebagai pusat perkembangan keilmuan
tradisonal.
Bila dibandingkan dengan perkembangan perguruan-perguruan tinggi
dewasa ini di Barat, dimana cikal bakalnya dulu adalah perguruan-
perguruan yang semuanya berorientasi keagamaan. Maka kita bisa berkhayal
bahwa seandainya Indonesia tidak mengalami kolonialisme yang sering
menghambat perguruan-perguruan Islam, maka boleh jadi perguruan-
perguruan tinggi Universitas sekarang bukan UI, UGM, Unair dan sebagainya,
tetapi akan dikenal dengan Universitas Jombang, Termas, Krapyak, Tebu
Ireng, Lasem, Ploso dan sebagainya.
Gerakan intelektual dari para generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat
laun bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah
Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh
penguasa Ibn Sa’ud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren mebentuk
sebuah komite yang disebut dengan “Komite Hijaz” yang terdiri dari sebelas
kader ulama pesantren. Dengan dimotori oleh KH. Wahab Hasbullah,
seorang kiai produk perguruan Haramain juga, komite ini bertugas
melakukan negosiasi dengan Raja Sa’ud yang akan memberlakukan
kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan
bersejarah. Namun dalam perkembangannnya komite ini kemudian
berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam
wilayah politik praktis secara intens, organisasi ini kemudian mengalami
perubahan nama dari mulai Nahdlatul Wathan, sampai terahir manjadi
Nahdlatul Ulama (NU).
Secara genealogis jaringan intelektual NU yang ditarik dari garis KH. Hasyim
Asy’ari dan tersebar diseluruh pesantren semuanya bertemu pada Syaikh
Nawawi Banten. Ini menunjukkan bahwa Syaikh Nawawi merupakan akar
dari jaringan intelektual NU. Meskipun jaringan ini belum dapat
menggambarkan kompleksitas jaringan tradisi keintelektualan NU secara
utuh, karena di sini diperlukan kajian penelitian yang komprehensif dan
cermat untuk mengurai tradisi keintelektualan ulama NU. Namun sedikit
banyak telah menunjukkan adanya interaksi intelektual yang erat antara
dialektika intelektual di Haramain dengan tradisi keintelektualan NU.
Melacak dialektika pemikiran di awal abad XX atau sebelum NU berdiri,
memang memerlukan kecermatan tersendiri, karena tidak saja terkait
dengan pergulatan pemikiran di tingkat regional, akan tetapi terakait pula
dengan hiruk pikuk pergolakan sosio-politik dan sosio-intelektual di tingkat
internasional.
Dalam sejarah telah terbukti bahwa kelahiran NU sendiri tidak semata-
semata sebagai reaksi defensif dari berbagai aktivitas kelompok modernis
seperti Muhammadiyah, Persis atau organisasi modernis lainnya
sebagaimana dipahami oleh sebagian orang, akan tetapi justru NU lahir
sebagai respon reaktif dari suasana politik global yang terjadi di Timur
Tengah, khususnya di daerah Hjaz (Mekkah dan Madinah). Sejarah telah
jelas membeberkan bahwa NU lahir bertepatan dengan peristiwa
dhapuskannya lembaga Khilafah oleh Kemal Attaturk sebagai bagian dari
gerakan sekulerisme dan peristiwa jatuhnya Syarif Hussein, penguasa
Mekkah pada waktu itu, ke tangan Abd Azis Sa’ud yang beraliran Wahabi.
Kebijakan politik dari dua penguasa yang kaku terhadap lawan politik dan
aliran pemikirannya ini dinilai akan mengancam tradisi keilmuan tradisional
yang ada di Mekkah dan Madinah. Karenanya dianggap perlu untuk
ditanggapi secara resmi oleh sebuah keorganisasian para pemangku tradisi
keilmuan di Indonesia untuk menyelamatkan dan melestarikan manhaj al-
fikri dari khasanah ulama klasik ini.
Dalam konteks inilah perubahan nama organisasi dari Nahdlatul Wathan
yang bersifat regional menjadi Nahdlatul Ulama yang bersifat internasional,
dapat dipahami, karena ia menjadi bukti bahwa kelahiran NU tidak bisa
dilepaskan dari pergulatan wacana keilmuan dan politik tingkat global.
Harapan para pendiri organisasi dari perubahan nama tersebut adalah
aspirasinya didengar oleh dunia internasional. Bahwa kelompok intelektual
di Indonesia benar-benar serius menanggapi kebijakan penguasa baru
daerah Hijaz, Abd Azis Sa’ud, yang banyak melakukan penghancuran
tempat-tempat bersejarah di daerah tersebut.

Ikhtitam
Di akhir kalam ini dapat ditegaskan bahwa memang KH. Nawawi merupakan
sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU.
Sebab karakteristik pola pemikirannnya merupakan representasi
kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang
purifikasi dan pembaharuan. Dan kehadiran NU adalah untuk membentengi
tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan
tajdid terhadap khazanah klasik. Karenanya, formulasi manhaj al-fikr
tawaran Nawawi banyak dielaborasi oleh para ulama NU sebagai garis
perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap
konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa berdirinya NU
merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran Syaikh
Nawawi Banten. 
Silaturrahim
KEPEDULIAN & SEMANGAT KEBERSAMAAN:
di Sanalah Nasib Pendidikan NU Bergantung?

Silaturrahim
Prof. DR. Muchsin Istihsan, SH

Citra yang beredar di tengah masyarakat mengenai tradisi berorganisasi


yang berkembang di lingkungan NU adalah kurang adanya penerapan
manajemen yang efektif dan profesional. Pencitraan seperti ini pun disadari
atau tidak, nampaknya bukan lagi sekedar pencitraan semu (mirror image)
yang datang dari masyarakat, melainkan semakin terlihat gejala obyektifnya
di lapangan. Keberadaan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU yang nota bene
merupakan bagian dari NU yang menangani bidang pendidikan pun praktis
tidak luput dari gejala kurang ketatnya penerapan manajemen yang efektif
dan profesional. Sehingga, fenomena ini pada gilirannya berdampak pada
rendahnya kualitas keluaran (out-put) yang dihasilkan dari lembaga-
lembaga pendidikan Ma’arif NU, dan secara umum yang berada di bawah
naungan NU.
Persoalan manajemen di tubuh Lembaga Pendidikan Ma’arif NU adalah
salah satu persoalan krusial yang sejak lama diupayakan pengembangannya.
Akan tetapi di sisi lain, persoalan kualitas pendidikan ternyata secara
langsung juga bertautan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
Dalam cermatan Prof. DR. Muchsin Istihsan, SH.—salah seorang penasehat
PP. LP. Ma’arif NU—sekurang-kurangnya terdapat tiga faktor yang
menentukan terhadap kemajuan pendidikan di lingkungan NU. Pertama,
faktor kualitas Sumber Daya Manusia (human resourses) yang tersedia.
Kedua, iklim (budaya organisasi dan komunikasi yang efektif, red-) yang
menunjang secara internal di lembaga itu dan kepedulian serta perhatian
serius dalam meningkatkan mutu pendidikan. Ketiga, kebijakan (policy)
pemerintah, termasuk berbagai kemudahan dan regulasi yang menunjang
serta adanya kemauan politik (political will) pemerintah terhadap
peningkatan mutu pendidikan yang berada di lingkungan NU.
Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU, seharusnya
masyarakat sebagai stakeholders pendidikan, lanjut Prof. DR. Muchsin
Istihsan, SH.—yang sekarang mengabdi kepada masyarakat sebagai Ketua
Yayasan Pendidikan Wahid Hasyim, Jawa Timur—perlu meningkatkan
partisipasi dan kontribusinya bagi kemajuan dan peningkatan mutu
pendidikan di lingkungan NU. Lebih jauh mengenai persoalan ini, berikut
petikan wawancara Ahmad El Chumaedy dari Jurnal Ma’arif dengan Prof.
DR. Muchsin Istihsan, SH. pada tanggal 5 Februari 2004 di Jakarta.
Bagaimana Bapak melihat perkembangan pendidikan yang selama ini berada di bawah
naungan NU atau secara khusus yang menjadi tanggung jawab Lembaga Pendidikan Ma’arif
NU, dari mulai Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah sampai Pimpinan Cabang?
Pendidikan yang berada di lingkungan NU, dari segi pendirian dan
pengelolaannya dibagi menjadi tiga, yaitu: pertama, lembaga-lembaga
pendidikan yang didirikan oleh para anggota atau jama’ah NU (NU
comunities) yang meliputi pribadi-pribadi dan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama
atas dasar pemikiran dan berpedoman pada paham ahlussunnah
waljama’ah. Kedua, lembaga pendidikan yang didirikan oleh anggota
masyarakat yang berpaham ahlussunnah waljama’ah, kemudian
menggabungkan diri dengan PP. LP. Ma’arif. Ketiga, lembaga-lembaga
pendidikan yang didirikan dan secara langsung dikelola oleh Lembaga
Pendidikan Ma’arif NU secara institusional. Ketiga jenis lembaga pendidikan
itu, kesemuanya mendasarkan diri pada paham ahlussunnah waljama’ah.
Sehingga, dalam aspek pengelolaan dan berbagai perangkat pendidikannya,
termasuk kurikulumnya didasarkan pada paham ahlussunnah waljama’ah.
Apakah pemberlakuan regulasi pendidikan nasional, berupa UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional secara langsung memberikan prospek positif bagi kemajuan
pendidikan yang berada di bawah naungan NU?
Kemajuan suatu lembaga (institusi), termasuk tentu saja dalam hal ini
lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan NU, sangat tergantung dari
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pertama, faktor Sumber Daya
Manusia (human resourses) yang dimiliki institusi itu sendiri. Oleh karena
itu, kualitas SDM yang mumpuni dan konsistensi (istiqamah) SDM dalam
mengelola institusi tersebut sangat berpengaruh bagi kemajuan suatu
lembaga. Kedua, iklim (budaya organisasi dan komunikasi yang efektif, red-)
yang menunjang secara internal di lembaga itu. Yang juga tidak kalah
pentingnya adalah kepedulian dan perhatian para anggota organisasi dalam
memajukan organisasinya. Dalam konteks ini, kemajuan pendidikan di
bawah naungan NU amat tergantung dari kepedulian dan perhatian para
anggota jam’iyah NU. Ketiga, kebijakan (policy) pemerintah, termasuk
berbagai kemudahan dan regulasi yang menunjang terhadap pengembangan
institusi. Dalam hal ini termasuk juga kemauan politik (political will)
pemerintah terhadap pengembangan institusi tersebut.
Bagaimana Bapak melihat kualitas SDM yang tersedia di lembaga-lembaga pendidikan di
lingkungan NU dalam memajukan kualitas pendidikannya?
Dari waktu ke waktu SDM di lingkungan pendidikan NU mengalami
kemajuan. Tapi upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan
NU belum maksimal. Kita bisa perhatikan, di antara sekian banyak lembaga-
lembaga pendidikan di lingkungan NU, masih terlihat variasi mutu (quality)
yang berbeda. Ada sekolah-sekolah yang sudah maju, tapi banyak juga yang
masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Lembaga-lembaga pendidikan di
lingkungan NU (seharusnya) mempunyai kemampuan untuk menciptakan
sistem dan manajerial yang mumpuni. Dengan lain kata, kemampuan untuk
berinovasi dan dan memperbaharui sistemnya, sehingga dapat
meningkatkan kualitas pendidikannya. Pada umumnya lembaga-lembaga
pendidikan di lingkungan NU masih tergolong lemah dalam me-manage
lembaganya. Sehingga hal ini berpengaruh bagi rendahnya kualitas keluaran
(out-put) pendidikannya. Kalaupun ditemukan lembaga-lembaga pendidikan
di lingkungan NU yang mempunyai kualitas baik, hal itu lebih karena
pengelola lembaga-lembaga tersebut mengambil kebijakan di luar dari
kebijakan yang dikeluarkan oleh PP. LP. Ma’arif NU. Pengelola dalam hal ini
berinisiatif untuk mengambil kebijakan sendiri secara independen untuk
memajukan lembaganya. Dengan melihat fenomena itu, pendidikan di
lingkungan NU (seharusnya) lebih menggiatkan diri untuk melakukan
pengembangan aspek kelembagaannya.
Apa yang selama ini menyebabkan lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU secara
umum kurang berkualitas?
Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa untuk dapat meningkatkan kualitas
pendidikannya, yang pertama kali harus dilakukan adalah ditingkatkannya
konsentrasi untuk membenahi dan mengembangkan aspek kelembagaannya.
Sebetulnya, kultur berpartisipasi di lingkungan NU dalam memajukan
pendidikan sudah menunjang. Kendati demikian, semestinya kultur seperti
itu lebih diarahkan untuk pengembangan organisasi secara kelembagaan
agar kualitas pendidikan dapat ditingkatkan.
Apakah kultur yang Bapak maksudkan di atas, menunjang bagi peningkatan kualitas
pendidikan, terutama kalau dikaitkan dengan pemberlakuan kurikulum 2004, yang juga
include di dalamnya paket konseptual, berupa Manajemen Berbasis Sekolah (School Based
Management), dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)?
Lepas dari kebijakan-kebijakan pendidikan pemerintah yang belakangan
diberlakukan, termasuk juga soal desentralisasi pendidikan. Bagi saya, soal
desentralisasi dan lain sebagainya terletak pada posisi sekunder dalam
meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan NU. Justeru yang lebih
menjadi prioritas utama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di
lingkungan NU adalah kepedulian dan perhatian anggota jam’iyah NU secara
real kepada lembaga-lembaga pendidikan NU. Komunitas nahdliyin selama
ini seringkali mencapai kesuksesan gemilang dalam mendirikan tempat-
tempat ibadah, seperti masjid, mushala dsb. Sebesar apapun biaya yang
harus dikeluarkan, tempat-tempat ibadah itu berhasil didirikan oleh warga
nahdliyin. Tetapi, berbeda halnya untuk pembangunan aspek pendidikan
yang kurang begitu diprioritaskan. Biaya yang diproyeksikan untuk
membangun aspek pendidikan seringkali tidak sebesar biaya yang
dikeluarkan untuk membangun tempat ibadah. Memang, pembangunan
masjid dan tempat-tempat ibadah itu baik, namun seharusnya juga
diimbangi dengan upaya membangun pendidikan (baca: sekolah, madrasah,
pesantren dsb.) yang representatif dan berkualitas. Seperti orang
bersemangat dalam menunaikan ibadah haji. Hal ini memang baik dan perlu
diapresiasi, tapi kiranya perlu juga mempunyai semangat untuk
memperbaiki dan meningkatkan aspek lainnya, terutama pada aspek
pendidikan.
Bagaimana amatan Bapak tentang policy pemerintah, terutama yang terkait dengan
pendidikan. Apakah selama ini policy yang dikeluarkan pemerintah menunjang atau dengan
kata lain memberi banyak kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan di lingkungan
NU?
Saya kira, policy pemerintah sudah jelas, yaitu bergerak pada level makro
yang berlaku bagi seluruh elemen bangsa. NU merupakan bagian dari
bangsa. Makanya, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu saja
berorientasi pada kebaikan semua elemen bangsa. Di setiap kebijakan yang
diberlakukan, sama sekali tidak diskriminatif terhadap salah satu dari semua
elemen bangsa, termasuk NU. Oleh karena itu, policy pemerintah
menyangkut pendidikan, juga sedikit banyak memberikan sumbangsih bagi
setiap upaya pengembangan semua sektor kehidupan berbangsa, termasuk
pendidikan yang berada di lingkungan NU. Dalam rangka turut berpartisipasi
dalam menerapkan policy pemerintah itu, tinggal bagaimana kita bisa
menunjukkan blue-print atau perencanaan yang matang, mengenai semua
aspek dan data-data yang rasional serta dapat dipertanggung jawabkan.
Sebab, pemerintah hanya akan membantu pelaksanaan program pendidikan
tertentu, ketika sebelumnya sudah dirancang sebuah perencanaan yang
jelas. Baru setelah, misalnya, diperoleh bantuan dari pemerintah, sebaiknya
bantuan tersebut disalurkan kepada lembaga-lembaga pendidikan yang
didirikan langsung oleh PP. LP. Ma’arif NU, atau yang secara organisatoris
yang punya ikatan dengan Ma’arif NU.
Bagaimana Bapak melihat pola hubungan yang terjalin selama ini antara NU dengan
Pemerintah (baca: Negara) dan implikasinya terhadap perkembangan pendidikan di lingkungan
NU?
Seperti disebutkan di atas, bahwa policy pemerintah bersifat makro.
Artinya, ia berlaku dan diberlakukan bagi semua elemen bangsa, termasuk
tentu saja NU. Yang perlu ditekankan adalah, bagaimana menyiapkan
internal NU sendiri untuk membangun organisasi yang solid dan credible.
Sebab, ada dua hal yang harus diperhatikan dalam mengelola pendidikan.
Pertama, visi untuk mengangkat derajat masyarakat bawah. Ini sudah lama
dilakukan oleh NU. Kedua, kualitas (quality) pendidikan. NU tentu saja
dituntut untuk bisa menciptakan pendidikan bermutu untuk menampung
aspirasi dan tuntutan masyarakat dalam hal penguasaan sains dan
tekhnologi, di samping penguasaan pendidikan agama yang memadai. Pada
prinsipnya, upaya peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU sekurang-
kurangnya harus memperhatikan dua hal, yaitu SDM yang mumpuni dan
komitmen organisasi atau institusi dalam meningkatkan mutu
pendidikannya.
Bagaimana Bapak melihat minat masyarakat terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh
lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU. Menurut Bapak apa strategi yang perlu
diterapkan untuk dapat menarik simpati dari masyarakat agar mereka tertarik dengan
pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU?
Sekarang kita harus tahu, apa yang diinginkan oleh masyarakat. Ini sama
artinya dengan bisnis. Oleh karena itu, marketing dalam hal ini menjadi
penting untuk diperhatikan. Kalau sekarang ini kelihatannya masyarakat
menghendaki pendidikan yang menjamin penguasaan sains dan tekhnologi
serta penguasaan agama yang memadai, maka lembaga-lembaga pendidikan
NU tentu saja harus mengarahkan program pendidikannya berdasarkan
tuntutan masyarakat tersebut. Di suatu perkotaan, di mana masyarakat
sudah mempunyai mobilitas yang tinggi, pendidikan yang dibutuhkan justeru
yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan sains dan tekhnologi,
melainkan juga diimbangi dengan pendidikan agama yang memadai.
Berbeda halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di
daerah, tentunya terdapat pertimbangan-pertimbangan lain. Bagi
masyarakat perkotaan, ketika suatu lembaga sudah diakui kualitasnya dan
mempunyai kredibilitas, di sana dana sebesar apapun tidak menjadi
persoalan. Tetapi berbeda dengan lembaga-lembaga yang tidak berkualitas
dan apalagi tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat, dengan gratispun
tidak ada yang mau memasukinya.
Untuk menuju ke arah pendidikan yang berkualitas dan memperoleh kepercayaan dari
masyarakat, menurut Bapak apa yang seharusnya dilakukan lembaga-lembaga pendidikan di
lingkungan NU (LP. Ma’arif NU)?
Salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah, secara organisatoris-
rasional, kita harus mempunyai kebersamaan, baik dalam memenuhi
kebutuhan dana maupun dalam mempersiapkan Sumer Daya Manusia untuk
diinvestasikan dalam bidang pendidikan.
Bagaimana pBapakngan Bapak mengenai ‘education for all’ dan ‘demokratisasi pendidikan’.
Apakah di lingkungan NU–yang di dalamnya memuat sistem pengambilan kebijakan, sistem
manajemen, kultur organisasi, dan praktek didaktik-metodiknya–sudah dilakukan?
Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan NU mempunyai
dukungan real yang tinggi dari masyarakat. Hanya saja, kita juga harus
tahu, bahwa masyarakat tergolong dari strata yang berbeda. Ini berdampak
pada tingkat dan kapasitas masyarakat dalam berpartisipasi dan
berkontribusi dalam meningkatkan mutu pendidikan. Ketika hal itu
berlangsung di masyarakat pedesaan (rural society), tinggal bagaimana
partisipasi dan dukungan masyarakat seyogyanya dimodernisasikan.
Modernisasi di sini lebih dipahami sebagai proses untuk mengkooordinasikan
dan mensinergikan partisipasi dan dukungan masyarakat di berbagai tempat
agar lebih terarah pada upaya peningkatan mutu pendidikan. Karena pada
akhirnya nanti, meningkatnya kualitas pendidikan, juga manfaatnya akan
kembali kepada masyarakat sendiri. Inilah barangkali satu sisi dari
pemaknaan ‘education for all’ dan ‘demokratisasi pendidikan’ yang
berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU.
Bagaimana mengenai persoalan persamaan kesempatan masyarakat untuk mengakses atau
menikmati pendidikan, terlebih dengan kenyataan mahalnya cost pendidikan?
Bagi saya, lembaga-lembaga pendidikan seharusnya menerapkan kebijakan
‘cross-subsidi’ ketika membebani biaya pendidikan bagi orang tua murid.
Orang tua murid yang tergolong mampu semestinya terpanggil untuk
membayar biaya pendidikan lebih besar ketimbang orang tua murid yang
kurang mampu. Bahkan, barangkali menjadi kewajiban bagi keluarga yang
secara ekonomi kuat untuk membayar cost pendidikannya secara lebih
besar. Di samping, subsidi pendidikan dari pemerintah, juga seharusnya
lebih memprioritaskan sekolah-sekolah yang para muridnya berlatar
belakang keluarga kurang mampu. Bukan sebaliknya, dengan mensubsidi
sekolah-sekolah yang sudah bonafide.
Dalam kaitannya dengan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), di mana di sana
dibentuk dewan sekolah. Bagaimana pBapakngan Bapak soal dewan sekolah yang dibentuk di
lingkungan pendidikan NU? Sebab seringkali lembaga-lembaga pendidikan tersebut didirikan
bukan oleh organisasi, melainkan oleh pribadi tokoh masyarakat. Sementara salah satu fungsi
yang dijalankan oleh dewan sekolah adalah menjalankan fungsi kontrol terhadap
penyelenggaraan pendidikan. Bagaimana mungkin dewan sekolah bisa bekerja secara efektif,
ketika kebijakan-kebijakan pendidikan masih tersentral kepada tokoh masyarakat yang
mendirikan lembaga pendidikan tersebut? Bagaimana Bapak melihat persoalan ini?
Itu merupakan resiko dari perkembangan dunia pendidikan kita. Persoalan
pengelolaan pendidikan seharusnya mengikuti ketentuan-ketentuan hukum
yang perlu diikuti. Sehingga dapat memberikan batasan mengenai siapa
yang bertanggung jawab dan dengan batasan wewenang sejauh mana dalam
penyelenggaraan pendidikan. Apakah ownernya berupa badan hukum atau
dimiliki secara perseorangan. Oleh karena itu, tentu saja ketentuan
tersebut pada prakteknya diberlakukan berbeda-beda antara satu lembaga
pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya. Kalaupun ternyata,
misalnya, lembaga pendidikan didirikan secara perseorangan, namun
memiliki nilai-nilai sosial, ini juga semestinya perlu mendapatkan perhatian
agar bisa lebih meningkatkan mutu (proses dan output, red-)
pendidikannya. Karena ada juga lembaga-lembaga pendidikan, yang dengan
ketokohan owner-nya, mampu menerapkan manajemen secara efektif,
memiliki pertanggungjawaban publik (public accountability), dan
keterbukaan (transparansi), sehingga tercipta soliditas dalam pengelolaan
pendidikannya. Berbeda dengan sekolah yang ‘seolah-olah’ dikelola secara
demokratis, tapi pada kenyataannya tidak pernah stabil.
Apa saran Bapak untuk meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan NU?
Pertama, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (human resources).
Kedua, meningkatkan kepedulian dan semangat kebersamaan, terutama
secara internal organisasi terhadap pendidikan di lingkungan NU. Dan
ketiga, memperluas pBapakngan atau pemikiran tentang pendidikan yang
(seharusnya) tidak melulu berorientasi keagamaan, tapi juga diimbangi
dengan perlunya penguasaan sains dan tekhnologi, sesuai dengan tuntutan
masyarakat. 
Shurah
MELAMPAUI KEBEKUAN TRADISIONAL:
POTRET MADRASAH ALIYAH MA’ARIF NU 05
SEKAMPUNG, LAMPUNG TIMUR

Dunia Pendidikan nasional akhir-akhir ini sedang giat-giatnya melakukan pembenahan


internal, terutama dalam rangka meningkatkan mutu pendidikannya (proses dan out-
put). Upaya ke arah itu nampaknya terlihat dari banyak terobosan baru dalam
pengembangan dan pemberdayaan pendidikan yang kini dikenal dengan konsep Manajemen
Berbasis Sekolah (School based Management), Kurikulum Berbaasis Kompetensi dan banyak
rumusan konseptual lainnya yang sedang diterapkan, seiring diberlakukannya UU
SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 dan Kurikulum 2004. Tidak ketinggalan, pendidikan yang
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam pun, termasuk lembaga-lembaga
pendidikan Ma’arif NU, kini mulai menyesuaikan diri dengan trend pendidikan mutakhir.
Menengok Seluk-beluk Yayasan Ma’arif 05 Sekampung
Ketika kita memasuki komplek Yayasan Ma’arif 05, kita akan temukan
sebuah bangunan yang akan memberi kesan santai dan bersahaja. Dengan
halaman sekolah yang terhampar cukup luas, ia semakin menambah
keasrian lingkungan itu. Dalam hal lain, pada saat hari-hari belajar, kita
akan temukan halaman tersebut dipenuhi oleh siswa-siswi yang lagi giat-
giatnya melakukan kegiatan ekstra kurikuler. Lokasi komplek pendidikan
Ma’arif sekampung terletak di sudut ibu kota kecamatan. Secara kebetulan,
ia terhempit oleh jalan mini raya yang letaknya tidak terlalu jauh dari pasar
induk. Ini membuatnya lebih mudah terjangkau dengan alat transportasi
apapun. Saat ini, yayasan Ma’arif tersebut dipimpin oleh H. Muhammad
Yusuf. Dengan kelengkapan sarana dan prasarana yang cukup memadai,
Yayasan ini memiliki lembaga pendidikan yang cukup lengkap, yaitu mulai
dari Taman Kanak-kanak, MI, MD, MTs, SLTP Program Khusus, Madrasah
Aliyah Umum, dan Madrasah Aliyah Program Khusus serta Pondok Pesantren,
bahkan pernah menyelenggarakan sekolah jauh untuk Perguruan Tinggi.
Pada mulanya, MA. Ma’arif 05 Sekampung tidak lain adalah pengembangan
dari Madrasah Tsanawiyah yang letaknya terdapat di sebelah barat pasar
induk Sekampung, dengan jarak sekitar 3 KM. Dalam perjalanannya
kemudian, Madarasah Tsanawiyah ini mengalami masa stagnasi yang
mengkhawatirkan. Barangkali orang akan menyebutnya dalam kondisi ‘tidak
hidup-tidak mati’ (la yahya wala yamut). Melihat keadaan yang
memprihatinkan seperti ini, muncullah kesepakatan yang dibentuk antara
para Pengurus Yayasan dengan Dewan Guru Madrasah Tsanawiyah untuk
memindahkan lokasinya ke Desa Sumbergede. Di mana kawasan ini
sebelumnya sudah terdapat Madrasah Ibtidaiyah yang didirikan oleh H. M.
Dahlan dan H. Ahmad Mujab pada tahun 1967. Di kawasan inilah kemudian
embrio Ma’arif 05 mulai terlihat.
Pada awal mulai dipindahkannya, proses belajar mengajar siswa/siswi MTs
Ma’arif NU 05 Sekampung sempat menggunakan rumah-rumah masyarakat
sekitar. Baru terlihat sedikit kemajuan setelah beberapa tahun belakangan,
yayasan Ma’arif memiliki gedung yang waktu itu hanya terbuat dari bambu
(gribig), yang berdiri di atas tanah wakaf dari H. Sholihin (mertuanya H.
Mujab). Sekalipun dalam kondisi seperti ini, sedikitpun tidak menyurutkan
semangat belajar mengajar yang mulai berjalan lancar. Seiring dengan
berjalannya sang waktu, animo masyarakat pun terlihat begitu tinggi.
Sehingga menyebabkan Madrasah Tsanawiyah terus berkembang. Gedung
yang tadinya hanya terbuat dari gribig, lambat laun mulai direnovasi
menjadi bangunan permanen, bahkan areal tanahnya semakin diperluas.
Pada tahun 1968-1992 status MTs Ma’arif masih “terdaftar”. Baru pada
tahun 1993 statusnya meningkat menjadi “diakui” dengan nomor:
B/E.IV/MTs/008/1993. Pada tanggal 21 Juni tahun 1999, MTs Ma’arif
berstatus “disamakan” dengan nomor SK A/Wh/MTs/43/1999. Sejarah
ternyata telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi MTs Ma’arif NU
05 Sekampung untuk terus meningkatkan mutu pendidikannya. Ini
dibuktikan dengan keberhasilannya mendapat penghargaan dari Departemen
Agama RI pada tahun 2003, atas prestasinya memenangkan Lomba
Madrasah, Penyelenggara PAI dan Guru Madrasah Berprestasi. Di mana MTs
ini menjadi Juara Harapan Satu untuk kategori MTs Reguler di Tingkat
Nasional, setelah sebelumnya menjadi Juara Pertama di Tingkat Propinsi.
Prestasi lain yang cukup membanggakan, juga diperlihatkan MTs Ma’arif 05,
yaitu dengan memiliki 767 siswa/i.
Pada tahun 1983 Yayasan Ma’arif mulai mengembangkan sayapnya, dengan
mendirikan Madrasah Aliyah. Madrasah Aliyah ini didirikan atas kebutuhan
masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Sebagaimana disampaikan H.
Mahmud Yunus, yang merupakan Kepala Madrasah Aliyah Ma’arif, bahwa
salah satu alasan mendasar didirikannya MA Ma’arif 05 adalah, karena
permintaan masyarakat setempat yang notabene 95 % beragama Islam.
Sebelumnya di tempat ini belum terdapat Madrasah Aliyah, di samping atas
pertimbangan adanya 10 SLTP di wilayah ini, sebagai calon input Madrasah
Aliyah. Dalam perjalanan awal, keberadaan Madrasah Aliyah masih
kembang-kempis. Namun dengan kesabaran dan ketabahan para guru dan
pengurus yayasan, akhirnya Madrasah Aliyah tersebut mulai bisa diterima
masyarakat, setelah para alumni banyak berkiprah dan melakukan
pengabdian di tengah masyarakat. Faktor lain yang menyebabkan Madrasah
Aliyah ini menjadi pilihan masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya
jumlah siswa adalah jarak tempuh yang jauh untuk menuju ke Madrasah
Aliyah Negeri. Hal ini bisa dilihat dari grafik siswa baru yang setiap
tahunnya cukup melonjak.
Awalnya, siswa MA yang terdaftar hanya berjumlah 15 orang siswa, tetapi
sekarang sudah mencapai penambahan 139 orang siswa setiap tahun
ajarannya. Peningkatan jumlah siswa nampaknya juga dibarengi dengan
penataan manajemen, administrasi, dan sarana-prasarana yang menandakan
semakin mapan. Setelah pada tahun 1987 izin operasional berstatus
terdaftar dan tahun 1995 statusnya diakui, kini Madrasah Aliyah Ma’arif 05
Sekampung, sudah memiliki status disamakan.
Madrasah Aliyah Ma’arif 05 Sekampung bukanlah satu-satunya Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yang berada di wilayah ini. Di sana terdapat
SMU Kosgoro, SMU Muhammadiyah, SMK Ganesa 02, SMK PGRI dan SMUN
Sekampung. Meski demikian, keberadaan MA Ma’arif 05 Sekampung tetap
eksis dan menjadi pilihan masyarakat. Ini disebabkan karena keberadaannya
didukung sepenuhnya oleh masyarakat.
Pada mula berdirinya, MA Ma’arif hanya memiliki satu lokal. Keinginan
berbagai pihak bagi kemajuan MA, di samping terus bertambahnya siswa
baru setiap tahunnya, menyebabkan dibangunnya lokal-lokal baru. Sama
halnya dengan yang dilakukan di Madrasah Tsanawiyah, di Madrasah Aliyah
pun, dalam kurun tujuh tahun terakhir ini, ada penambahan 4 lokal setiap
tahunnya. Sekalipun demikian, karena banyaknya siswa, sementara jumlah
lokal yang tersedia minim, akhirnya membuat kegiatan belajar mengajar
bergantian. Sebagai gambaran umum, di sini disebutkan, bahwa untuk TK,
MI, SLTP, MAK, MA kelas 3, MTs kelas 1 dan 3 masuk pagi. Sedangkan untuk
MTs kelas 2 dan MA kelas 1 dan 2 masuk siang.
Sampai saat ini, Yayasan Ma’arif 05 Sekampung memiliki tanah seluas 15000
M2. Dengan tanah seluas itu terdapat 11 lokal ruang belajar, 1 ruang
perpustakaan, 1 ruang guru, 1 masjid, 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang TU, 1
ruang komputer, 1 ruang koperasi, dan 1 ruang laboratorium. Meski dengan
segala kelengkapan yang dimilikinya, tetapi ternyata di sana-sini masih
banyak yang perlu lebih dilengkapi, misalnya kondisi perpustakaan yang
ada. Pihak madrasah sampai saat ini masih memikirkan bagaimana
melengkapi literatur yang sudah ada, karena pada kenyataannya
perpustakaan tersebut belum banyak memiliki buku-buku bacaan, terutama
dalam bidang keagamaan.
MA Ma’arif hingga saat ini telah membuka tiga jurusan, yaitu IPA, IPS dan
MAK. Khusus untuk MAK (Madarasah Aliyah Keagamaan), menurut H.
Mahmud Yunus, seorang bapak yang juga bertugas di Dinas Parsenibud
Kabupaten Lampung Timur, “sebenarnya di awal pendirian MA, jurusan ini
pernah dibuka, namun karena SDM nya masih belum memadai, terutama
dalam bidang bahasa, maka tidak lama kemudian MAK dibubarkan. Baru
pada tahun 2001, MAK dibuka kembali. Salah satu yang menjadi
pertimbangan penting dibukanya kembali Jurusan Keagamaan adalah,
karena minat para siswa untuk mendalami ilmu agama, terutama yang
bertempat tinggal di pesantren, cukup tinggi.

Strategi Sosialisasi dan Pengembangan


Dalam upaya perekrutan siswa, strategi tempat adalah strategi yang telah di
digunakan oleh Yayasan Ma’arif 05 Sekampung. Di setiap tempat, pihak
yayasan menempatkan guru-guru dan tenaga profesi yang concern di bidang
pendidikan. Di samping itu untuk menarik minat masyarakat, dalam setiap
tahun di bulan Ramadhan selalu diadakan kunjungan ke daerah-daerah di
mana siswa Ma’arif tinggal. Di setiap kunjungannya menampilkan keahlian
para siswa, seperti penampilan pidato (khitobah) dari para siswa. Selain itu,
peran serta para alumni juga sangat berarti terhadap perkembangan
madrasah. Oleh karena itu, tidak heran kalau Ma’arif 05 Sekampung sangat
populer di tengah masyarakat, bukan hanya masyarakat Lampung, tetapi
juga di luar Lampung, seperti di Kalimantan, Sulawesi dan Riau. Bahkan Drs.
H. Mahmud Yunus, yang juga Pengurus LP. Ma’arif Lampung Timur,
mengatakan: “ tanpa bermaksud riya, Yayasan Ma’arif 05 Sekampung saat
ini sudah tidak perlu dipromosikan lagi”.
Komitmen bersama seluruh Pengurus Yayasan yang di dalamnya banyak
terdapat orang-orang yang masuk di pemerintahan, seperti: H. Mujab
(Asisten IV Bidang Sosial Kabupaten Lampung yang juga mantan Kepala
Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi), Drs. H. Mahmud Yunus (Kepala
Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata dan yang sekarang menjabat Ketua
Umum Ma’arif Cabang Lampung Timur serta Kepala Madrasah Aliyah
Ma’arif), Dewan Guru, tokoh-tokoh NU lainnya dan para alumni serta
masyarakat setempat, membuat LP Ma’arif di wilayah ini cepat
berkembang. Menurut Drs. H. Mahmud Yunus, ada tiga kategori (TRISULA)
yang selalu kami tanamkan dalam pengembangan yayasan ini. Pertama,
proses pendidikan yang dilakukan secara maksimal. Kedua, semangat do’a.
Para kiai yang tukang wirid, baik yang ada di dalam maupun di luar,
istiqomah munajat pada waktu malam untuk perkembangan yayasan ini. Di
samping setiap orang yang akan naik haji selalu diminta untuk mendo’akan
(di tempat-tempat mustajab) kemajuan yayasan. Dan ketiga, orang-orang
yang ada di birokrasi dan kedinasan yang lain, diminta untuk ikut membawa
nama Ma’arif keluar. Upaya tiga langkah itu ternyata membuahkan hasil
yang cukup menggembirakan. Grafik siswa Madrasah Aliyah sangat
meyakinkan, melonjak naik. Ini membuktikan bahwa kepercayaan
masyarakat terhadap Ma’arif di wilayah Lampung dan sekitarnya sangat
tinggi.
Bagi siswa yang berminat untuk sekolah di Ma’arif Sekampung tidak terlalu
sulit, karena tidak ada seleksi ketat. Namun begitu, untuk masalah
penempatan siswa, pihak madrasah mengeluarkan kebijakan khusus, yaitu
untuk siswa-siswa yang mempunyai kecerdasan lebih (ditandai dengan nilai)
dikelompokkan pada kelas unggulan. Di samping itu, bagi yang mesantren,
diwajibkan untuk sekolah di Madrasah Aliyah Program Khusus.
Madrasah Aliyah Ma’arif 5 Sekampung sejak awal berdiri sampai sekarang
dipimpin oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi (sarjana), bahkan
secara kebetulan semuanya sudah haji. Berbeda dengan sekolah pada
umumnya, Kepala MA di sini memerankan fungsi ganda di tengah
masyarakat. Fungsi pertama sebagai kepala madrasah dan fungsi kedua
sebagai tokoh masyarakat. Ini karena memang hampir semua kepala
madrasah, secara bersamaan juga menjadi tokoh masyarakat. Barangkali hal
ini lebih disebabkan karena keberadaan Madrasah Aliyah ini berada di
tengah-tengah pesantren. Jadi secara otomatis, Kepala Madrasah Aliyah
juga dituntut memiliki pengetahuan agama yang lebih, alias menjadi figur
yang menjadi panutan masyarakat.
Sedangkan untuk kondisi dewan guru, hampir 99% layak mengajar pada
mata pelajaran yang ditentukan, sekalipun memang sebelumnya terdapat
‘miss macht’ (tidak nyambung) antara kualifikasi yang dimiliki dengan mata
pelajaran yang diajarkan. Kondisi ini lambat laun akhirnya tidak lagi
menjadi kendala yang berarti terhadap proses belajar yang berlangsung.
Kendala ketidaksamaan background (baca: latar belakang) pendidikan guru
dengan mata pelajaran yang diajarkannya mulai terasa seteleh diberlakukan
Kurikulum 1994 yang memberlakukan standardisasi Madrasah Aliyah dan
Sekolah Menengah Umum. Hal ini berdampak pada guru yang latar belakang
pendidikannya berasal dari IAIN atau STAIN. Mereka harus mengikuti
peraturan baru itu, yaitu dengan mengajar sesuai dengan spesifikasi
pelajaran yang dikuasainya. Sementara untuk mata pelajaran umum, pihak
madrasah mendatangkan guru dari luar. Dalam upaya peningkatan mutu
pendidik (guru), salah satu yang dilakukan adalah bersama-sama dengan
sekolah lain yang tergabung dalam KKM Lampung untuk mengikuti
pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan di tingkat propinsi.
Pada tahun 2004, Drs. Mahmud Yunus dan Ketua Yayasan, H. Mujab telah
mengikuti diklat di Cipayung. Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka
meningkatkan mutu siswa madrasah, terutama yang tinggal di pondok
pesantren dalam bidang science dan tekhnologi, “supaya tidak terlalu
ketinggalan dengan sekolah-sekolah umum,” tandas Drs. Mahmud Yunus.

Visi, Misi dan Orientasi MA Ma’arif 05 Sekampung


Sejak awal berdiri, MA Ma’arif NU 05 Sekampung mempunyai visi
membentuk madrasah yang islami, populis, dan berkualitas serta dijadikan
sebagai pelopor dalam pembinaan moral dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Dengan melaksanakan pembelajaran yang efektif, Madrasah
Aliyah Ma’arif 05 berupaya untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan umum
dengan ilmu-ilmu keislaman. Di samping juga diproyeksikan untuk
memelihara dan merekonstruksi tradisi dan ilmu-ilmu Islam serta
mengarahkan siswa kepada pemilikan akhlak mulia, pemikiran rasional,
penguasaan analisis yang berorientasi pada pemecahan masalah dan
berpandangan jauh ke depan, menjaga keharmonisan hubungan antara
agama dan pemerintah berdasarkan pancasila, serta meningkatkan kualitas
input dan output.
Dengan mengikuti kurikulum SMU/MA tahun 1994, suplemen kurikulum
tahun 1994 dan kurikulum tahun 2001, Madrasah Aliyah 05 Sekampung yang
dimotori oleh Drs. H. Mahmud Yunus dan dibantu oleh 26 guru (yang terdiri
dari 11 orang sarjana S-1 Fakultas Tarbiyah, seorang SM (Sarjana Muda), dan
seorang sarjana S-1 Fakultas Syari’ah, seorang Sarjana Muda Fakultas
Ushuluddin, dua orang Sarjana S-1 IKIP, seorang Sarjana S-1 MIPA, 8 orang
Sarjana S-1 STKIP dan seorang Sarjana Muda STIKP), terus berupaya
meningkatkan kualitas siswa, yang diorientasikan bukan hanya pada
pembekalan kapasitas intelektual, tetapi juga kualitas moral dan spiritual.
Dalam upaya peningkatan kecerdasan intelektual para siswa, MA Ma’arif
menyelenggarakan les dan bimbingan belajar bagi para siswa, terlebih
menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN). Dengan kegiatan seperti itu,
diharapkan akan membekali para siswa Madrasah Aliyah Ma’arif 05 dalam
bidang science dan tekhnologi agar tidak ketinggalan dengan siswa di
sekolah-sekolah umum. Bagi siswa kelas III yang akan menghadapi UAS/UAN,
diadakan Try Out dari KKM dan bimbingan belajar (bimbel) dari guru bidang
studi, terutama mata pelajaran yang diujikan di UAN. Sementara bagi kelas
I dan II, untuk lebih mendalami mata pelajaran, mereka mengikuti
pembinaan secara intensif yang dilakukan setiap hari.
Di samping itu, untuk membekali para siswa dalam bidang keterampilan, MA
Ma’arif menyelenggarakan Keterampilan ekstra kurikuler. Di antaranya,
keterampilan komputer, drum band, pramuka, PHBI, PMR, PKS,
IPNU/IPPNU, khitobah, PKL, kursus bahasa Arab dan Inggris dan kursus
menjahit. Khusus bagi siswa MAK, mereka diwajibkan tinggal di pesantren,
karena di samping mengikuti mata pelajaran agama di sekolah (sebanyak 70
%), juga harus mengikuti pembinaan bahasa dan kitab kuning. Menurut
Fitriyanto S.Ag. (Kepala MI yang juga sekaligus Pengurus Pesantren), bahasa
yang diajarkan adalah bahasa Arab, Inggris dan Jawa. “Bahasa jawa
digunakan di sini karena, bahasa jawa menurut para Pengurus Yayasan
adalah pendidikan dasar untuk budi pekerti,” tutur seorang pria yang juga
alumni MTs Ma’arif Tahun 1992. Sedangkan dalam meningkatkan kecerdasan
spritual, MA Ma’arif mewajibkan siswa untuk mengikuti pengajian-pengajian
keagamaan di pesantren dan melaksanakan shalat berjama’ah.

Sumber Dana
Sumber dana yayasan ini, sebanyak 75 % diperoleh dari wali murid, yaitu
berasal dari SPP dan BP3 atau uang infaq. Dewan guru yang jumlahnya 26
orang, diberi insentif sebesar Rp. 8.000,-/jam yang diambil dari uang SPP
yang hanya Rp. 20.000,-/bulan, di luar dana pembayaran kegiatan smester
dan ujian. Sekalipun demikian, untuk mengatasi gaji guru, Honor Daerah
(HONDA) dan Bantuan Khusus Guru (BKG) dari pusat telah banyak
membantu. Sebelumnya, tercatat terdapat 4 guru MA Ma’arif 05 yang
diangkat menjadi guru honor daerah yang dibayar Pemerintah Daerah,
sebesar Rp. 250.000,-/bulan. Pada akhirnya, 2 orang guru diangkat menjadi
guru kontrak, yang satu keluar dan yang satunya lagi mengajar di SMP Darul
Ulum. “Namun, kita masih menggunakan tenaganya untuk mengajar di MA
ini,” ungkap Kepala Madrasah. Yayasan juga mendapat jatah Bantuan
Khusus Guru (BKG) untuk 20 orang guru dari Pemerintah Pusat, termasuk
biaya untuk menghidupi sekolahan.
Sedangkan untuk kegiatan pramuka, UKS, peningkatan SDM guru dan siswa
diambil dari dana DPP (dana perbaikan pendidikan) sebesar Rp. 35.000,-
/tahun.
Di samping itu juga, dana LP. Ma’arif 05 Sekampung juga diperoleh dari
bantuan-bantuan pemerintah, baik provinsi maupun pemerintah pusat. Hal
ini juga terjadi karena perjuangan dari beberapa pengurus, terutama yang
berada di pemerintahan, seperti H. Ahmad Mujab (Asisten IV Bidang Sosial
dan mantan Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Lampung Timur),
dan Kepala Madrasah, Drs. H. Mahmud Yunus yang juga Kepala Bagian Tata
Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Lampung Timur.
Dalam menentukan seluruh kebijakan, termasuk menentukan kebijakan
masalah keuangan, Pengurus Yayasan selalu melibatkan Dewan Guru dan
Komite Sekolah yang dipimpin oleh H. Imam Syafi’I, salah seorang anggota
DPRD Lampung Timur, yang juga pernah membidangi masalah pendidikan.
Menurut Drs. H. Mahmud Yunus, “ketika ada bantuan dana dari pemerintah,
maka yang menerimanya adalah pengurus yayasan, kemudian dana tersebut
diberikan kepada lembaga pendidikan yang membutuhkan, yaitu diberikan
ke Madrasah Ibtidaiyyah, atau Madrasah Diniyah ataupun yang lainnya yang
membutuhkan, tentunya melalui kesepakatan bersama”.

Out-Put
Dari semenjak didirikannya hingga sekarang (Tahun 2004), Madrasah Aliyah
Ma’arif 05 Sekampung tercatat telah menghasilkan 20 angkatan yang sudah
menjadi alumni. Dari sekian banyak alumni Yayasan Ma’arif 05 Sekampung,
mayoritas memasuki ke pasar tenaga kerja. Hanya 10 % yang meneruskan ke
perguruan tinggi dan pesantren. Di antaranya ada yang memasuki UGM
Yogyakarta, LPIA, STAIN/IAIN, Pendidikan Kepolisian dan Pesantren Gontor.
Berdasarkan data yang diperoleh, tidak sedikit dari mereka menjadi guru
dan da’i. Bahkan pada zaman Orde Baru, banyak alumni Madrasah Aliyah ini
yang diminta untuk menyebarkan misi dakwah di tempat-tempat
transmigrasi.

Rencana ke Depan
Beberapa tahun yang lalu, pihak yayasan sudah membuka kelas jauh sampai
dengan Semester VI. Di wilayah Metro, sebelum Kota Metro menjadi bagian
dari Lampung Tengah, yang waktu itu masih menjadi bagian dari wilayah
Lampung Timur, telah didirikan Sekolah Tinggi Ilmu tarbiyah (STIT) Hasyim
Asy’ari milik Ma’arif. Namun, karena ada kejenuhan dari para mahasiswa
yang juga sekaligus alumni MA Ma’arif, akhirnya sekarang ditiadakan.
Sementara itu, dalam upaya merespon tuntutan masyarakat dalam hal
penguasaan sains dan tekhnologi, yayasan Ma’arif telah beberapa kali
mengajukan usulan untuk dibentuknya Perguruan Tinggi Umum kepada
Pemerintah. Pertama, pihak yayasan mengajukan dibentuknya Universitas
Ma’arif Lampung (UNMALA), namun karena satu dan lain hal akhirnya di
anulir, ujar Drs. H. Mahmud Yunus. Alasan lain yang menyebabkan tidak
diterimanya usulan tersebut adalah, karena di wilayah ini sudah terdapat
banyak Perguruan Tinggi. Respon pemerintah dalam menanggapi usulan
pihak Yayasan Ma’arif, akhirnya disarankan untuk membuka STIKES, STIMIK
atau STT. Setelah dilakukan beberapaa kali pertemuan, akhirnya disepakati
bahwa jenis pendidikan tinggi yang akan dibuka adalah Sekolah Tinggi
Manajemen dan Ilmu Komputer (STMIK). Setelah kesepakatan tersebut
dirumuskan menjadi sebuah usulan (proposal), selanjutnya diajukan lagi ke
DIKTI. “Rupanya di DIKTI sudah mengalami pergantian kepengurusan,
sehingga tidak macth dengan kepengurusan sebelumnya,” keluh Mahmud
Yunus. Kegagalan yang diderita sebelumnya untuk membuka STMIK,
nampaknya tidak menyurutkan perjuangan pihak yayasan untuk terus
berusaha. Hingga akhirnya proposal ketiga diajukan lagi, dan seperti
dijanjikan oleh DIKTI, pada bulan Desember 2003 mendapatkan
jawabannya. Tidak jauh berbeda dengan jawaban sebelumnya, usulan yang
ketiga inipun tidak mendapatkan respon positif dari DIKTI. Persoalan ini
sampai sekarang masih menjadi pertimbangan berbagai pihak untuk
merealisasikannya.
Selain upaya pengembangan pendidikan di atas, Yayasan Ma’arif 05
Sekampung dalam waktu dekat ini akan menjalin kerja sama dengan pihak
Dinas Pertanian, terutama untuk menyelenggarakan berbagai training
(pelatihan) dalam mempersiapkan SDM yang mempunyai keterampilan untuk
beternak ikan dan sapi. Di mana, peserta pelatihan ini direkrut dari
siswa/siswi kelas III Madrasah Aliyah 05 Sekampung, sebagai paket program
PKL (Praktek Kerja lapangan). 
Maraji’
DESENTRALISASI PENDIDIKAN:
MENUJU PENDIDIKAN DEMOKRATIS

Oleh
Ahmad el Chumaedy

Maraknya wacana segar seputar pendidikan dewasa ini, baik


menyangkut konstruksi paradigmatik, aspek pengelolaannya, atau pun
pada aspek didaktik-metodiknya, dapat dibaca sebagai gejala munculnya
kesadaran kolektif (collective consciosness) masyarakat kita terhadap
keterpurukan yang menimpa dunia pendidikan nasional selama ini.
Pendidikan, sebagai salah satu pranata sosial terpenting yang (seharusnya)
ditempatkan secara independen, di era pra-reformasi, terutama dalam
penguasaan rezim totalitarianisme Orde Baru, dalam banyak hal mengalami
proses pemandulan—meminjam istilah Max Weber—rasionalitas nilai
(zwechrationalitaat) dan fungsi strategisnya di tengah masyarakat. Nilai
fungsional yang seharusnya dilahirkan dari pendidikan, berupa humanisasi
warga negara, tidak jarang dibelokkan ke arah sebuah proses ideologisasi,
hegemonisasi, dan instrumentalisasi peserta didik. Sementara pada sisi lain,
rigiditas yang ditampilkan birokrasi pendidikan (educational bireoucracy),
juga banyak menyumbang terhadap adanya pembelengguan kreativitas dan
kebebasan peserta didik dalam mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.
Sehingga, setelah sekian lama berjalan, pendidikan bukannya malah
mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi malah menggiring peserta didik yang
nota bene merupakan warga negara ke dalam kepatuhan semu terhadap
penguasa yang amat sangat tidak mencerdaskan dan tidak membebaskan.
Itulah sebabnya, kenapa lalu pendidikan di republik ini tidak mampu
menciptakan sejatinya manusia Indonesia, sebagaimana diamanatkan UUD
’45.
Bukti distorsi terhadap dunia pendidikan, misalnya, dapat dilihat dari
realitas pranata pendidikan yang sering kali ditunggangi kepentingan politik
(political interest) untuk langgengnya kekuasaan. Untuk sekedar melongok
sejarah, di masa ORBA, penguasa telah secara sistematis merancang
skenario kolosal yang diproyeksikan untuk mencetak peserta didik (baca:
warga negara) dengan paket mentalitas yang tidak bebas, yaitu dengan
terus mengkondisikan masyarakat ke dalam konstruksi budaya diam (culture
of silence). Akibatnya, rendahnya kualitas pendidikan selama ini, pada taraf
tertentu (sesungguhnya) bukan karena sistem pendidikan yang diterapkan
selama ini tidak benar, melainkan ada campur tangan penguasa dalam
sistem pendidikan itu sendiri. Sebab, kalau yang menjadi takaran kualitas
adalah sistem pendidikan dalam pengertian mikro, yang di dalamnya
memuat perangkat-perangkat pendidikan (educational braiware, software
and hardware). Maka, betapa tidak pernah akan terlahir figur-figur besar
berkaliber dunia, seperti Imam Nawawi al-Bantani (w. 676 H/1277 M) di
bumi pertiwi ini. Dengan demikian, inefektivitas dan inefisiensi sistem
pendidikan yang selama ini diterapkan, sama sekali bukan karena sistemnya
yang salah, melainkan justru kesalahan terletak pada aktor-aktor pelaksana
sistem itu sendiri, yang secara sengaja ataupun tidak telah tertundukkan
oleh hegemoni dan kooptasi penguasa.
Kesuksesan yang dicapai pada masa ORBA dalam menerapkan WAJAR (Wajib
Belajar) 9 tahun, sebagai kompromi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(sekarang Mendiknas) dengan Menteri Agama—kalau dilihat dari cara
pandang ini, (sesungguhnya) tidak lebih sekedar kesuksesan semu dalam
dunia pendidikan kita. Sebab, prestasi dalam proses pemerataan
pendidikan, acap kali tidak dijadikan sebagai prioritas utama pembangunan,
terutama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan peningkatan kualitas
SDM (human resources), tapi lebih sebagai instrumen pendukung untuk
melegitimasi langgengnya suatu rezim, tepatnya rezim ORBA.
Banyak orang menyayangkan, kenapa kesadaran seperti itu baru
mengemuka sekarang-sekarang ini. Perhatian serius untuk meningkatkan
kualitas pendidikan baru muncul setelah bangsa ini kadung terpelanting ke
dalam kubangan krisis multidimensional. Dalam amatan sosiologis,
menyeruaknya kesadaran untuk membenahi dunia pendidikan nasional,
sekurang-kurangnya disebabkan karena dua faktor. Pertama, krisis moneter
pada medio 1997-an, telah menggiring bangsa ini ke dalam lembah krisis
multidimensional, termasuk yang paling parah adalah kuatnya gejala
degradasi moral di tengah masyarakat. Ini membuktikan, bahwa sistem
pendidikan selama ini—diakui ataupun tidak—telah gagal menjalankan fungsi
kebudayaannya yang paling penting, yaitu sebagai media transmisi,
internalisasi dan pewarisan nilai-nilai yang berakar, baik dari kearifan
kultural maupun nilai-nilai religiousitas bangsa.
Kedua, lemahnya suprastruktur ekonomi, budaya dan politik yang
menyebabkan kendornya ‘berganing position’ dalam interaksi dengan
negara-negara lain (baca: globalisasi). Sehingga, amat diinsafi bahwa jalan
satu-satunya untuk bisa tetap ‘survive’ dalam memasuki ruang kontestasi
dengan negara-negara lain, hanya melalui peningkatan sumber daya
manusia (human resources). Upaya ke arah itu tentu saja dilakukan dengan
melalui peningkatan mutu pendidikan nasional.
Oleh karena itu, seiring dengan lengsernya sentrum kekuasaan ORBA di
bawah bayang-bayang Soeharto pada Mei 1998 silam, dalam waktu yang
tidak lama, secara spontan menyemarakkan bursa wacana pendidikan yang
tumbuh subur, bak jamur di musim hujan. Pendidikan, dalam banyak hal
selalu berkorespondensi dengan pelbagai sektor kehidupan. Sehingga,
diskusi seputar wacana pendidikan pun praktis tidak luput dari analisis
bidang-bidang lainnya.
Tema sentral seiring diberlakukannya Otonomi Daerah (selanjutnya baca:
OTDA), menandai pergeseran penting dalam sistem pemerintahan di negeri
ini, yaitu lahirnya produk konstitusi, berupa UU No. 22 dan 25 tahun 1999.
“Merayakan kembali lokalitas dan ‘menyantuni’ periferal”, itulah
barangkali sepenggal ungkapan yang mewakili istilah “desentralisasi”,
sebagai sistem baru yang menggaransi dekonsentrasi kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (baca: kabupaten/kota).
Penentuan kebijakan pada semua aspek pembangunan, tidak hanya, bahkan
tidak bisa hanya diambil oleh pemerintah pusat secara serampangan,
melainkan dalam banyak hal justru secara otomatis menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten atau kota. Nah, ini juga yang berlaku pada aspek
pendidikan.
Dalam konteks desentralisasi pendidikan, penentuan kebijakan bukan lagi
menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah pusat, melainkan lebih
menjadi kewenangan pemerintah kabupaten atau kota. Sekalipun dalam hal
tertentu, pemerintah pusat masih memberlakukan standardisasi kurikulum
nasional. Dengan begitu, desentralisasi yang terjadi pada level
pemerintahan, pada saat yang sama juga berpenetrasi ke dalam sektor
pendidikan.
Buku Desentralisasi Pendidikan yang diterjemahkan dari judul aslinya,
“Decentrelization of Education: Whay, When, What and How”, karya N.
McGinn dan T. Welsh, banyak menelanjangi substansi dan banyak hal lain
menyangkut desentralisasi yang terjadi dibeberapa negara dalam beberapa
dekade belakangan.
Desentralisasi merupakan fenomena paling penting yang mempengaruhi
perencanaan pendidikan dalam lima belas tahun terakhir. Dalam banyak
hal, desentralisasi merupakan hasil proses demokratisasi politik, di mana
rakyat diajak bicara dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan langsung dengan hajat hidup mereka. Sementara itu, dalam
konteks pendidikan, seperti ditegaskan Francoise Caillods—seorang co-
General Editor dalam penerbitan buku-buku yang mengangkat isu
pendidikan mutakhir—pada saat birokrasi negara tampak lamban dan tidak
lincah, di mana birokrasi terbukti tidak mampu mengatasi persoalan
persebaran guru, gaji guru, pembelian dan distribusi material serta
peralatan kantor atau pemeliharaan bangunan, maka desentralisasi
kelihatannya menjadi solusi. Sebab, ia memungkinkan dilakukannya
identifikasi masalah secara lebih cepat dan pencarian tanggapan secara
lebih tepat (hlm. xi).
Dalam cermatan penulis buku ini, meningkatnya minat terhadap
desentralisasi yang dimulai sekitar 1970-an, sekurang-kurangnya disebabkan
karena tiga faktor (hlm: 18-19). Pertama, perdebatan ekonomi-politik pada
1970-an dan 1980-an, mengakibatkan disintegrasi antara ‘konsensus
Keinesian’ Barat dengan pendukung pemerintahan sentralistik yang kuat.
Hal serupa terjadi juga di Rusia dan Eropa Timur. Sehingga, pada gilirannya
perdebatan itu menghasilkan suatu reformulasi dan pengurangan peran
pemerintah pusat serta meningkatnya peran pasar. Kondisi ini lalu
menandai munculnya paradigma ekonomi-politik baru dalam hubungan
antara pemerintah dengan pasar. Sebab, globalisasi dan keuangan
berdampak pada semakin lemahnya pemerintah pusat di hadapan pasar
global. Di satu pihak, organisasi-organisasi supranasional telah mengurangi
kedaulatan nasional. Sementara di pihak lain, pergeseran ke arah
pengambilan keputusan berbasis pasar telah memperkuat kelompok-
kelompok lokal.
Faktor kedua adalah, dalam beberapa dekade terakhir muncul desakan
untuk menggandakan sistem pendidikan dan membludaknya pendaftaran
siswa-siswa baru. Sehingga, dengan meningkatnya kuantitas guru dan siswa
telah memaksa kapasitas birokrasi yang sentralistik untuk memelihara
mutu. Ketidakmampuan sistem sentralistik untuk melahirkan mutu yang
baik, menimbulkan ketidakpuasan publik, sehingga mengakibatkan
munculnya tekanan untuk menggeser pengambilan keputusan ke kelompok-
kelompok lokal.
Pada akhirnya, munculnya tekhnologi komunikasi dan informasi baru,
menjadi faktor yang tidak kalah penting yang mendesak untuk
diberlakukannya desentralisasi pendidikan. Faktor terakhir ini
memungkinkan untuk mencapai tingkat kontrol yang tinggi atas sistem,
terutama dengan manajemen desentralisasi. Ia merupakan paradigma baru
yang menekankan perhatian bukan pada input, melainkan pada output. Di
samping, penerapan paradigma ini telah memperkuat kapasitas lokal dalam
pengambilan keputusan.
Desentralisasi pendidikan yang terjadi di negeri ini secara konstitusional
dibuktikan dengan diorbitkannya produk undang-undang OTDA. Perangkat
perundang-undangan tersebut melegitimasi pengelolaan pendidikan secara
mandiri oleh masing-masing daerah (baca: kabupaten/kota). Pada saat yang
sama, sekolah (school based management) dan bahkan masyarakat
(community based education) sendiri, memiliki keleluasaan dalam
mengelola pendidikan secara mandiri, baik menyangkut manajemen,
operasional, pemenuhan kebutuhan anggaran finansial, ataupun kontrol
yang secara leluasa dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, bekerja sama
dengan stakeholders setempat. Sehingga, dibentuknya komite pendidikan
pada level daerah (kabupaten/kota) dan dewan sekolah pada level institusi
pendidikan, menjadi hal yang mutlak diperlukan.
Diterapkannya desentralisasi pendidikan sekurang-kurangnya akan
memberikan dua keuntungan bagi daerah, terutama masyarakat setempat di
mana pendidikan di selenggarakan. Pertama, penerapan desentralisasi
pendidikan secara konsekuen dalam konteks desain kurikulum
(sesungguhnya) semakin membuka ruang bagi masuknya muatan-muatan
lokal (mulok). Sehingga, pada tataran praktis, akan terjalin link and mact
antara mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan real di
masyarakat. Persoalan yang cukup serius bagi pendidikan kita secara umum
adalah, bahwa selama ini lembaga-lembaga pendidikan selalu tertinggal
jauh dengan dunia luar. Materi yang diajarkan di sekolah seringkali ahistoris
dengan fakta yang mengemuka di tengah masyarakat. Sehingga kondisi ini
menyebabkan ketidaksiapan peserta didik ketika berhadapan dengan
realitas di masyarakat. Ini merupakan tantangan serius bagi pendidikan kita.
Sejauh mana rancangan kurikulum yang diterapkan, mempunyai rantai
hubung dan berkorespondensi dengan kenyataan obyektif di masyarakat.
Kedua, dengan diterapkannya desentralisasi, pendidikan dilaksanakan bukan
untuk memenuhi kehendak pemerintah pusat (top-down), sehingga
berdampak pada rancangan kurikulum yang disamaratakan antara satu
daerah dengan daerah lainnya, melainkan untuk memenuhi kebutuhan
daerah, terutama kehendak stakleholders di daerah tersebut. Dalam
pandangan N. McGinn dan T.Welsh, desentralisasi adalah suatu metode
utama bagi keterlibatan stakeholders. Dengan begitu, proses desain
kurikulum meniscayakan adanya keterlibatan, bukan hanya pemegang
kebijakan, atau dalam hal ini pemerintah daerah (kabupaten/kota),
melainkan yang paling penting adalah keterlibatan stakeholders, sekalipun
tidak harus mempunyai intensitas keterlibatan yang sama antara satu
dengan yang lainnya (hlm. 87).
Pada intinya, di setiap pengambilan kebijakan, termasuk di dalamnya
kontrol terhadap perkembangan pendidikan, stakeholders selalu
ditempatkan sebagai sekumpulan orang yang berpartisipasi aktif. Hal ini
sebetulnya menguntungkan pihak pengambil kebijakan (decision maker)—
dalam hal ini pemerintah daerah dan sekolah—dalam setiap pemberlakuan
kebijakan pendidikan. Sebab, keterlibatan stakeholders dalam setiap
pengambilan kebijakan, secara otomatis akan meningkatkan legitimasi
politik dan dukungan terhadap produk kebijakan itu sendiri dari
stakeholders atau masyarakat secara umum.
Maraji’
REINVENTING SISTEM PENDIDIKAN:
Mencipta Sekolah Efektif

Oleh
Didi Ahmadi

Prihatin adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi Indonesia


selama kurang lebih tujuh tahun terakhir. Apa pasal? Krisis multi dimensi
yang dahsyat mendera tubuh Indonesia kian hari dirasa kian akut, tak
kunjung menemukan solusi akurat dengan tanpa disertai efek turunan
sebagai penambah daftar panjang masalah. Sistem—baik yang sudah
tersedia ataupun yang baru diciptakan—yang coba diterapkan sebagai
tatanan hidup menyeluruh bangsa ternyata tidak ampuh menangkalnya.
Berbagai “eksperimen” pun dilakukan oleh pemimpin yang gonta-ganti
menjadi nahkoda bahtera Indonesia. Pemimpin terus berganti namun krisis
tak kunjung usai, apalagi terhapus tuntas sampai akar-akarnya. Apakah hal
ini karena pemimpin kita yang kurang memiliki visi dan manajerial yang
mumpuni? atau karena memang sistem kita yang kadung dipenuhi oleh virus
pembusuk yang tidak lagi ada obat penawarnya?
Pergantian generasi yang diharapkan menjadi solusi atas krisis, ternyata
tidak bisa diandalkan. Pergantian generasi malah hanya mendaftar generasi
baru yang melanggengkan—bukannya mengurangi—kualitas krisis. Apa yang
salah dengan pergantian generasi kita? Mutu generasi baru bisa diukur dari
sejauh mana keberhasilan dunia pendidikan yang mengkonstruk paradigma
berpikir dan berkreasi mereka. Jika demikian, kita bisa melacak lebih jauh
persoalan krisis ini dari dunia pendidikan sebagai wadah penempaan
generasi baru kita. Pertanyaannya, ada apa dengan pendidikan Indonesia?
Kok generasi yang diciptakannya tidak bisa memenuhi tuntutan paling
fundamental negara kita sekarang ini? Apakah pendidikan kita selama ini
telah berjalan pada rel yang salah? Atau memang generasi baru kita yang
cenderung membebek pada budaya konsumerisme, hedonisme, melulu
menikmati kesenangan dan kebebasan tanpa kontrol, lupa akan jati diri dan
tanggung jawabnya? Generasi yang hanya memikirkan trend, atau hanya
larut dalam budaya massa (mass culture) yang dalam bahasa Heidegger
(filsuf kontemporer Jerman) disebut das Man (ikut-ikutan dengan orang
kebanyakan). Sebuah generasi yang pada akhirnya melulu berkonsentrasi
pada tampakan luar tanpa memikirkan sisi dalamnya.
Pendidikan yang selama ini dipraktekkan di Indonesia menggunakan sistem
yang sentralistik. Seluruh kebijakan dan rancangan praksis pendidikan
dibuat secara terpusat. Padahal kita sama-sama mafhum bahwa Indonesia
adalah negara yang amat banyak memiliki ragam kultur yang masing-masing
memiliki keunikan (uniqueness) tersendiri. Dengan demikian, perlakuan
terhadap kultur-kultur ini tidak bisa begitu saja digeneralisasi. Usaha
melakukan hal ini hanya akan berimbas pada reduksi, dan pada akhirnya
yang terjadi adalah alih-alih pendidikan yang kita laksanakan mencerdaskan
bangsa, ia justru lebih tampil sebagai bentuk kepatuhan semu, sebuah
bentuk pengeringan hati nurani dan kompetensi kreatif masing-masing
peserta didiknya. Melihat hal ini, amat wajar jika krisis yang melingkupi
keseharian kita tak pernah dapat diselesaikan secara tuntas (minimal
sampai tujuh tahun terakhir ini), karena kita tidak pernah menyiapkan dan
mencetak generasi kita secara serius, terrencana dan terukur.
Optimisme akan keberhasilan dunia pendidikan kita kembali mendapat sinar
terangnya seiring diberlakukannya UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah (OTDA). Dengan diberlakukannya UU ini, secara otomatis
akan merombak seluruh sistem, khususnya mengenai hubungan pusat dan
daerah. Seluruh kebijakan tidak lagi diatur secara sentralistik, tetapi justru
sebaliknya Indonesia mengalami desentralisasi. Semua hal yang menyangkut
urusan daerah diputuskan dan dilaksanakan secara otonom oleh daerah
masing-masing. Demikian halnya juga dalam kebijakan dan rancangan
praksis pendidikan, semua hal dalam bidang ini akan dilakukan secara
otonom melalui kebijakan pemerintah daerah bekerjasama dengan seluruh
stakeholders lainnya. Pendidikan kemudian mengalami desentralisasi.
Apakah dengan demikian pendidikan kita akan secara otomatis memperoleh
keberhasilannya dan pada akhirnya dapat mengentaskan Indonesia dari
keterpurukan krisis? Tidak semudah itu tentunya. Pendidikannya sudah
mengalami desentralisasi (pelaksanaan pendidikan akan lebih kontekstual
dengan kebutuhan masing-masing daerah), namun jika struktur,
manajemen, kurikulum, biaya dan pendanaan, teknik-teknik dan
pendekatan perencanaan, sistem informasi, monitoring dan evaluasi
pendidikannya tidak diperbaharui, masih amat sulitlah untuk bisa
merealisasikan cita-cita besar (idealisasi) yang diharapkan atas dunia
pendidikan kita.
Kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh dunia pendidikan kita adalah
pembaharuan pada berbagai macam perangkat lunak (software)
sebagaimana disebutkan di atas. Dengan memperbaharui hal-hal ini,
diharapkan kebobrokan dan segala kekurangan dalam dunia pendidikan kita
yang menganga selama ini dapat diatasi. Tuntutannya adalah kemandirian
dunia pendidikan (dalam hal ini sekolah), meningkatkan partisipasi
pemerintah, pimpinan sekolah, tenaga pendidik, peserta didik, dan
masyarakat sekitar dalam kesuksesan proses pendidikan. Dengan ini
kemudian diharapkan tercipta sebuah sekolah yang efektif. Sebuah sekolah
yang bisa membekali peserta didiknya dengan kecerdasan, aneka
kompetensi, dan kearifan moral.
Seiring dengan niat pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan, maka
perlu diadakan perombakan terhadap sistem pendidikan yang selama ini
“tidak dapat membuktikan keberhasilannya” (meski ini bukan alternatif
satu-satunya). Pemerintah pun kemudian melakukan berbagai upaya
strategis melalui desentralisasi pendidikan, implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan lain
sebagainya. Bersamaan dengan ini kemudian membanjirlah buku-buku
sebagai tuntunan (teoritis ataupun praksis) atas program pemerintah
tersebut. Salah satu buku yang paling menarik adalah buku karangan Jaap
Scheerens, Improofing School Effectiveness, UNESCO, 2000, yang dalam
edisi Indonesianya diterbitkan oleh Logos, pada bulan Agustus 2003, dengan
judul Menjadikan Sekolah efektif.
Buku ini sendiri telah diedit oleh tim ahli dari International Institute for
Educational Planning (IIEP), sebuah lembaga khusus perencanaan pendidikan
di bawah naungan UNESCO. Penerbitannya sengaja didesain untuk
memberikan tuntunan perencanaan pendidikan baik di negara yang sedang
berkembang (seperti Indonesia) ataupun negara yang sudah maju. Secara
eksplisit buku ini bertujuan untuk menyediakan dasar konseptual guna
mendefinisikan efektivitas sekolah, menggambarkan variabel tingkat
sekolah dan kelas yang diharapkan ‘bekerja’ dalam pendidikan yang
tercermin pada bagaimana cara agar kebijakan bisa meningkatkan
efektivitas sekolah, menelaah bukti penelitian yang ada berkenaan dengan
hubungan antara kondisi perangkat lunak tertentu dengan prestasi
pendidikan, menggambarkan model-model teoritis yang digunakan untuk
menjelaskan mengapa faktor-faktor tertentu harus bekerja serta melihat
model-model mana saja yang bisa menghasilkan pengaruh yang dapat
dipraktekkan untuk meningkatkan efektivitas sekolah, dan menunjukkan
penerapan praktis dasar pengetahuan efektivitas sekolah bagi para
perancang pendidikan.
Efektivitas sekolah adalah sebuah konsep yang sulit diterjemahkan. Begitu
didefinisikan, sifat alamiah konsep ini sulit diukur. Ia sendiri tidak memiliki
ukuran yang absolut, ukurannya selalu relatif. Paling jelas ia bisa diukur
dari pencapaian tujuan (goal attainment)-nya. Sejauh mana tujuan
penyelenggaraan pendidikan itu bisa dicapai, sejauh itu pulalah kita bisa
mengidentifikasi efektivitas sebuah sekolah.
Penulis buku Menjadikan Sekolah Efektif ini menggunakan pisau analisa
teori (efektivitas) organisasi guna mencapai efektivitas sekolah. Titik
tekannya adalah pada paradigma rasionalitas. Inti dari teori ini sendiri yaitu
tentang perencanaan dan pembuatan kebijakan publik. Bagi teori ini,
orientasi tujuan, optimalisasi sarana, penyelarasan pilihan individu dan
tujuan organisasi adalah hal yang mutlak harus diperhatikan bahkan
diutamakan. Tujuan, dalam konteks paradigma rasionalitas, adalah hal yang
paling utama yang akan digunakan sebagai barometer efektivitas sebuah
sekolah. Untuk mencapai hal inilah sebuah sekolah mengerahkan seluruh
potensinya. Salah satunya dengan pemanfaatan optimal sarana-sarana yang
dimiliki (tidak terbatas pada kelengkapan sarana fisik), tentunya juga
dengan pengoptimalan sub unit-sub unit dari struktur sekolah, kondusifitas
kultur dan lingkungan sekolah setempat, serta kondusifitas proses sekolah
itu sendiri (menyangkut sistem pengajaran, kurikulum, kontrol dan
evaluasi). Pertanyaan yang kemudian hadir, dalam konteks pembuatan
kebijakan, adalah misalnya berdasarkan pada kondisi kultural, struktural
dan kebijakan secara keseluruhan, harus diputuskan, apakah model-model
yang menentukan peningkatan efektivitas pendidikan di sekolah, diserahkan
sepenuhnya secara ‘’bebas” ke sekolah itu sendiri? Atau apakah langkah-
langkah dorongan pusat (pemerintah setempat) lebih baik? Hal ini harus
diperhatikan, terlebih dalam konteks Indonesia dimana sekolah-sekolah
belum sepenuhnya bisa otonom dari campur tangan pemerintah. Bahkan
dikhawatirkan justru jika pemerintah melepaskan seluruhnya kebijakan
pendidikan kepada sekolah masing-masing, sementara ia belum memiliki
konsep dan rancangan yang jelas tentang arah pendidikan yang akan
dikembangkan, malah membuat ‘kehancuran’ bagi sekolah itu sendiri.
Kehancuran bagi dunia pendidikan.
Dalam analisa Scheerens, penulis buku ini, paradigma rasionalitas sebagai
upaya menuju efektivitas sekolah yang ditawarkannya bersendikan pada tiga
prinsip yaitu: perencanaan synoptic dan struktur formal, penyejajaran
tujuan individu dan organisasi (sekolah) dengan menciptakan kondisi pasar,
dan perencanaan retroactive dengan menggunakan evaluasi dan umpan
balik yang sesuai.
Perencanaan synoptic yang dibangun oleh penulis, mendasarkan teorinya
pada teori rasionalisasi Max Weber, terutama dalam teorinya tentang
birokrasi. Weber menyatakan bahwa prinsip birokrasi merupakan “suatu
format organisasi yang menekankan pada ketepatan, kecepatan, kejelasan,
keteraturan, keandalan, dan efisiensi yang dicapai melalui penciptaan suatu
pembagian tugas yang ditetapkan, pengawasan hirarkis, serta peraturan
yang terperinci”. Penerapan prinsip ini dalam dunia pendidikan akan
memiliki karakter utama berupa campuran unsur-unsur baik berdasarkan
prinsip birokratis-mekanistik maupun unsur-unsur yang sesuai dengan
gambaran organisasi yang lebih ‘kultural’, organis, dan partisipatoris. Di
satu sisi , kekakuan aspek birokratis-mekanistik untuk menciptakan
kedisiplinan, keteraturan, keandalan dan efisiensi diterapkan. Sementara
pada sisi yang lain, keluwesan dari partisipasi seluruh unsur stakeholders
dalam penyuksesan pendidikan juga diakomodasi. Gabungan dua prinsip
yang seolah-olah berseberangan inilah yang diharapkan akan menciptakan
sebuah sekolah yang efektif sekaligus efisien.
Perencanaan kedua yang diproposalkan oleh penulis adalah penyejajaran
rasionalitas (kepentingan, tujuan) individu dan organisasi. Perencanaan
model ini memiliki dasar teoritisnya pada teori pilihan publik dengan
menciptakan mekanisme pasar yang mampu menggantikan kontrol
administratif. Dalam mekanisme pasar, konsumen (dalam hal ini publik yang
sedang memilih model pendidikan) diberi kebebasan penuh dalam
penentuan pilihannya. Sementara pasar sendiri akan secara otomatis
menjalankan fungsi selektif dan fungsi kontrol-nya. Mekanisme pasar pada
satu sisi menyediakan kebebasan memilih bagi orang tua (atau publik pada
umumnya) untuk jenis pendidikan yang diinginkan bagi anaknya, sebagai
calon peserta didik, sementara pada sisi yang lain, pihak sekolah juga
memiliki kebebasan untuk memilih dan menyeleksi calon peserta didiknya.
Implikasi dari hal ini adalah akan terjadinya sebuah persaingan yang amat
ketat antar sekolah. Sekolah-sekolah akan mempercanggih sistem dan
segala perangkat pendidikannya untuk menyajikan pendidikan yang
kompetititif (dengan segala kemajuan dan keunggulan yang ditawarkan)
demi kepuasan publik pendidikan. Akan muncullah sekolah-sekolah yang
dihuni oleh peserta didik unggulan (memiliki basic di atas rata-rata),
sekolah-sekolah dengan peserta didik berkemampuan menengah, dan
sekolah-sekolah dengan peserta didik dimana kemampuan umum peserta
didiknya di bawah kemampuan rata-rata. Dengan melihat kemungkinan-
kemungkinan di atas, maka bukan suatu hal yang mustahil akan muncul
sekolah-sekolah yang efektif, meskipun pada saat yang sama juga masih
terdapat sekolah yang kemampuannya “pas-pasan”, kalau bukan malah
kurang.
Sedangkan model perencanaan terakhir yang diusulkan adalah perencanaan
retroactice. Menurut hemat penulis buku ini, perencanaan retroactive tidak
terlalu banyak meminta tuntutan sebagaimana dalam model perencanaan
synoptic, sehingga dirasa lebih ringan. Dalam upayanya menuju efektivitas
sekolah, perencanaan model ini, lebih mendasarkan pada evaluasi dan
umpan balik (fead back) yang sesuai bagi para peserta didik atau orang tua,
dan masyarakat pada umumnya sebagai stakeholders yang bersama lembaga
sekolah berpartisipasi dalam menuju kesuksesan pendidikan. Perencanaan
model ini akan bekerja secara intensif dengan mengumpulkan informasi bagi
aspek-aspek kunci berfungsinya organisasi (sekolah). Setelah informasi ini
didapatkan, kemudian diolah dan selanjutnya dipergunakan sebagai bahan
evaluasi, kebijakan yang akan dikeluarkan sebagai umpan balik (baik
kognitif yang akan merangsang pembelajaran maupun motivasional dengan
memberikan insentif) dan tindakan korektif untuk kesempurnaan seutuhnya.
Sebuah proses yang berjalan secara dialektis. Dengan tesis dan antitesis
yang berjalan silih-berganti, diharapkan pada titik tertentu akan
menemukan sebuah kesempurnaan, yaitu efektifitas sekolah.
Di atas segalanya, kehadiran buku ini amat membantu bagi para praktisi
pendidikan dan pemegang kebijakan khususnya, atau bagi masyarakat pada
umumnya dalam upaya memformulasikan model pendidikan yang akan
dikembangkan. Dengan paparan teori dan contoh-contoh praktis hasil
penelitian dari beberapa negara, diharapkan perencanaan pendidikan tidak
lagi dilakukan secara serampangan, tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Terlebih lagi di tengah kesempatan dengan diberlakukannya kebijakan
otonomi daerah oleh pemerintah pusat. Pendidikan sudah seharusnya
dikelola secara profesional dan terrencana oleh pemerintah daerah
setempat dengan segenap perangkat stakeholdersnya. Dengan ini, tentunya
diharapkan akan tercipta sebuah sistem dan lembaga pendidikan (sekolah-
sekolah) yang efektif, dan pada akhirnya tercipta sebuah generasi yang
memiliki kecerdasan, kompetensi praktis, dan kearifan moral yang akan
segera mengentaskan keterpurukan bangsa. 

Anda mungkin juga menyukai