Oleh
Drs. H.M. Nadjid Muchtar, MA
Ketua PP LP Ma’arif NU
Oleh
Ahmad el Chumaedy
Didi Ahmadi
Oleh
Jahja Umar, Ph.D
A. Pengantar
Pendidikan merupakan hak azasi manusia yang paling mendasar dan
bersifat universal. Di Indonesia, kesempatan untuk memperoleh pendidikan
dijamin dalam UUD 1945. Sementara itu, maju atau mundurnya suatu
bangsa tergantung dari kualitas SDM-nya. Hal ini terkait langsung dengan
peningkatan mutu pendidikan. Telah banyak contoh bahwa negara yang
secara geografis kecil dan relatif tidak mempunyai sumber daya alam,
tumbuh menjadi bangsa yang unggul karena kualitas lulusan dari sistem
pendidikannya yang dapat diandalkan dan terjaga.
Apabila bangsa Indonesia tidak mau lebih jauh lagi tertinggal dari bangsa-
bangsa lain di dunia, maka pendidikan di Indonesia harus lebih berorientasi
pada pengendalian mutu lulusannya. Pada tahun 2003, walaupun Indonesia
dipuji sebagi salah satu negara yang mampu menurunkan tingkat kematian
bayi yang berumur dibawah 5 tahun, tetapi berdasarkan Human
Development Index (HDI) untuk tahun 2003 ini, Indonesia masih berada pada
urutan ke -112 dari 151 negara di dunia. Hal ini berarti, Indonesia
mengalami penurunan rangking, sebab pada tahun 2002 Indonesia
menempati urutan ke-110 pada tahun 2002. Berdasarkan penelitian tim
Human Development Report (HDR) tahun 2003, salah satu penyebab
penurunan rangking tersebut adalah karena Indonesia mengalami penurunan
dalam hal mutu pendidikan dasar.
Hasil survai Third International Mathematics and Science Study (TIMSS)
tahun 1998/1999 menunjukkan, bahwa dalam kemampuan bidang IPA
(science) siswa SMP, Indonesia berada di urutan ke-32 dan dalam bidang
matematika (mathematics) berada di urutan ke-34 dari 38 negara-negara
peserta.
Demikian pula dengan hasil survai international yang lain, yaitu pada
Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2000/2001
untuk anak-anak usia 15 tahun, yang menunjukan Indonesia berada pada
urutan ke-38 dari 41 negara untuk bidang kemampuan IPA, untuk
matematika di urutan ke-39, dan kemampuan membaca (reading) diurutan
ke 39 dari 41 negara yang sama.
Pada saat di Indonesia terjadi penurunan mutu lulusan, di negara lain
terutama seperti di Malaysia dan Singapura justru terjadi yang sebaliknya.
Upaya yang mereka lakukan ialah menerapkan standar kelulusan bertaraf
international (Standar Cambridge, Inggris). Artinya, guru dan sekolah bila
perlu diberi kebebasan besar dalam memilih kurukulum, cara mengajar,
dsb. asalkan muridnya dapat dibuktikan lulus pada ujian yang dilakukan
dengan standar yang ditetapkan itu. Untuk itu,didirikanlah lembaga yang
berkewenangan penuh untuk menguji dan memberi sertifikasi, terpisah dari
lembaga yang membina sekolah. Meskipun pada mulanya terasa berat,
namun pada saat ini sebagian besar sekolah di Malaysia telah mampu
memenuhi tuntutan standar tersebut.
Memang, untuk mewujudkan “Malaysian Vision 2020 Steers the Nation
Towards Achieving the Status Of A Fully Developed And Industrialized
Country”, maka Kementrian Pendidikan Malaysia telah sejak dahulu
menetapkan misinya yang berbunyi; “to develop a world class quality
education system which will realize the full potential of the individual and
fulfil the aspiration of the Malaysian nation.” Karena di negara-negara
tetangga tersebut mutu lulusannya makin lama makin tinggi, kesenjangan
mutu dengan negara kita pun makin lebar, dan pada gilirannya tentu akan
membuat kita makin terpuruk dalam persaingan.
Sistem pendidikan di Indonesia selama ini cendrung terlihat lebih
berorientasi dan terfokus pada input pendidikan dan prosesnya. Input
pendidikan seperti sarana prasarana pendidikan dan kurikulum beserta
prosesnya, memang sangat penting bagi keberhasilan seseorang belajar,
tetapi hal ini saja tidak cukup. Karena itu, untuk memperbaiki keadaan di
atas, sistem pendidikan di Indonesia sekarang sudah harus mulai lebih
difokuskan pada pengendalian kualitas mutu lulusannya.
Tidak boleh lagi ada dikotomi antara pemerataan dan mutu, di mana
dengan alasan untuk pemerataan lalu mutu boleh dikorbankan dulu.
Memenuhi hak asasi warga negara untuk memperoleh pendidikan haruslah
terkait dengan mutunya. Dan untuk itu diperlukan adanya sistem
pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan (quality management).
Seiring dengan upaya pemenuhan sarana prasarana yang memerlukan biaya
besar, diperlukan upaya pengendalian mutu yang sebenarnya lebih
membutuhkan tekad dan komitmen dari pada biaya.
Sebagai konsekuensi logis dari komitmen untuk mengendalikan dan
meningkatkan mutu, maka penggunaan angka partisipasi murid (prosentase
anak usia tertentu yang berada di sekolah) saja sebagai indikator kualitas,
seperti “prosentase murid kelas tiga SD yang sudah mampu membaca,”
“prosentase murid kelas tiga SMP yang mampu lulus standar wajar 9 tahun,”
“prosentase lulusan SMA yang memiliki kemampuan bahasa Inggris pada
level tertentu,” dsb. Artinya, ada suatu standar yang digunakan pada setiap
tingkatannya.
Negara yang berhasil meningkatkan kualitas SDM-nya melalui pendidikan,
cenderung tidak menggunakan angka partisipasi murid sebagai bentuk
pertanggung jawaban (akuntabilitas) di bidang pembangunan pendidikan,
melainkan selalu menggunakan indikator kemampuan lulusan. Malaysia,
misalnya, bahkan menggunakan pula peningkatan “prosentase murid kelas 3
yang berhasil lompat ke kelas 5” dari tahun ke tahun, sebagai salah satu
dari indikator keberhasilan pendidikan. Amerika Serikat terkenal dengan
“National Assessment of Education Progress” ( NAEP ), Australia dengan
“National Benchmark Result,” bahkan India pun lebih mengutamakan
pelaporan pencapaian standar kelulusan daripada angka partisipasi murid.
Negara-negara tersebut biasanya memiliki lembaga yang memiliki otoritas
untuk menguji calon lulusan, atau bertugas memantau dan memetakan
mutu sekolah. Dalam hal ini, masyarakat mendapat informasi mengenai
sekolah mana saja yang sekalipun mempunyai sarana yang melimpah, tetapi
sebenarnya tidak bermutu, atau sebaliknya.
Di Indonesia, Pusat Penilaian Depdiknas mengklasifikasikan sekolah
berdasarkan ujian akhir, yaitu: A untuk yang lulusan dengan rata-rata 7.5 ke
atas, B untuk nilai rata-rata lulusan 6.5 sampai 7.5, dan C untuk yang nilai
rata-ratanya 5.5 sampai 6.5, serta D jika nilai rata-rata di bawah 5.5. Dari
hasil pemantauan selama lima tahun (1996-2001), prosentase sekolah SMP
kategori A (dari 1980 SMP Negeri dan Swasta), selalu di bawah 0.5 %.
Sementara sekolah kategori D mengalami peningkatan, dari 54.71 % pada
tahun 1996, menjadi 81.93 % pada tahun 2001. Demikian juga untuk tingkat
SMA, menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda.
Jika dilihat tingginya standar yang digunakan dalam arti tingkat kesukaran
soal yang diujikan, maka gambaran yang tampak lebih memperhatinkan.
Sebagi contoh, dapat dibandingkan soal ujian penghabisan kelas 6 sekolah
rakyat tahun 1952 dan 1961, dengan soal ujian ebtanas tahun 1997 dan
1999. Di sana, jelas sekali memperlihatkan, betapa terjadi penurunan
tingkat kesukaran soal yang sangat ekstrim dari waktu sebelum standar
kelulusan nasional dihapuskan pada tahun 1968, dibanding setelahnya.
Sebelumnya, standar kelulusan minimum adalah nilai rata-rata 5.5 dan
dengan soal yang sulit. Sesudahnya, tidak digunakan lagi istilah kelulusan
karena semua tamat, dan dengan soal yang amat mudah. Tahun 2004 ini,
rencananya akan diterapkan persyaratan lulus dengan nilai minimum 4.0,
tapi hanya tiga mata pelajaran yang diujikan secara nasional.
Pada tahun 1984 sampai dengan tahun 2000, sudah diberlakukan kebijakan
penyesuain (pengkatrolan) nilai dengan rumus PQR, yang membuat nilai
akhir dalam STTB selalu tinggi. Hal ini bukan saja merupakan sejenis proses
“pembodohan” secara nasional, tetapi juga melestarikan bahkan
memperlebar jurang kesenjangan mutu lulusan antar daerah. Akibatnya,
ketika terjadi investasi besar ke daerah, yang berarti membutuhkan SDM
terdidik, yang penerimannya melalui seleksi, maka lulusan lokal cendrung
kalah bersaing dengan lulusan dari daerah lain yang lebih berkualitas,
khususnya dari Jawa. Terpinggirkannya lulusan lokal ini tidak mustahil akan
memicu konflik, bahkan dapat mengancam keutuhan persatuan bangsa.
Dampak lain yang serius dari tidak diterapkannya suatu standar nasional
untuk kelulusan (lulus 100 %) adalah terhadap prilaku belajar murid dan
prilaku mengajar guru. Karena tidak ada yang tidak lulus, betapa pun
malasnya seorang murid, maka amatlah sulit untuk mendorong agar murid
rajin belajar. Kalau pada tahun 1960-an atau sebelumnya, setiap orang
belajar mati-matian agar dapat lulus, maka setelah tahun 1970-an, hanya
murid di sekolah tertentu atau di keluarga dengan tradisi tertentu saja yang
masih mau rajin belajar. Hal itu disebabkan karena tidak adanya kecemasan
siswa terhadap hasil ujian. Padahal, semua orang tahu, bahwa secerdas
apapun seseorang, jika tidak pernah membaca dan berlatih, tentulah tidak
dapat mencapai prestasi yang tinggi. Apalagi kalau kecerdasannya cuma
rata-rata dan kerjanya hanya bermain, malas-malasan, nonton TV, tanpa
belajar, tentu tidak mungkin menjadi pandai. Oleh karena itu, berapapun
besarnya kenaikan anggaran pendidikan, betapapun lengkap fasilitas
sekolah, jika muridnya tidak dituntut untuk rajin membaca dan berlatih,
maka sudah barang tentu tidak akan menghasilkan lulusan yang dapat
diandalkan. Sekolah-sekolah yang ada di Jepang, Taiwan, Korea, Hongkong,
Singapura dan Malaysia adalah contoh di mana murid harus belajar amat
rajin sehari-harinya. Itulah sebabnya kenapa lalu kualitas SDM di sana
meningkat pesat dan terbukti menjadikan mereka sebagai bangsa yang
maju. Padahal di Korea Selatan, selama puluhan tahun jumlah murid
perkelas mencapai rata-rata 60-65 orang.
Keadaan lulusan 100 % juga berdampak buruk pada prilaku mengajar guru.
Mereka umumnya sudah merasa aman dan selesai tugasnya jika telah
melaksanakan semua kewajiban kurikuler, meskipun murid-muridnya tidak
memahami materi yang diajarkannya. Memang, pada kenyataannya
penilaian ataupun angka kredit bagi kinerja guru bukan diukur dari prestasi
muridnya, melainkan lebih pada sejauh mana ia telah melaksanakan cara
mengajar yang ditentukan. Itu sebabnya kebanyakan guru tidak merasa
gagal sepanjang seluruh rangkaian tugasnya selesai. Kenyataan bahwa
setiap tahun lebih dari satu juta murid tamat SLTA, yang berarti telah
belajar Bahasa Inggris sebanyak 4 jam per minggu selama 6 tahun, namun
nyaris tidak ada yang dapat berbahasa Inggris, tampaknya tidak dianggap
masalah serius. Padahal betapa besarnya anggaran/biaya yang telah
dikeluarkan untuk itu. Bahkan, banyak orang yang cenderung menyalahkan
kurangnya anggaran/sarana dan kurang tepatnya kurikulum serta cara
mengajar yang menjadi penyebabnya. Padahal penyebab yang sebenarnya
adalah murid kurang belajar dan berlatih, karena gurunya maupun
sistemnya tidak menuntut untuk itu.
Uraian di atas menunjukkan, bahwa pendidikan yang tidak menghasilkan
lulusan yang bermutu bukanlah merupakan investasi SDM, melainkan
pemborosan biaya, tenaga dan waktu. Pembangunan gedung-gedung sekolah
yang menelan biaya besar, penataran-penataran guru maupun pencetakan
buku-buku yang juga menelan biaya yang sangat besar, akan kehilangan
maknanya apabila pengetahuan dan kemampuan lulusannya rendah. Dengan
demikian, strategi peningkatan mutu pendidikan harus dipusatkan terutama
pada pengendalian mutu lulusan. Selain itu, perlu ditumbuhkan kesadaran
masyarakat bahwa lembaga pendidikan yang baik bukanlah yang gedungnya
bagus, melainkan yang lulusannya bermutu.
Upaya peningkatan kualitas SDM harus dilakukan melalui konsepsi, strategi,
dan kebijakan yang tegas dalam pengendalian mutu, tanpa melupakan
untuk mengedepankan pendidikan yang murah dan merata. Indikator yang
dapat digunakan antara lain adalah: 1) prestasi belajar siswa, khususnya
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah; 2) kesenjangan mutu
pendidikan, baik antar sekolah maupun antar daerah; 3) mutu pendidikan
Indonesia yang secara rata-rata jauh berada di bawah, jika dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN maupun Internasional. Ketiganya hanya dapat
dipantau jika diterapkan suatu standar nasional dalam meluluskan seorang
murid.
Suatu standar nasional dalam hal ini hanya dapat diterapkan secara
konsekuen, jika ada sistem ujian yang objektif dan memiliki skala
ukurannya yang comparable (dapat dibandingkan) dari tahun ke tahun. Ini
memerlukan adanya lembaga otoritas pengujian yang menerapkan standar
nasional secara konsekuen, yang terpisah dari lembaga
penyelenggara/pembina sekolah. Artinya, penetapan kelulusan seorang
murid berdasarkan standar yang ada, adalah sepenuhnya kewenangan
lembaga pengujian, tanpa campur tangan sekolah, dinas, maupun direktorat
jenderal. Hal ini karena hasilnya justru menyangkut penilaian kinerja
sekolah, dinas dan direktorat jenderal yang terkait tersebut. Sebab otoritas
pengujian dan pemantauan mutu berfungsi sebagai pendorong bagi kinerja
sekolah, dinas dan direktorat jendral. Ini sejalan dengan azas akuntabilitas
yang telah diterapkan di negara-negara yang maju pendidikannya.
Seperti telah diketahui bersama, bahwa selain mutu pendidikan yang secara
rata-rata rendah, ternyata kesenjangan mutu lulusan pendidikan kita bukan
hanya terjadi antar sekolah, melainkan juga antar daerah. Hal seperti ini
tampak jelas pada data ujian masuk ke perguruan tinggi negeri yang setiap
tahun dilakukan. Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan terus
berlangsung, karena ketimpangan tersebut akan secara langsung terkait
dengan kesenjangan dalam hal peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Hingga pada gilirannya akan
merupakan ancaman terhadap persatuan dan kesatuan nasional.
Hal lain yang penting adalah, bahwa pendidikan harus dilihat sebagai
masalah bangsa, bukan sekedar masalah orang per orang atau keluarga.
Seorang pejabat di bidang pendidikan, tidak boleh hanya memikirkan
keadaan selama masa jabatannya, melainkan apa yang akan dicapai sepuluh
atau dua puluh tahun kemudian. Kondisi hasil pendidikan yang dialami saat
ini adalah buah dari kebijakan 10 atau 20 tahun yang lalu. Setiap orang yang
menangani kebijakan pendidikan harus berbuat sebagai seorang negarawan
yang berfikir untuk selanjutnya, bukan sebagai politisi yang berfikir untuk
satu periode pemilu, lantas setelah itu untuk pemilu berikutnya. Dalam
menangani pendidikan, apa yang kita lakukan mungkin baru dinikmati
hasilnya oleh generasi berikutnya.
d. Guru
Pada masa penjajahan dan pasca kemerdekaan sampai dengan tahun 1960-
an, jabatan sebagai seorang guru demikian terpandang. Pemerintah
melakukan berbagai cara untuk menarik pemuda terbaik menjadi guru.
Pemberian ikatan dinas dan penyediaan asrama bagi mahasiswa calon guru,
merupakan salah satu insentif yang mengundang generasi muda, melalui
jalur pendidikan tertentu untuk menjadi seorang guru. Tidak sedikit
mahasiswa fakultas tehnik di universitas terpandang yang pindah jalur
memasuki pendidikan guru. Tetapi sekarang tidak dapat dipungkiri, bahwa
banyak mahasiswa yang memasuki lembaga pendidikan guru, bukan karena
mereka memilih jabatan guru sebagai pilihan utama, melainkan karena
mereka tidak diterima di lembaga pendidikan tinggi lainnya. Sebagai
bandingannya, di negara-negara maju seperti USA, syarat untuk menjadi
seorang guru minimal S-1, ditambah satu tahun credential. Mahasiswa yang
akan menjadi guru juga disyaratkan termasuk dalam 20 % teratas lulusan
sekolah menengah. Masalah lainnya ialah menyangkut proses pengangkatan
dan penempatannya. Penataran guru yang selama puluhan tahun telah
menghabiskan triliunan rupiah, yang umumnya berasal dari pinjaman luar
negeri, praksis tidak membuahkan hasil pada peningkatan kualitas lulusan.
Isi penataran umumnya adalah mengenai metode mengajar yang ditawarkan
oleh para konsultan asing yang kemudian dijadikan metode baku bagi guru
di Indonesia. Akibatnya, hal ini bukan saja membuat guru semakin
terbelenggu dan dipaksa menerapkannya, tetapi juga membuat sistem
pendidikan Indonesia makin terfokus pada aspek kurikulum (kurikulum-
sentris), daripada hasilnya. Dengan situasi dan kondisi seperti ini, tentu
sangat sulit untuk mengharapkan guru sebagai ujung tombak peningkatan
mutu lulusan sekolah-sekolah di Indonesia.
Oleh
Dr. Umaedi, M.Ed.
(Direktur Centre of Education Quality Management)
Pendahuluan
Masalah nasional bidang pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia
yang sampai saat ini belum terpecahkan secara baik adalah masalah
pendidikan bermutu dan pemerataan kesempatan untuk memperolah
pendidikan yang bermutu bagi seluruh anak bangsa. Berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah sejak Orde Baru hingga sekarang, tapi hasilnya
belum menggembirakan. Bukti dari masalah ini sudah diketahui bersama,
baik melalui media maupun pengakuan pemerintah secara resmi dalam
dokumen Program Pembangunan Nasional (Propenas) pada kurun 2000-2004.
Sorotan utama ditujukan pada masalah efektivitas (mutu) dan efisiensi.
Sementara itu juga terjadi perubahan-perubahan lingkungan dan tuntutan
masyarakat yang terus berkembang terhadap pendidikan yang bermutu, baik
karena pengaruh globalisasi maupun kesadaran dan keinginan untuk lebih
berpartisipasi dalam pengelolaan kebijakan publik.
Sejalan dengan inefektivitas dan inefisiensi di sektor-sektor lain,
pemerintahan reformasi telah menjawabnya dengan “desentralisasi.”
Desentralisasi pendidikan merupakan pelimpahan wewenang dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, yaitu Pemerintah
Kabupaten/Kota dan Pemerintah Propinsi, kecuali masalah-masalah
tertentu yang memerlukan standar nasional (UU No. 22 Tahun 1999).
Pelaksanaan Otonomi Daerah (selanjutnya dibaca OTDA) tidak dengan
sendirinya menjamin efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan,
terutama kalau prakarsa dan inisiatif lembaga pendidikan dan masyarakat
tidak diberi peran semestinya. Desentralisasi justru dapat menjebak kita
dalam situasi sentralisasi baru, di mana lembaga-lembaga pendidikan hanya
berganti majikan, tetapi tidak memperoleh kesempatan untuk
memberdayakan diri secara semestinya. Di beberapa daerah, bahkan
muncul keluhan bahwa anggaran yang diperoleh sekolah pada masa
desentralisasi, lebih kecil daripada masa sentralisasi. Model pendidikan yang
ingin diwujudkan untuk masa depan adalah model pendidikan yang efektif
(bermutu), efisien dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat
(lingkungan), baik lokal maupun global.
Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) mengartikulasikan masalah
ini dalam bentuk model peningkatan mutu yang berbasis sekolah (School
based Management). Konsep ini kemudian memperoleh bentuk formal di
dalam Undang-undang SISDIKNAS Pasal 51 Ayat 1, dan ayat-ayat lainnya
sebagai konsekuensi dari penerapan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
Badan Hukum Pendidikan (BHP) dalam hal ini sebagai salah satu bentuk
alternatif yang dapat memberikan kepastian hukum bagi kemandirian
sekolah/madrasah untuk menerapkan MBS, tidak selalu harus dengan
membentuk BHP. BHP yang diamanatkan oleh UU SISDIKNAS Pasal 53,
sebagai kebijakan baru yang ketentuannya harus diatur dengan undang-
undang dan berlaku secara nasional perlu disoroti dari aspek legal (legal
bases), aspek konsepstual (conseptual beses), dan kemungkinan praktek
pelaksanaannya. Sebagai kebijakan yang melibatkan pemerintah
Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota, orang tua dan masyarakat, BHP perlu
memperjelas peran masing-masing.
Oleh karena itu, dalam tulisan selanjutnya mengenai BHP, penulis akan
meninjaunya berdasarkan ketiga aspek di atas, sekaligus peran para pelaku
penyelenggaraan pendidikan.
Penutup
BHP sebagai bentuk badan hukum dalam penyelenggaran pendidikan/satuan
pendidikan formal merupakan pesan yang diamanatkan oleh Undang-undang
SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2002, yang ketentuan-ketentuannya masih akan
diatur dengan undang-undang. Dalam merancang undang-undang dimaksud,
kita tidak berangkat dari nol tetapi kita memperhatikan ketentuan dan
perundangan yang berlaku, konsep-konsep dan misi perubahan tatanan
pendidikan yang sedang berjalan. Di samping itu, kita juga memperhatikan
praktek pelaksanaan dan kondisi yang ada sekarang serta antisipasi kondisi
yang akan datang.
Dengan kondisi Indonesia yang sangat beragam, BHP hendaknya disikapi
sebagi satu alternatif bentuk final kemandirian sekolah yang setatusnya
bukan merupakan satu-satunya model badan hukum penyelenggaran satuan
pendidikan. Penerapan BHP yang diharapkan dapat memacu mutu dan daya
saing pendidikan di Indonesia, hendaknya tidak mengabaikan kesempatan
dan keadilan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu bagi Warga
Negara Indonesia (WNI) yang kurang mampu.
Ma’rifat
SEKOLAH DAN PERAN STRATEGISNYA DALAM MEMPERSIAPKAN
MUTU PENDIDIKAN DI ERA DESENTRALISASI
Sumber
Direktorat Jenderal Dikdasmen
Pendahuluan
Dalam bagian pendahuluan ini disajikan sebagian hasil yang dicapai hingga
saat ini dari berbagai upaya peningkatan mutu di bidang pendidikan
antara lain:
Kondisi mutu saat ini dari hasil perolehan Nilai Ujian Akhir Nasional Tahun
2002:
Baik Sekali : 0,7 % (7,50) : 132 Sekolah
Baik : 4,49 % (6,50-7,49) : 831 Sekolah
Sedang : 23,69 % (5,50-6,49) : 4.382 Sekolah
Kurang : 57,37 % (4,50-5,49) :10.612 Sekolah
Kurang Sekali : 13,74 % (<4,49) : 2.542 Sekolah
Hasil studi yang dilakukan oleh The International Association for the
Evaluation of Education Achievement (IEA) terhadap kemampuan
Matematika, siswa SLTP Indonesia berada pada urutan ke-34, dan untuk IPA
pada urutan ke-32 dari 38 negara peserta.
Hasil observasi Taufik Ismail di beberapa negara ternyata anak-anak
Indonesia “rabun membaca dan lumpuh menulis”
Hasil berbagai Lomba Ilmiah, misalnya Lomba Internasional Fisika yang
diikuti oleh siswa kita dari tahun ke tahun cukup menggembirakan, bahkan
sempat meraih predikat Juara Umum (Lomba Internasional Fisika di Bali).
Sajian informasi seperti tersebut di atas, dimaksudkan untuk mengajak kita
semua, baik para pembuat kebijakan maupun para pelaksana kebijakan,
terutama untuk mengkaji kembali mengapa berbagai upaya yang
dilaksanakan selama ini dalam meningkatkan mutu pendidikan, belum
memperlihatkan hasil yang menggembirakan? Apakah sebenarnya yang
terjadi di sekolah kita?
Bagaimanakah Keadaan Lembaga Pendidikan Sekolah Kita?
Prof. DR. H. Soedijarto, MA. dalam tulisannya tentang Pendidikan sebagai
Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa (hal. 68-69)
diantaranya menyatakan: sekolah-sekolah kita di Indonesia saat ini pada
umumnya hanya merupakan tempat para murid mengikuti pelajaran di
kelas. Mereka datang ke sekolah untuk masuk kelas dan setelah selesai
langsung kembali ke rumah. Dalam banyak kasus, sesampai di rumah,
terutama anak usia sekolah dasar, mereka sering tidak menemukan orang
tua yang menunggu, tetapi hanya pembantu atau bahkan sering terjadi
mereka tidak menemui siapapun di rumah. Sekolah di Indonesia pada
umumnya tidak memungkinkan murid atau siswa kembali ke sekolah setelah
sampai di rumah untuk melakukan kegiatan skolastik seperti memanfaatkan
perpustakaan atau bertemu dengan guru untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi.
Sekolah semacam ini sukar diharapkan menjadi tempat untuk dikenang
sebagai pusat orientasi. Sekolah yang dipandang akan mampu menjadi pusat
sosialisasi, khususnya bagi kesetiaan kepada almamater adalah, sekolah
yang dapat dimanfaatkan oleh para siswa untuk belajar dan bergaul, tidak
hanya dalam pengertian skolastik, tetapi juga dalam bidang lainnya.
Interaksi para siswa dalam lingkungan akademik, dan interaksi yang terus
menerus antara siswa dan para gurunya dalam suasana kehidupan
intelektual dan akademik yang menantang, dan interaksi sosial dalam
bidang non-akademik yang melampaui batas disiplin ilmunya akan mampu
mempribadikan nilai-nilai perolehan pengetahuannya, yang intinya adalah
kejujuran yang tulus, sikap dan tanggung jawab serta pengabdian kepada
kebenaran ilmu bagi pembangunan bangsa pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan adanya suatu
pandangan bahwa hanya dengan sekolah yang dapat menjadi lembaga
sosialisasi dan pusat belajar seperti digambarkan di atas, kita dapat
berharap ampuhnya lembaga pendidikan (sekolah) sebagai wahana strategis
bagi terbinanya generasi muda yang bermutu, baik dalam watak dan
sikapnya sebagai warga negara, termasuk solidaritas nasional dan disiplin
nasional maupun kemampuannya. Sekolah-sekolah di negara maju seperti di
RFJ, Amerika Serikat, dan Jepang adalah pusat belajar bagi anak-anak
dalam segala seginya. Di Indonesia, sekolah yang ada sekarang hanya
merupakan tempat untuk bertemu guru di kelas sehingga proses sosialisasi
sangatlah minim. Sering orang melupakan bahwa kebersamaan di sekolah
dengan disiplinnya dan kedudukan sekolah sebagai pusat belajar dalam arti
yang luas sudah merupakan kurikulum tersendiri.
Bagaimana dengan Kondisi Proses Pembelajaran Yang Ada di Sekolah?
Tahun 1980 Direktorat Pendidikan Menengah Umum dengan bantuan grant
dari UNDP berupaya memperbaiki cara pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) melalui kegiatan pelatihan guru yang dikenal dengan
Pemantapan Kerja Guru (PKG) IPA bagi guru SMP dan SMU yang awalnya
dimulai pada 8 propinsi di Indonesia. Pelatihan menggunakan Pola In-Service
(pelatihan yang dilaksanakan pada Pusat Pelatihan Guru di Propinsi) dan On-
Service Trainning (praktik hasil pelatihan di sekolah peserta), serta
pertemuan mingguan. (pertemuan para peserta pelatihan di propinsi untuk
saling berbagi pengalaman anatar peserta selama On-Service dengan
fasilitator Pelatih Nasional yang ada di Propinsi).
Pembaharuan yang dilakukan antara lain dengan memperkenalkan
bagaimana pembelajaran IPA yang seharusnya dilakukan, diperkenalkan
metode, pendekatan, maupun penguatan latar belakang materi serta
penyusunan pokok uji. Selain itu juga diperkenalkan taknik bertanya,
menganalisis kurikulum, menganalisis pokok uji.
Pelatih (dikenal dengan sebutan instruktur) berasal dari guru IPA terpilih
dari berbagai propinsi (melalui seleksi) dan dilatih di Regional Center for
Science and Mathematic (RESCAM) di Penang, Malaysia, dengan materi
pelatihan yang dirancang khusus untuk keperluan pengajaran IPA di
Indonesia. Selain di RESCAM, sebelum melatih di propinsi, para instruktur
nasional mengikuti Lokakarya Nasional untuk mempersiapkan bahan
pelatihan di pusat Pengembangan Penataran Guru IPA di Bandung, dengan
pelatih berasal dari Perguruan Tinggi (IKIP Bandung, ITB, UI dan konsultan
dari Australia dan Inggris). Hasil dari upaya ini berdasarkan hasil studi oleh
Tim Nasional maupun internasional menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu
berhasil memperbaiki cara kerja guru dan hasil pembelajaran siswa. Bahkan
siswa-siswa yang diajar oleh guru peserta PKG, berkecenderungan untuk
dapat menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Selain PKG-IPA juga
dikembangkan untuk Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Ilmu
Pengetahuan Sosial. Kegiatan PKG juga diiringi kegiatan pelatihan bagi
Kepala Sekolah maupun pengawas. Namun dalam perkembangannya,
mempertahankan hasil-hasil yang ada selama kurun waktu sampai dengan
tahun 2000-an bukanlah pekerjaan yang mudah dilaksanakan. Berbagai
kebijakan dan perubahan yang terjadi di negeri ini rupanya banyak
mempengaruhi kinerja sekolah. Terlebih lagi adanya kebiasaan kurang baik
pada sebagian tenaga kependidikan kita, yang hanya rajin dan tekun pada
setiap pelatihan, namun setelah selesai program pelatihan tidak dapat
mempertahankan pengaruh lingkungan sekitar yang akhirnya kembali
menggunakan pola pembelajaran yang konvensional.
Reformasi dalam Bidang Pendidikan
Reformasi pendidikan melalui pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam
rangka otonomi daerah dewasa ini akan sangat menentukan sosok dan
kinerja sistem pendidikan nasional di masa depan. Tujuan utama reformasi
pendidikan adalah membangun suatu sistem pendidikan nasional yang lebih
baik, lebih mantap, dan lebih maju dengan seoptimal mungkin
memberdayakan potensi daerah dan partisipasi masyarakat lokal. Dalam hal
ini perlu ditekankan bahwa meskipun pengelolaan pendidikan menjadi lebih
berkonteks lokal, namun semuanya harus tetap berada dalam kerangka satu
sistem pendidikan nasional di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dengan kata lain, diberlakukannya otonomi daerah termasuk dalam
bidang pendidikan, tidak ada yang disebut “sistem pendidikan daerah”
karena yang ada “sistem pendidikan nasional” yang sebagian besar urusan
atau penyelenggaraannya dilaksanakan oleh daerah (Jalal dan Supriyadi,
2001: v).
Pelaksanaan reformasi pendidikan memerlukan kesiapan semua pihak untuk
berubah. Untuk itu, pertama-tama perlu pemahaman yang komprehensif
tentang berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan nasional saat
ini dan kemauan untuk mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu.
Berdasarkan pemahaman tersebut, dapatlah ditetapkan pilihan-pilihan
kebijakan yang rasional untuk membenahi dan meningkatkan kinerja sistem
pendidikan nasional.
Salah satu aspek yang mengalami perubahan sangat signifikan pada era
otonomi daerah dn desentrelisai adalah peran dan hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bila di masa lalu pemerintah
pusat sangat berperan dalam menentukan berbagai kebijakan pendidikan
nasional, maka dewasa ini peran pemerintah pusat lebih terfokus pada
penetapan kebijakan strategi yang bersifat nasional. Di pihak lain, hal-hal
yang bersifat teknis dalam pengelolaan pendidikan ditangani oleh daerah
dengan titik berat pada tingkat kabupaten dan kota.
Seiring dengan adanya reformasi di bidang pendidikan, hal ini berpengaruh
pada berbagai kebijakan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.
Kebijakan dimaksud antara lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan
persekolahan yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Salah
satu wujud dari penjabaran MBS dalam rangka peningkatan mutu pada
jenjang pendidikan dasar dikenal dengan kebijakan Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang diartikan secara umum, manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah,
memberikan fleksibiltas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah dan
mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat,
ilmuan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku (catatan: MPMBS tidak dibenarkan menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku).
MPMBS memiliki sejumlah karakteristik yang tidak dapat dipisahkan dengan
karakteristik sekolah efektif. Adapun karakteristik sekolah efektif yaitu: 1).
strong leadership of the principal; 2). emphasis on mastery of basic
skills; 3). a clean and orderly school environment; 4). high teacher
expectations of student performance; and 5). frequent assessments of
student progress.
Agar aktifitas yang ada di sekolah dapat mengikuti perubahan maupun
perkembangan jaman khususnya dibidang pendidikan, perlu kiranya
memperhatikan Empat Pilar Belajar sebagai titik berangkat yang strategis
mengaktualisasikan potensi sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Empat Pilar Belajar (Learning to know, learning to do, learning to live
together, and learning to be) oleh UNESCO dipandang sebagai pendekatan
belajar yang perlu diterapkan untuk menyiapkan generasi muda memasuki
abad ke-21, hakekatnya merupakan pendekatan belajar yang telah
diperkenalkan oleh tokoh-tokoh pemikir pendidikan sejak permulaan abad
ke-20.
Learning to know, adalah proses belajar yang memungkinkan siswa
menguasai teknik memperoleh pengetahuan, yang mengutamakan proses
pembelajaran yang memungkinkan siswa terlibat dalam proses meneliti dan
mengkaji.
Learning to do, sasarannya adalah mempersiapkan generasi yang intelegent
dalam bekerja, pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan
berinovasi.
Learning to live together, adalah kemampuan untuk hidup bersama dengan
orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa
prasangka. Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang
bersamaan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki
kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman
tersebut terdapat persamaan.
“Learning to be,” tiga pilar yang terdiri dari: learning to know, learning
to do dan learning to live together ditujukan bagi lahirnya generasi muda
yang mampu mencari informasi dan atau menemukan ilmu pengetahuan,
yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu
bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila
ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa
percaya diri pada masing-masing peserta didik. Hasil akhirnya adalah
manusia yang mampu mengenal dirinya, yaitu manusia yang berkepribadian
yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan
emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat
mengendalikan dirinya yang konsisten dan memilki rasa empati (emotional
intellegance).
Ke empat pilar tersebut di atas sejalan dengan pemikiran-pemikiran yang
pernah digagas oleh Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan “agar akal dan
kecerdasan yang dibawa anak sejak lahir dapat tumbuh dan berkembang
dengan wajar dan optimal, maka Ki Hadjar menerapkan “tut wuri
handayani”, memberi kesempatan anak didik maju ke depan (para
guru/pendidik cukup di belakang memberi dorongan) agar supaya ada
keberanian bertindak, berani mengemukakan pendapat, berinisiatif dan
mempunyai rasa tanggung jawab, selama berlangsungnya proses belajar
mengajar. Kondisi ini hanya mungkin terjadi jika suasana pembelajaran
dapat membangun atau menumbuhkan kemauan (ing madya mangun karsa),
dan juga sekaligus memberikan contoh-contoh pada saat diperlukan,
sehingga perlu berada di depan (ing ngarsa tulada), agar setiap anak didik
dapat mengamati berbagai proses yang sedang dan akan dialami (hal ini
erat hubungannya dengan perlunya pengalaman yang oleh Jhon Dewey
diartikan sebagai ciri dari dinamika hidup).
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa:
1. Pendidikan masa depan memerlukan kesiapan sekolah dan pihak
terkait untuk menciptakan terjadinya interaksi dibidang akademik
maupun non akademik.
2. Sekolah dituntut mampu memberikan layanan bagi murid atau siswa
kembali ke sekolah (setelah pulang sekolah) melakukan kegiatan non
skolastik seperti olahraga, kesenian atau kegiatan kepemudaan
lainnya serta kegiatan skolastik seperti memanfaatkan perpustakaan
atau bertemu dengan guru untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi.
3. Perlu diciptakan kondisi yang memungkinkan penerapan empat pilar
sebagai landasan kerangka pembelajaran di sekolah.
4. Perlu diciptakan kemandirian sekolah sebagai perwujudan MPMBS
yang menerapkan prinsip-prinsip yang merupakan ciri sekolah efektif.
5. Aktivitas di sekolah hendaknya selalu diwarnai dengan tuntutan
perubahan paradigma pendidikan dengan maksud agar mampu
menjawab tantangan perkembangan zaman, namun tetap
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan
wajar dan optimal.
6. Perlunya kesungguhan semua pihak terkait untuk memberikan
dukungan dalam layanan pendidikan yang mampu menjawab
tantangan zaman.
Turats
SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI:
AKAR TRADISI INTELEKTUAL NU
Oleh
Dr. Mamat Slamet Burhanuddin, MA
Dosen UIN Jakarta & IAIN Raden Intan Lampung
Nama Syaikh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi di telinga umat
Islam di Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya
dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i. Karya-karya Imam Nawawi (w.
676 H/1277M) yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional di seluruh
Indonesia, sampai sekarang masih banyak dikaji. Sehingga, nama kiyai asal
Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat dalam memberikan
wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majelis taklim,
karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, mulai ilmu
tauhid, fiqh, tasawuf sampai bidang tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa
dalam mengarahkan mainstream keilmuan yang dikembangkan di lembaga-
lembaga pesantren yang berada di bawah naungan organisasi Nahdlatul
Ulama (NU).
Di kalangan komunitas pesantren, Syaikh Nawawi tidak hanya dikenal
sebagai ulama penulis kitab, tetapi ia juga adalah maha guru sejati (the
great scholar). Nawawi telah berjasa meletakkan landasan teologis dan
batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia
turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri
pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi NU.
Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa
dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syaikh Nawawi adalah guru
utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, sering kali
KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syaikh
Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan airmata karena
besarnya kecintaan beliau terhadap gurunya.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum Organisasi
NU berdiri merupakan kajian yang luput dari para pemerhati NU. Terlebih
lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama
tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu
faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi
pemahaman masyarakat yang simplistis terhadap NU. NU seringkali
dipahami sebagai organisasi keagamaan yang melulu bergerak dalam sosial-
politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, tapi
bukan sebagai organisasi intelektual-keagamaan yang bergerak dalam
bidang keilmuan untuk mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran
dan terkaget-kaget ketika menyaksikan situasi belakangan ini, banyak anak
muda NU yang mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan
progresif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar
tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal.
Dari fakta sejarah dapat diasumsikan bahwa sebenarnya kelahiran NU dapat
dikatakan sebagai pelembagaan dari gerakan pelestarian tradisi keilmuan
Islam. Berbeda dengan kalangan modernis yang melakukan pembaharuan
secara revolusioner dengan meninggalkan jejak para as-salaf as-shalihun
ketika dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan modernitas, maka NU
menanggapinya secara evolusioner, yakni tetap apresiatif terhadap
khazanah klasik dan terus melakukan inovasi-inovasi kreasi baru yang lebih
berdaya guna. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi
keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf.
Figur ulama seperti Syaikh Nawawi Banten merupakan sosok ulama
berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian. Ia memegang
teguh, mempertahankan tradisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang
tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam
pembentukan keilmuan agama Islam. Karena besarnya pengaruh pola
pemahaman dan pemikiran Syaikh Nawawi Banten terhadap para tokoh
ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi
keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok
sang kiyai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak
menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di
pesantren-pesantren.
Karakteristik Pemikirannya
Dari puluhan risalah kitab yang ditulis Syaikh Nawawi, Brockleman
membaginya dalam tujuh kategorisasi bidang, yakni bidang Tafsir, Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Sejarah Nabi, Bahasa dan Retorika. Hampir semua bidang
ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang Tafsir yang ditulis hanya satu
kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini, dapat dijadikan bukti
bahwa memang KH. Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin
dan all round, dalam semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan
pengetahuam Nawawi yang tersebar dipuluhan karyanya ini membuat
kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara
komprehensif.
Tetapi dari sudut epistemologi-nya, tentu ada satu benang merah yang
dapat ditarik dan disimpulkan dari semua pemikirannya, yaitu bahwa
ternyata ia memiliki karakteristik pola pikir yang khas dan tipikal. Hampir
disemua bidang keilmuan, Nawawi konsisten mengacu pada rujukan yang
dinilainya otoritatif. Ia menggunakan warisan keilmuan (turats) ulama salaf
sebagai pijakan analisisnya untuk merekonstruksi opini pemikirannya.
Dengan perspektifnya yang orisinal, ia merancang ulang rumusan bangunan
keilmuan Islam dalam formulasi pemikirannya. Pada saat yang sama ia juga
dengan tegas menolak corak pemikirannya dikategorikan sebagi taklid
semata. Menurutnya taklid tanpa mengetahui dalil sangat dilarang dalam
agama, namun taklid dalam arti memegang argumentasi yang sama sangat
dianjurkan. Bahkan ia menegaskan bahwa semua bidang keilmuan Islam
harus dibangun berdasarkan hasil ijtihad (berpikir rasional) terhadap dalil-
dalil Yang sesuai dengan bidang keilmuannya.
Dalam kitab Nihayat al-Zain, salah satu kitab fiqh-nya, Nawawi mengatakan
bahwa seorang yang telah memiliki kualifikasi sebagai seorang mujtahid
muthlaq haram hukumnya bila mengikuti pendapat orang lain. Ia akan
berdosa karena bersalah tidak melakukan upaya ijtihad. Namun dalam kitab
yang sama ia memberikan formulasi tertentu dalam membangun opini
pemikiran bagi orang yang tidak memiliki perangkat keilmuan sebagi
seorang mujtahid muthlaq. Di sana dikatakan bahwa bagi mereka yang tidak
termasuk dalam kelompok ahli ijtihad wajib mengikuti salah satu dari
empat madzhab. Dalam bidang hukum (fiqh) yakni Syafi’i, Maliki, Hanafi
dan Hambali; Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-
Maturidi dalam bidang teologi (tauhid); serta mengikuti al-Ghazali dan Abu
al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dalam bidang tasawuf. Selanjutnya
Nawawi meyakinkan pembaca kalau formulasinya ini direkomendasikan oleh
al-Qur’an “Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mengetahui jika
kamu tidak memahami” (QS 16: 43).
Bidang Fiqh
Tidak berlebihan bila dalam bidang Fiqh Nawawi dikatakan sebagai
“corong” madzhab Imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. melalui karya-
karyanya seperti Syarh Safinah al-Naja, Syarh Sulam al-Taufiq, Nihayat al-
Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ‘ala Fath al-Qarib, Nawawi
berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna. Bahkan ia telah
berhasil membentuk masyarakat muslim menjadi apa yang dikritik oleh para
sarjana modernis sebagai “fiqh oriented”. Selain itu karya-karyanya pun
dipandang sebagai rujukan standar madzhab Syafi’i mengenai petunjuk-
petunjuk kehidupan praktis dan aktifitas ibadah sehari-hari.
Menjadi pengikut madzhab Imam Syafi’i bagi Nawawi bukan tanpa alasan.
Justru ini adalah pilihan yang telah digariskan dalam prinsip pola
pemikirannya. Sejalan dengan prinsip tersebut ia mengaku bahwa dirinya
bukan termasuk golongan yang berkualifikasi mujtahid muthlaq karena ia
merasa tidak memiliki keilmuan yang cukup, maka dari itu ia memilih
bermadzhab. Menurutnya dalam memilih madzhab pun umat Islam
dianjurkan untuk selektif. Hanya ada empat madzhab yang otoritatif. Selain
kepada empat madzhab ini dianggap tidak bermadzhab. Karenanya kita
tidak diperbolehkan mengikuti al-Imam Sufyan al-Tsauri, Sufyan ibn
Uyainah, Abd ar-Rahman ibn Jauziy dan sebagainya.
Hal menarik untuk dicermati adalah Nawawi juga melarang untuk mengikuti
madzhab para sahabat Nabi, alasannya karena pendapat para sahabat
belum terhimpun dalam rumusan pemikiran yang sistematik. Larangan ini
dapat dipahami bila bermadzhab diartikan sebagai langkah mengikuti pola
pikir argumentatif dari seseorang sebagai wujud langkah bersikap taqlid.
Sementara para sahabat belum memiliki kaidah ilmiah yang jelas.
Karena alasan inilah barangkali kenapa Nawawi dalam menyusun tulisannya
tidak bisa dilepaskan dari rujukan ulama klasik yang dianggapnya otoritatif.
Rujukan ulama madzhab yang banyak diikuti Nawawi adalah Muhammad
Ramliy dan Ahmad ibn Hajar. Dalam penilaiannya kedua orang ini adalah
umdat li al-mutaakhir min ‘ulama al-Syafi’y (pilar bagi ulama Syafi’iyah
kontemporer).
Meskipun Nawawi hidup di tengah-tengah lingkungan yang mulai banyak
dipengaruhi aliran Wahabi yang mengharamkan ziarah kubur, dan
mengunjungi tempat-tempat keramat, akan tetapi Nawawi tetap
menganjurkan para jema’ah haji untuk melakukan ziarah kubur ke makam
Nabi dan makam orang-oarang shaleh. Dia berargumen bahwa ziarah kubur
bisa menjadi wahana untuk mempertebal kecintaan kepada Nabi
(istihbaban muakkadan). Mengunjungi makam Nabi identik dengan tawajjuh
(dialog) bersama sang pemimpin umat dan mengenang perjuangan dan
keberhasilan dakwah Nabi. Selain itu hal yang penting adalah Nabi pun
pernah menyuruh untuk berziarah setelah sekian lama dilarangnya.
Bidang Teologi
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai
penganut teologi Asy’ari. Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di
bidang ini diantaranya Fath al-Mjid, Tijan al-Durari, Nur al-Zulam, al-
Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat al-
Saja, dan Mirqat al-Su’ud. Sejalan dengan prinsip pola pikir yang
dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Sebagai penganut Asy’ariyah
Nawawi banyak memperkenalkan konsep shifatiyyah Allah. Seorang muslim
harus mempercayai bahwa Allah dapat diketahui dari perbuatan-Nya,
karena sifat Allah adalah perbuatan-Nya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga
bagian: wajib, mustahil, dan mumkin. Sifat wajib adalah sifat yang pasti
melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat
yang pasti tidak melekat pada Allah dan pasti tidak adanya, sementara
mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.
Meskipun Nawawi bukan orang yang pertama yang membahas shifatyiyyah
Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil
memperkenalkan teologi Asy’ari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri
ini.
Kemudian mengenai dalil naqli dan ‘aqli, menurutnya harus digunakan
bersama-sama, tetapi kadang-kadang bila terjadi pertentangan diantara
keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk
meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan
Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari ‘aql. Bahkan tiga sifat di
atas pun diperkenalkan dan dilekatkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf
diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam akal pikirannya.
Tema penting yang perlu diketahui di sini adalah tentang kemahakuasaan
Allah (absoluteness of God). Sebagaimana teolog Asy’ariyah lainnya,
Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di
tengah-tengah dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabariyah. Dia
mengakui kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai jatuh
pada konsep Jabariyah yang meyakini bahwa sebenarnya semua perbuatan
manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya
manusia. Manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam
konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan
menyegarkan kembali ajaran agama dalam bidang teologi dan berhasil
mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabariyah di
Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi
Asy’ariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan
kolonialisme. Padahal fenomena kolonialiosme pada waktu itu telah
melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang
dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asy’ariyah pun turut
terkena. Dalam konteks Islam Jawa, teologi Asy’ariyah dalam kadar
tertentu sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari
kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan
diri kepada Allah, umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain
kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis.
Disinilah letak peran Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asy’ariyah-nya
yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Makkah berkumpul dalam
“koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprofokasi
bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non-muslim) haram
hukumnya. Dan sering kali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh
kolonial Belanda karena memiliki potensi perlawanan terhadap mereka.
Bidang Tasawuf
Demikian pula dalam bidang tasawuf, dengan aktivitas intelektualnya,
tercermin bahwa Nawawi amat bersemangat untuk menghidupkan disiplin
ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan
tasawuf ortodoks. Menarik untuk kita kritisi pendapat Snouck dalam
masalah ini. Menurut Snouck Nawawi tidak mengikuti anggota tasawuf apa
pun dan lebih banyak mempraktekkan ajaran al-Ghazali yang mengajarkan
etika tasawuf sederhana dan moderat. Selain itu kita sulit membuktikan
pendapat Karel Steenbrink yang menempatkan Nawawi sebagai tokoh yang
banyak mengkritisi tasawuf terutama tarekat, seakan Nawawi tidak setuju
dengan amalan-amalan praktek tasawuf. Padahal dari karyanya saja telah
menunjukkan bahwa Nawawi adalah seorang sufi brilian, ia banyak memiliki
tulisan di bidang tasawuf yang banyak dijadikan sebagai rujukan standar
bagi seorang sufi.
Brockleman mencatat ada tiga karya Nawawi yang dapat merepresentasikan
pandangan tasawuf: Misbah al-Zulam, Qami’ al-Tughyan, dan Salalim al-
Fudlala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ikhya’ ‘Ulumuddin
karya al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap
tarekat. Kita sulit menerima pendapat Snouck dan Steenbrink tersebut.
Bagaimana mungkin seorang penentang tasawuf banyak mengikuti ajaran-
ajaran tasawuf. Sri Mulyati dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
Nawawi, dalam pandangan tasawufnya, tidak tergantung pada gurunya
Syeikh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin
sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat,
namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat,
syari’at dan hakikat sangat erat sekali. Untuk memahami lebih mudah dari
keterkaitan ini, Nawawi mengibaratkan syari’at dengan sebuah kapal,
tarekat dengan lautnya, dan hakikat merupakan intan dalam lautan yang
dapat diperoleh dengan kapal yang melakukan pelayaran di laut. Dalam
proses pengamalannya, syari’at (hukum) dan tarekat merupakan awal dari
perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari
syari’at dan tarekat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Nawawi tidak
menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak
mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Dari paparan konsepsi tasawufnya ini, nampak terlihat bahwa Nawawi
konsisten dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf.
Term-term yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik.
Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan
dengan tokoh sufi indonesia lainnya. Ia dapat dibedakan dari karakteristik
tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf
Singkel dan sebagainya. Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih
banyak porsinya dalam menyadur teori-teori gnostik Ibn Arabi, Nawawi
justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syari’at.
Dalam formulasi pandangan taswufnya tampak upaya perpaduan antara fiqh
dan tasawuf. Ia lebih Ghazalian dalam hal ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai sesosok
al-Ghazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh
dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dalam pandangannya tentang
ilmu alam lahir dan ilmu alam bathin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh
dengan proses ta’allum dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat
‘alim. Sedangkan ilmu bathin dapat diperoleh dengan proses muraqabah
dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘arif. Seorang ‘abid diharapkan
tidak hanya menjadi alim yang hanya mengetahui ilmju-ilmu lahir saja
tetapi juga harus arif, memahami rahasia pengalaman spiritual ilmu bathin.
Bagi Nawawi tasawuf berarti pembinaan etika (adab). Penguasaan ilmu
lahiriyah semata tanpa penguasaan ilmu lahir akan berakibat terjerumus
dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu bathin
semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerembab dalam zindiq. Jadi
keduanya tidak dapat dipisahkan dalam pembinaan etika atau moral (adab).
Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap
moderatnya. Sikap ini terlihat ketika ia diminta oleh Sayyid Utsman bin
Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang
tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan sistem “yang
durhaka”. Permintaan Sayyid Utsman ini bertujuan untuk mencari sokongan
dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah
Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara
hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung
p e r a s a a n Sayyid
Utsman, sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami
kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual, namun di
sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.
Ikhtitam
Di akhir kalam ini dapat ditegaskan bahwa memang KH. Nawawi merupakan
sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU.
Sebab karakteristik pola pemikirannnya merupakan representasi
kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang
purifikasi dan pembaharuan. Dan kehadiran NU adalah untuk membentengi
tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan
tajdid terhadap khazanah klasik. Karenanya, formulasi manhaj al-fikr
tawaran Nawawi banyak dielaborasi oleh para ulama NU sebagai garis
perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap
konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa berdirinya NU
merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran Syaikh
Nawawi Banten.
Silaturrahim
KEPEDULIAN & SEMANGAT KEBERSAMAAN:
di Sanalah Nasib Pendidikan NU Bergantung?
Silaturrahim
Prof. DR. Muchsin Istihsan, SH
Sumber Dana
Sumber dana yayasan ini, sebanyak 75 % diperoleh dari wali murid, yaitu
berasal dari SPP dan BP3 atau uang infaq. Dewan guru yang jumlahnya 26
orang, diberi insentif sebesar Rp. 8.000,-/jam yang diambil dari uang SPP
yang hanya Rp. 20.000,-/bulan, di luar dana pembayaran kegiatan smester
dan ujian. Sekalipun demikian, untuk mengatasi gaji guru, Honor Daerah
(HONDA) dan Bantuan Khusus Guru (BKG) dari pusat telah banyak
membantu. Sebelumnya, tercatat terdapat 4 guru MA Ma’arif 05 yang
diangkat menjadi guru honor daerah yang dibayar Pemerintah Daerah,
sebesar Rp. 250.000,-/bulan. Pada akhirnya, 2 orang guru diangkat menjadi
guru kontrak, yang satu keluar dan yang satunya lagi mengajar di SMP Darul
Ulum. “Namun, kita masih menggunakan tenaganya untuk mengajar di MA
ini,” ungkap Kepala Madrasah. Yayasan juga mendapat jatah Bantuan
Khusus Guru (BKG) untuk 20 orang guru dari Pemerintah Pusat, termasuk
biaya untuk menghidupi sekolahan.
Sedangkan untuk kegiatan pramuka, UKS, peningkatan SDM guru dan siswa
diambil dari dana DPP (dana perbaikan pendidikan) sebesar Rp. 35.000,-
/tahun.
Di samping itu juga, dana LP. Ma’arif 05 Sekampung juga diperoleh dari
bantuan-bantuan pemerintah, baik provinsi maupun pemerintah pusat. Hal
ini juga terjadi karena perjuangan dari beberapa pengurus, terutama yang
berada di pemerintahan, seperti H. Ahmad Mujab (Asisten IV Bidang Sosial
dan mantan Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Lampung Timur),
dan Kepala Madrasah, Drs. H. Mahmud Yunus yang juga Kepala Bagian Tata
Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Lampung Timur.
Dalam menentukan seluruh kebijakan, termasuk menentukan kebijakan
masalah keuangan, Pengurus Yayasan selalu melibatkan Dewan Guru dan
Komite Sekolah yang dipimpin oleh H. Imam Syafi’I, salah seorang anggota
DPRD Lampung Timur, yang juga pernah membidangi masalah pendidikan.
Menurut Drs. H. Mahmud Yunus, “ketika ada bantuan dana dari pemerintah,
maka yang menerimanya adalah pengurus yayasan, kemudian dana tersebut
diberikan kepada lembaga pendidikan yang membutuhkan, yaitu diberikan
ke Madrasah Ibtidaiyyah, atau Madrasah Diniyah ataupun yang lainnya yang
membutuhkan, tentunya melalui kesepakatan bersama”.
Out-Put
Dari semenjak didirikannya hingga sekarang (Tahun 2004), Madrasah Aliyah
Ma’arif 05 Sekampung tercatat telah menghasilkan 20 angkatan yang sudah
menjadi alumni. Dari sekian banyak alumni Yayasan Ma’arif 05 Sekampung,
mayoritas memasuki ke pasar tenaga kerja. Hanya 10 % yang meneruskan ke
perguruan tinggi dan pesantren. Di antaranya ada yang memasuki UGM
Yogyakarta, LPIA, STAIN/IAIN, Pendidikan Kepolisian dan Pesantren Gontor.
Berdasarkan data yang diperoleh, tidak sedikit dari mereka menjadi guru
dan da’i. Bahkan pada zaman Orde Baru, banyak alumni Madrasah Aliyah ini
yang diminta untuk menyebarkan misi dakwah di tempat-tempat
transmigrasi.
Rencana ke Depan
Beberapa tahun yang lalu, pihak yayasan sudah membuka kelas jauh sampai
dengan Semester VI. Di wilayah Metro, sebelum Kota Metro menjadi bagian
dari Lampung Tengah, yang waktu itu masih menjadi bagian dari wilayah
Lampung Timur, telah didirikan Sekolah Tinggi Ilmu tarbiyah (STIT) Hasyim
Asy’ari milik Ma’arif. Namun, karena ada kejenuhan dari para mahasiswa
yang juga sekaligus alumni MA Ma’arif, akhirnya sekarang ditiadakan.
Sementara itu, dalam upaya merespon tuntutan masyarakat dalam hal
penguasaan sains dan tekhnologi, yayasan Ma’arif telah beberapa kali
mengajukan usulan untuk dibentuknya Perguruan Tinggi Umum kepada
Pemerintah. Pertama, pihak yayasan mengajukan dibentuknya Universitas
Ma’arif Lampung (UNMALA), namun karena satu dan lain hal akhirnya di
anulir, ujar Drs. H. Mahmud Yunus. Alasan lain yang menyebabkan tidak
diterimanya usulan tersebut adalah, karena di wilayah ini sudah terdapat
banyak Perguruan Tinggi. Respon pemerintah dalam menanggapi usulan
pihak Yayasan Ma’arif, akhirnya disarankan untuk membuka STIKES, STIMIK
atau STT. Setelah dilakukan beberapaa kali pertemuan, akhirnya disepakati
bahwa jenis pendidikan tinggi yang akan dibuka adalah Sekolah Tinggi
Manajemen dan Ilmu Komputer (STMIK). Setelah kesepakatan tersebut
dirumuskan menjadi sebuah usulan (proposal), selanjutnya diajukan lagi ke
DIKTI. “Rupanya di DIKTI sudah mengalami pergantian kepengurusan,
sehingga tidak macth dengan kepengurusan sebelumnya,” keluh Mahmud
Yunus. Kegagalan yang diderita sebelumnya untuk membuka STMIK,
nampaknya tidak menyurutkan perjuangan pihak yayasan untuk terus
berusaha. Hingga akhirnya proposal ketiga diajukan lagi, dan seperti
dijanjikan oleh DIKTI, pada bulan Desember 2003 mendapatkan
jawabannya. Tidak jauh berbeda dengan jawaban sebelumnya, usulan yang
ketiga inipun tidak mendapatkan respon positif dari DIKTI. Persoalan ini
sampai sekarang masih menjadi pertimbangan berbagai pihak untuk
merealisasikannya.
Selain upaya pengembangan pendidikan di atas, Yayasan Ma’arif 05
Sekampung dalam waktu dekat ini akan menjalin kerja sama dengan pihak
Dinas Pertanian, terutama untuk menyelenggarakan berbagai training
(pelatihan) dalam mempersiapkan SDM yang mempunyai keterampilan untuk
beternak ikan dan sapi. Di mana, peserta pelatihan ini direkrut dari
siswa/siswi kelas III Madrasah Aliyah 05 Sekampung, sebagai paket program
PKL (Praktek Kerja lapangan).
Maraji’
DESENTRALISASI PENDIDIKAN:
MENUJU PENDIDIKAN DEMOKRATIS
Oleh
Ahmad el Chumaedy
Oleh
Didi Ahmadi