LAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH LANDASAN PENDIDIKAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Landasan Pendidikan ” ini. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan
menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas pendidikan
agama dengan judul “Landasan Pendidikan”. Disamping itu, kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kamu selama pembuatan makalan ini
berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat kami perbaiki.
Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat kekurangannya.
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Tindakan Landasan Pendidikan
2.2 Keberhasilan Belajar dan Upaya Memotivasi Siswa Dalam Belajar
1.3 Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan
2. Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai Tinjauan Landasan Pendidikan dan
Upaya untuk memotivasi siswa dalam belajar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tindakan Landasan pendidikan
Pengertian Landasan Pendidikan
Landasan pendidikan adalah tumpuan, dasar, atau asas konseptual yang menyelubungi
pendidikan secara keseluruhan. Biasanya yang dibahas terkait dengan landasan pendidikan ini
adalah hakikat manusia sebagai makhluk pembelajar, situasi, proses, perubahan sosial, aliran
pelaksanaan, hingga permasalahan-permasalahan pendidikan.
Yatimah (2017, hlm. 354) mengatakan bahwa secara leksikal, landasan berarti dasar, tumpuan,
atau alas. Oleh karena itu, landasan (pendidikan) merupakan tempat bertumpu, titik tolak atau
dasar pijakan dalam melaksanakan pendidikan.
Landasan-landasan tersebut meliputi landasan hukum, filosofis, ilmiah, hingga yuridis atau
hukum yang melindungi hak pendidikan.
Tanpa landasan yang jelas, salah-salah pendidikan dapat menjadi sesuatu yang mencengkram
manusia lewat komersialisasi dan kekhususan yang berdampak pada kesenjangan pendidikan.
Kita sebagai bangsa yang telah mengalami kolonialisasi, belajar melalui cara yang pedih akan
hal tersebut.
Bagaimana tidak semua rakyat mendapatkan pendidikan yang layak karena pemerintah Hindia
Belanda tidak ingin mencerdaskan rakyatnya, sehingga mereka dapat terus mengeksploitasi
negeri ini.
Selain itu, pendidikan adalah modal yang jauh lebih bernilai jika dibandingkan dengan harta
yang melimpah sekalipun. Nilai ekonomi sebesar apa pun tanpa pengetahuan dan manajemen
penggunaannya akan habis dalam seketika. Dari mana pengetahuan manajemen tersebut berasal?
Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah pendidikan.
1. Sebagai pijakan utama yang kokoh dan adil untuk memastikan keadilan pendidikan
seperti dalam landasan hukum pendidikan.
2. Barometer utama untuk memastikan kualitas pendidikan yang terarah sesuai dengan
kebutuhan dan tujuannya.
3. Landasan perlindungan hukum untuk menjaga keadilan dan kemerataan pendidikan.
4. Perlindungan fungsi pendidikan pada pakemnya agar tidak disalahgunakan untuk hal
yang buruk.
Asas Pendidikan
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik
pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Di Indonesia, terdapat beberapa asas
yang digunakan dalam dunia pendidikan yang akan dipaparkan pada penjelasan di bawah ini.
Asas ini merupakan gagasan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang perintis
kemerdekaan dan pendidikan nasional.
Tut Wuri Handayani mengandung arti pendidik dengan kewibawaan yang dimiliki mengikuti
dari belakang dan memberi pengaruh, tidak menarik-narik dari depan, membiarkan anak mencari
jalan sendiri, dan bila anak melakukan kesalahan baru pendidik membantunya (Junaid, 2012,
hlm. 96).
Asas Tut Wuri Handayani yang kini menjadi semboyan Kemdikbud, pada awalnya merupakan
salah satu dari “Asas 1922” yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa yang
didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 (Reka Joni, T. dalam Junaid, 2012, hlm. 95).
Asas 1922
1. setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya
persatuan dalam perikehidupan umum;
2. pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, yang dalam arti lahir dan batin
dapat memerdekakan diri;
3. pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri;
4. pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat;
5. bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya lahir maupun batin
hendaknya diusahakan dengan kekuatan sendiri, dan menolak bantuan apapun dan dari
siapa pun yang mengikat baik berupa ikatan lahir maupun ikatan batin;
6. bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus
membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan;
7. dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin.
Asas Tut Wuri Handayani ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono (filusof
dan ahli bahasa) dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo yang
berarti “jika di depan memberi contoh”, dan Ing Madyo Mangun Karso yang berarti “di tengah
membangkitkan kehendak” (Ibid dalam Junaid, 2012, hlm. 96).
Secara umum, Implikasi dari penerapan asas Tut Wuri Handayani dalam pendidikan adalah
sebagai berikut.
Pendidikan sepanjang hayat atau pendidikan seumur hidup, dalam proses belajar mengajar di
sekolah setidaknya mengemban dua hal pokok, yakni: membelajarkan peserta didik dengan
efisien dan efektif, dan kedua; meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai
basis dari belajar sepanjang hayat.
Secara umum, pendidikan sepanjang hayat memungkinkan tiap umat manusia atau warga negara
Indonesia khususnya untuk mendapatkan setidaknya beberapa poin di bawah ini.
Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktivitas belajar yang berlangsung karena didorong
oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri. Ada beberapa pandangan
tentang belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan sebagai berikut:
1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab
dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management
(manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-
monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya).
2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai
dan memelihara usaha siswa untuk mengembangkan potensinya.
3. Dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari guru ke siswa atau
biasa disebut dengan student-centered. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk
memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya.
Unsur Pendidikan
Unsur pendidikan adalah satuan-satuan yang mendirikan dan memungkinkan terjadinya suatu
proses pendidikan. Berbagai satuan unsur pendidikan tersebut, menurut Elfachmi (2015, hlm. 15)
adalah sesederhana penjabaran berikut ini.
1. Tujuan pendidikan
2. Peserta didik
3. Pendidik
4. Interaksi edukatif
5. Materi pendidikan
6. Alat dan metode pendidikan
7. Lingkungan pendidikan
Penjelasan lebih lanjut mengenai masing-masing unsur pendidikan dapat disimak pada artikel di
bawah ini:
1. Landasan religius pendidikan, yang mencakup asumsi dan teori yang bersumber dari
religi atau agama yang menjadi titik tolak dalam rangka praktik pendidikan.
2. Landasan filosofis pendidikan, berbagai asumsi hingga teori yang bersumber dari
filsafat yang menjadi titik tolak dalam rangka praktik pendidikan.
3. Landasan ilmiah pendidikan, yaitu asumsi dan teori yang bersumber dari berbagai
cabang atau disiplin ilmu lain yang berhubungan dengan rangka praktik
pendidikan.Contohnya adlaah: landasan psikologi pendidikan, landasan sosiologi
pendidikan, landasan antropologis pendidikan, landasan historis pendidikan, dsb.
Landasan ilmiah pendidikan dikenal pula sebagai landasan empiris, teori, atau faktual
pendidikan.
4. Landasan yuridis atau hukum pendidikan, yakni asumsi, teori, dalil, dan hukum yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi titik tolak
dalam rangka praktik pendidikan.
Macam macam landasan pendidikan di atas merupakan pijakan utama yang digunakan ketika
kita hendak menyelenggarakan pendidikan. Tentunya tidak terbatas pada keempat landasan di
atas saja. Keempat landasan utama di atas akan dijabarkan lebih rinci pada pemaparan di bawah
ini.
Landasan Landasan Pendidikan di Indonesia
Landasan pendidikan di Indonesia, terdiri dari pijakan-pijakan yang meliputi bermacam bidang,
diantaranya adalah sebagai berikut ini.
Landasan yuridis atau landasan hukum pendidikan adalah seperangkat asumsi yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai titik tolak dalam rangka pengelolaan,
penyelenggaraan dan kegiatan pendidikan dalam suatu sistem pendidikan nasional.
Dengan diundangkannya UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai
pengganti UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kedepannya sangat
memungkinkan untuk diterbitkan berbagai peraturan pemerintah pengganti berbagai PP tersebut
di atas.
Jika kita membaca pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945, di dalamnya akan ditemukan secara
tersirat cita-cita pendidikan nasional, yakni “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Selanjutnya Pasal 31 UUD Negara RI Tahun 1945 secara tersurat menyatakan bahwa:
Untuk lebih lengkapnya, baca juga artikel di bawah ini yang membahas mengenai pendidikan
nasional Indonesia.
Landasan filosofis/ filsafat pendidikan merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau
hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok dalam pendidikan, seperti
apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan diperlukan, dan apa yang seharusnya menjadi tujuan
pendidikan.
Berbicara tentang landasan filosofis pendidikan juga berarti berkenaan dengan tujuan filosofis
suatu praktik pendidikan sebagai sebuah ilmu. Oleh karena itu, kajian yang dapat dilakukan
untuk memahami landasan filosofis pendidikan adalah dengan menggunakan pendekatan filsafat
ilmu yang meliputi tiga bidang kajian yaitu:
1. ontologi
2. epistemologi
3. aksiologi
Untuk lebih jelasnya, berbagai penjelasan mengenai filsafat pendidikan dapat disimak pada
artikel di bawah ini:
Terdapat beberapa aliran-aliran filsafat pendidikan yang biasa dijadikan salah satu rujukan dan
kajian landasan pendidikan. Aliran-aliran tersebut meliputi:
Dalam konteks religius, pendidikan adalah hal yang sangat bergantung pada keimanan dan
keyakinan peserta didik masing-masing. Pendidikan adalah hal yang harus berdasarkan
keinginan peserta didiknya sendiri, bukan paksaan atau dorongan dari orang atau bahkan instansi
dan lembaga lain.
Landasan ilmiah atau landasan teori pendidikan merupakan landasan teori yang digunakan untuk
mengkaji dan mempelajari berbagai ilmu yang berhubungan langsung dengan pendidikan dari
segala bidang yang menyelimutinya. Untuk lebih jelasnya akan langsung disampaikan melalui
contohnya di bawah ini.
Landasan ilmiah pendidikan dapat meliputi landasan ilmiah pendidikan, yaitu landasan
psikologis pendidikan, landasan sosiologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan,
landasan historis pendidikan, dan landasan ekonomi pendidikan. Berikut adalah masing-masing
pemaparannya.
Landasan Psikologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari hasil studi disiplin
psikologi yang dijadikan titik tolak dalam rangka praktik pendidikan (Yatimah, 2017, hlm. 117).
Di dalam hubungan pendidikan dengan psikologi, pendidik harus mampu memahami perubahan
yang terjadi pada diri individu, baik perilaku, perkembangan maupun pertumbuhannya.
Atas dasar itulah pendidik perlu memahami landasan pendidikan dari sudut psikologis. Selain
itu, psikologi dan pendidikan merupakan kesatuan yang sangat sulit dipisahkan. Subjek dan
objek pendidikan adalah manusia, sedangkan psikologi menelaah gejala-gejala perilaku dan
perkembangan psikologis dari manusia.
Untuk lebih jelasnya, psikologi pendidikan dapat dipelajari pada artikel di bawah ini:
Landasan sosiologis pendidikan adalah seperangkat asumsi yang bersumber dari hasil studi
disiplin sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam rangka praktik pendidikan (Yatimah, 2017,
hlm. 126). Dalam hal ini, sebagai pendidik kita harus mempelajari permasalahan sosial semacam
Individu dan Masyarakat serta Implikasinya terhadap pendidikan.
Dalam proses sosialisasi setiap individu sesuai dengan statusnya dituntut untuk belajar tentang
berbagai peranan dalam konteks kehidupan masyarakatnya sehingga mereka mampu hidup
bermasyarakat dan memasyarakat.
Implikasi dari konsep individu dan masyarakat sebagaimana diuraikan di atas, antara lain bahwa:
Landasan antropologis pendidikan adalah seperangkat asumsi yang bersumber dari hasil studi
disiplin antropologi yang dijadikan titik tolak dalam rangka praktik pendidikan (Yatimah, 2017,
hlm. 130).
Terdapat hubungan timbal balik antara pendidikan dan kebudayaan. Kebudayaan menjadi input
bagi pendidikan, antara lain dapat kita pahami bahwa:
1. Kebudayaan milik suatu masyarakat yang berupa nilai-nilai dan gagasan-gagasan akan
menggariskan tujuan pendidikan,
2. Wujud kebudayaan berupa nilai-nilai, norma-norma, gagasan-gagasan dan wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas berpola dari suatu masyarakat akan menjadi
isi (kurikulum) dan cara-cara (metode) pendidikan,
3. Wujud fisik berupa bangunan, bendabenda, dan uang merupakan sarana, alat, dan biaya
yang digunakan dalam pendidikan.
Landasan historis pendidikan merupakan seperangkat konsep dan praktik masa lampau sebagai
titik tolak sistem pendidikan masa kini yang terarah ke masa depan (Yatimah, 2017, hlm. 130).
Pendidikan masa kini tidak terwujud begitu saja secara tiba-tiba, melainkan merupakan
kesinambungan dari pendidikan pada masa lampau.
Dalam kesinambungan tersebut, konsep dan praktik pendidikan masa lampau yang dipandang
baik dan berguna akan tetap dipertahankan, sedangkan konsep dan praktik pendidikan yang
dipandang tidak baik dan tidak berguna atau keliru akan diperbaiki atau dikembangkan sehingga
berbeda dengan konsep dan praktik pendidikan masa lampau.
Landasan historis pendidikan Indonesia, antara lain mencakup landasan historis pendidikan:
1. zaman purba,
2. zaman kerajaan Hindu-Budha,
3. zaman kerajaan Islam,
4. zaman pengaruh Portugis dan Spanyol,
5. zaman kolonial Belanda,
6. zaman pendudukan Jepang,
7. pendidikan periode 1945-1969,
8. pendidikan pada masa PJP I (1969)-1993).
Menurut Pepelasis, dkk dalam (Yatimah, 2017, hlm. 133) faktor-faktor yang sangat penting
dalam ekonomi (pembangunan) adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, akumulasi
odal, teknologi dan kewiraswastaan, serta sosio-budaya.
Faktor ekonomi ang sangat berkesesuaian dengan pendidikan adalah sumber daya manusia
(Mudyahardjo dalam Yatimah, 2017, hlm. 133). Oleh karena itu, ditinjau dari sudut pandang
ekonomi, pendidikan adalah human investment atau upaya penanaman modal pada diri manusia
(Muchtar dalam Yatimah, 2017, hlm. 134).
Pendidikan diarahkan untuk menghasilkan tenaga kerja yang produktif dalam menghasilkan
barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat.
Terdapat hubungan antara pendidikan dan ekonomi, antara lain melalui pendidikan tenaga kerja
produktif dapat dihasilkan. Sebaliknya, pelaksanaan pendidikan memerlukan sejumlah dana yang
harus dimanfaatkan secara efisien dan efektif.
2.1 Keberhasilan Belajar Dan upaya Memotivasi Siswa Dalam
Belajar
A. Pengertian Keberhasilan Belajar
Sebelum masuk pada pengertian keberhasilan belajar, maka peneliti terlebih dahulu akan
membahas tentang pengertian belajar. Konsep belajar menurut UNESCO, menuntu setiap satuan
pendidikan untuk dapat mengembangkan empat pilar pendidikan baik untuk sekarang dan masa
depan, yaitu: (1) learning to know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk
melakukan sesuatu) dalam hal ini peserta didik dituntut untuk terampil dalam melakukan
sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together
(belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Bambang Warsita (2008: 62), belajar selalu dikaitkan dengan suatu upaya atau proses
perubahan perilaku seseorang sebagai akibat interaksi peserta didik dengan berbagai sumber
belajar yang ada di sekitarnya. Perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan pengetahuan
(kognitif), keterampilan (psikomotor), sikap (afektif), dan nilai (value).
Hal yang sama dikemukakan oleh Nana Sudjana (1989: 5) bahwa belajar merupakan suatu
proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil
proses belajar mengajar tersebut dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan
pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta
perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar.
Sedangkan menurut Muhibbin Syah (2002: 68), belajar merupakan tahapan perubahan
seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi
dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan
proses perubahan tingkah laku pada seseorang yang asalnya tidak tahu menjadi tahu, yang
asalnya tidak mempunyai keterampilan menjadi mempunyai keterampilan, dan yang asalnya
tidak dapat mengerjakan sesuatu menjadi bisa mengerjakan sesuatu yang semuanya itu
merupakan hasil dari pengalaman atau interaksi dengan lingkungan yang dilakukan secara
sengaja. Dengan demikian, perubahan-perubahan yang terjadi pada peserta didik sebagai akibat
dari proses belajar mengajar tersebut merupakan hasil dari belajar atau dengan kata lain disebut
hasil belajar.
Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (2001: 26)
mengatakan bahwa keberhasilan belajar dapat diukur dengan perubahan, karena keberhasilan
suatu program pembelajaran dapat diukur berdasarkan perbedaan cara berpikir, merasa, berbuat
sebelum dan berbuat sesudah memperoleh pengalaman belajar dalam menghadapi situasi yang
serupa.
Selanjutnya Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006: 105) menyatakan bahwa suatu
proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dapat dikatakan berhasil apabila Tujuan
Instruksional Khusus (TIK)-nya dapat dicapai oleh peserta didik. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa keberhasilan belajar merupakan kecakapan dari suatu usaha atau latihan
pengalaman dalam bentuk perubahan tingkah laku yang mengandung pengetahuan (kognitif),
keterampilan (psikomotor), sikap (afektif) serta nilai-nilai yang konstruktif (value).
B. Indikator Keberhasilan Belajar
Keberhasilan belajar merupakan prestasi peserta didik yang dicapai dalam proses belajar
mengajar. Untuk mengatahui keberhasilan belajar tersebut terdapat beberapa indikator yang
dapat dijasikan petunjuk bahwa proses belajar mengajar tersebut dianggap berhasil atau tidak.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006: 106) mengemukakan bahwa indikator
keberhasilan belajar, di antaranya yaitu: (1) daya serap terhadap bahan pengajaran yang
diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok, dan (2) perilaku
yang digariskan dalam tujuan pengajaran/instruksional khusus (TIK) telah dicapai oleh peserta
didik, baik secara individual maupun kelompok.
Lebih lanjut Zaenal Arifin (2009: 298) menyatakan bahwa indikator keberhasilan belajar
dapat dilihat dari berbagai jenis perbuatan atau pembentukan tingkah laku peserta didik. Jenis
tingkah laku itu di antaranya adalah: (1) kebiasaan, yaitu cara bertindak yang dimiliki peserta
didik dan diperoleh melalui belajar, (2) keterampilan, yaitu perbuatan atau tingkah laku yang
tampak sebagai akibat kegiatan otot dan digerakkan serta dikoordinasikan oleh sistem saraf, (3)
akumulasi persepsi, yaitu berbagai persepsi yang diperoleh peserta didik melalui belajar, seperti
pengenalan simbol, angka dan pengertian, (4) asosiasi dan hafalan, yaitu seperangkat ingatan
mengenai seseuatu sebagai hasil dari penguatan melalui asosiasi, baik asosiasi yang disengaja
atau wajar maupun asosiasi tiruan, (5) pemahaman dan konsep, yaitu jenis hasil belajar yang
diperoleh melalui kegiatan belajar secara rasional, (6) sikap, yaitu pemahaman, perasaan, dan
kecenderungan berperilaku peserta didik terhadap sesuatu, (7) nilai, yaitu tolak ukur untuk
membedakan antara yang baik dengan yang kurang baik, serta (8) moral dan agama, moral
merupakan penerapan nilai-nilai dalam kaitannya dengan kehidupan sesama manusia, sedangkan
agama adalah penerapan nilai-nilai yang trasedental dan ghaib (konsep tuhan dan keimanan).
Berdasarkan uraian di atas, maka indikator keberhasilan belajar peserta didik dapat
diketahui dari kemampuan daya serap peserta didik terhadap bahan pengajaran yang telah
diajarkan serta dari perbuatan atau tingkah laku yang telah digariskan dalam tujuan pembelajaran
telah dicapai oleh peserta didik, baik secara indvidual maupun kelompok.
C. Penilaian Keberhasilan Belajar
Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan belajar peserta didik dapat
dilakukan menggunakan tes prestasi belajar (Djamarah, 2006: 106). Tes merupakan suatu teknik
atau cara yang digunakan dalam rangka melaksanakan kegiatan pengukuruan, yang didalamnya
terdapat berbagai pertanyaan, pernyataan atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau
dijawab oleh peserta didik guna mengukur aspek perilaku peserta didik (Arifin, 2009: 118)
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006: 106), berpendapat bahwa tes prestasi
belajar yang dapat digunakan sebagai penilaian keberhasilan peserta didik, yaitu: (1) tes formatif,
(2) tes subsumatif, dan (3) tes sumatif. Tes prestasi belajar tersebut secara sederhana dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Tes formatif adalah kegiatan penilaian yang bertujuan untuk mencapai umpan balik (feed back),
yang selanjutnya hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar
mengajar yang sedang atau yang sudah dilakukan. Jadi, penilaian formatif tidak hanya berbentuk
tes tulis dan hanya dilakukan pada setiap akhir pelajaran, tetapi dapat pula berbentuk pertanyaan-
pertanyaan lisan atau tugas-tugas yang diberikan selama pelajaran berlangsung atau sesudah
pelajaran selesai.
b. Tes subsumatif, adalah penilaian yang meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah
diajar pada waktu tertentu. Tujuannya dalah untuk memperoleh gambaran daya serap peserta
didik untuk meningkatkan tingkat prestasi belajar pesrta didik. Hasil tes subsumatif ini
dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan diperhitungkan dalam
menentukan nilai rapor.
c. Tes sumatif, penilaian yang dilakukan untuk memperolah data atau informasi untuk memperoleh
data atau informasi sampai di mana penguasaan atau pencapaian belajar peserta didik terhadap
bahan pelajaran yang telah dipelajarinya selama jangka waktu tertentu. Adapun fungsi dan
tujuannya ialah untuk menentukan apakah dengan nilai yang diperolehnya itu peserta didik dapat
dinyatakan lulus atau tidak lulus. Pengertian lulus atau tidak lulus di sini dapat berati: tidak
dapatnya peserta didik melanjutkan ke modul berikutnya, tidak dapatnya peserta didik
nmengikuti pelajaran pada semester berikutnya, tidak dapatnya peserta didik dinaikkan ke kelas
yang lebih tinggi, serta tidak dapatnya peserta didik dinyatakan lulus/tamat dari sekolah yang
bersangkutan.
Sejalan dengan itu Zaenal Arifin (2009: 20) berpendapat bahwa untuk mengukur
keberhasilan belajar peserta didik dapat digunakan tes hasil belajar, yang digolongkan menjadi
dua, yaitu:
(1) tes formatif, yaitu penilaian yang yang digunakan untuk mengukur suatu atau beberapa pokok
bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap peserta didik
terhadap pokok bahasan tersebut, dan
(2) tes sumatif, yaitu tes yang diadakan untuk mengukur daya serap peserta didik terhadap bahan
pokok-pokok yang telah diajarkan selama satu semester, satu atau dua tahun pelajaran yang
tujuannnya untuk menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar peserta didik dalam sautu
periode belajar tertentu.
Pengukuran keberhasilan belajar dengan menggunakan tes hasil belajar hanya dapat
digunakan untuk mengukur pengetahuan teoritis. Sedangkan menurut Zaenal Arifin (2009: 152)
untuk mengukur aspek keterampilan digunakan tes perbuatan, serta perubahan sikap dan
pertumbuhan peserta didik dalam psikologi diukur dengan teknik non tes.
Lebih lanjut Zaenal Arifin (2009: 152) mengatakan bahwa teknik non tes dapat
diaplikasikasn dengan berbagain cara, diantaranya adalah:
(1) observasi (observation) yaitu suatu proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis,
logis, objektif, dan rasional mengenai berbagai fenomena, baik dalam situasi yang sebenarnya
maupun dalam situasi buatan untuk mencapai tujuan tertentu,
(2) wawancara (interview) merupakan salah satu bentuk alat evaluasi jenis non tes yang
dilakukan melalui percakapan dan tanya jawab, baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan peserta didik,
(3) skala sikap (attitude scale) yaitu bentuk penilaian non tes yang dilakukan dnegan cara
peserta didik memilih pernyataan-pernyaat positif dan negatif,
(4) dafar cek (check list) adalah suatu daftar yang berisi subjek dan aspek-aspek yang akan
diamati,
(5) skala penilaian (rating scale) adalah daftar cek penilaian non tes yang penilainya hanay dapat
mencatat ada tidaknya variabel tingkah laku tertentu, sedangkan dalam skala penilaian
fenomena-fenomena yang akan dinilai itu disusun dalam tingkatan-tingkatan yang telah
ditentukan,
(6) angket (quetioner) adalah alat untuk mengumpulkan dan mencatat data atau infoermasi,
pendapat, dan paham dalam hubungan kausal,
(7) studi kasus (case study) adalah studi yang mendalam dan komprehensif tentang peserta didik,
kelas atau sekoalh yang memiliki kasus tertentu,
(8) catatan insidental (anecdotal records) adalah catatan-catatan singkat tentang peristiwa-
peristiwa sepintas yang dialami peserta didik secara perseorangan,
(9) sosiometri adalah suatu prosedur untuk merangkum, menyusun, dan sampai batas tertentu
dapat mengkuantifikasi pendapat-pendapat peserta didik tentang penerimaan teman sebayanya
serta hubungan di antara mereka, dan
(10) inventori kepribadian adalah alat penilaian non tes yang hampir serupa dengan tes
kepribadian, bedanya pada inventori jawaban peserta didik tidak memakai kriteria benar salah,
melainkan jawaban peserta didik dikatakan benar selama dia menyatakan yang sesungguhnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahawa keberhasilan belajar
peserta didik dapat dinilai dengan tiga cara, yakni (1) tes untuk mengukur aspek kognitif, (2) tes
perbuatan untuk untuk mengukur aspek keterampilan, dan (3) non tes untuk mengukur
perubahan sikap dan pertumbuhan peserta didik dalam psikologi.
D. Tingkat Keberhasilan Belajar
Setiap proses belajar mengajar selalu menghasilkan hasil belajar. Masalah yang dihadapi
adalah sampai ditingkat mana prestasi (hasil) belajar yang telah dicapai. Sehubungan dengan hal
ini, Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006: 107) membagi tingkat atau taraf
keberhasilan belajar menjadi tiga macam, yaitu: (1) istimewa/maksimal yaitu apabila seluruh
bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh peserta didik, (2) baik sekali/optimal yaitu
apabila sebagian besar (76% - 99%) bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai oleh peserta
didik, (3) baik/minimal yaitu apabila bahan yang diajarkan hanya 60% - 75% saja yang dikuasai
peserta didik, dan (4) kurang yaitu apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 60%
dikuasai oleh peserta didik.
Dengan melihat data yang terdapat dalam format daya serap peserta didik dalam pelajaran
dan persentase keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan instruksional khusu tersebut,
dapatlah diketahui keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilakukan oleh peserta didik
dengan guru.
Pengukuran tentang taraf atau peningkatan keberhasilan proses belajar mengajar berperan
sangat penting. Oleh karena itu, pengukuran harus benar-benar sahih (valid), andal (reliabel),
dan lugas (objective).Taraf atau tingkat keberhasilan proses belajar mengajar dapat dimanfaatkan
untuk berbagai upaya. Salah satunya adalah sehubungan dengan kelangsungan proses belajar
mengajar itu sendiri, seperti pelaksanaan pembelajaran remedial.
Pembelajaran remedial merupakan kelanjutan dari pembelajaran biasa atau reguler di kelas.
Hanya saja, peserta didik yang masuk dalam kelompok ini dalah peserta didik yang memerlukan
pembelajaran tambahan. Dengan kata lain, peserta didik yang dimaksud adalah peserta didik
yang belum tuntas belajar (Arifin, 2009: 304). Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain
(2006: 108) pelaksaan pembelajaran remedial dilaksanakan apabila 75% atau lebih dari jumlah
peserta didik yang mengikuti proses belajar mengajar mencapai taraf keberhasilan kurang (di
bawah taraf minimal).
Brerdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan belajar peserta
didik dapat diketahui dari persentase jumlah peserta didik yang memiliki nilai di atas standar
ketuntas belajar minimal yang telah ditetapkan oleh sekolah.
E. Aspek-aspek Keberhasilan Belajar
Tujuan pemebelajaran yang ingin dicapai dapat dikategorikan menjadi tiga bidang yakni
bidang kognitif (penguasaan intelektual), bidang afektif (berhubungan dengan siakp dan nilai),
serta bidang psikomotor (kemampuan/keterampilan bertindak/berperilaku). Ketiga aspek tersebut
tidak bisa berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, bahkan
membentuk hubungan yang hirarki. Sebagai tujuan yang hendak dicapai, ketiganya harus
nampak sebagai hasil belajar peserta didik di sekolah. Oleh sebab itu, ketiga aspek tersebut harus
dipandang sebagai hasil belajar peserta didik dari proses pembelajaran. Hasil belajar tersebut
nampak dalam perubahan tingkah laku, yang secara teknik dirumuskan dalam sebuah pernyataan
verbal melalui tujuan pembelajaran (tujuan intruksional khusus). Dengan perkataan lain,
rumusan tujuan pembelajaran berisikan hasil belajar yang diharapkan dikuasai siswa yang
mencakup ketiga aspek tersebut.
Nana Sudjana (2011: 50) mengungkapkan bahwa pengelompokkan aspek keberhasilan
peserta didik menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Aspek kognitif
Aspek kognitif adalah keterampilan yang ditandai dengan kreativitas, kelincahan berpikir,
dan memecahkan masalah. Aspek kognitif menuut Bloom memiliki enam taraf berpikir yang
meliputi pengetahuan (taraf yang paling rendah) sampai dengan evaluasi (taraf yang paling
tinggi). Hal yang sama dikemukakan oleh Alex Shiran (2008: 17) bahwa pembagian aspek
kognitif meliputi enam tingkatan pikiran yang digambarkan pada bagan berikut ini:
Nana Sudjana (2011: 51) mengatakan bahwa pemahaman dapat digolongkan menjadi dua
bagian, yaitu:
(1) penerjemahan, yakni kesanggupan memahami makna yang terkandung di dalam suatu objek.
Misalnya, menerjemahkan kalimat bahasa Arab atau ayat Alquran ke dalam bahasa Indonesia,
serta
(2) penafsiran, seperti menafsirkan grafik, menghubungkan dua konsep yang berbeda, serta
membedakan yang pokok dan bukan yang pokok.
c. Aspek penerapan (aplikasi)
Aplikasi adalah kesanggupan menerapkan dan mengabstraksi suatu konsep, ide, hukum,
rumus dalam situasi yang baru. Misalnya, memecahkan permasalahan dengan menggunakan
rumus tertentu, menerapkan suatu hukum atau dalil dalam suatu persoalan. Jadi, dalam aplikasi
harus ada konsep, teori, hukum, rumus, dan dalil.
d. Aspek analisis
analisis adalah kesanggupan mengurai suatu integritas (kesatuan yang uth) menjadi unsur-
unsur atau bagian-bagian yang mempunyai arti, sehingga hirarkinya menjadi jelas. Analisis
sepertti ini menunjukkan bagaimana ide di susun.
Analisis merupakan tipe hasil belajar yang kompleks, yang memanfaatkan hasil belajar
sebelumnya, yakni pengetahuan, pengalaman, dan aplikasi. Kemampuan menalar pada
hakikatnya mengandung unsur analisis. Dengan demikian, kemampuan analisis seseorang akan
mampu mengkreasi sesuatu yang baru.
e. Aspek sintesis
Sintesis adalah lawan dari analisis. Kalau analisis menekankan kesanggupan menguraikan
suatu integritas menjadi unsur-unsur yang bermakna, maka sintesis menekankan pada
kesanggupan menyatakan unsur-unsur menjadi satu integritas. Dengan kata lain, sintesis
merupakan tipe hasil belajar dalam bentuk kegiatan menghubungkan potongan-potongan,
bagian-bagian, unsur-unsur, dan sebagainya sehingga menjadi satu pola atau struktur yang
sebelumnya tidak tampak jelas.
f. Aspek evaluasi
evaluasi adalah kesanggupan memberikan keputusan tentang nilai sesuatu berdasarkan
kriteria yang dipakainya. Tipe hasil belajar ini dikategorikan paling tinggi dan terkandung semau
tipe hasil belajar yang telah dijelaskan sebelumnya dalam tipe hasil belajar evaluasi, menekankan
pada pada pertimbangan sesuatu nilai, mengenai baik tidaknya, tepat tidaknya, dengan
menggunakan kriteria tertentu.
2. Aspek afektif
Aspek afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap
seseorang dapat diramalkan perubahan-perubahannya, bila seseorang telah menguasai aspek
kognitif tingkat tinggi. Tipe hasil belajar aspek afektif tampak pada peserta didik dalam berbagai
tingkah laku, seperti: atensi/perhatian terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, dan lain-lain.
Hasil belajar aspek afektif dapat digambarkan sebagi berikut ini:
Carl Rogers dalam Nana Sudjana (2011: 54) berpendapat bahwa seseorang yang telah telah
menguasai tingkat kognitif maka perilaku orang tersebut sudah bisa diramalkan. Dengan
demikian, ketiga aspek hasil belajar di atas saling terkait dan saling berhubungan antara satu
dengan yang lainnya.
A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar
Jika ada guru yang mengatakan bahwa dia tidak ingin berhasil dalam mengajar, adalah
ungkapan seorang guru yang sudah putus asa dan jauh dari kepribadian seorang guru. Mustahil
setiap guru tidak ingin berhasil dalam mengajar, apalagi jika guru itu hadir ke dalam dunia
pendidikan berdasarkan tuntutan hati nurani. Panggilan jiwanya pasti merintih akan kegagalan
mendidik dan membina peserta didiknya.
Betapa tingginya nilai suatu keberhasilan, sampai-sampai seorang guru berusaha sekuat
tenaga dan pikiran mempersiapkan program pengajarannya denga baik dan sitematik. Namun,
terkadang keberhasilan yang dicita-citakan, tetapi kegagalan yang ditemuinya, yang disebabkan
oleh berbagai faktor sebagai penghambatnya. Sebaliknya, jika keberhasilan itu menjadi
kenyataan, maka berbagai faktor itu yang menjadi pendukungnya.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswin Zain (2006:109) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan belajar peserta didik di antaranya yaitu: tujuan, guru, peserta didik,
kegiatan pembelajaran, bahan dan alat evaluasi, serta suasana evaluasi. Secara sederhana faktor-
faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar peserta didik diuraikan sebagai berikut:
a. Tujuan
Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan
belajar mengajar. Kepastian dari proses belajar mengajar berpangkal tolak dari jelas tidaknya
perumusan tujuan pengajaran. Tercapainya tujuan sama halnya keberhasilan pengajaran.
Sedikit banyak perumusan judul akan mempengaruhi kegiatan pengajaran yang dilakukan
oleh guru, dan secara langsung guru mempengaruhi kegiatan belajara peserta didik. Guru dengan
sengaja menciptakan lingkungan belajar guna mencapai tujuan. Jika kegiatan belajar peserta
didik dan kegiatan guru mengajar bertentangan, dengan sendirinya tujuan pengajaran pun gagal
untuk dicapai.
b. Guru
Setiap guru mempunyai kepribadianmasing-masing sesuai dengan latar belakang
kehidupan sebelum mereka menjadi guru. Kepribadian guru diakui sebagai aspek yang tidak bisa
dikesampingkan dari kerangka keberhasilan belajar mengajar untuk mengantar peserya didik
menjadi orang yang berilmu pengetahuan dan berkpribadian. Dari kepribadian itulah
mempengaruhi pola kepemimpinan yang guru perlihatkan ketika melaksanakan tugas mengajar
di kelas.
Selain itu, Pandangan guru terhadap peserta didik akan mempengaruhi kegiatan mengajar
di kelas. Guru yang memandang anak sebagai makhluk individual dengan segala perbedaan dan
persamaannya, akan berbeda dengan guru yang memandang anak didik sebagai makhluk sosial.
Perbedaan pandangan dalam memandang peserta didik akan melahirkan pendekatan yang
berbeda pula, dan hasil belajar menagajarnya pun berlainan.
c. Peserta didik
Tanggung jawab guru tidak hanya terhadap seorang anak, tetapi dalam jumlah yang cukup
banyak. Anak yang dalam jumlah cukup banyak itu tentu saja dari latar belakang kehidupan
sosial keluarga dan masyarakat yang berlainan. Karenanya, anak-anak berkumpul di sekolah pun
mempunyai karakteristik yang bermacam-macam. Kepribadian mereka ada yang pendiam, ada
yang periang, ada yang suka bicara, ada yang kreatif, ada yang keras kepala, ada yang manja,
dan sebagainya. Intelektual mereka juga dengan tingkat kecerdasan yang bervariasi. Biologis
mereka dengan struktur atau keadaan tubuh yang tidak selalu sama. Karena itu, perbedaan anak
pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis ini mempengaruhi hasil kegiatan belajar
mengajar.
d. Kegiatan pembelajaran
Dalam kegiatan belajar mengajar, pendekatan yang guru ambil akan menghasilkan
kegiatan anak didik yang bermacam-macam. Guru yang menggunakan pendekatan individu,
mislanya berusaha memahami anak didik sebagai makhluk individual dengan segala persamaan
dan perbedaannya. Guru yang menggunakan pendekatan kelompok berusaha memahami anak
didik sebagai makhluk sosial. Dari kedua pendekatan tersebut lahirlah kegiatan belajar mengajar
yang berlainan, dengan tingkat keberhasilan belajar mengajar yang tidak sama pula. Perpaduan
dari kedua pendekatan itu malah akan menghasilkan hasil belajar mengajar yang lebih baik.
Motivasi merupakan syarat mutlak dalam belajar. Siswa yang belajar tanpa motivasi (atau
kurang motivasi) tidak akan berhasil dengan maksimal. Siswa akan terdorong untuk
belajar apabila mereka memiliki motivasi untuk belajar.
1) Kuatnya kemauan untuk
berbuat,
2) Jumlah waktu yang disediakan untuk belajar,
3) Kerelaan meninggalkan
kewajiban atau tugas yang lain,
4) Ketekunan dalam mengerjakan tugas.Menumbuhkan
motivasi belajar siswa merupakan salah satu teknik dalam mengembangkan kemampuan
dan kemauan belajar.
Sebagai guru atau calon guru sebisa mungkin kita harus selalu
berupaya untuk dapat meningkatkan motivasi belajar terutama bagi siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajar dengan menggunakan berbagai upaya yang dapat
dilakukan oleh guru yaitu :
1) Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
2) Membangkitkan
motivasi siswa.
3) Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
4) Mengguanakan variasi metode penyajian yang menarik.
5) Berilah pujian yang wajar
setiap keberhasilan siswa.
6) Berikan penilaian.
7) Berilah komentar terhadap hasil
pekerjaan siswa.
8) Ciptakan persaingan dan kerjasama.
Kata kunci: motivasi belajar, upaya guru