Anda di halaman 1dari 3

Korupsi di perguruan tinggi sejatinya bukan cerita anyar.

Korupsi di perguruan
tinggi dalam rentang waktu 15 tahun. Sejak tahun 2006 hingga Agustus 2021,
tercatat sedikitnya 37 kasus korupsi yang terkait dengan perguruan tinggi.
“Tren korupsi di perguruan tinggi semakin meningkat, bukannya menurun,”.

Dari keseluruhan kasus korupsi tersebut, terdapat sedikitnya 65 pelaku berasal


dari lingkungan civitas akademika, pegawai pemerintah daerah, dan pihak
swasta. Rinciannya yaitu 32 orang pegawai dan pejabat struktural di tingkatan
fakultas atau universitas, 13 orang Rektor atau Wakil Rektor, 5 orang dosen, 2
orang pejabat pemerintah daerah, dan 10 orang pihak swasta.

Kemudian ditemukan 12 pola korupsi di perguruan tinggi. Tak tertutup


kemungkinan terdapat pola lainnya di luar pola-pola yang telah ditemukan. Dari
12 pola yang ditemukan, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa menjadi
modus yang paling banyak digunakan. Tercatat 14 dari 37 kasus yang
ditemukan menggunakan modus pengadaan barang dan jasa.

Salah satu kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di perguruan tinggi
terjadi di Universitas Airlangga (Unair). 30 Maret 2016 lalu, Rektor Unair,
Fasichul Lisan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dua kasus
pengadaan barang dan jasa.

Kasus pertama yaitu pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Unair yang


bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2007 – 2012.
Kasus kedua adalah peningkatan sarana dan prasarana Rumah Sakit
Pendidikan Unair yang bersumber dari dana DIPA tahun 2009. Fachrul sebagai
Kuasa Pengguna Anggaran Unair, diduga melawan hukum  dan
menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Dari kasus tersebut, kerugian negara mencapai Rp 85 Miliar.

Pola lain yaitu korupsi dana penelitian dan dana beasiswa mahasiswa. Korupsi
dana penelitian umumnya diselewengkan untuk kegiatan yang sama sekali
tidak terkait dengan dana penelitian seperti kepentingan pribadi dan perjalanan
dinas. Sedangkan korupsi dana beasiswa umumnya berupa pemotongan
besaran beasiswa atau pengambilalihan seluruh atau sebagian dana beasiswa,
membuat dana yang tersedia tidak tersalurkan kepada mahasiswa.
Praktik korupsi dengan menggunakan pola suap juga umum ditemukan.
Misalnya, suap atau “jual beli” nilai. Dampak modus tersebut secara kerugian
negara tidak ditemukan, “Tapi suap ini biasanya banyak dan sering,”.
Bentuknya dapat berupa uang dan barang yang diberikan mahasiswa kepada
dosennya agar mereka diluluskan.

Kasus tersebut pernah ditemukan pada Oktober 2014 lalu di perguruan tinggi
swasta, Universitas Gunadarma. 300 mahasiswa kala itu terancam gagal
mengikuti wisuda karena pihak universitas membatalkan wisuda ratusan
mahasiswa yang terlibat “jual beli” nilai. Ketika itu terdapat oknum pegawai
universitas yang memberikan tawaran berupa kenaikan nilai dengan jumlah
250.000 rupiah untuk satu mata kuliah.

Suap dalam penerimaan mahasiswa baru dan suap terkait akreditasi juga
pernah ditemukan. Termutakhir adalah kasus Rektor Universitas Lampung
tahun2022. Selain itu, suap dalam pemilihan pejabat di internal perguruan
tinggi, seperti yang tengah menjadi polemik saat ini.

Pola gratifikasi mahasiswa terhadap dosen juga umum terjadi. Namun, tidak
semua gratifikasi berujung pada suap. Untuk modus ini, “Umumnya disebabkan
ketidakpahaman terhadap gratifikasi.”

Pola-pola lain yang ditemukan yaitu Korupsi dana hibah atau CSR, korupsi
anggaran internal perguruan tinggi, korupsi penjualan aset milik perguruan
tinggi, dan korupsi dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) mahasiswa.

“Semuanya mengkhawatirkan,” korupsi yang terjadi mencoreng Tri Dharma


Perguruan Tinggi. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian seolah menjadi
slogan semata.

Banyak hal yang menyebabkan korupsi di perguruan tinggi terjadi. Otonomi


yang telah diberikan kepada perguruan tinggi. Otonomi dalam konteks
akademik disebutnya relatif telah membaik, namun tidak demikian dalam hal
non-akademik. Salah satu contohnya ialah pengelolaan keuangan. Pengelolaan
keuangan di kampus tidak dibarengi dengan akuntabilitas. “Ini yang jadi cikal
bakal korupsi,”.
Belum ada kampus yang rutin menjalankan praktik keterbukaan informasi.
Informasi penerimaan dana yang masuk, penggunaan uang, program yang
dijalankan, masih sulit untuk ditemukan. Hal itu juga diperparah dengan
kesulitan mahasiswa untuk mengakses informasi tersebut. “Kampus itu
lembaga publik, tapi mengeluarkan informasi hanya sebatas yang mereka mau.
Kampus sangat tertutup.”

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk memutus rantai korupsi di perguruan
tinggi. Salah satunya melalui strategi pencegahan dan penindakan dari aparat
penegak hukum. Tata kelola perguruan tinggi misalnya, harus dibenahi.
Perguruan tinggi harus lebih transparan, “Segala kebijakan, program, dana-
dana yang digunakan harus dipertanggungjawabkan,”.

Selain itu, penyadaran akan bahaya korupsi bagi civitas akademika menjadi
penting. Terlebih apabila melihat para aktor korupsi yang sebagian berasal dari
lingkungan kampus itu sendiri.

Tak kalah penting, yaitu memasukkan kurikulum antikorupsi pada setiap


program studi di perguruan tinggi. Hal tersebut juga mesti dibarengi dengan
penerapan nilai-nilai antikorupsi yang didiskusikan di dalam kelas. “Sejauh ini
hanya pemanis saja, harusnya menjadi cerminan bagi pihak kampus.”

Dia juga menyarankan hal lain seperti dibentuknya unit pengendali gratifikasi di
tiap perguruan tinggi, audit berkala oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
dan hukuman berat bagi pelaku korupsi di perguruan tinggi.

Perguruan tinggi seharusnya dapat menjadi garda terdepan dalam


pemberantasan korupsi. Perguruan tinggi semestinya dapat mengajarkan nilai-
nilai yang lebih baik dari yang telah ada saat ini. Terlebih, perguruan tinggi
merupakan pencetak generasi muda yang akan berpengaruh di masa
mendatang. Banyak pula lulusan perguruan tinggi yang menjadi pejabat publik.
Sejauh ini perguruan tinggi belum dapat memberikan contoh baik terhadap hal
tersebut. “Mereka harus membenahi diri,”.

Anda mungkin juga menyukai