Korupsi di perguruan
tinggi dalam rentang waktu 15 tahun. Sejak tahun 2006 hingga Agustus 2021,
tercatat sedikitnya 37 kasus korupsi yang terkait dengan perguruan tinggi.
“Tren korupsi di perguruan tinggi semakin meningkat, bukannya menurun,”.
Salah satu kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di perguruan tinggi
terjadi di Universitas Airlangga (Unair). 30 Maret 2016 lalu, Rektor Unair,
Fasichul Lisan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dua kasus
pengadaan barang dan jasa.
Pola lain yaitu korupsi dana penelitian dan dana beasiswa mahasiswa. Korupsi
dana penelitian umumnya diselewengkan untuk kegiatan yang sama sekali
tidak terkait dengan dana penelitian seperti kepentingan pribadi dan perjalanan
dinas. Sedangkan korupsi dana beasiswa umumnya berupa pemotongan
besaran beasiswa atau pengambilalihan seluruh atau sebagian dana beasiswa,
membuat dana yang tersedia tidak tersalurkan kepada mahasiswa.
Praktik korupsi dengan menggunakan pola suap juga umum ditemukan.
Misalnya, suap atau “jual beli” nilai. Dampak modus tersebut secara kerugian
negara tidak ditemukan, “Tapi suap ini biasanya banyak dan sering,”.
Bentuknya dapat berupa uang dan barang yang diberikan mahasiswa kepada
dosennya agar mereka diluluskan.
Kasus tersebut pernah ditemukan pada Oktober 2014 lalu di perguruan tinggi
swasta, Universitas Gunadarma. 300 mahasiswa kala itu terancam gagal
mengikuti wisuda karena pihak universitas membatalkan wisuda ratusan
mahasiswa yang terlibat “jual beli” nilai. Ketika itu terdapat oknum pegawai
universitas yang memberikan tawaran berupa kenaikan nilai dengan jumlah
250.000 rupiah untuk satu mata kuliah.
Suap dalam penerimaan mahasiswa baru dan suap terkait akreditasi juga
pernah ditemukan. Termutakhir adalah kasus Rektor Universitas Lampung
tahun2022. Selain itu, suap dalam pemilihan pejabat di internal perguruan
tinggi, seperti yang tengah menjadi polemik saat ini.
Pola gratifikasi mahasiswa terhadap dosen juga umum terjadi. Namun, tidak
semua gratifikasi berujung pada suap. Untuk modus ini, “Umumnya disebabkan
ketidakpahaman terhadap gratifikasi.”
Pola-pola lain yang ditemukan yaitu Korupsi dana hibah atau CSR, korupsi
anggaran internal perguruan tinggi, korupsi penjualan aset milik perguruan
tinggi, dan korupsi dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) mahasiswa.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk memutus rantai korupsi di perguruan
tinggi. Salah satunya melalui strategi pencegahan dan penindakan dari aparat
penegak hukum. Tata kelola perguruan tinggi misalnya, harus dibenahi.
Perguruan tinggi harus lebih transparan, “Segala kebijakan, program, dana-
dana yang digunakan harus dipertanggungjawabkan,”.
Selain itu, penyadaran akan bahaya korupsi bagi civitas akademika menjadi
penting. Terlebih apabila melihat para aktor korupsi yang sebagian berasal dari
lingkungan kampus itu sendiri.
Dia juga menyarankan hal lain seperti dibentuknya unit pengendali gratifikasi di
tiap perguruan tinggi, audit berkala oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
dan hukuman berat bagi pelaku korupsi di perguruan tinggi.