Anda di halaman 1dari 14

TUGAS UTS KEWARGANEGARAAN

ANALISIS KASUS KORUPSI DIPERGURUAN TINGGI

DOSEN PENGAMPU

WAHYU S.H., M.H

DISUSUN OLEH

Elyana Ramadhaniyati

222.02.10169

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SULTAN ADAM BANJARMASIN


TAHUN 2022
ANALISIS KASUS KORUPSI DIPERGURUAN TINGGI
Oleh: Elyana Ramadhaniyati
NIM : 222.02.10169
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam

A. PENDAHULUAN
Dunia perguruan tinggi di seluruh dunia tidak pernah bersih dari
praktik korupsi. Penyebab dari besarnya korupsi di perguruan tinggi
disebabkan oleh kurangnya atau rendahnya integritas akademika dan etika di
antara insan perguruan tinggi (Denisova-Schmidt 2018; Sugandi et al., 2019)
Praktik korupsi di perguruan tinggi bukan hal yang tabu saat ini, hal
ini dibuktikan dengan banyaknya jajaran perguruan tinggi atau yang memiliki
latar belakang perguruan tinggi terlibat korupsi (dalam konteks UU Tipikor).
Sedangkan praktik korupsi yang jarang terekspos di perguruan tinggi adalah
korupsi yang lahir karena adanya transaksi antara pengajar dan mahasiswa.
Meskipun dianggap hal yang sepele. praktik korupsi antara pengajar dan
mahasiswa dapat menjadi masalah serius jika sudah menyangkut kredibilitas
perguruan tinggi sebagai badan penyelenggara pendidikan. Badan
penyelenggara pendidikan memiliki fungsi “mendidik” sehingga peserta didik
tidak melakukan perbuatan melanggar hukum. Pengajar sebagai pendidik
dapat memberikan ajaran tidak hanya dalam konteks materi ataupun normatif
saja, namun juga dalam perbuatan yang dapat menjadi contoh bagi peserta
didik (Adhari, 2017)
Korupsi di perguruan tinggi terdiri atas korupsi dalam bidang
manajerial yang biasanya dilakukan oleh pimpinan dan staf administrasi serta
tenaga kependidikan, dan korupsi dalam bidang pelaksanaan akademik -yang
diperankan oleh mahasiswa dan dosen Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
pada tahun 2010 melakukan pemeriksaan terhadap perguruan tinggi negeri di
Indonesia. Dari pemeriksaan tersebut diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa
tindakan kecurangan pada beberapa perguruan tinggi yang diperiksa,
diantaranya adalah terdapat sisa dana bantuan sosial yang tidak disalurkan
sebagai mana mestinya dan tidak disetorkan ke kas negara. Selain itu,
terdapat pembayaran ganda honorarium dan perjalanan dinas, serta adanya
rekening fiktif yang dibuka tanpa sepengetahuan kementerian keuangan
sehingga mengakibatkan rekening tersebut bersifat ilegal (Thoyibatun, 2012).
Kasus korupsi yang melanda perguruan tinggi tidak hanya masalah
penggelapan dana dan mark up anggaran, namun pengelolaan aset perguruan
tinggi negeri juga rawan menjadi sasaran tindak kecurangan (Temaluru et al.,
2016). Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PukatUGM)
menyatakan bahwa dari data trend corruption report (TCR) Pukat, selama
bulan Januari hingga Juni 2014 terdapat 10 orang tersangka korupsi dari
sektor pendidikan. Modus korupsi ini didominasi pada sektor pengadaan
barang dan jasa serta pengelolaan aset universitas (Kabar Korupsi, 2014).
Dari penelitian yang dilakukan di beberapa negara lain juga diperoleh
kesimpulan bahwa sektor pengadaan barang dan jasa mendominasi kasus
korupsi pada lembaga sektor publik termasuk perguruan tinggi (Sargiacomo
et al., 2015; Auriol et al., 2016).
Kasus-kasus korupsi yang ada pada Perguruan Tinggi beberapa
diantaranya terjadi di Universitas Udayana terkait dugaan korupsi
penyalahgunaan dana sumbangan pengembangan Institusi (SPI) seleksi
mandiri mahasiswa baru (CNN Indonesia, 2022). Selanjutnya kasus korupsi
yang terjadi di Universitas Lampung (UNILA) yang diduga Rektor
Unversitas Lampung (Unila) Karomani sengaja mengajak jajaran struktural di
Unila masuk dalam kepengurusan penerimaan mahasiswa baru. Proses itu
kemudian berujung pada tindak pidana korupsi berupa penyuapan (Merdeka,
com, 2022).
Jumlah tindakan korupsi tidak dapat diwakili oleh kasus-kasus di atas;
lebih banyak lagi kasus-kasus korupsi yang tidak terungkap ataupun tidak
sadar dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara luas. Selain kasus korupsi
diatas, korupsi lahir dari adanya transaksi, maka transaksi antara pengajar
dan mahasiswa di perguruan tinggi swasta lebih dominan dibandingkan
dengan transaksi pengajar dan mahasiswa di lingkungan PTN. Transaksi
akademik di lingkungan PTS dimulai dari proses belajar mengajar hingga
masa ujian akhir kelulusan (sidang meja hijau/pendadaran). Praktik korupsi di
lingkungan PTS dapat terjadi dimulai saat peserta didik resmi diterima
sebagai mahasiswa hingga kelulusannya (Adhari, 2017)
Berdasarkan paparan diatas, penulis ingin mendeskripsikan lebih
dalam mengenai kasus-kasus korupsi yang terjadi diperguruan tinggi.

B. ANALISI DAN PEMBAHASAN


Korupsi lahir dari adanya transaksi, maka transaksi antara pengajar dan
mahasiswa di perguruan tinggi. Transaksi akademik di lingkungan PTS
dimulai dari proses belajar mengajar hingga masa ujian akhir kelulusan
(sidang meja hijau/pendadaran). Praktik korupsi di mulai dengan adanya
transaksi jual beli nilai, dengan cara memberikan nilai tinggi pada mahasiswa
dalam mata kuliah tertentu, bahkan pencucian nilai sangat masif terjadi di
lingkungan PTS. Selain jual beli nilai, praktik korupsi juga lahir atas
kepentingan mahasiswa untuk tidak masuk kuliah dengan cara pemberian
gratifikasi agar dapat mengikuti ujian pada mata kuliah tertentu, kemudian
pengajar PTS juga banyak melakukan perbuatan korupsi akademik dengan
menjadi calo karya ilmiah (skripsi, dll). Jadi praktik korupsi di lingkungan
PTS dapat terjadi dimulai saat peserta didik resmi diterima sebagai
mahasiswa hingga kelulusannya.
Praktik ini melahirkan kondisi pendidikan tinggi yang memiliki kualitas
buruk, dengan melahirkan sarjana dengan tingkat moralitas rendah. Bila
dihitung dari banyaknya perguruan tinggi swasta di Indonesia yang lebih
banyak dari perguruan tinggi negeri, maka dapat dibayangkan kualitas lulusan
sarjana yang ada tiap tahunnya. Oleh sebab itu perguruan tinggi swasta pada
umumnya tidak lagi memandang kredibilitas dan kualitas, namun
mementingkan kuantitas (Putra, 2022)
Penyebab Korupsi
Praktik korupsi ini lahir dan menjadi budaya bukan tanpa sebab, jika
melihat faktor penyebabnya terjadinya praktik korupsi ini, maka banyak
faktor yang mendasari, diantaranya:
 Lemahnya kepemimpinan.
Lemahnya kepemimpinan dapat menjadi pemicu utama terjadinya
praktek korupsi di kampus. Apabila seorang pemimpin tidak tegas
terhadap bawahan, maka ada kemungkinan bawahan untuk melakukan
penyelewengan. Korupsi dapat diminimalisasi jika para pemimpin dapat
memberikan teladan yang baik. Kedua, penyimpangan tata kelola.
 Pengelolaan yang tidak transparan
Tidak transpransinya pengelolaan perguruan tinggi dapat menjadi
pemicu Perguruan Tinggi melakukan korupsi (Jamil, 2019). Kasus
korupsi yang terjadi di Perguruan Tinggi merupakan akibat dari tidak
transparannya manajemen pengelolaan informasi di Perguruan Tinggi.
Kurangnya ketersediaan informasi yang dapat diakses publik telah
menyebabkan pengawasan publik terhadap Perguruan Tinggi menjadi
sangat minim (Putra, 2017)
 Lemahnya sistem pengendalian internal atau internal auditor di
Perguruan tinggi.
Satuan Pengendalian Internal atau internal auditor memiliki tugas
untuk melakukan audit dalam bidang manajemen keuangan, akademik,
dan sumber daya. Profesionalisme auditor internal dilingkungan
Perguruan Tinggi belum mencapai tingkat yang memadai, hal ini
disebabkan karena tumpang tindihnya jabatan fungsional dan struktural
(Ramadhaniyati & Hayati, 2014).
 Degredasi Moralitas
Praktik korupsi tidak terlepas dari moralitas, masyarakat telah
menyepakati bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, dengan
demikian korupsi merupakan perbuatan dengan moralitas yang buruk.
Pandangan terhadap moralitas menjadi abstrak saat sudah berhadapan
dengan kebutuhan kongkret, manusia tidak lagi memandang moralitas
sebagai dasar melakukan perbuatan, selama perbuatan tersebut mampu
memberikan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Hal ini juga
terjadi ketika terjadi transaksi antara pengajar dan mahasiswa, saat
pengajar memiliki masalah kebutuhan pokok, maka moralitas tidak
menjadi pembatas perbuatan, akhirnya praktik korupsi tidak dapat
dihindari bahkan pengajar juga akan mencari celah terjadinya praktik
korupsi.
 Budaya Korupsi
Praktik korupsi lahir dari kebiasaan yang menjadi budaya dan
ditransmisikan dari generasi ke generasi. Korupsi di perguruan tinggi
tidak saja lahir karena kebutuhan semata namun juga budaya korupsi
yang memaksa setiap individu dalam suatu masyarakat (perguruan
tinggi) mengikuti adat istiadat masyarakat yang berlaku. Dengan
demikian korupsi yang sudah dipandang budaya mengakibatkan praktik
korupsi menjadi hal yang wajar terjadi.
 Banyaknya kebutuhan
Praktik korupsi juga lahir dengan alasan pemenuhan kebutuhan,
baik dasar maupun hasrat. Praktik korupsi dilihat dari objek yang
dikorupsi dibedakan dengan petty corruption atau korupsi dengan jumlah
kecil dan grand corruption atau korupsi dalam jumlah besar Sedangkan
korupsi dilihat dari motifnya dibedakan menjadi need based yaitu
perbuatan korupsi yang lahir karena kebutuhan dasar tidak terpenuhi
sehingga melakukan korupsi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kemudian greed based atau korupsi dengan motif memenuhi kebutuhan
hasrat (Adhari, 2017)

Upaya Pencegahan Praktik Korupsi di Perguruan Tinggi


Sebagai badan publik, Perguruan Tinggi mempunyai kewajiban untuk
membuka akses atas informasi publik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Perguruan Tinggi tersebut kepada masyarakat luas. Melalui
mekanisme dan pelaksanaan prinsip keterbukaan akan tercipta tata kelola
Perguruan Tinggi yang transparan dan akuntabel sebagai salah satu cara
untuk menciptakan Perguruan Tinggi yang anti-korupsi. Perguruan Tinggi
harus terbuka dan mampu menyajikan informasi yang relevan, secara tepat
dan akurat kepada pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya
praktek-praktek kecurangan dalam pengelolaan Perguruan Tinggi yang dapat
merugikan masyarakat. Prinsip akuntabilitas merupakan kemampuan dan
komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan
Perguruan Tinggi kepada semua pemangku kepentingan sesuai dengan
ketentuan Perundang-Undangan
Dengan demikian, Publik dapat mengawasi pengelolaan Perguruan
Tinggi dengan baik, dan Perguruan Tinggi dapat termotivasi untuk
bertanggung jawab dan berorientasi terhadap pengelolaan sistem informasi
yang baik. Sebab jika terjadi kesalahan, maka kesalahan itu dapat berakibat
fatal terhadap Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Dan upaya tersebut
diharapkan dapat mewujudkan good governance dan mencegah praktek
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Perguruan Tinggi. Dengan begitu
pula, Perguruan Tinggi sebagai tempat lahirnya kaum terdidik dapat menjadi
contoh badan publik yang mengelola informasi dengan baik. Bila
pengelolaan informasi di badan publik baik, maka potensi terjadinya korupsi
pun semakin kecil (Putra, 2017)
Pentingnya peran perguruan tinggi sebagai penjaga dan pengembang
integritas bangsa, bukan saja sebagai bagian dari gerakan antikorupsi. Pada
saat yang sama institusi pendidikan ini bisa menjadi tonggak bagi
pembangunan akuntabilitas dan transparansi. Perguruan tinggi bisa menjadi
motor penggerak integritas karena mampu berperan penting memberhentikan
“supply” koruptor di negeri ini (Kadir, 2018). Perguruan Tinggi untuk
menciptakan pengelolaan informasi yang ideal dan mencerminkan kampus
anti-korupsi, yaitu:
 Memperbaiki kinerja Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
(PPID)
PPID harus bekerja maksimal dalam menjalankan tanggung jawab
mengelola informasi di Perguruan Tinggi. PPID harus mampu
menciptakan situasi dimana informasi yang menjadi hak publik dapat
diakses dengan mudah. Tanggung jawab PPID bukan hanya sebatas
memberi jaminan agar publik dapat mengakses informasi, namun juga
memastikan informasi yang diterima masyarakat itu terjamin
kualitasnya. PPID juga harus bertanggungjawab memperbaiki setiap
kesalahan informasi yang disajikan, sehingga tidak terjadi kebingungan
atas kesalahan penyajian informasi tersebut
 Menyampaikan Informasi dengan baik di media
Perguruan Tinggi melalui PPID harus menciptakan media
informasi berupa website dengan baik. Informasi yang disajikan di
media website harus jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman/ kekeliruan
publik saat mengakses informasi. Hal ini bertujuan agar publik dengan
mudah mengakses informasi tanpa perlu mengutak-atik beberapa
halaman di media website dan memberikan jaminan kualitas informasi
yang didapatkan publik. Dengan demikian, publik dapat mengawasi
setiap kegiatan dan menganalisis laporan Perguruan Tinggi. Jika terjadi
kesalahan informasi yang disajikan, publik dapat meminta
pertanggungjawaban Perguruan Tinggi untuk memperbaiki, dan bila
hasil perbaikan masih bermasalah dan terindikasi adanya korupsi, maka
publik dapat melakukan tuntutan hukum berdasarkan ketentuan Pasal
20 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.
 Memberikan Perlindungan terhadap Partisipasi Mahasiswa
Perguruan Tinggi wajib memberikan jaminan bahwa tidak akan
ada intimidasi terhadap mahasiswa yang berpartisipasi, mengkritisi
pengelolaan informasi dan membantu mengungkap korupsi di
Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi harus memberikan jaminan kepada
mahasiswa bahwa keikutsertaannya dalam mengkritisi dan melaporkan
dugaan tindak pidana korupsi tidak akan berimbas kepada
perkuliahannya. Sebab selama ini kendala utama yang menyebabkan
mahasiswa tidak mampu mengkritisi pengelolaan informasi di
Perguruan Tinggi dan melaporkan dugaan korupsi adalah intimidasi dan
rasa takut akan menimbulkan masalah dengan perkuliahannya (Putra,
2017)
Perguruan Tinggi memiliki peran yang sentral dalam hal pencegahan
tindak pidana korupsi, terutama dalam menumbuhkan sikap anti korupsi,
peningkatan kesadaran hukum, dan penanaman nilai-nilai integritas kepada
Mahasiswa. Mahasiswa yang merupakan calon pemimpin bangsa di masa
depan perlu dibentengi agar terhindar dari perilaku koruptif maupun tindak
tindak korupsi.Perguruan Tinggi sebagai lingkungan kedua bagi mahasiswa,
dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak.Perguruan Tinggi
dapat memberikan nuansa yang mendukung upaya untuk
menginternalisasikan nilai-nilai dan etika yang hendak ditanamkan, termasuk
didalamnya perilaku anti korupsi.
Upaya yang dapat dilakukan untuk penanaman pola pikir, sikap dan
perilaku antikorupsi yaitu melalui kuliah, karena kuliah adalah proses
pembudayaan. Perguruan Tinggi di Indonesia mempunyai peranan penting
dalam mengembangkan nilai-nilai anti korupsi. Karena manusia yang lahir
melalui sektor pendidikan adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran, beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan
profesionalitas serta dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab
(Iskandar, 2018)
Setiap Perguruan Tinggi diharapkan untuk menyelenggarakan
Pendidikan Anti Korupsi mulai tahun akademik baru 2012/2013 dalam
bentuk Mata Kuliah Wajib/Pilihan atau disisipkan dalam mata kuliah yang
relevan. Kebijakan Kemdikbud tersebut turut melibatkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyusun materi kuliahnya.
Pendidikan Antikorupsi adalah pendidikan yang bertujuan
membentuk kepribadian antikorupsi pada diri pribadi mahasiswa serta
membangun semangat dan kompetensinya sebagai agent of change bagi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bersih dan bebas dari ancaman
korupsi. Pendidikan Anti-korupsi yang dimaksud berupa sebuah mata kuliah
Anti-korupsi yang berdiri sendiri (independen), yang diselenggarakan secara
reguler dalam 14-16 pertemuan selama satu semester. Mata kuliah ini dapat
ditetapkan sebagai mata kuliah yang bersifat wajib maupun pilihan di dalam
kurikulum perguruan tinggi (Hasanah, 2018).
Program Pendidikan Anti Korupsi bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang sama dan terpadu serta terbimbing dalam rangka menekan
kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan korupsi. Kemudian
harapannya berdampak pada adanya respon atau tanggapan balik dari rakyat
untuk bisa menyuarakan kearifannya mengenai penyimpangan korupsi. Di
samping itu juga bertujuan untuk membentuk kesadaran publik terhadap
setiap kegiatan yang mengarah kepada adanya tindakan korupsi oleh para
penguasa atau pengambil kebijakan yang tidak mempedulika rakyat.
Dengan adanya pendidikan Antikorupsi, para pelajar Indonesia tentu
dapat menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pelajar
akan mampu menularkan semangat Antikorupsi kepada masyarakat di
sekitarnya sehingga proses pemberantasan serta pencegahan kembali
terjadinya korupsi dapat berjalan dengan baik (Kadir, 2018)
Mahasiswa sebagai generasi muda merupakan salah satu agen
perubahan yang dapat berperan dalam mereduksi korupsi melalui Pendidikan
anti korupsi. Menurut (Widhiyaastuti & Ariawan, 2018), pendidikan anti
koruptif tidak dirancang untuk memberantas korupsi tapi mencegah dengan
jalan melatih orang untuk memiliki kesadaran untuk berperilaku anti
koruptif. Pendidikan anti koruptif tidak akan memiliki daya guna jika
karakter yang terbentuk masih bukan karakter anti koruptif. Pembentukan
karakter anti koruptif yang dilakukan melalui pendidikan anti koruptif akan
mempertajam dan mengasah idealisme dan integritas yang dimiliki oleh
generasi muda dalam memandang korupsi sebagai perbuatan melawan
hukum yang harus segera dicegah, ditanggulangi dan diberantas.
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti-korupsi di lingkungan
kampus dapat dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu: untuk individu
mahasiswanya sendiri, dan untuk komunitas mahasiswa. Untuk konteks
individu, seorang mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar dirinya sendiri
tidak berperilaku koruptif dan tidak korupsi. Sedangkan untuk konteks
komunitas, seorang mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar rekan-
rekannya sesama mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan di kampus tidak
berperilaku koruptif dan tidak korupsi. Agar seorang mahasiswa dapat
berperan dengan baik dalam gerakan anti-korupsi maka pertama-pertama
mahasiswa tersebut harus berperilaku antikoruptif dan tidak korupsi dalam
berbagai tingkatan.
Dengan demikian mahasiswa tersebut harus mempunyai nilai-nilai
antikorupsi dan memahami korupsi dan prinsip-prinsip anti-korupsi. Kedua
hal ini dapat diperoleh dari mengikuti kegiatan sosialisasi, kampanye,
seminar dan kuliah pendidikan anti korupsi. Nilai-nilai dan pengetahuan
yang diperoleh tersebut harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-
hari. Dengan kata lain seorang mahasiswa harus mampu mendemonstrasikan
bahwa dirinya bersih dan jauh dari perbuatan korupsi. Berbagai bentuk
kegiatan dapat dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi kepada
komunitas mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan agar tumbuh budaya
anti korupsi di mahasiswa. Kegiatan kampanye, sosialisasi,
seminar,pelatihan, kaderisasi, dan lain-lain dapat dilakukan untuk
menumbuhkan budaya anti korupsi. Kegiatan-kegiatan anti korupsi yang
dirancang dan dilaksanakan secara bersama dan berkesinambungan oleh
mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi akan mampu membangunkan
kesadaran masyarakat akan buruknya korupsi yang terjadi di suatu Negara
(Suryani, 2013)

C. KESIMPULAN
Praktik korupsi di perguruan tinggi bukan hal yang tabu saat ini, hal
ini dibuktikan dengan banyaknya jajaran perguruan tinggi atau yang memiliki
latar belakang perguruan tinggi terlibat korupsi. Praktik korupsi ini lahir dan
menjadi budaya bukan tanpa sebab, jika melihat faktor penyebabnya
terjadinya praktik korupsi ini, maka banyak faktor yang mendasari,
diantaranya: 1) lemahnya kepempinan, 2) Pengelolaan yang tidak transparan,
3) Lemahnya sistem pengendalian internal atau internal auditor di Perguruan
tinggi, 4) Degredasi Moralitas, 4) Budaya Korupsi, 5) Banyaknya kebutuhan.
Adapun upaya pencegahan korupsi diperguruan tinggi dibedakan
menjadi dua aspek yakni, aspek perguruan tinggi dan aspek keterlibatan
mahasiswa. Perguruan Tinggi yang transparan dan akuntabel sebagai salah
satu cara untuk menciptakan Perguruan Tinggi yang anti-korupsi. Perguruan
Tinggi harus terbuka dan mampu menyajikan informasi yang relevan, secara
tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya
praktek-praktek kecurangan dalam pengelolaan Perguruan Tinggi yang dapat
merugikan masyarakat. Selain itu, Setiap Perguruan Tinggi diharapkan untuk
menyelenggarakan Pendidikan Anti Korupsi mulai tahun akademik baru
2012/2013 dalam bentuk Mata Kuliah Wajib/Pilihan atau disisipkan dalam
mata kuliah yang relevan.
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti-korupsi di lingkungan
kampus dapat dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu: untuk individu
mahasiswanya sendiri, dan untuk komunitas mahasiswa. Untuk konteks
individu, seorang mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar dirinya sendiri
tidak berperilaku koruptif dan tidak korupsi. Sedangkan untuk konteks
komunitas, Berbagai bentuk kegiatan dapat dilakukan untuk menanamkan
nilai-nilai anti korupsi kepada komunitas mahasiswa dan organisasi
kemahasiswaan agar tumbuh budaya anti korupsi di mahasiswa adalah
Kegiatan kampanye, sosialisasi, seminar,pelatihan, kaderisasi, dan lain-lain
dapat dilakukan untuk menumbuhkan budaya anti korupsi

DAFTAR PUSTAKA
Adhari, A. (2017). Pola Korupsi di Perguruan Tinggi Swasta. Al-Ijtimai:
International Journal of Government and Social Science, 2(2), 161-172.
Auriol, E., S. Straub, dan T. Flochel. (2016). Public procurement and rent-
seeking: The case of Paraguay. World Development 77: 395-407.
Denisova-Schmidt, E. (2017). The Challenges of Academic Integrity in Higher
Education: Current Trends and Prospects
Hasanah, S. U. (2018). Kebijakan Perguruan Tinggi Dalam Menerapkan
Pendidikan Anti Korupsi. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 2(1).
Iskandar, I. (2018). Peranan Perguruan Tinggi dalam Menciptakan Sikap Anti
Korupsi di Indonesia. Jurnal Serambi Akademica, 6(2), 18-22.
Jamil, H. (2012). Pengawasan (audit) di lingkungan Kementerian Agama. Fokus
Pengawasan, 8(29), 26–32.
Kadir, Y. (2018). Kebijakan pendidikan anti korupsi di perguruan
tinggi. Gorontalo law review, 1(1), 25-38.
Putra, A. (2017). Menguatkan tata kelola transparansi informasi publik di
perguruan tinggi. Jurnal Integritas, 3.
Ramadhaniyati, Y., & Hayati, N. (2014). Pengaruh Profesionalisme, Motivasi,
Integritas, dan Independensi satuan Pengawasan internal dalam mencegah
kecurangan (fraud) di lingkungan perguruan tinggi negeri. Journal of
Auditing, Finance, and Forensic Accounting, 2(2), 101-114.
Sargiacomo, M., L. Lanni., A. D'Andreamattio dan S. Servalli. (2015).
Accounting and the fight against corruption in Italian government
procurement: A longitudinal critical analysis (1992– 2014). Critical
Perspectives on Accounting. 28: 89-96.
Suganda, Tarkus. Nanang T. Puspito. Koentjoro. et al., (2019). Membangun
Gerakan Antikorupsi. Bogor: Penerbit IPB Press
Suryani, I. (2013). Penanaman nilai anti korupsi di perguruan tinggi sebagai upaya
preventif pencegahan korupsi. Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, 308.
Temaluru, N.A.R., Asnawi., dan Falah. (2016). Pengaruh penerapan unit layanan
pengadaan (ULP) terhadap efisiensi dan efektifitas pengadaan barang atau
jasa pada pemerintah propinsi Papua. Jurnal Kedua 1(1): 127-151.
Thoyibatun, S. (2012). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tidak
etis dan kecenderungan akuntansi serta akibatnya terhadap kinerja
organisasi. Jurnal Ekonomi Dan Keuangan 16(2): 245– 260.
Widhiyaastuti, I. G. A. A. D., & Ariawan, I. G. K. (2018). Meningkatkan
Kesadaran Generasi Muda Untuk Berperilaku Anti Koruptif Melalui
Pendidikan Anti Korupsi. Acta Comitas, 3(1), 17-25

Anda mungkin juga menyukai