Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH BAHAN AJAR ANTIKORUPSI KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS SAINS DAN KESEHATAN

Disusun Oleh:

Dimas Mahardika

UNIVERSITAS AN-NUR PURWODADI

JL. GAJAH MADA NO.07 PURWODADI, GROBOGAN, JAWA TENGAH

2023

1
PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “anti korupsi ”. Kami
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai “anti korupsi ” Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya , saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna. Tanpa
saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orangyang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
katayang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demiperbaikan
di masa depan.

Purwodadi 8 juli 2023

Dimas Mahardika

2
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

A.Latar belakang

B. Prinsip-Prinsip Pedagogi Kritis

C. Startegi implementasi

BAB 2

D. Pengertian

E. Penyebab Faktor Korupsi di Indonesia:

Perkembangan Terkini

F. Gerakan internasional

A. Perumusan masalah

G. Nilai-Nilai Anti Korupsi

BAB 3 KESIMPULAN

H. RANGKUMAN

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Praktik korupsi jelas merugikan orang banyak, karena dana yang semestinya dapat digunakan
untuk kepentingan publik dikorupsi untuk kepentingan pribadi. Selain upaya penegakan hukum
yang dikenakan kepada para pelaku korupsi, upaya pencegahan korupsi juga sangat penting.
Dalam hal ini dunia pendidikan memegang peran penting dalam melaksanakan pendidikan
antikorupsi (Asmorojati, 2017). Dalam menunjang pelaksanaan pendidikan antikorupsi tersebut
beberapa pihak telah mengembangkan panduan untuk pendidikan formal persekolahan
(schooling system), terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kementerian yang
menaungi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi (Pusat Edukasi Antikorupsi, 2020). Jika dilihat
lebih jauh, beberapa orientasi dari panduan pendidikan antikorupsi cenderung mengarahkan
agar siswa menjadi pribadi yang tidak korup ketika kelak di masyarakat dan mengandaikan
msistem sekolah sudah baik dan mampu memberikan keteladanan implementasi nilai-nilai
antikorupsi. Ambil contoh panduan yang diterbitkan oleh KPK dan diedit oleh Farid dan
Hasanudin (2017a, 2017b, 2017d,2017c). Pada panduan pembelajaran antikorupsi untuk jenjang
Sekolah Menengah Pertama (SMP) misalnya ditekankan bahwa pembelajarannya menekankan
pada pengkondisian, dimulai dari guru memberikan teladan baik, tidak korup, sekolah juga
didesain mendukung, demikian juga keluarga dan masyarakat. mOrientasi pembelajaran yang
lintas-mata pelajaran tampak akhirnya jatuh pada upaya menjadikan siswa memahami dan
mengamalkan nilai-nilai yang tidak secara mlangsung berkaitan dengan gerakan mantikorupsi,
misal mempelajari nilai-nilai integritas, kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, jujur, peduli,
mandiri, disiplin, dan lainnya. Indikator capaian kompetensi juga misalnya sekadar menyebutkan
dan memerinci norma-norma yang berlaku di masyarakat, satu hal yang tidak terkait langsung
dengan praktik korupsi. Arah penilaian melalui observasi terhadap mkemampuan pemahaman
dan presentasi siswa juga sama, tidak langsung terkait mdengan perilaku dan sikap antikorupsi.
mPada tahun 2011, Kementerian mPendidikan dan Kebudayaan juga telah mmenerbitkan
panduan pendidikan antikorupsi untuk kalangan perguruan tinggi. Di dalamnya dijelaskan
beberapa pendekatan dan metode pembelajaran yang dapat dilakukan, termasuk peran

4
mahasiswa dalam gerakan antikorupsi di lingkungan keluarga, kampus, dan masyarakat sekitar.
Jika ditelisik lebih jauh, arah panduan tersebut paling jauh adalah memberikan pemahaman dan
bekal mahasiswa untuk dapat menghindari perilaku korupsi dan mengingatkan pihak yang
hendak/terlihat melakukan praktik korupsi. Orientasi ini dapat dilihat dari metode diskusi,
pembiasaan, dan metode penilaian yang disarankan, misal mahasiswa mengemukakan opini
untuk dikumpulkan dan dinilai (Puspito et al., 2011). Agaknya orientasi pembelajaran antikorupsi
di perguruan tinggi juga tidak jauh berbeda ndengan substansi dan orientasi npembelajaran
antikorupsi untuk jenjang npendidikan dasar dan menengah yang nsama-sama diterbitkan oleh
KPK. nmSubstansi dari beberapa panduan pembelajaran antikorupsi tersebut memiliki beberapa
kelemahan, antara lain Pertama, tidak tegas dan tidak langsung mengajak siswa/mahasiswa
bersikap dan bertindak melawan korupsi, sebaliknya cenderung berputar-putar pada nilai-nilai,
norma, dan standar moralitas seperti kejujuran, tanggung jawab, kesederhanaan, kepedulian,
kemandirian, disiplin, keadilan, kerja keras, dan keberanian. Fokus pembelajaran di kelas agar
nilai-nilai tersebut dapat erinternalisasi dalam sikap, perilaku, dan karakter siswa, akan
menjadikan siswa lebih fokus pada nilai-nilai tersebut, namun justru menjauhkan dari sikap dan
tindakan antikorupsi langsung. Siswa yang jujur dan sederhana misalnya, ketika mereka masuk
dalam dunia kerja tentu akan mencegah mereka melakukan praktik korupsi. Namun, yang
dibutuhkan untuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) seperti korupsi tidak hanya butuh
individu yang tidak korup, melainkan gerakan melawan korupsi. Dengan kata lain, tidak hanya
perlu gerakan kultural, melainkan juga struktural yang ideologis dan politis (Gerakan
Antikorupsi, 2004). Sebagai gerakan tentu akan lebih tepat sasaran ketika siswa diajak langsung
untuk menjadi bagian dari kader antikorupsi yang paham apa itu korupsi dan bagaimana
melawannya. Kedua, tidak mengantisipasi potensi dan kemungkinan bahwa guru, sekolah,
keluarga, dan bahkan lingkungan masyarakat justru melakukan tindak korupsi. Pada panduan-
panduan tersebut yang ditekankan adalah pengkondisian gar nilai-nilai antikorupsi
terinternalisasi di dalam diri siswa, caranya: guru harus jadi teladan, segenap warga sekolah,
keluarga, dan masyarakat harus jadi lingkungan yang baik yang menunjukkan
terimplementasikannya nilai-nilai antikorupsi. Pembelajaran yang tidak langsung pada soal
korupsi akan membiaskan/mendistraksi fokus belajar siswa (sebenarnya mau belajar
apa),penekanan pada pengkondisian juga akan menjadikan siswa tampak dilihat sebagai objek
belajar yang pasif saja. Di sisi lain, pengandaian bahwa guru, sekolah, keluarga, dan masyarakat
pasti dapat menjadi lingkungan belajar nilai-nilai antikorupsi bagi siswa tidak sesuai dengan

5
fakta bahwa kasus korupsi juga banyak terjadi di sekolah. Sekian banyak oknum guru dan/atau
pimpinan sekolah terbukti melakukan tindak korupsi. Dalam penelusuran Darmaningtyas (2008)
sejak awal 2000 raktik pungutan liar, korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan
sejenisnya banyak dilakukan di lingkup sekolah. Praktik korupsi tersebut tampak belum mereda
hingga beberapa tahun terakhir. KPK bahkan menyatakan bahwa korupsi justru paling banyak
ditemukan di sektor pendidikan, walau tidak semuanya dilakukan di lingkup sekolah atau
kampus (“KPK Temukan Korupsi,” 2018). Mengacu pada data dari Indonesian Corruption Watch
(ICW), Marthunis (2019) bahkan mengatakan bahwa kondisi korupsi dana pendidikan sudah
gawat darurat. Artinya, ketika pendidikan antikorupsi mengandaikan sekolah sudah baik,
sejatinya hal itu tidak sesuai fakta, dan bkonsekuensinya guru dan pimpinan sekolah dulu yang
harus lulus pendidikan antikorupsi, alias harus bersih tidak korupsi. Modul-modul pembelajaran
antikorupsi tersebut seolah menghindar dari fakta korupsi juga terjadi di lingkungan pendidikan,
termasuk sekolah dan kampus. Belum tampak adanya orientasi pembelajaran yang setidaknya
akan dapat membawa siswa menyadari potensi dan praktik korupsi di sekolahnya, apa dan
berapa kerugian yang menimpa siswa, dan bagaimana harus bersikap tegas melawan praktik
korupsi tersebut. Sayangnya disorientasi pendidikan dan pembelajaran antikorupsi di lingkungan
pendidikan tersebut belum atau bahkan tidak banyak yang mengkritik. Beberapa kajian yang
menyasar konsep dan praktik pendidikan antikorupsi di jenjang pendidikan dasar dan menengah
tidak tampak telaah kritisnya. Misalnya yang dilakukan oleh Widodo (2019), Sakinah dan
Bakhtiar (2019), juga Mustofa dan Akhwani (2019) dalam kajiannya terhadap pendidikan
antikorupsi di jenjang Sekolah Dasar (SD). Senada dengan itu misal kajian pendidikan antikorupsi
di jenjang Sekolah Menengah Pertama oleh Nugraheni (2016), Gurning, Mudjiman, dan
Haryanto (2014), dan Bau (2018) yang relatif berkutat pada tataran metodologi yang sudah
jamak dilakukan. Pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak jauh berbeda, misal kajian
yang dilakukan Aria dan Harmanto (2018), Sutrisno (2017), dan Pratama dan Sumaryati (2015),
demikian juga di level perguruan tinggi seperti telah dilakukan oleh Ulya dan kawan-kawan
(2016), Kristiono (2018), Mukti (2018), dan Kadir (2018). Beberapa publikasi tersebut relatif
dapat menggambarkan orientasi kajian terhadap pendidikan antikorupsi yang belum terlihat
dimensi kritiknya terhadap arah pendidikan antikorupsi yang didesain oleh pemerintah,
termasuk KPK. Sebagian besar publikasi mengenai pendidikan antikorupsi di jenjang SD, SMP,
SMA, dan perguruan tinggi lebih didominasi pada upaya menyisipkan nilainilai antikorupsi dalam
beberapa mata pelajaran atau program tertentu. Beragam teknik, metode, bahkan media

6
dikembangkan, namun semua tampak berkutat pada hal-hal yang tidak langsung menyasar pada
praktik korupsi dan bagaimana siswa dapat menjadi bagian dari gerakan antikorupsi secara riil
dimulai dari lingkungan kelas, sekolah, keluarga, hingga masyarakat sekitar. Berdasarkan pada
temuan tersebut, artikel ini mencoba mengajak pembaca untuk bergerak lebih jauh secara kritis
bagaimana caranya agar pendidikan antikorupsi di sekolah-sekolah dan kampus di Indonesia
tidak sekadar berputar-putar mempelajari nilai-nilai antikorupsi saja di kelas, melainkan
menjadikan pendidikan antikorupsi emiliki daya dobrak yang kuat dalam memerangi korupsi.
Artikel ini akan memberikan dasar teoretis agar pembelajaran antikorupsi tak sekadar teori-teori
belaka di kelas, karena sejauh apapun diskusinya di kelas soal kasuskasus korupsi, jika tidak
ditarik ke realitas empiris kehidupan siswa, maka nilai-nilai antikorupsi yang dipelajari akan
sekadar jadi pemahaman saja, belum menjadi tindakan. Di titik ini artikel ini berpijak pada
perspektif pedagogi kritis (critical pedagogy) sebagai satu perspektif yang punya potensi besar
dalam mengembangkan strategi pendidikan dan pembelajaran antikorupsi yang tidak sekadar
kata-kata belaka, namun hingga pada tindakan nyata.

B. Prinsip-Prinsip Pedagogi Kritis

Pedagogi kritis merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang menitikberatkan pada
pentingnya membangun kesadaran kritis siswa dan mengarahkan praktik pendidikan
untuk dapat mendorong perubahan sosial (Freire, 1982, 2005; Giroux, 2011). Secara
teoretis, pedagogi kritis mendasarkan perspektifnya pada teori-teori sosial kritis dalam
memandang pendidikan, baik yang berasal dari tradisi Marxian, neo-Marxian,
posmodernisme, post-strukturalisme, poskolonialisme, dan lainnya. Termasuk di
dalamnya sebagai contoh pedagogi kritis juga menggunakan berbagai perspektif kritis
dari para pemikir, filosof, dan teoretisi sosial seperti Gramsci, Bourdieu, Foucault, dan
lainnya. Berdasarkan pada telaah yang dibantu oleh berbagai varian teori sosial kritis
itulah pedagogi kritis nmerumuskan visi ideal pendidikannya

Edi Subkhan 20 yang humanis, demokratis, kontekstual, emansipatoris, transformatif,


dan berkeadilan sosial (Apple et al., 2009; Darder et al., 2009; Hidayat, 2013; Kanpol,
1999; Subkhan, 2016; Tilaar, 2011). Salah satu hal yang membedakan pedagogi kritis
dengan aliran pendidikan atau pedagogi lain adalah pada karakterstik dan oreintasinya
yang berupaya membangun kesadaran kritis siswa dan mendorong perubahan sosial.

7
Pedagogi kritis menolak anggapan bahwa untuk dapat memperbaiki masyarakat, siswa
harus fokus belajar dan lulus dulu, baru kemudian di masyarakat akan dapat melakukan
perubahan. Misalnya problem korupsi di masyarakat, maka pedagogi kritis menganggap
bahwa tidak cukup jika kita harus menunggu siswa lulus dulu untuk dapat berkontribusi
mencegah dan melawan korupsi di masyarakat dan tempat kerja. Pedagogi kritis
menolak pandangan praktik pendidikan yang memisahkan apa yang dipelajari dengan
realitas sekitar siswa.

C. Strategi Implementasi

Implementasi pendidikan antikorupsi dapat dilakukan menggunakan beberapa strategi


ataupendekatan sebagai berikut, antara lain (1) lintas kurikulum atau mata pelajaran, (2)
melibatkan sekolah dan pihak lain di luar sekolah secara kolaboratif. Strategi lintas
kurikulum atau mata pelajaran relatif sudah jamak dilakukan dalam pelaksanaan pendidikan
antikorupsi di Indonesia, bentuk praktisnya misal: menyisipkan materi antikorupsi di
beberapa mata pelajaran (misal Aria & Harmanto, 2018; Kristiono, 2018; Nugraheni, 2016).
Sementara itu, pelibatan sekolah dan pihak lain relatif jarang dilakukan dalam pembelajaran
antikorupsi di sekolah-sekolah formal dan kampus, tapi justru strategi ini yang perlu
dikembangkan dan implementasikan lebih lanjut. Strategi lain seperti Warung Kejujuran
tidak menjadi perhatian dalam artikel ini karena tidak terkait langsung dengan pedagogi
ruang kelas yang selama ini mendominasi pembelajaran antikorupsi di sekolah dan hasilnya
tampak tidak signifikan. Terdapat dua fragmen dalam buku pengalaman membelajarkan
nilai-nilai antikorupsi yang kiranya dapat menjadi Ncontoh pelibatan sekolah dan pihak lain
(Haetami et al., 2019; Wisudo, 2017). Pertama, pengalaman dari Haetami, guru Madrasah
Aliyah Mathlaul Anwar, Lebak. Dalam membelajarkan nilai-nilai antikorupsi, ia pertama
menayangkan beberapa gambar dan berita mengenai anak-anak usia SMP yang berjuang ke
sekolah melewati jembatan yang berbahaya. Anak-anak kemudian diminta pendapatnya
mengenai tayangan tersebut. Ada yang bertanya, kejadiannya di mana, ada yang merasa
sedih, ada pula yang tertawa. Kemudian ditayangkan gambar dan berita gizi buruk. Anak-
anak ekspresinya beragam, namun banyak yang termangu, bersedih. Dalam diskusi
mengemuka bahwa problem serupa juga terjadi di lingkungan sekitar mereka menurut
pengakuan mereka sendiri. Berangkat dari hal itu anak anak dibagi menjadi beberapa

8
kelompok untuk mencari data, antara lain data Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah
(APBD), data kemiskinan, remaja putus sekolah, kasus gizi buruk, dan sejenisnya (Haetamiet
al., 2019, pp. 2–7). Hasil dari investigasi kemudian didiskusikan di kelas. Tentu ada saja
halangannya. Misal, kelompok yang bertugas mencari data APBD kesulitan,
memperolehnya. Hal menarik lain, para siswa menemukan rumah yang tidak layak huni.
Gambar rumah ditayangkan di kelas dan jadi bahan diskusi: apa yang dapat dilakukan untuk
membantu pemilik rumah? Kelas sepakat untuk menggalang dana untuk keluarga pemilik
rumah tersebut. Ada pula kelompok yang memperoleh data anak putus sekolah. Data
tersebut diperoleh dari petugas Program Keluarga Harapan (PKH). Isu mengenai program
PKH salah sasaran mengemuka. Terakhir, disebabkan karena sulit mencari data APBD,
akhirnya Haetami menelusurinya dan memperoleh data tahun sebelumnya. Data itulah yang
dibedah di kelas. Data itu juga yang dijadikan bahan untuk bertanya ketika audiensi dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Audiensi ini direncanakan oleh Haetami dan anak-
anak untuk memberikan pengalaman riil soal pengelolaan anggaran daerah.

9
BAB 2

PEMBAHASAN

D. Pengertian

Pendidikan antikorupsi selama ini tampak berjalan sebatas teoretis yang dipelajari
dalam beberapa mata pelajaran di sekolah, perguruan tinggi, atau program-program
khusus tertentu. Orientasi praktik pendidikan antikorupsi belum sampai pada
membelajarkan sungguh-sungguh bagaimana siswa harus bersikap dalam menolak
praktik korupsidan sistem yang toleran terhadap perilaku korup. Artikel ini
menggunakan metode telaah pustaka mengacu pada beberapa laporan mengenai
praktik Pendidikan Antikorupsi yang mendasarkan pada pedagogi kritis. Dalam hal
ini pedagogi kritis layak dihadirkansebagai perspektif kritis pendidikan yang
mendorong pembelajaran, siswa, dan juga guru serta sekolah untuk membelajarkan
nilai-nilai antikorupsi hingga pada sikap dan aksi antikorupsi. Melalui perspektif
pedagogi kritis pembelajaran diarahkan untuk membangun kesadaran
kritis siswa mengenai kerugian akibat korupsi dan bagaimana seharusnya mereka
bersikap dan bertindak. Teori sudut pandang, demokrasi, kontekstual, dan sikap atau
tindakan riil menjadi pegangan pembelajaran yang dapat dilakukan secara lintas
kurikulum dan kolaborasi melibatkan banyak pihak.

E. Penyebab Faktor Korupsi di Indonesia:


Perkembangan Terkini

1. Perilaku individu
Jika dilihat dari sudut pandang pelaku korupsi, karena koruptor melakukan
tindakan korupsi dapat berupa dorongan internal dalam bentuk keinginan atau niat
dan melakukannya dengan kesadaran penuh. Seseorang termotivasi untuk
melakukan korupsi, antara lain karena sifat rakus manusia, gaya hidup konsumtif,
kurangnya agama, lemahnya moralitas dalam menghadapi godaan korupsi, dan
kurangnya etika sebagai pejabat.20 Menurut UndangUndang No. 20 Tahun 2001
jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 korupsi dilakukan karena dipaksakan
karena tidak memiliki uang untuk memenuhi kehidupan sehingga korupsi menjadi
alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.21 Tetapi, sangat irasional jika
pejabat negara tidak memiliki uang karena pada kenyataannya pejabat pemerintah
dibayar oleh negara dengan nilai yang cukup tinggi sekitar puluhan juta rupiah
dan bahkan ratusan juta rupiah setiap bulan. Penyebab sebenarnya adalah

10
kepuasan dengan gaji, kepuasan gaji didasarkan pada gagasan bahwa seseorang
akan puas dengan gajinya ketika persepsi gaji dan apa yang mereka anggap tepat.

2. Faktor keluarga
Masalah korupsi biasanya dari keluarga. Biasanya itu terjadi karena tuntutan
isteri atau memang keinginan pribadi yang berlebihan. Hal yang menjadikan
posisi dia duduk sebagai ladang untuk memuaskan kepentingan pribadi
keluarganya. Keluarga harus menjadi benteng tindakan korupsi, tetapi kadang-
kadang penyebab korupsi sebenarnya berasal dari keluarga. Jadi, keluarga
sebenarnya bertanggung jawab atas tindakan korupsi yang dilakukan oleh suami
atau kepala rumah tangga. Karena itu, keluarga sebenarnya ada di dua sisi, yaitu
sisi negatif dan sisi positif. Jika keluarga adalah pendorong korupsi, keluarga
berada di sisi negatif, sedangkan jika keluarga menjadi benteng tindakan korupsi,
keluarga berada di sisi positif dan ini merupakan faktor yang sangat penting
dalam mencegah korupsi.

3. Pendidikan
Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para intelektual. Pejabat ratarata
yang terjebak dalam kasus korupsi adalah mereka yang berpendidikan tinggi,
pendidikan tinggi seharusnya membuat mereka tidak melakukan korupsi, seperti
yang dikatakan Kats dan Hans bahwa peran akademisi tampaknya masih
paradoks. Memang pada kenyataannya para pelakutindak pidana korupsi adalah
para intelektual yang sebelum melakukan tindakannya telah melakukan persiapan
dan perhitungan yang cermat sehingga mereka dapat memanipulasi hukum
sehingga kejahatan tersebut tidak terdeteksi.23 Meskipun dalam konteks
universal, pendidikan bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia. Oleh
karena itu, rendahnya tingkat pemahaman tentang pendidikan sebagai langkah
untuk memanusiakan manusia, pada kenyataannya lebih jauh melahirkan para
kerdil yang berpikiran kecil dan mereka sibuk mencari keuntungan sendiri dan
mengabaikan Mkepentingan bangsa. Karena alasan ini, pendidikan moral sangat
dibutuhkan sejak dini untuk meningkatkan moral generasi bangsa ini.

11
4. Sikap kerja
Tindakan korupsi juga bisa datang dari sikap bekerja dengan pandangan bahwa
segala sesuatu yang dilakukan harus dapat melahirkan uang. Biasanya yang ada
dalam pikiran mereka sebelum melakukan pekerjaan adalah apakah mereka akan
mendapat untung atau tidak, untung atau rugi dan sebagainya. Dalam konteks
birokrasi, pejabat yang menggunakan perhitungan ekonomi semacam itu pasti
tidak akan menyatukan manfaat. Sebenarnya yang terjadi adalah bagaimana
masingmasing pekerjaan bertujuan menghasilkan keuntungan sendiri.

5. Hukum dan peraturan


Tindakan korupsi akan dengan mudah muncul karena undang-undang dan
peraturan memiliki kelemahan, yang meliputi sanksi yang terlalu ringan,
penerapan sanksi yang tidak konsisten dan sembarangan, lemahnya bidang revisi
dan evaluasi legislasi. Untuk mengatasi kelemahan ini di Nbidang revisi dan
evaluasi, pemerintah mendorong para pembuat undang-undang untuk sebelumnya
mengevaluasi efektivitas undang-undang sebelum undang-undang dibuat. Sikap
solidaritas dan kebiasaan memberi hadiah juga merupakan faktor penyebab
korupsi. Dalam birokrasi, pemberian hadiah bahkan telah dilembaga kan,
meskipun pada awalnya itu tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan.
Lembaga eksekutif seperti bupati/ walikota dan jajarannya dalam melakukan
tindak korupsi tidak melakukannya sendiri, tetapi ada persekongkolan dengan
pengusaha atau kelompok kepentingan lain, seperti dalam menentukan tender
pengembangan wirausaha ini. Walikota, setelah terpilih kemudian mereka
bersama dengan DPRD, bupati/walikota membuat kebijakan yang hanya mengun-
tungkan kolega, keluarga atau kelompok mereka. Kelompok kepentingan atau
pengusaha dengan kemampuan melobi pejabat pemerintah dengan memberikan
hadiah hibah, suap, atau berbagai bentuk hadiah yang memiliki motif korup
dengan maksud meluncurkan kegiatan bisnis yang bertentangan dengan kehendak
rakyat. Sehingga terjadinya kasus korupsi dalam APBD dapat disimpulkan salah
satu alasannya adalah lemahnya aspek legislasi.26 Sementara, menurut teori
Ramirez Torres, korupsi adalah kejahatan perhitungan, bukan hanya keinginan.
Seseorang akan melakukan tindakan korupsi jika hasil korupsi akan lebih tinggi

12
dan lebih besar dari hukuman yang didapat.27 Salah satu faktor lemah dari sanksi
pidana dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang telah diperbarui dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001. Salah satu kelemahan mendasar adalah perumusan sanksi pidana yang
minimal tidak khusus. sebanding dengan sanksi pidana maksimal. Sangat tidak
logis dan tidak sesuai dengan rasa keadilan jika bentuk pidana maksimal penjara
seumur hidup dan hukuman minimum adalah penjara 1 tahun sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Korupsi.Salah satu penyebab kegagalan Mperadilan
pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah cara hukum yang
legalistik-positivistik.

6. Faktor pengawasan
Pengawasan dibagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal yang dilakukan
langsung oleh pimpinan dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh instansi
terkait, publik dan media. Pengawasan oleh lembaga terkait bisa kurang efektif
karena ada beberapa faktor, termasuk pengawas yang tidak profesional,
pengawasan yang tumpang tindih di berbagai lembaga, kurangnya koordinasi
antara pengawas, pengawas yang tidak patuh pada etika hukum atau etika
pemerintah. Hal ini menyebabkan pengawas sering terlibat dalam praktik
korupsi. Padahal pengawasan eksternal oleh masyarakat dan media juga masih
lemah. Untuk alasan ini, diperlukan reformasi hukum dan peradilan serta
dorongan dari masyarakat untuk memberantas korupsi dari pemerintah.30
Semakin efektif sistem pengawasan, semakin kecil kemungkinan korupsi akan
terjadi. Sebaliknya, jika korupsi benar-benar meningkat, itu berarti ada sesuatu
yang salah dengan sistem pemantauan.

7. Faktor politik

Praktik korupsi di Indonesia dilakukan di semua bidang, tetapi yang paling umum
adalah korupsi di bidang politik dan pemerintahan. Menurut Daniel S. Lev, politik
tidak berjalan sesuai dengan aturan hukum, tetapi terjadi sesuai dengan pengaruh
uang, keluarga, status sosial, dan kekuatan militer. Pendapat ini menunjukkan

13
korelasi antar faktor-faktor yang tidak berfungsi dari aturan hukum, permainan
politik, dan tekanan dari kelompok korupsi yang dominan.32 Penyalahgunaan
kekuasaan publik juga tidak selalu untuk keuntungan pribadi, tetapi juga untuk
kepentingan kelas, etnis, teman, dan sebagainya. Bahkan, di banyak negara
beberapa hasil korupsi digunakan untuk membiayai kegiatan partai politik.33
Praktik politik kotor tentu menghasilkan banyak masalah baru bagi kegagalan
memberantas korupsi. Karena politik yang kotor ini adalah penyebab tindak
korupsi baik yang rendah, sedang maupun besar. Tentu saja, bagaimana hal itu
akan melahirkan negara yang beradab, sementara praktik politik yang kotor telah
menyebar di mana-mana, baik di atas maupun di bawah telah memberikan
kontribusi buruk bagi bangsa-bangsa.

F. Gerakan internasional
Aktivitas gerakan separatis papua terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir,
termasuk melalui aksi yang dilakukan di dunia internasional. Tulisan ini bagian
dari riset yang dilakukan tahun 2014, dengan pengumpulan data di Jakarta dan
papua, melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan ahli dan para pemangku
kepentingan yang beragam. pengumpulan data dan observasijuga dilakukan di
Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, dan Kota Manokwari' penelitian bersifat
deskriptif analitis dengan menggunakan metode kualitatif. Analisis data dilakukan
dengan mengcross-check data sekunder dan primer yang diperoleh dari
wawancara secara mendalam, setelah terlebih dulu dipilah.Temuan penelitian
mengungkap semakin aktifnya kegiatan gerakan separatis Papua di fora
internasional, dengan berupaya terus mencari kesempatan dan membangun opini
dan pengaruh mereka. Pemerintah Indonesia berupaya merespons secara moderat
untuk mencapai tujuannya dalam meredam dampak internasional yang
diakibatkannya. Aksi-aksi bersenjata dan kampanye internasional gerakan
separatis Papua ini merupakan gambaran dari realitas masih adanya kelompok-
kelompok dalam masyarakat Papua yang belum dan tidak dapat menerima hasil
Pepera tahun 1959, yang dinilai telah direkayasa oleh pemerintahan militer

14
Soeharto untuk kepentingan politik integrasi nasionalnya. Kampanye
internasional separatisme Papua melalui arena diplomasi itu sendiri merupakan
kelanjutan dari keterbatasan gerakan separatas dalam melakukan perlawanan fisik
melalui berbagai aksi militer, mengikuti tesis Clauswitz, yang menyatakan bahwa
diplomasi adalah kelanjutan perang dalam bentuk lain.1 Seperti halnya
perjuangan bersenjata, kampanye internasional dan perjuangan diplomasi gerakan
separatis Papua juga mengalami kondisi pasang-surut, seirama dengan kondisi
kapasitas aktor-aktornya dan dukungan para simpatisannya dalam mempengaruhi
opini internasional dan pengambilan keputusan di meja-meja perundingan
multilateral. Tetapi, seperti halnya konflik berskala rendah yang mengalami
fluktuasi, kampanye internasional gerakan separatis Papua melalui jalur diplomasi
formal dan publik --jalur satu hingga tiga, yang dilakukan pemerintah, parlemen,
dan media massa-- bukan berarti sudah habis atau lenyap sama sekali, selama
gaung kampanyenya belum hilang sama sekali dari peredaran, termasuk yang
muncul melalui fasilitas media publik, khususnya internet. Belajar dari strategi
ahli komunikasi dan propaganda, kampanye internasional, atau diplomasi
internasional diera kemajuan teknologi yang pesat, semakin efektif perannya dan
cepat dicapai hasilnya jika dijalankan secara intensif. Hasilnya akan semakin
optimal, jika kampanye internasional dilakukan secara kontinyu dalam jangka
panjang, dengan penggunaan media komunikasi yang beragam. Jika kampanye
internasional lebih bersifat propaganda, tidak lepas dari upaya melebihlebihkan
dan manipulatif, langkah diplomasi internasional bersifat lebih realistis, karena
harus melakukan pendekatan fisik (tatap muka) untuk mempengaruhi pihak lain,
terlebih terhadap mereka yang belum memiliki simpati dengan aspirasi si pelaku
(aktor) secara langsung. Muncul dan maraknya kembali gerakan separatisme
Papua, yang diikuti dengan berbagai kampanye internasional dan perjuangan di
arena diplomasi internasional, telah membawa kondisi wilayah bagian paling
timur lndonesia itu dari semula lebih terisolasi, sebagai isu lokal, menjadi
perhatian (komunitas) internasional. Internasionalisasi Papua memang menjadi
buah dari kebijakan sekuritisasi Papua melalui pendekatan keamanan yang
berlebihan selama periode

15
Soeharto, dan gagalnya implementasi pendekatan kesejahteraan melalui
Kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) di era reformasi. Internasionalisasi Papua,
walaupun secara sadar tidak diinginkan sama sekali oleh Pemerintahan Megawati,
tetapi pada eranya mengalami perkembangan. Karena, di satu sisi, kemampuan
diplomasi internasional gerakan separatis yang semakin meningkat dan berhasil,
dan di lain pihak, buruknya kinerja pemerintah dalam menangani dan
menyelesaikan pekerjaan rumah terkait isu-isu separatis di dalam negeri.
Ketidakmampuan rezim Megawati melanjutkan reformasi sektor keamanan secara
tuntas dan mengontrol secara efekfif militer di era baru pasca-militer, dan
terbatasnya kinerja diplomasi Kementerian Luar Negeri dalam menangani isu-isu
separatisme Papua dan manuver-manuver kampanye internasional para aktor non-
negara, turut berkontribusi terhadap meningkatnya Poftak Partogi Nainggolan
Aktivitas I nte rnosional..'. perlawanan dan pamor gerakan tersebut di dunia
internasional. Secara geografis, populasi dan kulturnya, Papua sulit diingkari
terkait dengan Pasifik Selatan. Integrasi dengan NKRI memang lebih bersifat
politis, tidak dapat dilepaskan darisejarah kolonialisme dan perkembangan politik
yang terjadi pasca-pendudukan Belanda. Dalam konteks inilah dapat dilihat
relevansi gerakan separatisme Papua dengan cara perjuangan baru mereka di
arena diplomasi internasional, yang mencoba meraih simpati dan dukungan dari
lingkungan regional terdekat, yakni bangsa-bangsa di Pasifik Selatan serta
Australia dan Selandia Baru. Mengingat pengakuan internasional juga merupakan
salah satu prasyarat yang harus dipenuhi untuk berdirinya sebuah negara yang
independen, maka kampanye internasional dan perjuangan diplomasi gerakan
separatis Papua bukan merupakan strategi dan modus perjuangan baru. Meraih
dukungan internasional atas upaya memperoleh kemerdekaan sudah ada sejak
lama, seperti halnya perjuangan kemerdekaan dan upaya Indonesia memperoleh
pengakuan internasional di PBB, melalui kampanye internasional dan perjuangan
diplomasi, antara lain, di lndia, Australia, dan Mesir, dengan mendirikan kantor
perwakilan (kepentingan) Indonesia di sana.

16
B. Perumusan Masalah

Sejak sebelum dilaksanakannya Pepera, Papua telah mendapat perhatian


internasional, karena merupakan wilayah eks-kolonial, wilayah jajahan yang harus
diselesaikan proses dekolonisasinya. Amerika Serikat (AS) telah berperan besar
dalam mendukung kebijakan pemerintah Soekarno dan Soeharto untuk tetap
menyatukan Papua dalam wilayah Indonesia, eks-Hindia Belanda. Untuk tujuan
memperoleh dukungan Indonesia dalam Perang Dingin, dan menjauhkannya dari
hubungan yang semakin perkembangan komunisme di kawasan Asia Tenggara,
sikap AS kemudian banyak menolong lndonesia dalam menekan Belanda, agar
tidak dapat mempertahankan posisi politik dan pengaruhnya sebagai bekas negara
penjajah, untuk dapat mengontrol Papua. Dukungan AS atas Indonesia membuat
pelaksanaan Pepera berjalan lancar, dan hasil referendum atau plebesitnya tidak
pernah diganggu-gugat hingga beberapa dasa warsa ke depan, sejalan dengan
berhasilnya perusahaan multinasional (MNC) tambang terbesar di dunia asal AS,
Freeport McMoRan, mendapatkan konsesi jangka panjang untuk mengeksploitasi
kekayaan tambang tembaga dan emas di Grassberg, Papua sejak tahun 1967.
Upaya kampanye internasional dan jalur diplomasi gerakan separatisme Papua
telah diperluas, dengan memanfaatkan jalur parlemen atau diplomasi parlemen.
Lnisiatif mereka tampak lebih progesif dengan upaya salah satu tokohnya, Benny
Wenda, yang pernah ditangkap aparat keamanan Indonesia dan melarikan diri ke
Inggris. Wenda, aktivis Majelis suku-suku Papua Barat, telah berhasil melobi
Westminster (Majelis Rendah, House of Common) untuk meluncurkan
lnternotionol Parliamentorions for West Papua sehingga lobi Papua Barat sudah
terbentuk di Parlemen Inggris, tidak hanya DPR AS. Lebih jauh lagi, Benny
Wenda telah mendirikan kantor perwakilan Free Popuo Movement (Organisasi
Papua Merdeka -OPM)di Kota Oxford, Inggris.3 Aktivitas kampanye
internasional gerakan separatisme Papua terus meningkat, dengan pendirian
kantor-kantor sekretariat perlawanan baru, seperti yang terakhir di Den Haag,
Belanda. Dengan demikian, jika upaya internasionalisasi Papua terus berlangsung
dan melebar ke mana-mana tanpa bisa dibendung dan dihentikan, hal ini secara

17
gradual dapat membahayakan masa depan Papua dalam NKRI. Sementara itu,
negara-negara di Pasifik Selatan, yang dikenal selama ini sebagai salah satu
pendukung internasional OPM di for a internasional, terutama Fiii dan Vanuatu,
bersama-sama dengan negara anggota dan kekuatan lain organisasi kerja sama di
kawasan, Melonesia Spearhead Group (MSG), seperti mnKepulauan Solomon dan
Front Pembebasan mNasionaf Sosialis Kanak (Front de Liberation Notionale
Kanak Sociofiste -FLNKS), menyoroti mndan menyampaikan pandangan kritis
terhadap perkembangan pembangunan dan kondisi dalam negeri Papua. Upaya
internasionalisasi gerakan separatisme Papua tidak berhenti di sini. lnisiatif dan
aktivitas OPM semakin beragam dan kreatif. Terakhir, mereka mengorganisasi
upaya kampanye internasional untuk menarik perhatian masyarakat dunia, dengan
cara memancing emosi mereka, meniru para aktivis dan simpatisan gerakan
Palestina merdeka dengan menggunakan perahu kecil, menggunakan nama yang
sama, yakni Flotilla, melakukan pelayaran lintas negara. Kegiatan pelayaran,
sekaligus kampanye tersebut meminta perhatian masyarakat dunia atas berbagai
pelanggaran HAM di masa lalu, yang dituduhkan dilakukan aparat keamanan
Indonesia terhadap penduduk pribumi Papua. Melihat kian gencarnya kampanye
internasional dan berbagai langkah diplomasi yang dilakukan di forum dunia oleh
gerakan separatis papua, muncul kemudian pertanyaan, mengapa kampanye dan
diplomasi internasional menjadi pilihan alternatif dalam perjuangan gerakan
separatisme dan kemerdekaan papua. Oleh karena itu menjadi penting untuk
diteliti dan dibahas mengapa kampanye dan diplomasi internasional gerakan
separatisme papua yang dilakukan oleh para aktor individual dan LSM menjadi
sebuah persoalan serius. pertanyaanpertanyaan ini logis, sebab di luar OpM,
organisasi dan para aktivis HAM juga gencar melakukan kampanye internasional
dan diplomasi untuk menekan pemerintah Indonesia dalam sikap dan kebijakan
selanjutnya terhadap papua. Bersamaan dengan gagalnya pelaksanaan Otsus
papua sejak 2001 dan munculnya tuntutan Otsus Plus yang mencantumkan klausul
diberikannya hak rakyat Papua untuk menentukan pendapat akhir melalui
referendum, serta meningkatnya kekhawatiran atas intervensi asing atas
perkembangan kondisi Papua, bukanlah hal yang berlebihan, jika kemudian,

18
separatisme ditempatkan pada posisi teratas ancaman keamanan yang dihadapi
dewasa ini oleh pemerintah pusat. Juga menjadi logis, jika perspektif pemerintah
pusat menempatkan separatisme Papua sebagai ancaman utama Indonesia dewasa
ini, sehingga jika pemerintah pusat tidak hati-hati dalam menanganinya, akan
membahayakan keutuhan NKR|.4 Secara realistis, baik aktor negara maupun non-
negara, memberikan kombinasi ancaman yang bersifatakumulatif, yang bersifat
militer dan nonmiliter terhadap Papua. Hal ini kemudian akan mempengaruhi
integritas teritorial lndonesia mkarena mungkin akan muncul intervensi politik
asing berlatar belakang pemenuhan atas kebutuhan Sumber Daya Alam (SDA)
yang tinggi. Demikian pula, akan meningkat aksi-aksi pemberontakan bersenjata,
penyelundupan dan penguasaan senjata, amunisi, dan bahan peledak, sejalan
dengan maraknya aktivitas gerakan separatisme di sana

19
G. Nilai-Nilai Anti Korupsi

a. Kejujuran

Kata jujur dapat didefinisikan sebagai lurus hati, tidak berbohong, dan tidak
curang. Jujur adalah salah satu sifat yang sangat penting bagi kehidupan
mahasiswa, nilai kejujuran dalam kehidupan kampus yang diwarnai dengan
budaya akademik sangatlah diperlukan. Nilai kejujuran ibaratnya seperti mata
muang yang berlaku dimana-mana termasuk dalam kehidupan di kampus. Jika
nmahasiswa terbukti melakukan tindakan yang tidak jujur, baik pada lingkup
akademik maupun sosial, maka selamanya orang lain akan selalu merasa ragu
untuk mempercayai mahasiswa tersebut. Sebagai akibatnya mahasiswa akan
selalu mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini
juga akan menyebabkan ketidak nyamanan bagi orang lain karena selalu merasa
curiga terhadap. Jujur adalah sikap yang antara perbuatan dan perkataan yang
sebenarnya dan tidak melalukan perbuatan curang. Nilai kejujuran inilah dalam
kehidupan sehari-hari sebagai pondasi awal dalam mencegah tindakan korupsi.7
Seseorang yang telah menanamkan sifat kejujuran dalam dirinya akan tehindar
dari perbuatan korupsi. Ia merasa takut apabila harus mencurangi orang lain.
Selain karena akan merugikan orang lain, dampak yang diperoleh dengan
melakukan perbuatan yang tidak jujur adalah keresahan psikis yang dirasakan
secara berlarut-larut.
Beberapa perbuatan antikorupsi yang mencerminkan nilai kejujuran
antara lain:
1) Melakukan pekerjaaan yang seharusnya diselesaikan
2) Tidak menyontek atau menyalin pekerjaan orang lain
3) Tidak memanipulasi data dan fakta pada suatu pekerjaan
4) Bersikap arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan.

b. Kepedulian
20
Menurut Sugono sebagaimana dikutip Dikdik Baehaqi, Syifa siti Aulia, dan Dkk
definisi kata peduli adalah mengindahkan, memperhatikan dan menghiraukan.8
Nilai kepedulian sangat penting bagi seorang mahasiswa dalam kehidupan di
kampus dan di masyarakat. Sebagai calon pemimpin masa depan, seorang
mahasiswa perlu memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungannya, baik
lingkungan di dalam kampus maupun lingkungan di luar kampus. Rasa
kepedulian seorang mahasiswa harus mulai ditumbuhkan sejak berada di kampus.
Oleh karena itu upaya untuk mengembangkan sikap peduli di kalangan
mahasiswa sebagai subjek didik sangat penting. Seorang mahasiswa dituntut
untuk peduli terhadap proses belajar mengajar di kampus, terhadap pengelolalaan
sumber daya di kampus secara efektif dan efisien, serta terhadap berbagai hal
yang berkembang di dalam kampus. Mahasiswa juga dituntut untuk peduli
terhadap lingkungan di luar kampus, terhadap kiprah alumni dan kualitas produk
ilmiah yang dihasilkan oleh perguruan tingginya. Beberapa upaya yang bisa
dilakukan sebagai wujud kepedulian di antaranya adalah dengan menciptakan
suasana kampus sebagai rumah kedua. Hal ini dimaksudkan agar kampus menjadi
tempat untuk mahasiswa berkarya, baik kurikuler maupun ekstra-kurikuler, tanpa
adanya batasan ruang gerak. Selain itu dengan memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sebagai manusia
yang utuh dengan berbagai kegiatan di kampus, Kegiatan-kegiatan tersebut dapat
meningkatkan interaksi antara mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lainnya
sehingga hubungan saling mengenal dan saling belajar dapat dicapai lebih dalam.
Hal ini akan sangat berguna bagi para mahasiswa untuk mengembangkan karir
dan reputasimereka pada masa yang akan datang. Upaya lain yang dapat
dilakukan adalah memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk menggalang
dana guna memberikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa yang
membutuhkan. Dengan adanya aksi tersebut, maka interaksi mahasiswa satu
dengan lainnya akan semakin erat. Tindakan lainnya adalah dengan memperluas
akses mahasiswa kepada dosen di luar jam kuliah melalui pemanfaatan internet
dan juga meningkatkan peran dosen sebagai fasilitator, dinamisator dan

21
motivator. Ini penting dilakukan karena hubungan baik mahasiswa dengan dosen
akan memberikan dampak positif bagi tertanamnya nilai kepedulian.
Pengembangan dari tindakan ini juga dapat hubungan antara mahasiswa dengan
banyak mahasiswa yang saling interaktif dan positif juga dapat terjalin dengan
baik an di situ mahasiswa dapat memberikan pelajaran, perhatian, dan perbaikan
terus menerus. Dengan demikian perhatian dan perbaikan kepada setiap
mahasiswa tersebut dapat memberikan kesempatan belajar yang baik

c. Kemandirian

Kondisi mandiri bagi mahasiswa dapat diartikan sebagai proses mendewasakan


diri yaitu dengan tidak bergantung pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan
tanggung jawabnya.10 Hal ini penting untuk masa depannya dimana mahasiswa
tersebut harus mengatur kehidupannya dan orang-orang yang berada di bawah
tanggung jawabnya sebab tidak mungkin orang yang tidak dapat mandiri
(mengatur dirinya sendiri) akan mampu mengatur hidup orang lain. Dengan
karakter kemandirian tersebut mahasiswa dituntut untuk mengerjakan semua
tanggung jawab dengan usahanya sendiri dan bukan orang lain. Beberapa perilaku
antikorupsi yang mencerminkan nilai kemandirian antara lain, menyelesaikan
tanggung jawab tanpa bantuan dari orang lain, mengontrol diri agar dapat
menyelesaikan tugas tepat waktu, dapat mengatur diri sendiri sebelum mengatur
orang lain, tidak putus asa dalam menghadapi kendala dan hambatan yang
dihadapi

d. Disiplin

Disiplin adalah kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk
peraturan atau tata tertib yang berlaku. Disiplin berarti patuh pada aturan.12
Dalam mengatur kehidupan kampus baik akademik maupun sosial mahasiswa
perlu hidup disiplin. Hidup disiplin tidak berarti harus hidup seperti pola militer di
barak militier namun hidup disiplin bagi mahasiswa adalah dapat mengatur dan
mengelola waktu yang ada untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk
menyelesaikan tugas baik dalam lingkup akademik maupun sosial kampus.
Manfaat dari hidup yang disiplin adalah mahasiswa dapat mencapai tujuan
hidupnya dengan waktu yang lebih efisien. Disiplin juga membuat orang lain
percaya dalam mengelola suatu kepercayaan. Misalnya orang tua akan lebih
percaya pada anaknya yang hidup disiplin untuk belajar di kota lain dibanding
dengan ketentuan yang berlaku di kampus, mengerjakan segala sesuatunya tepat
waktu, dan fokus pada pekerjaan. Selain itu disiplin dalam belajar perlu dimiliki
oleh mahasiswa agar diperoleh hasil pembelajaran yang maksimal.
Mendisiplinkan mahasiswa harus dilakukan dengan cara-cara yang dapat diterima

22
oleh jiwa dan perasaan mahasiswa, yaitu dengan bentuk penerapan kasih sayang.
Disiplin dengan cara kasih sayang ini dapat membantu mahasiswa agar mereka
dapat berdiri sendiri atau mandiri.

e. Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah kesadaran seseorang terhadap tingkah laku atau


perbuatan yang telah dilakukan, baik yang dusengaja maupun tidak disengaja.14
Tanggung jawab tersebut berupa perwuju- dan kesadaran akan kewajiban
menerina dan menyelesaikan semua masalah yang telah di lakukan. Tanggung
jawab juga merupakan suatu pengabdian dan pengorbanan. Maksudnya
pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pikiran, pendapat ataupun tenaga
sebagai perwujudan kesetiaan, cinta kasih sayang, norma, atau satu ikatan dari
semua itu dilakukan dengan ikhlas. Mahasiswa mempunyai banyak kewajiban
yang harus dipertanggungjawabkan. Misalnya tugas-tugas yang diberikan oleh
dosen, tanggung jawab untuk belajar, tanggung jawab untuk menyelesaikan
perkuliahan sampai lulus, tanggung jawab menjaga diri sendiri. Sebagai seorang
mahasiswa kita sudah dilatih oleh orang tua untuk lebih mandiri dalam menjaga
diri kita sendiri, karena dalam perkulihan kita diajarkan untuk melakukan apa apa
sendiri. Oleh sebab itu orang tua sudah tidak bisa mengontrol aktifitas keseharian
anak-anaknya. Jadi sebagai mahasiswa harus bisa bertanggung jawab dalam
menjaga dirinya sendiri.

23
BAB 3
KESIMPULAN

H. Rangkuman
Pendidikan dan pembelajaran antikorupsi sudah selayaknya bergeser dari sekadar teori
tanpa banyak aksi riil menjadi pembelajaran yang sampai pada melakukan aksi riil
mencegah dan Edi Subkhan melawan praktik korupsi. Dalam hal ini pedagogi kritis
menjadi pegangan kuat dengan beberapa prinsipnya yang relevan untuk keperluan
pendidikan antikorupsi, yaitu teori sudut pandang, demokrasi, kontekstual, dan
mengarahkan pada sikap atau tindakan riil. Prinsip-prinsip tersebut saling terkait dan
saling membutuhkan satu sama lain. Dalam praktiknya, pendidikan dan pembelajaran
antikorupsi hendaknya juga tidak bertele-tele membahas pengertian-pengertian dan
norma-norma atau moralitas saja, melainkan harus mengajak siswa untuk Maktif mencari
informasi dan kemudianmerumuskan aksi, melakukan aksi, danrefleksi. Dengan begitu,
pendidikan antikorupsi akan memiliki daya ubah dan daya dobrak, termasuk dan terutama
terhadap kultur korup yang masih ada di beberapa sekolah. Dengan menerapkan prinsip-
prinsip pedagogi kritis ini pula pembelajaran antikorupsi jadi lebih punya makna bagi
siswa, karena mereka punya pengalaman riil bersikap tegas dalammencegah dan melawan
praktik korupsi.

24
DAFTAR PUSTAKA

Agung Pramono. Kekuasaan dan Hukum Dalam Perkuatan Pemberantasan


Korupsi. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Jilid 42. Nomor 1. Januari 2013.

Harman, Benny K. Langkah-Langkah Strategis Memberantas Korupsi di Indonesia. Jurnal


MasalahMasalah Hukum. Volume 40. Nomor 4. Oktober 2011.

Bau, N. (2018). Penerapan Nilai-Nilai Pendidikan Antikorupsi di Madrasah Tsanawiyah


Al-Yusra Gorontalo. Jurnal Ilmiah AL-Jauhari 3(1), 79–96.

Asmorojati, A. W. (2017). Urgensi Pendidikan Anti Korupsi dan KPK dalam


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. The 6th University Research
Colloquium 017: 491–498.

Farid, A., & Hasanudin, A. H. (Eds.).(2017b). Pendidikan Antikorupsi: Modul Penguatan


Nilai-nilaiAntikorupsi pada Pendidikan Dasardan Menengah Tingkat SD/MI Kelas4-6.
Komisi PemberantasanKorupsi. Jakarta

Ekspedisi Tanah Papua: Laporan JurnalsitikKompas: Terasing di Pulou Sendir


.(2009). Jakarta : Kompas.

Permanto, Toto. (2014). "Kebijakan pada Aspek Pertahanan dalam pengeloalaan


Keamanan Maritim di Kawasan makalah dipresentasikan di p3Dl tanggal 2 April 2014,
Jakarta: Kementerian Pertahanan.

Al Araf et.al (eds.). (2011). Sekuritisasi Papuo: lmplikosi Pendekotan Keamanon


terhadop Kondisi HAM di PoPua. Jakarta: lmparsial.

25

Anda mungkin juga menyukai