Anda di halaman 1dari 11

BAB III LANDASAN TEORETIS

Setelah masalah penelitian dirumuskan dengan baik, maka langkah


kedua dalam proses penelitian (kuantitatif) adalah mencari teori-teori,
konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat
dijadikan sebagai landasan teoretis untuk mengajukan hipotesis. Landasan
teoretis ini perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh,
dan bukan sekedar perbuatan coba-coba. Adanya landasan teoretis ini
merupakan ciri bahwa penelitian itu merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan jawaban masalah.
Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap
permasalahan yang diajukan, yang akan dibuktikan kebenarannya. Seperti
diketahui dalam memecahkan berbagai persoalan terdapat bermacam cara
yang dapat ditempuh manusia. Secara garis besar, maka cara tersebut dapat
dikategorikan menjadi cara ilmiah dan cara non-ilmiah. Tentu dalam kegiatan
penelitian ilmiah, maka cara yang harus dipakai dalam memecahkan
masalah adalah cara ilmiah. Cara ilmiah dalam memecahkan masalah pada
hakekatnya adalah mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai dasar
argumentasi dalam mengkaji persoalan agar kita mendapatkan jawaban
yang dapat diandalkan. Hal ini berarti dalam menghadapi permasalahan
yang diajukan, maka kita mempergunakan teori-teori ilmiah sebagai alat
yang membantu kita dalam menemukan pemecahannya. Teori adalah alur
logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan
proposisi yang disusun secara sistematis.1 Secara umum teori mempunyai
tiga fungsi, yakni fungsi menjelaskan, fungsi meramalkan, dan fungsi
pengendalian suatu gejala. Misalnya, mengapa kalau besi dipanasi akan
memuai? Dapat dijawab dengan teori yang berfungsi menjelaskan. Kalau
besi dipanaskan sampai 80oC berapa besar pemuaiannya? Dapat dijawab
dengan teori yang berfungsi meramalkan. Selanjutnya, untuk mengantisipasi
pemuaian akibat panas terik mata hari, berapa jarak minimal sambungan rel

1
Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel, 1991. Educational Administration. New York: McGraw-
Hill, Inc.

30
kereta api yang paling sesuai dengan kondisi iklim Indonesia sehingga
jalannya kereta api tidak terganggu? Dapat dijawab dengan teori berfungsi
mengendalikan. Dalam kaitannya dengan kegiatan penelitian, maka fungsi
teori yang pertama digunakan untuk memperjelas dan mempertajam ruang
lingkup, atau konstruk variabel yang akan diteliti. Fungsi teori yang kedua
adalah untuk merumuskan hipotesis dan menyusun instrumen penelitian,
karena pada dasarnya hipotesis itu merupakan pernyataan yang bersifat
prediktif. Sedangkan fungsi teori yang ketiga digunakan untuk mencandra
dan membahas hasil penelitian, sehingga selanjutnya digunakan untuk
memberikan saran dalam upaya pemecahan masalah.
Sekiranya masalah yang kita hadapi adalah studi perbandingan dalam
prestasi belajar matematika, bahasa Indonesia, PKn dan IPA di SD antara
pendidikan formal dan pendidikan non-formal, maka cara ilmiah dalam
memecahkan masalah ini adalah mempergunakan pengetahuan ilmiah
tentang pendidikan formal, pendidikan non-formal, pengajaran matematika,
pengajaran bahasa Indonesia, pengajaran PKn dan pengajaran IPA dalam
memecahkan masalah tersebut. Sebagai contoh marilah kita mengambil
salah satu dari ke empat masalah dalam perbandingan antara pendidikan
formal dan non-formal, yakni tentang prestasi belajar IPA di SD. Dengan
mempergunakan pengetahuan ilmiah yang relevan dengan permasalahan
tersebut, maka kita mulai melakukan analisis yang berupa pengkajian
teoretis.
Upaya pertama yang kita lakukan adalah mencoba mengkaji
berdasarkan pengetahuan ilmiah nengenai karakteristik dari pendidikan
formal dan non-formal seperti: Apakah yang disebut pendidikan formal dan
non-formal itu? Bagaimanakah cara pendidikan dilakukan? Apakah sarana
dan prasarana yang dipergunakan? Bagaimanakah caranya
mengembangkan kurikulum? Bagaimanakah caranya melakukan bimbingan?
Teknik evaluasi apa yang digunakan?
Upaya kedua, karena studi kita adalah membandingkan pendidikan
formal dan non-formal, yaitu menoba mencari perbedaan karakteristik yang
terdapat dalam kedua pendidikan tersebut umpamanya saja: Apakah

31
perbedaan yang bersifat karakteristik dalam proses belajar-mengajar?
Adakah perbedaan dalam pemberian bimbingan? Adakah perbedaan dalam
peranan guru? Berbedakah aktivitas siswa dalam kedua proses belajar-
mengajar? Dimana letak perbedaan dalam pelaksanaan penilaian?
Dalam upaya kedua tersebut, kita mencoba mengidentifikasikan
perbedaan di antara pendidikan formal dan pendidikan non-formal, sebab
sekiranya terdapat perbedaan prestasi belajar IPA dalam kedua bentuk
pendidikan tersebut, maka kemungkinan besar hal ini langsung atau tidak
langsung terkait dengan perbedaan karakteristik antara pendidikan formal
dan non-formal. Sekiranya hal ini diterima, maka timbullah masalah
selanjutnya: mengapa prestasi belajar IPA di SD terpengaruh oleh
perbedaan tersebut? Faktor apa saja dari pelajaran IPA di SD yang
terpengaruh serta bagaimana pengaruhnya? Hal ini mendorong kita untuk
melakukan upaya ketiga, yakni mengkaji secara ilmiah mengenai hakikat IPA
dan proses pengajaran IPA di SD: Apakah yang disebut IPA? Bagaimanakah
aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis IPA? Bagaimanakah cara
pengajaran IPA di SD? Syarat-syarat apa yang mempengaruhi keberhasilan
pengajaran IPA? Bagaimanakah kurikulum IPA di SD? Pengetahuan kita
mengenai hakikat IPA dan proses pengajaran IPA di SD akan
memungkinkan kita untuk menganalisis bagaimana interaksi antara faktor-
faktor IPA dan pengajaran IPA dengan pendidikan formal dan non-formal di
SD. Berdasarkan teori-teori ilmiah yang ada, maka kita akan sampai kepada
kesimpulan: bentuk pendidikan manakah yang menghasilkan prestasi belajar
IPA di SD yang lebih baik? Argumentasi manakah yang dapat kita
kemukakan untuk menjelaskan hal itu?
Kesimpulan tersebut di atas disebut hipotesis yang secara susah
payah kita turunkan dari pengetahuan ilmiah yang ada. Jadi tidak benar
kalau ada orang yang menganggap bahwa seorang peneliti ilmiah boleh
mengajukan hipotesis secara asal-asalan. Seperti diketahui, pada hakikatnya
metode ilmiah dapat disimpulkan ke dalam dua langkah utama, yang
pertama, pengajuann hipotesis yang merupakan kerangka teoretis yang
secara deduktif dijalin dari pengetahuan yang dapat diandalkan, dan kedua,

32
pengumpulan data secara empiris untuk menguji apakah kenyataan yang
sebenarnya mendukung atau menolak hipotesis tersebut.
Pada hakikatnya seorang ilmuan boleh tidak menerima hasil penelitian
seseorang apapun juga hasilnya, sekiranya kerangka teoretis dalam
pengujian hipotesis baginya tidak meyakinkan. Tahap pembuktian empiris
hanyalah sekedar tahap lanjutan dari tahap pengujian hipotesis dan tidak
berdiri sendiri. Seyogyanya, dalam artian ilmiah yang paling murni, seorang
peneliti tidak diperkenankan untuk mengumpulkan data empiris sekiranya
belum berhasil menyusun kerangka teoretis yang meyakinkan. Bagi ilmu-ilmu
alam dimana pengujian hipotesis dilakukan secara eksperimen dengan
kemampuan untuk mengontrol semua variabel dalam laboratorium, maka
tidak terlalu sukar untuk menafsirkan kesimpulan pengujian. Meskipun
kemudian ternyata bahwa hipotesis yang diajukan ditolak dan fakta
menunjukkan hubungan konseptual yang berbeda, maka kemampuan untuk
mengontrol variabel-variabel yang terlibat dalam gejala memberikan kita
landasan yang kuat untuk mampu mengindentifikasikan hubungan sebab
akibat yang nyata. Namun, bagaimana dengan ilmu-ilmu sosial dimana
hubungan antara variabel itu begitu kompleks dan disertai ketidakmampuan
untuk mengontrol seluruh variabel tersebut dalam eksperimen kita? Apalagi,
tentunya metode penelitian yang mempergunakan data yang telah ada
seperti metode survai, dimana data secara statistik bisa menunjukkan
korelasi yang nyata padahal secara konseptual tidak mempunyai hubungan
kausalita.
Agar sebuah kerangka teoretis dapat disebut meyakinkan, maka
argumentasi yang disusun tersebut harus dapat memenuhi beberapa syarat.
Pertama, teori-teori yang dipergunakan dalam membangun kerangka berpikir
harus merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai secara lengkap
dengan mencakup perkembangan-perkembangan terbaru. Seperti diketahui
dalam sebuah disiplin ilmu kadang-kadang terdapat lebih dari satu
pendekatan yang tercermin dalam berbagai teori dalam mendekati persoalan
yang sama. Dalam masalah mengenai manajemen umpamanya, paling tidak
dikenal tiga pendekatan yang kemudian berkembang menjadi bermacam-

33
macam teori manajemen, yakni pendekatan struktural/fungsional, teknis,
dan perilaku. Sifat menyeluruh berarti, bahwa dalam kasus seperti
manajemen ini, kita harus mengetahui ketiga pendekatan yang dipergunakan
dalam analisis manajemen. Sekiranya kemudian kita akan memilih salah
satu saja dari ketiga pendekatan ini sebagai dasar bagi argumentasi teoretis,
hal ini tidak menjadi soal asalkan kita bisa menjelaskan mengapa kita
melakukan pilihan tersebut. Demikian juga sekiranya terdapat beberapa
aliran dalam sebuah pendekatan, maka harus dikemukakan alasan mengapa
kita memilih aliran tersebut dan bukan aliran yang lain.
Selain itu, kita harus menyadari bahwa ilmu berkembang dengan
cepat dan sebuah teori yang bersifat efektif pada satu saat mungkin akan
ditinggalkan pada saat yang lain. Oleh sebab itu, maka pengetahuan kita
mengenai teori-teori yang akan dipergunakan harus sudah mencakup
perkembangan-perkembangan terbaru dalam bidangnya. Hal ini akan
memungkinkan kita untuk berargumentasi berdasarkan teori-teori yang pada
waktu itu dianggap paling representatif. Mungkin saja kita berhasil menyusun
suatu kerangka argumentasi yang sangat meyakinkan dalam pengajuan
hipotesis, namun sekiranya argumentasi itu didasarkan kepada teori-teori
yang sudah dianggap kuno, maka sukar bagi kita meyakinkan seorang
ilmuan yang mengikuti perkembangan keilmuan dari bidang yang menjadi
keahliannya.
Lingkup yang bersifat menyeluruh dalam mencakup perkembangan-
perkembangan terbaru dalam suatu disiplin keilmuan biasanya disebut the
state of the art dari disiplin tersebut. Untuk bisa menyusun kerangka teoretis
yang meyakinkan, maka pertama-tama seorang ilmuan diminta
mendemonstrasikan pengetahuannya mengenai the state of the art dari
disiplin keilmuan yang akan dipergunakan sebagai basis analisis dalam
pengajuan hipotesisnya. Seperti disebutkan terdahulu, maka berdasarkan
pengetahuan the state of the art tersebut, kita harus memilih teori-teori mana
saja yang akan dipergunakan dalam analisis kita. Pemilihan ini harus
didasarkan kepada argumentasi yang meyakinkan tentang mengapa kita
melakukan pilihan tersebut. Hal ini membawa kita bukan saja kepada

34
pengetahuan teknis tentang teori tertentu, melainkan juga pengetahuan
filosofis yang mendasari teori itu. Pengetahuan filosofis tentang suatu teori
adalah pengetahuan tentang pikiran-pikiran dasar yang mendasari teori
tersebut dalam bentuk postulat, asumsi atau prinsip yang sering
kurang ,mendapatkan perhatian dalam proses belajar-mengajar. Padahal
untuk melakukan seleksi terhadap teori mana yang akan dipilih sebagai alat
analisis, maka seorang ilmuan harus mampu mengadakan evaluasi terhadap
teori-teori yang ada, dimana fokus utama sering diletakkan pada pikiran-
pikiran dasar tersebut. Seorang yang akan menulis suatu karya ilmiah, maka
seyogyanya mengetahui dengan benar pikiran-pikiran dasar dari teori yang
dipakainya. Seorang peneliti harus menguasai teori-teori ilmiah sebagai
dasar bagi argumentasi kita dalam menyusun kerangka pemikiran yang
membuahkan hipotesis. Kerangka pemikiran ini merupakan penjelasan
sementara terhadap gejala yang menjadi objek permasalahan kita. Kerangka
pemikiran yang berupa penjelalasan sementara ini merupakan argumentasi
kita dalam merumuskan hipotesis yang merupakan jawaban sementara
terhadap permasalahan yang diajukan.
Dalam studi perbandingan antara pendidikan formal dan non-formal
umpamanya, sekiranya kita menduga bahwa prestasi belajar IPA dalam
pendidikan formal akan lebih baik dari pada pendidikan non-formal, maka
alasan untuk dugaan tersebut harus terdapat dalam kerangka pemikiran,
yang juga seperti unsur-unsur kegiatan keilmuan lainnya dituntut berbagai
persyaratan agar meyakinkan.
Kriteria utama agar suatu kerangka pemikiran bisa meyakinkan
sesama ilmuan adalah alur-alur pikiran yang logis dalam membangun suatu
kerangka berpikir yang membuahkan kesimpulan yang berupa hipotesis.
Sering kita lihat dalam laporan penelitian, bahwa terdapat banyak sekali
kajian pustaka yang berbentuk teori-teori, namun sayangnya teori-teori ini
hanya berfungsi sebagai pajangan belaka. Teori-teori ini sama sekali tidak
dipergunakan sebagai premis dalam kerangka berpikir secara logis,
melainkan diletakkan begitu saja secara sporadis. Teori-teori ini yang
seharusnya merupakan landasan yang kokoh dalam membangun kerangka

35
pemikiran yang utuh ternyata sekedar merupakan bahan-bahan yang
berserakan. Kurangnya pengetahuan si peneliti tentang fungsi teori dalam
penyusunan kerangka berpikir inilah yang menyebabkan kajian pustaka
menjadi sering tidak efektif.
Ilmu mensyaratkan bahwa pengetahuan ilmiah baru harus bersifat
konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya. Sekiranya hipotesis yang
kita ajukan ternyata kemudian didukung fakta, maka hipotesis yang
merupakan jawaban sementara lalu secara sah diterima sebagai
pengetahuan ilmiah. Agar pengetahuan ilmiah ini bersifat konsisten dengan
pengetahuan-pengetahuan ilmiah sebelumnya, maka hal ini harus tercermin
dalam struktur logika berpikir dalam menarik kesimpulan. Untuk itu harus
dipenuhi dua persyaratan, yakni, pertama, mempergunakan premis-premis
yang benar, dan kedua, mempergunakan cara penarikan kesimpulan yang
sah. Pada hakikatnya kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis
didasarkan kepada argumentasi berpikir deduktif dengan mempergunakan
pengetahuan ilmiah sebagai premis-premis dasarnya.
Mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai premis dasar dalam
kerangka argumentasi akan menjamin dua hal. Pertama, karena kebenaran
pernyataan ilmiah telah teruji lewat proses keilmuan, maka kita merasa yakin
bahwa kesimpulan yang ditarik merupakan jawaban yang terandalkan.
Kedua, dengan mempergunakan pernyataan yang secara sah diakui sebagai
pengetahuan ilmiah, maka pengetahuan baru yang ditarik secara deduktif
akan bersifat konsisten dengan tubuh pengetahuan yang telah disusun.
Walaupun demikian patut kita sadari bahwa dalam menyusun kerangka
pemikiran yang membuahkan hipotesis pada dasarnya kita mengembangkan
argumentasi untuk memberi penjelasan sementara tentang masalah yang
dihadapi. Berpikir argumentatif ini selanjutnya berarti bahwa kita menyusun
kerangka berpikir kita secara sistematik dan analitik dengan mempergunakan
khasanah teori ilmiah secara selektif. Kerangka teoritis sebuah karya ilmiah
bukanlah merupakan kumpulan berbagai teori yang serba ada, melainkan
kumpulan premis ilmiah yang dipilih secara selektif untuk membangun
kerangka argumentasi kita.

36
Untuk melakukan seleksi dengan tepat, maka secara sadar kita harus
menetapkan kriteria seleksi tersebut. Dalam khasanah ilmu-ilmu sosial sering
terdapat lebih dari satu teori yang dapat dipergunakan untuk memecahkan
masalah yang sama. Mengapa kita menggunakan teori partisipatif dan
bukan teori koersif dalam manajemen? Mengapa kita memilih penjelasan
dengan mempergunakan analisis sistem dan bukan riset operasional? Untuk
menjawab ini maka sering kita dituntut untuk menyatakan secara tersurat
asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam kerangka berpikir kita. Sekiranya
asumsi kita bahwa manusia yang terlibat dalam manajemen mempunyai
motivasi tinggi, maka kita memilih penjelasan dengan mempergunakan teori
partisipatif dan bukan koersif. Sekiranya diasumsikan bahwa variabel-
variabel yang terlibat dalam penelaahan bersifat terputus serta tidak
dimungkinkan dikembangkannya model matematis dari variabel-variabel
tersebut, maka kita mempergunakan analisis sistem dan bukan riset
operasional. Dengan mempergunakan asumsi yang salah, maka
kemungkinan besar kita telah memilih teori yang tidak cocok untuk
menganalisis masalah yang dihadapi. Hal ini akan menyebabkan analisis
yang dilakukan menjadi sia-sia, sebab tidak akan membuahkan kebenaran
seperti yang diharapkan.
Berdasarkan premis-premis ilmiah yang dipilih secara selektif untuk
membangun kerangka berpikir, maka mulailah kita menyusun argumentasi
secara sistematik dan analitik. Tugas ilmuan yang pertama meyakinkan
secara deduktif dalam argumentasi yang dibangun di atas premis-premis
ilmiah. Berargumentasi artinya secara aktif menjelaskan mengapa sesuatu
itu mempunyai karakteristik tertentu, seperti kusir delman mencoba
meyakinkan penumpangnya, bahwa biarpun kuda tidak minum bensin,
namun tarif delman harus disesuaikan dengan kenaikan BBM. Bahwa
kegunaan kajian pustaka adalah dalam rangka menyusun argumentasi dan
bukan sekedar koleksi untuk pajangan belaka, hal ini sering dilupakan oleh
seorang ilmuan. Untuk itu, ada baiknya kita selalu mengingat debat kusir
delman, agar jerih payah kita mempelajari pustaka ilmiah tidak menjadi sia-
sia.

37
Umtuk membangun suatu kerangka pemikiran yang bersifat sistematik
dan analitik, maka sering dituntut adanya perumusan pikiran-pikiran dasar
yang berupa postulat, asumsi atau prinsip. Dalam kajian di bidang ilmu-ilmu
alam secara relatif tidak terlalu banyak terdapat variasi dalam pikiran-pikiran
dasar ini, bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial. Oleh sebab itu,
keharusan untuk menyatakan pikiran-pikiran dasar ini dalam bidang ilmu-ilmu
sosial terasa lebih mendesak. Kegunaan menyatakan pikiran-pikiran dasar
secara tersurat ini memungkinkan orang lain melakukan penilaian terhadap
sendi-sendi pemikiran kita, dan dengan demikian memberi kesempatan
kepada mereka untuk menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan mereka.
Selain premis-premis sebagaimana telah disebutkan di atas, maka
dalam kerangka teoretis kita juga melakukan pengkajian terhadap penelitian-
penelitian yang relevan, yang telah dilakukan para peneliti lainnya. Hal ini
dilakukan pertama-tama, disebabkan oleh sifat ilmu yang pengembangannya
dilakukan secara kumulatif. Seperti seorang pelari estafet, maka seorang
ilmuan dalam menjelajah cakrawala pengetahuan baru harus mengenal tiap
pendahulunya. Hal ini disamping akan menghindari adanya duplikasi yang
sia-sia, juga akan memberikan perspektif yang jelas mengenai hakikat dan
kegunaan penelitian kita dalam perkembangan secara keseluruhan.
Demikian juga hasil penelitian mutakhir, mungkin merupakan pengetahuan
teoretis baru atau revisi terhadap teori lama, yang dapat kita pergunakan
sebagai premis dalam penyusunan kerangka pemikiran maupun dalam
kegiatan analisis yang lain, umpamanya saja dalam pembahasan mengenai
kesimpulan analisis data. Disamping itu mungkin juga salah satu kesimpulan
penelitian yang telah dilakukan, atau sintesis dari beberapa penelitian yang
telah dipublikasikan, dijadikan titik tolak dari penelitian kita dalam mencoba
melakukan pengulangan atau revisi, modifikasi, dan sebagainya. Pada
hakikatnya the state of the art dari sebuah cabang keilmuan mencakup baik
perkembangan teori maupun penelitian yang telah dilakukan.
Kerangka teoretis suatu penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan
dan mengkaji berbagai teori yang relevan serta diakhiri dengan pengajuan
hipotesis. Bahwa produk akhir dari proses pengkajian kerangka teoretis ini

38
adalah perumusan hipotesis, harus merupakan pangkal dan tujuan dari
seluruh analisis. Hal ini harus tercermin bukan saja dalam struktur logika
berpikir, melainkan juga dalam struktur penulisan. Artinya, sekiranya salah
satu tujuan dalam kerangka teoretis ini adalah menganalisis karakteristik
hubungan yang mungkin terjadi antara prestasi belajar IPA di SD dalam
pendidikan formal dan non-formal, maka tujuan ini harus tercermin dalam
pernyataan pembukaan sebelum kita mengidentifikasikan dan mengkaji teori-
teori yang relevan. Pernyataan secara tersurat mengenai tujuan ini akan
membawa dua manfaat yakni, pertama, dengan cepat kita dapat
mengidentifikasikan pernyataan-pernyataan dalam bentuk kajian pustaka
berbagai teori dan sebangsanya yang tidak relevan dengan persoalan, dan
kedua, membantu kita menyusun alur berpikir yang mengarah kepada
penarikan kesimpulan, sebab kita tahu benar pernyataan mengenai apa saja
yang mesti disimpulkan.
Struktur penulisan kerangka teoretis dapat diibaratkan dengan dua
buah piramida yang bersinggungan pada alasnya, semula kecil lalu melebar
dan setelah melebar kembali mengecil. Dimulai dengan pernayataan
pembukaan mengenai tujuan analisis yang kemudian melebar dengan
melakukan inventarisasi dari berbagai teori yang relevan. Setelah itu
mempergunakan premis-premis yang terdapat dalam kumpulan teori tersebut
dalam penarikan kesimpulan, dimana proses kembali mengecil secara
konvergen sekitar perumusan hipotesis. Kesimpulan seperti “berdasarkan
analisis ini diduga prestasi belajar IPA di SD pada pendidikan formal akan
lebih baik dari pada non-formal” merupakan pernyataan yang mencerminkan
klimaks atau grand finale dari seluruh upaya kita dalam membangun
kerangka teoretis yang mendukung hipotesis. Mengapa kajian teoretis
beberapa peneliti tidak memuncak dalam klimaks yang berupa kesimpulan
tentang hipotesis yang akan diajukan, melainkan sekedar kumpulan teori-
teori yang tidak disusun dalam suatu struktur logika berpikir tertentu? Gejala
seperti ini sering kita temukan dalam penelitian disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, kurangnya pengetahuan tentang metode ilmiah terutama
mengenai fungsi teori dan hipotesis dalam proses kegiatan keilmuan. Kedua,

39
persepsi yang salah bahwa hipotesis bisa diajukan secara asal-asalan, tokh
cuma sekedar dugaan yang kemudian didukung atau ditolak oleh pengujian
empiris. Ketiga, terdapat anggapan bahwa kerangka teoretis merupakan
arena untuk menunjukkan kemampuan intelektual seorang ilmuan yang
dapat dipakai sebagai kriteria apakah seseorang telah cukup memenuhi
syarat atau belum untuk suatu promosi tertentu.
Secara ringkas, maka langkah dalam penyusunan kerangka teoretis
dan pengajuan hipotesis ini dapat dibagi ke dalam kegiatan-kegiatan sebagai
berikut:
PENYSUNAN KERANGKA TEORETIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
1. Pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam
analisis;
2. Pembahasan mengenai penelitian-penelitian lain yang relevan;
3. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan
mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam butir (1)
dan butir (2) dengan menyatakan secara tersurat postulat, asumsi,
dan prinsip yang dipergunakan (sekiranya diperlukan); dan
4. Perumusan hipotesis.

40

Anda mungkin juga menyukai