Anda di halaman 1dari 6

Kuliah Metode Penelitian Sosial bersama Dr. Abd. Rahman, S.S., M.Si.

PERAN BPCB DAN WARGA LOKAL MELESTARIKAN SITUS MAKAM SYEKH AL-
MANSUR SEBAGAI OBJEK WISATA RELIGI DI KAO HALUT

Oleh : Dr. Abd. Rahman,S.S.,M.Si.


Dosen Program Studi Ilmu Sejarah, FIB Unkhair

Topik yang di bahas pada edisi kali ini mengenai pentingnya Peran BPCB dan Warga Lokal
Melestarikan Situs Makam Syekh Al-Mansur Sebagai Objek Wisata Religi di kecamatan Kao Kabupaten
Halmahera Utara oleh Dr. Abd. Rahman, S.S., M.Si. ini merupakan bagian dari mata kuliah Metode
Penelitian Sosial untuk Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun Ternate
semester IV. Berikut sajian materi oleh yang bersangkutan.

Pengertian Cagar Budaya dan Dasar Hukum Perlindungan Makam Syekh Al-Mansur

Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan, berupa benda cagar budaya, bangunan
cagar budaya, situs cagar budaya, struktur cagar budaya, kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang
perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Makam Syekh Al-Mansur, merupakan cagar budaya
yang dilindungi oleh Pemerintah Republik Indonesia yang secara formal ditetapkan melalui peraturan
hukum dan perundang-undangan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya khususnya Pasal 3, Pasal 56, Pasal 66, dan Pasal 105. Pasal 3 adalah tentang Tujuan
Pelestarian Cagar Budaya: (1) Pelestarian Budaya Bangsa dan Warisan Ummat Manusia; (2) Meningkatkan
Harkat dan Martabat Bangsa melalui Cagar Budaya; (3) Memperkuat Kepribadian Bangsa; (4)
Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat; dan (5) Mempromosikan Warisan Budaya Bangsa kepada Masyarakat
Internasional. Pasal 56 Setiap orang dapat berperan serta melakukan perlindungan cagar budaya. Pasal 66
berbunyi: (1) Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari
kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal, dan (2) Setiap orang dilarang mencuri Cagar Budaya, baik
seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal; dan Pasal 105 tentang
sanksi hukum yang berlaku bagi para pelanggar UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tersebut di atas yang
berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Sementara itu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) adalah unit pelaksana teknis Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan di bidang pelestarian cagar budaya yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Direktur Jenderal Kebudayaan. BPCB bertugas melaksanakan pelindungan, pengembangan,
dan pemanfaatan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya yang berada di wilayah kerjanya. Adapun
fungsi dari BPCB adalah melaksanakan penyelamatan dan pengamanan, zonasi, pemeliharaan,
pengembangan, pemanfaatan, dokumentasi dan publikasi, pelaksanaan kemitraan di bidang pelestarian cagar
budaya dan yang diduga cagar budaya. BPCB di Indonesia terdiri dari 12 satuan kerja, salah satunya adalah
BPCB Maluku Utara. Salah satu yang menjadi objek pelaksanaan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) BPCB
Maluku Utara adalah Pelestarian Situs Makam Syekh Al-Mansur yang dikeramatkan oleh warga lokal
sebagai tokoh penyebar Islam di wilayah Pesisir Pantai Barat dan Timur Halmahera dari abad ke-16,
khususnya di daerah Kao, Kabupaten Halmahera Utara.
Dalam melaksanakan tupoksinya, BPCB Maluku Utara di Ternate yang kini dikepalai oleh Drs.
Muhammad Husni, M.M., menghadapi beberapa kendala yang memerlukan penanganan yang arif dan
bijaksana. Pertama, masyarakat di wilayah ini umumnya dan khususnya dari kalangan generasi muda masih
kurang mengenal BPCB dan tupoksinya; Kedua, keberadaan tokoh sejarah Syekh Al-Mansur belum banyak
diketahui oleh umumnya masyarakat di wilayah ini; Ketiga, akibat dari kendala tersebut adalah sangat
kurangnya kesadaran masyarakat dan generasi muda terhadap sejarah ketokohan Syekh Al-Mansur dan
jejak-jejak tinggalan budaya beliau sebagai objek wisata religi; dan keempat, kurangnya upaya masyarakat

1
setempat untuk turut melestarikan situs-situs yang terkait dengan kompleks makam Syekh Al-Mansur dan
keluarganya.

Sekilas Sejarah Penyebaran Agama Islam di Pesisir Barat dan Timur Halmahera

Sejauh ini Sejarah Awal Penyebaran dan Perkembangan Islam di Maluku Utara dinilai belum
lengkap dan sempurna disebabkan karena ketiadaan sumber-sumber sejarah yang menjelaskannya secara
lebih mendalam (Amal, 2010: 135). Hal itu berbeda dengan perkembangan agama Kristen Katolik dan
Protestan, yang sudah begitu banyak ditulis oleh para misionaris Eropa (Portugis, Spanyol, dan Belanda)
sejak abad ke-16. Selain itu publik pembaca, pemerhati, dan peminat sejarah lokal di wilayah ini dalam
memahami sejarah awal masuknya Islam di Maluku Utara selalu berpatokan pada sejarah awal penyebaran
agama Islam di Kerajaan Ternate khususnya pada masa-masa akhir pemerintahan Kolano Marhum (Gapi
Baguna (1465—1486) yang dilanjutkan oleh Sultan Zainal Abidin Syah (1485—1500) sebagaimana yang
dikemukakan oleh Valentijn (1724) dan de Clecq (1890) hingga perkembangannya di masa sekarang.
Perkembangan Islam awal di Kerajaan Ternate menjadi patokan perkembangan agama itu di tiga kerajaan
utama lainnya di Maluku Utara, (Tidore, Bacan, dan Jailolo). Sementara itu sejarah masuknya Islam di
daerah-daerah pesisir pantai Barat dan Timur Halmahera seperti di Kerajaan Loloda, distrik Tobelo, Galela,
Kao, dan sekitarnya belum ada kejelasan.Umumnya informasi sejarah Islamisasi awal di daerah-daerah
Pesisir Barat dan Timur Halmahera tersebut selama ini hanya bersumber dari cerita hikayat.
Di Maluku Utara, terdapat sebuah hikayat mengenai awal masuknya Islam di wilayah ini. Hikayat itu
menceritakan bahwa sesungguhnya agama Islam sudah masuk di Kawasan Laut dan Kepulauan Maluku
pada abad ke-2 Hijiyah (abad ke-8 Masehi). Pada abad itu telah tiba empat orang Syekh yang melarikan diri
dari negeri Irak melalui Iran di Teluk Persia menuju Kepulauan Maluku bahagian Utara. Keempat Syekh itu
adalah Syekh Al-Mansyur (Mansyur), Syekh Yakub, Syekh Umar, dan Syekh Amin. Kedatangan keempat
Syekh tersebut ke Kepulauan Maluku disebabkan karena adanya pergolakan politik di kawasan Timur
Tengah yang meliputi antara lain: Arab Saudi, Mesir, Irak, dan Iran (Persia), ketika golongan Islam Syiah
dikejar-kejar untuk dibunuh oleh para penguasa Dinasti Ummayyah dan Dinasti Abbasiyah (Suryo, dkk.
1992—1993; 83—84).
Syekh Al-Mansur menyiarkan agama Islam mulai dari Ternate hingga daerah-daerah yang terletak di
Pesisir Barat (Halmahera Depan/Muka) seperti Loloda, Ibo (Ibu), Gamkonora, Sidangoli, dan daerah-daerah
lainnya di Pesisir Timur Laut Halmahera seperti Galela dan Kao. Sebuah sumber mengatakan bahwa Syekh
Al-Mansyur ketika meninggal dimakamkan di Gunung Gamalama Ternate (Assegaf, 1974: 15 dalam
Mansur, 2006: 28). Namun sumber-sumber arkeologi dan sejarah terkait makam Syekh Al-Mansyur di
gunung Gamalama itu sejauh ini belum ditemukan. Jika Syekh Al-Mansyur dimakamkandi tempat itu, maka
itu berarti makamnya berada di lokasi yang sama dengan makam Sultan Baabullah Datuk Syah (1528—
1583).Namun, berdasarkan hasil penelitian tim Arkeolog dari BPCB Maluku Utara di Ternate yang
didukung oleh informasi informan setempat menunjukkan bahwa ternyata makam Syekh Al-Mansyur justru
ditemukan di bukit Popon Selatan, Kecamatan Kao. Pertanyaannya kemudian adalah apakah makam Syekh
Al-Mansur di Kao itu sama atau berbeda dengan makam Syekh Mansur di gunung Gamalama, Ternate?
Tentu saja jawaban dari pertanyaan tersebut perlu studi arkeologi dan sejarah yang lebih mendalam kini dan
ke depan. Syekh Al-Mansur juga dikabarkan pernah mengunjungi Tidore pada masa pemerintahan Kolano
Caliati. Bahkan Al-Mansyur menjadi penasehat spiritual dari Kolano itu. Sementara itu di Ternate terdapat
Datuk Maulana Husain dari Giri (Gresik) di Jawa, pada masa pemerintahan Kolano Marhum/Gapi Baguna I
(Valentijn, 1724, Amal, 2010: 135& Atjo, 2008: 62).
Syekh Yakub menyebarkan agama Islam di Tidore dan Makian dan ketika meninggal dimakamkan
di Gunung Kie Besi, Makian. Oleh masyarakat Tidore, kehadiran Syekh Yakub di kerajaannya berkaitan
dengan asal mula kata “Tidore” yang kemudian dijadikan sebagai nama dari Kesultanan Tidore. Kisahnya
adalah bahwa pada masa pra-Islam, pemimpin tertinggi suatu komunitas masyarakat di Tidore disebut
momole yang berarti “pria perkasa” atau “satria”(Abdulrahman, 2002: 80). Di Tidore, ada beberapa orang
momole yang memimpin komunitas-komunitas tertentu, di antaranya: Momole Rabu Hale, Momole
Jagarora, Momole Rato, dan lain-lain (Rahman, 2005: 1-2). Kekuasaan para momole, hanya sebatas daerah
komunitas suku pendukung tertentu saja. Oleh karena itu terkadang dalam pencarian legitimasi daerah yang
lebih besar, pertikaian antar-momole tidak dapat terelakkan. Berkali-kali pertumpahan darah dicoba untuk

2
dicegah oleh sesama mereka, misalnya dengan melalui rekonsiliasi seperti rekonsiliasi Ake Saragi
danGumira Mabuku(Rahman, 2005: 1-2). Pertikaian diselesaikan melalui perundingan, yang difasilitasi oleh
Syekh Yakub, salah satu anggota rombongan ibnu Chardazabah (Khalifah Al-Mutawakkil Alallah dari Bani
Abbasiyah) di Irak yang diperkirakan tiba di Tidore pada tahun 232 H (846M). Pada waktu itu, diadakan
sebuah pertemuan bernamaTogorebo atau “menjaga haluan” yang selain dapat menghentikan pertikaian
antarkomunitas, juga berhasil melahirkan kesepakatan monumental, berupa peralihan nama dari Kie Duko
menjadi Tidore (Stibbe dalam ENI, 1918: 772).
Tidore dimaknai dari rangkaian kata To ado re, “Aku Telah Sampai” dari bahasa Arab Irak, Anta
Tadore yang berarti “Engkau Datang”(Rahman, 2005: 1-2). Dikisahkan bahwa tempat pertemuan terletak di
atas sebuah batu besar di kaki bukit Marijang sesuai kesepakatan. Para momole saling bertarung untuk
mempertaruhkan seluruh ilmu dan kesaktian masing-masing. Siapa yang lebih dahulu tiba di tempat
pertemuan pada purnama keempat belas, maka dialah yang bertugas sebagai pemimpin pertemuan. Namun,
meskipun masing-masing peserta telah mengerahkan seluruh ilmu dan kesaktiannya dalam pertarungan itu,
rupanya tidak ada satupun yang menang dan kalah. Di saat seorang momole mengira dialah yang lebih
dahulu tiba di Togorebo maka yang bersangkutan pun berteriak “To Ado Re !!!”, momole yang lain pun
bersahutan berteriak dengan ucapan yang sama, To Ado Re, “Aku Telah Sampai”. Beberapa saat kemudian
tibalah Syekh Yakub di tempat pertemuan, dengan serta merta berujar dalam bahasa Arab dialek Irak, Anta
Thadore, “kau datang” sambil menunjuk ke masing-masing momole. Tidak ada yang memenangkan
pertarungan, maka disepakatilah Syekh Yakub yang memimpin pertemuan. Sejak saat itu, penggunaan
namaKie Duko oleh masyarakat berangsur-angsur hilang dan berganti menjadi Tidore. Dengan demikian,
kata “Tidore”, berasal dari perpaduan antara bahasa daerah setempat, “To Ado Re” dan bahasa Arab dialek
Irak “Thadore” (Rahman. 2005).

Situs Cagar Budaya yang Disakralkan Warga Kao

Sampai hari ini Makam Syekh Al-Mansyur dijadikan oleh masyarakat Kao dan sekitarnya sebagai
makam keramat yang selalu diziarahi oleh warga masyarakat di Kao. Situs makam masih nampak
terpelihara sebagaimana adanya, namun akses menuju ke sana masih sangat sulit untuk dijangkau oleh
warga Kao pada umumnya apalagi para pengunjung dari luar, mengingat fasilitas dan infrastruktur
pendukung seperti jalan, jembatan, bangunan tempat istirahat dan berkumpul, dan sebagainya menuju situs
cagar budaya bersangkutan belum tersedia secara memadai, selain karena jarak yang jauh dari ibu kota
Kecamatan Kao. Menurut keterangan tokoh-tokoh adat setempat makam itu tidak saja sering diziarahi oleh
orang-orang beragama Islam tetapi juga oleh warga masyarakat non-Muslim. Kunjungan ziarah ke makam
itu selalu dilakukan pada setiap hari senin sekitar jam 9 pagi waktu setempat, dengan alasan bahwa waktu
seperti itu adalah waktu yang sakral. Peziarah Islam maupun Kristen biasa datang ke makam tersebut secara
bersama-sama dengan penuh sikap saling menghargai satu sama lain tanpa konflik. Situasi itu menunjukkan
bahwa Makam Syek Al-Mansyur adalah makam yang berfungsi sebagai pemersatu warga masyarakat Kao
yang saling berbeda keyakinan (Sangaji Kao, Zulkifli Tukang [74], Wawancara di Kao, Jumat, 17 Juli
2020).
Dalam masyarakat Kao, terdapat memori kolektif yang mengatakan bahwa pada masyarakat Kao
terdapat Syair Perang Kao. Syair itu muncul ketika pecah Perang Kao yang dipimpin oleh Tomini dan
Kuabang (Koloniaal Verslag, 1904: 351) yang mana keduanya adalah merupakan utusang (utusan) yang
dikirim Sultan Ternate untuk menjadi sangaji di Kao. Mereka berdua adalah pemimpin perang yang selalu
dikenang turun-temurun oleh rakyat Kao hingga sekarang. Kedua tokoh tersebut selain sebagai utusan
Ternate, mereka juga memimpin perang Kao untuk menentang penjajahan Belanda atas daerah dan sumber
daya alam rakyat Kao dari eksploitasi Belanda. Perang Kao, adalah sebuah peristiwa heroik yang melibatkan
rakyat Kao dalam menentang penjajah Belanda yang ingin menguasai Tanah Kao, pada tahun 1904. Syair
itu berbunyi: “Bunga Biru Daku Jere, Rorano Toma Luketu” (Bunga Biru di atas Makam keramat (kuburan
Syekh Al-Mansyur), sebagai obat pembangkit semangat perjuangan). Di medan perang terdapat satu syair
yang masih berhubungan dengan syair pertama, tetapi pada syair yang kedua terdapat beberapa kata
berulang untuk menunjukkan semangat juang rakyat Kao di medan perang. Syair itu berbunyi: “Bunga biru
daku jere, Ge daku jere Rorano toma luketu Toma luketu”. Artinya: “Bunga biru, di atas makam keramat
(Kuburan Syekh Al-Mansyur), ya di atas makam keramat (Syekh Al-Mansur), menjadi semangat perjuangan

3
di medan perang” (Haji Umar Jafar [81], Wawancara, di Tobelo, Sabtu, 6 Juni 2018). Dalam peristiwa
Perang Kao tercatat gugur tujuh orang prajurit Kao yang teridentifikasi yakni: 1) Suda; 2) Ganti; 3) Basi; 4)
Saban; 5) Gusuwo; 6) Guruwa; dan 7) Sisil (Nasrani). Versi lain ada yang mengatakan 9 orang yakni 8)
Bolongi dan 9) Bandera. Mereka bertujuh di kuburkan dalam satu lubang makam dan mereka semua adalah
Muslim, yang sampai sekarang disebut dengan “Kuburan Tujuh Pahlawan Kao” (H. Umar Jafar, wawancara,
Tobelo, 5-6 Juni 2018 & Zulkifli Tukang, wawancara, Ternate, 12-14 Juni 2018).
Kutipan syair singkat Perang Kao di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemimpin perang
Kao yakni Tomini dan Kuabang dan prajurit-prajuritnya menjadikan Syekh Al-Mansyur sebagai tokoh
pejuang yang kharismatik yang telah membangkitkan semangat perlawanan mereka terhadap penjajahan
Belanda di daerahnya pada tahun 1904. Prajurit-prajurit Kao sebelum terjun ke medan perang diwajibkan
terlebih dahulu datang berziarah ke makam Syekh Al-Mansyur yang telah wafat 300 tahun sebelumnya dan
makam syekh itu mereka keramatkan. Pengetahuan rakyat Kao mengenai ketokohan Syekh Al-Mansyur dan
karakter pribadi kharismatiknya berasal dari kisah-kisah legendaris yang diceritakan oleh orang-orang tua
mereka dan menganggap bahwa ulama tersebut adalah leluhurnya sendiri. Syekh Al-Mansyur tersebut
adalah seorang pejuang yang gigih menentang penjajahan Eropa di zamannya (Haji Umar Jafar [81],
Wawancara, di Tobelo, Sabtu, 6 Juni 2018). Ulama itu turut memimpin perlawanan rakyat menentang
Portugis dan gugur dalam perjuangannya melawan penjajah Barat tersebut. Ketika wafat, jenazahnya Syekh
Al-Mansyur dimakamkan oleh pengikutnya di Kao. Makam ulama itu dikeramatkan oleh penduduk Kao
hingga hari ini. Selain Syekh Al-Mansur dan Syekh Yakub, terdapat pula Syekh Umar dan Syekh Amin
yang menyiarkan agama Islam di Halmahera Belakang, yang meliputi daerah-daerah Pesisir Timur dan
Tengah Pulau Halmahera, seperti Maba, Patani, dan sekitarnya yang dahulunya berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Tidore. Sebelum wafat, kedua Syekh tersebut dikabarkan kembali ke negerinya di Irak (Djafaar,
2005: 19 & Mansur, 2013: 29).
Informasi Singkat Mengenai Situs Makam Syakh Al-Mansyur
Syek Al-Mansur, dikenal oleh penduduk Kao sebagai seorang musafir yang datang dari Baghdad
(ibukota dan salah satu pusat peradaban Islam di negeri Irak) ke kampung Kao. Setibanya di Kao, ia
memperkenalkan dirinya kepada kepala adat setempat. Setelah mengetahui maksud kedatangannya,
penduduk setempat pun menerimanya dengan baik untuk tinggal bersama-sama di Kao. Tidak terlalu lama
berselang, ia kemudian menikah dengan seorang puteri dari kepala adat setempat di Kao. Dalam
kesehariannya, Syekh Al-Mansur dikenal sebagai seorang yang berkepribadian mulia sebagai seorang
ulama. Ia berhasil menyebarkan agama Islam di Kao dan pengikutnya pun dari hari ke hari terus bertambah.
Situs makam Syekh Al-Mansur, terletak pada sebuah bukit di Desa Popon Selatan,Kecamatan Kao,
Halmahera Utara. Makam itu sangat dikeramatkan dan disakralkan oleh penduduk setempat. Situs makam
Syekh Al-Mansur terdiri dari dua bagian yang saling berdekatan yakni, makam Syekh Al-Mansur sendiri
dan makam seorang muridnya yang selalu setia menemani dan mengawalnya ke sana kemari. Panjang
makam Syekh Al-Mansyur adalah 3,5 m sedangkan lebarnya adalah 2,5 m. Adapun ukuran panjang dan
lebar makam muridnya adalah lebih kecil dari ukuran makam Syekh Al-Mansur. Selain itu di gunung Popon
Utara, terdapat pula makam istri dari Syekh Al-Mansyur (tidak diketahui namanya) dan beberapa kuburan
anggota keluarga dan pengikutnya. Jarak antara makam Syekh Al-Mansur dengan makam istrinya tersebut
adalah kurang lebih 350 meter. Demikianlah sekilas deskripsi singkat mengenai sejarah, lokasi, dan ukuran
makam dari Syekh Al-Mansur beserta istri, keluarga, dan murid-muridnya, beserta pengikutnya yang lain,
sebagaimana yang tercantum pada papan informasi yang terpasang di bagian depan jalan masuk menuju
tangga naik bukit Popon Selatan di area pemakaman Syek Al-Mansur (Kemendikbud-Dirjen Kebudayaan,
BPCB Ternate dengan wilayah kerja yang meliputi: Maluku Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan
Papua Barat, 2010).

Ragam Hias Kompleks Makam Syekh Al-Mansyur di Permukiman Kao Kuno

Bukit dan Lembah Popon Selatan dan Utara sebagiannya merupakan daerah permukiman kuno atau
perkampungan Kao Lama sebagai bagian integral dari kompleks makam keramat Syekh Al-Mansur beserta
keluarga dan para pengikutnya. Pada daerah permukiman tersebut terdapat area persebaran makam-makam
kuno dengan jumlah banyak. Namun, tidak semua makam tersebut dapat diidentifikasi mengingat bentuk
4
dan karakternya sudah tidak bisa dikenali lagi karena sebagiannya sudah tertanam dalam tanah atau tertutup
tetumbuhan vegetatif dan tanaman semak belukar lainnya yang tumbuh lebat diantara unit-unit makan.
Meski demikian, beberapa makam dapat diidentifikasi secara khusus karena bentuk jirat ataupun nisannya
yang spesifik masih terlihat sehingga dapat dengan mudah dibedakan dengan bentuk jirat dan nisan makam
lainnya.

Pada umumnya jirat (makam) dan nisandi area pemakaman Syekh Al-Mansyur, keluarga, dan para
pengikutnya berbentuk sederhana. Misalnya bahwa terdapat jirat dengan susunan batu-batu nisan yang masif
yang terdiri dari bebatuan menhir dalam berbagai ukuran. Namun, terdapat beberapa nisan yang
memperlihatkan bentuk-bentuk yang lebih kompleks baik dari segi pengerjaan (pahatan), maupun bentuk,
pola ukiran, dan tipologinya. Situs makam yang paling populer adalah Makam Syekh Mansyur yang
dipercaya sebagai penyiar Islam pertama di daerah Kao. Selain situs makam Syekh Al Mansyur di
pedalaman Desa Kao yang berbatasan dengan Desa Popon, juga terdapat kompleks makam istri dari Syekh
Al-Mansyur beserta kerabatnya yang terletak 350 meter di sebelah utara dari makam Syekh Al-Mansyur.
Pada kompleks tersebut selain makam Istri Syekh Al Mansyur, terdapat pula sekitar 16 makam lainnya,
yakni makam kerabat dan para pengikutnya. Masyarakat menyebut lokasi pemakaman tersebut sebagai Situs
Pemakaman Gamsungi. Selain situs pemakam tersebut, di seberang sungai juga ditemukan kompleks makam
lainnya dengan jumlah yang lebih banyak dan tersebar di daerah atau di bantaran Sungai Kalak (Ake Ngoali)
yang merupakan percabangan sungai Akejodo. Pada tengah percabangan Sungai Akejodo dan Air Kalak
(Kolano) inilah situs permukiman kampung tua Kao berada. Permukiman dan sebaran makam-makam itu
berada di sepanjang tepian atau bantaran sungai di atas permukaan tanah dengan kontur tanah yang variatif
(Tim Penelitian, 2014; Handoko dkk., 2016; Handoko, 2017).
Kedatangan Islam di Kawasan Laut dan Kepulauan Maluku menimbulkan dampak ekonomi yang
sangat besar terhadap daerah-daerah kepulauan di kawasan ini, termasuk wilayah Halmahera Utara.
Penyebaran Islam erat hubungannya dengan perkembangan perdagangan internasional dalam kurung niaga
Nusantara (Reid, 1988 & 1993). Hal itu terlihat dari perkembangan pos-pos perdagangan di Ternate, Tidore,
Bacan, Jailolo, Loloda, Galela, Tobelo, dan Kao. Posisi Kao berdasarkan hasil penelitian arkeologi terakhir
menempati posisi yang sangat penting bagi perkembangan peradaban Islam, baik dalam hubungannya
dengan kekuasaan Ternate maupun posisi Kao sendiri dalam perkembangan Islam di wilayah Halmahera
Utara. Temuan bukti-bukti arkeologis di Kampung Tua Kao menjelaskan bahwa tanah Kao merupakan salah
satu pusat peradaban Islam di Halmahera Utara dan dari sana kemudian Islam berkembang ke daerah
lainnya di pesisir Utara dan Timur Halmahera.

Penutup

Tugas pokok dan fungsi BPCB Maluku Utara sebagai salah satu BPCB di Indonesia adalah
melaksanakan penyelamatan dan pengamanan, zonasi, pemeliharaan, pengembangan, pemanfaatan,
dokumentasi dan publikasi, pelaksanaan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya dan yang diduga
cagar budaya. Salah satu yang menjadi objek pelaksanaan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) BPCB Maluku
Utara adalah Pelestarian Situs Makam Syekh Al-Mansur yang dikeramatkan oleh warga lokal sebagai
tokoh penyebar Islam di wilayah Pesisir Pantai Barat dan Timur Halmahera dari abad ke-16, khususnya di
daerah Kao, Kabupaten Halmahera Utara. Keberhasilan BPCB Maluku Utara dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya untuk melestarikan Situs Makam Syekh Al-Mansyur, tidak terlepas dari kerjasama
yang baik antara penduduk Kao dan pemerintah setempat baik dari pihak pemerintahan formal maupun
pemerintahan adat.
Dalam sejarah Penyebaran Islam (Islamisasi) di Maluku Utara, selain apa yang telah dilakukan oleh
Kolano Marhum dan Sultan Zainal Abidin Syah beserta Syekh Maulana Husain dari Giri (Gresik), maka
keberadaan Syekh Al-Mansyur, Syekh Yakub, Syakh Umar, dan Syakh Amin perlu pula diketahui, karena
keempatnya adalah ulama-ulama penyebar Islam di wilayah ini yang jarang bahkan tidak pernah diungkap
dalam sejarah lokal Maluku Utara sama sekali. Islamisasi di Maluku Utara tidak terlepas dari kehadiran
empat orang syekh tersebut.
Tanah Kao, sesungguhnya merupakan kampung tertua di Halmahera Utara dan provinsi Maluku
Utara, yang apabila ditelusuri secara lebih dalam kontek sejarah dan arkeologinya, sesungguhnya merupakan
salah satu pusat penyebaran dan peradaban Islam di Maluku Utara yang berada di daratan Halmahera bagian
5
utara timur laut tenggara. Tanah Kao adalah sebuah daerah yang memiliki area pemakaman Islam masa
kuno dari abad ke-16 Masehi. Area pemakaman kampung tua Kao tersebut diisi dengan Pemakaman Syekh
Al-Mansyur beserta isteri, keluarga, dan para pengikutnya.
Syekh Al-Mansyur adalah salah seorang tokoh penyebar Islam di Maluku Utara khususnya di daerah
Kao. Makam Syekh Al-Mansyur yang terletak di Desa Popon, Kecamatan Kao yang dikeramatkan dan
disucikan oleh penduduk Kao. Area pemakaman tersebut merupakan salah satu situs wisata religi dan tentu
saja adalah situs cagar budaya yang dikeramatkan oleh warga masyarakat setempat sampai sekarang. Di
kampung tua Tanah Kao tersebut pada area pemakaman Syekh Al-Mansyur dan sekitarnya terdapat paling
tidak ada lima unit situs yang saling terintegrasi satu sama lain dengan situs Makam Syekh Al-mansyur,
yaitu: (1) Makam Syekh Al-Mansyur; (2) Makam isteri Syekh Al-Mansyur; (3) Sebaran makam-makan
murid dan pengikut Syekh Al-Mansyur; (4) Gua bawah tanah (lofra) semi permanen sebagai tempat
bertafakkur Syekh Al-Mansyur beserta isteri dan para pengikutnya; dan (5) Situs tiang-tiang batu bekas
penyangga fondasi masjid kuno Tanah Kao peninggalan Syekh Al-Mansyur yang terletak di seberang aliran
Sungai Ake Kolano. Secara sosiologis, Situs area pemakaman kuno di Kampung Tua Kao tersebut,
khususnya makam Syekh Al-Mansyur tersebutjuga berfungsi sebagai pemersatu antargolongan/kelompok
penganut agama yang berbeda (Islam dan Kristen), karena baik warga masyarakat Islam maupun Kristen
biasa datang berziarah ke makam tersebut secara bersama-sama dengan penuh sikap saling menghargai
tanpa konflik. Situasi itu menunjukkan bahwa Makam Syek Al-Mansyur adalah makam pemersatu bangsa
khususnya bagi masyarakat di Kao.
Situs Cagar Budaya Kampung Tua Kao beserta Makam Kuno Syekh Al-Mansyur, istri, keluarga, dan
para pengikutnya sabagai bukti-bukti sejarah dan arkeologis penting terkait Penyebaran Islam di Halmahera
Barat dan Utara. Situs tersebut adalah aset sejarah, budaya, dan peradaban bangsa Indonesia di Maluku
Utara. Oleh karena itu perlu terus mendapat perhatian bukan hanya dari pihak BPCB Maluku Utara, tetapi
juga dari masyarakat Maluku Utara pada umumnya dan masyarakat Kao pada khususnya. Upaya-upaya
penelitian dan pemeliharaan terus dibutuhkan dalam pengembangan pelestarian kampung tua Tanah Kao
beserta situs-stus cagar budaya yang ada di dalamnya, demi kepentingan bangsa Indonesia masa kini dan
masa-masa mendatang, sesuai dengan amanat UU RI tentang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 dan
Undang-Undang Pengembangan Kebudayaan pendukungnya.

Demikian ulasan singkat terkait topik pada edisi kali ini. Semoga bermanfaat terutama bagi mahasiswa
Ilmu Sejarah Unkhair semester IV dan menjadi pembelajaran bersama.(*)

Anda mungkin juga menyukai