Anda di halaman 1dari 5

Khalil Nurul Islam - Moderasi Beragama di Tengah

Pluralitas
Bangsa: Tinjauan Revolusi Mental Perspektif Al-Qur’an

disebabkan perbuatan kufur mereka ketika Allah mengutus seorang rasul kepada
mereka, yang selanjutnya mereka dustakan, oleh karena itu, berlakulah ketentuan
Allah terhadap keadaan mereka berkaitan dengan hak-hak mereka atas nikmat
tersebut. Dalam ayat ini, Allah manunjukkan sifat keadilannya bahwa Dia tidak
akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum
(kelompok) melainkan disebabkan perbuatan dosa (kesalahan) dari mereka
sendiri. (Maraghi, 2007: 28)

Adapun sebab turunnya ayat ini bahwasanya Walid bin Mughirah dan Aswad
bin Muttholib dan Umayyah bin Khalaf mereka bertemu Rasulullah dan mereka
semua berkata “wahai Muhammad sembahlah apa yang kami sembah dan kami
akan menyembah apa yang kamu sembah. Seandainya kita sama sama
menemukan kebaikan dalam perkara ini maka kita akan sama-sama
melakukannya”. Maka kemudian Allah menurunkan surat AL-Kafirun. Ayat ini di
turunkan agar tidak mencampur adukkan aqidah Islam dengan aqidah agama lain.
Surat Al-Kafirun ini menegaskan bahwa dalam hal aqidah tidak ada yang
namanya toleransi. Thoifur menambahkan keterangan dalam kitabnya bahwa
tugas nabi hanyalah menyerukan agama Islam sehingga ketika orang kafir
menolak dan tidak mengimani seruan nabi maka tinggalkanlah tanpa harus
mengajak nabi kedalam kekufuran atau kemusrikan (Mutmainnah: 2021).

Menurut Hamka surah ini menjadi pedoman yang tegas bagi umat Islam
bahwa aqidah tidak dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tidak bisa dicampur
adukkan. Jika perkara yang hak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil
akan mendapatkan untung. Allah sekali-kali tidak dapat dikompromikan atau
dicampur adukkan dengan kesyirikan (Mutmainnah: 2021).

Kamus otoritatif, The Random House Dictionary of the English Language,


mengartikan kata Plurality (Pluralitas) dengan state of fact of being plural (fakta
atau keadaan yang sifatnya majemuk). Jadi, ketika kata pluralitas digabungkan
dengan kata agama, menunjukkan pluralitas agama sebagai fakta atau keadaan
agama yang sifatnya majemuk. Hal ini dapat dilihat di Indonesia dengan segala
keanekaragaman dan kemajemukannya termasuk kemajemukan agama.
Kemajemukan agama adalah sesuatu yang wajar terjadi termasuk di Indonesia
dengan melihat kilas balik sejarahnya. Tidak hanya di Indonesia, di Negara lain
pun demikian, bahkan pada zaman Rasulullah juga demikian, dan mereka bisa
47
Kuriositas: Media Komunikasi Sosial dan
Keagamaan
Vol. 13 No.1, Juni 2020: h.38-59
hidup berdampingan secara damai (Islam Khalil N: 2020).

Di Indonesia, pluralitas dan pluralisme terutama yang terkait dengan


agamaseakan ditakdirkan selalu berada dalam posisi problematis. Siapa pun tidak
ada yang menampik terhadap fakta keragaman di Indonesia. Sejarah keragaman
agama diIndonesia telah berlangsung sangat lama. Menurut salah satu teori
sejarah, Islamdatang ke bumi Nusantara pada abad ke-7 M. Artinya, Islam telah
menghiasi negeri ini melewati satu milenium. Tetapi Islam tidak memasuki ruang
hampa. Jauh sebelumdatangnya Islam, masyarakat Nusantara telah terpola ke
dalam pelbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya
pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang diakui
eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu
(Hasbullah: 2010)

Pluralisme sendiri merujuk pada suatu paham yang meyakini bahwa


keberagaman adalah satu-satunya kenyataan yang melingkupi segala sesuatu.
Pandangan ini berusaha untuk tidak mereduksi sesuatu pada prinsip terakhir,
melainkan meletakkannya sebagai kenyataan yang berdiri di tengah keragaman.
Pluralisme sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara positif dan optimis
terhadap keragaman, dengan menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan berbuat
sebaik mungkin berdasarkan kenyatan akan keragaman itu (Ghazali Adeng M:
2016).

Revolusi mental bukanlah produk yang baru, 15 abad lalu, Nabi Muhammad
telah berhasil malakukan gerakkan revolusi mental. Nabi Muhammad dengan
revolusi mentalnya berhasil menegakkan dan mengajarkan sikap toleransi
antarumat beragama, hal tersebut dibuktikan oleh Nabi Muhammad saat
memimpin Madinah. (Ismail, 2016: 141)

Jadi, dalam mewujudkan moderasi beragama di Indonesia dibutuhkan usaha


yang besar jika melihat fakta keragaman yang ada di Indonesia itu sendiri, itu bisa
dilakukan dengan sebuah gerakan revolusi mental dengan pemahaman terhadap
konsep moderasi beragama dan pluaritas agama secara mendalam. Kedua konsep
tersebut harus menggelinding, menyebar, dan mengisi pola pikir, pola rasa, dan
pola keyakinan masyarakat Indonesia secara luas.

Jika dua konsep tersebut hanya mengendap pada satu dua orang saja, atau
dominasinya lemah terhadap masyarakat Indonesia dengan
48
Kuriositas: Media Komunikasi Sosial dan
Keagamaan
Vol. 13 No.1, Juni 2020: h.38-59

terkait, yang selanjutnya akan dimanifestasikan dalam bentuk revolusi mental. Jadi
dibutuhkan pengetahuan mendalam terkait dengan masalah tersebut. Termasuk hal
yang dahulu juga harus diketahui adalah faktor faktor yang menyebabkan
munculnya masalah dalam pluralitas agama

Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara konseptual toleransi beragama


berhubungan erat dengan kajian pluralisme agama. Berkaitan dengan pluralisme ini,
Alwi Shihab mengungkapkan pendapatnya, bahwa :

1. Pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan adanya kemaje-mukan,


tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pada pe-
ngertian yang pertama ini, seseorang dapat dikatakan menyandang sifat “pluralis”
apabila dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.
Dengan kata lain, pluralisme menunutu tiap pemeluk agama untuk mengakui
keberadaan hak agama lain, tetapi ikut terlibat dalam usaha memahami perbedaan
dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan (Ghazali Adeng
M: 2016).

2. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme


menunjuk kepada suatu realitas, yang di dalamnya berbagai ragam agama, ras, dan
bangsa, hidup secara berdampingan di sebuah lokasi. Namun demikian tidak
terjadi interaksi positif antar penduduk lokasi tersebut, khususnya di bidang agama
(Ghazali Adeng M: 2016).

3. Konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis


akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai”
ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau
masyarakatnya. Implikasi dari paham relativisme agama adalah bahwa doktrin
agama apapun harus dinyatakan benar dan semua agama adalah sama. Keempat,
pluralisme agama bukanlah sinkretisme (sinkrerisme: menciptakan suatu agama
baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu dari berbagai ajaran agama yang
ada) (Ghazali Adeng M: 2016).

Bentuk Revolusi Mental dan Solusi dalam Menyikapi Problem Pluralitas


Agama

Solusi yang tepat terkait dengan problem pluralitas agama adalah


pengetahuan tentang pluralitas agama itu sendiri dan hal lainnya yang
52
Khalil Nurul Islam - Moderasi Beragama di Tengah
Pluralitas
Bangsa: Tinjauan Revolusi Mental Perspektif Al-Qur’an
ejbdfcjdbjhcbhfcbvh

53

Anda mungkin juga menyukai