Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM MUNAKAHAT

AKAD NIKAH

Dosen Pembimbing:

Fatimah, M.A

D
I
S
U
S
U
N
Oleh :

Ahmad Faiz Nirwan Siregar 0204183160

Rizky Ananda Eka Syahputra 02041831xx

Nining Pratiwi 0204181011

Tania Madya Sasti 0204183162

Nadhiro 0204183172

JURUSAN MUAMALAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT. Penguasa
alam semesta Tuhan yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, serta Maha Kuasa. Semua
yang terjadi di dunia ini, tidak lain atas izin-Nya Shalawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita, Rasulullah Saw. Beserta para sahabat dan seluruh kerabat
beliau hingga yaumil kiyamah. Limpahan rahmat dan barakah yang senantiasa mengalir
kepada beliau semoga juga dirasakan oleh kita semua sebagai umat beliau.

Dengan segala keagungan-Nya Allah Swt telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah kelompok ini. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas kuliah HUKUM MUNAKAHAT, yang berjudul ”AKAD
NIKAH”

Makalah ini telah disusun berdasarkan sumber-sumber yang ada, namun kami
menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, keritik dan saran
demi perbaikan dan penyempurnaan akan kami terima dengan senang hati. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih

Medan,23 September 2019

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

Cover ......................................................................................................................... i

Kata Pengantar .......................................................................................................... . ii

Daftar isi .......................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1

2.Rumusan Masalah .................................................................................................. 1

BAB 2 PEMBAHASAN

a. Pengertian Nikah ........................................................................................ 1

b. Rukun dan Syarat Pernikahan ........................................................... .......... 4

c. Hukum Melakukan Pernikahan ................................................................... 10

BAB 3 PENUTUP

1. Kesimpulan .................................................................................................

2. Saran ..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................

Iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara
manusia dengan tuhan saja (Ibadah) melainkan juga mengatur hubungan antar manusia
dengan manusia (Muamalah).

Pernikahan adalah suatu ikatan yang dapat menyatukan dua insan antara laki-laki dan
wanita untuk hidup bersama. Tetapi untuk melaksanakan pernikahan, ada rukun dan syarat
yang harus dipenuhi. Karena rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata
tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang
harusdiadakan.

Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh
tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Dalam
hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat
perbedaan, tetapi perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda
dalam melihat fokus perkawinan itu. Tetapi semua ulama sependapat dalam hal-hal yang
terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan salah satunya yaitu akad nikah atau
perkawinan.

Pada kesempatan kali ini kami pemakalah diberikan kepercayaan untuk sedikit
mengulas tentang rukun pernikahan dalam hal ini adalah akad nikah. Kami akan membahas
tentang definisi, lafadz yang boleh digunakan dalam akad nikah dan dalam hal ini para ulama
banyak mengeluarkan pendapat tentang hal tersebut dan hal-hal lain yang terkait dengan akad
nikah.

2. Rumusan Masalah

1. Jelaskan yang dimaksud dengan akad nikah ?

2. Sebutkan Hukum dan Syara’ Pernikahan ?

3. Apakah hukum melakukan Pernikahan?

1
BAB 2

PEMBAHASAN

1. Pengertian akad nikah

Secara etimologi akad (al aqdu) berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan (al ittifaq) 1
dikatakan ikatan karena memiliki maksud menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali
dan mengikatkan tali salah satunya pada ujung yang lain hingga keduanya bersambung dan
menjadi seutas tali yang satu. Sedangkan al ahdu secara etimologis berarti masa, pesan,
penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.

Pengertian akad secara terminologi, yang dalam hal ini dikemukakan oleh ulama fiqih,
ditinjau dari dua segi yaitu:
a. Pengertian umum
Pengertian akad dalam arti umum hampir sama dengan pengertian secara bahasa,
yang dikemukakan oleh ulama syafi’iyah, malikiyah dan hanabilah yaitu segala
sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf,
talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua
orang seperti jual beli, perkawinan, dan gadai
b. Pengertian khusus
Pengertian khusus yang dikemukakan ulama fiqih, yaitu perikatan yang ditetapkan
dengan ijab kabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya

Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang berarti kawin.
dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan
hak serta kewajiban bagi suami isteri.2 Dalam buku fiqih wanita yang dimaksud Nikah atau
perkawinan adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah
menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan.

Sunnatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan manusia saja,
tapi juga didunia binatang. Allah Ta’ala berfirman:
َ‫َو ِمنْ ُك ِّل ش َْي ٍء َخلَ ْقنَا ز َْو َج ْي ِن لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُر ْون‬

1 Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam
Darus Badrul Zaman, et al, eet. 1 ( Bandung: Citra Aditya Bakhti,2001), 247
2 Na’im,Abdul Haris. Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus. Hal 17
2
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebersamaan Allah.”
ِ 0ُ‫ ف‬0‫ َأ ْن‬0‫ن‬0ْ 0‫ ِم‬0‫ َو‬0‫ض‬
0‫ َن‬0‫ و‬0‫ ُم‬0َ‫ ل‬0‫ ْع‬0َ‫ اَل ي‬0‫ ا‬0‫ َّم‬0‫ ِم‬0‫و‬0َ 0‫ ْم‬0‫ ِه‬0‫س‬ 0ُ 0‫ر‬0ْ ‫َأْل‬0‫ ا‬0‫ت‬ 0َ 0‫ ا‬0‫و‬0َ 0‫ز‬0ْ ‫َأْل‬0‫ ا‬0‫ق‬
0ُ 0ِ‫ ب‬0‫ ْن‬0ُ‫ ت‬0‫ ا‬0‫ َّم‬0‫ ِم‬0‫ ا‬0‫ َه‬0َّ‫ ل‬0‫ ُك‬0‫ج‬ َ 0َ‫ ل‬0‫خ‬0َ 0‫ ي‬0‫ ِذ‬0َّ‫ل‬0‫ ا‬0‫ن‬0َ 0‫ ا‬0‫ح‬0َ 0‫ ْب‬0‫س‬
ُ

Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
(Q.S. Yasin: 36)

Para sarjana Ilmu Alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua
pasangan. Misalnya air yang kita minum (terdiri dari oxigen dan hidrogen), listrik, ada positif
dan negatifnya, dan sebagainya. Para sarjana Ilmu Alam itu berpegang dengan ayat-ayat
diatas dan ayat lainnya.
Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki perkembangan dunia berjalan
sekehendaknya.Oleh sebab itu diatur-Nya lah naluri apapun yang ada pada manusia dan
dibuatkan untuknya prinsip-prinsip dan undang-undang, sehingga kemanusiaan manusia tetap
utuh, bahkan semakin baik, suci dan bersih.Demikianlah, bahwa segala sesuatu yang ada
pada jiwa manusia sebenarnya tak pernah terlepasdari didikan Allah.
Menurut pengertian sebagian fukaha, perkawinan ialah aqad yang mengandung
ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau ziwaj atau semakna
keduanya. Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu segi saja ialah kebolehan hukum,
dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi
dibolehkan.
Perkawinan mengandung aspek akibat hukum melangsungkan perkawinan ialah saling
mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi
tolong-menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya
terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT. Perkawinan ialah
suatu aqad atau perikatan untuk menghasilkan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang meliputi rasa
ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.3
Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah dibandingkan
dengan makhluk makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanyan aturan tentang
perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar. Orang tidak boleh
berbuat semaunya. Allah tidak membiarkan manausia berbuat semaunya seperti binatang,

3 Darajdat,Zakiah. Ilmu Fiqih. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.  Hal  37

3
kumpul dengan lawan jenis hanya menurut seleranya, atau seperti tumbuh-tumbuhan yang
kawin dengan perantara angin, sebagaimana firman Allah:
َ 0‫ر‬0ْ ‫ َأ‬0‫َو‬
0َ 0‫ ا‬0َ‫ ي‬0‫ ِّر‬0‫ل‬0‫ ا‬0‫ ا‬0َ‫ ن‬0‫ ْل‬0‫س‬
0‫ ح‬0ِ‫ق‬0‫ ا‬0‫و‬0َ 0َ‫ ل‬0‫ح‬
... dan kami hembuskan angin untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan.( al- Hijr: 22)

Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturanNya, yaitu dengan syariat yang
terdapat dalam Qur’an dan Sunnah RasulNya dengan hukum-hukum perkawinan. Misalnya
mengenai meminang sebagai pendahuluan perkawinan, tentang mahar atau maskawin, yaitu
pemberian seorang suami kepada istrinya sewaktu akad nikah atau sesudahnya.
Jadi, akad nikah adalah perjanjian antara wali dari mempelai wanita dengan mempelai
laki-laki dengan paling sedikit dua orang saksi yang mencukupi syarat menurut syariah
agama. Melalui akad nikah, maka hubungan antara dua insan yang saling bersepakat untuk
berumah tangga diresmikan di hadapan manusia dan Tuhan.

2. Rukun dan Syarat Pernikahan


Rukun pernikahan ada lima, yaitu: Calon Suami, calon Istri, Wali, dua orang saksi dan
ijab qobul.
a. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar‟iuntuk
menikah. Di antara perkara syar‟i yang menghalangi keabsahan
suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram
dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan
penyusuan.Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang
lainnyamisalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan
dinikahinya seorang muslimah
b. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan
 posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku
nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan
engkau dengan Fulan) 
c. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya,
dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij”(“Aku
terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul dipakai
lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an.
Seperti

4
d. Wali, wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau
orangyang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.4

Dalam pernikahan ada syarat-syarat setiap dari rukun pernikahan, yaitu:

 Syarat- syarat calon suami

Seorang calon suami yang akan menikah harus memenuhi syarat:

 Beragama Islam.
 Terang prianya (bukan banci).
 Tidak dipaksa.
 Tidak beristri empat orang.
 Bukan Mahram bakal istri.
 Tidak mempunyai istri dalam yang haram dimadu dengan bakal isteri.
 Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya.
 Tidak sedang dalam ihram atau umrah.
“Yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dantidak
boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim)

 Syarat- syarat calon istri


Seorang calon suami yang akan menikah harus memenuhi syarat:
 Beragama Islam.
 Terang wanitanya (bukan banci).
 Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
 Tidak bersuami dan tidak dalam iddah. Bukan mahram bakal suami.
  Belum pernah dili'an ( sumpah li'an) oleh bakal suami.
 Terang orangnya. 
 Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.

 Syarat-syarat wali
Seorang calon suami yang akan menikah harus memenuhi syarat:
 Beragama Islam.
 Baligh.
 
4 Ibid, hal. 69
5
 Berakal.
 Tidak dipaksa.
 Terang lelakinya.
 Adil ( bukan fasik ).
 Tidak sedang ihram haji atau umrah.
 Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah(mahjur
bissafah).
 Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.

 Syarat-syarat saksi
Syarat menjadi saksi dalam pernikahan adalah:
 Beragama Islam.
 Laki-laki.
 Baligh.
 Berakal.
 Adil.
 Mendengar {tidak tuli}.
 Melihat (tidak buta).
 Bisa bercakap-cakap (tidak bisu).
 Tidak pelupa ( mughhaffal)
 Menjaga harga diri ( menjaga muru'ah).
 Mengerti maksud ijab dan qobul.
 Tidak merangkap menjadi wali

 Syarat-syarat Ijab Qabul


Hendaknya menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad,
penerima akad dan saksi. Shigat hendaknya mempergunakan ucapan yang menunjukan waktu
lampau, atau salah seorang mempergunakan kalimat yang menunjukkanwaktu yang akan
datang.
Mempelai laki-laki dapat meminta kepada wali pengantin perempuan: “ kawinkanlah
saya dengan anak perempuan bapak”. Kemudian wali menjawab: saya kawinkan dia( anak
perempuannya) dengan mu”. Permintaan dan jawaban itu sudah sudah membuahkan
perkawinan.
6
Shigat itu hendaknya terikat dengan batasan tertentu, supaya akad itu dapat berlaku,
misalnya dengan ucapan: “ saya nikahkan engkau dengan anak perempuan saya”. Kemudian
pihak laki-laki menjawab: “ ya saya terima”. Akad ini berlaku sempurna

Akad ada yang bergantung kepada syarat atau waktu tertentu atau untuk waktu
tertentu, akad semacam ini tidak sah. Penje;asannya sebagai berikut:
1. Shigat yang terikat dengan syarat tertentu
Shighat yang isinya digantungkan kepada sesuatu atau kelausul tertentu, misalnya pihak
laki-laki berkata:”kalau saya sudh lulus sekolah saya nikahi anak perempuan bapak”.
Kemudian pihak wali menjawab:” baik, saya terima”. Perkawinan dengana sighat ( ucapan)
semacam itu tidak berlaku, karena sighat ini bergantung pada syarat yang mungkin terjadi
dan mungkin pula tidak. Lain halnya apabila digantungkan dengan syarat yang pasti akan
terjadi, perkawinannya dapat berlaku. Misalnya bila sipeminang berkata kepada wali
siperempuan:” kalau anak perempuan bapak sudah berusian 20 tahun saya kawini”, kemudian
walinya menjawab: “ ya, saya terima”. Akad ini akan berlaku apabila sianak perempuan
sudah berusia 20 tahun. Demikan pula apabila si perempuan berkata kepada laki-laki yang
meminangnya: “ bila ayah saya ridha, maka saya menikah dengan mu”. Kemudian laki-laki
itu menjawab: “ ya, saya terima”, dan pada saat itu serta ditempat itu pula ayahnya
menyahuy: “ ya, saya ridha”. Maka akad nikahnya berlaku.

2. Sighat yang disabdarkan kepada waktu yang akan datang


Apabila seorang peming berkata kepada wali siperempuan: “ kawinkanlah saya dengan
anak perempuan bapak besok pagi, atau bulan depan”. Kemudia walinya menjawab: “ ya,
saya terima”. Shighat ini tidak menyebabkan perkawinan berlangsung, baik untuk waktu itu
maupun waktu yang ditentukan dalam shighat, sebab menyandarkan akad dengan waktu yang
akan datang brtentangan deangan akad perkawinan itu sendiri, karena akad mempunyai
akibat hukum: suami dapat bersenang- senang dengan istri sejak adanya akad.

3. Shighat dengan pembatasan waktu tertentu


Apabila perkawinan dilakukan hanya untuk beberapa waktu, misalnya sebulan atau lebih,
perkawinannya tidak sah, karena tujuan perkawinan adalah untuk membina rumah tangga
yang kelal, untuk mendapatkan keturunan, mendidik anak. Karena itu, islam mengharamkan
nikah ,mut’ah, dan nikah tahlil.5

5 H.S.A Al hamdani, risalah nikah, jakarta: pustaka amani. Hal.72


7
 Bahasa akad nikah
Para ulama berbeda pendapat mengenai bahasa yang harus dipergunakan untuk
mengucapkan kalimat( shighat) akad nikah. Sebagian mensyaratkan harus dengan kata-kata
tazjwiz, atau nikah, yang artinya nikah atau menikah, tidak boleh dengan lafalz lain dan harus
dengan bahasa arab.
Sebagian lainnya tidak mensyaratkan demikan, bahkan ada yang memperbolehkan dengan
bahasa apa saja, selain bahasa arab, asalkan mengandung makna nikah. Akad nikahnya sah
dan dapat berlaku tanpa halangan.
 Akad bersyarat
Akad nikah yang dikaiykan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan
tujuan akad, adapula yang berlawanan dengan tujuan akad. Ada syarat yang manfaatnya
kembali kepada pihak perempuan, adapula syarat yang dilarang syra’. Masing-masing syarat
itu mempunyai hukum tersendiri. Jelasnya adalah sebagai berikut:
1. Syarat yang wajib dipenuhi
Syarat yang wajib dipenuhi yaitu, syarat-syarat sesuai dengan maksud akad,
yang tidak mengubah hukum Allah dan RasulNya, misalnya syarat akan mempergauli
istri dengan baik, akan memberi nafkah, pakaian, menyediakan tempat tinggal, tidak
akan mengurangi hak perempuan, adil terhadap istri-istri bilah suami mempunyai istri
lebih dari seorang, istri tidak akan keluar rumah tanpa izin suami, tidak akan menerim
tamu kecuali dengan izin suami, tidak mempergunakan kekayaan suaminya keuali
dengan izin suaminya, dan syarat lain yang sifatnya tidak mengubah hukum Allah.
2. Syarat yang tidak wajib dipenuhi
Syarat yang tidak ajib dipenuhi yaitu syarat yang berlawanan dengan tujuan
akad, misalnya suami tidak akan memberikan nafkah kepada istri, tidak memberi mas
kawin, atau istri yang harus memberi nafkah kepada suami, atau istri hanya dipergauli
pada siang hari, tidak pada malam hari, atau syarat lain yang berlawnan dengan tujuan
akad.
3. syarat yang bermanfaat bagi istri
Syarat yang manfaatnta kembali kepada istri, mislanya istri tidak akan diusur
darituamah atau kampungnya, tidak berpergian bersama istri, tidak akan nikah lagi
dan sebagainya. Tentang kewajiban memenuhi syarat ini para ulama berbeda
pendapatSebagian ulama berpendapat bahwa perkawinannya sah tetapi syarat itu sia-
sia. Tidak mengikat, suami tidk wajib memenuhi janjinya

8
4. Syarat yang dilarang oleh agama

Diantara syarat yang dilarang agama yaitu syarat yang diajukan oleh seorang perempuan
agar istri tua suaminya diceraikan

 Syarat-syarat subjek Akad


Supaya akad dapat berlaku harus memenuhi syarat:
1. Masing-masing pihak mengadakan akad. Sewaktu akad haruslah orang yang
mempunyai kecakapan penuh, yaitu waras akalnya, baligh. Apabila salah satu pihak
kecakapan (ahliyah) nya kurang, misalnya orangnya dungu, atau masih kanak-kanak
atau belum mummayyiz, akadnya sah tetapi masa berlakunya ditangguhkan
menunggu izin wali pengampu( kurator). Apabila wali pengampu mengizinkan, maka
akadnya dapat dilaksanakan, dan kalau tidak mengizinkan akadnya batal.
2. Masing-masing pihak yang mengadakan akad hendaknya orang yang berhak
melaksanakan akad. Seandainya ada pihak yang mengakadkan tanpa mempunyai
kecakapan berbuat secara hukum kemudian mengakadkan tanpa wakalah dan tanpa
wilayah, atau dia berbagai wakil tetapi tidak melaksanakan seperti yang
diwakalahkan, atau dia sebagai wali tetapi ada wali lain yang lebih berhak menjadi
wali, makanya akadnya sah tetapi berlakunya ditangguhkan sampai yang berhak
menikahkan itu memberi izin. Apabila dizinkan maka akadnya berlaku dan apabila
tidak diizinkan akadnya batal.

 Syarat-syarat sahnya akad


Dasar adanya perkawinan adalah apabila akad itu telah memenuhi rukunnya, syarat
sahnya, serta syarat berlakunya. Akad demikan dapat berlaku dan mengikat, suami istri atau
yang lainnya tidak dapat merusakkan akad atau menfassahkannya. Akad itu tidak akan
berakhir kecuali bila terjadi perceraian atau salah satu pihak meninggal. Karena maksud
disyariatkan perkawinan adalah sebagai ikatan kekeluargaan yang abadi untuk mendidik
anak, melaksanakan kehidupan rumah tangga, semuanya itu tidak terwujud tanpa
melaksanakan akad itu.
Inilah yang dimaksudkan bahwa syarat berlangsungnya perkawinan terhimpun dalam
satu syarat: yaitu bahwa tidak seorangpun, suami atau istri berhak merusakkan akadnya
setelah akadnya berlangsung dan berlaku secara sah, karena salah satu pihak berhak
membatalkannya berarti akadnya tidak berlaku dan sia-sia menurut pandangan syara’.

9
3. Hukum Pernikahan
Hukum pernikahan itu asalnya mubah, tetapi dapat berubah menurut Ahkamul
Khamsah( hukum yang lima), menurut perubahaan keadaan:
a. Nikah Wajib
Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu, yang akan menambah takwa dan bila
dikhawatirkan akan berbuat zina. Karena menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari
perbuatan haram adalah wajib. Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali
nikah.
b. Nikah Haram
Nikah diharamkan bagi orang yang sadar bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan
hidup berumahtangga, melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah,
pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.
c. Nikah Sunnah
Nikah disunnahkan bagi orang yang sudah mampu, tetapi ia masih sanggup
mengendalikan dirinya dari perbuatan haram. Dalam hal seperti ini maka nikah lebih
baik darp pada membujang, karena membujang tidak diajarkan oleh islam
d. Nikah Mubah
Yaitu bagi orang yang tidak ada halangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah
belum membahayakan dirinya. Ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak
nikah.6

6 H.S.A Al hamdani, risalah nikah, jakarta: pustaka amani. Hal 7-8


10
BAB 3

PENUTUP

1. Kesimpulan

Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang berarti kawin.
dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan
hak serta kewajiban bagi suami isteri. Dalam buku fiqih wanita yang dimaksud Nikah atau
perkawinan adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah
menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan.
Pernikahan adalah suatu ikatan yang dapat menyatukan dua insan antara laki-laki dan
wanita untuk hidup bersama. Tetapi untuk melaksanakan pernikahan, ada rukun dan syarat
yang harus dipenuhi. Karena rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata
tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang
harusdiadakan.

Rukun pernikahan ada lima, yaitu: Calon Suami, calon Istri, Wali, dua orang saksi dan
ijab qobul. Dan disetiap rukunnya ada syarat-syaratnya.

2. Saran

Pernikahan ternyata tidak semudah yang dipikirkan, namun apabila dipelajari banyak


sekali hikmah yang bisa di dapat. Oleh karena itu, bagi para mahasiswa belajar lebih
mendalam lagi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, agar kita semua bisa
melaksanakan sunnah rosul ini dengan baik dan sah baik menurut syara, juga resmi menurut
Negara.

Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua
umumnya kami pribadi.. Dan kami sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna,
masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harapkan saran dan kritik nya yang
bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya. 

11
DAFTAR PUSTAKA

Djamil Faturrahman, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan


oleh Mariam Darus Badrul Zaman, et al, eet. 1 ( Bandung: Citra Aditya Bakhti,2001), 247

Abdul Haris Na’im,. Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus. Hal 17

Darajdat Zakiah,. Ilmu Fiqih. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.  Hal  37 H.S.A Al


hamdani, risalah nikah, jakarta: pustaka amani. Hal.72

12

Anda mungkin juga menyukai