Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS PERKARA LIMITASI FIKTIF POSITIF DALAM UNDANG-

UNDANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN SERTA PERUBAHANYA PADA


UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

SEFIAN DWI SUKMA WARDANA

Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Email : Sefiandwi200@gmail.com

ABSTRAK

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia lambat taun seiring berganti dan berubah


sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, hukum administrasi
Indonesia mengenal jenis keputusan fiktif negatif, namun kemudian berubah menjadi
keputusan fiktif positif yang diperkenalkan oleh UU AP. Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan (UUAP) telah mengadopsi konsep Lex Silencio Positivo. Ini adalah
mekanisme hukum yang mewajibkan Otoritas Administratif untuk menanggapi
keputusan/tindakan yang diajukan oleh dalam jangka waktu tertentu, atau untuk
mengadopsinya jika persyaratan ini tidak berlaku. Kegagalan untuk memenuhi Otoritas
Administratif yang berwenang untuk mengajukan permohonan penerbitan
Keputusan/Tindakan. Sebagai konsep hukum baru, Peraturan Lex Silentio Positivo yang
lebih dikenal dalam khasanah Hukum Tata Negara Indonesia sebagai afirmatif konseptual
keputusan/tindakan (Conceptual Consent or Implicit Approval), diganti dengan UU
sebelumnya, yaitu harus direkonsiliasi dengan gagasan keputusan konseptual negatif.
Dokumen ini dimaksudkan untuk membahas beberapa isu utama mengenai konsep positif
fiktif dalam hukum administrasi Indonesia.
I. PENDAHULUAN

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan


bahwa tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia antara lain untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat berkomitmen
untuk memenuhi kebutuhan semua warga negara melalui sistem pemerintahan yang
membantu negara menciptakan pelayanan publik yang baik untuk memenuhi
kebutuhan dasar semua warga negara dan hak-hak sipil untuk barang publik.
Pelayanan Publik dan Pemerintah (UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik).Pasal 1(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan mahakarya dari tiga amandemen konstitusi yang berdimensi universal dan
khusus. Pasal tersebut dengan jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Konsep negara hukum yang terkandung dalam konstitusi bersifat netral dan
membuka kemungkinan untuk menawarkan interpretasi baru berdasarkan paradigma
dan realitas nasional Indonesia.1Manuel Kant dan Friedrich Julius Stahl secara formal
mencantumkan empat syarat negara hukum yang merupakan konsekuensi logis dari
deklarasi negara hukum dalam kehidupan berbangsa. 1) Pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia. 2) Negara didasarkan pada teori politik tripartit. 3) Pemerintah
mematuhi hukum. 4) memiliki pengadilan tata usaha negara dengan kekuasaan untuk
mengadili kasus-kasus pelanggaran pemerintah.2Wilayah administrasi negara
merupakan bagian integral dari karakter negara hukum. Sifat ini mengandaikan
adanya instrumen hukum yang mengatur kegiatan pemerintah dalam kaitannya
dengan statusnya sebagai kekuasaan eksekutif. Sebagaimana ditegaskan dalam uraian
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan

1 Moh. Bagus dan Helga Nurmila Sari, “Urgensi Keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah Yang
Bebas Dari Anggota Partai Politik”, Al-‘Adl, Vol. 12, No. 2 (2019).

2
Moh. Bagus dan Siti Partiah, “Relevansi Hak Asasi Manusia Dengan Teori Ahliyyah”, Al-Qanun:
Jurnal Pemikiran Dan Pembaharuan Hukum Islam, Vol. 23, No. 1, 2020, 106-24.
https://doi.org/10.15642/alqanun.2020.23.1.106-124
bahwa konsep negara hukum Indonesia adalah negara hukum, bidang ketatanegaraan
juga telah dilibatkan dalam upaya pembangunan untuk menjamin kepatuhan.

Guna mempermudah pertumbuhan ekonomi global dan memudahkan membuat


usaha melalui hubungan timbal balik di Kawasan Uni Eropa, Parlemen Uni Eropa
mengeluarkan regulasi yaitu direktif No. 123 Tahun 2006 (Directive 2006/123/EC)
yang pada pokoknya direktif tersebut mengarahkan agar setiap negara anggota
mengambil sejumlah langkah berikut yang diantaranya salah satunya untuk
memudahkan perizinan berusaha.3 Karena masalah fasilitasi lisensi merupakan salah
satu faktor kunci dalam memastikan kelancaran arus perdagangan dan kerja sama
ekonomi, setiap Negara Anggota harus mendorong pelaku bisnis untuk menggunakan
layanan administrasi di Negara Anggota UE lainnya. Ada kebutuhan khusus untuk
menghapus penghalang jalan. Persyaratan otorisasi di area resmi. Komisi Eropa
mengevaluasi 'persetujuan implisit' positif atau instrumen konseptual yang
kompatibel dengan inisiatif yang ada untuk merampingkan prosedur persetujuan dan
memfasilitasi pergerakan bebas layanan bisnis antara negara.

Hal ini dianggap sebagai jaminan paling penting untuk meningkatkan


kepercayaan penerima layanan (konsumen dan bisnis). di pasar tunggal Eropa.
Mengharuskan setiap Negara Anggota untuk mengadopsi prinsip "persetujuan diam-
diam" (lex Silentio/silencio positivo), seperti yang ditunjukkan dalam peningkatan
Pasal 13 ayat (4) arahan ini mengnai prosedur izin. Penerapan prinsip-prinsip fiktif
positif oleh anggota dalam berbagai kebijakan legislatif negara memfasilitasi proses
memperoleh izin dan pada akhirnya dengan mengeluarkan keputusan/tindakan lain
yang diajukan oleh warga kepada lembaga eksekutif, membuahkan hasil positif.
Sebagaimana dicontohkan sebuah kasus para pemilik rental mobil yang diberi
kemudahan dalam perizinan setelah adanya penerapan keputusan fiktif positif ini
karena seandainya pihak yang berwenang tidak merespon permohonan izin usaha

3
N. G. de Graaf, K. J., & Hoogstra, “Silence Is Golden? Tacit Authorizations in the Netherlands, Germany
and France,” Review of European Administrative Law 6, no. 2 (2013): 7.
mereka dalam jangka waktu tertentu, bisnis penyewaan mobilnya tetap dapat
dijalankan, meskipun izin belum dikeluarkan oleh pejabat terkait.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014 (UU AP)


merupakan instrumen legislatif untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan.
Pengesahan UU AP pada 17 Oktober 2014 dipandang sebagai langkah progresif
dalam reformasi administrasi Pemerintahan . Hal ini antara lain karena undang-
undang AP semakin menekankan tanggung jawab negara bagian dan pemerintah
untuk memastikan terselenggaranya pelayanan publik berorientasi pemerintah yang
cepat, nyaman, dan murah. UU AP diposisikan sebagai salah satu pilar reformasi
birokrasi dan good governance.4 Di Indonesia Penerapan keputusan positif diatur
dalam Pasal 53 ayat (3) UU AP dan Pasal 175 poin 6 UU Cipta Kerja yang
menyatakan jika otoritas administratif tidak merespon sampai batas waktu
sebagaimana waktu yang ditentukan, permohonan izin yang diajukan oleh para pelaku
usaha sebagai prasyarat memulai kegiatan bisnis, perizinan dengan sendirinya
dianggap telah dikabulkan.

Salah satu materi pokok yang dibahas dalam UU Administrasi Pemerintahan


adalah paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan , normalisasi asas atau konsep
fiktif positif. Istilah Lex Silencio Positivo adalah campuran dari bahasa Latin (lex) dan
Spanyol (Silencio Positivo) dan dianggap setara dalam istilah hukum Inggri dengan
istilah fictious approval atau tacit authorization.5 Secara sederhana, asas atau konsep
Lex Silencio Positivo adalah norma hukum yang mensyaratkan otoritas pemerintah
untuk menanggapi suatu keputusan/tindakan atau permintaan pengajuan keputusan
yang dikirim dalam batas waktu yang ditentukan. Jika persyaratan ini tidak dipenuhi,
otoritas administratif secara otomatis dianggap telah mengabulkan permohonan

4 M. Guntur Hamzah, makalah disampaikan pada seminar sehari dalam rangka HUT Peradilan Tata Usaha
Negara ke-26 dengan tema: Paradigma Baru Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan, kaitannya dengan Perkembangan Hukum Acara Peratun, yang diselenggarakan
di Hotel Mercure, Jakarta, 26 Januari 2016, hal 1-2.
5
Oswald Jansen, Comparative Inventory of Silencio Positivo (Utrecht School of Law, 2008). p.4. dalam :
Enrico Simanjuntak, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 3, November 2017 : hal 381
penerbitan keputusan/tindakan. Oswald Jansen, mensejajarkan fiktif positif dengan
istilah lex (bahasa latin) dan silencio positivo (Spanyol), silent consent, fictious
approval atau tacit authorization (Inggris). Sedangkan Mark Aronson, mendefinisikan
administration inaction (dalam tradisi common law), sementara Eralda Mathasani Cani
mendefinisikan sikap diam yang dimaknai sebagai suatu persetujuan indentik dengan
maksim hukum di Zaman Romawi quitacet consentire videtur(silence implies consent). 6

Penerapan prinsip “persetujuan diam-diam” atau fiktif positif telah terbukti sangat
bermanfaat bagi hubungan pemerintah-masyarakat. Perlu dicatat bahwa ketika prinsip
ini baru saja diadopsi oleh Negara-negara Anggota Uni Eropa, sejumlah kekuatan dan
kelemahan umum menjadi jelas mengenai implikasi hukum dari penerapannya. antara
warga dan administrasi. Seperti adanya pertentangan dengan konsep fiktif negative
dalam UU PTUN dan berdampak buruk pada penurunan kualitas pemeriksaan
syaratsyarat dari suatu permohonan yang diajukan, karena pemerintah akan tergesa-
gesa membuat keputusan dengan dikejar deadline. Jadi, dalam kasus fiktif positif,
kekuasaan Mahkamah begitu besar sehingga telah ditunjuk oleh Kongres untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan ini (penyalahgunaan fungsi). Idealnya, hakim
akan mendapatkan sertifikat pelatihan Mahkamah Agung (MA) dalam fiktif kasus
fiktif. Selanjutnya, penerapan doktrin konseptual positif dalam UUAP tidak disertai
dengan amandemen terhadap Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
(Peratun) dan masih memenuhi doktrin konseptual negatif. Dengan demikian, ada
semacam polarisasi pandangan di antara para hakim PTUN, dan polarisasi ini tidak
diakui oleh beberapa lembaga berkonsep positif dan beberapa berkonsep positif.

II. METODE PENELITIAN

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis
normatif. Menurut Abdulkadir Muhammad” penelitian dengan pendekatan yuridis
normatif ini menggunakan studi kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum,

6 Enrico Simanjuntak,Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Transformasi dan Refleksi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2018, hlm. 145.
misalnya mengkaji rancangan undang-undang.7 Metode penelitian tertulis adalah
pendekatan preskriptif berdasarkan tinjauan pustaka atau data sekunder.8 Data sekunder
untuk studi ini meliputi:

1. Bahan Hukum Utama adalah bahan resmi yang mengikat yang berasal dari
kewenangan tertentu, dan adalah berbagai peraturan perundang-undangan (baik
peraturan perundang-undangan).
2. Dokumen Hukum Sekunder dokumen yang memberikan gambaran tentang
dokumen hukum primer, seperti hasil penelitian.
3. Bahan hukum tersier adalah sumber yang berisi panduan dan catatan penjelasan
tentang bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus dan ensiklopedi.

Tata cara pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan pengumpulan sumber primer,
sekunder, dan tersier. bahan diteliti secara sistematis dan menjawab topik sinkron
dengan topik dan teori.

III. PEMBAHASAN
1. Konsep Fiktif Positif

Perbedaan mendasar antara UU Peradilan Tata Usaha Negara dan UU Tata Usaha
Negara terletak pada ketentuan yang berkaitan dengan putusan palsu negatif dan putusan
palsu positif. Pasal 3 UU Peradilan Tata Usaha Negara mengatur tentang penetapan
negatif fiktif. Dengan kata lain, jika lembaga atau penyelenggara negara tidak
mengeluarkan keputusan yang diminta setelah batas waktu berakhir, lembaga
penyelenggara negara atau penyelenggara negara telah menolaknya. membuat sebuah
keputusan.9

7 Suteki, Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori dan Praktik, (Depok: Rajawali
Pers, 2018), halaman 174.
8
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta:
Prenada Media Grup, 2017), hlm. 144-145.
9 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni :
Bandung, 1989, hal. 3-4. Lihat Donna O. Setiabudhi, Makalah, Keputusan Fiktif Negatif Sebagai Dasar
Perubahan kunci paradigma pengelolaan UUAP tahun 2014 adalah penerapan
doktrin “positif fiktif”. Sikap fiktif atau tersirat dari penyelenggara negara atau pejabat
terkait dengan keputusan TUN non-spesifik. Ini dapat dihitung sebagai menolak atau
mengabulkan permintaan. Apabila Putusan TUN non materiil dianggap memuat
penolakan terhadap permohonan yang diajukan, maka disebut “penolakan fiktif” .
Ketentuan tentang penetapan konsepsi negatif terdapat dalam ketentuan Pasal 3 UU
PERATUN, sedangkan ketentuan tentang penetapan konsep positif terdapat dalam Pasal
53 UUAP.10

Pada dasarnya pengaturan ketatanegaraan mengembangkan prinsip-prinsip dasar,


gagasan, sikap, perilaku, budaya, dan pola perilaku penyelenggaraan pemerintahan yang
demokratis, faktual, dan profesional dalam kerangka yang menciptakan keadilan dan
kepastian hukum. Undang-undang ini secara keseluruhan merupakan upaya untuk menata
kembali keputusan dan/atau tindakan instansi dan/atau pejabat pemerintah berdasarkan
ketentuan Undang-Undang dan Peraturan dan AUPB. Karena Undang-Undang tersebut
dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum penyelenggaraan pemerintahan, tetapi
juga sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat,
maka keberadaan Undang-Undang ini merupakan pengalaman nyata dan nyata bagi
instansi dan pejabat pemerintah. mewujudkan pemerintahan yang baik pusat dan daerah.

Hukum Administrasi Nasional menetapkan prinsip-prinsip umum pemerintahan


yang baik tentang kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, ketepatan,
penolakan penyalahgunaan, keterbukaan dan kebaikan bersama. dan pelayanan yang
baik. Selain itu, Bagian 10 Klarifikasi menjelaskan prinsip-prinsip AUPB.11 a) Asas
kepastian hukum adalah asas supremasi hukum yang mengutamakan dasar ketentuan
hukum, keutuhan, stabilitas, dan keadilan dalam segala kebijakan penyelenggaraan
negara. b) Prinsip Laba adalah keuntungan yang harus seimbang antara: (2) kepentingan

Pengajuan Gugatan Dalam Sengketa Tata Usaha Negara Yang Berkaitan Dengan Pelayanan Dalam Bidang
Pertanahan, Universitas Sam Ratulangi Fakultas Hukum, Manado, 2014, hal. 5
10 Yasin, Muhammad dkk. (2017). Anotasi Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan. Jakarta: UI-CSGAR
11 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
pribadi masyarakat; (3) Manfaat Warga Negara dan Orang Asing. (4) kepentingan
kelompok masyarakat yang satu versus kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5)
Pemerintah diuntungkan oleh warga masyarakat. (6) kepentingan generasi sekarang dan
kepentingan generasi mendatang; (7) Manfaat bagi manusia dan ekosistemnya. (8)
Manfaat pria dan wanita. c) Asas ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan
instansi pemerintah dan/atau pejabat pemerintah untuk mengambil keputusan dan/atau
mengambil keputusan dan/atau mengambil keputusan atau tindakan yang
mempertimbangkan kepentingan semua pihak dan tidak diskriminatif. d) Asas kebenaran
berarti bahwa keputusan dan/atau tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen
yang lengkap untuk menunjukkan sahnya keputusan dan/atau pelaksanaan keputusan
dan/atau tindakan tersebut. Keputusan dan/atau tindakan dipersiapkan dengan cermat
sebelum keputusan dan/atau tindakan diambil dan/atau dilaksanakan. e) Asas tidak
menyalahgunakan kekuasaan berarti bahwa penguasa dan/atau pejabat pemerintah tidak
boleh menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi atau lainnya dan
bertentangan dengan tujuan pemberian kekuasaan tersebut, merupakan asas yang
mengamanatkan untuk tidak digunakan. Jangan menyalahgunakan otoritas Anda atau
membingungkan mereka. f) Asas keterbukaan adalah asas pelayanan publik dengan akses
informasi yang akurat, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dengan tetap menghormati perlindungan hak kerahasiaan individu,
kolektif, dan nasional. g) Asas Kepentingan Umum adalah Asas yang mengutamakan
kesejahteraan dan kepentingan umum secara ambisius, luwes, selektif, dan tidak
diskriminatif. h) Asas pelayanan yang baik adalah asas pemberian pelayanan secara tepat
waktu dan memberikan prosedur dan biaya yang jelas sesuai dengan standar pelayanan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan. i) Asas-asas umum lainnya selain AUPB
adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang dihasilkan dari
putusan Pengadilan Negeri yang tidak naik banding atau putusan Pengadilan Tinggi atau
Putusan Mahkamah Agung yang tidak diajukan banding.

2. Penegasan Status Fiktif Negatif Menjadi Fiktif Positif

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dimaksudkan sebagai salah satu


landasan hukum bagi instansi pemerintah dan/atau pejabat publik, masyarakat, dan pihak
lain yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pemerintahan. Bisa terjadi gesekan antara keadilan dan kepastian
hukum.12 Kepastian hukum yang menuntut persamaan di depan hukum pada akhirnya
menuntut hukum yang lebih statis, bahkan mempertaruhkan hak asasi kita sebagai
manusia bebas. UU AP sudah menggeser paradigma lama penyelenggaraan pemerintahan
ke paradigma baru. Paradigma ini, seiring dengan arah paradigma pelayanan publik
dalam pengelolaan administrasi pemerintahan, telah berkembang terutama di era
keterbukaan. Tidak diragukan lagi ini karena pekerjaan pemerintah menjadi semakin
kompleks dalam hal jenis pekerjaan, jenis tugas, dan orang yang melakukannya.
Sehubungan dengan itu, perlu ditetapkan standar pelayanan minimal dalam
penyelenggaraan sehari-hari penyelenggaraan pemerintahan nasional. Termasuk di
dalamnya perlunya memberikan perlindungan hukum kepadaorang sebagai pengguna
urusan tata usaha negara. Setelah berlakunya UU No. 30 Tahun 2014, kekuasaan mutlak
PTUN diperluas. Pernyataan ini bersumber dari pendapat Enrico Simanjuntak yang
mengatakan, “Hukum Tata Usaha Negara mengatur tentang perluasan kekuasaan
Peradilan Tata Usaha Negara.” 13
Memperluas kekuasaan PTUN secara hukum yang
diatur dalam Hukum Tata Usaha Negara.”M. Kusnardi dan Harmaiy Ibrahim
mendefinisikan konstitusi sebagai seperangkat ketentuan hukum yang mengatur
hubungan vertikal dan horizontal antara badan-badan negara, aparatur negara, dan
kewarganegaraan.14Gustav Radbruch pertama kali mengatakan bahwa tujuan kepastian
hukum di atas , di antara tujuan lainnya. Namun, setelah Perang Dunia II, Gustav akhirnya
merevisi teorinya dengan mengutamakan tujuan keadilan di atas tujuan lainnya.15

12 Renius Albert Marvin dan Anna Erliyana, “Polemik Jangka Waktu Pengajuan Gugatan Ke Pengadilan
Tata Usaha Negara,” Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 4 (2019), hlm. 953.
13
Enrico Simanjuntak, “Beberapa Anotasi Terhadap Pergeseran Kompetensi Absolut Peradilan Umum
Kepada Peradilan Administrasi Pasca Pengesahan UU No. 30 Tahun 2014”, Bunga Rampai Peradilan
Administrasi Kontemporer, Genta Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 59.
14
M. Kusnadi-Harmaily, Hukum Tata Negara, cet. 7, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan
CV Sinar Bakti, 1988), hlm. 25.
15
Irvam Mawardi, Paradigma Baru PTUN Respon Peradilan Administrasi Terhadap Demokrasi,
(Yogyakarta: Thafa Media, 2016), hlm. 29.
Hukum administrasi Prancis mengubah sistem keputusan fiktif negatif menjadi
keputusan konseptual positif, sehingga sistem hukum Prancis untuk keputusan fiktif
positif sebelumnya berlaku di Spanyol. Hal ini karena hukum administrasi Prancis
membuat keputusan konseptual positif hanya sampai batas tertentu sebelum Sistem
Perancis mengadopsi apa yang sebelumnya diterapkan di Spanyol, artinya diterapkan.
Perancis telah mengajukan hal-hal tentang permohonan izin mendirikan bangunan
(building permit) dan di bidang hukum perencanaan daerah, hukum perburuhan dan
hukum perencanaan kota.

Di sisi lain, Belanda masih mengikuti sistem Prancis sebelumnya dan terus
menerapkan keputusan niet tijdige beslissing (keputusan di luar jam) sebagai aturan
umum, dan keputusan fiktif positif (positieve fictieve beschikking) adalah Peraturan
Perundang-undangan. Dengan kata lain, model Belanda menerapkan keputusan fiktif
afirmatif sepanjang aturan dasar kasusnya demikian.Hukum Administrasi Umum) tidak
memuat ketentuan umum tentang Lex Silentio Positivo, tetapi dimaksudkan untuk
mengacu pada sistematika Bab 4.1. 3.3 Awb. Penggunaan Lex Silentio Positif hanya
diperbolehkan jika lebih rinci diatur dalam peraturan yang relevan oleh . Ketentuan
hukum Belanda yang memungkinkan penerapan keputusan konseptual positif adalah
Pasal 28 UU Pelayanan Publik Belanda (Dienstenwet).

Perbandingan singkat di atas menunjukkan bahwa penerapan konsep fiktif positif


telah mengakibatkan negara-negara secara bertahap dan radikal menggeser perilaku fiktif
negatif menuju perilaku fiktif positif. Keamanan dan kesehatan seperti itu harus
diterapkan juga dalam sistem hukum administrasi Indonesia. Sebab, dalam UUAP, diam
pejabat administrasi (secara konseptual) disamakan dengan persetujuan, yaitu hukum
administrasi yang menganut prinsip bahwa diam lembaga/birokrasi TUN disamakan
dengan penolakan. Dalam konsepsi fiktif positif, bahkan jika pejabat pemerintah
menindaklanjuti permohonan , ketika responden menindaklanjuti permohonan ,
permohonan dikeluarkan setelah batas waktu yang ditentukan.memiliki arti yang lebih
luas dari karena ternyata Dalam hal ini permohonan pemohon dapat dianggap telah
diselesaikan oleh termohon.
Karena perbedaan-perbedaan di atas, hukum administrasi negara Indonesia tidak
hanya terbatas pada keputusan/tindakan fiktif positif (UUAP), tetapi juga berlakunya
keputusan fiktif negatif (UU Peratun), atau dengan kata lain, validitas keputusan fiktif
tersebut. Apakah itu juga sesuai dengan dua prinsip? atau Jika kedua tindakan itu
ditegakkan memberikan upaya penegakan hukum administratif yang bertentangan ketika
keduanya dilakukan secara paralel. Efektivitas intervensi kini telah berkembang dalam
dua cara, UUAP mengakui permohonan palsu positif, tetapi belum tentu tuntutan palsu
negatif tidak dapat diajukan kembali dalam proses biasa di pengadilan tata usaha negara
setempat, karena UUAP dan hukum tata usaha negara adalah lembaga yang berbeda.
Yang pertama dalam sistem hukum substantif, yang kedua dalam sistem hukum formal.
Pandangan ini sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Hal ini karena beberapa materi UUAP
berkaitan dengan hukum acara peradilan tata usaha negara. Misalnya, ketentuan
penyalahgunaan tugas dan aplikasi fiksi positif, dan tuntutan biaya administrasi ke PTUN
. Di sisi lain, pandangan kedua berpendapat bahwa Pasal sebagaimana diterapkan di
Prancis membatalkan keputusan konseptual negatif setelah keputusan konseptual positif
telah dikeluarkan dalam Kode Keadilan Administratif Prancis . lakukan. Untuk alasan
kepastian hukum dan keseragaman penuntutan pidana, penulis setuju dengan pendapat
terakhir ini. Idealnya, penerapan UUAP tentang Ketentuan Afirmatif Fiksi akan
memungkinkan Status Putusan fiktif negatif dinyatakan dalam arti Pasal 3 UU Peradilan
Tata Usaha Negara.

3. Limitasi Objek Permohonan (objectum litis) Fiktif Positif

Secara normatif, selain ketentuan UU Tata Usaha Negara, tata cara pengurusan
gugatan fiktif positif juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 8
tahun 2017. Putusan Mahkamah Agung Nomor 8 ini merupakan perubahan dan
penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2015 tentang Pedoman
Tata Cara Memperoleh Keputusan Penerimaan Permohonan. Berdasarkan Pasal 3
PERMA No. 8 Tahun 2017, pokok permohonan yang bonafid adalah pemerintah untuk
mengambil keputusan dan/atau mengambil tindakan administrasi pemerintahan yang
dipersyaratkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang dan Peraturan . Kewajiban
lembaga dan/atau pejabat. Pertanyaan hukumnya adalah apakah semua permohonan yang
belum disahkan oleh penguasa dan/atau pejabat harus dianggap dikabulkan dan oleh
karena itu dapat diajukan permohonan ke pengadilan tata usaha negara setempat.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, PERMA No.8, Tahun 2017 menetapkan


bahwa tidak semua permohonan yang tidak dijawab kepada pemerintah dapat diajukan
permohonan fiktif positif ke Pengadilan Tata Usaha Negara, namun berlaku pembatasan
sebagai berikut:

A. Permohonan tunduk pada yurisdiksi lembaga dan/atau pejabat pemerintah dengan


siapa permintaan tersebut dibuat.
B. Permohonan dibuat dalam pelaksanaan tugas pemerintahan.
C. Hal yang diminta adalah keputusan dan/atau tindakan yang belum dibuat dan/atau
diambil oleh instansi dan/atau pejabat pemerintah.
D. Permohonan yang secara langsung mendukung pemohon.

Ditegaskan bahwa Permohonan untuk dikeluarkannya suatu putusan dan/atau suatu


gugatan yang masih dalam proses dapat dijadikan sebagai subjek permohonan fiktif
positif ke Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan kriteria yang diatur dalam PERMA
No. 8 Tahun 2017, Oleh sebab itu dalam kasus seperti itu, misalnya jika undang-undang
pembatasan telah diterapkan dan masalah itu tidak diselesaikan tepat waktu, itu bukan
nama fiktif positif, tetapi perselisihan hukum di pengadilan biasa, Pengadilan Tata Usaha
Negara.

Selain itu, berdasarkan PERMA No. 8 Tahun 2017, dilakukan pembatasan, yaitu
tidak termasuk objek Permohonan fiktif positif adalah permohonan yang merupakan
pelaksanaan dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan permohonan
terhadap permasalahan hukum yang sudah pernah diajukan gugatan. 16 Pembatasan ini
penting, sehingga ada keseragaman sikap di antara para hakim dalam menerima dan
memutus perkara afirmasi permohonan fiktif ini. Dalam masa sebelum PERMA No. 8
Tahun 2017 mulai berlaku, baik mosi untuk putusan baru maupun usul pencabutan

16 Pasal 3 ayat (2) PERMA No. 8 Tahun 2018 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas
Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan Atau Pejabat
Pemerintah. Berita Negara RI No. 1751, Tahun 2017.
putusan yang ada semuanya diterima oleh pengadilan sebagai perkara positif dan palsu.
Apa yang terjadi karena PERMA Nomor 5 Tahun 2015 tidak mengatur pembatasan objek
ketika mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara . Implikasinya, banyak
putusan petisi fiktif positif yang bermasalah implementasinya.

4. Batasan Waktu Pengajuan Permohonan Perkara Fiktif Positif

Karena UUAP dan izin terkait tidak membahas, persoalan batas waktu pengajuan
perkara fiktif positif di PTUN (termasuk perkara untuk mempertimbangkan ada tidaknya
penyalahgunaan kekuasaan (PW)) menjadi salah satu persoalan besar. hal-hal yang
tunduk pada ketentuan hukum administrasi atau UU Mahkamah Agung, karena tidak ada
ketentuan eksplisit. Memang, setelah diperiksa lebih dekat, penerapan ketentuan Undang-
Undang Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebagaimana diketahui, alasan diajukannya
kasus fiktif positif adalah karena masyarakat dituding gagal mengambil keputusan
dan/atau instansi/pejabat pemerintah tidak bertindak tepat waktu . Karena merasa
kepentingannya telah dilanggar, dikompromikan untuk kewajiban yang ditentukan dalam
undang-undang dan peraturan atau di mana periode tersebut tidak . diatur oleh ketentuan
hukum, atau pejabat di bawah pasal 53(1). Oleh karena itu, jika tidak ada batas waktu
untuk kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 53(1) UUAP yang ditentukan oleh
undang-undang dan peraturan, tenggang waktu untuk mengajukan aplikasi untuk proses
nosional adalah sah. dan/atau pejabat pemerintah harus mengambil keputusan dan/atau
tindakan pemerintah dalam waktu paling lama 10 hari kerja setelah permohonan lengkap
diterima oleh instansi dan/atau pejabat (Pasal 53(2) UU AP) atau 5 hari kerja dalam UU
Ciptaker. Permohonan juga dianggap sah jika pejabat dan/atau pejabat penyelenggara
negara tidak bertindak dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 53(2)
UUAP. (Pasal 53(3) UUAP). Jika permohonan pemohon bersifat final, maka permohonan
dianggap disetujui secara hukum, tetapi pernyataan yang mengikat secara hukum
menegaskan hasil pemeriksaan oleh PTUN.

Baik UUAP, UU Ciptaker maupun Perma No. 5 Tahun 2015 tidak menyebutkan
perhitungan , batas waktu terakhir pengajuan gugatan palsu positif ke Pengadilan Tata
Usaha Negara. Dalam kasus , batas waktu pengajuan permohonan fiktif positif ke PTUN
sama dengan aturan pasal 55 UU PTUN, mengikuti prinsip lex specialis derogat legi
generalis. Memang penerapan Pasal 55 jauh dari ideal, mengingat ketentuan kasus
konseptual positif merupakan kasus khusus afirmasi fiktif yang diperiksa oleh Majelis
Hakim paling lama 21 hari kerja, tetapi Pasal 55, Peratun menetapkan bahwa batas waktu
untuk mengajukan gugatan adalah (90) hari.17 Bagi pihak yang tersinggung dengan
keputusan adopsi. Sebagai kasus khusus, ada batas waktu untuk mengajukan gugatan
palsu terhadap tindakan positif setelah sengketa pemilihan, pemilihan negara, atau
tindakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep fiktif positif adalah hubungan dan komunikasi antara anggota masyarakat
dengan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan , dan untuk setiap
permohonan yang diajukan oleh masyarakat dalam jangka waktu tertentu oleh
pemerintah, permohonan tidak akan dijawab. permohonan tidak dikabulkan.
Bahwa dia dapat mengajukan permohonan untuk mencari keputusan di
Pengadilan Tata Usaha Negara.
2. Penyelesaian permasalahan terkait sikap diamnya pemerintah dapa dilakukan
melakui 2 cara yaitu:
A. Melalui Gugatan Fiktif Negatif dan
B. Melalui Permohonan untuk mendapatkan keputusan Fiktif Positif
3. Perbedaan prosedur penyelesaian sengketa tersebut terdiri dari beberapa hal,
ditinjau dari konsep, bahwa KTUN Fiktif Negatif “diam ditolak”, sedangkan
KTUN Fiktif Positif “diam dikabulkan”. Dari batas waktunya, KTUN Negatif
yaitu yaitu 4 (empat) bulan, sedangkan pada KTUN fiktif positif 10 (sepuluh) hari
penyelesaian sengketa melalui Peradilan Tata Usaha Negara batas waktu paling

17 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
lama 21 (dua puluh satu) hari. Selanjutnya pada KTUN fiktif negatif diajukan
melalui gugatan sedangkan KTUN fiktif positif diajukan melalui permohonan.
Perbedaan antara gugatan dan permohonan terletak pada prosedur atau hukum
acara, sedangkan keduanya sama-sama merupakan sengketa yang menghasilkan
putusan Ditinjau dari batas waktu (daluwarsa) pengajuan gugatan atau
permohonan, pada KTUN fiktif negatif 90 (sembilan puluh) hari sejak KTUN
fiktif negatif dikeluarkan sedangkan KTUN fiktif positif 90 (sembilan puluh) hari
sejak KTUN fiktif positif dikeluarkan. Pada KTUN fiktif negatif, Putusan
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan putusan akhir sehinggaupaya hukum
yang tersedia adalah upaya hukum biasa sedangkan pada KTUN fiktif positif
putusan bersifat final dan mengikat, sehingga upaya hukum hanya tersedia upaya
hukum luar biasa.
4. Fiktifi positif merupakan kebijakan yang ideal untuk mengatasi sikap diam
pemerintah atas tuntutan masyarakat, tetapi juga memiliki kelemahan
menciptakan polarisasi politik karena ada dua norma yang diatur . Jadi solusinya
adalah menggunakan asas lex posterior derogat legi apriori yang menyatakan
bahwa hukum baru menggantikan yang lama. Oleh karena itu Putusan Negatif
fiktif diatur dalam UU PTUN, namun ini tidak berlaku lagi karena ada hukum
administrasi yang mengatur Putusan fiktif positif.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang :
1. Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan.
2. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
3. PERMA No. 8 Tahun 2018 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan
Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan
Badan Atau Pejabat Pemerintah. Berita Negara RI No. 1751, Tahun 2017.

Buku-buku :
1. M. Kusnadi-Harmaily, Hukum Tata Negara, cet. 7, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti, 1988), hlm. 25.
2. Irvam Mawardi, Paradigma Baru PTUN Respon Peradilan Administrasi
Terhadap Demokrasi, (Yogyakarta: Thafa Media, 2016), hlm. 29.
3. I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam
Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2017), hlm. 144-145.
4. Yasin, Muhammad dkk. (2017). Anotasi Undang-Undang No. 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan. Jakarta: UI-CSGAR
5. Enrico Simanjuntak,Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
Transformasi dan Refleksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hlm. 145.
6. Suteki, Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori dan
Praktik, (Depok: Rajawali Pers, 2018), halaman 174.

Jurnal dan Artikel :

1. Moh. Bagus dan Helga Nurmila Sari, “Urgensi Keanggotaan Dewan


Perwakilan Daerah Yang Bebas Dari Anggota Partai Politik”, Al-‘Adl,
Vol. 12, No. 2 (2019).
2. Moh. Bagus dan Siti Partiah, “Relevansi Hak Asasi Manusia Dengan Teori
Ahliyyah”, Al-Qanun: Jurnal Pemikiran Dan Pembaharuan Hukum Islam,
Vol. 23, No. 1, 2020, 106-24.
https://doi.org/10.15642/alqanun.2020.23.1.106-124
3. N. G. de Graaf, K. J., & Hoogstra, “Silence Is Golden? Tacit Authorizations
in the Netherlands, Germany and France,” Review of European
Administrative Law 6, no. 2 (2013): 7.
4. M. Guntur Hamzah, makalah disampaikan pada seminar sehari dalam rangka
HUT Peradilan Tata Usaha Negara ke-26 dengan tema: Paradigma Baru
Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan, kaitannya dengan Perkembangan Hukum Acara Peratun, yang
diselenggarakan di Hotel Mercure, Jakarta, 26 Januari 2016, hal 1-2.
5. Oswald Jansen, Comparative Inventory of Silencio Positivo (Utrecht School
of Law, 2008). p.4. dalam : Enrico Simanjuntak, Jurnal Hukum dan Peradilan,
Volume 6 Nomor 3, November 2017 : hal 381
6. Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni : Bandung, 1989, hal. 3-4. Lihat Donna O. Setiabudhi,
Makalah, Keputusan Fiktif Negatif Sebagai Dasar Pengajuan Gugatan Dalam
Sengketa Tata Usaha Negara Yang Berkaitan Dengan Pelayanan Dalam
Bidang Pertanahan, Universitas Sam Ratulangi Fakultas Hukum, Manado,
2014, hal. 5
7. Renius Albert Marvin dan Anna Erliyana, “Polemik Jangka Waktu Pengajuan
Gugatan Ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” Jurnal Hukum & Pembangunan
49 No. 4 (2019), hlm. 953.
8. Enrico Simanjuntak, “Beberapa Anotasi Terhadap Pergeseran Kompetensi
Absolut Peradilan Umum Kepada Peradilan Administrasi Pasca Pengesahan
UU No. 30 Tahun 2014”, Bunga Rampai Peradilan Administrasi
Kontemporer, Genta Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 59.

Anda mungkin juga menyukai