Anda di halaman 1dari 8

Opening statement

Lex Nemini Operatur Iniquum, Neminin Facit Injuriam, artinya : Hukum Tidak
Memberikan Ketidakadilan Kepada Siapapun Dan Tidak Melakukan Kesalahan
Kepada Siapapun.

Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan, izinkan kami menyampaikan argumen
pembuka, Pemantik yang kami hormati, rekan-rekan pemerhati hukum dan semua yang hadir
pada kesempatan hari ini. Izinkan kami membuka argumentasi bahwa pada kesempatan hari
ini kami dari tim kontra dengan sangat tegas menyatakan tidak sepakat dengan adanya mosi
PENJATUHAN HUKUMAN KEBIRI KIMIA PADA PELAKU TINDAK PIDANA
KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK berdasarkan beberapa pertimbangan dengan
melihat pandangan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai dasar konstitusi
Indonesia salah satunya berdasarkan pada Pancasila sila ke 2 yang menyatakan bahwa
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pancasila merupakan ideologi yang meletakkan penghormatan hak dan kewajiban negara
serta menjamin hak dan kewajiban asasi manusia dalam nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. makna sila kedua ini adalah serangkaian pengakuan HAM antar individu dan
menunjukan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari hukuman yang tidak manusiawi.
pengenaan sanksi kebiri sendiri bertentangan dengan tujuan pemidanaan dalam konteks
pembaharuan pidana yang berlandaskan pancasila khususnya aspek keseimbangan yang
mencakup keadilan dan kepastian hukum yang tidak mencirikan pembentukan kebijakan
pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana dijelaskan pada sila kedua
pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. apabila dilihat dari sisi pelaku, hukuman
kebiri kimia menunjukkan hukuman yang berat dan tidak rasional. selain itu, formulasi kebiri
lebih memperlihatkan sisi emosional sebagai upaya balas dendam terhadap pelaku. World
Rape Statistic atau statistic dunia tentang perkosaan di berbagai Negara di dunia
membuktikan bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri, tidak efektif menimbulkan efek
jera. World Rape Statistic yang diterbitkan setiap dua tahun sekali tersebut menunjukkan
bahwa Negara Negara yang menerapkan hukuman mati atau hukuman kebiri justru
menduduki posisi 10 besar, sebagai negara yang memiliki kasus tertinggi di dunia. Hingga
saat, ini ada 10 negara memberlakukan hukuman mati dan 20 negara memberlakukan
hukuman kebiri bagi pelaku perkosaan. World Rape Statistic 2012, menunjukkan 10 negara
yang memiliki kasus perkosaan tertinggi di dunia, berturut-turut adalah : Amerika di urutan
pertama, disusul oleh Afrika, Swedia, India, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Sri Lanka
dan Ethiopia. Sedangkan World Rape Statistic 2014 menunjukkan 10 besar Negara dengan
kasus perkosaan tertinggi, berturut-turut adalah India, Spanyol, Israel, Amerika, Swedia,
Belgia, Argentina , Jerman dan Selandia Baru. Data World Rape Statistic tersebut telah
meneguhkan bahwa anggapan penerapan hukuman Kebiri akan menimbulkan efek Jera,
hanyalah mitos. Sejumlah Negara yang menerapkan hukuman mati atau hukuman kebiri juga
mengakui, bahwa menurunnya jumlah kasus perkosaan yang dilaporkan, tidak
menggambarkan situasi sesungguhnya. Karena banyaknya kasus perkosaan yang tidak
dilaporkan, terlebih-lebih jika pelakunya merupakan bagian dari keluarga.
Pelaksanaan hukum kebiri merupakan sebuah tindakan kekerasan dan dianggap bertentangan
dengan UUD NRI 1945 yakni pada Pasal 28 G ayat 2 yang berbunyi “ setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari Negara lain”. dimana dijelaskan bahwa manusia dikehendaki
kebebasan yang sebebas bebasnya tanpa adanya penyiksaan maupun perbuatan yang
merendahkan harkat dan martabat miliknya. sehingga ketika kebiri kimia dilaksanakan selain
memberikan rasa sakit kepada pelaku, juga memberikan rasa menyiksa berupa tekanan
psikologis karena efek dari obat yang telah disuntikkan. selain itu, kebiri kimia juga
merenggut harkat serta martabat yang notabennya sebagai pria dan memberikan efek
penurunan kepercayaan diri sebagai imbas dari hukuman kebiri. Bukankah pada pasal
tersebut menyatakan bahwa manusia berhak untuk bebas dari penyiksaan, maka dengan dasar
tersebut penjatuhan hukuman kebiri kimia merupakan hal yang menyimpang dari nilai-nilai
dasar konstitusi.

SESI PENDALAMAN MATERI

pemantik yang kami hormati, bahwa secara filosofis kebiri sudah dilakukan di Mediterania
Timur pada 8000-9000 tahun lalu. tujuannya agar ternak betina lebih banyak dibandingkan
yang jantan. melansir psychology today, catatan pertama tentang pengebirian yang disengaja
untuk menghasilkan kasim (pria yang sudah dikebiri), datang dari kota Lagash, Sumeria,
sekitar 4000 tahun yang lalu. kasim biasanya lebih banyak karena tak akan menghamili
majikannya. kebiri kimia merupakan menyuntikan cairan kimia pada alat vital manusia,
dimana penyuntikkan tersebut dinilai tidak memanusiakan manusia dan mencederai Hak
Asasi Manusia.
Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 “Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun. selain itu, Dalam ICCPR atau Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik article 4 (2) terdapat beberapa hak yang tidak dapat
dikurangi yaitu hak untuk hidup, kebebasan dari tindakan penyiksaan, bebas dari tindakan
yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, kebebasan dari perbudakan dan
penghambaan, kebebasan dari undang-undang berlaku surut, serta kebebasan berpikir, berhati
nurani dan beragama.
kemudian Pasal 33 ayat 1 Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia
yang menyatakan “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaanya”.
Indonesia juga telah meratifikasi aturan Konvensi yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
sebagaimana Pada Pasal 7 dalam Kovenan ini mengatur dengan sangat jelas konsern tentang
perlindungan manusia dari ancaman penyiksaan yang dilakukan pihak lain: “Tidak
seorangpun boleh dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak
manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorangpun, tanpa
persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah”.

dari bunyi pasal-pasal di atas, bahwasannya setiap manusia diberi hak untuk bebas dari
penyiksaan dan pemaksaan termasuk didalamnya dalam tindakan medis. hal ini juga
dipertegas bahwasannya seseorang dapat menolak tindakan medis yang mana hal tersebut
juga terdapat pada pasal 2 ayat 1 PERMENKES Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 “semua
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.”
sehingga dengan adanya pemberian hukuman kebiri kimia tersebut maka kebebasan atas
tindakan penyiksaan dan pemaksaan telah dihilangkan.

Pemantik yang kami hormati, rekan-rekan pemerhati hukum dan semua yang hadir pada
kesempatan hari ini. Perdebatan kali ini mengarahkan kita untuk mencari solusi dan tidak
memperjuangkan ambisi. Mengapa kita mencari solusi, dikarenakan kita harus mencari jalan
yang terbaik bagi bangsa ini. Tujuan hukum pidana di era modern sekarang ini tidak lagi
berorientasi pada pembalasan, akan tetapi membuat pelaku dan korban bisa sama-sama
mendapatkan keadilan. Tujuan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan manusia
dan merendahkan martabat manusia. secara teori relatif pemidanaan, tujuan pemidanaan
bukan terletak pada saksi yang diterapkan tetapi terletak pada tujuan yang akan dicapai pada
penerapan sanksi tersebut. menurut Wirjono Prodjodikoro yaitu: “1. Untuk menakut-nakuti
orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut- nakuti orang banyak
(generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan
agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventive), atau 2. Untuk
mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-
orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Kebiri sendiri merupakan
penyiksaan badan dan sebuah upaya manajemen mikro terhadap tubuh manusia, membuatnya
tidak manusiawi sebagai hukuman. Hukuman kebiri kimia dianggap sebagai tindakan yang
hanya menangani gejala, tetapi tidak menyelesaikan masalah/akar yang mendasari perilaku
pelaku kejahatan seksual.

Karena pada dasarnya Hukum Pidana merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu,
yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Atas alasan-alasan mendasar,
logis, filosofis dan yuridis, kami dengan tegas menyatakan menolak atau kontra terhadap
mosi perdebatan hari ini. Kami menolak PENJATUHAN HUKUMAN KEBIRI KIMIA
PADA PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK.

Closing statement

Lex samper dabit remidium yang berarti hukum akan selalu memberi obat

Rekan-rekan sekalian. Sejak pembicara pertama mengutarakan opening statement, kami telah
menyatakan bahwa berdirinya kami sebagai tim kontra berarti kami menolak
diberlakukannya hukuman kebiri kimia ini.

Itulah sebabnya kami bertahan bahwa hukuman pidana tambahan dari hukuman pelaku
kejahatan seksual kepada anak melalui suntik kebiri kimia tidak perlu dilakukan. Dan saya
yakin hukuman pelaku kejahatan seksual kepada anak yang melalui kebiri kimia tidak akan
mengurangi rasa keinginan pelaku untuk melakukannya. Kami akan memberikan beberapa
solusi terkait penanganan pelaku kejahatan seksual

Penanganan pelaku kejahatan seksual dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan dan
peningkatan pemahaman mengenai reproduksi. Hal ini, dapat dilakukan dengan
melaksanakan Inpres No. 5 tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual
Terhadap Anak, instrumen yang ada lainnya ataupun memperkuatnya. Cara lain dengan
memberikan pendidikan ekstensif mengenai hubungan sehat dan otonomi seksualitas sejak
dini sebagai salah satu upaya pencegahan pelecehan seksual serta mengutamakan pemulihan
dan keberlanjutan korban dalam penanganannya.

Selain itu , secara represif Penanganan kejahatan seksual terhadap anak, tidak dilakukan
dengan hukuman tambahan berupa kebiri akan tetapi menggunakan alternatif hukum dalam
penjatuhan sanksi terhadap kejahatan seksual seperti dengan adanya restitusi dimana seorang
pelaku harus membayarkan sejumlah ganti kerugian kepada korban/keluarga korban.
Restitusi yang diberikan selain untuk menghukum pelaku namun juga memberikan
Restorative Justice dimana keadilan itu tidak hanya menghukum pelaku namun juga
melindungi kepentingan korban juga. Restitusi yang dimaksud disini yaitu selain pelaku
dihukum karena kejahatan seksual yang dibuat namun juga pelaku tersebut membayarkan
sejumlah ganti rugi untuk memulihkan korban dari trauma yang dialami. Selain itu solusi
yang dapat dilakukan dengan pemberian hukuman tambahan bagi pelaku dapat berupa
reparasi yang menunjukkan akuntabilitas bagi pelaku, misalnya cukup dengan
pendokumentasian berupa pencatatan nama dan identitas pelaku untuk dimasukkan dalam no-
recruit list, dan seterusnya.

(DIBACA KALAU SISA WAKTUNYA MASIH BANYAK)

Menurut saya, kebijakan yang mungkin tepat untuk diterapkan dalam menangani persoalan
kekerasan seksual pada anak ialah, negara mesti mendesain kebijakan hukum yang dapat
membuat para pelaku mengalami efek jerah, misalnya dengan menambah hukuman dari yang
semula 10 sampai 12 tahun menjadi 20 tahun. Tidak hanya itu, para pelaku predator anak
harus dipisahkan dari kasus-kasus yang lain. Di sana selain mereka mendapatkan hukuman,
negara bisa menggunakan pendekatan lain dengan cara merehabilitasi mereka.

Di sisi yang lain, untuk mengurangi bahkan tidak terjadi lagi kekerasan seksual pada anak
melalui kehadiran negara yang ramah pada anak dengan cara memastikan hak dan kebebasan
mereka terlindungi dengan baik. Keluarga, sekolah dan masyarakat harus dapat menjadi
elemen penting dalam upaya terus membangun kerjasama dengan terus menyuarakan
kebebasan ekspresi pada anak. Hanya dengan cara itu, hemat saya, anak-anak di masa depan
akan jauh lebih aman dan terhindar dari predator anak.

Negara tidak boleh terlalu fokus pada urusan penghukuman terhadap pelaku kekerasan
seksual pada anak. Saatnya negara membangun sistem perlindungan dan jaminan hak dan
kebebasan bagi anak-anak.

SESI UJI PEMANTIK

Dalam pasal 28H ayat 1 yang berbunyi” Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.” diterangkan bahwa manusia itu harus hidup dengan sehat
secara jasmani dan rohani. Sehingga, dalam pelaksanaan hukuman kebiri hal tersebut sudah
melanggar ketentuan dari pasal 28 H, dikarenakan dari segi medis memiliki efek jangka
panjang yang mungkin saja berakibat kematian. Karena beberapa contoh efek samping seperti
risiko jantung koroner akibat kolesterol, osteoporosis, dan kerontokan rambut. Hal tersebut
karena bahan kimia yang digunakan akan menekan jumlah testosteron yang menjaga
metabolisme kolesterol karena penumpukan kolesterol di pembuluh darah. sehingga dengan
efek samping tersebut, maka hak konstitusi masyarakat untuk hidup sehat tidak terpenuhi.

Dalam pelaksanaan hukuman kebiri kimia di Indonesia, tentu tak lepas dari adanya eksekutor
selaku orang yang akan menjalankan eksekusi tersebut. Lalu, siapakah yang pantas serta
mampu dalam menjalankan tugasnya tersebut? hal tersebut tertuang dalam Pasal 6 Peraturan
Pemerintah No. 70 Tahun 2020, tahapan-tahapan kebiri kimia dilakukan melalui tiga tahapan,
yakni penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan. Penilaian Klinis diatur dalam Pasal 7,
bahwasanya tahapan ini dilakukan oleh tim yang berkompeten di bidang medis dan psikiatri,
dan pada tahapan penilaian klinis dilakukan wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan pasal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
dokterlah yang akan menjadi eksekutor dalam pelaksanaan hukuman kebiri kimia ini.
Dikarenakan, hanya dokterlah yang berkompeten dalam bidang tersebut serta demi
menjauhkan dari berbagai dampak bahaya yang akan muncul apabila bukan mereka yang
menjadi eksekutor hukuman tersebut. Namun, patut diketahui pula bahwasanya dokterpun
memiliki dasar hukumnya sendiri, dasar hukum tersebut tertuang dalam kode etik kedokteran
indonesia yang tercantum dalam pasal 5 yang berbunyi “Tiap perbuatan atau nasihat dokter
yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan
pasien/ keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien
tersebut.”Dalam kode etik tersebut, tentunya akan sangat bertolak belakang apabila tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan malah menggunakan kemampuannya
untuk melumpuhkan atau melemahkan fisik seseorang demi memberikan sebuah hukuman
kepada sang pelaku.
Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah kriminalisasi, terdapat hal-hal yang
harus diperhatikan, diantaranya penggunaan hukuman pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata
materiil spiritual berdasarkan pancasila. namun, jika diperhatikan lebih lanjut yang menilik
terhadap hukuman kebiri, hal ini justru tidak mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan sila ke 2 pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi lebih ke
penghukuman terhadap pelaku yang berorientasi pada pembalasan. selain itu hukuman kebiri
ini menjadikan masyarakat tersebut kehilangan kepercayaan diri sendiri sebagai makhluk
tuhan dan kebiri kimia tidak memanusiakan agar lebih beradab. sementara itu, menurut
pandangan dari hart fungsi hukum pidana adalah untuk menjaga keteraturan dan kesusilaan
umum serta melindungi warga dari apa yang disebut asusila atau yang merugikan dan untuk
memberikan perlindungan atas eksploitasi dari pihak lain. suatu negara dalam menjatuhkan
sanksi pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia
tetap dihormati. Oleh sebab itu, pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat
menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan bersama. namun, jika diperhatikan lebih lanjut,hukuman kebiri kimia ini tidak
memperhatikan asas keseimbangan, bahkan terkesan dipaksakan. tidak ada pihak yang
dilindungi atau diuntungkan dengan ditetapkannya kebiri kimia di Indonesia.

pelaksanaan kebiri kimia bagi negara akan mengeluarkan banyak biaya yang tidak sedikit
apabila hukuman kebiri ini terus dilakukan. berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70
tahun 2020 pasal 23 yang berbunyi “Pendanaan pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia,
pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas Pelaku
Kekerasan Seksual Terhadap Anak bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan

c. sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.” dengan hal ini, maka negara akan mengeluarkan banyak biaya untuk pendanaan
dalam pelaksanaan hukuman kebiri kimia. Menurut dr. Arry Rodjan, seorang urolog, biaya
untuk menyediakan suntikan kebiri kimiawi sebesar Rp. 700.000,00 – Rp. 1.000.000,00
untuk sekali pemakaian, dan efek suntikannya dapat bertahan dari 1 – 3 bulan. dengan ini,
daripada negara mengeluarkan banyak biaya untuk pelaksanaan kebiri kimia kepada pelaku,
ada baiknya negara memikirkan efek dari pelaksanaan kebiri kimia terhadap pelaku
kekerasan seksual tersebut. ada beberapa hal yang dapat dilakukan negara untuk mencegah
hukuman kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual. pendanaan negara tersebut bisa
dialokasikan untuk alternatif lain yaitu dengan memberikan rehabilitasi atau pelatihan untuk
mengembangkan diri dengan didampingi oleh psikiater dan ahli medis lainnya yang dapat
menjadikan pelaku tersebut menjadi manusia yang lebih baik. dengan adanya rehabilitasi dan
pelatihan untuk pelaku kekerasan seksual, pendanaan yang dikeluarkan negara akan lebih
tertata dengan baik.

Perbedaan yang mendasari negara - negara lain dengan Indonesia dalam pelaksanaan
Hukuman Kebiri Kimia. Dalam tata cara pelaksanaan kebiri kimia yang dilakukan di Korea
Selatan, juga di Amerika Serikat, pelaksanaan hukuman kebiri tersebut dilakukan atas dasar
adanya pengulangan tindak pidana ( Residivis ) yang dilakukan oleh pelaku. Sementara itu, di
Indonesia tidak tercantum mengenai adanya Residivis pada pasal 70 Tahun 2020 yang
membuktikan bahwa pelaku kekerasan seksual pada anak di Indonesia harus mendapatkan
hukuman kebiri kimia tanpa adanya keadilan yang lebih serta alasan pendukung yang jauh
lebih manusiawi dibandingkan kedua negara tersebut. Sementara itu, dalam pelaksanaan
hukuman kebiri di negara Jerman, pemerintahan disana menerapkan adanya kebiri kimia
kepada pelaku kekerasan seksual pada anak ketika mereka sudah menyelesaikan masa
tahanan mereka, serta pemerintah jerman juga menegaskan bahwa kebiri kimia dilakukan
sebagai perawatan bukan hukuman kepada pelaku. Dan tindakan tersebut dilakukan atas
dasar persetujuan serta sukarela yang dilaksanakan oleh pelaku tersebut. Hal ini berbanding
terbalik dengan Indonesia yang dimana dalam pelaksanaan kebiri kimia tersebut. Indonesia
hanya menegaskan proses serta adanya penelitian yang dilakukan oleh tim yang berkompeten
dalam bidang tersebut. Tidak memperhatikan dalam aspek ham yang dimana pelaku tidak
dapat bersepakat sehingga tindakan tersebut cenderung memaksa dan tidak mendapat
sukarela dari pelaku tersebut.

Anda mungkin juga menyukai