Anda di halaman 1dari 72

MODUL PEMBELAJARAN DARING

KEBIJAKAN PERTANAHAN

Oleh :

Dr. H. Soediro, S.H., LLM

Program Studi Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
BAB VII
KONDISI DAN PERMASALAHAN DI BIDANG PERTANAHAN

A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari kondisi dan permasalahan di bidang
pertanahan maka mahasiswa mampu menjelaskan tentang Distribusi
Penguasaan Tanah, Dampak Penggunaan Teknologi Terhadap Distribusi
Penguasaan Tanah, Alih Fungsi dan Penggusuran Lahan Pertanian.

B. Uraian Materi
1. Distribusi Penguasaan Tanah
Kebijakan strategi perencanaan perluasan areal pertanian disusun
dari hasil analisis situasi dan kondisi obyektif atas target yang ingin
dicapai berdasarkan potensi yang tersedia. Namun, harus
mempertimbangkan secara seksama kendala, isu‐isu, dan permasalahan
empiris yang dihadapi. Dalam analisis, fokus bahasan diarahkan pada
simpul‐simpul strategis yang perlu dipertimbangkan dengan seksama
dalam perencanaan perluasan areal pertanian. Hal ini mencakup sejumlah
aspek dan suatu kombinasi beberapa pendekatan yang secara implisit
merupakan konsekuensi logis dari keragaman situasi dan kondisi obyektif
yang terjadi di lapangan.
a. Target Perluasan
Pemerintah telah menetapkan bahwa selama periode 2010 –
2014 dapat dilakukan perluasan areal pertanian seluas 2 juta hektar.
Luasan tersebut adalah untuk pertanian rakyat dan mencakup lahan
sawah dan areal pertanian lahan kering yang meliputi lahan kering
untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, serta hijauan
makanan ternak dan padang penggembalaan.
b. Simpul Strategis
1) Status tanah tersedia

53
Secara teoritis, perluasan areal pertanian dapat dilakukan
dengan membuka hutan, mendayagunakan bekas kawasan hutan
yang dapat dikonversi menjadi kawasan pertanian, memanfaatkan
lahan telantar, memanfaatkan lahan bekas transmigrasi yang
ditinggalkan pemiliknya, dan sebagainya. Sesuai dengan:
• hasil kajian terhadap sejumlah kebijakan dan program
pemerintah yang terkait dengan pendayagunaan sumberdaya
lahan dalam rangka ketahanan pangan dan revitalisasi
pertanian,
• serangkaian hasil FGD, maka diperoleh kesimpulan bahwa
pilihan paling layak adalah lahan terlantar, lahan bekas
transmigrasi,
• dari (sebagian kecil) lahan bekas kawasan hutan konversi.
Dari sudut pandang luasannya, dari ketiga kategori tersebut
yang diharapkan menjadi tumpuan harapan adalah pendayagunaan
tanah (lahan). Sudah barang tentu yang dimaksud adalah yang
secara teknis, sosial budaya, ekonomi, dan yuridis memenuhi
persyaratan.
2) Unsur-unsur Dalam Perencanaan
Pada dasarnya perluasan areal pertanian merupakan salah
satu bentuk dari pendayagunaan sumberdaya lahan. Proses
perencanaan dan implementasinya tergantung pada tiga unsur
pokok, yaitu : Pertama, pihak‐pihak yang berkepentingan
(stakeholder) dan hal ini terkait dengan sifat multifungsi lahan.
Kedua, bahwa kualitas atau keterbatasan setiap komponen unit
lahan untuk penggunaan yang berbeda berimplikasi pada tahapan
yang diperlukan dalam perencanaan. Ketiga, bahwa opsi‐opsi
pemanfaatan yang layak di wilayah yang bersangkutan harus selalu
dikaitkan dengan aspek keberlanjutan. Selain itu, perlu pula
diperhatikan adanya faktor‐faktor teknis lain yang perlu
dipetimbangkan dalam perencanaan, antara lain:

54
(a) luasan yang tersedia dan penguasaannya;
(b) kualitas, potensi produktivitas dan kesesuaian lahannya;
(c) tingkat teknologi yang dipakai untuk mendayagunakan
sumberdaya lahan tersebut;
(d) kepadatan penduduk;
(e) kebutuhan dan standard kehidupan masyarakat. Setiap faktor
tersebut saling berinteraksi satu sama lain.
3) Database pendukung Rangka Kerja dan Pengambilan Keputusan
Perencanaan yang baik sulit diwujudkan jika tidak ditunjang
oleh ketersediaan database yang memadai. Namun, sistem database
pertanahan yang tersedia di negeri ini masih sangat kurang apabila
dibandingkan dengan yang diperlukan. Kurangnya ketersediaan
database disebabkan oleh banyak faktor, antara lain:
a) belum terbentuknya suatu sistem database yang terintegrasi
yang secara konsisten diremajakan (di‐up date) dari waktu ke
waktu,
b) masih lemahnya sistem koordinasi antar lembaga/instansi
terkait dalam aktivitas pengumpulan, kompilasi, dan
penyimpanan database yang sesuai dengan prinsip‐prinsip
database management,
c) sangat terbatasnya anggaran dan sumberdaya manusia yang
tersedia (relatif terhadap luas wilayah, konfigurasi daratan, dan
keragaman kondisi sosial ekonomi, dan kebutuhan untuk
pembangunan)
Database pertananahan yang sangat diperlukan untuk
mendukung perluasan areal pertanian khususnya dan
pendayagunaan sumberdaya lahan untuk pertanian pada dasarnya
mencakup database sosial ekonomi dan database sumberdaya alam
4) Keterpaduan Pertanian dan Kelembagaan Lokal
Pembangunan pertanian tidak akan mencapai sasaran yang
diharapkan apabila perencanaan dan pelaksanaannya tidak

55
dipadukan dengan pembangunan perdesaan. Hubungan sinergis
pertanian dan perdesaan terbentuk dari sifat komplementaritas
faktor‐faktor strategis yang mencakup aspek teknologi,
kependudukan dan ketenagakerjaan, struktur penguasaan tanah,
infrastruktur, permodalan, dan sosial‐budaya. Keterpaduannya
semakin tampak pada perdesaan‐perdesaan agraris, yakni sebagian
besar penduduknya menggantungkan nafkahnya dari pertanian dan
kelembagaan hubungan kerja pertanian merupakan salah satu inti
dari kelembagaan sosial masyarakat desa tersebut.
5) Azas: Efisiensi – Keadilan – Kelestarian Lingkungan
Lahan adalah sumberdaya strategis yang sangat langka.
Terkait karakteristik intrinsiknya dan sifat multi fungsi sumberdaya
ini, setiap aktivitas pendayagunaannya (land use change) akan
berdampak bukan saja pada viabilitas ekonomi pada aktivitas itu
sendiri tetapi juga berdampak pada keseluruhan sektor ekonomi,
bahkan sosial budaya dan politik. Oleh karena itu strategi
pendayagunaannya harus berbasis pada azas efisiensi – keadilan –
kelestarian lingkungan secara holistik dan terpadu.
Dalam penerapan azas efisiensi, perlu dipahami secara
komprehensif bahwa viabilitas ekonomi usaha tani sangat
ditentukan oleh keberhasilan memadukan prinsip-prinsip agronomi
dan ekonomi dalam proses produksi pertanian. Pilihan jenis
komoditas, skala usaha, teknik pengolahan lahan, penggunaan
variates, pengelolaan air, pengendalian organisme pengganggu
tanaman, pemupukan, serta pengelolaan pengadaan input dan
pemasaran output adalah kunci‐kunci pokok yang menentukan
viabilitas finansial usahatani. Namun, tentunya proses produksi
usaha tani tidak dapat dilepaskan dari karakteristik intrinsik proses
pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, sehingga usahatani
prinsip‐prinsip “managed ecosystem” tidak dapat dihindari karena

56
hal ini sangat menentukan bukan saja efisiensi tetapi juga
keberlanjutan sistem usahatani.
Dalam komunitas agraris, kaitan antara distribusi
penguasaan tanah dengan keadilan sangat erat. Banyak hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di
perdesaan agraris berkorelasi positif dan nyata dengan distribusi
penguasaan lahan.
Dalam level makro, konflik pertanahan dan hubungannya
dengan aspek keadilan juga terkait dengan fakta bahwa sampai saat
ini di beberapa wilayah di Indonesia masih terdapat dualisme
kerangka hukum (legal framework) di bidang pertanahan.
Meskipun dalam Undang‐undang Pokok Agraria (UUPA)
eksistensi hukum adat diakui dan diakomodasikan, namun pada
kasus‐kasus tertentu nilai‐nilai budaya lokal yang menjadi basis
kelembagaan pengelolaan sumberdaya lahan di lokasi itu tidak
compatible dengan nilai‐nilai yang dijadikan landasan penyusunan
peraturan formal yang berlaku secara nasional. Persoalan ini perlu
dicermati dalam membuat perencanaan dan strategi
pelaksanaannya.
6) Infrastruktur sebagai Faktor Kunci
Ketersediaan infrastruktur sangat mempengaruhi viablilitas
ekonomi usahatani dan bahkan keberlanjutannya. Apabila
didekomposisi, pengaruh keberadaan infrastruktur pertanian/
perdesaan terhadap perkembangan dan keberlanjutan usaha tani
dapat dipilah menjadi dua kategori:
(1) efek langsung, dan
(2) efek kombinasi.
Efek langsung berupa pengaruh ketersediaan
masing‐masing jenis infrastruktur tersebut, sedangkan efek
kombinasi terbentuk melalui sinergi yang terbentuk dari

57
keberadaan dua atau lebih jenis infrastruktur yang sifatnya
komplemen
7) Determinan Usahatani Sebagai Basis Pemahaman Pendekatan
Terpadu
Sasaran perluasan areal pertanian dapat dicapai jika
perencanaannya dilakukan melalui pendekatan terpadu. Basis
pendekatan terpadu adalah determinan usahatani karena usahatani
adalah core business pertanian, sedangkan perluasan areal
pertanian pada dasarnya adalah means dalam rangka
pengembangan pertanian. Kinerja sistem usahatani dipengaruhi
oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal petani
dapat dipilah menjadi dua yaitu:
• Faktor A yakni kondisi agroekosistem. Ini terdiri dari dua
komponen yaitu:
(i) yang sifatnya alamiah (jenis, topografi, dan sebagainya), dan
(ii) hasil buatan manusia (irigasi, jalan usahatani, dan
sebagainya).
• Faktor internal (faktor B) mencakup karakteristik rumah tangga
petani. Ini mencakup jumlah dan komposisi anggota rumah
tangga menurut umur dan jenis kelamin, tingkat pendidikan,
keterampilan manajerial, kepemilikan/penguasaan sumberdaya
produktif (lahan pertanian, ternak, peralatan dan mesin
pertanian, dan sebagainya), akses petani terhadap modal, akses
petani terhadap pasar masukan maupun keluaran pertanian,
sikap/perilaku dan tujuan petani dalam berusahatani, dan
sebagainya.
• Faktor C yakni faktor sosial ekonomi lingkungan yang
mempengaruhi keputusan petani dalam berusahatani. Termasuk
dalam faktor ini adalah kebijakan pemerintah (harga,
perkreditan, tataniaga, tarif, subsidi, dan sebagainya), kondisi
infrastruktur fisik maupun non fisik (pendidikan/latihan,

58
penyuluhan, penelitian, pengangkutan, fasilitas pemasaran),
kelembagaan (undang‐undang agraria dan peraturan /
perundang-undangan terkait lainnya, kelembagaan hubungan
kerja, dan sebagainya), struktur perekonomian (kaitan sektoral
sektor pertanian dengan sektor lainnya, kesempatan kerja,
dinamika nilai tukar, inflasi, dan sebagainya).
8) Strategi
Strategi yang dapat ditempuh untuk mencapai sasaran
tersebut mencakup dua kategori.
Pertama, perluasan lahan pertanian baru dengan cara
langsung yaitu melalui proyek perluasan areal pertanian. Ini
merupakan cara paling populer untuk mencapai sasaran sebagian
besar perluasan areal baru yang selama ini ditempuh.
Kedua, cara tidak langsung yaitu dengan menciptakan
insentif bagi petani di wilayah potensial untuk melakukan
perluasan areal pertanian.
9) Transmigrasi Sebagai Andalan Strategi Perluasan Lahan Pertanian
Baru Jangka Menengah dan Jangka Panjang
Untuk jangka menengah dan jangka panjang, perluasan areal
pertanian yang terintegrasi dengan program transmigrasi
merupakan pendekatan yang paling layak. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari fakta bahwa sebagian besar sumberdaya
lahan yang tersedia untuk pengembangan kawasan pertanian baru
terletak di Luar Pulau Jawa, utamanya di Pulau Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Terutama di Kalimantan dan
Papua, sumberdaya lahan yang tersedia masih sangat banyak tetapi
jumlah penduduknya sangat sedikit, sementara itu kawasan hutan
yang layak didayagunakan untuk pertanian masih sangat banyak.
Di sisi lain, Pulau Jawa yang luasnya hanya sepertujuh dari luas
daratan Indonesia dihuni oleh separuh penduduk Indonesia.

59
Pengembangan kawasan pertanian baru melalui transmigrasi
dari P. Jawa dan Bali ke wilayah‐wilayah berkepadatan penduduk
rendah di Pulau‐Pulau besar tersebut tidak hanya memperbaiki
distribusi spatial penduduk tetapi juga lebih menjamin
keberlanjutan kawasan pertanian penghasil pangan (utamanya
padi) di lokasi tersebut. Hal ini disebabkan keberlanjutan sistem
usahatani padi tak lepas dari aspek sosio – budaya, sedangkan
secara relatif sejarah perkembangan budaya bercocok tanam padi
di Indonesia yang paling menonjol adalah di kalangan masyarakat
Jawa dan Bali.
Seiring dengan perubahan tata nilai dan sistem politik yang
terjadi sejak Reformasi, kebijakan dan program transmigrasi
membutuhkan pendekatan yang berbeda. Pendekatan bottom‐up
dalam perumusan kebijakan, perumusan program, dan koordinasi;
baik koordinasi lintas sektor maupun koordinasi Pusat – Daerah
harus diberi bobot yang lebih besar.
Adalah fakta bahwa pelaksanaan program transmigrasi yang
telah dilakukan selama empat puluh tahun terakhir cukup berhasil
meskipun kasus‐kasus kegagalan juga ditemukan. Sudah barang
tentu dari kisah sukses dan kegagalan tersebut terdapat
pembelajaran yang dapat digunakan sebagai masukan dalam
perumusan kebijakan dan program dengan pendekatan baru.

2. Dampak Penggunaan Teknologi Terhadap Distribusi Penguasaan


Tanah
Pelayanan pertanahan kepada masyarakat pada awalnya
dilaksanakan secara manual, baik itu pelayanan informasi maupun
pelayanan pendaftaran tanah serta pengukuran sampai pada produk hasil
akhir. Informasi yang digunakan masih berbentuk surat dan tatap muka,
pengukuran bidang tanah masih menggunakan tangan sebagai ukuran
(depa), hasil hitungan masih menggunakan calculator dan taken scale,

60
gambar peta masih menggunakan rapido dan sablon, sertifikat hak atas
tanah masih ditulis tangan dan diketik menggunakan mesin tik. Sehingga
dengan demikian proses pelayanan pertanahan kepada masyarakat
memakan waktu yang cukup lama.
Sesuai dengan berjalannya waktu serta perkembangan jaman yang
telah memasuki teknologi informasi maka tidak ketinggalan pula Badan
Pertanahan Nasionalpun telah berkembang dengan sangat pesat, yaitu
meningkatan kualitas pelayanannya kepada masyarakat dengan
menggunakan teknologi informasi yang sangat canggih. Pelayanan
pertanahan telah dilakukan melalui berbagai kegiatan menggunakan
komputer, mulai dari informasi sampai pada hasil produk akhir berupa
surat keputusan ataupun sertifikat hak atas tanah.

3. Alih Fungsi dan Penggusuran Lahan Pertanian


Dua kata kunci dalam strategi pengendalian alih fungsi lahan
pertanian adalah holistik dan komprehensif. Dengan kata lain, alih fungsi
lahan pertanian harus jadi perhatian semua pihak, baik yang secara
langsung maupun tidak langsung terlibat di dalamnya. Pihak-pihak yang
dimaksud merupakan tumpuan dengan dimensi cukup luas, yakni segenap
lapisan masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholders) yang
berhubungan secara nyata dan tidak nyata dengan alih fungsi lahan
pertanian. Sehubungan dengan itu, dasar pemikiran mengenai strategi
pengendalian alih fungsi lahan yang bertumpu pada masyarakat ini.
Terdapat tiga langkah dalam mewujudkan strategi pengendalian
alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada masyarakat. Pertama, titik
tumpu (entry point) strategi pengendalian adalah melalui partisipasi
segenap pemangku kepentingan. Hal ini cukup mendasar, mengingat para
pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang bersentuhan langsung
dengan proses alih fungsi lahan pertanian. Kedua, fokus analisis strategi
pengendalian adalah sikap pandang pemangku kepentingan terhadap
eksistensi peraturan kebijakan seperti instrumen hukum (peraturan

61
perundang-undangan), instrumen ekonomi (insentif, disinsentif,
kompensasi) dan zonasi (batasan-batasan alih fungsi lahan pertanian).
Esensinya, sikap pandang pemangku kepentingan seyogyanya
berlandaskan inisiatif masyarakat dalam bentuk partisipasi aksi kolektif
yang sinergis dengan peraturan kebijakan, sesuai dengan harapan dan
keinginan masyarakat. Ketiga, sasaran (goal) strategi pengendalian adalah
terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selaras dan
berkelanjutan.

C. Rangkuman Materi
Kebijakan strategi perencanaan perluasan areal pertanian disusun dari
hasil analisis situasi dan kondisi obyektif atas target yang ingin dicapai
berdasarkan potensi yang tersedia. Namun, harus mempertimbangkan secara
seksama kendala, isu‐isu, dan permasalahan empiris yang dihadapi. Dalam
analisis, fokus bahasan diarahkan pada simpul‐simpul strategis yang perlu
dipertimbangkan dengan seksama dalam perencanaan perluasan areal
pertanian.
Dalam penerapan azas efisiensi, perlu dipahami secara komprehensif
bahwa viabilitas ekonomi usahatani sangat ditentukan oleh keberhasilan
memadukan prinsip-prinsip agronomi dan ekonomi dalam proses produksi
pertanian. Pilihan jenis komoditas, skala usaha, teknik pengolahan lahan,
penggunaan variates, pengelolaan air, pengendalian organisme pengganggu
tanaman, pemupukan, serta pengelolaan pengadaan input dan pemasaran
output adalah kunci‐kunci pokok yang menentukan viabilitas finansial
usahatani.
Namun, tentunya proses produksi usahatani tidak dapat dilepaskan dari
karakteristik intrinsik proses pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman,
sehingga usahatani prinsip‐prinsip “managed ecosystem” tidak dapat dihindari
karena hal ini sangat menentukan bukan saja efisiensi tetapi juga
keberlanjutan sistem usahatani.

62
D. Latihan/Tugas
1. Bagaimana distribusi penguasaan tanah ?
2. Apa dampak penggunaan teknologi terhadap distribusi tanah ?

E. Rambu-rambu jawaban Soal


Wiratmoko, Nick T. (ed), 2004 Yang Pusat dan Yang Lokal, Antara
Dominasi, resistensi, dan Akomodasi Politik di tingkat lokal,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pustaka Percik.

Wiradi, Gunawan (ed)., 2001, Prinsip-prinsip Reforma Agraria; Jalan


Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Yogyakarta, Lapera Pustaka
Utama.

F. Daftar Pustaka
Wiratmoko, Nick T. (ed), 2004 Yang Pusat dan Yang Lokal, Antara
Dominasi, resistensi, dan Akomodasi Politik di tingkat lokal,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pustaka Percik.

Wiradi, Gunawan (ed)., 2001, Prinsip-prinsip Reforma Agraria; Jalan


Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Yogyakarta, Lapera Pustaka
Utama.

63
BAB VIII
LAND REFORM PEMBAHARUAN AGRARIA

A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari land reform pembaharuan agraria maka
mahasiswa mampu menjelaskan tentang Pengertian Land Reform, Model
Penguasaan dan Penggunaan Tanah, Potret Suram Struktur Pertanahan,
Larangan Tanah Absentee.

B. Uraian Materi
1. Pengertian Land Reform
Landreform terdiri atas dua suku kata yaitu land dan reform. Land
berarti tanah, sedangkan reform berarti perbaikan atau pembaruan.
Budi Harsono menyatakan bahwa landreform meliputi perombakan
mengenai pemilikan dan penguasan tanah serta hubungan-hubungan yang
bersangkutan dengan penguasaan tanah. Ini berarti bahwa nampaknya
selama belum dilaksanakannya landreform keadaan pemilikan dan
penguasaan tanah di Indonesia dipandang perlu diubah strukturnya.
Sejak beberapa tahun terakhir ini kata reformasi, kembali populer
disuarakan oleh anggota masyarakat. Di kalangan ilmuwan hukum agraria,
kata reformasi sebagai terjemahan kata Inggeris reform bukanlah
merupakan istilah yang baru. Istilah ini bahkan telah dikenal beberapa
puluh tahun yang silam dengan menggandengkannya dengan masalah
pertanahan dan/atau agraria, sehingga timbullah istilah landreform yang
selanjutnya penulis sebutkan dengan reformasi pertanahan atau agrarian
reform, yang untuk selanjutnya penulis sebutkan dengan reformasi agraria.
Antara kedua pengertian tersebut seringkali diidentikkan pada hal
yang sesungguhnya telah disepakati secara umum bahwa reformasi agraria
lebih luas daripada pengertian reformasi pertanahan. Reformasi agraria

64
dimaksudkan sebagai program yang lebih luas dari sekedar penataan tanah
(reformasi pertanahan).
Pengertian umumnya adalah pembaruan, tetapi menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, reform bukan sekedar pembaruan tetapi
perubahan radikal untuk perbaikan di suatu masyarakat atau negara.
Radikal sendiri berarti sampai pada hal yang prinsip atau mendasar untuk
perbaikan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia itu sendiri
diterangkan juga bahwa reformis adalah orang yang menganjurkan adanya
usaha perbaikan tanpa kekerasan. Dengan demikian maka reformasi
pertanahan dimaksudkan sebagai upaya melakukan perubahan di bidang
pertanahan dengan peraturan untuk menuju keadaan yang lebih baik tanpa
kekerasan.
Oleh Boedi Harsono (1997:2) dikatakan bahwa UUPA juga memuat
program landreform dan agrarianreform, yang tertuang dalam Panca
Program Agraria Reform Indonesia yaitu:
a. Pembaruan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang
berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;
b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
c. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
d. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah dalam
mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;
e. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara
terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Boedi Harsono (1997:3) menyatakan bahwa keseluruhan program
tersebut lazim disebut dengan Agrarian Reform atau Landreform dalam
arti yang luas. Sedangkan program keempat lazim disebut dengan program
Landreform, program kelima disebut dengan Tata Guna Sumber-sumber
Alam. Dengan demikian maka sesungguhnya program keempat yaitu
landreform adalah agrarian reform dalam arti sempit.

65
Hal yang sama dikemukakan oleh Parlindungan, pengertian
reformasi pertanahan dibaginya atas dua macam yaitu reformasi
pertanahan dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Konsepsi Amerika nampaknya berpengaruh besar kepada para
penulis Indonesia misalnya Perangin (1989:121) mengemukakan
pengertiannya dalam arti luas yaitu:
a. pembaruan hukum agraria,
b. penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah,
c. mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur,
d. perombakan mengenai pemilikan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanah,
e. perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu secara berencana
sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.
Parlindungan (1987:10) memberikan pengertian yang luas dengan
mengemukakan bahwa pengertian reformasi pertanahan meliputi
pengertian dari segi politik dan ekonomi.

Dari segi politik berarti :


a. Penghapusan bentuk-bentuk feodal atas tanah ;
b. Membebaskan para petani dan membuat mereka menjadi warga yang
aktif dengan mengakhiri penguasaan dan ketergantungan mereka dari
kaum penghisap;
c. Menciptakan demokrasi;
d. Sebagai tindakan pragmatis untuk menyelesaikan krisis atau
mengelakkan suatu revolusi.
Dari segi ekonomi berarti :
a. Meningkatkan dengan cepat pembangunan ekonomi:
b. Mendorong pertanian yang lebih intensif;
c. Meningkatkan skala operasi dari pertanian;

66
d. Mengkoordinasikan produksi pertanian dengan bagian lain dari
ekonomi dan kaitannya derngan pembangunan ekonomi dan industri.
Dari uraian tersebut di atas dengan menghubungkannya ketentuan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia telah jelas bahwa
reformasi agraria Indonesia meliputi hal-hal yang diatur oleh Undang-
undang Pokok Agraria dan Undang-undang Nomor 56 Prp. 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian, sedangkan reformasi pertanahan sendiri
terbatas hanya pada hal-hal yang diatur oleh Undang-undang Nomor 56
Prp. Tahun 1960 tersebut.

2. Model Penguasaan dan Penggunaan Tanah


Sebelum dikeluarkannya PP No. 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah, masalah model perencanaan penggunaan tanah
masih merupakan masalah yang belum tuntas artinya masalahnya masih
menjadi pembicaraan di antara para perencana pembangunan di Indonesia.
Hal ini disebabkan belum ditemukan model perencanaan penggunaan
tanah yang dapat dijadikan pedoman oleh para perencana pembangunan.
Adapun faktor-faktornya adalah:
a. UUPA sendiri hanya mengatur secara garis besarnya saja.
Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria).
Pasal 14 menentukan agar Pemerintah membuat “rencana umum”
penggunaan tanah untuk berbagai macam kepentingan masyarakat dan
negara. Sedang Pasal 15 UUPA menentukan agar penggunaan tanah
tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup termasuk
terpeliharanya tingkat kesuburan tanah.
b. Adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan dari rencana
penggunaan tanah.
c. Selama ini pemerintah Indonesia menggunakan model perencanaan
penataan wilayah termasuk penggunaan tanah yang diwarisi oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Tetapi setelah keluar PP No. 16 Tahun

67
2004 tentang Penatagunaan Tanah maka sudah ada aturan yang bisa
dipergunakan sebagai acuan dalam mengatur dan menyelesaikan
persoalan penatagunaan tanah di Indonesia.
Ada beberapa Model Perencanaan Penggunaan Tanah yaitu:
a. Model Zoning
Menurut model ini, tanah di suatu wilayah/daerah tertentu dibagi
dalam beberapa zone penggunaan atau kepentingan-kepentingan/
kegiatan-kegiatan/usaha-usaha yang dilakukan.
Contoh model zoning yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess
untuk kota Chicago, di mana wilayah dibagi menjadi:
1) Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan
yang sering disebut “downtown”.
2) “The zone in transitions” merupakan wilayah yang disiapkan
bagi perkembangan industri dan perdagangan.
3) “The zone of working men’s homes” merupakan wilayah
pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas bawah.
4) “The residential zone” merupakan wilayah permukiman bagi
orang-orang kaya
5) “The commuters zone” merupakan wilayah diluar batas kota.
Kebaikan dari model zoning adalah:
Tugas perencana penggunaan tanah cukup sederhana.
Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah
warga masyarakat.
Kelemahan-kelemahannya adalah:
Tidak adanya ruang atas tanah yang dapat menampung kegiatan-
kegiatan yang dipandang merugikan atau mengganggu apabila
diletakkan pada zone-zone tertentu.
Akan terjadi perkembangan wilayah yang tidak merata.
Pada suatu saat, suatu zone akan mengalami tingkat kepadatan
yang tinggi.
b. Model Terbuka

68
Istilah terbuka mempunyai arti bahwa suatu ruang atas tanah
dalam satu wilayah tertentu tidak terbagi-bagi dalam zone-zone
penggunaan sebagaimana dalam model zoning. Model terbuka
menitikberatkan pada usaha-usaha untuk mencari lokasi yang
sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah atau swasta.
Kebaikan dari model terbuka:
1) Semua kegiatan pembangunan baik pemerintah maupun swasta
dilaksanakan dan tertampung, tanpa ada kekawatiran akan
terjadi konflik dalam penggunaan tanah.
2) Tanah dapat digunakan sesuai dengan asas-asas penggunaan
tanah.
Kelemahan model terbuka adalah kurangnya jaminan kepastian
hukum terhadap hak atas tanah warga masyarakat. Hak atas tanah
warga masyarakat kurang mendapatkan jaminan hukum. Untuk
mengatasi ini maka hendaknya proses pembebasan tanah dilakukan
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c. Land Consolidation
Dikenal pula adanya teknik konsolidasi tanah (land
consolidation) yaitu teknik penataan kembali lokasi dan batas-batas
tanah serta sarana dan prasarana (pelurusan jalan, sungai, saluran
pembagian/pembuangan air) sedemikian rupa, sehingga
pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang dan setiap
persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air.
Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah
itu harus dipelihara baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan
di daerah yang bersangkutan sesuai dengan petunjuk dari jawatan-
jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburan serta
dicegah kerusakannya.
Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan

69
bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk
itu perlu dilakukan konsolidasi tanah sebagai upaya untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penggunaan tanah serta
menyelaraskan kepentingan individu dengan fungsi sosial tanah
dalam rangka pelaksanaan pembangunan.
Konsolidasi tanah ialah kebijaksanaan pertanahan mengenai
penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya
alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

3. Potret Suram Struktur Pertanahan


Kemiskinan merupakan racun bagi rakyat di manapun. Berbagai
upaya dilakukan oleh pemerintahan namun tak pernah memperoleh hasil
yang maksimal. Padahal berbagai kekayaan melimpah di jambrut
katulistiwa. Dan masih menjadi catatan penting hingga manapun. Bahwa
kaum kolonial datang ke kepulauan nusantara berabad-abad tak lain akibat
kekayaan produk pertanian tropis yang bermanfaat dan bernilai tinggi.
Tentu yang dicari tak lain dari rempah-rempahan yang dapat dipasarkan di
dunia eropa. Dan gugusan gunung berapi yang ada hampir di semua
kepulauan Indonesia sudah menjadi jaminan akan tingkat kesuburan selain
fanorama yang indah.
Namun setelah Indonesia merdeka, produktivitas pertanian tetap
menjadi potret suram dan kelam. Bahkan komoditi pertanian itu tertinggal
dari negara-negara lainnya. Tak bisa di hindari, kemiskinan menjadi potret
yang aktual. Meskipun Indonesia kaya raya. Rakyat acapkali menuai
bencana.Ibarat tikus mati di lumbung padi.
Bila ditelusuri dengan sadar, Hal yang harus menjadi catatan
penting bahwa kehancuran pertanian yang berakibat pada semakin

70
miskinnya rakyat petani tidak terlepas dari strategi pembangunan yang
lebih berorientasi pada sektor industri.
Upaya tersebut akan sangat sulit untuk direalisasikan. Bahkan
hanya akan jadi tulisan yang cukup didokumentasikan. Di satu sisi rakyat
memiliki ketergantungan dengan agraria, di sisi lain arah kebijakan
pembangunan yang diklaim ideal memisahkan agraria dari warga. Ini
terlihat dari agraria, informasi, modal, barang, orang yang menjadi sumber
kesejahteraan, kesehatan dan produksi rakyat miskin tak pernah ada
kepastian dalam pengelolaan, penguasaan, dan pemilikan.
Tetapi membangunkan sektor pertanian menjadi areal investasi
bagi produksivitas, kesejahteraan dan kesehatan rakyat tak akan pernah
berarti bila kepastian bagi buruh tani yang miskin akan agraria tak pernah
dimilikinya. Karena kekeliruan sikap penguasa selama ini dijelaskan
dalam TAP MPR No IX tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya Alam dalam hal menimbang butir (c) di
nyatakan bahwa “ pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam
yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik (d) bahwa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
agraria/sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan’.

4. Larangan Tanah Absentee


Menurut Boedi Harsono, Program landreform di Indonesia meliputi :
a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah.
b. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut ‘absentee’ atau
‘guntai’.
c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-
tanah yang terkena larangan ‘absentee’, tanah-tanah bekas Swapraja
dan tanah-tanah negara.

71
d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian
yang digadaikan.
e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
f. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan
pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian
yang terlampau kecil.
Adapun larangan pemilikan tanah secara absentee berpangkal pada
dasar hukum yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA, yaitu sebagai
berikut :
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.

Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No.


224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan sebagai berikut :

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat


letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas
tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau
pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut”.

Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan :

“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas


tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan
memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”.

Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang merupakan


ketentuan dari absentee, antara lain :
a. Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara
aktif.
b. Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat
letak tanahnya.
c. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan
tempat letak tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau
pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut.

72
d. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian
kepada orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau
berkedudukan di luar Kecamatan tempat letak tanahnya.
e. Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah
pertanian.

Pengecualian terhadap ketentuan penguasaan dan pemilikan tanah


secara absentee, bahwa “Pemilik tanah yang bertempat tinggal di
Kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan tempat letak tanahnya,
asalkan masih memungkinkan tanah pertanian itu dikerjakan secara
efisien” (vide Pasal 3 ayat (2) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964).
Kemudian masih dalam Pasal 3 ayat (2) tersebut, penilaian tentang
apa yang dimaksud “mengerjakan tanah itu secara effisien”,
pertimbangannya dipercayakan kepada Panitya Landreform Daerah
Tingkat II. Jadi sah-sah saja jika misalnya Panitya Landreform Daerah
Tingkat II menetapkan bahwa perkecualian Kecamatan yang berbatasan
itu ditetapkan dalam radius 10 km. Namun yang perlu dipertanyakan,
apakah radius tersebut effektif diterapkan dalam era sekarang, mengingat
saat ini transportasi sudah sangat mudah. Kita harus melihat ke belakang
saat Peraturan tersebut diterbitkan, yaitu pada era dimana transportasi
masih sulit. Maka di sini, perlu kebijaksanaan yang matang dari Panitya
Landreform Daerah Tingkat II untuk menetapkan batas-batas ke-effisienan
tersebut. Jangan asal ngomong…
Sehingga Notaris/PPAT mempunyai patokan (dasar) untuk membuat
Akta Jual Beli jika objeknya tanah sawah tetapi calon pembeli bertempat
tinggal di Kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan letak objek, dan
tidak mengalami kendala jika diproses balik nama di Kantor Pertanahan
setempat.
Mengenai pengertian bahwa pemilik atau calon pemilik bertempat
tinggal atau pindah di Kecamatan tempat letak tanah dimaksud, telah
ditegaskan oleh Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. III Tahun

73
1963 tentang Pencegahan Usaha-Usaha Untuk Menghindari Pasal 3 PP
No. 224/1961, yaitu sebagai berikut :
“Pindah ke Kecamatan letak tanah” sebagai dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) PP No. 224 Tahun 1961 haruslah diartikan bahwa mereka yang pindah
ke tempat letak tanah benar-benar berumah tangga dan menjalankan
kegiatan-kegiatan hidup bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari di
tempat yang baru, sehingga memungkinkan penggarapan tanah secara
efisien”.

Mengamati Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria tersebut, maka


secara nyata yang bersangkutan pindah ke tempat letak tanah dimaksud,
berumah tangga, dan menjalankan kegiatan hidup bermasyarakat, bukan
sekedar pernyataan KTP. Maka kepada PPAT perlu memperhatikan Pasal
39 ayat (1) huruf g PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
yang berbunyi :
“PPAT menolak untuk membuat akta, jika : tidak dipenuhi syarat lain atau
dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan”.

Sanksi bila PPAT mengabaikan ketentuan dimaksud terdapat dalam


Pasal 62 PP 24/1997 tersebut. Sementara di dalam UUJN tidak ditentukan
secara eksplisit seperti pada PP 24/1997. Bahkan dalam Pasal 17 UUJN
tentang larangan pun tidak ada ketentuan tersebut. Namun secara implisit
ketentuan itu terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d, yaitu :
“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban : memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada
alasan untuk menolaknya”.

Sementara di dalam Penjelasannya dikatakan: “Yang dimaksud


dengan “alasan untuk menolaknya” adalah alasan yang mengakibatkan
Notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda
dengan Notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak
mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal
lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang”.
Yang dimaksud dengan “hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-
undang” tentunya tidak terbatas pada UUJN, tetapi pengertiannya luas,

74
termasuk larangan tentang kepemilikan tanah secara absentee sebagaimana
diuraikan di atas. Kalau tidak, maka Notaris yang bersangkutan melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, tidak dapat dibenarkan bila
ada Perjanjian Ikatan Jual Beli yang objeknya adalah tanah pertanian
(sawah) tetapi pembelinya berkedudukan absentee. Perjanjian Ikatan Jual
beli sekalipun merupakan perjanjian permulaan, tetapi pada hakikatnya
adalah jual-beli. Tidak ada satu pasal pun dalam peraturan perundang-
undangan yang mengecualikan diperbolehkan dibuat Perjanjian Ikatan
Jual Beli terhadap kepemilikan tanah absentee. Dibuat Perjanjian Ikatan
Jual beli karena ada beberapa syarat yang belum bisa dipenuhi, tetapi
bukan berarti belum dipenuhinya syarat itu (misalnya status objek masih
berupa tanah sawah) maka dibuat perjanjian yang isinya justru melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan (larangan pemilikan tanah
absentee). Hal ini akan menjadi problem di kemudian hari apabila si
Pembeli hendak menindaklanjuti dengan pembuatan Akta Jual Beli. Sesuai
dengan amanat Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN, seharusnya Notaris
menjelaskan (memberikan penyuluhan hukum) kepada para pihak tentang
larangan tersebut.
Ada dua cara untuk mengatasi masalah kepemilikan tanah secara
absentee bagi calon pembeli, yaitu:
a. Pemohon (calon penerima hak) bertempat tinggal secara nyata di
Kecamatan tempat letak objek (lihat uraian di atas).
b. Status tanah sawah (pertanian) tersebut diubah dahulu menjadi tanah
pekarangan. Hal ini biasa dikenal dengan Ijin Pengeringan.
Apabila tanah sawah yang dimaksud sudah tidak produktif, maka
tidak ada masalah jika diberikan Ijin Pengeringan. Namun apabila ternyata
tanah pertanian (tanah sawah) itu masih produktif tetapi dapat diberikan
Ijin Pengeringan, maka program landreform – untuk kesekian kalinya akan
kandas di tengah jalan. Padahal Bung Karno dalam Pidato JAREK
(Jalannya Revolusi Kita, yaitu Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960),
menyatakan bahwa : “Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama

75
saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang,
sama saja dengan omong besar tanpa isi…. Gembar-gembor tentang
Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat
Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan Landreform adalah gembar-
gembornya tukang penjual obat di pasar Tanah Abang atau di Pasar
Senen”.

C. Rangkuman Materi
Landreform terdiri atas dua suku kata yaitu land dan reform. Land
berarti tanah, sedangkan reform berarti perbaikan atau pembaharuan. Budi
Harsono menyatakan bahwa landreform meliputi perombakan mengenai
pemilikan dan penguasan tanah serta hubungan-hubungan yang bersangkutan
dengan penguasaan tanah. Ini berarti bahwa nampaknya selama belum
dilaksanakannya landreform keadaan pemilikan dan penguasaan tanah di
Indonesia dipandang perlu dirubah strukturnya.
Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus
dipelihara baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan di daerah yang
bersangkutan sesuai dengan petunjuk dari jawatan-jawatan yang bersangkutan
agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya.
Konsolidasi tanah ialah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan
kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan
pemeliharaan sumber daya alan dengan melibatkan partisipasi aktif
masyarakat.

D. Latihan/Tugas
1. Apakah pengertiand ari land reform ?
2. Seperti apakah model penguasaan dan penggunaan tanah ?
3. Bagaimana gambaran potret suram struktur pertanahan ?
4. Apa yang dimaksud dengan larangan tanah absentee ?

76
E. Rambu-rambu jawaban Soal
Harsono, Boedi, 2003. Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan,
UUPA, Isi dan Pelaksanaannya (Edisi Revisi), Jakarta : Djambatan.

Karim, Abdul, Gaffar, 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di


Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

F. Daftar Pustaka
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah
Nasional, Djambatan, Jakarta, Cet. ke-8, 1999, h. 353.
Karim, Abdul, Gaffar, 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di
Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid 2, Panitya Penerbit Dibawah
Bendera Revolusi, Jakarta, Cet. ke-2, 1965, h. 419.

77
BAB IX
PENYEDIAAN TANAH DAN PENGADAAN PANGAN

A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari penyediaan tanah dan pengadaan
pangan maka mahasiswa mampu menjelaskan tentang Tanah Pertanian dan
Permasalahannya, Gerakan Kembali ke Sawah, Reformasi Tanah Pertanian,
Pengadaan Pangan dan Komoditas Politik.

B. Uraian Materi
1. Tanah Pertanian dan Permasalahannya
Dalam pelaksanaan program Pembangunan Pertanian Tanaman
Pangan, baik dalam bentuk kegiatan maupun penunjang kegiatan kantor
sudah barang tentu ada permasalahan-permasalahan yang timbul, baik
akibat dari pembangunan itu sendiri maupun yang timbul dari faktor iklim
atau lingkungan alam yang tidak mendukung.
Adapun permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan program
Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan dapat disampaikan sebagai
berikut :
a. Pemilikan lahan yang sempit
Kebanyakan petani di Bali (54,61%) mengusahakan lahan sawah di
bawah 0,50 Ha (petani gurem) dan lahan tersebut cendrung mengecil
karena adanya proses fragmentasi lahan sebagai akibat dari
system/pola warisan.
b. Alih fungsi lahan
Luas lahan sawah cendrung berkurang setiap tahunnya akibat adanya
alih fungsi lahan yang besarnya rata-rata 166 Ha per tahun terkecuali
pada tahun 2008, bertambah seluas 129 Ha, ini terjadi karena pada
tahun 2007 lahan tersebut tidak diusahakan ( dibeli oleh investor yang
rencananya dijadikan perumahan) dan pada tahun 2008 diusahakan
kembali menjadi lahan sawah.

78
c. Keterbatasan air irigasi
Debit air irigasi dirasakan sangat berkurang terutama pada saat musim
kemarau. Luas areal yang mengalami kekeringan tahun 2008 seluas
421 Ha dan termasuk fuso seluas 234 Ha.
d. Tenaga Kerja Terbatas
Keterbatasan tenaga kerja khususnya pada saat panen raya dan
ketergantungan terhadap tenaga kerja dari luar Bali.
e. Permodalan Petani Terbatas
Kemampuan petani untuk membiayai usahataninya sangat terbatas
sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas
potensial.
f. Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT)
Adanya serangan OPT pada setiap musim tanam yang menghambat
usaha peningkatan dan pengamanan produksi tanaman pangan
Tingkat serangan OPT masih cukup tinggi, hal ini sangat berpengaruh
dalam upaya peningkatan produksi pangan khususnya pada tanaman
padi. Pada tahun 2008 terjadi serangan OPT sebagai berikut :
Bacterial Red Stripe (BRS) = 2 Ha
Terserang Tungro = 48 Ha
Terserang Tikus = 100 Ha
Terserang wereng = 112 Ha
Penggerek Batang = 513 Ha
Blast = 9 Ha
Kresek = 31 Ha
Ulat Grayak = 2 Ha
Trips = 16 Ha
Hama Putih = 28 Ha
g. Flukstuasi Harga
Harga hasil pertanian sering berfluktuasi dan menjadi sangat rendah
terutama pada saat panen raya.
h. Belum adanya kemitraan

79
Belum adanya jalinan kemitraan yang mantap antar petani/kelompok
tani dengan pengusaha.

2. Gerakan Kembali ke Sawah


Telah banyak para pakar pangan yang mengingatkan bahwa
kebutuhan pangan untuk penduduk dunia terus meningkat sebanding
dengan pertambahan jumlah penduduk. Di lain pihak, kapasitas
memproduksi pangan tidak mengalami peningkatan yang signifikan
disebabkan oleh faktor-faktor bersifat global antara lain perubahan iklim
dan degradasi lahan. Ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan
pangan secara global, apabila tidak diantisipasi secara dini dapat
memunculkan kerawanan pangan yang pada gilirannya dapat
menimbulkan gejolak sosial.
Sementara itu industri pertanian (baca: segala sesuatu yang
berhubungan dengan pertanian) semakin tidak populer terutama di
kalangan generasi muda. Kondisi ini justru terbalik dengan trend negara
maju di dunia yang tengah menggelorakan gerakan kembali ke sawah
untuk mengantisipasi krisis pangan. Gerakan yang sebenarnya akan
menumbuhkan neokolonialisme baru negara maju atas negara berkembang
dan negara-negara miskin dengan cara mengakuisisi lahan-lahan pertanian
(land grap) sebagai investasi di lahan pertanian negara berkapital besar,
untuk mengamankan pasokan pangan di negeri mereka sendiri.
Jauh sebelumnya, Orgasnisasi Pangan dan Pertanian dunia (FAO)
melalui laporan bertajuk “Land Grab or Development Opportunity?
Agriculture Investment and International Land Deal in Africa”
mengingatkan negara-negara berkembang atas bahaya fenomena tersebut.
Menurut FAO, investasi lahan pertanian negara-negara maju akan
menempatkan negara-negara miskin pada posisi rentan menghadapi
ancaman krisis pangan. Karena mereka hanya akan menjadi objek dan
tenaga buruh murahan bahkan tidak mustahil petani akan terusir dari
lahannya. Dampak kerusakan ekologi karena pola intensive farming juga

80
akan sangat merugikan. Nah, akankah kita yang kemaren dan sekarang
telah menjadi korban modernisasi, kini akan terus menjadi tumbal
gelombang era postmodernisme dengan meninggalkan dapur kita sendiri
yaitu lahan pertanian dengan segala isi dan perkakasnya?
Secara makro tentunya pemerintah dengan segala strategi dan
kebijakannya telah mengantisipasi kondisi tersebut di atas. Yang perlu kita
lakukan adalah menyusun rencana strategis (renstra) lokal di bidang
pertanian dan menumbuhkembangkan semangat pertanian baru di
kalangan generasi muda. Perkembangan ilmu pertanian itu sendiri akhir-
akhir ini berkembang pesat seiring dengan kebutuhan untuk meningkatkan
hasil produksi pertanian dengan berbagai diversifikasi produknya, telah
membuka wawasan baru bahwa bertani itu mudah dan menyenangkan.
Tengoklah ladang dan sawah kita yang telah lama kita tinggalkan.
Kita telah memilih ke kota untuk menjadi karyawan, pekerja atau bahkan
buruh rendahan daripada menjadi juragan di lahan sendiri. Akankah orang
tua kita dibiarkan sampai renta menggarap sawah ladang yang luas itu
sendiri dengan cara yang tradisional itu? Padahal musim dan alam tidak
lagi bisa diprediksi hanya dengan hitungan kalender musim atau
munculnya lintang luku di langit. Dan tanah tidak lagi subur seperti masa
kakek-nenek moyang dahulu, kini tanah juga mengalami degradasi humus
akibat pupuk kimia yang dipakai selama ini. Siapa lagi yang akan
mewarisi pekerjaan mulia itu jika bukan kita? Ayo kembali ke sawah!

3. Reformasi Tanah Pertanian


Reformasi tanah mungkin tidaklah cukup untuk mengatasi masalah
kemiskinan petani. Pengelolaan sistem ekonomi dalam pertanian juga
harus diperbaiki untuk mencapai kesejahteraan para petani. Artikel ini
mencoba menjelaskan keterkaitan antara reformasi tanah dan pertanian itu
sendiri. Ada dua alasan yang menyebabkan reformasi tanah menjadi
sebuah keniscayaan. Pertama, menurut studi yang dilakukan Yustika
(2000), petani di Indonesia yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare

81
mencapai 88 %, dan 80 % pendapatannya juga berasal dari sektor non
pertanian. Kedua, penelitian pada komunitas petani tebu di Jawa Timur
yang menyimpulkan bahwa 50 % dari total biaya yang dikeluarkan petani
adalah biaya transaksi, sisanya adalah biaya produksi (Yustika, 2005). Dan
artikel ini pun bermaksud membahas masalah pertanian tersebut, dengan
tujuan akhirnya tentu saja kemakmuran hidup petani.
Dalam diktat ajar ini, setidaknya ada dua aspek yang harus
dibenahi oleh pemerintah selain reformasi tanah. Pertama, dari perspektif
ekonomi kelembagaan, karena selama ini pendekatan ekonomi yang
dilakukan hanya dari pendekatan ekonomi konvensional. Dilihat dari level
makro, berkurangnya lahan pertanian setiap saat berbanding lurus dengan
semakin menurunnya insentif laba di sektor ini. Untuk itu, pemerintah
perlu mendesain regulasi terkait hal ini pada level makro. Kasus di Jepang
dan AS yang dapat menyusun kelembagaan di sektor pertanian secara
optimal dapat dijadikan percontohan oleh pemerintah Indonesia.
Kedua, aspek yang harus diurus adalah kesepakatan kelembagaan
antara petani dengan pelaku di sektor hilir, seperti koperasi, pedagang,
tengkulak, asosiasi, maupun industri hilir. Kesepakatan kelembagaan
(institutional arrangements) di tingkat mikro yang tidak efisien inilah
yang menjadi sumber tingginya biaya transaksi (high transaction cost).
Penelitian Yustika di tahun 2005 di kalangan petani tebu menunjukkan
sekurangnya terdapat 20 variabel biaya transaksi, misalnya biaya bunga
kredit, marjin bunga, biaya oportunitis antre giling, iuran koperasi/ APTR,
pajak lahan dan desa, pembuatan kontrak, potongan keamanan dan masih
banyak lagi.

4. Pengadaan Pangan dan Komoditas Politik


Posisi dan peran Bulog sebagai salah satu operator dalam upaya
mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh dan meningkatkan
kesejahteraan petani, menghadapi berbagai kendala. Dalam membahas
ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani, banyak

82
pertanyaan yang muncul, antara lain (1) mengapa perlu memperkuat
ketahanan pangan dan bagaimana cara memperkuatnya, baik pada tingkat
rumah tangga maupun tingkat nasional? (2) apa kaitan antara produksi
pangan dalam negeri dengan kesejahteraan petani? (3) bagaimana
perubahan lingkungan strategis akan mempengaruhi ketahanan pangan?
(4) apa peran Perum Bulog dalam memperkuat ketahanan pangan? (4)
mengapa Bulog perlu berubah serta kemana arah perubahan tersebut?

Beras dan Ketahanan Pangan


Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus
dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu
hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945
maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari
terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan
hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting
bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil
dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi.
Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan
pangan terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan
stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan Pemerintah yang sedang
berkuasa.
Bagi Indonesia, pangan diidentikkan dengan beras karena jenis
pangan ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah
membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti
meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998,
yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan
sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.
Nilai strategis beras juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok
paling penting. Beras memiliki pengaruh yang besar dalam bidang
ekonomi (penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi
pedesaan), lingkungan (menjaga tata guna air dan udara bersih) dan sosial

83
politik (perekat bangsa, ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan
sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak, dan
vitamin.
Dengan pertimbangan pentingnya beras tersebut, Pemerintah selalu
berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangannya dari produksi dalam
negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia
karena jumlah penduduknya semakin membesar dengan sebaran populasi
yang luas dan cakupan geografis yang luas dan tersebar. Indonesia
memerlukan ketersediaan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar,
yang memenuhi kriteria kecukupan konsumsi maupun persyaratan
operasional logistik. Kegiatan pengelolaan pangan oleh Pemerintah
seringkali mendapat kritik karena adanya ketidak-sempurnaan kegiatan-
kegiatan intervensi itu sendiri baik yang disebabkan oleh kelemahan dalam
proses penyusunan kebijakannya maupun karena akibatnya yang akan
menimbulkan distorsi pasar. Intervensi akan dianggap reasonable kalau
dilakukan dalam keadaan defisit pangan atau jika terjadi surplus produksi
yang berlebihan, dan jika infrastruktur pemasaran dan kelembagaan tidak
cukup berkembang dan kompetitif untuk melindungi kepentingan
produsen dan konsumen. Kemudahan mewujudkan ketersediaan pangan,
stok pangan dunia yang tersedia dalam jumlah besar serta kemungkinan
alternatif baru bentuk program stabilisasi harga, mendorong berbagai
pihak untuk selalu mengevaluasi kembali kebijakan pangan Pemerintah.
Indonesia, seperti negara berkembang yang lain, sejak lama telah
menetapkan bahwa ketahanan pangan sebagai salah satu tujuan
pembangunan nasional. Sampai sekarang pun, tujuan itu masih dilanjutkan
seperti yang tertuang dalam RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan 2005) dan RPJM (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah
Nasional: 2004-09).

Produksi Beras dan Kesejahteraan Petani


Karakteristik produksi pangan (beras) mempunyai ketimpangan
antartempat dan waktu serta diproduksi oleh jutaan produsen yang
sebagian besar adalah petani kecil, petani tanpa tanah atau buruh tani.

84
Produksi padi dihasilkan oleh jutaan petani dengan luas lahan sempit yang
dikelola secara tradisional dan subsistem secara turun menurun. Dari aspek
tempat, sebagian besar produksi padi dihasilkan di pulau Jawa. Sedangkan
dari aspek antarwaktu, 60% produksi beras dihasilkan pada periode
Januari-Mei, 30% pada periode Juni-Agustus dan 10% pada periode
September-Desember.
Selama sepuluh tahun terakhir, produksi Gabah Kering Giling
(GKG) mengalami peningkatan dengan laju peningkatan sebesar 1,12%
per tahun. Kenaikan ini lebih disebabkan oleh kenaikan produktivitas,
yaitu dari 44,32 kuintal per hektar pada tahun 1997 menjadi 46,89 kuintal
per hektar pada 2007. Di Jawa laju kenaikan produksi tidak sebesar laju
kenaikan produksi nasional, yaitu 0,67% per tahun dengan kenaikan
produktivitas dari 51,81 kuintal per hektar pada tahun 1997 menjadi 53,72
kuintal per hektar pada 2007. Namun peningkatan produktivitas tersebut
tidak seimbang dengan peningkatan konsumsi akibat peningkatan jumlah
penduduk.
Upaya peningkatan produksi padi memperoleh kendala serius. Laju
konversi lahan sawah ke non-pertanian cukup besar, yaitu sekitar 110 ribu
ha/tahun. Selama 10 tahun terakhir tidak terjadi peningkatan luas panen
yang signifikan karena pencetakan sawah baru hanya sekitar 30-52 ribu
ha/tahun. Mengembangkan areal sawah di luar Jawa juga tidak gampang.
Sementara sebagian besar lahan sawah yang sudah ada mengalami
kejenuhan dan keletihan (soil fatique).
Permintaan pangan (beras) bersifat in-elastis, yang
mengimplikasikan bahwa fluktuasi harga tidak akan mengakibatkan
perubahan yang besar pada permintaan. Permintaan cenderung konstan
antarwaktu. Dalam jangka panjang, permintaan meningkat, terutama
karena pertumbuhan populasi. Sementara itu, ketersediaan pangan penuh
dengan ketidakpastian. Hal ini mendorong Pemerintah melakukan
intervensi dengan mewujudkan kebijakan ketahanan pangan.

85
C. Rangkuman Materi
Dalam pelaksanaan program Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan,
baik dalam bentuk kegiatan maupun penunjang kegiatan kantor sudah barang
tentu ada permasalahan-permasalahan yang timbul, baik akibat dari
pembangunan itu sendiri maupun yang timbul dari faktor iklim atau
lingkungan alam yang tidak mendukung.
Bagi Indonesia, pangan diidentikkan dengan beras karena jenis pangan
ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan
kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya
kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang
berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial
yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Nilai strategis
beras juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok paling penting.
Beras memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi (penyerapan
tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi pedesaan), lingkungan
(menjaga tata guna air dan udara bersih) dan sosial politik (perekat bangsa,
ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan
gizi yang meliputi kalori, protein, lemak, dan vitamin.

D. Latihan/Tugas
1. Jelaskan tentang tanah pertanian dan permasalahannya ?
2. Apa yang dimaksud dengan gerakan kembali ke sawah ?
3. Apa tujuan reformasi tanah pertanian ?
4. Bagaimana cara pengadaan pangan dan komoditas politik ?

E. Rambu-rambu jawaban Soal


Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan,
UUPA, Isi dan Pelaksanaannya (Edisi Revisi), Jakarta : Djambatan.

Maria, SW., Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan,

86
F. Daftar Pustaka
Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan,
UUPA, Isi dan Pelaksanaannya (Edisi Revisi), Jakarta : Djambatan.

Maria, SW., Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan,

87
BAB IX
LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
maka mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, urgensi dan regulasi,
kriteria, prosedur penerapan, perlindungan dan alih fungsi lahan pertanian
pangan berkelanjutan
B. Uraian Materi

1. Pengertian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan


Kata “keberlanjutan” sekarang ini digunakan secara meluas dalam
lingkup program pembangunan. Namun apa arti sesungguhnya kata ini?
Keberlanjutan dapat diartikan sebagai “menjaga agar sesuatu upaya terus
berlangsung”, “kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak
merosot”. Dalam konteks pertanian, keberlanjutan untuk tetap produktif
sekaligus tetap mempertahankan basis sumber daya. Menurut Technical
Advisory Committee (TAC) of the CGIAR pertanian berkelanjutan adalah
pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna
membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan
atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.
Banyak orang menggunakan definisi yang lebih luas dan menilai pertanian
bisa dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup hal-hal berikut ini:
a. Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumber daya alam
dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari
manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan
Kedua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman,
hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis. Sumber
daya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur
hara, biomassa, dan energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu
mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada penggunaan sumber
daya yang bisa diperbarui.

88
b. Bisa berkelanjutan secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa
cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan
sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk
mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan
ekonomis ini bisa diukur bukan hanya dalam hal produk usaha tani yang
langsung, namun juga dalam fungsi melestarikan sumber daya alam dan
meminimalkan risiko.
c. Adil, yang berarti bahwa sumber daya dan kekuasaan didistribusikan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat
dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan terpenuhi, modal yang
memadai, disertai bantuan teknis serta peluang pemasaran yang terjamin.
Semua orang memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam
pengambilan keputusan, baik di lapangan maupun di dalam masyarakat.
d. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman,
hewan dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup
dihormati, dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai
kemanusiaan yang mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri,
kerja sama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spiritual masyarakat
dijaga dan dipelihara.
e. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat perdesaan mampu menyesuaikan
diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus,
misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar
dan lain-lain. (Sudalmi, 2010:19-20)

2. Urgensi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan


Sebagai upaya dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan
pertanian pangan, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 tersebut dengan jelas disebutkan bahwa
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah bidang lahan
pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara
konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan

89
dan kedaulatan pangan nasional. LP2B dapat berupa lahan beririgasi, lahan
reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak) dan/ atau lahan
tidak beririgasi (lahan kering).
Selain UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, diterbitkan juga Peraturan Pemerintah No.
1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian
Berkelanjutan. Serupa dengan ketentuan dalam UU No.41 Tahun 2009,
dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2011 juga ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan lahan pertanian berkelanjutan adalah bidang lahan
pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara
konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan,
dan kedaulatan pangan nasional.
3. Kriteria Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Kriteria Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagimana
disebutkan dalam Pasal 22 dan 23 PP Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai
berikut:
Pasal 22
(1) Lahan yang dapat ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan harus memenuhi kriteria:
a. berada pada kesatuan hamparan lahan yang mendukung produktivitas
dan efisiensi produksi;
b. memiliki potensi teknis dan kesesuaian lahan yang sangat sesuai,
sesuai, atau agak sesuai untuk peruntukan pertanian pangan;
c. didukung infrastruktur dasar; dan/atau
d. telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan.
(2) Kriteria lahan yang berada pada kesatuan hamparan lahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dengan mempertimbangkan
aspek ekonomi dan sosial budaya masyarakat.

90
(3) Kriteria lahan yang memiliki potensi teknis dan kesesuaian lahan
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf b ditentukan dengan
mempertimbangkan:
a. kelerengan;
b. iklim; dan
c. sifat fisik, kimia, dan biologi tanah; yang cocok untuk dikembangkan
menjadi lahan pertanian pangan dengan memperhatikan daya dukung
lingkungan.
(4) Kriteria lahan pertanian pangan yang telah dimanfaatkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d ditentukan dengan pertimbangan:
a. produktivitas;
b. intensitas pertanaman;
c. ketersedian air;
d. konservasi;
e. berwawasan lingkungan; dan
f. berkelanjutan.
Pasal 23
Lahan yang dapat ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan harus memenuhi persyaratan:
a. berada di dalam atau di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
dan
b. termuat dalam Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
4. Prosedur Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Prosedur penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terdapat
pada Pasal 25 PP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan seabagai berikut:
(1) Lahan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten/ kota yang telah sesuai
dengan kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
dan Pasal 23 disusun dalam bentuk usulan penetapan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan kabupaten/ kota.

91
(2) Usulan penetapan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
data dan informasi tekstual, numerik, dan spasial mengenai indikasi
luas baku tingkat kabupaten/ kota untuk mewujudkan kemandirian,
ketahanan, dan kedaulatan pangan.
(3) Usulan penetapan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun
dengan memperhatikan saran dan tanggapan dari masyarakat.

Pasal 26
(1) Usulan penetapan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
disampaikan oleh Kepala Dinas kabupaten/ kota kepada kepala SKPD
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang
wilayah kabupaten/ kota untuk dikoordinasikan dengan kepala kantor
pertanahan dan instansi terkait lainnya.
(2) Usulan penetapan lahan yang telah dikoordinasikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kembali oleh kepala SKPD yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang
wilayah kabupaten/ kota kepada Kepala Dinas kabupaten/kota.
(3) Usulan penetapan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan
oleh Kepala Dinas kabupaten/ kota kepada bupati/ wali kota untuk
ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan kabupaten/k
ota dalam rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/ kota.
(4) Dalam hal rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
belum ada, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ditetapkan dalam
rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota.
(5) Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam rencana rinci
tata ruang dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

92
Jika digambarkan maka Prosedur Penetapan LP2B adalah sebagai berikut:

Gambar 1 Prosedur Penetapan LP2B

Pengertian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tercantum pada


BAB I Pasal 1 ayat (3) PP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Disebutkan dalam ayat
tersebut bahwa Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan
pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara
konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan,
dan kedaulatan pangan nasional.
Pada ayat (4) dijelaskan bahwa Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar

93
kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang.
Sedangkan ayat (5) PP Nomor 1 Tahun 2012 menjelaskan bahwa Kawasan
Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian
terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dan/ atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian
Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk
mendukung kemandirian, ketahanan , dan kedaulatan pangan nasional.
Pada Pasal 1 angka 3 Perpres No. 59 Tahun 2019 tentang
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah dijelaskan bahwa Pengendalian
Alih Fungsi Lahan Sawah adalah serangkaian kegiatan yang dimaksudkan
untuk mengendalikan perubahan Lahan Sawah menjadi bukan Lahan Sawah
baik secara tetap maupun sementara.
Sebagai realisasi Pasal 1 angka 3 Perpres No. 59 Tahun 2019
tersebut adalah dibentuknya Tim Terpadu yang diatur dalam BAB II, Pasal
4 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Tim Terpadu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas; Ketua Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
Ketua Harian: Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional; Anggota:
a. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
b. Menteri Pertanian;
c. Menteri Dalam Negeri;
d. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
e. Menteri Keuangan;
f. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional; dan
g. Kepala Badan Informasi Geospasial.
Namun demikian, strategi Pemerintah untuk menanggulangi dampak
alih fungsi lahan pertanian tersebut menemui berbagai macam kendala
sehingga Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak dapat terlaksana dengan baik.

94
Saat ini masih terdapat berbagai permasalahan terkait pengendalian alih
fungsi lahan pertanian seperti: (1) Belum semua Provinsi dan
Kabupaten/Kota menyelesaikan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) sebagaimana diamantkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2008 tentang RTRW Nasional; (2) Rencana Pembangunan di daerah
khususnya infrastruktur dasar yang memerlukan tanah semakin intensif dan
kompetitif; (3) Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)
dalam Perda Rencanta Tata Ruang Wilayah (RTRW) baru dilakukan 225
dari 554 Kabupaten Kota di seluruh Indonesia, dengan luasan sawah yang
ditetapkan dalam Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) tidak
didukung dengan data secara geospasial; (4) Maraknya alih fungsi secara
mandiri/tanpa perizinan yang ditetapkan.
Fenomena keengganan Pemerintah daerah untuk tidak menetapkan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dapat disebabkan oleh
faktor: (1) terdapat persepsi Pemerintah Daerah bahwa penetapan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dapat menganggu investasi dan
tidak memberikan tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD); (2)
Konsekuensi diterapkannya Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)
adalah daerah harus menyediakan anggaran untuk pemberian insentif; (3)
Pemerintah Daerah merasa terikat dan sulit membangun wilayah daerahnya
jika sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(menjadi tidak fleksibel); (4) Tidak ada konsekuensi bagi Kepala Daerah
yang tidak menetapkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B); (5)
Tidak adanya anggaran untuk melakukan pemetaan; (6) Persepsi pertanian
adalah kawasan pengembangan, bukan area yang harus dipertahankan; (7)
Keberpihakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sangat kurang; (7)
Mekanisme pasar yang mengorbakan lahan pertanian, bahkan Proyek
Strategis Nasional (PSN)/Pembangunan yang masif atau investasi.
Dewasa ini pembangunan sistem pertanian di Indonesia cenderung
masih bersifat parsial dan kurang memperhatikan nasib petani. Secara klasik

95
telah diketahui bahwa kegiatan pertanian dipengaruhi oleh lahan (land),
tenaga kerja (labour), dan modal (capital). Semua unsur tersebut dewasa ini
kurang menguntungkan nasib petani. Kepemilikan/ penguasaan lahan sawah
di Pulau Jawa sudah tidak ideal bagi petani untuk mengembangkan usaha
tani sawah, mengingat sebagian besar petani hanya mempunyai lahan
sempit, yaitu kurang dari 0,5 ha. Bahkan makin banyak di antara petani
tersebut sudah tidak memiliki lahan sawah lagi. Kondisi pemilikan/
penguasaan lahan tersebut terjadi pula pada sistem ladang berpindah di luar
Pulau Jawa. Kini, banyak peladang berpindah yang makin berkurang
pemilikan/ penguasaan lahan ladangnya, karena lahan-lahan ladang mereka
telah dikonversikan menjadi peruntukan lain seperti pembalakan, hutan
tanaman industri, penambangan, perkebunan monokultur komersil, dan
pendirian pabrik-pabrik/ industri. (Iskandar, 2006: 205)
Alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman terhadap pencapaian
ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan. Alih fungsi lahan
mempunyai implikasi yang serius terhadap produksi pangan, lingkungan
fisik serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan perdesaan yang
kehidupannya tergantung pada lahannya. Alih fungsi lahan-lahan pertanian
subur yang selama ini terjadi kurang diimbangi dengan upaya-upaya secara
terpadu dalam pengembangan lahan pertanian melalui pencetakan lahan
pertanian baru yang potensial. Di samping itu alih fungsi lahan
menyebabkan makin sempitnya luas garapan yang berdampak pada tidak
terpenuhinya skala ekonomi usaha tani, sehingga berakibat pada inefisiensi
dan pada akhirnya menurunnya kesejahteraan petani. Kecilnya luas garapan
petani juga disebabkan oleh peningkatan jumlah rumah tangga petani yang
tidak sebanding dengan luas lahan yang diusahakan. Akibatnya jumlah
petani gurem dan buruh tani tanpa penguasaan/ kepemilikan lahan terus
bertambah yang berakibat kepada sulitnya upaya peningkatan kesejahteraan
petani dan pengentasan kemiskinan di kawasan perdesaan. Oleh karena itu
pengendalian alih fungsi lahan pertanian melalui usaha-usaha perlindungan
lahan pertanian pangan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan

96
ketahanan pangan dan kedaulatan pangan menuju kemandirian pangan
sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pada
umumnya.
Adalah tugas pemerintah untuk menjamin kecukupan pemenuhan
akan bahan pangan. Oleh karena itu, maka dalam perencanaan penetapan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan didasarkan pada:
1) pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk;

2) pertumbuhan produktivitas;

3) kebutuhan pangan nasional;

4) kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan;

5) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

6) musyawarah petani.

Penyusunan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan


dilakukan secara berjenjang. Hal itu dimulai dari tingkat nasional, tingkat
provinsi maupun kabupaten/ kota.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 juga menyatakan bahwa
dalam suatu hal, suatu daerah/ kawasan ditetapkan sebagai Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan, maka pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan konservasi tanah dan air yang
meliputi:
1) perlindungan sumber daya lahan dan air;

2) pelestarian sumber daya lahan dan air;

3) pengelolaan kualitas lahan dan air serta

4) pengendalian terhadap pencemaran.

Hal ini dilakukan guna memberikan jaminan bahwa LP2B yang


telah ditetapkan, tetap produktif dan mampu memberikan dukungan dalam
proses produksi pangan dalam jangka panjang dan berkelanjutan.
Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah dibentuk

97
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2009 menentukan bahwa:
5. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
diselenggarakan dengan tujuan:
a. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara
berkelanjutan;
b. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
c. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;
d. melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani;
e. meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan
masyarakat;
f. meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani;
g. meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang
layak;
h. mempertahankan keseimbangan ekologis; dan
i. mewujudkan revitalisasi pertanian.

Selanjutnya ketentuan Pasal 18 mengatur pula bahwa Perlindungan


Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan penetapan:
a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan
Pertanian Pangan
c. Berkelanjutan; dan
d. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar
Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Seterusnya, ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 1


Tahun 2012 menentukan bahwa Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan

98
ditetapkan berdasarkan kriteria, persyaratan, dan tata cara penetapan.
Penetapan kawasan pertanian bertalian pula dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012
tentang Pembiayaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sementara itu,
ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012
tentang Pembiayaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menentukan
bahwa Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
mengalokasikan Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan berdasarkan tugas dan kewenangannya. Pengalokasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri, gubernur,
dan bupati/ wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. (Kusniarti, 2013: 17-18)

6. Alih Fungsi Lahan Pertanian


Dalam kondisi di mana lahan pertanian pangan berkelanjutan harus
dialihfungsikan, maka diatur dalam Permentan No. 81 Tahun 2013 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Dijelaskan dalam Permentan tersebut, bahwa pembebasan
kepemilikan hak atas tanah Pengalih fungsi melakukan pembebasan
kepemilikan hak atas tanah pada pemilik tanah tersebut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembebasan kepemilikan hak
atas tanah dilaksanakan melalui pemberian ganti rugi kepada para pemilik
hak. Pemberian ganti rugi diatur dengan tata cara sebagai berikut:
1. Setiap pemilik Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang
dialihfungsikan wajib diberikan ganti rugi oleh pihak yang
mengalihfungsikan.
2. Selain ganti rugi kepada pemilik, pihak yang mengalihfungsikan wajib
mengganti nilai investasi infrastruktur pada Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan yang dialihfungsikan.

99
3. Penggantian nilai investasi infrastruktur diperuntukkan bagi pendanaan
pembangunan infrastruktur di lokasi lahan pengganti.
4. Biaya ganti rugi dan nilai investasi infrastruktur dan pendanaan
penyediaan lahan pengganti bersumber dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi dan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/ Kota instansi yang
melakukan alih fungsi.
5. Besaran nilai investasi infrastruktur didasarkan pada:
a. taksiran nilai investasi infrastruktur yang telah dibangun pada lahan
yang dialihfungsikan; dan
b. taksiran nilai investasi infrastruktur yang diperlukan pada lahan
pengganti.
c. Taksiran nilai investasi infrastruktur dilakukan secara terpadu oleh
tim yang terdiri dari instansi yang membidangi urusan infrastruktur
dan yang membidangi urusan pertanian.
d. Selain biaya investasi infrastruktur perlu dimasukkan juga biaya ganti rugi atas
nilai komoditas yang tumbuh di atas tanah yang dialihfungsikan.

100
BAB XI
DINAMIKA POLITIK PERTANAHAN DI TINGKAT LOKAL

A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari dinamika politik pertanahan di tingkat
lokal maka mahasiswa mampu menjelaskan tentang Konflik Pertanahan, Akar
Masalah Konflik Pertanahan : Persepsi tentang Prinsip Hak Menguasai Tanah,
Hak Ulayat Tata Hukum Nasional, Perlunya Badan Penyelesaian Sengketa
Tanah/Agraria (Wacana).

B. Uraian Materi
1. Konflik Pertanahan
Dalam melaksanakan pembangunan, yang merupakan bagian dari
perubahan sosial tidak jarang, terjadi ekses-ekses kebijakan oleh
Pemerintah baik itu yang bersifat positif maupun negatif bagi seseorang,
kelompok tertentu (masyarakat hukum adat misalnya) atau masyarakat
pada umumnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembangunan
mungkin akan terjadi suatu kondisi di mana seseorang, kelompok/
golongan tertentu, atau masyarakat akan merasa diuntungkan, sebaliknya
terjadi pula dimana seseorang, kelompok/golongan dirugikan. Atau
dengan kata lain akan muncul seseorang maupun kolektif jadi korban yang
menderita kerugian akibat perbuatan (penerbitan keputusan) atau bahkan
sama sekali tidak melakukan perbuatan pada hal itu menjadi
kewajibannya, yaitu tidak menerbitkan Keutusan Tata Usaha Negara
(Pasal 3 ayat (1) UU No 5 Tahun 1986 Jo UU No 9 Tahun 2004).
Dalam kaitan tersebut, jelas bahwa dalam pelaksanaan
pembangunan akan timbul korban baik perorangan maupun kelompok
tertentu, korporasi, badan hukum swasta, yang kalau tidak ditangani secara
serius dan hati-hati akan menjadi konflik, sengketa dan akhirnya kalau
tidak dapat dikelola dengan baik akan bermuara ke pengadilan. Secara riil

101
di lapangan yang langsung menjadi objek atau korban adalah para oknum
atau anggota kelompok itu sendiri.
Pembaruan Agraria
Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, ditegaskan
bahwa dalam Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA harus
dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum
serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal yang lebih penting lagi, bahwa tanah merupakan perekat Negara
Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu perlu dikelola secara
Nasional dengan tetap menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dalam tataran empiris, kebijakan yang bersifat nasional
tersebut tidak pula meninggalkan norma yang tumbuh dan berkembang
dalam komunitas tertentu seperti masyarakat hukum adat yang
eksistensinya masih ada di beberapa daerah tertentu seperti Sumatera
Barat, Propinsi Papua dan beberapa daerah lain di luar Pulau Jawa.

BPN-RI dengan Mandat Baru


Dalam Negara Kesatuan RI satu-satunya lembaga atau institusi yang
sampai saat ini diberikan kewenangan (kepercayaan) untuk mengemban
amanah dalam mengelola bidang pertanahan adalah Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia (BPN-RI). Pasal 2 Peraturan Presiden
(Perpres) No 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional
menyebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional,
regional dan sektoral. Oleh karena itu, maka BPN-RI dengan mandat baru
tersebut, ke depan harus mampu memegang kendali perumusan kebijakan
nasional di bidang pertanahan , kebijakan teknis, perencanaan dan
program, penyelenggaraan pelayanan administrasi pertanahan dalam
rangka menjamin kepastian hukum hak atas tanah, penatagunaan tanah,
reformasi agraria, penguasaan dan pemilikan hak atas tanah, termasuk

102
pemberdayaan masyarakat. Bahkan Institusi/lembaga ini salah satu misi
nya adalah melakukan pengkajian dan penanganan masalah, sengketa,
perkara dan konflik di bidang pertanahan.
Sebagai wujud keinginan dan kepedulian Pemerintah untuk
menangani konflik dan sengketa pertanahan yang mempunyai implikasi
langsung terhadap 'korban" di bidang pertanahan, maka dalam
pembentukan BPN-RI dengan visi dan misi yang baru, di BPN Pusat telah
dibentuk Deputi IV Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan (Pasal 343 Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2006).
Yang selanjutnya di tingkat Propinsi yaitu pada Kantor Wilayah BPN
dibentuk Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan , sedangkan di tingkat Kabupaten/ Kota, yaitu pada setiap
Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota dibentuk Seksi Sengketa, Konflik dan
Perkara (Pasal 4 dan 27, 32, dan 53 Peraturan Kepala BPN No 4 Tahun
2006).
Sementara untuk mewujudkan visi dan misi BPN-RI yang baru
tersebut, Kepala BPN-RI Joyo Winoto, telah menetapkan sebelas agenda
kegiatan, yaitu: 1) Membangun kepercayaan masyarakat pada BPN; 2)
Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah, serta
sertifikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia; 3) Memastikan
penguatan hak-hak rakyat atas tanah; 4) Menyelesaikan persoalan
pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah
konflik di seluruh tanah air; 5) Menangani dan menyelesaikan perkara,
masalah, sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara
sistematis; 6) Membangun Sistem Infomasi dan Manajemen Pertanahan
Nasional (SIMTANAS) dan Sistem keamanan dokumen pertanahan di
seluruh Indonesia; 7) Menangani masalah KKN serta meningkatkan
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; 8) Membangun database
penguasaan dan pemilikan tanah skala besar; 9) Melaksanakan secara
konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telah
ditetapkan; 10) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional; dan 11)

103
Mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum, dan kebijakan
pertanahan.
Dalam konteks kebijakan pertanahan nasional, sebelas agenda di
atas tidak menegasikan wacana kedaerahan (regional) untuk menggali
kearifan lokal dalam penyelesaian sengketa, konflik dan perkara
pertanahan yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia, dalam bingkai
Negara Kesatuan RI. Sebagai contoh, telah dituangkannya substansi
pengaturan bidang pertanahan pada Pasal 213 UU No 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.

Paradigma Moral
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, penyelesaian konflik dan
sengketa serta perkara pertanahan pada masa lalu masih dilakukan melalui
pendekatan paradigma hukum normatif (tertulis) semata. Penyelesaian
kasus-kasus pertanahan di beberapa daerah di Propinsi Papua, kasus
beberapa PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di Sumatera Utara,
pendekatan hukum normatif masih sangat mendominasi. Pada hal ternyata
pendekatan tersebut, dalam tataran empiris kurang berhasil. Akar
permasalahannya adalah pendekatan paradigma hukum normatif (hukum
tertulis) alias hukum modern semata yang bersifat legal positivistic, akan
mengakibatkan hancurnya substansi norma hukum yang diyakini dan
dipatuhi oleh masyarakat hukum adat setempat. Satjipto Rahardjo dalam
menggambarkan perseteruan antara kedua sistem hukum tersebut
mengibaratkan bagaikan seseorang memasukkan seekor kambing dalam
kandang harimau, dengan demikian tentunya kambingnya akan dilahap.
Oleh karena itu, dalam penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan
harus dibangun dengan paradigma "moral". Pihak yang mempunyai posisi
tawar yang kuat harus mengamalkan kejujuran, pengendalian diri, dan
mengurangi sifat keakuan (selfishness). Sedangkan paradigma moral yang
dimaksudkan adalah akhlak yang baik/mulia (akhlaq al-karimah). Atau

104
menurut Sudjito (2005:1) disebut istilah "moral religius", yang menyentuh
semua sendi-sendi kehidupan bagi siapapun, di manapun, dan kapanpun.
Moral religius ini dari sisi sifatnya yang realistik mengandung
kebebasan, kelebihan maupun kelemahan yang melekat pada diri setiap
manusia. Oleh karena itu, dalam setiap penyelesaian konflik, sengketa dan
perkara pertanahan diharapkan paradigma moral lebih dikedepankan,
ketimbang paradigma hukum. Sifat merasa dirinya paling benar, paling
baik, merasa bisa "sok rumangsa bisa" harus ditinggalkan. Dengan
demikian, dalam penyelesaian konflik, sengketa dan perkara pertanahan
tidak akan lagi jatuh korban-korban kebijakan, yang belum jelas dari
perlindungan hukumnya

2. Akar Masalah Konflik Pertanahan : Persepsi tentang Prinsip Hak


Menguasai Tanah
Hak menguasai tanah oleh negara bersumber dari kekuasaan yang
melekat pada negara, sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal 33
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok pokok kemakmuran rakyat, sebab
itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu
bahwa secara konstitusional Negara memiliki legitimasi yang kuat untuk
menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut
harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara,
terdapat pada pasal 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang
menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam

105
yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

3. Hak Ulayat Tata Hukum Nasional


a. Pengertian
UUPA tidak memberikan pengertian hak ulayat, kecuali
menyebutkan bahwa yang dimaksud hak ulayat adalah apa yang di
dalam perpustakaan hukum adat disebut “beschikkingsrecht”
(penjelasan Pasal 3 UUPA).
Menurut Boedi Harsono (1994:215), Hak ulayat adalah nama
yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan
hubungan hukum kongkret antara masyarakat-mayarakat hukum adat
dengan tanah dalam wilayahnya, dengan merumuskannya sbb:
Hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas
lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenang-wewenang
tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin
penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut.
Menurut Maria S.W. Sumardjono (1993), sebagai istilah teknis
yuridis, hak ulayat adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas
pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus
dan mengatur tanah seisinya, dengan daya laku ke dalam dan ke luar.
Menurut Ter Haar (1960), Hak Ulayat adalah hak untuk
mengambil manfaat dari tanah, perairan (sungai, danau, perairan
pantai, laut), tanaman-tanaman dan binatang yang ada di wilayah
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Menurut sumber lain: Hak Ulayat adalah hak masyarakat hukum
adat yang meliputi hutan, padang penggembalaan ternak, belukar
bekas ladang, tanah-tanah pertanian yang dikerjakan secara berputar,
perairan darat maupun laut, penambangan tradisional dan penagkapan
ikan sungai dan laut (KPA, 1998).

106
Hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah
dan perairan serta isinya yang ada di wilayahnya berupa wewenang
menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanah dan perairan serta lingkungan wilayahnya di bawah pimpinan
kepala adat.
Di berbagai daerah di Indonesia dikenal berbagai macam nama
untuk menggambarkan hak masyarakat hukum adat terhadap tanah
yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan, antara lain
patuanan di Ambon, panyampeto di Kalimantan, wewengkon di Jawa,
prabumian dan nuru di Bali, totabuan di Bolaang Mongondow, limpo
di Sulawesi Selatan, dan ulayat di Minangkabau (Wignjodipoero,
1984: 1998).
Menurut Pasal 1 angka 4 RUU SDAgraria:
Hak Ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk
mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, perairan, tanaman
serta binatang-binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum yang
bersangkutan, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional.
b. Pengakuan Hak Ulayat
Pasal 3 UUPA menegaskan keberadaan hak ulayat dengan
menyatakan:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2,
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lain
yang lebih tinggi.
Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA tetap dibatasi oleh
eksistensinya dan pelaksanannya. Artinya, pengakuan itu akan
diberikan kepada hak ulayat yang memang secara faktual masih

107
berlangsung, dan bahwa pelaksanaan hak ulayat itu harus
memperhatikan kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Rancangan UUSD Agraria, Pasal 6 menyatakan:


Hak Ulayat masyarakat hukum adat atas tanah, perairan,
tanaman dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi sumber
kehidupan dan mata pencahariannya, yang pada kenyataannya masih
berlangsung, diakui, dihormati dan dilindungi sesuai dengan dinamika
perkembangan masyarakat hukum adat, kepentingan nasional dan
negara dan prinsip Negara Kesatuan RI serta pelaksanaannya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Pengakuan Hak Ulayat yang masih berlangsung, dikukuhkan
dengan peraturan perundang-undangan berdasarkan kriteria tertentu
dan hasil penelitian yang melibatkan masyarakat hukum adat ybs,
instansi terkait, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat.
Berdasarkana hasil penelitian, tolok ukur atau kriteria objektif
untuk menetukan bahwa hak ulayat masih berlangsung adalah:
a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu
sebagai subjek hak ulayat.
b. Adanya wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lingkungan
hidup dan tempat mencari nafkah (lebensraum) masyarakat hukum
adat yang merupakan objek hak ulayat.
c. Hubungan keterkaitan dan ketergantungan masyarakat hukum adat
dengan wilayahnya.
d. Adanya kewenangan untuk mengatur secara bersama-sama
pemanfaatan tanah, perairan, tanaman, serta binatang-binatang
yang berada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan ditaati oleh
masyarakatnya dan mempunyai sanksi.

108
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (3) RUU SDAgraria, kriteria masih
berlangsungnya hak ulayat meliputi unsur-unsur:
a. masyarakat hukum adat;
b. wilayah tempat hak ulayat berlangsung;
c. hubungan, keterkaitan dan ketergantungan masyarakat hukum adat
dengan wilayahnya;
d. adanya kewenangan untuk mengatur secara bersama-sama
pemanfaatan tanah, perairan, tanaman serta binatang-binatang yang
ada di wilayah masyarakat hukum ybs., berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan ditaati masyarakatnya.
Penentuan kriteria tidak dimaksudkan untuk membatasi pengakuan,
tetapi untuk mempertegas:
a. Subjek hak ulayat, yakni masyarakat hukum adat tertentu yang
dapat bersifat genealogis atau teritorial, dan bukan orang
perseorangan dan bukan kepala persekutuan adat. Kepala
Persekutuan Hukum Adat adalah pelaksana kewenangan
masyarakat hukum adat dalam kedudukannya selaku petugas
masyarakat hukum ybs.
b. Objek hak ulayat, yakni wilayah tempat hak ulayat berlangsung
dalam hubungan hukum tertentu (mengusahakan dan mengambil
hasil untuk kehidupan sehari-hari). Dengan demikian, ada
hubungan, keterkaitan dan ketergantungan masyarakat hukum adat
dengan wilayahnya, dan bahwa pemanfaatan hasil dari tanah,
perairan, tanaman dan binatang yang berada di wilayah masyarakat
hukum adat ybs adalah hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari dan bukan untuk tujuan komersial.
c. Adanya norma-norma hukum yang mengatur hubungan hukum
antara subjek dengan objek.
Adanya suatu hak tertentu hanya akan mempunyai makna jika
ketiga unsur itu jelas.

109
Terdapat dua arus pemikiran tentang luasnya pengakuan keberadaan
hak ulayat:
a. Pengakuan terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat
mencakup tanah, perairan, tanaman dan binatang yang dinyatakan
dan telah diakui sebagai lingkungan wilayah masyarakat hukum
adat ybs, baik sudah dikuasai oleh warga, badan hukum atau
instansi pemerintah dengan hak tanah tertentu berdasarkan hukum
adat atau menurut tata cara peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maupun yang belum dikuasai atau dimanfaatkan oleh
orang lain.
b. Pengakuan tersebut disertai dengan kewajiban bahwa masyarakat
hukum adat ybs. harus menghormati hak tanah yang sudah
diberikan tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu hak
tanah ybs.
c. Penghormatan tersebut tidak menutup kemungkinan adanya
pemberian rekognisi atau kontribusi dalam bentuk apapun dari
pemegang hak tanah kepada masyarakat hukum adat ybs.
d. Setelah berakhirnya jangka waktu hak tanah, tanah kembali dalam
kekuasaan masyarakat hukum adat sehingga perpanjangan atau
pemberian hak baru harus dengan persetujuan tertulis antara
pemegang hak tanah atau ijin pemanfaatan SDAgraria dengan
masyarakat hukum adat tersebut.

4. Perlunya Badan Penyelesaian Sengketa Tanah/Agraria


Di bidang pertanahan, belum ada suatu peraturan perundang –
undangan yang secara eksplisit memberikan dasar hukum penerapan
Alternatif Dispute Resolution (ADR). Namun, hal ini tidak dapat dijadikan
alasan untuk tidak menggunakan lembaga ADR di bidang pertanahan
berdasarkan 2 (dua) alasan, yaitu : Pertama, di dalam setiap sengketa
perdata yang diajukan di muka pengadilan, hakim selalu mengusulkan
untuk penyelesaian secara damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR). Kedua,

110
secara eksplisit cara penyelesaian masalah berkenaan dengan bentuk dan
besarnya ganti kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah diupayakan
melalui jalur musyawarah.
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
(“Keppres No.53 tahun 1993”) dan Peraturan Menteri Negara Agraria /
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1994 yang merupakan
peraturan pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993, mengatur tentang tata
cara melakukan musyawarah secara cukup terinci.
Dalam perkembangannya, hal ini dimuat dalam Peraturan Presiden
Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“Perpres No. 36 tahun 2005”)
yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yang telah
dilengkapi dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007. Dengan
berlakunya Perpres No. 36 tahun 2005, maka Keppres No. 55 tahun 1993
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan berjalannya waktu, penyelesaian sengketa melalui ADR
secara implisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional (“BPN”). Dalam struktur organisasi
BPN dibentuk 1 (satu) kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (“Deputi”). BPN telah pula
menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 tahun 2007.
Dalam menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan, BPN
melakukan upaya melalui mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa
alternatif.
Pembentukan Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu
pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu
sudah merupakan hal yang sangat mendesak sehingga diupayakan
membentuk kedeputian untuk penanganannya. Kedua, terdapat keyakinan
bahwa tidak semua sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan.

111
C. Rangkuman Materi
Dalam melaksanakan pembangunan, yang merupakan bagian dari
perubahan sosial tidak jarang, terjadi ekses-ekses kebijakan oleh Pemerintah
baik itu yang bersifat positif maupun negatif bagi seseorang, kelompok
tertentu (masyarakat hukum adat misalnya) atau masyarakat pada umumnya.
Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, ditegaskan bahwa dalam
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA harus dilaksanakan dalam rangka
tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah dan
perairan serta isinya yang ada di wilayahnya berupa wewenang menggunakan
dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah dan perairan
serta lingkungan wilayahnya di bawah pimpinan kepala adat.

D. Latihan/Tugas
1. Jelaskan tentang konflik pertanahan ?
2. Terangkan persepsi tentang prinsip menguasai tanah ?
3. Apa pengertian hak ulayat tata hukum nasional ?
4. Apa perlunya badan penyelesaian sengketa tanah/agraria ?

E. Rambu-rambu jawaban Soal


Wiradi, Gunawan (ed), 2001, Prinsip-prinsip Reforma Agraria : Jalan
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Yagkarata : Lapera Pustaka
Utama.

Wiratmoko, Nick T (ed.) 2004, Yang Pusat dan Yang Lokal, Antara Dominasi,
Resistensi, dan Akomodasi Politik Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar Bekerja sama dengan Pustaka Percik.

112
F. Daftar Pustaka
Wiradi, Gunawan (ed), 2001, Prinsip-prinsip Reforma Agraria : Jalan
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Yagkarata : Lapera Pustaka
Utama.

Wiratmoko, Nick T (ed.) 2004, Yang Pusat dan Yang Lokal, Antara Dominasi,
Resistensi, dan Akomodasi Politik Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar Bekerja sama dengan Pustaka Percik.

113
BAB XII
POLITIK PERTANAHAN DI ERA OTONOMI DAERAH

A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari politik pertanahan di era otonomi
daerah maka mahasiswa mampu menjelaskan tentang Tarik Ulur Urusan
Pertanahan, Kewenangan Daerah di Bidang Pertanahan, Pola Hubungan antara
Badan Pertanahan Nasional dan SKPD bidang Pertanahan di Daerah (Badan
Pertanahan Daerah atau Dinas Pertanahan).

B. Uraian Materi
1. Tarik Ulur Urusan Pertanahan
Pemberlakuan UU tentang Pemerintahan Daerah, menjadi titik tolak
bergesernya orientasi, arah dan kebijakan pembangunan kehutanan. Selain
itu kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, memberikan kewenangan
yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam berbagai perubahan
sistem pengelolaan pemerintahan. Salah satu perubahan tersebut adalah
dalam pengurusan hutan.
Desentralisasi telah menjadi keputusan nasional yang harus
dilaksanakan oleh semua pihak. Dari sisi kehutanan, sebenarnya banyak
harapan yang tertumpu pada desentralisasi karena desentralisasi
diharapkan akan menjadi jalan bagi upaya menyelesaikan masalah
kerusakan hutan yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Melalui
desentralisasi diharapkan rasa sayang dan rasa kepedulian terhadap hutan
menjadi semakin meningkat, prinsip-prinsip demokrasi akan semakin
berkembang, peran-serta masyarakat semakin meningkat, tercipta
pemerataan dan keadilan, serta pengembangan daerah akan lebih
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Tetapi nampaknya perlu waktu untuk mewujudkan impian tersebut,
dalam perkembangannya tidak semua semangat desentralisasi pengelolaan
hutan menghasilkan realitas sebagaimana diharapkan. Setelah beberapa

114
tahun pasca penerapan kebijakan desentralisasi kehutanan, ternyata tidak
sedikit permasalahan yang timbul yang justru bersifat kontraproduktif.
Laju kerusakan makin meningkat, kesejahteraan masyarakat tidak kunjung
membaik. Salah satu penyebabnya adalah konsep rancang penetapan
kebijakan desentralisasi kehutanan belum diikuti dengan penetapan
rancang bangun pembagian atau pendelegasian wewenang yang jelas
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Nugraha dan Murjito,
2005).
Ketidakjelasan pembagian tugas antara pusat dan daerah sehingga
menjadi celah terjadinya tarik ulur kewenangan. Selama ini menurut
Awang (2003), belum ada kesepakatan antara pemerintah pusat, propinsi
dan kabupaten akan subtansi material yang akan diserahkan
kewenangannya. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi
kewenangan pusat dan daerah dalam kepengurusan hutan dan saran-saran
ke depan agar pelimpahan kewenangan pengurusan hutan dapat berjalan
sesuai harapan.

2. Kewenangan Daerah di Bidang Pertanahan


Wewenang adalah kekuasaan resmi yang dimiliki seseorang karena
kedudukannya dalam organisasi (Gibson et al, 2002). Menurut Robin
(2006), wewenangan mengacu ke hak-hak yang inheren dalam posisi
manajerial untuk memberi perintah dan mengharapkan perintah itu
dipatuhi. Untuk mempermudah koordinasi, posisi manajerial diberi tempat
dalam rantai komando dan derajat wewenang agar mampu memenuhi
tangungjawabnya. Sutarto (1998), mendefinisikan wewenang sebagai hak
seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan
tanggung-jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik. Pelimpahan
wewenang adalah penyerahan sebagian hak untuk mengambil tindakan
yang diperlukan agar tugas dan tanggung-jawabnya dapat dilaksanakan
dengan baik dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain.

115
Conyers (1986), ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam distribusi wewenang yaitu :
a. Aktivitas fungsional apa yang perlu didesentralisasi. Komponen ini
menyangkut keseluruhan fungsi, kecuali fungsi yang penting bagi
kesatuan nasional
b. Kekuasaan apa saja yang perlu dilekatkan dalam aktivitas atau fungsi
yang didesentralisasi. Dalam hal ini ada tiga kategori kekuasaan, yaitu:
1) Kekuasaan dalam pembuatan kebijakan (dibagi lagi dalam
kekuasaan mengatur/policy making/regeling dan mengurus/policy
executing/bestuur)
2) Kekuasaan keuangan (berkaitan dengan penerimaan dan
pengeluaran)
3) Kekuasaan di bidang kepegawaian
c. Desentralisasi kekuasaan pada tingkatan tertentu yang mencakup tiga
tingkatan, yaitu: wilayah/propinsi/negara bagian, kabupaten/kota dan
desa.
Menurut penjelasan PP No.38 tahun 2007, penyelenggaraan
desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan atau konkuren. Setiap bidang urusan pemerintahan
yang konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi
kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota. Kriteria pembagian urusan pemerintahan yang
bersifat konkuren meliputi kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan
efisiensi.
Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat
pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan
oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih

116
pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria
akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak
yang timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan tersebut. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran
bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai
skala ekonomis.
Ada sejumlah kewenangan yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah pusat. Kewenangan ini lazimnya disebut sebagai kewenangan
klasik, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, justisi, moneter dan
fiscal. Alasan untuk melakukan sentralisasi terhadap kewenangan klasik
tersebut adalah bahwa tingkat dampak yang ditimbulkan oleh kewenangan
tersebut berskala dan memiliki efek stabilisasi (Prasojo, 2006). Pertanyaan
yang muncul adalah bagaimana dengan kehutanan?. Sejauhmana dampak
dari suatu hutan terhadap stabilitas iklim secara nasional /global?. Hal ini
menarik untuk memilahkan mana kewenangan kehutanan yang tetap
dipegang oleh pemerintah pusat dan mana kewenangan yang harusnya
didesentralisasi ke daerah.

3. Pola Hubungan antara Badan Pertanahan Nasional dan SKPD bidang


Pertanahan di Daerah (Badan Pertanahan Daerah atau Dinas
Pertanahan)
Kekuasaan yang dibagi-bagi, niscaya tidak akan bertahan lama.
Itulah sepenggal pernyataan dari sang penguasa (il principe) oleh Niccolo
Machiavelli. Di Indonesia, pernyataan ini seakan-akan menjadi justifikasi
dari keadaan Negara yang carut marut akibat pembagian kekuasaan.
Pernyataan ini ada benarnya jikalau kita melihat langgengnya kekuasaan
pada masa orde baru, di mana dengan sistem sentralisasi, kekuasaan dan
kewenangan berada sepenuhnya di tangan Pemerintah Pusat (Pempus)
dalam hal ini presiden dan pemerintah daerah (Pemda) seakan-akan hanya
menjadi pelengkap pertanggungjawaban administratif dari pemerintah
pusat. Hal inilah yang menyebabkan kekuasaan dapat bertahan lama.

117
Pada masa ini, Pemda dalam berbagai bidang pemerintahan, hanya
dapat melaksanakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat
secara terbatas (UU No. 5 Tahun 1997). Dalam hal ini, hubungan
kewenangan antara Pempus dan Pemda dijalankan berdasarkan prinsip
Residu, dimana Pempus telah menentukan terlebih dahulu apa yang
menjadi wewenangnya dan sisanya menjadi tugas Pemda)
Seiring berkembangnya isu demokratisasi melalui penerapan UU No.
22/1999 Jo UU No. 32/2004 mengenai pemerintah daerah, paradigma
pelaksanaannya mengalami perubahan yang mendasar, di mana melalui
asas desentralisasi dengan konsekuensi logisnya Otonomi Daerah (Otoda),
hubungan kewenangan antara keduanya lebih demokratis. Adanya
perubahan paradigma ini kemudian menyebabkan suatu pergeseran pola
hubungan kewenangan antara Pempus dan Pemda dengan prinsip Formal,
dimana urusan-urusan yang termasuk dalam rumah tangga daerah tidak
secara priori ditetapkan atau dengan Undang-Undang, dalam hal ini daerah
boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi
daerahnya.
Melalui adanya suatu perubahan mendasar dalam pola hubungan
kewenangan antara Pempus dan Pemda tentunya menimbulkan sejumlah
harapan yang besar di kalangan pemerintah dan masyarakat dalam
pencapaian tujuan bangsa dan Negara. Namun, jikalau dianalisis lebih
jauh, maka Otoda yang selama ini dibanggakan hanyalah merupakan
sebuah angin segar atau bayangan semu dari apa yang seharusnya
sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 32/2004. Dalam hal ini, Pempus
tampaknya setengah hati atau tidak sepenuhnya melepaskan apa yang
seharusnya menjadi wewenang Pemda,”Pemda masih menjadi bayang-
bayang Pempus”. Salah satu permasalahan pokok yang mendasari
argumentasi bahwa Hubungan kewenangan antara Pempus dan Pemda
tidak sejalan dengan aturan yang ada dapat ditilik dari segi Keagrariaan
dalam hal ini Pertanahan.

118
Dalam UUPA No. 5/1960 Mengenai konsep dasar Keagrariaan,
memang sangat nampak adanya hegemonisasi dari Pempus kepada Pemda
dari segi kewenangan pertanahan. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai
aturan yang ada dalam UUPA tersebut yang sekalipun sudah lama belum
direvisi, di mana aturan tersebut memberikan kewenangan yang besar
kepada Pempus untuk mengurusi pertanahan.Sebagai contoh dalam UUPA
Pasal 2 Ayat 4,”Hak menguasai dari Negara tersebut di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah”. Dalam pasal ini terlihat jelas bahwa daerah
swatantra (daerah otonom) hanya diberikan wewenang atas tanah sebatas
diperlukan dan jelas harus sesuai dengan keputusan Pempus. Memang
agak Nampak sedikit pelimpahan wewenang pertanahan dari Pempus
kepada Pemda sebagaimana dinyatakan dalam pasal 14 ayat 3 dan 4 di
mana Pemda mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air
serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan cirri khas daerah
masing-masing, namun diberlakukan setelah mendapatkan izin/
pengesahan dari Pempus.
Seiring berkembangnya dinamika pemerintahan, di mana yang
menjadi titik tolak pelaksanaan demokrasi adalah adanya desentralisasi,
maka perlahan-lahan kewenangan mulai dilimpahkan oleh Pempus kepada
Pemda, melalui UU No. 22/1999 Jo UU No.32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Disamping itu dibuat pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom, yang merupakan turunan UU No. 22/1999,
namun tidak satu pun yang menyebut pemda punya kewenangan
pertanahan.
Sebagai pelaksanaan dari UU No 22/1999 tersebut, diatur dalam PP
No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom. Kewenangan Pemerintah (yang dalam PP ini

119
dimaksud Pemerintah Pusat) hanya meliputi 5 hal yaitu: (1) penetapan
persyaratan pemberian hak-hak atas tanah; (2) penetapan persyaratan land
reform; (3) penetapan standard administrasi pertanahan; (4) penetapan
pedoman biaya pelayanan pertanahan; dan (5) penetapan Kerangka Dasar
Kadastral Nasional dan pelaksanaan pengukuran Kerangka Dasar
Kadastral Nasional Orde I dan II. Sedangkan kewenangan Pemerintah
Provinsi dalam bidang pertanahan tidak diatur dalam PP ini. Sehingga
kewenangan pertanahan lainnya menjadi kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Dengan tidak adanya kewenangan Provinsi dalam bidang
pertanahan, maka ada bagian penghubung yang hilang antara Pusat dan
Kabupaten/Kota sehingga sulit dijamin konsistensi kebijakan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan berbagai pertimbangan bahwa pelaksanaan
pemerintahan haruslah demokratis, maka melalui UU No. 32/2004
dijelaskan bahwa terdapat 30 kewenangan Pemda dan 5 Kewenangan
Pempus, di mana salah satu kewenangan Pemda adalah kewenangan di
bidang pertanahan. Namun di sisi lain, pemerintah malah menerbitkan PP
No 10/2006 yang memberi kewenangan penuh kepada Badan Pertanahan
Nasional dalam pertanahan. Belum selesai revisi terhadap PP No. 25/2000,
sudah terbit PP No.10/2006 yang jelas-jelas menunjukkan inkonsistensi
desentralisasi oleh Pempus kepada Pemda. Padahal jika dianalisis lebih
jauh, wewenang Pemda cukup besar sebagaimana tersirat dalam aturan
yang lebih tinggi, yakni UUD’45 Pasal 18 hasil amandemen IV, di mana
disebutkan bahwa Setiap Provinsi, Kota/Kabupaten mempunyai
pemerintahan daerah yang otonom berdasarkan Undang-Undang. Selain
itu juga disebutkan bahwa hubungan antara Pempus dan Pemda diatur
dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah. Jadi jelaslah bahwa ada ketidaksingkronan antara
aturan yang satu dengan aturan yang lain.
Menurut hemat penulis, seyogyanya ada aturan yang jelas yang
menyatakan secara tegas mengenai pembagian kewenangan pertanahan

120
antara Pempus dan Pemda agar tidak terjadi tarik ulur dalam
pelaksanaannya. Jikalau tidak demikian, maka fenomena klasik akan
kembali terulang sebagaimana yang pernah terjadi pada awal era otonomi,
di mana disatu sisi Pempus menyatakan bahwa kewenangan atas
pertanahan ada padanya melalui instansi BPN Pusat dengan Kanwil BPN
di daerah sebagai perpanjangan tangannya, sementara di sisi lain Pemda
dengan berbekal Otoda juga mendirikan dinas pertanahan di Kab/Kota
yang menyebabkan tumpang tindih tugas dan fungsi yang mengarah pada
inifisiensi pemerintahan.
Memang jikalau berbicara mengenai siapa yang lebih tahu
mengenai kondisi daerahnya masing-masing, sudah barang tentu jikalau
Pemda berkeras bahwa kewenangan atas tanah ada diwilayahnya. Namun
jikalau berbicara mengenai reformasi Agraria, maja jelas dibutuhkan suatu
aturan formal yang holistik (kebijakan nasional) yang dapat menjembatani
hubungan antara keduanya, di mana dikarenakan tanah merupakan
kekuasaan dari Negara, maka kekuasaan untuk menetapkan aturan tersebut
berada di tangan Pempus. Jikalau masing-masing berkeras, maka berbagai
permasalahan akan tanah tak kunjung diminimalisir. Kasus lain yang baru
saja menggema di telinga kita, di mana telah merebaknya penyewaan
bahkan penjualan pulau di beberapa daerah. Hal ini jika dianalisis lebih
jauh akan berujung pada permasalahan tarik ulur antara keduanya, dalam
hal ini Pempus dan Pemda. Pulau sebagai bagian dari bumi (pasal 33)
dikatakan merupakan kekuasaan Negara, yang olehnya menjadi
tanggungjawab dari Pempus. Namun berbekal UU. No. 32/2004, Pemda
mengambil alih wewenang tersebut sehingga dengan mudahnya
melakukan penyewaan/penjualan demi pendapatan daerah. Contoh lainnya
seperti yang terjadi di Papua, Aceh, Sulsel dan beberapa daerah lainnya
yang hasil kekayaan alamnya (tambang), di mana terdapat tarik ulur yang
sama antara Pempus dan Pemda dalam pengelolaannya. Hal yang sama
terjadi untuk produk tanah lainnya (hutan), di mana hal ini paling banyak
terjadi di Kalimantan yang juga merebak fenomena yang sama.

121
Berdasarkan hasil analisis singkat di atas, maka penulis menarik
suatu garis pemahaman bahwa pembagian kewenangan antara Pempus dan
Pemda dalam hal pertanahan belum sesuai sebagaimana yang diharapkan,
di mana senantiasa terjadi tarik ulur kepentingan antara keduanya. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu aturan yang tegas yang mengatur keduanya
atau jikalau diharuskan suatu konsensus, maka haruslah ditentukan secara
tegas batasan-batasan yang jelas mengenai pembagian kewenangan antara
keduanya.

C. Rangkuman Materi
Pemberlakuan UU tentang Pemerintahan Daerah, menjadi titik tolak
bergesernya orientasi, arah dan kebijakan pembangunan kehutanan. Selain itu
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, memberikan kewenangan yang
semakin luas kepada pemerintah daerah dalam berbagai perubahan sistem
pengelolaan pemerintahan. Salah satu perubahan tersebut adalah dalam
pengurusan hutan.
Dalam penjelasan PP No.38 tahun 2007, penyelenggaraan desentralisasi
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan
Pemerintah Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan
yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau
konkuren. Setiap bidang urusan pemerintahan yang konkuren senantiasa
terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintah
Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Kriteria pembagian
urusan pemerintahan yang bersifat konkuren meliputi kriteria eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi.

D. Latihan/Tugas
1. Apa maksud dari tarik ulur urusan pertanahan ?
2. Apa saja kewenangan daerah di bidang pertanahan ?

122
3. Bagaimana pola hubungan antara badan pertanahan nasional dan SKPD
bidang peratnahan di daerah ?

E. Rambu-rambu jawaban Soal

Gibson. J, J. Ivancevich, J. Donnelly.2002. Organisasi, Perilaku,


Struktur.Terjemahan Nunuk Andiarni. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Prasojo, E, dkk. 2006. Desentralisasi dan Pemerintah Daerah: Antara Model


Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural. Departemen Ilmu
Administrasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Jakarta.

F. Daftar Pustaka
Gibson.J, J.Ivancevich, J. Donnelly.2002. Organisasi, Perilaku,
Struktur.Terjemahan Nunuk Andiarni. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Prasojo, E, dkk. 2006. Desentralisasi dan Pemerintah Daerah: Antara Model


Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural. Departemen Ilmu
Administrasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Jakarta.

UUPA 1960 Tentang Konsep Dasar Keagrariaan, UU. No 5/1997 Jo 22/1999


Jo 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 25/2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah
Otonom, PP No. 10/2006 tentang BPN.

123

Anda mungkin juga menyukai