Anda di halaman 1dari 26

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN KUNJUNGAN KERJA PANJA RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS


UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG
APARATUR SIPIL NEGARA

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Undang-Undang 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU No. 5


Tahun 2014 tentang ASN) merupakan undang-undang yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian. Berlakunya UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN
memberikan perubahan pada manajemen kepegawaian Pegawai Negeri Sipil
(PNS). Perubahan itu didasarkan pada sistem yang mengedepankan prinsip
profesionalisme, kompetensi, kualifikasi, kinerja, transparansi, objektivitas,
serta bebas dari intervensi politik dan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Beberapa perubahan pada manajemen kepegawaian ASN tersebut antara
lain:

1. Pembagian manajemen kepegawaian ASN

UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN belum memberlakukan sistem


kepegawaian tunggal bagi para pegawai yang bekerja di instansi
pemerintah. Para pegawai yang melakukan pekerjaan yang bersifat
sama harus memiliki status dan perlakuan sistem kepegawaian yang
sama. Akan tetapi perbedaan status dan sistem kepegawaian tersebut
akan menimbulkan ketidakadilan bagi para pegawai yang sama-sama
bekerja di instansi pemerintah.
2. Hilangnya status hukum bagi tenaga honorer/pegawai tidak tetap

Perubahan manajemen aparatur sipil negara juga telah


mengakibatkan hilangnya status hukum bagi tenaga honorer/pegawai
tidak tetap yang selama ini telah mengabdi kepada pemerintah. Tidak
ada satupun kebijakan yang memberikan perlindungan kepada tenaga
honorer akibat perubahan manajemen tersebut yang seharusnya
diatur di dalam ketentuan peralihan (overgang bepalingen).
3. Urgensi keberadaan lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara

1
Menurut UU ASN, Komisi ini adalah sebuah “lembaga nonstruktural
yang mandiri dan bebas dari intervensi politik”. KASN memiliki fungsi
untuk melakukan mengawasi terhadap pelaksanaan norma dasar,
kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan sistem merit dalam
manajemen ASN. Persoalannya dari ketentuan mengenai KASN ini
terletak pada urgensinya. Penjelasan UU ASN sama sekali tidak
menjelaskan pentingnya pembentukan lembaga nonstruktural
dibandingkan, misalnya, dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan
wewenang pengawasan dan penjatuhan sanksi yang selama ini
dijalankan oleh Kementerian yang bertugas di bidang Pendayagunaan
Aparatur Negara.

Sejak ditetapkan pada tanggal 15 Januari 2014 hingga saat ini, dalam
pelaksanaannya UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dianggap belum mampu
menyelesaikan sejumlah permasalahan kepegawaian sehingga menimbulkan
ketidakadilan dan kepastian hukum. DPR RI berupaya menemukan solusi
terbaik dari berbagai permasalahan tersebut melalui usulan perubahan UU
No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Hal-hal pokok inisiatif usulan DPR RI antara
lain:

1) Penghapusan KASN
Pengalihan tugas, fungsi,dan kewenangan pengawasan sistem merit
dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) ke Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
2) Penetapan kebutuhan PNS
Disertai dengan jadwal pengadaan, jumlah dan jenis jabatan yang
menjadi dasar diadakannya pengadaan dan jika kebutuhan PNS
belum ditetapkan, maka pengadaan PNS dihentikan.
3) Kesejahteraan PPPK
Pengaturan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK),
antara lain PPPK mendapat jaminan pensiun.
4) Pengurangan ASN
Pengurangan PNS dan PPPK sebagai akibat perampingan organisasi
yang menyebabkan pensiun dini secara massal. Pemerintah
berkonsultasi dengan DPR berdasarkan pada evaluasi dan
perencanaan pegawai.
5) Pengangkatan tenaga honorer.
Pengangkatan tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai tetap
non PNS, dan tenaga kontrak yang bekerja terus menerus dan
diangkat berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan sampai
dengan tanggal 15 Januari 2014 menjadi PNS secara langsung.

Saat ini RUU ASN memasuki tahap pembahasan bersama dengan


Pemerintah dalam pembicaraan tingkat I di Komisi II DPR RI. Pada
perkembangan pembahasan Panja RUU ASN dengan pemerintah, terdapat
isu strategis lainnya yang sepakat untuk dibahas lebih lanjut yaitu tentang
digitalisasi pemerintahan. Selama ini digitalisasi pemerintahan dilaksanakan
melalui e-government (e-gov) sebagaimana diatur dalam diatur dalam
Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi

2
Nasional Pengembangan E-Government. Pengelolaan e-gov masih bersifat
sektoral yang mengakibatkan terjadinya pemborosan anggaran Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) karena pembangunan sistem dilakukan
secara sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi. Dalam rangka memperbaiki tata
kelola pemerintahan agar dapat mencapai efektivitas, efisiensi, dan integrasi
pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018
tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). SPBE merupakan
pengembangan dari penerapan e-gov yang mengedepankan prinsip
interoperabilitas (prinsip kemampuan saling mengoperasikan). Prinsip ini
menjadi penting karena memungkinkan adanya koordinasi dan kolaborasi
antarproses bisnis dan antarsistem elektronik dalam rangka pertukaran data,
informasi, atau layanan SPBE. Lamanya pembaruan aturan tentang
pemanfaatan TIK menjadi bukti betapa lamanya kebijakan (regulasi) dapat
dibangun secara utuh dan komprehensif. Oleh karena itu, dalam
pembahasan RUU ASN perlu mengatur muatan tentang pemanfaatan TIK
dalam manajemen ASN maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan
secara keseluruhan. UU ASN memberikan dasar hukum bagi penyelenggara
negara untuk mengembangkan TIK dalam rangka meningkatkan kinerja
pemerintahan dan kualitas pelayanan publik.

2. Dasar Hukum Pembentukan Panja RUU tentang Perubahan UU ASN

Pada tanggal 12 Juni 2020, pimpinan DPR RI menerima Surat Presiden


Republik Indonesia Nomor R-28/Pres/06/2020, perihal Penunjukan wakil
Pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemerintah menugaskan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri
Keuangan, Menteri Dalam Negeri serta Menteri Hukum dan HAM baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk mewakili Pemerintah dalam
membahas RUU tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, pada tanggal 3
Desember 2020, Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Bamus DPR RI
mengeluarkan Keputusan perihal penugasan kepada Komisi II DPR RI untuk
membahas RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara bersama dengan pemerintah.

Menindaklanjuti hal tersebut, Komisi II DPR RI bersama dengan pemerintah


telah memulai melakukan pembahasan pada tingkat 1. Dan pada tanggal 18
April 2021, Rapat Komisi II DPR RI menyepakati pembentukan Panitia Kerja
untuk membahas Perubahan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara.

3. Maksud dan Tujuan

Kunjungan kerja Panja RUU ASN dalam rangka pembahasan RUU tentang
Perubahan atas UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dilakukan sebagai upaya
untuk mendapatkan masukan, pengayaan, dan informasi mengenai materi
muatan yang akan diatur dalam RUU tersebut.

3
B. HASIL KUNJUNGAN KERJA

1. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Universitas Islam Indonesia)


a) Pemaparan Narsum (Bapak Dr. Ridwan, SH., M. Hum)
1. Konsideran menimbang huruf a tertulis; “...perlu dibangun aparatur
negara”, sebaiknya untuk konsistensi istilah ditulis seragam yaitu
“...perlu dibangun aparatur sipil negara”.
2. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ASN dan RUU ASN Perubahan, ASN
didefinisikan sebagai profesi bagi PNS dan PPPK. Apakah tepat ASN
disebut profesi?
Suatu pekerjaan disebut profesi atau profesional dengan syarat sebagai
berikut:
a) Pekerjaan didasarkan pada keahlian khusus tertentu yang dilakukan
secara teratur dan terus menerus. Yang bersangkutan menerima
imbalan karena pekerjaan keahlian tersebut.
b) Pekerjaan profesi dipertanggungjawabkan secara individual atas
dasar dan sebab-sebab keahlian menurut kaidah profesi atau standar
profesi atau etika profesi.
c) Hubungan keluar pekerja profesi bersifat individual, tidak bersifat
jabatan (ambtelijk) apalagi atas dasar jabatan umum (publik).
Meskipun seseorang memiliki keahlian, tetapi kalau bekerja atas
dasar jabatan dan hubungan keluar bersifat jabatan, maka orang
yang bersangkutan bukan dan tidak menjalankan pekerjaan atas
dasar profesi atau profesional.
d) Pekerjaan profesi atau profesional tunduk pada kaidah profesi atau
etika profesi atau standar profesi, dan dipertanggungjawabkan di
hadapan masyarakat profesi. Karena itu, segala tindakan hukum
terhadap pekerjaan profesi atau profesional harus didahului dan
menunggu pendapat masyarakat profesi.1
Atas dasar syarat tersebut, sebenarnya ASN tidak dapat dikualifikasi
sebagai profesi atau profesional, karena beberapa alasan; Pertama,
hubungan hukum antara ASN dengan negara (pemerintah) adalah
hubungan dinas publik (de openbare dienstbetrekking), hubungan
hukum bersegi satu (eenjizdige) yang terjadi ketika PNS ditetapkan
sebagai pegawai dengan suatu keputusan (beschikking) dan PPPK
ketika menandatangani perjanjian kerja. ASN menundukkan atau
mengikatkan diri pada pemerintah.2 Hubungannya bersifat jabatan
(ambtelijk); Kedua, sejak diangkat sebagai ASN, PNS dan PPPK
merupakan bagian dari pemerintah, yang melaksanakan pekerjaan

1 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, suatu Pencarian, FH UII Press, Yogyakarta,
2005, hlm. 42-43.

2 Hubungan dinas publik ini istilah yang dikemukakan oleh Logemann, yang dalam versi
aslinya berikut ini; “waar iemand zich verbindt om zich de aanstelling in ambten van een min of meer
bepalde sort te laten welgevallen tegenover bezoldiging en verdure persoonlijke voordelen” (dimana
seseorang mengikatkan dirinya terhadap penunjukan pada suatu atau beberapa jenis
jabatan/pekerjaan tertentu yang kepadanya diberikan gaji dan keuntungan pribadi lainnya). J.H.A.
Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954, hlm. 104.

4
sesuai dengan misi, tujuan, dan kebijakan pemerintah. Keahlian pribadi
ASN, kualifikasi akademik, dan profesionalismenya tidak lagi tuntuk
pada kaidah profesi atau standar profesi. ASN bekerja sesuai dengan
pekerjaan yang ditentukan pemerintah; Ketiga, syarat keahlian tertentu
seperti ahli di bidang hukum, teknologi informasi, kesehatan,
pendidikan, lingkungan, dan lain-lain yang ditunjukkan dengan
kualifikasi akademik, bukan karena didasarkan pada pertimbangan
profesi, tetapi disesuaikan dengan pelaksanaan urusan pemerintahan
pada bidang-bidang tersebut menurut standar birokrasi atau kebutuhan
instansi pemerintahan, bukan pertimbangan profesi; Keempat, gaji dan
tunjangan diberikan bukan atas dasar profesi, tetapi atas dasar
kepangkatan, masa kerja, sifat pekerjaan, dan kemampuan anggaran.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, sebutan ASN sebagai profesi
kiranya perlu ditinjau ulang. Sesuai dengan keberadaan ASN sebagai
bagian dari pemerintah atas dasar hubungan dinas publik, akan lebih
tepat dengan pendefinisian: ASN adalah unsur aparatur negara
(pemerintah) dan abdi masyarakat yang melaksanakan kebijakan
publik, pelayanan publik, perekat dan pemersatu bangsa.
3. Redaksi “...untuk menduduki jabatan pemerintahan” yang terdapat pada
Pasal 1 angka 3 ASN dan RUU ASN Perubahan, sebaiknya diubah
dengan kalimat “...untuk melaksanakan tugas pemerintahan.”
Berdasarkan HTN/HAN, jabatan (ambt) adalah lingkungan pekerjaan
tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang dibentuk dan dilekati
fungsi, tugas, dan kewenangan. N.E. Algra en H.C.J.G. Janssen
mengartikannya dengan; “een instituut met eigen werkkring waaraan bij
de instelling duurzaam en welomschreven taak en bevoegdheden zijn
verleend”3 (suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang
dibentuk untuk waktu lama dan terhadapnya diberikan tugas dan
wewenang). Fungsi, tugas, dan kewenangan jabatan itu selanjutnya
dilaksanakan oleh pejabat (ambtsdrager). P. Nicolai dan kawan-kawan
mengatakan bahwa kewenangan yang diberikan kepada organ
pemerintahan itu harus dijalankan oleh manusia. Tenaga dan pikiran
organ pemerintahan adalah tenaga dan pikiran mereka yang ditunjuk
untuk menjalankan fungsi organ tersebut, yaitu pejabat dan para
pegawai. Dengan kata lain, organ pemerintahan itu memerlukan
seseorang untuk secara nyata melaksanakan kewenangan yang ada
dalam organ pemerintahan tersebut.4
Warga negara Indonesia ketika diangkat sebagai PNS, kedudukannya
sebagai pegawai (ambtenaar) dan tidak serta merta menjadi pejabat
(ambtsdrager). Sebagai ambtenaar, PNS melaksanakan tugas dan
pekerjaan pemerintahan. PNS dapat menjadi ambtsdrager ketika
menduduki jabatan tertentu dalam struktur organisasi pemerintahan,

3 N.E. Algra en H.C.J.G. Janssen, Rechtsingang, een Orientasi in het Recht, H.D. Tjeenk
Willink bv, Groningen, 1974, hlm. 175.

4 P. Nicolai, et.al., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hlm. 26-27 dan L.J.A. Damen, et.al.,
Bestuursrecht, System, Bevoegdheid, Bevoegdheidsuitoefening, Handhaving, BJU Boom Juridische
Uitgevers, Tweede Druk, Den Haag, 2005, hlm. 107.

5
baik sebagai Pejabat Fungsional, Pejabat Administrasi, maupun Pejabat
Pimpinan Tinggi.
4. Ketentuan Pasal 1 angka 13 dan 14 sebaiknya disatukan saja, misalnya
dengan redaksi; “Pejabat yang berwenang adalah pejabat pembina
kepegawaian yang mempunyai kewenangan....”, karena pejabat yang
berwenang dan pejabat pembina kepegawaian itu memiliki tugas dan
kewenangan yang sama. Pada UU ASN disebutkan bahwa calon PNS
yang telah memenuhi persyaratan diangkat oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK), namun tidak disebutkan siapa yang dimaksud
dengan PPK. Dengan membaca ketentuan Pasal 53 UU ASN tampak
bahwa PPK adalah Presiden, Menteri, Pimpinan Lembaga di LPNK,
Sekretaris Jenderal, Gubernur, Bupati atau Walikota. Hal ini
menunjukkan bahwa PPK dan Pejabat yang Berwenang itu menunjuk
pada pejabat yang sama.
Dengan menyebutkan bahwa Pejabat yang berwenang adalah pejabat
pembina kepegawaian, nomenklatur untuk surat keputusan
(beschikking) pengangkatan, pemberhentian, atau pemberian sanksi
akan menjadi jelas dan ada kepastian hukum (rechtszekerheid),
termasuk ketika misalnya terjadi proses hukum di pengadilan.
5. Redaksi “mendelegasikan” pada Pasal 25 ayat (2) sebaiknya diganti
dengan kalimat “melimpahkan” atau “menugaskan” sebagian
kekuasaannya kepada Menteri, LAN, dan BKN. Berdasarkan UU No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, delegasi itu telah
memiliki makna tersendiri.5 Hubungan hukum antara Presiden dengan
Menteri, LAN, dan BKN adalah hubungan atasan-bawahan, sehingga
penyerahan kewenangannya bukan delegasi, tetapi mandat (dari kata
Latin “mandare” yaitu menugaskan atau memerintahkan).6
6. Dalam Pasal 105 ayat (2) huruf b ada kalimat “disiplin PPPK”. Apakah
peraturan disiplin PPK ini telah ada atau akan dibuat tersendiri yang
berbeda dengan Peraturan Displin PNS? Setelah berlaku UU ASN,
Peraturan Disiplin PNS masih merujuk pada PP No. 53 Tahun 2010
tentang Disiplin PNS, belum mencakup PPPK. PP No. 53 Tahun 2010
dibuat dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku, namun peraturan pelaksanaannya masih diberlakukan. UU
ASN belum memiliki peraturan pelaksanaan tentang Disiplin Pegawai,
karena itu sebaiknya dipersiapkan dan dibuat yang cakupan
pengaturannya meliputi PNS dan PPPK.
7. Pasal 87 dan juga Pasal 105 ayat (2) dan (3) RUU ASN Perubahan
perlu ditambah dengan ayat yang berisi prosedur penjatuhan sanksi

5Ketentuan tentang delegasi dan mandat dapat dilihat pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU No.
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

6 Delegasi adalah overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een
ander (pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan lainnya). H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht.
Vuga, s’Gravenhage, 1995, hlm. 129. Adapun mandat diartikan dengan “de bevoegdheid om in
naam van bestuursorgaan besluiten te nemen” (kewenangan yang dilaksanakan untuk dan atas
nama organ pemerintah yang berwenang mengambil keputusan). F.C.M.A. Michiels, Hoofdzaken
van het Bestuursrecht, Derde Druk, Kluwer, Deventer, 2003, hlm. 71.
6
bagi PNS yang melakukan tindak pidana dengan pidana penjara.
hukuman bagi PNS karena pelanggaran terhadap Peraturan Disiplin itu
mekanisme dan prosedurnya telah diatur secara jelas dalam Pasal 23
sampai 31 PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, termasuk
prosedur Upaya Administratif yang diatur dalam Pasal 32 sampai 42 PP
No. 53 Tahun 2010. Adapun keputusan pemberian hukuman karena
PNS melakukan tindak pidana sebagaimana ketentuan Pasal 87 ayat
(2), Pasal 87 ayat (4) huruf b dan d UU No. 5 Tahun 2014, Pasal 247
dan 250 huruf b dan d, serta Pasal 251 PP No. 11 Tahun 2017 tentang
Manajemen Pegawai Negeri Sipil, tidak diatur mekanisme dan
prosedurnya.
Karena tidak diatur mekanisme dan prosedurnya, dalam praktik
menggunakan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri,
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan
Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 128/6597/SJ, No. 15 Tahun
2018, No. 153/KEP/2018 tentang Penegakan Hukum terhadap PNS
yang telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan yang
Berkekuatan Hukum Tetap karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan
Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan yang Ada Hubungannya dengan
Jabatan.
SKB merupakan peraturan kebijakan (beleidsregel) yang dikeluarkan
karena ketiadaaan peraturan perundang-undangan (geen wettelijke
voorschriften bestaan atau leemten in het recht) yang mengatur tentang
pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat terhadap PNS
yang melakukan tindak pidana, sehingga keberadaannya ditujukan
untuk mengisi kekosongan hukum. Peraturan kebijakan dibuat atas
dasar diskresi, bukan atas dasar kewenangan pembuatan peraturan
perundang-undangan.7
Keberadaan SKB praktiknya selama ini sering menjadi masalah. Di sisi
lain, SKB sebagai beleidsregel pada dasarnya tidak dapat diberlakukan
untuk pengenaan sanksi yang terkait dengan pidana. Pengenaan sanksi
pidana harus memiliki legalitas atau dasar hukum dalam undang-
undang. Oleh karena itu, bersamaan dengan RUU ASN Perubahan ini
ada baiknya dirumuskan pasal tambahan yang berbunyi, misalnya:
(1) ASN yang melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak
pidana yang ada hubungannya dengan jabatan atau dihukum
pidana penjara karena melakukan tindak pidana dengan pidana
penjara paling singkat dua (2) tahun dan pidana yang dilakukan
tidak berencana, dapat diberhentikan dengan hormat.
(2) ASN yang melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak
pidana yang ada hubungannya dengan jabatan atau dihukum
pidana penjara karena melakukan tindak pidana dengan pidana
penjara paling singkat dua (2) tahun dan pidana yang dilakukan
dengan berencana, diberhentikan tidak dengan hormat.
(3) Pemberhentian ASN sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan keputusan pejabat yang berwenang atas dasar
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

7 J.B.J.M. ten Berge, Bescherming tegen de Overheid, Derde Druk, W.E.J. Tjeenk Willink,
Zwolle, 1995, hlm. 94.

7
Terkait dengan hukuman atas kesalahan yang mungkin dilakukan oleh
ASN dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ada unsur kerugian
keuangan negara di dalamnya, perlu diperhatikan ketentuan Pasal 20
ayat (4), (5), dan (6) UU No. 30 Tahun 2014 berikut ini:
(4) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat
kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan
pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil
pengawasan.
(5) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi
bukan karena adanya unsur penyalahgunaan Wewenang.
(6) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi
karena adanya unsur penyalahgunaan Wewenang.
Selanjutnya dalam Pasal 21 ditentukan sebagai berikut:
(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan
ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang
dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada
unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau
Tindakan.
(3) Pengadilan wajib memutus permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
permohonan diajukan.
(4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan
banding sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua
puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan.
(6) Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mengikat.
Dalam Anotasi UU Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa
ketentuan pasal di atas dapat disebut sebagai payung hukum bagi
pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan administrasi
pemerintah. Ketentuan tersebut juga memberikan perlindungan
terhadap Badan/Pajabat TUN di dalam membuat keputusan. Hal ini
tentu sesuai dengan asas pre sumptio iustae causa atau asas
praduga sah (het vermoeden van rechtmatigheid), di mana dalam
asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu
harus dianggap sah (rechtmatig) sampai ada pembatalannya melalui
pengadilan.
Pasal 21 ini juga dapat dimaknai sebagai respon atas berbagai
praktik yang mengemuka belakangan ini, dimana penegak hukum
dalam memeriksa dugaan penyalahgunaan wewenang seringkali
langsung mengaitkannya dengan tindak pidana. Hal ini menimbulkan

8
kekhawatiran bagi pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan
dan/atau tindakan, sehingga mengganggu kinerja pejabat yang
bersangkutan. Disebutkan bahwa kuatnya nuansa hukum pidana itu
akan menghambat inovasi dan kreatifitas pejabat pemerintahan,
karena mereka takut melakukan kesalahan dalam membuat
keputusan dan/atau tindakan. Padahal kesalahan itu sebenarnya
masih dalam ranah kesalahan administrasi. Namun bisa saja
ditafsirkan menjadi ranah tindak pidana korupsi.8

b) Pemaparan Narsum (Ibu Siti Ruhama Mardhatillah, SH., MH)

I. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mencapai
tujuan negara memerlukan adanya sumber daya yakni aparatur
sipil negara sebagai unsur aparatur negara untuk menjalankan
pemerintahan9 Reformasi birokrasi sumber daya manusia
aparatur negara dilaksanakan dalam aspek management
kepegawaian, dimulai dengan dari perubahan paradigma dari
pendekatan hak dan kewajiban individual pegawai menuju
perspektif yang menitik beratkan pada management sumber
daya manusia secara strategis (strategic human resource
management).10 Sistem manajemen pegawai berbasis karir
(career-based personnel management system) yang digunakan
dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian diubah dengan management pegawai
berbasis jabatan (position- based management system) yang
menjadi best practice di Negara maju.11
Visi reformasi birokrasi bidang sumber daya manusia aparatur
negara ialah terwujudnya Aparatur Sipil Negara berkelas dunia,
yang memiliki kriteria professional, integritas, orientasi
kepublikan, budaya pelayanan yang tinggi, serta memiliki
wawasan global. Untuk mewujudkan visi reformasi birokrasi
tersebut maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut dengan UU ASN)
menerapkan sistem merit dalam menegemen ASN. Selanjutnya
diatur dalam Pasal 1 angka 22 bahwa sistem merit adalah
kebijakan dan management ASN yang berdasarkan pada
kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar

8 Muhammad Yasin, et.al., (Tim Penyusun), Anotasi Undang-undang No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, UI-CSGAR, Jakarta, 2017, hlm. 107-108.

9 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,

Liberty, Yogyakarta, hlm. 98.

10 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara, hlm. 1.

11 Ibid, hlm. 7.

9
dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna
kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur,
atau kondisi kecacatan. Kedudukan pegawai ASN (Pegawai
Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja)
sebagai unsur aparatur, meharuskan ASN tunduk
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan dan
bersifat netral dalam arti bebas dari pengaruh dan intervensi
semua golongan dan partai politik.12 Hal tersebut ditujukan guna
mewujudkan good governance, serta pemerintahan yang bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.13
Dalam perjalanannya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara masih menyisakan beberapa
permasalahan yang menimbulkan ketidak adilan dan tidak
tercapainya kepastian hukum. Beberapa poin permasalahan
tersebut antara lain: a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara belum memberlakukan Sistem
Kepegawaian Tunggal bagi pegawai yang bekerja pada instansi
pemerintahan. Profesi ASN yang dibagi menjadi PNS dan
PKKK menimbulkan ketidak adilan ditinjau dari aspek
pengaturan management kepegawaian ASN; b) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
mengakibatkan hilangnya status hukum bagi tenaga
honorer/pegawai tidak tetap. Sehingga keberadaan tenaga
honorer/pegawai tidak tetap saat ini tidak memiliki payung
kebijakan yang memberikan perlindungan hukum; dan c)
Urgensi keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara. Sehingga
telah muncul adanya input dan trigger problem dalam
mengevaluasi UU ASN. Revisi UU ASN menjadi urgen untuk
dilakukan, guna perbaikan dan menyempurnakan norma-norma
management ASN.
Beranjak dari permasalahan tersebut, maka Dewan Perwakilan
Rakyat mengajukan 5 (lima) pokok inisitaif usulan antara lain: 1)
Penghapusan KASN; 2) Penetapan Kebutuhan PNS; 3)
Kesejahteraan PPPK; 4) Pengurangan ASN; dan 5)
Pengangkatan tenaga honorer. Poin-poin tersebut juga menjadi
dasar penyusunan ruang lingkup dan materi muatan
Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara.
Penulis mewakili Lembaga Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia merespon secara positif dan menyambut baik adanya
rencana Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

12 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

13 Ridwan dan Nurmalita Ayuningtyas Harahap, 2018, Hukum Kepegawaian, UII Press,
Yogyakarta, hlm. 29

10
Aparatur Sipil Negara. Revisi UU ASN sebagai Proglam
Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas,14 menunjukkan concert
DPR dalam memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum dalam management ASN di Indonesia.
II. Telaah Pokok Usulan Rancangan Perubahan UU ASN
Terdapat bebeberapa Undang-Undang yang perlu dianalisis
dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara. Revisi UU ASN antara lain:
a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
b) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik
c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemertintahan Daerah
d) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan
Merespon adanya 5 (lima) usulan inisiatif DPR dalam rangka
Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara, maka perlu kami sampaikan beberapa pendapat
akademi yang disusun dengan pendekatan konseptual
(conceptual approach), pendekatan histori (historical approach)
dan pendekatan peraturan-perundang- undangan (statute
approach).
A. Penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)
Pembentukan sebuah komisi independent merupakan
upaya reformasi birokrasi untuk menjaga netralitas dan
profesionalitas aparatur negara. Gagasan pembentukan
komisi independent merupakan amanat Undang- Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian. Adanya Komisi Aparatur Sipil Negara
(KASN) merupakan kesepakatan antara pemerintah dan
DPR yang disetujui pada rapat paripurna DPR RI 19
Desember 2013. Pembentukan Komisi Aparatur Sipil
Negara sebagai sebuah lembaga nonstruktural yang
mandiri dan bebas dari intervensi politik secara legal
formal didasarkan pada UU ASN.
Secara kelembagan KASN merupakan Auxiliary State’s
Institution atau Auxiliary State’s Organ yang bersfungsi
membantu tugas lembaga negara utama (Main State’s
Organ). Keberadaan sebuah lembaga negara independent
seperti KASN merupakan bagian dari pembangunan

14 https://www.dpr.go.id/uu/prolegnas

11
hukum dan transisi demokrasi dalam sebuah negara
hukum modern. Jika ditinjau dari tugas, fungsi dan
wewenang KASN yang diatur dalam UU ASN, maka dapat
disimpulkan bahwa urgensi adanya KASN ini tidak lepas
dari gagasan utama kebijakan management ASN yakni
sistem merit. Sehingga KASN dalam menjalankan tugas,
fungsi dan wewenangnya disebut pula sebagai Guardian
of Merit System.
Pelaksanaan sistem merit dalam kebijakan dan
management ASN pada instansi Pemerintah merupakan
norma yang bersifat mengikat dan harus dijalankan.
Sehingga dalam kerangka negara hukum di mana
Pemerintah berdasarkan pada Undang-Undang (wet
matigheid van bestuur), maka diperlukan adanya
pengawasan dalam rangka penegakkan hukum (legal
enforcement).15 Sehingga kedudukan KASN berfungsi
untuk mengawasi penerapat sistem merit telah tepat dan
perlu untuk diperkuat.
Argumentasi bahwa pembentukan KASN tidak memiliki
urgensi dan perlu untuk dihapuskan telah terpatahkan
dengan capaian kinerja KASN saat ini. KASN dapat
menjukkan sifat independent dan bebas dari intervensi
politik, dalam laporannya berhasil mengembalikan 335
ASN pada posisi semula. Terdapat 2 (dua) hal penting
yang perlu digaris bawahi atas capaian kinerja tersebut,
pertama KASN memberikan perlindungan terhadap hak-
hak ASN yang tercederai oleh tindakan Pejabat Pembina
Kepegawaian (Menteri, Pimpinan Lembaga dan Pimpinan
Daerah). Kedua, KASN bertindak mengawasi kenerja
Pejabat Pembina Kepegawaian dalam menjalankan merit
sistem agar melakukan tindakan penyalaggunaan
wewenang.
Apabila kewenangan dari KASN untuk mengawasi sistem
merit management ASN dialihkan kepada Menteri
Pendayagunaan dan Aparatur Negara, maka politik hukum
Pengawasan sistem merit secara independent dan bebas
dari pengaruh politik tidak lagi terwujud. Hal ini mengingat
bahwa Menteri merupakan jabatan yang bersifat politik.
B. Penetapan Kebutuhan PNS
Penetapaan kebutuhan ASN (PNS dan PPPK) merupakan
luaran perencanaan (hetplan) dari kegiatan penyusunan
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan ASN (PNS dan PPPK)
yang dilakukan berdasarkan analisis jabatan dan analisis
beban kerja.16 Teknis penetapan kebutuhan ASN telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017

15 Ridwan, 2020, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 296.

16 Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

12
tentang Manajemen PNS dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 1 Tahun 2020.
C. Kesejahteraan PPPK
Dalam praktik ditemui adanya pengangkatan Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dan ditempatkan
untuk menduduki jabatan Administrasi maupun Fungsional
yang sebenarnya bersifat tetap, sehingga beban kerja
yang dipikul oleh PPPK sama dengan PNS. Namun
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara memberikan hak yang berbeda kepada PNS
dan PPPK, dimana PPPK tidak mendapatkan hak jaminan
pensiun. Hal ini tidak selaras dengan Asas Keadilan dan
Kesetaraan17 serta Asas Kesejahteraaan18 dalam UU
ASN.
Perlu adanya gagasan konsep jaminan pensiun bagi
PPPK karena merupakan hak atas jaminan sosial untuk
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.19 Namun
demikian pembentuk Undang-Undang harus memilih
antara menempatkan Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari
Tua untuk dinormakan sebagai hak atau sebagai
perlindungan agar tidak terdapat redudansi aturan. Dalam
draft RUU Perubahan UU ASN ditemukan Jaminan
Pensiun dan Jaminan hari tua ditemukan dalam 2 (dua)
pengaturan yakni pada Pasal 22 dan Pasal 26.
Penggolongan jaminan pensiun dan jaminan hari tua
sebagai hak, menurut hemat penulis berkorelasi dengan
kewajiban negara dalam memberikan pemenuhan hak
hidup sejahtera yang berkesinambungan, sebagai
penghasilan hari tua serta penghargaan atas pengabdian
ASN. Sedangkan hak perlindungan merupakan hak-hak
yang harus dipenuhi oleh pemerintah atas resiko-resiko
yang muncul ketika seseorang bekerja dan berprofesi
sebagai Pegawai ASN, seperti jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan bantuan
hukum.
D. Pengurangan ASN

17 Asas Keadilan dan Kesetaraan, yaitu bahwa pengaturan penyelenggaraan ASN harus
mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk memperoleh kesempatan akan fungsi dan peran
sebagai Pegawai ASN

18 Asas Kesejahteraan, yaitu bahwa penyelenggaraan ASN diarahkan untuk mewujudkan


peningkatan kualitas hidup pegawai ASN

19Badan Kepegawaian Nasional, Konsepsi Jaminan Pensiun Bagi Pegawai Pemerintah


dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Civil Aparratus Pilicy Brief, Nomor 042-April 2021, hlm. 2-3.

13
Penegurangan ASN dapat terjadi akibat 2 (dua) hal, yakni
perampingan organisasi dan kebijakan Pemerintah dalam
rangka impelementasi Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik (SPBE). Gagasan konsultasi dengan DPR
merupakan usulan yang tepat, juga dalam rangka
menjalankan fungsi Pengawasan DPR terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Selain mendasarkan pada evaluasi dan perencanaan
pegawai, juga perlu disesuaikan dengan rencana strategis
insntasi pemerintah kedepan setelah adanya perampingan
organisasi. Di samping itu bilamana terdapat rencana
penggurangan ASN akibat kebijakan impementasi SPBE,
maka evaluasi dan perencanaan pegawai perlu untuk
memperhatikan roadmap SPBE dan mengevaluasi
integrasi penerapan SPBE. Hal ini ditujukan agar
pengurangan ASN tetap memperhatikan sistem merit agar
tidak mengganggu pelayanan publik.
E. Pengangkatan tenaga honorer
Tenaga honorer20 merupakan salah satu masalah
kepegawaian yang belum dapat terselesaikan. Dalam
kurun waktu 2005-2014 pemerintah telah mengangkat
1.070.092 tenaga honorer K1 dan K2 sebagai ASN. Pasca
diundangkannya UU ASN, mekanisme pengangkatan
tenaga honorer (dengan berbagai nama seperti pegawai
tidak tetap, pegawai tetap non PNS) sebagai Pegawai
Negeri Sipil telah resmi ditiadakan. Namun, atas dasar
kewenangan pembentukan kebijakan dalam rangka
menjalankan urusan Pemerintahan, praktik-praktik
rekrutmen tenaga honorer oleh Pemerintah dan
Pemerintah daerah masih dilakukan hingga saat ini.
Upaya Pemerintah untuk memberikan kepastian hukum
ialah dengan membuka rekrutmen PPPK yang dapat
diikuti oleh para tenaga honorer. Meskipun demikian
muncul permasalahan di mana pekerjaan yang saat ini
diisi pengawai honorer tidak tersedia dalam rekrutmen
dan/atau jenis jabatan tidak dapat diisi oleh PPPK

20 Kedudukan tenaga honorer didasarkan pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999


tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dimana Pemerintah dapat mengangkat pegawai tidak tetap atau
bukan Pegawai Negeri Sipil. Pegawai tidak tetap adalah pegawai yang diangkat untuk jangka waktu
tertentu guna melaksanakan tugas Pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis
professional dan Administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Sedangkan
pengertian Tenaga Honorer dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri SIpil adalah seseorang yang
diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam Pemerintahan untuk
melaksanakan tugas tertentu pada instansi Pemerintah atau yang penghasilannya menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

14
sebagaimana telah diatur jenisnya dalam Peraturan
Presiden Nomor 38 Tahun 2020 tentang Jenis Jabatan
yang dapat diisi oleh Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja.
Usulan DPR terhadap pegawai tidak tetap, pegawai tetap
non-PNS, dan tenaga kontrak berdasarkan surat
keputusan yang dikeluarkan sampai dengan tanggal 15
Januari 2014 untuk diangkat menjadi ASN (baik sebagai
PNS atau PPPK) dipandang menjadi suatu kebijakan yang
dapat memberikan kepastian hukum dan menyelesaikan
permasalan panjang tenaga honorer. Usulan tesebut
diikuti dengan larangan Pemerintah untuk melakukan
Pengadaan tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai
tetap non-PNS, dan tenaga kontrak. Namun demikian,
terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:
1) Pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN dapat
dilakukan dengan memprioritaskan masa kerja paling
lama, namun perlu dilakukan dengan penilaian objektif
melalui seleksi, baik seleksi administrasi dan seleksi
bidang.21 Hal ini mengingat politik hukum management
ASN saat ini adalah berdasarkan sistem merit serta
visi presiden untuk terwujudnya ASN berkelas
internasional. Serta memberikan keadilan bagi para
tenaga honorer yang telah menempuh seleksi PPPK
sesuai dengan ketentuan seleksi yang berlaku secara
nasional.
2) Dalam pelaksanaan seleksi yang dilakukan secara
terspusat oleh BKN, dimungkinkan untuk dilaksanakan
teknis model seleksi yang bersifat konvensional
sebagai bentuk afirmasi bagi tenaga honorer tertentu
yang membutuhkan.
3) Bilamana Revisi UU ASN secara eksplisit melarang
adanya pengangkatan tenaga honorer oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka
perlu adanya jaminan bahwa kebutuhan jumlah yang
telah dikaji dalam analisis jabatan dan analisis beban
kerja harus ditetapkan sesuai dengan jumlah yang
diserahkan oleh Pemerintah kepada KemenPAN-RB.
Karena apabila rekrutmen ASN tidak sesuai dengan
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan, resiko yang
dihadapi adalah ketidakstabilan pelaksanaan urusan
Pemerintahan dan penurunan kualitas pelayanan
publik.
Disamping respon atas usulan inisiatif DPR, penulis
memberikan telaah kritis atas konsep dan kedudukan

21 Dalam Pasal 131A RUU Perubahan UU ASN pola seleksi yang digunakan hanya seleksi
Administrasi berupa verifikasi dan validasi data surat keputusan pengangkatan. Pola seleksi perlu
dipertimbangkan kembali mengingat masih kentalnya praktik KKN dalam rekrutmen tenaga honorer/
tenaga kontak yang dilakukan pada instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

15
PPPK sebagai pegawai ASN. Dalam Naskah akademik
Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara,
konsep Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
diawali dari adanya gagasan jenis PNS baru yaitu
Pegawai Negeri Tidak Tetap/Pegawai Tidak Tetap
Pemerintah (contract government employee) yang
menerapkan standar dan norma penggajian septi pada
perusahaan moden. Tujuannya agar PNS lebih fleksible
dan selalu sesuai dengan dinamika perkembangan di
masyarakat, khususnya dunia.22
Jika ditinjau dari nomenklatur dapat ditemukan dalam
Pasal 1 angka 4 UU ASN, bahwa Pegawai Pemerintah
dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat
berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu
dalam rangka menjalankan tugas Pemerintahan.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang digunakan dalam
pengangkatan PPPK merujuk pada sistem
ketenagakerjaan menurut Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(selanjutnya disebut dengan UU Ketenagakerjaan).
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) merupakan
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu
atau untuk pekerjaan tertentu.23 PKWT hanya dapat dibuat
untuk pekerjaan terntentu yang menurut jenis dan sifatnya
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaktu sebagai berikut:24
a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya;
b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
waktu yang tidak terlalu lama;
c) Pekerjaan yang bersifat musiman;
d) Pekerjaanyangberhubungandenganprodukbaru,kegiat
anbaru,atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan; atau
e) Pekerjaan yang jebis dan sifat atau kegiatannya
bersifat tidak tetap.

22 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara, hlm. 39.

23Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

24
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

16
Jangka waktu PKWT dibuat paling lama 5 (lima) tahun.25
Sehingga UU Ketenagakerjaan secara jelas mengatur
bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap. Bilamana Sebuah PKWT diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap maka demi hukum penjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. Menurut hemat
penulis, PKWT dalam sistem ketenagakerjaan tidak tepat
diterapkan dalam sistem kepegawaian. Terdapat beberapa
permasalahan yang dapat diidentifikasi atas penggunaan
PKWT dalam sistem kepegawaian: Pertama, PPPK yang
diangkat menggunakan PKWT dapat mengisi Jabatan
Fungsional dan Jabatan Pimpinan Tinggi Utama tertentu
dan Madya Tertentu. Jika ditelaah dari kriteria Jabatan
Fungsional dan Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi
oleh PPPK26 serta lebih detail disebutkan daftar jabatan
funsional yang dapat diisi oleh PPPK27, jenis jabatan yang
diduki dalam jangka waktu tertentu hanya Jabatan
Pimpinan Tinggi yakni paling lama 5 (lima) tahun,
sedangkan jabatan fungsional merupakan jabatan yang
memiliki sifat tetap dengan pekerjaan yang terus menerus.
Kedua, secara konsepsi perbedaan antara PNS dan PPPK
telah tepat apabila memiliki sistem management yang
berbeda. Pandangan bahwa sistem management PPPK
merupakan sistem yang tidak adil, diskriminatif, tidak
didasarkan pada merit sistem merupakan akibat dari
penempatan PPPK pada fungsi jabatan yang bersifat tetap
dengan pekerjaan yang terus menerus seperti halnya
PNS.
Ketiga, terdapat dua instrument hukum dalam sistem
pengangkatan PPPK yakni Surat Keputusan (Keputusan
Tata Usaha Negara) dan Perjanjian Kerja. Surat
Keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian digunakan
sebagai dasar pengangkatan calon PPPK untuk
melaksanakan tugas Pemerintahan dalam unit kerja yang
ditentukan dan perjanjian kerja yang menjadi dasar
hubungan kerja antara Pemerintah dan PPPK dengan
jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian
kinerja. Sehingga PPPK tidak memiliki hubungan dinas
publik dengan Negara dan pemerintah28, namun karena
25 Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja

26Lihat Pasal 4 dan 5 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2020 tentang Jenis Jabatan
yang Dapat Diisi oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

27 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2020 tentang Jenis Jabatan yang Dapat
Diisi oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

28 Novi Savarianti Fahrani, Analisis Keberadaan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri
Sipil dalam Perspektif Manajemen ASN, Civil Service, Vol. 14 No. 2, November 2020, hlm. 73.

17
PPPK merupakan profesi ASN maka kedudukan
hukumnya dipersamakan dengan PNS yang tunduk pada
hubungan dinas publik dengan Negara dan Pemerintah.29
Sehingga ada dualism aturan yang mendasari PPPK yakni
UU ASN dan UU Ketenagakerjaan.
Sehingga bila gagasan dari pembentuk Undnag-Undang
adalah adanya sistem kepegawaian tunggal, maka jenis
jabatan yang bersifat tetap wajib diisi oleh Pegawai Negeri
Sipil. Sedangkan jenis jabatan yang memiliki unsur tidak
tetap dan memiliki periode waktu seperti Jabatan
Pimpinan Tinggi dan Jabatan lain yang dibentuk untuk
membantu fungsi Pemerintah dapat diangkat sebagai
Pegawai Pemerintah dengan Surat Keputusan. Maka
instrument hukum yang digunakan dalam pengangkatan
ASN hanyalah Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.
Sehingga seluruh ASN tunduk pada sebuah hubungan
dinas publik30 yang menjadi dasar monoloyalitas kepada
Pemerintah,31 serta kedudukan Undang- Undang ASN
menjadi lex specialist dalam sistem kepegawaian.
Apabila Pemerintah berkehendak untuk memiliki Aparatur
Sipil Negara berkelas dunia, yang memiliki kriteria
professional, integritas, orientasi kepublikan, budaya
pelayanan yang tinggi, serta memiliki wawasan global,
maka yang harus diperkuat adalah Penilaian Kinerja,
Pengembangan Kompetensi, Pengembangan Karir dan
penegakkan Disiplin ASN. Serta pengawasan atas kinerja
ASN baik secara melekat oleh atasan langsung, aparat
pengawas internal pemerintah, hingga lembaga pengawas
fungsional eksternal yang independent.
III. Penutup dan Rekomendasi
Penulis menyambut baik usulan inisiatif DPR dalam rangka
Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur

29 Hubungan Dinas Publik (openbare dienstbetrekking) merupakan hubungan antara


Pegawai Negeri dengan Negara, hubungan hukum kepegawaian ini merupakan hubungan
subordinate antara atasan dengan bawahan. Sri Hartini dan Tedi Sudrajat, 2017, Hukum
Kepegawaian di Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 17.

30 Hubungan Dinas Publik adalah kewajiban bagi pegawai yang bersangkutan untuk tunduk

dalam beberapa macam jabatan tertentu yang berakibat bahwa pegawai negeri yang bersangkutan
tidak menolak (menerima tanpa syarat) pengangkatannya dalam satu jabatan yang telah ditentukan
oleh pemerintah. Sebaliknya Pemerintah berhak mengangkat seseorang pegawai dalam jabatan
tertentu tanpa harus adanya persesuaian kehendak dari yang bersangkutan. Moh. Mahfud MD,
1988, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 3.

31 Muchsan, 1988, Pengangkatan dalam Pangkat Pegawai Negeri SIpil, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 10.

18
Sipil Negara. Adapun poin-poin yang perlu penulis soroti
sebagai penutup dan rekomendasi antara lain:
Pertama, Penguatan pengawasan atas pelaksanaan sitem merit
dalam management ASN perlu untuk dilakukan sehingga
kedudukan KASN perlu dipertahankan, pengawasan sistem
merit diperkuat dengan adanya konsultasi pemerintah kepada
DPR atas rencana pengurangan ASN akibat perampingan
organisasi maupun penerapan SPBE.
Kedua, Pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN tetap
memperhatikan sistem merit dengan penilaian objektif melalui
seleksi administrasi dan seleksi bidang secara nasional oleh
pemerintah pusat. Sehinggan visi presiden ASN berkelas
internasional dapat terwujud.
Ketiga, Penetapaan kebutuhan ASN harus didasarkan pada
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan ASN yang dilakukan
berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja.
Sehingga apabila pembentuk undang-undang hendak mengatur
norma larangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
merekrut tenaga honorer/ tenaga tidak tetap, maka harus ada
jaminan jumlah dan jenis formasi ASN yang dibuka dalam
rekrutmem sesuai dengan perencanaan instansi Pemerintah
yang membutuhkan. Agar tidak menganggu stabilisasi
pelaksanaan urusan Pemerintahan dan jaminan kualitas
pelayanan publik yang baik.
Keempat, Perlu adanya mengkajian ulang tentang konsep
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Untuk dapat
memiliki sistem kepegawaian tunggal maka profesi ASN harus
dianggat dengan instrumen hukum yang sama yakni Keputusan
Tata Usaha Negara. Jenis jabatan yang bersifat tetap wajib diisi
oleh Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan jenis jabatan yang
memiliki unsur tidak tetap dan memiliki periode waktu seperti
Jabatan Pimpinan Tinggi dan Jabatan lain yang dibentuk untuk
membantu fungsi Pemerintah dapat diangkat sebagai Pegawai
Pemerintah dengan Surat Keputusan. Sehingga UU ASN
menjadi lex specialist dalam sistem kepegawaian.

2. Provinsi Jawa Tengah (Universitas Diponegoro)

a) Pemaparan Narsum (Dr. Drs. Hardi Warsono, MTP)

1) Sistem merit dicapai melalui penegakan sistem merit. RUU


menegaskan ada 3 lembaga dalam manajemen ASN yakni Menteri
(PAN dan RB), LAN, serta BKN, namun lembaga KASN sebagai
penjaga sistem merit hilang.
2) KASN kenapa hilang?
- Keberadaan Kementerian PAN dan RB sudah sangat lama
dengan cakupan tugas dan kewenangan yang luas.

19
- Inisiasi sistem merit untuk melawan spoil system juga sudah
dikenal lama, tetapi praktik spoil system sangat terasa sebelum
lahirnya KASN.
- Pengalaman, sudah cukup banyak kegiatan dan sistem yang
dikembangkan KASN untuk mengawal sistem merit.
3) Urgensi keberadaan KASN:
- Banyaknya pelanggaran dalam proses pengisian jabatan. Dalam
hal ini, pengisian jabatan akan banyak didsarkan pada
subjektivitas pimpinan daerah karena suka/tidak suka, dukung
mendukung politik, kekerabatan, kesukuan, dan lain-lain.
- Hilangnya ketenangan ASN dalam bekerja.
- Merebaknya transaksi dalam pengisian jabatan.
- Merebaknya pelanggaran netralitas ASN.
- Hilangnya perlindungan terhadap ASN yang diperlakukan
sewenang-wenang oleh Pejabat Pembina Kepegawaian di Instansi
Pemerintah Pusat maupun Daerah.
- Menghambat capaian sasaran sistem merit sebagai prioritas
nasional dan strategi nasional pencegahan korupsi.
- Menegaskan komitmen pemerintah untuk memperkuat
kelembagaan dan kewenangan KASN.
4) Kekhawatiran bila fungsi pengawasan digabung di kementerian:
- Terjadinya tumpang tindih peran perumusan kebijakan dan
pengawasan.
- Hilangnya independensi pengawasan.
- Beban Kemenpan RB semakin berat.
- Pekerjaan rumah besar Kemenpan yang belum terselesaikan
hingga saat ini semakin terbengkalai. Misalnya RPP tentang gaji,
RPP tentang Disiplin PNS dan PPPK; RPP tentang Kode Etik dan
Kode Perilaku; RPP tentang Jabatan Fungsional yang sudah tidak
relevan; RPP tentang Pembinaan Profesi ASN pada Organisasi
Profesi Pegawai ASN.
5) Oleh karena itu, Narasumber memberikan beberapa catatan sebagai
berikut:
- Sebaiknya dipertahankan prinsip pemisahan kewenangan
pengelolaan ASN pada aspek perumusan kebijakan (Kemenpan);
manajemen ASN (BKN); litbang dan diklat profesi (LAN); dan
pengawasan meritokrasi (KASN).
- Aspek pengawasan meritokrasi perlu diperkuat dengan fungsi
eksekusi pada pelanggaran meritokrasi ASN, melalui pelaksanaan
prinsip “quality assurance” pada pengisian JPT dari tahap
standarisasi pemilihan pansel, pelaksanaan seleksi terbuka, guna
memperoleh pejabat yang memiliki standar integritas,
profesionalitasme dan nasionalisme sebagai simpul-simpul agen
meritokrasi untuk merajut NKRI.
- Mewajibkan PPK menindaklanjuti rekomendasi pelanggaran
pengisian JPT, nilai dasar, kode etik, kode perilaku, dan netralitas

20
ASN dengan sanksi yang jelas dan tegas apabila tidak
dilaksanakan oleh PPK yang bersangkutan.
- Dukungan terhadap pemerintahan digital melalui pengembangan
dan implementasi instrumen pengawasan meritokrasi secara
preventif dan mandiri berbasis digital yang sudah diaplikasikan
KASN yaitu SIPINTER, SIJAPTI, SINDEN, dan SIAPNET.
6) Aspirasi Akademisi: apanila pengapusan KASN merupakan sesuatu
yang tidak dapat dirubah lagi, mohon fungsi pengawasan meritokrasi
dapat dijamin tetap berlangsung dengan melanjutkan prinsip-prinsip
yang telah dirintis dan dikawal KASN.
7) Respons atas pertanyaan mengenai penghapusan KASN:
- KASN jika belum maksimal, justru harus diperkuat perannya.
Namun, kalau sudah menjadi keputusan politik, fungsi itu harus
tetap dipertahankan. Oleh karena itu, diusulkan agar sistem yang
harus dibangun, tidak mempermasalahkan kelembagaannya. Bisa
saja fungsi pengawasan tersebut ditempatkan di Kemenpan RB di
bawah salah satu kedeputian. Namun, penting agar sistem
dipertegas dan dimanfaatkan. Artinya, harus ada sistem
penegakan rekomendasi KASN, ada sanksi bagi PPK yang tidak
melaksanakan rekomendasi KASN.

b) Pemaparan Narsum (Prof Dr. Retno Saraswati, SH, M.Hum)

Secara umum perubahan terhadap uu dimungkinkan, dan itu harus


diikuti oleh NA dan batang tubuh, termasuk uji konsep dan sosialisasi
peraturan perundangan, sebagaimana yang diatur dalam UU 12 tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundangan.

Draf RUU sudah jadi, saya paling mengkritisi pasal per pasal yang
akan direvisi dan NA yang telah disampaikan, tentang pasal KASN pasal
1 butir 19, dan kemudian diiukuti penghapusan pasal2 KASN. Menurut
saya pembubaran sebuah lembaga perlu dikaji secara mendalam.
Sehingga nanti kalua KASN akan dibubarkan maka resikonya sudah
dihitung. Memang ada keluhan tentang KASN, namun apakah hal
tersebut mengharuskan KASN dibubarkan. Dengan demikian
pengawasan system merit, efektif atau tidak bila muncul pembubaran
KASN. Karena bagaimanapun juga kelahiran KASN untuk mengawasi
system merit karena pengawasan ASN yang dilakukan kementerian di
waktu lalu ternyata tidak efektif.

Bagaimanapun juga kita harus berpikir bahwa efektitas tersebut


pengawasan itu terukur dengan masalah kepentingan. Sayangnya di NA

21
tidak dijelaskan secara gamblang pembubaran KASN. Hal ini terkait
dengan proses checks and balalnces dalam pelaksanaan system merit
sebagaimana menjadi ruh dari UU ASN ini. Yang juga penting apabila
pembubaran KASN disepakati secara politik, maka jangan sampai ASN
tidak independen sehingga dalam mengacaukan kehidupan birokrasi,
stake holder ASN tidak dirugikan bila KASN dibubarkan. Jangan sampai
nanti kalau KASN dibubarkan maka pejabat di pemerintah akan
terafilisasi secara politik. Artinya, yang perlu disadari kembali bahwa
beradaan KASN ingin agar rakyat dilibatkan dalam pemerintahan,
sebagai wujud Negara demokratis.

Harapan kita setiap UU ada semacam penegak hukumnya , tapi


kalau sudah jadi, jangan lagsung dibubarkan, karena KASN adalah
akselerasi untuk mewujudkan tujuan Negara. Karena checks and
balances penting agar semua proses birokrasi dan pelayanan public
tidak menjadi bagian dari partai politik.

Terkait Kebutuhan pegawai pasal 87, PPPK dan PNS tidak ada
diskriminasi, karena di UNDIP juga ada pegawai non PNS, saya setuju.
Tidak ada diskriminasi terhadap PPPK, UU ini membatasi PPPK diangkat
ke PNS per 15 januari 2014. Pemerintah daerah tidak boleh mengangkat
PPPK yang dibolehkan adalah pemerintah pusat. Hanya faktanya di
UNDIP, dalam proses pelayanan terdahap civitas akademika kita tidak
bisa hanya mengandalkan PNS tidak bisa, karena kita butuhnya 100 tapi
formasi yang diberi cuman 30. Jadi tidak bisa mengandalkan PNS.
Karena ada yang pensiun dan ada yang meninggal karena covid. Kecuali
kebutuhan pengadaan PNS sesuai dengan jumlah formasi yang diajukan,
baru kita bisa ngga usah bicara pegawai pemerintah non PNS. Karena
Undip juga membayar pegawai tetap yang dibayar oleh Undip sendiri.
Sehingga kadang-kadang kita mengangkat pegawai kontrak untuk
membantu proses pelayanan public, dan hal tersebut jelas membantu
kinerja, kita FH kemarin mengajukan formasi sebanyak 10 tapi hanya
diberi 1, karena pengadaan kan hak pemeritnah, bukan kami. Yang perlu
diperhatikan keberadaan Pegawai Non PNS itukan didanai oleh
keuangan sendiri bukan APBN, ini kan membantu pemerintah. Kalau

22
diperluas lagi semua itu untuk memikul beban Undip dari pemetintah yang
besar, yang menginginkan Undip menjadi world class university. Dan
untuk mewujudkan itu kita membituhkan SDM yang besar.

c) Pemaparan Narsum (Ika Riswanti Putranti, S.H., M.H., Ph.D)

1) PENGHAPUSAN KASN

- Praktik mengenai KASN dapat melihat perbandingan di beberapa


negara seperti Australia, Singapura dan Jepang. Bagaimana cara
kerja KASN ini dalam menyelenggarakan meritokasi atau Merit
Sistem.
- Penghapusan menganai KASN sebaiknya dipertimbangkan ulang
mengingat nafas dari reformasi birokrasi adalah transparency,
predictability, integrity, dan accountability.
- Perlu adanya legal certainty dalam pembinaan pola karir ASN
untuk dapat mendorong peningkatan performance dalam birokrasi
yang bebas dari intervensi yang bersifat politik dan impartial :
- Sebelum dilakukan pembahasan terkait dengan perubahan RUU
ASN perlu dilakukan suatu kajian empiris mengenai bagaimana
pengaruh keberadaan KASN terhadap peningkatan efisiensi dan
efektvitas birokrasi dan layanan public.
- Kajian empiris ini tidak hanya memotret situasi dan kondisi
birokrasi namun juga memotret pendapat user, customer internal
dan external, sehingga bisa didapatkan suatu data yang
komprehensif yang bisa dijadikan sebagai satu bahan dalam
pengambilan keputusan.
- Kajian empiris perlu dilakukan secara hati-hati dan mendalam
melibatkan akademisi maupun ahli yang terkait.
- Salah satu fungsi yang dijalankan oleh KASN adalah untuk
membentuk sistem Meritokrasi dalam birokrasi.
- Meritokrasi memperkuat gagasan kesetaraan dan kompetensi
karena menolak patronase, nepotisme, korupsi, dan
ketidakmampuan untuk menempati jabatan di pegawai negeri.
Dalam konteks kepegawaian, meritokrasi biasanya dibahas dalam
kaitannya dengan praktik rekrutmen dan promosi.
23
2) PENETAPAN KEBUTUHAN PNS

- Dalam hal penetapan kebutuhan PNS perlu dimasukan


pertimbangan forecasting kebutuhan jabatan dalam birokrasi yang
terus dinamis dan terus berkembang.
- Jabatan yang kosong sebaiknya ditelaah kembali apakah masih
dibutuhkan atau tidak sehingga dalam penetapan kriteria
rekrutmen juga memperhatikan kebutuhan organisasi kedepan.
- Penetapan kebutuhan PNS ini harus didasarkan kepada satu
perhitungan statistic yang valid bukan hanya berdasarkan
“business as usual” untuk itu meskipun secara teknis tidak perlu
diatur didalam UU, namun perlu di atur secara jelas prinsip dalam
penetapan kebutuhan ini sehingga tidak menjadikan pengadaan
PNS terkesan hanya sebagai sistem input menggantikan PNS
yang telah purna namun memang berdasarkan kepada kebutuhan
yang sudah dihitung dengan cermat.

3) KESEJAHTERAAN

- Dalam kesejateraan terutama terkait dengan PPPK memang perlu


untuk ditelaah, karena sistem PPPK ini sebenarnya sangat
merugikan birokrasi terutama dalam pembinaan pola karir dan
loyalitas kepada organisasi.
- Konsep kesejahteraan yang inkonstitusional dalam PPPK perlu
untuk segerah dibenahi, dimana ASN dengan jenis dan beban
pekerjaan namun mendapatkan reward dan pola karir yang
berbeda.
- Konsep PPPK yang tidak memberikan jaminan kepastian
mengenai masa depan dan pola karir sangat tidak cocok untuk
beberapa bidang jabatan fungsional tertentu salah satunya dosen.
- Hal ini akan sangat mengganggu dalam pembentukan budaya
kerja organisasi.

24
4) PENGURANGAN

- Pengurangan PNS harus dilakukan dengan suatu tahapan proses


assessment dan kajian yang mendalam sehingga tidak
menimbulkan sengketa yang merugikan.
- Payung hukum pengurangan PNS juga harus dirancang dengan
hati-hati supaya kedepan tidak dijadikan sebagai alat politik praktis
dalam birokrasi.

5) PENGANGKATAN HONORER

- Dalam hal pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN perlu


diperhatikan beberapa jenis jabatan fungsional tertentu yang tidak
bisa begitu saja diangkat menjadi PPPK, seperti contohnya dosen
yang telah mengabdi sebagai dosen kontrak di Perguruan Tinggi
Negeri.
- Dengan diangkatnya seorang dosen menjadi PPPK yang hanya
dikontrak dalam jangka waktu tertentu, semisal 1 tahun kemudian
diperpanjang kembali menurut kebutuhan organisasi, hal ini
sebenarnya sangat merugikan organisasi itu sendiri.
- Karena seorang dosen pola karirnya dibentuk oleh waktu,
pengalaman, dan kepakaran bidang. Dengan adanya
ketidakpastian dalam pola karir akan sangat menghambat
pengembangan jabatan dosen yang sangat dibutuhkan untuk
akreditasi institusi.
- Pengangkatan tenaga honorer juga perlu belajar dari tahun 2005
yang kemudian menimbulkan permasalahan
- Seperti apa dan bagaimana jika harus dilakukan maka harus
dilakukan kajian, jika tidak dilakukan kajian dan proses
pengangkatannya dilakukan tanpa asesmen maka akan menjadi
beban birokrasi saja dikemudian hari.

25
C. KESIMPULAN

1. Pembubaran KASN merupakan hal yang bersifat politik, tetapi perlu


dilakukan pengkajian terkait hal tersebut. Perlunya melihat perbandingan di
beberapa negara seperti Australia, Singapura dan Jepang. Bagaimana cara
kerja KASN ini dalam menyelenggarakan meritokasi atau Merit Sistem.
2. Fungsi pengawasan terhadap sistem merit harus tetap ada meskipun
kewenangan tersebut tidak lagi dilakukan oleh KASN. Sistem yang sudah
dibangun kemudian perlu diperkuat untuk menjaminnya terselenggaranya
sistem merit.
3. Terkait subyektifitas kepala daerah dalam birokrasi, perlu dikaji kembali
apakah pembina kepegawaian tetap berada pada kepala daerah atau dapat
diberikan kepada sekretaris daerah yang selama ini mengelola sumber daya
manusia di daerah sehingga dapat menghilangkan subyektifitas dalam
birokrasi terutama saat dilakukannya promosi jabatan.
4. Sistem remunerasi atau penggajian terhadap ASN perlu dilakukan
pengkajian kembali sehingga tidak ada lagi ASN yang mendapatkan hak
yang tidak sebanding dengan tanggung jawab yang diemban oleh ASN
tersebut.
5. Pengangkatan tenaga honorer perlu dikaji kembali terkait dengan tata cara
dan persyaratan tersebut, sebaiknya tetap dilakukan dengan assessment
sehingga dikemudian hari tidak menimbulkan permasalahan dalam birokrasi.

D. PENUTUP

Demikian laporan hasil kegiatan Panja RUU tentang Perubahan Atas UU No.
5 Tahun 2014 tentang ASN dalam rangka menerima masukan, pandangan,
pencerahan terkait pembahasan RUU ASN yang tengah bergulir di DPR RI.
Kepada semua pihak yang membantu terselenggaranya kegiatan-kegiatan
Panja RUU ASN Komisi II DPR RI, kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, November 2021

Ketua Panja RUU ASN


Komisi II DPR RI

26

Anda mungkin juga menyukai