Anda di halaman 1dari 22

Analisis Pemutusan Hubungan Perjanjian Kerja Pegawai Pemerintah

Dengan Perjanjian Kerja (PPPK)


(Studi Kasus Pada Putusan Nomor 45/G/2020/Ptun.Jkt)
Dania Rizky Nabilla Gumilar1
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia, Depok 16424
NPM1806139191

Abstract
Law Number 5 of 2014 (ASN Law) includes Government Employees with Work
Agreements (PPPK) as part of the State Civil Apparatus. To find out the legal
position, legal certainty and maintain the integrity of the PPPK, the Government
issued PP Number 49 of 2018 concerning Management of Government Employees
with Work Agreements. Even though there are regulations governing the
management of first aid workers as a form of legal certainty, it is still found that
PPPK commits disciplinary violations so that they are sentenced to discipline as a
form of legal responsibility for their actions. The purpose of this paper is to find
out the procedure for terminating the employment agreement between PPPK and
the Government and to review the case studies of court decisions.
Keywords: PPPK, termination of employment contract, PTUN

Abstrak
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 (UU ASN) memasukan Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sebagai bagian dari Aparatur Sipil
Negara. Untuk mengetahui kedudukan hukum, kepastian hukum dan menjaga
intergritas PPPK, Pemerintah menerbitkan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang
Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Walaupun sudah ada
peraturan yang mengatur mengenai Manajemen PPPK sebagai bentuk kepastian
hukum, masih ditemukan PPPK yang melakukan pelanggaran-pelanggaran
disiplin sehingga dijatuhi hukuman disiplin sebagai bentuk tanggungjawab hukum
PPPK atas perbuatannya. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui prosedur
pemutusan hubungan perjanjian kerja antara PPPK dengan Pemerintah dan
meninjau dengan studi kasus putusan pengadilan.
Kata kunci: PPPK, pemutusan hubungan perjanjian kerja, PTUN

1
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Alamat kontak:
dania.rizky@ui.ac.id
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai abdi masyarakat sudah seyognyanya
dapat menunjukkan integritas dan keteladanan sikap, perilaku, ucapan dan
tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan serta dalam
melaksanakan tugas kedinasannya dengan penuh pengabdian, kejujuran,
kesadaran dan tanggung jawab.2 Sebagai abdi negara, seorang Pegawai Negeri
juga wajib setia dan taat kepada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi Negara,
kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI 1945), kepada Negara dan kepada pemerintah sehingga dapat memusatkan
segala perhatian dan pikiran serta mengerahkan segala daya upaya dan tenaganya
untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya
guna dan berhasil guna.3
Namun, tidak jarang terdapat ASN yang lalai dalam menjalankan
kewajibannya, bahkan sampai tersangkut pada kasus pidana dan diadili di
pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat ASN yang tidak
meresapi nilai-nilai dasar serta kode etik profesi ASN dengan sepenuh hati.
Terhadap ASN yang melakukan pelanggaran disiplin pegawai ASN, dijatuhi
sanksi administratif yang berlaku dan sudah ditentukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Sanksi administrasi adalah salah satu jenis sanksi hukum,
yang ditetapkan untuk memastikan penghormatan terhadap ketentuan hukum.4
Sebelum UUD NRI 1945 dilakukan amandemen pada tahun 1999, sebagai
upaya negara dalam mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan
bagi rakyat, diperlukan adanya Pegawai Negeri yang merupakan aparatur negara
yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara
adil dan merata serta dalam rangka pemenuhan amanah dari UUD NRI 1945,
maka diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian (“UU Pokok-Pokok Kepegawaian”). Setelah dilakukan

2
Indonesia, Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara, UU No. 5 Tahun 2014, LN
No. 6 Tahun 2014, TLN No. 5494, Ps. 23.
3
Sri Hartini, Setiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat, Hukum Kepegawaian Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 39
4
Sri Nur Hari Susanto, “Karakter Yuridis Sanksi Hukum Administrasi: Suatu Pendekatan
Komparasi”, Adminitrative Law & Governance Journal, Vol. 2 Issue 1, (Maret 2019), hlm. 131.

1
amandemen pada tahun 1999, UU Pokok-Pokok Kepegawaian setelah itu diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Dengan lika-liku yang terjadi dalam birokrasi dan kepegawaian di
Indonesia dan pesatnya perkembangan bangsa, serta sebagai pemenuhan reformasi
birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance),
diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (“UU ASN”). UU ASN merupakan regulasi yang dibuat dalam rangka
membangun Aparatur Sipil Negara yang memiliki integritas, profesional, netral
dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat.
UU ASN merupakan produk hukum yang berorientasi strategis untuk membangin
aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban
tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional didasai pada semangat
reformasi.5 Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi
bagi Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang
bekerja pada instansi pemerintah.6
Hal yang menjadi perhatian setelah diundangkannya UU ASN adalah
adanya keberadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang
dikategorikan ke dalam ASN. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang
selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat
tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu
dalam rangka tugas pemerintahan.7 Dalam Pasal 1 angka 2 UU ASN, Pegawai
ASN adalah Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasaran
peraturan perundang-undangan.8 Hal ini menunjukan bahwa dasar atau landasan
adiperkerjakan pegawai non-PNS adalah adanya perjanjian kerja antara
pemerintah dengan seseorang yang yang diangkat menjadi PPPK, yang mana

5
Hartini, Sri, Setiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat, Hukum Kepegawaian ..., hlm. 3.
6
Indonesia, Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara ..., Ps. 1 angka 1.
7
Ibid., Ps. 1 angka 4.
8
Ibid., Ps. 1 angka 2.

2
menunjukkan bahwa hubungan hukum antara keduanya adalah hubungan hukum
keperdataan.9
Sebagai perjanjian yang mempunyai ciri-ciri khusus, perjanjian kerja pada
prinsipnya merupakan perjanjian, yang sepanjang mengenai ketentuan umum,
maka terhadap perjanjian kerja juga berlaku ketentuan umum, seperti mengenai
syarat sahnya perjanjian, subjek dan objek perjanjian.10 Dalam UU ASN, PPPK
diperkejakan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian kerja, maka
perjanjian yang dimaksudkan adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahsa Indonesia dan huruf latin.11
Dalam perjanjian kerja, secara teoritis mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya pekerjaan; berisi prestasi atau kewajiban yang harus dilakukan
oleh pihak penerima kerja
b. Adanya unsur di bawah perintah; pihak penerima kerja bergantung pada
perintah/instruksi/petunjuk dari pihak pemberi kerja
c. Adanya upah tertentu; upah merupakan imbalan atas pekerjaan yang
dilakukan oleh pekerja sebagai penerima kerja.12
Implikasi hukum dengan adanya pengangkatan PPPK berdasarkan
perjanjian kerja waktu tertentu adalah PPPK berbeda kedudukan hukum dengan
Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang mana PNS adalah warga negara yang
memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh
pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.13
Meskipun demikian, PPPK tetap bagian dari ASN yang mana tetap harus
mematuhi perundang-undangan, disiplin ASN, serta menjalankan nilai-nilai dasar
dan kode etik profesi ASN. PPPK yang melakukan pelanggaran disiplin PPPK
dijatuhi hukuman disiplin berupa pemutusan hubungan perjanjian kerja, yang

9
Dwi Aryanti Ramadhani, Iwan Erar Joesoef, “Perlindungan Hukum Pegawai Pemerintah
Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Dalam Konsep Perjanjian Kerja Waktu Tertentu di Institusi
Perguruan Tinggi”, Jurnal Yuridis, Vol. 7, No. 1 (Juni 2020), hlm. 7
10
Aloysius Uwiyono, et.al., Asas-Asas Hukum Perburuhan, (Depok: Rajawali Pers,
2014), hlm. 59
11
Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No.
39 Tahun 2003, TLN No. 4279, Ps. 57 ayat (1).
12
Uwiyono, Aloysius, et.al., Asas-Asas ..., hlm. 61.
13
Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan ..., Ps. 1 angka 3.

3
terdiri dari pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan dengan hormat,
pemutusan hubungan perjanjian kerja dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri, dan pemutusan hubungan perjanjian kerja PPK dilakukan tidak hormat.14
Susanto, merupakan PPPK pada Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi
Daerah DKI Jakarta yang dijatuhi sanksi pemutusan hubungan perjanjian kerja
dilakukan tidak hormat. Pemutusan hubungan kerja tersebut berdasarkan
Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019
tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin berat Berupan Pemberhentian Tidak
Dengan Hormat Kepada Pegawai Tidak Tetap Atas Nama Susanto NPTT
09.12139 tertanggal 19 November 2019 (“Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.
1616 Tahun 2019”). Keputusan Gubernur DKI Jakata tersebut bersifat konkret,
individual dan final yang mana termasuk pada Keputusan Tata Usaha Negara
sebagai keputusan yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dalam penyelenggaraan pemerintah.15 Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dieluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.16
Susanto sebagai pihak yang menerima pemutusan hubungan kerja merasa
bahwa prosedur pemutusan hubungan kerja terhadapnya dan Keputusan Gubernur
DKI Jakarta No. 1616 Tahun 2019 terdapat kesalahan dan kekeliruan.
Berdasarkan hal tersebut, susanto mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta atas Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya
Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1616 Tahun 2019 merupakan objek
sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan gugatannya mendapatkan
nomor register perkara dalam Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan
nomor 45/G/2020/PTUN-JKT.

14
Ibid., Ps. 104-105.
15
Indonesia, Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun
2014, LN Tahun 2014 No. 292, TLN No. 5601, Ps. 1 angka 7.
16
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 51 Tahun 2009, LN No. 160 Tahun
2009, TLN No. 5079, Ps. 1 angka 9.

4
Artikel ini akan membahas dan menganalisis mengenai prosedur
pemutusan hubungan perjanjian kerja Pemerintah dengan Kerja (PPPK)
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menganalisis pemutusan
hubungan perjanjian kerja berdasarkan studi kasus pada Putusan Nomor
45/G/2020/PTUN-JKT. Setelah bagian pendahuluan ini, artikel akan disusun ke
dalam empat bagian. Bagian pertama menjelaskan prosedur pemutusan hubungan
perjanjian kerja Pemerintah dengan Kerja (PPPK). Bagian kedua menjelaskan
mengenai gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat dalam mengajukan
gugatan terhadap Keputuan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019.
Bagian ketiga menganalisis mengenai pertimbangan hakim terhadap Keputuan
Gubernur DKI Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019 pada Putusan Nomor
45/G/2020/PN.JKT. Bagian keempat menjadi penutup artikel ini dengan
kesimpulan dan saran dari pandangan penulis.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur pemutusan hubungan perjanjian kerja Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan tidak hormat
berdasarkan peraturan perundang-undangan?
2. Bagaimana gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat terhadap
Keputuan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019?
3. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap Keputusan Keputusan Gubernur
DKI Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019 Pada Putusan Nomor
45/G/2020/PN.JKT?

II. METODE PENELITIAN


Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis sistematis dan konsisten.17
Metode penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian dan penulisan
hukum, yaitu Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 2007), hlm. 43.

5
metode penelitian yuridis-normatif. Tipologi penelitian yang digunakan dalam
proposal penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini akan bersifat
deskriptif analitis yang digunakan untuk menggambarkan tentang pemutusan
hubungan perjanjian kerja Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)
dengan tidak hormat dengan studi kasus pada Putusan Nomor 45/G/2020/PN.JKT.
Jenis data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data Sekunder diperoleh melalui penelusuran kepustakaan, yang dalam penelitian
ini terutama kepustakaan hukum, mencakup mencakup bahan-bahan pustaka,
seperti buku, dokumen kenegaraan, artikel jurnal.18 Sehingga, teknik
pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi
dokumen kepustakaan yang diperoleh orang yang melakukan penelitian dengan
sumber-sumber yang sudah ada.19
Jenis Bahan Hukum yang digunakan terdiri dari tiga jenis yaitu bahan hukum
primer, sekunder dan tersier sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer, yaitu dokumen yang berisi pengetahuan ilmiah
atau fakta yang diketahui ataupun ide.20 Bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan. Peraturan
Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
2. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang isinya memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.21 Penelitian ini akan
mempergunakan bahan hukum sekunder yang berupa buku, artikel,
18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 12.
19
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta:
Penerbit Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 58.
20
Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Bukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 22.
21
Ibid., hlm. 22.

6
jurnal tugas akhir (skripsi, tesis, dan disertasi), dan tulisan melalui
media daring, sepanjang dimuat dalam situs yang kredibel secara
keilmuan hasil penelitian ilmiah yang akan mendukung penulis dalam
melandaskan teori dalam penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier, Bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
pedoman dalam menelusuri bahan hukum primer dan sekunder, yaitu
kamus, peta, ensiklopedia, buku telepon, dll., misalnya kamus seperti
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam penelitian ini akan
digunakan KBBI sebagai bahan hukum tersier.
Dalam rangka penyusunan penelitian, alat pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah studi dokumen. Penulis mengutamakan studi dokumen
karena sumber data yang digunakan adalah data sekunder dan bentuk penelitian
adalah kepustakaan.

III. PEMBAHASAN
3.1. Prosedur Pemutusan Hubungan Perjanjian Kerja Pegawai Pemerintah
Dengan Kerja (PPPK) Dengan Tidak Hormat Berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan
Sebagai bentuk pertanggungjawaban, PPPK yang melakukan pelanggaran
disiplin dijatuhi hukuman disiplin. Hukuman disiplin PPPK dalam hak ini adalah
pemutusan hubungan perjanjian kerja. Menjatuhi hukuman pada PPPK yang
melakukan pelanggaran merupakan salah satu bentuk manajemen PPPK sebagai
pengelolaan pegawai untuk menghasilkan PPPK yang profesional, memiliki nilai
dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme.22 Menurut Prof Imam Soepomo, pemutusan hubungan kerja
bagi pekerja merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari
berakhirnya mempunyai pekerjaan, permulaan dari berakhirnya kemampuan
menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.23 Karena pengikatan hubungan hukum
PPPK dengan pemerintah melalui perjanjian, maka untuk memberhentikan PPPK

22
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan
Perjanjian Kerja, PP No. 49 Tahun 2018, LN No. 224 Tahun 2018, TLN No. 6264, Ps. 1 angka 1.
23
Wulan Pri Handini dan Danang Risdiarto, “Problematika Pelindungan Hukum Pegawai
Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pemerintah”, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 17 No. 4 (Desember 2020), hlm. 508.

7
berbeda dengan PNS yang mana PNS dalam bentuk pemberhentian, sedangkan
PPPK dalam bentuk pemutusan hubungan perjanjian perja. Pemutusan Hubungan
Perjanjian Kerja sebagai PPPK adalah pemberhentian yang mengakibatkan
seseorang kehilangan statusnya sebagai PPPK.24 Pemutusan Hubungan Perjanjian
Kerja terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu pemutusan hubungan perjanjian kerja
dengan hormat, pemutusan hubungan perjanjian kerja dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri, dan pemutusan hubungan perjanjian kerja dengan tidak
hormat.25 Tata cara pengenaan sanksi disiplin bagi PPPK dilaksanakan sesuai
dengan ketentuang peraturan perundang-undangan.
Pemutusan hubungan perjanjian PPPK dilakukan dengan hormat karena:26
a. Jangka waktu perjanjian kerja berakhir; pemutusan hubungan
perjanjian kerja apabila PPPK telah mencapai batas usia tertentu, yakni
58 (lima puluh delapan) tahun bagi pejabat fungsional ahli muda,
pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat fungsinal kategori
keterampilan, 60 (enam puluh) tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan
pejabat fungsional madya, 65 (enam puluh lima) tahun bagi PPPK
yang memangku jabatan fungsional ahli utama. 27
b. Meninggal dunia;
c. Atas permintaan sendiri; permintaan tersebut dapat disetujui apabila
PPPK telah memenuhi masa perjanjian paling kurang 90% dan
memenuhi target kinerja paling kurang 90%.28 Apabila PPPK tidak
memenuhi ketentuan masa perjanjian dan target kinerja, permintaan
pemutusan hubungan kerja ditunda, yang mana jika tidak mematuhi
penundaan dikenakan pemutusan hubungan perjanjian kerja dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri dan tidak dapat melamar kembali
sebagai PPPK.29

24
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan
Perjanjian Kerja ..., Ps. 1 angka 18.
25
Indonesia, Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara ..., Ps. 105.
26
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan
Perjanjian Kerja ..., Ps. 53 ayat (1).
27
Ibid., Ps. 54 ayat (1)-(2).
28
Ibid., Ps. 56 ayat (3).
29
Ibid., Ps. 56 ayat (4), (5), dan (7).

8
d. Perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang
mengakibatkan pengurangan PPPK; PPPK yang dikenakan pemutusan
hubungan perjanjian kerja akibat perampingan organisasi masih dapat
melamar sebagai PPPK.30
e. Tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan
tugas dan kewajiban sesuai perjanjian kerja yang disepakati;
disebabkan karena kecelakan kerja atau sakit terus menerus selama 30
(tiga puluh) hari berturut-turut serta dibuktikan berdasarkan hasil
pemeriksaan tim penguji kesehatan.31
Pemutusan hubungan perjanjian kerja denga hormat tidak atas permintaan
sendiri karena:32
a. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuaan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana
tersebut dilakukan dengan tidak berencana;
b. Melakukan pelanggaran disiplin PPPK tingkat berat; apabila PPPK
tidak mematuhi kewajiban atau melanggar larangan sebagaimana
diatur dalam perjanjian kerja PPPK dan masih dapat melamar sebagai
PPPK.33
c. Tidak memenuhi target kinerja yang telah disepakati sesuai dengan
perjanjian kerja; tidak memenuhi target berdasarkan hasil penilaian
kinerja dan masih dapat melamar sebagai PPPK.34
Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan tidak hormat
karena:35
a. Melakukan penyelewenangan terhadap Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; PPPK tidak dapat

30
Ibid., Ps. 57 ayat (2).
31
Ibid., Ps. 58 ayat (1)-(2).
32
Ibid., Ps. 53 ayat (2).
33
Ibid., Ps. 59.
34
Ibid., Ps. 60.
35
Ibid., Ps. 53 ayat (3).

9
melamar kembali sebagai PPPK dan dikenakan sanksi berupa
membayar ganti rugi.36
b. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
kejahatan jabatan atau tindak pidana kejatan yang ada hubungannya
dengan jabatan dan/atau pidana umum; PPPK tidak dapat melamar
sebagai PPPK dan dikenakan sanksi berupa membayar ganti rugi.37
c. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; PPPK tidak dapat
melamar sebagai PPPK dan dikenakan sanksi berupa membayar ganti
rugi.38
d. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau lebih dan
tindak pidana tersebut dilakukan dengan berencana; PPPK tidak dapat
melamar sebagai PPPK dan dikenakan sanksi berupa membayar ganti
rugi.39
Setiap PPPK yang diberhentikan dengan Pemutusan Hubungan Perjanjian
Kerja baik itu pemutusan hubungan perjanjian kerja dengan hormat, pemutusan
hubungan perjanjian kerja dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, atau
pemutusan hubungan perjanjian kerja dengan tidak hormat tetap diberikan haknya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, tidak terdapat penjelasan
mengenai hak yang diberikan tersebut beserta ruang lingkupnya, dikarenakan
pengaturan hak yang diberikan kepada PPPK dalam UU ASN ataupun dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (“PP No. 49 Tahun 2018”) merupakan hak
yang diberikan selama yang bersangkutan bekerja sebagai PPPK.40

36
Ibid., Ps. 61 ayat (2).
37
Ibid., Ps. 62 ayat (2).
38
Ibid., Ps. 63 ayat (2).
39
Ibid., Ps. 64 ayat (2).
40
Handini, Wulan Pri, dan Danang Risdiarto, “Problematika.... “, hlm. 510.

10
Mengenai tata cara pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan
tidak hormat, diatur dalam Pasal 72 sampai Pasal 74 PP No. 49 Tahun 2018, yang
mana tata caranya sebagai berikut:41
1. PPPK yang terbukti melakukan melakukan penyelewengan terhadap
Pancasila dan UUD NRI 1945 atau yang ditetapkan sebagai tersangka atau
yang menjadi anggota dan/atau pengurus parta politik, diusulkan
pemutusan hubungan kerja oleh:
a. Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) kepada Presiden bagi PPPK
yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) utama tertentu, JPT
madya tertentu, Jabatan Fungsional ahli utama
b. Pimpinan lembaga kepada Presiden bagi PPPK yang menduduki JPT
madya tertentu di lembaga negara dan lembaga nonstruktural; atau
c. Pejabat yang berwenang (PyB) kepada PPK bagi PPPK yang
menduduki JPT selain JPT utama tertentu dan JPT madya tertentu,
dan JF selain JF ahli utama.
2. Presiden atau PPK menetapkan keputusan pemutusan hubungan perjanjian
kerja sebagai PPPK.
3. Keputusan pemutusan hubungan perjanjian kerja ditetapkan paling lama
14 (empat belas) hari kerja setelah usul pemberhentian diterima
4. Keputusan pemutusan hubungan perjanjian kerja mulai berlaku terhitung
mulai tanggal yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka sesuai
dengan perjanjian kerja atau terbukti menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik.
Setelah keputusan pemutusan hubungan perjanjian kerja diterbitkan dan
diberikan kepada PPPK yang bersangkutan atas keputusan tersebut, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa PPPK tidak terima atas keputusan tersebut, seperti
alasan atau dasar pemutusan hubungan perjanjian kerja yang tidak tepat dan
sesuai, atau pun terdapat kesalahan formil pada keputusan tersebut sehingga
menimbulkan kerugian bagi PPPK. Perselisihan ini dapat berujung kepada
sengketa kepegawaian akibat dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara
dalam urusan kepegawaian, yang dalam praktek kepegawaian sehari-sehari
41
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan
Perjanjian Kerja ..., Ps. (72)-(74).

11
banyak dikenal dalam bentuk Surat Keputusan (SK) dari pejabat tertentu, seperti
SK Pengangkatan Pegawai, SK Pemberhentian Pegawai, SK Mutasi, SK
Penjatuhan Hukuman Disiplin PNS, dan lain-lain.42 Sengketa pegawai ASN
diselesaika melalui upaya administratif yang terdiri dari keberatan dan banding
administratif.43 Keberatan diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang
berwenang menghukum dengan memuat alasan keberatan dan tembusannya
disampaikan kepada pejabat yang berwenang menghukum.44 Banding
administratif diajukan kepada badan pertimbangan ASN.45
Apabila dalam penyelesaian pada upaya administratif tidak menunjukkan
titik tengah, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang
mana bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara.46 Dalam hal ini, sengketa tata usaha negara adalah sengketa
yang timbul di bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.47
Dengan demikian, setelah upaya administratif dilakukan, kerugian PPPK yang
disebabkan oleh keputusan kepegawaian yang berujung pada sengketa
kepegawaian tetap tidak diterima, PPPK dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

3.2. Gugatan Yang Diajukan Oleh Pihak Penggugat Terhadap Keputusan


Gubernur DKI Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019
Penggugat dalam hal ini adalah Susanto beserta kuasa hukumnya,
mengajukan gugatan Tata Usaha Negara kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta. Objek sengketa gugatan adalah terhadap Keputusan Gubernur Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019 tentang Penjatuhan Hukuman

42
Adrian E. Rompis, et.al., ”Perbandingan Penyelesaian Sengketa Kepegawaian Melalui
Gugatan Di Peradilan Tata Usaha Negara dan Upaya Banding Administrasi di Badan
Pertimbangan Kepegawaian”, Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Vol. 6 No. 1 (Juni 2012),
hlm. 4.
43
Indonesia, Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara ..., Ps. 129 ayat (1)-(2).
44
Ibid., Ps. 129 ayat (3).
45
Ibid., Ps. 129 ayat (4).
46
Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5
Tahun 1986, LN No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344, Ps. 47.
47
Ibid., Ps. 1 angka 4.

12
Disiplin berat Berupan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Kepada Pegawai
Tidak Tetap Atas Nama Susanto NPTT 09.12139 tertanggal 19 November 2019
(“Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1616 Tahun 2019”).48 Dalam hal ini
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara, yaitu antara Penggugat dengan Tergugat dengan
objek sengketa adalah Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1616 Tahun 2019
sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan
Tata Usaha Negara (UU PTUN).
Susanto merupakan pegawai tidak tetap pada Satuan Polisi Pamong Praja
Provinsi Daerah DKI Jakarta. Bahwa kedudukan hukum pegawai tidak tetap
dipersamakan dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN),
oleh karena itu dalam hal ini berlaku pula UU ASN. Keputusan Gubernur DKI
Jakata No. 1616 Tahun 2019 dibuat setelah diketahui bahwan Susanto melakukan
pelanggaran disiplin yaitu tindak pidana pencurian dan/atau penggelapan uang
milik negara. Atas pelanggaran yang diperbuat, Susanto dijatuhi hukuman sanksi
berat yaitu pemberhentian tidak hormat. Namun, terdapat kecacatan dalam
Keputusan tersebut dan terdapat salah prosedur dalam menerbitkan Keputusan
tersebut. Bahwa dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1616
Tahun 2019, tertanggal 19 November 2019 terdapat kesalahan dan/atau kekeliruan
penulisan pada bagian NPPT tertulis 09.12139, yang mana seharusnya atas nama
Susanto adalah NPPT dengan nomor 09.12792, namun Keputusan tersebut adalah
ebnar untum Susanto dan tetap dibuat Berita Acara Serah Terima Keputusan
Gubernur oleh Badan Kepegawaian Daerah Provinsi DKI Jakarta yang diserahkan
langsung oleh Saudara Maman Suriaman Unit Organisasi Kepegawaian Sat Pol
PP untuk diterima oleh Penggugat secara langsung tertanggal 11 Desember
2019.49
Selain itu, diterbitkannya Keputusan tersebut terindikasi adanya kesalahan
prosedur. Bahwa dalam Pasal 105 ayat (3) huruf d UU ASN menyebutkan
Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan tidak hormat karena
dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
48
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Putusan Nomor 45/G/2020/PTUN-JKT, hlm. 3
49
Ibid., hlm. 4.

13
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau lebih dan tindak pidana tersebut
dilakukan dengan berencana. Namun, secara faktual proses hukum pidana yang
sedang berlangsung di Polda Metro Jaya pada saat Surat Keputusan Gubernur
DKI Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019 diterbitkan, Susanto masih berstatus hukum
sebagai saksi dan belum ada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap atas tindak pidana yang dilakukan Susanto.50 Bahwa sebagai pejabat
yang membuat keputusan sudah seharusnya cermat dalam membuat keputusan
berdasarkan fakta yang relevan, hal ini juga berdasarkan Yurisprudensi Putusan
MA RI No. 150 K/TUN/1992 yang pada intinya adalah Badan atau Pejabat
Administrasi senantiasa secara berhati-hati, untuk mempertimbangkan secara
cermat pada waktu membuat keputusan TUN terlebih dahulu mencari gambaran
yang jelas mengenai semua fakta hukum yang relevan serta peraturan perundang-
undangan yang mendasarinya dan memperhatikan kepentingan pihak ketiga agar
tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat.51
Bahwa sebelum diajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta, Penggugat telah melakukan upaya administratif, yaitu membuat
permohonan keberatan kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 30
Desember 2019 dengan tebusan surat kepada Menteri Dalam Negeri, Kepada
Badan Kepegawaian Negara (Deputi Bidang Informasi Kepegawaian, Kepala
Kantor Perbendaharaan Negara, Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, Asisten
Pemerinahan Sekda Provinsi DKI Jakarta, Inspektur Provinsi DKI Jakarta, Kepala
Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi DKI Jakarta, dan Kepala Satuan
Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta.52 Dalam mengajukan keberatan atas
keputusan harus dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak diumumkannya Keputusan tersebut, yang mana Keputusan tersebut
diumumkan pada tanggal 11 Desember 2019 yang menjadikan jangka waktu
pengajuan keberatan adalah pada tanggal 15 Januari 2020.53

50
Ibid., hlm. 19.
51
Mahkamah Agung, Yurisprudensi Putusan MA RI Nomor 150/K/TUN/1992.
52
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Putusan ..., hlm. 6.
53
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan ..., Ps. 77 ayat (1).

14
Selain itu, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan keberatan
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja, yang seharusnya sudah ada tanggapan paling
lama pada tanggal 15 Januari 2020.54 Sampai saat Gugatan Penggugat dibuat,
Penggugat masih belum menerima tanggapan terkait Keberatan yang diajukan.
Sehingga, setelah melakukan upaya administratif dan berdasarkan fakta tersebut
Penggugat memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Gugatan. Berdasarkan
Pasal 55 UU PTUN, menentukan bahwa batas waktu pengajuan gugatan Tata
Usaha Negara adalah dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak saat
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara.55 Apabila dihitung sejak Keputusan tersebut diterima oleh Penggugat
yaitu pada tanggal 11 Desember 2019, maka batas waktu pengajuan gugatan jatuh
pada tanggal 10 Maret 2020.

3.3. Pertimbangan Hakim Terhadap Keputusan Keputusan Gubernur DKI


Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019 Pada Putusan Nomor
45/G/2020/PN.JKT
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menerima objek sengketa yaitu
Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019
tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin berat Berupan Pemberhentian Tidak
Dengan Hormat Kepada Pegawai Tidak Tetap Atas Nama Susanto NPTT
09.12139 tertanggal 19 November 2019 (“Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.
1616 Tahun 2019”) karena telah memenuhi unsur-unsur Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) secara kumulatif berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU PTUN, yaitu
berupa penetapan tertulis, diterbitkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta sebagai
Pejabat Tata Usaha Negara, berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai tidak tetap atau
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), bersifat konkret, individual
dan final, dan menimbulkan akibat hukum yaitu Penggugat diberhentikan dengan
tidak hormat sebagai pegawai tidak tetap atau PPPK di lingkungan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta.56

54
Ibid., Ps. 77 ayat (4).
55
Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara ..., Ps. 55.
56
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Putusan ..., hlm. 46-47.

15
Mengenai prosedur penerbitan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1616
Tahun 2019, Keputusan diterbitkan hanya dengan pertimbangan dugaan terhadap
penggugat telah melakukan tindak pidana pencurian dan/atau penggelapan uang,
bukan berdasarkan usul dari Kepala SKPD yang telah diproses kepada BKD dan
Bidang Pengendalian Kepegawaian BKD sebagaimana dimaksud pada Pasal 18
Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang Pegawai Tidak Tetap, maka penerbitan
Keputusan tersebut tidak sesuai dengan prosedur hukum. Selain itu, penjatuhan
hukuman disiplin berat atas pelanggaran disiplin melakukan perbuatan pidana
kepada Susanto merupakan hal yang tidak cermat, dikarenakan pada saat
Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019
diterbitkan, Susanto masih berstatus saksi dan belum menjadi tersangka serta
belum adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atas tindak
pidana Susanto, hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 105 ayat (3) huruf d UU
ASN. Dengan demikian, tindakan menerbitkan Keputusan tersebut tidak
mencerminkan asas kecermatan dan kepastian hukum, sehingga dalam secara
substansi Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1616
Tahun 2019 cacat yuridis. Berdasarkan seluruh pertimbangan, Keputusan
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019 bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.57 Pada amar putusannya, Majelis hakim memutuskan:58
1. Mengabulkan sebagian gugatan Penggugat;
2. Menyatakan batal Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 1616 Tahun 2019, tanggal 19 November 2019, Tentang Penjatuhan
Hukuman Disiplin Berat Berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat
Kepada Pegawai Tidak Tetap Atas Nama Susanto NPTT 09.12139 Pada
Satuan Polisi Pamong Praja Povinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Gubernur Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019, tanggal 19 November
2019, Tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin Berat Berupa Pemberhentian
Tidak Dengan Hormat Kepada Pegawai Tidak Tetap Atas Nama Susanto

57
Ibid., hlm. 57.
58
Ibid., hlm. 58.

16
NPTT 09.12139 Pada Satuan Polisi Pamong Praja Povinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta;
4. Menyatakan menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rpp293.000,- (Dua ratus sembilan puluh tiga ribu rupiah).
Menurut penulis, putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta dalam mengadili perkara Nomor 45/G/2020/PTUN.JKT terhadap objek
sengketa Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1616 Tahun
2019 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin berat Berupan Pemberhentian Tidak
Dengan Hormat Kepada Pegawai Tidak Tetap Atas Nama Susanto NPTT
09.12139 tertanggal 19 November 2019 (Keputusan Gubernur Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019) sudah tepat melihat pada pertimbangan
majelis hakim merujuk pada peraturan perundangan-undangan dan asas-asas
umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang
Administrasi Pemerinahan, bahwa Keputusan dapat dibatalkan apabila terdapat
cacat (a) wewenang; (b) prosedur; dan/atau (c) substansi.59
Melihat bahwa dalam Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 1616 Tahun 2019 cacat prosedur dan substansi, maka putusan hakim
dengan menyatakan batal Keputusan dan memerintahkan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta untuk mencabut Keputusan tersebut sudah tepat. Lebih lanjut pencabutan
Keputusan tersebut sesuai dengan ketentuan pada Pasal 64 ayat (3) huruf c
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, bahwa keputusan pencabutan dapat
dilakukan atas putusan Pengadilan.60 Dengan adanya putusan pengadilan, maka
Gubernur Provinsi DKI Jakarta harus mengeluarkan keputusan baru dengan
mencantumkan dasar hukum pencabutan atas Keputusan Gubernur Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019 tentang Penjatuhan Hukuman
Disiplin berat Berupan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Kepada Pegawai
Tidak Tetap Atas Nama Susanto NPTT 09.12139 tertanggal 19 November 2019
paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak perintah pengadilan dan
memperhatikan AUPB.61

59
Indonesia, Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan ..., Ps. 64 ayat (1).
60
Ibid., Ps. 64 ayat (3) huruf c.
61
Ibid., Ps. 64 ayat (2) dan (5).

17
Mengenai akibat hukum setelah adanya Putusan Nomor
45/G/2020/PTUN.JKT adalah yang menyatakan batal Keputusan Gubernur
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1616 Tahun 2019 adalah keputusan
tersebut tidak mengikat sejak saat dibatalkan dan berakhir setelah ada
pembatalan.62 Gubernur Provinsi DKI Jakarta wajib melaksakan keputusan yang
dibatalkan oleh Pengadilan.
Dengan demikian, penjatuhan sanksi disiplin berat kepada Susanto yaitu
dengan pemberhentian tidak hormat dinyatakan batal. Namun, sesuai prosedur
pemberhentian tidak hormat yang mana sampai ada putusan pengadilan yang
berkekuatan tetap dan menyakan Susanto terbukti bersalah atas tindak pidana
pencurian dan/atau penggelapan oleh pengadilan, Susanto tidak dapat dijatuhi
sanksi disiplin berat untuk menghormati proses hukum, menghargai hak asasi
manusia, dan menjamin adanya kepastian hukum. Apabila kemudian pengadilan
memutus bersalah atas Susanto, maka Pejabat Pemerintah dalam hal ini Gubernur
Provinsi DKI Jakarta dapat menjatuhi sanksi disiplin berat kepada Susanto dan
mengeluarkan Keputusan pemberhentian tidak hormat terhadap Susanto dengan
memperhatikan wewenang, prosedur, dan substansi dengan benar agar tidak
ditemukan kecacatan dalam Keputusan tersebut.

IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang melakukan
pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin sebagai bentuk
pertanggungjawaban hukum dan penghormatan terhadap ketentuan hukum.
Hukuman disiplin PPPK dalam hak ini adalah pemutusan hubungan perjanjian
kerja. Menjatuhi hukuman pada PPPK yang melakukan pelanggaran merupakan
salah satu bentuk manajemen PPPK dalam mengenola PPPK sebagai Aparatur
Sipil Negara yang berintegritas. Dalam hal penjatuhan hukuman sanksi
administratif, termasuk sanksi administratif berat dalam bentuk pemutusan
hubungan perjnjian kerja dilakukan dengan tidak hormat harus sesuai dengan
prosedur dan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

62
Ibid., Ps. 71 ayat (2).

18
dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Apabila penjatuhan hukuman pemutusan
hubungan perjnjian kerja dilakukan dengan tidak hormat tidak sesuai denan
prosedur, maka PPPK dapat melakukan upaya administratif sampai upaya hukum
dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pada kasus
Susanto yang dijatuhi hukuman disiplin berat pemberhentian dengan tidak hormat
dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 1616 Tahun 2019 yang setelah diteliti terdapat cacat prosedur dan
substansi dalam Keputusan tersebut. Susanto mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta dengan nomor register perkara 45/G/2020/PTUN.JKT
yang pada akhirnya Majelis Hakim mengabulkan sebagian gugatan dan yang pada
intinya menyatakan batal Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 1616 Tahun 2019.

4.2. Saran
Badan dan/atau Pejabat Pemerintah yang memiliki wewenang untuk
menjatuhi hukuman sanksi admnisitratif kepada pegawai sudah seharusnya
menerapkan asas kecermatan dalam hal membuat keputusan berdasarkan fakta
yang relevan. Pada dasarnya Badan dan/atau Pejabat Pemerintah harus menjamin
adanya kepastian hukum, menghormati proses hukum, dan menghargai hak asasi
manusia, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pegawai yang dijatuhi
hukuman sanksi administratif. Selain itu, Badan dan/atau Pejabat Pemerintah
seyogyanya juga mematuhi prosedur yang sudah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dalam hal penjatuhan hukuman sanksi adminisratif.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hartini, Sri, Setiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat. Hukum Kepegawaian di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Hasan, M. Iqbal. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002.

19
Mamudji, Sri, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Bukum Universitas Indonesia, 2005.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 2007.
_______, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. Depok: Rajawali Pers, 2019.
Uwiyono, Aloysius, et.al. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Depok: Rajawali Pers,
2014.

Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. UU No. 13 Tahun 2003.
LN No. 39 Tahun 2003. TLN No. 4279.
________. Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 5
Tahun 1986. LN No. 77 Tahun 1986. TLN No. 3344.
________. Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 51
Tahun 2009. LN No. 160 Tahun 2009. TLN No. 5079.
________. Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. UU No. 5 Tahun
2014. LN No. 6 Tahun 2014. TLN No. 5494.
________. Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan. UU No. 30
Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 292. TLN No. 5601.
________. Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Pemerintah
Dengan Perjanjian Kerja. PP No. 49 Tahun 2018. LN No. 224 Tahun
2018. TLN No. 6264.
Artikel
Handini, Wulan Pri dan Danang Risdiarto. “Problematika Pelindungan Hukum
Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja Dalam Pemutusan
Hubungan Kerja oleh Pemerintah.” Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 17
No. 4 (Desember 2020). Hlm. 501-518.
Ramadhani, Dwi Aryanti, Iwan Erar Joesoef. “Perlindungan Hukum Pegawai
Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Dalam Konsep Perjanjian

20
Kerja Waktu Tertentu di Institusi Perguruan Tinggi.” Jurnal Yuridis. Vol.
7, No. 1 (Juni 2020). Hlm. 1-26.
Rompis, Adrian E., et.al., “Perbandingan Penyelesaian Sengketa Kepegawaian
Melalui Gugatan Di Peradilan Tata Usaha Negara dan Upaya Banding
Administrasi di Badan Pertimbangan Kepegawaian.”Jurnal Kebijakan
dan Manajemen PNS. Vol. 6 No. 1 (Juni 2012). Hlm. 1-15.
Susanto, Sri Nur Hari. “Karakter Yuridis Sanksi Hukum Administrasi: Suatu
Pendekatan Komparasi.” Adminitrative Law & Governance Journal. Vol.
2 Issue 1 (Maret 2019). Hlm. 126-142.

Putusan Pengadilan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Putusan Nomor 45/G/2020/PTUN.JKT.
Mahkamah Agung. Yurisprudensi Putusan MA RI Nomor 150/K/TUN/1992.

21

Anda mungkin juga menyukai