Anda di halaman 1dari 6

UJIAN AKHIR SEMESTER 2019/2020

MATA KULIAH: SDM dan Kebijakan pendidikan


Dosen: Prof. Harun Joko Prayitno

Oleh:
Yogianti Dwi Rahayu Wismaningrum
Nim Q100190004

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINITRASI PENDIDIKAN


FAKULTASPASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2020
JAWABAN

1. SDM unggul merupakan visi pertama Presiden RI, mengapa?

Menurutnya, pembangunan SDM menjadi kunci untuk Indonesia agar menjadi lebih
maju. Jokowi menyebut visinya untuk menjamin kesehatan ibu sejak hamil, bayi, balita, dan
anak-anak sekolah. Jaminan kesehatan diperlukan untuk bayi dan anak-anak untuk mencetak
manusia indonesia yang unggul ke depan. Jokowi juga berjanji akan terus meningkatkan
kualitas pendidikan bagi anak-anak Indonesia dengan membangun manajemen talenta
Indonesia untuk melakukan identifikasi, fasilitasi serta dukungan bagi anak-anak bertalenta.

Bagaimana kita sebagai pemimpin melihat suatu kegagalan untuk menciptakan budaya
inovatif dalam budaya organisasi kita. Kalau ada guru atau kepsek menciptakan hal yang
baru, lalu gagal, jangan dimarahi, karena kegagalan adalah guru yang konsisten mengajari
saya. guru dan kepala sekolah adalah seorang penggerak, benchmark, dan tolok ukur.
Menurut Mendikbud, biasanya guru-guru penggerak adalah mereka yang punya metode
mengajar yang berbeda dari biasanya. Mereka fokus pada bagaimana membuat pembelajaran
terasa lebih menyenangkan. Mereka keluar dari rutinitas dan melakukan gaya pembelajaran
baru.

2. Kepala sekolah yang mampu menjalankan fungsi sebagai pendidik, manajer,


administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator dengan baik dapat dikatakan
kepala sekolah memiliki kemampuan memimpin yang baik.

Merdeka Belajar menjadi salah satu program inisiatif Menteri Pendidikan dan


Kebudayaan Mas Nadiem Makarim yang ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia.
dan suasana yang happy. Tujuan merdeka belajar adalah agar para guru, peserta didik, serta
orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia. “Merdeka belajar itu bahwa proses
pendidikan  harus menciptakan suasana-suasana yang membahagiakan. Bahagia buat siapa?
Bahagia buat guru, bahagia buat peserta didik, bahagia buat orang tua, dan bahagia untuk
semua orang”

Program merdeka belajar ini dilahirkan dari banyaknya keluhan di sistem pendidikan.
Salah satunya keluhan soal banyaknya peserta didik yang dipatok oleh nilai-nilai tertentu. 
“Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir, terutama esensi kemerdekaan berpikir ini
harus ada di guru dahulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di peserta didik.”

Saat kita bicara bahwa kita percaya kemerdekaan guru dan kemerdekaan belajar, maka
akan bersinggungan dengan banyak hal. Salah satunya kemerdekaan dalam proses belajar. 
Proses belajar butuh kemerdekaan, sudah tentu. Sebab, kemerdekaan harus melekat pada
subyek yang melakukan proses belajar: anak ataupun orang dewasa. Termasuk melibatkan
dan dukungan banyak pihak.

Perspektif kemerdekaan itu sendiri, bukan sekadar kepatuhan atau perlawanan.


Kemerdekaan adalah sesuatu yang diperjuangkan, bukan diberikan.  Makanya, kenyataan
yang paling menyedihkan dari pengembangan guru, dewasa ini adalah titik di mana
seringkali membuat guru merasa disalahkan. Bukan didengarkan.  Sebenarnya, dalam hampir
semua situasi, guru dikatakan kunci dalam pendidikan. Namun, kalimat ini sebenarnya bukan
kalimat lengkap. Kunci sering diartikan sebagai solusi segala masalah yang bisa ditinggal
sendirian.

Guru di kelas harus berhadapan dengan anak yang tidak siap berkonsentrasi karena
datang dengan kondisi kelaparan. Punya tingkat aktivitas terlalu tinggi karena terbiasa tinggal
dalam kepadatan, atau tidak berisiko melakukan perundungan. Sebab, dibesarkan dengan
ancaman dan hukuman berlebihan.  Kemiskinan, kegagalan keluarga, adalah masalah yang
sangat besar dan membutuhkan pendidikan di segala bidang. Semuanya dibebankan ke guru
di sekolah dengan harapan situasi kelak akan berubah.

Mengatakan guru adalah kunci, itu sama saja dengan mengalihkan tanggung jawab dan
menjebak guru untuk gagal. Tentu guru berperan penting dalam pendidikan, namun tuntutan
akan besarnya peran –atau secara spesifik tingginya kompetensi— tidak akan tercapai saat
guru tidak memiliki hal yang asasi: yaitu kemerdekaan. Kemerdekaan guru dalam jangka
panjang berperan sentral untuk menumbuhkan kemerdekaan belajar peserta didik dan
nantinya cita-cita demokrasi negeri ini.

Yang terjadi dalam pengembangan guru saat ini, kemerdekaan seringkali dibungkam
dengan tunjangan atau tekanan. Pendidikan menjadi proses yang penuh dengan kontrol,
bukan dengan pemberdayaan.  Di banyak negara, memasuki profesi guru adalah proses yang
sangat selektif untuk orang-orang pilihan. Namun menjalaninya didukung dengan banyak
kemerdekaan dan kemudahan. Di negeri kita sebaliknya. Menjadi guru seringkali mudah,
namun batasan dan tekanan di dalam profesinya sangat menantang.

Pada saat upacara bendera peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019 di
Jakarta, Menteri Pendidikan, menyampaikan pidato sedikit berbeda; singkat dan padat.
Diakuinya, pidato tersebut apa adanya, disampaikan dari lubuk hati yang tulus. Satu kalimat
singkat penulis kutip dari pidato tersebut, yakni “… Satu hal yang pasti, saya akan berjuang
untuk kemerdekaan belajar di Indonesia…”. Bapak menteri mengatakan prinsip birokrasi dan
regulasi bidang pendidikan sering kali menghambat inovasi dan  kemerdekaan belajar. Beliau
mengajak para  guru Indonesia untuk melakukan perubahan kecil, antara lain
mengembangkan diskusi kelas dan siswa mengajar.  Mengingat pentingnya kemerdekaan
belajar itu, maka sebelum menutup pidatonya, beliau kembali menegaskan “Merdeka Belajar
dan Guru Penggerak”.

Merdeka belajar dan guru penggerak bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia
pembelajaran. Penganut ideologi humanistik dalam pembelajaran telah mendikusikan secara
mendalam dua tema tersebut lebih dari setengah abad yang lalu. Pada tahun 1969 Carl Rogers
mempublikasikan sebuah buku berjudul “Freedom to Learn”. Pada pengantar buku tersebut,
Lima puluh tahun lalu, ia mengatakan, “Sekolah kita umumnya sangat tradisional,
konservatif, birokratis dan resisten terhadap perubahan. Satu cara yang harus dilakukan untuk
menyelamatkan generasi muda ini adalah melalui kemerdekaan belajar”. Pada tahun 1962
Everett M. Rogers menulis buku berjudul “Diffusion of Innovation” dimana pada buku
tersebut memuat satu bab tersendiri tentang pengerak atau agen perubahan.

Setiap anak yang dilahirkan pasti memiliki keistimewaan yang berbeda-beda satu
dengan yang lainnya. Disinilah kita sebagai pendidik harus mampu menjadi teman belajar
yang menyenangkan agar proses belajar anak benar-benar atas kesadaraannya sendiri dan
merdeka atas pilihannya. Diperlukan waktu yang cukup serta kesabaran dalam memfasilitasi,
agar anak mampu untuk mengenali potensinya. Karena bakat anak bisa tumbuh ketika anak
sudah memiliki minat dan mau berlatih untuk mengasah keterampilannya. Dalam mengawali
proses belajar, pendidik juga perlu memiliki kemampuan mendengar yang baik. Tidak hanya
sekedar mentransfer pengetahuan dan mendikte anak-anak atas kehendak pendidik.

Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai


interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai. Kebebasan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Siswa adalah subjek, bukan objek, Mereka harus mampu menggunakan
kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar. Hal yang sangat penting bagi
pembelajaran yang memerdekakan itu dimana kontrol belajar dipegang oleh diri siswa
sendiri, bukan orang lain. Sebaliknya, praktek pembelajaran yang tidak memerdekakan
selama ini tampak dimana si belajar dihadapkan dan ditetapkan pada aturan yang jelas dan
ketat. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin, bahkan kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang
perlu dihukum sehingga ada kesan “Sekolah tempat menuntut ilmu lebih kejam ketimbang
penjara”, demikian Bernard Shaw sebagaimana dikutip dari Naomi (1999) dalam
buku “Menggugat Pendidikan”, maka tidak heran jika guru memberikan informasi bahwa
akan ada kegiatan guru rapat atau besok kita libur, suara gemuruh menyambut kesenangan itu
luar biasa, seolah-olah anak terbebas dari belenggu dan beban belajar, ini yang perlu kita
renungkan…?

Strategi pembelajaran yang memerdekakan, menekankan pada penggunaan


pengetahuan secara bermakna dan proses pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk
meladeni pertanyaan atau pandangan siswa. Aktivitas belajar lebih menekankan pada
ketrampilan berfikir kritis, analisis, membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan
menyusun hipotesis.  Pelaksanaan evaluasi dalam pembelajaran yang memerdekakan
menekankan pada proses penyusunan makna secara aktif yang melibatkan ketrampilan
terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata.  Evaluasi menggali
munculnya berfikir divergen, pemecahan masalah secara ganda atau tidak menuntut satu
jawaban benar karena pada kenyataannya tidak ada jawaban siswa yang salah, yang ada
adalah pertanyaan pendidik yang salah.  Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan
cara memberikan tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa
yang dipelajari dalam konteks nyata, artinya evaluasi lebih menekankan pada ketrampilan
proses dalam kelompok.

Anomali Guru

Kemerdekaan adalah bagian penting dari pengembangan guru. Sama seperti burung
yang tidak berani keluar dari kandang, kompetensi guru tidak akan bisa optimal berdampak
tanpa kemerdekaan. Sebab, hanya guru yang merdeka yang bisa membebaskan anak, hanya
guru yang antusias yang menularkan rasa ingin tahu pada anak dan hanya guru belajar yang
pantas mengajar.

Dalam diskursus tentang kemerdekaan guru, kita perlu berhati-hati untuk tidak ikut
membebankan kemerdekaan semata pada kapasitas individual. Dalam kenyataannya, begitu
banyak faktor konteks yang akan menentukan apakah guru bisa merdeka. Kemerdekaan
berkaitan dengan hubungan yang ada di sekeliling, berkaitan dengan situasi lingkungan.
Kemerdekaan bukan dimiliki, tapi dicapai.

Apa yang dipercayai guru adalah bagian penting dari apakah dia mampu mencapai
kemerdekaan. Pengalaman masa lalu, baik pengalaman personal saat menjadi peserta didik
ataupun pengalaman profesional saat menjadi guru mempengaruhi apakah guru menganggap
kemerdekaan bagian yang penting dari pekerjaannya.  Salah satu yang paling sulit dari
perubahan pendidikan adalah sebagian besar guru tidak mengalami kemerdekaan saat
menjadi peserta didik. Sehingga juga tidak mengharapkan (dan memperjuangkan)
kemerdekaan saat menjadi guru.  Kalaupun guru sepakat pada aspirasi kemerdekaan,
implementasinya seringkali susah untuk optimal, bila kepercayaan terhadap anak belum
berubah.

Sebetulnya paradigma tentang anak dan pendidikan seperti ini tidak mengherankan.
Sebab, sebagian besar guru tumbuh dengan pengalaman pribadi seperti ini. Riset
menunjukkan pengalaman pribadi jauh lebih berpengaruh terhadap pembentukan
kepercayaan dibanding pengalaman profesional, di bidang apapun.  Karena itu, perubahan
pendidikan selalu sulit dilakukan, apalagi saat sebagian besar orang yang memilih profesi ini
bukan saja tidak mempunyai repertoire perilaku yang dibutuhkan. Namun juga tidak
merasakan pentingnya melakukan perubahan dalam sistem yang mereka rasa tidak
bermasalah. Sebagian besar guru ternyata orang-orang yang selama ini sukses dalam sistem
konvensional dan cendrung konfirm pada apa yang dilaluinya.

Pengalaman ini tentu mempengaruhi kebiasaannya. Misalnya, kebiasaan untuk


mengikuti pola yang sudah digariskan atasan, pembatasan pikiran bahwa yang boleh
dilakukan hanya yang tertuang di peraturan. Guru cendrung cemas menghadapi kebijakan.
Contoh disalahpahami menjadi standar, pilihan disalahartikan sebagai risiko. Itulah budaya
yang sekarang menyelimuti ekosistem guru Indonesia. Bisa dibayangkan sulitnya memutus
lingkaran ini dan mencapai kemerdekaan. Seringkali bahasa dalam tataran kebijakan
memberikan pengaruh positif yang luar biasa, percakapan guru tentang perannya sebagai
fasilitator pengetahuan misalnya, sekarang sudah banyak terdengar di mana-mana.

Dalam situasi seperti ini, guru yang memiliki kemerdekaan juga seringkali
disalahartikan sebagai perlawanan terhadap aturan atau kebijakan. Ini pendefinisian yang
kurang tepat, karena kemerdekaan sesungguhnya selalu berkait dengan inisiatif diri. Guru
perlu merdeka untuk mencapai cita-cita, bukan sekadar ”merdeka” dari kungkungan
kebijakan

3. Kaitannya Jurnal : Critical Review: Professional Development Programs to Face Open


Educational Resources in Indonesia publis 1 juli 2020

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pendidikan telah menjadi isu
penting dalam reformasi pendidikan di banyak negara seperti Hong Kong, Singapura,
Amerika Serikat, dan Inggris. Reformasi pendidikan diperlukan untuk memberikan
keterampilan abad ke-21 kepada siswa. Pemerintah Indonesia telah mulai menerapkan TIK
dalam pendidikan sejak tahun 2002 yang ditandai oleh pembentukan Tim Koordinasi
Telematika Indonesia (TKTI). Meskipun pengembangan TIK masih jauh dibandingkan
dengan Hong Kong dan Singapura, pengembangan TIK berada di jalur yang benar. Pada
2013, Indonesia mulai memprakarsai Sumber Daya Pendidikan Terbuka (OER) dan pelatihan
guru tentang TIK. Sumber daya pendidikan terbuka adalah materi digital yang dapat diakses
secara bebas oleh mereka yang ingin mengajar, belajar, atau penelitian. Inisiatif OER
memiliki banyak tantangan di depan, salah satunya adalah pengembangan komunitas OER
yang melibatkan semua guru di Indonesia. Kesenjangan dalam kualitas pendidikan antar
pulau di Indonesia ditambah dengan perbedaan infrastruktur pendidikan dan sumber daya
pendidikan. Karena itu, Indonesia harus membuat program pengembangan profesional yang
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pulau. Pemerintah Indonesia dapat memulai
konsorsium OER untuk menyatukan semua guru untuk membangun masyarakat pengetahuan.
Metode menciptakan program pengembangan profesional dapat dikurangkan dari AS yang
memiliki banyak kabupaten dan kesenjangan dalam kualitas pendidikan antar negara. Tujuan
dari makalah ini adalah untuk mengembangkan program pengembangan profesional dalam
menciptakan komunitas OER di Indonesia. Makalah ini mencoba untuk menyelidiki apa jenis
pengembangan profesional yang telah ditetapkan, menganalisis masalah yang mungkin
terjadi, dan memberikan beberapa solusi

4. Kunjungan

segi pelayanan akademik, sekolah juga berbenah dari segi fisik sarana dan prasarana. Sudah
hampir 4 bulan lamanya kegiatan belajar mengajar berjalan tanpa kehadiran siswa di sekolah.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh SD MPK Baturan untuk mulai berbenah sebagai usaha
meningkatkan kualitas pelayanan sekolah. Sehingga nantinya sekolah lebih siap menyambut
siswa di tahun ajaran baru.
Sekolah memulai dengan membersihkan lingkungan sekolah secara global, mengaktifkan
kembali semua fasilitas sekolah yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal,
misalnya ruang koperasi, UKS, perpustakaan, dan yang paling utama adalah ruang kelas.
Ruang kelas di setting dengan tema yang lebih ceria dengan pengecatan kembali meja kursi,
rak sepatu, dan almari dengan warna fullcolor. Penambahan jendela pada kelas yang kurang
pencahayaan dan pengecatan gedung adalah rencana kerja selanjutnya. Hal ini diharapkan
dapat menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan dan mampu meningkatkan
motivasi belajar siswa sehingga prestasi siswa dapat tercapai secara maksimal.

Masalahnya bahwa guru yang ad untuk mengikuti perkembangan belum bisa dan
Ijazahnya yang rata-rata masih bergelar minim

Solusi: Rekrutmen seleksi guru disesuaikan dengan bidang dan lulusan S2 dan
dibuthkan pelatihan bagi tendik dan guru

Anda mungkin juga menyukai