Oleh:
Yogianti Dwi Rahayu Wismaningrum
Nim Q100190004
Menurutnya, pembangunan SDM menjadi kunci untuk Indonesia agar menjadi lebih
maju. Jokowi menyebut visinya untuk menjamin kesehatan ibu sejak hamil, bayi, balita, dan
anak-anak sekolah. Jaminan kesehatan diperlukan untuk bayi dan anak-anak untuk mencetak
manusia indonesia yang unggul ke depan. Jokowi juga berjanji akan terus meningkatkan
kualitas pendidikan bagi anak-anak Indonesia dengan membangun manajemen talenta
Indonesia untuk melakukan identifikasi, fasilitasi serta dukungan bagi anak-anak bertalenta.
Bagaimana kita sebagai pemimpin melihat suatu kegagalan untuk menciptakan budaya
inovatif dalam budaya organisasi kita. Kalau ada guru atau kepsek menciptakan hal yang
baru, lalu gagal, jangan dimarahi, karena kegagalan adalah guru yang konsisten mengajari
saya. guru dan kepala sekolah adalah seorang penggerak, benchmark, dan tolok ukur.
Menurut Mendikbud, biasanya guru-guru penggerak adalah mereka yang punya metode
mengajar yang berbeda dari biasanya. Mereka fokus pada bagaimana membuat pembelajaran
terasa lebih menyenangkan. Mereka keluar dari rutinitas dan melakukan gaya pembelajaran
baru.
Program merdeka belajar ini dilahirkan dari banyaknya keluhan di sistem pendidikan.
Salah satunya keluhan soal banyaknya peserta didik yang dipatok oleh nilai-nilai tertentu.
“Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir, terutama esensi kemerdekaan berpikir ini
harus ada di guru dahulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di peserta didik.”
Saat kita bicara bahwa kita percaya kemerdekaan guru dan kemerdekaan belajar, maka
akan bersinggungan dengan banyak hal. Salah satunya kemerdekaan dalam proses belajar.
Proses belajar butuh kemerdekaan, sudah tentu. Sebab, kemerdekaan harus melekat pada
subyek yang melakukan proses belajar: anak ataupun orang dewasa. Termasuk melibatkan
dan dukungan banyak pihak.
Guru di kelas harus berhadapan dengan anak yang tidak siap berkonsentrasi karena
datang dengan kondisi kelaparan. Punya tingkat aktivitas terlalu tinggi karena terbiasa tinggal
dalam kepadatan, atau tidak berisiko melakukan perundungan. Sebab, dibesarkan dengan
ancaman dan hukuman berlebihan. Kemiskinan, kegagalan keluarga, adalah masalah yang
sangat besar dan membutuhkan pendidikan di segala bidang. Semuanya dibebankan ke guru
di sekolah dengan harapan situasi kelak akan berubah.
Mengatakan guru adalah kunci, itu sama saja dengan mengalihkan tanggung jawab dan
menjebak guru untuk gagal. Tentu guru berperan penting dalam pendidikan, namun tuntutan
akan besarnya peran –atau secara spesifik tingginya kompetensi— tidak akan tercapai saat
guru tidak memiliki hal yang asasi: yaitu kemerdekaan. Kemerdekaan guru dalam jangka
panjang berperan sentral untuk menumbuhkan kemerdekaan belajar peserta didik dan
nantinya cita-cita demokrasi negeri ini.
Yang terjadi dalam pengembangan guru saat ini, kemerdekaan seringkali dibungkam
dengan tunjangan atau tekanan. Pendidikan menjadi proses yang penuh dengan kontrol,
bukan dengan pemberdayaan. Di banyak negara, memasuki profesi guru adalah proses yang
sangat selektif untuk orang-orang pilihan. Namun menjalaninya didukung dengan banyak
kemerdekaan dan kemudahan. Di negeri kita sebaliknya. Menjadi guru seringkali mudah,
namun batasan dan tekanan di dalam profesinya sangat menantang.
Pada saat upacara bendera peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019 di
Jakarta, Menteri Pendidikan, menyampaikan pidato sedikit berbeda; singkat dan padat.
Diakuinya, pidato tersebut apa adanya, disampaikan dari lubuk hati yang tulus. Satu kalimat
singkat penulis kutip dari pidato tersebut, yakni “… Satu hal yang pasti, saya akan berjuang
untuk kemerdekaan belajar di Indonesia…”. Bapak menteri mengatakan prinsip birokrasi dan
regulasi bidang pendidikan sering kali menghambat inovasi dan kemerdekaan belajar. Beliau
mengajak para guru Indonesia untuk melakukan perubahan kecil, antara lain
mengembangkan diskusi kelas dan siswa mengajar. Mengingat pentingnya kemerdekaan
belajar itu, maka sebelum menutup pidatonya, beliau kembali menegaskan “Merdeka Belajar
dan Guru Penggerak”.
Merdeka belajar dan guru penggerak bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia
pembelajaran. Penganut ideologi humanistik dalam pembelajaran telah mendikusikan secara
mendalam dua tema tersebut lebih dari setengah abad yang lalu. Pada tahun 1969 Carl Rogers
mempublikasikan sebuah buku berjudul “Freedom to Learn”. Pada pengantar buku tersebut,
Lima puluh tahun lalu, ia mengatakan, “Sekolah kita umumnya sangat tradisional,
konservatif, birokratis dan resisten terhadap perubahan. Satu cara yang harus dilakukan untuk
menyelamatkan generasi muda ini adalah melalui kemerdekaan belajar”. Pada tahun 1962
Everett M. Rogers menulis buku berjudul “Diffusion of Innovation” dimana pada buku
tersebut memuat satu bab tersendiri tentang pengerak atau agen perubahan.
Setiap anak yang dilahirkan pasti memiliki keistimewaan yang berbeda-beda satu
dengan yang lainnya. Disinilah kita sebagai pendidik harus mampu menjadi teman belajar
yang menyenangkan agar proses belajar anak benar-benar atas kesadaraannya sendiri dan
merdeka atas pilihannya. Diperlukan waktu yang cukup serta kesabaran dalam memfasilitasi,
agar anak mampu untuk mengenali potensinya. Karena bakat anak bisa tumbuh ketika anak
sudah memiliki minat dan mau berlatih untuk mengasah keterampilannya. Dalam mengawali
proses belajar, pendidik juga perlu memiliki kemampuan mendengar yang baik. Tidak hanya
sekedar mentransfer pengetahuan dan mendikte anak-anak atas kehendak pendidik.
Anomali Guru
Kemerdekaan adalah bagian penting dari pengembangan guru. Sama seperti burung
yang tidak berani keluar dari kandang, kompetensi guru tidak akan bisa optimal berdampak
tanpa kemerdekaan. Sebab, hanya guru yang merdeka yang bisa membebaskan anak, hanya
guru yang antusias yang menularkan rasa ingin tahu pada anak dan hanya guru belajar yang
pantas mengajar.
Dalam diskursus tentang kemerdekaan guru, kita perlu berhati-hati untuk tidak ikut
membebankan kemerdekaan semata pada kapasitas individual. Dalam kenyataannya, begitu
banyak faktor konteks yang akan menentukan apakah guru bisa merdeka. Kemerdekaan
berkaitan dengan hubungan yang ada di sekeliling, berkaitan dengan situasi lingkungan.
Kemerdekaan bukan dimiliki, tapi dicapai.
Apa yang dipercayai guru adalah bagian penting dari apakah dia mampu mencapai
kemerdekaan. Pengalaman masa lalu, baik pengalaman personal saat menjadi peserta didik
ataupun pengalaman profesional saat menjadi guru mempengaruhi apakah guru menganggap
kemerdekaan bagian yang penting dari pekerjaannya. Salah satu yang paling sulit dari
perubahan pendidikan adalah sebagian besar guru tidak mengalami kemerdekaan saat
menjadi peserta didik. Sehingga juga tidak mengharapkan (dan memperjuangkan)
kemerdekaan saat menjadi guru. Kalaupun guru sepakat pada aspirasi kemerdekaan,
implementasinya seringkali susah untuk optimal, bila kepercayaan terhadap anak belum
berubah.
Sebetulnya paradigma tentang anak dan pendidikan seperti ini tidak mengherankan.
Sebab, sebagian besar guru tumbuh dengan pengalaman pribadi seperti ini. Riset
menunjukkan pengalaman pribadi jauh lebih berpengaruh terhadap pembentukan
kepercayaan dibanding pengalaman profesional, di bidang apapun. Karena itu, perubahan
pendidikan selalu sulit dilakukan, apalagi saat sebagian besar orang yang memilih profesi ini
bukan saja tidak mempunyai repertoire perilaku yang dibutuhkan. Namun juga tidak
merasakan pentingnya melakukan perubahan dalam sistem yang mereka rasa tidak
bermasalah. Sebagian besar guru ternyata orang-orang yang selama ini sukses dalam sistem
konvensional dan cendrung konfirm pada apa yang dilaluinya.
Dalam situasi seperti ini, guru yang memiliki kemerdekaan juga seringkali
disalahartikan sebagai perlawanan terhadap aturan atau kebijakan. Ini pendefinisian yang
kurang tepat, karena kemerdekaan sesungguhnya selalu berkait dengan inisiatif diri. Guru
perlu merdeka untuk mencapai cita-cita, bukan sekadar ”merdeka” dari kungkungan
kebijakan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pendidikan telah menjadi isu
penting dalam reformasi pendidikan di banyak negara seperti Hong Kong, Singapura,
Amerika Serikat, dan Inggris. Reformasi pendidikan diperlukan untuk memberikan
keterampilan abad ke-21 kepada siswa. Pemerintah Indonesia telah mulai menerapkan TIK
dalam pendidikan sejak tahun 2002 yang ditandai oleh pembentukan Tim Koordinasi
Telematika Indonesia (TKTI). Meskipun pengembangan TIK masih jauh dibandingkan
dengan Hong Kong dan Singapura, pengembangan TIK berada di jalur yang benar. Pada
2013, Indonesia mulai memprakarsai Sumber Daya Pendidikan Terbuka (OER) dan pelatihan
guru tentang TIK. Sumber daya pendidikan terbuka adalah materi digital yang dapat diakses
secara bebas oleh mereka yang ingin mengajar, belajar, atau penelitian. Inisiatif OER
memiliki banyak tantangan di depan, salah satunya adalah pengembangan komunitas OER
yang melibatkan semua guru di Indonesia. Kesenjangan dalam kualitas pendidikan antar
pulau di Indonesia ditambah dengan perbedaan infrastruktur pendidikan dan sumber daya
pendidikan. Karena itu, Indonesia harus membuat program pengembangan profesional yang
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pulau. Pemerintah Indonesia dapat memulai
konsorsium OER untuk menyatukan semua guru untuk membangun masyarakat pengetahuan.
Metode menciptakan program pengembangan profesional dapat dikurangkan dari AS yang
memiliki banyak kabupaten dan kesenjangan dalam kualitas pendidikan antar negara. Tujuan
dari makalah ini adalah untuk mengembangkan program pengembangan profesional dalam
menciptakan komunitas OER di Indonesia. Makalah ini mencoba untuk menyelidiki apa jenis
pengembangan profesional yang telah ditetapkan, menganalisis masalah yang mungkin
terjadi, dan memberikan beberapa solusi
4. Kunjungan
segi pelayanan akademik, sekolah juga berbenah dari segi fisik sarana dan prasarana. Sudah
hampir 4 bulan lamanya kegiatan belajar mengajar berjalan tanpa kehadiran siswa di sekolah.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh SD MPK Baturan untuk mulai berbenah sebagai usaha
meningkatkan kualitas pelayanan sekolah. Sehingga nantinya sekolah lebih siap menyambut
siswa di tahun ajaran baru.
Sekolah memulai dengan membersihkan lingkungan sekolah secara global, mengaktifkan
kembali semua fasilitas sekolah yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal,
misalnya ruang koperasi, UKS, perpustakaan, dan yang paling utama adalah ruang kelas.
Ruang kelas di setting dengan tema yang lebih ceria dengan pengecatan kembali meja kursi,
rak sepatu, dan almari dengan warna fullcolor. Penambahan jendela pada kelas yang kurang
pencahayaan dan pengecatan gedung adalah rencana kerja selanjutnya. Hal ini diharapkan
dapat menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan dan mampu meningkatkan
motivasi belajar siswa sehingga prestasi siswa dapat tercapai secara maksimal.
Masalahnya bahwa guru yang ad untuk mengikuti perkembangan belum bisa dan
Ijazahnya yang rata-rata masih bergelar minim
Solusi: Rekrutmen seleksi guru disesuaikan dengan bidang dan lulusan S2 dan
dibuthkan pelatihan bagi tendik dan guru