Anda di halaman 1dari 52

1

ANALISIS PERUMUSAN
RINTISAN-INDIKATOR KETAHANAN KELUARGA

Prof . Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si


Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga
Departemen IKK – FEMA IPB

November 2017 - Januari 2018


i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penyusun panjakan kehadirat ALLAH SWT, karena atas kuasa dan
kehendak-Nya Catatan Hasil Analisis Perumusan Indikator Ketahanan Keluarga
oleh Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPPA)
Republik Indonesia dapat diselesaikan. Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah
untuk memberikan masukan dan saran perbaikan pada Indikator Ketahanan
Keluarga Indonesia yang nantinya diharapkan menjadi dokumen acuan atau dasar
implementasi ketahanan keluarga dan selaras dengan yang sudah pernah
dikembangkan berdasarkan kajian dan penelitian yang dilakukan oleh penyusun
sebagai pakar bidang ketahanan dan pemberdayaan keluarga di Indonesia.
Laporan ini berisi empat bagian. Pertama, pendahuluan yang menguraikan latar
belakang dan tujuan serta metode penulisan. Kedua, teori dan sejarah perumusan
indikator ketahanan keluarga meliputi didalamnya teori dan ideology
pembangunan keluarga serta sejarah penelitian dan perumusan indikator
ketahanan keluarga. Ketiga, perumusan indeks ketahanan keluarga oleh KPPPA
yang meliputi landasan aturan, perumusan rintisan indikator ketahanan keluarga,
dan pengembangan model operasional pendataan ketahanan keluarga. Keempat,
catatan hasil analisis perumusan indikator ketahanan keluarga oleh KPPPA yang
menguraikan 1) kedudukan dan tujuan indikator ketahanan keluarga; 2) teori dan
lingkup ketahanan keluarga; 3) validitas indikator ketahanan keluarga; 4)
implementasi pengumpulan data; dan 5) saran perbaikan indikator ketahanan
keluarga. Terakhir adalah penutup dan Lampiran.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada KPPPA atas kepercayaan yang telah
diberikan. Semoga catatan hasil analisis perumusan Indikator Ketahanan Keluarga
ini dapat memberi manfaat dan menyediakan catatan masukan dan saran serta
perbaikan yang dapat dipertimbangkan oleh KPPPA dalam perbaikan indikator
katahanan keluarga.

Bogor, Januari 2018


Penyusun
Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI Ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR Iv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan & Metode Penulisan 3
TEORI DAN SEJARAH PERUMUSAN INDIKATOR KETAHANAN
5
KELUARGA
Teori dan Ideologi Pembangunan Keluarga 5
Sejarah Penelitian dan Perumusan Indikator Ketahanan Keluarga 9
Sejarah Penelitian Ketahanan Keluarga 9
Perumusan Indikator Ketahanan Keluarga 9
PERUMUSAN INDIKATOR KETAHANAN KELUARGA OLEH KPPPA 15
Landasan Aturan 15
Perumusan Rintisan Indikator Ketahanan Keluarga 15
Pengembangan Model Operasional Pendataan Ketahanan Keluarga 21
CATATAN HASIL ANALISIS PERUMUSAN INDIKATOR KETAHANAN
29
KELUARGA OLEH KPPPA
Kedudukan dan Tujuan Indikator Ketahanan Keluarga 29
Teori dan Lingkup Ketahanan Keluarga 30
Validitas Indikator Ketahanan Keluarga 31
Implementasi Pengumpulan Data 41
Saran Perbaikan Indikator Ketahanan Keluarga 42
PENUTUP 43
DAFTAR PUSTAKA 44
LAMPIRAN 46
iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Struktur Indikatr Ketahanan Keluarga 17


Tabel 2 Pernyataan Indikator Ketahanan Keluarga 18
Tabel 3 Perubahan Jumlah Indikator Ketahanan Keluarga 19
Tabel 4 Pernyataan Perubahan Indikator Ketahanan Keluarga 20
iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Komponen Ketahanan Keluarga yang Diajukan Sunarti (2001) 10


Gambar 2 Visualisasi Lingkup Ketahanan Keluarga (Sunarti, 2008, 2013) 12
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembangunan Keluarga Indonesia didasarkan pada dua Undang
Undang utama yaitu Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan Undang Undang Nomor 52 Tahun 2009
(amandement UU Nomor 10 Tahun 1992) tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Undang Undang
Perkawinan menyediakan landasan atau syarat syah nya suatu
pernikahan dalam membangun atau membentuk keluarga. Pasal 1
menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula aturan
mengenai hak dan kewajiban suami-istri pada pasal 31 menyatakan
bahwa suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah
tangga. Pasal tersebut menjadi dasar struktur keluarga yang akan
berdampak pada fungsi keluarga.
Keluarga merupakan unit sosial terkecil pembangun institusi
masyarakat. Perhatian terhadap keluarga sebagai institusi sosial
terkecil diawali oleh hasil kajian bahwa masalah sosial berkaitan
dengan kehidupan keluarga, sehingga banyak para pembaharu sosial
yang memandang bahwa keluarga sebagai dasar kesehatan
masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan sumber daya
manusia (SDM), keluarga merupakan institusi pertama dan utama
penentu pembangunan SDM. Terdapat dua penjelasan sederhana
terhadap konsep atau kerangka fikir tersebut. Penjelasan pertama
adalah karena di keluargalah seorang individu tumbuh berkembang,
dimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut
menentukan kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin
masyarakat bahkan pemimpin bangsa dan negara. Penjelasan kedua
adalah karena di keluargalah aktivitas utama kehidupan seorang
individu berlangsung (Sunarti, 2001).
Undang-Undang nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa
pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas
keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa
depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan
kebahagiaan batin. Tujuan pembangunan keluarga yang tercantum
dalam UU 52/2009 menekankan kepada peningkatan kualitas
2

keluarga dengan ciri adanya rasa aman, tenteram, mempunyai masa


depan yang lebih baik untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan
kebahagiaan batin. Pada Bab VII tentang Pembangunan Keluarga
disebutkan bahwa:
 Pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan kebijakan
pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan
kesejahteraan keluarga (pasal 47 ayat 1), dan kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk
mendukung keluarga agar dapat melaksanakan fungsi keluarga
secara optimal (pasal 47 ayat 2).
 Pada pasal 48 termaktub bahwa kebijakan pembangunan
keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan
dengan cara: a) peningkatan kualitas anak dengan pemberian
akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang
perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak; b)
peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi,
pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan
berkeluarga; 
 c) peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap
produktif dan berguna bagi keluarga dan masyarakat dengan
pemberian kesempatan untuk berperan dalam kehidupan
keluarga; 
 d) pemberdayaan keluarga rentan dengan
memberikan perlindungan dan bantuan untuk mengembangkan
diri agar setara dengan keluarga lainnya; e) peningkatan kualitas
lingkungan keluarga; 
 f) peningkatan akses dan peluang
terhadap penerimaan informasi dan sumber daya ekonomi
melalui usaha mikro keluarga; 
 g) pengembangan cara inovatif
untuk memberikan bantuan yang lebih efektif bagi keluarga
miskin; dan 
h) penyelenggaraan upaya penghapusan kemiskinan
terutama bagi perempuan 
 yang berperan sebagai kepala
keluarga.
Dengan demikian, pembangunan keluarga yang diamanatkan oleh
Undang-Undang tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas
keluarga, melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga,
dan 
 ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tersebut
mendasari upaya untuk membangun sinergi dari berbagai program
pembangunan, agar dapat mempercepat pencapaian tujuannya. 

Tujuan pembangunan keluarga agar keluarga berkualitas, yang
dilaksanakan melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga, menuntut indikator ketahanan keluarga.Dengan demikian
diperlukan upaya perumusan indikator ketahanan keluarga.
3

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


menerbitkan Keputusan Menteri KPPPA Nomor 06 Tahun 2013
tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga, dimana dalam salah
satu pasalnya mengamanatkan penyusunan indeks ketahanan
keluarga. Berdasarkan hal tersebut, KPPPA mengembangkan
indikator ketahanan keluarga serta mekanisme pengumpulan dan
pengolahan serta analisis datanya sampai tingkat desa dan kelurahan.
Pengembangan indikator ketahanan keluarga yang dilakukan
KPPPA didasarkan atas penetapan lima komponen ketahanan
keluarga yang tercantum dalam Peraturan Menteri PPPA tersebut,
yang sebelumnya dirumuskan dalam naskah akademik Peraturan
Menteri PPPA tersebut.
Mengingat strategisnya indikator ketahanan keluarga sebagai
indikator pembangunan keluarga, dan terdapat beberapa instansi
lain penyelenggara pembangunan ketahanan keluarga, maka
dipandang penting untuk mengelaborasi indikator ketahanan
keluarga yang dikembangkan KPPPA. Hal tersebut dilakukan agar
indikator ketahanan keluarga yang digunakan di tingkat nasional
dapat mewadahi berbagai perspektif pembangunan ketahanan
keluarga dan memenuhi lingkup ketahanan keluarga yang berbasis
keilmuan keluarga.

Tujuan & Metode Penulisan

Tujuan kajian ini adalah melakukan desk study perumusan indikator


ketahanan keluarga yang dilakukan oleh KPPPA, sehingga
diharapkan dapat tersedia dokumentasi yang berisikan dasar dasar
penetapan indikator ketahanan keluarga. Dengan demikian hasil
kajian ini diharapkan menyedakan informasi dan bahan yang
bermanfaat dalam pengambilan keputusan bagi Pengambil
Kebijakan dalam langkah penetapan Indikator Ketahanan Keluarga.

Tulisan ini merupakan kajian literatur terhadap beberapa sumber


acuan utama, diantaranya meliputi :
1) Peraturan Menteri KPPPA Nomor 06 Tahun 2013 Tentang
Pelaksanaan Pembangunan Keluarga
2) Telaahan Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga
tentang Review Program, Kegiatan di Kementerian/Lembaga
Berkaitan Dengan Indikator Ketahanan Keluarga. 2015
3) Buku 1. Pedoman Pemanfaatan Data Ketahanan Keluarga untuk
Intervensi Program Kegiatan Pembangunan Keluarga
4

4) Buku 2. Pedoman Pelaksanaan Pembangunan Ketahanan


Keluarga
5) Data Pembangunan Keluarga. BPS dan KPPPA Tahun 2016
6) Kajian Pembangunan Keluarga yang dilakukan Bappenas Tahun
2016.

Kajian ini sangat membutuhkan dokumen Naskah Akademik


Perumusan Peraturan Menteri KPPPA Nomor 06 Tahun 2013 yang
menjadi dasar lahirnya lima komponen ketahanan keluarga yang
tertera dalam Permen KPPA Nomor 06 Tahun 2013 Bab II Pasal 3
yang menjadi landasan pengembangan Indikator Ketahanan
Keluarga. Sayangnya, sampai hampir berakhirnya waktu kajian ini
yang sangat singkat, Penulis tidak memperoleh document penting
tersebut.
5

TEORI DAN SEJARAH


PERUMUSAN INDIKATOR KETAHANAN KELUARGA

Tulisan bagian ini dirujuk dari berbagai sumber yang telah dikaji
Sunarti sejak 1999 dalam melakukan pengembangan dan perumusan
indikator ketahanan keluarga (Sunarti, 2001). Adapun
pengembangan lingkup ketahanan keluarga dalam visualisasi bentuk
rumah telah dikembangkan sejak 2008 dalam “Family Kit” dan
dicetak secara luas pada Tahun 2013, dan terus dikembangkan dalam
bentuk yang lebih lengkap pada 2015 dan 2017.

Teori dan Ideologi pembangunan Keluarga


Kajian keluarga telah dimulai sejak tahun 1800-an, seiring dengan
kebutuhan untuk memperbaiki atau menyelesaikan masalah-
masalah social, namun teori keluarga berkembang sejak awal 1900-
an. Keluarga dipandang sebagai institusi yang mudah pecah,
sehingga perlu dilindungi. Perubahan sosial yang berlangsung cepat,
industrialisasi, dan urbanisasi dipandang sebagai faktor yang dapat
menyebabkan disorganisasi keluarga (Thomas & Wilcox dalam
Sussman & Steinmetz, 1987).
Teori keluarga merupakan aplikasi teori sosiologi dalam institusi
keluarga, berkembang dimulai dengan teori interaksi simbolik
(simbolic interactionism) sejak tahun 1918, teori struktural-fungsional
(structural functionalism) sejak tahun 1930, teori perkembangan
keluarga sejak tahun 1946, teori sistem, teori konflik sosial (social
conflict), teori pertukaran sosial (social exchange), dan teori ekologi
manusia (human ecology) sejak tahun 1960, serta teori konstruksi
sosial (social construction of gender) sejak tahun 1980 (Boss, Doherty,
LaRossa, Schumm, & Steinmetz, 1993).
Secara umum teori keluarga yang berkembang dapat dibagi dua
yaitu : 1) teori control eksternal (external control) dan 2) teori
kekuatan manusia (The Power of People). Teori control eksternal
memiliki pandangan bahwa manusia lebih banyak dipengaruhi oleh
factor-faktor diluar dirinya, dan yang termasuk teori ini adalah teori
perkembangan keluarga, teori structural-fungsional, dan teori konflik
social. Teori kekuatan manusia lebih menekankan kepada kekuatan
manusia untuk menciptakan perilakunya dalam berfikir,
berinterpretasi, dan memberikan arti kepada dunia. Teori
pertukaran social dan teori interaksi simbolik termasuk ke dalam
6

kelompok ini (Winton, 1995). Dari berbagai sumber ((Winton, 1995;


Klein &White, 1996; Farrington & Cheertook dalam Boss et al. 1993;
Megawangi, 1999; Kingsbury & Scanzoni dalam Boss, et al.,1993),
Sunarti (2001) meringkas beberapa teori keluarga utama yaitu
sebagai berikut:
1. Teori pertukaran sosial pada intinya memandang individu sebagai
makhluk yang rasional. Setiap aktivitas individu dikaitkan
dengan tujuan untuk memaksimumkan penghargaan dan
meminimalkan biaya. Teori ini memandang bahwa perceraian
terjadi karena masing-masing pihak merasakan lebih besarnya
biaya perkawinan dibandingkan manfaat yang diperoleh.
2. Teori Interaksi Simbolik menekankan bahwa perilaku manusia
dipandang sebagai fungsi dari kemampuan manusia untuk
berpikir kritis dan analitis. Teori ini memfokuskan pada otonomi
seseorang individu untuk membangun pola aksi melalui suatu
proses pendefinisian dan interpretasi sasaran dan kejadian.
Otonomi individu tersebut bahkan menjadi alasan perilaku yang
dapat melanggar aturan dan norma-norma sosial.
3. Teori Konflik Sosial memandang keluarga sebagai system tidak
terlepas dari konflik antar anggota di dalamnya. Terjadinya
perceraian dipandang karena ketiadaan konflik dalam hubungan
perkawinan. Dalam bentuk yang paling ekstrim, teori konflik
sosial yang berlandaskan pada persaingan kekuasaan yang
bersumber dari sumberdaya terbatas, mengarahkan pada isu
ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dalam memperoleh
sumber kekuasaan. Gerakan untuk kesetaraan gender dikenal
dengan gerakan feminisme. Kaum feminis memandang keluarga
dengan sistem patriarkat (struktur vertikal dengan menempatkan
laki-laki sebagai pemimpin) merupakan lembaga yang
melestarikan pola relasi hierarkis yang dianggap menindas,
memasung hak-hak wanita untuk berkiprah setara dengan pria
di bidang publik. Oleh karenanya penghapusan sistem patriarkat
dan vertikal merupakan tujuan utama dari semua gerakan
feminisme, melalui penghapusan institusi keluarga, atau paling
tidak defungsionalisasi keluarga.
4. Teori Struktural Fungsional berlandaskan empat konsep yaitu:
sistem, struktur sosial, fungsi, dan keseimbangan. Teori ini
membahas bagaimana perilaku seseorang dipengaruhi orang lain
dan oleh institusi sosial, dan bagaimana perilaku tersebut pada
gilirannya mempengaruhi orang lain dalam proses aksi-reaksi
berkelanjutan. Teori ini memandang tidak ada individu dan
sistem yang berfungsi secara independen, melainkan dipengaruhi
7

dan pada gilirannya mempengaruhi orang lain atau sistem lain,


serta mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial, yang
merupakan sumber utama struktur masyarakat. Struktur
merupakan serangkaian peran dimana suatu system social
dibangun. Keluarga harus memiliki struktur tertentu untuk
melaksanakan fungsinya secara optimal. Konsep keseimbangan
mengacu kepada konsep homoestasis suatu organisme, diartikan
sebagai kemampuan suatu system untuk memelihara stabilitas
agar keberlangsungan system tetap terjaga.
5. Teori Sistem memaknai sistem sebagai suatu set objek, dan relasi
antar objek tersebut dengan atribut-atributnya, berdasarkan
asumsi: 1) elemen sistem saling berhubungan, 2) sistem hanya
dapat dimengerti sebagai keseluruhan, 3) seluruh sistem
mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungannya, dan 4) sistem
bukan sesuatu yang nyata. Sistem merupakan unit yang dibatasi
aturan, dan terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan
dan saling ketergantungan, sehingga ciri-cirinya yaitu; 1) memiliki
diferensiasi atau sosialisasi jenis peran, 2) peran diatur atau
diorganisasi melalui serangkaian nilai dan norma yang
menetapkan hak dan kewajiban seorang pelaku kepada yang
lainnya, atau kepada masyarakat, 3) pemeliharaan lingkungan,
individu internal lebih terikat kuat dibandingkan dengan individu
luar, dan 4) sistem sosial memiliki suatu kecenderungan menuju
keseimbangan atau homoestasis.
Kajian pustaka yang dilakukan Megawangi, Zeitlin, & Kramer dalam
Zeitlin et al., (1995) menyatakan keluarga sebagai sistem diartikan
sebagai unit sosial dimana individu terlibat secara intim didalamnya,
dibatasi oleh aturan keluarga, terdapat hubungan timbal balik dan
saling mempengaruhi antar anggota keluarga setiap waktu (Walker
& Crocker, 1988). Namun demikian menurut Kreppner dan Lerner
(1989) terdapat beberapa perbedaan persfektif terhadap keluarga
sebagai sistem itu sendiri. Perbedaan persfektif tersebut adalah
keluarga lebih dipandang sebagai : 1) suatu sistem interaksi umum
anggota keluarga, 2) suatu seri interaksi yang dilakukan dua pihak
(diadic), 3) sejumlah interaksi antara seluruh subkelompok keluarga :
diadic, triadic, dan tetradic, serta 4) sistem hubungan internal
keluarga sebagai reaksi terhadap sistem sosial yang lebih luas.
Dibandingkan kelompok asosiasi lainnya, keluarga memiliki “daya
hidup” lebih lama, serta hubungan biologi dan intergenerasi yang
berkaitan dengan ikatan kekerabatan yang lebih luas (Klein & White,
1996).
Pendekatan keluarga sebagai sistem didasarkan pada teori struktural
fungsional yang berlandaskan empat konsep yaitu : sistem, struktur
8

sosial, fungsi, dan keseimbangan. Teori ini membahas bagaimana


perilaku seseorang dipengaruhi orang lain dan oleh institusi sosial, dan
bagaimana perilaku tersebut pada gilirannya mempengaruhi orang
lain dalam proses aksi-reaksi berkelanjutan. Teori ini memandang
tidak ada individu dan sistem yang berfungsi secara independen,
melainkan dipengaruhi dan pada gilirannya mempengaruhi orang
lain atau sistem lain serta mengakui adanya keragaman dalam
kehidupan sosial, yang merupakan sumber utama struktur
masyarakat.
Pandangan penganut teori struktural fungsional yang melihat sistem
sosial sebagai sistem yang harmonis, berkelanjutan dan senantiasa
menuju keseimbangan, berlawanan dengan pandangan penganut
teori konflik sosial. Teori konflik sosial memandang konflik sebagai
sesuatu hal yang alamiah, normal, dan tidak dapat dielakkan dalam
seluruh sistem sosial, bahkan konflik dianggap sebagai sumber
motivasi yang dibutuhkan untuk perubahan. Konflik ada dimana-
mana, dalam semua jenis interaksi sosial, dan pada seluruh tingkat
organisasi sosial. Bahkan konflik dipandang sebagai elemen dasar
kehidupan sosial manusia dan keberlangsungan sistem.
Ideologi keluarga merupakan rumusan ideal keluarga yang dianut
pengambil kebijakan sebagai landasan arah dan kebijakan
pembangunan. Pembahasan ideologi keluarga terkait dengan
perkembangan teori keluarga. Dilihat dari rumusan kebijakan dan
program-programnya, pengambil kebijakan dan birokrat Indonesia
menganut teori structural fungsional. Hal tersebut dapat tercermin
dari rumusan keluarga dalam GBHN, Propenas, UU No 10 tahun 1992
tentang perkembangan penduduk dan pembangunan keluarga
sejahtera, serta kebijakan keluarga lainnya. Menurut Ichromi (1997),
pemerintah melalui rumusan keluarga dalam UU No 10
mengkomunikasikan tipe ideal tertentu mengenai keluarga, yang
diharapkan menjadi acuan bagi perilaku keluarga, atau dengan kata
lain disebut ideology keluarga. Petunjuk lainnya adalah dengan
dirumuskannya fungsi keluarga sebagai patokan ideal mengenai
keluarga yang ingin diwujudkan melalui berbagai program-program
pembangunan (BKKBN, 1996).
Sesuai dengan nilai yang dianut bangsa dan masyarakat Indonesia,
demikian juga landasan hokum dalam Undang Undang No 1 tentang
Perkawinan dan Undang Undang nomor 52 Tahun 2009 (perubahan
UU no 10 Tahun 1992), Indonesia menganut teori Struktural Fungsional
sebagai dasar pembangunan keluarga. Ideologi pembangunan
keluarga di Indonesia didasari atas kehendak adanya pembagian
peran, fungsi, dan tugas antara suami dan istri, ayah dan ibu, dan
9

anggota keluarga lainnya dalam memenuhi dan menjalankan


beragam peran, fungsi dan tugasnya.

Sejarah Penelitian dan Perumusan Indikator Ketahanan Keluarga


A. Sejarah Penelitian Ketahanan Keluarga
Penelitian ketahanan keluarga diawali oleh penelitian identifikasi
karakteristik keluarga sukses (successful families) dan keluarga sehat
(healthy families). Krysan, Kristin A Moore, dan Zill (1990a dan 1990b)
melakukan penelitian identifikasi keluarga sehat, mengkaji
komponen serta pemilihan pengukurannya. Suatu keluarga dapat
diidentifikasi “sukses” ditinjau dari karakteristik anggotanya, dari
interaksi anggota dalam keluarga, atau dari perluasan pemenuhan
fungsi tertentu yang menjadi tanggungjawab keluarga. Beberapa
peneliti melakukan pendekatan berdasarkan perspektif fungsi
keluarga dalam pengembangan model keluarga sukses. Fungsi-fungsi
keluarga yang telah dikembangkan cenderung kepada fungsi
psikologi dibandingkan fungsi sosial atau ekonomi.
Merujuk Lewis dan Looney (1983) keluarga harus membersarkan anak
menjadi dapat mandiri, dan harus menyediakan dukungan emosi
yang cukup bagi stabilitas kepribadian orang tua, serta melanjutkan
proses pendewasaan emosi mereka. Berdasarkan hal tersebut maka
keluarga dikatakan sukses jika dapat menyediakan lingkungan yang
sesuai bagi perkembangan anak dan orang tua itu sendiri. Hal
tersebut sejalan dengan fungsi keluarga menurut Rice dan Tucker
(1986) yang mengelompokkan fungsi keluarga kedalam dua kategori
yaitu; 1) fungsi ekspresif sebagai cerminan hubungan interpersonal
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan emosi dan
perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak, 2)
fungsi instrumental yaitu manajemen sumberdaya untuk mencapai
berbagai tujuan keluarga. Demikian juga hal tersebut berkaitan
dengan dua area kehidupan keluarga yang menjadi tumpuan
harapan masyarakat yaitu : 1) prokreasi dan sosialisasi anak, serta 2)
dukungan dan pengembangan anggota keluarga.
Penelitian ketahanan keluarga dilatarbelakangi oleh kenyataan
terdapat variasi kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan
anggotanya, serta dalam menangani masalah keluarga. Penelitian
ketahanan keluarga menggali faktor-faktor yang menyebabkan
suatu keluarga dapat terhindar dari krisis, dan sebaliknya faktor-
faktor yang menyebabkan suatu keluarga tidak dapat
menanggulangi masalahnya.
10

Ringkasan terhadap berbagai kajian karakteristik keluarga yang


dikategorikan memiliki ketahanan yang tinggi, menunjukkan
beberapa fungsi peningkatan prestasti individu; komitmen terhadap
keluarga; orientasi agama; hubungan sosial; kemampuan untuk
beradaptasi; penghargaan; peran dalam keluarga jelas; dan waktu
kebersamaan. Demikian juga Achord et al (1986) menekankan enam
aspek keluarga untuk membangun ketahanan keluarga, yaitu:
komunikasi, kesejahteraan, komitmen, penghargaan, waktu
kebersamaan, dan kemampuan mengelola stress, konflik dan krisis.
Kondisi dinamik keluarga tersebut dikenal dengan ketahanan
keluarga, seperti pengertian yang diberikan UU No 10 tahun 1992
(pasal 1 ayat 15) dan kemudian termaktib pula dalam perubahan UU
tersebut yaitu menjadi Undang Undang No 52 Tahun 2009 yaitu :
“kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan
ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-material dan
psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri
dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan
kesejahteraan lahir dan bathin”. Mengacu kepada konsep ketahanan
pangan, Frankenberger (1998) mengartikan ketahanan keluarga
sebagai kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan
dan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan dasar (termasuk di
dalamnya kecukupan akses terhadap pangan, air bersih, pelayanan
kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk
berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial).
Berdasarkan kajian berbagai pustaka dan mengacu definisi
ketahanan keluarga menurut UU No. 10 Tahun 1992 tentang
perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga
sejahtera, berikut adalah komponen ketahanan keluarga yang
diajukan dalam kerangka penelitian Sunarti (2001) dengan
menggunakan pendekatan sistem yang meliputi tiga komponen:
input - proses - output. (Gambar 1.)

Ketahanan
Keluarga

Komponen Komponen Komponen


Masukan (input) Proses Keluaran (output)

Sumber Daya Masalah dan Kesejahteraan fisik -


Keluarga Penanggulangan Masalah sosial - psikologis

Gambar 1. Komponen Ketahanan Keluarga yang Diajukan Sunarti (2001)


11

B. Perumusan Indikator Ketahanan Keluarga


Kajian Sunarti (1997-2001) mengenai perumusan indikator ketahanan
keluarga menghasilkan temuan penting bahwa terdapat tiga
komponen laten ketahnan keluarga yaitu :
1. Ketahanan Fisik-Ekonomi meliputi sumberdaya fisik, masalah fisik
keluarga, penanggulangan masalah fisik keluarga, kesejahteraan
fisik dan kesejahteraan sosial yang bersifat fisik;
2. Ketahanan Sosial meliputi sumberdaya nonfisik keluarga,
penanggulangan masalah nonfisik keluarga; dan kesejahteraan
sosial nonfisik keluarga
3. Ketahanan Psikologis meliputi masalah nonfisik dan Kesejahteraan
psikologis keluarga.
Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan
dengan fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam
pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan
sumberdaya yang dimiliki, serta kemampuan keluarga dalam
pengelolaan masalah dan stress (Krysan, Kristin, & Zill, 1990).
Peningkatan ketahanan keluarga dapat dilakukan melalui
pendekatan faktor laten ketahanan keluarga, sebagaimana hasil
penelitian.
- Pembangunan Pendidikan: a) program wajib belajar ditanggung
negara yang meletakkan dasar pengetahuan dan ketrampilan
dasar untuk bekerja; dan b) Link and Match pendidikan dan
industry,
- Pembangunan Ekonomi: a) memperkuat ekonomi rakyat melalui
regulasi, sarana, dan infrastruktur; b) pembangunan pertanian;
dan c) perluasan kesempatan berusaha melalui terobosan inovasi
dan teknologi.
- Pembangunan keluarga sejahtera melalui optimalisasi fungsi
keluarga: fungsi sosialisasi dan pendidikan, serta fungsi cinta kasih.
Sunarti (2001) menunjukkan bahwa sebagai suatu sistem sosial
terkecil, keluarga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem sosial
lainnya. Transformasi sosial ekonomi dan pesatnya kemajuan
teknologi di bidang informasi ditengarai sedikit banyak
mempengaruhi sistem nilai dan norma-norma tradisional yang dianut
oleh keluarga, yang lebih menekan pada harmonisasi kehidupan
keluarga. Sehingga ketahanan keluarga yang didasarkan pada
pijakan nilai normatif dan nilai ideal keluarga, hendaknya senantiasa
dipelihara dan ditingkatkan. Jika dikaitkan dengan pandangan
keluarga sebagai sistem, serta pengertian ketahanan keluarga
12

sebagai kondisi dinamik dalam keluarga untuk mencapai keluarga


sejahtera, maka komponen ketahanan keluarga dapat
dikelompokkan melalui pendekatan sistem : masukan (input), proses,
dan keluaran (output).
Lingkup indicator ketahanan keluarga merujuk kepada lingkup
konsep-konsep yang termuat dalam ketahanan keluarga itu sendiri.
Sejak Tahun 2008, Sunarti mengembangkan visualisasi lingkup
ketahanan keluarga dalam bentuk rumah (Gambar 2.), untuk
memudahkan penguasaan lingkup dan beragam keterampilan hidup
berkeluarga (Sunarti, 2013). Konsep konsep ketahanan keluarga yang
saling berhubungan dan membentuk satu kesatuan rumah dengan
beragam fungsinya terdiri atas pembangunan SDM dan kesiapan
pernikahan (jalan masuk dan teras rumah), sampai mewujudkan
ikatan pernikahan (pintu), dengan nilai keluarga yang dianut
(fondasi rumah), dan diwujudkan dalam pemenuhan peran, fungsi,
dan tugas keluaga (dinding) sepanjang tahap perkembangan
keluarga (panjang rumah), sehingga mengusung pilar ketahanan
keluarga (rangka rumah) penopang Pencapaian kesejahteraan dan
kualitas keluarga sebagai tujuan (atap tertinggi), dan
diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya dan
masalah/stress keluarga serta pola interaksi sehari-hari (isi rumah).

Gambar 2. Visualisasi Lingkup Ketahanan Keluarga (Sunarti, 2008,


2013)
13

Keluarga merupakan institusi pertama dan utama pembangunan


sumber daya manusia. Terdapat dua penjelasan sederhana terhadap
konsep atau kerangka fikir tersebut. Penjelasan pertama adalah
karena di keluargalah seorang individu tumbuh berkembang, dimana
tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut menentukan
kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin masyarakat
bahkan pemimpin negara. Penjelasan kedua adalah karena di
keluargalah aktivitas utama kehidupan seorang individu berlangsung.
Selain itu keluarga merupakan unit sosial terkecil, pembangun institusi
masyarakat. Keluarga berkaitan dengan masalah sosial, sehingga
banyak para pembaharu sosial yang memandang bahwa keluarga
sebagai dasar kesehatan masyarakat. Keluarga yang mampu
menjalankan nilai-nilai dasar dan mampu membangun lingkungan
keluarga berkualitas dipandang mampu melahirkan individu generasi
penerus dan pemimpin bangsa berkualitas yang ditunjukkan oleh
sekumpulan karakter positif seperti pribadi yang terbuka, demokratis,
jujur, bertanggungjawab, dapat dipercaya dan diandalkan, adil,
senang bekerja keras, cinta kebenaran, dan religius.
Keluarga memiliki berbagai fungsi penting yang menentukan kualitas
kehidupan baik kehidupan individu, keluarga, bahkan kehidupan
sosial (kemasyarakatan). Fungsi keluarga dapat dibagi menjadi fungsi
ekspresif dan instrumental. Fungsi ekspresif keluarga berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan emosi & perkembangan, termasuk
moral, loyalitas, dan sosialisasi anak. Sementara itu fungsi instrumental
berkaitan dengan manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai
tujuan keluarga. Sementara itu BKKBN membagi fungsi keluarga ke
dalam 8 kelompok yaitu fungsi : 1) keagamaan, 2) sosial budaya, 3)
cinta kasih, 4) melindungi, 5) ekonomi, 6) reproduksi, 7) sosialisasi dan
pendidikan, dan 8) pembinaan lingkungan.
Peran keluarga dalam pembangunan SDM berkualitas berkaitan
dengan nilai-nilai yang dianut keluarga, kualitas lingkungan keluarga
diantaranya kualitas hubungan atau interaksi yang terjalin diantara
anggota keluarga. Keluarga yang menganut dan dapat
menjalankan nilai-nilai dasar seperti cinta kasih, rasa hormat,
komitment, tanggungjawab, dan kebersamaan keluarga, maka
diharapkan dapat membangun lingkungan berkualitas yang
ditunjukkan oleh adanya hubungan sosial yang harmonis di keluarga.
Beberapa indikator dari adanya hubungan sosial yang harmonis di
keluarga adalah ditunjukkan dengan adanya lingkungan yang statbil
dan dapat diprediksi, ikatan emosional yang kuat antar anggota
keluarga, orangtua yang penuh cinta kasih, dan adanya konsensus
diantara anggota keluarga.
14

Keluarga memiliki tugas perkembangan sepanjang kehidupannya


yang menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan
ummat manusia. Tugas tersebut adalah : 1) Pemeliharaan kebutuhan
fisik, 2) Alokasi sumber daya, 3) Pembagian tugas, 4) Sosialisasi
anggota keluarga, 5) Reproduksi, penambahan dan pelepasan
anggota keluarga, 6) Pemeliharaan tata tertib, 7) Penempatan
anggota di masyarakat luas, dan 8) Pemeliharaan moral dan motivasi.
Perhatian terhadap pentingnya ketahanan keluarga termaktub
dalam Undang Undang No 10 Tahun 1992 tentang pembangunan
kependudukan dan keluarga sejahtera mendefinisikan ketahanan
keluarga sebagai “kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki
keuletan dan ketangguhan serta mengandung serta mengandung
kemampuan fisik-materiil dan psikis-mental spiritual guna hidup
mandiri dan mengambangkan diri dan keluarganya untuk hidup
harmonis dalam meningkatkan kesejahetraan lahir dan kebahagian
batin.” Dengan menggunakan pendekatan system (input, proses-
output) keluarga, Sunarti (2001) memaknai ketahanan keluarga
sebagai kemampuan keluarga untuk mengelola sumberdaya
keluarga, mengelola dan menanggulangi masalah yang dihadapi,
untuk mencapai tujuan yaitu kesejahteraan keluarga. Selanjutnya
hasil analisis faktor laten ketahanan keluarga ditemukan tiga
komponen ketahanan keluarga yaitu ketahanan fisik, ketahanan
social, dan ketahanan psikologis.
Output dari ketahanan keluarga adalah kesejahteraan keluarga yaitu
terpenuhinya kebutuhan keluarga sebagai system dan kebutuhan
setiap anggotanya sebagai individu, baik kebutuhan pokok maupun
kebutuhan perkembangan. Kebutuhan individu dan keluarga
hendaknya dipertimbangkan dalam konteks masyarakat dan
ekosistem, dan menjadi landasan motivasi perilaku individu dan
keluarga. Dari pandangan keluarga sebagai ekosistem, terdapat
beberapa asumsi dimana organisme (keluarga) hendaknya memiliki
mekanisme timbal balik (feed-back) dalam rangka beradaptasi
dengan baik terhadap perubahan lingkungan. Mekanisme tersebut
berkaitan dengan beberapa hal yaitu; bagaimana keluarga
memperoleh informasi mengenai perubahan lingkungan, seberapa
banyak kontrol keluarga terhadap keragaman lingkungan,
mekanisme adaptif apa saja yang keluarga miliki, apakah keluarga
mengalami stress ketika keluarga harus beradaptasi terhadap
perubahan drastis yang didorong oleh pihak luar (Melson, 1980).
15

PERUMUSAN INDIKATOR KETAHANAN KELUARGA


OLEH KPPPA

LANDASAN ATURAN
Landasan aturan KPPPA merumuskan dan mengembangan Indeks
dan Indikatr Ketahana Keluarga meliputi:
1. Peraturan Menteri PP & PA No 06 Tahun 2013 tentang
Pembangunan Keluarga, pasal 19 ayat (1) hurup c yang
mengamanahkan penyusunan indeks ketahanan dan
kesejahteraan keluarga;
2. Peraturan Menteri PP dan PA tersebut merupakan implementasi
mandat Undang Undang No 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, pasal 48 ayat (2) yang mengamanatkan penyusunan
Peraturan Menteri untuk pelaksanaan kebijakan pembangunan
keluarga.
Selain menggunakan landasan tersebut, Bab ini ditulis dengan
mengacu pada beberapa dokumen perumusan indikator ketahanan
keluarga yang dilakukan KPPPA yang diantaranya meliputi : 1) hasil
kajian dan telaahan Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan
Keluarga tentang Review Program, Kegiatan di
Kementerian/Lembaga Berkaitan Dengan Indikator Ketahanan
Keluarga Tahun 2015; 2) buku Pembangunan Ketahanan Keluarga
2016 yang diterbitkan kerjasama KPPPA dengan BPS; 3) buku
Pedoman Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Ketahanan
Keluarga di Tingkat Desa1; demikian juga 4) Laporan Kajian
Bappenas mengenai Pembangunan Keluarga Tahun 2016.

PERUMUSAN RINTISAN INDIKATOR KETAHANAN KELUARGA

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


melakukan pembangunan keluarga melalui Permen PP dan PA No
06 / 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga. Undang
Undang no 52 Tahun 2009 mendefinsikan Ketahanan dan
kesejahteraan Keluarga sebagai “Kondisi dinamik keluarga yang

1
Euis Sunarti. Point-poin Catatan Pengantar FGD DISKURSUS TERKAIT INDIKATOR
KETAHANAN KELUARGA. Diselenggarakan Yayasan Perak, Jakarta …. 2017
16

memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan


fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan
kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. Sementara Permen PP
dan PA mendefinisikan ketahanan dan kesejahteraan keluarga
hampir sama dengan definisi dalam Undang Undang no 52 Tahun
2009, kecuali menghilangkan kata “Dinamik” dalam kata kondisi
keluarga. Perbedaan kecil tersebut dapat berdampak signifikan
terhadap lingkup ketahanan keluarga dan menjadi pembeda dalam
analisis content validation terhdap indicator yang dikembangkanya.

Pada Pasal 18 Permen No 06 KPPPA dinyatakan bahwa: “Selain


berkoordinasi dengan Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dapat
bekerjasama dengan perguruan tinggi, akademisi, pemerhati masalah
perempuan dan anak, dan organisasi kemasyarakatan serta dunia
usaha”. Sementara pada Pasal 19 (1) Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak bersama para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, berkoordinasi dan
bekerjasama dalam menyusun:
a. kebijakan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga;
b. konsep perkembangan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga
dari sisi penerima manfaat (demand side);
c. menyusun Index Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga;
d. menyusun mekanisme pengumpulan, pengolahan, dan analisis
data Keluarga;
e. menyusun indikator keberhasilan Ketahanan Keluarga; dan
f. mekanisme pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program
Ketahanan Keluarga.

Permen PP dan PA No 06/2013 Bab II Pasal 3 menyatakan bahwa :


“ Dalam pelaksanaan Pembangunan Keluarga, Kementerian,
Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menyusun dan mengembangkan kebijakan
pelaksanaan dan kebijakan teknis yang berpedoman pada konsep
Ketahanan dan Kesejahteraan yang di dalamnya mencakup: a.
landasan legalitas dan keutuhan Keluarga; b. Ketahanan fisik; c.
Ketahanan ekonomi; d. Ketahanan sosial psikologi; dan e. Ketahanan
sosial budaya. Berdasarkan acuan tersebut, rintisan indkator
ketahanan keluara (selanjutnya disingkat R-IKK) yang dirumuskan
KPPPA meliputi 5 pilar, yaitu:
17

1. Landasan legalitas dan keutuhan keluarga (terdiri atas legalitas,


keutuhan, kemitraan gender)
2. Ketahanan Fisik (terdiri atas kecukupan pangan dan gizi,
kesehatan keluarga, ketersediaan tempat untuk tidur)
3. Ketahanan Ekonomi (terdiri atas tempat tinggal keluarga,
pendapatan, pembiayaan pendidikan anak, jaminan keuangan
keluarga)
4. Ketahanan Sosial Budaya (terdiri atas keharmonisan keluarga,
kepatuhan terhadap hukum)
5. Ketahanan Sosial Psikologis (terdiri atas kepedulian social,
keeratan social, ketaatan beragama)

Dalam proses pengembangan R-IKK, terdapat upaya penambahan


satu komponen ketahanan keluarga sehingga menjadi 6 pilar, yaitu
dengan menambahkan pilar “kemitraan gender”. Dalam dokumen
Pedoman Pengumpulan, pengolahan dan analisis data ketahanan
keluarga di tingkat desa, dinyatakan terdapat 5 komponen/pilar,
namun dalam uraiannya terdiri 6 komponen/pilar yaitu meliputi:
- Komponen legalitas dan struktur keluarga (LS) berjumlah 3 ciri
ciri
- Komponen Ketahanan Fisik (KF) berjumlah 4 ciri ciri
- Komponen Ketahanan Ekonomi (KE) berjumlah 7 ciri ciri
- Komponen Ketahanan Sosial Psikologi (KSP) berjumlah 3 ciri ciri
- Komponen Ketahanan Sosial Budaya (KSB) berjumlah 3 ciri ciri
- Kemitraan gender berjumlah 4 ciri ciri

Komponen “kemitraan gender” (sebelumnya tertulis kesetaraan


gender) kembali diubah posisinya menjadi bagian dari komponen
legalitas dan struktur keluarga, sebagaimana ditunjukkan pada
struktur dimensi, variable, dan indikator ketahanan keluarga
disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Struktur Indikator Ketahanan Keluarga


Dimensi Variabel Indikator
Landasan Legalitas Legalitas pernikahan
Legalitas Struktur Legalitas Kelahiran Anak
dan keutuhan Keutuhan Suami-Istri tinggal bersama
Keluarga Keluarga
Kemitraan Kebersamaan dalam keluarga
Gender Keterbukaan pengelolaan
keuangan
Komunikasi dalam keluarga
Ketahanan Kecukupan Ketercukupan pangan
Fisik Pangan dan Gizi
Ketercukupan gizi
18

Kesehatan Keterbatasan dari penyakit dan


Keluarga disabilitas
Kecukupan Ketersediaan lokasi tetap untuk
Istirahat tidur
Tempat Tinggal Kepemilikan tempat tinggal
Keluarga
Ketahanan Pendapatan Pendapatan Perkapita keluarga
Ekonomi Keluarga Kecukupan pendapatan keluarga
Kemampuan pembiayaan
pendidikan anak
Pendidikan Keberlangsungan pendidikan
anak
Jaminan Tabungan keluarga
Keuangan Asuransi keluarga
Ketahanan Keharmonisan Sikap anti kekerasan terhadap
Sosial Keluarga perempuan
Psikologis Perilaku anti kekerasan terhadap
anak
Kepatuhan Kejadian tindak pidana
Terhadap
Hukum
Ketahanan Kepedulian Sosial Penghormatan terhadap lansia
Sosial Keeratan Sosial Partisipasi dalam kegiatan sosial
Budaya Ketaatan Partisipasi dalam kegiatan
Beragama keagamaan

Struktur komponen Indikator Ketahanan Keluarga pada Tabel 1


diturunkan dalam kuesioner sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Pada Tabel ini, komponen kemitraan gender menjadi satu komponen
utuh dari ketahanan keluarga.

Tabel 2. Pernyataan Indikator Ketahanan Keluarga

NO. PERNYATAAN
LEGALITAS DAN STRUKTUR (LS)
1 Bapak dan Ibu memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh KUA
2 Semua anak memiliki akte kelahiran
Semua anggota keluarga (suami, istri, dengan atau tanpa anak) tinggal
3
dalam satu rumah
KETAHANAN FISIK (KF)
Semua anggota keluarga mampu makan lengkap (nasi, sayur, ikan, tempe,
4
tahu, buah) dua kali per hari
5 Ada anggota keluarga yang menderita penyakit akut/ kronis
6 Ada anggota keluarga yang menderita masalah gizi
Rumah yang ditempati memiliki ruang tidur terpisah antara orangtua dan
7
anak
KETAHANAN EKONOMI (KE)
8 Keluarga memiliki rumah
9 Suami dan/atau Istri mempunyai penghasilan tetap per bulan minimal Rp
19

2.655.000
Suami dan/atau Istri memiliki pekerjaan tetap dengan pendapatan berapa
10
saja
Suami dan/atau Istri mempunyai tabungan dalam bentuk uang minimal
11
sebesar Rp 7.900.000
Anggota keluarga memiliki asuransi kesehatan (atau BPJS) atau lainnya,
12
minimal 1 orang
13 Keluarga mampu membayar listrik per bulan
14 Keluarga mampu membayar pendidikan anak minimal hingga tingkat SMP
15 Anak yang putus sekolah
16 Anggota keluarga yang berusia 15 tahun ke atas minimal berpendidikan SMP
KETAHANAN SOSIAL PSIKOLOGI (KSP)
17 Terjadi kekerasan antar suami dan istri
18 Terjadi kekerasan antar orangtua dan anak
Anggota keluarga terlibat masalah seperti mencuri, tawuran, berkelahi, kabur
19 dari rumah, narkoba, ditilang SIM, melanggar lalu lintas, memukul dan
lainnya
Anak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat, ide,
20 keinginan, kebutuhannya, menceritakan cita-cita, mengemukakan yang
tidak disukai dan lainnya
Suami dan Istri saling menghargai, menyayangi, berbagi pendapat, saling
21
menolong, bekerjasama
KETAHANAN SOSIAL BUDAYA (KSB)
Anggota keluarga berpartisipasi dalam kegiatan sosial seperti pengajian,
22 posyandu, kerjabakti, kematian, kelahiran. Ronda, kesenian, penyuluhan,
pelatihan
Anggota keluarga memberi perhatian dan merawat orangtua lanjut usia (di
23
atas 60th)
Anggota keluarga berkomunikasi dengan baik, termasuk dengan keluarga
24
besarnya
25 Anggota keluarga melakukan kegiatan agama secara rutin
KEMITRAAN GENDER (KG)
26 Ayah menyisihkan waktu khusus bersama anak
27 Ibu menyisihkan waktu khusus bersama anak
28 Suami dan Istri berbagi peran dengan baik
Suami dan Istri bersama-sama mengelola secara terbuka keuangan keluarga,
29 merencanakan keuangan, saling melapor keadaan keuangan, berdiskusi
apabila ada masalah keuangan dan lainnya
Suami dan Istri merencanakan bersama jumlah anak yang diinginkan atau
30
alat kontrasepsi yang dipakai

30 indikator ketahanan keluarga, setelah dilakukan analisis kembali,


kemudian diubah menjadi 24 indikator. Perubahan jumlah indikator
pada setiap komponen disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Perubahan Jumlah Indikator Ketahanan Keluarga


No Komponen 30 24
1 Legalitas dan Struktur 3 3
2 Ketahanan Fisik 4 4
3 Ketahanan Ekonomi 9 7
4 Ketahanan Sosial Psikologis 5 3
5 Ketahanan Sosial Budaya 4 3
6 Kemitraan Gender 5 4
20

Tabel 4. Perubahan Jumlah Indikator Ketahanan Keluarga

NO INDIKATOR 30 INDIKATOR 24
Legalitas dan Struktur (LS)
Apakah Bapak dan Ibu memiliki surat
Adakah legalitas perkawinan suami-istri
1 nikah yang dikeluarkan oleh KUA atau
yang ditunjukkan dengan buku nikah?
Catatan Sipil?
Adakah legalitas anak yang ditunjukkan Apakah semua anak memiliki akte
2
dengan akte kelahiran ? kelahiran?;
Adakah keutuhan keluarga yang Apakah semua anggota keluarga
ditunjukkan dengan tinggal bersama (suami, istri, dengan atau tanpa anak)
3
dalam ikatan keluarga (suami,istri, dengan tinggal dalam satu rumah dan tidak
atau tanpa anak)? ada perpisahan?
Ketahanan Fisik (KF)
Apakah semua anggota keluarga
Makanan lengkap minimal dua kali sehari mampu makan lengkap (nasi, sayur,
1
untuk semua anggota keluarga ikan, tempe, tahu, buah) dua kali per
hari?
Apakah ada anggota keluarga yang
Adakah anggota keluarga yang menderita
2 menderita penyakit akut/ kronis atau
penyakit akut/kronis atau cacat ?
cacat bawaan?
Apakah ada anggota keluarga yang
Adakah anggota keluarga yang menderita
3 menderita masalah gizi (kurus sekali
masalah gizi ?
atau gemuk sekali atau kerdil/kuntet)?
Rumah yang ditempati memiliki ruang Apakah rumah yang ditempati
4 tidur terpisah/ada sekat antara orang tua memiliki ruang tidur terpisah antara
dan anak orangtua dan anak?
Ketahanan Ekonomi (KE)
1 Keluarga punya kepemilikan rumah? Apakah keluarga memiliki rumah?;
Apakah Suami dan/atau Istri
Suami dan/atau istri mempunyai mempunyai penghasilan tetap per
2
penghasilan tetap per bulan minimal UMR bulan sebesar Rp 250.000 per orang
per bulan?
Apakah Suami dan/atau Istri
Suami dan/atau istri memiliki pekerjaan
3 mempunyai tabungan dalam bentuk
tetap dengan pendapatan berapa saja
uang minimal sebesar Rp 500 000?
Suami dan/atau istri mempunyai Apakah anggota keluarga memiliki
4 tabungan dalam bentuk uang minimal asuransi kesehatan (atau BPJS) atau
sebesar 3 kali UMR lainnya, minimal 1 orang?
Minimal satu anggota keluarga memiliki Apakah keluarga pernah menunggak
5
asuransi kesehatan membayar listrik?
Apakah keluarga pernah menunggak
Keluarga mampu membayar pengeluaran
6 membayar iuran atau keperluan
untuk kebutuhan listrik
pendidikan anak?
Keluarga mampu membayar pengeluaran
7 untuk pendidikan anak minimal hingga Adakah anak yang putus sekolah?
tingkat SMP
Adakah anak yang Drop Out dari
8
sekolah ?
Anggota keluarga berusia 15 tahun ke atas
9
minimal berpendidikan SMP
Ketahanan Sosial – Psikologis (KSP)
Adakah terjadi kekerasan antar suami- Adakah terjadi kekerasan antar suami
1
istri? dan istri?
Adakah terjadi kekerasan antar orangtua- Adakah terjadi kekerasan antar
2
anak? orangtua dan anak?
Adakah anggota keluarga yang
terlibat masalah (seperti mencuri,
Adakah anggota keluarga yang terlibat
3 tawuran, berkelahi, memalak, narkoba,
masalah pelanggaran hukum?
ditilang SIM, melanggar lalu lintas,
memukul dan lainnya)?
Anak diberikan kesempatan untuk
4
mengemukakan pendapat
21

Suami-istri saling menghargai dan


5
menyayangi
Ketahanan Sosial – Budaya (KSB)
Apakah anggota keluarga
berpartisipasi dalam kegiatan sosial
Anggota keluarga berpartisipasi dalam
1 seperti pengajian, posyandu, kerjabakti,
kegiatan sosial kemasyarakatan
kematian, kelahiran. Ronda, kesenian,
penyuluhan, pelatihan?
Apakah anggota keluarga memberi
Anggota keluarga merawat/peduli
2 perhatian dan merawat orangtua
kepada orangtua lansia
lanjut usia di atas 60 tahun?
Anggota keluarga berkomunikasi dengan
3
baik, termasuk dengan keluarga besarnya
Suami dan/atau istri melakukan kegiatan Apakah anggota keluarga melakukan
4
agama secara rutin kegiatan agama secara rutin ?
Kemitraan Gender (KG)
Ayah mengalokasikan waktu bersama Apakah Ayah menyisihkan waktu
1
anak khusus bersama anak?
Apakah Ibu menyisihkan waktu khusus
2 Ibu mengalokasikan waktu bersama anak
bersama anak?
3 Ayah dan Ibu berbagi peran dengan baik
Apakah Suami dan Istri bersama-sama
Pengelolaan keuangan dilakukan
4 mengelola secara terbuka keuangan
bersama suami dan istri secara transparan
keluarga?
Suami dan istri merencanakan bersama Apakah Suami dan Istri merencanakan
5 jumlah anak yang diinginkan atau alat bersama jumlah anak yang diinginkan
kontrasepsi atau alat kontrasepsi yang dipakai?

Uji Validitas dan Reliabilitas Indikator Ketahanan Keluarga. Berikut


adalah hasil uji reliabilitas dan validitas indikator ketahanan keluarga
yang dinyatakan dalam laporan kajian Bappenas Tahun 2016
mengenai Pembangunan Keluarga:

1. Tahun 2014 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan


Perlindungan Anak (KPPPA) bekerjasama dengan Pusat Kajian
Gender dan Anak (PKGA) IPB melakukan uji coba terbatas
terhadap indikator ketahanan keluarga pada keluarga yang
terdiri atas suami, istri, dan anak-anak yang tinggal di Kota Bogor
sebanyak 17 keluarga (12,9%) dan keluarga yang tinggal di
Kabupaten Bogor sebanyak 115 keluarga (87,1%) dengan total
jumlah keluarga sebanyak 132 keluarga. Metode pemilihan contoh
keluarga dipilih secara purposif. Pengambilan data dilakukan
pada bulan Oktober sampai November 2013. Pengujian indikator
ketahanan keluarga versi-1 yang berjumlah 30 indikator
berdasarkan 6 faktor didapatkan hasil communality, bahwa
proporsi variance dari variabel ketahanan keluarga dijelaskan
sebesar 52,8 persen. Berdasarkan uji Reliabilitas dari 30 indikator
ketahanan keluarga versi-1 didapatkan nilai Cronbach’s Alpha
adalah 0,737. Berdasarkan uji Content Validity didapatkan hasil
berkisar antara 0,060 sampai 0,589**.

2. Selanjutnya dilakukan pengujian indikator ketahanan keluarga


versi-2 yang berjumlah 23 indikator berdasarkan 6 faktor
22

didapatkan hasil communality, bahwa proporsi variance dari


variabel ketahanan keluarga dijelaskan sebesar 61,1 persen.
Berdasarkan uji reliabilitas dari 30 indikator ketahanan keluarga
versi-2 didapatkan nilai Cronbach’s Alpha adalah 0,762.
Berdasarkan uji Content Validity didapatkan hasil berkisar antara
0,154 sampai 0,635**. Berdasarkan pengujian indikator ketahanan
keluarga tahap awal disimpulkan bahwa indikator ketahanan
keluarga versi-2 yang terdiri atas 23 indikator adalah lebih baik
dibandingkan dengan indikator ketahanan keluarga versi-1 yang
terdiri atas 30 indikator. Ketahanan keluarga versi-2 (23 indikator)
terdiri atas komponen-komponen dan indikator-indikator sebagai
berikut:
1) Legalitas dan Struktur Keluarga (LS) berjumlah 3 indikator,
2) Ketahanan Fisik (KF) berjumlah 4 indikator,
3) Ketahanan Ekonomi (KE) berjumlah 4 indikator,
4) Ketahanan Sosial Psikologi (KSP) berjumlah 5 indikator,
5) Ketahanan Sosial Budaya (KSB) berjumlah 2 indikator,
6) Kemitraan Gender (KG) berjumlah 5 indikator.

3. Tahun 2015 dilakukan pengujian validasi indikator ketahanan


keluarga pada 5 titik lokasi di provinsi Jawa Barat, terdiri atas
Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon,
dan Kota Tasikmalaya sebanyak 35 keluarga per kabupaten/kota
dengan jumlah sebanyak 175 keluarga. Metode pemilihan contoh
keluarga dipilih secara purposif. Hasil uji reliabilitas terhadap item
pernyataan indikator ketahanan keluarga menunjukkan bahwa
nilai alfa cronbach adalah 0,720. Hal ini menunjukkan indikator
ketahanan keluarga sudah reliabel, yang berarti indikator
ketahanan keluarga dapat memberikan hasil yang konsisten pada
pengukuran yang berulang-ulang. Secara umum aspek dari
ketahanan keluarga memiliki nilai alfa cronbach yang reliabel.
Rata-rata indeks ketahanan keluarga adalah 79.31.

4. Tahun 2015 juga dilakukan uji validasi indikator ketahanan


keluarga di 3 Kecamatan di Kabupaten Bogor yang dipilih
berdasarkan rekomendasi dari BPPKB dengan
mempertimbangkan keterwakilan wilayah di Kabupaten Bogor.
Masing-masing kecamatan diambil sebanyak 340 keluarga,
sehingga jumlah total sebanyak 1.020 keluarga. Metode pemilihan
contoh keluarga dipilih secara sensus di kluster tempat tinggal
suatu wilayah RW. Instrumen Indikator Ketahanan Keluarga yang
di tes terdiri atas 30 indikator (5 komponen). Komponen-kompnen
tersebut di antaranya yaitu (1) Legalitas dan Struktur (LS)
sebanyak 3 indikator; (2) Komponen Ketahanan Fisik (KF)
23

sebanyak 5 indikator; (3) Ketahanan Ekonomi (KE) sebanyak 6


indikator dan; Ketahanan Sosial Psikologi (KSP) sejumlah 7
indikator. Secara umum uji kekonsistenan alat ukur atau
reliabilitas indikator ketahanan keluarga (N=1.020) adalah cukup
reliabel dengan Cronbach Alpha 0.659 pada ketiga lokasi
penelitian. Selanjutnya, secara umum uji keabsahan alat ukur
atau validitas indikator ketahanan keluarga (N=1.020) adalah
cukup valid dengan kisaran 0. 231 sampai 0.864 pada ketiga
lokasi penelitian.

PENGEMBANGAN MODEL OPERASIONAL PENDATAAN KETAHANAN KELUARGA

Pengembangan model operasional pendataan ketahanan keluarga


diawali oleh kegiatan pelatihan sumberdaya manusia pengumpul
data untuk kegiatan pengumpulan data dan pelatihan untuk
pelaksana input, pengolahan dan analisis data.

1. Pengumpulan Data.

Pengembangan model operasional pertama kali dilaksanakan


dengan mengadakan pengumpulan data. Tahapan ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman tentang indikator ketahanan
keluarga dan proses pengumpulan data sehingga dapat
melaksanakan pengumpulan data di tingkat desa atau kelurahan.
Tahapan ini menggunakan metode pelatihan selama 2 hari dengan
total 12 jam. Sasaran pelatihan ini adalah petugas desa atau
kelurahan, petugas kecamatan, dan pemerintah daerah kabupaten
atau kota (SKPD) dengan tujuan umum yaitu tercapainya
keterampilan aparat pemerintah daerah kabupaten/kota untuk
entry, editing, checking, dan cleaning data terkait dengan indikator
ketahanan keluarga di tingkat keluarga di desa/kelurahan. Adapun
Tujuan khusus dari pelatihan ini adalah tercapainya keterampilan
pemerintah kabupaten/kota dalam: 1) memahami dan
melaksanakan proses pemberian kode pada indikator (coding of
data), 2) memahami dan melaksanakan proses pemberian skor pada
indikator (scoring of data), 3) memahami dan melaksanakan proses
pemasukan data ke komputer (entry of data), 4) memahami dan
melaksanakan proses pengeditan, pengecekan data dan pembersihan
data (editing, checking and cleaning data). Adapun Langkah-
langkah pada pengumpulan data meliputi:
- Menentukan siapa yang menjadi enumerator. Enumerator
petugas desa/kelurahan yang terdiri atas kombinasi aparat
desa/kelurahan dan tokoh/kader keluarga dengan persyaratan
24

khusus. Enumerator ini akan didampingi oleh petugas kecamatan


pada saat monitoring dan evaluasi.
- Memastikan siapa yang berwenang mengelola data. BPPKB di
Kabupaten/kota bekerjasama dengan SKPD lain bertanggung
jawab sebagai pengelola data sehingga tersusun laporan.
- Memastikan siapa yang bertanggung jawab atas data. BPPKB di
Kabupaten/kota bekerjasama dengan SKPD lain bertanggung
jawab sebagai pengelola data sehingga tersusun laporan.
- Memastikan bagaimana enumerator memilih lokasi pengambilan
data. Metode sampling yang dilakukan adalah metode sensus
keluarga pada lokasi RW terpilih yang direkomendasikan oleh
petugas kecamatan dengan kriteria desa yang banyak
mempunyai penduduk miskin /pra-KS dan KS-1 baik menurut BPS
ataupun BKKBN.
- Tentukan siapa yang akan menjadi responden untuk setiap
keluarga. Pada pengumpulan data ini sampel untuk unit analisis
pada survei pendataan ketahanan keluarga adalah keluarga
dengan 8 tipe keluarga, yaitu :

1) Tipe 1: Keluarga lengkap/utuh terdiri atas suami dan istri;


minimal mempunyai 1 anak yang masih tinggal serumah atau
sekolah di luar rumah; mempunyai orangtua lansia.
2) Tipe 2: Keluarga lengkap/utuh terdiri atas suami dan istri;
tidak punya anak; mempunyai orangtua lansia.
3) Tipe 3: Keluarga lengkap/utuh terdiri atas suami dan istri;
minimal mempunyai 1 anak yang masih tinggal serumah atau
sekolah di luar rumah; tidak mempunyai orangtua lansia.
4) Tipe 4: Keluarga lengkap/utuh terdiri atas suami dan istri;
tidak punya anak; tidak mempunyai orangtua lansia.
5) Tipe 5: Keluarga tunggal terdiri dari suami atau istri; minimal
mempunyai 1 anak yang masih tinggal serumah atau sekolah
di luar rumah; mempunyai orangtua lansia.
6) Tipe 6: Keluarga tunggal terdiri dari suami atau istri; tidak
punya anak; mempunyai orangtua lansia.
7) Tipe 7: Keluarga tunggal terdiri dari suami atau istri; minimal
mempunyai 1 anak yang masih tinggal serumah atau sekolah
di luar rumah; tidak mempunyai orangtua lansia.
8) Tipe 8: Keluarga tunggal terdiri dari suami atau istri; tidak
punya anak; tidak mempunyai orangtua lansia.

Kepada peserta pelatihan diberikan pedoman yang harus dipelajari


dan dipersiapkan sebelum wawancara, juga kit diantaranya
25

pengetahuan dan cara mengatasi mengenai bias dalam


pengumpulan data dan bias yang ditimbulkan oleh enumerator.
Protokol pengisian kuesioner melalui wawancara berisikan 15 langkah
termasuk di dalamnya protocol dalam pengisian tipe keluarga.
Dalam pelatihanpun, peserta diberikan pengetahuan bagaimana
penskoringan indikator ( Ya =1, Tidak =0) dan cara pengkodean
jawaban khususnya untuk pertanyaan yang jawabanya perlu
dilakukan pembalikan kode (komponen ketahanan fisik nomor 2 dan
3, komponen ketahanan ekonomi nomor 8, serta ketahanan sosial-
psikologi nomor 1,2 dan 3). Selain indikator ketahanan keluarga,
dikumpulkan pula data kesejahteraan subyektif keluarga sebanyak
14 soal dengan cara penskoringan yang berbeda dengan indikator
ketahanan keluarga (skor 1-10). Ada beberapa catatan dalam
pengumpulan data indikator ketahanan keluarga terkait tipe
keluarga dan penskoringan, yaitu :

- Keluarga yang tidak punya LANSIA (Tipe 3, 4, 7 dan 8): Maka


pertanyaan nomor 2 pada ketahanan sosial budaya tidak relevan
dijawab maka jumlah indikator untuk keluarga ini hanya ada 29.
dengan asumsi maksimal nilai ketahanan keluarga 29.
- Keluarga yang tidak punya ANAK (Tipe 2, 4, 6 dan 8): Maka ada 7
indikator yang tidak relevan dijawab yaitu komponen legalitas
dan struktur keluarga nomor 2, ketahanan ekonomi nomor 7 dan
8, komponen sosial-psikologis nomor 2 dan 4, serta komponen
kemitraan gender pada nomor 1 dan 2 . Jadi jumlah indikator
untuk keluarga ini hanya 23 yang artinya total maksimal
ketahanan keluarga bernilai 23.
- Keluarga yang tidak punya PASANGAN (Tipe 5, 6, 7 dan 8): Maka
ada 7 indikator tidak relevan dijawab yaitu komponen legalitas
dan struktur nomor 3, komponen sosial psikologi nomor 1 dan 5,
serta seluruh indikator pada komponen kemitraan gender. Jadi
jumlah indikator untuk keluarga ini hanya 23 yang artinya total
nilai ketahanan keluarga adalah 23.

Berdasarkan penjelasan tersebut, terdapat perbedaan/keberagaman


total nilai ketahanan keluarga yang seharusnya memiliki maksimal
skor nilai 30 dari 30 indikator. Pelatihan pengumpulan data
dilengkapi pula dengan penjelasan mengenai pernyataan indikator
ketahanan keluarga beserta keterangan dalam Bahasa akademik
dan Bahasa lapang yang diharapkan untuk dapat menyamakan
persepsi.
26

2. Entry, Editing, Checking dan Cleaning Data

Entry, editing, checking dan cleaning data dilakukan setelah


pengumpulan data selesai oleh enumerator atau petugas
desa/kelurahan. Apabila di pengumpulan data terdapat 3 sasaran
pelatihan, maka di pelatihan kedua ini peserta hanya pemerintah
daerah kabupaten/kota (SKPD). Petugas SKPD bertanggung jawab
terkait data indikator ketahanan keluarga. Lama pelatihan adalah 1
hari selama 6 jam. Pada pelatihan ini, peserta diberikan pengetahuan
mengenai :
- pengecekan kuisioner
- manajemen data yang terdiri dari :
 Persiapan meliputi konsolidasi tim, proposal, kuisioner, dan
buku kode dipersiapkan
 Pelaksanaan meliputi pencatatan kegiatan, pengumpulan
data
 Perlakuan data meliputi entry, coding, editing, checking data,
cleaning data, pengolahan, analisis dan interpretasi data
 pelaporan meliputi penggunaan data dan penulisan
pelaporan
- pelatihan coding kuisioner
- pelatihan entry data
- pelatihan editing data
- pelatihan checking dan cleaning data

3. Pengolahan, Analisis, dan Interpretasi Data

Tahapan selanjutnya adalah pengolahan, analisis dan interpretasi


data. Peserta diharapkan dapat memiliki pemahaman tentang
tahapan pengolahan data, dapat melaksanakan pengolahan data,
dan menganalisis serta menginterpretasikan data ketahanan
keluarga. Sasaran dari pelatihan ini adalah Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (SKPD). Waktu pembelajaran dibagi menjadi dua
yaitu pelatihan pengolahan data (1 hari selama 6 jam) dan
pelatiahan analisis data (1 hari selama 6 jam).

Dalam pengolahan data indikator ketahanan keluarga, terdapat


beberapa indikator yang pernyataannya membutuhkan pembalikan
skoring untuk konsistensi nilai. Pada pelatihan diberikan penjelasan
mengenai hal yang perlu dipahami tentang konsep skoring terbalik
(inverse coded) pada beberapa indikator. Skoring terbalik (inversed
coded) dilakukan apabila ingin menjumlah skor untuk suatu variabel
komposit dengan arah yang sama yaitu semakin tinggi skor semakin
bersifat positif. Seperti temuan dalam pengumpulan data, pada
27

pelatihan ini, dijelaskan mengenai skoring jawaban yang tidak sama


yaitu pada komponen ketahanan fisik nomor 2 dan 3, komponen
ketahanan ekonomi nomor 8, serta ketahanan sosial-psikologi nomor
1,2 dan 3. Pada indikator tersebut, jawaban tidak bernilai 1 dan
jawaban ya bernilai 0. Peserta diminta untuk memperhatikan
adanya 2 arah sifat pertanyaan tersebut dimana dibedakan
pemberian skor ya (ada yang diberi nilai 0 atau 1) begitu pula
jawaban tidak (ada yang diberi nilai 0 atau 1).

Pada pengumpulan data ditemukan bahwa terdapat keberagaman


total nilai ketahanan keluarga pada pembagian 8 (delapan) tipe
keluarga. Keberagaman tersebut diasumsi pembobotan yang sama
pada semua indikator. Cara menyederhanakan pengolahan, maka
tahap yang paling sederhana adalah memberi pembobotan yang
sama pada semua indikator. Artinya semua indikator ketahanan
keluarga adalah sama pentingnya dalam membentuk variabel
komposit yang dinamakan ketahanan keluarga. Hanya jumlah
indikator yang applicable (layak) untuk masing-masing tipe
keluarga berbeda dimana cara perhitungannya yaitu :
- Keluarga tidak punya lansia jumlah indikator hanya 29. Oleh
karena itu bobot setiap pertanyaan adalah: 100/29= 3.448.
- Keluarga yang tidak punya anak jumlah indikator hanya 23. Oleh
karena itu bobot setiap pertanyaan adalah: 100/23= 4.348.
- Keluarga yang tidak punya pasangan jumlah indikator hanya 23.
Oleh karena itu bobot setiap pertanyaan adalah: 100/23 = 4.348.
- Keluarga yang tidak punya pasangan, tidak punya lansia dan
tidak punya anak dimana jumlah total indikator adalah 15,
sehingga bobot per indikator adalah 100/15=6.67. Pembahasan
keberagaman total indikator ini belum muncul pada tahap
pengumpulan data. Indikator yang tidak relevan ada 15 indikator
yaitu yaitu komponen legalitas dan struktur keluarga nomor 2
dan 3, ketahanan ekonomi nomor 7 dan 8, komponen sosial
psikologi nomor 1,2,4, dan 5, nomor 2 pada ketahanan sosial
budaya, serta seluruh indikator pada komponen kemitraan
gender. Belum ada anak yang dimaksud dalam tipe ini adalah
tidak ada anak yang masuk SMP (pertanyaan nomor 14) atau
memang tidak punya anak.
- Pengolahan data untuk klasifikasi ketahanan keluarga :
- Semua indikator dijumlahkan sesuai dengan tipe keluarga.
- Perhatikan pembobotan untuk setiap tipe keluarga berbeda.
28

- Semua jumlah indikator menjadi komposit variabel ketahanan


keluarga berkisar antara 0-100 (menjadi indeks ketahanan
keluarga)

Menghitung indeks ketahanan keluarga dibagi menjadi dua yaitu


indeks untuk tiap komponen dan indeks ketahanan keluarga
berdasarkan tipe keluarga. Perhitungan indeks ini menggunakan
rumus :

(skor aktual-skor minimum)


----------------------------------- x 100%
(skor maksimum-skor minimum)

Dimana skor maksimum disesuaikan dengan jumlah indikator pada


tipe keluarga. Tingkat indeks ketahanan keluarga dikelompokkan
menjadi :
- Ketahanan keluarga kurang baik : ≤ 50 %
- Ketahanan keluarga cukup : 50,1 – 75,0 %
- Ketahanan keluarga baik : ≥ 75,1 %

Berdasarkan contoh di Kecamatan Cibinong, Kecamatan Dramaga,


dan Kecamatan Megamendung indeks ketahanan keluarga paling
terkecil adalah tipe keluarga tunggal terdiri dari suami atau istri;
tidak punya anak; tidak mempunyai orangtua lansia. Total indikator
ketahanan keluarga pada tipe keluarga ini adalah 15 indikator.
Selanjutnya dilakukan analisis data dimana diadakan praktek
membuat tabulasi indeks ketahanan keluarga dan interpretasi data.
Pada pelatihan, peserta diajarkan mengenai SPSS.

4. Penggunaan Data untuk SKPD di Tingkat Kabupaten

Tahapan terakhir adalah pelatihan penggunaan data. Peserta


pelatihan diharapkan dapat mengidentifikasi permasalahan
ketahanan keluarga, kebutuhan keluarga dalam meningkatkan
ketahanan keluarga dan menggunakan data untuk menyusun
program pembangunan yang dilakukan oleh SKPD dalam
peningkatan ketahanan keluarga. Peserta pada pelatihan ini adalah
SKPD, petugas kecamatan, dan petugas desa. Lama pelatihan adalah
1 hari selama 6 jam.
29

CATATAN HASIL ANALISIS


PERUMUSAN INDIKATOR KETAHANAN KELUARGA
OLEH KPPPA

KEDUDUKAN DAN TUJUAN INDIKATOR KETAHANAN KELUARGA

Undang Undang No 52 Tahun 2009 mengamanatkan pembangunan


keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga (Pasal 47 ayat 1). Dengan demikian kinerja pembangunan
keluarga ditunjukkan oleh peningkatan ketahanan keluarga dan
kinerja pemberdayaan keluarga. Oleh karenanya diperlukan
indikator ketahanan keluarga sebagai instrument kinerja
pembangunan keluarga. Setelah sekian lama pembangunan
ketahanan keluarga dilakukan, belum ada instrument yang
mengukur ketahanan keluarga sebagai hasil dari program
pembangunan. Baru pada Tahun 2014-2017 Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merumuskan
Rintisan Indikator Ketahanan Keluarga.

Undang-Undang No 52/ Tahun 007 memberikan mandat


diantaranya kepada BKKBN untuk pembangunan keluarga, dan
BKKBN telah melakukan amanat tersebut sesuai PP No 87/2014
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga,
Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga. Perpres tentang
BKKBN menetapkan setingkat kedeputian untuk melakukan
pembangunan Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga.
Dengan demikian BKKBN lebih berkepentingan dalam perumusan
Indikator Ketahanan Keluarga, mengingat telah melaksanakan
pembangunan keluarga dalam beberapa dekade. Sayangnya sampai
saat ini BKKBN belum mengembangkan indikator ketahanan
keluarga, dan baru melakukan perintisan awal perumusan indikator
ketahanan keluarga.

Indikator ketahanan keluarga telah dikembangkan oleh Sunarti


(2001) untuk kepentingan pengembangan keilmuan, pengabdian
kepada masyarakat, dan penyediaan bahan rekomendasi dan
advokasi pembangunan ketahanan keluarga kepada para
pengambil kebijakan dan penetapan program terkait. Berdasarkan
kajian berbagai literature, definisi operasional yang dikembangkan
dalam perumusan indikator adalah menggunakan pendekatan sistem
(input, proses, output), sehingga Sunarti (2001) mendefinisikan
ketahanan keluarga sebagai kemampuan keluarga dalam mengelola
30

sumberdaya keluarga dan masalah yang dihadapi serta


menanggulanginya, untuk mencapai keluarga sejahtera. Hasil kajian
yang dilakukan pada 1999-2001, menghasilkan tiga ketahanan laten
ketahanan keluarga yaitu ketahanan fisik-ekonomi, ketahanan social,
dan ketahanan psikologis. Kesejahteraan keluarga merupakan
bagian sekaligus output ketahanan keluarga. Indikator tersebut telah
digunakan dalam berbagai kajian sejak 2001 sampai sekarang ini.

Tujuan indikator dirumuskan akan membawa kepada ketatnya


prasyarat penetapan atau pemilihan indikator. Indikator ketahanan
keluarga terkait kinerja pembangunan, hendaknya memperhatikan
bukan hanya validitas-reliabilitas ukuran yang dikembangkan,
namun juga memperhatikan sensitivitas dan spesifitas indikatornya.
Hal tersebut menuntut penyediaan data dan informasi yang
dihasilkan dari serial kajian yang dapat menunjukkan mana indikator
yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dan baik.
Perumusan indikator hendaknya mempertimbangkan beberapa hal
yaitu: (1) konsep dasar ukuran dan Indikator , (2) syarat perumusan
ukuran / Indikator (3) tujuan dirumuskannya ukuran / Indikator, dan
(4) pertimbangan strategis lain. Bagaimana factor tersebut dipenuhi
dalam perumusan Rintisan Indikator Ketahanan Keluarga (R-IKK)
oleh KPPPA ?

TEORI DAN LINGKUP KETAHANAN KELUARGA

Lingkup rumusan indikator ketahanan keluarga sangat terkait


dengan pemaknaan ketahanan keluarga yang ditunjukkan oleh
grand theory, derivative theory (middle range theory) yang diacu
atau digunakan, serta diterjemahkan dalam definisi operasional yang
digunakan untuk perumusan R-IKK. Terkait hal tersebut, Grand
theory dan middle range theory apa yang digunakan dalam
perumusan R-IKK ? Buku Pembangunan Ketahanan Keluarga Tahun
2016 melaporkan beberapa teori keluarga dan ketahanan keluarga
yang telah dikembangkan, namun tidak menyertakan dasar
bagaimana munculnya 5 pilar ketahanan keluarga yang dijadikan
acuan Permen PPPA No 06 Tahun 2013. Sementara itu penulis tidak
memperoleh akses terhadap dokumen Naskah Akademik Perumusan
Permen PP dan PA mengenai Pelaksanaan Pembangunan Keluarga
yang memuat landasan dirumuskannya lima (5) komponen atau
factor ketahanan keluarga.

Terdapat perbedaan lingkup ketahanan keluarga yang ditunjukkan


oleh perbedaan definisi ketahanan keluarga dalam Undang Undang
No 52 Tahun 2009 dengan definisi ketahanan keluarga dalam
31

Permen PPPA No 06 Tahun 2013. Perbedaannya terletak pada


hilangnya kata “dinamis” pada kata kondisi keluarga, yang menjadi
pembeda lingkup ketahanan keluarga. Sementara Sunarti pada
Tahun 1997-2001 mengembangkan perumusan indikator ketahanan
keluarga dengan mengacu definisi ketahanan keluarga dalam UU No
10 Tahun 1992 yang menekankan keluarga pada “kondisi dinamis
keluarga, dst” sehingga menggunakan pendekatan system (input,
proses, dan output) dan kemudian merumuskan tiga komponen laten
ketahanan keluarga yaitu ketahanan fisik (sebagai cermin ketahanan
ekonomi), ketahanan social, dan ketahanan psikologis.

VALIDITAS INDIKATOR KETAHANAN KELUARGA

Indikator merupakan alat untuk menyampaikan informasi secara


menyeluruh melalui cara yang berbeda-beda (angka, grafik, dll) dari
suatu fenomena kompleks yang memiliki arti luas (Fusco, 2002).
Secara sederhana indikator adalah sesuatu yang bisa membantu
seseorang untuk memahami posisi dan kedudukan saat ini, arah yang
akan dituju, dan berapa jauh dapat melakukan perbaikan, serta
berapa lama untuk mencapai arah yang akan dituju. Indikator
adalah alat bantu untuk menunjukkan indikasi tertentu, yang
dilakukan dengan mengukur fenomena dengan suatu alat ukur. Oleh
karenanya pembahasan mengenai indikator terkait erat dengan
pembahasan mengenai pengukuran. Pengukuran dapat diartikan
sebagai pemberian nilai terhadap aspek, objek, atau kejadian melalui
suatu aturan tertentu (Stevens, 1968 dirujuk Pedhazur & Schmelkin, ,
1991; Kerlinger, 1986; Goude, 1962 dirujuk Amstrong, White, & Saracci,
1994), menghubungkan konsep (yang biasanya bersifat abstrak)
dengan realitas (Singarimbun dan Effendi, 1985) dan bertujuan untuk
kategorisasi atau klasifikasi (Goude, 1962 dirujuk Amstrong, White,
dan Saracci, 1994).

Pengukuran merupakan bagian dari aktivitas keseharian dan hampir


meliputi setiap sisi kehidupan manusia. Contoh yang dapat
ditunjukkan diantaranya seperti pengukuran berat badan, tinggi
badan, suhu, jarak, waktu, tekanan darah, produktivitas, dan prestasi.
Secara umum pengukuran dapat diartikan sebagai pemberian nilai
terhadap aspek, objek, atau kejadian melalui suatu aturan tertentu
(Stevens, 1968 dirujuk Pedhazur & Schmelkin, , 1991; Kerlinger, 1986;
Singarimbun & effendi, 1985; Goude, 1962 dirujuk Amstrong, White, &
Saracci, 1994), dan bertujuan untuk kategorisasi atau klasifikasi
(Goude, 1962 dirujuk Amstrong, White, dan Saracci, 1994).
32

Terdapat dua jenis ukuran yaitu Indeks dan skala. Indeks dan skala
merupakan gabungan untuk suatu variabel. Skala dapat
memberikan informasi yang lebih lengkap dan memiliki struktur
intensitas, sehingga dipandang memiliki kualitas yang lebih baik dari
indeks (Singarimbun dan Effendi, 1985). Beberapa karakteristik
pengukuran adalah (Azwar, 1999); 1) merupakan pembandingan
antara atribut yang diukur dengan alat ukurnya, 2) hasilnya
dinyatakan secara kuantitatif, 3) hasilnya bersifat deskriptif. Menurut
Singarimbun dan Effendi (1985), dalam penelitian terdapat empat
aktivitas pokok proses pengukuran yaitu: 1) penentuan dimensi
variabel penelitian, 2) perumusan ukuran masing-masing dimensi, 3)
Penentuan tingkat ukuran yang akan digunakan (apakah nominal,
ordinal, interval, atau rasio), dan 4) menguji tingkat validitas dan
reliabilitas dari alat ukur. Tahap penyusunan ukuran / indikator terdiri
atas: 1) perumusan konsep, 2) perumusan definisi Operasional, 3)
penentuan peubah, 4) penetapan skala dan sistem skoring, 4)
pengujian kesahihan dan keterandalan alat ukur. Sedangkan tahap
penyusunan indeks meliputi : 1) menyeleksi pertanyaan, 2) melihat
hubungan bivariate maupun multivariate dari pertanyaan (items)
yang hendak dimasukkan karena secara teoritis pertanyaan yang
mengukur suatu variabel harus berhubungan satu sama lain, 3)
menentukan skor, 4) penetapan cara penghitungan. Penyusunan
skala dapat dilakukan melalui beberapa metode seperti metode
bogardus, metode thurstone, metode Guttman atau Skalogram, atau
metode perbedaan semantik.

Terdapat dua hal utama yang perlu mendapat perhatian dalam


pengukuran yaitu menyangkut reliabilitas dan validitas alat ukur
(Kerlinger, 1986). Reliabilitas berkaitan dengan sifat suatu alat ukur,
sedangkan validitas berkaitan dengan isi dan kegunaan suatu alat
ukur (Singarimbun & Effendi, 1985). Hubungan antara reliabilitas dan
validitas ukuran dapat dinyatakan bahwa: suatu ukuran yang valid
pasti reliabel; suatu ukuran tidak valid jika tidak reliabel; dan suatu
ukuran yang reliabel belum tentu selalu valid (Pedhazur & Schmelkin,
1991).

Reliabilitas suatu alat ukur berkaitan dengan aspek kemantapan


(dapat diandalkan dan hasilnya dapat diramalkan), aspek ketepatan
(Isaac & Michael, 1990), dan aspek homogenitas (Kerlinger, 1986;
Singarimbun & Effendi, 1985). Reliabilitas suatu alat ukur berkaitan
dengan aspek kemantapan yaitu dapat diandalkan dan hasilnya
dapat diramalkan, aspek ketepatan (Isaac & Michael, 1990), dan
aspek homogenitas (Kerlinger, 1986; Singarimbun & Effendi, 1985).
Penghitungan indeks reliabilitas suatu alat ukur dapat dilakukan
33

dengan metode ulang (test-retest), metode belah dua (split-half)


(Kidder, 1981), dan metode paralel (Singarimbun & effendi, 1985).
Sedangkan menurut Amstrong, White, dan Saracci (1994), dua cara
utama mengukur reliabilitas dilakukan melalui intramethod reliability,
dan intermethod reliability. Intramethod terhadap instrumen
dilakukan melalui tes ulang, sedangkan terhadap pengukur
dilakukan melalui tes antar-pengukur (inter-rater reliability).

Validitas merupakan masalah penting dalam pengukuran. Suatu


ukuran dikatakan valid jika mengukur apa yang seharusnya diukur.
Oleh karenanya sangat berkaitan dengan konsep dan definisi.
Validitas menjadi sangat penting terutama pada penelitian bidang
sosial, yang mengukur konsep-konsep yang abstrak. Validitas adalah
ketepatan suatu pengukuran dalam mencerminkan konsep dan
kriteria tentang apa yang diukur (Hardinsyah, 1997). Berkaitan
dengan tujuan pengukuran, terdapat tiga jenis validitas yaitu: content
validity, criterion related validity, dan construct validity (Kerlinger, 1986;
Isaac & Michael, 1990; Pedhazur & Schmelkin, 1991). Ketiga jenis
validitas tersebut bisa saling melengkapi dan atau saling
menggantikan:

1. Validitas Isi (Content validity). Validitas isi mengacu kepada


beberapa dimensi keilmuan seperti bidang sosial, perbendaharaan
bahasa, dan sebagainya (Pedhazur & Schmelkin, 1991). Evaluasi
validitas isi bisa dilakukan dengan menilai kecukupan definisi dari
suatu konsep, apabila isi dari suatu ukuran dianggap mewakili isi
dari yang diukur (Isaac & Michael, 1990).
2. Validitas standar (Criterion related validity). Validitas standar
mengacu kepada beberapa hasil, dan ditunjukkan dengan
membandingkan dan membuat korelasi antara skor hasil suatu
tes dengan suatu pengukuran standar. Validitas standar yang
berfungsi untuk prediksi ke masa depan atau prediksi kejadian
masa lalu disebut validitas prediksi (predictive validity), sedangkan
concurrent validity tidak dimaksudkan untuk prediksi atau
penilaian status masa kini (Isaac & Michael, 1990).
3. Validitas konstrak (construct validity). Pengertian konstrak hampir
sama dengan konsep yaitu abstraksi atau generalisasi dari hal-hal
yang bersifat khusus atau pengamatan-pengamatan lepas (Kidder,
1981; Singarimbun & Effendi, 1985). Perbedaanya, konstrak
memiliki pengertian terbatas, karena dibuat khusus untuk
keperluan ilmiah dengan dimasukkan kedalam suatu kerangka
teori yang menjelaskan hubungannya dengan konstrak-konstrak
yang lain, serta diberi definisi sehingga dapat diamati dan diukur.
Validitas kostrak menyangkut isi dan makna dari suatu konsep
34

dan dari alat ukur yang digunakan untuk mengukur konsep


tersebut.

Hal penting yang membedakan validitas konstrak dari validitas


lainnya adalah keterikatannya dengan teori dan bukti ilmiah yang
dibutuhkan dalam analisis hipotesis. Menurut Cronbach, validasi
konstrak menyangkut tiga bagian yaitu: 1) dukungan terhadap
konstrak yang digunakan, 2) hipotesis dari teori yang terlibat dalam
konstrak, dan 3) analisis hipotesis secara empirik (Kerlinger, 1986).
Metode validasi konstrak dapat dilakukan dengan analisis faktor dan
multitrait-multimethod (Kidder, 1981; Kerlinger, 1986, Pedhazur &
Schmelkin, 1991).

Beberapa hubungan yang lebih spesifik antara reliabilitas dan


validitas dijelaskan Isaac dan Michael (1990) sebagai berikut : 1)
Validitas prediksi (predictive validity) jauh lebih penting dibandingkan
reliabilitas, pada suatu tes yang bertujuan untuk memprediksi suatu
kriteria tertentu. Jika validitas prediksi cukup memuaskan, reliabilitas
yang rendah bukan merupakan masalah serius; 2) pada pengukuran
yang dilakukan dengan dua alat ukur, alat ukur yang memiliki
reliabilitas lebih tinggi juga akan memiliki koefisien validitas lebih
tinggi.

Penentuan indikator dapat juga dilakukan dengan menggunakan


pendekatan tahapan atau proses sebuah program dialankan,
sehingga diperoleh indikator: 1) Indikator Input yang dapat menilai
aspek yang berkaitan dengan sumber atau modal baik berupa dana,
sarana, tenaga (“resources”); 2) Indikator process, menilai suatu proses
pelaksanaan program atau kegiatan (“actions”); 3) Indikator output
yang dapat menunjukkan cakupan yang diperoleh dalam jangka
waktu tertentu (“coverage”); 4) Indikator outcome yang dapat
menilai hasil yang lebih jauh yang ingin dicapai dalam waktu yang
lebih panjang, biasanya aspek ini dalam suatu program pelayanan
masyarakat adalah pencapaian kepuasaan klien (“client
satisfaction”); dan 5) Indikator Dampak yang dapat menilai hasil
akhir atau dampak yang diharapkan suatu program yang hanya
dapat diukur pada jangka waktu yang cukup lama, dan aspek ini
merupakan dampak secara nasional (“national goal”).

Berdasarkan kajian literatur mengenai pentingnya validitas dalam


pengembangan ukuran dan indikator, maka menilai keterandalan
indikator adalah dengan menelusur pembangunan struktur alat ukur
dan content validity nya. Content validity Rintisan Indikator
Ketahanan Keluarga yang dirumuskan KPPPA sejatinya dapat
35

ditelusur dari kajian yang terdokumentasikan dalam Naskah


Akademik perumusan Permen PP dan PA No 06 Tahun 2013 yang
menetapkan bahwa komponen atau factor ketahanan keluarga
terdiri atas lima yaitu : 1) legalitas dan struktur, 2) ketahanan Fisik, 3)
Ketahanan Ekonomi, 4) Ketahanan Sosial Budaya, dan 5) Ketahanan
Sosial Psikologis.

Kajian apa saja yang digunakan sebagai acuan, metode apa yang
digunakan, dan bagaimana proses justifikasi munculnya 5 komponen
ketahanan keluarga yang digunakan sebagai landasan perumusan
indikatornya? Penelaahan hal tersebut sangat penting bagi berbagai
pihak yang terlibat dalam kajian dan pembangunan ketahanan
keluarga untuk menilai dan memutuskan persetujuan tehadap
komponen yang ditetapkan.

Mengingat naskah akademik tersebut tidak dapat diperoleh, maka


salah satu pendekatan analisis content validity nya dilakukan melalui
definisi operasional per komponen tersebut dan turunan indikatornya,
yaitu :

1. Legalitas dan Struktur (LS). Komponen ini meliputi dua hal yaitu
legalitas dan struktur. Legalitas dibagi menjadi dua yaitu legalitas
perkawinan dan legalitas kelahiran. Definisi operasional legalitas
didapatkan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Undang-Undang no. 23 Tahun 2002 pasal 5 yaitu pencatatan
yang menjadi alat bukti yang sah. Legalitas perkawinan berupa
buku nikah istri dan buku nikah suami. Legalitas kelahiran
ditegaskan pada pasal 27 ayat (2) berupa akte kelahiran.
Komponen ini dibagi menjadi 3 (tiga) indikator, yaitu :

1) Adakah legalitas perkawinan suami-istri yang ditunjukkan


dengan buku nikah?
2) Adakah legalitas anak yang ditunjukkan dengan akte
kelahiran ?
3) Adakah keutuhan keluarga yang ditunjukkan dengan tinggal
bersama dalam ikatan keluarga (suami,istri, dengan atau
tanpa anak)?

Pada katalog buku Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016


yang disusun oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dan BPS, komponen Legalitas dan Struktur
(LS) berganti istilah menjadi Legalitas dan Keutuhan Keluarga.
Istilah tersebut menjadi sama dengan istilah komponen
ketahanan keluarga pada Permen no. 6 Tahun 2013 pasal 3.
36

Dalam buku yang sama didapatkan penjabaran pula bahwa


komponen ini dibagi menjadi 7 (tujuh) indikator. Penambahan
tersebut merupakan tambahan indikator yang terdapat pada
komponen kemitraan gender.

Pada dokumen Pedoman Pemanfaatan Data Ketahanan


Keluarga untuk Intervensi Program Kegiatan Pembangunan
Keluarga tahun 2017 yang disusun oleh KPPPA didapatkan
bahwa istilah komponen ini berubah kembali menjadi Legalitas
dan Struktur dengan 3 (tiga) indikator yang sama seperti
pembahasan sebelumnya .

2. Ketahanan Fisik (KF) menggunakan definisi operasional komponen


ketahanan fisik yang dirumuskan Sunarti (2001) yaitu
terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
pendidikan, dan kesehatan. Komponen ini terdiri dari 4 (empat)
indikator yang hanya mengalami perubahan struktur kalimat
pada pengembangan indikator, diantaranya adalah:
1) Makanan lengkap minimal dua kali sehari untuk semua
anggota keluarga
2) Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit
akut/kronis atau cacat ?
3) Adakah anggota keluarga yang menderita masalah gizi ?
4) Rumah yang ditempati memiliki ruang tidur terpisah/ada
sekat antara orang tua dan anak

2. Ketahanan Ekonomi dipahami sebagai kemampuan materil


keluarga dalam mengatasi permasalahan ekonomi berdasarkan
sumberdaya yang mereka miliki. Ketahanan ekonomi ini dibagi
menjadi empat peubah, antara lain tempat tinggal, pendapatan
keluarga, pembiayaan pendidikan anak, dan jaminan keuangan
keluarga. Komponen ketahanan ekonomi ini dijabarkan menjadi
9 (Sembilan) indikator, diantaranya :

1) Kepemilikan rumah
2) kepemilikan penghasilan tetap per bulan minimal UMR bagi
suami atau istri
3) kepemilikan pekerjaan tetap dengan pendapatan berapa saja
bagi suami atau istri
4) Kepemilikan tabungan dalam bentuk uang minimal sebesar 3
kali UMR dari suami atau istri
5) Kepemilikan asuransi kesehatan bagi minimal satu anggota
keluarga
6) Kemampuan membayar pengeluaran untuk kebutuhan listrik
37

7) Kemampuan membayar pengeluaran untuk pendidikan anak


minimal hingga tingkat SMP
8) Keberadaan anak yang Drop Out dari sekolah
9) Pemenuhan pendidikan minimal SMP bagi anggota keluarga
berusia 15 tahun ke atas \

Pada pengembangan indikator terakhir, komponen ketahanan


ekonomi ini mengalami pengurangan menjadi 7 (tujuh) indikator.
Indikator yang dihilangkan adalah indikator nomor 3 dan 9.
Demikian pula terdapat pergantian penjelasan indikator pada
nomor 2, 4, 5 dan 7, yaitu menjadi :

a) Indikator nomor 2; apakah suami dan/atau Istri mempunyai


penghasilan tetap per bulan sebesar Rp 250.000 per orang
per bulan?
b) Indikator nomor 4; apakah suami dan/atau Istri mempunyai
tabungan dalam bentuk uang minimal sebesar Rp 500 000?
c) Indikator nomor 5: apakah anggota keluarga memiliki
asuransi kesehatan (atau BPJS) atau lainnya, minimal 1 orang?
d) Indikator 7; apakah keluarga pernah menunggak membayar
iuran atau keperluan pendidikan anak?

4. Ketahanan Sosial-Psikologi dijabarkan sebagai kemampuan


menanggulangi berbagai masalah non-fisik seperti pengendalian
emosi secara positif, konsep diri positif (termasuk terhadap
harapan dan kepuasan (kepedulian suami terhadap istri dan
kepuasan terhadap keharmonisan keluarga. Definisi tersebut
diambil dari definisi Sunarti (2001) diacu oleh Puspitawati (2015).
Komponen ketahanan sosial-psikologi ini terdiri dari 5 (lima)
indikator, yaitu :

1) Adakah terjadi kekerasan antar suami-istri?


2) Adakah terjadi kekerasan antar orangtua-anak?
3) Adakah anggota keluarga yang terlibat masalah pelanggaran
hukum?
4) Anak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat
5) Suami-istri saling menghargai dan menyayangi

Pada pengembangan Indikator, komponen ketahanan sosial-


psikologi mengalami pengurangan indikator menjadi 4 (empat)
indikator. Indikator yang dihilangkan adalah indikator nomor 4
dan 5.
38

6. Ketahanan Sosial-Budaya. Dimensi yang menggambarkan tingkat


ketahanan keluarga dilihat dari sudut pandang hubungan
keluarga terhadap lingkungan sosial sekitarnya.Komponen
ketahanan sosial-budaya terdiri dari 4 (empat) indikator, yaitu ;

a. Anggota keluarga berpartisipasi dalam kegiatan sosial


kemasyarakatan
b. Anggota keluarga merawat/peduli kepada orangtua lansia
c. Anggota keluarga berkomunikasi dengan baik, termasuk
dengan keluarga besarnya
d. Suami dan/atau istri melakukan kegiatan agama secara rutin

Pada perkembangannya, komponen ketahanan sosial-budaya


mengalami pengurangan indikator menjadi hanya 3 (tiga)
indikator saja. Indikator yang dihilangkan adalah indikator
nomor 3 (tiga).

7. Kemitraan Gender merupakan kerjasama secara setara dan


berkeadilan antara suami danistri serta anak-anak, baik anak
laki-laki maupun anak perempuan, dalam melakukan semua
fungsi keluarga melalui pembagian pekerjaan dan peran, baik
peran public, domestic mapun sosial kemasyarakatan . Komponen
kemitraan gender terdiri dari 5 (lima) indikator, yaitu :

1) Ayah mengalokasikan waktu bersama anak


2) Ibu mengalokasikan waktu bersama anak
3) Ayah dan Ibu berbagi peran dengan baik
4) Pengelolaan keuangan dilakukan bersama suami dan istri
secara transparan
5) Suami dan istri merencanakan bersama jumlah anak yang
diinginkan atau alat kontrasepsi

Pada pengembangan indikator terakhir, komponen kemitraan


gender mengalami pengurangan indikator menjadi 4 (empat)
indikator. Indikator yang dihilangkan adalah indikator nomor 3
(tiga).

Berikut adalah beberapa catatan terkait validitas ukuran ketahanan


keluarga yang dikembangkan KPPPA:

1. Penelusuran terhadap dokumentasi perumusan R-IKK membawa


kepada dugaan kurang ajegnya penetapan content validity
(validitas isi) yang berdampak terhadap keseluruhan R-IKK.
Memperhatikan 5 komponen ketahanan keluarga, terdapat
39

kemiripan dengan komponen laten ketahanan keluarga yang


dikembangkan Sunarti (2001), sementara BPS dan KPPPA (2016)
dalam Buku Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016
menggunakan hasil kajian Sunarti (2001) sebagai acuan. Hasil
kajian tersebut telah mengalami penyesuaian dan perubahan
sehingga digunakan pada sebagian konsep dan tidak digunakan
pada bagian lainnya. Beberapa perubahan tersebut diantaranya
adalah :
 R-IKK memisahkan Ketahanan Ekonomi dan Ketahanan Fisik,
padahal hasil kajian Sunarti (2001) menunjukkan melalui
confirmatory factor analysis dan SEM (structural equation
modelling), ketahanan fisik juga menunjukkan ketahanan
ekonomi. Dua komponen tersebut sesungguhnya mengukur
hal yang sama, walaupun dilabel ketahanan fisik, namun di
dalamnya merupakan pengejawantahan dari ketahanan
ekonomi;
 Konsekuensi lebih jauh dari penggunaan dua komponen
ketahanan fisik dan ketahanan ekonomi, walaupun
ditunjukan oleh indicator yang berbeda, namun pada
dasarnya mengukur kemampuan yang “sama” adalah
berkaitan dengan berkurangnya peluang penggunaan
indicator ketahanan keluarga lainnya yang penting untuk
diukur.
 R-IKK melabel ketahanan social budaya dan social psikologis,
sementara Sunarti (2001) memisahkan keduanya menjadi
ketahanan social dan ketahanan psikologis. Penggunaan label
“social” pada dua komponen ketahanan keluarga (social
budaya dan social psikologis) menunjukkan bahwa pada dua
komponen tersebut terdapat content yang sama yaitu aspek
social. Padahal prinsip dalam pembangkitan komponen
hendaknya antara satu komponen dengan komponen lainnya
diupayakan mengukur dan meliputi hal yang berbeda, walau
masih terdapat keterkaitan antara komponen tersebut;

 Merujuk kepada lingkup dan turunan dari komponen social


budaya menunjukkan ruang lingkupnya dan indikatornya
kurang representatif mencerminkan label komponen tersebut.
Label budaya pada komponen tersebut dikaitkan hanya
terhadap keeratan social, padahal budaya memiliki lingkup
yang lebih luas dari keeratan social;

 Catatan lainnya terkait proporsionalitas dan representasi


indikator. Indikator nomor 4 sampai nomor 14 mengukur
40

masalah fisik-ekonomi yang mencerminkan masalah ekonomi.


Sementara itu kemitraan gender diwakili oleh 3 hal
(penyediaan waktu mengasuh anak, keuangan keluarga, dan
jumlah anak) yang diterjemahkan secara kurang konsisten
dalam empat item.

 Menganalisis struktur komponen R-IKK menunjukkan bahwa


secara umum R-IKK yang dikembangkan KPPPA mengacu
pada pengembangan indicator ketahanan keluarga yang
dilakukan Sunarti (2001), namun tidak menggunakan dasar
pertimbangan serta hasil kajian Sunarti (2001) secara
memadai.

 Tim Kajian Pembangunan Keluarga yang dilakukan


Bappenas Tahun 2016 menyandarkan kepada Sunarti (2001)
sebagai acuan konsep dasar ketahanan keluarga, namun
melalui dua cara yaitu dengan merujuk langsung dan dengan
merujuk secara tidak langsung (melalui tulisan lain) dokumen
kajian Sunarti (2001). Hal tersebut menunjukkan terdapat
potensi dimana tim perumus KPPPA dan Bappenas tidak
mengakses langsung dasar pembangunan content dan
construct validity ketahanan keluarga yang telah
dikembangkan Sunarti (2001).

2. Mempertimbangkan kedudukan dan tujuan perumusannya,


Indikator pembangunan merupakan indikator tingkat tinggi yang
dihasilkan dari serangkaian penelitian dan kajian ilmiah. Indikator
pembangunan ketahanan keluarga menuntut hanya indikator
yang utama dan dengan jumlah yang lebih sedikit yang memiliki
sensitivitas yang tinggi. Oleh karenanya hendaknya dihasilkan dari
kajian analisis sintesis mendalam yang mengelaborasi hasil hasil
kajian yang relevan dan terdokumentasi dalam naskah akademik.
Oleh karenanya merupakan bagian tak terpisahkan dalam
perumusan indikator sebagai hasil karya ilmiah adalah “work
ethics and scientist attitudes” yang meliputi sikap “respect for
paradigm & a respect to a power of theoretical structure”. Dengan
demikian setiap butir indikator yang terpilih telah didukung oleh
hasil kajian bahwa indikator tersebut merupakan hal penting dan
representasi dari lingkup pembangunan ketahanan keluarga.

IMPLEMENTASI PENGUMPULAN DATA


41

Telaahan terhadap pengumpulan data indikator ketahanan keluarga,


memunculkan beberapa catatan yaitu :

1. Terdapat adanya potensi bias pengukuran ketahanan keluarga


yang pendataannya diserahkan pengumpul data tingkat desa.
Contohnya terkait kemampuan memvalidasi ciri yang
memerlukan keahlian khusus seperti penilaian gizi anak. Catatan
lainnya terkait manajemen data yaitu bagaimana memaknai dan
mengelola keragaman data keluarga yang diperoleh dari 8 tipe
keluarga ? tipe keluarga tersebut merupakan konsekuensi adanya
item keutuhan keluarga, kebersamaan dengan anak, dan
perhatian terhadap lansia, sehingga memunculkan 8 tipe keluarga
yaitu:
 keluarga lengkap/utuh; suami-istri, minimal 1 anak, dengan
lansia (24 item; not applicable item=0)
 keluarga lengkap /utuh; suami-istri, tanpa anak, dengan lansia
(17 item; not applicable item=7)
 keluarga lengkap/utuh; suami-istri, minimal 1 anak, tanpa
lansia (24 item; not applicable item=0)
 Keluarga lengkap /utuh;suami-istri, tanpa anak, tanpa lansia
(16 item; not applicable item=8)
 Keluarga tunggal: suami/istri, minimal 1 anak, dengan lansia (18
item; not applicable item=6)
 Keluarga tungal: suami/istri, tanpa anak, dengan lansia (13
item; not applicable item =11)
 Keluarga tunggal: suami/istri, minimal 1 anak, tanpa lansia (17
item; not applicable item =7)
 Keluarga tunggal: suami/istri, tanpa anak, tanpa lansia (12
item; not applicable item =12)

3. Bagaimana mekanisme yang efektif dalam pengelolalan data


indikator dan indeks dengan adanya keragaman 8 tipologi
keluarga ? Mengingat penciri tipologi keluarga tersebut bersifat
dinamis dan dapat berubah dalam satuan waktu yang pendek,
sehingga akan berdampak terhadap dinamisnya data keluarga
dan indikator ketahanan keluarganya di tingkat desa. Hal
tersebut tentunya juga akan berdampak terhadap dinamika
perencanaan dan evaluasi program pembangunan keluarga.
Berdasarkan temuan tersebut, harus ditelaah kembali bagaimana
mengelola indikator dan indeks dengan keberagaman tersebut
agar tidak ada kesalahan dalam pengelompokan kategori
keluarga dan ketahananya. Selain itu, perlu dilihat mengenai
konsekuensi terhadap perencanaan dan evaluasi program terkait
dinamisnya data dari 8 (delapan) tipe keluarga tersebut.
42

4. Pada komponen Ketahanan Fisik nomor 3, permasalahan


masalah gizi diartikan sebagai kekurangan gizi atau kelebihan
gizi. Hal tersebut dapat menjadi potensi bias pengukuran
ketahanan keluarga yang pendataannya diserahkan
pengumpulan data tingkat desa, dikarenakan memvalidasi ciri
masalah gizi memerlukan keahlian khusus seperti penilaian gizi
anak. Enumerator hanya dipersyaratkan minimal lulusan SMP.

SARAN PERBAIKAN INDIKATOR KETAHANAN KELUARGA

1. Mengingat Indikator Ketahanan Keluarga sangat strategis dalam


pembangunan keluarga, menjadi dasar acuan penetapan road
map, perencanaan dan evaluasi kebijakan dan program, maka
penting untuk memenuhi seluruh persyaratan penetapan
indikator yang berfungsi sebagai alat ukur kinerja pembangunan.
2. Disarankan untuk memanfaatkan kajian akademik mengenai
ketahanan keluarga yang telah ada secara memadai agar
mendapat justifikasi penetapan lingkup dan pemilihan indikator
yang dipandang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik.
3. Perlu dipertimbangkan kembali pemilihan indikator yang
membawa kepada terbentuknya tipologi keluarga yang beragam
yang dapat menyulitkan pengelolaan dan pemanfaatan data
yang diperlukan sebagai dasar kebijakan dan program yang lebih
umum.
4. Mengacu Perpres no 4 Tahun 2013 tentang Perubahan kedelapan
atas Keputusan Presiden No 110 Tahun 2001 Tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon 1 Lembaga Pemerintah Non
Kementerian; pada Paraghrap 6 pasal 29 I ayat (2) menetapkan
lingkup Deputi KSPK BKKBN, di dalamnya meliputi upaya
mewujudkan keluarga berkualitas dan ketahanan keluarga.
Dengan demikian Kedeputian KSPK BKKBN memiliki tugas dan
kewajiban mewujudkan keluarga berkualitas dan ketahanan
keluarga. Berdasarkan hal tersebut, disarankan melakukan
kerjasama melakukan pengembangan indikator ketahanan
keluarga dan penyelenggaraan sistem informasi keluarga dengan
berbagai lembaga yang memiliki mandat serupa sebagaimana
diatur oleh perundang undangan dan peraturan lainnya.
43

PENUTUP

Tulisan ini merupakan hasil analisis content terhadap perumusan


indicator ketahanan keluarga yang dikembangkan oleh KPPPA
dalam rangka memenuhi salah satu pasal dalam Peraturan Menteri
Nomor 06 Tahun 2013 Tentang Pembangunan Keluarga. Hasil
analisis menunjukkan terdapat beberapa catatan penting terkait
R-IKK yang telah dikembangkan dan telah dibangun mekanisme
pengumpulan sampai analisis datanya dari tingkat nasional sampai
tingkat desa / kelurahan. Salah satu catatan utama adalah terkait
keajegan validitas isi (content validation) yang mempengaruhi
keseluruhan struktur komponen dan indicator ketahanan keluarga.
Semoga hasil desk study ini bermanfaat dalam menyediakan bahan
bagi upaya perbaikan indicator ketahanan keluarga.
44

DAFTAR PUSTAKA

Sunarti. 2001. Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus


Pengaruhnya Terhadap Kualitas Kehamilan. Disertasi pada Departemen
GMSK-Faperta IPB.
Anonim. Peraturan Menteri KPPPA Nomor 06 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan
Pembangunan Keluarga
Anonim. 2015. Telaahan Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga tentang
Review Program, Kegiatan di Kementerian/Lembaga Berkaitan Dengan
Indikator Ketahanan Keluarga.
Anonim. Buku 1. Pedoman Pemanfaatan Data Ketahanan Keluarga untuk
Intervensi Program Kegiatan Pembangunan Keluarga
Anonim. Buku 2. Pedoman Pelaksanaan Pembangunan Ketahanan Keluarga
BPS. 2016. Data Pembangunan Keluarga. BPS dan KPPPA Tahun 2016
Bappenas. 2016. Laporan Kajian Pembangunan Keluarga. 2016.
45

LAMPIRAN 1. Instrumnet Ketahanan Keluarga KPPPA

1. Ibu memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh KUA atau Catatan
Sipil ?
2. Apakah semua anak memiliki akte kelahiran ?
3. Apakah semua anggota keluarga (suami, istri, dengan atau tanpa
anak) tinggal dalam satu rumah dan tidak ada perpisahan ?
4. Apakah semua anggota keluarga mampu makan lengkap (nasi,
sayur, ikan, tempe, tahu, buah) dua kali per hari ?
5. Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit
akut/kronis atau cacat bawaan ?
6. Apakah ada anggota keluarga yang menderita masalah gizi
(kurus sekali atau gemuk sekali atau kerdil/kuntet) ?
7. Apakah rumah yang ditempati memiliki ruang tidur terpisah
antara orangtua dan anak ?
8. Apakah keluarga memiliki rumah ?
9. Apakah Suami dan/atau Istri mempunyai penghasilan tetap per
bulan sebesar Rp250.000/per orang per bulan ?
10. Apakah Suami dan/atau Istri mempunyai tabungan dalam
bentuk uang minimal sebesar Rp500.000 ?
11. Apakah anggota keluarga memiliki asuransi kesehatan (atau
BPJS) atau lainnya, minimal 1 orang ?
12. Apakah keluarga pernah menunggak membayar listrik ?
13. Apakah keluarga pernah menunggak membayar iuran atau
keperluan pendidikan anak ?
14. Adakah anak yang putus sekolah ?
15. Adakah terjadi kekerasan antar suami dan istri ?
16. Adakah terjadi kekerasan antar orangtua - anak ?
17. Adakah anggota keluarga yang terlibat masalah pelanggaran
hukum ?
18. Apakah anggota keluarga berpartisipasi dalam kegiatan sosial
seperti pengajian, posyandu, kerjabakti, kematian, kelahiran,
ronda, kesenian, penyuluhan, pelatihan ?
19. Apakah anggota keluarga memberi perhatian dan merawat
orangtua lanjut usia di atas 60 tahun ?
20. Apakah anggota keluarga melakukan kegiatan agama secara
rutin ?
21. Apakah Ayah menyisihkan waktu khusus bersama anak ?
22. Apakah Ibu menyisihan waktu khusus bersama anak ?
46

23. Apakah Suami dan Istri bersama-sama mengelola secara terbuka


keuangan keluarga ?
24. Apakah Suami dan Istri merencanakan bersama jumlah anak
yang diinginkan atau alat kontrasepsi yang dipakai ?

Penjelasan Indikator dalam Pendataan R-IKK di tingkat Desa/Kelurahan


1. Buku nikah yang di keluarga oleh KUA atau Catatn Sipil.
2. Akte kelahiran untuk setiap anak, dalam hal ini anak kandung
saja.
3. Suami - Istri tidak berpisah ranjang, boleh pisah sementara
apabila suami/istri bekerja di luar rumah.
4. Makanan lengkap adalah terdiri atas nasi, lauk pauk dan sayuran,
untuk buah adalah lebih baik.
5. Penyakit akut/kronis atau cacat adalah penyakit yang pernah
dikonsultasikan dengan dokter; catat termasuk catat fisik dan jiwa.
6. Menderita masalah gizi berarti kekurangan gizi atau kelebihan
gizi.
7. Ruang tidur terpisah berarti dipisahkan oleh dinding permanen
atau sekat darurat sementara.
8. Kepemilikan rumah berarti milik sendiri, meskipun tidak harus
dengan sertifikat.
9. Kepemilikan rumah berarti milik sendiri, meskipun tidak harus
dengan sertifikat.
10. Penghasilan rutin setiap bulan yang diperoleh istri atau suami.
11. Tabungan boleh di bank, di sekolahan ataupun di rumah.
12. Anggota keluarga memiliki asuransi kesehatan minimal 1 orang
anggota (Misalnya BPJS).
13. Mampu membayar pengeluaran untuk kebutuhan listrik artinya
tidak pernah menunggak selama 6 bulan terakhir.
14. Mampu membayar pengeluaran untuk pendidikan anak minimal
artinya tidak pernah menunggak selama 6 bulan terakhir.
15. Anak putus sekolah dari sekolah berarti anak yang keluar/tidak
melanjutkan sekolah jenjang SD, SMP,atau SMA.
16. Kekerasan antar Suami-Istri berarti kekerasan fisik, sosial, ekonomi,
dan psikologi.
17. Masalah pelanggaran hukum berarti pernah ditangkap polisi atas
perbuatan apapun.
18. Kegiatan sosial kemasyarakatan termasuk pengajian, melayat,
gotong royong, arisan.
19. Merawat/peduli karena kepada orang tua lansia dapat secara
rutin karena serumah atau tidak serumah.
20. Kegiatan budaya/agama secara rutin artinya menjalankan ritual,
sembahyang baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan
yang lain.
47

21. Menyisihkan waktu bersama anak artinya bersama melakukan


aktivitas (Ayah).
22. Menyisihkan waktu bersama anak artinya bersama melakukan
aktivitas (Ibu).
23. Pengelolaan keuangan secara transparan artinya
dikomunikasikan, dilaporkan, didiskusikan, dan diputuskan
bersama.
24. Merencanakan bersama jumlah anak yang diinginkan artinya
dikomunikasikan, dilaporkan, didiskusikan, dan diputuskan
bersama tentang berapa jumlah anak yang diinginkan meskipun
tidak selalu harus berujung pada jumlah yang sama antara
keinginan suami dan istri.

Anda mungkin juga menyukai