Anda di halaman 1dari 112

BAHAN KULIAH

PEMBIAYAAN KESEHATAN

PEMBIAYAAN
KESEHATAN
KONSEP DAN BEST PRACTICES
DI INDONESIA
DAFTAR ISI

BAB 1 KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 1


1.1. Pengantar 1
1.2. Biaya Kesehatan 1
1.3. Pembiayaan Kesehatan 4
1.4. Mekanisme Pembiayaan Kesehatan di Indonesia 10
1.5. Penutup 13
Daftar Pustaka 13

BAB 2 PROSES PEMBIAYAAN KESEHATAN 17


2.1. Pengantar 17
2.2. Perencanaan (Planning) 18
2.3. Perhitungan Kebutuhan Biaya (Costing) 21
2.4. Penganggaran (Budgeting) 23
2.5. Penutup 32
Daftar Pustaka 32

BAB 3 KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 35


3.1. Pengantar 35
3.2. Peran dan Posisi Skema Jaminan Kesehatan dalam Sistem Kesehatan 41
3.3. Penutup 47
Daftar Pustaka 48

BAB 4 EKUITAS DALAM KESEHATAN 49


4.1. Pengantar 49
4.2. Latar Belakang 50
4.3. Konsep Ekuitas 51
4.4. Bukti Empiris 58
4.5. Penutup 61
62
BAB 5 KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN 65
5.1. Pengantar 65
5.2. Pembiayaan Kesehatan di Negara-Negara Lain 66
5.3. Pembiayaan Kesehatan di Indonesia 70
5.4. Pembiayaan Kesehatan Saat Pandemi COVID-19 76
5.5. Penutup 78
Daftar Pustaka 78

iii
PROLOG

Health Finance Activity dan Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Kesehatan

Lanskap pembiayaan kesehatan Indonesia telah mengalami perubahan besar sejak


dilaksanakannya Program Jaminan Kesehatan Nasional pada 2014, dari supply side
financing menjadi demandside financing. Perubahan ini telah melahirkan perkembangan
dan inovasi ekonomi kesehatan yang cukup pesat.

JKN telah memudahkan masyarakat mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan


tanpa harus takut dengan biaya yang mahal, atau dengan kata lain melindungi rumah
tangga dari pengeluaran kesehatan besar yang dapat memiskinkan rumah tangga
akibat penyakit katastropik. Berbagai instrumen pembiayaan kesehatan publik telah
dikembangkan, termasuk alokasi sistem monitoring serta efisiensi pembiayaan
kesehatan demi peningkatan layanan kesehatan berkelanjutan.

Kecepatan perubahan, inovasi, dan reformasi sistem kesehatan tersebut membutuhkan


kapasitas yang mumpuni dari seluruh sumber daya kesehatan, terutama para
tenaga kesehatan dan akademisi kesehatan, untuk terus-menerus mendorong dan
mengembangkan perbaikan kebijakan pelayanan kesehatan.

Kapasitas kunci yang diperlukan antara lain melakukan advokasi pembiayaan,


mendorong pemerintah daerah untuk mengaplikasikan sistem perencanaan dan
penganggaran kesehatan yang lebih baik sehingga mampu meningkatkan kualitas
program kesehatan masyarakat. Akademisi kesehatan yang ada di setiap perguruan
tinggi sudah semestinya terlibat dalam proses advokasi perubahan ini dengan
menjadikan dirinya sebagai pusat rujukan dalam teori serta praktik ekonomi kesehatan
bagi pemerintah daerah.

Dalam rangka meningkatkan kapasitas sumber daya kesehatan itulah Program


Health Finance Activity dirancang. Program ini merupakan kolaborasi United States
Agency for International Development (USAID) dan Pusat Pembiayaan dan Jaminan
Kesehatan (PPJK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Program ini akan
berlangsung selama lima tahun dengan tujuan spesifik mengembangkan analisis
atas evidence data dan fakta kesehatan untuk menyokong pembiayaan kesehatan
yang tepat guna dan berkelanjutan.

Implementasi program ini digarap oleh ThinkWell sebagai lembaga pelaksana kegiatan,
bekerja sama dengan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pusat Kebijakan dan Manajemen
Kesehatan, Universitas Gadjah Mada, Results for Development (R4D), serta mitra
pemerintah lainnya seperti Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Berbagai upaya peningkatan kapasitas yang sudah dilakukan USAID HFA dan PPJK
Kementerian Kesehatan antara lain serial seminar, diskusi pertukaran pengalaman, dan

iv
pelatihan tentang berbagai topik ekonomi kesehatan yang melibatkan tenaga
kesehatan dan akademisi kesehatan bagi dari lingkungan pemerintah dan
nonpemerintah. Beberapa contoh kegiatan yang bisa disebut misalnya “Pelatihan
“Pelatihan Jurnalistik bidang Ekonomi Kesehatan” dan “Pelatihan Analisis Sosioekonomi
dan Kesehatan”.

Seri Ekonomi Kesehatan untuk Akademisi Muda

Salah satu perhatian HFA adalah konsolidasi dan peningkatan kapasitas ilmu
ekonomi kesehatan di kalangan ahli dan akademisi muda. Untuk tujuan ini, HFA dan
PPJK telah melaksanakan program The Young Health Economists, yang
menghasilkan seri buku didaktik di bidang ekonomi kesehatan.

Seri Ekonomi Kesehatan terdiri dari enam buku, yaitu (1) Pengantar Ekonomi Kesehatan;
(2) Pembiayaan Kesehatan: Konsep dan Praktik Terbaik di Indonesia; (3) Belanja
Strategis Kesehatan: Konsep dan Praktik Terbaik di Indonesia; (4) Evaluasi Ekonomi
dan Penilaian Teknologi Kesehatan: Konsep dan Praktik Terbaik di Indonesia; (5) Akun
Kesehatan Nasional; dan (6) Manajemen Keuangan dan Akuntansi dalam Ekonomi
Kesehatan.

Buku seri ini ditulis dengan niat besar mendorong dan memperkenalkan ilmu
ekonomi kesehatan sebagai insight dan jalan keluar bagi pengembangan sistem
kesehatan di Indonesia. Ekonomi kesehatan, yang pertama kali digaungkan oleh
ekonom Kenneth Arrow pada 1963, pada akarnya mengobservasi interaksi antar-faktor
determinan kesehatan dan fungsi sistem layanan kesehatan demi menghasilkan derajat
kesehatan terbaik.

Buku seri ini diharapkan dapat menjadi sumber belajar dan referensi bagi akademisi
dan praktisi kesehatan, serta para perencana kebijakan kesehatan baik di tingkat pusat
maupun daerah, terutama mereka yang ingin melakukan penelitian atau mendesain
program-program pelayanan kesehatan secara efisien dan tepat sasaran.

Metode Penyusunan Seri Ekonomi Kesehatan

Proses penyusunan Seri Ekonomi Kesehatan ini menempuh jalan panjang. Serial modul
ini merupakan hasil dari rangkaian kegiatan peningkatan kapasitas, pelatihan, dan
diskusi intensif banyak pihak yang diselenggarakan oleh Program HFA.

Seri EKonomi Kesehatan ditulis secara kolaboratif oleh para ekonom muda yang
menjadi peserta kegiatan peningkatan kapasitas dengan latar belakang profesi yang
beragam. Di dalam modul yang ditulisnya kita akan melihat bagaimana mereka
memandang ekonomi kesehatan dari perspektif dan kepakarannya masing-masing.

Para penulis mengembangkan buku ini dengan bimbingan seorang penyelia pada setiap
topik. Dalam waktu yang cukup lama, penulis dan penyelia ini bersama-sama
mendalami dan mengembangkan setiap topik sehingga menghasilkan buku yang
komplet seperti sekarang. Materi buku juga telah melewati proses review yang
melibatkan beragam pemangku kebijakan di sektor kesehatan. Merekalah yang
memberikan masukan terhadap konten buku dari sisi praktikal terhadap setiap topik
pembahasan. Melalui proses ini, HFA USAID dan PPJK Kemenkes RI berharap buku
ini memiliki kedalaman konten yang memadai, baik dari sisi teoretis maupun praktik
pengelolaan pembiayaan kesehatan.

Buku Seri II yang tengah Anda baca ini berjudul Pembiayaan Kesehatan: Konsep dan
Praktik Terbaik di Indonesia. Buku akan mengantarkan Anda untuk mendalami Konsep
Pembiayaan Kesehatan, Proses Pembiayaan Kesehatan, Konsep Asuransi Sebagai
Bagian Pembiayaan Kesehatan, Ekuitas dalam Kesehatan, dan Kebijakan dan Potret v
Pembiayaan Kesehatan.
BAB
1

1
Konsep Pembiayaan Kesehatan

Pengantar

Bab ini membahas mengenai konsep dasar pembiayaan


kesehatan. Kami akan mengawali dengan pengantar dan Pembiayaan
kemudian membahas mengenai biaya kesehatan, pembiayaan kesehatan
kesehatan, dan diakhiri dengan penutup. Semua konsep dasar merupakan salah
yang disajikan bertujuan membantu para pembaca memahami satu komponen
sistem pembiayaan kesehatan dan penerapannya di Indonesia. dalam suatu
Hal ini diharapkan berguna bagi praktisi di lapangan dalam sistem kesehatan.
mengambil keputusan terkait pembiayaan kesehatan.

Biaya Kesehatan

Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata “biaya


kesehatan”? Mungkin sebagian orang menganggap biaya
kesehatan adalah dana yang digunakan untuk masalah
kesehatan, misalnya biaya yang dikeluarkan ketika sakit, membeli
obat, atau membeli alat kesehatan. Jawaban tersebut tidak
sepenuhnya salah, tetapi sesungguhnya hanya mencakup
sebagian kecil biaya kesehatan. Ketika berbicara tentang biaya
kesehatan, kita perlu melihat biaya dan pembiayaan kesehatan
dalam perspektif suatu sistem. Pembiayaan kesehatan merupakan
salah satu komponen dalam suatu sistem kesehatan.

2 PEMBIAYAAN KESEHATAN
Biaya kesehatan merupakan sejumlah dana yang perlu disiapkan
dalam menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan
kesehatan untuk memenuhi kebutuhan individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat. Biaya kesehatan dibagi menjadi dua
perspektif (Azwar, 1996): perspektif penyedia layanan kesehatan
dan perspektif pengguna jasa.

Dari perspektif penyedia layanan kesehatan, biaya kesehatan


merupakan sejumlah uang yang harus disiapkan dalam
menyelenggarakan layanan kesehatan. Layanan kesehatan bisa
dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan swasta. Adapun dana
yang disiapkan oleh penyedia layanan kesehatan berupa biaya
investasi (investment cost) dan biaya operasional (operasional
cost). Dana tersebut digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.

Dari perspektif pengguna jasa, biaya kesehatan merupakan


sejumlah dana yang harus disiapkan ketika menggunakan layanan
kesehatan. Besaran dana yang digunakan oleh pemakai jasa
pelayanan kesehatan berasal dari kantong pribadi individu (out of
pocket).
Secara umum,
terdapat dua Biaya kesehatan memiliki beragam jenis dan peruntukan. Hal ini
jenis biaya disesuaikan dengan jenis dan kompleksitas pelayanan kesehatan
kesehatan: biaya yang dimanfaatkan. Secara umum, terdapat dua jenis biaya
pelayanan kesehatan (Azwar, 1996): biaya pelayanan kedokteran dan biaya
kedokteran dan pelayanan kesehatan masyarakat. Biaya pelayanan kedokteran
adalah dana yang dikeluarkan untuk pengobatan dan pemulihan
biaya pelayanan
kesehatan pasien, sedangkan biaya pelayanan kesehatan
kesehatan
masyarakat dibutuhkan dalam menyelenggarakan pelayanan
masyarakat.
kesehatan masyarakat. Biaya ini bertujuan mencegah penyakit,
memelihara, dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Pengumpulan, penyediaan, dan pembelanjaan keuangan


digunakan untuk pembiayaan Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM)
dan Usaha Kesehatan Perorangan (UKP). Hal ini dilakukan dengan
memobilisasi dana dari masyarakat, pemerintah, dan public-
private mix. Pembiayaan bagi masyarakat miskin umumnya
ditanggung oleh pemerintah, sedangkan pembiayaan untuk
masyarakat mampu bersumber dari masyarakat itu sendiri
melalui mekanisme jaminan kesehatan, baik secara wajib maupun
sukarela (Gotama, 2010).

Biaya kesehatan dianggap baik jika memenuhi empat komponen:


pertama, biaya kesehatan tersedia dalam jumlah yang cukup dan
masyarakat dapat memanfaatkan layanan kesehatan dengan
mudah. Kedua, penyebaran dana harus sesuai dengan kebutuhan.
Ketiga, pemanfaatan dana harus diatur secara saksama.
Keempat, pengelolaan biaya kesehatan hendaklah meningkatkan
efektivitas dan efisiensi. Namun, pelaksanaan di lapangan tidaklah
demikian. Masalah yang kontradiktif masih sering terjadi, dari
jumlah dana yang masih terbatas, penyebaran atau alokasi

3
dana yang tidak

4 PEMBIAYAAN KESEHATAN
sesuai, pemanfaatan dana yang tidak tepat, pengelolaan dana
yang belum baik, hingga biaya kesehatan yang terus meningkat.

Menurut Azwar (1996), masalah pembiayaan dapat diatasi


dengan meningkatkan jumlah dana, memperbaiki alokasi dana,
manajemen dana, dan mengendalikan biaya kesehatan. Masalah
peningkatan biaya kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti tingkat inflasi, tingkat permintaan, kemajuan ilmu dan
teknologi, perubahan pola penyakit, perubahan pola pelayanan
kesehatan, perubahan pola hubungan dokter dengan pasien,
mekanisme pengendalian biaya yang lemah, dan penyalahgunaan
asuransi kesehatan (Setyawan, 2018).

Sistem kesehatan membutuhkan sumber daya keuangan untuk


mencapai tujuan yang ditargetkan. Biaya utama sebagian Sistem kesehatan
besar sistem pelayanan kesehatan diserap oleh kebutuhan biaya membutuhkan
sumber daya manusia, perawatan di rumah sakit, dan sumber daya
penyediaan obat- obatan. Di sebagian besar negara tropis, keuangan untuk
pelayanan kesehatan dibiayai oleh pengeluaran pemerintah, mencapai tujuan
swasta (didominasi out of pocket), dan bantuan eksternal. yang ditargetkan.
Pembiayaan pelayanan kesehatan di negara berpenghasilan
rendah dan menengah menjadi tantangan yang signifikan.
Banyak negara berpenghasilan menengah ke atas di seluruh
Amerika Latin, Afrika, dan Asia telah mampu menyediakan
perlidungan kesehatan untuk sebagian besar dari populasi
mereka. Mekanisme pembiayaan yang digunakan diharapkan
mampu memastikan akses ke pelayanan kesehatan dan
melindungi individu dari bencana utang ketika mengakses
pelayanan kesehatan (Rhatigan Jr, 2020).

Menurut Azwar (1996), secara umum sumber biaya kesehatan


dikelompokkan menjadi dua, yakni pertama, seluruh pembiayaan
bersumber dari anggaran pemerintah. Negara yang menggunakan
model ini menyediakan biaya kesehatan untuk masyarakat
sepenuhnya. Pelayanan kesehatan diberikan oleh pemerintah
secara cuma-cuma. Tidak ada campur tangan dari pelayanan
kesehatan swasta.

Kedua, sebagian pembiayaan ditanggung oleh masyarakat.


Beberapa negara mengajak peran serta masyarakat untuk ikut
andil dalam pelayanan kesehatan, baik dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan maupun pemanfaatan layanan kesehatan. Pada
kondisi ini, swasta pun ikut berperan dalam penyediaan layanan
kesehatan sehingga masyarakat menggunakan pelayanan
kesehatan dengan mengeluarkan dana sendiri.

Berikut empat sumber utama pembiayaan untuk sektor kesehatan


(Kutzin, 2008; Mills & Gilson, 1988).
1. Pembiayaan pemerintah untuk pelayanan kesehatan
meliputi pengeluaran kesehatan di semua tingkat pemerintah
(pusat dan daerah), termasuk pengeluaran perusahaan publik.

5
2. Pembiayaan swasta, dapat dilakukan secara langsung ataupun
tidak langsung. Pembayaran langsung merupakan pembayaran
pribadi yang dilakukan langsung kepada berbagai penyedia,
termasuk praktik swasta, tabib tradisional, dan apoteker. Biaya
pengguna untuk layanan yang disediakan pemerintah atau
pelayanan kesehatan swasta yang berasal dari kantong sendiri
dianggap sebagai pembiayaan kesehatan dari sumber swasta.
Biaya yang sama, kontribusi, atau pra-pembayaran oleh
anggota dalam skema pembiayaan masyarakat juga dianggap
berasal dari sumber non-pemerintah.
Pembayaran tidak langsung merupakan pembayaran
layanan kesehatan oleh pengusaha sebagai cakupan dan
pembiayaan kesehatan oleh badan non-pemerintah lainnya,
seperti pengumpulan dana amal.
3. Pembiayaan asuransi kesehatan. Ada tiga jenis asuransi utama,
yaitu asuransi pemerintah atau sosial, asuransi swasta, dan
asuransi berbasis pengusaha atau pekerja.
4. Pembiayaan sumber eksternal. Pembiayaan ini bersumber
dari bantuan organisasi luar dalam membantu program
kesehatan, seperti dari WHO, World bank, dan organisasi
lain dalam membiayai program prioritas kesehatan suatu
negara, seperti HIV, TB, Malaria, dan imunisasi. Selama lima
belas tahun terakhir, pendanaan eksternal meningkat secara
signifikan untuk kesehatan di negara-negara berpenghasilan
rendah dengan beban penyakit yang tinggi. Bantuan
pembangunan untuk kesehatan, biasa disebut bantuan asing,
merupakan porsi yang signifikan dari pengeluaran kesehatan
di negara-negara berpenghasilan rendah, rata-rata 40% dari
total pengeluaran perawatan kesehatan (J. L. Dieleman et al.,
2016).

secara efektif.

Dalam sistem
kesehatan,
tujuan
pembiayaan
kesehatan adalah
menyediakan
pendanaan dan
menetapkan
insentif atau
pembiayaan bagi
penyedia layanan,
serta
memastikan
semua individu
memiliki akses
terhadap
pelayanan
kesehatan
masyarakat

6 PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pembiayaan 2010).
Kesehatan
Pembiayaan kesehatan menjadi suatu bagian yang sangat
mendasar dari sistem kesehatan. Dengan dukungan pembiayaan
Menurut Organisasi
kesehatan, sistem kesehatan akan mampu memelihara dan
Kesehatan Dunia
atau World Health
Organization
(2000),
pembiayaan
kesehatan
mengacu pada
fungsi sistem
kesehatan yang
berkaitan dengan
pengumpulan,
alokasi, dan
mobilisasi dana
untuk memenuhi
kebutuhan
kesehatan
masyarakat,
secara individu dan
kolektif. Dalam
sistem kesehatan,
tujuan pembiayaan
kesehatan adalah
menyediakan
pendanaan dan
menetapkan
insentif atau
pembiayaan bagi
penyedia layanan,
serta memastikan
semua individu
memiliki akses
terhadap
pelayanan
kesehatan
masyarakat secara
efektif. Lebih
lanjut lagi, WHO
menjelaskan
bahwa
pembiayaan
kesehatan
mengacu pada
bagaimana
menggunakan
sumber daya
keuangan untuk
memastikan
bahwa sistem
kesehatan dapat
memenuhi
kebutuhan
kesehatan setiap
orang secara
kolektif & memadai
(Organization,

7
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia. Pada
Sumber
kondisi yang sangat ekstrem, ketidaktersediaan pendanaan
pembiayaan
kesehatan akan menyulitkan layanan kesehatan, pengobatan,
kesehatan suatu
pelaksanaan program, pencegahan, dan promosi kesehatan.
negara dapat
Pembiayaan bukan hanya sekadar menghasilkan pendanaan,
berasal dari
melainkan negara mampu memantau dan mengevaluasi
pemerintah dan
pembiayaan untuk sistem kesehatan dengan menggunakan
non-pemerintah
berbagai indikator. Pembiayaan kesehatan bukan hanya
yang akan
membahas cara meningkatkan dana pelayanan kesehatan,
digunakan
melainkan juga mencakup alokasi pendanaan yang ada.
secara luas
untuk
Sumber pembiayaan kesehatan suatu negara dapat berasal
membiayai upaya
dari pemerintah dan non-pemerintah yang akan digunakan
kesehatan.
secara luas untuk membiayai upaya kesehatan. Namun, sering
kali terjadi persaingan alokasi pendanaan dalam suatu sistem.
Cara pengalokasian dana tidak hanya dipengaruhi oleh cara
layanan, tetapi juga penetapan prioritas dalam hukum ekonomi
kesehatan (Tulchinsky & Varavikova, 2014). Pembiayaan kesehatan
diharapkan mampu menyediakan sumber daya dan insentif untuk
pelaksanaan sistem kesehatan. Selain itu, pembiayaan
kesehatan menjadi penentu utama kinerja sistem kesehatan
dalam hal pemerataan, efisiensi, dan outcome kesehatan
(Schieber, Baeza, Kress, & Maier, 2006).

Berikut beberapa macam model pembiayaan kesehatan yang


dapat diadopsi oleh beberapa negara (Setyawan, 2018):
1. Pembiayaan secara langsung (direct payments by patients)
Setiap individu mengeluarkan biaya secara langsung
berdasarkan tingkat penggunaan layanan kesehatan yang
diterima. Model pembiayaan ini dapat mendorong
penggunaan layanan kesehatan secara lebih hati-hati. Kondisi
ini melahirkan kompetisi antara penyedia layanan kesehatan
dalam menarik perhatian konsumen (free market).
Walaupun hal ini tampak sehat, transaksi kesehatan menjadi
tidak seimbang. Konsumen tidak mampu memahami dengan
baik akan kebutuhan kesehatan dan masalah kesehatan
yang dimiliki. Seluruhnya dikontrol oleh penyedia layanan
kesehatan. Hal ini dapat menimbulkan inefisiensi dan
pemakaian terapi secara berlebihan.
2. Pembayaran oleh pengguna (user payments)
Pasien membayar layanan kesehatan secara langsung, baik
kepada pemerintah maupun swasta. Besaran dan mekanisme
pembayaran telah diatur secara formal oleh penyedia layanan
kesehatan dan pemerintah. Pada kondisi yang lebih kompleks,
besaran biaya setiap kunjungan dapat berbeda-beda sesuai
dengan jasa pelayanan kesehatan yang diberikan (misalnya
untuk pelayanan kesehatan di fasilitas swasta). Besaran biaya
per episode ketika sakit bersifat tetap atau flat rate.
3. Pembiayaan berbasis tabungan (saving-based)
Pengeluaran biaya kesehatan individu didasarkan pada
tingkat penggunaannya. Individu memperoleh bantuan
dalam

8 PEMBIAYAAN KESEHATAN
pengumpulan dana dalam bentuk tabungan. Ketika dibutuhkan,
individu tersebut dapat memakai dana tersebut. Model ini
dapat meng-cover biaya pelayanan kesehatan yang bersifat
primer dan lanjutan, tetapi individu akan mengalami kesulitan
membiayai pelayanan yang bersifat kronis dan kompleks. Oleh
sebab itu, perlu model pembiayaan lain untuk mendukung
model ini dalam menanggung biaya kesehatan yang kompleks
dan populasi yang lebih luas.
4. Pembiayaan informal
Model ini tidak mengatur besaran, jenis, dan mekanisme
pembayaran. Besaran biaya disesuaikan dengan kesepakatan
antara penyedia dan pengguna layanan kesehatan. Umumnya
penyedialayanankesehatanlebihdominandalampengaturannya.
Selain uang, barang dapat digunakan sebagai alat tukar untuk
memperoleh pelayanan kesehatan, misalnya dari penyedia
layanan kesehatan mantri atau pengobatan tradisional. Model
ini biasanya diadopsi oleh negara-negara berkembang yang
belum memiliki sistem kesehatan yang mampu melindungi
seluruh masyarakatnya.
5. Pembiayaan berbasis-asuransi (insurance-based)
Dalam model ini individu tidak membiayai pelayanan kesehatan
secara langsung, tetapi terjadi pengalihan risiko kesakitan
seseorang menjadi risiko kelompok. Selain itu, terjadi
pembagian risiko biaya secara adil. Biaya pelayanan kesehatan
disesuaikan dengan perhitungan dan akan ditanggung dari
dana yang telah dikumpulkan bersama. Individu membayar
premi dengan mekanisme pembayaran yang diatur oleh
organisasi pengelola dana asuransi.

Selain kelima model tersebut, model pembiayaan kesehatan


lainnya adalah model Out of Pocket (Pengeluaran dari Kantong
Sendiri). Pengeluaran pada model ini berasal dari individu ketika
ingin mengakses pelayanan kesehatan dan tidak didanai oleh
program asuransi. Model pembiayaan ini diterapkan di sebagian
besar negara yang berpenghasilan rendah (J. Dieleman,
Campbell, & Chapin, 2017).

Hal ini akan memberatkan banyak segmen dari populasi yang


Mode tidak memiliki sumber pendapatan tunai dan memiliki sedikit
l pembiayaan tabungan. Biaya yang bersumber dari kantong sendiri sering
kesehatan antar- menyebabkan keluarga jatuh miskin. Hal ini menjadi penghalang
negara berbeda, yang sulit diatasi untuk mengakses layanan perawatan kesehatan
disesuaikan yang diperlukan. Negara-negara berpenghasilan tinggi
dengan cenderung lebih sedikit mengeluarkan biaya kesehatan dari
kebutuhan kantong sendiri karena lebih banyak penduduk yang dilindungi
masing-masing. oleh skema asuransi kesehatan prabayar (Rhatigan Jr, 2020).

Model pembiayaan kesehatan antar-negara berbeda. Penggunaan


model pembiayaan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing. Model yang diadopsi diharapkan mampu

9
menciptakan akses, keadilan, dan efisiensi pelayanan kesehatan.
Pembiayaan pelayanan kesehatan di negara-negara
berpenghasilan menengah ke atas dan tinggi umumnya
disediakan melalui asuransi kesehatan (sering kali berbasis
lapangan pekerjaan atau serikat pekerja) atau pembiayaan
pemerintah yang didanai oleh perpajakan umum.

Pendanaan pemerintah sangat terbatas di negara berpenghasilan


Hampir semua
rendah karena kurangnya basis pajak yang signifikan. Asuransi
skema asuransi
kesehatan sulit diterapkan di negara tersebut karena beban
kesehatan yang
penyakit yang tinggi, pendapatan penduduk yang kurang, dan
diterapkan
kesulitan menciptakan kumpulan risiko yang besar dan beragam
di negara ini
(Mills, 2014). Hampir semua skema asuransi kesehatan yang
memerlukan
diterapkan di negara ini memerlukan subsidi dari permerintah
subsidi dari
untuk menopang sistem mereka (Sachs, 2012).
permerintah
untuk menopang
Interaksi fungsi-fungsi pembiayaan kesehatan ditunjukkan
sistem mereka.
pada Gambar 1.1. Pembiayaan kesehatan meliputi fungsi dasar
pengumpulan pendapatan (revenue collection), pengumpulan
sumber daya (pooling resources), dan pembayaran intervensi
(purchase of interventions). (Gottret & Schieber, 2006; Rannan-Eliya,
2009):
1. Pengumpulan pendapatan adalah bagaimana sistem kesehatan
mengumpulkan uang dari rumah tangga, bisnis, dan sumber
eksternal.
2. Pengumpulan berkaitan dengan akumulasi dan pengelolaan
pendapatan sehingga anggota kelompok berbagi risiko
kesehatan secara kolektif. Hal ini akan melindungi anggota
kelompok individu dari pengeluaran kesehatan yang besar dan
tidak dapat diprediksi. Pembayaran di muka memungkinkan
anggota untuk membayar biaya rata-rata di muka,
membebaskan mereka dari ketidakpastian, dan memastikan
kompensasi jika terjadi kerugian. Pengumpulan ini
memungkinkan pembentukan asuransi dan redistribusi
pengeluaran kesehatan antara individu berisiko (tinggi dan
rendah) dan individu berpenghasilan (tinggi dan rendah).
3. Pembelian mengacu pada mekanisme yang digunakan untuk
membeli layanan dari penyedia publik dan swasta.

Gambar 1.1.
Hubungan
Fungsi-Fungsi
Pembiayaan
Kesehatan

Diadopsi dari G. Schieber,


Baeza, C., Kress, D., &
Maier, M. (2006).
Financing Health Systems
in the 21st Century.
Disease Control Priorities
in Developing Countries,
225, 224.

1 PEMBIAYAAN KESEHATAN

0
Fungsi pembiayaan kesehatan di atas memiliki implikasi yang
penting untuk mendukung kerja sistem kesehatan berupa:
1. Jumlah dana yang tersedia (saat ini dan di masa depan) dan
tingkat layanan esensial dan perlindungan keuangan bagi
populasi.
2. Keadilan (ekuitas).
3. Efisiensi ekonomi dari upaya peningkatan pendapatan.
4. Tingkat pooling (subsidi risiko, asuransi) dan pembayaran di
muka (ekuitas subsidi)
5. Jumlah dan jenis layanan yang dibeli dan dikomsumsi terhadap
dampak kesehatan dan biaya kesehatan (efektivitas biaya dan
efisiensi alokasi layanan)
6. Efisiensi teknis dari produksi layanan (tujuannya adalah untuk
menghasilkan setiap layanan dengan biaya rata-rata minimum)
7. Akses fisik dan finansial dan ke layanan oleh populasi
(termasuk ekuitas akses dan manfaat)

Dalam hal kebijakan kesehatan di tingkat negara, ketujuh


Fungsi
fungsi pembiayaan kesehatan di atas berguna untuk, pertama
pembiayaan
pengumpulan dana yang dapat meningkatkan pendapatan yang
kesehatan
memadai dan berkelanjutan dengan cara yang adil dan efisien.
berguna untuk
Hal ini dilakukan dengan menyediakan kebutuhan individu
pengumpulan
akan paket dasar layanan esensial dan perlindungan keuangan
dana yang dapat
terhadap bencana keuangan yang terjadi ketika individu sakit.
meningkatkan
Kedua, penggabungan risiko untuk mengelola pendapatan yang
pendapatan yang
dikumpulkan dan menyatukan risiko kesehatan secara adil dan
memadai dan
efisien. Ketiga, pembelian dapat memastikan pembelian layanan
berkelanjutan
kesehatan secara efisien, baik alokasi maupun teknis.
dengan cara
yang adil dan
Fungsi pembiayaan di atas diwujudkan dalam tiga model
efisien.
pembiayaan kesehatan sebagai berikut (Gottret & Schieber, 2006;
Jaworzyľska, 2016):
1. National Health Service (NHS)
Model Layanan Kesehatan Nasional juga sering disebut dengan
Model Beveridge. NHS dikenal pertama kali di Inggris pada 5
juli 1948. Model ini diperkenalkan oleh William Beveridge.
Model ini ditandai dengan cakupan universal yang bersifat
wajib dan pembiayaan yang bersumber dari pendapatan umum
nasional dan kepemilikan nasional. Dalam sistem ini,
perawatan kesehatan disediakan dan dibiayai oleh pemerintah
melalui pembayaran pajak. Model ini menawarkan pelayanan
gratis bagi seluruh populasi. Negara-negara yang
menggunakan model Beveridge atau variasi di dalamnya di
antara Inggris Raya, Spanyol, sebagian besar Skandinavia, dan
Selandia Baru.
2. Asuransi sosial
Model pembiayaan ini sering disebut dengan model
Bismarck. Model ini diperkenalkan oleh Kanselir Prusia Otto
Von Bismarck.

11
Cakupan universal wajib berada di bawah sistem jaminan
sosial. Kontribusi asuransi ini bersumber dari karyawan dan
pemberi kerja. Model Bismarck meliputi struktur, pembiayaan,
dan pemberian pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, model
Bismarck mewakili layanan yang tersedia bagi karyawan
melalui cakupan asuransi kesehatan yang disponsori oleh
majikan. Model Bismarck diadopsi oleh Jerman, Perancis,
Belgia, Belanda, Jepang, Swiss, dan beberapa bagian di
Amerika Latin.
3. Asuransi swasta
Pembelian asuransi kesehatan swasta ini berbasis pada
perusahaan atau perorangan. Model asuransi kesehatan swasta
dengan akses manfaat yang dikondisikan berdasarkan polis
asuransi swasta. Dana yang dialokasikan untuk membiayai
manfaat layanan kesehatan berasal dari premi asuransi swasta.
Produsen layanan kesehatan adalah entitas swasta. Negara-
negara Anggota Uni Eropa dan Amerika Serikat membangun
sistem pembiayaan mereka berdasarkan model ini.

Bagaimana dengan mekanisme pembiayaan kesehatan? Menurut


WHO, skema pembiayaan pelayanan kesehatan adalah komponen
struktural dari sistem pembiayaan pelayanan kesehatan,
yakni pengaturan pembiayaan sehingga seseorang mampu
memperoleh pelayanan kesehatan. Skema pembiayaan pelayanan
kesehatan termasuk pembayaran langsung oleh rumah tangga
untuk layanan dan barang serta pengaturan pembiayaan oleh
pihak ketiga (Organization, 2017a). Manfaat atau cakupan dibagi
ke dalam cakupan luas dan cakupan ruang lingkup. Cakupan
luas berarti kelompok populasi yang dicakup oleh bentuk sistem
prapembayaran atau perlindungan sosial apa pun, sedangkan
cakupan ruang lingkup mengacu pada jenis layanan kesehatan
yang disediakan pada skema sistem prapembayaran atau skema
perlindungan sosial. Hal tersebut secara detail dideskripsikan
pada Tabel 1.1.

1 PEMBIAYAAN KESEHATAN

2
mework McIntyre dan Kutzin (2016)

l Health Coverage. PLoS One, 14(6), e0217278.

Mekanisme Pembiayaan Kesehatan di


Indonesia

Berikut mekanisme pembiayaan kesehatan yang diterapkan di


Indonesia (Myint et al., 2019): sumber utama pendapatan berasal
dari pajak langsung, pajak tidak langsung, dan out of pocket
(OOP). Metode pengumpulan pendapatan menggunakan sistem
single pool. Jenis penyedia layanan kesehatan berasal dari
penyedia publik dan swasta. Dalam hal pembelian, penyedia
layanan untuk pelayanan kesehatan mengandalkan campuran
penyedia publik dan swasta.

Cakupan pelayanan berupa layanan kesehatan esensial dan


berbiaya tinggi atau pelayanan tersier. Luas cakupan mencakup
sekitar 63% masyarakat melalui subsidi pemerintah dan/atau
pembayaran di muka dan/atau skema pengelompokan risiko.
Cakupan ini belum mencapai tingkat yang direkomendasikan
WHO, yaitu lebih dari 90%. Paket layanan bersifat komprehensif,
tetapi tergantung pada jenis asuransi yang dipilih oleh individu
(perawatan tingkat pertama, kedua, dan ketiga)(Marzoeki, Tandon,
Bi, & Pambudi, 2014).

Penyedia layanan di Indonesia membutuhkan akreditasi. Metode


pembayaran penyedia menggunakan sistem kapitasi dan
Diagnostic Related Group (DRG). Dana dikumpulkan ke satu
tempat yang disebut asuransi kesehatan nasional (single pool).

13
Meskipun pendapatan dimasukkan ke kumpulan tunggal, tarif

1 PEMBIAYAAN KESEHATAN

4
premium bervariasi berdasarkan status pekerjaan di Indonesia.
Sumber pendapatan asuransi kesehatan nasional terdiri dari
kontribusi sosial dan subsidi pemerintah untuk orang miskin dan
target spesifik (Myint et al., 2019).

Standar anggaran minimal suatu negara yang ditetapkan oleh


WHO adalah sekitar 5%-6% dari total APBN. Tujuannya adalah agar
mampu meningkatkan derajat kesehatan dengan dukungan
pembiayaan kesehatan yang kuat. Idealnya suatu negara
menganggarkan 15-20% dari APBN. Anggaran yang besar
diharapkan mampu membiayai kebutuhan pelayanan
kesehatan yang cukup mahal. Kesehatan menjadi investasi
suatu negara untuk meningkatkan derajat kesehatan dan
produktivitas masyarakatnya (Organization, 2014).

Sejak 2004, anggaran pemerintah untuk kesehatan telah Sejak 2004,


meningkat secara signifikan. Hal ini terjadi karena kebijakan anggaran
pembiayaan kesehatan pemerintah yang lebih fokus untuk pemerintah
mengurangi risiko keuangan dari pengeluaran perawatan untuk kesehatan
kesehatan, khususnya untuk kelompok miskin. Peningkatan telah meningkat
anggaran ini juga diamanatkan oleh UU Kesehatan, yang secara signifikan.
menetapkan bahwa alokasi anggaran pemerintah secara nasional
setidaknya harus berjumlah 5% dari total anggaran pemerintah
pusat (APBN); sementara untuk anggaran daerah (APBD) alokasi
untuk kesehatan minimal berjumlah 10%. Berdasarkan
persyaratan hukum itu, pemerintah telah menambah alokasi
anggaran untuk perawatan kesehatan secara nasional hingga 5%
dari total pemerintah anggaran pada 2016. Jumlahnya
diperkirakan sekitar 109 Triliun Rupiah (Mahendradhata et al., 2017).

Sumber pendanaan kesehatan di Indonesia berasal dari APBN,


APBD, dana swasta, out of pocket, hibah, dan donor dari
perusahaan ataupun luar negeri. Sumber dana tersebut
dialokasikan untuk membiayai program dan kegiatan di bidang
kesehatan, baik bersifat fisik maupun nonfisik.

Gambar 1.2. merangkum aliran pembiayaan yang terjadi dalam


sistem kesehatan Indonesia. Aliran dana pemerintah termasuk
proses pengumpulan pendapatan dari rumah tangga, perusahaan
swasta, dan sumber eksternal dan transfer ke daerah pemerintah
dan fasilitas kesehatan. BPJS kesehatan merupakan administrator
dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mengumpulkan
kontribusi dari pemerintah, perusahaan swasta, dan rumah
tangga menjadi satu kumpulan nasional dan membeli layanan
kesehatan dari penyedia publik dan swasta. Aliran dana pribadi
meliputi pengeluaran Out of Pocket (OOP) dari rumah tangga,
perusahaan di fasilitas publik dan swasta. Sejak lima tahun yang
lalu, hanya sekitar satu persen dari total pengeluaran kesehatan
berasal sumber eksternal (Pinto, Masaki, & Harimurti, 2016).

15
Gambar 1.2. Aliran Pembiayaan
Kesehatan

Diadopsi dari Pinto, R., Masaki, E., & Harimurti,


P. (2016). Indonesia Health Financing System Assessment: Spend More, Spend Right, Spend Better:
World Bank.

Dalam 20 tahun terakhir, reformasi di bidang pembiayaan


kesehatan di Indonesia bergerak sangat dinamis, dari penargetan
berbagai program menuju UHC. Upaya reformasi pembiayaan
yang dilaksanakan pada akhir 1990-an bertujuan untuk
memberikan perlindungan finansial bagi masyarakat miskin
sebagai respons terhadap krisis ekonomi yang melanda Asia pada
akhir 1998. Pada 2004 dibentuk skema asuransi kesehatan sosial.
Pada 2008, skema tersebut ditingkatkan dan diperluas lebih jauh.
Kemudian pada tahun 2011, skema perlindungan keuangan
lainnya diperkenalkan secara khusus untuk mencapai Tujuan
Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs).
Akhirnya, sebuah langkah menuju Universal Health Coverage
(UHC) dimulai pada tahun 2014 dengan implementasi Jaminan
Kesehatan Nasional/JKN (Mahendradhata et al., 2017).

JKN adalah reformasi pembiayaan kesehatan yang berupaya


mengatasi tiga pilar pembiayaan kesehatan, yakni pengumpulan
pendapatan, penggabungan, dan pembelian. JKN berpotensi
menciptakan momentum untuk bergerak menuju kebijakan
dan strategi yang terkoordinasi untuk mencapai tujuan Sistem
Kesehatan Nasional (SKN). JKN telah berupaya menciptakan
distribusi yang adil dari beban sistem pendanaan. Negara perlu
melanjutkan dan membuat penyesuaian yang diperlukan sehingga
sistem kesehatan dapat berfungsi secara berkualitas, efisien dan
adil. Pada saat yang sama menyediakan perlindungan finansial
berkelanjutan kepada rakyat (Mahendradhata et al., 2017).

Sistem UHC berkembang pesat di Indonesia dan mencakup


203 juta orang. Kini Indonesia dikenal sebagai pengguna
skema pembayar tunggal terbesar di dunia dan telah
meningkatkan pemerataan kesehatan dan akses layanan.
Kesuksesan di awal

1 PEMBIAYAAN KESEHATAN

6
memberikan tantangan lain, seperti munculnya kelompok Spending in
“missing middle”. Istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan 184 Countries.
sejumlah kecil orang yang terdaftar di UHC dengan kuintil The Lancet,
kekayaan Q2-Q3 dibandingkan orang di kuintil lainnya, dan 389(10083),
rendahnya cakupan UHC pada anak sejak lahir sampai usia 4 tahun 1981-2004.
(Agustina et al., 2018).

Pembiayaan publik sangat penting untuk membuat kemajuan


menuju UHC. Komitmen kebijakan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) PBB
menekankan bahwa setiap orang harus memiliki akses ke layanan
kesehatan yang berkualitas dan penggunaan layanan ini
mampu melindungi keuangan individu (Organization, 2017b).
Dampak pada pengeluaran publik untuk kesehatan akan
bergantung pada sejauh mana kebijakan fiskal dan prioritas
kesehatan terjadi. Selama periode ini sangat penting untuk
memastikan tingkat pembiayaan publik untuk mempertahankan
cakupan layanan yang efektif dan perlindungan risiko
keuangan terhadap UHC (Tandon, Cain, Kurowski, Dozol, &
Postolovska, 2020).

Penutup

Secara luas, pembiayaan kesehatan dipandang mampu


memberikan kontribusi bagi perkembangan sosial dan ekonomi
suatu negara. Pembiayaan kesehatan yang optimal dan
berkelanjutan sangat penting dalam pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, perencanaan dan
pengelolaan pembiayaan kesehatan yang memadai akan
membantu negara dalam memobilisasi sumber pembiayaan
kesehatan, mengalokasikannya secara rasional, dan
menggunakannya secara efektif serta efisien. Untuk mendorong
tercapainya akses yang universal dibutuhkan kebijakan
pembiayaan yang memperhatikan pemerataan dan membantu
penduduk miskin.

Daftar Pustaka

Agustina, R., Dartanto, T., Sitompul, R., Susiloretni, K., Achadi, E.,
Taher, A., . . . Shankar, A. (2018). Universal Health Coverage
in Indonesia: Concept, Progress, and Challenges. Lancet
(London, England).

Azwar, A. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan, Sistem


Kesehatan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Binarupa Aksara.

Dieleman, J., Campbell, M., & Chapin, A. (2017). And the Global
Burden of Disease Health Financing Collaborator Network.
Evolution and Patterns of Global Health Financing 1995-
2014: Development Assistance for Health, and
Government, Prepaid Private, and Out-Of-Pocket Health

17
Untuk mendorong tercapainya akses yang universal
dibutuhkan kebijakan pembiayaan yang memperhatikan
pemerataan
dan membantu penduduk miskin.

1 PEMBIAYAAN KESEHATAN

8
Dieleman, J. L., Schneider, M. T., Haakenstad, A., Singh, L., Sadat, N.,
Birger, M., . . . Chapin, A. (2016). Development Assistance
for Health: Past Trends, Associations, and the Future
of International Financial Flows for Health. The
Lancet, 387(10037), 2536-2544.

Gotama, D. P. I. (2010). Reformasi Jaminan Sosial Kesehatan


(Isu- Isu Kesehatan & Jaminan Kesehatan). Jakarta: Pusat
Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Depkes RI.

Gottret, P., & Schieber, G. (2006). Health Financing Revisited:


A Practitioner’s Guide. The World Bank.

Jaworzyľska, M. (2016). A Comparative Analysis of the Health System


Financing in Poland and Selected Countries. Economics
and Sociology, 9(3), 41-51.

Kutzin, J. (2008). Health Financing Policy: A Guide for Decision-


Makers. Health Financing Policy Paper. Copenhagen,
WHO Regional Office for Europe, 24.

Mahendradhata, Y., Trisnantoro, L., Listyadewi, S., Soewondo, P.,


Marthias, T., Harimurti, P., & Prawira, J. (2017). The
Republic of Indonesia Health System Review.

Marzoeki, P., Tandon, A., Bi, X., & Pambudi, E. S. (2014). Universal
Health Coverage for Inclusive and Sustainable
Development: Country Summary Report for Indonesia.

Mills, A. (2014). Health Care Systems in Low-And Middle-Income


Countries. New England Journal of Medicine, 370(6), 552-
557.

Mills, A., & Gilson, L. (1988). Health Economics for Developing


Countries: A Survival Kit.

Myint, C.-Y., Pavlova, M., Thein, K.-N.-N., & Groot, W. (2019). A


Systematic Review of The Health-Financing Mechanisms
in The Association of Southeast Asian Nations Countries
and The People’s Republic of China: Lessons for The
Move Towards Universal Health Coverage. PLoS One,
14(6), e0217278.

Organization, W. H. (2000). The World Health Report 2000:


Health Systems: Improving Performance. World
Health Organization.

Organization, W. H. (2010). Monitoring the Building Blocks of


Health Systems: A Handbook of Indicators and
Their Measurement Strategies. World Health
Organization.

1 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

4
Organization, W. H. (2014). WHO Global Health Expenditure Atlas.
September 2014. WHO Global Health Expenditure Atlas.
Switzerland2014.

Organization, W. H. (2017a). A System of Health Accounts 2011


Revised edition: OECD Publishing.

Organization, W. H. (2017b). World Bank. Tracking Universal Health


Coverage: 2017 Global Monitoring Report. World Health
Organization.

Pinto, R., Masaki, E., & Harimurti, P. (2016). Indonesia Health


Financing System Assessment: Spend More, Spend Right,
Spend Better: World Bank.

Rannan-Eliya, R. P. (2009). Strengthening Health Financing in


Partner Developing Countries. Task Force on Global Action
for Health System Strengthening, Editor (2009) Global
Action For Health System Strengthening. Tokyo: Japan
Center for International Exchange, 59-90.

Rhatigan Jr, J. J. (2020). Health Systems and Health Care Delivery


Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases
(pp. 214-218): Elsevier.

Sachs, J. D. (2012). Achieving Universal Health Coverage in Low-


Income Settings. The Lancet, 380(9845), 944-947.

Schieber, G., Baeza, C., Kress, D., & Maier, M. (2006). Financing
Health Systems in the 21st Century. Disease Control Priorities
in Developing Countries, 225, 224.

Setyawan, F. E. B. (2018). Sistem Pembiayaan Kesehatan. Jurnal


Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan, 2(4).

Tandon, A., Cain, J., Kurowski, C., Dozol, A., & Postolovska, I. (2020).
From Slippery Slopes to Steep Hills: Contrasting
Landscapes of Economic Growth and Public Spending For
Health. Social Science & medicine, 259, 113171.

Tulchinsky, T., & Varavikova, E. (2014). Chapter 11-Measuring costs: The


Economics of Health. The New Public Health, 575-611.

1
5
1 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

6
BAB
2

1
7
Proses Pembiayaan Kesehatan

Pengantar Konsensus umum


menyatakan
Proses pembiayaan kesehatan merupakan hal yang mendasar bahwa proses
untuk mencapai target indikator kesehatan dari tingkat kabupaten pembiayaan
atau kota, provinsi, hingga nasional. Proses pembiayaan yang kesehatan tidak
tidak tepat menyebabkan alokasi dana yang tidak tepat sasaran. hanya bertujuan
Hal tersebut meminimalkan tenaga kesehatan yang akan mencari dan
diperkerjakan, obat- obatan yang tersedia, dan mengurangi mengumpulkan
promosi kesehatan (World Health Organization, 2008). dana yang cukup,
melainkan juga
WHO menekankan bahwa proses pembiayaan kesehatan dapat meliputi proses
dilakukan dengan berbagai cara. Namun konsensus umum penganggaran
menyatakan bahwa proses pembiayaan kesehatan tidak hanya dengan tepat.
bertujuan mencari dan mengumpulkan dana yang cukup,
melainkan juga meliputi proses penganggaran dengan tepat.
Banyak pengambil kebijakan yang masih belum memahami
proses pembiayaan kesehatan sehingga pembuatan kebijakan
kesehatan, perencanaan, penetapan biaya hingga penganggaran
dilaksanakan secara terpisah. Hal tersebut menyebakan
ketidakselarasan (Rajan, et al., 2016).

Adapun proses pembiayaan kesehatan dapat dibagi menjadi tiga


bagian, yaitu perencanaan, perhitungan kebutuhan biaya, dan
penganggaran (Gani 2002; Rajan et al, 2016) yang akan dibahas
secara mendetail dalam bab ini.

1 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

8
Perencanaan (Planning)

Perencanaan merupakan awal proses pembiayaan kesehatan.


Perencanaan yang baik dapat mengidentifikasi kegiatan yang
akan dibiayai. Gani, et al. (2002) membagi perencanaan menjadi
empat bagian, yaitu analisis situasi, penetapan tujuan, identifikasi
kegiatan, dan penyusunan rencana operasional.

Analisis Situasi

Deskripsi masalah Dari analisis situasi akan diperoleh deskripsi masalah kesehatan
kesehatan yang terjadi di dalam masyarakat, kinerja sistem pelayanan atau
diidentifikasi kesehatan hingga saat ini, faktor risiko lingkungan, dan faktor
dengan prinsip risiko perilaku (Gani, et al., 2002). Deskripsi masalah kesehatan
dan metode diidentifikasi dengan prinsip dan metode epidemiologi yang
epidemiologi menghasilkan besaran masalah kesehatan, distribusi kelompok
yan masalah kesehatan, dan kemungkinan sumber masalah
g menghasilkan kesehatan. Untuk melakukan deskripsi masalah, pengambil
besaran kebijakan dapat menganalisis data primer yang dikumpulkan
masalah dengan survei atau data sekunder yang dikumpulkan dari laporan
kesehatan puskemas, laporan rumah sakit, laporan program, survei
, distribusi demografi dan kesehatan Indonesia, Survei Sosial Ekonomi Sosial
kelompok (Susenas), dan lain-lain.
masalah
kesehatan, dan Kinerja atau sistem pelayanan dan program kesehatan disusun
kemungkinan berupa tren output layanan kesehatan apakah sesuai dengan
sumber masalah target yang ditentukan sebelumnya. Dalam menyusun kinerja
kesehatan. pelayanan dan program kesehatan dapat juga dicari masalah dan
tantangan yang ditemukan di lapangan. Hasil kinerja pelayanan
saat ini akan menjadi sangat penting untuk merumuskan
tujuan atau target output dalam proses perencanaan.

Analisis faktor risiko lingkungan bertujuan untuk mengetahui


faktor lain yang meningkatkan masalah kesehatan, tetapi tidak
berkaitan langsung dengan kejadian penyakit. Contohnya adalah
nyamuk Aedes Aegypti merupakan sumber penyakit (yang
berkaitan langsung dengan kejadian DBD), sedangkan curah
hujan merupakan faktor yang secara tidak langsung berkaitan
dengan kejadian DBD (Kosnayani and Hidayat, 2018). Analisis
faktor risiko lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan
hasil surveilans, laporan puskesmas, data yang diperoleh dari
pemerintah daerah, survei khusus atau pengamatan staf Dinas
Kesehatan (Dinkes) dan laporan masyarakat.

Analisis faktor risiko perilaku bertujuan untuk menganalisis faktor


perilaku yang berkontribusi terhadap masalah kesehatan. Salah
satu contoh adalah perilaku buang air besar sembarangan yang
menimbulkan masalah kesehatan (Anggoro, 2017). Analisis faktor
risiko perilaku dapat dilakukan menggunakan data Susenas, hasil
survei khusus atau pengamatan staf, laporan masyarakat, dan
laporan puskesmas.

18 PEMBIAYAAN KESEHATAN
2.2.2. Penetapan Tujuan

Gambar 2.1. Pelaksanaan Program

Gani, et al. (2002). Modul Pelatihan Perencana

Gani, et al. (2002) mendefinisikan penetapan tujuan program


dibagi menjadi dua bagian, yaitu outcome atau hasil yang
berkaitan dengan tujuan umum dan output atau target yang
berkaitan dengan tujuan khusus. Tujuan umum berkaitan dengan
perbaikan derajat kesehatan, sedangkan tujuan khusus
merupakan pencapaian output yang berkaitan dengan perbaikan
kinerja program. Contoh dari tujuan umum adalah KLB Polio tidak
terjadi, sedangkan contoh dari tujuan khusus adalah jumlah balita
yang berhasil diimunisasi sebesar 80%. Gambar 2.1
menggambarkan pelaksanaan suatu program kesehatan yang
terdiri dari kegiatan, input, output, target, dan outcome.

Dalam menentukan tujuan program harus dipertimbangkan target


atau tujuan yang menjadi komitmen nasional dan komitmen
global. Contohnya Kementerian PPN/Bappenas menetapkan
seluruh isu kesehatan dalam SDGs dalam satu outcome, yakni
jaminan kehidupan yang sehat dan kesejahteraan bagi semua
orang di segala usia. Output yang diusung untuk mewujudkan
tujuan SDGs dibagi menjadi tiga pilar, yaitu paradigma sehat,
pelayanan kesehatan, dan jaminan kesehatan nasional
(Kementerian PPN/Bappenas n.d.). Output paradigma sehat
dilakukan dengan mengedepankan konsep promotif dan
preventif dalam pelayanan kesehatan serta menempatkan
kesehatan sebagai input penting dari proses pembangunan.
Output pelayanan kesehatan lebih ditekankan pada peningkatan
akses dan mutu layanan. Output jaminan kesehatan nasional
diperoleh dengan meningkatkan jaminan kesehatan kepada
seluruh penduduk dan warga negara asing yang tinggal di
Indonesia. Sementara itu, penentuan tujuan (target) khusus
harus memiliki rumusan kuantitatif yang spesifik, sasaran
penduduk yang jelas, sasaran lokasi yang jelas, dan waktu

KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 1


9
pencapaian yang jelas.

20 PEMBIAYAAN KESEHATAN
Identifikasi Kegiatan

Gani, et al. (2002) menyampaikan bahwa identifikasi kegiatan


sangat penting karena erat kaitannya dengan perhitungan
kebutuhan anggaran. Proses penyusunan kegiatan merujuk pada
(1) rumusan tujuan (output program), (2) rumusan proses dan
input program,
(3) rumusan faktor risiko lingkungan, dan (4) rumusan faktor
risiko perilaku. Kegiatan-kegiatan program disusun berdasarkan
penyusunan anggaran berbasis kinerja. Kegiatan dapat dibagi
menjadi kegiatan langsung dan kegiatan tidak langsung yang
dideskripsikan melalui Gambar 2.2.

Gambar 2.2.
Pengidentifikasian
Kegiatan

Gani, et al. (2002).


Modul Pelatihan
Perencanaan dan
Penganggaran Kesehatan
Terpadu (P2KT). Jakarta:
PT.Nisarindo Jaya
Abadi.

Penyusunan Rencana Operasional

Setelah identifikasi kegiatan selesai dilakukan, rencana


operasional disusun yang terdiri dari (Gani, et al., 2002):

Gambar 2.3.
Rencana
Operasiona
l

Gani, et al. (2002).


Modul Pelatihan
Perencanaan dan
Penganggaran Kesehatan
Terpadu (P2KT). Jakarta:
PT.Nisarindo Jaya
Abadi.

KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 2


1
Setelah proses analisis situasi hingga penyusunan rencana
operasional selesai perlu diperiksa kembali apakah masih ada
kegiatan yang dapat diintegrasikan menjadi satu sehingga tidak
akan tumpang-tindih.

Perhitungan Kebutuhan Biaya (Costing) layanan kesehatan.

Perhitungan kebutuhan biaya adalah suatu hal yang sangat


penting dalam suatu layanan kesehatan saat ini. Perkiraan
biaya dipergunakan untuk menganalisis efektivitas biaya,
evaluasi ekonomi, dan menilai dampak dari sebuah
program yang dilaksanakan lembaga milik pemerintah dan
swasata dalam mencegah, mendeteksi, dan mengobati suatu
penyakit (Lipscomb et al. 2009). Bahkan saat ini perhitungan
kebutuhan biaya menjadi salah satu hal yang paling penting
bagi lembaga kesehatan, misalnya rumah sakit (Carroll and Lord,
2016). Carroll dan Lord (2016) mengidentifikasi perhitungan
kebutuhan biaya (costing) menjadi lima jenis yaitu:
1. Traditional Costing merupakan metodologi akuntansi biaya
yang menghitung biaya keseluruhan pada sebuah program
dengan tingkat persentase tertentu (Paulus, van Raak, and
Keijzer 2002). Perhitungan dengan metode ini mudah, tetapi
dikritisi karena diaggap gagal untuk menghitung biaya berbagai
layanan dan tidak menunjukkan biaya yang akurat (Carroll and
Lord, 2016)
2. Activity Based Costing (ABC) merupakan metodologi
akuntasi biaya yang menghitung semua biaya kegiatan yang
ada untuk mendukung terlaksananya sebuah program. Metode
ini juga menghitung biaya tidak langsung yang berhubungan
dalam pelaksaan sebuah program (Velmurugan, 2010).
Pengunaan metode ini memberi pengambil kebijakan informasi
yang lebih akurat. Keakuratan metode menjadi keunggulan
dibandingkan pendekatan perhitungan biaya lain sehingga
banyak digunakan dalam berbagai evaluasi biaya dan
keuntungan (Namazi 2009).
3. Time Driven Activity Based Costing (TDABC) merupakan
perhitungan biaya berdasarkan aktivitas yang mengatasi
beberapa kekurangan dari metode Activity Based Costing
(ABC). Metode TDABC berasumsi bahwa sebagian besar
sumber daya, seperti tenaga kerja, peralatan, dan fasilitas,
memiliki kapasitas yang dapat diukur dari sisi waktu (Namazi,
2009).
4. Performance-Focused Activity Based Costing (PFABC)
merupakan iterasi ketiga dari metode ABC. Perhitungan dengan
metode PFABC dapat menilai setiap kegiatan dengan berbagai
cara, yaitu berdasarkan pemanfaatan waktu atau kualitas.
Metode PFABC memiliki beberapa keuntungan, yaitu dapat
mengidentifikasi kegiatan yang penting (Namazi, 2009).
5. Ratio of Cost to Charges (RCCs) merupakan penetapan biaya
khusus untuk industri kesehatan. Rumah sakit yang
berpartisipasi harus mengajukan laporan tahunan ke pusat

22 PEMBIAYAAN KESEHATAN
Perkiraan biaya dipergunakan untuk menganalisis
efektivitas biaya, evaluasi ekonomi, dan menilai dampak
dari sebuah program yang dilaksanakan lembaga milik
pemerintah dan swasata dalam mencegah, mendeteksi,
dan mengobati suatu penyakit.

KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 2


3
Rumah sakit diberikan wewenang untuk memperkirakan
seluruh biaya dari setiap departemen penghasil pendapatan
dan memasangkannya semua total biaya tiap departemen
untuk menghitung rasio tingkat biaya yang dikeluarkan rumah
sakit terhadap harga yang dikenakan kepada pasien.

Sejalan dengan metode Activity Based Costing (ABC), Gani et


all (2002) menyusun sebuah perhitungan biaya yang mengubah
program-program ke dalam nilai moneter yang disebut sebagai
Activity and Input Based Costing and Budgeting pada
Gambar 2.4.

Gambar 2.4.
Activity and Input
Based Costing and
Budgeting

Gani, et al. (2002).


Modul Pelatihan
Perencanaan dan
Penganggaran Kesehatan
Terpadu (P2KT). Jakarta:
PT.Nisarindo Jaya
Abadi.

2.3.1. Micro-Costing

Selain lima metode perhitungan biaya yang diidentifikasi Carroll


dan Lord (2016) terdapat metode perhitungan biaya yang disebut
dengan Micro-Costing. Metode ini dilaksanakan dengan cara
mengumpulkan data yang lebih terperinci tentang semua sumber
daya yang digunakan dalam pelaksanaan suatu progam dan
dapat menjadi salah satu bentuk evaluasi ekonomi dari program
sebelumnya. Micro-costing memberikan hasil yang lebih tepat
dan detail dibandingkan metode penetapan biaya sebelumnya
yang biaya rata-ratanya relatif lebih besar dibandingkan data
yang seharusnya (Frick, 2009).

Di dalam metode Micro-costing, seluruh komponen biaya dihitung


berdasarkan persentase penggunaan setiap variabel dalam
melaksanakan layanan. Hasil perhitungan bahkan dapat dibagi

24 PEMBIAYAAN KESEHATAN
menjadi dua bagian besar, yaitu perspektif dari penyedia layanan dan perspektif dari pengguna layana

Gambar 2.5. Langkah-Langkah Me

Dimodifikasi dari Drummond, M.E., Sculpher

Gambar 2.5. menunjukkan perhitungan biaya dari perspektif


penyedia layanan yang melibatkan biaya tenaga kerja, biaya
peralatan, biaya pemeliharaan, dan biaya barang habis pakai,
sedangkan perhitungan biaya dari perspektif pengguna layanan
melibatkan biaya medis (misalnya biaya laboratorium dan obat-
obatan) dan biaya nonmedis (misalnya biaya transportasi dan
hilangnya produktivitas). Siregar, Pitriyan, dan Walters (2018)
mengukur produktivitas yang hilang dengan menggunakan waktu
kerja yang hilang ketika menggunakan layanan kesehatan
(seperti waktu tunggu dan waktu layanan).

Waktu tunggu yang lama di fasilitas kesehatan berdampak buruk


pada fisik, mental, dan keuangan pasien (Tsui and Fong 2018).
Hal ini akan meningkatkan total biaya kesehatan, baik yang
ditanggung penyedia layanan maupunpengguna layanan karena
waktu sembuh semakin lama (Fielden et al, 2005). Setelah
pemerintah memiliki semua rincian pembiayaan dari semua
program yang ada, pemerintah dapat masuk ke tahap
selanjutnya dalam proses pembiayaan kesehatan, yaitu
penganggaran (budgeting)

Penganggaran (Budgeting)

Penganggaran sangat penting untuk mencapai tujuan utama


seluruh perencanaan kesehatan baik level nasional maupun
daerah. WHO (2016) mendefinisikan anggaran sebagai bagian
dari APBN yang dialokasikan untuk sektor kesehatan yang
melibatkan semua kementerian dan lembaga terkait. Anggaran
kesehatan lebih dari sekadar anggaran sederhana yang

KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 2


5
menyajikan instrumen akuntansi

26 PEMBIAYAAN KESEHATAN
yang memuat pendapatan dan pengeluaran, tetapi lebih dari
itu karena memuat komitmen nyata negara untuk
menyukseskan strategi kesehatan (Rajan et al, 2016). Byrne (2006)
mendefinisikan pentingnya penganggaran dalam kesehatan
sebagai berikut:
1. Kontrol penggunaan keuangan yang dapat ditunjukkan dengan
kesesuaian antara perencanaan (planning) dan penggunaan
anggaran sepanjang waktu berjalan.
2. Delegasi penggunaan keuangan yang akan meningkatkan
kecepatan pengambilan keputusan pada tingkat jabatan
organisasi dalam lembaga atau kementerian yang dapat
menggunakan anggaran.
3. Terjemahan dari perencanan yang tepat yang ditunjukkan
dengan distribusi alokasi dengan tepat dan produktivitas
penggunaan alokasi.

Prinsip Penyusunan Anggaran


Untuk
mendapatkan Untuk mendapatkan output dan outcome yang maksimal,
output dan penyusunan anggaran kesehatan haruslah berbasis kinerja
outcome yang atau disebut dengan penyusunan anggaran terpadu berbasis
maksimal, kinerja. Gani, et al. (2002) menyampaikan tujuh prinsip yang
penyusunan harus diperhatikan pada saat penyusunan anggaran berbasis
anggaran kinerja, yaitu:
kesehatan 1. Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota adalah penanggung
haruslah berbasis jawab utama dalam penyusunan anggaran untuk semua
kinerja program (menyeluruh).
atau disebut 2. Penyusunan anggaran harus memperhitungkan kebutuhan
dengan biaya dari setiap program secara bottom up. Penyusunan
penyusunan anggaran bottom up dapat mengidentifikasi kebutuhan
anggaran anggaran dari unit layanan kesehatan terkecil dalam sistem
terpadu berbasis kesehatan (Bengoa, 2013).
kinerja. 3. Alokasi anggaran harus terpadu dan seimbang antara unit
yang melaksanakan kegiatan langsung (pelayanan) dan unit
yang melaksanakan kegiatan penunjang sesuai dengan bobot
kegiatan masing-masing. Kegiatan langsung atau layanan
kesehatan biasanya dilakukan oleh fasiltias kesehatan, seperti
puskesmas dan rumah sakit, sedangkan kegiatan penunjang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan dalam bentuk pelatihan,
koordinasi, atau pengawasan.
4. Alokasi anggaran harus terpadu dan seimbang yang
seharusnya dibagi menjadi anggaran operasional, anggaran
pemeliharaan, dan anggaran investasi. Investasi di dalam
pelayanan kesehatan adalah hal yang sangat penting, tidak
terkecuali pada fasilitas kesehatan puskesmas (Stenberg et al,
2019).
5. Sumber anggaran kesehatan dapat berasal dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD), dan masyarakat atau swasta.
6. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan masyarakat atau

KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 2


7
swasta

28 PEMBIAYAAN KESEHATAN
memiliki karakteristik masing-masing.
7. Penyusunan anggaran perlu memperhatikan kondisi adanya
mata anggaran yang dapat digunakan bersama antarprogram,
seperti anggaran supervisi program. Integrasi antarprogram
perlu dilakukan untuk mencegah ketumpangtindihan dan
inefisiensi.

Dalam penyusunan anggaran, Gani, et al. (2002) menyampaikan


beberapa masalah atau “penyakit” yang sering terjadi, yaitu:
1. Anggaran kesehatan yang terlalu kecil sehingga pembiayaan
program sangat minim.
2. Realisasi anggaran yang terlambat karena proses turunnya
anggaran yang berasal dari pusat membutuhkan waktu dan
proses administrasi yang lebih lama.
3. Sulitnya daerah melakukan konsolidasi anggaran yang berasal
dari pusat.
4. Anggaran biaya operasional obat/bahan habis pakai yang
minim. Hal ini menyebabkan kinerja pelayanan yang tidak
optimal.
5. Biaya kegiatan penunjang dan administratif yang besar, seperti
biaya pertemuan, perjalanan, dan kegiatan penunjang lainnya
sehingga membuat fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, sulit
untuk melakukan pembiayaan.
6. Lemahnya kaitan antara anggaran dan kinerja yang
ditunjukkan dengan masih banyak mata anggaran yang sulit
dijelaskan hubungan logisnya dengan output program atau
bahkan tidak terdapat output program.
7. Penyusunan anggaran yang cenderung untuk kuratif,
sedangkan anggaran untuk preventif, seperti promosi
kesehatan (promkes) dan kesehatan lingkungan (kesling)
masih minim. Padahal preventif adalah hal penting dalam
sistem kesehatan.

Terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan


anggaran, yaitu (1) pengganggaran menyeluruh untuk semua
program, (2) kebutuhan anggaran ditetapkan secara bottom up,
(3)terpadu dan seimbang antara unit penunjang dan unit layanan,
dan (4) terpadu dan seimbang antara anggaran investasi dan WHO
operasional atau pemeliharaan. WHO mendefinisikan anggaran mendefinisikan
menjadi lima komponen, yaitu Apa, Mengapa, Kapan, Siapa, dan anggaran
Bagaimana (Rajan et al, 2016). (Lihat Gambar 2.6) menjadi lima
komponen, yaitu
Penganggaran yang terkait dengan proses penetapan alokasi Apa, Mengapa,
sumber daya menghasilkan keluaran yang terbaik. Penganggaran Kapan, Siapa,
menjadi sangat penting karena menjadi instrumen tertulis dan Bagaimana.
yang menunjukkan komitmen nyata sebuah negara atau daerah
dalam mengimplementasikan kebijakan dan strategi kesehatan.

KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 2


9
Gambar 2.6. Lima Komponen
Anggaran

ld Health Organization. (2008). Health Systems


Financing.

Bentuk Sistem Penganggaran

Terdapat empat proses penganggaran yang diterapkan oleh


berbagai negara di dunia, yaitu Public Financial Management,
Medium Term Expenditure Framework, Line-Item Budgeting for
Health, dan Performance Budgeting.

Public Financial Management (PFM)

PFM merujuk pada seperangkat hukum, aturan, sistem, dan


proses yang digunakan oleh pemerintah suatu negara atau daerah
untuk memobilisasi pendapatan, mengalokasikan dana publik,
melakukan belanja, dan mempertanggungjawabkan penggunaan
dana dengan hasil audit (Lawson, 2015). PFM terdiri dari enam
bagian siklus yang dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Pada praktiknya PFM berfokus pada proses pelaksanaan


perencanaan dan penggunaan anggaran kesehatan yang kredibel.
Proses pengawasan, seperti proses akuntansi, audit internal,
dan audit eksternal, diperlukan untuk memastikan aliran dana
digunakan secara efisien hingga menghasilkan output maksimal.
Di beberapa negara, Praktik PFM mendapat dukungan dari
berbagai donor di dunia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
di Afrika menggunakan data 1998-2007, terdapat beberapa
negara yang mengalami perbaikan signifikan di institusi atau
sistem penganggaran, seperti Burkina Faso, Tanzania, dan
Zambia (Lawson 2001).

30 PEMBIAYAAN KESEHATAN
Gambar 2.7. Public Financial Ma

Andrew Lawson. (2015). Public Financial Mana


Professional Development Reading Pack No. 6
Birmingham, UK: GSDRC, University of Birmin

Medium Term Expenditure Framework (MTEF)

MTEF merupakan kerangka penganggaran jangka menengah


yang bersifat komprehensif, dengan lembaga pemerintah yang
dapat menghubungkan seluruh rencana pengeluaran dengan
kebijakan prioritas dalam kerangka fiskal (terkait dengan kondisi
ekonomi makro dan perkiraan pendapatan negara) yang biasanya
disusun untuk tiga tahun (Rajan et al, 2016). Dalam kerangka ini,
departemen diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk
alokasi dan penggunaan dana dalam pencapaian ouput dan
outcome. Penganggaran ini dapat membantu menghubungkan
perkiraan pendapatan, alokasi sektoral dan prioritas kebijakan
kesehatan yang lebih spesifik. Rajan (2016) membagi lima kunci
tahapan dari proses MTEF pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Lima


Kunci Tahapan
Proses MTEF

D. Rajan, H. Barroy, and


K. Stenberg. (2016).
Strategizing National
Health in the 21st Century:
A Handbook. World Health
Organization.

KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 3


1
Sebagian
Sebagian besar negara di Eropa telah menggunakan sistem
besar negara
MTEF dengan jangka waktu yang berbeda, dari dua hingga
di Eropa telah
lima tahun. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
menggunakan menunjukkan Lithuania menjadi negara dengan periode MTEF
sistem MTEF selama dua tahun. Bulgaria, Slovakia, Slovenia, Spanyol, dan
dengan jangka beberapa negara lainnya memiliki periode MTEF selama tiga
waktu yang tahun, sedangkan Jerman, Austria, Belgia, Denmark dan
berbeda, dari beberapa negara lainnya memiliki masa empat tahun (Filc and
dua hingga lima Scartascini, 2010). Filc and Scartascini (2010) mencatat terdapat
tahun. dua negara yang memiliki periode lima tahun dalam pelaksanaan
MTEF, yaitu Irlandia dan Latvia.

Line-Item Budgeting for Health

Metode penganggaran ini telah digunakan sejak lama di berbagai


negara dengan informasi anggaran yang diatur berdasarkan
kategori biaya yang terdiri dari kategori staf, perlengkapan
atau biaya operasional, dan peralatan atau barang modal (Rajan
et al, 2016). Fasilitas kesehatan akan menerima jumlah anggaran
tetap untuk periode tertentu untuk input tertentu (misalnya
untuk staf dan obat-obatan).

Line-Item Budgeting menjadi cara lembaga legistlatif untuk


melakukan pengawasan karena memiliki pos-pos yang spesifik,
tetapi menjadi penghambat bagi fasilitas kesehatan untuk
mengelola dana kesehatan secara fleksibel karena pengeluaran
harus mengikuti garis anggaran yang sudah ditentukan
secara ketat. Jenis penganggaran ini sering disebut dengan
penganggaran tradisional. Walaupun memiliki banyak kelemahan,
jenis penganggaran ini masih banyak digunakan karena dianggap
mudah untuk dilaksanakan. Dari begitu banyak negara yang
pernah menggunakan line item budgeting, Korea Selatan menjadi
negara yang sukses mengubah line item budgeting menjadi
programme budgeting.

Performance Budgeting

OECD (2008) mendefinisikan Performance Budgeting atau


Penganggaran Berbasis Kinerja sebagai penganggaran yang
menghubungkan dana yang dialokasikan dengan hasil yang
terukur dan efisien. Di dalam pelaksanaan anggaran berbasis
kinerja, para pemangku kepentingan harus menemukan
implementasi yang paling sesuai dengan tata kelola dan struktur
kelembagaan yang lebih luas. Pelaksanaan anggaran berbasis
kinerja harus memiliki fleksibilitas dan fokus pada outcome, tidak
hanya output. Di dalam pelaksanaannya, pemangku kepentingan
tidak perlu memiliki terlalu banyak target. Target dapat dibatasi,
tetapi banyak cara pengukuran keberhasilan target dapat
digunakan. Perlunya pengukuran keberhasilan target juga perlu
diiringi dengan peningkatan kualitas penyajian dan pelaporan
informasi kinerja (OECD, 2008).

32 PEMBIAYAAN KESEHATAN
Gani, et al. (2002) menyampaikan dalam sektor kesehatan, anggaran
berbasis kinerja ditunjukkan dengan adanya keseimbangan antara
anggaran kegiatan pelayanan langsung dan kegiatan penunjang.
Kedua-duanya perlu disusun berdasarkan kebutuhan dan output
atau outcome yang jelas. Penelitian sebelumnya menunjukkan
beberapa negara telah melakukan Penganggaran Berbasis
Kinerja, seperti Australia, Kanada, Swedia, Belanda, Selandia
Baru, Inggris, dan Amerika Serikat. Terdapat berbagai tantangan
yang dihadapi dengan sangat baik oleh negara-negara tersebut
untuk melaksanakan Penganggaran Berbasis Kinerja (Sterck and
Scheers 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan OECD
(2008) langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam
menyusun Penganggaran Berbasis Kinerja dapat dilihat pada
Gambar 2.9.

Gambar 2.9.
Menyusun
Anggaran Berbasis
Kinerja

OECD. (2008). Policy Brief


Performance Budgeting: A
Users’ Guide. (March).

Efisiensi dan Efektivitas

Kunci penting dalam penyusunan anggaran adalah efisiensi dan


efektivitas. Efektivitas adalah pencapaian target atau outcome
dari suatu kegiatan atau intervensi kesehatan sesuai dengan apa
yang direncanakan. Sementara itu, efisiensi adalah kondisi yang
paling ekonomis dari pelaksanaan suatu intervensi yang
ditunjukkan dengan rasio input dan output pada intervensi
(Enrique and Marta, 2020). Konsep efisiensi dan efektivitas dapat
dibedakan melalui kerangka pemikiran yang disusun oleh Ulrike,
Adriaan, Fabienne, (2008) pada Gambar 2.10.

KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 3


3
an Konsep Efisiensi dan Efektivitas

Ulrike, Adriaan, Fabienne (2008) The Effectiveness and Efficiency of

Public Spending.
Directorate General Pengukuran efisiensi dan efektivitas dapat dilakukan dengan
Economic and menggunakanperhitunganmodel DEA/Data Envelopment Analysis
Financial Affairs (Lo Storto and Goncharuk, 2017). Ukuran dasar efisiensi
(DG ECFIN), dibedakan menjadi dua, yaitu efisiensi alokatif dan efisiensi
European teknis. Secara konsep, efisiensi alokatif mengacu pada
Commission. penggunaan input yang bervariasi untuk menghasilkan kombinasi
output yang berbeda, sedangkan efisiensi teknis berkaitan dengan
pencapaian output maksimum dengan penggunaan biaya paling
rendah (Akazili et al, 2008). Contoh penggunaan input, output,
dan outcome di dalam pengukuran efisiensi dan efektivitas dapat
dilihat pada Gambar 2.11.

Contoh The Analysis of Tuberculosis Funds Efficiency on High Burden


Penggunaan Countries. Jurnal Ekonomi dan Bisnis 22(1):45–62.
Input, Output,
dan
Outcome

J., M.
Akazili, Adjuik, S.
Chatio,
E. Kanyomse,
A. Hodgson, M.
Aikins, and J.
Gyapong. (2008).
“What
Are the
Technical and
Allocative
Efficiencies of
Public Health
Centres in
Ghana?” Ghana
Medical
Journal.

Gambar 2.12.
Contoh Proses
Perhitungan
Efisiensi Alokatif

Estro Sihaloho
and Adiatma
Siregar. (2019).

30 PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pada saat diolah
menggunakan
DEA, model 1 akan
menghasilkan
indeks efisiensi
dari sistem
layanan
kesehatan,
sedangkan model
2 akan
menghasilkan
indeks efektivitas
dari layanan
kesehatan.
Orientasi pada
model 1 adalah
input dan output,
sedangkan
orientasi pada
model 2 adalah
ouput dan
outcome. Model 1
juga disebut
sebagai Efisiensi
Teknis karena
menggunakan
perpaduan jenis
input (moneter
dan nonmoneter).
Sementara itu,
efisiensi alokatif
biasanya
menggunakan
input berupa nilai
moneter. Contoh
proses perhitungan
efisiensi alokatif
(Sihaloho and
Siregar, 2019)
dapat dilihat pada
Gambar 2.12.

KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 31


Selain pengaruh dari cara penggunaan input dan menghasilkan
Untuk
output yang maksimal, model 1 (skor efisiensi alokatif) juga
menghitung
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, misalkan perilaku masyarakat
faktor lingkungan
menggunakan tembakau dan jumlah dana pengendalian
yang memiliki
tembakau di suatu negara dapat berpengaruh terhadap skor
pengaruh paling
efisiensi alokatif (Sihaloho and Siregar, 2019). Contoh lain faktor
besar terhadap
lingkungan adalah pengaruh perilaku buang sampah botol plastik
skor efisiensi
sembarangan yang dapat menampung air menjadi faktor yang
dapat digunakan
secara tidak langsung berkaitan dengan kejadian DBD. Untuk
metode analisis
menghitung faktor lingkungan yang memiliki pengaruh paling
besar terhadap skor efisiensi dapat digunakan metode analisis
Tobit.
Tobit (Afonso and Fernandes, 2008).

Studi Kasus Indonesia

P
roses perencanaan dan
management, penganggaran berbasis
penganggaran diatur oleh UU
kinerja, dan kerangka pengeluaran
17/2003, UU 1/2004, UU 15/2004,
jangka menengah sudah mulai
dan UU 25/2004. Undang-undang
diperkenalkan kepada para pemangku
tersebut menuliskan bagaimana daerah
kebijakan (Widodo, 2017). Pada tahun
dan pusat memiliki peran yang sama
2011, penerapan penganggaran berbasis
penting dalam melakukan proses
kinerja dan kerangka pengeluaran
perencanaan hingga penganggaran.
jangka menengah untuk berbagai
program dan kegiatan di kementerian
Dengan sistem desentralisasi saat
atau lembaga. Hingga saat ini
ini, pemerintah daerah tidak bisa
pemerintah Indonesia masih perlu
menggantungkan proses perencanaan
meningkatkan kualitas penganggaran.
hingga penganggaran sepenuhnya
pada pemerintah pusat. Pemerintah
Penganggaran berbasis kinerja di
daerah tidak dapat hanya berpatokan
laporan keuangan Kementerian dan
pada data-data yang dimiliki oleh
lembaga masih bersifat administratif
pemerintah pusat untuk melakukan
karena realisasi serapan anggaran
analisis situasi. Pemerintah daerah
belum dapat menunjukkan apakah
harus berusaha memiliki data sendiri
realisasi anggaran sudah mencapai
dan menganalisisnya dengan benar
kinerja yang ditargetkan (Farhan, 2012).
sehingga menghasilkan perencanaan
Pemerintah perlu melakukan perbaikan
hingga penganggaran yang tepat.
dan melakukan evaluasi agar anggaran
berbasis kinerja tidak hanya dilakukan
Berbagai jenis penganggaran
pada tahap penyusunan, tetapi hingga
telah dilakukan oleh pemerintah
pada tahap pertanggungjawaban
Indonesia. Pada tahun 2003, metode
(Farhan, 2012).
penganggaran public finance

30 PEMBIAYAAN KESEHATAN
Penutup
Proses Output dan outcome yang maksimal dari program kesehatan
pembiayaan di Indonesia membutuhkan pelaksanaan proses pembiayaan
kesehatan terdiri kesehatan yang benar sehingga pembiayaan menjadi tepat
dari tiga tahap, sasaran. Hal tersebut akan mendorong pembiayaan yang besar
yaitu proses untuk program yang penting dan mengurangi pembiayaan untuk
perencanaan, program yang tidak efisien.
proses
perhitungan Proses pembiayaan kesehatan terdiri dari tiga tahap, yaitu proses
biaya, dan perencanaan, proses perhitungan biaya, dan proses
proses penganggaran. Setiap pemangku kepentingan di Indonesia wajib
penganggaran. mengetahui ketiga proses tersebut secara baik dan benar.

Ketiganya memiliki peran yang sama penting sehingga


pelaksanaannya harus memiliki kualitas yang maksimal. Sudah
saatnya pelaksanaan semua program kesehatan dari level institusi
kesehatan terendah hingga tertinggi mengacu pada efisiensi dan
efektivitas sehingga berbagai permasalahan kesehatan di
Indonesia lebih cepat diselesaikan.

Daftar Pustaka

Afonso, António and Sónia Fernandes. (2008). Assessing and


Explaining the Relative Efficiency of Local
Government. Journal of Socio-Economics 37(5):1946–
79.

Akazili, J., M. Adjuik, S. Chatio, E. Kanyomse, A. Hodgson, M. Aikins,


and J. Gyapong. (2008). “What Are the Technical and
Allocative Efficiencies of Public Health Centres in Ghana?”
Ghana Medical Journal.

Anggoro, Rena Ratri. (2017). Gambaran Perilaku Buang Air


Besar Sembarangan Pada Masyarakat Desa
Jatimulyo, Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Penelitian
Kesehatan 15(2):129–34.

Bengoa, Rafael. (2013). Transforming Health Care: An Approach to


System-Wide Implementation. International Journal of
Integrated Care.

Byrne, Michael. (2006). The Usefulness of Budgets in the


Healthcare Sector. Irish Journal of Management.

Carroll, Nathan and Justin C. Lord. (2016). The Growing Importance


of Cost Accounting for Hospitals. Journal of Health Care
Finance.

Drummond, M.E., Sculpher, and M.J., Torrance, G. (2006). Methods


for The Economic Evaluation of Health Care Programme.
Journal of Epidemiology & Community Health.

32 PEMBIAYAAN KESEHATAN
Enrique, Burches, and Burches Marta. (2020). Efficacy, Effectiveness
and Efficiency in the Health Care: The Need for an
Agreement to Clarify Its Meaning. International Archives of
Public Health and Community Medicine.

Farhan, Yuna. (2012). Reformasi Penganggaran Di Indonesia.


Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparasi
Anggaran.

Fielden, Jann M., J. M. Cumming, J. G. Horne, P. A. Devane, A.


Slack, and L. M. Gallagher. (2005). Waiting for Hip
Arthroplasty: Economic Costs and Health Outcomes.
Journal of Arthroplasty.

Filc, Gabriel and Carlos Scartascini. (2010). Is Latin America on the


Right Track? An Analysis of Medium-Term Frameworks
and the Budget Process.

Frick, Kevin D. (2009). Microcosting Quantity Data


Collection Methods. Medical Care 47(7 Suppl 1):S76–
81.

Gani, Ascobat. (2002). Modul Pelatihan Perencanaan dan


Penganggaran Kesehatan Terpadu (P2KT).
Jakarta: PT.Nisarindo Jaya Abadi.

Kementerian PPN/Bappenas. n.d. Kehidupan Sehat dan Sejahtera.


Retrieved (http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-3/#).

Kosnayani, Ai Sri, and Asep Kurnia Hidayat. (2018). Hubungan


antara Pola Curah Hujan dengan Kejadian DBD di Kota
Tasikmalaya Tahun 2006-2015 (Kajian Jumlah Curah Hujan
dan Hari Hujan).” Jurnal Siliwangi Seri Sains dan
Teknologi 4(1).

Lawson, Andrew. (2001). Evaluation of Public Financial


Management Reform. Burkina Faso, Ghana and Malawi
2010.

Lawson, Andrew. (2015). Public Financial Management.


GSDRC Professional Development Reading Pack No. 6.
Birmingham, UK: GSDRC, University of Birmingham.

Lipscomb, Joseph, K. Robin Yabroff, Martin L. Brown, William


Lawrence, and Paul G. Barnett. (2009). Health Care Costing:
Data, Methods, Current Applications. Medical Care.

Mandl, Ulrike, Adriaan Dierx, and Fabienne Ilzkovitz. (2008). The


Effectiveness and Efficiency of Public Spending.

Namazi, Mohammad. (2009). Performance-Focused ABC: A


Third Generation of Activity-Based Costing System.
Cost Management.

33
PROSES PEMBIAYAAN KESEHATAN
OECD. (2008). Policy Brief Performance Budgeting: A Users’
Guide. (March).

Paulus, Aggie, Arno van Raak, and Femke Keijzer. (2002). ABC:
The Pathway to Comparison of the Costs of Integrated
Care.
Public Money and Management.

Rajan, D., H. Barroy, and K. Stenberg. (2016). Strategizing


National Health in the 21st Century: A Handbook. World
Health Organization.

Sihaloho, Estro and Adiatma Siregar. (2019). The Analysis of


Tuberculosis Funds Efficiency on High Burden Countries.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis 22(1):45–62.

Siregar, Adiatma Y. M., Pipit Pitriyan, and Dylan Walters. (2018).


The Annual Cost of Not Breastfeeding in Indonesia:
The Economic Burden of Treating Diarrhea and
Respiratory Disease among Children (< 24mo) Due
to Not Breastfeeding According to Recommendation.
International Breastfeeding Journal 13(1):10.

Stenberg, Karin, Odd Hanssen, Melanie Bertram, Callum Brindley,


Andreia Meshreky, … Tessa Tan-Torres Edejer. (2019). Guide
Posts for Investment in Primary Health Care and
Projected Resource Needs in 67 Low-Income and Middle-
Income Countries: A Modelling Study. The Lancet Global
Health.

Sterck, Miekatrien, and Bram Scheers. (2006). Trends in


Performance Budgeting in Seven OECD Countries. Public
Performance & Management Review.

Lo Storto, Corrado, and Anatoliy G. Goncharuk. (2017).


Efficiency vs Effectiveness: A Benchmarking Study on
European Healthcare Systems.” Economics and
Sociology.

Tsui, Yee-man and Ben Y. F. Fong. 2018. “Waiting Time in Public


Hospitals: Case Study of Total Joint Replacement in Hong
Kong.” Public Administration and Policy: An Asia-Pacific
Journal.

Velmurugan, Manivannan Senthil. (2010). The Success and Failure


of Activity-Based Costing Systems. Journal of
Performance Management.

Widodo, Teguh. (2017). Performance-Based Budgeting: Evidence


from Indonesia.

World Health Organization. (2008). Health Systems Financing.

34 PEMBIAYAAN KESEHATAN
BAB
Konsep Asuransi
Sebagai Bagian
3 Pembiayaan Kesehatan

Pengantar

Bab ini akan memberikan pemahaman skema asuransi yang


terkait dengan pembiayaan kesehatan di Indonesia. Pembahasan Asuransi
akan diberikan secara runut, dari prinsip dasar asuransi kesehatan
kesehatan, manajemen risiko, hingga perbedaannya dengan merupakan
skema asuransi komersial. suatu instrumen
sosial yang
ditujukan untuk
Prinsip Dasar Asuransi Kesehatan mengartikulasikan
prinsip gotong
Asuransi kesehatan merupakan suatu instrumen sosial yang royong atau
ditujukan untuk mengartikulasikan prinsip gotong royong atau solidaritas
solidaritas masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan. Dalam masyarakat dalam
analogi sederhana, masyarakat secara bersama-sama bidang pelayanan
berkontribusi memberikan pertolongan semampunya untuk kesehatan.
membantu anggota masyarakat yang sakit. Bentuk solidaritas
sosial ini dalam terminologi modern sering kali disebut dengan
asuransi dan yang akan dibahas lebih khusus adalah asuransi
kesehatan. Secara umum terdapat beberapa prinsip dasar dalam
skema asuransi dapat dilihat di Tabel 3.1.

KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 35


Tabel 3.1. Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi
Prinsip Asuransi Intisari
Utmost Good of Faith Kontrak asuransi harus disepakati oleh kedua
belah pihak (asuransi dan peserta) yang
didasarkan pada pemahaman dan kepercayaan
yang sama.
2). Principles of Insurance Law: Fourth Edition. Insurable Interest Orang yang diasuransikan mengalami beberapa
Carolina: Academic Press. kerugian finansial akibat kerusakan atau
kejadian yang tertanggung.
Indemnity Skema asuransi bukan merupakan instrumen
untuk spekulasi atau cari untung sehingga
besaran benefit yang ditanggung tidak boleh lebih
tinggi.
Subrogation Ketika asuradur memberikan penggantian penuh
atas kerugian objek atau benda tertanggung,
kepemilikan atas objek tersebut berpindah
kepada asuradur (berlaku untuk asuransi
kerugian—non- kesehatan)
Contribution Tingkat kontribusi yang adekuat atas kerugian
yang ditanggungkan
Proximate Cause Ketika kerugian disebabkan oleh lebih dari
satu penyebab, proksi atau penyebab
terdekat harus dipertimbangkan untuk
memutuskan pertanggungan oleh asuradur.
Loss Minimization Upaya dari tertanggung meminimalkan
kerugian yang terjadi.

Secara prinsip konteks asuransi kesehatan berdasarkan sifat


penyelenggaraannya dibagi menjadi dua jenis, yaitu asuransi
kesehatan yang bersifat komersial dan sosial. Pada dasarnya
asuransi kesehatan komersial bertujuan memberikan
perlindungan kepada penduduk yang ditandai dengan hubungan
transaksi yang bersifat sukarela, sebagaimana layaknya transaksi
dagang. Sementara itu, asuransi kesehatan sosial bertujuan
untuk memberikan perlindungan kepada penduduk berdasarkan
penegakan keadilan sosial sehingga kepesertaanya bersifat wajib.

Asuransi kesehatan sosial berkembang untuk mengatasi isu


kegagalan pasar (market failure), dari sistem kesehatan yang
secara umum dapat menjamin penduduk secara luas hingga
harga atau kontribusi yang terjangkau. Bentuk asuransi
kesehatan sosial telah hadir dalam beberapa dekade terakhir,
antara lain Askes Pegawai Negeri Sipil, Asuransi Jasa Raharja, dan
JPK Jamsostek. Pada dasarnya bentuk asuransi tersebut belum
sepenuhnya menerapkan prinsip asuransi kesehatan sosial secara
konsisten, misalnya dalam hal kepesertaan dan norma penentuan
tingkat kontribusi.

Dalam implementasinya beberapa asuransi tersebut dapat


memberikan penggantian biaya kesehatan dalam bentuk uang
atau pelayanan kesehatan (in kind benefit). Karena tingginya
moral hazard, asuransi kesehatan yang memberikan penggantian
uang semakin terbatas. Pada kondisi tertentu pemberian jaminan
dalam bentuk pelayanan sulit diterapkan. Dalam penyelenggaraan
program JKN, isu-isu terkait dengan penetapan paket manfaat,
penyedia layanan dan sebagainya cenderung dapat dikelola

36 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


secara

KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 37


lebih baik dengan adanya regulasi yang jelas. Meskipun asuransi
komersial dan sosial memiliki beberapa perbedaan karakteristik
umum, perhatian terkait manajemen risiko tetap menjadi isu
yang sangat penting dalam penyelenggaraan skema asuransi.

Pemahaman Tentang Risiko

Dalam konteks penyelenggaraan skema asuransi kesehatan,


pemahaman tentang risiko menjadi penting, terutama dalam
mendefinisikan paket manfaat dan estimasi tingkat utilisasi atas
pertanggungan yang terjadi. Istilah “risiko” digunakan dalam
asuransi untuk kejadian-kejadian yang dapat diasuransikan yang
sifatnya bukan spekulatif. Risiko ini disebut juga pure risk atau
risiko murni (Thabrany, 2001). Secara prinsip terdapat beberapa
karakteristik ideal atas risiko yang dapat diasuransikan seperti
yang dijelaskan pada Tabel 3.2.

Karakteristik Risiko Intisari Tabel 3.2.


Large Number of Semakin tinggi pooling risiko yang ditanggung Karakteristik Risiko
Exposure Units dalam suatu skema asuransi, akan semakin mudah yang Diasuransikan
diprediksi probabilitas dari kerugian yang akan
terjadi dan tidak terlalu fluktuatif secara periodik. George. E. Rejda and
Accidental and Risiko yang dapat ditanggungkan adalah risiko M. J. Mc.Namara. (2011).
Unintentional Loss murni atau yang tidak dispekulasi untuk tujuan Principles of Risk
Management and
mendapatkan keuntungan dari insiden yang
Insurance: Twentieth
terjadi atau ditanggungkan. Edition. London: Pearson.
Determinable and Risiko kerugian yang ditanggungkan harus
Measurable Loss dapat dikuantifikasi pada besaran tertentu
untuk memfasilitasi penyesuaian kerugian yang
dapat ditanggungkan.

Dalam setiap langkah kehidupan risiko selalu ada. Skala risiko


bisa kecil, seperti terjatuh akibat tersandung batu, ataupun besar,
seperti kecelakaan lalu lintas yang dapat menyebabkan kematian
atau kecacatan. Setiap orang mempunyai cara tersendiri agar
terhindar dari berbagai risiko. Berdasarkan prinsip bahwa risiko
adalah peluang (dapat terjadi dan tidak terjadi), terdapat empat
kategori manajemen risiko sebagai berikut (Redja, et.al; Emmet,
et.al. 2003).
1. Menghindari risiko (risk avoidance): individu memilih untuk
tidak mengambil risiko atas kejadian atau bahaya yang akan
menimpa dirinya. Contohnya agar terhindar dari risiko
kecelakaan mobil, individu lebih memilih menggunakan moda
transportasi lainnya, misalnya kereta daripada mengendarai
mobil pribadi. Upaya yang lebih ekstrem adalah sama sekali
tidak bepergian untuk mengeliminasi risiko kecelakaan.
2. Mengurangi risiko (risk reduction): individu tetap memilih
untuk mengambil risiko karena tidak mungkin untuk
mengeliminasi semua risiko. Namun, individu berusaha
mengurangi terjadinya risiko atas insiden atau kerugian
melalui berbagai upaya. Contohnya agar mengurangi risiko
insiden kecelakaan mobil, individu akan berupaya mengemudi
dengan kecepatan tertentu.

38 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


3. Memindahkan risiko (risk transfer): individu berusaha untuk
memindahkan risikonya menjadi risiko kelompok, yaitu
melalui skema asuransi. Ini berarti secara prinsip individu tetap
mengambil risiko, tetapi mentransfer dari risikonya sendiri
menjadi risiko kumpulan.
4. Mengambil risiko (risk taker): individu memilih untuk
mengambil risiko tanpa modifikasi upaya ekstra untuk
mengurangi risiko terjadinya insiden atau kerugian atas dirinya.

Perbedaan Asuransi Komersial dan Asuransi Sosial

Undang-Undang No 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian


Akses terhadap
menyebutkanbahwaprogramasuransisosialwajibdiselenggarakan.
pelayanan
Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan dasar bagi
kesehatan
kesejahteraan masyarakat. Pasal 14 menyebutkan bahwa
merupakan
program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan
hak asasi
Usaha Milik Negara (UU No. 2 Tahun 1992). Kepesertaan dalam
setiap
skema asuransi sosial bersifat wajib sebagaimana terkait dengan
penduduk.
karakteristik pelayanan kesehatan yang ditandai dengan
Deklarasi PBB ketidakpastian (uncertainty). Akses terhadap pelayanan
pada tahun 1948 kesehatan merupakan hak asasi setiap penduduk. Deklarasi PBB
dengan jelas pada 1948 dengan jelas menyebutkan bahwa setiap penduduk
menyebutkan berhak terhadap jaminan kesehatan di saat sakit. Secara praktik
bahwa setiap individu menyadari risiko terjadinya sakit, tetapi pada umumnya
penduduk tidak mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai untuk
berhak terhadap mencukupi kebutuhan menutup risiko sakit yang akan terjadi di
jaminan masa depan.
kesehatan di saat
sakit.
Orang-orang di usia produktif akan mengambil risiko (risk
taker) terhadap masa depannya karena pengalaman
menunjukkan mereka jarang menderita sakit. Risiko sakit pada
10-20 tahun mendatang dianggap terlalu jauh untuk
diantisipasi. Mereka umumnya tidak akan membeli, secara
sukarela dan sadar meskipun mereka mampu membeli.
Sebaliknya, orang tua dan sebagian orang dengan penyakit kronis
bersedia membeli asuransi karena mereka memiliki pengalaman
membayar biaya pengobatan yang mahal. Namun, penghasilan
mereka sudah jauh berkurang. Walaupun mereka memiliki
penghasilan yang cukup, biaya pengobatan jauh lebih besar
daripada penghasilan mereka.

Orang-orang dalam kelompok tersebut mau membeli asuransi.


Namun jika hanya mereka yang mau membeli asuransi,
perusahaan asuransi akan menarik premi yang sangat besar
untuk menutupi biaya pengobatan yang tinggi. Perusahaan
asuransi bahkan tidak bersedia menjamin orang-orang dengan
risiko di atas rata-rata (substandar) sehingga kelompok berisiko
tersebut tidak memiliki jaminan kesehatan. Kondisi tersebut
kemudian yang mendasari pentingnya asuransi sosial

Asuransi sosial bertujuan menjamin semua orang memperoleh


akses terhadap layanan kesehatan tanpa mempedulikan status

KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 39


ekonomi atau usia.
Prinsip ini disebut
sebagai keadilan
sosial (social

40 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


equity/social justice) yang menjadi falsafah hidup semua orang di
dunia. Asuransi sosial memiliki fungsi redistribusi hak dan
kewajiban di berbagai kelompok masyarakat: kaya-miskin, sehat-
sakit, muda- tua, risiko rendah-risiko tinggi, sebagai wujud
hakikat peradaban manusia. Namun, tidak sedikit orang awam
beranggapan bahwa skema asuransi sosial adalah suatu program
asuransi yang hanya ditujukan untuk masyarakat miskin atau
kurang mampu. Hal ini mungkin ditenggarai oleh persepsi
terhadap Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesma) ataupun
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Faktanya, baik skema
Jamkesmas maupun Jamkesda merupakan bentuk dari bantuan
sosial, bukan asuransi sosial. Gambar 3.1 menjelaskan posisi
asuransi sosial dalam kerangka jaminan sosial (social security).

Gambar 3.1. menunjukkan secara implisit bahwa meskipun


penyelenggaraan program JKN menurut UU No. 40 Tahun 2004
berbasis pada penyelenggaraan Asuransi Sosial, di dalamnya juga
Gambar 3.1.
Pilar Jaminan
Sosial

Undang Undang No. 40


Tahun 2004 Tentang
Sistem Jaminan Sosial.

ada komponen bantuan sosial, yaitu pada cakupan kelompok


penerima bantuan iuran. Salah satu perbedaan mendasar
antara pilar bantuan sosial dan asuransi sosial adalah ada atau
tidaknya kontribusi (iuran) dari peserta atau tertanggung
dalam skema jaminan.

Dalam konteks bantuan sosial, tentu tertanggung atau penerima


manfaat tidak memberikan kontribusi finansial terhadap program,
lain halnya dengan peserta dalam pilar asuransi sosial. Dengan
demikian, perlu dipahami bahwa peserta Penerima Bantuan
Iuran (PBI) dalam konteks program tidak berarti tidak membayar
iuran atau gratis karena secara prinsip iurannya dibayarkan oleh
pemerintah. Dengan demikian, peserta PBI juga berhak mendapat
manfaat kebutuhan dasar yang sama dengan kelompok peserta

KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 41


yang membayar iuran secara mandiri meskipun tanggung
jawabnya untuk membayar iuran telah diwakili oleh negara.

Sementara itu, pilar ketiga atau jaminan yang sifatnya tambahan


disediakan oleh penjamin atau asuradur swasta. Karena
fungsinya sebagai jaminan tambahan, asuransi swasta umumnya
menyediakan produk yang bersifat complementary terhadap
manfaat dasar yang disediakan oleh program asuransi sosial.
Dalam praktiknya memang akan ada manfaat yang dijamin,
baik oleh program asuransi sosial maupun asuransi swasta.
Oleh karena itu, konsep koordinasi manfaat (Coordination of
Benefit) diterapkan untuk menjaga kesesuaian atas prinsip
indemnity (rule of indemnity), yaitu besaran manfaat yang
dibayarkan tidak boleh melebihi jumlah total kerugian yang
dialami. Karena begitu kompleksnya karakteristik asuransi sosial
dan komersial, Tabel 3.3. akan menjelaskan perbedaan utama
dari kedua skema ini.
Tabel 3.3. Perbedaan Asuransi
Asuransi Sosial Asuransi Komersial
Asuransi Sosial dan Asuransi
(Wajib) (Sukarela)
Komersial Aspek
Sifat gotong Tua-Muda, Kaya- Sehat-Sakit
royong antar- Miskin, Sehat-Sakit
H. Thabrany. (2001) golongan
Asuransi Kesehatan
di Indonesia. Depok: Seleksi Bias Tidak ada karena Adverse atau favorable
Universitas Indonesia. semua penduduk tergantung keahlian
merupakan peserta asuradur dalam proses
underwriting (identifikasi
pre-existing condition)
Premi Not risk-related Risk-related
Biasanya proporsional Biasanya dengan harga
(%) terhadap upah tertentu
Paket Sama untuk seluruh Bervariasi sesuai pilihan
peserta peserta
Keadilan/Equity Egaliter, sosial Liberter, individual
Pilihan Bapel/Asuradur Biasanya tidak ada Banyak
atau terbatas
Pilihan Provider Umumnya sangat Pada model tradisional,
luas. Pada penerapan umumnya sangat luas.
teknik managed Pada model managed
care, pilihan terbatas care, pilihan terbatas.
Kemampuan Sangat tinggi Sangat rendah
Pengendalian Biaya
Kompetisi Bapel/ Umumnya kecil/ Umumnya tinggi
Asuradur rendah
Respons Pelayanan Pemenuhan Pemenuhan permintaan
Medis kebutuhan medis (demand)
(medical needs)
Badan Penyelenggara Pemerintah atau Bebas (pemerintah atau
quasi pemerintah swasta)
Bersifat nirlaba Bersifat pencari laba/
nirlaba
Pembayaran fasilitas Bervariasi dari Bervariasi dari kapitasi
kesehatan kapitasi sampai fee sampai fee for service
for service

42 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Tabel 3.3. menekankan perbedaan mendasar atau prinsip antara
asuransi sosial dan asuransi komersial. Sebagai contoh, asuransi
komersial bekerja dengan berbasis pada minimalisasi risiko yang
berimplikasi pada bagaimana mereka melakukan seleksi peserta
dan penetapan besaran premi atau iuran, sementara asuransi
sosial bekerja dengan berbasis pada pemenuhan hak asasi atas
kebutuhan dasar kesehatan. Berdasarkan prinsip tersebut, semua
penduduk merupakan target cakupan dalam program ini tanpa
memandang risiko atau riwayat kesehatan sebelumnya sehingga
terminologi seleksi bias tidak lagi valid dalam konteks asuransi
sosial.
Semua penduduk
merupakan target
Peran dan Posisi Skema Jaminan Kesehatan cakupan dalam
dalam Sistem Kesehatan program ini tanpa
memandang
Bab ini menekankan peran asuransi atau jaminan kesehatan risiko atau riwayat
terhadap skema pembiayaan kesehatan di Indonesia. Dengan kesehatan
demikian, subbab ini akan mengartikulasikan secara lebih rinci sebelumnya
bagaimana kedudukan jaminan kesehatan, termasuk dampaknya, sehingga
terhadap struktur sistem kesehatan dan perbaikan luaran terminologi
kesehatan secara agregat. seleksi bias tidak
lagi valid dalam
Kedudukan Skema Jaminan Kesehatan dalam konteks asuransi
Sistem Kesehatan Nasional sosial.

Peninjauan kedudukan dan peran skema jaminan kesehatan


dalam sistem kesehatan di Indonesia secara prinsip berangkat
dari beberapa peraturan perundangan antara lain, Undang-
Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan
Presiden No 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, serta
Peraturan Presiden Nomor
72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). (Lihat
Gambar 3.2)

Gambar 3.2.
Kedudukan
Pembiayaan
Kesehatan
dalam Peraturan
Perundangan

Undang Undang No.


36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan.

Peraturan Presiden
No. 18 Tahun 2020
Tentang
RPJMN 2020-2024.

Peraturan Presiden No.


72 Tahun 2012 Tentang
Sistem Kesehatan
Nasional.

KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 43


UU Kesehatan secara tegas menjelaskan bahwa tujuan
pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat sebagai salah satu
investasi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosisal dan ekonomi. Dalam mengejawantahkan tujuan
tersebut dalam suatu strategi konkret, Perpres No. 18 Tahun
2020 tentang RPJMN merumuskan beberapa strategi, khususnya
pada Strategi 3 tentang peningkatan Sumber Daya Manusia yang
berkualitas dan berdaya saing.

Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan


Nasional secara prinsip berisi beberapa subsistem utama terkait
dalam kerangka sistem kesehatan secara umum. Salah satunya
adalah subsistem Pembiayaan Kesehatan. Pada subsistem ini
termaktub demarkasi yang jelas antara fungsi pembiayaan untuk
barang publik dan barang privat. Pembiayaan pelayanan
kesehatan masyarakat yang merupakan barang publik menjadi
tanggung jawab pemerintah, sedangkan pembiayaan pelayanan
kesehatan perorangan bersifat privat, kecuali pembiayaan untuk
masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggug jawab
pemerintah.

Sejalan dengan Pilar Jaminan Sosial pada Gambar 3.1, pilar Asuransi
Sosial bekerja dengan kontribusi iuran aktif dari masyarakat,
sedangkan iuran masyarakat tidak mampu ditanggung atau
dibayarkan oleh pemerintah. Hal ini secara tidak langsung
menggambarkan kedudukan skema asuransi kesehatan dalam
kerangka sistem kesehatan secara umum, terutama terkait
dengan skema pembiayaan kesehatan. Di sisi lain, pembiayaan
kesehatan yang bukan bersifat personal, seperti program
fogging dan perbaikan sanitasi, menjadi bagian dari pembiayaan
pemerintah, baik pada tingkat pusat maupun daerah.

Pasal 22 Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem


Jaminan Sosial Nasional menyebutkan bahwa paket manfaat
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bersifat komprehensif dari
layanan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, tetapi dalam
konteks perorangan. Jadi, segala upaya kesehatan yang
bersifat komunitas atau Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
secara prinsip bukan merupakan domain dari skema Asuransi
Sosial, melainkan cakupan program pemerintah.
Gambar 3.3.
Peran Cakupan
Jaminan
Kesehatan dalam
Pencapaian Target
Pembangunan
Kesehatan

Undang Undang No. 40


Tahun 2004 Tentang
Sistem Jaminan Sosial.

44 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Universal Health Coverage (UHC) merupakan parameter penting
dalam sistem kesehatan, tetapi secara prinsip bukan merupakan
tujuan akhir dari suatu pembangunan kesehatan. Seperti
dideskripsikan pada Gambar 3.3, input dalam proses
pembangunan kesehatan adalah beberapa komponen dalam
Sistem Kesehatan Nasional dengan target yang dicapai adalah
pemenuhan hak dasar kesehatan, peningkatan iuaran (outcome)
kesehatan, perlindungan sosial dan finansial, serta peningkatan
efisiensi. Peran cakupan jaminan dalam hal ini berfungsi sebagai
katalisator atau pemercepat mesin sistem kesehatan yang terdiri
dari beberapa subsistem utama yang dapat digerakkan dengan
lebih efisien dan efektif.
Gambar 3.4.
Pilar Universal
Health
Coverage
(UHC).

WHO. (2016). Sustainable


Development Goals (SDGs)
Point 3.8 that Aims to
Achieve Universal Health
Coverage, Including
Financial Risk Protection,
Access to Quality Essential
Health Care Services, and
Access to Safe, Effective,
Quality, and Affordable
Essential Medicines
and Vaccines for All.
https://iris.wpro.who.int/
handle/10665.1/12880

WHO mendefinisikan bahwa Universal Health Coverage (UHC)


adalah visi dengan semua orang dan komunitas memiliki akses
terhadap layanan kesehatan yang berkualitas di mana pun dan
kapan pun mereka membutuhkannya, tanpa mengalami kesulitan
finansial. Hal ini termasuk spektrum utuh layanan kesehatan yang
dibutuhkan sepanjang hidup dari promosi kesehatan hingga
pencegahan, pengobatan, rehabilitasi, dan perawatan paliatif
yang terbaik didasarkan pada sistem perawatan kesehatan primer
yang kuat. Berdasarkan definisi tersebut secara implisit
dinyatakan bahwa Universal Health Coverage mengandung
komponen yang kompleks dalam menjamin akses layanan
Kesehatan, tidak terbatas pada upaya kesehatan perorangan.

Gambar 3.4. menunjukkan dua fungsi utama dalam kerangka


Universal Health Coverage. Pertama menjamin perlindungan
sosial atas akses layanan kesehatan. Kedua menjamin
aksesibilitas masyarakat terhadap layanan esensial yang aman,
berkualitas, terjangkau, termasuk vaksin. Secara kelembagaan
dalam konteks peraturan perundangan di Indonesia, fungsi
untuk penjaminan perlindungan finansial (financial protection)
tercakup dalam tugas pokok BPJS Kesehatan melalui
implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sementara itu, fungsi untuk menjamin akses terhadap layanan
kesehatan, termasuk berbagai upaya untuk

KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 45


menurunkan risiko kesakitan (health risk reduction), merupakan
bagian dari peran pokok pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Dengan demikian, prinsip Universal Health Coverage (UHC) tidak
terbatas pada program JKN, tetapi juga jaminan untuk
menurunkan risiko sakit yang merupakan domain dari
pemerintah.

Kontribusi Program Jaminan Kesehatan Nasional


Terhadap Perbaikan Indikator Kesehatan

Dalam rangka mengukur kontribusi Jaminan Kesehatan Nasional


atau skema Asuransi Sosial terhadap indikator kesehatan, subbab
ini akan menekankan telaah kasus yang terdiri dari lima dimensi
utama, antara lain cakupan kepesertaan, pertumbuhan fasilitas
kesehatan, akses peserta terhadap layanan kesehatan, konsumsi
layanan kesehatan, dan pembiayaan.

Cakupan Kepesertaan

Dimensi kepesertaan merupakan proksi yang sering kali


digunakan secara praktik untuk menilai seberapa komprehensif
program jaminan kesehatan yang dikelola sudah menjangkau
target sasaran, yaitu seluruh rakyat Indonesia.

Gambar 3.5.
Tren Cakupan
Kepesertaan JKN
2014-2018

Dewan Jaminan
Sosial Nasional. (2020).
Statistik
JKN 2014-2018.
Jakarta.

Buku Statistik JKN 2014-2018 menunjukkan bahwa secara umum


terjadi peningkatan kepesertaan JKN di semua segmen. Secara
spesifik, pertumbuhan segmen Penerima Bantuan Iuaran (PBI)
APBD dan Pekerja Bukan Penerima Upah/PBPU (sektor informal)
telah meningkat sekitar 240% dan 242% dari tahun 2014 hingga
2018, sedangkan keanggotaan Pekerja Penerima Upah/PPU
(sektor formal) sekitar 105% untuk periode lima tahun (Statistik
JKN 2014- 2018, 2020).

46 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Fasilitas Kesehatan

Parameter kedua yang menjadi tolak ukur adalah bagaimana


skema Jaminan atau Asuransi Kesehatan Sosial dapat mendorong
pertumbuhan fasilitas kesehatan, baik pada tingkat layanan
primer maupun rujukan (rumah sakit).

Gambar 3.6.
Tren Pertumbuhan
Fasilitas Kesehatan
Primer dan
Rujukan 2014-2018

Dewan Jaminan Sosial


Nasional. (2020). Statistik
JKN 2014-2018. Jakarta.

Gambar 3.6. menunjukkan bahwa fasilitas kesehatan swasta


(Dokter Praktik Perorangan, Klinik Pratama, dan Rumah Sakit)
secara umum meningkat secara konsisten selama lima tahun
terakhir penyelenggaraan program JKN. Hal ini secara implisit
menyiratkan peran penting sektor swasta dalam kerangka
Sistem Kesehatan Nasional, khususnya konteks penyelenggaraan
program Jaminan Kesehatan. Pertumbuhan fasilitas kesehatan ini
menjadi proksi penting yang perlu diperhatikan untuk menjamin
bahwa permintaan layanan kesehatan dapat terbentuk karena
kemampuan membayar (melalui skema pembiayaan JKN). Tanpa
adanya ketersediaan sisi suplai, permintaan tidak akan mampu
didorong.

Akses

Akses terhadap layanan kesehatan merupakan faktor yang


penting dalam menilai fungsi negara untuk menjamin hak asasi
kebutuhan dasar kesehatan.

Gambar 3.7.
Tren Peningkatan
Akses Layanan
Kesehatan 2014-
2018

Dewan Jaminan Sosial


Nasional. (2020). Statistik
JKN 2014-2018. Jakarta.

KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 47


Gambar 3.7. secara keseluruhan menunjukkan terjadi
peningkatan akses orang (peserta) yang signifikan untuk layanan
kesehatan dari 2014 hingga 2018 di semua jenis layanan dan
kelompok kepesertaan. Meskipun tampaknya total akses orang ke
fasilitas kesehatan didominasi oleh mereka yang terdaftar di
keanggotaan kelas 1, fakta menunjukkan bahwa peningkatan
akses yang signifikan ditemukan di antara mereka yang berada di
keanggotaan kelas ketiga, baik dalam kasus perawatan primer
dan rumah sakit.

Konsumsi

Aspek lain yang menjadi tolak ukur seberapa tinggi pemanfaatan


layanan kesehatan dari peserta Jaminan Kesehatan Nasional
adalah angka konsumsi layanan dari tahun ke tahun pada setiap
kelompok tingkat pendapatan atau regional.

Gambar 3.8.
Tren Peningkatan
Konsumsi Layanan
Kesehatan 2014-
2018

Dewan Jaminan
Sosial Nasional. (2020).
Statistik
JKN 2014-2018.
Jakarta.

Jika dilihat sepintas, konsumsi total layanan kesehatan tampak


dominan di Pulau Jawa dan beberapa provinsi dengan
kapasitas fiskal yang lebih tinggi atau populasi padat. Namun jika
ditinjau lebih detail, pertumbuhan konsumsi dari tahun ke tahun
mengungkapkan fakta lain. Secara keseluruhan, keberadaan JKN
telah berdampak pada peningkatan konsumsi perawatan rawat
jalan primer lebih dari dua kali lipat di hampir seluruh provinsi di
Indonesia dalam jangka waktu lima tahun. Lebih jauh lagi, tren
peningkatan pemanfaatan di bagian Timur Indonesia (misalnya
Papua dan Maluku) meningkat lebih dari sepuluh kali lipat
dibandingkan status awal pada 2014.

Pembiayaan Kesehatan

Sebagaimana fungsi utama dari Universal Health Coverage


dalam menciptakan perlindungan finansial bagi rakyat Indonesia,
pengeluaran out of pocket dari pasien sering kali digunakan pada
tingkat global sebagai komparasi sejauh mana skema jaminan
sosial yang diselenggarakan mampu menurunkan pengeluaran
mandiri dari masyarakat atas akses layanan Kesehatan.

48 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Gambar 3.9.
Tren Pembiayaan Program Jamina
2018

National Health Account. (2018) Kementerian

Gambar 3.9. secara prinsip menunjukkan bahwa share


pembiayaan domestik khususnya BPJS Kesehatan dalam
program Jaminan Kesehatan mengalami peningkatan yang
konsisten dari tahun ke tahun selama lima tahun
penyelenggaraan program JKN. Sebaliknya, pengeluaran mandiri
masyarakat cenderung menurun cukup signifikan, yaitu sekitar
10% dalam lima tahun terakhir. Hal ini menjadi salah satu tolak
ukur penting dalam mewujudkan fungsi Universal Health
Coverage, terutama dalam menjamin perlindungan finansial
masyarakat terhadap akses layanan Kesehatan.

Penutup

Secara umum Bab ini mengejawantahkan kaitan prinsip dasar


asuransisebagaisalahsatuinstrumendalampembiayaankesehatan,
terutama dalam pembiayaan kesehatan Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP). Hal ini secara lugas disampaikan pada Perpres
No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional dengan
pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan
barang publik menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan
untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat
privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak
mampu menjadi tanggug jawab pemerintah.

Dalam praktiknya mandat dari peraturan perundangan yang


ada, termasuk UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, UU No. 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan, hingga Perpres No. 72 Tahun
2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional diterjemahkan melalui
penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Semangat utama dalam implementasi program ini antara lain
terkait dengan salah satu fungsi Universal Health Coverage
(UHC), khususnya dalam menjamin perlindungan sosial
masyarakat atas layanan kesehatan.

KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 49


Peran
Peran program JKN dalam sistem kesehatan khususnya berfungsi
program JKN
sebagai salah satu instrumen pembiayaan kesehatan. Dalam
dalam sistem
bab ini ditinjau dari beberapa aspek penting, antara lain cakupan
kesehatan kepesertaan, fasilitas Kesehatan, akses, konsumsi, dan pembiayaan.
khususnya Secara umum, penyelenggaraan program JKN selama lima tahun
berfungsi telah mendorong banyak reformasi positif terutama meningkatkan
sebagai salah akses masyarakat terhadap layanan kesehatan serta penurunan
satu pengeluaran mandiri masyarakat saat mengakses layanan.
instrumen
pembiayaan
kesehatan. Daftar Pustaka

Dewan Jaminan Sosial Nasional. (2020). Buku Statistik JKN 2014-


2018. Jakarta: author.

National Health Account. (2018) Kementerian Kesehatan.

Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 Tentang RPJMN 2020-

2024. Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012 Tentang Sistem


Kesehatan Nasional.

Rejda, George. E., and M. J. Mc.Namara. (2011). Principles of Risk


Management and Insurance: Twentieth Edition. London:
Pearson

Stempel, Jeffrey W. (2012). Principles of Insurance Law, Fourth


Edition. Carolina: Academic Press.

Thabrany, H. (2001). Asuransi Kesehatan di Indonesia. Depok:


Universitas Indonesia.

Undang Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Asuransi.

Undang Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Undang Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan


Sosial.

Vaughan, Emmett J., & Therese M. Vaughan. (2003).


Fundamentals of Risk and Insurance. Pennsylvania: Wiley.

50 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Ekuitas
BAB
4 dalam
Kesehatan
Giovanni van Empel

Pengantar lainnya masih perlu


banyak dikaji, misalnya
Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dalam menjamin
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial keadilan dalam
Kesehatan (BPJS-K) yang efektif per Januari 2014 memasuki usia kontribusi pembiayaan
pelaksanaan yang ketujuh tahun. Sebagai salah satu komponen (Pisani, Kok, dan
dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), JKN merupakan Nugroho, 2017).
instrumen yang penting dalam menjamin kejadian bencana
finansial (financial catastrophic) ketika individu jatuh sakit.
Praktis, sejak ada JKN lebih dari 80% populasi Indonesia memiliki
akses terhadap paket manfaat JKN. Perluasan skema JKN tidak
lagi hanya melingkupi masyarakat yang diklasifikasikan sebagai
masyarakat miskin dan segenap pekerja formal yang tergabung di
pemerintahan dan swasta, tetapi juga mayoritas pekerja sektor
informal (Wiseman et al, 2018).

Sebagai salah satu instrumen kebijakan yang menyasar sisi


permintaan, JKNberusahauntukmencapaitujuanterselenggaranya
Sistem Kesehatan Nasional, yaitu meningkatkan status kesehatan
masyarakat. Dengan menghilangkan halangan finansial (financial
barrier), individu dapat mengakses dan menggunakan layanan
masyarakat yang diberikan oleh pusat layanan kesehatan
setempat. Namun demikian, status perkembangan tujuan SKN

EKUITAS DALAM KESEHATAN 49


Sebagai salah satu komponen dalam Sistem Kesehatan
Nasional, JKN merupakan instrumen yang penting dalam
menjamin kejadian bencana finansial ketika individu
jatuh sakit.

50 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Selain itu, komponen SKN tentu tidak hanya terbatas pada
pembiayaan. Ada komponen tenaga kesehatan, suplai teknologi
kesehatan, serta kualitas layanan yang perlu dilihat status
perkembangannya dari lensa keadilan.

Bab ini akan bertujuan untuk memberikan snapshot terkait


konsep ekuitas kesehatan (health equity), memaparkan konsep
ekuitas, serta memberikan perkembangan kajian empiris
mengenai isu ini di Indonesia. Beberapa bukti empiris akan
mencakup faktor penawaran (provider) dan juga permintaan
(pasien atau individu). Bab ini bukan bermaksud untuk menjadi
referensi komprehensif , melainkan memberikan catatan kaki
berisi referensi bagi pembaca yang tertarik untuk membaca isu ini
lebih dalam.

Bab ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama akan membahas
latar belakang dari isu ekuitas kesehatan. Bagian kedua akan
membahas konsep ekuitas serta mendiskusikan beberapa isu
mengenai konsep akses dan kebutuhan. Bagian ketiga akan
memaparkan kajian empiris yang sudah dilakukan oleh peneliti.

Latar Belakang

Pertimbangan dunia untuk fokus pada isu ketimpangan


merupakan proses alamiah saat ekspansi akses terhadap layanan
kesehatan, melalui kebijakan UHC yang diimplementasikan di
berbagai negara. Kebijakan UHC merupakan salah satu kemajuan
terbesar yang dicapai oleh dunia melalui konsensus tingkat tinggi.
Halangan finansial dalam mengakses layanan kesehatan
praktis menjadi minimal, bahkan nol kalau kita lihat dari
perspektif biaya langsung. Namun demikian, persoalan sistem
kesehatan tidak hanya tantangan halangan finansial (Kutzin, 2013).

Gambar 4.1.
Kerangka Sistem
Kesehatan WHO
(2007)

World Health
Organization. (2000).
The World Health Report
2000: Health Systems.
Improving Performance.
World Health
Organization.

Dalam pembiayaan kesehatan, perluasan akses melalui kebijakan


asuransi kesehatan publik bertujuan mendorong individu untuk
menggunakan layanan kesehatan yang dibutuhkan (demand side
policy). Namun, kepemilikan asuransi tidak otomatis membuat

EKUITAS DALAM KESEHATAN 51


pemiliknya menggunakan layanan yang tersedia, misalnya karena (equality of health) dan
ada persoalan preferensi terhadap risiko. definisi keempat adalah
“kesetaraan dalam
Sekelompok masyarakat tertentu dapat saja berkeyakinan bahwa
pergi ke puskesmas adalah hal berisiko dan tidak bermanfaat.
Pada kasus lain, sekelompok masyarakat di suatu daerah perlu
mengalokasikan waktu lima jam hanya untuk satu kali jalan
berkunjung ke fasilitas kesehatan terdekat. Selain itu, para
pekerja sektor informal dengan penghasilan harian menghadapi
dilema untuk memutuskan apakah dia akan memeriksakan
kesehatannya atau pergi bekerja untuk memenuhi kebutuhannya
hari itu.

Adalah benar tersedianya asuransi kesehatan mengurangi


kemungkinan untuk terjadinya bencana finansial (financial
catastrophic) bagi pemiliknya saat jatuh sakit (Erlangga, Suhrcke,
et al., 2019; Mills et al., 2012; Puteh & Almualm, 2017; Xu et al.,
2007). Namun, sistem kesehatan tidak hanya bertujuan
melindungi seseorang dari bencana finansial, melainkan juga
bertujuan untuk pembangunan kesehatan (World Health
Organization, 2000).

Variasi situasi yang terjadi di setiap negara, termasuk Indonesia,


membuat tantangan sistem kesehatan tidak hanya bisa
diselesaikan dengan kebijakan ekspansi akses layanan kesehatan
melalui penyediaan asuransi kesehatan (Jacobs et al., 2012).
Persoalan struktural, seperti keterjangkauan akses, kualitas
layanan yang berbeda antar-fasilitas kesehatan di seluruh daerah,
serta preferensi individual, menyebabkan persoalan ketimpangan
kesehatan (health inequity).

Untuk memahami lebih mengenai ketimpangan dalam kesehatan,


kita perlu membahas beberapa konsep penting yang melahirkan
kajian ketimpangan dalam kesehatan. Konsep-konsep ini terkait
erat dengan konteks, mengalami proses dialektika, lalu
mendorong berbagai kajian empiris.

Konsep Ekuitas

Variasi definisi dari ekuitas dalam pelayanan kesehatan (equity


in health care) telah banyak diusulkan. Pada saat awal konsep
ekuitas diperbincangkan di kalangan ilmuwan, ekuitas merujuk
pada kesamaan pengeluaran (kesehatan) per kapita (equality
of expenditure per capita). Definisi ini menekankan formula
alokasi dana yang digunakan oleh suatu negara. Namun,
pengertian ini tidak memperhatikan konsep “kebutuhan” (Culyer &
Wagstaff, 1993).

Definisi kedua adalah “distribusi atau alokasi (layanan kesehatan)


berdasarkan kebutuhan”. Namun, pada awalnya definisi ini tidak
menemukan konsensus terhadap apa yang dimaksud sebagai
“kebutuhan”. Definisi ketiga adalah “kesetaraan dalam kesehatan”

52 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Sistem kesehatan tidak hanya bertujuan melindungi
seseorang dari bencana finansial, melainkan juga
bertujuan untuk pembangunan kesehatan.

EKUITAS DALAM KESEHATAN 53


akses”. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud
dengan akses.

Definisi Kebutuhan

Berdasarkan variasi definisi pada literatur, Culyer dan Wagstaff


(1993) menyimpulkan definisi “kebutuhan” yang lebih tepat
sebagai “Seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk
menghasilkan peningkatan kesehatan secara maksimal. Dengan
kata lain, seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk
mengurangi kapasitas individu untuk menerima manfaat (dari
layanan kesehatan) menjadi nol (tidak ada).”
Pembuat
kebijakan Dalam beberapa dokumen kebijakan, perspektif yang dipilih
kesehatan di adalah standar kebutuhan minimal. Pembuat kebijakan kesehatan
berbagai negara di berbagai negara di awal 1970—saat munculnya konsep
di awal 1970 Managed Care—melihat perlunya usaha untuk mengontrol
melihat perlunya pengeluaran kesehatan. Perspektif ini secara implisit menilai
usaha untuk bahwa masyarakat telah mendapat layanan kesehatan melebihi
mengontrol yang diperlukan.
pengeluaran
kesehatan. Hal yang luput dari pandangan ini adalah bahwa kebutuhan perlu
dilihat dari produksi output layanan kesehatan dan kepada siapa
alokasi ini diberikan. Karena dalam konteks kebijakan publik
secara umum, kebutuhan perlu dilihat sebagai preferensi
keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Definisi kebutuhan ini secara ekstensif dibahas oleh Norman


Daniel, Profesor Filsafat Kesehatan di Universitas Harvard. Daniel
(1985) berpandangan pendekatan dalam definisi kebutuhan
layanan kesehatan perlu mempertimbangkan hal berikut:
1. Layanan kesehatan bersifat khusus. Pandangan ini
membedakan layanan kesehatan dengan tujuan lainnya. Hal ini
memungkinkan untuk melihat layanan kesehatan sebagai hal
utama dalam usaha untuk mengembalikan kesetaraan peluang
(fair equality of opportunity) dalam kegiatan produksi ekonomi,
misalnya.
2. Fungsi unik dari spesies manusia. Layanan kesehatan
diperlukan agar seseorang menjadi sehat. Tubuh sehat atau
tanpa penyakit memungkinkan pelaksanaan fungsi-fungsi yang
unik yang berkaitan dengan jati diri spesies manusia.
3. Kesetaraan dalam peluang (fair equality of opportunity). Hal ini
merujuk pada bahwa meskipun masyarakat terdiri dari individu
yang memiliki kebutuhan, preferensi, hingga kemampuan yang
berbeda, setiap individu patut mendapatkan peluang yang
sama untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan.

Perdebatan mengenai definisi kebutuhan berimplikasi pada


cara pandang filosofis terhadap kesehatan. Kritik dari perspektif
ekonomi misalnya:
1. Jurang tidak berujung. Jika tujuan kebijakan adalah

54 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


memaksimalkan
status
kesehatan, hal
ini
memungkinkan
sekelompok
pasien pada
kondisi tertentu
mendapatkan

EKUITAS DALAM KESEHATAN 55


berbagai macam input layanan kesehatan. Sebagian dari bergesekan.
layanan kesehatan ini sayangnya tidak selalu berdampak Contohnya, penderita
pada peningkatan status kesehatan sehingga menyebabkan penyakit terminal
inefisiensi. dengan
2. Kebutuhan perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya.
Tujuan masyarakat untuk memperbaiki status kesehatan perlu
mempertimbangkan biaya dan harga untuk memproduksi
layanan kesehatan. Seperti jenis barang lainnya, kesehatan
juga mengalami penurunan manfaat marginal. Ketika
mempertimbangkan kemanfaatan dari setiap Rupiah yang
dikeluarkan, masyarakat perlu menimbang hal lain yang dapat
memberikan manfaat untuk kesehatan yang lebih besar dan
mengalokasikan dananya untuk hal tersebut, misalnya
penguatan edukasi untuk kesehatan (melalui kurikulum
pendidikan).
3. Kebutuhan yang dianggap monoton. Ketika analisis kebutuhan
didefinisikan dalam terminologi sumber daya yang dibutuhkan
per kapita (needed health resources per capita), secara implisit
ada asumsi yang tidak tepat yang mengatakan bahwa satu-
satunya cara untuk meningkatkan status kesehatan adalah
dengan meningkatkan layanan kesehatan (frekuensi dan
intensitas). Padahal, ada hal-hal lain yang sebenarnya dapat
dilakukan untuk meningkatkan kesehatan seseorang, misalnya
dengan cara memperbaiki pola makan serta berolahraga secara
rutin.

Secara praktis informasi mengenai kebutuhan didasarkan pada


penggunaan data sebagai proksi untuk mengestimasi seberapa
besar kebutuhan suatu negara atau daerah dalam
mengalokasikan sumber dayanya. Proksi yang digunakan antara
lain adalah indikator mortalitas, morbiditas, dan dalam kasus lain
seperti status sosio- ekonomi individu. Pola penggunaan layanan
kesehatan dapat dilihat secara retrospektif dari indikator tersebut.
Perbedaan pola penggunaan layanan kesehatan karena status
sosio-ekonomi misalnya dianggap sebagai sinyal terjadinya
ketimpangan. Meskipun demikian, masih terjadi perdebatan
apakah pola penggunaan layanan kesehatan dapat menangkap
“kebutuhan” individu secara utuh.

Perbedaan cara pandang ini setidaknya menyimpulkan dua faktor


yang penting dalam mendefinisikan kata “kebutuhan” (Oliver dan
Mossialos, 2004). Pertama, status kesehatan seseorang sebelum
mendapat layanan kesehatan. Ini merupakan pandangan yang
umum diterima oleh praktisi medis. Kedua, kapasitas individu
untuk mendapatkan manfaat dari layanan kesehatan. Dengan
kata lain, jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk
mendapatkan manfaat yang setinggi-tingginya yang
mendefinisikan besar atau kecilnya kebutuhan seseorang.
Pandangan ini lazim dianut oleh ekonom kesehatan.

Hal yang menarik adalah kedua pandangan ini selain sama


pentingnya, juga dalam berbagai kesempatan dapat saling

56 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Secara praktis informasi mengenai kebutuhan
didasarkan pada penggunaan data sebagai proksi untuk
mengestimasi seberapa besar kebutuhan suatu negara
atau daerah dalam mengalokasikan sumber dayanya.

EKUITAS DALAM KESEHATAN 57


kondisi buruk, seperti kanker pankreas stadium lanjut, bisa saja
tidak menerima terapi efektif yang mampu memberikan manfaat,
misalnya untuk memperpanjang usia. Kasus-kasus seperti ini
menekankan pentingnya aspek ekuitas pada studi-studi evaluasi
teknologi kesehatan. Hal ini kemudian membuat pengambilan
keputusan dapat menentukan apakah teknologi kesehatan akan
diadopsi atau tidak penting untuk dipertimbangkan.

Definisi Akses

Menurut Mooney (1983) dan Le Grand (2018), akses perlu dilihat


dalam aspek biaya yang dikeluarkan individu ketika mendapatkan
layanan kesehatan. Implikasi dari interpretasi ini adalah tidak
semua orang mengeluarkan biaya yang sama. Sebagai contoh,
kelompok berpenghasilan menengah ke bawah akan
mengeluarkan biaya yang relatif lebih banyak dibandingkan
kelompok yang berpenghasilan menengah ke atas.
Definisi akses
terhadap Culyer dan Wagstaff (1993) menginterpretasikan akses dengan
layanan lebih sederhana sebagai “Kesetaraan dalam akses layanan
kesehatan kesehatan memerlukan kondisi dengan jumlah maksimal
secara hati- konsumsi layanan kesehatan yang sama untuk semua individ
hati (Equal Access for Equal Need)”. Definisi akses terhadap layanan
didefinisikan kesehatan secara hati- hati didefinisikan sebagai kemampuan
sebaga untuk mendapatkan paket layanan kesehatan dengan kualitas
i tertentu, dengan menimbang kemampuan finansial individu.
kemampuan
untuk Rentang paket serta standar layanan menuntut pengambil
mendapatkan kebijakan untuk menilai akses secara utuh, baik level nasional
paket layanan (agregat) maupun regional atau daerah dengan karakteristik yang
kesehatan melekat padanya. Perbedaan akses antardaerah tidak
dengan kualitas terhindarkan dan menjadi penting untuk selalu melakukan
tertentu, dengan penilaian dan evaluasi terhadap variasi akses (Jacobs et al., 2012).
menimbang
kemampuan Equity Versus Equality
finansial individu
serta memproses Pertanyaannya apakah ekuitas (equity) sama dengan equality?
informasi Kedua konsep tersebut perlu dibedakan. Kesetaraan (equality)
kesehatan mengacu pada kuantitas yang dapat diukur secara objektif.
. Contoh dari equality adalah ketika dua ibu rumah tangga dengan
usia yang sama, Wati dan Rumi, dirawat di suatu rumah sakit,
mendapatkan layanan yang sama persis, dari pemeriksaan fisik,
uji laboratorium, pemeriksaan penunjang, hingga tindakan
lanjutan. Layanan kesehatan tersebut dapat diukur secara objektif
dan tidak sedikit pun perbedaan dalam jumlahnya, misalnya
kunjungan dokter dan frekuensi terapi.

Sebaliknya, ekuitas merujuk pada konsep normatif, yaitu kondisi


tidak terdapatnya kesetaraan yang disebabkan oleh hal yang
dapat dihindari. Secara konseptual, ekuitas tidak selalu berarti
kesetaraan (equality). Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 4.2.

58 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Gambar 4.2. Ilustrasi Equality vs

Interaction Institute for Social Change | Artist:

Vertical vs Horizontal Inequity

Variasi kondisi kesehatan antar-individu secara alamiah akan


terjadi. Banyak kondisi menyebabkan suatu perbedaan. Namun,
perlu diketahui apakah perbedaan status kesehatan terjadi karena
faktor yang dapat dihindari (unwarranted variation) atau tidak
dapat dihindari (warranted variation). Salah satu faktor yang
tidak dapat dihindari adalah predisposisi genetik, misalnya
kecenderungan seseorang untuk menderita diabetes. Faktor
lainnya adalah responsif atau tidaknya seseorang terhadap terapi.
Selain cenderung untuk menderita sakit, setiap individu memiliki
kecenderungan yang berbeda dalam merespons terapi.

Faktor-faktor yang dianggap bisa dihindari adalah apabila


intensitas pemberian terapi dalam satu episode rawat inap
berbeda karena jenis kelamin, usia (pada konteks tertentu dapat
menjadi faktor yang tidak dapat dihindari), etnis, pendapatan,
status sosio-ekonomi, dan jenis asuransi. Jika terjadi perbedaan
tersebut, hal ini disebut sebagai horizontal inequity. Horizontal
equity1 mensyaratkan equal treatment of equal needs. Pelayanan
harus sama terhadap mereka yang kebutuhannya sama.

Di sisi lain karena kebutuhan antarindividu bisa berbeda, misalnya


tergantung pada keparahan penyakit, pelayanan sangat mungkin
diberikan sesuai kebutuhan. Vertical inequity terjadi pada konteks
ini, tetapi ketimpangan ini didasarkan oleh faktor-faktor yang
dapat diterima (karena perbedaan kebutuhan).

1 Pembaca yang menginginkan bahasan yang lebih teknis dan menyeluruh serta ingin
mendalami teknik analisis dengan data rumah tangga silakan merujuk ke O. O’Donnell,
Van Doorslaer, E., Wagstaff, A., & Lindelow, M. (2007). Analyzing Health Equity Using
Household Survey Data: A Guide to Techniques and Their Implementation. The World
Bank.

EKUITAS DALAM KESEHATAN 59


Gambar 4.3. Kurva Konsentrasi
Hipotetikal

Financing Incidence Analyses. PloS One, 11(4),


e0152866.

Faktor yang Berdampak pada Equal Access for


Equal Need

Untuk itu, terdapat berbagai faktor yang memengaruhi akses


terhadap layanan kesehatan. Faktor-faktor ini memiliki dampak
berbeda kepada kelompok. Setidaknya secara garis besar, ada
dua faktor yang dapat kita telusuri lebih lanjut.

Pertama, faktor penawaran, misalnya letak dan lokasi geografis


setiap individu terhadap pusat layanan kesehatan. Tentu ada
variasi jarak yang tidak sama dan perbedaan ini dapat diterima
melalui berbagai pertimbangan. Karena dalam konteks layanan
kesehatan, layanan spesialistik misalnya sulit dibayangkan dapat
tersedia secara merata di seluruh area geografis (Mulyanto et al.,
2018, 2019).

Kebijakan tersedianya layanan standar perlu dipastikan dalam


norma minimal yang disepakati bersama. Untuk itu, beberapa
hal ini perlu diperhatikan dalam alokasi sumber daya kesehatan.
Pertama, distribusi terjadi berdasarkan ukuran populasi, input
biaya, kebutuhan layanan kesehatan, dan distribusi kelompok
sosio-ekonomi populasi di suatu daerah (Asante et al., 2016). Hal-hal
tersebut penting untuk menjadi indikator tambahan, selain
riwayat utilisasi layanan kesehatan di suatu daerah. Kedua,
kebijakan afirmatif juga diperlukan untuk melakukan identifikasi

60 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


daerah yang

EKUITAS DALAM KESEHATAN 61


relatif timpang, terutama dalam menyoal kapasitas yang terbatas terjadi; dan apa saja
di daerah yang dianggap tertinggal (Jacobs et al., 2012). Adanya yang membuat
kebijakan afirmatif penting untuk menjaga layanan kesehatan di ketimpangan semakin
daerah berjalan dengan baik. tajam. Pemahaman
bukti empiris penting
Faktor kedua adalah permintaan (demand). Faktor utama yang
dapat menghalangi akses layanan kesehatan adalah faktor
finansial (Kim et al., 2017). Adanya biaya yang harus dikeluarkan
secara mandiri (out of pocket) dalam bentuk biaya
(co-payment/co- insurance/user charges) memiliki dampak
disproporsional terhadap kelompok dengan pendapatan rendah
(Wagstaff, Flores, Hsu, et al., 2018; Wagstaff, Flores, Smitz, et al.,
2018; Wagstaff & van Doorslaer, 2000). Proporsi biaya yang harus
dikeluarkan kelompok ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok berpendapatan tinggi meskipum secara absolut jumlah
rupiah yang dikeluarkan sama.

Kelompok miskin cenderung menghindari pusat layanan


kesehatan dan penggunaan layanan kesehatan oleh kelompok
ini menjadi relatif lebih rendah. Ulasan sistematis yang
dilakukan oleh Qin et al (2019) memperlihatkan dampak negatif
iur biaya. Hampir semua negara dan konteks yang menerapkan
iur biaya menunjukkan pola penurunan frekuensi penggunaan
layanan kesehatan yang seragam.

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap akses adalah


informasi, pengetahuan, kepercayaan, budaya lokal, serta biaya
tidak langsung, seperti biaya perjalanan. Kelompok pekerja di
sektor informal dengan penghasilan harian harus menimbang-
nimbang untuk melakukan kunjungan ke rumah sakit atau
puskesmas atau tidak. Karena ketika memilih berkunjung, ia
harus merelakan pendapatannya hari itu.

Beberapa studi (Mtei et al., 2012; Wagstaff, 2012) menunjukkan hal


tersebut meskipun biaya medis langsung sudah ditanggung oleh
skema asuransi kesehatan sosial. Variasi dalam penggunaan
layanan kesehatan hampir selalu ditemukan (Sharma et al., 2017),
sehingga perlu diidentifikasi untuk memastikan variasi
kesenjangan dalam penggunaan layanan kesehatan, misalnya
karena pilihan sadar individu.

Sebagai ilustrasi, anak kembar dengan pengetahuan, usia, dan


pendapatan yang identik bisa memiliki preferensi kesehatan yang
berbeda. Contohnya sang kakak cenderung menghindari risiko
dibandingkan sang adik sehingga sang kakak memilih untuk
berkunjung ke rumah sakit untuk penyakit ringan (self limiting
disease). Perbedaan intensitas penggunaan ini bukan disebabkan
oleh faktor yang dapat dihindari.

Pembahasan konsep ekuitas secara natural akan


mempertanyakan beberapa hal berikut: apakah yang
dikhawatirkan secara konseptual terjadi; sejauh mana ketimpangan

62 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap akses
adalah informasi, pengetahuan, kepercayaan, budaya
lokal, serta biaya tidak langsung, seperti biaya perjalanan.

EKUITAS DALAM KESEHATAN 63


untuk mengetahui situasi terkini, hal yang dapat dilakukan, dan
yang sebaiknya dihindari. Bukti empiris di bagian selanjutnya
tidak mencakup seluruh artikel ilmiah dalam kajian ekuitas di
Indonesia, tetapi hanya beberapa kajian pilihan dengan kualitas
tinggi.

Bukti Empiris

Studi dampak JKN terhadap utilisasi dilakukan oleh Erlangga et.al


(2019). Kebijakan JKN menghilangkan sebagian tantangan
finansial bagi individu untuk mendapatkan akses layanan
kesehatan. Studi yang dilakukan menggunakan data panel
Indonesian Family Life Survey (IFLS) pada 2007 dan 2014.
Kebijakan JKN menunjukkan peningkatan probabilitas utilisasi
kesehatan pada kedua kelompok yang disubsidi pemerintah
(Penerima Bantuan Iuran/PBI) dan kelompok sukarela (non-PBI)
sebesar 1,8% dan 8,2% untuk layanan rawat inap. Kelompok
sukarela mengalami peningkatan probabilitas menggunakan
layanan kesehatan rawat jalan sebesar 7,9%. Meskipun JKN
menghilangkan sebagian biaya, perbedaan probabilitas antara
kedua kelompok ini menunjukkan kelompok subsidi yang
cenderung miskin memiliki biaya tidak langsung yang lebih tinggi.
Dengan demikian, potensi ketimpangan masih tetap ada. Namun,
JKN menjamin individu dari kemungkinan pengeluaran biaya
katastropik.

Gambar 4.4.
Kemudahan Akses
ke Rumah Sakit
Menurut Provinsi

Data Diolah dari


Laporan
RISKESDAS (2018)

64 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Studi Mulyanto et al (2019) juga melihat inequality dalam utilisasi dibandingkan kelompok
layanan kesehatan. Berdasarkan data IFLS, studi ini juga melihat
lebih spesifik faktor-faktor yang memengaruhi variasi penggunaan
layanan kesehatan, dari layanan primer, layanan rawat jalan di
tingkat sekunder (rumah sakit), layanan rawat inap, hingga
layanan pencegahan penyakit kardiovaskular.

Hasil menunjukkan faktor pendidikan menjelaskan variasi


penggunaan layanan kesehatan ini. Misalnya, perbedaan
pendidikan menjelaskan penggunaan layanan rawat jalan di
rumah sakit lebih besar dibandingkan dengan penggunaan
layanan di tingkat primer. Dengan kata lain, semakin tinggi
pendidikan seseorang semakin sering dia menggunakan layanan
rawat jalan di rumah sakit.

Studi Morbiditas

Beberapa studi juga berusaha melihat pola socioeconomic


inequalities dalam berbagai kondisi kesehatan. Salah satunya
adalah studi yang dilakukan Rizal dan van Doorslaer (2019) yang
bermaksud menilai dampak faktor ketidaksetaraan dalam
kejadian stunting. Penyebab stunting adalah faktor ekonomi,
media pola konsumsi di rumah tangga, faktor pendidikan, dan
juga lingkungan tempat tinggal.

Dengan data IFLS, mereka menemukan prevalensi stunting berat


(severe stunting) turun secara signifikan antara periode 2007
dan 2014, tetapi tidak untuk prevalensi stunting. Analisis yang
dilakukan juga melihatkan faktor akses (diukur dengan imunisasi
dan kelahiran di fasilitas kesehatan). Hal tersebut menjelaskan
ketimpangan prevalensi stunting antara kelompok kaya dan
miskin semakin kecil.

Hodge et al. (2014) menunjukkan penurunan angka kematian


anak di bawah lima tahun dan juga neonatus di level nasional.
Dengan data Indonesian Demographic and Health Surveys
(IDHS), studi ini melihat tren penurunan inequality angka
kematian anak di bawah lima tahun dan neonatus dari 1980
hingga 2011. Secara umum, penurunan ini terkonsentrasi di pulau
Jawa dan Bali. Ketika membandingkannya dengan pulau non-
Jawa/Bali, ketimpangan prevalensi ini justru membesar. Hal ini
menunjukkan faktor penawaran patut diteliti lebih jauh.

Peran faktor penawaran dalam menjelaskan ketimpangan dapat


dilihat dari studi Nababan et al (2018) dalam menindaklanjuti
temuan Hodge et al (2014). Dengan data DHS dari 1991 hingga
2012, studi ini melihat tren penggunaan layanan kesehatan
maternal di Indonesia. Kelahiran di pusat layanan kesehatan
meningkat dari 22% pada 1986 menjadi 73% pada 2012. Namun,
ketimpangan pengguna juga dapat terlihat. Probabilitas kelompok
perempuan terkaya (diukur dari aset dan distribusi kuantil) untuk
melahirkan di fasilitas kesehatan lima kali lebih tinggi

EKUITAS DALAM KESEHATAN 65


Salah satu penyebab stunting adalah faktor ekonomi,
melalui media pola konsumsi di rumah tangga, faktor
pendidikan, dan juga lingkungan tempat tinggal.

66 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


perempuan termiskin. Lebih lanjut, perempuan yang tinggal
di perkotaan memiliki probabilitas tiga kali lebih tinggi untuk
melahirkan di fasilitas kesehatan dibandingkan dengan kelompok
perempuan termiskin. Penggunaan layanan kesehatan ini
terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali.

Faktor Penawaran

Rokx et al (2010) menyebutkan investasi sektor kesehatan sejak


25 tahun terakhir relatif didominasi oleh sektor privat. Dari 1996
hingga 2007 relatif terjadi peningkatan jumlah dokter pada
populasi secara umum dan juga jumlah Puskesmas, tetapi tanpa
adanya tenaga dokter di fasilitas yang disebutkan terakhir. Hal ini
karena dokter paling banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan.

Gambar 4.5.
Tren Jumlah
Puskesmas

Diolah dari
Presentasi BPJS
Kesehatan. (2018))

Studi Booth et al (2019) menunjukkan data Kementerian


Kesehatan pada 2018. Jumlah Posyandu (per 1 juta populasi)
secara absolut tidak memiliki banyak perbedaan, misalnya jumlah
Posyandu di Papua sebanyak 874 dan di Jawa dan Bali sebanyak
746. Namun, Puskesmas di Jawa-Bali hanya berjumlah 24 per 1
juta populasi, sedangkan Papua memiliki 560 Puskesmas per 1
juta populasi. Rasio antara Puskesmas dan Posyandu di Papua
dan Bali adalah 6,6:30,7. Nilai tersebut terlihat baik, tetapi ketika
staf Puskesmas hendak melakukan supervisi Posyandu, jarak
antar-Posyandu dengan waktu tempuh yang lama membuat
proses supervisi tidak bisa berjalan dengan baik.

EKUITAS DALAM KESEHATAN 67


Gambar 4.6. Proporsi Puskesmas T

Diolah dari Pusdatin Kementerian Kesehatan.

Lebih lanjut, studi ini juga memperlihatkan dari 283.370


Posyandu di Indonesia, hanya 61% yang tergolong dapat
memberikan layanan kepada masyarakat. Variasi cukup lebar juga
ditemui, misalnya 99% Posyandu tergolong aktif, sementara hanya
8% Posyandu di Maluku yang tergolong aktif.

Bukti kajian empiris memperlihatkan ketimpangan kesehatan


di Indonesia mulai berkembang dan memiliki arti yang semakin
penting. Peran faktor supply dalam ketimpangan kesehatan masih
terbatas, misalnya belum ada studi yang melihat variasi
kualitas ketimpangan layanan kesehatan (secara objektif) . Selain
itu, perlu juga untuk melihat lagi evolusi dari temuan beberapa
tahun yang lalu. Untuk itu, kerja sama antara pembuat kebijakan
dan akademisi diperlukan untuk terus meneliti hal tersebut di
Indonesia.

Penutup

Babinimembahassecarasingkatmengenaiekuitasdalamkesehatan.
Ketimpangan dalam kesehatan telah menjadi agenda global saat
ini. Bukti-bukti empiris mulai memperlihatkan seberapa inklusif
dan responsif sistem kesehatan di suatu negara. Dalam sudut
pandang ilmu ekonomi, ketimpangan adalah potensi terhadap
inefisiensi atau alokasi sumber daya yang tidak optimal.
Ketimpangan juga mengindikasikan disparitas dari apa yang
dibutuhkan dengan apa yang tersedia. Mengoreksinya
membutuhkan perencanaan dan kebijakan yang baik dari semua
elemen, tidak hanya mendapatkan titik optimal dalam alokasi
sumber daya, tetapi juga berkenaan dengan aspek etis dari
ketimpangan itu sendiri.

68 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA


Kebijakan dan
BAB
5 Potret Pembiayaan
Kesehatan

Pengantar UHC memiliki


paling tidak
Kesehatan merupakan komponen penting untuk menentukan mencakup
kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara. Negara tiga dimensi,
berkepentingan agar seluruh warga negaranya sehat (health for yaitu cakupan
all). Hal tersebut membutuhkan kelembagaan untuk menuju peserta, cakupan
Universal Health Coverage (UHC). UHC adalah suatu sistem pelayanan,
kesehatan dengan setiap orang di dalam masyarakat memiliki dan cakupan
akses yang adil dan merata terhadap pelayanan kesehatan, pembiayaan.
baik pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
bermutu sesuai dengan kebutuhan dan biaya dapat dijangkau
(Bhisma, 2010).

Sistem pembiayaan kesehatan yang tepat merupakan salah satu


pendukung tercapainya UHC. UHC memiliki dua elemen utama,
yaitu akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu dan
perlindungan risiko finansial. Sistem pembiayaan kesehatan
dalam UHC dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pembayaran
tunggal (single payer), pembayaran ganda (two-tier/dual health
care system), dan sistem mandat asuransi (WHO, 2005).

Pembiayaan kesehatan sungguh tidak bisa disepelekan. Jika tidak


dilakukan dengan benar, hal tersebut bisa berdampak
terhadap sektor industri dan sektor ekonomi. Salah satu
contoh, di masa pemerintahan Bill Clinton, Amerika Serikat
pernah mengalami kekeliuran dalam penghitungan
pembiayaan kesehatan dalam

65
upaya mewujudkan Health Care Reform. Saat itu, pemerintah
Amerika Serikat berupaya melakukan perbaikan terhadap
tingginya biaya kesehatan yang berdampak pada anjloknya
dunia industri. Industri mobil di Amerika kalah bersaing
dengan Jepang karena harga per unitnya bisa mencapai dua
kali lebih mahal daripada Jepang (Trisnantoro, 2014). Dengan
demikian, kesehatan bukan hanya merupakan hak dari warga
negara, melainkan investasi yang menentukan pertumbuhan
perekonomian suatu negara.

Pembiayaan Kesehatan di Negara-Negara Lain

World Bank (2019) menyebutkan tiga pilar utama yang harus


dikedepankan dalam pembiayaan Kesehatan, yaitu kecukupan
(sufficiency), pengalokasian anggaran yang efisien dan efektif
(efficiency and effectiveness), dan pembiayaan kesehatan yang
keberlanjutan (sustainability). Sistem pembiayaan kesehatan
sangat bervariasi di tiap negara. Hal ini bergantung pada
bagaimana kemampuan pemerintah menyediakan fasilitas
pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan di negaranya.

Selain itu, perbedaan karakteristik penduduk, pendapatan negara,


ekonomi, dan geografis juga menjadi faktor yang diperhitungkan
bagi suatu negara dalam menentukan sistem pembiayaan
kesehatan. Beberapa negara di dunia telah memiliki
pengalaman tersendiri untuk mencapai UHC, misalnya
Malaysia, Thailand, Taiwan, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris.

Malaysia

Malaysia Malaysia memberikan peran yang lebih besar kepada sektor


memberikan swasta dalam hal pelayanan kesehatan. Malaysia juga mulai
peran yang mengembangkan bidang kesehatan sebagai daya tarik wisata/
lebih besar medical tourism (Chongsuvivatwong, Virasakdi, et al., 2011).
kepada Pemerintah Malaysia sudah mewajibkan tabungan hari tua
sektor swasta bagi para pegawai sejak 1951. Warga juga dijamin oleh Employee
dalam hal Provident Fund (EPF), sedangkan Social Security Organization
pelayanan (SOSCO) menjamin warga yang mendapat kecelakaan kerja atau
kesehatan. pensiunan yang cacat. (Purwoko, 2014).

Sistem pembiayaan kesehatannya terdiri dari kesehatan publik


(promotif dan preventif) dan kesehatan privat (kuratif dan
rehabilitatif). Sumber dana kesehatan publik berasal dari pajak,
anggaran pendapatan negara, SOSCO, dan EPF. Sementara itu,
dana kesehatan privat berasal dari iuran dari masyarakat. 1 RM
per bulan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari dokter
umum dan 5 RM untuk pelayanan dari dokter spesialis. Sistem
pembiayaan kesehatan ini tidak termasuk untuk penyakit berat
yang membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi (katastropik).
(Jaafar, Safurah Noh, et al., 2013).

66
Pajak untuk alat kesehatan dan obat-obatan dibebaskan untuk memprioritaskan di
menekan biaya operasional pelayanan kesehatan. Praktik dokter
dibatasi di satu tempat pada fasilitas pelayanan kesehatan baik
milik pemerintah atau swasta, untuk menjaga mutu layanan.
Meskipun demikian, pemerintah tetap menjamin pendapatan yang
tinggi bagi dokter sebagai apresiasi bagi profesi medis. Klaim
pembiayaan kesehatan di rumah sakit menggunakan sistem
Global Budget (WHO, 2005).

Thailand

Thailand membutuhkan waktu hampir setengah dekade untuk


mencapai UHC. Berbagai sistem pembiayaan telah diuji, berawal
dari sistem out of pocket sampai dengan sistem pembiayaan
prospektif (Indrayathi PA, 2016). Setelah kebijakan UHC
diperkenalkan pada April 2002, perlindungan kesehatan sosial
dibagi ke dalam tiga skema pembiayaan, yaitu Social Health
Insurance for Formal Private Sector (sekitar 15%) untuk
menjamin pegawai swasta, Civil Servant Medical Benefit Scheme
(7%) untuk menjamin menjamin pegawai negeri beserta anggota
keluargnya, dan UHC Scheme (sekitar 76%) melalui National
Health Security Office/NSHO (Health Resource Survey, 2012).

NHSO merupakan lembaga independen yang mengelola “sistem


30 Baht”, yaitu sistem yang menjamin peserta mendapat
pelayanan kesehatan komprehensif dengan membayar 30 Baht
(Rp 7.000) per bulan. NHSO berada di bawah otoritas dari
Minister of Public Health. NHSO akan mengeluarkan budget
tahunan untuk kapitasi, HIV, penyakit metabolik, gagal ginjal, dan
gangguan jiwa. Budget tahunan akan dibagikan untuk pasien
rawat jalan dan rawat inap, kegiatan promotif dan preventif,
vaksin, high-cost accident, diabetes, kegawatdaruratan,
rehabilitasi untuk pasien cacat, pengobatan tradisional, mutu
layanan dan preliminary assistance. Selain itu, NHSO juga
menjalin kerja sama dengan pemerintah lokal (dengan sharing
beban 20-50%) untuk upaya promotif dan preventif. (Adisasmito,
2008).

Thailand menerapkan sistem pelayanan kesehatan rujukan,


dari Primary Care Unit (PCU) untuk upaya promotif-preventif,
hingga jenjang berikutnya, yaitu rumah sakit distrik (rumah sakit
sekunder dan tersier, serta rumah sakit pendidikan). Thailand
juga mempunyai semacam balai pengobatan (health center)
yang memberikan penugasan kepada SDM Kesehatan dan Non-
kesehatan terlatih untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
berkualitas bagi masyarakat khususnya di pedesaan. Pada tahun
201 data menunjukkan bahwa kunjungan ke health center
mencapai 54%, lebih tinggi dibanding tahun 2000 yang hanya
mencapai 46,1%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan
kemudahan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Thailand dinilai sudah tidak lagi memiliki masalah dalam hal akses
layanan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama sehingga lebih

67
Thailand menerapkan sistem pelayanan kesehatan
rujukan, dari PCU untuk upaya promotif- preventif,
hingga jenjang berikutnya, yaitu rumah sakit distrik
(rumah sakit sekunder dan tersier, serta rumah sakit
pendidikan).

68
layanan kesehatan tingkat lanjut (Indrayathi PA, 2016).
Thailand mulai membangun pusat medis dengan spesialisasi
tertentu, seperti kardiologi, onkologi, neurologi, neonatal,
gastrointestinal, ortopedi, dan optometry. (Futuready, 2016).

5.2.3 Taiwan

Sejak tahun 1995, Taiwan memiliki asuransi sosial wajib


Sejak tahun
(mandatory) yang disebut National Health Insurance (NHI).
1995, Taiwan
Asuransi sosial ini memiliki sistem pembayaran tunggal (single
memiliki asuransi
payer) yang dijalankan oleh pemerintah. Dana bersumber dari
sosial wajib
premi yang berbasis pajak gaji (payroll tax) dan anggaran
(mandatory) yang
pemerintah (Bhisma Murti, 2010; Jui- fen&Rachel Lu, 2014).
disebut National
Pendapatan lainnya berasal dari sumber lain, seperti denda atas
Health Insurance
tunggakan pembayaran premi, kontribusi lotre kesejahteraan
(NHI).
masyarakat, dan cukai rokok (Jui-fen & Rachel Lu,2014). Sepuluh
bulan setelah peluncuran NHI, 92,3% masyarakat Taiwan sudah
terdaftar dalam program ini (Jui-fen & Rachel Lu, 2014).
Administrator NHI bekerja sama dengan sebagian besar provider
kesehatan milik pemerintah dan swasta sehingga masyarakat
dengan mudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama
(Bisma Murti,2010).

Ketika ada warga yang tidak membayar premi tepat waktu,


pemberitahuan akan sesegera mungkin dikirimkan. Taiwan
memiliki warga yang cukup taat hukum sehingga tingkat
kepatuhan sangat tinggi (Dr. Ching-chuan Yeh,2012).

Jepang
Setelah Perang
Dunia II, Sejak tahun 1927, Jepang sudah memulai jaminan kesehatan
Jepang bagi para pekerja sektor swasta, tetapi manfaatnya masih kurang
berupay komprehensif (Fukawa, Tetsuo, 2002). Setelah Perang Dunia II,
a meningkatkan Jepang berupaya meningkatkan sistem kesehatan, termasuk
sistem kesehatan, asuransi kesehatannya. Pada tahun 1954 ditetapkan subsidi untuk
termasuk asuransi kesehatan sebesar 1 Miliar Yen. Hal ini bertujuan untuk
asuransi memenuhi UHC yang akhirnya tercapai pada tahun 1961. Sejak
kesehatannya. tahun 1973 penduduk lansia sudah tidak membayar iuran
(Ikegami, Naoki, et al., 2004).

Pada tahun 1984 pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan


bahwa masyarakat wajib membayar seluruh pengobatan sebesar
10%. Kemudian pada tahun 1997 terjadi peningkatan sebesar
20% dan sejak tahun 2003 hingga kini terus terjadi peningkatan
hingga 30%. Namun, peningkatan tersebut tidak berlaku untuk
seluruh masyarakat. Cost-sharing asuransi kesehatan yang
berlaku saat ini adalah: 1. Umur ≥75 tahun membayar 10%; 2.
Umur 70-75 tahun membayar 20%; 3. Usia wajib belajar–70 tahun
membayar 30 %; dan
4. Anak yang belum sekolah membayar 30% (Fukawa, Tetsuo, 2002).

Berbagai macam asuransi yang dikelola pemerintah di

69
antaranya adalah
National Health
Insurance, Mutual
Aid Insurance,
dan

70
Advanced Eldery Medical Service System. Semua sistem asuransi
memberlakukan pelayanan kesehatan yang sama. Harga
perawatan medis berdasarkan rekomendasi The Central Social
Insurance Medical Council yang ditentukan oleh pemerintah.
Harga obat berdasarkan standar yang ditetapkan pemerintah.
Jaminan kesehatan di Jepang tidak mengenal sistem rujukan
sehingga peserta bebas memilih layanan kesehatan baik di klinik
dokter maupun langsung ke rumah sakit (Pernando, Anggara, 2015).

Amerika Serikat

Asuransi Kesehatan di Amerika Serikat mengalami perkembangan


Sistem kesehatan
yang cukup panjang. Dimulai dari 1798 pendirian US Marine
di Amerika
Hospital Service sehingga para pelaut mendapatkan pelayanan
Serikat
kesehatan dengan pemotongan upah yang dilakukan setiap bulan.
menerapkan
Pada 1847 berdiri suatu organisasi asuransi kesehatan pertama di
sistem asuransi
Massachusetts-Boston, kemudian diikuti oleh pendirian organisasi
komersial, artinya
asuransi kesehatan lainnya. Pada 1937 rumah sakit mulai
membuka kegiatan asuransi kesehatan dengan mendirikan Blue
masyarakat
Cross Assocation. Para dokter lalu kemudian mendirikan Blue berhak
Shield Association pada 1946. memilih untuk
menggunakan
asuransi atau
Selanjutnya Medicare dan Medicaid OASDI (Old-Age, Survivors,
tidak.
and Disability Insurance) diundangkan pada 14 Agustus 1935 di
Amerika Serikat. Medicare adalah sistem asuransi bagi usia lanjut,
penderita cacat, dan penderita gagal ginjal yang dijalankan oleh
Pemerintah Federal. Medicaid OASDI merupakan sistem asuransi
bagi masyarakat miskin yang dijalankan oleh Pemerintah Federal
dan Negara Bagian. Namun, banyak penduduk yang tidak
terlindungi oleh kedua asuransi ini. Pada 1965 ditambahkan
program OASDHI (Old-age, Survivors, Disability, and Health
Insurance) (PT. Asuransi Kesehatan Indonesia,1997).

Karena timbul masalah pembiayaan kesehatan pada 1973 dan


untuk meminimalkan penambahan conventional health insurance,
Pemerintah Amerika Serikat membentuk Health Maintenance
Organization (HMO) melalui undang-undang (Trisnantoro L,
2014). HMO adalah organisasi pelayanan kesehatan yang bersifat
pre-paid (dibayar di muka), bertanggung jawab memberikan
pelayanan kesehatan komprehensif (preventif, promotif, kuratif,
dan rehabilitatif) terhadap populasi tertentu yang telah
terdaftar sebagai peserta dengan membayar sejumlah uang yang
dihitung berdasarkan kapitasi atau per bulan per orang.

Pada 1970 diperkenalkan DRGs yang pertama kali diterapkan


di rumah sakit Negara Bagian New Jersey. Pembayaran
berdasarkan DRGs diberlakukan untuk Program Medicare pada
1983 dan Program Medicaid pada 1984 (Adisasmito, 2008).

Sistem kesehatan di Amerika Serikat menerapkan sistem asuransi


komersial, artinya masyarakat berhak memilih untuk
menggunakan

71
asuransiatautidak. Halinimenyebabkanbiayaoperasionalkesehatan
di Amerika Serikat semakin besar, premi meningkat setiap tahun,
mutu pelayanan kesehatan diragukan, dan unnecessary utilization
meningkat. Tingginya biaya kesehatan berdampak pada produk
domestik bruto di Amerika Serikat (Trisnantoro L, 2014).

Berdasarkan The US Censuss Beureau 2009 tercatat sebanyak 16,9%


dari total populasi penduduk Amerika Serikat tidak memiliki
asuransi kesehatan (Trisnantoro L, 2014). Hal ini memicu
pelaksanaan reformasi dalam sektor kesehatan. Pada 2010 dibuat
kebijakan melalui Patient Protection Affordable Care Act
(PPACC). Reformasi kesehatan tersebut tetap memberi
kesempatan kepada asuransi kesehatan dan pemberi pelayanan
kesehatan swasta untuk beroperasi dengan regulasi yang lebih
ketat dan subsidi pemerintah yang lebih besar yang diperuntukkan
bagi warga miskin. (Bhisma, 2010).

Inggris
NHS
memberikan Inggris memperkenalkan asuransi kesehatan nasional sejak tahun
hampir semua 1911 dan saat ini telah mencapai UHC. Sistemnya dikenal dengan
jenis pelayanan National Health Service (NHS), yaitu suatu sistem kesehatan yang
kesehatan secara dikelola oleh pemerintah dan sebagian besar dananya bersumber
gratis, kecuali dari pajak umum (tax-funded). NHS memberikan hampir
pembayaran semua jenis pelayanan kesehatan secara gratis, kecuali
obat yang pembayaran obat yang diresepkan (prescription drug),
diresepkan, pengobatan gigi, dan mata.
pengobatan gigi,
dan mata. NHS melakukan efisiensi biaya yang bertujuan untuk
memperbaiki pelayanan kesehatan. Inggris juga memberi
kesempatan bagi warganya untuk membeli pelayanan kesehatan
tambahan melalui asuransi swasta. Ada beberapa faktor yang
memengaruhi Inggris bertransisi menuju UHC. Pertama, tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga meningkatkan
kemampuan warga negara untuk membayar premi. Kedua,
pertumbuhan sektor formal sehingga memudahkan pengumpulan
kontribusi (revenue collection). Faktor selanjutnya adalah
ketersediaan tenaga terampil dalam pengelolaan sistem asuransi
kesehatan nasional, kemampuan pengumpulan (pooling) dana
dan integrasi berbagai skema asuransi kesehatan, serta
efektivitas regulasi pemerintah (WHO, 2005).

Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Pasal 28 H ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945 menyatakan bahwa


setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan dan negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
bagi seluruh warga negaranya. Setiap warga negara berhak
untuk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bermutu dengan biaya
yang terjangkau. Untuk mencapai kondisi tersebut, dibutuhkan

72
sistem pembiayaan
kesehatan yang
tepat.

73
Pembiayaan kesehatan di Indonesia bertujuan untuk dilakukan melalui
menyediakan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan Sistem Kesehatan
dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan Nasional (SKN). Salah
termanfaatkan untuk menjamin terselenggaranya satunya
pembangunan kesehatan. UU Kesehatan mengatur mandatory
spending, yaitu sumber pembiayaan kesehatan yang berasal dari
pemerintah pusat minimal 5% APBN di luar gaji, dan yang
bersumber dari pemerintah daerah, minimal 10% APBD di luar gaji.

Sejak 2016 Pemerintah Pusat sudah memenuhi mandatory


spending di bidang kesehatan, sebesar 5% dari APBN. Namun,
muncul beberapa permasalahan, di antaranya adalah definisi dan
peruntukan anggaran kesehatan dalam UU Kesehatan terlalu luas.
Contohnya adalah adanya pengaturan mengenai sumber
pembiayaan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah
“diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik” minimal 2/3
(dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam APBN dan APBD,
terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak
terlantar. Hal ini menimbulkan potensi multi- interpretasi dan
ruang pengalokasian belanja kesehatan menjadi tidak sesuai
dengan peruntukan yang seharusnya. Tantangan lainnya adalah
kompleksitas dalam perencanaan dan penganggaran sehingga
menimbulkan kesulitan menghubungkan kinerja anggaran dan
pencapaian pembangunan kesehatan. Hal ini menyebabkan
pengalokasian anggaran kesehatan menjadi kurang efisien.
Sampai saat ini pun belum terdapat perangkat peraturan yang
sifatnya operasional dan dapat digunakan sebagai panduan dalam
pengalokasian dan pemanfaatan anggaran sesuai dengan amanah
yang telah ditetapkan.

Perjalanan Indonesia Menuju UHC

Sejak krisis ekonomi pada 1998 Indonesia mencapai


pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat dengan ruang fiskal yang
berkembang. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita terus
meningkat dari US$ 780 pada 2000 menjadi US$ 3847 pada
2017. Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat di
Asia Timur dan ekonomi terbesar ke-15 di dunia berdasarkan
paritas daya beli (World Bank, 2018). Indonesia juga bertujuan
menjadi salah satu 10 (sepuluh) ekonomi global terbesar pada
tahun 2025 (OECD, 2012).

Secara demografis, terjadi pergeseran pada populasi usia kerja


dan usia lanjut yang relatif meningkat terhadap populasi lainnya.
Proyeksi demografi dan epidemiologi serta pertumbuhan ekonomi
memproyeksikan meningkatnya permintaan untuk perawatan
kesehatan di Indonesia. Perubahan tersebut juga memengaruhi
sistem kesehatan di Indonesia (Mahendradhata, Yodi, et all,
2017). Jadi, diperlukan suatu reformasi, reorientasi, dan
revitalisasi pada pelayanan kesehatan.

Reformasi kebijakan pembangunan kesehatan di Indonesia telah

74
Sejak 2016 Pemerintah Pusat sudah memenuhi mandatory
spending
di bidang kesehatan, sebesar 5% dari APBN.

75
adalah perubahan subsistem upaya kesehatan dan pembiayaan
kesehatan (Gotama Indra, et al., 2010). Pembiayaan kesehatan
yang kuat, stabil, dan berkesinambungan sangat berpengaruh
terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan guna
mencapai tujuan penting pembangunan kesehatan di suatu
negara, yakni pemerataan dalam pelayanan kesehatan dan
akses (equitable access to health care) serta pelayanan yang
berkualitas (assured quality).

Sebagai bentuk reformasi kesehatan dan untuk mewujudkan


jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk (UHC) sesuai amanat
UUD 1945, dibentuklah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (UU BPJS). Berdasarkan UU tersebut, pemerintah
meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada
awal 2014 dengan target UHC tercapai dalam waktu lima tahun.
Perubahan tersebut juga memengaruhi program asurasi sosial
bagi keluarga miskin dalam program Jaminan Sosial Masyarakat
(Jamkesmas) karena harus diintegrasikan ke dalam sistem JKN.
(Lihat Gambar 5.1)

Gambar 5.1.
Kerangka
Operasional Peta
Jalan Jaminan
Kesehatan

DJSN. (2012).
Peta
Jalan Menuju Jaminan
Kesehatan
Nasional
2012-2019.

Model pembayaran biaya pelayanan kesehatan dibedakan menjadi


dua sistem, yaitu sistem kapitasi dan Indonesia Case Base Groups
(INA CBGs). Sistem kapitasi diterapkan dalam sistem pembayaran
ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Sistem kapitasi ini
pernah diterapkan dalam program Jamkesmas, tetapi terdapat
beberapa regulasi yang menyulitkan penggunaan dana kapitasi
ini digunakan sepenuhnya untuk peningkatan kualitas layanan
kesehatan, seperti dana kapitasi harus disetor ke kas daerah dan
menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan pengalaman
tersebut, dalam pelaksanaan JKN beberapa regulasi disesuaikan
untuk mengatur pengelolaan dana kapitasi yang dibayarkan
langsung oleh BPJS Kesehatan kepada bendahara melalui
rekening dana kapitasi di puskesmas sesuai dengan jumlah
peserta yang terdaftar.

76
Penerapan Model Pembayaran INA-CBGs dilakukan untuk Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tungkat Lanjutan (FKRTL). Pada pelaksanaan
Jamkesmas, pembayaran klaim tahun 2009 sampai dengan akhir
2010 dilakukan berdasarkan INA-DRGs, sedangkan pada akhir 2010
sampai sekarang dilakukan dengan menggunakan INA-CBGs
yang merupakan pengembangan dari sistem Indonesia Diagnosis
Related Group (INA-DRGs).

Defisit Pembiayaan JKN

MemasukitahunketujuhprogramJKNtelahmencakup223,4jutajiwa
atau 83% dari jumlah penduduk di Indonesia. Pemanfaatan
program JKN juga terus mengalami peningkatan. Hal ini
menunjukkan program JKN telah menjadi bagian dari sistem
kesehatan nasional yang dibutuhkan masyarakat. Peningkatan
jumlah peserta diikuti dengan naiknya biaya pelayanan kesehatan
yang menjadi beban program JKN. Tercatat bahwa sejak 2015-
2019, terdapat kenaikan biaya pelayanan kesehatan sebesar 107%,
terutama pada pelayanan kesehatan tingkat lanjutan. Namun
demikian, kenaikan biaya pelayanan tidak diimbangi dengan
kenaikan jumlah pendapatan iuran. Pendapatan iuran yang
diterima oleh BPJS Kesehatan lebih kecil dibandingkan biaya
pelayanan sehingga terjadi defisit pembiayaan mencapai 15,5 T
pada 2019 (Lihat Gambar 5.2).

pembiayaan

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya penanggulangan


defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan dengan
mengendalikan sisi pengeluaran DJS Kesehatan serta melakukan
koreksi terhadap sisi penerimaan DJS Kesehatan melalui
penerbitan sejumlah kebijakan, di antaranya penyesuaian
besaran iuran program JKN sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 64 Tahun 2020. Selain koreksi besaran iuran,
untuk memastikan sustainabilitas pendanaan program diterapkan
juga beberapa kebijakan perbaikan fundamental program JKN
sehingga kondisi defisit dapat dihindarkan pada kemudian hari.

Pembiayaan kesehatan juga merupakan bagian yang penting


dalam implementasi JKN. Menurut Miller (2007) tujuan dari

77
Gambar 5.2. Laporan Aktivitas Keuangan DJS Kesehatan
2015-
2019

DJSN. (2012). Peta


Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-
2019.

78
kesehatan adalah mendorong peningkatan mutu, mendorong
layanan berorientasi pasien, mendorong efisiensi tidak
memberikan reward terhadap provider yang melakukan
overtreatment, undertreatment, serta adverse event, dan
mendorong pelayanan tim. Dengan sistem pembiayaan yang
tepat diharapkan tujuan tersebut dapat tercapai.

Menciptakan Ruang Fiskal Lain


dalam Pembiayaan Kesehatan
di Indonesia
Penelitian
terbaru Salah satu strategi keberlanjutan JKN adalah menciptakan sumber
menunjukkan pendapatan yang baru. Hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih.
bahwa Reprioritas bidang kesehatan dan efisiensi keuangan negara akan
kesehatan yang sangat dibutuhkan agar dapat secara efektif membiayai
lebih baik tidak pencapaian UHC di Indonesia. Penelitian terbaru menunjukkan
harus menunggu bahwa kesehatan yang lebih baik tidak harus menunggu
perekonomian perekonomian membaik.
membaik.
Langkah-langkah untuk mengurangi beban penyakit, menciptakan
anak-anak yang lebih sehat, dan meningkatkan harapan hidup
akan dengan sendirinya berkontribusi terhadap ekonomi yang
lebih baik (Bloom and Canning, 2005). Pertumbuhan ekonomi di
negara dengan pendapatan rendah dan menengah dapat
disebabkan oleh keluaran kesehatan yang lebih baik sehingga
sebuah penelitian menyimpulkan bahwa investasi di bidang
kesehatan menghasilkan 9-20 kali lipat keuntungan investasi
(Jamison, et al., 2013).

Pemerintah harus melaksanakan UU Kesehatan terkait


mandatory spending yang harus dialokasikan oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Selain itu, pilihan lainnya dapat
dipertimbangkan dalam rangka mewujudkan kapasitas fiskal
untuk mencapai UHC di Indonesia. Meskipun sumber dominan
pembiayaan untuk BPJS berasal dari Pemerintah Pusat, di
masa datang pemerintah daerah dan swasta diharapkan
terlibat dalam pembiayaan JKN sehingga membantu menutup
iuran dari kelompok non-PBI di sektor informal.

Menciptakan ruang fiskal dengan melibatkan peran swasta perlu


terus dilakukan (public private partnership). Misalnya, salah satu
sumber ruang fiskal yang spesifik untuk kesehatan adalah
pinjaman dan hibah dari organisasi internasional, seperti The
Global Fund for AIDS, Tuberculosis, and Malaria (GFATM) dan Aliansi
GAVI. Selain itu, perpajakan alkohol dan konsumsi rokok bisa
dialokasikan menjadi pendapatan langsung untuk anggaran
kesehatan. Meskipun demikian, tampaknya masih terdapat
kendala politik untuk pajak tembakau walaupun penelitian
menunjukkan bahwa kenaikan 10% harga rokok bisa
menurunkan konsumsi 3,5-6,1 persen dan pendapatan
pemerintah dapat meningkatkan sebesar 6,7-9% dari pajak rokok
(Depkes, 2004).

79
Gambar 5.3. Laporan WHO tentang

World Health Organization. (2010). The World


to Universal Coverage. Available: http://www.

Thailand adalah contoh negara yang telah berhasil


mengimplementasikan pajak yang diperuntukkan secara langsung
untuk dana kegiatan promosi kesehatan. Pada tahun 2001
Thailand melembagakan Yayasan Promosi Kesehatan Thailand
(ThaiHealth). Estimasi aliran pendapatan tahunan sebesar US$ 50
Juta didapat dari dana yang berasal langsung dari 2% pajak
tembakau dan konsumsi alkohol (WHO, 2005). Contoh pajak
lainnya yang dialokasikan untuk menciptakan ruang fiskal untuk
kesehatan dilakukan oleh Ghana dan Zimbabwe. Sebesar 2,5%
dari PPN di Ghana digunakan untuk membantu pembayaran
program asuransi kesehatan nasional. Zimbabwe menambah
pungutan sebesar 3% atas penghasilan pribadi dan pajak
perusahaan untuk membantu pembiayaan intervensi terkait
AIDS.

Redefinisi KDK dan Kelas Standar dalam


Program JKN

Perbaikan fundamental dalam program JKN terkait erat


dengan pembenahan tata kelola program JKN, baik secara
pengorganisasian penyelenggara program, penyediaan fasilitas
kesehatan serta pemenuhan sarana prasarana, penerapan
standar pelayanan kesehatan, standardisasi manfaat kelas rawat
inap, maupun perbaikan rancangan manfaat program agar sesuai
dengan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) peserta.

Dalam suatu sistem asuransi sosial, karena terbatasnya sumber


pendanaan yang berasal dari pendapatan iuran peserta, perlu
ada batasan terhadap biaya pelayanan kesehatan yang dapat
ditanggung. UU SJSN mengamanatkan bahwa batasan manfaat
yang ditanggung oleh program jaminan sosial kesehatan
adalah pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk memenuhi
KDK peserta.

80
Namun demikian, manfaat program JKN saat ini belum
sepenuhnya sesuai dengan prinsip pemenuhan KDK. Dengan
perkembangan situasi penyakit di Indonesia dan kondisi
pendanaan program JKN, manfaat yang ada perlu ditinjau
kembali dengan menerapkan prinsip pemenuhan KDK peserta.
Kementerian Kesehatan dan DJSN memulai kajian terkait
dengan KDK dan Kelas Standar di pertengahan 2020 dan segera
menyusun strategi pelaksanaan.
Penerapan SPM
bidang Mengacu pada Perpres No. 72 Tahun 2012 Tentang Sistem
kesehatan Kesehatan Nasional, penentuan pelayanan kesehatan dasar
tidak dapat merujuk pada kategori pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan
terpisah dengan kesehatan masyarakat dan perorangan. Pelayanan dasar diatur
penyelenggaraan dalam PP No. 2 Tahun 2018 Tentang Standar Pelayanan Minimal
program JKN. (SPM) dengan lingkup pelayanan yang telah diatur dalam
Permenkes No. 4 Tahun 2019 tentang Standar Teknis
Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan yang memuat jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan Pemerintah Wajib yang
berhak diperoleh setiap warga negara. Penerapan SPM bidang
kesehatan tidak dapat terpisah dengan penyelenggaraan program
JKN. Penekanan SPM bidang kesehatan berfokus pada pelayanan
promotif dan preventif, sementara program JKN mendukung
pelayanan promotif dan preventif serta menitikberatkan
pelayanan kuratif dan rehabilitatif.

Pembiayaan Kesehatan saat Pandemi


COVID-19

Keadaan menjadi semakin pelik karena ketika penulis menuliskan


bab ini dunia tengah dilanda pandemik COVID-19, tak terkecuali
Indonesia. Indonesia dan seluruh negara tengah berjuang
melawan COVID-19. Tidak mudah bagi Indonesia untuk
menghadapi pandemi ini. Jika dilihat dari grafik, angkanya terus
meningkat dengan tajam. Positivity rate COVID-19 Indonesia
terus mengalami peningkatan selama enam bulan terakhir,
bahkan persentasenya mencapai tiga kali lipat daripada yang
direkomendasikan WHO. Beberapa negara mengambil langkah
cepat dengan memberikan suntikan stimulus ekonomi melawan
penyebaran COVID-19, termasuk Indonesia.

Presiden Jokowi menambah alokasi belanja dan pembiayaan


dalam APBN TA 2020 sebesar Rp686,20 Triliun untuk stimulus
fiskal penanganan COVID-19. Dari total anggaran tersebut,
sebanyak Rp598,65 Triliun merupakan biaya Pemulihan Ekonomi
Nasional (PEN), dan Rp87,55 Triliun untuk bidang kesehatan yang
terdistribusi ke beberapa K/L. Seluruh APBN difokuskan untuk
mengurangi tekanan berat di kuartal II–III 2020. Diharapkan pada
kuartal IV 2020 terjadi pemulihan atau pengurangan tekanan.
Dengan demikian, masyarakat, dunia usaha, dan daerah bisa
melakukan pemulihan kegiatan ekonominya setelah terkena
dampak COVID-19. Namun sampai kuartal IV 2020, Indonesia

81
justru dinyatakan
resesi karena
terjadi penurunan
ekonomi secara
negatif sampai dua
kali berturut-

82
turut. Meskipun demikian, angka negatif tersebut mengalami
perbaikan pada kuartal terkahir di tahun 2020.

Keputusan Menteri Keuangan No: 6/KM.7/2020 tentang


Penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Kesehatan
dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dalam rangka
pencegahan dan/ atau Penanganan COVID-19
merekomendasikan daerah untuk menggunakan DAK Fisik dan
Non-fisik untuk pencegahan dan/ atau penanganan COVID-19
melalui revisi rencana kegiatan. Namun dalam hal lainnya, jika
penanganan COVID-19 menggunakan DAK Fisik, ini akan
menyebabkan perubahan pada rencana kegiatan yang telah
disusun sebelumnya. Hal ini akan dapat berpotensi mengganggu
kegiatan di bidang pelayanan kesehatan dasar, pelayanan
kesehatan rujukan, dan penguatan intervensi stunting di daerah
yang menjadi program Prioritas Nasional 2020.

Pemerintah merasa perlu segera mengambil kebijakan dan Pemerintah


langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan kesehatan dan merasa
perekonomian nasional. Fokusnya adalah pada belanja untuk perlu segera
kesehatan, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net), dan mengambil
pemulihan perekonomian, termasuk untuk dunia usaha dan kebijakan dan
masyarakat yang terdampak, serta menjaga stabilitas sektor langkah luar
keuangan melalui PERPPU. Diperlukan penyesuaian besaran biasa dalam
defisit anggaran yang melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto rangka
(PDB). Oleh karena itu, perlu relaksasi kebijakan defisit APBN di penyelamatan
atas 3% untuk tiga tahun (pada 2020, 2021, dan 2022). Setelah kesehatan dan
itu kembali ke disiplin fiskal maksimal defisit 3% mulai 2023. perekonomian
Jumlah pinjaman yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan nasional.
relaksasi defisit tersebut dibatasi maksimal 60% dari PDB.
Dengan berlakunya PERPPU ini, besaran belanja wajib
(mandatory spending) yang terdapat dalam berbagai undang-
undang dapat disesuaikan oleh Pemerintah, antara lain:
1. Anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN di luar gaji, yang
diatur dalam UU Kesehatan;
2. Anggaran untuk desa yang bersumber dari APBN sebesar 10%
dari dan di luar Dana Transfer Daerah (DTD) yang diatur dalam
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa; dan
3. Besaran Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pendapatan
Dalam Negeri Bersih sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.

Pemerintah tetap melakukan upaya menjaga pengelolaan fiskal


secara hati-hati melalui refocusing dan realokasi belanja untuk
penanganan COVID-19, melakukan penghematan belanja (belanja
K/L dan TKDD) tidak prioritas sesuai dengan perubahan kondisi
pada 2020.

83
Penutup

Pandemi ini merupakan sesuatu yang tidak pasti (uncertainty),


bersifat turbulensi, bahkan terlihat samar. Pandemi tidak hanya
merusak derajat kesehatan bangsa, tetapi juga meluluhlantahkan
tatanan ekonomi bangsa.

Reformasi Stimulus anggaran penanganan COVID-19 yang dikeluarkan


menyeluruh oleh Kementerian Keuangan RI telah menghabiskan hampir
program setengah dari APBN TA 2020. Kondisi ini semakin
jaminan membuktikan bahwa sistem ketahanan kesehatan Indonesia
kesehatan masih belum kuat. Berdasarkan hal tersebut, kemudian muncul
dirasakan krusial suatu pertanyaan apakah sesungguhnya selama ini tidak terjadi
karena peraturan reformasi dasar pada sektor kesehatan di Indonesia.
pelaksanaan yang
berlaku masih Reformasi kesehatan bertujuan untuk peningkatan efisiensi,
bersifat parsial peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, pemerataan
dan tumpang- pelayanan kesehatan, serta mencari inovasi atau sumber
tindih dan pembiayaan baru dalam pelayanan kesehatan. Reformasi
manfaat program menyeluruh program jaminan kesehatan dirasakan krusial
yang belum karena peraturan pelaksanaan yang berlaku masih bersifat
optimal. parsial dan tumpang-tindih dan manfaat program yang belum
optimal. Diharapkan upaya pemerintah dalam meredefinisi
KDK dan Kelas Standar yang akan memulai perencanaan sarana
dan prasarana pada 2021 dan akan diimplementasikan pada
2022 dapat memperkuat sistem kesehatan di Indonesia.

Daftar Pustaka

Agustina, Rina. (2019). Universal Health Coverage in Indonesia:


Concept, Progress, and Challenges. The Lancet, 393(10166),
pp. 75–102.

Adisasmito, Wiku. (2008). Kebijakan Standar Pelayanan Medik


dan Diagnosis Related Group (DRG), Kelayakan
Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Bloom, D.E. and D. Canning. (2005). Health and Economic Growth:


Reconciling the Micro and Macro Evidence. CDDRL
Working Paper No. 42. Available: http://iis-db.stanford.edu/
pubs/20924/BloomCanning_42.pdf Accessed 1 Agustus
2020.

Chongsuvivatwong, Virasakdi. (2011). Health and Health-Care


Systems in Southeast Asia: Diversity and Transitions. The
Lancet.

Darmawan, Ede Surya. (2009). Obama’s Health Reform. Available:


http://staff.ui.ac.id/system/files/users/edesurya/material/
obamashealthreform.pdf .

84
Depkes. (2004). Fakta Tembakau Indonesia: Data Empiris untuk
Strategi Nasional Penanggulangan Masalah Tembakau.
Jakarta: Author.

Fukawa, Tetsuo. (2002). Public Health Insurance in Japan.


Washington: World Bank Institute.

Gottret P, and Schieber G. (2006). Health Financing


Revisited: A Practitioner’s Guide. Available:
http://siteresources.
worldbank.org/INTHSD/Resources/topics/HealthFinancing/
HFRFull.pdf.

Global Burden of Disease Health Financing Collaborator Network.


(2018). Trends in Future Health Financing and Coverage:
Future Health Spending and Universal Health Coverage In
188 Countries. The Lancet 2018; 391: 1783–98

Gotama, Indra. (2010). Reformasi Jaminan Sosial Kesehatan (Isu-


Isu Kesehatan & Jaminan Kesehatan). Jakarta: Pusat
Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Depkes RI.

Ikegami, Naoki. (2004). Japan’s Health Care System: Containing


Costs and Attempting Reform. Health Affairs.

Indrayathi PA. (2016). Bahan Ajar Pembiayaan Kesehatan di


Berbagai Negara. Denpasar: Program Studi Kesehatan
Masyarakat Udayana.

Jaafar, Safurah Noh. (2013). Malaysia Health System Review. Health


System in Transation Vol 3 No1.

Jamison, Dean. (2013). Global Health 2035: A World Converging


within A Generation. Available: https://www.thelancet.com/
article/S0140-6736(13)62105-4/fulltext.

Maeda, Akiko. (2014). Universal Health Coverage for Inclusive and


Sustainable Development: A Synthesis of 11 Country Case
Studies. Washington D.C: World Bank Publications

Mahendradhata, Y., Trisnantoro, L., Listyadewi, S., Soewondo,


P., Marthias, T., Harimurti, P., and Prawira, J. (2017).
The Republic of Indonesia Health System Review.
Health Systems in Transition Vol. 7 No. 1 2017.

Murti, Bhisma. (2010). Strategi untuk Mencapai Cakupan Universal


Pelayanan Kesehatan di Indonesia. fk.uns.ac.id/index.php/
download/file/36.

OECD. (2015). Health at a Glance 2015: OECD Indicators. Paris:


OECD Publishing. Available: http://dx.doi.org/10.1787/health_
glance-2015-en.

85
Pear, Robert. (2012). Health Law Critics Prepare to Battle over
Insurance Exchange Subsidies. Available: http://www.
nytimes.com/2012/07/08/.

PT. (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. (1997). Program


Jaminan Kesehatan Bagi Peserta Wajib. Jakarta.
Available: http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/31023/3/ Chapter%20II.pdf.

Pernando, Anggara. (2015). Ini Beda Jaminan Kesehatan


Nasional RI dan Jepang. Ampshare Article.

Purwoko, Bambang. (2014). Sistem Jaminan Sosial di Malaysia:


Suatu Tata Kelola Penyelenggaraan Program yang
Berbasis pada Pelembagaan yang Terpisah. E-Journal
Widya Ekonomika. ISSN 2338-7807. Vol 1 No 1. 2014.

Rachel Lu, Jui-fen. (2014). Universal Health Coverage Assessment


Taiwan. Available: http://gnhe.org/blog/wp-content/
uploads/2015/05/GNHE-UHC-assessment_Taiwan-1.pdf.

Setyawan Budi. (2018). Health Financing System. Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. Vol 2 No
4.

Trisnantoro, Laksono. (2014). Universal Health Coverage and


Medical Industry in 3 Southeast Asian Countries. Available:
https://www.researchgate.net/publication/274896095.

Vicini, James; Stempel, Jonathan. (2012). US Top Court Upholds


Healthcare Law in Obama Triumph. Available http://
www.reuters.com/article/usa-healthcare-court-
idUSL2E8HS4WG20120628.

World Health Organization. (2005). Achieving Universal Health


Coverage: Developing the Health Financing System.
Technical Brief for Policy-Makers. Number 1, 2005. World
Health Organization, Department of Health Systems
Financing, Health Financing Policy.

World Health Organization. (2010). The World Health Report-


Health Systems Financing: The Path to Universal
Coverage. Available:
http://www.who.int/whr/en/index.html.

Yeh, Ching-chuan. Access and Cost: What the U.S. Health Care
System Can Learn from Other Countries. Available: https://
www.help.senate.gov/imo/media/doc/Yeh1.pdf.

86
GLOSARIUM

Activity Based Costing : Metodologi akuntasi biaya yang menghitung semua biaya kegiatan
yang ada untuk mendukung terlaksananya suatu program.
Akses : Kemampuan untuk mendapatkan paket layanan kesehatan dengan
kualitas tertentu, dengan menimbang kemampuan finansial
individu serta memproses informasi kesehatan.
Anggaran : Bagian dari APBN yang dialokasikan untuk sektor kesehatan yang
melibatkan semua kementerian dan lembaga terkait.
Asuradur : Perusahaan asuransi jiwa yang memberikan pertanggungan
dan mengadakan perjanjian tanggung-menanggung dengan
pemegang polis.
Asuransi Kesehatan : Suatu instrumen sosial yang ditujukan untuk
mengartikulasikan prinsip gotong royong atau solidaritas
masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan.
Biaya Pelayanan : Dana yang dikeluarkan untuk pengobatan dan pemulihan
Kedokteran kesehatan pasien.
Biaya Kesehatan : Sejumlah dana yang perlu disiapkan dalam menyelenggarakan
dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk memenuhi
kebutuhan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
BPJS Kesehatan : Administrator dari Jaminan Kesehatan Nasional yang
mengumpulkan kontribusi dari pemerintah, perusahaan swasta,
dan rumah tangga menjadi satu kumpulan nasional dan membeli
layanan kesehatan dari penyedia publik dan swasta.
Diagnostic Related : Cara pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis.
Efektif : Dapat memberi hasil; berhasil guna.
Efektivitas : Pencapaian target atau outcome dari suatu kegiatan atau
intervensi kesehatan sesuai dengan apa yang direncanakan.
Efisiensi : Kemampuan mencapai target dengan baik dan tepat dengan tidak
membuang waktu, tenaga, dan biaya.
Ekuitas : Kondisi atau keadaan yang adil, tidak parsial, dan fair.
Fee for Services : Metode pembayaran jasa ditetapkan setelah pelayanan
kesehatan yang diberikan.
Flat Rate : Besaran biaya per episode ketika sakit bersifat tetap.
Health Maintenance : Organisasi pelayanan kesehatan yang bersifat pre-paid (dibayar
Organization di muka), bertanggung jawab memberikan pelayanan
kesehatan
komprehensif (preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif)
terhadap populasi tertentu yang telah terdaftar sebagai peserta
dengan membayar sejumlah uang yang dihitung berdasarkan
kapitasi atau per bulan per orang.
Inflasi : Kemerosotan nilai uang karena banyak dan cepatnya uang beredar
sehingga menyebabkan kenaikan harga barang.

81
Jaminan Kesehatan : Reformasi pembiayaan kesehatan yang berupaya mengatasi
Nasional tiga pilar pembiayaan kesehatan, yakni pengumpulan
pendapatan, penggabungan, dan pembelian.
Kapitasi : Sistem pembayaran di muka per bulan kepada FKTP
berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa
memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
diberikan.
Kebutuhan : Seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan
peningkatan kesehatan secara maksimal.
Medicaid OASDI : Sistem asuransi bagi masyarakat miskin yang dijalankan
oleh Pemerintah Federal dan Negara Bagian.
Medicare : Sistem asuransi bagi usia lanjut, penderita cacat, dan penderita
gagal ginjal yang dijalankan oleh Pemerintah Federal.
Medium Term Expenditure : Kerangka penganggaran jangka menengah yang bersifat
Framework komprehensif, dengan lembaga pemerintah yang dapat
menghubungkan seluruh rencana pengeluaran dengan kebijakan
prioritas dalam kerangka fiskal (terkait dengan kondisi ekonomi
makro dan perkiraan pendapatan negara) yang biasanya disusun
untuk tiga tahun.
Missing Middle : Jumlah orang yang sedikit terdaftar di UHC dengan kuintil
kekayaan Q2-Q3 dibandingkan orang di kuintil lainnya.
Out of Pocket : Besaran dana yang digunakan oleh pemakai jasa
pelayanan kesehatan berasal dari kantong pribadi
individu.
Pengeluaran Katastropik : Pengeluaran medis dari rumah tangga melebihi 10% dari
total pengeluaran rumah tangga.
Pengumpulan Pendapatan : Fungsi yang merujuk pada bagaimana negara mengumpulkan dan
memobilisasi dana.
Ratio of Cost to Charges : Penetapan biaya khusus untuk industri kesehatan.
Skema Asuransi Sosial : Suatu program asuransi yang hanya ditujukan untuk
masyarakat miskin atau kurang mampu.
Skema Pembiayaan : Komponen struktural dari sistem pembiayaan pelayanan
Pelayanan Kesehatan kesehatan, yakni pengaturan pembiayaan sehingga seseorang
mampu memperoleh pelayanan kesehatan.
Time Driven Activity : Perhitungan biaya berdasarkan aktivitas yang mengatasi beberapa
Based Costing kelemahan pada metode Activity Based Costing (ABC).
Tobit : Model yang mengestimasi pengaruh faktor lingkungan terhadap
skor efisiensi.
Traditional Costing : Metodologi akuntansi biaya yang menghitung biaya keseluruhan
pada suatu program dengan tingkat persentase tertentu.
Universal Health Coverage : Sistem kesehatan yang memastikan setiap warga dalam populasi
memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif bermutu dengan biaya terjangkau.

82

Anda mungkin juga menyukai