Anda di halaman 1dari 49

TESIS

PARAMETER HEMOSTASIS PADA HIPERLEUKOSITOSIS

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT-L1

( HEMOSTATIC PARAMETER IN HYPERLEUKOCYTOSIS


ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA-L1 )

NURHUDAYAH JAMALUDDIN A.P.

P1507212141

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU

PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

PARAMETER HEMOSTASIS PADA HIPERLEUKOSITOSIS
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT-L1

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Biomedik

Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu

Disusun dan diajukan oleh

NURHUDAYAH JAMALUDDIN A.P.

Kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan hasil penelitian ini.

Penulisan hasil penelitian ini merupakan salah satu persyaratan dalam

rangka menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Anak di IPDSA (Institusi

Pendidikan Dokter Spesialis Anak) pada Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis

Terpadu, Bidang Ilmu Kesehatan Anak, Program Studi Biomedik, Program

Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya akhir ini tidak akan

terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada

Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, Sp.A(K) dan Dr. dr. Nadirah Rasyid Ridha, M.Kes,

Sp.A(K) sebagai dosen pembimbing materi dan penelitian, yang dengan penuh

perhatian dan kesabaran senantiasa membimbing dan memberikan dorongan

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada para penguji yang telah

memberi banyak masukan dan perbaikan untuk tesis ini, yaitu dr. Setia Budi

Salekede, Sp.A(K), Dr. dr. Martira Maddeppungeng, Sp.A(K) dan dr.

Burhanuddin Iskandar, Sp.A(K).

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor, Direktur Program Pascasarjana dan Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin atas kesediaannya menerima penulis sebagai peserta

pendidikan pada Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combine


ii

Degree) Program Studi Biomedik Program Pascasarjana Universitas

Hasanuddin.

2. Koordinator Program Pendidikan Dokter Spesialis I Universitas Hasanuddin

yang senantiasa memantau dan membantu kelancaran penulis.

3. Kepala Departemen dan Ketua serta Sekretaris Program Studi Ilmu

Kesehatan Anak beserta seluruh staf pengajar (supervisor) Departemen Ilmu

Kesehatan Anak atas bimbingan dan asuhannya selama penulis menjalani

pendidikan.

4. Bapak Ketua Konsentrasi, Ketua Program Studi Biomedik, beserta Bapak dan

Ibu staf pengajar pada konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu

Program Studi Biomedik Pascasarjana Universitas Hasanuddin atas

bimbingannya selama penulis menjalani pendidikan.

5. Direktur Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo dan para direktur rumah sakit

satelit atas kesediaannya memberikan kesempatan menjalani pendidikan di

Rumah Sakit tersebut.

6. Semua teman sejawat peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak terutama teman

seangkatan Januari 2013 : Fitriya Idrus, Rahmawati, Andriana Susanti,

Anugrah Santikala, Milda, Akima Ramadhani Tahir, Merry Farida Shabier,

Meisy Grania Amalinda, Nur Ayu Lestari, Raedy dan Indra atas bantuan dan

kerjasama yang menyenangkan, berbagi suka duka selama penulis menjalani

pendidikan.

7. Semua staf administrasi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Bagian PPDS

dan Program Pascasarjana FK Unhas atas bantuan dan kerjasamanya

selama masa pendidikan penulis.


iv

ABSTRAK

Latar Belakang. Meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien leukemia


seringkali ditemukan pada keadaan hiperleukositosis. Hiperleukositosis adalah
peningkatan jumlah leukosit dalam darah tepi melebihi 50.000/mm3.
Hiperleukositosis merupakan salah satu kegawatdaruratan onkologi yang
memerlukan penanganan segera. Komplikasi akan timbul apabila keadaan ini
tidak ditangani segera, seperti gangguan hemostasis yang dapat menyebabkan
perdarahan intrakranial dan perdarahan pulmonal.
Tujuan. Menilai perbedaan parameter hemostasis antara penderita LLA-L1 yang
mengalami hiperleukositosis dan yang tidak mengalami hiperleukositosis
Metode. Penelitian dilaksanakan di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo pada bulan
November 2016-April 2017. Desain cross sectional. Sebanyak 72 penderita
berusia 1 bulan-18 tahun didiagnosis LLA-L1 berdasarkan hasil BMP. Terbagi 2
kelompok, yaitu 31 penderita yang hiperleukositosis dan 41 yang tidak
hiperleukositosis. Kemudian dilakukan pemeriksaan parameter hemostasis
(Trombosit, PT, APTT, D-Dimer dan Fibrinogen).
Hasil. Tidak terdapat perbedaan bermakna jumlah trombosit, PT, APTT, kadar D-
Dimer dan kadar fibrinogen antara penderita LLA-L1 yang hiperleukositosis dan
yang tidak hiperleukositosis. Dengan nilai p masing-masing mean trombosit 0,621,
mean PT 0,429, mean APTT 0,918, mean D-Dimer 0,882 dan mean fibrinogen
0,455.
Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan bermakna parameter hemostasis antara
penderita LLA-L1 yang hiperleukositosis dan yang tidak hiperleukositosis.
Kata Kunci: parameter hemostasis, LLA-L1, hiperleukositosis
v

ABSTRACT

Background. The increasing rate of morbidity and mortality in leukemia patients


are frequently found in hyperleukocytosis state. Hyperleukocytosis is defined by a
white blood cell count more than 50.000/mm3. Hyperleukocytosis still becomes an
oncologic emergency that need immediate treatment. The complications that will
develop if it is not immediately treated is hemostatic disorder such as intracranial
bleeding and pulmonal bleeding.
Objective. The aim of the study is to assess the differentiation of hemostatic
parameters between ALL-L1 with hyperleukocytosis and without
hyperleukocytosis
Methods. The study was conducted in Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital from
November 2016 to April 2017. It is a cross sectional study. Seventy-two patients
aged 1 month–18 years old were diagnosed with ALL-L1 based on BMP result.
They were divided into two goups, 31 patients with hyperleukocytosis and 41
without hyperleukocytosis. Then they were assessed by hemostastic parameters
laboratory examination (Platelet, PT, APTT, D-Dimer, and Fibrinogen).
Result. There were no significant difference in platelet count, PT, APTT, D-Dimer
and firbrinogen levels between ALL-L1 patients with hyperleukocytosis and
without hyperleukocytosis. Mean of platelet count with p value = 0.621, mean PT
with p value = 0.429, mean APTT with P value = 0.918, mean D-Dimer with p
value = 0.882 and mean fibrinogen with p value = 0.455.
Conclusion. There were no significant difference in hemostatic parameters
between ALL-L1 patients with hyperleukocytosis and without hyperleukocytosis.
Keywords: hemostatic parameters, ALL-L1, hyperleukocytosis
vi

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ......................................................................... i

ABSTRAK ......................................................................................... iv

ABSTRACT ....................................................................................... v

DAFTAR ISI ...................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................... ix

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xiv

BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang ................................................................ 1

I.2. Rumusan Masalah ............................................................ 3

I.3. Tujuan Penelitian .............................................................. 3

I.3.1. Tujuan Umum ........................................................... 3

I.3.2. Tujuan Khusus ......................................................... 3

I.4. Hipotesis Penelitian ..............................................…......... 4

I.5. Manfaat Penelitian ........................................................... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) .................................. 6

II.1.1. Definisi .................................................................. 6

II.1.2. Epidemiologi .......................................................... 6

II.1.3. Etiologi ................................................................... 7


vii

II.1.4. Patofisiologi .......................................................... 8

II.1.5. Klasifikasi LLA ....................................................... 9

II.1.6. Manifestasi Klinis ................................................. 12

II.1.7. Pemeriksaan Penunjang ...................................... 13

II.1.8. Diagnosis .....................................................……. 14

II.1.9. Penatalaksanaan dan Terapi LLA ......................... 15

II.1.10. Protokol Kemoterapi .......................................... 18

II.1.11. Faktor-Faktor Prognosis LLA ............................ 19

II.2. Hiperleukositosis ..…………………………………....... 22

II.3. Kelainan Hemostasis pada Leukemia ………………. 25

II.4. Kerangka Teori .......................................................... 30

BAB III. KERANGKA KONSEP ....................................................... 31

BAB IV. METODE PENELITIAN ..................................................... 32

IV.1. Desain Penelitian ....................................................... 32

IV.2. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................... 32

IV.3. Populasi Penelitian ..................................................... 32

IV.4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel .................... 32

IV.5. Perkiraan Besar Sampel ............................................. 32

IV.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ....................................... 34

IV.7. Izin Penelitian dan Ethical Clearance ......................... 34

IV.8. Cara Kerja .................................................................. 35

IV.8.1. Skema Alur Penelitian .................................... 35


viii

IV.8.2. Alokasi Subjek ................................................. 36

IV.8.2. Cara Penelitian ............................................... 36

IV.9. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel ............................ 37

IV.9.1. Identifikasi Variabel ........................................ 37

IV.9.2. Klasifikasi Variabel ......................................... 38

IV.10. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ................ 38

IV.10.1. Definisi Operasional ................................... 38

IV.10.2. Kriteria Objektif ........................................... 40

IV.11. Pengolahan dan Analisis Data ................................. 41

IV.11.1 Analisis Univariat ........................................... 41

IV.11.2 Analisis Bivariat ............................................ 41

BAB V. HASIL PENELITIAN .......................................................... 44

BAB VI. PEMBAHASAN ................................................................. 57

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 69

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 70


ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : LLA-L1

Gambar 2 : LLA-L2

Gambar 3 : LLA-L3

Gambar 4 : Tanda dan gejala leukemia akut

Gambar 5 : Leukostasis in acute leukemia

Gambar 6 : Interaksi sistem hemostasis dengan tumor

Gambar 7 : Produksi mikropartikel dan aktivitas pada kanker

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Arti dan Keterangan

6-MP : 6-Mercaptopurine

α2-PI : α2-Plasmin Inhibitor

ADP : Adenosine Diphosphate

ADT : Apusan Darah Tepi

ALL-L1 : Acute Lymphoblastic Leukemia L1

BFM : the Berlin-Frankfurt-Muenster

CPA : Cyclophosfamide

CSF : Cerebrospinal Fluid

DIC : Diseminated Intravascular Coagulation

DIKA : Departemen Ilmu Kesehatan Anak

EBV : Epstein-Barr Virus

FAB : French-American-British

FGF : Fibroblast Growth Factor

FKUI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

HLA : Human Leucocyte Antigen

HR : High Risk

IKA : Ilmu Kesehatan Anak


xi

Singkatan Arti dan Keterangan

I.V : Intravena

JAK 2 : Janus Kinase 2

KID : Koagulasi Intravaskuler Diseminata

LCS : Liquor Cerebrospinal

LLA-L1 : Leukemia Limfoblastik Akut L1

LLK : Leukemia Limfositik Kronik

LMA : Leukemia Mieloblastik Akut

LMK : Leukemia Mielositik Kronik

MP : Mikropartikel

MTX : Methotrexate

PAI-1 : Plasminogen-Activator Inhibitor Tipe 1

PB : Peripheral Blood

PDF : Produk Degradasi Fibrin

PF3 : Platelet Factor 3

P.O : Per Oral, Per Os

PS : Phosfatidil Serin

PT : Prothrombine Time

APTT : Activated Partial Thromboplastin Time

POG : Pediatric Oncology Group

RSU : Rumah Sakit Umum


xii

Singkatan Arti Keterangan

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangonkusumo

RSWS : Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusodo

SDM : Sel Darah Merah

SR : Standard Risk

SSP : Susunan Saraf Pusat

TCR : T Cell Receptor

TF : Tissue Factor

t-PA : tissue-Plasminogen Activator

TLS : Thromboplastin Like Substances

TEL/AML-1 : Translocation Ets Leukemia-Acute Myeloid Leukemia-


1

TNF : Tumor Nekrosis Factor

VCR : Vincristine

VEGF : Vascular Endotelial Growth Faactor

WHO : World Health Organization

WK-LLA : Wijaya Kusuma Leukemia Limfoblastik Akut


xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Karakteristik demografi sampel penelitian ..................... 45

Tabel 2. Distribusi jenis kelamin pada LLA-L1 .............................. 45

Tabel 3. Distribusi umur pada LLA-L1 .......................................... 46

Tabel 4. Distribusi status gizi pada LLA-L1 ............................... 47

Tabel 5. Karakteristik parameter hemostasis pada LLA-L1 ........... 48

Tabel 6. Distribusi kadar Hb pada LLA-L1 ............................... 49

Tabel 7. Distribusi trombosit pada LLA-L1 ............................... 50

Tabel 8. Distribusi PT pada LLA-L1 .......................................... 51

Tabel 9. Distribusi APTT pada LLA-L1 .......................................... 51

Tabel 10. Distribusi fibrinogen pada LLA-L1 ............................... 52

Tabel 11. Distribusi D-Dimer pada LLA-L1 ............................... 53

Tabel 12.Perbandingan parameter hemostasis antara LLA-L1 yang


hiperleukositosis dan yang tidak hiperleukositosis .......... 54

Tabel 13. Distribusi trombosit, PT dan APTT berdasarkan jumlah


leukosit pada LLA-L1 ..................................................... 55

Tabel 14.Distribusi trombosit dan kadar fibrinogen berdasarkan jumlah


leukosit pada LLA-L1 ..................................................... 56
xiv

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : Naskah Penjelasan Untuk Mendapat Persetujuan Dari


Keluarga/Subjek Penelitian

LAMPIRAN 2 : Formulir Persetujuan Mengikuti Penelitian


1

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH


Leukemia merupakan keganasan sistem hemopoietik, yaitu
transformasi maligna dari suatu progenitor/prekursor sel darah yang
membentuk klon sel ganas, ditandai oleh proliferasi tidak terkendali yang
menyebabkan pendesakan sehingga terjadi kegagalan sumsum tulang
dan infiltrasi ke jaringan lain (Permono Bambang P., Ugrasena IDG;
2012).
Secara epidemiologi, kejadian leukemia akut sebesar 30-40% dari
seluruh keganasan pada anak. Leukemia akut terdiri dari 2 tipe, yaitu
leukemia limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia mieloblastik akut
(LMA) 17%. Kasus baru LLA per tahun terjadi sebanyak kurang lebih 3000
di Amerika, 5000 di Eropa dan diperkirakan 2000-3000 kasus di
Indonesia. Jumlah kejadian LLA juga cenderung meningkat tiap tahun.
Puncak kejadian terjadi pada usia 2-5 tahun dan angka kejadian anak di
bawah usia 15 tahun rata-rata 4-4,5 kasus/100.000 per tahun (Roganovic
Jelena; 2013). Sementara selama tahun 2013 tercatat 10% penderita
penyakit keganasan yang dirawat di SMF Anak Rumah Sakit Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar, dimana 63% adalah leukemia dan sebagian
besar (96%) adalah leukemia akut (Dasril Daud, 2014).

Meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien leukemia


seringkali ditemukan pada keadaan hiperleukositosis. Hiperleukositosis
dapat ditemukan pada 9-13% pasien LLA. Hiperleukositosis adalah
peningkatan jumlah leukosit dalam darah tepi melebihi 50.000/mm3.
Peningkatan berlebihan leukosit ini terjadi akibat gangguan pengaturan
pelepasan leukosit dari sumsum tulang sehingga leukosit yang beredar
dalam sirkulasi berlebihan. Hiperleukositosis dapat menyebabkan
viskositas darah meningkat, terjadi agregasi serta trombus sel blast pada
mikrosirkulasi. Selain itu akibat ukuran sel blast yang lebih besar

dibanding sel leukosit matur, serta tidak mudah berubah bentuk


menyebabkan sel blast akan mudah terperangkap dan menimbulkan
oklusi pada mikrosirkulasi. Keadaan ini disebut dengan leukostasis.
Leukostasis akan menyebabkan perfusi yang buruk dan terjadi hipoksia,
metabolisme anaerob, asidosis laktat, akhirnya akan menimbulkan
kerusakan dinding pembuluh darah dan perdarahan (Abdulsalam Maria,
2012; Windiastuti Endang, 2002).
Konsep lain menyatakan bahwa pada leukemia, proses fagositosis
oleh netrofil yang tidak efektif memungkinkan bertahannya bakteri yang
tidak dapat didigesti sehingga timbul proses inflamasi yang selanjutnya
dapat menimbulkan gangguan mikrosirkulasi yang tersembunyi seperti,
hipoksia jaringan yang luas, kerusakan sel endotel, aktivasi sistem
koagulasi dan microcirculatory and mitochondrial distress syndrome.
Faktor-faktor tersebut merupakan hal penting dalam menentukan potensi
ke arah sepsis, namun keadaan ini tidak terdeteksi secara klinis sehingga
keadaan pasien seolah-olah stabil (Ramadhina Nusarintowati, Windiastuti
Endang, H.I.Budiman; 2008).
Selain itu, teori lain menyatakan bahwa pada leukemia, terjadi
pelepasan materi prokoagulan dari blast sel leukemik. Patogenesis
keadaan ini sangat kompleks dan melibatkan berbagai mekanisme seperti
aktivasi koagulasi oleh substansi prokoagulan yang dilepaskan oleh sel
leukemik, kegagalan jalur fibrinolitik dan perubahan endotel. (Dia Rofinda
Z;2012). Mengingat hiperleukositosis dapat menyebabkan berbagai
komplikasi pada leukemia maka perlu dibuktikan apakah hiperleukositosis
mempunyai potensi untuk menimbulkan gangguan hemostasis. Oleh
karena itu, penting dilakukan penelitian untuk membuktikan dampak
gangguan hemostasis pada anak dengan leukemia yang mengalami
hiperleukositosis.
Hiperleukositosis merupakan salah satu kegawatdaruratan onkologi
yang memerlukan penanganan segera. Apabila keadaan ini tidak
ditangani dengan tepat dan segera dapat memberikan dampak yang

merugikan kepada pasien leukemia akibat komplikasi yang ditimbulkan.


Mengingat terjadinya komplikasi pada pasien dengan hiperleukositosis
dapat berakibat fatal, maka intervensi dini dan adekuat harus segera
dilakukan untuk menurunkan jumlah leukosit (Abdulsalam Maria; 2012).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti memandang perlu untuk
melakukan penelitian ini. Sehingga dengan demikian, konsekuensi yang
terjadi akibat hiperleukositosis dapat dicegah. Sepengetahuan penulis,
hingga saat ini penelitian tentang hal ini belum pernah dilakukan di
Sulawesi Selatan.
I.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat
perbedaan parameter hemostasis antara penderita LLA-L1 yang
mengalami hiperleukositosis dan yang tidak mengalami hiperleukositosis?
I.3. TUJUAN PENELITIAN
I.3.1. Tujuan Umum
Menilai perbedaan parameter hemostasis antara penderita LLA-L1
yang mengalami hiperleukositosis dan yang tidak mengalami
hiperleukositosis.
I.3.2.Tujuan Khusus
I.3.2.1. Menentukan penderita LLA-L1 yang mengalami hiperleukositosis
dan yang tidak mengalami hiperleukositosis.
I.3.2.2. Menghitung jumlah trombosit pada penderita LLA-L1 yang
mengalami hiperleukositosis dan yang tidak mengalami
hiperleukositosis.
1.3.2.3 Membandingkan jumlah trombosit antara penderita LLA-L1 yang
mengalami hiperleukositosis dan yang tidak mengalami
hiperleukositosis.
1.3.2.4 Menghitung PT dan APTT pada penderita LLA-L1 yang mengalami
hiperleukositosis dan yang tidak mengalami hiperleukositosis.

I.3.2.5 Membandingkan PT dan APTT antara penderita LLA-L1 yang


mengalami hiperleukositosis dan yang tidak mengalami
hiperleukositosis.
I.3.2.6 Menghitung kadar fibrinogen pada penderita LLA-L1 yang
mengalami hiperleukositosis dan yang tidak mengalami
hiperleukositosis.
I.3.2.7 Membandingkan kadar fibrinogen antara penderita LLA-L1 yang
mengalami hiperleukositosis dan yang tidak mengalami
hiperleukositosis.
I.3.2.8 Menghitung kadar D-Dimer pada penderita LLA-L1 yang
mengalami hiperleukositosis dan yang tidak mengalami
hiperleukositosis.
I.3.2.9 Membandingkan kadar D-Dimer antara penderita LLA-L1 yang
mengalami hiperleukositosis dan yang tidak mengalami
hiperleukositosis.
I.3.3.0 Membandingkan frekuensi kejadian gangguan parameter
hemostasis antara penderita LLA-L1 yang mengalami
hiperleukositosis dan yang tidak mengalami hiperleukositosis.

I.4. HIPOTESIS
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :
1. Jumlah trombosit pada penderita LLA-L1 yang mengalami
hiperleukositosis lebih rendah daripada penderita yang tidak
mengalami hiperleukositosis.
2. PT dan APTT pada penderita LLA-L1 yang mengalami
hiperleukositosis lebih tinggi daripada penderita yang tidak
mengalami hiperleukositosis.
3. Kadar fibrinogen pada penderita LLA-L1 yang mengalami
hiperleukositosis lebih rendah daripada penderita yang tidak
mengalami hiperleukositosis.

4. Kadar D-Dimer pada penderita LLA-L1 yang mengalami


hiperleukositosis lebih tinggi daripada penderita yang tidak
mengalami hiperleukositosis.
5. Frekuensi kejadian gangguan parameter hemostasis pada
penderita LLA-L1 yang mengalami hiperleukositosis lebih tinggi
daripada penderita yang tidak mengalami hiperleukositosis.

1.5. MANFAAT PENELITIAN


I.4.1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai gambaran parameter hemostasis pada anak LLA-L1
yang mengalami hiperleukositosis.
1.4.2 Dengan mengidentifikasi perubahan parameter hemostasis
tersebut, maka dampak gangguan hemostasis dapat dihindari pada
anak LLA-L1 yang mengalami hiperleukositosis.
1.4.3 Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai data penelitian selanjutnya terutama dalam hal
penanganan lebih cepat dan tepat pada penderita LLA-L1 yang
mengalami hiperleukositosis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)


II.1.1. Definisi
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal
dari sumsum tulang, dimana terjadi transformasi maligna dari suatu
progenitor/prekursor sel darah yang membentuk klon sel ganas, ditandai
oleh proliferasi tidak terkendali yang menyebabkan pendesakan sehingga
terjadi kegagalan sumsum tulang dan infiltrasi ke jaringan lain. Leukemia
akut dibagi menjadi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dan Leukemia
Mieloblastik Akut (LMA) (Bambang, 2010).

II.1.2. Epidemiologi
LLA adalah kanker yang paling banyak ditemukan pada anak,
berkisar 30-40%. Insiden rata-rata 4-4.5 kasus/tahun/10.000 anak
dibawah 15 tahun. Setiap tahun diperkirakan terdapat 30-40 juta kasus
baru di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, setiap tahun diperkirakan 2000
anak dan remaja muda umur kurang dari 20 tahun didiagnosis dengan
LLA dan insidennya meningkat dalam 25 tahun terakhir (Pui CH, Evans,
2004; Pui CH, Crist WM,1993). Di Jepang mencapai 4/100.000 anak dan
diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. LLA paling banyak
ditemukan pada anak umur 2-5 tahun (>80 per seribu anak), lebih sering
pada anak laki-laki dibanding perempuan (Bambang, 2010).
Di negara berkembang, penderita leukemia 82% diantaranya
adalah LLA dan 17% leukemia mieloblastik akut (LMA). Di Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), jumlah pasien baru LLA
mencapai 60-70 pasien per tahunnya. Di RSU Sardjito, kasus LLA
mencapai 79% dari kasus keganasan anak. Pada tahun 2002, di RS Dr.
Soetomo Surabaya, kasus LLA mencapai 88% dari keganasan anak dan
7

paling sering menyerang anak-anak di bawah umur 15 tahun (Permatasari


dkk, 2009).
Sementara jumlah penderita yang dirawat di SMF Anak Rumah
Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar selama tahun 2013 adalah
sebanyak 1.928 orang, yang di antaranya tercatat ada 207 penderita
penyakit keganasan (10%). Di antara penyakit keganasan pada anak
tercatat 63% adalah leukemia, yang sebagian besar (96%) adalah
leukemia akut (Dasril Daud, 2014).

II.1.3. Etiologi
Etiologi dari LLA sangat heterogen. Faktor genetik merupakan
predisposisi anak mendapatkan leukemia. Beberapa faktor predisposisi
timbulnya leukemia, antara lain :
a. Paparan radiasi
Radiasi ion memiliki peranan penting dalam perkembangan leukemia
akut, ini dapat dilihat pada tingginya insiden leukemia setelah kasus
bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, dan LLA lebih sering
didapatkan pada anak-anak sedangkan pada orang dewasa LMA.
(Conter V dkk, 2004)
b. Paparan bahan kimia
Peranan bahan kimia seperti benzena pada LLA masih dipertanyakan,
meskipun telah didapatkan bukti bahwa enzim NAD(P)H:quinone
oxireductase1, mengalami mutasi sehingga terjadi penurunan aktivitas
enzim tersebut pada LMA maupun LLA pada orang dewasa. Faktor
lain yang memegang peranan adalah kondisi orang tua yang merokok,
paparan pestisida maupun herbisida, konsumsi alkohol oleh ibu,
kontaminasi air minum oleh logam berat. Penyebab pasti hubungan
antara paparan bahan kimia dengan LLA anak belum bisa dijelaskan
(Conter V dkk, 2004).
8

c. Penyebab lain
Peranan infeksi virus dalam menyebabkan leukemia pada manusia
telah diteliti secara intensif. Hal ini digambarkan dalam distribusi umur
pada saat diagnosis yang berkaitan dengan masa ketika sistem imun
berkembang dan mungkin lebih rentan terhadap efek onkogen dari
beberapa virus. Beberapa peneliti menyebutkan peningkatan risiko
LLA pada anak dengan ibu yang baru saja terinfeksi influenza,
varicella, atau virus lain, tetapi hubungan pasti antara paparan virus
masa prenatal dan risiko leukemia belum pernah dilaporkan. Yang
pernah dilaporkan adalah kaitan infeksi Epstein-Barr virus (EBV) dan
kasus Burkitt limfoma-leukemia dengan morfologi subtipe LLA-L3
(Conter V dkk, 2004; Pui CH, Evans, 2004).

II.1.4. Patofisiologi
Gen-gen yang berperan pada patogenesis terjadinya kanker
melalui dua mekanisme umum. Mekanisme pertama adalah dengan
gangguan struktur gen yang normal (proto-oncogene) yang akan
menghasilkan gen baru (oncogene) menghasilkan protein yang berperan
pada sel pejamunya untuk menginduksi terjadinya keganasan. Produk
protein biasanya berperan pada proliferasi sel, diferensiasi atau survival.
Mekanisme kedua adalah hilang atau tidak aktifnya gen yang menyandi
protein penekan kanker. Gen kelas ini dikenal sebagai tumor suppressor
genes atau anti-oncogens (Cline, M.J., 2004).
Gen-gen yang berperan terhadap terjadinya kanker termasuk LLA
dan progresifitasnya dapat dikelompokkan kedalam beberapa family
berdasarkan fungsi protein yang disandi, terdiri dari gen penyandi faktor
transkripsi, protein yang terikat pada regulator gen target yang akan
menstimulasi atau menghambat transkripsi. (Clearly ML, 1991). Family
lain yang penting termasuk gen yang menyandi protein kinase, protein
yang berperan dalam kematian sel (apoptosis) dan protein-protein dengan
9

fungsi tumor supressor, apabila hilang akan memberikan kontribusi


terhadap tumorogenesis (Rubnitz JE, Crist WM; 1997).
Gen leukemogenic terjadi karena gen normal mengalami mutasi,
fusi pada gen lain, rearrangement atau hilang. Protooncogene yang
berperan pada kontrol proliferasi atau survival akan berubah menjadi
onkogen yang menginduksi kanker sebagai akibat fusi gen ke gen lainnya
atau mutasi. Fusi atau mutasi akan menghasilkan gangguan regulasi
ekspresi gen atau produk gen yang abnormal sehingga terjadi proliferasi
atau survival abnormal dari sel pejamu. Hal ini merupakan langkah awal
dari evolusi leukemia. Tumor-supressor genes bisa mengalami disrupsi
karena mutasi, rearrangement, atau delesi. Hasilnya adalah produk gen
Tumor-supressor genes hilang, yang akan berakibat terjadi proliferasi atau
survival yang tidak normal. Hal ini sering sebagai kejadian sekunder yang
menghasilkan bentuk agresif leukemia (Cline, M.J., 2004).
Pada kebanyakan kasus LLA, sama seperti keganasan limfoid yang
lain, sel progenitor tunggal yang rusak memiliki kemampuan untuk
ekspansi dengan memperbaharui diri sehingga menjadi ganas.
Kebanyakan kasus LLA memperlihatkan kelainan kromosom dan
abnormalitas genetik. Perubahan molekuler ini sering terjadi pada lokasi
yang mengkode imunoglobulin, TCR dan proses transkripsi (Cline MJ;
2004, Kresno BS; 2011).

II.1.5. Klasifikasi LLA


II.1.5.1. Klasifikasi berdasarkan Morfologi
French-American-British (FAB) mengklasifikasikan LLA menjadi tiga, yakni
:(Conter V dkk; 2004)
1. L1 : ditandai dengan sel limfoblast kecil, kromatin homogen, anak inti
umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit. LLA-L1 merupakan
tipe paling sering ditemukan pada anak.
10

Gambar 1. LLA-L1 (Conter V dkk; 2004)

2. L2: pada jenis ini sel limfoblast lebih besar, ukuran bervariasi,
kromatin lebih besar dengan satu atau lebih anak inti. Tipe ini
didapatkan pada 10% kasus LLA.

Gambar 2. LLA-L2 (Conter V dkk; 2004)

3. L3: subtipe yang jarang, lebih menyerupai sel Burkitt, terdiri dari sel
limfoblast besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan
bervakuolisasi.

Gambar 3. LLA-L3 (Conter V dkk; 2004)


11

II.1.5.2. Klasifikasi Berdasarkan Imunofenotif


Berdasarkan WHO, LLA diklasifikasikan atas leukemia limfoblast B,
dan leukemia limfoblast T. Mengacu pada kriteria WHO tahun 2008,
leukemia limfoblast B adalah prekursor-B lymphoblastic dan terminologi ini
digunakan untuk membedakannya dengan sel B matur yang dikenal
sebagai Burkitt leukemia (Margolin JF dkk; 2002).
A. LLA Prekursor sel B, ditandai dengan ekspresi sitoplasma CD79a,
CD19, HLA-DR dan antigen lain yang berhubungan dengan sel B.
Prekursor sel B dibagi atas 3 tipe, yakni:
1. ALL Pro-B negative CD10 dan tidak memiliki permukaan
imunoglobulin. Kurang lebih 5% pasien leukemia memiliki
imunofenotip pro-B. Pro-B ini paling sering didapatkan pada bayi
dan berhubungan dengan translokasi t(4;11).
2. Positive Common Prekursor B-cell ALL-CD10 dan tidak ada
permukaan atau imunoglobulin sitoplasma. Diperkirakan tiga
perempat pasien dengan prekursor sel-B adalah common
prekursor sel B dan memiliki prognosis yang paling baik. Pasien
dengan sitogenetik yang memberikan hasil memuaskan selalu
memperlihatkan imunofenotip common prekursor sel-B.
3. Pre-B-ALL dengan adanya sitoplasma imunoglobulin
Diperkirakan 25% dari leukemia prekursor sel B adalah
mengandung sitoplasmik imunoglobulin.
B. Leukemia sel T
Leukemia sel T ditandai dengan adanya ekspresi antigen yang
berkaitan dengan sel T (sitoplasma CD3, dengan CD7 ditambah CD2
atau CD5) pada sel blast leukemia dan biasanya berkaitan dengan
gejala klinis termasuk jenis kelamin laki-laki, umur tua, leukositosis
dan massa mediastinal (Margolin JF dkk, 2002).
12

II.1.6. Manifestasi Klinis


Gejala LLA dapat digolongkan dalam tiga bagian, yakni:
1. Gejala kegagalan sumsum tulang
a. Anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah. Ini disebabkan karena
produksi sel darah merah (SDM) kurang akibat kegagalan sumsum
tulang memproduksi SDM, ditandai dengan berkurangnya kadar
hemoglobin, turunnya hematokrit, dan jumlah sel darah merah
kurang.
b. Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai demam, malaise,
infeksi rongga mulut, tenggorokan, kulit, saluran napas, sepsis
sampai syok septik.
c. Trombositopenia menimbulkan perdarahan kulit, perdarahan mukosa
seperti perdarahan gusi, hidung, saluran cerna, bahkan perdarahan
intrakranial.
2. Infiltrasi ke dalam organ menimbulkan organomegali, seperti
limfadenopati superfisial, splenomegali atau hepatomegali, hipertrofi
gusi, sindrom meningeal (sakit kepala, mual, muntah, penglihatan
kabur, kaku kuduk). Manifestasi infiltrasi organ lain yang dapat
ditemukan antara lain pembengkakan testis atau tanda penekanan
mediastinum.
13

Gambar 4. Tanda dan Gejala Leukemia Akut. (Tom, 2014)

Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin


banyak akan menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal,
dan bagi faal tubuh maupun dampak karena infiltrasi sel leukemia ke
dalam organ. Kegagalan hemopoesis normal merupakan akibat yang
besar pada patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian
patogenesisnya masih sangat sedikit diketahui. Kematian pada pasien
leukemia akut pada umumnya disebabkan karena infeksi dan perdarahan
(gastrointestinal dan intrakranial).

II.1.7. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hitung darah lengkap dan Apusan Darah Tepi (ADT)
- Jumlah leukosit dapat normal, meningkat atau rendah pada saat
diagnosis.
14

- Hiperleukositosis terjadi pada kira-kira 9-13% pasien dan dapat


melebihi 200.000/mm3.
- Proporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0-100%.
- Hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3.
- Kadar hemoglobin rendah.
b. Bone Marrow Punction
Apusan sumsum tulang tampak hiperseluler dengan limfoblast yang
sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA. Dari
pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran monoton,
yaitu hanya terdiri dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem
lain terdesak (aplasia sekunder). Pemeriksaan ini sangat penting
untuk diagnosis LLA sehingga semua pasien harus menjalani
pemeriksaan ini.
c. Sitokimia
Sitokimia berguna untuk membedakan prekursor B dan LLA sel B
dari LLA sel T.
d. Imunofenotif
Untuk mengidentifikasi subtipe imunologi leukemia.
II.1.8. Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap,
diagnosis leukemia dapat ditegakkan. Untuk diagnosis pasti dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar
90% kasus, selebihnya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu
sitokimia, imunologi, sitologi dan molekuler (Pui CH; 1997).
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan
jumlah leukosit dan trombositopenia. Pada pemeriksaan ADT didapatkan
sel-sel muda. Apusan sumsum tulang tampak hiperseluler dengan
limfoblast yang sangat banyak lebih dari 90% sel berinti pada LLA (Pui
CH; 1997).
Berdasarkan protokol Wijaya Kusuma LLA (WK-LLA) dan protokol
Nasional (protokol Jakarta) pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko
15

tinggi bila jumlah leukosit >50.000/mm3, ditemukan leukemia SSP, sel


blast total setelah satu minggu pemberian deksametason didapatkan lebih
dari 1000/mm3, dan adanya massa mediastinum. Untuk menentukan
adanya leukemia SSP harus dilakukan aspirasi cairan serebrospinal dan
pemeriksaan sitologi (Permatasari dkk; 2009).
II.1.9. Penatalaksanaan dan Terapi LLA
II.1.9.1 Terapi Suportif
Penanganan suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang
menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi, antara lain berupa
pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat
untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang
baik dan pendekatan aspek psikososial (Permono Bambang, Ugrasena
IDG; 2012).
Sebagian besar pasien dengan LLA memiliki gejala demam. Demam
dapat disebabkan oleh adanya induksi sitokin pirogen dari sel leukemia,
termasuk interleukin-1, tumor nekrosis factor (TNF) dan interleukin-6.
Selain itu, demam dapat pula disebabkan adanya infeksi. Dengan
demikian, pada penderita LLA yang mengalami demam, diberikan
antibiotik spektrum luas, khususnya yang mengalami netropenia sampai
diagnosis infeksi tersingkirkan (Pui CH; 1997).
Pada pasien dengan sel-B atau sel-T atau prekursor sel-B dengan
burden large of leukemic cells, hiperurikemia, hiperkalemia dan
hiperposfatemia dengan hipokalsemia yang terjadi sebelum pemberian
kemoterapi, pada pasien ini harus diberikan hidrasi intravena, natrium
bikarbonat untuk alkalinisasi urin, allopurinol untuk menangani
hiperurikemia dan aluminium hidroksida atau kalsium bikarbonat bila
didapatkan kadar kalsium rendah (Pui CH,1997; Copelan EA, McGuire
EA, 1995; Mason E dkk, 1996).
16

II.1.9.2. Kemoterapi
Salah satu faktor yang menyebabkan perbaikan pengobatan LLA
adalah pemberian regimen multi-drugs dengan uji klinis yang baik.
Kemoterapi memiliki tahapan pengobatan yaitu:
1. Induksi Remisi
Untuk mencapai remisi yang diharapkan terjadi 6 minggu atau 42
hari, biasanya dipilih obat-obat yang bekerjanya cepat dengan
toksisitas selektif terhadap sel sel leukemia. Dasar pengobatan induksi
ialah untuk mengurangi secepatnya massa sel ganas sehingga
kesempatan berkembangnya seri sel resisten dapat dikurangi. Dengan
pengobatan induksi yang agresif dapat ditingkatkan presentase remisi
serta dapat dikurangi jumlah kasus relaps dalam perjalanan penyakit
kemudian (Tranggana, 2009).
Berdasarkan pertimbangan di atas, pengobatan induksi saat ini
menggunakan kombinasi 3 macam obat : vincristine, kortikosteroid dan
L-asparaginase. Obat-obatan dipilih tergantung jenis leukemia dan
tergabung dalam suatu protokol. Saat ini di Indonesia sudah ada 2
protokol pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu
protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-LLA 2000. Klasifikasi risiko
pada LLA didasarkan pada faktor prognostik (Bambang, 2010).
Tujuan utama dari terapi induksi remisi adalah untuk mengeradikasi
sel-sel leukemia (mencapai remisi komplit) dan merestorasi
hematopoiesis normal, dimana angka keberhasilannya pada anak
mencapai 96-99% sedangkan pada orang dewasa sekitar 78-92%.
Remisi komplit didefinisikan sebagai jumlah sel blast yang <5 % dalam
sumsum tulang dan bentuk eritroid, mieloid dan elemen megakariotik
normal, remisi komplit juga meliputi hitung darah tepi yang normal, tidak
ada blast, jumlah granulosit 1500/mm3, trombosit >100.000/mm3 dan
Hb ≥10 gr/dl. Selain itu, pada cairan serebrospinal harus bebas dari
blast dan organomegali menjadi hilang (Bambang, 2010).
17

Terapi induksi berlangsung selama 4-6 minggu dengan pemberian


3-4 obat yang berbeda antara lain glukokortikoid (prednison atau
dexametazon), vincristine, L-asparginase, dan atau antrasiklin.
Kombinasi 3 jenis obat biasanya digunakan pada kebanyakan kasus
yang termasuk dalam SR. Pada anak yang high-risk biasanya diobati
dengan lebih dari 4 kombinasi obat. Tambahan obat seperti
siklofosfamid, sitarabin dosis konvensional atau tinggi, merkaptopurin
dapat diberikan pada beberapa regimen (Bambang, 2010).
2. Profilaksis Susunan Saraf Pusat
Diperkirakan bahwa pada 70% penderita sel sel leukemia sudah
masuk ke dalam susunan saraf pusat (SSP) saat diagnosis ditegakkan,
meskipun belum timbul gejala. Obat-obat untuk membasmi sel
leukemia dalam sumsum tulang tidak dapat menembus sawar otak
sehingga sel-sel tersebut berkembang biak dengan bebas dan
beberapa bulan kemudian dimulai induksi remisi (window periode 1
minggu). Obat untuk profilaksis SSP biasanya terdiri dari kombinasi
Methotrexatee (MTX), kortikosteroid dan sitosin arabinase (Tranggana,
2009).
3. Mempertahankan Remisi
a. Konsolidasi
Untuk memantapkan remisi yang telah dicapai, biasanya dipakai
MTX dalam dosis sedang disertai dengan leukovorin.
b. Pengobatan maintenance
Dipakai obat-obat kurang toksik untuk menurunkan jumlah sel ganas
menjadi 0 dalam jangka panjang, biasanya 2 tahun. Berupa 6-
merkaptopurine dalam kombinasi dengan MTX dan bergantian
dengan kortikosteroid.
c. Reinduksi diberikan dengan 1 atau 2 kali injeksi VCR i.v. setiap 8
minggu sekali selama maintenance.
d. Profilaksis SSP terus dilanjutkan tiap 8 minggu sampai minggu ke 60
(Tranggana, 2009).
18

Penghentian pengobatan LLA pada umumnya setelah seluruh proses


kemoterapi berlangsung 2 tahun. Selama kemoterapi atau setelahnya
dapat terjadi relaps pada sebagian pasien (Tranggana, 2009).
Kriteria Relaps :
• >25% blast pada penghitungan >200 sel-sel sumsum tulang berinti.
• Dan atau adanya sel-sel blast leukemia dalam darah tepi.
• Dan atau leukemia SSP : >15/3 (5/mm3) sel limfoblast dalam likuor.
• Dan atau infiltrasi leukemia di tempat lain (dibuktikan dengan
pemeriksaan imunologi, patologi).

II.1.9.3 Transplantasi Sel Punca (Stem-Cell transplantation)


Allogenic stem-cell transplantation diindikasikan untuk pasien yang
tidak berespon pada fase induksi dan pasien yang mengalami remisi
kedua setelah relaps. Untuk pasien yang membutuhkan allogenic stem-
cell transplantation tetapi kekurangan sumber donor dari keluarga,
allograft dari donor yang sesuai meskipun tidak memiliki hubungan
keluarga, saat ini memungkinkan untuk dilakukan (Pui, 2004).
Suatu peneliatian mengemukakan bahwa transplantasi graft dari
donor yang bukan keluarga sama efektifnya dengan donor dari saudara
yang sesuai. Transplantasi darah tali pusat atau autolog sumsum tulang
juga dapat dilakukan (Pui, 2004).

II.1.10. Protokol Kemoterapi


Protokol kemoterapi yang dianut oleh RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo berdasarkan protokol kemoterapi yang dikeluarkan oleh
IDAI tahun 2006. Terdiri atas protokol standar risk dan high risk.
A. Kriteria Standar Risk
• Jumlah leukosit <50.000/mm3.
• Tidak terdapat massa mediastinal.
• Tidak terdapat sel-sel leukemia dalam cairan likuor pada saat
diagnosis.
• Tidak ada leukemia testis saat diagnosis.
19

• Tidak ada kelainan kromosom tertentu, misalnya t(9;22), t(4;11),


translokasi BCR-ABL (Tranggana, 2009).

Protokol standar risk terdiri dari : Methotrexate intratekal, vincristine 1.5


mg/m2 (iv), prednison 60/40 mg/m2 (p.o) window induction, High Dose
Methotrexatee 1000 mg/m2, Leucovorin rescue 15 mg/m2, Daunorubicine
30 mg/m2 (iv), L-Asparginase (iv), 6-MP 50 mg/m2 (p.o), Blast LCS, Blast
PB, BMP.
B. Kriteria High Risk
• Jumlah leukosit >50.000/mm3.
• Terdapat massa mediastinal.
• Terdapat sel-sel leukemia dalam cairan likuor pada diagnosis.
• Terdapat infiltrasi sel leukemia pada testis (pembesaran testis) saat
diagnosis.
• Terdapat kelainan kromosom tertentu, misalnya t(9;22), t(4;11),
translokasi BCR-ABL.

Protokol high risk terdiri dari : Methotrexate intratechal, vincristine 1.5


mg/m2 (iv), dexa 6 mg/m2 (p.o), High Dose Methotrexate 2000 mg/m2,
Leucovorin rescue 15 mg/m2, Daunorubicine 30 mg/m2 (iv),
cyclophosphamide 1000 mg/m2(iv), citarabin 100 mg/m2 (iv), L-
Asparginase (iv), 6-MP 50 mg/m2 (p.o), BMP.

II.1.11. Faktor-Faktor Prognosis LLA


LLA bukanlah suatu penyakit tunggal, melainkan kelompok
penyakit dengan variasi genetik pada sel blast leukemia yang memberikan
gejala klinis dan luaran yang bervariasi. Umur dan jumlah leukosit
merupakan faktor yang pertama kali digunakan sebagai faktor risiko.
Untuk masa yang akan datang, leukosit dan umur peranannya mungkin
akan tergantikan oleh penanda imunologik dan genetik dari penyakit ini.
Beberapa faktor yang mempengaruhi luaran leukemia, antara lain :
20

1. Umur
Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat
diagnosis dan hasil pengobatan. Pasien dengan umur di bawah 18
bulan atau diatas 10 tahun mempunyai prognosis lebih buruk
dibandingkan dengan pasien berumur diantara itu. Khusus pasien
dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan
mempunyai prognosis paling buruk. Hal ini dikaitan karena mereka
mempunyai kelainan biomolekuler tertentu. Leukemia bayi
berhubungan dengan gene-re-arrangement pada kromosom 11q23
seperti t (4;11) atau t (11;19) dan jumlah leukosit yang tinggi
(Permono Bambang, Ugrasena IDG, 2012; Permatasari Emelyana,
dkk, 2009).
2. Jumlah Leukosit
Jumlah leukosit darah tepi pada awal diagnosis leukemia akut
merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan prognosis.
Jumlah leukosit yang tinggi merupakan salah satu penyebab angka
tingginya angka relaps, baik relaps di sumsum tulang maupun di luar
sumsum tulang dan rendahnya angka kesintasan (survival) penderita
leukemia akut. Di samping merupakan faktor penyebab terjadinya
relaps, keadaan hiperleukositosis dapat menyebabkan berbagai
komplikasi yang mengancam jiwa penderita yang memerlukan
tindakan segera sehingga keadaan ini dikategorikan sebagai keadaan
darurat onkologi (oncology emergency) (Abdulsalam M, 2012; Sari
Tjitra T, Endang Windiastuti, 2010).
3. Massa Mediastinal
Adanya massa mediastinal menyebabkan terjadinya
peningkatan risiko relaps. Hal ini biasanya berkaitan dengan leukemia
sel T. Pada beberapa protokol, adanya massa mediastinal
dikategorikan dalam kelompok risiko tinggi, sehingga diberikan terapi
yang intensif (Gustaffson, 2000; Silverman, 2000).
21

4. Leukemia SSP (Sistem Saraf Pusat)


Keterlibatan SSP masih menjadi faktor penting, meskipun nilai
prognosisnya mulai berkurang sejak dilakukan terapi langsung
terhadap SSP termasuk iradiasi kranial dan kemoterapi (metotreksat,
sitarabin) (Smith dkk, 1998).
Diperkirakan bahwa 15-20% anak dengan LLA memberikan
gambaran adanya limfoblast pada cairan serebrospinal (CSF). Bayi
dan anak dengan LLA sel T memiliki insiden tinggi untuk
mendapatkan leukemia SSP (Moricke dkk; 2005). Status leukemia
SSP pada saat diagnosis berkaitan erat dengan luaran, sehingga
beberapa protokol menggunakan hal ini untuk menentukan terapi dan
memberikan terapi yang langsung ke SSP (Burger B dkk; 2003).
5. Jenis Leukemia
Umumnya, anak dengan sel T memiliki luaran yang kurang
menguntungkan, tetapi dengan terapi lebih intensif, LLA sel T memiliki
luaran yang sama dengan LLA sel B. (Uckun FM dkk, 1997; Zhang
dkk, 1997). Anak laki-laki lebih sering mendapatkan LLA sel T
dibandingkan anak perempuan (20,9% vs 10,7%) (Pui CH dkk, 1999).
6. Abnormalitas Kromosom
Beberapa penelitian melaporkan bahwa abnormalitas kromosom
memiliki pengaruh terhadap prognosis dari LLA, dan digunakan untuk
menstratifikasi protokol pengobatan pasien. Karakteristik dari genetik
molekuler yang berkaitan dengan leukemia juga meningkatkan
pemahaman akan patogenesis leukemia dan pengobatannya
(Silverman,2000; Pui CH,2000).
Abnormalitas kromosom yang berkaitan dengan prognosis yang
kurang menguntungkan, antara lain kromosom Philadelphia dan
hipodiploid (jumlah kromosom kurang dari 44-45) (Nachman dkk,
2007; Pui CH dkk, 2002).
22

Dua kelainan kromosom, yakni hiperdiploid (51-65 kromosom)


yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis
prognosis yang baik (Permono Bambang, Ugrasena IDG,2012).
II.2. HIPERLEUKOSITOSIS
Hiperleukositosis adalah peningkatan jumlah sel leukosit darah
tepi melebihi 50.000/mm3. Peningkatan berlebihan sel leukosit ini
terjadi akibat gangguan pengaturan pelepasan sel leukosit dari
sumsum tulang sehingga leukosit yang beredar dalam sirkulasi
berlebihan (Mulawi Caroline, Windiastuti Endang, 2002; Oymak
Yesim, 2014).
Hiperleukositosis dapat ditemukan pada 9-13% pasien
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA), 13-22% pasien Leukemia Non-
Limfoblastik Akut dan pada hampir semua pasien Mielogenus Kronis.
Lindemulder Sue dalam Oncologic Emergencies menyebutkan
bahwa 10 % pasien LLA mengalami hiperleukositosis (Lindemulder
Sue;1990). Di Bagian IKA FKUI/RSCM Jakarta dalam kurun waktu
Mei 1994-Desember 2000 terdapat 57 (22%) pasien dengan
hiperleukositosis dari 262 pasien LLA. Sebagian besar pasien
berusia 2-9 tahun dan 61% datang pertama kali dengan jumlah
leukosit >100.000/mm3. (Mulawi Caroline, Windiastuti Endang; 2002).
Sementara Wahyu Budiyanto dkk dalam penelitiannya di RSUP DR.
Sardjito dalam kurun waktu 1999-2009 mengemukakan bahwa
pasien LLA dengan leukosit ≥50.000/mm3 mempunyai prognosis
yang jelek, angka kematian mencapai 56,5% dan lebih dari
separuhnya meninggal pada fase induksi (Budiyanto Wahyu dkk,
2009).
Hiperleukositosis dapat menyebabkan viskositas darah
meningkat, terjadi agregasi serta trombus sel blast pada
mikrosirkulasi. Selain itu akibat ukuran sel blast yang lebih besar
dibanding sel leukosit matur, serta tidak mudah berubah bentuk
menyebabkan sel blast akan mudah terperangkap dan menimbulkan
23

oklusi pada mikrosirkulasi. Keadaan ini disebut dengan leukostasis


(Oymak Yesim, 2014; Mulawi Caroline, Windiastuti Endang, 2002).

Gambar 5. Leukostasis in acute leukemia (A.L. Wilbur; 2011)

Organ tubuh yang paling sering mengalami leukostasis adalah


susunan saraf pusat dan paru. Leukostasis akan menyebabkan
perfusi yang buruk dan terjadi hipoksia, metabolisme anaerob,
asidosis laktat akhirnya akan menimbulkan kerusakan dinding
pembuluh darah dan perdarahan. Bila leukostasis terjadi di susunan
saraf pusat maka akan terdapat gejala klinis berupa pusing,
penglihatan kabur, tinnitus, ataksia, delirium, perdarahan retina dan
perdarahan intrakranial. Gejala klinis yang berhubungan dengan
leukostasis pada paru adalah takipnue, dispnue, hipoksia dan gagal
nafas (Mulawi Caroline, Windiastuti Endang; 2002).
Penghancuran sel abnormal berlebihan pada keadaan
hiperleukositosis bisa berlangsung secara spontan atau setelah
terapi sitostatika. Pada keadaan ini harus dipantau terjadinya
sindrom lisis tumor yang dapat mengakibatkan gangguan metabolik
dan gagal ginjal akut. Mengingat komplikasi hiperleukositosis yang
bisa terjadi, maka pasien leukemia dengan leukosit ≥50.000/mm3
harus segera diberikan tata laksana khusus (Mulawi Caroline,
Windiastuti Endang; 2002).
24

Pada pasien dengan keganasan, terjadi perubahan sistem


homeostasis yang menyebabkan pasien lebih rentan mengalami
trombosis atau perdarahan. Risiko trombosis pada kanker hematologi
sama dengan kanker solid. Yang bisa menyebabkan komplikasi
berupa perdarahan dan koagulasi intravaskular diseminata (KID) (K.
Andree,2013; Ehab A.M, 2014).
Sel tumor mengaktifkan sistem hemostasis melalui berbagai
jalur. Sel tumor dapat melepaskan faktor jaringan prokoagulan,
prokoagulan kanker dan mikropartikel yang secara langsung
mengaktifkan sistem koagulasi. Sel tumor juga mengaktifkan sel
hemostatik penjamu (sel endotel dan trombosit), dengan melepaskan
faktor terlarut dan dengan demikian akan meningkatkan aktivasi
pembekuan darah (K. Andree; 2013).

Gambar 6. Interaksi sistem hemostasis dengan tumor (K.


Andree; 2013)
Patogenesis aktivasi koagulasi pada kanker kompleks dan
multifaktorial. Pada kanker, sel tumor itu sendiri berperan
mengaktivasi jalur sistem faktor pembekuan darah, terjadi
pembentukan trombin dan fibrin, stimulasi trombosit, leukosit dan sel
endotel yang juga berperan pada aktivasi faktor jaringan. Beberapa
25

mekanisme tersebut akan berperan terhadap pertumbuhan dan


perkembangan sel kanker, khususnya mikropartikel yang berasal dari
sel kanker yang kaya akan faktor protrombotik dan proangiogenesis
(K. Andree, 2013; Kwaan H.C, 2007).
Sel tumor secara aktif melepaskan mikropartikel dan juga
membuat trombosit menghasilkan mikropartikel. Faktor jaringan dan
ekspresi fosfatidil serin pada permukaan mikropartikel yang berasal
dari trombosit dan sel tumor terlibat pada aktivasi pembekuan darah
dan pembentukan trombus. Mikropartikel adalah vesikel membran
plasma dengan ukuran diameter 0,1-1 µm yang dihasilkan oleh
vesikulasi aktif oleh semua sel yang ada (K. Andree; 2013).

Gambar 7. Produksi mikropartikel dan aktivitas pada kanker (K.


Andree; 2013)
II.3. KELAINAN HEMOSTASIS PADA LEUKEMIA
Salah satu manifestasi klinis dari leukemia adalah perdarahan.
Manifestasi perdarahan yang sering ditemukan berupa peteki,
purpura atau ekimosis, yang terjadi 40-70% penderita leukemia akut
pada saat didiagnosis. Komplikasi perdarahan mengakibatkan
mortalitas 7-10% pada pasien leukemia akut yang terjadi dalam
26

beberapa hari atau minggu pertama setelah didiagnosis (Dia Rofinda


Z; 2012).
Penyebab tersering perdarahan pada leukemia yaitu
tombositopenia akibat infiltrasi sel blast ke sumsum tulang atau
kemoterapi, namun bisa juga karena koagulasi intravaskuler
diseminata dan hipersplenisme sekunder terhadap pembesaran limpa.
Selain trombositopenia, perdarahan dapat juga akibat disfungsi
trombosit, kelainan hepar dan fibrinolysis (Dia Rofinda Z; 2012).
a. Trombositopenia
Trombosit harus dalam jumlah yang adekuat untuk
mempertahankan hemostasis normal. Pada keadaan normal jumlah
trombosit darah berkisar 150.000-400.000/mm3. Perdarahan akibat
trombositopenia merupakan komplikasi paling sering dari leukemia
akut. Gaydos et al (1962) yang pertama kali melaporkan adanya
hubungan antara perdarahan dengan jumlah trombosit pada leukemia
akut. Berkurangnya jumlah trombosit pada leukemia akut biasanya
merupakan akibat infiltrasi sumsum tulang atau kemoterapi, selain itu
dapat juga disebabkan oleh faktor lain seperti koagulasi intravaskuler
diseminata, dan hipersplenisme sekunder tehadap pembesaran limpa
(Dia Rofinda Z;2012).
b. Disfungsi Trombosit
Gangguan fungsi trombosit juga dapat menyebabkan perdarahan
meskipun jumlah trombosit tidak begitu rendah. Gangguan fungsi
trombosit yang terjadi berupa kelainan agregasi terhadap ADP dan
epinefrin, kelainan pelepasan PF3, defisiensi granula-α serta
penurunan pelepasan nukleotida adenine yang berasal dari trombosit
(Dia Rofinda Z; 2012).
Patogenesis kelainan fungsi trombosit pada leukemia ini masih
belum jelas. Beberapa faktor diduga sebagai penyebab perubahan
fungsional dari trombosit seperti kelainan interaksi hemostasis di
27

sirkulasi pada saat aktivasi dan reaksi pelepasan trombosit (Dia


Rofinda Z,2012; Glassman A.B. and Jones E,1994).
c. Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)
Koagulasi intravaskular diseminata (KID) adalah suatu sindrom
yang ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskuler sistemik berupa
pembentukan dan penyebaran deposit fibrin dalam sirkulasi sehingga
menimbulkan trombus mikrovaskuler pada berbagai organ yang dapat
mengakibatkan kegagalan multiorgan. Aktivasi koagulasi yang terus
berlangsung menyebabkan konsumsi faktor pembekuan dan trombosit
secara berlebihan sehingga mengakibatkan komplikasi perdarahan
berat.
Pada leukemia, komplikasi KID terjadi karena dilepaskannya
bahan prokoagulan (thromboplastin-like substances) dari sel blast.
Bahan prokoagulan bersifat seperti faktor jaringan tersebut yang akan
membentuk kompleks dengan faktor VIIa sehingga mengaktifkan
sistem koagulasi melalui jalur ekstrinsik yang membentuk fibrin secara
sistemik. Koagulasi yang terus berlangsung akan menurunkan kadar
antitrombin III plasma yang merupakan inhibitor penting untuk proses
koagulasi. Selanjutnya terjadi inhibisi sistem fibrinolitik akibat aktivasi
koagulasi yang maksimal. Inhibisi ini disebabkan oleh peningkatan
plasminogen-activator inhibitor tipe 1 (PAI-1) sebagai inhibitor utama
untuk sistem fibrinolitik (Giordano Paola dkk, 2010; Dia Rofinda, 2012;
Glassman,1994).
Dalam menegakkan diagnosis KID sangat penting untuk menilai
keseluruhan gambaran klinis, diagnosis penyakit dasar dan hasil
laboratorium. Tidak ada tes laboratorium tunggal yang cukup sensitif
dan spesifik untuk diagnosis KID. Tes yang secara spesifik untuk
mendeteksi hasil degradasi cross-linked fibrin adalah D-Dimer. Untuk
praktek klinik, diagnosis KID dapat dibuat dengan kombinasi
pemeriksaan hitung trombosit, PT dan APTT, pengukuran 1 atau 2
faktor pembekuan dan inhibitor (seperti antitrombin III) serta tes untuk
28

produk degradasi fibrin (FDP atau D-Dimer) (Fenny, dkk, 2011; Dia
Rofinda Z; 2012).
d. Defek Protein Koagulasi
Infiltrasi ke hati sering ditemukan pada leukemia akut, diikuti LLK
dan LMK, yang menyebabkan menurunnya sintesis faktor koagulasi
yang tergantung vitamin K, yaitu faktor II, VII, IX dan X. Penurunan
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya pada leukemia akut bisa
juga disebabkan oleh KID. Pada KID terjadi konsumsi berlebihan dari
faktor pembekuan tersebut. Selain itu keadaan hiperfibrinolisis juga
menyebabkan degradasi beberapa faktor pembekuan yang semakin
menurunkan kadar faktor pembekuan tersebut di dalam darah. Tes
untuk mendeteksi adanya defek protein koagulasi, yaitu dengan
pemeriksaan PT dan APTT serta mengukur kadar faktor pembekuan
itu sendiri (Dia Rofinda Z, 2012; Fenny dkk, 2011).
e. Fibrinolisis Primer
Beberapa peneliti menemukan bahwa leukosit pada leukemia
akut memiliki aktivitas fibrinolitik yang dapat menyebabkan fibrinolisis
primer. Pada fibrinolisis primer, perdarahan disebabkan oleh
degradasi faktor pembekuan yang diinduksi plasmin seperti
fibrinogen, faktor V dan faktor VIII. Selain itu juga karena tingginya
ekspresi annexin II pada sel leukemik ini yang dapat meningkatkan
produksi plasmin sehingga terjadi degradasi fibrinogen. Plasmin
dibentuk dari pertemuan plasminogen dan tissue-Plasminogen
activator (t-PA) pada annexin II di permukaan sel. Plasmin yang
dibentuk akan dinetralisir oleh inhibitor primernya, yaitu α2-Plasmin
inhibitor (α2-PI) yang diproduksi di hati. Begitu dilepaskan, plasmin
dengan cepat membentuk kompleks inaktif dengan α2-PI yang
bersifat reversibel (Dia Rofinda Z; 2012).
f. Trombosis
Pada pasien leukemia akut, risiko trombosis tidak dapat
diabaikan. Trombosis dapat merupakan salah satu gejala yang dapat
29

ditemukan saat diagnosis. Patogenesis keadaan protrombotik pada


leukemia sangat kompleks dan melibatkan berbagai mekanisme
seperti aktivasi koagulasi darah melalui substansi prokoagulan yang
dilepas sel leukemik, kegagalan jalur fibrinolitik dan perubahan
endotel pada keadaan yang trombogenik (Santoro N., 2013; Dia
Rofinda Z, 2012).
Tes laboratorium untuk mendeteksi pasien yang dicurigai
mengalami tromboemboli adalah D-Dimer yang merupakan hasil
pemecahan croos-linked fibrin oleh plasmin. Mengingat adanya
manifestasi klinis perdarahan yang dapat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas pada penderita leukemia, maka perlu dipikirkan adanya
kelainan hemostasis untuk pengelolaan yang lebih optimal (Dia
Rofinda Z; 2012).
30

II.4. KERANGKA TEORI

LLA-L1 HIPERLEUKOSITOSIS

Pelepasan materi prokoagulan


Uk. Sel blast > dari sel matur & tidak
mudah berubah bentuk Viskositas darah
(thromboplastin-like substances)

Agregasi + trombus sel blast

Ekspresi annexin II +
Aktivitas fibrinolitik
Infiltrasi
ke hati Leukostasis

Perfusi

TLS + VIIa Produksi plasmin


Defek
protein Mikropartikel Sepsis Hipoksia
koagulasi

Metabolisme anaerob
Fibrinolisis primer
Sintesis PS +TF Sitokin inflamasi
faktor
koagulasi Asidosis laktat

PT, APTT Degradasi fibrinogen


Kerusakan endotel dinding PD
Perdarahan

Aktivasi sistem kogulasi D-Dimer

KID

Fibrinogen Pembentukan fibrin scr sistemik


Konsumsi PLT + Disfungsi trombosit

Konsumsi faktor pembekuan


Trombosit
Kadar anti-trombin III plasma
Jumlah PLT PT, APTT

Faktor pembekuan

Plasminogen-activator inhibitor tipe 1 (PAI-1)

D-Dimer Fibrinolisis Sekunder Inhibisi sisitem fibrinolitik

Trombosis Perubahan endotel trombogenik Kegagalan jalur fibrinolitik

Anda mungkin juga menyukai