P1507212141
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PARAMETER HEMOSTASIS PADA HIPERLEUKOSITOSIS
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT-L1
TESIS
Kepada
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, Sp.A(K) dan Dr. dr. Nadirah Rasyid Ridha, M.Kes,
Sp.A(K) sebagai dosen pembimbing materi dan penelitian, yang dengan penuh
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada para penguji yang telah
memberi banyak masukan dan perbaikan untuk tesis ini, yaitu dr. Setia Budi
Hasanuddin.
pendidikan.
4. Bapak Ketua Konsentrasi, Ketua Program Studi Biomedik, beserta Bapak dan
5. Direktur Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo dan para direktur rumah sakit
6. Semua teman sejawat peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak terutama teman
Meisy Grania Amalinda, Nur Ayu Lestari, Raedy dan Indra atas bantuan dan
pendidikan.
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK ......................................................................................... iv
ABSTRACT ....................................................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : LLA-L1
Gambar 2 : LLA-L2
Gambar 3 : LLA-L3
DAFTAR SINGKATAN
6-MP : 6-Mercaptopurine
CPA : Cyclophosfamide
FAB : French-American-British
HR : High Risk
I.V : Intravena
MP : Mikropartikel
MTX : Methotrexate
PB : Peripheral Blood
PS : Phosfatidil Serin
PT : Prothrombine Time
SR : Standard Risk
TF : Tissue Factor
VCR : Vincristine
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
I.4. HIPOTESIS
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :
1. Jumlah trombosit pada penderita LLA-L1 yang mengalami
hiperleukositosis lebih rendah daripada penderita yang tidak
mengalami hiperleukositosis.
2. PT dan APTT pada penderita LLA-L1 yang mengalami
hiperleukositosis lebih tinggi daripada penderita yang tidak
mengalami hiperleukositosis.
3. Kadar fibrinogen pada penderita LLA-L1 yang mengalami
hiperleukositosis lebih rendah daripada penderita yang tidak
mengalami hiperleukositosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.2. Epidemiologi
LLA adalah kanker yang paling banyak ditemukan pada anak,
berkisar 30-40%. Insiden rata-rata 4-4.5 kasus/tahun/10.000 anak
dibawah 15 tahun. Setiap tahun diperkirakan terdapat 30-40 juta kasus
baru di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, setiap tahun diperkirakan 2000
anak dan remaja muda umur kurang dari 20 tahun didiagnosis dengan
LLA dan insidennya meningkat dalam 25 tahun terakhir (Pui CH, Evans,
2004; Pui CH, Crist WM,1993). Di Jepang mencapai 4/100.000 anak dan
diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. LLA paling banyak
ditemukan pada anak umur 2-5 tahun (>80 per seribu anak), lebih sering
pada anak laki-laki dibanding perempuan (Bambang, 2010).
Di negara berkembang, penderita leukemia 82% diantaranya
adalah LLA dan 17% leukemia mieloblastik akut (LMA). Di Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), jumlah pasien baru LLA
mencapai 60-70 pasien per tahunnya. Di RSU Sardjito, kasus LLA
mencapai 79% dari kasus keganasan anak. Pada tahun 2002, di RS Dr.
Soetomo Surabaya, kasus LLA mencapai 88% dari keganasan anak dan
7
II.1.3. Etiologi
Etiologi dari LLA sangat heterogen. Faktor genetik merupakan
predisposisi anak mendapatkan leukemia. Beberapa faktor predisposisi
timbulnya leukemia, antara lain :
a. Paparan radiasi
Radiasi ion memiliki peranan penting dalam perkembangan leukemia
akut, ini dapat dilihat pada tingginya insiden leukemia setelah kasus
bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, dan LLA lebih sering
didapatkan pada anak-anak sedangkan pada orang dewasa LMA.
(Conter V dkk, 2004)
b. Paparan bahan kimia
Peranan bahan kimia seperti benzena pada LLA masih dipertanyakan,
meskipun telah didapatkan bukti bahwa enzim NAD(P)H:quinone
oxireductase1, mengalami mutasi sehingga terjadi penurunan aktivitas
enzim tersebut pada LMA maupun LLA pada orang dewasa. Faktor
lain yang memegang peranan adalah kondisi orang tua yang merokok,
paparan pestisida maupun herbisida, konsumsi alkohol oleh ibu,
kontaminasi air minum oleh logam berat. Penyebab pasti hubungan
antara paparan bahan kimia dengan LLA anak belum bisa dijelaskan
(Conter V dkk, 2004).
8
c. Penyebab lain
Peranan infeksi virus dalam menyebabkan leukemia pada manusia
telah diteliti secara intensif. Hal ini digambarkan dalam distribusi umur
pada saat diagnosis yang berkaitan dengan masa ketika sistem imun
berkembang dan mungkin lebih rentan terhadap efek onkogen dari
beberapa virus. Beberapa peneliti menyebutkan peningkatan risiko
LLA pada anak dengan ibu yang baru saja terinfeksi influenza,
varicella, atau virus lain, tetapi hubungan pasti antara paparan virus
masa prenatal dan risiko leukemia belum pernah dilaporkan. Yang
pernah dilaporkan adalah kaitan infeksi Epstein-Barr virus (EBV) dan
kasus Burkitt limfoma-leukemia dengan morfologi subtipe LLA-L3
(Conter V dkk, 2004; Pui CH, Evans, 2004).
II.1.4. Patofisiologi
Gen-gen yang berperan pada patogenesis terjadinya kanker
melalui dua mekanisme umum. Mekanisme pertama adalah dengan
gangguan struktur gen yang normal (proto-oncogene) yang akan
menghasilkan gen baru (oncogene) menghasilkan protein yang berperan
pada sel pejamunya untuk menginduksi terjadinya keganasan. Produk
protein biasanya berperan pada proliferasi sel, diferensiasi atau survival.
Mekanisme kedua adalah hilang atau tidak aktifnya gen yang menyandi
protein penekan kanker. Gen kelas ini dikenal sebagai tumor suppressor
genes atau anti-oncogens (Cline, M.J., 2004).
Gen-gen yang berperan terhadap terjadinya kanker termasuk LLA
dan progresifitasnya dapat dikelompokkan kedalam beberapa family
berdasarkan fungsi protein yang disandi, terdiri dari gen penyandi faktor
transkripsi, protein yang terikat pada regulator gen target yang akan
menstimulasi atau menghambat transkripsi. (Clearly ML, 1991). Family
lain yang penting termasuk gen yang menyandi protein kinase, protein
yang berperan dalam kematian sel (apoptosis) dan protein-protein dengan
9
2. L2: pada jenis ini sel limfoblast lebih besar, ukuran bervariasi,
kromatin lebih besar dengan satu atau lebih anak inti. Tipe ini
didapatkan pada 10% kasus LLA.
3. L3: subtipe yang jarang, lebih menyerupai sel Burkitt, terdiri dari sel
limfoblast besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan
bervakuolisasi.
II.1.9.2. Kemoterapi
Salah satu faktor yang menyebabkan perbaikan pengobatan LLA
adalah pemberian regimen multi-drugs dengan uji klinis yang baik.
Kemoterapi memiliki tahapan pengobatan yaitu:
1. Induksi Remisi
Untuk mencapai remisi yang diharapkan terjadi 6 minggu atau 42
hari, biasanya dipilih obat-obat yang bekerjanya cepat dengan
toksisitas selektif terhadap sel sel leukemia. Dasar pengobatan induksi
ialah untuk mengurangi secepatnya massa sel ganas sehingga
kesempatan berkembangnya seri sel resisten dapat dikurangi. Dengan
pengobatan induksi yang agresif dapat ditingkatkan presentase remisi
serta dapat dikurangi jumlah kasus relaps dalam perjalanan penyakit
kemudian (Tranggana, 2009).
Berdasarkan pertimbangan di atas, pengobatan induksi saat ini
menggunakan kombinasi 3 macam obat : vincristine, kortikosteroid dan
L-asparaginase. Obat-obatan dipilih tergantung jenis leukemia dan
tergabung dalam suatu protokol. Saat ini di Indonesia sudah ada 2
protokol pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu
protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-LLA 2000. Klasifikasi risiko
pada LLA didasarkan pada faktor prognostik (Bambang, 2010).
Tujuan utama dari terapi induksi remisi adalah untuk mengeradikasi
sel-sel leukemia (mencapai remisi komplit) dan merestorasi
hematopoiesis normal, dimana angka keberhasilannya pada anak
mencapai 96-99% sedangkan pada orang dewasa sekitar 78-92%.
Remisi komplit didefinisikan sebagai jumlah sel blast yang <5 % dalam
sumsum tulang dan bentuk eritroid, mieloid dan elemen megakariotik
normal, remisi komplit juga meliputi hitung darah tepi yang normal, tidak
ada blast, jumlah granulosit 1500/mm3, trombosit >100.000/mm3 dan
Hb ≥10 gr/dl. Selain itu, pada cairan serebrospinal harus bebas dari
blast dan organomegali menjadi hilang (Bambang, 2010).
17
1. Umur
Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat
diagnosis dan hasil pengobatan. Pasien dengan umur di bawah 18
bulan atau diatas 10 tahun mempunyai prognosis lebih buruk
dibandingkan dengan pasien berumur diantara itu. Khusus pasien
dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan
mempunyai prognosis paling buruk. Hal ini dikaitan karena mereka
mempunyai kelainan biomolekuler tertentu. Leukemia bayi
berhubungan dengan gene-re-arrangement pada kromosom 11q23
seperti t (4;11) atau t (11;19) dan jumlah leukosit yang tinggi
(Permono Bambang, Ugrasena IDG, 2012; Permatasari Emelyana,
dkk, 2009).
2. Jumlah Leukosit
Jumlah leukosit darah tepi pada awal diagnosis leukemia akut
merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan prognosis.
Jumlah leukosit yang tinggi merupakan salah satu penyebab angka
tingginya angka relaps, baik relaps di sumsum tulang maupun di luar
sumsum tulang dan rendahnya angka kesintasan (survival) penderita
leukemia akut. Di samping merupakan faktor penyebab terjadinya
relaps, keadaan hiperleukositosis dapat menyebabkan berbagai
komplikasi yang mengancam jiwa penderita yang memerlukan
tindakan segera sehingga keadaan ini dikategorikan sebagai keadaan
darurat onkologi (oncology emergency) (Abdulsalam M, 2012; Sari
Tjitra T, Endang Windiastuti, 2010).
3. Massa Mediastinal
Adanya massa mediastinal menyebabkan terjadinya
peningkatan risiko relaps. Hal ini biasanya berkaitan dengan leukemia
sel T. Pada beberapa protokol, adanya massa mediastinal
dikategorikan dalam kelompok risiko tinggi, sehingga diberikan terapi
yang intensif (Gustaffson, 2000; Silverman, 2000).
21
produk degradasi fibrin (FDP atau D-Dimer) (Fenny, dkk, 2011; Dia
Rofinda Z; 2012).
d. Defek Protein Koagulasi
Infiltrasi ke hati sering ditemukan pada leukemia akut, diikuti LLK
dan LMK, yang menyebabkan menurunnya sintesis faktor koagulasi
yang tergantung vitamin K, yaitu faktor II, VII, IX dan X. Penurunan
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya pada leukemia akut bisa
juga disebabkan oleh KID. Pada KID terjadi konsumsi berlebihan dari
faktor pembekuan tersebut. Selain itu keadaan hiperfibrinolisis juga
menyebabkan degradasi beberapa faktor pembekuan yang semakin
menurunkan kadar faktor pembekuan tersebut di dalam darah. Tes
untuk mendeteksi adanya defek protein koagulasi, yaitu dengan
pemeriksaan PT dan APTT serta mengukur kadar faktor pembekuan
itu sendiri (Dia Rofinda Z, 2012; Fenny dkk, 2011).
e. Fibrinolisis Primer
Beberapa peneliti menemukan bahwa leukosit pada leukemia
akut memiliki aktivitas fibrinolitik yang dapat menyebabkan fibrinolisis
primer. Pada fibrinolisis primer, perdarahan disebabkan oleh
degradasi faktor pembekuan yang diinduksi plasmin seperti
fibrinogen, faktor V dan faktor VIII. Selain itu juga karena tingginya
ekspresi annexin II pada sel leukemik ini yang dapat meningkatkan
produksi plasmin sehingga terjadi degradasi fibrinogen. Plasmin
dibentuk dari pertemuan plasminogen dan tissue-Plasminogen
activator (t-PA) pada annexin II di permukaan sel. Plasmin yang
dibentuk akan dinetralisir oleh inhibitor primernya, yaitu α2-Plasmin
inhibitor (α2-PI) yang diproduksi di hati. Begitu dilepaskan, plasmin
dengan cepat membentuk kompleks inaktif dengan α2-PI yang
bersifat reversibel (Dia Rofinda Z; 2012).
f. Trombosis
Pada pasien leukemia akut, risiko trombosis tidak dapat
diabaikan. Trombosis dapat merupakan salah satu gejala yang dapat
29
LLA-L1 HIPERLEUKOSITOSIS
Ekspresi annexin II +
Aktivitas fibrinolitik
Infiltrasi
ke hati Leukostasis
Perfusi
Metabolisme anaerob
Fibrinolisis primer
Sintesis PS +TF Sitokin inflamasi
faktor
koagulasi Asidosis laktat
KID