Anda di halaman 1dari 25

“KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN“

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2

1. AMI DIANITA (7213141009)


2. CHRISTIN LINCE N. MANALU (7213141005)
3. DEBORA T. MARPAUNG (7213141028)
4. FERA DANIATY NABABAN (7213141019)
5. NOVIA C. TAMPUBOLON (7213141010)
6. SAMUEL D.O.L. TOBING (7213141016)
7. TANJUNG P. MANIK (7213141013)
8. YEMIMA E. NADAPDAP (7213141001)

MATA KULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA

DOSEN PENGAMPU : MARYATUN KABATIAH, S.Pd.,M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022

1
PERNYATAAN ORISINALITAS

Kami yang bertanda tangan dibawah ini :

Kelompok 2 : Ami Dianita 7213141009

Cristin Lince N Manalu 7213141005

Debora T Marpaung 7213141028

Fera Daniaty Nababan 7213141019

Novia C Tampubolon 7213141010

Samuel D. O. L. Tobing 7213141016

Tanjung P Manik 7213141013

Yemima E. Nadapdap 7213341001

Jurusan : Pendidikan Ekonomi

Fakultas : Ekonomi

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan hasil penelitian mini riset dan pemaparan
yang kami tulis benar merupakan hasil karya kami sendiri dan bukan merupakan pengambil
alihan tulisan atau pikiran orang lain, yang kami akui sebagai hasil tulisan atau pikiran kami
sendiri. Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan tulisan/mini riset ini merupakan
hasil jiplakan atau plagiat maka kami bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Pernyataan ini dibuat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun.

Medan, November 2022

Kelompok 2

2
LEMBAR PENGESAHAN

KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAN

Mini Riset

Oleh :

Kelompok 2 (Dua) Yang berAnggotakan,

 Ami Dianita 7213141009


 Cristin Lince N Manalu 7213141005
 Debora T Marpaung 7213141028
 Fera Daniaty Nababan 7213141019
 Novia C Tampubolon 7213141010
 Samuel D. O. L. Tobing 7213141016
 Tanjung P Manik 7213141013
 Yemima E. Nadapdap 7213341001

Telah disetujui oleh Dosen Pengampu Mata Kuliah “Pendidikan Pancasila”

Mini Riset

Medan, 12 November 2022

Mengetahui.

Dosen Pengampu Mata Kuliah

Maryatun Kabatiah, S,Pd., M.Pd


NIP. 198904072019032016

3
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatnya penulis dapat menyelesikan Laporan Penelitian yang berjudul “KEJAHATAN
TERHADAP KEMANUSIAAN“ ini dengan baik dan tepat waktu. Laporan ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan pancasila. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada Ibu MARYATUN KABATIAH, S.Pd.,M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Pancasila yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Penulis berharap Laporan yang disusun ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan pembaca dan penulis. Terlepas dari semua ini, penulis menyadari
bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan pada Laporan ini baik dalam segi isi,
susunan kalimat, maupun tata bahasanya. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan
penulis. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak guna penyempurnaan Laporan ini.

Medan, November 2022

Hormat Kami

Kelompok 2

4
ABSTRAK

Kejahatan genosida mengacu pada pemusnahan etnis atau budaya dan termasuk kejahatan
terhadap kelompok politik. Karena kelompok-kelompok ini sulit diidentifikasi dan
menimbulkan masalah internasional di negara tersebut. Kejahatan genosida dalam hukum
pidana internasional merupakan kejahatan luar biasa, kemudian Konvensi Genosida 1948,
Status Mahkamah Pidana Internasional Bekas Yugoslavia (ICTY), Ini dilarang oleh Statuta
Pengadilan Kriminal Internasional Rwanda (ICTR). dan Status Roma 1998. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui kejahatan genosida yang dialami dari perspektif
hukum internasional dan bagaimana sengketa genosida dapat diselesaikan menurut hukum
internasional. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum doktrinal atau yuridis normatif.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan,
dan pendekatan kasus hukum dalam membantu mengatasi rumusan masalah. Penelitian telah
menemukan bahwa perjuangan untuk hak-hak minoritas dan kehadiran agama-agama fanatik
dan rasis yang diwujudkan dalam diskriminasi budaya adalah penyebab utama kejahatan
genosida. Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar oleh Muslim Rohingya
merupakan kejahatan genosida internasional dan dilakukan secara sistematis karena
memenuhi beberapa faktor kunci seperti pembunuhan massal, diskriminasi terhadap agama
minoritas, dimaksudkan untuk mengecualikan kelompok dan kelompok etnis tertentu.

5
DAFTAR ISI

SAMPUL ...................................................................................................................................... 1

PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................................................ 2

PENGESAHAN ........................................................................................................................... 3

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. 4

ABSTRAK ................................................................................................................................... 5

DAFTAR ISI................................................................................................................................ 6

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 7

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 7


B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 7
C. Tujuan ............................................................................................................................... 8
D. Manfaat ............................................................................................................................. 8

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 9

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 23

A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 23
B. Saran ................................................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 24

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................... 25

6
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional
yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh
dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para
sarjana Hubungan internasional telah secara luas menggambarkan “kejahatan terhadap
umat manusia” sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar,
yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya
kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang
terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan
Yugoslavia Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-undang No. 26
Tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut
undang-undang tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma,
definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil. Kejahatan terhadap
kemanusiaan ialah salah satu dari empat Pelanggaran HAM berat yang berada dalam
yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah
Genosida, Kejahatan perang dan kejahatan agresi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Genosida?
2. Bagaimana Kejahatan Terhadap Kemanusiaan?
3. Kekerasan Seperti Apa Yang Dilakukan Terhadap Perempuan Dan Anak?
4. Kenapa Anak Ditelantarkan?
5. Kenapa Seorang Anak Harus Dipekerjakan Dengan Tekanan, Seerti Menjadi
Pengemis Atau Anak Jalanan?

7
C. TUJUAN
Dengan dipilihnya judul bahasan karya ilmiah dalam bentuk karya ilmiah ini, maka
dapat penulis kemukakan tujuan penulisan sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji hal-hal apakah yang menjadi penyebab dari tindakan-tindakan
dilakukannya kejahatan genosida.
2. Untuk menjelaskan tentang bagaimana ketentuan hukum yang mengatur mengenai
kejahatan genosida baik hukum internasional maupun hukum nasional.

D. MANFAT
Adapun manfaat dari penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan pemahaman akan tindakan-tindakan yang menjadi penyebab
dilakukannya kejahatan genosida.
2. Untuk memberikan pemahaman tentang ketentuan hukum yang mengatur
mengenai kejahatan genosida baik hukum nasional maupun Internasional.

8
BAB II

PEMBAHASAN

A. GENOSIDA
Secara bahasa genosida berasal dari dua kata “geno” dan “cidium”. Kata geno
berasal dari bahasa Yunani yang artinya “ras” sedangkan kata “cidium” asal kata dari
bahasa Latin yang artinya “membunuh”. Berdasarkan Statuta Roma dan Pasal 7 Huruf
a UU Pengadilan HAM: “Genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok;
mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik
sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok;
memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain”.
Unsur-unsur genosida meliputi :
a. Dengan cara membunuh suatu kelompok tertentu;
b. Menimbulkan penderitaan kepada anggota kelompok baik fisik maupun mental
yang berat;
c. Menghadirkan suatu keadaan yang mempunyai tujuan untuk memusnahkan
suatu kelompok tertentu secara nyata baik sebagian atau seluruhya;
d. Dipaksakan dengan berbagai cara dengan tujuan untuk menangkal kelahiran
terhadap suatu kelompok tertentu;
e. Pemindahan dari suatu kelompok tertentu kepada kelompok lainnya secara
paksa terhadap anak-anak.
Genosida merupakan Kejahatan Internasional (International Crimes) dimana
merupakan suatu pelanggaran hukum yang berat. Kejahatan ini merupakan kejahatan
yang dinilai paling serius karena melibatkan masyarakat internasional secara
keseluruhan yang telah diatur dalam Mahkamah Pidana Internasional (ICC) : Sesuai
dalam jurisdiksi tersebut genosida masuk dalam Kejahatan Internasional.
Kejahatan Internasional yang sesuai dalam jurisdisi ini, di antaranya :
1) Kejahatan genosida;
2) Kejahatan terhadap kemanusiaan;
3) Kejahatan perang;

9
4) Kejahatan agresi.
Genosida merupakan sebuah tindakan kejahatan internasional (international
crimes) yang termasuk dalam 4 (empat) kejahatan internasional yaitu genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Pengaturan
Genosida telah diatur di dalam: Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg,
Konvensi Genosida 1948, Statuta ICTY, Statuta ICTR, Statuta Roma 1998 Tentang
International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional), dan Pengaturan
Hukum Nasional.
Konvensi Genosida 1948, inti pengaturan genosida secara tegas diatur
meliputi :
a. Penegasan genosida sebagai kejahatan internasional; Penegasan ini dimuat
secara eksplisit di dalam Pasal II Konvensi, yang menyatakan bahwa genosida,
baik dilakukan di masa perang masupun damai, adalah kejahatan yang diatur
oleh hukum internasional dan negara-negara wajib mencegah serta
menghukum pelakunya.
b. Definisi genosida; Definisi genosida didormulasikan di dalam Pasal II
Konvensi.
c. Perluasan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana; Selain genosida,
Konvensi juga menyatakan perbuatan-perbuatan yang dapat dijatuhi pidana,
yakni :
i. persengkongkolan untuk melakukan genosida;
ii. penghasutan untuk melaksanakan genosida baik secara langsung maupun
belaku umum;
iii. percobaan melakukan kehajatan genosida;
iv. penyertaan dalam genosida.
d. Tanggung jawab pidana secara individual; Pertanggungjawaban pidana baik
dilakukan secara individu berarti prinsip yang dikehendaki supaya pelaku
kejahatan internasional menanggung tanggungjawab pidananya secara
individu, baik status dan jabatannya terlepas dari pemerintahan. Artinya, status
orang tersebut sebagai pejabat publik atau penguasa sekalipun, tidak dapat
untuk dijakan membela untuk menjauhi tanggungjawab pidananya. Prinsip ini
dapat dilihat di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg ini
ditegaskan kembali dalam Pasal IV Konvensi.

10
e. Kewajiban membuat undang-undang nasional mengatur genosida; Konvensi
Genosida 1948 adalah sebuah konvensi yang melaksanakan sangat bergantung
pada negaranegara yang menjadi pihaknya. Konvensi ini menghendaki supaya
negara-negara yang menjadi anggota konvensi untuk membuat peraturan
perundang-undangan nasional agar dapat menetapkan pelaksanaan ketentuan-
ketentuan Konvensi pada lingkup nasional, khususnya genosida.
f. Forum dan jurisdiksi, konvensi menegaskan : “bahwa pengadilan yang
memiliki jurisdiksi untuk mengadili pelaku genosida adalah pengadilan yang
berkompeten dari negara dimana genosida terjadi. Namun konvensi juga
membuka peluang bagi pengadilan yang bersifat internasional untuk
menerapkan jurisdiksi atas dasar persetujuan negara-negara pihak dari
konvensi genosida”.
g. Penegasan bahwa genosida bukan kejahatan politik; “Pasal VII Konvensi
memuat ketentuan yang menegaskan bahwa genosida tidak dikategorikan
sebagia kejahatan politik, khususnya dalam konteks ekstradisi.ini menjadi
penting, karena did alam hukum e-Journal Komunitas Yustisia Universitas
Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum (Volume 4 Nomor 3
November 2021) 888 internasional yang menyangkut ekstradisi dikenal ada
prinsip bahwa seorang pelaku kejahatan politik tidak dapat diekstradisikan
(non– extradition of political offenders).”
h. Kemungkinan keterlibatan PBB dalam pencegahan dan penindakan; Pasal VIII
mengatur bahwa suatu negara dapat meminta supaya organ-organ PBB yang
berkompeten mengambil tindakan sesuai dengan Piagam PBB dalam kerangka
pencegahan dan penindakan genosida. Meski tidak dikemukakan secara
eksplisit, pasal ini sesungguhnya merupakan jalan masuk bagi Dewan
Keamanan PBB untuk berperan aktif dalam pencegahan dan penindakan
terhadap genosida. Ketentuan ini dapat dikaitkan dengan Bab VII Piagam PBB
yang membuka peluang bagi intervensi Dewan Keamanan ketika dinilai ada
kondisi yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.

Kejahatan Genosida Terhadap Etnis Rohingya Berdasarkan Hukum


Internasional Dalam konteks hukum internasional terdapat beberapa konvensi,
deklarasi dan perjanjian Internasional yang mengaturnya.

11
a. Konvensi Internasional Tentang Hak Sipil Dan Politik Tahun 1966 Pasal 6
Ayat 1 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik tahun 1966
menyatakan bahwa, setiap manusia melekat hak untuk hidup, hak ini harus
dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun boleh dirampas kehidupannya
secara sewenang-wenang. Myanmar melakukan praktik-praktik yang
melanggar Konvensi diatas yaitu pembunuhan yang dilakukan terhadap etnis
Rohingya yang dilindungi.
b. Konvensi Tentang Pencegahan Dan Hukuman Terhadap Kejahatan
Pemusnahan Suatu Bangsa Dengan Sengaja Tahun 1948 Pemusnahan suatu
bangsa merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional.

Pasal 1 Konvensi menyebutkan bahwa negara-negara peserta Konvensi


menegaskan bahwa pemusnahan suatu bangsa dengan sengaja, baik yang dilakukan
diwaktu damai maupun pada waktu perang merupakankejahatan menurut hukum
internasional yang melakukan pencegahan dan penghukuman. Pada Oktober 2012,
Presiden Burma, Thein Sein mengakui bahwa komunitas Rohingya telah menjadi
korban kekerasan etnis di negara itu. Ada 2.800 rumah telah dibakar pada kerusuhan
saat itu. Sebuah gambar satelit yang dikeluarkan lembaga internasional
memperlihatkan terjadinya kerusakan dalam skala besar di kota Kyaukpyu, pada
bagian distrik yang sebelumnya didiami oleh komunitas Rohingya. Areal yang hancur
mencapai 14,5 hektar dan sekitar 811 bangunan dan rumah-rumah perahu di wilayah
itu telah musnah. Pembunuhan terhadap etnis Rohingya ini masih berlangsung hingga
saat ini. Pasal 2 Konvensi ini mengidentifikasi suatu perbuatan yang dilakukan
dengan sungguh-sungguh untuk menghancurkan seluruh atau sebagian suatu bangsa,
suku bangsa, ras atau jenis kelompok keagamaan, diantara perbuatan itu adalah:

i. Membunuh anggota-anggota kelompok


ii. Merusak jasmani atau mental anggota-anggota kelompok
iii. Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan pada kondisi kehidupan suatu
kelompok yang diperkirakan menimbulkan kerusakan jasmani selurunya atau
sebagian
iv. Melaksanakan tindakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran dalam suatu
kelompok
v. Memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain secara paksa.
Pasal 3 menyatakan bahwa, perbuatan berikut dibawah ini dapat dihukum yaitu:
12
a. Pemusnahan suatu bangsa dengan sengaja.
b. Komplotan rahasia yang melakukan pemusnahan suatu bangsa dengan sengaja.
c. Hasutan langsung dan terbuka untuk melakukan pemusnahan suatu bangsa dengan
sengaja.
d. Usaha melakukan pemusnahan suatu bangsa dengan sengaja.
e. Ketertiban dalam pemusnahan suatu bangsa dengan sengaja. Pembunuhan, pengusiran,
dan pemusnahan Rohingya merupakan salah satu tragedi kemanusiaan yang sangat
dahsyat selama abad ke-20 dan ke-21 ini.
Pemusnahan (genosida) Rohingya secara sistemetis ini jelas-jelas merupakan
kejahatan dan tragedi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan di dunia yang beradab.
Sudah sepatutnya, dunia internasional bersuara atas kejadian ini. Lembaga HAM Human
Right Watch dalam laporannya soal tragedi tahun 2012 yang membuat 125 ribu Rohingya
terusir ke Bangladesh belum kembali hingga sekarang menyebut kekerasan terhadap etnis
minoritas Muslim itu adalah "pembersihan etnis" atau genosida. Tanda-tanda genosida
jelas terlihat, walau pemerintah Myanmar membantahnya. Menurut situs berita PBB, UN
Dispatch, Myanmar telah memenuhi delapan tahapan genosida yang ditetapkan oleh
organisasi pencegah genosida, Genocide Watch.Di antara delapan langkah genosida
tersebutadalah: Klasifikasi,simbolisasi,dehumanisasi,terorganisir,polarisasi,persiapan,dan
penyangkalan.
c. Deklarasi Tentang Perlindungan Dari Penyiksaan tahun 1975 Menurut Pasal 1
Ayat 1 Deklarasi Tentang Perlindungan Dari Penyiksaan Tahun 1975
penyiksaan berarti setiap tindakan yang mengakibatkan rasa sakit sekali atau
penderitaan, baik pada jasmani maupun rohani, yang dilakukan dengan maksud
tertentu atas anjuran pejabat pemerintah terhadap seseorang dengan maksud
memperoleh darinya atau orang ketiga atau pengakuan, menghukumnya karena
perbuatan yang telah dilakukan atau dicurigai karena melakukan, atau
menakut-nakutinya atas orang lain.tidak termasuk kesakitan atau penderitaan
yang timbul hanya dari, yang sudah melekat atau sekali-sekali pada sanksi
hukum yang sampai tingkat tertentu konsisten dengan peraturan standar
minimum bagi perlakuan terhadap orang hukuman. Pasal 1 Ayat 2 Deklarasi
Tentang Perlindungan Dari Penyiksaan Tahun 1975 menyatakan bahwa
penyiksaan merupakan bentuk perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau
penghinaan atau penghukuman yang menyakitkan hati dan sengaja.

13
Pasal 2 Deklarasi ini menyatakan bahwa penyiksaan merupakan suatu bentuk
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau penghinaan atau penghukuman adalah
pelanggaran terhadap martabat manusia dan harus dikutuk sebagai penghalang tujuan
Perserikatan bangsa-bangsa dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan
hakiki seperti yang dinyatakan dalam deklarasi sedunia mengenai hak-hak asasi manusia.
Pasal 3 Deklarasi menyatakan, setiap negara janganlah mengizinkan atau membiarkan
penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau penghinaan atau penghukuman.
Keadaan yang luar biasa seperti keadaan perang atau ancaman perang, kerawanan politik
dalam negeri atau suatau keadaan darurat tidak boleh dimintakan sebagai alasan pembenaran
terhadap penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau penghinaan, atau
penghukuman.

d. Deklarasi Hak Asasi Anak Tahun 1959 Dalam Mukadimah Deklarasi Hak asasi
Anak menyatakan bahwa, PBB dalam deklarasi Hak-hak Asasi Manusia, telah
menyatakan setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang
dinyatakan didalamnya, tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bangsa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya,
kebangsaan, atau asal-usul sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
Jumlah anak-anak Rohingya yang mengalami gizi buruk, baik di Myanmar
maupun di Bangladesh, meningkat drastis. Sebuah survei baru-baru ini dari
Komite Penyelamatan Internasional (IRC) bekerja sama dengan Aksi Melawan
Kelaparan (ACF) menyatakan, mereka menghadapi peningkatan angka gizi
buruk 10 kali lebih tinggi dibandingkan jumlah tahun lalu. Sementara, menurut
hasil survei dari Badan PBB untuk Dana Anak-anak (Unicef), 7,5 persen anak-
anak Rohingya yang mengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh, menderita gizi
buruk akut. Ayat 4 Deklarasi menyatakan, anak harus menikmati tunjangan
jaminan sosial.

Anak harus diberi kesempatan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat, demi
tujuan ini, perawatan dan perlindungan khusus harus diberikan kepada anak dan ibunya
termasuk sebelum lahir dan sesudah lahir. Anak harus mendapatkan hak makanan yang
cukup, perumahan, rekreasi dan kesehatan. Kondisi tersebut membuat mereka membutuhkan
penyelamatan segera. Lebih dari 600 ribu orang Rohingya telah melarikan diri dari kekerasan
dan penganiayaan di Myanmar sejak 25 Agustus. IRC memperkirakan akan ada pendatang
baru di pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh, sebanyak 200 ribu orang dalam beberapa
14
pekan mendatang. Maka, jumlah penduduk di Bangladesh akan mencapai 1 juta orang lebih.
Hal itu dapat memperburuk krisis tersebut jika tidak segera ditangani.23 Ayat 8 Deklarasi
menyatakan bahwa, dalam setiap keadaan anak lah yang terlebih dahulu yang harus mendapat
pertolongan. Ayat 9 juga menyebutkan hal yang sama, bahwa anak harus dilindungi terhadap
semua bentuk kelalaian, kekejaman dan eksploitasi. Anak tidak boleh menjadi sasaran
perdagangan dalam segala bentuknya. Apa yang terjadi terhadap anak-anak Rohingya sudah
melanggar Deklarasi Hak Asasi Anak Tahun 1959. Pada Ayat 2 Deklarasi menyatakan
Bahwa anak harus menikmati perlindungan khusus dan harus diberikan kesempatan dan
fasilitas oleh hukum atau dengan peraturan lainnya, untuk menjamin tumbuhnya jasmaninya,
rohaninya, budinya, kejiwaannya, dan kemasyarakatannya dalam keadaan sehat dan wajar
dan dalam kondisi yang bebas dan bermartabat. Dalam penetapan hukum untuk tujuan ini,
perhatian yang terbaik pada anak harus menjadi pertimbangan utama. Sekitar 40 ribu anak
Rohingya berusia antara enam bulan dan lima tahun membutuhkan bantuan untuk
menyelamatkan nyawa mereka. Sedangkan, 10 kali lipat bayi dan balita berusia di bawah
enam bulan menghadapi ancaman kematian yang fatal, diukur berdasarkan lingkar lengan
mereka. Jika diperkirakan, butuh lebih dari 12 juta dolar AS untuk menangani krisis
kemanusiaan tersebut. Ayat 10 menyebutkan bahwa anak, harus dilindungi dari praktik yang
mengarah pada diskriminasi ras, agama, dan bentuk diskriminasi. Anak harus dibesarkan
dalam semangat, pengertian, toleransi, persahabatan, antara manusia, perdamaian dan
persaudaraan semesta, dan dalam kesadaran penuh bahwa tenaga dan bakatnya harus dapat
dibaktikan untuk melayani sesama manusia.

Kesimpulan Tindak kejahatan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar dapat


digolongkan pada kejahatan genosida. Genosida adalah pembunuhan missal dengan tujuan
pemusnahan terhadap suatu etnis tertentu merupakan tindakan kejahatan yang tidak
manusiawi yang termasuk perilaku menyimpang seperti melakukan pengusiran, penculikan,
pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan. Banyak hal yang melatar belakangi tindakan
Genosida seperti adanya kepentingan politik, perbedaan ras, suku(etnis) dan juga agama.

15
B. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN

Studi Hubungan Internasional yang menyangkut hubungan antar negara kerap kali
diwarnai dengan konflik dan kekerasan bahkan berakhir dengan perang. Selama terjadinya
perang dunia I (1914-1918) telah menunjukkan bagaimana perang membawa akibat dan
kerugian yang cukup besar. Pasca berakhirnya perang dunia I, studi hubungan internasional
pun semakin berkembang dengan asumsi-asumsi idealis yang berusaha untuk mencegah
peperangan dan berusaha mewujudkan tatanan dunia yang lebih damai. Kondisi yang buruk
pasca terjadinya perang dunia I dan perang dunia II telah menimbulkan keprihatinan dari
banyak pihak. Korban berjatuhan dari pihak militer dan tak terkecuali penduduk sipil yang
tidak seharusnya menjadi korban. Situasi pasca perang yang kacau balau tersebut secara tidak
langsung membuat hak asasi manusia menjadi terabaikan.Pada tahun 1948 dibentuklah
deklarasi kemanusiaan (declaration of human rights 1948) sebagai jawaban atas keprihatian
dunia internasional terhadap kondisi kemanusiaan. Melalui deklarasi ini diharapkan dapat
menjadi landasan utama bagi penegakan hukum dan perlindungan atas hak-hak dasar
manusia seperti hak hidup, hak mendapat perlakuaan manusiawi dan lain sebagainya.

Kondisi perang yang cenderung mengabaikan rasa kemanusiaan terutama penduduk sipil
selanjutnya mendorong terbentuknya hukum perang atau hukum humaniter internasional.
Ada dua orang yang memegang penting dalam pembentukan hukum humaniter internasional
yaitu Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasannya
dalam “kenangan dari Solferino” (A Memory of Solverino), diterbitkan pada tahun 1862.
Berdasarkan kekuatan pengalaman perang pribadinya, Jenderal Dufour, menggunakan tiap
waktunya untuk selalu memberikan dukungan moral secara aktif, salah satunya dengan
memimpin konferensi Diplomatik tahun 1864.Konferensi Diplomatik pada tahun 1864
tersebut menjadi cikal bakal terbentuknya Konvensi Jenewa yang menyangkut perbaikan
keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka di medan pertempuran darat. Konvensi
Jenewa 1949 memuat 4 bagian yang terdiri dari perang di darat, di laut, perlakuan terhadap
tawanan perang, dan perlindungan terhadap penduduk sipil. Dua protokol tambahan 1977
juga dibuat untuk melengkapi yang sudah ada yang berhubungan dengan perlindungan
korban-korban pertikaian bersenjata baik internasional mapun bukan internasional.

16
C. KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam kamus bahasa Arab anak dikenal dengan istilah kata ( (atauAuladun,
istilah dalam bahasa inggris anak adalah children, bentuk jamak dari anak-anak adalah
seorang laki-laki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami
pubertas. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), anak merupakan
keturunan kedua. Sedangkan yang menjadi latar belakang penetapan UU No. 35
Tahun 2014 tentang perlindungan anak, disebutkan bahwa anak merupakan amanah
dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia
seutuhnya. Selanjutnya disebutkan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi
muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai
cirri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan. Dalam pasal 330 kitab undang-undang hukum acara perdata
terdapatbatasan seseorang dikatakan anak atau belum dewasa, yaitu “Mereka yang
belummencapai umur genap dua puluh satu (21) tahun dan tidak lebih dahulu telah
kawin.

Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak memberikan


pengertian anak dalam pasal 1 angka 1 yang berbunyi “anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk dalam anak yang masih di dalam
kandungan.Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ditemukan
secara gamblang pengertian mengenai anak, melainkan hanya pengertian tentang
“belum cukup umur”. Pada bab IX memberikan pengertian terhadap salah satu unsur
anak pada pasal 45 yang berbunyi “ Dalam menuntut orang yang belum cukup umur
(minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun,
hakim dapat menentukan, memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada
kedua orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa dipidana apapun dan
memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana
apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atausalah satu pelanggaran
tersebut.”23 Jadi dapat di tarik kesimpulan pada pasal 45KUHP yang dikatakan
sebagai anak adalah anak yang belum dewasa sebelum berusia 16 tahun.

17
D. MENELANTARKAN ANAK

Menarik dari topik ini adalah, bahwa ternyata tindak kekerasan tidak hanya
merupakan masalah individual atau masalah nasional saja, tetapi sudah merupakan
masalah global, bahkan transnasional. Karena itu di dalam masyarakat dikenal berbagai
istilah, seperti “violence against women, “gender based violence”, “gender violence”,
“domestic violence” yang korbannya adalah peremuan, sementara bagi anak-anak dikenal
juga istilah, “working children”, “street childern”, “childern in armed conflict”, “urban
war zones”, dan sebagainya. Dalam konteks perlindungan HAM, sebagai manusia,
perempuan dan anak juga memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya dimuka bumi
ini, yakni hak yang dipahami sebagai hak-hak yang melekat (inherent) secara alamiah
sejak ia dilahirkan, dan tanpa itu manusia (perempuan dan anak) tidak dapat hidup
sebagai manusia secara wajar. Atas pengakuan ini, tampak pelbagai pernyataan bahwa
kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan rintangan terhadap keberhasilan
pembangunan.

Bagaimanapun juga tindak kekerasan akanberdampak pada kurangnya rasa percaya


diri, menghambat kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial,
mengganggu kesehatannya, mengurangi otonomi, baik di bidang ekonomi, politik, sosial
budaya serta fisik. Demikian juga dengan anak, kepercayaan pada diri sendiri dalam
pertumbuhan jiwanya akan terganggu dan dapat menghambat proses perkembangan jiwa
dan masa depannya. Padahal Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak memberikan kewajiban bagi semua pihak termasuk negara untuk melindunginya.
Apa itu kekerasan ? Kekerasan merupakan sebuah terminologi yang sarat dengan arti dan
makna “derita”, baik dikaji dari perspektif psikologik maupun hukum, bahwa didalamnya
terkandung perilaku manusia (seseorang/kelompok orang) yang dapat menimbulkan
penderitaan bagi orang lain, (pribadi/ kelompok). Tindak kekerasan atau “violence” oleh
Jerome Skolncik didefinsikan sebagai “... an ambiguous term whose meaning is
established throught political process”. Dalam arti tingkah laku, Michael Levi lalu
menyebutkan kekerasan sebagai “... its content and cuase are socially constructed”.

Dari pandangan demikian, tampaknya perumusan tindak kekerasan sangat terkait


dengan tingkah laku manusia yang bersifat kejam dan tidak manusiawi, namun tidak jelas
apakah perumusan itu juga menampung aspirasi kaum minoritas (perempuan dan anak)
yang selama ini rentang terhadap kekerasan. Pada tahun 1993 Sidang Umum PBB

18
mengadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap perempuan yang telah
dirumuskan tahun 1992 oleh Komisi Status Perempuan PBB, di mana dalam pasal 1
disebutkan bahwa, “kekerasan terhadap perempuan mencakup setiap perbuatan kekerasan
atas dasar perbedaan kelamin, yang mengakibatkan atau dapat Mengakibatkan kerugian
atau penderitaan terhadap perempuan baik fisik, seksual maupun psikhis, termasuk
ancaman perbuatan tersebut, paksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-
wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat”.

Bahkan secara jelas pengertian kekerasan ini kemudian dapat dilihat di dalam
Konvensi Tentang Penyiksaan dan Perilaku Kejam, Tak berperikemanusiaan dan
Merendahkan, yang diratifikasi pada bulan Nopember 1998, disebutkan bahwa,“...
Torture ... means any act by which severe pain or suffering whether physical ormental, is
intentionally inflicted on a person ...”. Demikian juga di dalam laporan Wolrd Conference
(1995) di Beijing, pada butir113 dirumuskan bahwa kekerasan terhadap perempuan
sebagai “setiap tindakan berdasarkan gender yang menyebabkan atau dapat menyebabkan
kerugian atau penderitaan fisik, seksual atau psikoloogis terhadap perempuan, termasuk
ancaman untuk melakukan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan,
baik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau pribadi”. Dalam kaitannya dengan
penggunaan hukum (pidana), jika terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak,
maka terminologinya tidak boleh samar. Ini dimaksudkan agar tidak timbul “multi-
intepretasi” yang pada gilirannya dapat menimbulkan kesulitan baik pada masyarakat
maupun penegak hukum.Memperkerjakan Anak dengan Tekanan, Seperti Menjadi
Pengemis atau Anak Jalanan Kemiskinan adalah keadaan di mana seseorang tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan pakaian dan juga tempat tinggal, dan
pendidikan. Hidup dalam keadaan miskin terkadang membuat seseorang menghalalkan
segala cara demi mendapatkan uang, termasuk mengikutsertakan anak-anak untuk
bekerja. Mereka menganggap dengan cara inilah kebutuhan hidup bisa terpenuhi.
Pekerjaan anak-anak mereka tak lain adalah sebagai anak jalanan seperti pengamen,
penjual makanan, peminta-minta, dan pemulung. Tanpa disadari, hal tersebut merupakan
bentuk dari eksploitasi orang tua terhadap anak. Pengeksploitasian tenaga anak ini tidak
memandang jenis kelamin, baik itu perempuan maupun laki-laki.Bagi mereka yang
terpenting adalah dapat memenuhi kebutuhan dengan cukup. Ini merupakan salah satu
bentuk tindakan yang tidak wajar dari orang tua terhadap anak.

19
Umumnya para orang tua melakukan eksploitasi anak ini karena alasan ekonomi.
Para orang tua anak jalanan lebih memilih membiarkan anaknya berkeliaran di jalanan
mengemis untuk menghasilkan uang daripada mengusahakan anaknya untuk bisa sekolah
yang memerlukan biaya besar. Namun dibalik itu semua para orang tua ini benar-benar
terpaksa melakuakn hal tersebut karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang. Sadar
atau tidak mereka telah merusak masa depan dari anakanak mereka sendiri. Mereka telah
menghambat pencapaian cita-cita besar anak yang akan diwujudkan suatu saat nanti. Pada
dasarnya pilihan untuk menjadikan anak mereka sebagai anak jalanan adalah sebuah
pilihan yang sulit bagi para orang tua, mereka tidak seharusnya mempekerjakan anak di
jalanan, tetapi yang harus dilakukan sebenarnya adalah membimbing dan membantu anak
dalam menggapai harapan dan cita-cita yang diinginkan dengan cara menyekolahkannya.
Berkaitan dengan fenomena anak jalanan, bahwa anak jalanan itu sendiri adalah
seseorang yang sebagian besar menghabiskan waktunya dijalanan, yaitu mulai dari
makan, minum, mandi.

kehidupan yang dialami anak jalanan merupakan kehidupan yang sangat keras
yang terpaksa harus mereka lalui. Hidup dijalanan merupakan suatu tantangan bagi
mereka. Mereka harus memperjuangkan hidup dengan bekerja di jalan dan ditengah
kerasnya kehidupan yang ada. Hidup di jalanan berada dalam keadaan yang rawan.
Maksudnya adalah kita sering mendengar bahwa anak jalanan sering kali mengalami
berbagai peristiwa yang kejam seperti pemerkosaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan.
Sehingga tidak hanya masa depan saja yang semakin tidak jelas, namun mereka juga
rawan terhadap berbagai tindak kekerasan dan kriminalitas. Anak jalanan merupakan
masalah sosial yang terdapat dalam masyarakat. Masalah sosial terjadi ketika status sosial
seseorang terganggu dan fungsi sosial tidak berjalan dengan baik dan hal ini berkaitan
dengan peran yang hilang atau malah dihilangkan. Letak anak jalanan sebagai masalah
sosial adalah karena dengan menjadi Eksploitasi Anak Jalanan 3 anak jalanan mereka
telah kehilangan hak-hak seperti hak untuk sekolah atau mendapatkan pendidikan.
Dimana pada masa itu seharusnya mereka mendapatkan pendidikan dan pengajaran,
tetapi yang ada malah keadaan sebaliknya dimana mereka harus bekerja. Orang tua
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pendidikan anaknya seharusnya
tidak melakukan eksploitasi secara total karena anak-anak ini juga perlu waktu bermain
dan belajar layaknya anak-anak yang lain.

20
Kasus eksploitasi anak dibawah umur yang menyebabkan anak menjadi pekerja
jalanan ini dapat dikaji dengan teori tindakan sosial Max Weber. Menurut Weber
tindakan sosial dapat diartikan sebagai tindakan yang dimiliki oleh setiap individu atau
kelompok yang mana memiliki makna subyektif. Dimana setiap individu yang melakukan
tindakan memiliki motif atau tujuan tersendiri yang dipahami oleh Weber sendiri
mengenai tindakan sosial yang mana di dalamnya memang terkait dengan motif
(dorongan) karena suatu tindakan pasti ada motif yang menyertainya. Menurut Weber
dalam masyarakat sendiri merupakan kumpulan dari kelompokkelompok yang memiliki
motif. (www.shvoong.co.id) Apabila ditelaah kembali mengenai tindakan sosial terhadap
eksploitasi anak yang ada apabila dikaitkan dengan teori yang telah dijelaskan terlebih
dahulu diatas maka secara logika memang suatu tindakan yang dilakukan individu
ataupun kelompok semuanya memiliki motif atau tujuan yang menyertainya. Bagaimana
tidak orang tua yang menyuruh anaknya untuk bekerja keras sebelum waktunya memiliki
motif tersendiri yang mendorongnya melakukan hal itu, salah satunya adalah karena
faktor ekonomi yang berada dalam keadaan kekurangan yang hanya dengan orang tua
bekerja masih tidak dapat tercukupi. Maka, anak yang seharusnya asyik dengan dunianya
sebagai anak-anak yang misalnya berkumpul bersama teman-teman sebaya atau mungkin
menikmati dunia pendidikan yang dibutuhkan dan diperoleh anak-anak. Semua yang
diperoleh anak sebelum ia memang benar-benar terjun dalam dunia yang sebenarnya akan
menuntut mereka untuk jauh lebih kompleks daripada waktu ia kecil, sudah ia lakukan
sebelum dewasa dan harus mengorbankan pendidikan ataupun hanya sekedar untuk
bermain-main bersama dengan teman sebayanya. Eksploitasi anak terjadi karena faktor
intern dan ekstern. Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam yaitu orang tua
yang sangat memiliki peran penting dalam mendidik anak, sedangkan faktor ekstern
merupakan faktor pendorong dari luar keluarga seperti teman sebaya dan lingkungan
sekitar.

Menurut Terry E.Lawson dalam teori eksploitasi anak menyatakan bahwa


eksploitasi anak merujuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang
terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga ataupun masyarakat. Untuk menganalisis
kasus eksploitasi anak yang terjadi pada anak jalanan menurut Lawson adalah
menggunakan definisi child abuse. Ada empat macam child abuse : yang pertama adalah
kekerasan emosional (emotional abuse) yaitu kekerasan yang terjadi ketika orang tua,
pengasuh, dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian,

21
mengabaikan anak itu, yang kedua adalah kekerasan verbal (verbal abuse) yaitu perilaku
yang berisi penghinaan ataupun kata-kata yang melecehkan anak, yang ketiga kekerasan
fisik (physical abuse) yaitu kekerasan yang terjadi bila orang tua, pengasuh, dan
pelindung anak memukul anak dan yang keempat adalah kekerasan seksual (sexual
abuse) dimana terjadi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan seseorang yang
menetap dalam kehidupan rumah tangga (seperti terhadap istri, anak, atau pembantu
rumah tangga). (Ritzer. George. 2008. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.Bantul : Kreasi Wacana). Menurut
Alferd Schutz dalam teori fenomenologinya dapat dianalisis bahwa eksploitasi anak yang
dilakukan oleh orang tua merupakan sebuah permasalahan yang memang benar-benar
muncul dan ada dalam kehidupan manusia. Dimana peristiwa itu dapat diamati dan dilihat
oleh indrawi. Mengenai eksploitasi anak memang ada dalam dunia dan kondisi
masyarakat pada masa sekarang sebagai bentuk tindakan akibat dari adanya tuntutan-
tuntutan hidup

22
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan sejumlah uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut :
1. Akar penyebab tindakan kejahatan genosida dapat meliputi latar belakang suku
dalam memperjuangan hak minoritas; latar belakang agama yang
dimanifestasikan dengan fanatisme dan latar belakang rasial yang diwujudkan
melalui diskriminasi kultural.
2. Larangan Kejahatan-kejahatan Genosida diatur, baik melalui hukum
internasional (perjanjian-perjanjian dan putusan-putusan Mahkamah
Internasional), maupun oleh ketentuan hukum nasional (Undang-undang Dasar,
Undang-undang dan Keputusan Presiden.

B. SARAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikemukakan sejumlah saran, sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang larangan kejahatan gemosida dan dinilai belum maksimal.


Maksimalisasi dapat dilakukan, baik melalui kodifikasi hukum nasional, maupun
ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
2. Penindakan terhadap kejahatan genosida, juga dapat dilakukan melalui; (a)
Penegakkan hukum putusan-putusan pengadilan (termasuk mencontohi putusan-
putusan Mahkamah Ad Hoc Den Haag dan Mahkamah Ad Hoc Rwanda); (b)
Pembentukan (belum ada) lembaga-lembaga yang diperuntukkan untuk
memaksimalkan penghormatan dan perlindunganterhadap suku, bangsa dan
agama), dam penguatan (yang telah ada) lembaga-lembaga yang selama ini belum
maksimal; (c) Mengadakan kajian-kajian penelitian dan pendidikan; (d)
Pembuatan kebijakan-kebijakan dari pemerintah untuk melindungi kelompok
dengan latar belakang SARA; dan (e) Melakukan serangkaian kerjasama, baik
kerjasama regional maupun internasional

23
DAFTAR PUSTAKA

DEWI, Septiani Kumala. Penelantaran Anak Oleh Orang Tua Menurut Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Dan Hukum Pidana Islam (Studi
Penelitian Di Kantor Lembaga Perlindungan Anak Sumatera Utara). 2021. PhD
Thesis. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA.

FEBRIYANI, Komang Ayu Dita. PELANGGARAN HAM DALAM TINDAK


KEJAHATAN GENOSIDA ETNIS ROHINGNYA DI MYANMAR DARI
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL. Jurnal Komunitas Yustisia,
2022, 4.3: 884-894.

MUMTAZINUR, Mumtazinur. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUASIAAN DAN


PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Konvensi
Jenewa 1949) Studi Kasus: Pelanggaran HAM Berat untuk Bekas Negara
Yugoslavia. Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan
Pranata Sosial, 2019, 8.2: 117-128.

PASALBESSY, John Dirk. Dampak tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak serta
solusinya. Sasi, 2010, 16.3: 8-13.

24
LAMPIRAN

1. Apa Yang Dimaksud Dengan Genosida?


2. Bagaimana Kejahatan Terhadap Kemanusiaan?
3. Kekerasan Seperti Apa Yang Dilakukan Terhadap Perempuan Dan Anak?
4. Kenapa Anak Ditelantarkan?
5. Kenapa Seorang Anak Harus Dipekerjakan Dengan Tekanan, Seerti Menjadi
Pengemis Atau Anak Jalanan?

25

Anda mungkin juga menyukai