Kembaran Ketiga
Kembaran Ketiga
Jeannie berusaha menyelidiki lebih jauh tentang mereka, namun semakin banyak
pihak-pihak yang berusai,a menghalanginya. Situasinya semakin buruk ketika ia
jatuh cinta pada Steve, salah satu kembar identik itu, yang kemudian dituduh
melakukan tindak kejahatan. Dan lebih mengejutkan lagi ketika ia mendapati
bahwa si kembar ternyata tidak hanya berdua…
Penerbit,: PT Gram^di;
THE THIRD TWIN by Ken Follett Copyright © Ken Follett 1996 All rights
reserved. No pan of this publication may be reproduced, stored in or introduced
into a retrieval system, or transmitted, in any form, or by any means electron!
mechanical, photocopying, recording, or otherwise) without the prior written
permission of the publisher. Any person who does any unauthorized act in
relation to this publication may be liable to criminal prosecution and civil claims
for damages.
KEMBARA N KETIGA Alih bahasa: Kathleen S.W ‘ GM. 402 97.613 Hak cipta
terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama II. Palmerah
Selatan 24-26, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Mei 1997
FOLLETT, Ken
Kembaran Ketiga / Ken Follett; alih bahasa, Kathleen, SW.— Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1997
i. Judul n. Kathleen, S W
813
Teruntuk anak-anak lirihi: Jann Turner, Kim Turner, dan Adam Broer dengan
penuh sayang
I
v:
MINGGU
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader ilimhtul.co.ee) oleh:
BAB 1
Sebuah Datsun putih karatan, dengan satu lampu dim yang pecah dan ditempeli
cellotape. melesat melintasi sebuah daerah hunian kaum pekerja kulit putih yang
terletak di sebelah utara pusat kota. Mobil itu tidak memiliki AC, dan
pengemudinya membiarkan semua jendelanya dalam keadaan terbuka. Ia
seorang pemuda tampan berusia dua puluh dua tahun, mengenakan celana jeans,
baju kaus putih yang bersih, dan topi pet baseball merah dengan tulisan
SEKURITI dalam huruf-huruf putih di bagian depannya. Joknya yang dibungkus
plastik terasa licin di bawah pahanya, gara-gara keringatnya, tapi itu tidak
mengganggu kenyamanannya Suasana hatinya sedang bagus. Radio mobilnya
sedang menangkap siaran stasiun 92Q—“Twenty jams in a row!” Di bangku
sebelahnya tergeletak sebuah map dalam keadaan terbuka. Sekali-sekali ia
melirik ke sana, menghafal sehelai halaman ketik yang memuat beberapa istilah
teknik untuk tes besok. Belajar merupakan hal mudah baginya, dan ia akan
menguasai materi itu setelah mempelajarinya selama beberapa menit.
Di sebuah lampu setopan, seorang wanita pirang dalam mobil Porsche dengan
kap terbuka menghentikan kendaraannya di sebelahnya Pemuda itu tersenyum
padanya, lalu berkata, “Asyik mobilnya!” Wanita itu membuang muka tanpa
menjawab, namun ia yakin melihat seulas senyum membayang di sudut-sudut
bibirnya. Di balik kacamata hitamnya yang besar, usianya mungkin dua kali
lebih tua daripadanya, seperti kebanyakan wanita yang duduk di belakang
kemudi Porsche. “Ayo balapan sampai lampu setopan berikut,” lantangnya.
Wanita itu tertawa, renyah dan menggoda, kemudian memindahkan
persenelingnya dengan sebuah tangan ramping yang elegan, dan melesat dari
situ bak roket.
Ia melewati kampus Jones Falls University yang teduh, sebuah perguruan tinggi
Ivy League yang lebih elite daripada universitasnya sendiri. Saat melewati pintu
gerbangnya yang mengesankan, ia melihat rombongan delapan atau sepuluh
orang cewek sedang berjoging dalam pakaian olahraga mereka: celana pendek
ketat, sepatu Nike, baju kaus dan atasan yang penuh keringat. Rupanya mereka
tim pemain hockey yang sedang melakukan pemanasan, tebaknya, dan yang
bertampang sportif di depan adalah kapten mereka, yang akan mempersiapkan
kondisi mereka untuk menghadapi musim itu.
10
Selang beberapa saat, ia menjadi lebih tenang. Dorongan itu masih terasa kuat,
namun sekadar berfantasi
tidak lagi cukup baginya; rasanya seperti membayangkan sebotol bir saat sedang
didera rasa haus. Ia menaikkan bagian keliman baju kausnya untuk menghapus
keringat dari wajahnya Ia tahu bahwa sebaiknya ia berusaha melupakan
fantasinya itu, dan melanjutkan perjalanannya; tapi skenario itu begitu indah.
Akan berbahaya sekali tentunya. Ia bisa masuk penjara selama bertahun-tahun
kalau tertangkap basah, lapi seumur hidupnya, bahaya tidak pernah membuatnya
mengurungkan niatnya Ia berusaha menyisihkan godaan itu dari pikirannya,
walau hanya untuk sesaat. “Aku kepingin,” gumamnya sambil memutar
mobilnya, lalu melintasi pintu gerbang megah itu, masuk ke dalam kawasan
kampus.
Tim hockey itu sudah menghilang entah ke mana, namun dengan mudah ia
menemukan gelanggang olahraganya sebuah bangunan rendah di sebelah suatu
pelintasan lari, dengan patung besar seorang pelempar cakram di luar. Ia
memarkir mobilnya di dekat sebuah meteran, namun tidak memasukkan koin ke
dalamnya; ia memang tidak pernah memasukkan uang ke dalam meteran parkir.
Si kapten tim hockey yang berotot itu sedang berdiri di tangga gedung olahraga,
mengobrol dengan seorang cowok yang mengenakan kaus oblong sobek. Si
pemuda lari menaiki tangga, tersenyum pada si kapten saat melewatinya, lalu
mendorong pintu masuk ke dalam bangunan itu.
Lobinya penuh dengan anak-anak muda dan gadis-gadis bercelana pendek dan
berikat kepala yang mondar-mandir dengan raket di tangan dan ransel
terselempang
12
di pundak. Rupanya hampir semua tim olahraga di perguruan itu latihan pada
hari Minggu. Di belakang sebuah meja di tengah lobi ada seorang petugas
sekuriti yang mengecek kartu mahasiswa yang lalu lalang, tapi pada saat itu
serombongan besar atlet lari muncul secara bersamaan dan lewat di muka si
petugas, ada yang sambil melambaikan kartu pengenal mereka, ada yang tidak.
Si petugas cuma angkat bahu, kemudian mengalihkan perhatiannya kembali ke
buku The Dead Zone yang sedang dibacanya.
Sikapnya santai, namun matanya betul-betul awas. Di kaki tangga itu terdapat
sebuah lobi kecil dengan sebuah mesin Coca Cola dan telepon umum. Ruang
ganti untuk laki-laki terletak di pojok lobi itu. Si wanita dari tim sepak bola terus
menelusuri sebuah lorong panjang, menuju ruang ganti kaum wanita, yang
sepertinya dibangun sebagai tambahan oleh seorang arsitek yang mengira tidak
akan pernah ada cukup banyak cewek di Jones Falls, di masa “sekolah campur”
masih dianggap sebagai ide yang seksi.
13
Ternyata ada tiga pintu; dua letaknya berseberangan dan satu di pojok. Pintu
sebelah kanan adalah yang diambil wanita itu. la memeriksa pintu paling pojok
dan menemukan sebuah ruangan besar penuh debu, dengan mesin-mesin
raksasa: ketel uap dan penyaring. Untuk kolam renang, tebaknya la melangkah
ke dalam, kemudian menutup pintu di belakangnya. Terdengar deru rendah yang
monoton. Ia membayangkan seorang gadis yang ketakutan, hanya mengenakan
pakaian dalam—BH dan celana putih bercorak bunga—tergeletak di lantai
sambil mene raw angin ya dengan mata menyiratkan ketakutan saat ia
melepaskan ikat pinggangnya, la menikmati visi itu sesaat, sambil tersenyum
pada dirinya Cewek itu cuma beberapa meter darinya Saat ini mungkin ia sedang
membayangkan acaranya malam itu; mungkin ia sudah punya pacar, dan sedang
mempertimbangkan untuk membiarkan pacarnya melakukan apa yang ingin
dilakukannya malam itu, atau mungkin ia seorang mahasiswi baru yang kesepian
dan masih
sedikit malu-malu, yang tidak punya rencana apa-apa untuk malam itu selain*
menonton Columbo; atau mungkin ia akan mengerjakan tugas yang harus ia
serahkan besok, dan sudah merencanakan bergadang sepanjang malam untuk
menyelesaikannya Tapi lupakan semua itu, Sayang. Ini waktu untuk bermimpi
buruk.
Ia sudah pernah melakukan hal seperti ini, meskipun tidak pernah dalam skala
sedemikian besar. Ia memang amat stika menakuti gadis-gadis, sejauh yang
diingatnya. Sewaktu di sekolah menengah, tak ada yang lebih menyenangkan
baginya selain memojokkan seorang gadis sendirian, untuk diancam sampai
menangis dan memohon kepadanya agar dikasihani. Karena itulah ia terpaksa
pindah dari sekolah yang satu ke sekolah yang lain. Kadang-kadang ia
mengencani mereka, sekadar untuk melakukan apa yang dilakukan cowok-
cowok lain, dan ada yang untuk ia gandeng saat memasuki bar. Kalau sepertinya
mereka sudah mengharapkan itu, ia akan menggerogoti mereka, tapi itu tidak
seru.
Semua orang memiliki kelainan, menurutnya: ada cowok yang suka mengenakan
pakaian wanita, ada yang menyuruh cewek berpakaian kulit menginjak-injak
tubuh mereka dengan sepatu bertumit runcing. Seseorang yang ia kenal
menganggap bagian paling seksi dari seorang wanita adalah kakinya, dan ia akan
terangsang sekali saat berada di bagian sepatu wanita sebuah toserba, mengawasi
mereka memakai dan melepaskan sepatu.
15
Si pemuda menyeringai. Topi itu ia beli seharga $8.99 di sebuah toko suvenir.
Namun orang-orang sudah terbiasa melihat para petugas bercelana jeans di
konser-konser musik rock, detektif-detektif yang tampangnya seperti preman
sampai mereka menjentikkan lencana mereka, atau polisi-polisi bandara dalam
baju wol; terlalu merepotkan untuk mempertanyakan keabsahan wewenang
semua orang yang mengaku dirinya petugas sekuriti.
la mencoba pintu yang terletak di seberang ruang ganti kaum cewek itu. Ternyata
sebuah gudang kecil. Ia menyalakan lampunya sambil menutup pintu di
belakangnya.
16
Ia mengulurkan tangan ke atas untuk meraba baut yang memasak pipa itu pada
sebuah kipas, la tidak dapat membukanya dengan tangan kosong, tapi ia
mempunyai kunci pas di dalam bagasi mobil Datsun nya Kalau ia dapat
melepaskan pipanya, kipas itu akan menyedot udara dari dalam gudang ini,
bukannya dari luar gedung.
Ia bisa membuat apinya persis di bawah kipas itu. la akan mencari sekaleng
minyak untuk dituang ke dalam sebuah botol Pemer kosong, lalu dibawa ke sini
bersama korek api dan koran untuk dinyalakan, berikut kunci pas itu.
Apinya akan cepat besar dan menimbulkan asap tebal, la akan membekap hidung
dan mulutnya dengan sepotong kain basah, dan menunggu sampai seluruh
gudang itu penuh asap. Kemudian ia akan membuka pipa ventilasi. Asap akan
tersedot ke dalam saluran pipa, menuju bagian dalam ruang ganti pakaian cewek.
Pada awalnya tidak akan ada yang memperhatikan. Kemudian satu atau dua
orang akan menghirup udara sambil berkata. “Ada yang merokok, ya?” la akan
membuka pintu gudang itu dan membiarkan asap mengalir ke dalam lorong itu.
Kemudian cewek-cewek itu akan menyadari ada sesuatu yang benar-benar tidak
beres. Mereka akan membuka pintu ruang ganti itu, lalu mengira seluruh gedung
sedang terbakar, dan mereka akan panik.
Sesudah itu ia akan masuk ke dalam ruang ganti. Di mana-mana akan berceceran
BH-BH dan stocking, buah dada dan bokong yang terbuka. Akan ada yang
berhamburan keluar dari kabin-kabin mandi dalam keadaan telanjang dan basah,
sambil berusaha menggapai handuk; ada yang akan mencoba memakai pakaian;
kebanyakan akan berlarian ke sana kemari mencari pintu-dengan pandangan
setengah kabur gara-gara asap. Akan ada jeritan-jeritan, isakan, dan teriakan-
teriakan ketakutan. Ia akan terus berlagak sebagai petugas sekuriti dengan
17
18
BAB 2
Mrs. Ferrami berkata, “Aku mau pulang.” Putrinya, Jeannie, berkata, “Jangan
khawatir, kami akan mengeluarkan Mom dari sini, lebih cepat daripada yang
Mom perkirakan.”
The Belia Vista Sunset Home adalah satu-satunya rumah perawatan yang
ongkos-ongkosnya dapat ditutup dengan polis asuransi kesehatan Mom.
Suasananya bisa dibilang norak. Di dalam kamar itu terdapat dua tempat tidur
rumah sakit yang tinggi, dua lemari pakaian, sebuah sofa, dan sebuah televisi.
Dinding-dindingnya dicat warna cokelat jamur dan lantainya dari ubin plastik
berwarna krem dengan guratan-guratan oranye. Jendelanya berterali, tapi tanpa
tirai, dan menghadap ke arah sebuah pompa bensin. Ada sebuah wastafel di
pojok dan sebuah kamar mandi di ujung lorong.
Patty berkata. “Tapi Mom terus lupa ini-itu. Mom tidak bisa menjaga diri sendiri
lagi.”
19
Usia Mom belum enam puluh tahun.’ Semula Jeannie, yang berusia dua puluh
sembilan tahun, dan Patty, yang berusia dua puluh enam, berharap ia dapat
mengurus dirinya sendiri selama beberapa tahun lagi, namun harapan itu buyar
pagi ini, pada pukul lima, ketika seorang petugas kepolisian dari Washington
menelepon untuk mengabari bahwa ia telah menemukan Mom berjalan kaki
menelusuri 18th Street dalam gaun malam lusuhnya sambil menangis dan
mengatakan bahwa ia tidak ingat di mana ia tinggal.
Jeannie langsung naik mobilnya dan pergi ke Washington, yang berjarak satu
jam dari Baltimore, di pagi hari Minggu yang masih sepi itu. Ia menjemput Mom
dari sebuah rumah penampungan, membawanya pulang, dan setelah
memandikan dan mendandaninya, ia menelepon Patty. Bersama-sama mereka
mengatur agar Mom bisa masuk ke Belia Vista. Rumah perawatan itu terletak di
kota Columbia, antara Washington dan Baltimore. Bibi mereka, Bibi Rosa,
menghabiskan sisa hidupnya di sini. Bibi Rosa juga memiliki polis asuransi yang
sama seperti Mom.
“Aku tidak suka tempat ini,” ujar Mom. Jeannie berkata, “Kami juga, tapi untuk
sementara kami cuma sanggup menempatkan Mom di sini.” Semula
20
Patty menatapnya dengan pandangan mencela, lalu berkata, “Ayolah, Mom, kita
kan pernah tinggal di tempat-tempat yang lebih buruk daripada ini.”
Memang benar. Setelah ayah mereka masuk penjara untuk kedua kalinya,
mereka dan Mom terpaksa tinggal di sebuah kamar dengan kompor listrik di atas
bufet dan sebuah wastafel di lorong. Itu adalah masa-masa hidup dari jaminan
sosial. Tapi Mom masih amat tegar ketika itu. Begitu Jeannie dan Patty masuk
sekolah, ia mencari seorang wanita setengah baya yang dapat dipercaya untuk
mengurus anak-anak itu begitu mereka pulang, lalu mencari pekerjaan—
sebelumnya ia seorang penata rambut, dan ternyata masih cukup andal,
meskipun agak kuno. la memindahkan mereka semua ke sebuah apartemen kecil
dengan dua kamar tidur di Adams-Morgan, yang ketika itu merupakan daerah
hunian kelas pekerja baik-baik
Ia akan menyiapkan roti goreng dengan telur untuk sarapan, lalu mengirim
Jeannie dan Patty ke sekolah dalam gaun-gaun bersih. Sesudah itu ia akan
menata rambutnya dan memakai makeup di wajahnya—orang harus tampil rapi
kalau bekerja di salon—dan selalu meninggalkan dapur dalam keadaan bersih,
dengan sepiring kue di meja untuk anak-anaknya kalau mereka pulang. Pada hari
Minggu, mereka bertiga membersihkan apartemen itu dan mencuci semua
pakaian mereka bersama-sama. Mom dulu begitu serba bisa, begitu dapat
diandalkan, tidak pernah mengenal capek; betul-betul menyedihkan melihatnya
menjadi wanita pelupa yang terus mengeluh di tempat tidur.
Kini ia mengerutkan alisnya, seakan bingung, lalu berkata, “Jeannie, kenapa kau
pakai cincin itu di hidungmu?”
sendu. “Mom, aku kan menindik hidungku sewaktu masih remaja. Masa Mom
sudah lupa bagaimana marahnya Mom gara-gara itu? Aku sudah khawatir Mom
bakal mengusirku.” “Aku lupa,” ujar Mom.
“Aku masih ingat,” ujar Patty. “Di mataku kau hebat sekali. Tapi ketika itu aku
baru berusia sebelas tahun dan kau empat belas, dan bagiku apa pun yang
kaulakukan benar-benar berani, gaya, dan hebat.”
“Ya, jaket itu. Mom akhirnya membakarnya setelah aku mengenakannya saat
tidur di sebuah bangunan yang sudah ditinggalkan, dan mendapat kutu.”
“Aku ingat itu,” ujar Mom. “Kutu! Anakku punya kutu!” la masih tetap merasa
sengit mengenai itu, lima belas tahun sesudahnya.
Namun tak seorang pun di antara keduanya bergerak ke arah pintu. Jeannie
merasa seakan ia menelantarkan ibunya, meninggalkannya justru pada saat ia
dibutuhkan. Tak seorang pun di sini mencintainya. Seharusnya salah seorang
anggota keluarganya yang merawatnya. Jeannie dan Patty seharusnya tinggal
bersamanya, memasak untuknya, menyeterika gaun-gaun tidurnya, dan
menyalakan TV agar ia dapat menonton acara-acara favoritnya.
Patty menolongnya dengan berkata, “Aku akan datang besok, dan membawa
anak-anak untuk menemui Mom. Mom pasti senang.”
Mom tidak berniat melepaskan Jeannie begitu saja. “Kau juga akan datang,
Jeannie?”
Jeannie nyaris tidak dapat menjawab. “Begitu aku bisa.” Dengan sedih ia
mendoyongkan tubuh ke arah tempat tidur, lalu mencium ibunya “Aku
menyayangimu, Mom. Cobalah mengingat itu.”
Jeannie juga ingin menangis, tapi ia lebih tua, dan sejak dulu ia sudah
membiasakan diri untuk mengendalikan emosinya sendiri sementara ia menjaga
Patty, la merangkul pundak adiknya saat mereka menelusuri lorong yang steril
itu. Patty bukan lemah, tapi ia lebih pasrah daripada Jeannie yang selalu pantang
menyerah dan punya kemauan sendiri. Mom sering mengritik Jeannie dan
mengatakan seharusnya ia lebih seperti Patty.
“Kalau saja aku bisa mengajaknya tinggal bersamaku, tapi nyatanya tidak bisa,”
ujar Patty dalam nada menye sal.
23
pojok yang berfungsi sebagai dapur, yang lain adalah kamar tidur dengan sebuah
lemari pakaian dan kamar mandi kecil. Andai kata ia memberikan tempat
tidurnya kepada Mom, ia harus tidur di sofa setiap malam; dan tidak ada seorang
pun di rumah sepanjang hari untuk menjaga seorang wanita yang menderita
Alzheimer. “Aku juga tidak bisa menampungnya,” ujarnya
Mereka melangkah ke luar dalam panas terik yang menyengat. Jeannie berkata,
“Besok aku akan ke bank, mencoba mendapatkan pinjaman. Kita akan
memindahkannya ke tempat yang lebih baik, dan aku akan menombok uang
asuransjnya.”
“Tapi bagaimana caramu membayar kembali itu semua?” ujar Patty secara
praktis.
“Aku akan diangkat menjadi lektor, lalu menjadi profesor penuh, lalu aku akan
ditugaskan menulis sebuah buku pegangan dan disewa sebagai konsultan oleh
tiga perusahaan konglomerat internasional.”
Patty tersenyum di antara deraian air matanya. “Aku percaya itu, tapi bagaimana
dengan orang-orang bank itu’?”
Patty memang selalu mempercayai ucapan ucapan Jeannie. Patty sendiri sama
sekali tidak ambisius. Ia termasuk dalam peringkat di bawah rata-rata di sekolah,
menikah dalam usia sembilan belas tahun, dan sejak itu tinggal di rumah untuk
membesarkan anak-anaknya tanpa rasa sesal sedikit pun. Jeannie justru
sebaliknya. Sebagai bintang kelas dan kapten dalam hampir semua nm olahraga,
ia menjadi juara tenis dan meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi
melalui beasiswa olahraga. Apa pun yang katanya akan ia lakukan, Patty tak
pernah meragukannya.
24
“Tapi kau harus membeli mobil lain,” ujar Patty, yang masih amal realistis.
“Kau benar.” Jeannie menghela napas. “Yah, aku bisa memberikan les privat.
Memang bertentangan dengan peraturan JFU, tapi aku mungkin bisa mendapat
empat puluh dolar sejam untuk mengajar remedial statistics mahasiswa-
mahasiswa kaya yang gagal ujian di universitas lain secara pribadi. Aku bisa
memperoleh tiga ratus dolar seminggu, mungkin; bebas pajak kalau aku tidak
melaporkannya” la menatap adiknya. “Kau bisa sisihkan sesuatu?”
“Dia bisa membunuhku karena mengatakan ini, tapi kukira kami, bisa
menyisihkan sekitar tujuh puluh lima sampai delapan puluh dolar seminggu,”
ujar Patty akhirnya. “Aku akan mendorongnya untuk meminta kenaikan gaji. Dia
bakal merasa sungkan mengajukannya, tapi setahuku dia layak menerimanya,
dan bosnya suka padanya”
25
“Ayo kita mulai tanya sana-sini, mungkin ada yang tahu tentang tempat yang
lebih menyenangkan.”
“Oke.” Patty tampak berpikir. “Penyakit yang diderita Mom itu menurun, kan?
Aku pernah mengikuti liputannya di TV.”
“Apakah itu berarti kau dan aku nanti juga akan menderita seperti Mom?”
“Untung aku sudah mulai punya anak dalam usia amat muda,” ujar Patty.
“Mereka sudah cukup besar untuk mengurus diri sendiri saat itu terjadi atas
diriku.”
Jeannie menangkap nada sindiran itu. Sama seperti Mom, Patty beranggapan ada
sesuatu yang tidak beres jika seseorang berusia dua puluh sembilan tahun belum
juga punya anak. Jeannie berkata, “Fakta bahwa mereka sudah berhasil
menemukan gennya menjanjikan pengharapan. Artinya, saat kita mencapai usia
Mom, mereka mungkin sudah dapat menyuntik kita dengan versi DNA kita
sendiri yang sudah diubah, dan tidak mengandung gen yang fatal itu lagi.”
26
“Bukan hanya DNA-mu yang membuat kau menjadi kau, tapi juga bagaimana
caramu dibesarkan. Dan itulah yang sedang kutekuni saat ini.”
“Seru. Ini kesempatan yang baik sekali bagiku, Patty. Ternyata banyak sekali
yang membaca artikel yang kutulis mengenai kriminalitas, dan apakah
kecenderungan itu terdapat di dalam gen kita.” Artikel itu diterbitkan tahun lalu,
saat ia masih di University of Minnesota, memakai nama profesor
pembimbingnya di atas namanya sendiri, tapi itu adalah hasil kerjanya
I* Aku masih belum mengerti, apakah maksudmu bakat jahat itu diturunkan atau
tidak.”
27
“Kukira begitu.”
“Kita harus temukan alasan, mengapa begitu banyak orang Amerika jadi begitu
jahat belakangan ini.”
Patty melangkah ke arah mobilnya sendiri, sebuah Ford station wagon tua yang
besar; bagian belakangnya penuh dengan barang-barang anak-anak dalam aneka
warna marak: sebuah sepeda roda tiga, sebuah kereta dorong yang dilipat,
berbagai macam raket dan bola, dan sebuah truk mainan besar dengan satu roda
patah.
“Aku juga.”
la merasa tegang dan gelisah, penuh dengan berbagai perasaan yang tidak
terpecahkan mengenai Mom, Patty, dan ayahnya yang tidak ada di situ. Ia
memasuki 1-70 dan mulai menginjak gasnya, menyelip ke sana kemari di antara
kendaraan-kendaraan lain. la mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan
selanjutnya hari itu, kemudian teringat bahwa ia ada janji main tenis pada pukul
enam, sesudah itu minum bir dan makan piza bersama serombongan mahasiswa
senior dan para akademikus muda fakultas psikologi Jones Falls. Mula-mula
terpintas dalam dirinya membatalkan acaranya malam itu. Tapi ia tak ingin
duduk sendirian di rumah
28
Mereka bermain di lapangan tenis yang dilapis tanah liat merah di kampus Jones
Falls. Mereka merupakan lawan setanding, sehingga permainan mereka menarik
perhatian sejumlah penonton. Memang tidak ada kode berpakaian, tapi karena
kebiasaan, Jeannie selalu bermain dalam celana pendek putih yang bersih dan
kaus polo putih. Rambutnya panjang dan berwarna gelap, tidak lembut dan lurus
seperti milik Patty, tapi berombak dan sulit diatur, karenanya ia
menyusupkannya ke dalam topi petnya
29
situasi normal, Jeannie yakin ia dapat mengalahkan Jack, tapi hari ini
konsentrasinya sedang kacau, sehingga agak sulit baginya untuk memprakirakan
gerakan lawannya Mereka memenangkan masing-masing satu set, dan set ketiga
berakhir dengan 5-4 untuk pihak Jack. Tapi Jeannie mendapati dirinya masih
memegang bola
Permainan terus berlanjut sampai pada kedudukan dua deuce, kemudian Jack
mendapat satu angka dan berada di atas angin. Jeannie memukul bola ke dalam
net. Erangan tertahan terdengar dari arah kerumunan penonton. Bukannya
memberikan pukulan serve kedua normal yang lebih pelan, ia memperhitungkan
arah angin dan memukul lagi, seakan yang ia berikan itu sebuah serve pertama.
Jack berhasil meraih bola itu dan mengembalikannya ke posisi backhand
Jeannie, yang kemudian melancarkan pukulan smash-nya sambil lari ke arah net
Namun kondisi Jack tidak seburuk yang ia coba tampilkan. Bola itu melayang
kembali dengan mantap melewati kepala Jeannie, lalu mendarat tepat di garis
belakang.
Jeannie berdiri sambil mengawasi bola itu dengan berkacak pinggang, la benar-
benar marah pada dirinya. Meskipun sudah bertahun-tahun tidak pernah bermain
secara serius, ia masih memiliki semangat bertanding yang kuat, yang
membuatnya tidak mudah menerima kekalahan. Kemudian ia berusaha
menenangkan perasaannya dan menyunggingkan senyum di bibirnya. Ia
berpaling. “Bagus sekali!” serunya Ia melangkah ke arah net untuk menjabat
tangan Jack, sementara tepukan riuh terdengar dari arah para penonton.
Jeannie menatapnya sekilas. Tubuhnya besar sekali, tinggi dan atletis, dengan
rambut pirang berombak yang dipotong pendek, dan sepasang mata. biru yang
simpatik. Rupanya ia sedang berusaha menarik perhatian Jeannie.
30
Anak muda itu tersenyum lagi. Suatu senyuman relaks dan penuh percaya diri,
yang menyatakan bahwa kebanyakan cewek akan senang kalau ia mengajak
mereka, berbicara, entah ia sedang serius atau tidak. “Aku juga bisa main tenis
sedikit, dan kukira…”
“Kalau kau cuma bisa main tenis sedikit, kau bukan tandinganku sahut Jeannie
sambil berlalu.
Mau tak mau Jeannie tersenyum menanggapi kegigihan anak muda itu,
walaupun tadi ia memberi tanggapan ketus. Ia berpaling, lalu berkata melalui
pundaknya, tanpa menghentikan langkah. “Ya. tapi trims untuk tawaranmu.”
Saat melewati lapangan hockey, Jeannie berpapasan dengan Lisa Hoxton. Lisa
adalah teman sejati perta—
31
manya sejak ia tiba di Jones Falls sebulan yang lalu Gadis itu seorang teknisi
laboratorium di fakultas psikologi. Ia memiliki gelar kesarjanaan, namun tak
ingin menjadi seorang akademikus. Sama seperti Jeannie, ia datang dari keluarga
miskin, dan merasa sedikit terintimidasi oleh kalangan Ivy League Jones Falls.
Mereka langsung merasa cocok satu sama lain.
“Barusan ada anak yang mencoba mendekati aku,” ujar Jeannie sambil
tersenyum.
“Kaubilang padanya bahwa kau punya teman yang lebih mendekati usianya?”
ujar Lisa, yang berumur dua puluh empat tahun.
“Tidak.” Jeannie menoleh ke belakang, tapi anak muda itu sudah tidak tampak
lagi. “Jalan terus, siapa tahu dia membuntuti kita.”
“Ah.”
“Aku cuma iri, dari dulu aku kepingin yang besaran,” ujar Jeannie, lalu mereka
sama-sama cekikikan. “Benar, lho. Aku sering berdoa untuk itu. Bisa dibilang
aku
32
“Aku berdoa kepada Perawan Maria, karena kupikir ini masalah cewek. Dan aku
nggak bilang tetekku, tentu saja”
“Tidak, rasanya nggak enak bilang buah dada pada Ibu Maria.”
“Papan.”
“Entah dari mana aku dapat kata itu, rasanya aku pernah dengar orang
menggunakan istilah itu. Kedengarannya cukup sopan di telingaku. Aku nggak
pernah menceritakan ini kepada siapa-siapa sebelumnya.”
Lisa menoleh ke belakang. “Yah, aku tidak melihat ada cowok keren
membuntuti kita. Rupanya kau sudah berhasil menggusah si Brad Pitt.”
“Bagus kalau begitu. Dia memang tipeku, cakep, seksi, sok percaya diri, dan
benar-benar tidak dapat dipercaya”
“Dari mana kau tahu dia tidak bisa dipercaya? Kau cuma bertemu dengannya
selama dua puluh detik.”
“‘Yeah, tapi cuma sejam atau dua jam. Aku mau mandi dulu.” Baju Jeannie
basah kuyup oleh keringatnya
“Aku juga.” Lisa mengenakan celana pendek dan sepatu lari. “Aku habis latihan
dengan tim hockey. Kenapa cuma sejam?”
“Ini hari yang berat untukku.” Pertandingan itu telah berhasil mengalihkan
perhatian Jeannie untuk sesaat, namun kini hatinya terasa pedih kembali. “Aku
terpaksa memasukkan ibuku ke rumah perawatan.”
33
Saat mereka melepaskan pakaian olahraga yang penuh keringat itu, Lisa berkata,
“Bagaimana dengan ayahmu? Kau nggak pernah cerita apa apa mengenai
dirinya.”
Jeannie menghela napas. Pertanyaan itu sangat ditakutinya sejak ia masih kecil,
tapi toh pada akhirnya selalu muncul, cepat atau lambat. Selama bertahun-tahun
ia sudah berbohong, dengan mengatakan Daddy sudah meninggal atau
menghilang atau menikah lagi dan pergi ke Saudi Arabia untuk bekerja. Namun
belakangan ia mulai mengungkapkan apa adanya. “Ayahku di dalam penjara,”
ujarnya
‘Tak apa Dia di penjara selama hampir seluruh hidupku. Dia pencuri. Ini sudah
ketiga kalinya dia masuk.”
“Aku nggak ingat. Itu tidak penting. Dia toh tidak bakal bisa berbuat apa-apa
begitu keluar. Dia tidak pernah peduli urusan kami, dan tidak akan pernah
peduli.”
“Cuma kalau dia sudah merencanakan untuk membobol suatu tempat. Dia akan
bekerja sebagai pesuruh, tukang jaga pintu, atau petugas sekuriti selama
seminggu atau dua minggu sebelum merampok di situ.”
Lisa menatapnya. “Karena itukah kau begitu tertarik pada soal genetika dalam
kasus kriminalitas?”
“Mungkin.”
“Mungkin juga tidak.” Lisa mengibaskan tangannya “Aku paling nggak demen
pada para ahli psikoanalisa amatiran.”
Mereka menuju kamar mandi. Jeannie menghabiskan waktu lebih lama daripada
biasanya, untuk mencuci rambut, la amat menghargai persahabatannya dengan
Lisa. Lisa sudah setahun lebih di Jones Falls, dan ia telah mengantar Jeannie ke
mana-mana sewaktu Jeannie baru tiba di situ pada awal semester tersebut.
Jeannie merasa senang bekerja sama dengan Lisa di laboratorium, karena
temannya itu betul-betul dapat diandalkan; dan ia senang, menghabiskan waktu
bebasnya bersama Lisa, karena ia merasa dapat mengungkapkan apa saja yang
terpintas dalam pikirannya tanpa khawatir akan dicela.
Jeannie sedang mengolesi rambutnya dengan conditioner saat ia menangkap
suara-suara aneh. Ia berhenti, lalu memasang telinga. Sepertinya jeritan-jeritan
ketakutan. Bulu kuduknya berdiri, dan membuatnya menggigil. Tiba-tiba ia
merasa amat tidak berdaya: tanpa busana, dalam keadaan basah, di lantai bawah
bangunan itu. Untuk sesaat ia ragu, kemudian cepat-cepat ia membilas
rambutnya sebelum keluar dari kabin mandi itu untuk melihat apa yang tidak
beres.
Begitu melangkah keluar dari kabin itu, ia mencium bau sesuatu yang terbakar.
Ia tidak dapat melihat apinya, tapi ada asap tebal berwarna hitam keabuan yang
membubung ke arah langit-langit. Sepertinya keluar dari ‘ r lubang ventilasi.
II - M
Ia merasa takut. Ia belum pernah menghadapi kebakaran.
Cewek-cewek yang lebih tenang segera merenggut tas-tas mereka, lalu beranjak
ke arah pintu. Yang lain mulai histeris, saling meneriaki dalam nada-nada
ketakutan sambil berlarian ke sana kemari tanpa arah. Seorang petugas sekuriti
brengsek, dengan sehelai sapu tangan berbintik-bintik menutupi hidung dan
mulutnya, membuat mereka semakin ketakutan dengan bolak-balik sambil
mendorong cewek-cewek itu dan sok memberikan instruksi.
Semua itu hanya memerlukan waktu beberapa detik, tapi sementara itu ruangan
tersebut mulai ditinggalkan orang-orang dan dipenuhi asap. Ia tidak dapat
melihat lagi pintu keluarnya, dan ia mulai batuk-batuk. Ia ketakutan
membayangkan dirinya tidak dapat bernapas. Aku tahu di mana pintunya, dan
aku harus tetap tenang, ujarnya pada diri sendiri. Kunci-kunci dan uangnya ada
di dalam saku celana jcans-nyu Ia meraih raket tenisnya. Sambil menahan napas,
dengan cepat ia meninggalkan ruang ganti itu, menuju pintu keluar. ,
Lorong itu sudah penuh asap tebal, dan matanya mulai berair, sehingga ia nyaris
tak dapat melihat. Kini ia menyesal tidak keluar dalam keadaan telanjang saja,
sehingga ia dapat memperoleh beberapa detik ekstra yang berharga. Celana jeans
nya toh tidak dapat membantu penglihatan atau pernapasannya di dalam lautan
asap ini. Dan tidak menjadi masalah sebetulnya untuk
36
la tidak dapat menahan napas lebih lama lagi. Sambil mengerang ia menghirup
udara. Kebanyakan asap yang masuk, sehingga ia terbatuk-batuk. Kembali
dengan terhuyung-huyung ia menelusuri tembok, sambil batuk, dengan lubang
pernapasan serasa terbakar, mata berair, dan hampir-hampif^tak dapat melihat
tangannya sendiri di mukanya. Saat ini ia sangat ingin menghirup udara segar, la
mengikuti tembok itu menuju mesin Coca Cola, kemudian mengitarinya. Ia
menyadari bahwa ia telah menemukan (angga setelah kakinya terantuk pada
undak-undak paling bawah, la menjatuhkan raketnya yang kemudian
menghilang dari pandangan. Raket itu amat istimewa baginya—ia berhasil
memenangkan pertandingan Mayfair Lites Challenge dengannya—tapi ia
meninggalkan raket itu, lalu merangkak menaiki tangga
Kabut asap itu menipis secara tiba-tiba begitu ia sampai di lobi utama yang luas
di lantai dasar, la dapat melihat pintu-pintu gedung yang terbuka. Seorang
petugas sekuriti berdiri di luar, memberikan isyarat kepadanya sambil berteriak.
“Ayo!” Masih sambil terbatuk-
V
batuk dan nyaris tak dapat bernapas, ia melintasi lobi itu, lalu keluar untuk
menghirup udara segar.
Ia berdiri di tangga luar selama dua atau tiga menit, membungkuk sambil
menarik napas dan membatukkan asap itu keluar dari paru-parunya. Setelah
irama napasnya kembali normal, ia mendengar lengking sirene sebuah mobil
unit gawat darurat di kejauhan, la melayangkan pandang ke sekitarnya untuk
mencari Lisa, namun tidak dapat menemukannya.
Lisa tidak berada di antara me%ka. Dengan hati semakin resah Jeannie kembali
ke petugas sekuriti yang sedang berdiri ifi pintu. “Aku khawatir temanku masih
di dalam sana,” ujarnya dengan nada cemas.
‘*Hebat sekali,” ucap Jeannie dalam nada sengit, la tidak tahu persis apa yang
diharapkannya dari laki-laki itu, namun ia sama sekali tak menduga akan
memperoleh jawaban seperti itu.
Sikap kurang suka membayang di wajah si petugas. “Itu tugas mereka,” ujarnya
sambil menunjuk ke sebuah mobil unit pemadam kebakaran yang sedang
memasuki pelintasan jalan.
38
namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia mengawasi dengan sikap tak
sabar dan tak berdaya, sementara para petugas pemadam kebakaran keluar dari
kendaraan mereka, lalu mengenakan perangkat bantu pernapasan. Gerakan
mereka seakan begitu lambat, sehingga ia ingin mengguncang-guncang tubuh
mereka sambil berteriak, “Cepat! Cepat!” Sebuah mobil unit kebakaran yang
lain tiba, disusul sebuah mobil polisi putih dengan garis-garis biru-dan-putih dari
Departemen Kepolisian Baltimore.
“Cuma satu, melalui tangga yang menuju lobi utama, yang ini.**
Seorang petugas teknisi yang berdiri di dekat situ menyanggahnya “Ada sebuah
tangga di ruang mesin kolam renang yang menuju bagian belakang gedung.”
Jeannie berhasil menarik perhatian petugas pemadam kebakaran itu, lalu berkata,
“Kukira temanku masih di dalam sana.”
Untuk sesaat Jeannie merasa lebih tenang. Kemudian ia menyadari bahwa laki-
laki itu tidak menjanjikan untuk menemukan Lisa dalam keadaan hidup.
Si petugas sekuriti yang ia lihat di ruang ganti tadi tidak tampak. Jeannie berkata
kepada si petugas pe—
39
madam kebakaran, “Masih ada seorang petugas sekuriti di sana, yang tidak
kulihat sedari tadi. Orangnya tinggi.”
Si petugas jaga lobi berkata, “Tidak ada petugas sekuriti lain di dalam gedung
ini.”
“Yah, tapi dia memakai topi dengan tulisan SEKURITI di atasnya, dan dia
menyuruh orang-orang keluar dan dalam gedung.”
“Astaga, itu tidak perlu diperdebatkan!” bentak Jeannie. “Mungkin dia cuma
hasil imajinasiku, tapi kalau tidak, nyawanya mungkin dalam bahaya!”
Seorang gadis dalam celana khaki laki-laki yang digulung berdiri rji dekat
mereka sambil ikut mendengarkan. “Aku melihat orang itu. Brengsek banget,”
ujarnya. “Dia menggerayangi aku.”
40
dirinya, atau sekadar duduk di belakang mejanya untuk memulihkan diri. Jeannie
memutuskan untuk mengecek Apa pun lebih baik daripada hanya berdiri di situ
tanpa melakukan apa-apa.
la segera melintasi lapangan rumput menuju pintu masuk utama Nut House, dan
mencoba mengintip k dalam melalui pintu-pintu kacanya. Tak tampak seorang
pun di lobinya. Ia mengeluarkan sebuah kartu plastik dari sakunya, yang
berfungsi sebagai kunci bila digesekkan di alat pembacanya. Pintu terbuka. Ia
segera lari menaiki tangga, sambil memanggil, “Lisa! Kau di sana9’” Ruang
laboratorium itu dalam keadaan sunyi. Kursi Lisa masih terletak rapi di belakang
meja tulisnya, dan layar komputernya kosong. Jeannie mencoba melongok ke
dalam kamar kecil wanita di ujung lorong. Tidak ada siapa-siapa. “Sial!”
umpatnya. “Di mana sih kau?”
Kerumunan orang sudah bertambah ramai, dan sekarang lebih banyak lagi mobil
pemadam kebakaran dan mobil polisi, namun ia belum juga melihat Lisa, la
hampir yakin bahwa temannya masih berada di dalam
gedung yang terbakar itu. Perasaan tidak enak mulai melanda dirinya. Jeannie
berusaha menyisihkannya. Kau tidak bisa membiarkan itu terjadi begitu saja!
Jeannie teringat ucapan si teknisi gedung yang menyatakan masih ada sebuah
jalan masuk lain ke basement. Ia tidak melihat jalan itu saat mengitari bangunan
tersebut. Ia memutuskan untuk melihat lagi. la kembali ke bagian belakang
gedung.
42
Ada sebuah tangga ke bawah, menuju sebuah kamar kotor yang diterangi lampu
neon. Ia dapat melihat mesin-mesin dan sejumlah pipa. Ada kepulan asap di
sana, tapi tidak tebal. Rupanya tempat ini terpisah dari bagian Iain basement itu.
Namun demikian, bau asap mengingatkan dirinya tentang bagaimana ia terbatuk-
batuk dan tersedak tadi, saat menggerayang-gerayang ke sana kemari untuk
mencari tangga. Ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat.
Ia merasa mendengar sesuatu, tapi belum yakin. Ia berseru lebih keras. “Halo?”
Tidak ada jawaban.
Ia ragu sebentar. Hal paling bijaksana yang dapat ia lakukan adalah kembali ke
bagian muka gedung untuk memanggil seorang petugas pemadam kebakaran,
tapi itu akan memakan waktu terlalu lama, terutama jika si petugas memutuskan
untuk menanyainya terlebih dahulu. Alternatifnya adalah turun dan memeriksa
sendiri.
la turun satu undakan, kemudian satu lagi. Kalau asap itu membuatku batuk lagi,
aku akan langsung keluar, ujarnya pada diri sendiri. Langkah ketiga ternyata
43
lebih mudah, dan selelah itu ia cepat-cepat turun, lalu melompat dari undak-
undak terakhir ke permukaan beton.
Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan besar yang penuh dengan pompa-
pompa dan alat penyaring, yang sepertinya untuk kolam renang. Bau asapnya
cukup menyengat, namun ia dapat bernapas dengan normal.
Lisa sedang berbaring miring, meringkuk dalam posisi janin, tanpa sehelai
benang pun. Terlihat noda darah di pahanya. Dan ia sama sekali tidak bergerak.
Untuk sesaat bulu kuduk Jeannie berdiri.
Kelegaan di hati Jeannie karena menemukan Lisa masih dalam keadaan hidup
digantikan oleh rasa cemas yang mencekam. “Ya Tuhan. Di sini?”
Jeannie memejamkan mata. Ia dapat merasakan kepedihan dan rasa terhina Lisa,
haknya sebagai manusia dilanggar, diremehkan dan dicemari. Air mata mulai
menggenangi matanya, tapi ia berusaha menahannya Untuk sesaat ia merasa
terlalu lemas dan mual untuk mengatakan sesuatu.
44
“Orang sekuriti.”
Cocok rupanya. Cewek dalam celana khaki tadi mengatakan bahwa seorang
petugas sekuriti menggerayangi tubuhnya. Sementara itu, petugas lobi
menyatakan bahwa setahunya tidak ada petugas sekuriti lain di dalam bangunan
itu. “Dia bukan orang sekuriti,” ujar Jeannie. Ia baru saja melihat laki-laki itu lari
menjauh beberapa menit yang lalu. Gelombang rasa marah melanda dirinya saat
membayangkan laki-laki itu telah melakukan perbuatan maksiat ini di sini, di
kampus ini. di dalam bangunan olahraga ini, tempat mereka semua biasanya
merasa begitu aman untuk melepaskan pakaian dan mandi. Tangan Jeannie
bergetar. Ingin rasanya ia mengejar orang itu, lalu mencekik lehernya.
Kita bisa mati di sinil “Jangan khawatir soal pakaian, semua dalam keadaan
setengah telanjang di luar sana.” Jeannie melayangkan pandang ke sekitarnya,
lalu melihat pakaian dalam Lisa yang terbuat dari bahan renda berwarna merah
tergeletak di lapisan debu, di bawah sebuah tangki. Ia memungut pakaian dalam
itu. “Pakailah. Kotor memang, tapi toh lebih baik daripada tidak mengenakan
apa-apa.”
45
mulai melanda dirinya. Apa yang bisa ia lakukan kalau Lisa bersikeras tidak
mau bergerak? Mungkin ia dapat mengangkat Lisa, tapi dapatkah ia
membopongnya naik tangga itu? Ia meninggikan suaranya. “Ayo, bangun!” la
meraih tangan Lisa, lalu menariknya sampai berdiri.
Kabut asap semakin tebal, meskipun dibatasi • oleh pintu yang berat itu.
Ketakutan menggantikan rasa prihatinnya saat itu. “Kita harus keluar dari sini—
apinya bakal merambat kemari. Demi Tuhan, kenakan ini!”
Akhirnya Lisa mulai bergerak, la memakai celana dalam dan BH-nya. Jeannie
meraih tangannya, menggiringnya ke tangga yang menempel pada dinding itu,
lalu menyuruhnya naik lebih dulu. Sementara Jeannie mengikutinya dari
belakang, pintu ruangan itu didobrak orang. Seorang petugas pemadam
kebakaran masuk bersama kepulan asap tebal. Air mengalir deras di sekitar
kakinya, la tampak terkejut melihat mereka. “Kami tidak apa-apa, kami akan
keluar melalui jalan ini,” teriak Jeannie ke arahnya. Kemudian ia naik ke atas,
menyusul Lisa.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di luar, menghirup udara bersih.
Jeannie merasa lemas, tapi juga lega; ia berhasil menyelamatkan Lisa dari api.
Tapi kini Lisa membutuhkan pertolongan. Jeannie melingkarkan lengan di bahu
temannya, lalu mengajaknya ke bagian muka gedung. Di mana-mana kendaraan
urut pemadam kebakaran dan mobil-mobil polisi malang melintang. Hampir
semua wanita di dalam kerumunan itu kini sudah mengenakan sesuatu untuk
menutupi ketelanjangan mereka, dan Lisa jadi tampak mengundang perhatian
dengan pakaian dalamnya yang berwarna merah. “Ada yang punya celana
46
panjang lebih atau apa saja?” tanya Jeannie dalam nada memohon saat mereka
mulai menerobos kerumunan orang. Rupanya semua sudah memberikan apa
yang bisa mereka berikan kepada yang lain. Jeannie ingin memberikan baju
kausnya pada Lisa, tapi ia sedang tidak memakai BH.
“Aku akan ingat itu,” ujar Jeannie dengan penuh rasa terima kasih.
Lisa mengenakan kemeja itu. Karena postur tubuhnya pendek, kemeja itu
mencapai lututnya.
Jeannie merasa mulai dapat menguasai keadaan yang serba mengenaskan itu. Ia
menggiring Lisa ke sebuah mobil unit gawat darurat. Tiga orang polisi sedang
bersandar pada kendaraan mereka, tidak melakukan apa apa. Jeannie
menghampiri yang tertua, seorang laki-laki kulit putih yang gemuk dengan
kumis keabuan. “Wanita ini bernama Lisa Hoxton. Dan dia baru saja diperkosa.”
“Di basement bangunan yang terbakar, di ruang mesin kolam renang di bagian
belakang.”
Salah seorang di antara mereka, seorang anak muda kulit hitam, berkata, “Para
petugas pemadam kebakaran mungkin sedang membilas bukti-buktinya
sekarang. Sersan.”
47
“Kau benar,” sahut si sersan. “Sebaiknya kau ke sana. Lenny, dan amankan
lokasi tindak kejahatan itu.” Lenny bergegas pergi. Si sersan berpaling ke arah
Lisa. “Anda kenal laki-laki yang melakukan ini atas diri Anda, Ms. Hoxton?”
tanyanya.
Lisa menggeleng.
Jeannie berkata, “Dia seorang laki-laki kulit putih yang memakai topi pet
baseball merah dengan tulisan SEKURITI di bagian depannya. Aku melihatnya
di ruang ganti wanita begitu kebakaran itu terjadi, dan kukira aku baru saja
melihatnya lari menjauh sebelum aku menemukan Lisa.”
McHcnty adalah seorang anak muda kulit putih berkacamata, la berkata kepada
Lisa, “Anda mau duduk di depan atau di belakang?”
Rasa cemas membayang di wajah Lisa, dan akhirnya ia berkata, “Kau tidak
ikut?”
“Aku akan ikut kalau kau mau aku ikut,” ujar Jeannie untuk menenteramkan
hatinya. “Atau aku bisa mampir sebentar di apartemenku, mengambilkan
pakaian untukmu, lalu aku akan menemuimu di rumah sakit.”
48
“Aku akan menyusulmu di sana,” seru Jeannie melalui jendela kaca, sementara
mobil itu melesat pergi.
Jeannie berlari kecil ke arah pelataran parkir fakultas. Ia mulai menyesal kenapa
ia tidak ikut untuk menemani Lisa. Lisa betul-betul ketakutan dan tampak tidak
keruan saat meninggalkan tempat itu. Tentu saja ia membutuhkan pakaian
bersih, tapi yang lebih ia butuhkan saat itu mungkin seorang teman wanita untuk
mendampingi, menggenggam tangannya, serta membesarkan hatinya. Sangat
berat baginya ditinggal sendirian bersama seorang laki-laki macho yang
menyandang pistol. Saat melompat ke dalam mobilnya, Jeannie merasa ia telah
membuat kesalahan besar. “Ya Tuhan, ini benar-benar hari yang berat.” ujarnya
sambil meninggalkan tempat parkir itu.
Jeannie tinggal tidak jauh dari kampus. Apartemennya terletak di lantai atas
sebuah rumah kopel kecil. Jeannie memarkir mobilnya, lalu bergegas lari ke
dalam.
49
marah. Selama ini Lisa adalah gadis berpembawaan riang dan suka bicara,
namun guncangan dan kejadian mengerikan itu telah mengubahnya jadi seperti
zombie yang takut masuk ke dalam sebuah mobil polisi sendirian.
Saat melintasi sebuah pusat perbelanjaan, Jeannie mulai memasang mata. kalau-
kalau laki-laki dalam topi pet merah itu terlihat lagi. Kalau melihatnya, ia akan
membanting kemudi ke arah trotoar untuk menabraknya. Tapi ia tidak akan
dapat mengenalinya. Tentunya laki-laki itu lelah melepaskan penutup wajahnya,
dan mungkin bahkan topinya. Apa lagi yang dikenakannya tadi? Ia merasa
tercengang menyadari bahwa ia hampir tidak dapat mengingatnya lagi. Semacam
baju kaus, ujarnya pada dirinya, dengan celana blue jeans atau mungkin celana
pendek. Biar bagaimanapun, kemungkinan besar laki-laki itu sudah ganti
pakaian sekarang, seperti halnya dirinya.
Malah orangnya bisa siapa saja yang bertubuh tinggi dan berkulit putih: anak
muda pengantar piza yang mengenakan seragam merah itu; atau si botak yang
sedang berjalan kaki ke gereja bersama istrinya, dengan buku kidung dalam
genggaman masing-masing; atan si tampan bercambang yang sedang menjinjing
kotak gitarnya; atau bahkan polisi yang sedang berbicara dengan seorang
gelandangan di luar sebuah toko minuman keras. Tidak ada yang dapat
dilakukan Jeannie saat itu untuk melampiaskan amarahnya, selain
mencengkeram kemudi mobilnya sekuat tenaga, sehingga buku-buku jarinya
memutih.
Santa Teresa adalah rumah sakit pinggiran yang besar di sebelah utara, dekat
perbatasan kota. Jeannie meninggalkan mobilnya di pelataran parkir, lalu segera
menuju bagian perawatan gawat darurat. Lisa sudah berbaring di tempat tidur,
dalam pakaian rumah sakit, menerawangi kejauhan Sebuah pesawat TV yang
suaranya
50
dimatikan sedang menayangkan acara pemberian penghargaan Emmy: ratusan
selebriti Hollywood dalam pakaian malam, minum-minum sampanye sambil
saling memberikan selamat. McHenty duduk di samping tempat tidur dengan
sebuah buku notes di atas lututnya.
Lisa tidak menjawab dan wajahnya masih tetap tanpa ekspresi, la masih
terguncang, ujar Jeannie pada dirinya. Ia sedang menekan perasaannya, berjuang
agar tetap dapat mengendalikan diri. Tapi ia toh harus menemukan cara untuk
melampiaskan amarahnya. Perluapan itu akan terjadi, cepat atau lambat.
McHenty berkata, “Aku harus mendapatkan beberapa detail mengenai kasus ini,
Miss. Kalau Anda tidak berkeberatan untuk meninggalkan kami berdua selama
beberapa saat lagi?”
“Oh, tentu,” ujar Jeannie dalam nada meminta maaf. Tapi kemudian ia melihat
wajah Lisa. Untuk sesaat ia terenyak. Beberapa menit yang lalu, ia mengumpati
dirinya karena telah meninggalkan Lisa sendirian dengan seorang laki-laki. Kini
ia hampir melakukan hal yang sama. “Tapi.” ujarnya, “mungkin Lisa lebih suka
aku menemaninya di sini.” Instingnya ternyata dikonfirmasi oleh anggukan
lemah1 Lisa. Jeannie duduk di tempat tidur itu, lalu menggenggam tangan Lisa.
“Sekali, sewaktu dia mengempaskan tubuhku ke lantai,” jawab Lisa dalam suara
rendah. “Kemudian dia mengeluarkan sebilah pisau.”
51
“Jadi, kau hampir tidak berusaha melawan setelah jeritau pertama itu?”
“Tidak.”
“Ya.”
52
“Kalau begitu, katakan saja bahwa dia mengalami luka dalam yang diakibatkan
oleh peristiwa pemerkosaan itu.”
“Dan aku meminta padamu untuk tidak merongrongnya. Bung,” ujar Jeannie
sambil berusaha mengendalikan diri agar tidak meninggikan suaranya. ‘Temanku
ini sedang stres dan kukira dia tidak perlu mendeskripsikan luka-luka dalamnya
kepadamu, sementara dia akan diperiksa oleh seorang dokter sebentar lagi.”
Jeannie berkata, “Kalau aku melaporkan bahwa mobil Mercedes merahku dicuri,
apakah kau akan menanyakan padaku apakah aku memprovokasi terjadinya
pencurian itu dengan mengemudikan sebuah mobil yang demikian menariknya?”
“Belum.”
“Tapi kabut asap tentunya mempersulitmu untuk dapat melihat jelas. Dan dia
memakai semacam syal untuk menutupi wajahnya.”
“Pada awalnya aku memang tidak bisa melihat apa-apa. Tapi tidak begitu banyak
asap di tempat… dia melakukan itu. Aku melihat tampangnya.” Lisa
mengangguk. “Aku melihat tampangnya.”
53
“Jadi, kau akan mengenalinya begitu kau melihatnya* lagi?”
Tubuh Lisa menggigil. “Ya, tentu.” “Tapi kau belum pernah melihatnya
sebelumnya, misalnya di bar atau tempat lain?” “Betul.”
“Lisa kan tidak sedang disidang? Dia bukan si calon tersangka! Dia korbannya!”
Jeannie berdiri. “Oke, sekarang cukup. Tidak kusangka akan sampai begini. Kau
tidak berhak mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini.”
“Satu jam setelah dia menjadi korban suatu tindakan kekerasan? Lupakan itu!”
“Rupanya kau tidak tahu, apa sebetulnya tugasmu. Rupanya kau memang benar-
benar tidak becus, McHenty.”
Sebelum laki-laki itu dapat menjawab, seorang dokter memasuki ruangan itu
tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia masih muda dan tampak tegang dan
kecapekan. ‘Tnt yang diperkosa?” tanyanya.
“Ini Ms. Lisa Hoxton,” ujar Jeannie dalam nada dingin. “Dan ya, dia baru saja
diperkosa.”
Pembawaannya sama sekali tidak simpatik, tapi setidaknya sekarang ada alasan
untuk meminta McHenty
54
keluar dari tempat ini. Jeannie mengalihkan pandang ke arah petugas dari dinas
kepolisian itu. Laki-laki itu tidak bergeming, seakan ia menganggap tugasnya
adalah menyelia seluruh proses itu. Jeannie berkata, “Sebelum Anda melakukan
itu, Dokter, bagaimana kalau Opsir McHenty meninggalkan ruangan ini terlebih
dahulu?**
Si dokter terdiam, menoleh ke arah McHenty. Si polisi angkat bahu, lalu keluar.
Tiba-tiba dokter itu merenggut lembaran seprai yang menutupi tubuh Lisa.
**Angkat bajumu dan pentangkan kakimu,’* perintahnya.
Jeannie hampir tak percaya mendengar perintah si dokter. Ada apa sebetulnya
dengan orang-orang ini? “Maaf, Dokter,” ujarnya.
Wajah si dokter memerah. “Rumah sakit ini penuh dengan pasien-pasien yang
mengalami berbagai macam trauma, entah karena kecelakaan atau penyakit
serius,” ujarnya. * Saat ini di ruang gawat darurat ada tiga anak kecil yang baru
saja mengalami kecelakaan mobil, dan mereka semua dalam keadaan sekarat.
Dan Anda menuntutku untuk berlaku lebih sopan kepada seorang cewek yang
tidur dengan laki-laki yang salah?”
”Sepertinya itu ide yang baik,” sahut Jeannie. Ia membuka tas kainnya, lalu
mulai menggelar pakaian-pakaiannya di tempat tidur.
Jeannie dan Lisa saling pandang. “Aku benar-benar tak percaya ini akan terjadi,”
ujar Jeannie.
“Untung mereka sudah pergi,” ujar Lisa sambil turun dari tempat tidur.
Jeannie membantu Lisa melepaskan pakaian rumah sakit itu. Setelah Lisa cepat-
cepat mengenakan pakaian dan sepatunya, Jeannie berkata, “Kuantar kau
pulang.”
“Kau mau menginap di apartemenku’/” tanya Lisa. “Aku tak ingin sendirian
malam ini.”
Dalam nada tenang Jeannie menjawab, “Kami mau pulang,” ujarnya. “Lisa
masih terlalu terguncang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sekarang.”
Tampak si polisi berubah menjadi cemai. “Tapi dia tidak punya pilihan lain.”
ujarnya. “Dia sudah kepalang mengajukan pengaduan.”
Lisa berkata, “Aku tidak diperkosa. Ada kekeliruan. Aku cuma mau pulang
sekarang.”
Dengan marah Jeannie berkata. “Wanita itu bukan pelaku tindak kriminal—dia
sudah menjadi korban suatu tindak kriminal. Kalau alasanmu menanyakan
kenapa dia menarik pengaduannya, katakan padanya bahwa alasannya adalah
karena dia mendapatkan perlakukan brutal dari Opsir McHenty dari Dinas
Kepolisian Baltimore. Sekarang aku akan mengantarnya pulang. Permisi.”
Sesudah itu ia merangkul pundak Lisa dan menggiringnya melewati si polisi, ke
arah pintu keluar.
Saat mereka melangkah pergi, ia mendengar laki-laki itu bergumam. “Apa
salahku?”
BAB 3
Preston Barck berkata, “Sejak dulu memang bukan uang yang kita kejar,
bukan?”
Ketiga lak laki itu adalah pemilik sebuah perusahaan bioteknologi pribadi yang
kecil, Genetico Inc. Preston yang mengelola bisnis itu dari hari ke hari, Jim
berke cimpung dalam politik, dan Berrington adalah seorang akademikus.
Namun proses akuisisi itu merupakan proyek utama Berrington. Dalam sebuah
pesawat menuju San Francisco, Berrington bertemu dengan Presiden
Mereka berada di ruang duduk sebuah rumah di Roland Park, daerah hunian
bergengsi di Baltimore. Rumah itu milik Jones Falls University untuk
dipinjamkan kepada profesor-profesor yang sedang melakukan kunjungan kerja.
Berrington, yang menduduki jabatan profesor di Berkeley, California, di
Harvard, dan di Jones Falls, menggunakan rumah itu enam minggu setahun
selama ia berada di Baltimore. Di sana-sini ada beberapa barang pribadinya:
sebuah komputer lapwp. foto mantan istrinya bersama putra mereka, dan
setumpuk buku terbitannya yang terakhir. To Inherit the Future: How Genetic
Will Transform America—Untuk Mewarisi Masa Depan: Bagaimana Rekayasa
Genetika Dapat Mengubah Amerika.
Preston adalah seorang laki-laki kurus yang amat serius. Meskipun ia salah
seorang ilmuwan paling terkemuka dalam angkatannya, tampangnya lebih mirip
seorang akuntan. “Klinik-klinik itu selalu menghasilkan uang,” ujar Preston.
Genetico memiliki tiga klinik fertilitas yang secara khusus memperdalam proses
pembuahan in vitro—proyek bayi tabung—prosedur ini dimungkinkan oleh riset
yang pernah dilakukan Preston pada tahun tujuh puluhan. “Fertilitas merupakan
bidang yang paling cepat berkembang dalam dunia medis di Amerika. Genetico
akan menjadi sarana Landsmann untuk terjun ke dalam pasaran baru yang amat
luas ini. Mereka ingin kita membuka lima klinik baru setiap tahun, selama
sepuluh tahun mendatang.”
Jim Proust adalah seorang laki-laki botak dengan kulit kecokelatan, hidung
besar, dan kacamata tebal.
58
Garis wajahnya yang kuat tapi tidak bagus merupakan bulan-bulanan para
kartunis politik, la dan Berrington sudah berteman dan menjadi kolega selama
dua puluh lima tahun. “Kenapa kita tidak pernah sampai melihat uangnya?”
tanya Jim.
“Uang itu selalu kami habiskan untuk riset” Genetico memiliki laboratorium-
laboratorium sendiri, serta membuat kontrak riset dengan fakultas-fakultas
biologi dan psikologi dari berbagai universitas. Bening ton-1 ah yang membina
hubungan perusahaan dengan dunia akademis.
Dalam nada putus asa, Berrington berkata, “Aku tidak mengerti, kenapa kalian
berdua tidak bisa melihat bahwa ini merupakan kesempatan besar untuk kita.”
Acara pemberian penghargaan Emmy sudah digantikan oleh Larry King Live,
dan Berrington tampil sebagai tamu. Berrington sama sekali tidak menyukai
Larry King—laki-laki itu terlalu liberal, menurut pendapatnya—namun
penampilan ini merupakan kesempatan baginya untuk berbicara pada jutaan
rakyat Amerika.
la menatap sosoknya di televisi, dan merasa senang. Sebetulnya postur tubuhnya
pendek, tapi kamera televisi telah membuat semua tampil sama tinggi.
Setelannya yang berwarna biru laut tampak rapi. kemeja biru langitnya senada
dengan warna matanya, dan dasinya yang berwarna merah anggur tidak
kelihatan norak di layar. Setelah menilai secara lebih kritis, ja menganggap
rambutnya yang keperakan «edikit terlalu rapi, nyaris tidak alami; gawatnya
malah hampir seperti seorang penginjil televisi.
King, yang seperti biasa selalu mengenakan bretel, sedang cenderung bersikap
agresif. Suaranya yang datar bernada menantang. “Profesor, Anda kembali
menimbulkan kehebohan dengan buku Anda yang terakhir, namun banyak yang
beranggapan bahwa motivasi Anda tidak
59
Dr layar TV, Larry King berkata, “Kalau teori Anda diikuti, apa yang akan
terjadi pada anak-anak orang miskin? Mereka akan dibiarkan kelaparan, bukan?”
Nyatanya memang bisa dibilang begitu. Ayahnya, seorang insinyur yang brilian,
telah meninggalkan ibunya dengan tunjangan kecil, sehingga ibunya tidak
terpaksa harus bekerja atau menikah lagi. Ia berhasil mengirim Berrington ke
sekolah-sekolah swasta yang mahal, dan kemudian ke Harvard—tapi itu toh
merupakan perjuangan.
60
Di layar, Larry King berkata, “Secara falsafah, apa beda pandangan Anda
dengan mereka dari kelompok, katakanlah, Nazi?*’
Preston berkata. “Toh ada. Soal genetika dan ras kaujadikan isu. Kau terlalu
terburu-buru.”
Jim berkata, “Ucapannya benar, Preston. Kau masih ingat situasinya sewaktu
kita masih muda? Begitu kita membuka mata, akan tampak betapa kacaunya
Amerika ketika itu: hak asasi bagi orang-orang negro, orang-orang Meksiko
mengalir masuk, sekolah-sekolah terbaik didominasi oleh anak-anak Yahudi
yang berpandangan komunis, anak-anak kita sendiri mengisap ganja dan
mengelak wajib militer. Dan, wauw, ternyata apa yang sudah kita prakirakan itu
benar! Coba lihat apa yang terjadi kemudian! Tidak pernah terlintas dalam
bayangan kita bahwa obat-obat terlarang akan menjadi salah satu tonggak
industri paling vital di negeri ini, dan bahwa sepertiga dari jumlah bayi-bayi
akan lahir dari ibu-ibu yang dibantu program Medicaid. Dan ternyata hanya
kitalah yang memiliki keberanian untuk menghadapi masalah itu—kita serta
beberapa gelintir individu yang
61
Mereka masih tetap seperti dulu, ujar Berrington pada dirinya. Sejak dulu
Preston selalu amat hati-hati dan agak penakut, sedangkan Jim sedikit terlalu
percaya diri. la sudah mengenal mereka begitu lama, sehingga ia dapat
menerima ketidaksempurnaan mereka dengan dada lapang, setidaknya begitulah
biasanya. Dan ia sudah terbiasa dengan perannya sebagai si moderator yang
mengarahkan mereka sebagai penengah.
Preston berkata lagi, “Kami sudah melewati fase yang disebut tahap akhir. Kita
harus membuka buku-buku kita di hadapan akuntan akuntan Landsmann, dan
mengungkapkan segala sesuatu yang mungkin mempengaruhi keuntungan
mereka di masa mendalang, seperti utang-piutang dan perkara-perkara hukum
yang masih dalam proses penyelesaian.”
Preston menatapnya dengan serius. “Kita semua tahu bahwa perusahaan ini
memiliki hal-hal yang sebaiknya disembunyikan.”
Untuk sesaat suasana di dalam ruangan itu hening. Kemudian Jim berkata, “Gila,
tapi itu kan sudah lama sekali.”
“Lalu? Akibat dari apa yang pernah kita lakukan dulu itu masih berkeliaran di
luar sana.”
62
“Tapi dari mana Landsman akan tahu mengenai itu— khususnya dalam waktu
satu minggu ini?”
“Kita harus berani mengambil risiko itu,” ujar Berrington dalam nada tegas.
“Suntikan dana yang bakal kita peroleh dari Landsmann akan memungkinkan
kita meningkatkan program riset. Dalam beberapa tahun lagi kita akan mampu
menawarkan bayi-bayi yang sempurna, hasil rekayasa genetika, kepada
masyarakat terkemuka kulit putih Amerika yang datang ke klinik kita.”
“Tapi seberapa jauh relevansinya nanti?” tanya Preston. “Mereka yang miskin
akan terus beranak lebih cepat daripada yang kaya.”
“Tapi apa yang telah kita lakukan itu benar!” ujar Berrington.
““Memang. Tapi semakin tua, semakin sering terpintas di dalam diriku bahwa
entah dengan cara bagaimana, dunia ini akan terus bergulir, meski seandainya
aku tidak pernah mencapai apa yang kurencanakan ketika aku berusia dua puluh
lima tahun.”
Arah percakapan ini bisa menggagalkan seluruh transaksi. “Tapi kita bisa
mencapai apa yang pernah kita rencanakan,” ujar Berrington. “Segala upaya kita
selama tiga puluh tahun terakhir ini akun segera membuahkan hasil. Risiko yang
kita ambil dulu. waktu bertahun—
63
tahun dan uang yang kita habiskan untuk riset itu— akhirnya ternyata tidak sia-
sia. Jangan senewen dulu, Preston!”
“Aku sama sekali tidak senewen. Aku cuma mengemukakan suatu masalah yang
praktis dan nyata,” sahut Preston. “Jim boleh saja mengajukan program
politiknya, tapi itu kan tidak menjamin pelaksanaannya.”
“Di situlah Landsmann berperan,” ujar Jim. “Dana yang kita dapatkan dari
penjualan saham-saham kita dalam perusahaan akan memberikan peluang untuk
mencapai sasaran paling tinggi dari yang ada.”
“Gedung Putih,” ujar Jim. “Aku akan mencalonkan diriku dalam pemilihan
presiden.”
64
BAB 4
Ia keluar dari mobilnya, menjinjing sebuah las olahraga kecil berisi pakaian
bersih untuk keesokan harinya. Udara malam itu panas. Ia mengunci mobilnya,
lalu melangkah ke arah ujung jalan. Sekelompok anak muda, empat atau lima
orang cowok dan seorang cewek, semua
65
Seorang wanita hitam yang sangat jangkung berjalan ke arahnya, dalam rok amat
pendek dan sepatu tumit tinggi, rambut ditata ke atas, lipstik merah manyala, dan
perona mata berwarna biru Mau tak mau Steve jadi memandanginya. Saat
mereka berpapasan, wanita itu berkata. “Hai, cakep,” dalam suara maskulin yang
dalam. Steve menyadari bahwa ia seorang laki-laki, dan tersenyum sambil terus
melangkah.
“Halo, anak-anak.”
Ucapan itu nyaris tidak terdengar, tapi telinga si petugas patroli rupanya tajam
sekali, la segera mencengkeram lengan Dorothy, lalu mengentakkan tubuhnya
66
“Ada apa sih. Bung?” ujar Dorothy dalam nada merayu. “Apakah aku
mengganggui”
“Aku bilang tidak bisa, Opsir. Lepaskan orang itu.” Tinggalkan tempat ini,
Steve. Jangan konyol. Ayo.
Sikapnya membuat anak-anak muda yang masih berada di situ4 menjadi lebih
berani. “Yeah. betul.” seru seorang bocah jangkung bertubuh ceking, yang
kepalanya dicukur gundul. “Kau tidak berhak mengusik Dorothy. Dia tidak
melanggar apa-apa.”
67
Rekan si petugas berseru, “Hey, Lenny. Sudahlah. Ayo kita jalan.’* Tampangnya
agak gelisah.
Lenny tidak menghiraukan panggilan itu dan berkata kepada Steve, “Kau tidak
lihat? Kau satu-satunya yang berkulit putih di sini. Tempatmu bukan di sini.**
Si petugas merapat. “Kau mau ikut ke kantor polisi?” tantangnya. “Atau kau
lebih suka segera pergi dari sini?”
Steve tidak ingin ikut ke kantor polisi. Tidak akan sulit bagi mereka untuk
menyusupkan sedikit obat bius ke dalam saku-sakunya, .atau menggebukinya
dengan alasan ia melawan saat akan ditahan. Steve sedang kuliah di fakultas
hukum; kalau ia sampai dituduh terlibat dalam suatu tindak kejahatan, ia tidak
akan pernah bisa praktek kelak. Ia mulai menyesali ulah gegabahnya. Tak ada
gunanya membuang seluruh masa depannya hanya gara-gara seorang petugas
patroli menteror seorang banci.
Tapi situasinya tidak benar. Kini dua orang yang sedang kena teror, Dorothy dan
Steve. Si petugas itulah yang melakukan pelanggaran. Steve masih belum rela
untuk segera beranjak dan tempat itu
Dalam nada mengajak berdamai, ia berkata, “Aku tidak ingin membuat masalah,
Lenny,” ujarnya. “Bagaimana kalau kanbiarkan Dorothy pergi, dan aku
melupakan bahwa aku sudah melihatmu menyerang dia.”
Satu ayunan tinju ke arah perutnya dan hantaman mantap ke arah kepalanya.
Satu demi uangnya, yang
68
kedua sekadar iseng. Dia bakal ambruk seperti seekor kuda yang kakinya cedera.
“Cuma usul saja.*’ Rupanya petugas ini ingin membuat [ masalah. Steve tidak
melihat peluang yang dapat mencairkan situasi. Andai kata Dorothy diam-diam
menyelinap pergi sekarang, mumpung Lenny sedang memunggunginya; tapi si
banci rupanya memilih untuk tetap berdiri di situ, menonton, sambil mengusap-
usap perutnya yang memar, menikmati amarah si petugas patroli.
Rupanya mereka sedang bernasib baik. Pesawat radio di dalam mobil patroli itu
tiba-tiba berbunyi. Kedua petugas itu terenyak, memasang telinga. Steve tidak
dapat menangkap arti runtunan kata dan kode-kode itu, namun rekan si Lenny
berkata, “Ada masalah. Ayo kita berangkat.”
Lenny tampak ragu. Matanya masih tertuju ke arah Steve, namun Steve yakin ia
melihat secercah kelegaan membayang di matanya. Mungkin ia sendiri merasa
diselamatkan dari situasi yang tidak mengenakkan ini. Namun nadanya sama
sekali tidak ramah. “Ingat aku,” ujarnya kepada Steve. “Karena aku tidak akan
melupakan tampangmu.” Setelah mengatakan itu, ia melompat ke dalam
kendaraannya, lalu membanting pintunya. Mobil patroli itu segera melesat pergi.
Anak-anak muda itu bertepuk tangan sambil bersorak sorai.
“Whew,” ujar Steve sambil menarik napas lega. “Benar-benar tidak lucu.”
Dan konyol. Kau tahu apa yang sebetulnya bisa terjadi. Kau tahu bagaimana
sifatmu.
Pada saat itulah sepupunya, Ricky, muncul. “Apa yang terjadi?” tanya Ricky
sambil menoleh ke arah mobil patroli yang mulai menghilang dari pandangan.
69
Steve merasa rikuh. “Ah, sudahlah.” “Pokoknya kalau kau pas lagi kepingin
bertualang, John Wayne, carilah aku. Pokoknya semua gratis.” “Trims….”
“Sebetulnya aku ingin menciummu, tapi kulihat kau pemalu, jadi sebaiknya aku
cuma bilang sampai ketemu.” la melambaikan jari-jarinya yang berkuku merah,
lalu memutar tubuhnya.
“Byet Dorothy.”
Ricky dan Steve menuju ke arah berlawanan. Ricky berkata, “Rupanya kan
sudah punya kenalan sekarang di sini.”
Steve tertawa, lebih karena merasa lega. “Aku nyaris dapat masalah,” ujarnya.
“Seorang polisi konyol menghajar cowok yang pakai rok itu, dan entah kenapa
aku mencoba menghentikannya.”
Mereka sampai di rumah Ricky, lalu masuk. Tempat itu bau keju, atau mungkin
susu yang sudah busuk. Ada tulisan-tulisan pada dinding-dindingnya yang dicat
hijau. Mereka menyelinap di antara beberapa sepeda yang dirantai di lorongnya,
lalu menaiki tangga. Steve berkata, “Aku jadi panas. Buat apa Dorothy kena
tinju di perutnya? Dia suka dandan dan memakai rok mini; lalu kenapa?”
“Kau benar.”
“Lalu apa hak Lenny melakukan itu? Mentang-mentang dia memakai seragam
polisi. Seharusnya mereka mempunyai norma-norma yang lebih tinggi, karena
fasilitas yang mereka dapatkan.”
“Maunya.”
70
“Casanova, mungkin.”
“Ralph Nader. Dia seorang pengacara. Dia panutanku Dia selalu menangani
kasus-kasus paling berat di Amerika—dan biasanya menang!”
“Ah.”
Kamar Ricky kecil dan penuh dengan entah apa. Ada sebuah tempat tidur
sempit, sebuah meja tulis reot, sebuah sofa yang sudah amblas, dan sebuah
pesawat televisi besar. Di dindingnya terdapat poster seorang wanita telanjang
yang setiap tulangnya ditandai dengan istilah anatominya. Selain itu masih ada
sebuah AC yang tampaknya sudah tidak berfungsi lagi. Steve duduk di sofa.
“Kencanmu sukses?” “Tidak begitu.” Ricky mengisi sebuah ketel dengan air.
“Melisa sih oke, sebetulnya, tapi aku nggak akan pulang sepagi ini kalau dia
naksir aku seperti yang kubayangkan. Bagaimana dengan kau?*’
“Aku jalan-jalan keliling kampus Jones Falls. Asyik juga. Aku ketemu seorang
cewek.” Begitu teringat, wajahnya menjadi terang. “Aku melihatnya main tenis.
Dia benar-benar bukan main—tinggi, berotot, gesit. Serve-nya seperti tembakan
senapan bazooka. Benar.”
“Aku nggak pernah dengar ada orang naksir cewek gara-gara permainan
tenisnya.” Ricky tertawa. “Tampangnya bagaimana?”
71
Ricky menuang kopinya. “Mungkin itu ada baiknya. Kau sudah punya pacar,
kan?”
“Bisa dibilang begitu.” Steve merasa sedikit bersalah, karena begitu tertarik pada
si pemain tenis itu. “Namanya Celine,” ujarnya. Kami belajar sama-sama.” Steve
kuliah di Washington DC
“Tidak.”
“Kenapa?”
Ricky tampak tercengang. “Aku nggak ngerti. Kau mesti merasa harus dulu
sebelum meniduri seorang
cewek?”
“Ya.”
“Aku dua puluh lima, tapi rupanya aku belum sedewasa kau.”
Steve menangkap nada yang kurang enak. “Hei, ini bukan kritik, oke?”
“Oke.” Rupanya Ricky tidak terlalu tersinggung. “Lalu apa yang kaulakukan,
setelah dia menolakmu?”
“Pergi ke sebuah bar di Charles Village, lalu minum beberapa gelas bir dan
makan hamburger.”
72
Ricky membuka lemari. “Boo Berry, Rice Krispies, atau Count Chocula.”
“Wauw. Count Chocula boleh juga.” Ricky mengeluarkan dua buah mangkuk,
meletakkan susu di meja, lalu mereka berdua mulai asyik makan.
“Nggak tahu. Mereka bilang aku unik, dan mereka akan menjelaskannya secara
lebih rinci begitu aku bertemu dengan mereka.”
“Aku kepingin menjadi ahli bedah kondang dan menghasilkan jutaan dolar
setahun dengan melakukan imp lantasi payudara. Kukira aku tipe laki-laki
sederhana.”
Ricky tertawa. “Tidak, Steve. Tidak pernah. Aku memang tidak seperti kau. Kau
memang lebih serius. Bahkan sejak kita masih kecil, kau sudah mempertanyakan
tentang Tuhan dan entah apa lagi.”
73
Nyatanya memang begitu. Steve pernah melalui periode ketika soal keagamaan
amat berarti baginya, sewaktu ia berusia sekitar tiga belas tahun. Ia mengunjungi
beberapa macam gereja, sebuah sinagoga, dan sebuah mesjid, dan secara serius
bertanya kepada para ulamanya mengenai kepercayaan mereka masing-masing.
Dan itu sempat membuat tertegun kedua orangtuanya, yang sama-sama penganut
faham agnostis—yang menerima keberadaan Tuhan tanpa mempertanyakan apa-
apa.
‘Tapi dari dulu kau memang agak lain,” lanjut Ricky. “Sejauh ini aku tidak
pernah mengenal seorang pun yang dapat mencapai nilai nilai setinggi yang
kauperoleh tanpa harus memeras otak.”
Dan itu juga benar. Dengan mudah Steve menguasai pelajarannya; tanpa usaha
keras ia menjadi juara kelas, kecuali setelah ia diledek oleh anak-anak lain dan
dengan sengaja membuat kesalahan-kesalahan supaya nilai-nilainya tidak tedalu
mencolok.
Tapi masih ada alasan lain yang ia pertanyakan mengenai dirinya sendiri. Ricky
tidak tahu mengenai itu. Dan tidak seorang pun di fakultasnya tahu. Hanya
orangtuanya yang tahu.
Jaket itu amat berarti bagi Steve. Ia telah menabung uang perolehannya dengan
bekerja setiap hari Sabtu di McDonald’s, dan baru saja membeli benda sial itu
pada hari sebelumnya. Bahannya jatuhnya enak, terbuat dari kulit lembut
berwarna seperti mentega, dan kini ada noda bekas terbakar di bagian dadanya,
yang mau tidak mau pasti terlihat. Jaket itu cacat sekarang. Karena itulah Steve
melabrak anak muda itu.
Ternyata Tip tidak mati ketika itu. Ia mati dua tahun sesudah peristiwa itu
dibunuh oleh seorang pemasok marijuana dari Jamaica, kepada siapa ia berutang
delapan puluh lima dolar. Namun Steve sudah berniat membunuhnya, sudah
mencoba membunuhnya. Ia tidak dapat menyangkal itu; ia telah mengawali
perkelahian itu, dan meskipun Tip-lah yang sebetulnya memungut linggis itu,
Steve telah menggunakannya secara membabi buta.
Steve sempat dituntut hukuman penjara selama enam
75
76
SENIN
(I i-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh:
BAB 5
Kau pernah bertemu dengan seorang laki-laki yang ingin kaunikahi?” tanya Lisa.
Mereka sedang duduk di dalam apartemen Lisa, sambil minum-minum kopi
instan. Segala sesuatu di tempat itu berkesan manis, seperti Lisa: corak bunga-
bunga, pernak-pernik dari porselen, sebuah boneka beruang dengan pita
berbintik-bintik.
Lisa berniat mengambil cuti hari itu, tapi Jeannie sudah mengenakan pakaian
kerjanya yang berupa rok biru laut dan blus putih dari bahan katun. Hari ini hari
yang penting baginya, dan ia merasa tegang menghadapinya. Subjeknya yang
pertama akan muncul di laboratorium untuk menjalani beberapa tes. Apakah
laki-laki ini akan memenuhi kriteria-kriteria dalam teorinya atau tidak?
Menjelang sore ini, ia akan tahu apakah teorinya benar atau ia terpaksa
menjajaki kembali ide-idenya.
Namun ia tidak ingin berangkat kalau belum terlalu perlu. Lisa masih amat
rapuh. Jeannie menganggap hal terbaik yang dapat ia lakukan adalah duduk dan
mengajaknya mengobrol mengenai laki-laki dan seks, seperti yang biasanya
mereka -lakukan untuk membantunya secepat mungkin kembali pada kehidupan
normal. Sebe—
79
tulnya ia ingin menemani Lisa di situ sepanjang pagi, tapi sayang tidak bisa. Ia
menyayangkan bahwa Lisa tidak masuk kerja untuk membantunya di
laboratorium hari itu, tapi itu memang tak mungkin.
“Yeah, sekali,” ujar Jeannie. sebagai jawaban atas pertanyaan Lisa. “Pernah ada
seorang cowok yang ingin kunikahi. Namanya Will Temple. Dia pakar
antropologi. Sampai sekarang.” Jeannie dapat membayangkan tampangnya
sekarang. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan cambang pirang,
mengenakan celana blue jeans dan baju kaus, seperti seorang nelayan, naik
sepeda berperseneling sepuluh, menelusuri lorong-lorong universitas.
“Kau pernah sebut namanya,” ujar Lisa. “Seperti apa sih dia?”
Jeannie benar-benar tak ingin membayangkan tampang Georgina. Tapi hal ini
akan mengalihkan perhatian Lisa dari peristiwa pemerkosaan itu, karenanya ia
memaksa dirinya untuk mengingat-ingat kembali. “Pokoknya dia sempurna,”
ujarnya. Ia tidak menyukai nada sarkastis dalam suaranya sendiri. “Rambut
pirang kemerahan, lekuk tubuhnya seperti gitar, seleranya tidak tercela, gemar
mengenakan baju-baju kaus dari bahan kasmir dan sepatu kulit buaya. Nggak
punya otak, tapi punya uang banyak.”
80
“Mungkin ada baiknya kita kembali ke zaman Victoria, ketika seorang laki-laki
yang mencium seorang wanita akan menganggap dirinya tunangannya.
Setidaknya kaum cewek jadi tahu posisi mereka.”
Saat ini persepsi Lisa mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan amat
sensitif, tapi Jeannie tidak mengomentarinya. Malab ia bertanya, “Bagaimana
dengan kau? Apa kau pernah bertemu dengan seseorang yang ingin kaunikahi?”
“‘Kita memang bukan tipe yang suka gegabah. Jangan khawatir, begitu Mr.
Jodoh muncul, dia akan ideal sekali.”
81”
Ia masih dalam keadaan sangat tegang. “Biar aku yang bersihkan pecahannya,”
ujar Jeannie dalam nada menenangkan. “Coba kaulihat, ada siapa di pintu.”
I jsa meraih gagang pesawat teleponnya. Alis matanya tampak mengerut saat ia
mengawasi layar monitornya. “Oke,” ujarnya dalam nada ragu. lalu ia menekan
tombol yang akan membuka pintu masuk ke apartemennya.
Jeannie sudah khawatir mereka akan mengirim seseorang untuk menteror Lisa
agar mau bekerja sama dengan mereka dalam menyingkapkan peristiwa itu. Ia
bertekad untuk mencegah mereka. Lisa tidak akan sanggup dihujani pertanyaan-
pertanyaan yang akan mengganggunya. “Kenapa kau nggak suruh dia pergi
saja?”
“Kau bercanda?”
Lisa menggeleng.
Detektif itu ternyata seorang wanita bertubuh pendek gemuk, berusia sekitar
empat puluhan, mengenakan blus berwarna krem dan sehelai syal sutra beraneka
warna, dengan sebuah tas kantor. “Aku Sersan Michelle Delaware,” ujarnya.
“Mereka memanggilku Mish.”
Si detektif berkata, “Ms. Hoxton, aku ingin menyatakan betapa menyesalnya aku
mengenai apa yang terjadi atas diri Anda kemarin. Unitku menangani satu kasus
pemerkosaan, rata-rata, setiap hari, dan masing-masing merupakan tragedi yang
amat mengenaskan dan trauma menyakitkan untuk si korban. Aku tahu Anda
merasa amal terpukul, dan aku mengerti.”
Wauw, ujar Jeannie dalam hati, ini pendekatan yang lain dari kemarin.
“Aku sedang mencoba melupakannya,” ujar Lisa dengan tegar, namun air
matanya mulai menetes kembali.
“Boleh aku duduk?”
‘Tentu.”
Mish mengangguk. “Aku juga minta maaf kepada Anda soal McHenty dan cara
dia memperlakukan Anda Sama seperti semua petugas patroli yang lain, dia
pernah mengikuti pelatihan mengenai cara menghadapi para korban
pemerkosaan, tapi rupanya dia lupa apa yang sudah diajarkan kepadanya. Aku
merasa malu untuk seluruh staf dinas kepolisian.”
“Aku merasa hakku dilanggar sama sekali,” ujar Lisa di antara air matanya.
“Hal seperti itu tidak boleh terulang lagi,” ujar Mish, nada marah mulai
mewarnai suaranya. “Gara-gara inilah begitu banyak kasus pemerkosaan
akhirnya dimasukkan ke dalam arsip sebagai ‘Tidak Berdasar.’ Bukan berarti
wanita-wanita itu bohong mengenai peristiwa pemerkosaan itu. Melainkan
karena sistem yang berlaku memper-83
lakukan mereka dengan cara begitu brutal, sehingga mereka memilih untuk
menarik tuntutan mereka.”
Jeannie berkata, “Aku bisa mengerti itu.” la meng-. ingarkan dirinya untuk
berhati-hati: Mish mungkin berbicara sebagai seorang kakak, namun ia toh
seorang polisi.
Mish mengeluarkan sebuah kartu dari dalam tasnya. “Ini nomor sebuah yayasan
sosial untuk” wanita-wanita korban pelecehan seks dan anak-anak korban tindak
kekerasan,” ujarnya. “Cepat atau lambat, para korban ini membutuhkan
bantuan.”
Lisa menerima kartu itu, namun berkata, “Saat ini yang kuinginkan adalah
secepatnya melupakan seluruh peristiwa itu.”
“Oke.”
84
“Caranya?”
“Kami punya semua nomor telepon di Amerika dalam CD-ROM kami. Selain
itu, kami juga dapat menggunakan data-data Surat Izin Mengemudi dan Surat
Referensi Kredit.”
“Tidak selalu. Keberhasilan kami tergantung dari usia mereka. Kami berhasil
menemukan sembilan puluh persen yang berusia sekitar sepuluh tahun, tapi
hanya lima puluh persen yang berusia sekitar delapan puluh. Mereka yang
dewasa cenderung sudah pindah rumah beberapa kali, ganti nama, atau
meninggal.”
Jeannie berkata, “Aku mendalami kasus kembar identik yang dibesarkan secara
terpisah. Mereka lebih sulit ditemukan.” Ia membawa poci kopinya ke meja
dapur, lalu mengisi cangkir Mish. Andai kata si detektif memang punya niat
untuk menekan Lisa, rupanya ia tidak terburu-buru.
Mish menghirup kopinya, lalu berkata kepada Lisa, “Sewaktu di rumah sakit,
kau mendapat tindakan medis?”
“Seharusnya mereka menawarkan pil itu padamu. Kau tentunya tidak ingin
hamil.”
85
Lisa menggigil. “Pasti tidak. Aku memang sedang mempertanyakan pada diriku,
apa yang dapat kulakukan mengenai itu.”
“Temui dokter pribadimu. Dia akan memberikannya padamu, kecuali jika dia
memiliki pertimbangan keagamaan—dokter-dokter yang beragama Katolik
biasanya begitu. Tapi kau bisa menghubungi yayasan sosial untuk menemukan
pemecahannya.”
“Enak rasanya berbicara dengan seseorang yang mengerti soal-soal seperti ini,”
ujar Lisa.
“Ternyata peristiwa kebakaran itu bukan kecelakaan,” ujar Mish. “Aku sudah
berbicara dengan kepala dinas pemadam kebakaran. Ada yang membuat api di
gudang yang terletak di sebelah ruang ganti itu, dan dia membuka pipa-pipa
ventilasi untuk memastikan asapnya dipompa masuk ke dalam ruang ganti. Para
pelaku tindak pelecehan seks sebetulnya tidak tertarik pada unsur seksnya; rasa
takutlah yang membuat mereka terangsang. Jadi, menurutku kebakaran tersebut
merupakan bagian dari fantasi bajingan itu.”
Jeannie tidak dapat menerima itu. “Kukira dia cuma seorang oportunis yang
tidak mau menyia-nyaikan kesempatan itu.”
Jeannie merasa semakin marah. “Aku hampir mati dalam api sialan itu,”
umpatnya.
Mish berkata pada Lisa, “Betul kan dugaanku, bahwa kau tidak pernah melihat
laki-laki ini sebelumnya? Dia benar-benar orang asing, kan?”
86
“Rasanya aku melihatnya sekitar satu jam sebelum peristiwa itu,” sahut Lisa.
“Saat aku lari bersama tim hockey itu. Sebuah mobil memperlambat
kecepatannya dan seorang cowok menoleh ke arah kami. Sepertinya dialah
orangnya.”
“Sebuah mobil tua, aku yakin itu. Putih, dan sudah karatan di mana-mana.
Mungkin sebuah Datsun.”
Jeannie memperhitungkan bahwa Mish akan mencatat itu, namun ternyata Mish
terus berbicara. “Kesan yang kuperoleh adalah dia seorang laki-laki berpikiran
tidak beres yang lihai dan sama sekali tidak memiliki hati nurani, yang akan
melakukan apa pun untuk memuaskan nafsunya sendiri.”
Dalam nada pahit Jeannie berkata, “Mestinya dia dikurung di balik terali seumur
hidupnya.”
Mish melemparkan kartu terakhirnya. “Tapi itu tidak akan terjadi. Dia masih
bebas. Dan dia akan -melakukannya lagi.”
Jeannie dapat melihat arah yang dituju Mish. Sesuai dengan perhitungannya, si
detektif sedang mencoba
87
“Betul.”
Mish rupanya tidak berniat untuk menyerah. “Bekas-bekasnya masih akan ada
selama empat puluh delapan sampai tujuh puluh dua jam sesudahnya. Kita perlu
melakukan pengambilan cairan vagina, penelusuran rambut di sekitar daerah
genital, dan tes darah.”
Jeannie berkata, “Dokter yang kami temui di Santa Teresa kemarin betul-betul
brengsek.”
Jeannie mengangguk. Mercy adalah sebuah rumah sakit besar di pusat kota.
Mish berkata lagi, “Kau akan ditangani oleh seorang petugas, biasanya wanita.
Dia sudah dilatih secara khusus untuk menghadapi hal-hal seperti ini, tidak
seperti dokter
88
Ia membuka tas kerjanya. Jeannie mendoyongkan tubuh, penuh rasa ingin tahu.
Di dalamnya terdapat sebuah komputer laptop. Mish membuka tutupnya, lalu
menyalakannya. “Kami memiliki suatu program yang disebut E-FIT, singkatan
dari Electronic Facial Identification Technique—teknik identifikasi wajah secara
elektronis. Kami memang suka membuat akronim.” Ia tersenyum. “Sebenarnya
ini hasil rekayasa seorang detektif dari Scotland Yard. Dengan cara ini, kami
dapat mewujudkan tampang seorang calon tersangka, tanpa menggunakan
tenaga artis.” la menatap Lisa dengan pandangan berharap.
Lisa menoleh ke arah Jeannie. “Bagaimana menurutmu?”
“Jangan sampai kau merasa seperti dipaksa,”, ujar Jeannie. “Pikirkan dirimu.
Kau punya hak. Ikuti perasaanmu.”
Mish menatap Jeannie dengan pandangan mencela, lalu berkata kepada Lisa.
“Tidak ada yang menekanmu. Kalau kau mau aku pergi, aku akan keluar dari
sini. Tapi aku memohon kepadamu. Aku ingin menangkap pemerkosa ini, dan
aku membutuhkan bantuanmu-Tanpa kau, aku tidak punya peluang.”
89
Jeannie berkata, “Ingat, kau boleh minta berhenti begitu kau mulai merasa tidak
enak.
Lisa mengangguk.
Mish berkata, “Untuk memulai, kita jajaki dulu secara kasar, bagaimana kira-
kira bentuk wajahnya. Gambarannya mungkin tidak akan persis seperti dirinya,
tapi itu bisa kita jadikan patokan. Kemudian akan kita teruskan detail-detailnya.
Aku ingin kau berkonsentrasi dengan serius untuk mengingat wajah si pelaku,
lalu deskripsi-kanlah secara kasar. Tidak usah buru-buru.”
Lisa memejamkan matanya. “Dia seorang laki-laki kulit putih yang kira-kira
sebaya denganku. Rambutnya pendek, warnanya biasa. Matanya berwarna
bening, biru kukira. Hidungnya tinggi…”
Mish bekerja dengan sebuah mouse. Jeannie bangkit, lalu berdiri di belakang si
detektif, supaya dapat melihat layarnya. Programnya Windows. Di sudut kanan
atas terdapat gambar sebuah wajah yang terbagi delapan. Sementara Lisa
menyebutkan garis-garis wajah si pelaku, Mish mengarahkan mouse-nya ke
bagian itu—klik— kemudian ia membuka sebuah, menu, mengecek data-data
yang ada, sesuai dengan komentar Lisa: rambut pendek, mata bening, hidung
tinggi.
Mish menekan tombol mouse-nya lagi. Sebuah wajah yang utuh membayang di
layar. Seorang laki-laki kulit putih berusia sekitar tiga puluhan dengan garis
wajah yang umum. Bisa siapa saja di antara ribuan cowok. Mish memutar posisi
komputernya, sehingga Lisa dapat melihat layarnya. “Sekarang, kita ubah wajah
ini sedikit
90
Mish menekan tombol mouse-nya. Wajah di layar itu berubah, dan tiba-tiba garis
rambut di dahinya nyaris tidak tampak.
Mish menekan lagi. Kali ini wajah itu memiliki rambut yang potongannya
bergaya the Beatles. “Tidak.”
Tapi potongan berikutnya berombak, dan Lisa mengatakan, “Lebih mirip. Tapi
rasanya ada belahannya.”
Berikutnya lebih keriting. “Lebih mirip lagi,” ujar Lisa. “Yang ini lebih baik dari
yang tadi. Tapi rambutnya terlalu gelap.”
Mish berkata, “Setelah melihat semuanya, kita akan kembali ke yang kauanggap
paling mirip. Setelah memiliki gambaran utuh, kita akan menyempurnakannya
lagi; kita buat rambutnya lebih gelap atau terang, kita pindahkan belahannya,
membuat tampangnya lebih muda atau tua.”
Jeannie merasa sangat terkesan, namun prosedur itu bisa memakan waktu sejam
atau lebih, dan ia harus segera berangkat. “Aku mesti pergi,” ujarnya. “Kau
nggak apa-apa, Lisa?”
“Aku nggak apa-apa,” ujar Lisa, dan Jeannie tahu bahwa temannya tidak
berbohong. Mungkin lebih baik untuk Lisa jika ia dilibatkan dalam pelacakan
ini. la mengalihkan matanya ke arah Mish dan melihat pancaran kemenangan di
wajah wanita itu. Apakah aku keliru, ujar Jeannie pada dirinya, untuk bersikap
begitu curiga pada Mish dan terlalu melindungi Lisa? Mish cukup simpatik
sebetulnya. Ucapan-ucapannya mengena Namun prioritasnya bukanlah untuk
menolong Lisa, tapi
91
Lisa memeluk Jeannie. “Aku amat menghargai bahwa kau mau menemaniku tadi
malam,” ujarnya.
92
BAB 6
Selama tiga jam berikutuya ia menjalani tes-tes, yang ternyata jauh lebih banyak
daripada yang ia perkirakan. Tubuhnya ditimbang dan diukur, sidik jarinya
diambil.
Ia memperkenalkan dirinya, dan kini tahu bahwa nama kedua koboi itu adalah
Benny dan Arnold, dan gadis-gadis kecil itu Sue dan Elizabeth. “Apakah kalian
selalu berpakaian sama?” tanya Steve pada kedua laki-laki itu saat mereka
makan.
“Sewaktu baru lahir, kami berdua diadopsi—oleh dua keluarga yang berlainan.”
94
“Kelihatannya begitu.”
Benny berkata, “Anak perempuan kami sama-sama bernama Caroline, tapi anak
I aki-1 akiku bernama John. sedangkan anak laki-laki Arnold bernama Richard.”
Arnold berkata, “Tadinya aku ingin menamakannya John, tapi istriku ngotot dia
harus bernama Richard.”
“Wow,” ujar Steve. “Tapi masa kalian sama-sama mewarisi selera untuk
mengisap Camel Lights?”
“Siapa tahu?”
Satu di antara kedua gadis kecil itu, Elizabeth, berkata kepada Steve, “Mana
kembaranmu?”
“Aku tidak punya kembaran,” sahui Steve. “Itukah yang mereka pelajari di sini,
masalah kembaran?”
“Ya” Lalu dengan bangga ia menambahkan, “Sue dan aku adalah kembar
dizigotik.”
Steve mengangkat alisnya. Usia gadis-gadis itu sekitar sebelas tahun. “Rasanya
aku nggak kenal kata itu,” ujarnya dalam nada serius. “Apa artinya?”
“Kami bukan kembar identik. Kami kembar fraternal. Karena itu tampang kami
tidak mirip satu sama lain.” Ia menunjuk ke arah Benny dan Arnold. “Mereka
kembar monozigotik. Mereka memiliki DNA yang sama. Karena itulah mereka
begitu mirip.”
ruangan itu. Ekspresi seriusnya yang begitu menarik di lapangan tenis itu masih
terpancar dari cara ia membawakan dirinya. Steve menatapnya, hampir-hampir
tidak dapat mempercayai keberuntungannya.
Ia mengucapkan halo pada kedua gadis kecil itu, lalu memperkenalkan diri
kepada yang lain. Ketika menerima uluran tangan Steve, ia menyambut dengan
kedua belah tangannya. “Jadi, kaulah Steve Logan!” serunya
“Tapi aku toh kalah.” Ia duduk. Rambutnya yang tebal dan berwarna gelap
tergerai lepas di pundaknya, dan Steve melihat, di bawah penerangan lampu
laboratorium yang kurang simpatik, bahwa ia sudah memiliki beberapa helai
uban. Sebagai ganti cincin perak, ia mengenakan giwang emas kecil yang polos
pada cuping hidungnya Ia memakai make-up hari ini, dan maskara membuat
matanya yang berwarna gelap menjadi lebih memesona.
Jeannie duduk di dekat Steve, dan entah kenapa perasaan Steve mengatakan
bahwa itu membuatnya rikuh. Seolah-olah sebentar lagi ia harus menyampaikan
berita buruk. Ia berkata, “Tentunya kau mempertanyakan pada dirimu, untuk apa
sebetulnya ini semua.”
“Oh,” ujarnya “Betul, angka-angka yang kaucapai dalam tes IQ-mu memang
tinggi sekali. Kebcrhasilanmu di sekolah selama ini membuktikan
kemampuanmu. IQ-mu jauh di atas rata-rata Sepertinya kau selalu menjadi juara
kelas tanpa Harus belajar keras, betul kan?”
96
“Betul. Proyek kami di sini adalah untuk menjajaki sampai seberapa jauh
perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor genetika yang diwarisinya.”
Pembawaannya yang agak rikuh sebelumnya berubah menjadi lebih hangat saat
ia mengungkapkan topik yang dikuasainya itu. “Benarkah bahwa DNA yang
menentukan apakah kita cerdas, agresif, romantis, atau atletis? Ataukah itu
pengaruh dari cara kita dibesarkan? Kalau jawabannya adalah kedua-duanya,
sampai seberapa jauh interaksinya?”
“Suatu kontroversi yang klasik,” ujar Steve. Ia pernah mengikuti mata kuliah
filosofi di perguruan tinggi dan merasa tertarik dengan diskusi ini. “Apakah aku
menjadi begini karena aku memang dilahirkan begini, atau masyarakat yang
mendidikku menjadi begini?” Ia teringat pada ungkapan yang pernah
didengarnya: “Asli atau hasil asuhan.”
97
menebak bahwa umur gadis ini lebih mendekati tiga puluhan. Itu tidak
mengubah perasaannya, hanya saja ia belum pernah merasa begitu tertarik pada
seorang wanita yang begitu tua
98
“Sementara itu, Sue dan Elizabeth ternyata tidak mirip sama sekali satu sama
lain.*’
“Betul. Namun mereka toh memiliki orangtua yang sama, tinggal di rumah yang
sama, pergi ke sekolah yang sama. makan menu yang sama seumur hidup
mereka, dan seterusnya. Sue tidak banyak bicara selama makan siang, sementara
Elizabeth membeberkan seluruh kisah hidupnya.”
Dr. Ferrami tertawa, memperagakan sederetan gigi putih dan sekilas warna
kemerahan dari ujung lidahnya Steve merasa amat berbesar hati telah berhasil
membuatnya senang.
Dr. Ferrami tampak rikuh kembali. “Ini agak sulit untukku sebetulnya,” ujarnya.
“Sampai saat ini, hal seperti ini belum pernah terjadi.”
“Kau keliru. Biasanya seseorang sudah tahu bahwa dia memiliki pasangan
kembar sebelum datang ke tempat kami. Namun aku baru saja merintis suatu
cara baru dalam merekrut subjek untuk studi ini. dan kaulah yang pertama.
Sebetulnya, fakta bahwa kau tidak tahu bahwa kau memiliki saudara kembar
merupakan bukti kecang
99
“Dari dulu aku ingin punya saudara laki-laki,” ujar Steve. Ia seorang anak
tunggal yang lahir ketika kedua orangtuanya sudah menjelang usia empat
puluhan. “Dia laki-laki, bukan?”
“Seorang saudara kembar identik,” gumam Steve. “Tapi bagaimana itu bisa
terjadi tanpa sepengetahu-anku?”
“Sebentar, aku tahu sekarang,” ujar Steve. “Mungkin aku anak angkat.” Jeannie
mengangguk.
Ide itu bahkan lebih mengejutkan lagi; jadi, ada_ke mungkinan Mom dan Dad
bukan orangtua kandungnya. “Atau saudara kembarku yang diangkat orang.”
“Ya.”
“Atau dua-duanya,” ulang Jeannie dalam nada serius, la menatap Steve lurus-
lurus dengan matanya yang bernuansa gelap. Meskipun sedang bergumul dengan
pikirannya sendiri, toh terpintas dalam diri Steve betapa cantiknya ia. Asyik
rasanya kalau ditatap seperti itu untuk selama-lamanya.
Dalam nada getir Steve berkata, “Rasanya sulit membayangkan Mom dan Dad
menyembunyikan hal seperti itu dariku. Jelas ini bukan gaya mereka.”
100
nya berbicara untuk membantunya mencerna kejutan itu, tapi itu sebetulnya
tidak perlu. Ia memusatkan pikirannya. “Mom seorang wanita yang luar biasa.
Kau tentunya pernah mendengar tentangnya? Namanya Lorraine Logan.**
“Betul. Menggerilya dalam sekitar empat ratus harian, pengarang enam buah
buku bestseller tentang kesehatan kaum wanita. Kaya dan terkenal, dan dia
memang layak mendapatkan itu semua.”
“Dan ayahmu?”
Steve tersenyum. “Dia sangat memperhatikan soal kewajiban. Tapi dia bukan
tipe yang menyukai tindakan kekerasan. Dia pernah bertugas di Asia, sebelum
aku lahir, tapi dia tidak pernah membawaku ke rumah kenangannya di sana.”
101
“Apakah disiplin perlu diterapkan atas dirimu9” Steve tertawa. “Aku selalu yang
paling nakal di kelas, di seluruh sekolah. Terus mendapat masalah.” “Untuk
apa?”
“Kenapa?”
Steve menggeleng. “Sulit rasanya menjadi anak yang patuh. Aku ingin bebas
bergerak. Peraturan-peraturan itu konyol sekali, dan aku merasa bosan.
Sebetulnya mereka ingin mengeluarkan aku dari sekolah, tapi angka-angkaku
selalu baik, dan biasanya aku kapten dari salah satu tim olahraga atau entah apa:
sepak bola, basket, baseball, atletik. Aku tidak mengerti diriku. Apa aku aneh?”
Jeannie mengangkat alisnya yang berwarna gelap, seakan berkata aku yang
bertanya di sini, namun ia toh memberikan jawabannya. “Aku pernah melewati
masa punk sewaktu berusia sekitar empat belas tahun: rambut hijau, kaus kaki
robek, dan sebagainya. Melubangi cuping hidung merupakan bagian dari masa
itu.”
“Aku tahu itu. Kukira aku tetap membiarkannya begitu karena aku merasa
tampil anggun betul-betul membosankan.”
Steve tersenyum. Aku menyukai wanita ini, ujarnya
102
dalam hati, meskipun dia sudah terlalu tua untukku. Kemudian pikirannya
kembali beralih ke pokok pembicaraan mereka semula. “Apa yang membuatmu
begitu yakin bahwa aku mempunyai seorang saudara kembar?’
“Mungkin tidak, meskipun dia bahkan memiliki lubang gigi di tempat yang sama
seperti punyamu.”
“Richmond, Virginia.”
“Aku akan ke Richmond untuk menemuinya besok. Aku akan melakukan tes-tes
yang persis sama seperti yang kami lakukan atas dirimu, dan mengambil contoh
darah supaya kami dapat membandingkan DNA-nya dengan milikmu. Kemudian
kami baru dapat memastikan kekembaran kalian.” ,
Steve mengerutkan alisnya. “Apakah ada bidang khusus yang sedang kaudalami
sehubungan dengan masalah genetika ini?”
103
Wajah Jeannie memerah, seakan merasa tertangkap basah. Dengan rona itu ia
tampak semakin seksi. “Ya, kau benar,” ujarnya.
Jeannie tampak ragu sebentar. “Karena dia terlibat dalam suatu kasus
pembunuhan.”
“Aku minta maaf,” ujar Jeannie. “Aku kurang taktis dalam menangani ini. Kau
adalah subjek pertamaku dalam studi ini”
“Wauw. Tadinya aku kemari dengan harapan akan tahu lebih banyak mengenai
diriku, namun yang kudapatkan kemudian ternyata lebih dari yang ingin
kuketahui.” Jeannie belum tahu, dan tidak akan pernah tahu, bahwa Steve
hampir saja membunuh seorang anak muda bernama Tip Hendricks. “Dan kau
amat berarti bagiku.” “Dalam arti apa?”
“Dalam arti apakah kriminalitas itu diturunkan atau tidak. Aku pernah menulis
sebuah makalah yang menyatakan bahwa ada pembawaan-pembawaan tertentu
yang diturunkan—seperti kombinasi dari kecenderungan untuk bersikap
impulsif, berani, agresif, dan hiperaktif— tapi apakah pribadi-pribadi dengan
pembawaan ini akan menjadi penjahat, tergantung dari cara orangtua mereka
menghadapi mereka. Untuk membuktikan teoriku, aku harus menemukan
pasangan-pasangan kembar identik, di mana yang satu seorang kriminal dan
yang lain
104
seorang warga yang taat hukum. Kau dan Dennis merupakan pasangan
kembarku yang pertama, dan kalian betul-betul pasangan ideal: dia sedang
mendekam di tahanan dan kau, maaf, kau adalah tipe pemuda idaman Amerika.
Sejujurnya, itu membuatku begitu bergairah, sampai aku hampir tidak bisa
duduk tenang.”
Dr. Ferrami berkata, “Berry! Ada apa?” Steve berkata, “Apakah aku telah
melakukan sesuatu yang salah?”
105
tampak terguncang. “Aku cuma tiba-tiba teringat sesuatu… sesuatu yang lupa
kulakukan. Aku mesti pergi lagi.” Ia menuju ke arah pintu sambil bergumam,
“Maaf, maafkan aku.” Kemudian ia menghilang. Steve menatap Dr. Ferrami.
106
BAB 7
107
Dengan dukungannya, Jeannie akan dapat melakukan hal-hal besar, dan fakta
bahwa ia berasal dari sebuah keluarga sederhana akan membuat keberhasilan
yang dicapainya semakin mengesankan. Empat minggunya yang pertama di
Jones Falls ternyata membuktikan bahwa penilaiannya tidak keliru. Jeannie
sudah mulai bekerja dan proyeknya maju dengan pesat. Hampir semua orang
menyukainya, meskipun sikapnya kadang-kadang sedikit kasar; seorang teknisi
laboratorium yang rambutnya diikat ke belakang, yang mengira ia boleh bekerja
semaunya, sudah kena dampratannya pada hari kedua.
Saat ini Preston tentunya berada di kantor pusat Genetico, suatu kompleks
bangunan beratap rendah dan rapi yang menghadap ke sebuah lapangan golf di
Baltimore County, bagian utara pusat kota. Sekretaris Preston mengatakan ia
sedang rapat, tapi Berrington menyuruhnya untuk menghubunginya.
“Aku bersama Lee Ho, akuntan senior dari Landsmann. Kami sedang
mendiskusikan detail-detail terakhir sehubungan dengan pernyataan yang akan
dikeluarkan Genetico.”
“Minta dia keluar dulu.”
Berrington, yang mulai hilang sabar, langsung memotongnya, “Steve Logan ada
di sini.”
Preston langsung lupa mengenai Lee Ho. “Ya Tuhan, bagaimana bisa?**
“Aku tidak tahu. Aku baru saja berpapasan dengannya beberapa menit yang lalu.
Bisa kaubayangkan bagaimana terkejutnya aku.”
109
108
“Aku belum tahu. Omong-omong- hal seperti ini kan mau tak mau bakal
terjadi.”
“Tapi kenapa justru sekarang! Sekarang kita harus membatalkan transaksi
dengan Landsmann.”
“Jangan! Aku tidak akan membiarkan kau memakai ini sebagai alasan untuk
menggoyahkan keputusanmu mengenai akuisisi ini, Preston.” Berrington mulai
menyesal telah menelepon. Namun ia merasa butuh berbagi keterkejutan dengan
seseorang. Dan biasanya Preston adalah pengatur strategi yang andal. “Kita
harus menemukan cara untuk mengendalikan situasi ini.”
“Betul, tapi dia seorang wanita. Seorang wanita yang sangat menarik malah.”
“Rupanya dia yang merekrut Steven dalam proyek ini. Mereka sedang bersama
sewaktu aku bertemu dengan anak muda itu. Aku akan mengadakan
pengecekan.”
“Itu memang harus kaulakukan, Berry.” Preston sudah merasa lebih tenang
sekarang, dan mulai memusatkan perhatian kepada pemecahannya, bukan
masalahnya. “Cari tahu bagaimana cara dia direkrut. Sesudah itu, baru kita dapat
mengakses sampai seberapa jauh ini akan mempengaruhi kita.”
110
Di mejanya ada sebuah foto hitam-putih tua ayahnya sebagai seorang letnan dua,
dalam seragam angkatan laut putih, lengkap dengan topinya. Berrington baru
berusia enam tahun ketika kelompok Wasp—yang terdiri atas orang-orang kulit
putih beragama Protestan yang berasal dari Inggris—mulai dilokalisir. Sama
seperti semua bocah laki-laki di Amerika, ia membenci orang-orang Jepang, dan
dalam bermain ia berkhayal membantai mereka dalam jumlah besar. Baginya
ayahnya adalah seorang pahlawan yang tak kelihatan, tinggi dan tampan, berani,
kuat, dan tidak terkalahkan. Ia masih dapat merasakan amarah yang mencekam
dirinya saat mengetahui ayahnya dibunuh oleh Jepang. Ia berdoa kepada Yang
Mana Kuasa untuk membiarkan perang itu terus berlangsung sampai ia dewasa
dan dapat bergabung dengan angkatan laut, agar ia dapat membantai jutaan
orang Jepang sebagai balas dendam.
Banyak orang, jika dihadapkan pada suatu masalah, akan mempertanyakan pada
diri mereka, apa yang akan dilakukan oleh ayah mereka untuk mengatasinya.
Teman-temannya mengatakan ini kepadanya, tapi kemudahan itu tidak akan
pernah ia rasakan. Ia masih terlalu muda ketika itu untuk mengenal ayahnya. Ia
sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Letnan
Jones dalam menghadapi suatu krisis, la belum pernah secara sungguh-sungguh
memiliki seorang ayah, hanya seorang pahlawan super hebat.
111
“Tentu.”
“Bagaimana kalau kau ke kantorku?” “Aku akan segera ke sana.” Jeannie
menutup pesawatnya.
112
Tugasnya yang pertama adalah memberikan penjelasan yang cukup masuk akal
kepada Jeannie mengenai polahnya saat bertemu dengan Steven Logan. Tidak
akan mudah membodohinya. Mestinya tadi ia menggunakan waktunya untuk
mencari alasan, bukannya menghitung penaklukan-penaklukannya.
Sejauh ini, semuanya masih sesuai rencana. “Semula aku berniat menemuimu
untuk membicarakan pekerjaanmu,” lanjut Berrington dengan santai. “Rupanya
kau sedang ngebut. Kau baru empat minggu di sini, tapi proyekmu sudah
berjalan mulus. Selamat.”
“Coba uraikan secara lebih rinci. Apakah belum ada masalah sejauh ini? Ada
yang bisa kulakukan?”
113
“Sesuatu yang tidak pernah disorot oleh para kritikus dari kalangan liberal kita.”
“Di lain pihak, sulit untuk menemukan sifat-sifat bawaan seperti kecenderungan
untuk berlaku agresif dan terlibat dalam tindak knminal dengan melakukan studi
atas keluarga-keluarga kelas menengah Amerika yang patuh kepada hukum.
Karena itulah akan sangat berarti bagi proyekku jika aku bisa mengatasi masalah
perekrutan ini.”
“Kukira begitu. Pernah terpintas dalam diriku bahwa informasi medis mengenai
jutaan orang kini disimpan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dan biro-biro
pemerintahan dalam suatu sistem database yang amat luas jangkauannya.
Termasuk di dalamnya jenis data yang kami pergunakan untuk menentukan
apakah suatu pasangan kembar identik atau fraternal: seperti gelombang otak.
elektrokardiogram, dan seterusnya. Kalau kita dapat melacak pasangan dengan
elektrokardiogram yang sama, umpamanya, kita bisa menentukan
kekembarannya. Dan kalau database nya cukup canggih, akan ditemukan
pasangan-pasangan kembar yang di be sarkan secara terpisah. Dan inilah
kendalanya: Ada di antara mereka yang bahkan tidak tahu bahwa mereka
sebetulnya kembar.*”
“Bukan main,” ujar Berrington. “Sederhana, tapi orisinal dan amat inovatif.” Ia
tidak sekadar berbasa-basi. Pasangan kembar identik yang dibesarkan secara
terpisah
114
dianggap amat berarti untuk penelitian di bidang genetika, dan para Jlmuwan
telah melakukan banyak cara untuk merekut mereka. Sampai sekarang, cara
utama untuk menemukan mereka adalah melalui publisitas: mereka membaca
artikel-artikel dalam majalah mengenai studi kekembaran, lalu menawarkan diri
untuk ikut mengambil bagian. Dan sebagaimana yang dikatakan Jeannie, proses
ini akan menampilkan contoh yang didominasi oleh orang baik-baik dari kelas
menengah, yang secara umum kurang bermanfaat dan tidak mendukung proses
studi mengenai kriminalitas.
Tapi bagi Berrington pribadi, hal ini merupakan bencana. Ia menatap Jeannie
lurus-lurus sambil mencoba menyembunyikan perasaan resahnya. Ternyata
situasinya lebih gawat daripada yang diperkirakannya. Baru saja Preston Barck
mengatakan Kita semua tahu bahwa perusahaan ini memiliki hal-hal yang
sebaiknya disembunyikan. Jim Proust menanggapinya dengan mengatakan tidak
akan ada yang tahu mengenai itu. la sama sekali tidak memperhitungkan adanya
Jeannie Ferrami.
“Tentunya masalah ini tidak bisa dianggap ringan dalam desain perangkat lunak.
Lalu, apa yang kaulakukan?”
“Ya. Aku pernah mengambil gelar Master dalam ilmu komputer di Princeton.
Sewaktu masih di Minnesota, aku bersama profesorku menjajaki sistem software
jenis neutral-network untuk dapat mengenali pola.”
115
Jeannie angkat bahu. “Dengan tidak men-scan seluruh gambar, risikonya ada
bagian-bagian tertentu yang terlewati. Aku menemukan cara untuk secara radikal
mempersingkat proses pelacakan itu dengan risiko meleset sekecil mungkin.
Intinya berhubungan dengan soal statistik dan faktor kemungkinan.”
Semua pakar psikologi pernah mendalami statistik, tentu saja. “Tapi bagaimana
program yang sama dapat secara sekaligus men-scan foto sinar-X,
elektrokardiogram, dan sidik jari?”
116
“Aku menghapus semua pasangan dengan nama keluarga yang sama, dan semua
wanita yang sudah menikah, karena kebanyakan di antara mereka sudah
memakai nama suami. Sisanya adalah pasangan kembar yang tanpa alasan jelas
memiliki nama keluarga yang berlainan.”
Berrington sudah tahu mengenai itu. Pada suatu malam, Dennis Pinker
memutuskan aliran Listrik sebuah gedung bioskop yang tengah memutar film
Friday the Thirteenth. Dalam kepanikan yang timbul, ia melakukan kekerasan
seksual terhadap beberapa wanita. Seorang gadis rupanya berusaha memberikan
perlawanan, sehingga ia terpaksa membunuhnya.
Jadi, Jeannie berhasil menemukan Dennis Ya Tuhan, umpat Berrington dalam
hati, wanita ini benar-benar
117
“Tidak.” Alis Jeannie mengerut. “Kita tahu ada keluarga-keluarga yang tidak
mau secara terbuka membicarakan soal adopsi anak mereka, namun dia
berkeyakinan bahwa ibunya akan mengungkapkan hal yang sebenarnya
kepadanya. Tapi mungkin ada alasan-alasan lain. Katakanlah mereka tak
mungkin dapat mengadopsi seorang anak melalui jalur-jalur normal, entah
karena apa, sehingga mereka terpaksa membeli seorang bayi. Itu bisa dijadikan
alasan bagi mereka untuk berbohong.”
“Atau ada suatn kesalahan dalam sistemmu,” usul Berrington. “Hanya gara-gara
dua anak muda memiliki susunan gigi yang identik, tidak menjamin kekembaran
mereka.”
“Menurutku tidak ada kesalahan dalam sistemku,” ujar Jeannie dalam nada
tegas. “Tapi aku merasa tak enak mengungkapkan pada sekian banyak orang
mengenai kemungkinan bahwa mereka pernah diadopsi. Aku bahkan tidak yakin
berhak mengacaukan kehidupan mereka dengan cara itu. Aku baru saja
menyadari keseriusan masalah ini.”
118
Berrington melirik ke arah arlojinya. “Waktuku sudah habis, tapi aku masih
ingin mendiskusikan masalah ini denganmu. Kau punya waktu untuk makan
malam bersamaku?’*
“Malam ini?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau kita ke Hamptons, di Harbor Court Hotel? Kukira itu restoran
terbaik di Baltimore.” Setidaknya yang paling bergengsi.
“Oke.”
119
lebih buruk daripada yang kita perkirakan,” ujarnya secara langsung. “Dia
berhasil menyusun suatu program komputer yang dapat menelusuri database
medis dan menemukan pasangan-pasangan kembar identik. Begitu dia
mencobanya untuk pertama kali, dia menemukan Steven dan Dennis.” “Sial.”
malam?”
“Menurutku pada akhirnya kita toh harus membatalkan transaksi dengan pihak
Landsmann.”
120
BAB 8
Para mahasiswa di Teater Kuliah Ilmu Biologi Manusia tampak resah. Daya
konsentrasi mereka kurang dan mereka terus gelisah. Jeannie tahu sebabnya. Ia
sendiri merasa tidak tenang. Semua gara-gara peristiwa kebakaran dan
pemerkosaan itu. Kampus mereka yang hangat ternyata tidak aman sekarang.
Perhatian semua yang hadir terus melantur, kembali pada apa yang sudah terjadi
itu.
Ia sudah menyadari efek ini. Setiap kali ia menyebutkan urutan nomor, mereka
akan menulis. Andai kata ia cuma mengatakan Gen yang berlainan, suasana
lingkungan yang berbeda, dan kesalahan penjajakan, kebanyakan di antara
mereka tidak akan menulis apa-apa. Begitu menyadari kecenderungan ini, ia
memasukkan sebanyak mungkin urutan nomor dalam kuliah-kuliahnya.
121
Ia seorang guru yang baik—di luar dugaannya sendiri. Secara umum, ia merasa
kemampuannya bergaul dengan orang agak kurang. Ia amat tidak sabaran. dan
suka ketus, seperti tadi pagi umpamanya, pada Sersan Delaware. Namun ia
seorang komunikator yang baik, jelas dan tegas, dan suka menjelaskan duduk
perkara apa-apa. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat binar
mengerti di wajah seorang mahasiswa.
“Kita bisa mengekspresikan ini dalam suatu rumus,” ujarnya, lalu memutar
tubuh dan menulis di papan tulis dengan sepotong kapur:
Vt = Vq + Ve + Vm
Salah satu di antara anak-anak muda itu membuka suara. Seperti biasanya
seorang mahasiswa; para mahasiswi, entah mengapa, lebih malu-malu. “Karena
faktor gen dan lingkungan saling mempengaruhi?”
122
kota yang sama. Kita harus tambahkan pada sisi kanan rumus ini istilah Cge,
singkatan dari gene-environment covariation—kovariasi antara gen dan suasana
lingkungan.” Ia menulis itu di papan tulis, kemudian melirik ke arah arloji Swiss
Army di pergelangan tangannya. Ljma menit menjelang pukul empat. “Ada
pertanyaan?”
Seluruh kelas tertawa. Wajah si wanita merona. Dengan lembut Jeannie berkata,
“Jelaskan maksudmu, Donna-Marie. Beberapa di antara yang hadir di sini
mungkin masih terlalu muda untuk mengingat siapa the Osmonds.”
“Argumentasi Ms. Dickson betul-betul masuk akal, dan aku heran kenapa tidak
ada di antara kalian yang berpikir sampai ke situ.” ujar Jeannie. Sebetulnya ia
tidak heran, namun Donna-Marie perlu dibesarkan hatinya. “Orangtua yang
mempunyai karisma dan berdedikasi mungkin akan membuat anak-anaknya
memiliki idealisme tertentu, tidak peduli bagaimana unsur gen-gen mereka,
seperti juga orangtua yang suka menyiksa anak-anaknya mungkin akan
mengubah seluruh keluarganya menjadi penderita gangguan kejiwaan. Tapi ini
merupakan kasus-kasus yang boleh disebut ekstrem. Seorang anak yang kurang
mendapat gizi akan memiliki
12.1
postur tubuh pendek, bahkan andai kata kedua orangtua dan kakek neneknya
semuanya jangkung. Dan seorang anak yang diberi makan berlebihan akan
menjadi gemuk, meskipun dia keturunan orang-orang yang kurus. Namun
begitu, setiap studi baru cenderung membuktikan, dengan cara lebih meyakinkan
daripada studi sebelumnya, bahwa biasanya unsur warisan genetikalah, bukan
faktor suasana lingkungan dan cara seseorang dibesarkan, yang akan
menentukan pembawaan seorang anak.” Jeannie berhenti” sebentar. “Kalau tidak
ada pertanyaan lagi, silakan baca tulisan Bouchard dalam Science terbitan
tanggal 12 Oktober 1990, sebelum hari Senin yang akan datang.” Jeannie
mengumpulkan kertas-kertasnya.
Ternyata Donna-Marie yang maju. Wanita ini memiliki wajah bundar dan rambut
pirang berombak. Jeannie memperkirakan ia seorang perawat yang baik, tenang,
dan efisien. “Aku menyesal sekali atas apa yang menimpa Lisa,” ujar Donna-
Marie. “Betul-betul peristiwa mengerikan.”
“Dan polisi membuat situasinya semakin tidak keruan baginya,” ujar Jeannie.
“Petugas yang mengantarnya ke rumah sakit betul-betul brengsek.”
“Sial sekali. Tapi mungkin mereka dapat menangkap si pelaku. Mereka sudah
menyebar selebaran yang menggambarkan garis-garis wajahnya di seluruh
kampus.”
124
“Seharusnya dia berbicara denganmu. Lebih tahu mengenai apa yang akan
terjadi mungkin bisa membantunya.”
“Hubungi aku, kapan saja,” ujar Donna-Marie.
Jeannie melintasi halaman kampus, menuju Nut House. Cuaca masih terasa
panas. Ia mendapati dirinya mengawasi keadaan sekelilingnya dengan perasaan
waswas, seperti seorang koboi yang gelisah dalam film western, seakan ia
mengharapkan seseorang tiba-tiba muncul dari pojok asrama mahasiswa untuk
menyerang dirinya. Sampai saat itu kampus Jones Falls selalu bak suatu oasis
tradisional yang tenang di gurun sebuah kota modem Amerika. Memang, JFU
persis seperti sebuah kota kecil, dengan toko-toko dan bank-banknya, lapangan
olahraga dan meteran parkir, sekian banyak bar dan restorannya, kantor-Jcantor
dan rumah-rumahnya. Jumlah penduduknya sekitar lima ribu orang, setengahnya
tinggal di kawasan kampus. Namun kini suasananya sudah berubah sama sekali.
Laki-laki itu tidak berhak melakukan ini, ujar Jeannie pada dirinya dalam nada
getir; untuk membuatku merasa takut di tempat kerjaku sendiri. Mungkin suatu
tindak kejahatan selalu berakibat seperti ini, membuat tempat berpijak kita yang
tadinya mantap menjadi goyah.
125
126
bungan antara orangtua dan anak mereka. Seorang wanita yang telah menikah
mungkin memiliki pacar, dan hanya ia yang tahu siapa sebenarnya ayah dari
anaknya. Seorang gadis mungkin melahirkan seorang bayi, untuk kemudian ia
serahkan kepada ibunya. Ia akan berpura-pura menjadi kakak si bayi, sementara
seluruh keluarga bersepakat untuk menyimpan rahasia itu. Anak-anak diadopsi
oleh tetangga, kenalan, atau teman yang akan menyembunyikan fakta
sesungguhnya. Lorraine Logan mungkin bukan tipe yang akan mati-matian
berusaha menutupi suatu kasus adopsi yang resmi, tapi ia bisa memiliki sekian
banyak alasan lain untuk membohongi Steven mengenai keberadaannya. Tapi
bagaimana Berrington bisa sampai terlibat di sini? Apakah ia ayah Steven yang
sebenarnya? Ide itu membuat Jeannie tersenyum. Berry memang tampan, tapi
postur tubuhnya sedikituya enam kaki lebih pendek daripada Steven. Meski apa
pun mungkin terjadi, penjelasan itu toh rasanya kurang mengena.
Ia merasa terusik oleh misteri itu. Biar bagaimanapun, Steven Logan merupakan
perlambang kemenangan baginya, la seorang warga negara terhormat yang patuh
huknm, dengan seorang saudara kembar identik yang ternyata penjahat yang
terlibat dalam tindak kekerasan. Steve menyatakan keandalan program
pelacakan komputernya serta mengkonfirmasi teorinya mengenai kriminalitas.
Tentu saja ia membutuhkan ratusan pasangan kembar lain seperti Steven dan
Dennis sebelum ia dapat berbicara mengenai bukti. Namun ini merupakan
kesempatan yang sangat baik. untuk memulai program pelacakannya.
Besok ia akan bertemu dengan Dennis. Kalau ternyata laki-laki ini pendek dan
rambutnya berwarna gelap, ia akan tahu bahwa ada sesuatu yang betul-betul
tidak beres. Tapi kalau sebaliknya, laki-laki ini adalah kembar an Steven Logan.
127
Masalah itu dapat dipecahkan, tapi ia belum dapat mengatasi rasa cemas yang
ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan skeptis Berrington serta kebimbangan
Steven Logan, dan ia mulai memikirkan dengan hati berdebar-debar tahapan
selanjurnya dari proyeknya. Semula ia berharap akan menggunakan software-
nya untuk menjajaki arsip sidik jari FBI.
Itu akan merupakan sumber yang betul-betul sempurna baginya. Sekian banyak
di antara dua puluh dua juta nama yang tercantum di dalam arsip itu pernah
dianggap terlibat dalam salah satu tindak kejahatan atau menjalani hukuman.
Andai kata programnya memang andal, ratusan pasangan kembar akan dapat
dilacak, termasuk yang dibesarkan secara terpisah. Ini akan berarti lompatan
besar dalam risetnya. Tapi ia harus mendapatkan izin dulu dari pihak FBI.
Ghita bekerja di Washington, DC, tapi tinggal di kota ini, di Baltimore. Ia sudah
berjanji akan meminta atasannya memberikan dukungan pada Jeannie. Ghita
sudah menyatakan akan meneruskan hasilnya sekitar akhir minggu ini, tapi
sekarang Jeannie ingin menggesa-nya. Ia memutar nomornya.
128
Ghita lahir di Washington, namun suaranya masih menyimpan nuansa India
dalam kelembutan nada dan cara pengucapannya. “Hei, Jeannie, bagaimana
akhir minggumu?” ujarnya.
“Dia lupa bahwa ketika itu sudah tengah malam. Dia turun dari tempat tidurnya,
lupa ganti pakaian, pergi keluar untuk membeli sekarton susu. lalu lupa di
Suatu pertanyaan khas yang akan diajukan oleh seorang wanita. Kaum laki laki
—Jack Budgen, Berrington Jones—menanyakan kepadanya apa yang akan ia
lakukan. Hanya seorang wanita yang akan menanyakan bagaimana perasaannya.
“Nggak keruan.” sahutnya. “Kalau aku harus merawat ibuku, siapa yang akan
menjamin kebutuhanku? Kau mengerti, kan?”
“Di tempat murah yang bisa ditutupi premi asuransinya. Aku harus
mengeluarkannya dari situ, begitu memperoleh uang untuk membayar tempat
yang lebih baik.” Ia mendengar keheningan di ujung lain pesawatnya, dan
menyadari bahwa Ghita mengira ia akan meminta uang padanya. “Aku akan
memberikan les privat di akhir minggu,” tambahnya cepat-cepat. “Kau sudah
tanyakan pada atasanmu mengenai usulanku itu?”
“Sudah.”
Itu bukan jawahan ya atau tidak. “Kalian tidak memiliki sistem scanning^
“Ada. tapi sistemmu ternyata jauh lebih cepat daripada yang kami miliki.
Mereka sedang menjajaki kemungkinan untuk melisensi programmu,”
“Wauw. Jadi, ada kemungkinan aku nggak perlu memberikan les privat di akhir
minggu.”
“Haruskah buru-buru?”
“Tentu. Tapi apakah menurutmu nggak lebih baik kalau aku juga ada di sana
selagi kau menjajakinya?”
“Kirimlah ke alamat ini.” Ghita membacakan sebuah alamat E-mail, yang segera
dicatat Jeannie. “Aku akan mengirim hasilnya melalui cara yang sama.”
“Apakah aku bakal kena pajak?” “Ah, sudahlah,” Ghita tertawa, kemudian
mengakhiri percakapan itu.
130
Jeannie menatapnya dengan penuh simpati, la baru saja menerima berita yang
mengguncangkan, dan itu masih membayang di wajahnya; namun ia masih
muda dan tegar, dan pukulan itu tidak membuatnya ambruk. Secara psikologis,
ia amat stabil. Andai kata ia tipe yang cenderung terlibat dalam tindakan
kriminal—seperti saudaranya Dennis, umpamanya—tentunya ia sudah terlibat
dalam bentrokan fisik dengan seseorang sekarang. “Bagaimana?” tanya Jeannie.
Anak muda itu menutup pintu di belakangnya dengan tumitnya. “Semua sudah
beres,” sahutnya, “Aku sudah menjalani semua tes, menyelesaikan semua ujian,
dan mengisi semua lembaran questionnaire yang bisa disusun dengan nalar
manusia.”
Ini benar-benar kejutan bagi Jeannie. “Untuk apa?” tanyanya secara kurang
taktis.
Pertanyaannya membuat hati anak muda itu menciut. “Ehm, eh… di satu pihak,
aku merasa tertarik untuk tahu lebih banyak mengenai risetmu.”
“Oh. Ehm, sayang sekali aku sudah ada janji untuk pergi makan malam nanti.”
Anak muda itu tampak kecewa. “Apakah aku terlalu muda menurutmu ?”
“Untuk apa?”
“Untuk mengajakmu keluar.”
131
Steven menjadi salah tingkah. “Rupanya kau termasuk tipe yang agak lambat
menangkap isyarat.”
la mengenakan celana panjang dari bahan khaki dan sehelai kemeja linen
berwarna biru. “Tampangmu bakal lebih oke daripada para profesor yang ada di
sana,” jawab Jeannie sambil tersenyum. Ia mengeluarkan programnya, lalu
mematikan komputernya.
“Dia marah?”
“Dia tertawa. Katanya aku tidak diadopsi, dan aku tidak punya saudara kembar
yang ditawarkan untuk adopsi.”
“Aneh.” Jeannie merasa lega bahwa keluarga Logan menanggapi hal ini dengan
begitu tenang. Di lain pihak.
“Kau tahu…” Untuk sesaat ia ragu. Ia sudah mengungkapkan cukup banyak hal-
hal yang mengguncangkan hari itu. Namun ia memutuskan untuk terus. “Masih
ada hal lain yang mungkin dapat menjelaskan bahwa kau adalah kembaran
Dennis.”
“Aku tahu apa yang terpintas dalam dirimu,” ujar Steven. “Bayi-bayi yang
tertukar di rumah sakit”
Ia memang cerdas sekali. Tadi pagi Jeannie sudah melihat lebih dari sekali,
betapa cepatnya ia dapat menarik kesimpulan. “Betul,” ujar Jeannie. “Ibu nomor
satu melahirkan dua anak laki-laki kembar identik, ibu-ibu nomor dua dan tiga
sama-sama melahirkan seorang anak laki-laki. Si kembar diserahkan kepada ibu-
ibu nomor dua dan tiga, sementara bayi-bayi mereka diserahkan kepada ibu
nomor satu. Sewaktu anak-anak tumbuh besar, ibu nomor satu menarik
kesimpulan bahwa mereka pasangan kembar fraternal, yang bisa dikatakan
hampir tidak mirip satu sama lain.”
“Dan kalau kebetulan ibu-ibu nomor dua dan tiga tidak pernah berhubungan,
tidak akan ada yang memperhatikan kemiripan antara bayi-bayi nomor dua dan
tiga.”
“Apa ada buku yang mengulas masalah kekembaran?” tanya Steven. “Aku ingin
tahu lebih banyak mengenai ini.”
“Ya, aku punya sebuah.” Jeannie memeriksa rak bukunya. “Ah, ternyata di
rumah.” “Kau tinggal di mana?” “Dekat sini.”
133
Jeannie tampak ragu sebentar. Anak muda ini adalah kembaran yang normal,
bukan yang terganggu jiwanya, ujarnya dalam hati, untuk mengingatkan dirinya.
Steven berkata, “Kau tahu begitu banyak mengenai diriku, setelah hari ini. Aku
juga ingin tahu mengenai dirimu. Aku ingin melihat di mana kau tinggal.”
Saat itu pukul lima sore, dan udara mulai lebih sejuk sementara mereka
meninggalkan Nut House. Steven mengeluarkan siulan begitu melihat mobil
Mercedes merah Jeannie. “Asyik sekali!”
“Aku sudah memilikinya selama delapan tahun,” ujar Jeannie. “Aku betul-betul
sayang pada mobil itu.”
“Milikku ada di pelataran parkir. Aku akan membun-tutimu dari belakang dan
menyalakan lampu dimku.”
134
serambi depan sepanjang deretan jalan, di mana para tetangga biasanya duduk-
duduk untuk menghirup angin segar semasa belum ada AC. la melintasi emper-
emper itu, kemudian berdiri di muka pintunya untuk mengeluarkan knnci.
Dua petugas dinas kepolisian melompat keluar dari mobil patroli mereka,
dengan senjata di tangan. Mereka mengambil posisi siap menembak, dengan
lengan terulur ke muka, senjata mereka terarah langsung ke Jeannie dan Steve.
Kemudian salah satu di antara kedua laki-laki itu berteriak, “Polisi! Jangan
bergerak!”
Namun kedua petugas itu masih tetap tampak tegang. “Tiarap, bangsat!” bentak
salah satu di antara mereka. “Muka ke bawah, tangan ke belakang!”
Kedua petugas itu mendekati mereka dengan hati-hati, seakan mereka bom yang
sewaktu-waktu akan meledak. Jeannie berkata, “Tidakkah sebaiknya Anda
jelaskan lebih dahulu pada kami, apa masalahnya?”
Mereka masih juga belum menjawab. Mereka masih terus mengarahkan senjata
mereka kepada Steve. Satu di antara mereka berlutut di sampingnya, lalu dalam
gerakan cepat dan terlatih, memborgol pergelangannya. “Kau ditahan, bajingan,”
ujar si petugas.
Jeannie berkata, “Aku seorang wanita yang berpandangan terbuka, tapi apakah
maki-Tnakian itu memang perlu?”^idak ada yang menggubrisnya. Ia mencoba
sekali lagi. “Memangnya apa yang dia lakukan?”
Ban sebuah mobil Dodge Colt berwarna biru muda berdecit di belakang mobil
jip polisi, kemudian dua orang melompat keluar. Yang satu ternyata Mish
Delaware, detektif dari Unit Tindak Kejahatan Seks. Ia masih mengenakan
setelan rok dan blus seperti yang dipakainya tadi pagi, namun ia juga
mengenakan jaket linen yang hanya sebagian menutupi senjata yang tersisip di
pinggangnya.
“Kalian cepat sekali sampai di sini,” ujar salah satu petugas patroli itu.
“Ternyata memang dia,” ujar Mish. “Orang inilah yang memerkosa Lisa
Hoxton.”
“Steven?” tanya Jeannie dalam nada tak percaya. Ya Tuhan, hampir saja dia
kuajak masuk ke dalam apartemenku.
Untuk pertama kalinya Jeannie melihat mobil Steve. Sebuah Datsun berwarna
gelap, berumur sekitar lima belas tahun-Lisa mengira si pemerkosa mengendarai
sebuah Datsun tua berwarna putih.
Keterkejutan dan rasa paniknya mulai digantikan oleh pemikiran rasional. Pihak
kepolisian mencurigai Steve, tapi itu tidak membuatnya bersalah. Apa buktinya?
Ia berkata, “Kalau kalian menahan setiap orang yang kalian lihat mengendarai
sebuah Datsun karatan…”
laki-laki yang dibuat dengan komputer. Jeannie menatap gambar itu. Memang
sedikit mirip Steven. “Mungkin memang dia, tapi mungkin juga bukan,” ujar
Jeannie.
“Dia seorang subjek. Kami baru saja melakukan beberapa tes atas dirinya di
laboratorium. Aku masih tak percaya bahwa dialah orangnya!” Hasil
penemuannya menyatakan bahwa Steven mewarisi pembawaan seorang pelaku
tindak kriminal yang potensial—tapi juga terbukti bahwa sejauh ini ia belum
pernah terlibat dalam suatu tindak kriminal sesungguhnya.
Mish berkata kepada Steven, “Kau masih ingat apa kegiatanmu kemarin, antara
pukul tujuh dan delapan malam?”
“Tidak banyak. Tadinya aku akan pergi bersama sepupuku, Ricky, tapi dia
membatalkan rencana kami. Aku kemari untuk mengecek ke mana aku harus
pergi pagi ini. Aku sedang tidak ada kegiatan.”
Alasan itu sama sekali tidak meyakinkan, bahkan bagi Jeannie. Mungkin Steve
memang si pemerkosa itu, ujarnya pada dirinya sendiri dengan kecewa. Tapi
andai kata ia memang pelakunya, maka seluruh teorinya hancur lebur.
“Aku menyaksikan pertandingan tenis selama beberapa waktu. Sesudah itu aku
pergi ke sebuah bar di Charles Village dan menghabiskan waktu selama
beberapa jam di sana. Aku tidak di sana sewaktu peristiwa kebakaran itu
terjadi.”
“Ehm, aku sempat berbincang-bincang dengan Dr. Ferrami. meskipun ketika itu
aku belum tahu siapa dia sebetulnya.”
Jeannie berkata, “Itu terjadi setelah aku selesai bertanding, beberapa menit
sebelum peristiwa kebakaran itu.”
Mish berkata, “Jadi, Anda tidak dapat menyatakan kepada kami di mana dia saat
peristiwa pemerkosaan itu terjadi?”
“Tidak, tapi aku dapat menyatakan sesuatu yang lain. Aku sudah menghabiskan
sepanjang hari ini dengan mengetes laki-laki ini. Dia tidak memiliki profil
psikologis seorang pemerkosa.”
“Jeannie, aku tak peduli bagaimana anggapan mereka, tapi aku ingin kau tahu
bahwa aku tidak melakukan itu, dan bahwa aku tidak akan pernah melakukan
hal-hal seperti itu.”
138
“Jangan,” ujar Steven dalam nada tegas. “Mereka, akan cemas. Urusan ini toh
akan selesai dalam beberapa jam. Akn akan memberitahu mereka setelah itu.”
“Aku sudah mengatakan kepada mereka bahwa mungkin aku akan menginap
lagi semalam di tempat Ricky.”
“Kenapa harus terburu-buru?” ujar Jeannie dalam nada sengit. “Apa masih ada
orang tidak bersalah yang harus kalian tangkap?”
Mish menatapnya dengan pandangan marah. “Apa masih ada yang ingin Anda
katakan padaku?”
“Mereka-mereka yang dicurigai akan dibariskan. Kita akan biarkan Lisa Hoxton
yang memutuskan apakah orang ini yang memerkosanya.” Kemudian dalam
nada ringan Mish menambahkan, “Kalau Anda tidak berkeberatan tentunya, Dr.
Ferrami.”
139
BAB 9
Mereka membawa Steve ke pusat kota dalam mobil Dodge Colt berwarna biru
muda itu. Si detektif wanita duduk di belakang kemudi, sementara rekannya,
seorang laki-laki kulit putih berkumis dan bertubuh besar duduk di sebelahnya,
tampak terjepit dalam mobil kecil itu. Tidak ada yang berbicara.
Markas besar dinas kepolisian itu berupa bangunan granit berwarna kemerahan
yang terletak di distrik lampu merah Baltimore, di antara bar-bar mesum dan
klub-klub malam. Mereka, melintasi sebuah tanjakan, kemudian berhenti di
dalam sebuah garasi. Tempat itu penuh dengan mobil jip polisi dan kendaraan
murah seperti Colt yang mereka pakai.
140
Di situ terdapat sebuah meja dan dua kursi plastik yang keras. Di meja terdapat
asbak berisi dua puntung rokok, dua-duanya dengan ujung berfilter, yang satu
ada lipstiknya. Pada daun pintu terpasang selembar kaca berwarna buram; Steve
tidak dapat melihat keluar, tapi ia memperkirakan bahwa mereka bisa melihat ke
dalam.
Saat melihat asbak itu, ia merasa menyesal bahwa ia tidak merokok. Rupanya
merokok diperbolehkan di dalam sel kuning ini. Sebagai gantinya, ia melangkah
mondar-mandir.
Tapi pihak kepolisian tidak berhak membiarkannya menunggu seperti ini. Oke,
mereka terpaksa menahannya sebagai seorang calon tersangka, tapi mereka tidak
bisa membiarkannya begitu saja sampai larut malam. Ia seorang warga negara
yang patuh hukum.
Ia mencoba melihat dari sisi terangnya. Ia akan melihat dari dekat sistem
keadilan yang berlaku di Amerika. Ia akan menjadi pengacara bagi dirinya
sendiri; suatu latihan bagus. Jika di masa mendatang ia mewakili seorang klien
yang dituduh melakukan suatu tindakan kejahatan, ia akan tahu apa saja yang
dialami orang ini selama berada dalam tahanan polisi.
141
Ia sudah pernah melihat bagian dalam sebuah rumah tahanan, tapi kesannya lain
ketika itu. Usianya baru enam belas tahun. Ia pergi ke kantor polisi ditemani
salah .seorang guru. la mengakui keterlibatannya dalam tindak kejahatan itu
tanpa bertele-tele, dan mengungkapkan secara blak-blakan segala yang terjadi
saat itu. Mereka bisa melihat bahwa ia babak belur; jelas baku hantam itu tidak
hanya berlangsung-dari satu pihak. Kedua orangtuanya kemudian muncul untuk
menjemputnya
142
Steve terdiam sebentar. “Supaya kau dapat memastikan aku tidak buta huruf?”
tanyanya
“Bukan. Supaya kelak kau tidak bisa berpura-pura tidak dapat membaca, dan
menuntut bahwa kau tidak mendapatkan penjelasan mengenai hak-hakmu.”
Steve membaca: “Dengan ini kepada Anda dinyatakan bahwa: Satu. Anda
memiliki hak sepenuhnya untuk tetap diam.” Steve mencanmmkan SL di bagian
kosong pada akhir kalimat itu, lalu membaca lagi sambil memberikan paraf di
bagian belakang kalimat-kalimat berikutnya. “Dua, apa pun yang sudah Anda
katakan atau tulis dapat
143
Bagian yang kosong untuk tanda tangan itu terdapat di bawah kalimat:
Tanda tangan
Tanda tangan
144
Ia. mengembalikan formulir itu ke dalam mapnya, lalu menatap Steve. “Kau
sedang dalam masalah, Steve,” ujarnya. “Tapi tampangmu seperti anak muda
baik-baik- Bagaimana kalau kauceritakan saja dengan terus terang, mengenai
apa yang terjadi?” *
“Mana bisa,” jawab Steve. “Aku kan tidak di sana. Rupanya tampangku mirip
pelaku tindak pemerkosaan itu.”
Kalau aku lugu, ujar Steve dalam hati, aku akan menanggapi isyarat tubuhnya
dan memperhitungkan bahwa ia akan mendekatiku.
Mish berkata lagi, “Coba kuungkapkan apa yang ada di kepalaku. Kau seorang
laki-laki yang menarik; dia menaruh hati padamu.”
Mish tidak menanggapi protes Steve. Sambil mendoyongkan tubuh ke arah meja,
ia meletakkan tangannya di atas tangan Steve. “Kukira dia menggodamu.”
Steve menatap tangan Mish. Kuku-kukunya indah, terawat, tidak terlalu panjang,
dan dipoles dengan cat kuku berwarna bening. Tapi tangannya sudah tidak
mulus; usianya sudah lebih dari empat puluh tahun, mungkin sekitar empat
puluh lima.
Mish berbicara seperti sedang mengajak berkonspirasi, seakan ingin berkata. Ini
kan cuma antara kita berdua. “Dia yang minta sendiri, maka kau melayaninya
Betul, kan?”
145
“Apa yang membuat Anda berpikir begitu?” ujar Steve dalam nada kesal.
“Aku tahu bagaimana ulah gadis-gadis. Dia memberikan lampu hijau, kemudian
pada saat-saat terakhir, pikirannya berubah. Tapi sudah terlambat. Laki-laki tidak
dapat distop begitu saja, setidaknya seorang laki-laki normal.”
“Ke mana?”
“Ke sel.”
“Anda tidak berhak menahanku selama waktu yang tidak terbatas tanpa melalui
prosedur yang berlaku.”
“Kami dapat menahanmu selama dua puluh empat jam tanpa prosedur apa pun,
jadi tutup mulutmu dan ayo kita keluar.”
Mish membawa Steve turun dengan lift, melalui sebuah pintu, ke dalam sebuah
ruang lobi yang dinding-dindingnya dicat warna oranye cokelat yang kurang
menarik. Sebuah pamflet di dinding mengingatkan para petugas untuk
membiarkan para tersangka tetap dalam keadaan diborgol selama proses
pemeriksaan. Si petugas pemegang kunci, seorang polisi kulit hitam berusia lima
puluhan, berdiri di belakang meja piket. “Hei, Spike,” tegur Sersan Delaware.
“Aku punya seorang anak sekolahan yang pintar untukmu.”
146
Si petugas tersenyum. “Kalau dia memang pintar, kok dia bisa masuk sini?”
Si petugas yang dipanggil Spike berpostur tubuh kecil dan liat, dengan rambut
keabuan dan kumis kecil. Sikapnya sok akrab, tapi sinar matanya dingin, la
membuka sebuah pintu baja. “Kau juga ikut ke dalam, Mish?*’ tanyanya. “Aku
harus minta padamu untuk menitipkan senjatamu lebih dulu kalau memang
begitu.”
“Tidak, urusanku dengannya sudah selesai untuk hari ini,” ujar Mish. “Dia bakal
dibariskan nanti.” Ia memutar tubuhnya, lalu pergi.
“Lewat sini. Bung,” ujar si petugas kepada Steve. Steve memasuki sebuah pintu.
Sekarang ia berada di dalam suatu sel. Dinding-dinding dan lantainya berwarna
tanah. Steve mengira lift itu berhenti di lantai kedua, tapi ia tidak melihat sebuah
jendela pun, dan ia merasa seperu berada di dalam gua jauh di bawah tanah, dan
bahwa ia bakal membutuhkan waktu lama untuk dapat naik ke atas lagi.
Di sebuah ruang tunggu kecil terdapat sebuah meja tulis dan kamera. Spike
mengambil selembar formulir dari sebuah celah. Dalam keadaan terbalik, Steve
melihat bahwa di atas formulir itu tertulis:
147
Laki-laki itu membuka tutup bolpoinnya, lalu mulai mengisi formulir itu.
Setelah .selesai, ia menunjuk ke suatu tempat di dalam ruangan itu, lalu berkata,
“Berdiri di sana.”
Steve berdiri di muka kamera. Spike menekan sebuah tombol, kemudian tampak
kilatan.
“Putar ke samping.”
Spike menekan jari-jari Steve di atas sebuah bantalan stempel, lalu mulai
mengisi kotak-kotak kosong di atas kartu yang ditandai dengan I. JEMPOL
KANAN, 2. TELUNJUK KANAN, dan seterusnya. Steve melihat bahwa
meskipun Spike berpostur kecil, tangannya besar-besar dan penuh otot. Saal
melakukan prosedur itu, Spike berkata, “Kami sudah memiliki Fasilitas
Pendataan Sentral di rumah tahanan pusat kota, di Greenmount Avenue, dan
mereka memiliki komputer yang dapat mendata sidik-sidik jari seseorang tanpa
tinta Persis seperti mesin fotokopi yang besar; cukup menempelkan tangan pada
permukaan kacanya. Tapi di sini kita masih memakai sistem kuno yang jorok
ini.”
148
“Izinkanlah aku mengantar Anda ke kamar suite Anda,” ujar Spike melucu.
Spike membuka pintu yang terletak di antara terali besi itu, lalu mendorong
Steve masuk. Pintu sorong itu ditutup dengan bantingan, untuk kemudian
dikunci oleh Spike..
“Kau akan terbiasa,” ujar Spike dalam nada ringan, lalu pergi.
Steve menatap kotak itu, berpaling ke arah kloset yang terbuka, kemudian
menggeleng. “Tapi trims,” ujarnya “Rasanya aku tidak lapar.”
150
BAB 10
151
Ia sudah berbicara dengan Lisa. “Mereka baru saja menahan si Brad Pitt!”
ujarnya tadi. Lisa merasa ngeri membayangkan laki-laki itu telah menghabiskan
seluruh harinya di Nut House, tempatnya bekerja, dan bahwa Jeannie hampir
saja mengajaknya masuk ke dalam rumahnya. Jeannie juga sudah menegaskan
padanya bahwa ia yakin Steve bukanlah pelakunya Kemudian ia menyadari
bahwa seharusnya ia tidak menelepon Lisa; itu bisa ditafsirkan sebagai tindakan
mempengaruhi seorang saksi. Lisa akan melihat sebarisan anak muda kulit putih,
dan kemungkinan ia akan melihat laki-laki yang memerkosanya itu, atau ia tidak
melihatnya Ia tidak akan membuat kekeliruan dalam hal seperti ini.
Jeannie juga sudah berbicara dengan ibunya. Patty ada bersamanya hari itu,
dengan ketiga putranya, dan Mom dengan antusias menceritakan kepadanya
bagaimana anak-anak itu berlarian di sepanjang lorong rumah perawatan itu.
Untunglah, rupanya ia tidak ingat bahwa baru kemarin ia dipindahkan ke Belia
Vista. Ia berbicara seakan ia sudah tinggal di sana selama bertahun-tahun, dan ia
mencela Jeannie karena tidak mengunjunginya lebih sering. Setelah
perbincangan itu, Jeannie merasa lebih enak sedikit mengenai keadaan ibunya.
Berrington mengusap alisnya dengan ujung jari telunjuk kanannya Entah kenapa,
Jeannie menganggap gerakan itu sebagai suatu cara untuk mengekspresikan
kesuksesannya “Sekarang aku akan mengajukan suatu pertanyaan kepadamu,
dan kau -harus menjawab sejujurnya” Laki-laki itu tersenyum, supaya Jeannie
tidak terlalu serius menanggapinya
“Oke.”
152
“Ya Masa Anda menganggap aku tipe wanita yang akan berbasa-basi mengenai
hal seperti itu.”
Berrington menggeleng-gelengkan kepala “Aku kira kau bukan tipe yang suka
berbasa-basi mengenai banyak hal.”
“Sebetulnya aku bisa memperbaiki, itu. Apa yang Anda anggap sebagai
kekurangan Anda?”
“Atau pada lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, kukira.”
“Mungkin ada baiknya kalau aku menyurati Lorraine Logan untuk meminta
advisnya.”
Jeannie tertawa, namun ia tak ingin topik percakapan mereka beralih ke Steven.
“Siapa pelukis favorit Anda?” tanyanya
“Coba kautebak.”
153
“Kenapa?”
“Ah, tentu. Garis-garis lurus.” “Tepat. Anda hebat sekali dalam hal ini.”
Berrington angkat bahu. Terpintas dalam diri Jeannie bahwa ia sering main
tebak-tebakan seperti ini dengan banyak wanita lain.
Jeannie mencelupkan sendokuya ke dalam sorbet mangga. Jelas ini bukan acara
makan malam untuk urusan pekerjaan. Sebentar lagi ia harus mengambil
keputusan tegas mengenai arah hubungannya dengan Berrington sesudah ini.
Sudah satu setengah tahun lamanya ia tidak berciuman dengan laki-laki. Sejak
Will Temple meninggalkan dirinya, ia bahkan tidak pernah berkencan dengan
siapa pun, sampai hari ini. Ia tidak berniat untuk terus berkabung demi Will; ia
tidak mencintai laki-laki itu Tapi ia akan berhati-hati.
Namun ia bisa edan kalau harus terus hidup seperti biarawatf. la merindukan
sosok seseorang yang berbulu untuk menemaninya di tempat tidur; ia
merindukan aroma maskulin yang mengingatkannya akan minyak sepeda, baju
kaus penuh keringat, dan minuman wiski— dan terlebih lagi, ia amat
merindukan seks. Saat kaum feminis radikal menyatakan bahwa penis adalah
musuh, Jeannie ingin menjawab. Omongmu saja begitu.
154
respek atas keberhasilannya dalam bidang ilmu. Postur tubuhnya langsing dan
tampangnya selalu bugar, sepertinya ia seorang kekasih yang amat
berpengalaman dan terampil, dan matanya yang biru menyenangkan untuk
dipandang.
Namun ia sedikit terlalu tua. Jeannie menyukai laki-laki yang lebih malang, tapi
tidak setua itu.
Mereka mulai memesan kopi. Jeannie meminta secangkir double espresso untuk
menetralisir rasa ringan di kepalanya. Setelah Berrington membayar bonnya
mereka turun dengan lift ke tempat parkir, lalu menaiki mobil Lincoln Town Car
Berrington yang berwarna keperakan.
Jeannie tidak dapat mengatakan, Nggak bisa, mampirlah di kios telepon umum.
Rupanya ia bakal harus berusaha mengatasi pendekatan yang tidak
menggunakan banyak basa-basi lagi. ‘Tentu,” jawab Jeannie, sambil berusaha
menahan helaan napasnya. “Yuk.” Ia mempertanyakan dirinya apakah ia bisa
menghindar dari kewajiban untuk menawarkan kopi kepadanya.
Jeannie melompat keluar dari mobil itu lalu memimpin jalannya dengan
melintasi deretan emper. Pintu mukanya membuka ke sebuah ruangan lobi kecil
dengan dua pintu lagi. Yang satu menuju apartemen lantai bawah, yang
ditempati oleh Mr. Oliver, seorang petugas pelabuhan yang sudah pensiun. Yang
lain, pintu Jeannie, membuka ke sebuah tangga yang menuju apartemennya yang
terletak di lantai kedua.
la masuk ke dalam, lalu memimpin jalan menuju ke atas. Sebuah lampu menyala
di sana. Aneh sekali: ia pergi tadi, sebelum hari gelap.
Laki-laki itu sedang berdiri di muka lemari esnya dengan sebuah botol vodka di
tangan. Tampangnya kotor dan wajahnya belum dicukur. Rupanya ia sedikit
mabuk.
“Kau butuh sistem pengamanan yang lebih baik, Jeannie,” ujar tamu yang tidak
diundang itu. “Aku
156
berhasil membuka kuncimu dalam waktu sekitar sepuluh detik.”
157
BAB 11
Ruangan tempat para tersangka dibariskan terletak di lantai yang sama seperti
sel-sel tempat mereka ditahan.
Di dalam ruang tunggunya terdapat enam laki-laki lain yang berusia serta
memiliki postur tubuh hampir sama dengan Si£££. Menurut tebakan Steve,
mereka adalah para anggota dinas kepolisian. Mereka tidak mengatakan apa-apa
kepadanya serta menghindari tatapan matanya Mereka memperlakukannya
seakan ia seorang penjahat. Ia ingin berkata, “Hei, aku di pihak kalian, aku
bukan pemerkosa, aku tidak bersalah.
“Aku Lew Tanner, pembela,” ujar laki-laki itu. “Aku kemari untuk memastikan
prosedur ini berlangsung sebagaimana mestinya. Apa yang ingin Anda
tanyakan?”
“Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan aku dari sini setelah
ini?” ujar Steve.
158
“Aku akan minta mereka untuk lebih mempercepat prosesnya,” ujar Lew. “Ada
lagi?” “Tidak, trims.”
Seorang petugas menggiring ketujuh laki-laki itu melalui sebuah pintu yang
terletak di alas sebuah panggung. Di latar belakangnya terdapat sebuah skala
yang akan menunjukkan ketinggian mereka, serta posisi mereka yang ditandai
dengan nomor satu sampai sepuluh Sebuah lampu terang disorotkan ke arah
mereka, dan sebuah layar memisahkan panggung itu dari bagian lain ruangan.
Mereka tidak dapat melihat melalui layar itu, tapi mereka dapat mendengar apa
yang sedang berlangsung di baliknya.
Untuk sesaat tidak terdengar apa-apa selain suara langkah kaki dan sekali-sekali
gumaman rendah, semuanya maskulin. Kemudian Steve mendengar suara yang
tak mungkin tidak adalah suara langkah kaki seorang wanita. Tak berapa lama
kemudian terdengar suara seorang laki-laki, nadanya seperti sedang membaca
dari sebuah kartu, atau mengulangi sesuatu yang dihafalnya.
“Di hadapan Anda berdiri tujuh orang. Mereka hanya akan Anda kenali
berdasarkan nomor. Kalau di antara orang-orang ini ada yang pernah melakukan
sesuatu atas diri Anda, atau di saat Anda hadir, aku ingin Anda menyebutkan
nomor orang ini, hanya nomornya Kalau Anda ingin salah satu di antara mereka
mengatakan, atau mengucapkan kalimat tertentu, kami akan menyuruhnya
melakukan itu. Kalau Anda ingin mereka memutar tubuh atau menghadap ke
samping, mereka
159
Suara seorang laki-laki berkata, “Kami punya topi-topi. Anda mau mereka
semua memakai topi?”
Steve menangkap nada waswas dan tegang dalam suaranya, tapi juga
kemantapan. Sama sekali tanpa kesan mengada-ngada. Sepertinya ia tipe wanita
yang akan bicara apa adanya, bahkan dalam keadaan amat terpukul. Steve
merasa lebih enak.
“Dave, coba kauperiksa apakah kita mempunyai tujuh pet baseball di dalam
lemari itu.”
Selama beberapa menit tidak terdengar apa-apa. Steve mulai mengenakkan gigi,
menahan sabar. Sebuah suara bergumam. “Wauw, tak pernah kusangka kita
punya ini semua… kacamata, kumis…”
“Jangan melantur, Dave,” ujar laki-laki yang pertama. “Ini prosedur resmi.”
Dari sisi lain layar itu terdengar suara isakan seorang wanita.
160
satu di antara mereka sebagai orang yang pernah melakukan sesuatu atas diri
Anda atau di saat Anda hadir? Kalau memang begitu, sebutkanlah nomornya,
hanya nomornya.”
“Nomor empat,” ujar wanita itu dengan terisak. Steve berpaling untuk melihat ke
latar belakang. Ternyata ia nomor empat.
“Tidak!” jeritnya. “Itu tak mungkin! Bukan aku pelakunya!”
“Demi Tuhan!” Steve menatap ke arah layar dengan lengan terentang, seakan
memohon sesuatu. “Kenapa Anda bisa menunjukku? Aku bahkan tidak tahu
bagaimana tampang Anda!”
Suara laki-laki dari sisi lain layar itu berkata. “Jangan bilang apa-apa, Miss.
Terima kasih atas kerja sama Anda. Silakan lewat sini.”
Spike melihat apa yang terpancar di mata Steve. Ekspresi wajahnya berubah
menjadi keras. “Sebaiknya jangan cari masalah sekarang. Kau tidak bisa ke
mana-mana lagi.” Ia mencengkeram lengan Steve kuat-kuat. Tak ada gunanya
lagi protes.
Steve merasa seperti dihantam dari belakang. Entah dari mana persisnya.
Pundaknya langsung lungai dan ia
161
diliputi perasaan tak berdaya yang membuatnya amat frustrasi. “Kenapa ini bisa
sampai terjadi?” ujarnya. “Bagaimana ini bisa sampai terjadi?”
162
BAB 12
Jeannie betul-betul merasa tidak keruan. Sudah cukup gawat andai kata
atasannya sampai tahu bahwa ayahnya seorang maling profesional. Tapi bertemu
dengannya secara pribadi bahkan lebih gawat lagi. Wajahnya tampak memar
bekas jatuh atau entah apa, sementara cambangnya sepertinya sudah beberapa
hari tidak dicukur. Pakaiannya kotor dan dari tubuhnya menebar bau yang tidak
menyenangkan. Ia merasa begitu malu, sehingga tidak dapat membalas tatapan
Berrington.
Pernah ada suatu masa, bertahun-tahun yang lalu, ketika ia tidak merasa malu
akan ayahnya. Malah sebaliknya; ayahnya membuat ayah gadis-gadis kecil lain
berkesan membosankan. Ayahnya masih tampan ketika itu dan lucu, dan ia akan
pulang dalam setelan jas yang baru dan saku saku penuh uang. Kemudian akan
ada bioskop, gaun-gaun baru, dan es krim Mom akan membeli sebuah gaun
malam yang cantik dan mulai berdiet. Tapi sesudahnya ayahnya akan pergi lagi,
dan
“Hidungmu jelek,” sahut Jeannie dengan cepat, sementara anak-anak lain mulai
mengerumuni mereka.
“Ibumu gendut.”
“Ayahmu di penjara.”
“Tidak.”
“Iya.”
“TIDAK!”
“Aku dengar sendiri daddy-ku mengatakan begitu pada Mommy. Dia sedang
membaca koran. Sepertinya si Pete Ferrami masuk penjara lagi, katanya.”
“Bohong, bohong, dasar tukang bohong,” lantun Jeannie ketika itu, namun jauh
di dalam hatinya ia mempercayai ucapan Tammy. Segalanya menjadi lebih jelas:
mereka tiba-tiba kaya, kemudian tiba-tiba ayahnya menghilang, untuk waktu
lama.
Sejak itu ia tak pernah melibatkan diri dalam percekcokan dengan teman-teman
sekolahnya. Siapa pun dapat membungkamnya dengan menyebutkan nama
ayahnya. Dalam usia sembilan tahun, ia sudah merasa tercemar seumur hidup.
Kalau ada sesuatu yang hilang di sekolah, ia akan merasa mereka semua
menatapnya dengan pandangan menuduh. Ia tidak bisa merasa terbebas dari
perasaan bersalah. Kalau ada seseorang yang memeriksa isi dompetnya, lalu
berkata, “Sial, kukira aku masih punya sepuluh dolar,” wajah Jeannie akan
segera merona merah. Kemudian obsesinya adalah berlaku sejujur mungkin: ia
akan menempuh jarak satu mil dengan berjalan kaki hanya untuk
mengembalikan sebuah bolpoin murahan, karena takut kalau ia menyim-164
“‘Yah, Berry, kini kau mengetahui rahasia keluargaku,” ujar Jeannie dalam nada
sendu. “Daddy dijebloskan ke penjara, untuk ketiga kalinya, pada hari aku
diwisuda summa cum laude di Princeton. Dia mendekam di sana selama delapan
tahun terakhir ini.”
“Mestinya lima belas tahun,” ujar Daddy. “Kami menggunakan senjata ketika
itu.”
Jeannie harus berusaha mengusir Berrington secepatnya. “Kalau kau masih ingin
menelepon, Berry, kau bisa memakai pesawat yang ada di kamar tidur.”
165
Untunglah. “Kalau begitu, terima kasih untuk malam yang menyenangkan ini.”
Jeannie mengulurkan tangannya.
“Aku juga senang. Selamat malam.” Dengan rikuh ia menerima uluran tangan
Jeannie, lalu meninggalkan ruangan itu.
“Aku mendapat keringanan karena berkelakuan baik. Aku bebas sekarang. Dan
tentunya yang pertama-tama ingin kutemui adalah gadis kecilku.”
“Kau jadi lebih tua,” ujar si ayah. “Aku melihat sedikit uban di rambutmu.”
“Wah, trims.” Jeannie mengeluarkan dua buah cangkir, susu, dan gula.
“Aku sudah ke rumahnya,” ujar ayahnya dalam nada sedikit tersinggung. “Dia
tidak tinggal di situ lagi rupanya.”
166
Kalau begitu, keluarkan dia dari sana!” ujar Jeannie dengan sengit. “‘Biar
bagaimanapun, dia masih istri Daddy. Usahakan mencari pekerjaan, apartemen
yang layak, dan mulailah merawat Mom.”
“Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu. Aku tidak pernah bisa melakukannya.”
Nada suara si ayah melemah. “Aku sama sekali tidak mencelamu. Manis. Aku
cuma bilang bahwa aku kurang suka membayangkan ibumu di tempat seperti itu,
hanya itu.”
“Aku juga tidak suka, demikian pula Patty. Kami akan mencoba mengumpulkan
uang untuk mengeluarkannya dari situ.’* Tiba-tiba Jeannie menjadi emosional.
Ia berusaha menahan air matanya. “Dasar Daddy, situasinya sudah cukup berat
tanpa komentar seperti itu.”
“Oke, oke,” ujar ayahnya.
Ayahnya mendeham. “Mungkin kau bisa pinjamkan aku beberapa dolar sebagai
modal.”
Permintaan itn membuat Jeannie marah lagi. “Coba dengar, Dad,’* ujarnya
dalam nada tegang. “Aku minta Daddy mandi dan bercukur, sementara pakaian
Daddy
akan kumasukkan ke dalam mesin cuci. Kalau Daddy berjanji untuk tidak
menyentuh botol vodka itu, aku akan membuatkan telur dan roti panggang.
Daddy boleh pinjam piama dariku dan tidur di sofaku. Tapi aku tidak akan
memberikan uang sedikit pun pada Daddy. Aku sedang berusaha mati-matian
mengumpulkan uang agar Mom bisa tinggal di tempat yang memperlakukannya
dengan lebih manusiawi, jadi aku tidak punya apa-apa lagi untuk kusisihkan.”
Jeannie menatapnya. Akhirnya, setelah kemelut antara rasa malu, marah, dan
kasihan di dalam dirinya mereda, yang masih tinggal adalah rasa rindn. Andai
kata ayahnya dapat mengurus dirinya sendiri, bisa tinggal di suatu tempat lebih
dari beberapa minggu, bisa memiliki pekerjaan yang normal, mampu
mencurahkan cintanya, mampu memberikan dorongan dan lebih stabil. Ia
merindukan seorang ayah yang bisa berlaku seperti seorang ayah. Tapi ia tahu
bahwa harapannya tidak akan pernah’ bisa terpenuhi. Di dalam • hatinya ada
tempat untuk seorang ayah, tapi tempat itu akan kosong selamanya.
Ternyata dari Lisa. Nadanya amat emosional. “Jeannie, ternyata dia!” “Siapa?
Apa?”
“Laki-laki yang mereka tahan sewaktu bersamamu itu. Aku menunjuknya tadi.
Dialah yang memerkosaku. Steven Logan.”
“Dia pelakunya?” tanya Jeannie dalam nada tak percaya. “Kau yakin?”
mereka semua memakai topi pet baseball, bam kemudian aku betul-betul yakin.”
“Apa maksudmu?”
“Hasil tesnya tidak menyatakan itu. Dan aku sudah menghabiskan waktuku
bersamanya. Perasaanku mengatakan dia bukan seorang pemerkosa.”
“Tidak sesuai dengan teorimu, kan? Kau ingin kembaran yang satu baik dan
yang lain jahat.”
“Aku minta maaf kalau kau merasa kelanggengan proyekmu terancam oleh
kejadian ini.”
“Di rumah.”
“Justru tipenya yang paling berbahaya, menurut Mish. Yang kelihatannya normal
dari luar, justru yang paling lihai dan paling kejam, dan mereka amat suka
membuat kaum wanita menderita.”
“Ya Tuhan.”
“Aku mau tidur, aku capek sekali. Aku cuma mau mengabarimu. Bagaimana
malammu?”
169
168 %
“Ya, aku betul-betul ingin meneruskan kehidupanku secara normal. Aku nggak
sakit, dan aku tidak membutuhkan istirahat untuk memulihkan diri.”
BAB 13
Steve kembali berada di dalam mang interogasi yang berdinding kuning. Kedua
puntung rokok yang sama masih tergeletak di dalam asbaknya. Suasana ruangan
itu belum berubah, tidak seperti dirinya. Tiga jam yang lalu ia masih berstatus
seorang warga negara yang patuh hukum, sama sekali tidak pernah terlibat
dalam tindak kejahatan, kecuali mengemudikan mobil dengan kecepatan enam
puluh mil dalam zona batas kecepatan lima puluh lima mil. Kini ia seorang
pemerkosa, tertangkap, dikenali oleh korbannya, dan sekarang akan dituntut. Ia
sedang diproses dalam mesin peradilan, di atas ban berjalannya. Ia seorang
kriminal. Tak peduli berapa kali ia terus mengingatkan dirinya bahwa ia tidak
melakukan kesalahan apa-apa, ia tetap tak dapat menyisihkan perasaan tak
berharga dan tercemarnya.
(Kota/Daerah)
Dalam keadaan terbalik, Steve membaca bahwa nama si korban adalah Lisa
Margaret Hoxton. “Bagaimana tampangnya?” tanyanya.
Si detektif mulai melengkapi isi formulir itu. la menulis tanggal pada hari
Minggu itu, kemudiair Gedung Olah Raga Jones Falls University, Balto., MD.
Di bawahnya ia menulis Tindakan Pemerkosaan, tingkat satu. Kemudian ia
menulis nama tempat dan tanggal itu lagi,
172
“Tutup mulutmu.”
“Kau brengsek. Kau bajingan. Orang baik-baik tidak akan mau berada satu
ruangan denganmu. Kau sudah menggebuki, memerkosa, dan menyodomi
seorang gadis. Aku tahu ini bukan yang pertama kali. Kau sudah beberapa lama
melakukan ini. Kau amat lihai, kau menyiapkan rencana, dan kau selalu berhasil
lolos dari cengkeraman hukum di masa lalu. Tapi kali ini kau tertangkap. Kau
sudah diidentifikasi korbanmu. Ada saksi-saksi lain yang melihatmu di sekitar
tempat kejadian peristiwa itu pada waktu itu. Dalam waktu sekitar satu jam atau
lebih, begitu Sersan Delaware menerima surat penggeledahan dan penahanan
dari petugas kehakiman yang sedang bertugas, kami akan membawamu ke
Mercy Hospital untuk melakukan tes darah dan menelusuri rambut genitalmu
untuk membuktikan bahwa
173
DNA-mu persis sama dengan yang kami temukan dari vagina korban.”
“Tutup mulut. Kau tertangkap sekarang, Steve. Kau* .tahu apa yang akan terjadi
atas dirimu?” Steve tidak menjawab.
Steve mengerutkan alisnya, penuh rasa ingin tahu. Apa lagi sekarang?
Detektif Allaston berdiri, mengitari meja, lalu dudyk di salah satu ujungnya,
dengan satu kaki di lantai, di dekat Steve, la mendoyongkan tubuhnya ke muka.
lalu berbicara dalam nada lebih rendah. “Akan kujelaskan padamu. Tindak
pemerkosaan adalah persetubuhan melalui vagina, dengan menggunakan
paksaan atau ancaman dengan kekerasan, di luar kehendak atau tanpa
persepakatan dari pihak wanita. Untuk dapat dikategorikan menjadi tindak
pemerkosaan tingkat satu, masih harus ada suatu faktor yang memberatkan,
seperti tindak
174
Steve merasa kemarahannya mereda. Apa yang dilakukan Allaston bahkan tidak
terasa menyakitkan. Ini semua
175
“‘Mereka bilang kau sok pintar.” ujarnya. “Oke, akan kuungkapkan padamu, apa
yang akan kulakukan untuk memberikan pelajaran padamu. Kau harus kembali
mendekam di dalam sel selama beberapa waktu, tapi kali ini kau bakal punya
teman. Sebagaimana kau tahu, keempat puluh satu sel yang ada di sini entah
karena apa tidak bisa dipakai, jadi kau terpaksa tinggal satu sel bersama seorang
laki-laki bernama Rupert Butcher, yang dikenal sebagai Porky. Kaupikir kau
jagoan, tapi dia lebih hebat darimu. Dia habis berpesta ganja selama tiga hari,
jadi kepalanya pusing sekarang. Tadi malam, sekitar waktu kau menyulut api di
gedung olahraga itu dan menodai Lisa Hoxton yang malang, Porky Butcher
menikam kekasihnya sampai mati dengan sebuah garpu kebun. Kalian akan
menikmati kebersamaan kalian Ayo.”
176
“Sebentar,” ujar Steve dalam suara bergetar. Allaston memutar tubuhnya tanpa
terburu-buru. “Ya?” “Kalau aku mengaku, aku akan mendapat sel sendiri?”
Perubahan nada itu membuat Steve digerayangi oleh perasaan kesal. “Tapi kalau
aku tidak memperolehnya, aku akan dibunuh oleh Porky Butcher.”
Ia mendorong Steve ke arah lift, lalu menggiringnya ke arah blok yang terdiri
atas sel-sel. Spike masih di situ. “Taruh si sok tahu ini di sel si Porky,” ujar
Allaston padanya.
177
178
BAB 14
Ia tidak terlalu berhasil menangani masalah yang ditimbulkan Jeannie serta apa
yang mungkin terungkap gara-gara itu. Mungkin seharusnya ia lebih banyak
menggunakan waktunya untuk menginterogasinya daripada menikmati
kebersamaan mereka. Ia mengerutkan alisnya, seakan heran, saat memarkir
mobilnya di luar rumah, lalu masuk ke dalam.
“Profesor, aku Sersan Delaware dari Unit Tindak Kejahatan Seks yang
menghubungi Anda pada hari Senin malam. Aku amat menghargai kerja sama
Anda hari ini.” Berrington angkat bahu. Ia tidak berbuat banyak selain
mengkonfirmasi bahwa Lisa Hoxton bekerja - di Nut House. Kemudian wanita
itu berkata, “Mengingat Anda atasan Ms. Hoxton dan tindak pemerkosaan itu
terjadi di kampus, kukira ada baiknya ku sampaikan pada Anda bahwa kami
sudah berhasil menangkap si pelaku malam ini. Malah dia sudah menjadi subjek
di laboratorium Anda hari ini. Namanya Steven Logan.”
* Si korban menunjuknya saat dia dibariskan, karena itu aku yakin tes DNA-nya
akan membuktikan bahwa memang dialah orangnya. Tolong teruskan informasi
ini kepada mereka-mereka di kampus yang Anda anggap perlu diberitahu.
Terima kasih.”
Setelah beberapa saat, masih sambil menangis, ia berdiri untuk menutup pintu
ruangan kerjanya, karena khawatir pelayannya akan masuk. Sesudah itu ia
kembali ke meja tulisnya, lalu membenamkah kepala ke dalam tangannya
Andai kata semula Berrington ragu, nada di dalam suara itu berhasil menghapus
keraguannya. “Kau tahu kenapa aku meneleponmu, bukan?”
“Kenapa?”
180
“M-maaf…”
“Maaf!”
“Mula-mula aku tidak mengira itu kau—kukira kau sudah pergi. Mereka
menangkap seseorang yang tampangnya mirip denganmu.”
“Kau bebas.”
“Daddy tidak akan membuka mulut, kan? Kepada polisi, atau entah siapa?”
“Tidak, aku tidak akan buka mulut,” ujar Bemngton dalam nada berat.
“Percayalah padaku.”
181
SELASA
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh:
BAB 15
Suasana kota Richmond memiliki kesan pernah jaya, dan Jeannie menilai bahwa
keberadaan kedua orangtua Dennis Pinker di situ memang pas. Charlotte Pinker,
seorang wanita berambut merah dengan wajah berbintik-bintik dalam gaun sutra
yang mengeluarkan suara gemeresik, memiliki pembawaan seorang wanita
kalangan atas daerah Virginia, meskipun ia tinggal di sebuah rumah kecil di atas
sebuah lahan sempit. Ia mengaku berumur lima puluh lima tahun, namun Jeannie
memperkirakan usianya lebih dekat ke enam puluh. Suaminya, yang ia sebut
“Mayor”, kira-kira sebaya dengannya, namun penampilannya lebih tidak rapi
dan pembawaannya yang berkesan serba santai mengingatkan akan seseorang
yang sudah lama pensiun. Si suami mengedipkan matanya dengan nakal ke arah
Jeannie dan Lisa, lalu berkata, “Apa kalian mau minum koktail?”
Si istri memiliki aksen daerah Selatan yang halus, tapi suaranya terlalu keras,
seakan ia sedang berbicara di hadapan orang banyak. Ia berkata, “Astaga,
Mayor, ini kan baru pukul sepuluh pagi’
185
Jeanriie menyadari bahwa wanita itu menyebut Dennis Pinker sebagai putra kita;
namun itu mungkin tidak berarti banyak. Bisa saja mereka mengadopsinya.
Jeannie benar-benar ingin tahu asal-usul Dermis Pinker. Andai kata pasangan
Pinker mau mengakui bahwa Dennis diadopsi, separuh dari teka-teki itu akan
terpecahkan. Namun ia harus berhati-hati. Ini pertanyaan sensitif. Kalau ia
terlalu terburu-buru, mungkin mereka akan berkelit Ia memaksa dirinya untuk
menunggu saat yang lebih tepat.
Jeannie juga ingin tahu tampang Dennis. Apakah ia memang kembaran Steven
Logan atau bukan? Dengan penuh harap ia melirik ke arah foto-foto di dalam
bingkai-bingkai murahan di sekitar ruang duduk itu. Semuanya rupanya diambil
bertahun-tahun yang lalu. Dennis kecil difoto dalam kereta bayinya, di atas
sepeda roda tiganya, dalam pakaian baseball, dan saat bersalaman dengan
Mickey Mouse di Disneyland. Tidak ada fotonya sebagai seorang laki-laki
dewasa. Jelas kedua orangtuanya lebih suka mengingatnya sebagai si bocah yang
belum berdosa, sebelum ia menjalani hukuman sebagai seorang pembunuh.
Akibatnya, Jeannie tidak dapat belajar apa-apa dari foto-foto itu. Bocah pirang
berusia dua belas tahun itu mungkin tampangnya persis seperti Steven Logan
sekarang, atau bisa juga tumbuh dewasa menjadi jelek, pendek, dan berkulit
gelap.
186
Masih sulit baginya untuk percaya bahwa anak muda itu seorang pemerkosa.
Alasannya bukan hanya karena itu akan mengacaukan teorinya sendiri. Jeannie
menyukai anak muda itu: ia begitu cerdas dan menarik, dan sepertinya baik. Ia
juga memiliki suatu Utik kelemahan: ketertegunan dan keprihatinannya saat
menerima kabar bahwa ia memiliki saudara kembar identik yang sakit jiwa telah
membual Jeannie ingin merangkulnya untuk menghiburnya
Pertanyaan itu terpaksa harus diajukan. Jeannie berkata, “Mrs. Pinker, apakah
mungkin Dennis punya saudara kembar?”
‘Tidak.”
Jawabannya datar, tanpa nada marah, tanpa emosi, hanya apa adanya. “Anda
yakin?”
Charlotte tertawa. “Manisku, untuk satu hal itu, seorang ibu tak mungkin
membuai kesalahan!” “Dia bukan anak angkat.”
“Aku yang mengandung anak itu di dalam rahimku, semoga Tuhan mengampuni
aku.”
Hati Jeannie langsung menciut. Charlotte Pinker mempunyai potensi lebih besar
untuk tidak mengatakan yang
187
Jeannie merasa pesimis saat minta diri pada pasangan Pinker. Perasaannya
mengatakan bahwa begitu bertemu dengan Dermis, ia akan mendapati laki-laki
itu sama sekali tidak mirip Steve.
Mobil Ford Aspire yang mereka sewa terparkir di luar. Cuaca hari itu panas.
Jeannie mengenakan gaun tanpa lengan dengan blazer untuk memberikan kesan
berwibawa. AC mobil Ford itu mengeluarkan suara deru, kemudian
mengembuskan kabut hangat. Ia melepaskan stocking-nya, lalu menggantungkan
blazernya pada kail pakaian di atas bangku belakang mobil itu.
Jeannie yang duduk di belakang kemudi. Saat mereka memasuki jalan raya,
menuju ke arah penjara, Lisa berkata, “Aku jadi tidak enak setelah kau
menganggapku menunjuk orang yang salah.”
“Aku juga.” sahut Jeannie. “Aku tahu kau tidak akan melakukan itu, kecuali kau
betul-betul yakin.”
“Aku sama sekali tidak yakin mengenai apa pun. Cuma perasaanku mengatakan
bahwa Steve Logan bukan pelakunya.”
“Aku tahu. Tapi apa kau pernah nonton film Alfred Hitchcock itu? Tayangannya
hitam-putih, dan pernah diputar ulang beberapa kali di televisi.”
“Aku tahu maksudmu. Yang kisahnya tentang empat orang yang menjadi saksi
mata sebuah kecelakaan lalu lintas, dan masing-masing melihat sesuatu dari
sudut yang berbeda.”
188
“Kau tersinggung?**
Lisa menghela napas. “Seharusnya iya, tapi aku terlalu menyukaimu untuk
marah-marah padamu mengenai itu.”
Suasana hening selama beberapa saat, kemudian Lisa berkata, “Aku benar-benar
nggak suka dianggap lemah.**
“Tapi aku tegar. Aku tinggal sendiri, aku mandiri, aku punya pekerjaan, dan
tidak seorang pun melecehkan aku. Setidaknya kukira begitu, sebelum hari
Minggu itu. Sekarang aku merasa anggapan orang-orang itu benar: ternyata aku
memang lemah. Aku sama sekali tidak bisa menjaga diriku sendiri! Orang
sinting mana pun yang sedang berkeliaran di jalan bisa menghadangku,
menghunuskan pisaunya ke wajahku, dan melakukan apa pun yang dia mau
dengan tubuhku dan meninggalkan spermanya di dalamnya.**
Jeannie menoleh ke arahnya. Wajah Lisa tampak pucat, penuh emosi. Jeannie
hanya bisa berharap bahwa dengan mengeluarkan isi hatinya seperti itu, Lisa
akan merasa lebih lega. “Kau tidak lemah.”
“Siapa, bilang kau tidak sensitif? Aku tidak.” “Wanita yang mengelola Belia
Vista, tempat perawatan yang menampung ibuku. Dia mengatakan padaku.
189
secara blak-blakan, Ibumu tidak akan pernah mencapai usia enam puluh lima
tahun. Begitu saja. Aku tahu Anda akan lebih suka kalau aku langsung
mengatakan apa adanya, ujarnya. Aku kepingin mengatakan kepadanya bahwa
mentang-mentang aku memakai cincin di hidungku, bukan berani aku nggak
punya perasaan.”
“Setidaknya kau akan memberikan perlawanan lebih hebat daripada yang sudah
kulakukan, dan kau nggak bakal kelihatan begitu tak berdaya dan ketakutan.
Karena itulah dia tidak memilihmu.”
Jeannie dapat melihat arah pembicaraan ini. “Lisa, mungkin yang kaukatakan itu
benar, tapi itu tidak berarti bahwa peristiwa pemerkosaan itu adalah
kesalahanmu, oke? Kau tidak bisa disalahkan, sedikit pun. Kau kebetulan
menjadi korban suatu tindak kejahatan beruntun: siapa pun bisa berada dalam
situasi yang sama.”
Setelah menempuh jarak sejauh sepuluh mil dari kota, mereka memasuki suatu
kawasan yang ditandai dengan sebuah papan bertulisan “Lembaga
Pemasyarakatan Greenwood”. Penjara bergaya lama itu terdiri atas beberapa
bangunan batu yang dikelilingi tembok tinggi dengan kawat berduri. Mereka
meninggalkan mobil mereka di bawah naungan sebatang pohon di pelataran
parkir yang disediakan untuk para tamu. Jeannie mengenakan blazernya, tapi
membiarkan stoeking-nya.
190
“Kau siap menghadapi ini?” tanya Jeannie. “Tampang Dennis mungkin bakal
sama dengan yang memerkosamu, kecuali kalau metodologiku keliru sama
sekali.”
Pintu gerbang utama membuka untuk sebuah truk pengangkut barang, sehingga
mereka dapat masuk tanpa rintangan. Sistem penjagaannya tidak begitu ketat,
pikir Jeannie, meskipun ada kawat berduri. Rupanya kehadiran ‘ mereka sudah
dinantikan. Seorang petugas mengecek tanda pengenal mereka, lalu mengawal
mereka melintasi sebuah lapangan yang panas, di mana sekelompok anak muda
kulit hitam dalam seragam narapidana sedang main basket.
Rupanya Temoigne termasuk tipe laki-laki yang sok akrab pada wanita. Dengan
sengaja Jeannie tidak menyebutkan nama kecil Lisa. “Dan ini asistenku, Ms.
Hoxton.”
“Halo, Manis.”
“Anda harus mengerti bahwa Pinker seorang laki-laki yang menyukai kekerasan
dan amat berbahaya,” ujar Temoigne. “Anda tahu detail-detail tindak
kejahatannya?”
191
Jeannie dan Lisa bertukar pandang. Situasinya begitu mengingatkan akan apa
yang terjadi di JFU pada hari Minggu itu. Suatu selingan yang menimbulkan
kekacauan dan kepanikan, dan memberikan peluang pada pelakunya. Di
samping itu, kedua skenario tersebut masih memiliki kesamaan lain dalam
perwujudan fantasinya: menggerayangi cewek-cewek dalam ruangan bioskop
yang gelap, dan melihat kaum wanita yang berhamburan keluar dalam keadaan
telanjang dari ruang ganti. Andai kata Steve Logan memang pasangan kembar
identik Dermis, berarti mereka telah melakukan tindak kejahatan yang amat
mirip satu sama lain.
Temoigne berkata lagi, “Seorang wanita secara kurang bijaksana berusaha
menepisnya, lalu dia mencekiknya.”
Darah Jeannie mulai mendidih. ‘Kalau ada yang menggerayangi Anda. Bung
Sipir, apakah Anda tidak akan setara kurang bijaksana berusaha menepisnya?”
“Aku kan bukan cewek,” ujar Temoigne dengan gaya sok dan penuh percaya
diri.
Dengan penuh diplomasi Lisa memotong, “Sebaiknya kita segera mulai, Dr.
Ferrami. Masih banyak yang harus kita kerjakan.”
“Anda benar.”
192
penyekat dari besi yang memisahkan Anda dari narapidana itu.” Laki-laki itu
menyeringai. “Seseorang tidak
harus terganggu jiwanya untuk merasa tergoda melihat dua gadis muda
semenarik Anda.”
Tiba-tiba Jeannie berdiri. “Aku menghargai keprihatinan Anda, Bung Sipir,
sungguh. Tapi kami harus melakukan beberapa prosedur, seperti mengambil
contoh darah, memotret subjek, dan seterusnya, yang lak mungkin dapat kami
lakukan melalui penyekat. Selain itu, ada bagian-bagian dalam wawancara ini
yang sifatnya intim, dan kami rasa penyekat akan menjadi semacam pemisah
antara kami dan si subjek.”
Temoigne angkat bahu. “Yah. kukira kalian tidak akan apa-apa.” la berdiri.
“Akan kutemani Anda kc blok selnya.”
Mereka meninggalkan ruang kerja itu dan melintasi sebuah lapangan, menuju
sebuah bangunan bertingkat dua. Seorang petugas membuka pintu gerbang
besinya dan membiarkan mereka masuk. Bagian dalam bangunan itu ternyata
sama panasnya seperti di luar. Temoigne berkata, “Robinson akan melayani
kalian berdua mulai dari sini. Kalau ada yang kalian butuhkan, kalian tinggal
teriak.”
Robinson adalah seorang laki-laki kulit hitam yang jangkung, dengan kesan
dapat diandalkan. Usianya sekitar tiga puluh tahun, la menyandang pistol dalam
sarung pistol tertutup dan sebuah tongkat yang tampak
193
Robinson berkata, “Pinker akan muncul sebentar lagi.” Ia membantu Jeannie dan
Lisa mengatur meja dan kursi-kursi. Kemudian mereka semua duduk.
194
BAB 16
Berrington Jones bertemu dengan Jim Proust dan Preston Barck di The Monocle,
sebuah restoran dekat gedung perkantoran Senat di Washington. Sebuah tempat
makan siang terkemuka, penuh dengan tokoh-tokoh yang mereka kenal: orang-
orang kongres, para konsultan politik, jurnalis, dan ajudan. Berrington telah
memutuskan” bahwa tak ada gunanya mencoba menyelinap diam-diam. Mereka
sudah terlalu dikenal, terutama Senator Proust dengan kepalanya yang botak dan
hidung1 nya yang besar. Kalau mereka bertemu di suatu tempat yang tidak jelas,
pasti ada wartawan yang akan memergoki mereka, lalu menulis berita gosip
yang mempertanyakan alasan mereka mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia
itu. Lebih baik muncul di suatu tempat di mana tiga puluh orang akan mengenali
mereka dan menarik kesimpulan bahwa mereka sedang mengadakan diskusi
rutin mengenai salah satu hal yang ada sangkut-pautnya dengan kepentingan
mereka bersama.
195
Jim Proust adalah seorang tokoh terkemuka, selalu ramai dan mudah meledak;
tapi, meski sering membuat Berrington jengkel, biasanya ia dapat dibujuk.
Preston, yang lebih tenang dan menyenangkan, ternyata juga keras kepala.
Jim mengeluarkan umpatan. “Kenapa tidak kaucegah dia?” Suaranya dalam dan
parau, akibat bertahun-tahun selalu main perintah sana-sini.
“Pengakuan?” ujar Jim dalam nada tak percaya. “Apa kita pernah melakukan
sesuatu yang salah?”
196
“Sebaiknya kalian ingat bahwa ketika CIA mengeluarkan laporan yang menjadi
awal dari semua ini, New Developments in Soviet Science—Perkembangan
Baru dalam Dunia Ilmu Pengetahuan Soviet—Presiden Nixon sendirilah yang
mengatakan bahwa itu merupakan berita paling mengguncangkan dari Moskow
sejak pihak Soviet berhasil memecah atom.”
“Tapi kita mengira itu benar. Dan yang lebih penting lagi, presiden kita
mempercayainya. Kalian masih ingat bagaimana resahnya situasi ketika itu?”
Tentu saja Berrington masih ingat. Pihak Soviet memiliki suatu program
pemuliaan manusia kata CIA ketika itu. Mereka merekayasa calon-calon
ilmuwan yang sempurna, para pemain catur yang sempurna, atlet-atlet yang
sempurna—dan serdadu-serdadu yang sempurna. Nixon memerintahkan
Komando Riset Medis Militer Amerika, sebagaimana statusnya ketika itu, untuk
mendirikan suatu pficgram serupa, dan menemukan cara untuk membiakkan
serdadu-serdadu Amerika yang sempurna. Jim Proust-lah yang ditunjuk untuk
mewujudkannya.
Jim langsung menghubungi Berrington untuk meminta bantuannya. Beberapa
tahun sebelumnya, Berrington mengejutkan semua orang, terutama istrinya,
Vivvie, dengan memasuki dinas ketentaraan, justru pada saat kaum muda
Amerika yang seusia dengannya mulai memperlihatkan sikap antiperang Ia
ditempatkan di Fort Derrick, di Frederick, Maryland, untuk mendalami kelelahan
yang dialami para prajurit. Menjelang awal tahun tujuh puluhan, ia sudah
menjadi seorang tokoh dunia terkemuka dalam bidang pewarisan karakteristik
prajurit, seperti sifat agresif dan stamina. Sementara Preston, yang ketika itu
masih di Harvard, sudah membuat beberapa terobosan dalam pemahaman
mengenai fertilitas manusia.
197
Suatu momentum yang amat membanggakan bagi Berrington. “Aku juga masih
ingat bagaimana mendebar-kannya masa-masa itu,” ujarnya. “Kita sedang
menjadi mata tombak dunia ilmu pengetahuan, kita sedang meng- * arahkan
Amerika pada jalur yang benar, dan presiden kitalah yang meminta agar kita
melakukan pekerjaan ini” untuknya”
“Apa yang salah dalam hal ini?” tanya Jim dalam nada menantang. “Itu memang
rahasia, oke. Tapi apa yang butuh pengakuan, coba?”
Itu suatu taktik, ujar Berrington dalam hati, meskipun ia tidak mencela Jim untuk
mengatakan itu. Badut-badut komite pencalonan kembali presiden tertangkap
basah dalam suatu aksi di Hotel Watergate, dan itu membuat seluruh Washington
resah. Preston mendirikan Genetico sebagai sebuah perusahaan swasta, dan Jim
memberikan fasilitas berupa koneksinya dengan pihak militer. Selang beberapa
waktu, usaha klinik fertilitas itu menjadi begitu menguntungkan, sehingga
hasilnya dapat menutupi biaya program riset mereka tanpa bantuan dana dari
pihak militer lagi. Berrington kemudian berkiprah kembali dalam dunia
akademis, dan Jim pindah dari dinas militer ke CIA, lalu masuk ke Senat.
198
_kita lakukan itu salah—meskipun ada hal-hal yang pernah kita lakukan ketika
itu bertentangan dengan hukum.”
Berrington tidak ingin kedua orang itu saling baku hantam. Ia menengahi dengan
berkata dalam nada tenang, “Ironisnya, ternyata tak mungkin membiakkan
orang-orang Amerika yang sempurna. Seluruh proyek berada di jalur yang salah.
Pemuliaan secara alami ternyata amat tidak eksak. Tapi kita toh cukup jeli untuk
melihat prospek rekayasa genetika.”
“Istilah itu belum dikenal sama sekali waktu itu,” gumam Jim sambil memotong
daging stea/c-nya.
“Tidak juga. Kegiatan kita lebih terfokus, dan kita lebih berhati-hati dalam
mempertaruhkannya.”
“Itu betul.”
tahun atau dua, dia bakal mengungkapkan pada kita cara membuat seseorang
agresif tanpa mengubahnya menjadi seorang kriminal. Bagian-bagian terakhir
teka-teki itu mulai terisi. Pengambilalihan oleh pihak Landsmann menawarkan
kepada kita kesempatan untuk meningkatkan seluruh program sambil mengantar
Jim ke Gedung Putih. Sekarang bukan saatnya untuk mundur.”
“Oke,” ujar Preston. “Tapi apa yang akan kita lakukan? Landsmann punya kode
etik, tahu?”
Berrington menelan ludah. “Hal pertama yang harus kita ingat adalah bahwa kita
tidak sedang menghadapi krisis di sini; kita cuma menghadapi suatu masalah”
katanya. “Dan masalahnya bukalTlah Landsmann. Akuntan-akuntan mereka
tidak akan bisa menyingkapkan apa-apa dalam kurun waktu seratus tahun, hanya
dengan mempelajari buku-buku kita. Masalah kita adalah Jeannie Ferrami. Kita
harus menghentikan dia, setidaknya sebelum hari Senin yang akan datang, saat
kita menandatangani dokumen-dokumen pengambilalihan itu.” • Dalam nada
sarkastis Jim berkata, “Tapi kau tak bisa memerintahnya, karena itu sebuah
universitas, bukan akademi militer.”
Berrington sudah menjajaki pertanyaan ini dari segala macam arah. Ia belum
punya rencana, tapi ia sudah memiliki ide. “Kukira ada suatu masalah mengenai
pemakaian sistem database medisnya. Secara etis, itu akan menimbulkan
pertanyaan. Kukira aku bisa memaksanya untuk berhenti.”
200
“Kawin, cerai?”
“Punya anjing?”
Jim mengangguk dengan serius. “Kita masih punya teman-teman yang bisa
diandalkan dalam masyarakat intelijen. Tidak terlalu sulit membuat cewek
seperti itu lenyap**
“Bukan.”
Berrington menarik diri, namun masih belum puas. Andai kata mereka berada di
tempat yang tidak begitu terbuka, ia sudah akan mencengkeram leher Jim. Tapi
yang ia cengkeram kemudian adalah bagian leher kemeja Jim. “Kita sudah
memberikan kehidupan kepada anak-anak itu. Kita yang membawa mereka ke
dunia ini. Baik atau buruk, mereka tanggung jawah kita.”
“Dengar baik-baik. Kalau salah satu di antara mereka sampai terluka, Jim, akan
kuhancurkan kepalamu.”
Seorang pelayuan muncul, lalu berkata, “Adakah di antara tuan-tuan yang mau
memesan hidangan penutup?”
202
BAB 17
Selama itu Porky Butcher tidur seperti bayi, sekali-sekali mengeluarkan suara
dengkuran lembut. Steve duduk di lantai sambil mengawasinya, memperhatikan
setiap gerak geriknya dengan hati waswas, dan mencoba membayangkan apa
yang akan terjadi begitu laki laki itu bangun nanti. Apakah Porky akan
mengajaknya berkelahi? Mencoba memerkosanya? Memukulinya?
Rasa takutnya cukup beralasan. Sepanjang sejarah, mereka yang masuk tahanan
sering mengalami penganiayaan. Banyak di antara mereka kemudian terluka,
malah ada yang terbunuh. Masyarakat luar tidak peduli, karena berpandangan
bahwa andai kata para narapidana itu saling membuat cedera dan membantai
satu sama lain, makin sedikit potensi mereka untuk merampok dan membunuh
para warga negara yang patuh hukum.
Biar bagaimanapun, ujar Steve pada dirinya dengan tubuh gemetar, ia tidak
boleh kelihatan tak berdaya. Ia tahu bahwa orang mudah terkecoh oleh
penampilannya. Tip Hendricks telah membuat kesalahan itu. Steve memiliki
tampang ramah. Meskipun postur tubuhnya besar, pembawaannya seperti orang
yang tidak sampai * hati melukai seekor lalat pun.
Kini ia harus tampil siap untuk menghadapi setiap tindak kekerasan, meskipun
tanpa kesan menantang. Yang paling penting, ia tidak boleh membiarkan Porky
menganggapnya sebagai anak sekolah yang masih polos. Itu akan
menjadikannya target empuk sebagai bantalan tinju, sekadar untuk main-main,
dan akhirnya sebagai tempat pelampiasan kekesalan. Ia harus tampil seperti
seorang kriminal yang, tegar, kalau mungkin. Kalau tidak, ia akan membuat
Porky bingung dan merasa terkecoh dengan isyarat-isyarat yang dianggap asing
olehnya.
Porky lebih tinggi dan lebih berat daripada Steve, dan mungkin juga seorang
tukang berkelahi jalanan yang berpengalaman. Stamina Steve lebih baik dan
mungkin ia dapat bergerak lebih cepat, tapi sejak tujuh tahun yang lalu ia tidak
pernah lagi memukul seseorang dalam keadaan marah. Di tempat yang lebih
luas, Steve mungkin dapat mengatasi atau menghindari Porky tanpa akibat
serius. Tapi di sini, di dalam sel itu, darah akan berceceran, entah siapa pun yang
menang. Andai kata apa yang dikatakan Detektif Allaston memang benar. Porky
sudah membuktikan, dalam kurun waktu dua puluh empat jam terakhir, bahwa ia
memiliki insting pembunuh. Apakah aku memiliki insting pembunuh, tanya
Steve pada dirinya sendiri. Apakah yang disebut insting pembunuh itu memang
ada? Aku hampir saja membunuh Tip Hendricks. Apakah itu menjadikan aku
sama seperti Porky?
204
Mungkin lebih baik kalau ia bersikap pasif. Mungkin akan lebih aman jika ia
meringkuk saja di lantai dan membiarkan Porky menendangi dirinya, sampai
laki-laki itu capek sendiri. Namun Steve tidak yakin dapat melakukan itu.
Karenanya ia duduk dengan tenggorokan kering dan jantung berdebar-debar,
sambil menerawang! si penderita gangguan jiwa yang sedang tidur itu, dan
membayangkan perkelahian-perkelahian yang akan terjadi, di mana akhirnya
dirinyalah yang kalah.
Ia memperkirakan semua ini adalah siasat yang sering dimainkan pihak polisi.
Spike, si petugas penjara, kelihatannya tidak menganggap prosedur ini luar
biasa. Mungkin, daripada menghajar orang di dalam ruang interogasi untuk
mendapatkan pengakuan, mereka lebih suka membiarkan para tahanan lain yang
melakukan pekerjaan itu untuk mereka. Steve mempertanyakan, berapa banyak
orang sudah mengaku melakukan suatu tindak kejahatan yang tidak pernah
mereka lakukan, hanya untuk menghindari kemungkinan dilemparkan satu sel
dengan orang seperti Porky.
Kemudian terpintas dalam dirinya bahwa kalau ia sampai dihukum gara-gara ini,
ia akan dikeluarkan dari fakultas hukum dan tidak akan pernah dapat membela
siapa pun.
Steve terus berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak akan sampai
dihukum. Tes DNA itu akan membersihkan namanya. Sekitar tengah malam, ia
dikeluarkan dari sel itu, diborgol, lalu diantar ke Rumah Sakit Mercy, yang
terletak beberapa blok dari markas kepolisian tersebut. Di sana contoh darahnya
diambil untuk memeriksa DNA-nya. Ia masih sempat menanyakan kepada si
perawat, berapa lama proses tes itu, dan merasa kecewa mendengar bahwa
hasilnya paling cepat akan siap dalam waktu tiga hari. la kembali ke selnya
dengan hati menciut. Ia disatukan lagi dengan Porky, yang untungnya masih
tidur nyenyak.
Steve memperhitungkan bahwa ia tahan tidak tidur selama dua puluh empat jam.
Itu batas waktu terlama bagi mereka untuk menahannya tanpa surat penahanan
resmi dari pihak pengadilan. Ia ditangkap sekitar pukul enam sore, jadi ia akan
mendekam di sini sampai sekitar waktu yang sama sore ini. Kemudian,
kepadanya harus diberikan kesempatan untuk minta dilepas dengan jaminan. Itu
akan menjadi peluang baginya untuk meninggalkan tempat ini.
rangan, usianya ketika itu baru delapan belas tahun, dan catatan itu tidak dapat
digunakan untuk memperberat tuntutan atas dirinya. Ia akan tampil di muka
sidang pengadilan dengan lembaran yang masih bersih. Namun tuntutan yang
dihadapinya betul-betul serius.
Melihat situasinya saat itu, kemungkinannya bisa apa saja, dan sementara
mengawasi Porky, ia mencoba menghafalkan kata-kata yang akan diucapkannya
kepada hakim kelak.
la masih tetap bersiteguh untuk bertindak sebagai pengacara bagi dirinya sendiri.
Ia belum memakai hak—
207
Semakin malam, semakin banyak orang yang dijebloskan ke dalam sel-sel itu.
Ada yang acuh tak acuh dan menurut saja, ada yang protes keras bahwa ia tidak
bersalah. Seseorang berusaha memberikan perlawanan, dan akhirnya dihajar
secara profesional.
Menjelang pukul lima pagi suasana lebih tenang. Sekitar pukul delapan,
pengganti Spike mengantarkan sarapan dalam wadah-wadah dari styrofoam,
yarig dibeli di sebuah restoran bernama Mother Hubbard’s. Datangnya makanan
membangunkan para tahanan di sel-sel lain, dan kegaduhan itu membuat Porky
terbangun.
208
Steve memasang tampang bego dan tidak peduli, kemudian tanpa terburu-buru ia
menoleh, sehingga pandangannya bertemu dengan Porky. Untuk sesaat mereka
saling menatap. Porky seorang laki-laki tampan, dengan wajah agak gemuk yang
berkesan sedikit agresif, la menatap Steve dengan matanya yang kemerahan.
Steve menilainya sebagai seorang tukang foya-foya, seorang pecundang, tapi
juga berbahaya. Ia mengalihkan pandang, untuk mengekspresikan sikap tidak
pedulinya. Ia tidak menjawab pertanyaan itu. Semakin lama waktu yang
dibutuhkan Porky untuk menilai dirinya, semakin aman situasinya baginya.
Ketika si petugas menyodorkan makanan melalui celah di terali sel itu, Steve
tidak bereaksi.
Porky membalas tatapannya. Steve tidak dapat mengatakan apakah laki-laki itu
mempercayainya atau tidak. Setelah agak lama. Porky berkata, “Pembunuhan?”
“Tingkat satu.”
209
“Aku juga.”
Suasana hening selama beberapa saat. Rupanya Porky sedang berpikir. Akhirnya
ia berkata, “Kenapa mereka mengurung kita di sini sama-sama?”
“Mereka nggak punya bukti untuk menuntutku,” jawab Steve. “Jadi, mereka
pikir, kalau aku menghajarmu di sini, mereka akan punya kasus.”
Tidak ada yang datang untuk berbicara dengan Steve, tidak ada yang
mengungkapkan kepadanya apa yang sedang terjadi. Tidak ada tempat untuk
memperoleh informasi. Ia ingin tahu, kapan ia akan memperoleh kesempatan
untuk minta dibebaskan, tapi tak seorang pun mengungkapkan itu kepadanya. Ia
mencoba berbicara dengan si petugas baru, namun laki-laki itu tidak
mengacuhkannya.
Porky masih tidur saat si petugas muncul, lalu membuka pintu sel. Ia memborgol
pergelangan tangan dan kaki Steve, kemudian membangunkan Porky dan mela
—
210
kukan hal yang sama atas dirinya. Mereka dirantai bersama dua orang lagi,
digiring beberapa langkah menuju pojok blok itu, lalu ke sebuah ruang kerja
yang kecil.
Mereka menyeret langkah sepanjang deretan kursi itu, lalu duduk. Ruang kantor
itu biasa-biasa saja, dengan lemari-lemari arsip, papan-papan pengumuman,
sebuah alat pemadam api, dan lemari besi kuno. Dibandingkan sel mereka,
tempat ini lebih indah.
Porky menutup matanya dan sepertinya tidur lagi. Di antara kedua tahanan yang
lain, satu menatap dengan ekspresi seakan tak percaya ke arah kaki kanannya
yang dibungkus gips, sementara yang lain tersenyum entah ke mana, jelas-jelas
tidak menyadari di mana ia berada, seakan sedang teler atau terganggu
pikirannya, atau kedua-duanya.
Akhirnya wanita itu mengalihkan mata dari layarnya. “Sebut nama Anda,”
ujarnya.
Tentu: wanita ini seorang petugas pengadilan. Kini ia ingat bagian prosedur ini
dari mata kuliahnya. Panitera adalah pejabat pengadilan yang kedudukannya
lebih rendah daripada hakim. Ia menangani surat-surat penahanan dan hal-hal
kecil lain yang berhubungan dengan prosedurnya. Ia memiliki wewenang untuk
memberikan status tahanan luar kepada seorang tersangka, dengan
211
imbalan; ini membuat semangat Steve bangkit kembali. Mungkin ia toh bisa
keluar dari sini.
Wanita itu berkata lagi, “Aku di sini untuk mengungkapkan kepada Anda,
pelanggaran apa yang dituduhkan atas diri Anda, tanggal perkara Anda
disidangkan, waktu dan tempatnya, apakah Anda akan bebas dengan imbalan
atau dilepas, dan andai kata dilepas, apakah dengan syarat.” Bicaranya amat
cepat, tapi pernyataannya mengenai bebas dengan imbalan sesuai dengan apa
yang diingat Steve. Jadi, inilah orang yang harus ia yakinkan bahwa ia dapat
diandalkan untuk muncul dalam sidang yang akan menangani perkaranya.
212
Si petugas pengadilan berkata lagi, “Tapi Anda masih akan dituntut di hadapan
sidang untuk tindakan itu.”
Steve tampak bingung. Apa maksudnya andai kata ia masih tetap akan dituntut
di hadapan sidang untuk tindakan itu? Dan kalau dirinya, seorang mahasiswa
tingkat dua fakultas hukum, menganggap ini sulit untuk dimengerti, bagaimana
dengan mereka yang lebih awam?
“Sementara ini Anda ditahan dengan status tidak bisa dilepas sebagai tahanan
luar.”
Nada suara Steve meninggi. “Jadi, untuk apa Anda mengajukan semua
pertanyaan ini kepadaku dan membuat aku berharap harap9 Kusangka aku bisa
keluar dari sini!” b
214
“Aku dimasukkan ke dalam satu sel bersama orang ini!” ujar Steve sambil
menunjuk ke arah Porky yang sedang tidur.
“Sel-sel itu sama sekali belum penuh. Menolehlah ke sana, Anda bisa lihat
sendiri. Kebanyakan masih kosong. Mereka menjebloskan aku bersamanya
supaya dia dapat menghajarku. Dan kalau itu dia lakukan, aku akan akan
menuntut Anda, secara pribadi. Panitera Williams, karena membiarkan itu
terjadi.”
Dalam keadaan frustrasi dan sedih, Steve menerima bolpoin yang disodorkan
petugas pengadilan itu. lalu mulai menandatangani berkas-berkas tersebut.
Sementara itu, si petugas penjara berusaha membangunkan Porky. Steve
menyerahkan berkas-berkasnya kembali kepada si panitera. Wanita itu
memasukkannya ke dalam sebuah map.
215
BAB 18
kan Mh mengawasi pintu masuk ruang interogasi yang terbuka pelan-pelan itu.
Tampang Dennis Pinker begitu mirip dengan Steven, sehingga Jeannie tidak
akan pernah dapat membedakan mereka satu sama lain. *•
Rambut pirangnya yang berombak dipotong dalam gaya yang persis sama:
pendek, dengan belahan. Dennis menggulung lengan kemeja seragam penjaranya
dengan rapi, seperti Steven menggulung manset kemeja linennya yang biru.
Dennis menutup pintu di belakangnya dengan tumitnya, seperti yang dilakukan
Steven saat memasuki ruang kerja” Jeannie di Nut House. Sambil duduk, ia
melontarkan senyum polos kebocahan yang menarik ke arah Jeannie, persis
seperti senyum Steven. Sulit bagi Jeannie untuk mempercayai bahwa ia bukan
Steven.
216
Jeannie menoleh ke arah Lisa. Temannya sedang menatap Dennis dengan mata
melebar. Wajahnya tampak pucat dan ketakutan. “Dia pelakunya,” desahnya.
Dennis menatap Jeannie, lalu berkata, “Kau mesti memberikan celana dalammu
padaku.”
Robinson, si petugas jaga, berkata dengan tenang, “Nah, jaga kelakuanmu dan
jangan macam-macam, Pinker, atau kau bakal dapat masalah.”
Jeannie berusaha menenangkan diri. Ini cuma gertakan, la seorang wanita yang
pintar dan tegar. Dennis akan mendapati bahwa tidak mudah menyerang dirinya
bahkan andai kata mereka cuma berduaan. Dengan adanya si petugas penjara
yang jangkung itu, berdiri di dekatnya dengan sebuah tongkat pemukul dan
pistol, ia akan cukup aman.
Wajah Lisa tampak pucat, namun garis bibirnya mengekspresikan ketegaran saat
ia menjawab dengan tegas, “Aku tidak apa-apa.”
217
Betul-betul sayang sekali, ujarnya pada dirinya. Anak muda ini memiliki bakat
untuk menjadi ilmuwan, dokter bedah, insinyur, perancang software. Tapi saat
ini ia berada di sini, hidup terisolasi.
Perbedaan terbesar antara Dennis dan Steven adalah dalam cara mereka bergaul.
Steven adalah pribadi yang matang, dengan kemampuan bergaul di atas rata-rata
— ia bisa membawa diri di antara mereka yang tidak dikenalnya, siap menerima
wibawa kekuasaan, merasa santai di antara kawan-kawannya, senang ikut ambil
bagian dalam suatu tim. Dennis memiliki kemampuan beradaptasi dengan
sekelilingnya seperti seorang bocah berusia tiga tahun. Ia mengambil begitu saja
apa pun yang ia inginkan, menemui kesulitan dalam berbagi, ia merasa takut
menghadapi orang-orang yang asing baginya, dan kalau tidak memperoleh apa
yang diinginkannya, ia akan marah dan kasar.
Jeannie masih ingat ketika ia sendiri berusia tiga tahun. Ia melihat dirinya
bersandar pada pagar tempat tidur bayi adiknya yang baru lahir. Patty sedang
tidur dalam pakaian cantik berwarna merah muda, dengan bordiran bunga-bunga
biru di bagian kerahnya. Jeannie masih dapat merasakan amarah yang menguasai
dirinya saat ia menerawangi wajah mungil itu. Patty telah mencuri mommy dan
daddy-nya. Dengan seluruh daya yang dimilikinya, Jeannie ingin membunuh si
pengacau ini, yang telah menyita begitu banyak kasih sayang dan perhatian yang
sebelumnya hanya dicurahkan kepadanya. Ketika Bibi Rosa mengatakan. “Kau
sayang pada adik
218
kecilmu, bukan?” Jeannie menjawah, “Aku benci padanya, lebih baik dia mati.”
Bibi Rosa menamparnya, sehingga Jeannie merasa semakin diperlakukan tidak
adil.
Jeannie tumbuh dewasa, Steven juga. tapi lain halnya dengan Dennis. Kenapa
Steven tidak seperti Dennis? Apakah ia diselamatkan oleh cara ia dibesarkan?
Ataukah kelihatannya saja ia lain? Apakah kemampuannya untuk bergaul tidak
lebih dari kedok untuk menutupi jiwanya yang terganggu di baliknya?
Saat mereka hampir selesai, Lisa mengambil contoh darah Dennis; ini memang
keahliannya. Jeannie hampir tak sabar lagi untuk melihat perbandingan hasil
pengetesan DNA-nya. la yakin Steve dan Dennis memiliki gen-gen yang sama
Itu akan membuktikan bahwa mereka sebetulnya toh pasangan kembar identik.
219
‘Tapi kau belum menyerahkan celana dalammu,” sahut Pinker dengan tenang.
Robinson berkata, “Eh, Pinker, kau sudah begitu baik sepanjang sore. jangan
kaurusak suasananya.”
Tiba-tiba Jeannie merasa tidak enak. Sesuatu yang tidak ia mengerti sedang
berlangsung. Cepat-cepat ia membenahi berkas-berkasnya.
Robinson tampak salah tingkah. “Aku tidak suka pada tikus, betul, tapi aku tidak
takut pada mereka”
“Juga tidak pada si abu-abu gendut di pojok situ?” ujar Dennis sambil menunjuk.
220
Binatang itu lari melintasi ruangan tersebut. “Itu, Robinson, di sana!” seru
Dennis.
221
Hati Jeannie menciut ketakutan. “Oh, jangan, jangan bikin aku buta,” mohonnya.
Mendengar suaranya sendiri dalam nada pasrah yang begitu asing baginya,
membuat Jeannie kembali sadar akan keberadaannya. Mati-matian ia berusaha
menguasai diri dan berpikir terang. Robinson masih sibuk mengejar si tikus, dan
sama sekali tidak menyadari polah Dennis. Sulit bagi Jeannie untuk
mempercayai bahwa ini sungguh-sungguh terjadi. Mereka sedang berada di
sebuah bangunan penjara, dan ia di bawah pengawalan seorang petugas jaga
yang bersenjata, namun nasibnya ada di tangan Dennis. Betapa ironisnya,
beberapa menit yang lalu ia mengira bisa membual laki-laki itu menyesal kalau
sampai berani menyerangnya! Jeannie mulai menggigil ketakutan.
“Aduh!” Bahkan saat mengucapkan kata itu, Jeannie mengumpati dirinya, tapi ia
terlalu takut untuk berbuat lain. “Akan kuturuti maumu!”
Jeannie terenyak: Ia sudah siap melakukan apa pun yang diinginkan laki-laki itu,
seberapa pun memalukannya, agar dapat terlepas dari cengkeramannya; tapi
melepaskan celana dalamnya sama berbahayanya dengan menantangnya. Jeannie
tidak dapat memutuskan apa yang akan ia lakukan, la mencoba melirik ke arah
Robinson. Si petugas jaga berada-di luar jangkauan
222
“Waktuku tidak banyak lagi,” gumam Dennis dalam suara bernada dingin.
“Kalau aku tidak memperoleh apa yang kuinginkan, kau tidak akan pernah
melihat matahari yang bersinar lagi.”
Tapi apa yang akan dilakukannya setelah aku melepaskan celana dalamku, tanya
Jeannie pada dirinya.. Apakah ia akan merasa puas. lalu menjauhkan pisau itu
dari wajahnya? Apakah ia toh akan melukainya? Atau ia akan minta lebih
banyak lagi?
Apa yang lebih menakutkan daripada menjadi buta? “Oke,” erang Jeannie.
Jeannie menoleh ke arah Dennis. Di luar dugaannya, laki-laki itu sudah duduk
kembali di tempatnya, seperti sebelumnya. Tampangnya seakan ia tidak pernah
beranjak dari sana. Gayanya seakan sama sekali tidak bersalah. Baik pisau
maupun celana dalam itu sudah menghilang entah ke mana.
224
Di kepala Jeannie terangkai kalimat, Ya, dia yang membawanya! Tapi entah
kenapa ia tidak mengucapkannya.
Robinson berkata lagi, “Sebab, kalau ini memang ulahmu, aku akan…” Si
penjaga melirik ke arah Jeannie, lalu memutuskan untuk tidak mengucapkan apa
yang akan ia lakukan atas diri Dennis. “Aku yakin kau tahu bahwa aku akan
membuatmu menyesal.”
“Ya, Sir.”
Jeannie menyadari bahwa situasinya sudah lebih aman sekarang. Tapi rasa
leganya langsung diganti oleh kemarahan-Ia menatap Dennis dengan pandangan
berapi-api. Apakah laki-laki itu akan terus berpura-pura tidak ada apa-apa?
Jeannie mencoba mengatakan. Sementara kau sibuk mengejar tikus itu, Dennis
mencuri celana dalamku, namun kata-kata itu tidak mau keluar. Kedengarannya
begitu konyol. Dan ia sudah dapat membayangkan konsekuensinya kalau ia
sampai mengucapkannya. Ia bakal tertahan di sini selama sejam lagi, sementara
pelanggaran itu diusut. Tubuh Dennis akan digeledah dan celana dalamnya akan
ditemukan. Benda itu akan ditunjukkan kepada Sipir Temoigne. Sudah terbayang
oleh Jeannie bagaimana laki-laki itu akan memeriksa barang buktinya dengan
tampangnya yang menyebalkan itu….
225
Betapa lihainya Dermis, selihai laki-laki yang menyulut api di gedung olahraga
serta memerkosa Lisa, selihai Steve….
“Anda agak pucat,” ujar Robinson padanya. “Rupanya Anda juga tidak suka
pada tikus, seperti aku.”
Jeannie berusaha menguasai diri. Semua sudah berakhir, la selamat, bahkan
masih dapat melihat. Apa sebetulnya yang masih perlu dikeluhkan? tanyanya
pada dirinya. Bisa saja aku sudah cedera atau diperkosa. Tapi aku cuma
kehilangan pakaian dalamku. Bersyukurlah. “Aku tidak apa-apa, terima kasih,”
ujarnya.
226
“Kita mampir di daerah pertokoan pertama yang kita lewati,” ujar Jeannie.
“Oke. Kau butuh sesuatu?”
“Aku akan menceritakannya padamu,” sahut Jeannie. “Tapi kau tidak akan
mempercayainya.”
227
BAB 19
Setelah acara makan siang itu, Berrington pergi ke sebuah bar yang tenang di
sekitar situ. lalu memesan segelas martini.
Memang bukan hal baru bagi mereka untuk berselisih paham. Ia teringat krisis
serius mereka yang pertama, di awal tahun tujuh puluhan, ketika skandal
Watergate terbongkar. Saat itu merupakan masa yang serba salah: pandangan
konservatif dianggap negatif, kaum politisi yang berpegang teguh pada hukum
dan peraturan ternyata menyeleweng, dan kegiatan-kegiatan tidak jelas, tak
peduli seberapa baik pun tujuannya, secara tiba-tiba dianggap subversif. Preston
Barck amat ketakutan waktu itu, dan ingin menyudahi seluruh misi. Jim Proust
menyebutnya pengecut, dan bersikeras menyatakan bahwa situasinya cukup
aman. Ia mengusulkan agar mereka melanjutkan proyek ini sebagai usaha kerja
sama dengan pihak CIA-Angkatan Bersenjata, kalau mungkin dengan
menggunakan sistem sekuriti yang lebih ketat. Tak perlu
228
diragukan bahwa ia sudah siap untuk melenyapkan pihak mana pun yang berniat
mengotak-atik apa yang sedang mereka kerjakan. Berrington-lah yang ketika itu
mengusulkan untuk mendirikan suatu perusahaan swasta dan mulai menjaga
jarak dengan pemerintah. Kini sekali lagi tergantung pada dirinya, apakah
mereka akan menemukan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang
sedang mereka hadapi ini.
Suasana tempat itu suram dan dingin. Seperangkat TV di meja bar menayangkan
sebuah opera sabun, tapi suaranya dikecilkan. Minuman gin yang dingin itu
berhasil menenangkan Berrington. Amarahnya kepada Jim berangsur-angsur
mereda, dan ia mulai memusatkan pikirannya pada Jeannie Ferrami.^
Titik kelemahan Jeannie adalah pemakaian sistem database medisnya yang tanpa
izin dari pasien-pasien yang bersangkutan. Ini bisa diolah menjadi skandal
229
Memang tragis sekali untuk membubarkan begitu saja suatu proyek ilmiah yang
begitu berpotensi. Ini betul-betul bertentangan dengan segala yang
diperjuangkan Berrington selama ini. Ia telah mendorong Jeannie untuk maju,
dan kini ia harus menghentikannya. Jeannie akan kecewa sekali, dengan alasan
yang amat masuk akal. Berrington mengingatkan dirinya bahwa Jeannie
memiliki gen-gen yang kurang baik, sehingga cepat atau lambat ia akan terlibat
masalah, namun Berrington toh tak ingin dirinyalah yang menjadi sebab
kejatuhan Jeannie.
230
Selain itu, ia enggan membuat kehebohan mengenai masalah ini. Sulit sekali
mengendalikan pihak pers. Ada kemungkinan mereka akan mulai dengan
menyelidiki seluruh kegiatan Jeannie, kemudian berlanjut sampai kepada
dirinya. Ini strategi berbahaya. Tapi ia tidak memiliki ide lain untuk
mengimbangi usul Jim yang lebih fatal itu.
“Aku tidak yakin. Boleh aku tahu untuk apa Anda tanyakan itu. Sir?”
231
dalam nada kesal. Asisten-asisten yang sok tahu merupakan malapetaka bagi
Capitol Hill. “Tapi kau boleh jawab pertanyaanku; kau mau langsung hubungkan
aku dengan Jim Proust sekarang, atau kau boleh kehilangan pekerjaanmu. Nah,
silakan pilih.” “Tolong jangan ditutup dulu.”
Sebuah suara lain terdengar. “Profesor Jones, lima belas menit lagi Senator akan
menghadiri acara jumpa pers dalam rangka peluncuran buku Anggota Kongres
Dinkey, New Hope for America.”
“Katakan pada Jim bahwa aku akan hadir, dan tolong pastikan namaku
tercantum di daftar tamu.” Berrington menutup pesawatnya tanpa menantikan
jawaban.
la meninggalkan bar itu, lalu naik taksi ke Hotel Watergate. Ini harus ia tangani
dengan hati-hati. Memanipulasi pihak pers besar risikonya; seorang reporter
yang baik mungkin akan melihat ada apa sebetulnya di balik sebuah cerita, dan
mempertanyakan mengapa itu dipersoalkan. Tapi setiap kali ia mulai
mempertimbangkan risiko itu, ia mengingatkan diri akan imbalannya, lalu
berusaha meneguhkan tekadnya.
Ia menemukan ruangan tempat acara jumpa pers itu akan diadakan. Namanya
tidak tercantum dalam daftar tamu—anggota staf yang sok tahu biasanya tidak
efisien—namun penerbit buku itu mengenali wajahnya dan menyambutnya
sebagai penambah marak suasana
232
Beberapa menit lewat pukul tiga, Jim muncul bersama Dinkey. Persis di
belakang mereka tampak Hank Stone, tokoh senior dari New York Times—
berkepala botak, hidung merah, perut menyembul di atas batas pinggang celana
panjangnya, leher kemeja tidak dikancing, dasi molor ke bawah, dan sepatu
kecokelatan yang sudah usang. Pasti ia reporter berpenampilan paling gawat
dalam korps wartawan White House.
233
Saat acara itu berakhir masih juga belum tampak seseorang yang lebih baik
daripada Hank.
Saat para wartawan mulai bubar, Berrington mencegat Hank. “Hank. Wah,
kebetulan sekali kita berpapasan. Rasanya aku punya cerita untukmu.”
“Bagus!”
234
Berrington mengerang dalam hati. Rupanya Hank sedang tidak mudah tergugah.
Ia melanjutkan usahanya, dengan mengerahkan karismanya. “Menurutku ini
justru tepat untukmu, mengingat kau akan melihat potensi yang mungkin akan
dilewatkan oleh seorang reporter biasa.”
“Oke, cobalah.”
“Kedua, kau tentunya akan mempertanyakan kenapa aku memberikan cerita ini
kepadamu, tapi kau tidak akan mengajukannya.”
“Itu lebih bagus lagi,” ujar Hank, namun ia belum menjanjikan apa-apa.
Jangan sok jual mahal, brengsek. Berrington menyentuh lengan Hank dengan
cara bersahabat. “Begini saja, bagaimana kalau kaucoba tanya sana-sini?”
bujuknya. “Hubungi pimpinan universitas, namanya Maurice Obeli. Telepon Dr.
Ferrami. Katakan pada mereka bahwa
235
ini cerita besar, dan dengarkan tanggapan mereka. Aku yakin reaksi mereka
bakal menarik sekali.” “Masa?”
“Aku berani bertaruh, Hank. Waktumu tidak akan terbuang sia-sia.” Bilang oke,
brengsek, bilang oke!
236
BAB 20
Jeannie membeli sebungkus celana dalam katun putih isi tiga di Walgreen, di
sebuah mal kecil persis di luar Richmond. Ia memakai satu di kamar kecil wanita
restoran Burger King yang terletak di sebelahnya, kemudian merasa jauh lebih
enak.
Sungguh aneh, betapa tidak berdaya perasaannya tanpa pakaian dalam. Ia hampir
tidak dapat berkonsentrasi pada hal-hal lain. Sewaktu masih mencintai Will
Temple, ia suka ke mana-mana tanpa celana dalam. Itu membuatnya merasa
seksi sepanjang hari. Saat duduk di ruang perpustakaan, atau bekerja di
laboratoriumnya, atau sekadar keluyuran di jalan, ia berkhayal Will tiba-tiba
muncul begitu saja, penuh nafsu berahi, dan berkata padanya, Aku tidak punya
banyak waktu, tapi aku menginginkan dirimu, sekarang, di sini, dan ia sudah
siap untuknya. Tapi tanpa seorang laki-laki dalam kehidupannya, ia
membutuhkan pakaian dalamnya, sama seperti ia membutuhkan sepatunya.
237
Dennis dan Steven dilahirkan, putus Jeannie saat pesawat mereka meninggalkan
landasan. Entah bagaimana, pasangan kembar identik itu akhirnya dibesarkan
oleh ibu-ibu yang berlainan. Skenario yang mirip dongeng, tapi itulah yang
terjadi.
“Pasti ada yang salah,” ujarnya. “Aku tidak mengerti, kenapa aku tidak
mengecek ini sebelumnya.” Ia menyodorkan data-data yang saling bertentangan
itu kepada Lisa.
“Apakah di dalam salah satu formulir kita ada pertanyaan mengenai nama rumah
sakit tempat si subjek dilahirkan?”
“Dalam kasus ini, tentunya itu sebuah rumah sakit militer. Kolonel Logan
bekerja di dinas kemiliteran, dan tentunya si ‘Mayor* seorang prajurit pada saat
Dennis dilahirkan.”
Lisa tidak merasa tak sabaran seperti Jeannie. Baginya proyek ini cuma salah
satu riset. Tapi bagi Jeannie proyek ini berarti segalanya. “Aku ingin
menghubungi mereka sekarang juga,” ujarnya. “Apa ada telepon di pesawat
ini?”
238
“Pertanyaan bagus. Aku tidak tahu. Sial. Bukan hakku meneruskan berita itu
kepadanya.”
“Aku akan muncul begitu saja. Siapa tahu? Setidaknya aku bisa menghubungi
pasangan Pinker” Ia melambaikan tangan ke arah seorang pramugari. “Apakah
ada telepon di pesawat ini?”
“Aku di Jones Falls, melakukan riset yang rupanya sedang menghadapi beberapa
masalah. Kukira kau sedang mengejar pekerjaan yang sifatnya lebih akademis.”
239
selama beberapa waktu. Aku pernah ditusuk oleh seorang siswa yang tidak
sependapat denganku mengenai Macbeth. Aku lalu mempertanyakan pada
diriku, untuk apa aku melakukannya—mempertaruhkan nyawaku untuk
mengajar Shakespeare pada anak-anak muda yang sudah tak sabar lagi untuk
kembali berkeliaran di jalan dan mencuri uang untuk membeli kokain.”
“Dia baik-baik saja. Dia seorang sales manager regional sekarang. Artinya dia
harus sering pergi, tapi penghasilannya juga lumayan.”
“Washington, DC.”
“Kita pergi makan siang sama-sama,” ujar Penny. “Bakai menyenangkan sekali.”
“Pasti.”
“Dia memang pintar. Sayang sekali. Nggak ada yang salah dengan profesi
sebagai pramugari, tapi sepertinya dua puluh lima tahun pendidikan menjadi sia-
sia.”
“Apa kau akan menghubunginya?”
“Aku juga.”
240
dang sibuk. “Sial,” umpatnya. Ia menunggu selama lima menit, lalu mencoba
sekali lagi. namun nadanya masih tetap sama. “Charlotte tentunya sedang
menelepon keluarganya yang berdarah panas untuk menceritakan mengenai
kunjungan kita,” ujarnya. “Aku akan coba lagi nanti.”
Mobil Lisa ada di pelataran parkir. Mereka menuju ke arah kota, ialu Lisa
mengantar Jeannie ke apartemennya. Sebelum turun dari mobil, Jeannie berkata,
“Boleh aku minta sesuatu darimu?”
“Tentu. Tapi aku nggak mau janji akan melakukannya.” Lisa tertawa.
Wajah Lisa memanjang. “Oh, Jeannie. kita kan sudah keluar seharian. Aku
masih mesti belanja untuk makan malam.”
“Aku tahu. Dan aku masih mesti pergi ke rumah tahanan itu. Bagaimana kalau
kita bertemu di laboratorium nanti, pukul sembilan?”
“Kalau kita mulai malam ini, kita sudah bisa lihat hasilnya besok lusa.”
“Bagus!” Jeannie turun dari mobil itu, kemudian Lisa melesat pergi.
Sebetulnya Jeannie ingin langsung naik ke mobilnya sendiri, lalu langsung pergi
ke kantor polisi, tapi ia memuluskan lebih baik mengecek keadaan ayahnya dulu,
karena itu ia masuk ke rumahnya.
Ayahnya sedang menonton Wheel of Fortune. “Hai, Jeannie, kok baru pulang?”
ujarnya.
“Aku kan kerja, dan aku belum selesai.” jawab Jeannie. “Bagaimana hari ini?”
241
Jeannie merasa kasihan pada ayahnya. Sepertinya ia tidak punya teman. Namun
tampangnya jauh lebih baik daripada malam sebelumnya. Penampilannya bersih,
habis bercukur dan istirahat. Ia telah memanaskan sepotong piza dari lemari es
Jeannie untuk makan siangnya; perabotan bekas makannya masih berserakan di
pojok dapur. Jeannie baru akan menanyakan kepadanya, siapa yang akan
memasukkan semua itu ke mesin pencuci perabotan, namun ia keburu
mengurungkan niatnya.
Ia meletakkan tas kantornya, ialu mulai merapi rapi kan dapurnya. Si ayah tidak
mematikan pesawat TV-nya.
Tidak, ujar Jeannie pada dirinya, tidak bisa dibiarkan. Ia tidak akan
memperlakukan aku sebagaimana ia memperlakukan Mom. “Bagaimana kalau
Daddy menyiapkan sesuatu?” ujarnya.
242
barangmu; aku akan beli minibus. Dengan begitu kita punya waktu untuk
dihabiskan bersama-sama; kita akan makan fast food di jalan. Bakal seru sekali
nanti! Usahakan siap pukul sepuluh!” Jeannie menunggu sepanjang hari, tapi si
ayah tidak pernah muncul, dan pada hari berikutnya ia naik sebuah bus
Greyhound.
Tampang si ayah berubah sedih. “Aku tidak punya sepeser pun, kan aku sudah
bilang.”
“Aku juga tidak punya. Jadi, kita tidak bisa pergi makan di luar.” Jeannie
membuka lemari esnya. Ia masih punya daun selada, beberapa tongkol jagung,
sebutir jeruk lemon, sebungkus daging anak domba, sebutir tomat, dan sekotak
beras Uncle Ben yang isinya tinggal setengah. Ia mengeluarkan itu semua dan
meletakkannya di meja dapur. “Begini saja.” ujarnya. “Kita akan makan jagung
dengan mentega yang sudah dicairkan sebagai hidangan pembuka, ialu daging
anak domba dengan bumbu sari jeruk lemon yang dimakan dengan selada dan
nasi, ialu es krim sebagai hidangan penutup
Si ayah berdiri, kemudian menatap bahan makanan yang baru saja dikeluarkan
Jeannie.
“Aku tidak tahu cara memasak ini semua!” ujar si ayah sambil mengacungkan
setongkoi jagung.
Dari sebuah rak di atas lemari esnya, Jeannie mengambil The Readers Digest
Att-the-Year-Round Cookbook—Buku Masak Sepanjang Tahun The Reader’s Di
—
243
gest. Ia menyerahkan buku itu kepada ayahnya. “Cari saja resepnya di sini,”
ujarnya. Dan setelah mengecup pipi ayahnya, ia keluar.
Jeannie digiring masuk ke dalam sebuah ruangan sempit. Tidak ada apa-apa di
situ, selain sebuah jendela kecil di salah satu dinding, dan sebuah panel sistem
suara di bawahnya. Jendela itu mengarah ke sebuah mangan kecil lain yang
serupa. Tidak ada celah sedikit pun untuk menyodorkan apa-apa dari ruangan
yang satu ke mangan yang lain melalui dinding itu.
244
Jeannie menerawangi jendela itu Setelah sekitar lima menit Steven dibawa
masuk. Saat memasuki ruangan satunya, Jeannie melihat tangannya diborgoi dan
kakinya dipasangi rantai, seakan ia amat berbahaya. Steven menghampiri jendela
itu. Begitu mengenali Jeannie, ia tersenyum lebar. “Kejutan yang1
menyenangkan!” ujarnya. “Malah ini satu-satunya hal menyenangkan yang
terjadi atas diriku sepanjang hari .ini.”
“Agak gawat. Mereka memasukkan aku satu sei bersama seorang pembunuh
yang masih berada di bawah pengaruh obat bius. Aku nggak berani tidur.”
Berbicara soal DNA. Jeannie teringat akan tujuannya datang ke situ. “Aku
bertemu dengan kembaranmu hari ini.”
“Lalu?”
“Apa tak mungkin dia kabur, lalu kembali? Supaya dia punya alibi?”
Itu terlalu muluk. Kalau Dermis memang berhasil kabur dari penjara, tidak akan
a^jfblasan baginya untuk kembali.”
245
“25 Agustus.”
Tanggal itulah yang ditulis Jeannie sebelumnya. Mungkin ia keliru saat menulis
tanggal lahir Dennis. “Dan apakah kau secara kebetulan tahu di mana kau
dilahirkan?”
“Ya Dad sedang bertugas di Fort Lee. Virginia, ketika itu, sehingga aku
dilahirkan di sebuah rumah sakit tentara di sana.”
“Tentu saja^ Mom menulis tentang itu dalam bukunya, Having a Bab" Ia
menyipitkan matanya dengan cara yang mulai terasa tidak asing bagi Jeannie.
Artinya ia sedang mencoba menjajaki apa yang terlintas dalam pikirannya.
“Dennis lahir di mana?”
“Belum.”
“Jangan! Kumohon. Aku tak ingin mereka tahu sebelum aku bisa mengatakan
kepada mereka bahwa namaku sudah bersih.”
246
Jeannie angkat bahu. Ada sesuatu yang disembunyikan Steven darinya. Namun
ini adalah keputusannya.
“Yang betul-betul berbeda adalah pembawaannya. Sepertinya dia tidak tahu cara
bergaul dengan manusia lain.”
“Aneh sekali.”
Steven belum puas. “Tapi pada dasarnya, Dennis dan aku sama.”
“Kalian sama-sama lahir berangasan.” “Tapi aku dipoles tata krama.”
Jeannie melihat ia benar-benar terguncang. “Kenapa kau jadi begitu risau gara-
gara itu?”
“Aku ingin menganggap diriku manusia, bukan seekor gorila yang dilatih.”
Jeannie tertawa, meskipun tampang Steven masib amat serius. “Gorila memang
harus belajar bergaul.
247
Begitu pula semua jenis binatang yang hidup dalam kelompok. Dari situlah
lahirnya pelanggaran.”
“Seperti kentut di dalam lift? Kita akan menyebutnya tidak tahu aturan.
Hukumannya hanya sikap kurang berkenan dari yang lain. Sungguh-sungguh
menakjubkan, efek dari sikap itu.”
“Kenapa kau begitu menaruh perhatian kepada mereka yang terlibat dalam
pelanggaran?”
248
yang masih muda itu melongokkan kepalanya. “Waktu Anda sudah habis, Dr
Ferrami.”
“Oke,” sahut Jeannie. “Steve, tahukah kau bahwa Lisa Hoxton adalah sahabatku
di Baltimore?”
Steven mengangguk.
“Tapi aku juga ingin kau tahu bahwa aku tidak percaya kaulah pelakunya.”
Untuk sesaat Jeannie mengira Steve akan mengucurkan air mata. “Terima
kasih.” ujar anak muda itu dalam nada parau. “Aku tidak bisa mengungkapkan
padamu, betapa berartinya itu bagiku.”
“Trims.”
Jeannie memutar tubuhnya, lalu pergi.
Si polisi wanita menemaninya sampai ke lobi. Hari sudah mulai gelap saat ia
kembali ke garasi parkir itu. Ia mengarahkan kendaraannya ke Jones Falls
Expressway, kemudian menyalakan lampu besar Mercedes tuanya. Saat menuju
ke utara, ia mulai ngebut, karena ingin segera tiba di kawasan universitasnya. Ia
memang selalu ngebut. Ia tahu bahwa ia seorang pengemudi yang terampil, tapi
juga agak gegabah. Tapi ia memiliki kesabaran untuk melajukan kendaraannya
tidak melebihi batas kecepatan lima puluh lima mil per jam.
249
“Dia sehat-sehat saja,” sahut Jeannie. Tampangnya sama sekali tidak seperti
penderita gangguan jiwa, ujarnya dalam hati, sampai dia menghunuskan pisau ke
arahku dan mencuri celana dalamku. Jeannie mencoba memusatkan
perhatiannya kepada sesuatu yang lebih positif. “Dia sangat kooperatif.”
“Kelakuannya memang baik,” ujar Charlotte dalam aksen Selatan kental yang
biasa ia gunakan untuk memberikan tekanan pada ucapannya.
“Mrs. Pinker, boleh aku tanya sekali lagi pada Anda kapan hari lahirnya?”
“Dia lahir pada tanggal 7 September.” Seakan itu suatu hari nasional yang
penting.
Ternyata itu bukan jawaban yang diharapkan Jeannie. “Dan di rumah sakit mana
dia dilahirkan?*’
“Si Mayor bertugas untuk melatih mereka yang kena wajib militer ke Vietnam,”
ujar Charlotte dalam nada bangga. “Komando Medis Angkatan Bersenjata
memiliki sebuah rumah sakit besar di Bragg. Di situlah Dennis dilahirkan.”
250
Jeannie kembali ke laboratorium, lalu berkata pada Lisa, “Rupanya Steve dan
Dennis lahir dalam tenggang waktu tiga belas hari, dan di negara bagian yang
berlainan. Aku betul-betul tidak mengerti.”
Lisa membuka sebuah kotak tabung percobaan yang baru. “Yah, tapi ada satu tes
yang tidak dapat dibantah lagi hasilnya. Kalau mereka memiliki DNA yang
sama, mereka pasti pasangan kembar identik, tidak peduli apa pun yang
dikatakan orang mengenai kelahiran mereka.” Ia mengeluarkan dua tabung kaca
kecil. Panjangnya hanya beberapa inci. Masing-masing memiliki sebuah tutup
dan dasar berbentuk kerucut Ia mengeluarkan sebungkus kertas label, lalu
menulis “Dennis Pinker” di atas yang satu dan “Steven Logan” di atas yang lain,
untuk ditempelkan pada tabung-tabung itu. Sesudah itu ia menempatkannya di
sebuah rak.
Dengan menggunakan sebuah pipet berkaliber presisi tinggi, berupa pipa yang
salah am ujungnya berbentuk labu, ia menambahkan sejumlah kecil kloroform
pada masing-masing tabung. Kemudian ia mengambil sebuah pipet baru untuk
membubuhkan fenol dalam jumlah persis sama.
Ia menutup kedua tabung itu dan memasukkannya ke dalam Whrilmixer untuk
mengagitasi bahan-bahan itu selama beberapa detik. Kloroform akan melarutkan
lemak dan fenol akan menguraikan protein, tapi untaian molekul-molekul asam
deo mbonukleat nya yang panjang akan tetap utuh.
251
Lisa menempatkan tabung-tabung itu kembali di raknya. “Hanya itu yang dapat,
kita lakukan sementara ini,” ujarnya.
Bahan fenol yang dilarutkan air pelan-pelan akan memisahkan diri dari
kloroform. Akan terbentuk suatu lengkung pada permukaan larutan di dalam
tabung itu. DNA-nya akan berada di bagian yang cair, yang akan diambil dengan
pipet untuk tahap pengetesan selanjutnya. Tapi untuk itu mereka harus
menunggu sampai pagi.
“Dengan Naomi Freelander, dari New York Times” Suaranya seperu seorang
perokok berat berusia sekitar lima puluhan. “Aku punya beberapa pertanyaan
untuk Anda.”
“Malam-malam begini?’”
“Aku sedang melakukan .riset untuk sebuah artikel mengenai etika dalam dunia
ilmu pengetahuan.”
“Oh.” Jeannie langsung ingat akan Steve yang tadinya sama sekali tidak
menyadari fakta bahwa mungkin ia seorang anak angkat. Masalah ini
berhubungan dengan soal etika, meskipun bukannya tidak bisa diselesaikan—
tapi tentunya The Times tidak tahu mengenai itu. “Apa yang ingin Anda
ketahui?”
252
“Oh, oke.” Jeannie lebih santai. Tidak ada yang perlu ia cemaskan mengenai
topik ini. “Yah, aku sudah menciptakan suatu sarana riset yang dapat menelusuri
data-data komputer untuk menemukan pasangan-pasangan yang sesuai.
Tujuanku adalah menemukan pasangan kembar identik. Sistem ini dapat
diterapkan melalui database mana pun.”
“Akan sangat berarti kalau Anda mendefinisikan apa yang Anda maksudkan
dengan akses. Aku cukup berhati-hati untuk tidak melanggar hak pribadi
seseorang. Aku belum pernah menelusuri detail-detail medis siapa pun. Dalam
program ini, data-data seperti itu tidak akan dicetak.”
“Nama dari kedua individu itu, beserta alamat dan nomor telepon mereka.”
“Persis sama atau mirip. Tapi aku tidak akan tahu apa-apa mengenai kondisi
kesehatan masing-masing individu.”
“Namun demikian, andai kata Anda tahu sebelumnya bahwa John Doe adalah
seorang penderita gangguan jiwa. Anda bisa menyimpulkan bahwa Jim Fitz juga
menderita hal yang samaT* -
“Maksud Anda?”
253
“Mungkin.”
“Oke. secara teoretis itu memang mungkin, meskipun kecil sekali, sehingga
mereka yang bersifat terbuka tidak akan mempermasalahkannya.”
Suatu ide tiba-tiba melintas dalam dirinya. “Siapa yang meminta Anda
menghubungi aku, sebetulnya?”
“Menarik sekali,” ujar Jeannie. “Aku sudah membeberkan panjang lebar pada
Anda mengenai riset dan metodeku. Tidak ada yang kusembunyikan. Tapi Anda
tidak dapat melakukan hal yang sama. Rupanya Anda. katakanlah, merasa rikuh.
Apakah ada yang tidak wajar mengenai cara Anda mendapatkan informasi
tentang proyekku?”
“Aku sama sekali tidak merasa rikuh,” jawab si reporter dalam nada ketus
254
Jeannie mulai marah. Memangnya ia mengira dirinya siapa? “Oke, ada pihak
yang merasa rikuh. Kalau tidak, kenapa Anda tidak mau mengatakan siapa yang
memberikan informasi itu kepada Anda?”
“Dari apa?” Jeannie tahu bahwa sebaiknya ia mulai mundur. Tidak ada yang
dapat ia peroleh dengan menantang pihak pers. Tapi sikap wanita itu betul-betul
menyebalkan. “Seperti sudah kujelaskan tadi, tidak ada yang salah mengenai
metodeku dan tidak ada seorang pun yang terancam hak keleluasaan pribadinya.
Jadi, untuk apa sumber informasi Anda harus bersikap begitu misterius?”
“A/o comment, he?” ujar Jeannie dalam nada ketus. “Ada baiknya aku ingat-
ingat ungkapan itu.” *
“Dr. Ferrami, aku ingin mengucapkan terima kasih untuk kerja sama Anda.”
Ia masih menerawangi pesawat itu selama beberapa saat. “Nah, apa artinya ini
semua?” ujarnya.
255
‘I’
RABU
BAB 21
Berrington Jones tidak dapat tidur nyenyak. Ia telah melewatkan malam itu
bersama Pippa Harpenden. Pippa adalah seorang sekretaris di fakultas fisika. Ia
sudah pernah diajak oleh banyak profesor, termasuk beberapa yang. sudah
beristri, namun hanya dengan Berrington lah ia mau berkencan. Berrington
mengenakan pakaian terbaiknya saat menggandeng wanita itu ke sebuah restoran
bersuasana intim, kemudian memesan anggur yang eksklusif. Ia telah menikmati
lirikan iri kaum laki-laki yang sebaya dengannya, yang makan malam bersama
istri-istri mereka ¦ yang sudah tua dan jelek. Kemudian ia mengajak Pippa
pulang. Ia menyalakan lilin-lilin, mengenakan piama sutra, ialu bercinta
dengannya perlahan-lahan, sampai wanita itu mendesah kesenangan.
Tapi ia terbangun pada pukul empat pagi dan mulai memikirkan hal-hal yang
dapat menggagalkan rencananya. Sepanjang sore kemarin, Hank Stone
menenggak anggur murahan yang disuguhkan oleh pihak penerbit buku itu bisa
saja ia sudah lupa sama sekali mengenai pembicaraannya dengan Berrington.
Namun andai kata ia ingat, masih ada kemungkinan pihak
259
redaksi New York Times memutuskan untuk tidak melanjutkan liputan itu.
Mungkin mereka akan tanya sana-sini sedikit, lalu menyadari bahwa tidak ada
yang aneh mengenai apa yang sedang dikerjakan Jeannie. Atau bisa saja mereka
menanggapinya dengan begitu santai, dan baru mulai bergerak minggu depan, di
saat segalanya sudah terlambat.
Selang beberapa saat, ia turun dari tempat tidur untuk pergi lari pagi. Ketika ia
kembali, Pippa sudah pergi, dengan meninggalkan surat pendek berisi ucapan
terima kasih yang di bungkus di dalam stocking nilon hitamnya yang tipis.
Pengurus rumah tangganya tiba beberapa menit menjelang pukul delapan dan
membuatkan telur dadar baginya. Marianne adalah seorang gadis kurus dan
selalu resah yang berasal dari Martinique, sebuah tempat di Kepulauan Karibia
Prancis. Ia hanya bisa berbicara bahasa Inggris sedikit-sedikit dan amat takut
dikirim kembali ke tempat asalnya. Gara-gara ini, ia menjadi amat patuh.
Marianne seorang gadis cantik, dan Berrington memperkirakan andai kata ia
menyuruh gadis itu tidur dengannya, Marianne akan menganggap itu adalah
bagian dari tugasnya sebagai seorang pegawai. Namun
260
Berrington tidak melakukan hal itu, tentu saja; tidur dengan seorang pelayan
bukanlah gayanya.
Pukul sembilan lewat tiga puluh, pimpinan Jones Falls University, Maurice
Obeli, menelepon. “Kita sedang menghadapi masalah,” ujarnya.
“Aku ditelepon seorang wanita dari New York Times. Dia bilang seseorang di
bagianmu melanggar hak keleluasaan pribadi orang. Namanya Dr. Ferrami.”
261
ruh prosesnya. Kini ia berusaha menggiring Maurice dan Jeannie ke arah yang
diinginkannya.
Nada suara Maurice terdengar khawatir. Itu awal yang baik. Berrington harus
memastikan agar ia tetap merasa khawatir. Ia harus membuat Maurice merasa
bahwa akan merupakan malapetaka andai kata Jeannie tidak segera berhenti
menggunakan program riset database-nya Begitu Maurice sudah memutuskan
untuk mengambil tindakan tegas, Berrington harus memastikan ia tetap
mempertahankan keputusannya itu.
Maurice sedang duduk di dekat sebuah jendela besar yang menghadap ke kebun.
Ia seorang laki-laki pendek berdada bidang, *yang kembali dari Vietnam dengan
kursi roda, dalam keadaan lumpuh dari batas pinggang ke bawah. Berrington
menilainya mudah untuk diajak
262
Maurice memeriksa buku notesnya. “Naomi Freelander. Dia duduk dalam dewan
redaksi yang menangani soal etika. Apa kau tahu bahwa mereka memiliki dewan
redaksi seperti itu? Aku tidak.”
“Tapi itu bukan alasan bagi mereka untuk berlagak seperti orang-orang Gestapo.
Semula mereka akan menarik artikel ini, katanya, tapi kemarin mereka
memperoleh masukan menyangkut si Ferrami-mu itu.”
Maurice menghela napas. “Katakan bahwa itu tidak benar, Berry. Katakan
padaku bahwa dia sama sekali tidak melanggar hak keleluasaan pribadi orang.”
263
“Dia baru mulai bekerja di sini semester ini, sebagai asisten profesor. Sedikitnya
masih enam tahun sebelum dia dapat menduduki jabatan tetap. Tapi kita bisa
memberikan kenaikan gaji kepadanya. Setahuku dia butuh uang. Dia pernah
mengungkapkan itu kepadaku.”
“Kalau begitu, itu yang akan kita lakukan. Panggil -dia ke sini sekarang. Berry.
Kalau dia ada di kawasan kampus, suruh dia masuk ke sini sekarang juga. Kita
selesaikan ini sebelum tim yang sok etis itu menelepon kita lagi1
264
Berrington meraih pesawat telepon Maurice, lalu memutar nomor ruang kerja
Jeannie. Deringannya langsung dijawab. “Jeannie Ferrami.”
“Aku Berrington.”
Jeannie menghela napas. “Apakah ini mengenai seorang wanita bernama Naomi
Freelander?”
“Ya.”
“Semuanya cuma gertak sambal. Anda tahu itu.” “Ya, tapi kita harus
menghadapinya” “Aku akan segera ke sana.”
Berrington meraih sebuah bloknot dan mulai meng orat oret Ia butuh sesuatu
yang tak mungkin disepakati Jeannie, sesuatu yang akan melukai harga dirinya
dan membuatnya sangat marah. Ia menulis bahwa Jones Falls University
mengakui kesalahan yang terjadi. Pihak universitas meminta maaf kepada
mereka yang merasa keleluasaan pribadinya dilanggar, dan menjanjikan bahwa
program itu sudah tidak diberlakukan terhitung mulai hari itu.
“Wanita yang sama juga menghubungi aku,” ujar Jeannie dalam nada sebal.
“Norak sekali.”
266
“Aku tidak membaca isi database-nya, komputerkulah yang melakukan itu. Tak
ada seorang pun yang membaca data-data medis siapa pun. Programku
menampilkan sebuah daftar nama dan alamat, berdasarkan pasangan.”
“Tapi…”
“Kami tidak akan melangkah lebih jauh tanpa lebih dahulu meminta izin dari
subjek yang dianggap berpotensi. Kami bahkan tidak mengungkapkan kepada
mereka bahwa mereka memiliki pasangan kembar, sampai setelah mereka
menyatakan bersedia ikut ambil bagian dalam studi kami. Jadi, keleluasaan
pribadi siapa sebetulnya yang dilanggar?”
Dengan nekat Jeannie berkata, ‘Tapi juga merupakan tugas Anda untuk membela
kebebasan akademis.”
Ia telah mengambil langkah yang salah. Dulu sekali,
267
Maurice menjadi panas. “Kau tidak perlu menguliahi aku tentang tugas-tugasku
sebagai pimpinan universitas, ^Nona,” ujarnya dalam nada ketus.
Jeannie rupanya tidak menangkap maksud tersirat itu, dan ini membuat hati.
Berrington berbunga. “O ya?” ujarnya pada Maurice, dalam nada yang mulai
bersemangat “Anda menghadapi suatu konflik. Di satu pihak, ada koran yang
ngotot meliput sebuah berita yang sebetulnya tidak ada; di pihak lain, seorang
ilmuwan yang sedang mengejar kebenaran. Kalau seorang pimpinan universitas
merasa bimbang dalam menghadapi , tekanan seperti ini, entah apa jadinya
nanti?”
Kemudian Jeannie rupanya menyadari apa yang sedang ia lakukan, sebab secara
tiba-tiba ia mengubah taktiknya. “Tapi di pihak lain, kita sama-sama tidak
menginginkan publisitas bernada negatif untuk universitas ini,” ujarnya dalam
nada lebih simpatik. “Aku bisa mengerti kekhawatiran Anda. Dr. Obell.”
268
Untuk sesaat Jeannie tampak ragu. “Aku amat menghargai tawaran Anda,”
ujarnya, “tapi itu tidak akan menyelesaikan masalahnya Aku masih tetap
membutuhkan pasangan kembar yang terlibat dalam tindakan kriminal untuk
risetku. Kalau tidak, tidak akan ada bahan bagiku untuk dipelajari.”
Maurice berkata, ‘Tentunya ada cara lain untuk menemukan subjek-subjek yang
cocok bagimu.”
Jeannie membacanya sekilas. Amarahnya bangkit lagi. “Tapi ini kan omong
kosong!” semburnya. ‘Tidak ada kesalahan yang pernah dibuat. Tidak ada
seorang pun yang keleluasaan pribadinya dilanggar. Tidak ada seorang pun yang
pernah mengajukan keluhan!”
269
dan >an
subjek subjekuya sepertinya mereka tidak pernah bisa membuatnya kesal atau
capek, bahkan pada saat mereka membuat kacau jalannya tes. Dengan mereka, ia
mendapati bahwa perilaku buruk amat menarik dan dapat ditolerir, la cuma
menulis apa yang mereka katakan, lalu mengucapkan terima kasih kepada
mereka dengan tulus. Namun di luar ruang laboratorium, ia bisa meledak-ledak
seperti petasan begitu menghadapi sedikit provokasi.
“Anda kan tidak bisa mengatakan bahwa program komputerku sudah tidak
diberlakukan!” ujar Jeannie. “Itu sama saja membubarkan seluruh proyekku!”
Ekspresi wajah Maurice mengeras. “Aku tidak bisa membiarkan pihak New
York Times menerbitkan artikel yang.mengatakan bahwa para ilmuwan Jones
Falls melanggar hak keleluasaan pribadi orang,” ujarnya. “Bayarannya adalah
hilangnya donasi senilai jutaan dolar.”
“Tempuh jalan tengah,” ujar Jeannie dalam nada memohon. “Katakan saja Anda
akan menangani masalah itu. Bentuk sebuah komite. Kita kembangkan sistem
pengamanan hak keleluasaan itu lebih jauh lagi, kalau memang perlu.”
Wah, wah, ujar Berrington pada dirinya. Itu betul-betul masuk akal. “Kita kan
sudah memiliki sebuah komite yang menangani soal etika,” ujarnya, dalam
usahanya mengulur waktu. “Sebuah subkomite dari senat.” Senat merupakan
dewan tertinggi universitas, dan anggota-anggotanya adalah para profesor yang
memiliki jabatan tetap, namun semua kegiatan yang ada dilaksanakan oleh
komite-komite. “Anda bisa menyatakan bahwa Anda sudah meneruskan
masalahnya kepada mereka.”
“Tidak cukup baik,” sahut Maurice. “Semua akan tahu bahwa itu cuma cara
untuk mengulur waktu.”
270
Jeannie langsung protes, “Masa Anda tidak lihat bahwa dengan bersikeras untuk
langsung mengambil tindakan, berarti Anda meniadakan kesempatan untuk
berkompromi!”
Sekarang merupakan saat yang tepat untuk mengakhiri pertemuan ini, putus
Berrington. Keduanya sedang sama-sama panas, sama-sama mencoba
mempertahankan prinsip masing-masing. Ia harus mengakhirinya sebelum
mereka mulai menyadari bahwa mereka harus berusaha berkompromi lagi. “Itu
masuk akal, Jeannie,” ujar Berrington. “Bagaimana kalau aku mengusulkan
sesuatu sekarang—andai kata kau tidak berkeberatan, Maurice.”
“Oke, katakan.”
“Kita menghadapi dua masalah yang sama sekali berbeda. Yang satu adalah
menemukan cara untuk melanjutkan program riset Jeannie tanpa menimbulkan
skandal yang dapat mengganggu reputasi universitas. Itu harus dipecahkan oleh
Jeannie dan aku, dan kita harus membahasnya secara panjang-lebar, nanti.
Masalah kedua adalah bagaimana cara fakultas dan universitas kita menyiarkan
ini ke dunia luar. Itu harus dibicarakan antara kau dan aku, Maurice.”
‘Tentu.”
“Aku tidak bisa memintamu untuk tidak mempubli kasi pernyataan pers itu. Aku
tidak punya hak untuk itu. Kau tidak bisa menempatkan suatu riset di atas
kepentingan seluruh universitas, itu kuakui.” Ia menatap ke atas.
Maurice tampak ragu. Untuk sesaat Berrington sempat mempertanyakan, apakah
Maurice tiba-tiba menyadari dirinya berhasil dipojokkan. Tapi pada saat
bersamaan, kekhawatirannya itu pun berlalu. “Aku menghargai ucapanmu itu,
Berry. Tapi bagaimana caramu menghadapi Jeannie?”
272
BAB 22
Suasana di penjara itu sunyi. Porky masih mendengkur, dan Steve sudah tidak
tidur selama empat puluh dua jam. Ia berusaha untuk tetap terjaga, sambil
menghafal kata-kata yang akan ia ucapkan saat mengajukan permohonan kepada
hakim untuk dilepas sebagai tahanan luar besok, tapi setiap kali ia hanyut ke
alam mimpi, di mana si hakim tersenyum ramah kepadanya sambil berkata,
Permohonan untuk dilepas sebagai tahanan luar dikabulkan, biarkan orang ini
pergil, lalu ia melangkah keluar meninggalkan gedung pengadilan, menuju jalan
yang disinari panas matahari. Saat duduk dalam posisi yang sama di lantai sel
itu, dengan bersandar ke tembok, ia mendapati dirinya terlena, kemudian
tersentak bangun lagi beberapa kali, namun akhirnya kehendak alam berhasil
menundukkan kekerasan tekadnya.
273
Steve langsung bereaksi, tanpa berpikir sama sekali, la melompat berdiri seperti
pegas, tangan kanannya terulur kaku, kemudian ia menghujamkan dua jarinya ke
mata Porky. Porky berteriak kesakitan sambil melangkah mundur. Steve
mengikutinya, seraya mencoba menembuskan jari-jarinya ke dalam otak Porky,
terus sampai ke bagian belakang kepalanya. Di suatu tempat di kejauhan, ia
dapat menangkap suatu suara yang terdengar amat mirip dengan suara teriakan
marahnya sendiri.
Porky mengambil satu langkah mundur lagi, lalu terenyak keras di atas kloset,
sambil menutup matanya dengan kedua tangannya.
Steve meletakkan kedua tangannya di belakang leher Porky, sesudah itu menarik
kepalanya ke arahnya, kemudian menghantam wajahnya dengan lutut. Darah
muncrat dari mulut Porky. Steve merenggut leher kemejanya, menariknya berdiri
dari kloset itu, lalu mengempaskannya ke lantai. Saat akan menendanginya, tiba-
tiba kewarasannya pulih. Untuk sesaat ia termanggu, menerawangi Porky yang
sedang mengalami perdarahan di lantai, kemudian kabut amarahnya mereda.
“Oh, tidak,” ujarnya. “Apa yang sudah kulakukan?”
Pintu sel itu tiba-tiba terbuka dan dua orang polisi menghambur masuk, sambil
mengacungkan tongkat pemukul mereka.
Para petugas itu memborgol tangannya, lalu mengeluarkannya dari sel itu. Satu
di antara mereka mengayunkan tinjunya ke perut Steve dengan keras. Steve
langsung membungkuk, megap-megap. “Itu cuma untuk mengingatkanmu agar
tidak coba-coba lagi,” ujar si polisi.
Ia mendengar suara pintu selnya dibanting menutup dan suara Spike, si petugas
jaga, berkata dalam nada
274
bercanda, “Kau perlu dokter. Porky? Kebetulan ada seorang dokter bewan di
East Baltimore Street.” Ia tertawa karena leluconnya sendiri.
Steve menegakkan tubuhnya. Bekas hantaman itu masih terasa sakit, tapi ia
sudah bisa bernapas. Ia menoleh ke arah Porky melalui terali besi. Laki-laki itu
sedang duduk tegak sambil menggosok-gosok matanya. Melalui bibirnya yang
berdarah ia menjawab Spike, “Bangsat kan.”
Steve merasa lega; Porky tidak terluka parah.
Spike berkata, “Memang sudah waktunya kau keluar dari sana, anak sok pintar.
Tuan-tuan ini datang untuk menjemputmu ke pengadilan.” Ia memeriksa sehelai
kertas. “Coba kita lihat, siapa lagi yang harus ikut ke Northern District Court?
Mr. Robert Sandilands, yang lebih dikenal sebagai Sniff….” Ia mengeluarkan
tiga orang lagi dari dalam beberapa sel. lalu merantai mereka dengan Steve.
Kemudian kedua anggota polisi itu menggiring mereka ke tempat parkir, dan
naik ke atas sebuah bus.
Di luar masih gelap. Steve memperkirakan saat itu sekitar pukul enam pagi.
Sidang tidak akan dimulai sebelum pukul sembilan atau sepuluh pagi, jadi ia
masih harus menunggu lama. Mereka mengitari kota selama lima belas sampai
dua puluh menit, kemudian memasuki sebuah pintu garasi di gedung pengadilan.
Mereka turun dari bus itu, lalu menuju lantai dasar.
275
sana, yang dikepalai oleh seorang wanita kulit hitam bertubuh tinggi dan
bertampang kejam dalam seragam sersan.
Selama satu jam berikutnya, sekitar tiga puluh atau lebih tahanan baru tiba.
Mereka ditempatkan berdua belas dalam sebuah kurungan. Teriakan dan siulan
terdengar saat serombongan kecil tahanan wanita digiring masuk. Mereka
dimasukkan ke dalam kurungan yang terletak di ujung lain ruangan itu.
Setelah itu tidak banyak yang terjadi selama beberapa jam. Sarapan pagi mulai
dibawa masuk, namun sekali lagi Steve menolak bagiannya; ia masih belum
terbiasa makan di tempat yang ada klosetnya. Beberapa orang tahanan
berbincang-bincang dengan ramainya, kebanyakan tetap bertampang murung
dan diam. Ada yang kelihatannya masih belum pulih akibat kebanyakan minum
minuman keras. Kelakar antara para tahanan dan petugas jaga tidak sekonyol di
tempat sebelumnya, dan Steve mempertanyakan apakah itu karena seorang
wanitalah yang membawahinya.
Susasana di penjara ternyata sama sekali tidak seperti yang mereka perlihatkan
di televisi, pikirnya. Acara-acara televisi dan film-film membuat penjara tampak
seperti hotel murahan; mereka tidak pernah menunjukkan kloset-klosetnya yang
terbuka, pelecehan-pelecehan verbalnya, atau tindakan-tindakan kekerasan yang
diterima oleh yang dianggap membuat masalah.
Hari ini mungkin akan menjadi hari terakhirnya di penjara. Andai kata ia
percaya pada Tuhan, tentunya ia sudah akan berdoa dengan sepenuh hati
Steve termasuk dalam rombongan kedua. Mereka diborgol lagi dan sepuluh
orang dirantai bersama. Kemudian mereka naik ke ruang sidang.
276
Di deretan paling belakang duduk ayah dan ibu Steve. Ia tersentak kaget.
Steve berandai ia dapat amblas ke bawah lantai. Dengan rela ia bersedia kembali
ke sel si Porky untuk menghindari momentum ini. la berhenti melangkah,
sehingga seluruh barisan tahanan itu terhenti, kemudian menatap dengan
pandangan sedih ke arah orangtuanya, sampai, seorang petugas mendorongnya
dan ia tersungkur ke arah bangku paling depan.
Seorang pegawai pengadilan wanita duduk di muka sidang, menghadap para
tahanan. Seorang petugas penjara berjaga-jaga di pintu. Satu-satunya petugas
pengadilan lain yang hadir di situ adalah seorang laki-laki kulit hitam
berkacamata yang berusia sekitar empat puluhan, mengenakan jas dan dasi,
dengan celana blue jeans. Ia menanyakan nama para tahanan, lalu mengecek
sebuah daftar. -
lebih suka melewati momentum memalukan ini tanpa ada yang menyaksikan.
“Aku ayah Steven Logan, dan aku ingin bicara dengannya,” ujar Dad dalam
nada berwibawa. “Boleh aku tahu siapa Anda?”
“David Purdy, aku seorang penyidik prasidang. Aku yang menelepon Anda pagi
tadi.”
Jadi, begitu caranya Mom dan Dad tahu, ujar Steve pada dirinya. Seharusnya ia
dapat menebaknya. Petugas pengadilan itu mengatakan kepadanya bahwa
seorang penyidik akan mengecek kebenaran data-datanya. Cara termudah untuk
melakukannya adalah dengan menghubungi kedua orangtuanya. Hatinya
menciut membayangkan mereka menerima telepon itu. Apa yang telah dikatakan
penyidik itu? Aku perlu mengecek alamat Steven Logan, yang sedang ditahan di
Baltimore, dengan tuduhan melakukan tindak pemerkosaan. Anda ibunya?
Purdy berkata, “Anda bisa bicara dengan putra Anda. Silakan. Tidak ada
masalah.” .
^“Aku tahu, Steve,” sahut ayahnya. Nadanya yang begitu tulus membobolkan
pertahanan Steve, dan ia mulai menangis. Begitu mulai, ia tidak dapat berhenti
lagi. Ia merasa lemah karena lapar dan
278
kurang tidur. Seluruh ketegangan dan penderitaannya selama dua hari terakhii ini
membuatnya hanyut, air matanya mengalir bebas. Berkali-kali ia mencoba
menelan dan mengeringkan wajahnya dengan tangannya yang diborgol.
Selang beberapa saat, Dad berkata, “Kami ingin mencari seorang pengacara
untukmu, tapi waktunya tidak cukup—kami baru saja sampai di sini.”
Dua orang gadis dibawa masuk oleh seorang petugas wanita. Mereka tidak
diborgol. Mereka duduk, lalu tertawa cekikikan. Usia mereka sekitar tujuh
belasan.
“Katakan pada hakimnya bahwa kami ada di sini.” ujar Dad. ‘*Mungkin itu akan
membantu.”
Steve merasa seperti anak yang sedang dihibur oleh ayahnya. Ini
mengingatkannya kembali akan suatu kenangan manis-manis pahit yang terjadi
pada hari ia memperoleh sepedanya yang pertama. Sepertinya ini hari ulang
tahunnya yang kelima. Sepeda itu jenis yang memiliki sepasang roda ekstra di
belakang, untuk penjaga-keseimbangan. Rumah mereka memiliki sebuah kebun
besar dengan dua anak tangga menuju serambi. “Kau boleh putar-putar kebun,
tapi jangan main dekat
279
tangga” ujar Dad ketika itu, tapi Stevie kecil justru mencoba menggelindingkan
sepedanya turun tangga. Ia terjungkal, mencederai sepedanya dan dirinya
sendiri; ia menduga ayahnya akan marah-marah padanya karena tidak mematuhi
perintahnya Tapi Dad membantunya berdiri, membersihkan luka-lukanya dengan
hati-hati, sesudah itu membetulkan sepedanya Stevie menantikan saat ia akan
marah-marah, tapi hal itu tidak juga terjadi. Dad bahkan tidak mengatakan, Kan
aku sudah bilang. Tak peduli apa pun yang terjadi, orangtua Steve selalu berada
di pihaknya Si hakim muncul.
Ia seorang wanita kulit putih menarik yang berusia sekitar lima puluhan, mungil
dan rapi. Ia mengenakan sehelai jubah hitam dan membawa sekaleng Diet Cola,
yang ia letakkan di mejanya saat ia duduk.
Steve mencoba membaca wajahnya. Apakah ia wanita yang kejam atau lembut?
Apakah suasana hatinya sedang enak atau kurang baik? Apakah ia wanita yang
hangat, berpikiran terbuka, dan memiliki hati, atau secara obsesif berpegang
teguh pada disiplin dan diam-diam berharap dapat mengirim mereka semua ke
kursi listrik? Steve menatap matanya yang biru, hidungnya yang lancip,
rambutnya yang berwarna gelap dan diseling keabuan. Apakah ia memiliki
suami berperut gendut, seorang anak yang sedang menginjak remaja dan sering
membuatnya pusing, seorang cucu yang disayanginya dengan siapa ia berguling-
guling di karpet? Ataukah ia tinggal sendirian di sebuah apartemen mahal yang
penuh dengan perabotan modem yang kaku dan bersudut-sudut tajam? Dosen-
dosennya pernah membeberkan padanya secara teoretis, alasan-alasan untuk
memberikan atau menolak permintaan seseorang untuk menjadi tahanan luar,
tapi kini semua itu sepertinya tidak relevan lagi. Yang benar-benar penting
hanyalah apakah wanita ini berhati lembut atau tidak.
280
“Apakah Anda sekalian sudah menerima surat gugatan kalian?” Semua sudah
menerima. Kemudian ia membacakan sebuah naskah tentang hak-hak mereka,
serta cara untuk mendapatkan pengacara.
Setelah itu ia berkata, “Pada saat dipanggil, angkatlah tangan kanan Anda. Ian
Thompson.” Seorang tahanan menaikkan tangannya. Ia membacakan tuntutan
serta penalti yang dihadapi laki-laki itu. Ian Thompson rupanya sudah
menggarong tiga rumah di daerah permukiman elite Roland Park. Ia seorang
laki-laki keturunan Hispanik yang lengannya digips. Tampaknya ia tidak peduli
akan nasibnya, dan merasa bosan menjalani seluruh proses itu.
281
biasanya hanya perlu menyediakan sepuluh persen dari jumlah ini dalam bentuk
kontan, jadi Thompson dapat bebas kalau ia bisa memperoleh dua ribu lima ratus
dolar. Itu sepertinya tidak terlalu berat.
Suatu keputusan yang ringan lagi. Hati Steve mulai melambung sedikit.
Kepada si tertuduh juga diingatkan untuk tidak pergi ke alamat gadis yang
pernah cekcok dengannya itu. Steve jadi teringat bahwa seorang hakim bisa
menambahkan persyaratan pada keputusannya Mungkin ada baiknya kalau ia
mengajukan bahwa ia akan menjauhi Lisa Hoxton. la sama sekali tidak tahu di
mana wanita itu tinggal atau bagaimana tampangnya, namun ia bersedia
mengatakan apa saja yang mungkin dapat membantunya meninggalkan tempat
tahanan itu.
Tahanan berikutnya adalah seorang laki-laki kulit putih setengah baya yang telah
mengekspos alat vitalnya kepada para pelanggan wanita di bagian higina sebuah
toko Rite-Aid. Ia sudah memiliki catatan panjang untuk pelanggaran yang persis
sama Ia tinggal sendirian, tapi di alamat yang sama, selama lima tahun. Di luar
dugaan Steve, si hakim menolak permohonan dilepasnya. Postur tubuh laki-laki
itu kecil dan kurus; Steve menilainya sama sekali tidak’berbahaya. Tapi mungkin
hakim ini, sebagai seorang wanita, lebih keras dalam menghadapi kasus
pelanggaran seks.
282
“Baik, tapi ingat, tidak akan menguntungkan bagi Anda untuk mengungkapkan
sesuatu mengenai tindak kejahatan itu.”
Steve berdiri. “Aku tidak bersalah, Yang Mulia. Tapi sepertinya penampilanku
mirip si pelaku, sehingga andai kata Anda mengabulkan permohonanku, aku
berjanji untuk tidak mendekati si korban, andai kata Anda ingin menjadikan itu
persyaratan untuk melepasku dengan jaminan.”
“Baik.”
Ia masih ingin bicara lebih banyak untuk lebih meyakinkan si hakim, namun
semua ucapan yang sudah dipersiapkannya sewaktu berada di dalam sel kini
menghilang begitu saja dari kepalanya. Ia tidak tahu lagi apa yang harus
dikatakan. Dengan perasaan frustrasi, ia duduk.
ayah Steven, Kolonel Charles Logan. Aku bersedia menjawab pertanyaan apa
saja yang ingin Anda ajukan kepadaku.”
Rasa lega melanda Steve, bak guyuran ombak. Seluruh tubuhnya merelaks.
“Terima kasih, Tuhan,” gumamnya.
“Anda tidak boleh mendekati Lisa Hoxton atau pergi ke 1321 Vine Avenue.”
284
Ia tahu masih perlu waktu satu-dua jam lagi sebelum ia betul-betul dilepas, tapi
ia tak peduli, sebab kini ia yakin akan bebas, la akan memakan enam buah Big
Mac dan tidur selama dua puluh empat jam. Ia ingin mandi air panas, ganti
pakaian bersih, dan memperoleh arlojinya kembali. Ia ingin segera menikmati
kembali keberadaannya di antara mereka yang tidak mengeluarkan kata-kata
umpatan setiap kali membuka mulut.
BAB 23
Jeannie merasa sangat kesal saat kembali ke ruang kantornya. Maurice Obeli
betul-betul pengecut. Seorang reporter koran yang agresif menuding secara
ngawur, itu saja, tapi dia sudah menciut. Dan Berrington ternyata terlalu lemah
untuk memberikan perlindungan padanya secara lebih efektif.
Program komputernya merupakan keberhasilannya yang paling besar. Ia telah
mulai mengembangkannya saat ia menyadari bahwa risetnya dalam dunia
kriminalitas tidak akan pernah lancar tanpa suatu sarana baru untuk menemukan
subjek-subjek yang dibutuhkan bagi studinya. Ia telah menghabiskan tiga tahun
untuk itu. Program ini merupakan salah satu keberhasilannya yang betul-betul
luar biasa, di luar gelar juara yang telah ia capai dalam bidang tenis. Andai kata
ia memang memiliki bakat intelektual yang unik, maka bidangnya adalah
memecahkan teka-teki logis sejenis itu. Meskipun yang ditekuninya adalah
psikologi manusia-manusia yang tidak rasional dan tidak dapat diandalkan, ia
toh melakukannya dengan memanipulasi sejumlah data dari ratusan ribu
individu; usaha itu dapat dipertanggungjawabkan secara statistik dan matematik.
Andai kata programnya ternyata tidak baik, menurutnya, ia akan merasa sia-sia.
Lebih baik ia mengundurkan diri saja dan menjadi pramugari, seperti Penny
Watermeadow.
286
Saat Annette meminta diri, Ted Ransome melongokkan kepala melalui pintu.
“Tampangmu seperti siap membantai entah siapa,” ujarnya.
“Pokoknya bukan kau,” Jeannie tersenyum. “Masuklah, kita minum secangkir
kopi.”
“Kenapa tidak?”
Untuk sesaat Jeannie bimbang. “Aku tidak yakin Tipakah ada baiknya aku
melayani Anda.”
288
“Kudengar Anda sudah tidak menggunakan sistem database medis itu untuk
melaksanakan riset Anda.” “Tidak.”
“Aku baru saja menerima faks dari kantor pimpinan universitas. Di dalamnya
pihak universitas meminta maaf kepada mereka yang merasa keleluasaan
pribadinya dilanggar, dan memastikan program itu tidak akan dilanjutkan lagi.”
“Aku melihat konsepnya, tapi aku sama sekali tidak mendukung ide mereka.”
“Mana mungkin?”
“Maksud Anda?” (
“Aku mempunyai kontrak dengan universitas ini. Mereka tidak bisa berbuat
seenaknya.” •
“Apakah itu berarti Anda akan melanjutkan program Anda menentang kebijakan
pihak pimpinan universitas?”
“Ini bukan soal menentang. Mereka tidak bisa mengomando aku.” Mata Jeannie
bertemu pandang dengan Ted. Laki-laki itu mengangkat tangannya, kemudian
menggerakannya, seakan mengatakan jangan. Jeannie menyadari bahwa Ted
benar; bukan begini cara menghadapi pihak media massa. Ia mengubah
taktiknya. “Begini,” ujarnya dalam nada berkompromi, “Anda sendiri yang
mengatakan bahwa invasi keleluasaan pribadi dianggap amat berpotensi, dalam
kasus ini.”
“Ya…”
289
siapa pun yang bersedia mengajukan tuntutan atas programku itu. Namun Anda
sama sekali tidak tergugah mengenai pembatalan proyek riset ini.‘1
“Apakah Anda tahu mengenai apa risetku sebenarnya? Aku sedang mencoba
menemukan apa yang membuat seseorang cenderung melakukan tindakan
kriminal. Aku orang pertama yang rnemikirkan cara yang betul-betul
menjanjikan untuk mendalami problema ini. Andai kata semuanya lancar, apa
yang kutemukan akan menjadikan Amerika tempat yang lebih baik untuk
membesarkan cucu-cucu Anda.”
“Mungkin tidak, tapi apakah tidak lebih baik jika Anda menemukan suatu kasus
invasi keleluasaan pribadi yang betul-betul dipermasalahkan orang? Tidakkah itu
merupakan liputan yang lebih menarik untuk dimuat di koran?”
290
“Mungkin terjadi kekeliruan,” ujar Jeannie penuh harap. “Mungkin sekretaris Dr.
Obell mengirim surat pernyataan itu secara tak sengaja.”
“Mungkin,” ujar Ted. “Tapi aku berani bertaruh ini ulah si ular.”
“Bagaimana kalau aku menelepon Times untuk melaporkan bahwa aku diteror
seseorang?”
Ted melangkah ke arah pintu. “Semoga kau berhasil. Aku akan berdoa
untukmu.”
“Trims.” Semula Jeannie ingin mengecup pipi laki-laki itu, namun ia keburu
mengurungkan niatnya.
Jeannie menelusuri lorong, lalu menaiki tangga menuju ruang kerja Berrington.
Pintunya dalam keadaan terkunci. Ia menuju ruang sekretariat yang melayani
semua profesor yang ada. “Hai, Julie, di mana Berry?”
“Dia sudah pulang, tapi dia memintaku membuat perjanjian dengan Anda
besok.”
Sial. Bajingan itu sedang berusaha menghindari dirinya. Teori Ted ternyata
benar. “Jam berapa besok?”
kontak dengan DNA, dan kuantitas DNA-nya ditunjukkan oleh kilaunya yang
diukur dengan sebuah DNA jluoromeier dengan sebuah jarum yang akan
memperlihatkan hasilnya dalam ukuran nanogram DNA per mikroliter.
“Baik-baik.”
Situasinya seperti memotong Satu inci pita kaset dari sebuah opera. Ambillah
sebuah fragmen yang terpotong lima menit dari awal dua pita yang berbeda:
andai kata musik di kedua pita itu merupakan suatu duet yang
292
Proses fragmentasi ini berlangsung selama beberapa jam dan tidak dapat digesa;
kalau DNA-nya tidak difrag-mentasi secara sempurna, percobaan itu akan sia-
sia.
Lisa tampak tercengang mendengar apa yang diungkapkan Jeannie, tapi ia tidak
menunjukkan simpati sebagaimana yang diharapkan Jeannie. Mungkin karena ia
baru saja mengalami trauma berat tiga hari yang lalu, dan kalau dibandingkan
dengan itu, krisis yang sedang dialami Jeannie tidak ada apa-apanya. “Kalau kau
tidak bisa melanjutkan proyekmu ini,” ujar Lisa, “apa yang akan kautekuni
kemudian?”
“Aku tidak tahu,” sahut Jeannie. “Sulit rasanya membayangkan itu.” Jeannie
menyadari bahwa Lisa rupanya kurang tanggap mengenai apa yang membuat
seorang ilmuwan merasa terdorong. Bagi Lisa, yang menjadi teknisi
laboratorium, proyek riset yang satu hampir mirip dengan yang lain.
Jeannie kembali ke ruang kerjanya, lalu memutar nomor telepon Belia Vista
Sunset Home. Setelah berbagai hal yang ia alami selama ini, ia merasa kurang
menyisihkan waktu untuk berbicara dengan ibunya. “Boleh aku berbicara
dengan Mrs. Ferrami?” tanyanya.
Jawabannya pendek. “Mereka sedang makan siang.”
Untuk sesaat Jeannie ragu. “Oke. Tolong sampaikan kepadanya bahwa putrinya,
Jeannie, meneleponnya, dan aku akan mencoba lagi nanti.”
“Oke.”
293
“Ya, oke.”
Merasa lebih enak, ia meluncur pulang, lalu memarkir mobilnya di luar rumah.
“Daddy, aku pulang,” serunya saat menaiki tangga. Pada waktu memasuki ruang
duduknya, ia merasakan kejanggalan. Selang beberapa saat, ia menyadari bahwa
pesawat TV-nya rupanya pindah. Mungkin ayahnya membawanya ke kamar
tidur untuk menonton. Ia memasuki kamar berikutnya; ayahnya tidak di sana Ia
kembali ke ruang duduknya. “Wah,” erangnya VCR-nya ternyata juga sudah
tidak ada. “Daddy,
294
teganya kau!” Perangkat stereo dan komputernya sudah tidak di meja tulisnya
lagi. “Tidak,” celetuknya, “Tidak, aku tidak percaya ini!” Ia lari ke kamar
tidurnya, lalu membuka kotak perhiasannya. Giwang hidungnya berupa berlian
satu karat yang diperolehnya dari Will Temple ternyata hilang.
“Aku Steven Logan,” ujar suara itu. “Apa kabar?” “Hari ini merupakan hari
paling sial dalam hidupku,” ujarnya, lalu ia mulai menangis.
295
BAB 24
Dan ia ingin sekali bertemu dengan Jeannie. Ia sudah merasakan itu sebelum
meneleponnya Tapi kini, setelah tahu situasi Jeannie saat ini, ia merasa lebih
terdorong lagi. Ia ingin merangkul gadis itu dan mengatakan kepadanya bahwa
segalanya akan berakhir dengan baik.
Ia juga merasa ada pertalian antara masalah Jeannie dengan masalahnya sendiri.
Bagi Steve, segalanya sepertinya jadi serba salah, sejak saat ia diperkenalkan
296
pada bos Jeannie dan Berrington memperlihatkan reaksi yang janggal.
“Aku akan menjadi ibu orang Yahudi rupanya. Haruskah aku terkesan oleh gelar
dokternya?”
“Kalau dia sudah meraih gelar doktornya tentunya dia lebih tua (larimu
“Yah, bisa dibilang dia menarik. Dia jangkung, dan benar-benar bugar—dia
pemain tenis yang hebat—dengan rambut dan mata berwarna gelap, dan dia
memakai
Untuk sesaat ibunya cuma menatapnya, lalu berkata, “Wah, wah… serius nih,
rupanya.”
“Belum.”
Si ibu tersenyum lembut. “Kalau begitu, pergilah dan temui dia. Kuharap dia
memang layak untukmu.”
298
Steve merasa berbesar hati begitu melihat sebuah Mercedes 280C merah
terparkir di dekat rumah Jeannie; ia pasti ada di rumah. Kemudian ia menyadari
bahwa Jeannie mungkin pergi jalan kaki. Atau naik taksi. A tan mobil seorang
teman.
Lama tidak terdengar jawaban. “Steve, rasanya aku lagi tak ingin ditemani.”
Jeannie tidak menjawab. Rupanya ia takut, ujar Steve pada dirinya. Hatinya
langsung menciut. Katanya ia percaya bahwa dirinya tidak bersalah, tapi itu kan
saat ia sedang berada di balik terali besi. Kini, setelah Steve berdiri di muka
pintunya dan ia sedang sendirian, si—
299
tuasinya ternyata tidak begitu mudah. “Kau belum mengubah penilaianmu
mengenai diriku, bukan?” tanya Steve. “Kau masih percaya bahwa aku tidak
bersalah? Kalau tidak, sebaiknya aku pergi.”
la melangkah ke dalam sebuah ruang masuk kecil dengan dua buah pintu lagi.
Yang satu dalam keadaan terbuka serta menuju ke sebuah tangga. Di ujung atas
berdiri Jeannie, dalam baju kaus hijau terang.
Nadanya tidak begitu antusias, namun Steve toh tersenyum, la naik dengan
membawa hadiah hadiahnya dalam sebuah kantong kertas. Jeannie
menggiringnya ke sebuah ruang duduk kecil dengan sebuah dapur sudut Steve
melihat bahwa ia menyukai warna hitam dan putih, dengan kombinasi warna-
warna yang hidup. Ia memiliki sebuah sofa yang dilapis bahan berwarna hitam,
dengan bantal-bantal berwarna oranye, sebuah jam listrik biru pada dinding yang
dicat putih, kap-kap lampu berwarna kuning terang, dan sebuah meja dapur putih
dengan cangkir-cangkir kopi merah.
Air mata mulai menggenang di mata Jeannie. “Brengsek kau!” ujarnya. “Aku
nggak pernah nangis!” .
Steve meletakkan tangannya di pundak Jeannie. Ini merupakan kali pertama ia
menyentuhnya. Dengan agak ragu ia menarik Jeannie ke arahnya. Jeannie tidak
berusaha melawan. Masih setengah mempercayai keberuntungannya, ia
merangkulnya. Jeannie hampir setinggi dirinya sendiri. SeteJah meletakkan
kepala di pundaknya, tubuh Jeannie mulai berguncang-guncang oleh isakannya.
Steve membelai rambutnya. Rasanya lembut dan berat. Ia mulai terangsang dan
sedikit membuat jarak, sambil berharap Jeannie tidak menyadarinya. “Semuanya
akan beres,” ujarnya. “Kau akan menemukan jalan keluarnya.”
Untuk saat yang lama dan menyenangkan, Jeannie masih tetap dalam
pelukannya. Steve dapat merasakan kehangatan tubuhnya dan menghirup
aromanya. Ia mempertanyakan pada dirinya, apakah saatnya tepat untuk
mengecupnya. Ia menimbang-nimbang, khawatir andai kata ia terlalu gegabah,
Jeannie akan menolaknya. Kemudian momentum itu berlalu, dan Jeannie mulai
menarik dirinya.
Steve merasa dikecilkan oleh nadanya yang apa adanya. Baginya momentum itu
amat berarti, tapi bagi Jeannie tidak lebih dari pelepas ketegangan. “Sudah
termasuk dalam servisnya,” ujarnya dalam nada bercanda, kemudian ia
menyesali ucapannya.
300
301
“Nasibku agak mujur. Bagian kepalaku yang dihantam ke tembok oleh Detektif
Allaston masih terasa sakit, dan tulang rusukku yang ditendang Porky Butcher
pada pukul lima pagi tadi memang masih memar, tapi aku akan oke, selama aku
tidak usah kembali ke penjara itu.” Ia menyisihkan bayangan itu dari pikirannya,
la tidak akan kembali ke sana; tes DNA-nya akan menghapuskan tuduhan atas
dirinya sebagai seorang tersangka.
Steve melayangkan matanya ke arah rak buku. Jeannie memiliki banyak buku
nonfiksi buku-buku biografi tentang Darwin, Einstein, dan Francis Bacon;
beberapa novelis wanita yang belum pernah ia baca, seperti Erica Jong dan
Joyce Carol Oates; lima atau enam karya Edith Wharton; beberapa buku klasik
modern. “Hei, kau juga punya novel favoritku sepanjang masa!” serunya.
302
“Ini tes?”
“Coba saja.”
“Tapi dia tidak melakukan apa-apa. Lagi pula, buku yang ada di kepalaku bukan
novel. Coba tebak lagi.”
Mereka mulai makan. Pizanya masih hangat. Selama beberapa saat Jeannie
termenung, kemudian berkata, “Aku benar-benar membuat situasinya semakin
berantakan hari ini. Aku bisa melihat itu sekarang. Mestinya aku menanggapi
krisis ini dengan kepala lebih dingin. Mestinya aku bilang, Yah, mungkin kita
bisa diskusikan itu, sebaiknya jangan membuat kepulasan terburu-buru. Tapi aku
malah menantang pihak universitas, dan me m buat segalanya bertambah
runyam dengan mengungkapkan itu kepada pihak media massa.”
Jeannie menelusuri alinea pertamanya. Seratus delapan puluh juta dolar? Wauw.”
la terus membaca sambil mengunyah pizanya. Setelah selesai dengan artikel itu,
ia menggeleng-gelengkan kepala. “Teorimu menarik sekali, tapi aku belum
begitu yakin.”
“Kenapa tidak?” - “Sepertinya Maurice Obeli yang memusuhi aku, bukan
Berrington. Meskipun Berrington kadang-kadang lihai sekali, menurut mereka.
Lagi pula. aku kan nggak begitu penting. Aku cuma bagian kecil sekali dari riset
yang disponsori oleh Genetico. Bahkan andai kata pekerjaanku ternyata benar-
benar melanggar hak keleluasaan pribadi orang, itu bukan skandal yang dapat
mempengaruhi uatu proses akuisisi senilai sekian juta dolar.”
Sieve mengelap jari-jarinya pada sehelai kertas serbet, lalu memungut sebuah
foto berbingkai dari seorang wanita bersama seorang bayi. Wanita itu agak mirip
Jeannie, dengan rambut lurus. “Adikmu?” tebaknya.
“Ya. Patty. Dia sudah punya tiga orang anak seka rang—semuanya laki-laki.”
“Aku tidak punya kakak adik sama sekali,” ujar Steve. Kemudian ia teringat.
“Kecuali kalau kau menghitung Dennis Pinker.” Ekspresi wajah Jeannie
berubah, kemudian Steve menambahkan, “Kau menganggap aku semacam
spesimen.”
“Yuk.”
304
la menelan sesendok Rainforest Crunch, lalu berkata, “Aku senang sekali kau
percaya padaku. Polisi-polisi itu rupanya tidak.”
“Meskipun begitu, tidak semua wanita akan membiarkan aku masuk ke rumah
mereka malam ini Terutama setelah tahu bahwa aku memiliki gen yang sama
seperti Dennis Pinker.”
“Aku sempat ragu,” ujarnya. “Tapi kau membuktikan bahwa teoriku benar.”
“Maksudmu?”
Steve tertawa.
“Ada sesuatu yang sebaiknya kauketahui mengenai diriku,” ujar Steve. “Sebuah
rahasia.”
“Bagaimana?”
berarti kau bisa dikategorikan sebagai penderita gangguan jiwa. Lalu bagaimana
mengenai anak muda itu? Tip namanya?”
“Dia dibunuh orang lain beberapa tahun kemudian. . Dia terlibat dalam jaringan
jual beli obat bius. Dia cekcok dengan salah satu pengedar, lalu ditembak persis
di kepalanya.”
“Justru dia yang mengalami gangguan jiwa, menurutku,” ujar Jeannie. Ttu yang
biasanya terjadi atas mereka. Mereka tidak bisa tidak terlibat masalah. Seorang
anak muda yang besar dan kuat seperti kau .mungkin akan berhadapan dengan
hukum sekali waktu, tapi kau akan bisa mengatasinya, lalu melanjutkan
kehidupanmu secara normal. Sedangkan Dennis bakal terus keluar masuk
penjara, sampai seseorang membunuhnya.”
“Kau nggak suka aku menyebutmu anak muda yang besar dan kuat?”
“Begini, aku tidak tahu. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan mungkin tidak
akan naik mobil ke sini dari Washington cuma untuk mengantarkan aku piza.
Sepertinya agak terlalu impulsif.”
Steve masih belum dapat memastikan posisinya sejauh ini. Tapi Jeannie tadi
menangis di pundaknya. Kau kan tidak akan mencurahkan emosimu pada
seorang anak, ujarnya dalam hati.
306
“Apakah kita tidak bisa melihat hasilnya sekarang? Aku sudah nggak sabar lagi
untuk tahu, apakah aku memiliki DNA yang sama seperti Dennis Pinker.”
307
BAB 25
Berrington Jones mempunyai sebuah kartu plastik yang dapat membuka semua
pintu di Nut House. Tak seorang pun tahu itu. Bahkan para profesor penuh selalu
membayangkan dengan bangga bahwa ruangan-ruangan mereka adalah milik
mereka pribadi. Mereka tahu bahwa para petugas kebersihan memiliki kunci-
kunci induk. Demikian pula para petugas sekuriti kampus. Tapi tidak pernah
terpintas dalam diri mereka bahwa tidak akan begitu sulit untuk mendapatkan
akses atas sebuah kunci yang bahkan diberikan kepada para petugas kebersihan.
308
Karena itulah ia kembali ke kantornya dan kini duduk di belakang meja tulisnya,
sementara kehangatan senja mulai menyapu batu-batu bata merah bangunan
kampus itu. Ia mengetuk-ngetuk sebuah kartu plastik di atas mouse
komputernya, sambil mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu yang sama
sekali tidak sesuai dengan instingnya.
Harga dirinya amat berarti baginya, la sudah mengembangkan itu dalam dirinya
sejak masih muda. Sebagai bocah laki-laki terkecil di kelasnya, tanpa seorang
ayah untuk mengajarinya cara menghadapi para tukang teror, “**ibu yang terlalu
sibuk mengatur keuangan keluarga, sehingga tidak memiliki waktu untuk
memedulikan kebahagiaannya, secara bertahap ia mewujudkan citra lebih
unggul di dalam dirinya, mengambil sikap menjaga jarak untuk melindungi
keberadaannya. Di Harvard, secara cermat ia mempelajari seorang rekan
sekelasnya yang berasal dari keluarga yang sudah kaya secara turun-temurun. Ia
memperhatikan semua detail, seperti ikat pinggangnya yang dari kulit dan sapu
tangan linennya, setelan jas dari bahan wol dan syal-syal kasmernya; cara ia
membuka lipatan serbetnya serta menarik kursi untuk kaum wanita; mengagumi
gayanya yang santai dan sopan saat berhadapan dengan para profesor, sikapnya
yang berkesan simpatik tapi toh menjaga jarak saat berhubungan dengan mereka
yang lebih rendah status sosialnya. Pada saat Berrington mulai bergiat untuk
309
mencapai gelar Master, secara luas ia sudah dianggap sebagai seorang gentleman
sejati.
310
Berrington memungut sebuah foto berbingkai dari meja tulis Jeannie. Foto
hitam-putih seorang laki-laki tampan bercambang yang mengenakan sebuah dasi
lebar, dan seorang wanita muda dengan ekspresi tegar di wajahnya—orangtua
Jeannie di tahun tujuh puluhan, tebaknya. Selain itu, meja tulisnya sama sekali
bersih. Rapi sekali-,
311
juga sama normalnya: Beli vitamin, telepon Ghita. hadiah ulang tahun Lisa,
periksa modem.
Ia menutup agenda itu, lalu mulai menelusuri file file-nya. Ternyata Jeannie
memiliki banyak statistik di atas program spreadsheets. File word-processing-
nya lebih sempit: beberapa surat, desain untuk formulir-formulir, konsep sebuah
artikel. Dengan menggunakan fasilitas Find, ia menelusuri seluruh directory
WP-nya untuk mencari kata database. Kata itu muncul beberapa kali dalam
artikel itu. dan di bagian copy file tiga buah surat keluar, tapi sama sekali tidak
ada petunjuk yang menyatakan ke mana Jeannie merencanakan untuk
menggunakan sarana risetnya itu kemudian. “Ayo,” ujar Berrington, “pasti ada
sesuatu.”
Jeannie memiliki sebuah lemari arsip, tapi isinya tidak banyak; ia kan baru
beberapa minggu di sini. Setelah setahun dua tahun, lemari itu akan penuh
dengan formulir-formulir yang sudah diisi, data-data mentah riset psikologinya.
Kini hanya ada beberapa surat masuk di dalam sebuah map, memo intem di
dalam map lain, dan fotokopi beberapa artikel di dalam map ketiga.
Ia jadi semakin resah. Ruangan ini ditempati oleh seseorang yang hidupnya
terorganisir, jenis yang merencanakan sebelumnya. Jeannie mengarsip surat-
surat masuknya serta menyimpan copy dari segala sesuatu yang ia kirim keluar.
Pasti ada sesuatu di sini yang dapat mengungkapkan apa yang akan ia lakukan
selanjutnya, la tidak memiliki alasan untuk menyembunyikan apa-apa; sampai
hari ini tidak ada sugesti yang membuatnya harus merasa risih. Pasti ia sudah
merencanakan untuk
312
menelusuri salah satu database lain. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal
dari ketidakberadaan petunjuk itu adalah bahwa Jeannie mengatur segalanya
melalui telepon atau secara pribadi, mungkin dengan seseorang yang cukup
dekat dengannya. Dan kalau memang begitu kasusnya, sepertinya Berrington
tidak akan dapat menemukan apa-apa mengenai itu dengan menggeledah kamar
kerjanya.
Berrington mendengar suara langkah kaki di lorong, dan menjadi tegang. Ada
suara ceklik saat sebuah kartu digesekkan melalui penelusur kartu. Berrington
mengawasi pintu dengan pandangan tak berdaya. Tidak ada yang dapat
dilakukannya; ia akan tertangkap basah duduk di belakang meja tulis Jeannie,
dengan perangkat komputer dalam keadaan menyala, la tidak dapat berpura-pura
kesasar ke sini secara tak sengaja.
Berrington berusaha untuk tampak wajar. ‘Tidak apa.” ujarnya. Jangan pernah
minta maaf, jangan pernah berusaha memberikan penjelasan. “Aku akan
menutup pintu ini kembali begitu aku selesai.”
“Baik.”
“Selamat malam.”
Si petugas berlalu.
313
Aku akan ke Baltimore pacla hari Jumat, dan ingin pergi minum-mi-• num
bersamamu, demi persahabatan kita dulu. Salam, Will.
Kau akan lega begitu tahu bahwa aku sudah menelusuri programmu melalui file
sidik jari kami ma 1 am ini. Hubungi aku. Ghita..
Dari FBI.
314
BAB 26
Berrington tidak berani berbicara melalui telepon tentang Jeannie dan file sidik
jari FBI itu. Begitu banyak pesawat telepon yang dimonitor oleh para biro
intelijen. Belakangan ini pelacakan dilakukan melalui komputer yang diprogram
untuk menangkap kata-kata dan ungkapan-ungkapan kunci. Kalau seseorang
mengatakan plutonium atau herion atau habisi presiden, komputer akan
merekam percakapan itu, lalu menggugah perhatian seseorang. Berrington jelas
tak ingin seorang penguping CIA mempertanyakan kenapa Senator Proust
menaruh minat begitu besar pada file sidik jari FBI.
Karena itu, ia menaiki Lincoln Town Car berwarna peraknya, lalu melesat
dengan kecepatan sembilan puluh mil per jam di Baltimore-Washington
Parkway. Ia sering melanggar batas kecepatan mengemudi. Nyatanya ia tidak
sabaran dalam hal mematuhi berbagai macam peraturan, la menyadari bahwa ini
merupakan suatu kontradiksi darinya. Ia membenci para pengunjuk rasa yang
menuntut perdamaian dan para pemakai obat bius, kaum homo dan feminis, para
pemain musik rock dan semua nonkonfonmis yang melecehkan tradisi Amerika.
Namun ia juga tidak menyukai mereka yang berusaha mengaturnya di mana ia
harus memarkir mobilnya, atau seberapa banyak ia harus menggaji pegawai-
pega-3.15
“Nyatanya bisa untuk menelusuri data-data gigi, kenapa yang ini tidak?”
“Lebih dari dua puluh juta set, setahuku. Tak mungkin semuanya pernah terlibat
dalam tindakan kriminal. Masa begitu banyak kriminal di Amerika?”
“Aku tidak tahu, mungkin mereka juga menyimpan sidik jari dari yang sudah
meninggal. Pusatkan konsentrasimu, Jim. Demi Tuhan, masa tidak ada yang bisa
kaulakukan untuk menghentikan ini?*’
316
“Aku tidak pernah dengar tentang Ghita Sumra ini,” ujar Jim. “Tentunya dia
bukan orang penting.”
“Siapa yang kaukenal di FBI?” tanya Berrington dalam nada tak sabar.
“David adalah seorang asisten direktur, Hilary seorang mantan alkoholis. Usia
mereka sekitar lima puluhan. Sepuluh tahun yang lalu, saat aku masih
mengepalai CIA, David bekerja untukku di Direktorat Diplomasi, mengawasi
kegiatan di semua kedutaan asing serta seksi spionase mereka. Akn menyukai
David. Pokoknya, pada suatu sore Hilary mabuk, pergi keluar dalam mobil
317
Honda Civic-nya, dan menabrak sampai mati seorang bocah berusia enam tahun,
seorang gadis kecil kulit hitam, di Beulah Road, Springfield. Dia terus kabur,
mampir di sebuah mal, lalu menelepon Dave di Lan-gley. Dave langsung ke sana
naik Thunderbird-nya. Dia menjemput dan mengantar Hilary pulang, kemudian
melaporkan bahwa mobil Honda itu dicuri orang.” “Tapi sesuatu meleset.’”
“Ada seorang saksi yang melihat kecelakaan itu, yang merasa yakin bahwa
pengemudinya seorang wanita setengah baya berkulit putih, dan seorang detektif
keras • kepala tahu bahwa jarang ada wanita mencuri mobil. Si saksi secara
positif mengidentifikasi Hilary, yang kemudian ambruk dan mengaku salah.”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Aku pergi menemui jaksa wilayah itu. Dia ingin menjebloskan mereka berdua
di penjara. Aku menyatakan bahwa mi merupakan masalah sekuriti nasional, dan
membujuknya untuk membatalkan tuntutannya Hilary mulai melakukan
kunjungan ke AA dan tidak pernah minum-minum lagi sejak itu.”
“Dia termasuk salah satu dari sembilan asisten direktur yang melapor langsung
ke wakil direktur. Dia tidak di divisi sidik jari, tapi dia punya pengaruh.”
“Aku tidak tahu! Aku akan tanya, oke? Kalau memang bisa, dia akan
melakukannya untukku.”
“Oke, Jim,” ujar Berrington. “Angkat pesawat telepon sial itu dan tanyakan
padanya.”
318
BAB 27
“Tapi DNA semua orang harus berbunyi Pasang lima jari pada masing-masing
kaki”
“Betul. DNA-mu mirip dengan punyaku serta semua orang lain di dunia ini. Kita
bahkan memiliki banyak persamaan dengan binatang-binatang, karena mereka -
terbuat dari protein-protein yang sama seperti kita.”
“Jadi, dari mana kau tahu beda antara DNA Dennis dengan DNA-ku?”
“Di antara kata-kata itu ada bagian yang tidak ada artinya sama sekali, semacam
omong kosong. Mereka seperti spasi-spasi dalam sebuah kalimat. Mereka
disebut oligonukleatida tapi orang biasanya menamakan mereka oligo. Dalam
spasi antara lima dan jari, mungkin ter—
319
“Ya, tapi jumlah pengulangannya bervariasi. Kau mungkin memiliki tiga puluh
satu oligo TATAGAGACCCC di antara lima dan jari, sedangkan aku mungkin
punya dua ratus delapan puluh tujuh. Tidak relevan sebetulnya, seberapa banyak
yang kumiliki, karena oligo itu tidak mempunyai arti.”
“Kita gunakan bahan kimia yang disebut pelacak. Mereka akan mengaitkan diri
pada oligo-oligo tertentu. Katakanlah kita memiliki sebuah oligo yang menarik
TATAGAGACCCC.” Jeannie memperlihatkan sepotong kain semacam lap
piring. “Kita ambil sehelai membran nilon yang sudah dicelup dalam suatu
solusi pelacak, yang kemudian kita letakkan di atas gel, sehingga dia dapat
menyerap fragmen-fragmennya. Pelacak ini juga mengeluarkan kilau, sehingga
akan kelihatan kalau di-320
Steve mencoba melihat wujudnya di atas film saat Jeannie mengolahnya dalam
sebuah wadah berisi bahan, kimia, kemudian membilasnya di bawah kran.
Sejarah dirinya akan tertulis di kertas itu. Namun yang dapat ia lihat hanyalah
sebuah pola semacam tangga di atas lembaran plastik bening. Akhirnya Jeannie
mengibas-ngibasnya sampai kering, lalu menjepitkannya di muka sebuah kotak
lampu.
Steve mengamatinya. Film itu dipenuhi alur-alur, dari atas sampai ke bawah,
berupa garis-garis lurus, selebar sekitar seperempat inci, seperti jalur-jalur
berwarna keabuan. Jalur-jalur itu dinomori sepanjang sisi bawah film, 1 sampai
18. Di antara jalur-jalur itu terdapat bercak-bercak hitam yang rapi. semacam
selaput. Semua itu tidak ada artinya baginya.
“Itu karena kau memiliki dua rangkaian DNA, satu dari ayahmu dan satu lagi
dari ibumu.”
“Ya.” I
Di sana terdapat dua bercak dalam jarak kira-kira satu inci, melewati
pertengahan film itu.
321
“Jalur empat merupakan suatu kontrol. Mungkin itu darahku, atau milik Lisa.
Bercak-bercaknya tentunya dalam posisi yang sama sekali berbeda.”
“Memang.” Kedua bercak itu berjarak jauh lebih dekat, persis di bagian bawah
film. dekat nomor-nomor itu.
“Jalur lima milik Dennis Pinker. Apakah bercak-bercaknya persis dalam posisi
yang sama seperti punyamu, atau lain?”
Steve tidak mau mempercayai itu. “Apa tidak mungkin terjadi kesalahan?”
“Tentu.” sahut Jeannie. “Ada peluang satu banding seratus bahwa dua individu
yang tidak punya hubungan apa-apa mungkin memiliki sebuah fragmen yang
sama pada masing-masing DNA yang berasal dari garis keturunan ayah dan ibu.
Biasanya kami mengetes empat fragmen yang berbeda, menggunakan oligo yang
berbeda, dan pelacak yang berbeda Itu akan mengurangi peluang terjadinya
kekeliruan menjadi satu berbanding sejuta. Lisa akan melakukan prosedur ini
tiga kali lagi, yang masing-masing akan memakan tempo setengah hari. Tapi aku
toh tahu bagaimana hasilnya nanti. Dan kau juga, kan?”
“Kukira begitu,” Steve menghela napas. “Ada ucapanmu yang tidak bisa
kusisihkan dari pikiranku: Aku tidak punya kakak-adik sama sekati. Dari apa
yang pernah kauungkapkan mengenai kedua orangtuamu, sepertinya mereka tipe
yang akan menginginkan rumah penuh dengaiteanak-anak, setidaknya tiga atau
empat orang.”
“Kau benar,” ujar Steve. “Tapi Mom mengalami masalah dalam hal
mengandung. Dia berusia tiga puluh tiga dan menikah dengan Dad selama
sepuluh tahun, ketika aku akhirnya lahir. Dia pernah menulis buku
322
mengenai itu: What ta Do When You Can’t Get Pregnant—Apa yang Harus
Anda Lakukan Bila Anda Tidak ¦ Bisa Hamil. Itu bestseller-nya yang pertama
Dia mem beli sebuah pondok peristirahatan musim panas di Virginia dengan
uangnya.”
“Charlotte Pinker berusia tiga puluh sembilan tahun ketika Dennis lahir. Aku
berani taruhan bahwa dia juga menghadapi masalah yang sama. Aku tidak tahu
apakah itu relevan.”
“Apa hubungannya?”
“Aku tidak tahu. Apakah ibumu pernah menjalani salah saiu perawatan khusus?”
mereka, setidaknya.”
Steve melirik ke arah Jeannie. “Dia tidak membenciku, Mom, tapi dia
menganggap aku terlalu muda.”
“Ya, dan kukira aku membuatnya salah tingkah, untuk pertama kali. Mom, kami
sedang ada di laboratorium, dan berhadapan dengan semacam teka-teki.
Rupanya DNA-ku persis sama seperti milik seorang subjek lain yang juga
menjadi bahan studinya, seorang anak muda bernama Dennis Pinker.”
w9
323
“Dan itu hanya bisa terjadi kalau aku dulu hasil adopsi.”
“Steve, kau tidak pernah diadopsi, kalau itu yang mengganggu pikiranmu. Dan
kau bukan berasal dari suatu pasangan kembar. Hanya Tuhan yang^ tahu
bagaimana aku dapat menangani dua orang anak seperti kau.”
Steve mengulangi itu untuk Jeannie, yang mencatatnya di sebuah bloknot Post-It
Mom berkata lagi, “Perawatan itu ternyata tidak sia-sia. Kau pun muncul,
sebagai hasil jerih payah yang seakan tidak berkesudahan itu, nongkrong di
Baltimore, mengusik seorang wanita cantik yang tujuh tahun lebih senior danmu,
padahal kau seharusnya berada di sini, di DC, menemani ibumu yang sudah tua
dan ubanan.”
“Hei, Steve?”
“Ya.”
” “Jangan pulang terlalu malam. Kau masih harus menemui pengacaramu besok
pagi. Sebaiknya kita keluarkan kau dari urusan brengsek ini sebelum kau mulai
mempermasalahkan soal DNA-mu itu.”
324
kasih, bagaimana dengan Anda? Kuharap Anda tidak berkeberatan jika aku
menanyakan kepada Anda satu pertanyaan lagi. Oh, Anda baik sekali. Ya.
Sebelum mengandung Dennis, apakah Anda pernah menjalani semacam
perawatan untuk meningkatkan kesuburan?” Untuk waktu yang agak lama tidak
ada jawahan, kemudian tiba-tiba wajah Jeannie berbinar. “Di Philadelphia? Ya,
aku pernah mendengar tentang tempat itu. Suatu perawatan hormon. Menarik
sekali. Itu akan membantuku. Terima kasih sekali lagi. Selamat malam.” Jeannie
mengembalikan gagangnya di tempatnya. “Bingo,” serunya. “Charlotte pernah
mengunjungi klinik yang sama.”
“Aku belum tahu,” ujar Jeannie. Ia meraih pesawat telepon itu lagi, lalu memutar
nomor empat-sebelas. “Bagaimana caraku memperoleh informasi Philadelphia?
Trims.” Ia memutar lagi. “Aventine Clinic.” Hening sebentar. Jeannie menatap
Steve, lalu berkata, “Mungkin sudah tutup beberapa tahun yang lalu.”
Tiba-tiba Jeannie meraih pensil, lalu mencatat sebuah nomor. “Terima kasih!”
ujarnya. Ia menutup pesawatuya. “Masih ada di situ!”
Untuk sesaat Steve seakan terpaku di tempatnya. Misteri gen-gennya mungkin
akan terpecahkan. “Catatan,” ujarnya. “Klinik itu tentunya punya catatan.
Mungkin kita bisa memperoleh petunjuk dari sana.”
“Aku mesti ke sana,*’ ujar Jeannie. Ia mengerutkan alisnya. “Aku punya surat
izin yang ditandatangani oleh Charlotte Pinker—orang orang yang kami
wawancarai kami minta untuk menandatanganinya—dengan itu, kami akan
memperoleh akses untuk melihat data
325
Jeannie memutar sebuah nomor lagi dengan tak sabar. “Selamat malam, dengan
Aventine Clinic? Boleh aku berbicara dengan penanggung jawab yang sedang
tugas malam ini? Terima kasih.”
“Selamat malam, Mr. Ringwood, aku Dr. Ferrami dari departemen psikologi
Jones Falls University. Dua orang subjek untuk risetku pernah melakukan
kunjungan ke klinik Anda sekitar dua puluh tiga tahun yang lalu, dan akan
sangat membantu bagiku kalau aku bisa melihat catatan mereka. Aku memiliki
izin dari mereka yang bisa aku faks ke alamat Anda lebih dahulu. Aku
menghargai itu. Apakah besok terlalu cepat untuk Anda? Bagaimana kalau pukul
dua siang? Anda baik sekali. Terima kasih. Selamat malam.”
“Klinik fertilitas,” ujar Steve dalam nada serius. “Rasanya aku pernah baca di
Wall Street Journal bahwa Genetico memiliki beberapa klinik fertilitas.”
326
BAB 28
Hari ini betul-betul brengsek, tapi toh berakhir dengan lumayan, ujar Berrington
pada dirinya saat melangkah keluar dari kamar mandinya.
Ternyata dari mantan istrinya, Vivvie. “Menurut Wall Street Journal, kau bakal
kaya,” ujarnya.
“Aku sudah pertimbangkan itu, Berny. Dengan serius sekali, selama sedikituya
sepuluh detik. Kemudian aku menyadari bahwa seratus delapan puluh juta dolar
tidak cukup banyak.”
Berrington tertawa.
Berrington tahu bahwa ia memang tulus. Vivvie sendiri punya banyak uang.
Setelah meninggalkan dirinya, ia terjun dalam usaha real estate di Santa Barbara,
dan ternyata sukses. “Terima kasih.’*
“Apa yang akan kaulakukan dengan uangnya? Akan kauwariskan kepada anak
itu?”
328
Putra mereka sedang menekuni program diploma untuk menjadi akuntan. “Dia
tidak membutuhkannya. Dia akan menghasilkan banyak uang sebagai akuntan.
Mungkin akan kusumbangkan sebagian pada Jim Proust. Dia akan mencalonkan
diri sebagai presiden.”
“Apa yang akan kauperoleh sebagai imbalannya? Kau mau jadi duta besar
Amerika di Paris?”
“Hei, Berry, kau betul-betul serius? Tapi kukira sebaiknya kau jangan bicara
terlalu banyak melalui telepon mengenai ini.’*
“Kau benar.”
“Sudah, ya, teman kencanku sudah di muka pintu. See you sooner, Montezuma.”
Suatu salam perpisahan khas di antara mereka.
Ia merasa agak kecil hati membayangkan Vivvie akan pergi malam itu dengan
seorang teman kencan—ia tidak tahu dengan siapa—sementara ia duduk
sendirian di rumah, dengan wiskinya. Selain ditinggal mati oleh ayahnya,
ditinggal Vivvie merupakan kesedihan terbesar dalam kehidupannya. Ia tidak
menyalahkan Vivvie; ia memang sudah terlalu sering tidak setia. Tapi ia
mencintai Vivvie, dan masih merasa kehilangan dirinya, tiga belas tahun setelah
perpisahan mereka. Fakta bahwa itu adalah kesalahannya sendiri membuat ia
semakin sedih. Bercanda dengan Vivvie di telepon mengingatkan dirinya tentang
manisnya hubungan mereka sewaktu segalanya masih oke.
329
“Aku tidak tahu. Dick tidak di sana waktu itu. Yang tugas malam yang menerima
teleponnya. Tapi rupanya dia mengatakan beberapa di antara subjek risetuya
pernah mendapatkan perawatan di klinik itu beberapa tahun yang lalu, dan dia
ingin mengecek catatan medis mereka. Dia berjanji untuk mengirim melalui faks
surat izinnya, dan bahwa dia akan muncul di sana sekitar pukul dua siang.
Untungnya Dick kebetulan mampir untuk suatu hal lain, dan si petugas
melaporkannya padanya.”
Dick Minsky adalah salah satu orang pertama yang bekerja untuk Genetico di
tahun tujuh puluhan. Dulu ia seorang kurir; kini ia sudah menjadi pemimpin
klinik. Ia belum pernah menjadi anggota grup intinya—cuma Jim, Preston, dan
Berrington-lah yang bisa—tapi ia tahu beberapa hal yang menjadi rahasia
perusahaan itu. Mawas diri merupakan sesuatu yang otomatis baginya.
“Batalkan janji itu, tentu saja. Dan kalau dia toh muncul, tolak dia. Katakan
padanya dia tidak boleh melihat catatan-catatan itu.”
“Kenapa?”
“Itu cuma akan semakin membangkitkan rasa ingin tahunya. Dia akan mencoba
menemukan cara lain untuk melihat arsip-arsip itu.”
330
Berrington menghela napas. Preston memang tidak punya imajinasi. “Yah, andai
kata aku jadi dia aku akan menelepon Landsmann, aku akan mencoba
menghubungi sekretaris Michael Madigan, dan mengungkapkan kepadanya
bahwa ada baiknya bosnya memeriksa arsip-arsip Aventine Clinic selama dua
puluh tiga tahun terakhir ini sebelum menutup transaksi ambil alih itu. Itu akan
membuat bosnya mulai bertanya-tanya, bukan?”
“Menurutku kita harus memusnahkan semua arsip yang berasal dari tahun tujuh
puluhan.”
Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Berry, arsip-arsip itu amat unik. Secara ilmiah,
nilainya…”
Berrington menghela napas. Ia juga merasakan hal yang sama seperti Preston. Ia
sering berkhayal bahwa kelak, di suatu saat, seseorang akan menulis tentang
eksperimen-eksperimen yang mereka pelopori itu, kemudian akan terungkaplah
ketegaran serta kebrilianan mereka pada dunia. Hancur hatinya menghadapi
kenyataan bahwa bukti sejarah ini harus dimusnahkan dengan cara amat brutal
begini. Tapi apa boleh bual. “Kalau arsip-arsip itu masih ada, kita akan
terancam. Jadi, terpaksa harus dimusnahkan Dan sebaiknya itu dilakukan
sekarang juga.”
“Sial, mana aku tahu, Preston? Cari. alasan yang tepat. Kebijakan baru dalam
strategi penanganan dokumen. Pokoknya asal mereka mulai memusnahkannya
“pagi-pagi, aku tidak peduli kau bilang apa pada mereka.”
“Kukira kau benar. Oke, aku akan menghubungi Dick lagi sekarang juga.
Bagaimana kalau kau yang menelepon Jim. supaya dia juga tahu?’
“Oke.”
331
“Bye.””
Berrington memutar nomor telepon rumah Jim Proust. Istrinya, seorang wanita
pendek dan kurus yang memiliki sikap minder, menjawah telepon itu, kemudian
meneruskannya kepada Jim. “Aku sudah di tempat tidur. Berry, ada apa lagi
sekarang?”
Mereka bertiga mulai arnat tidak sabaran satu terhadap yang lain.
Berrington mengungkapkan kepada Jim apa yang baru saja dilaporkan Preston
padanya, serta tindakan yang telah mereka putuskan.
“Bagus,” ujar Jim. “Tapi itu saja tidak cukup. Masih banyak cara lain bagi si
Ferrami untuk akhirnya sampai pada kita.”
Berrington mulai hilang sabar. Jim tak pernah puas. Apa pun yang telah
kauusutkan padanya, Jim selalu mengharapkan tindakan yang lebih keras, lebih
ekstrem. Berrington berusaha menahan diri. Kali ini ucapan Jim memang masuk
akal, menurutuya. Sudah terbukti bahwa Jeannie memiliki insting seekor anjing
pelacak yang betul-betul andal, pantang menyerah dalam mengejar targetuya.
Rintangan kecil tidak akan membuatnya mundur begitu saja. “Aku sependapat
denganmu,” ujar Berrington pada Jim. “Dan kudengar Steve Logan sudah keluar
dari tahanan hari ini, jadi dia punya teman sekarang. Kita harus menghadapinya
secara lebih serius.”
“Aku tahu .ini akan membuatmu menciut, Berry, tapi tidak ada cara lain.”
“Lupakan itu.” “Begini…”
“Aku punya ide yang lebih baik, Jim, kalau kau mau dengar sebentar.” “Oke,
katakan.*’ “Akan kupecat dia.”
332
‘Tentu. Begini, dia mengira secara kebetulan dia berhasil menyingkapkan sebuah
kasus penyimpangan biologis. Semacam yang bisa mengangkat karier seorang
ilmuwan muda. Dia tidak tahu apa-apa mengenai apa yang tersembunyi di
belakang semua ini; dia mengira pihak universitas cuma takut menghadapi
publisitas yang kurang menguntungkan. Kalau dia sampai kehilangan pekerjaan,
dia tidak memiliki fasilitas lagi untuk melanjutkan penyelidikannya, juga alasan
untuk terus mempertahankannya. Selain itu, dia akan terlalu sibuk mencari
pekerjaan lain. Kebetulan aku tahu bahwa dia sedang butuh uang.”
Berrington menjadi cunga. Terlalu cepat Jim menerima ide itu. “Kau tidak
merencanakan sesuatu di luar pengetahuanku, kan?” tanyanya.
Jim mengalihkan perhatian Berrington dari pertanya annya. “Kau bisa lakukan
itu? Kau bisa memecatnya?”
“Tentu.”
“Tapi kau kan bilang hari Selasa yang lalu bahwa sebuah universitas bukanlah
dinas kemiliteran.”
“Memang, kau tidak bisa membentaki orang-orang agar mereka melakukan apa
yang kauperintahkan. Tapi aku sudah berkecimpung di dunia akademi selama
hampir empat puluh tahun terakhir ini. Aku tahu cara kerja sistem ini. Kalau
betul-betul perlu, aku bisa memecat seorang asisten profesor dengan begitu
saja.”
“Oke.”
Berrington mengerutkan alisnya. “Kita sependapat dalam hal ini, bukan, Jim?”
“Baik.”
333
Untuk waktu lama ia masih terjaga, memikirkan Jeannie Ferrami. Pada pukul
dua pagi ia bangun untuk meminum segelas Dalmane. Sesudah itu. akhirnya ia
pergi tidur.
334
BAB 29
Udara Philadelphia amat panas malam itu. Di dalam bangunan flat, semua pintu
dan jendelanya dalam keadaan terbuka, sebab tidak sebuah ruangan pun
dilengkapi AC. Suara-suara dari jalan terdengar sampai ke apartemen 5A yang
terletak di lantai paling atas: gelegar klakson mobil, derai tawa, alunan irama
musik. Di sebuah meja tulis kayu pinus murahan, yang sudah tergores-gores dan
penuh noda bekas puntung rokok, sebuah pesawat telepon berdering.
“Kenapa?”
“Aku tahu mengenai apa yang terjadi pada hari Minggu malam.”
Anak muda itu ragu sesaat, tidak yakin harus menjawab apa. “Mereka sudah
menangkap orang lain untuk itu.”
“Sial.”
“Sepertinya dia bakal naik sebuah mobil Mercedes merah yang sudah tua.”
‘Itu lebih spesifik.”
“Oke, tapi jangan lupa, cowoknya sudah dilepas sebagai tahanan luar.”
Si anak muda tertawa. “Dan Anda dari dulu lihai sekali. Paman.”
BAB 30
Bagian pertama mimpi itu memang benar-benar pernah terjadi, ketika ia baru
berusia sembilan tahun dan adiknya enam tahun, dan ayah mereka masih—untuk
sesaat—tinggal bersama mereka. Ia punya banyak uang ketika itu (dan baru
beberapa tahun kemudian Jeannie menyadari bahwa uang itu hasil perampokan
yang sukses). Ia membawa pulang sebuah mobil Ford Thunderbird yang baru.
berwarna biru kehijauan, dengan bangku dalam warna yang sama. Benar-benar
mobil paling keren yang dapat diimpikan seorang gadis kecil berusia sembilan
tahun. Mereka semua lalu pergi berjalan-jalan, Jeannie dan Patty duduk di
bangku depan, di antara Daddy dan Mom. Saat melintasi George Washington
Memorial Parkway, Daddy memangku Jeannie dan membiarkannya memegang
kemudi.
lagi
339
Mom dan Patty duduk dengan santai di sebelahnya, meskipun mereka tahu
bahwa ia tidak dapat melihat melalui dasbor itu, dan ia cuma mencengkeram
kemudinya erat-erat, semakin erat dan semakin erat, menanti momentum
terjadinya tabrakan itu, sementara kendaraan-kendaraan lain terus mengklakson
bel pintunya kencang-kencang, dan semakin kencang.
Jeannie mengenakan sehelai baju kaus berukuran besar yang panjangnya nyaris
mencapai lutut; cukup sopan untuk menerima seorang teman wanita. Ghita
muncul lewat tangga. Sosoknya seperti seorang eksekutif yang sedang naik daun
dalam setelan linen berwarna biru laut, rambut hitam model bob, giwang besar,
kacamata lebar berkesan ringan, sambil mengepit New York Times. “Ada apa sih
sebenarnya?” tanya Ghita tanpa basa-basi lebih dulu.
Jeannie berkata, “Aku nggak tahu, aku baru bangun.” Beritanya bakal kurang
bagus, ia dapat melihat itu.
“Bosku menelepon aku di rumah tadi malam, dan memerintahkan agar aku tidak
berurusan lagi denganmu.”
340
nyata ada kesimpangsiuran mengenai Steven dan Dennis. “Sial! Apa dia bilang
alasannya?”
“Sepertinya New York Times juga bereaksi seperti itu.” Ghita menyodorkan
korannya ke arah Jeannie. Di halaman mukanya terpampang sebuah artikel
berjudul:
Keetisan Penelitian Gen: Keresahan, Kecemasan, dan suatu Ketidaksepakatan
Jeannie Ferrami adalah seorang wanita muda yang kukuh. Bertentangan dengan
harapan para koleganya dan pimpinan Jones Falls University di Baltimore, Md
dengan nekad ia bersikeras untuk terus menelusuri data-data medis yang ada,
untuk melacak pasangan-pasangan kembar.
“Aku sudah punya kontrak,” sanggahnya. “Mereka tidak berhak melakukan itu.”
Sementara keresahan yang berkisar sekitar keetisaan kegiatannya rupanya tidak
membuatnya mundur.
Liputan itu kemudian beralih ke topik lain, mengenai riset yang dilakukan atas
embrio manusia; Jeannie terpaksa membalik sampai ke halaman 19 sebelum
sampai kepada bagian yang menyinggung dirinya lagi
341
Suatu masalah baru untuk jajaran pimpinan perguruan tinggi timbul gara-gara
kasus Dr. Jean Ferrami dari departemen psikologi Jones Falls. Meskipun
pimpinan universitas, Dr. Maurice Obeli, dan pakar ilmu psikologi terkemuka,
Prof. Berrington Jones, sama-sama berpendapat bahwa pekerjaan yang sedang
ditekuninya itu tidak etis. ia masih tetap bersikeras untuk melanjutkannya, dan
sepertinya tidak ada sesuatu pun yang dapat menahannya lagi.
Jeannie membaca seluruh artikel itu sampai tamat, namun koran itu rupanya
sama sekali tidak menyinggung soal sikap teguhnya bahwa secara etis, apa yang
ia kerjakan sama sekali tidak melanggar apa-apa. Yang dijadikan permasalahan
sebetulnya cuma drama dari sikap menentangnya.
“Aku menyesal sekali, Jeannie, tapi aku juga sedang dapat masalah, karena
melibatkan FBI dalam kasus ini.”
342
lam pikiran Jeannie. “Artikel ini sama sekali tidak adil, tapi kalau bosmu
meneleponmu tadi malam, tentunya bukan koran yang membuatnya mengambil
tindakan itu.”
Dia tidak menyebut persisnya siapa. Dia cuma bilang ada yang meneleponnya
dari Capitol Hill.”
“Mungkin itu cuma dimaksudkan sebagai masukan dari seorang teman yang tahu
mengenai artikel itu.”
“Aku akan cari tahu, dari mana asal masukan itu.” Jeannie melongok ke dalam
lemari esnya. “Kau sudah sarapan? Aku punya roti bumbu kayu manis.” ‘Tidak
usah, terima kasih.”
“Kurasa aku juga tidak lapar.” Ia menutup pintu lemari esnya. Ia merasa sedih.
Apakah tidak ada yang dapat dilakukannya? “Ghita, tentunya kau nggak bisa
menelusuri data-dataku tanpa izin bosmu, ya?”
343
“Sudah. Karena itulah aku kemari sekarang. Aku sudah keburu melakukan itu
tadi malam, sebelum bosku meneleponku.”
Tiba-tiba hati Jeannie melonjak lagi. “Apa? Dan kau memperoleh hasilnya?”
Hati Jeannie kembali berbunga. “Hebat sekali! Kau melihat isinya? Banyak
pasangan kembarnya?”
“Tapi aku mengatakan kepada bosku bahwa aku belum melakukannya. Aku
ketakutan, lalu berbohong.”
“Apa?”
“Wah, repot,” ujar Jeannie dalam nada menyesal. “Bagaimana aku bisa
menghancurkan sesuatu yang mungkin dapat menyelamatkan diriku?”
“Aku terlibat dalam hal ini hanya karena aku ingin menyenangkan hatimu,” ujar
Ghita sambil mengangkat jarinya. “Kau hams menolongku!”
344
Hati Ghita tidak mencair. “Tapi situasinya menjadi begitu. Aku meminta padamu
untuk menghancurkan daftar itu.”
“Tidak bisa.”
“Kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.” Ghita melangkah ke
arah pintu.
“Jangan pergi dengan cara seperti ini,” ujar Jeannie. “Kita sudah berteman untuk
waktu yang lama sekali.”
Apakah aku baru saja kehilangan salah seorang temanku yang terbaik? ujar
Jeannie pada dirinya.
345
dalam menjalankan kariernya. Namun Jeannie lah yang saat ini sedang diserang,
bukan Ghita. Persahabatannya dengan Ghita ternyata tidak cukup kuat untuk
melewati suatu krisis.
346
BAB 31
347
fiai
perasaan yang tertahan. Bobby begitu menginginkan dirinya, dan bisa menjadi
begitu terangsang hanya de ngan menyentuh puting susu atau celana dalamnya,
sehingga Jeannie nyaris merasa punya kuasa. Untuk beberapa waktu ia sempat
menggunakannya, dengari membuat Bobby benar-benar panas dan penasaran,
hanya untuk membuktikan bahwa ia dapat melakukannya. Tapi dalam waktu
yang tidak terlalu lama, ia menyadari, meski usianya baru tiga belas tahun,
bahwa permainan itu konyol sekali. Namun keberaniannya untuk mengambil
risiko, untuk menikmati permainannya dengan api yang berbahaya, tidak pernah
mereda. Dan hal yang sama itu ia rasakan terhadap Steve.
Steve merupakan satu-satunya faktor yang menyenangkan dalam dunianya saat
ini. Ia sedang menghadapi masalah besar. Ia tidak dapat mengundurkan diri dari
jabatannya di JFU sekarang. Setelah New York Times menyebarluaskan sikap
membangkangnya dalam menghadapi’para atasannya, akan sulit baginya untuk
mendapatkan pekerjaan ilmiah yang lain. Andai kata aku seorang profesor, aku
tidak akan mempekerjakan seseorang yang bakal menimbulkan masalah
semacam ini, ujarnya pada dirinya.
348
Ia duduk di belakang mejanya, lalu membuka file E-mail-nya. Hanya ada satu
pesan: hasil scanning FBI-nya. “Syukurlah,” desahnya.
Ia segera merekam daftar nama dan alamat itu dengan hati teramat lega. Ternyata
ia benar: proses scanning itu betul-betul menemukan pasangan-pasangan
kembar. Ia hampir tak sabar lagi untuk mengecek hasilnya dan
349
memastikan apakah masih ada kasus-kasus lain semacam Steve dan Dennis.
Seingat Jeannie, Ghita telah mengirim suatu pesan E-mail untuknya, menyatakan
bahwa ia akan melakukan scanning itu. Apa yang terjadi? Ia mempertanyakan
apakah pesan itu sudah dikutip oleh si penyusup. Mungkin itu sebabnya bos
Ghita menelepon malam-malam
Saat akan menelusuri nama-nama yang tercantum dalam daftar itu, pesawat
telepon Jeannie berdering. Ternyata dari pimpinan universitas. “Aku Maurice
Obeli. Ada baiknya kita segera mendiskusikan liputan dalam New York Times
ini, bukan?”
Perut Jeannie terasa kencang. Ini dia, ujarnya pada dirinya. Mulailah. “Tentu,”
ujarnya. “Kapan waktu yang sesuai untuk Anda?”
Jeannie membuat copy dari data-data FBI itu dalam sebuah disket floppy,
kemudian keluar dari jaringan Internet, la mengeluarkan disket itu dari
komputernya, lalu meraih sebuah pena. Ia berpikir sebentar, kemudian menulis
di atas labelnya SHOPPING.LST. Jelas itu merupakan langkah-langkah
pengamanan yang sebetulnya tidak perlu ia lakukan, namun perasaannya
menjadi lebih lega.
350
Berrington Jones sudah duduk di sana, dengan copy New York Times di tangan.
Jeannie tersenyum ke arahnya, lega bahwa ia memiliki seorang sekutu.
Berrington mengangguk, sedikit kaku, lalu berkata, “Selamat pagi. Jeannie.”
Maurice Obell duduk di kursi rodanya, di belakang meja tulisnya yang besar.
Dalam gayanya yang tidak banyak berbasa-basi ia berkata, “Pihak universitas
tidak dapat mentoleransi ini, Dr. Ferrami.”
351
adi
“Aku tidak meminta maaf,” sergah Jeannie. Ia berpaling ke arah Obell kembali,
lalu tersenyum. “Namun kukira ada baiknya kalau kita berhenti saling
menyalahkan.*’
Jelas bahwa Obell menyukai ide itu, meskipun ia mengerutkan keningnya dan
berkata, “Aku masih belum melihat bagaimana…”
“Kita cuma membuaift-buang waktu,” ujar Berrington dalam nada tak sabar.
“Kami sudah memutuskan jalan apa yang akan ditempuh oleh pihak
universitas,” ujar Berrington.
352
Jeannie terpukau. Ia memang tahu bahwa ia akan dipersilakan keluar, tapi tidak
dengan cara seperti iriT Ia mencoba mencerna situasinya “Apa maksud Anda?”
ujarnya seperti orang bodoh.
“Maksudku kau dipecat,” ujar Berrington. la mengusap alisnya dengan ujung jari
telunjuk kanannya, suatu tanda bahwa ia merasa puas dengan dirinya.
Jeannie merasa seakan baru saja ditinju seseorang. Mana mungkin aku dipecat,
ujarnya pada dirinya. Aku baru beberapa minggu di sini. Segalanya berjalan
dengan begitu baik. Aku mengira mereka semua suka padaku, kecuali Sophie
Chappie. Mana mungkin ini hisa terjadi begitu saja?
353
“Pemilihannya biasanya diadakan setahun sekali,” ujar Obell. “Jack sudah duduk
di situ sejak awal semester ini.”
“Aku tidak tahu mengenai itu.” Berrington sepertinya tidak suka, dan Jeannie
tahu alasannya. Jack Budgen
354
adalah partner tenis Jeannie. Itu suatu fakta yang membesarkan hati: Jack
tentunya akan adil padanya. Situasinya tidak sebegitu gawatnya. Ia akan punya
ke-* sempatan untuk membela diri, dan metode risetnya, di muka sekelompok
akademikus. Akan ada diskusi serius.’ bukan cuma asal tuding ala New York
Times.
Dan ia sudah memiliki data-data hasil scanning FBI-nya. Ia mulai melihat cara
untuk membela diri. Ia akan menyodorkan data-data FBI-nya pada komite itu.
Siapa tahu akan ada satu-dua pasangan di situ yang tidak tahu bahwa mereka
sebetulnya kembar. Itu akan amat mengesankan. Kemudian ia dapat memberikan
penjelasan mengenai tindakan-tindakan pengamanan yang dilakukannya untuk
melindungi hak keleluasaan pribadi orang-orang ini.
Sikapnya betul-betul seperti seorang bocah yang mau menang sendiri. Jeannie
merasa enggan meladeni omongannya yang tidak berujung pangkal itu. Ia cuma
melayangkan pandangan menyesal ke arah Berrington, lalu meninggalkan
ruangan itu
Saat melintasi kawasan kampus, ia menyadari dengan hati sebal bahwa ia betul-
betul tidak berhasil memenuhi targetnya sendiri. Semula ia ingin mengajak
mereka bernegosiasi, namun yang ia hadapi ternyata suatu kontes argumentasi.
Rupanya Berrington dan Obell sudah mengambil keputusan sebelum ia
melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Kehadirannya cuma sebagai formalitas.
355
la membuka kantong plastik hitam itu. Isinya ternyata bukan. sampah kertas dan
cangkir-cangkir dari bahan styrofoam. Yang pertama tampak adalah tas kerja
kanvas Land’s End-nya. Juga kotak Kleenex dari dalam lacinya, sebuah buku
saku A Thousand Acres karya Jane Smiley, dua buah foto dalam bingkai, dan
sikat rambutnya.
Rupanya mereka telah mengeluarkan isi meja tulisnya dan dengan sengaja
mengunci kamar kerjanya.
Ia merasa sangat terpukul. Ini lebih menyakitkan daripada apa yang baru saja
dialaminya di kantor Maurice Obell. Tadi itu cuma kata-kata, sedangkan yang ini
membuatnya merasa seakan suatu bagian yang amat berarti dalam hidupnya
diamputasi dengan begitu saja. Ini kan kamar kerjaku, ujarnya pada dirinya; kok
bisa-bisanya mereka melakukan ini terhadapku? “Sial,” umpatnya.
Ini pasti dilakukan oleh orang-orang sekuriti saat ia sedang berada di mang kerja
Obell. Tentu saja mereka tidak memberitahukan apa-apa padanya terlebih
dahulu; itu akan memberikan peluang baginya untuk segera mengamankan apa
yang betul-betul ia butuhkan. Sekali lagi ia dikejutkan oleh kelihaian mereka.
356
Jeannie ingat nama anak muda itu. “Hai, Ben. Bagaimana kalau kaudobrak pintu
sial ini sampai roboh?”
“Aku-nggak percaya!”
Jeannie mengeluarkan tas kerjanya dari dalam kantong hitam itu. lalu
mengambil New York Times dari dalamnya. “Gara-gara ini.”
Lisa membaca dua alinea pertama, lalu berkata, “Tapi ini kan omong kosong.”
357
membiarkan dirinya digoyahkan oleh hal begini. Pasti ada suatu acara lain di
agendanya Jeannie mengetuk-ngetukkan tumitnya di lantai, tidak berdaya
mengatasi frustrasinya. “Rupanya dia siap melakukan apa pun, mengorbankan
apa pun… pasti ada sesuatu yang besar yang dia pertaruhkan.” Mungkin
jawahannya akan ia temukan dalam catatan medis Aventine Clinic di
Philadelphia, la mengecek arlojinya. Ia harus berada di sana pada pukul dua
siang; ia harus segera berangkat.
Lisa masih belum dapat mencerna apa yang baru didengarnya. “Mereka kan
nggak bisa memecatmu begitu saja,” ujarnya dalam nada emosi.
“Memang begitu.”
Sebetulnya ada, tapi Jeannie merasa rikuh untuk memintanya. Ia menatap Lisa.
Lisa mengenakan baju berleher tinggi dengan sebuah baju hangat yang agak
longgar di atasnya, meskipun udara panas sekali; ia sedang berusaha menutupi
tubuhnya, suatu reaksi dari peristiwa pemerkosaan itu, tentunya. Ia masih
banyak diam, sebagaimana layaknya orang yang baru kehilangan sesuatu yang
amat berharga.
358
Jeannie merasa enggan untuk memaksa Lisa. Ia mencoba memutar otak untuk
memperoleh pemecahannya. “Mungkin aku mesti coba sendiri. Mungkin ada
petugas kebersihan yang bisa menolongku, tapi kukira kuncinya juga tidak akan
bereaksi dengan kartu mereka. Kalau aku tidak memakai kamar itu. tentunya
tidak ada yang perlu dibersihkan lagi. Tapi para petugas sekuriti pasti bisa
masuk.”
“Mereka tidak akan mau membantumu. Mereka akan tahu bahwa kamarmu
memang dengan sengaja dikunci.**
“Kau benar,” ujar Jeannie. “Tapi mereka akan mengizinkan kau masuk. Kau bisa
bilang pada mereka bahwa kau membutuhkan sesuatu dari kamarku.”
Kemudian ekspresi wajah Lisa berubah. “Ya,” ujarnya akhirnya. “Tentu saja aku
akan mencobanya.”
Lisa merasa rikuh menanggapi emosi Jeannie. “Di mana persisnya di ruang
kerjamu kausimpan daftar dari FBI itu?” tanyanya dalam nada praktis.
“Di dalam sebuah disket floppy berlabel SHOPPING.LST, di dalam sebuah dus-
disket di laci meja tulisku.”
“Oke.” Lisa mengerutkan alisnya. “Aku tidak mengerti kenapa mereka bersikap
begitu memusuhimu.” “Semuanya berawal dengan kemunculan Steve Lo—
359
360
BAB 32
361
Ia merasa frustrasi bahwa ia tidak dapat memecat Jeannie begitu saja, meskipun
gajinya sebetulnya dibayar olehnya. Jeannie bekerja untuk Jones Falls
University, dan pihak Genetico sudah menyerahkan uang itu kepada mereka.
Sebuah perguruan tinggi tidak dapat memecat seorang akademikus seperti
sebuah restoran memecat seorang pelayan yang kurang kompeten. Karena itulah
ia terpaksa melewati prosedur yang berbelit-belit ini.
362
Berrington sendiri pernah menerima sogokan satu kali. la masih merasa tidak
enak setiap kali teringat akan peristiwa itu Kejadiannya di awal masa kariernya,
sebelum ia menjadi seorang profesor penuh. Seorang mahasiswi junior
tertangkap basah melakukan kecurangan— membayar seorang mahasiswa lain
untuk membuat skripsinya. Namanya Judy Gilmore dan tampangnya
menggemaskan sekali. Mestinya ia dipecat dari universitas itu, tapi seorang
kepala departemen memiliki mandat untuk mengurangi vonis tersebut. Judy
muncul di niang kerja Berringion untuk “membicarakan masalah itu”. Sambil
menyilangkan kakinya, ia menatap Berrington dengan mata sendu, lalu
mendoyongkan -tubuhnya ke muka, sehingga Berrington dapai melihat sekilas
BH-nya yang terbuat dari bahan renda. Berrington menyatakan simpatinya dan
berjanji akan melakukan sesuatu untuknya. Gilmore mengucurkan air mata,
mengucapkan terima kasih, sesudah itu menjabat tangannya, menciumnya di
bibir, dan akhirnya membuka ritsleting celananya.
Gadis itu tidak menjanjikan apa-apa padanya. Ia tidak menawarkan seks sebelum
Berrington menyatakan janjinya untuk membantu, dan setelah mereka bercinta
di lantai, dengan .tenang ia berpakaian kembali, menyisir
Ia menerima sogokan itu karena ia bisa mengatakan kepada dirinya bahwa itu
bukan sogokan. Judy meminta bantuannya, ia menyatakan bersedia membantu,
gadis itu terkesan oleh simpatinya, lalu mereka bercinta. Sementara waktu terus
berjalan, ia mulai melihat ini sebagai suatu ide yang sesat. Tawaran seks itu
merupakan hal yang mutlak untuk si gadis, dan pada waktu Berrington
menjanjikan apa yang memang ia harapkan, dengan bijaksana ia menutup
transaksi itu Berrington senang dianggap sebagai orang yang memiliki prinsip
namun ia toh telah melakukan sesuatu yang betul-betul memalukan.
Ia akan melakukan itu dengan cara Judy dulu— dengan memberikan kepada
Jack kesempatan untuk me-nyarukan masalahnya.
Bisa dikatakan Berrington hampir tak pernah melihat dokumen itu, walaupun
cuma sekilas. “Menurutku usulanmu itu masuk akal. Aku menelepon cuma
untuk mengatakan bahwa aku akan mendukungmu begitu surat itu ditampilkan
di muka dewan direksi.”
364
Jack menanggapi ide itu dengan antusias. “Kita bisa menamakan perpustakaan
itu Genetico Biophysics Library.”
Berrington berusaha menutupi perasaan leganya, lalu berkata dalam nada sambil
lalu, “Oh, itu—suatu kehebohan yang tidak berarti.”
“Aku sudah mencoba meneleponnya, tapi rupanya dia tidak di ruang kerjanya.”
“Jangan khawatir soal Genetico,” ujar Berrington. meskipun Jack sama sekali
tidak menyebut nama perusahaan itu. “Mereka masih tetap berkepala dingin
dalam menanggapi masalah itu. Untungnya Maurice Obell langsung bergerak
dan mengambil tindakan tepat.”
“Kukira itu cuma suatu formalitas. Dia menempatkan pihak universitas dalam
situasi serba salah, menolak untuk tidak melanjutkan kegiatannya, lalu
menghubungi pihak pers. Aku tidak yakin dia bahkan peduli untuk membela
dirinya Aku sudah menyampaikan pada orang orang Genetico bahwa situasinya
sudah berhasil kita atasi. Sejauh ini tidak ada masalah antara pihak universitas-
dengan mereka.”
365
“Itu bagus.”
“Tentu saja andai kata komite memihak Jeannie melawan Maurice, entah dengan
alasan apa, kita akan dapat masalah. Tapi kukira itu tidak mungkin terjadi,
bukan?” Berrington menahan napas.
Jack memilih untuk mengalihkan pertanyaan itu. Sial. “Ya, dan aku merasa lega
bahwa seseorang yang berkepala dinginlah yang akan menangani prosedur itu.”
Berrington menyebutkan nama seorang profesor filsafat berkepala botak. “Andai
kata Malcolm Barnet yang duduk di situ, entah apa yang akan terjadi.”
Sekali lagi jawaban Jack kurang menjanjikan. “Tidak semua anggota komite
dapat diprediksi.”
Brengsek, apa kau sengaja melakukan ini untuk menyiksaku? “Tapi pihak
pimpinan kan punya pengaruh, setahuku.” Berrington menghapus setetes
keringat di keningnya.
Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Berry, rasanya kurang tepat bagiku kalau aku
sudah menentukan sikap mengenai isu itu sebelum…”
Persetan kau!
“Tapi kukira aku bisa bilang bahwa pihak Genetico tidak usah khawatir tentang
masalah ini.”
Akhirnya! “Trims, Jack. Aku menghargai itu.” “Tapi ini betul-betul hanya di
antara kita, tentunya.” “Jelas.”
366
Tapi tentu saja itu belum merupakan akhir dari masalah ini. Keputusan komite
baru akan sah kalau dihadiri oleh seluruh jajaran senat. Kemungkinan lain adalah
Jeannie memakai seorang pengacara yang hebat, dan mulai menuntut berbagai
kompensasi dari pihak universitas. Kasus ini bisa berlarut-larut sampai beberapa
tahun. Tapi penyidikannya akan terhenti, dan itu yang paling penting.
Namun demikian, keputusan komite belum bisa disebut relevan. Kalau ada yang
meleset besok pagi, Jeannie akan duduk kembali di belakang mejanya besok
siang, sibuk mengotak-atik kesalahan-kesalahan masa lalu pihak Genetico.
Berrington menggigil: amit-amit. Ia meraih sebuah bloknot, lalu menuliskan
nama-nama para anggota komite itu.
367
BAB 33
Ia menekan tombol Seek radionya, untuk mencari pemancar yang lumayan, dan
memperoleh alunan Nirvana yang memainkan Come as You Are. Setiap kali
mempertimbangkan untuk mengencani seorang laki-laki yang sebaya
dengannya, atau yang lebih muda, ia merasa agak ngeri, seperti apa yang ia
rasakan saat mendengarkan sebuah lagu Nirvana. Laki-laki yang lebih tua
biasanya lebih matang, dan tahu apa yang harus mereka lakukan.
368
Jeannie Ferrami, wanita yang selalu melakukan apa yang ingin ia lakukan, dan
biasanya mengatakan peduli apa kepada dunia? Apakah aku membutuhkan
kemapanan? Ah!
Tapi nyatanya toh begitu, sesungguhnya. Mungkin itu karena ayahnya. Setelah
ayahnya, ia tidak pernah ingin berurusan lagi dengan laki-laki yang tidak
bertanggung jawab dalam hidupnya. Di pihak lain, ayahnya merupakan bukti
hidup bahwa laki-laki yang lebih tua bisa sama tidak bertanggungjawabnya
seperti yang lebih muda.
Tentunya Daddy sedang tidur di salah sebuah hotel murah, entah di mana di
Baltimore. Setelah bermabuk-mabukan dan berjudi habis-habisan dengan uang
hasil penjualan komputer dan TV-nya—yang pasti tidak akan bertahan lama—ia
bakal mencuri lagi atau meminta belas kasihan dari anak perempuannya yang
satu lagi, Patty. Jeannie membenci ayahnya karena telah mencuri barang-
barangnya. Namun peristiwa itu ternyata memungkinkan dirinya melihat sisi
terbaik dalam diri Steve Logan. Anak muda itu benar-benar seorang pangeran.
Peduli amat, ujarnya pada dirinya; begitu ketemu Steve Logan, aku akan
menciumnya lagi, dan kali ini aku akan melakukannya dengan baik.
Aventine Clinic terletak di University City, sebelah barat Shuylkill River, suatu
kompleks bangunan perguruan tinggi dan apartemen mahasiswa. Kliniknya
sendiri merupakan bangunan bertingkat tahun lima puluhan yang
menyenangkan, yang dikelilingi pepohonan. Jeannie parkir di sebuah meteran di
tepi jalan, lalu masuk ke dalam.
369
Empat orang sedang berada di ruang tunggu: sepasang anak muda, yang wanita
tampak tegang, sedangkan yang laki-laki senewen, serta dua wanita yang kira-
kira seumur Jeannie. Semua duduk di sebuah pojok bersofa rendah, membalik-
balik majalah. Seorang penerima tamu yang lincah mempersilakan Jeannie
mengambil tempat duduk. Ia memungut sehelai brosur mengilap mengenai
Genetico, Inc. Ia membiarkannya terbuka di pangkuannya, tanpa membaca
isinya, lalu menerawangi karya seni abstrak yang tidak jelas tapi berkesan
menenangkan pada dinding ruang lobi itu, sambil dengan sabar meng entak-
entakkan kaki di lantai berkarpet.
370
Satu menit sesudah itu, seorang laki-laki muncul dari bagian belakang lobi dan
berseru, “Dr. Ferrami!” Tampangnya seperti berusaha untuk bersikap antusias.
Usianya sekitar lima puluhan, dengan kepala nyaris botak dan sisa rambut
berwarna jahe, seperti biarawan. “Halo, halo, menyenangkan sekali bertemu
dengan Anda.” ujarnya dalam nada diramah ramahkan
“Ya, ya! Aku koleganya, namaku Dick Minsky. Apa kabar?” Dick mempunyai
pembawaan senewen yang membuatnya mengedipkan mata setiap beberapa
detik sekali. Jeannie merasa kasihan padanya.
“Untuk memecahkan suatu misteri medis.” jawab Jeannie. “Ada dua wanita yang
putra-putranya ternyata mempunyai ciri-ciri persis sama. namun mereka tidak
memiliki pertalian keluarga. Sam satunya koneksi yang berhasil kuungkapkan
sejauh ini adalah’ kedua wanita, ini pernah menjalani perawatan di sini, sebelum
mereka hamil.”
“Begitu?” sahut Minsky, seakan sambil lalu. Jeannie agak tertegun; menurut
perhitungannya, laki-laki itu akan tergugah.
Mereka memasuki sebuah ruangan pojok. “Semua data yang kami miliki dapat
diakses melalui komputer, dengan kode yang tepat.” ujarnya. Ia duduk di
belakang sebuah layar. “Oke, nama pasien-pasien yang akan kita lacak
adalah…?”
“Ini tidak akan butuh waktu lama.” Ia mulai memasukkan nama-nama itu.
371
Jeannie mengangkat alisnya, tapi laki-laki itu tidak mengalihkan mata dari
keyboard-nya. Kenapa ia harus dilayani oleh tokoh yang begitu tinggi
kedudukannya? tanyanya pada dirinya. Suatu perasaan tak enak mulai merayapi
hatinya. “
Dick mengerutkan alis. “Aneh sekali. Komputer kami tidak menyimpan data
untuk kedua nama itu.”
Dick memiringkan layar sedemikian rupa, sehingga Jeannie dapat melihat apa
yang tertera di atasnya. “Apa nama-namanya sudah kueja dengan benar?”
“Ya.”
“Kapan kira-kira mereka mengunjungi klinik ini?” Sekitar dua puluh tiga tahun
yang lalu.”
Dick menatapnya. “Wah,” ujarnya sambil mengejapkan mata. “Kalau begitu aku
khawatir kau cuma buang-buang waktu kemari.”
“Kenapa?”
“Kami tidak menyimpan lagi data-data dari masa sejauh itu Ini memang strategi
penanganan dokumen yayasan kami.”
“Kami memusnahkannya, ya, setelah dua puluh tahun, kecuali tentu saja si
pasien mendapatkan perawatan lagi di sini, data-datanya akan ditransfer ke
komputer.”
372
“Aku yakin telah mengatakan padanya bahwa kedua wanita itu menjalani
perawatan di sini sekitar dua puluh tiga tahun yang lalu.” Jeannie masih ingat
bahwa ia menambahkan setahun di atas usia Steve untuk menentu kan
periodenya.
Entah mengapa Jeannie tidak terlalu heran mendapati situasinya akan begini.
Dick Minsky, dengan sikapnya yang ekstra ramah dan kedipan senewennya,
benar-benar menggambarkan sosok karikatur seorang laki-laki yang memendam
rasa bersalah.
“Aku khawatir Peter tidak masuk hari ini.” “Wah, kebetulan sekali.”
“Kenapa aku akan berpikir begitu?” “Entahlah.” Ia berdiri. “Tapi sekarang, aku
khawatir, waktuku sudah habis.”
373
Dick mengantarnya turun ke lobi. “Selamat siang untuk Anda,” ujarnya dalam
nada kaku
Pelataran parkir itu penuh dengan kendaraan para dokter, mobil-mobil Cadjlac,
dan BMW model terakhir. Jeannie menelusuri samping gedung itu. Seorang laki-
laki kulit hitam berjenggot putih sedang menyapu sampah. Tidak ada yang aneh
atau menarik di sini. Ia sampai pada sebuah tembok penghalang, lalu melangkah
kembali.
Melalui pintu kaca muka bangunan itu, ia melihat Dick Minsky masih berdiri di
lobi, berbincang-bincang dengan si penerima tamu yang lincah. Laki-laki itu
menoleh saat Jeannie lewat.
Jeannie mengitari gedung itu melalui sisi lain. la sampai di sebuah tempat
pembuangan sampah. Tiga orang laki-laki yang mengenakan sarung tangan karet
tebal tampak sibuk memindahkan sampah yang ada ke atas sebuah truk. Ini
memang konyol, ujar Jeannie pada dirinya. Lagaknya seperti seorang detektif
dalam sebuah film misteri yang menegangkan. Saat akan membalikkan tubuh,
tiba-tiba terpintas sesuatu di kepalanya. Mereka mengangkat sampah dalam
kantong-kantong plastik cokelat yang besar itu dengan sangat santai, seakan
tidak berat sama sekali. Apa yang akan dibuang sebuah klinik dengan massa
yang besar tapi toh ringan?
Serpihan-serpihan kertas?
374
gedung, ditemani seseorang dalam seragam polisi yang biasanya dipakai oleh
para petugas sekuriti.
Para tukang sampah itu menoleh ke arahnya, namun Jeannie tidak memedulikan
mereka. Ia merobek sebuah kantong, merogoh ke dalamnya, lalu mengeluarkan
segenggam isinya.
Hanya satu alasan mengapa ada banyak kantong plastik di situ hari ini.
Data-data itu baru saja dimusnahkan pagi tadi— cuma beberapa jam setelah ia
menelepon mereka.
Kini tidak ada yang perlu diragukan lagi.
Tampang Dick benar-benar ketakutan. “Tentu saja tidak,” ujarnya. “Dan, omong-
omong, tuduhan itu betul-betul menyakitkan.”
375
Laki-laki itu sudah setengah baya, dengan rambut berwarna keabuan dan perut
buncit. Dalam situasi ini, Jeannie tidak berniat membiarkan dirinya diperlakukan
seenaknya. Dengan tangan kanannya ia mencengkeram lengan yang dipakai laki-
laki itu untuk mencengkeramnya. Otot-otot lengan atasnya ternyata lunak.
“Lepaskan,” ujar Jeannie sambil meremas. Tangannya kuat dan cengkeramannya
lebih kuat daripada kebanyakan laki-laki. Si petugas sekuriti menooba untuk
tetap mencengkeram siku Jeannie, namun rasa sakit di lengannya sendiri
ternyata tidak tertahankan olehnya, sehingga ia terpaksa melepaskaunya.
“Terima kasih,” ujar Jeannie.
Ia melangkah pergi.
Ia merasa lebih enak. Ternyata memang ada yang belum tersingkap di klinik ini.
Usaha mereka untuk menghalangi dirinya merupakan konfirmasi bahwa
memang ada yang patut mereka sembunyikan. Pemecahan misteri itu ada
hubungannya dengan tempat ini. Tapi di mana posisinya sekarang?
376
Suasana di dalam kafe itu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa sedang
menghabiskan santapan siang mereka. Ia memesan kopi dan sepiring salad.
Sambil menunggu, ia membuka brosur yang diambilnya dari lobi klinik. Ia mulai
membaca:
Aventine Clinic didirikan pada tahun 1972 oleh Genetico, Inc., sebagai pusat
penelitian dan pengembangan pembuahan in vitro manusia yang pertama, yang
oleh surat kabar dinamakan “bayi tabung”.
Salam btiat dimhad paiigcu, sulni bbsc, kaiig zusi sekeluarga, otoy dengan
kameranya, syanqy arr dengan haiiaoki.wordpress.com nya, grafity. dan semua
dimhader
377
BAB 34
Hari ini Berrington kelihatan ekstra perlente dalam jas linen biru laut, sebuah
vest yang serasi, dan “celana panjang bercorak gurat-gurat dari bahan ringan. Ia
mengamati bayangannya di cermin belakang pintu, sebelum meninggalkan ruang
kerjanya untuk menemui Jane.
Bagian lobi bangunan itu penuh dengan anak-anak muda bercelana pendek yang
berbaris untuk mengambil
378
Tempat itu merupakan pusat makanan, seperti yang sering dilihat Berrington di
bandara bandara udara dan pusat perbelanjaan, dengan sebuah kios Pizza Hut, es
krim, Burger King, dan sebuah kafetaria biasa. Berring; ton meraih sebuah
nampan, lalu pergi ke bagian kafetaria. Di dalam sebuah kotak kaca terlihat
beberapa potong roti dan kue yang sama sekali tidak menggugah selera. Ia
menggigil; dalam situasi normal, ia akan mengemudikan mobilnya ke kota lain
daripada makan di sini.
Ini agak sulit. Jane bukan jenis wanita yang disukainya, dan itu memperbesar
kemungkinan bahwa Jane akan memihak sisi yang salah dalam sidang penerapan
disiplin itu. Berrington harus berusaha memenangkan simpatinya dalam waktu
teramat pendek. Ia harus mengerahkan seluruh karisma yang dimilikinya.
Ia membeli sepotong kue keju dan secangkir kopi, lalu membawa makanannya
ke meja Jane, la merasa rikuh, namun memaksa diri untuk kelihatan dan
terdengar santai. “Jane,” tegurnya. “Menyenangkan sekali. Boleh aku
menemanimu?”
379
usia kita, sebaiknya jangan terbawa oleh hal-hal yang sifatnya terlalu rutin—ya,
kan?”
“Aku jauh lebih muda daripadamu,” ujar Jane dengan santai. “Meskipun kukira
tak seorang pun akan menyangka itu.”
“Ah, masa?” Berrington menggigit kue kejunya. La-, pisan dasarnya sekeras
kertas karton dan isinya seperti shaving-cream rasa lemon. Ia menelannya
dengan susah payah. “Bagaimana pendapatmu tentang usulan Jack Budgen
mengenai sebuah perpustakaan biofisika?”
“Aku kemari bukan untuk menemuimu, aku datang untuk mencoba makanannya,
dan sekarang aku menyesal. Rasanya benar-benar tidak keruan. Bisa-bisanya kau
makan di sini.”
Berrington pernah seperti Jane, terobsesi oleh pekerjaannya, dulu sekali. Tapi ia
tidak pernah membiarkan dirinya tampil seperti gelandangan, meskipun sebagai
seorang ilmuwan muda ia betul-betul hanya hidup demi penyingkapan
penemuan-penemuan baru. Namun demikian, kehidupannya akhirnya
membuatnya menempuh jalur yang berbeda. Buku-bukunya hanya
mempopulerkan hasil kerja orang-orang lain; sudah lima belas atau dua puluh
tahun lamanya ia tidak menulis hasil karyanya sendiri. Untuk sesaat ia
mempertanyakan, apakah ia akan lebih bahagia andai kata ia memilih jalan lain.
Jane yang slebor, yang melahap makanan murah sambil mengotak-atik masalah-
masalah ilmu fisika nuklir, memiliki pembawaan tenang dan puas yang tidak
pernah dikenal Berrington.
Dan sepertinya ia belum juga berhasil memenangkan hatinya. Wanita ini terlalu
bijaksana. Mungkin ia harus
380
“Tiga puluh tahun yang lalu, aku membuat nama, saat aku mulai
mempertanyakan karakteristik manusia mana yang diturunkan dan mana yang
dipelajari. Karena hasil kerjaku, dan hasil kerja mereka yang menekuni bidang
yang sama seperti aku, kita kini tahu bahwa segi pewarisan genetika seorang
manusia lebih relevan daripada cara dia dibesarkan serta pengaruh
lingkungannya dalam menemukan sifat-sifat psikologisnya secara keseluruhan.”
“Berry!” ujar Jane sambil tersenyum. “Kalau aku seorang sekretaris berusia tiga
puluh tahun dengan buah dada montok, aku bakal menganggap kau sedang
mencoba mencuri hatiku.”
Itu lebih baik, ujar Berrington pada dirinya. Akhirnya wanita ini mulai
melembut. “Montok?” ulangnya sambil tertawa. Dengan sengaja ia melirik ke
arah buah dada wanita itu, kemudian kembali ke wajahnya. “Menurutku kau
semontok yang kaubayangkan.”
381
“Wauw, aku harus pikirkan itu dulu. Sekarang aku harus memberi kuliah.”
Kemudian Jane berkata, “Bagaimana kalau kita bahas Ttu lain kali?”
“Malam ini?”
“Jenis makanan apa yang kausukai?” tanyanya. “Oh, tidak usah kaujawab, aku
tahu. kau sedang memikirkan akselerator partikelmu’.” Mereka sampai di bawah
terik matahari. Berrington meremas lengan Jane dengan ringan. “Sampai nanti
malam.”
382
BAB 35
Pasangan kembar identik terjadi pada saat sebuah embrio terbelah menjadi dua,
di dalam kandungan, kemudian tumbuh menjadi dua individu. Itu juga bisa
terjadi di dalam sebuah tabung. Sesudah itu, pasangan kembar dari tabung itu
bisa ditanam dalam kandungan dua wanita yang berbeda. Dengan cara itulah
pasangan kembar identik bisa dilahirkan oleh dua wanita yang tidak memiliki
pertalian keluarga Bingo.
Seorang pelayan datang untuk mengantar salad yang dipesan Jeannie, namun ia
merasa terlalu antusias untuk dapat menikmatinya. *
Bayi tabung bukan lagi sekadar teori di awal tahun tujuh puluhan, setahunya.
Tapi Genetico rupanya sudah lebih jauh melangkah ke depan dalam proses riset
mereka
383
Itu sudah cukup mengenaskan, tapi saat Jeannie mulai merenungkannya secara
lebih mendalam, ia menyadari” sesuatu yang bahkan lebih mengerikan lagi.
Embrio yang membelah itu mungkin anak kandung Lorraine dan Charles, atau
Charlotte -dan si Mayor—tapi tak mungkin milik mereka masing-masing. Salah
satu di antara mereka mengandung anak pasangan yang lain.
Hati Jeannie dipenuhi dengan perasaan tidak keruan saar ia menyadari bahwa
bisa saja mereka sama-sama mengandung bayi dari pasangan yang sama sekali
tidak mereka kenal.
Apa pun motif mereka untuk membohongi wanita-wanita ini, Jeannie kini tahu
mengapa penyidikannya membuai pihak Genetico begitu resah. Membuat
seorang wanita mengandung embrio orang lain, tanpa sepengetahuan si wanita,
betul betul tidak dapat dibenarkan. Sama sekali tidak mengherankan bahwa
mereka menjadi begitu nekad untuk menyembunyikan skandal itu Andai kata
Lorraine Logan sampai mengetahui apa yang telah terjadi atas dirinya,
tuntutannya bisa banyak sekali.
384
“Aku cuma lagi ingin ngobrol-ngobrol denganmu.” Anak muda itu mengusap
alisnya dengan ujung jari telunjuknya. Gerakannya itu membuat Jeannie berpikir
— Siapa yang juga melakukan itu?—namun ia menyisihkan pertanyaan itu dari
kepalanya.
“Kukira begitu.”
Jeannie tersenyum. “Kau agak aneh hari ini. Ada apa sih?”
“Oke.” Jeannie meninggalkan selembar lima dolar di” meja itu, lalu berdiri.
385
Steve tidak menjawab, tapi jari-jarinya sudah meremas payudara Jeannie keras-
keras.
“Aduh!” jerit Jeannie. “Sakit! Ada apa sih denganmu?” Jeannie berusaha
mendorong dengan tangan kanannya. Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau,
dan Jeannie mulai menelusuri jalur, menuju Shuylkill Expressway.
“Aku nggak ngerti maumu,” protes Steve. “Tahu-tahu kau mencium aku seperti
seorang nymphomaniac. laki tiba-tiba kau menjadi dingin.”
386
Padahal aku mengira anak muda itu sudah matang! “Dengar, aku menciummu
karena ingin menciummu. Itu bukan pertanda bahwa kau boleh berbuat
seenaknya atas diriku. Dan kau tidak pernah boleh menyakiti seorang gadis.” Ia
mulai melesat di jalan bebas hambatan itu.
“Tapi ada cewek-cewek yang senang kalau disakiti.” sahut Steve, sambil
memindahkan tangannya ke lutut Jeannie.
Jeannie berusaha menyisihkan tangan itu. “Apa sih sebetulnya yang ingin
kauperlihatkan padaku?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian Steve.
“Ini,” jawab Steve, sambil meraih tangan kanan Jeannie. Sesaat kemudian,
Jeannie merasa tangannya menyentuh alat vital Steve dalam keadaan polos,
tegang, dan panas.
“Sebaiknya kauturuti mauku,” ujar Steve. “Kalau tidak, kuhajar kau habis-
habisan.” “Edan!” umpatnya.
Melalui sudut matanya, ia melihat Steve sudah siap untuk mengayunkan tinjunya
sekali lagi.
Kali ini keseimbangan Steve pulih lebih cepat. Mobil itu akhirnya berhenti.
Kendaraan-kendaraan lain meliuk di sekeliling mereka, klakson-klakson
menggelegar. Jeannie mulai ketakutan; setiap saat bagian belakang Mercedes itu
bisa dihantam oleh salah satu kendaraan itu. Namun siasatnya rupanya tidak
berhasil: Steve tidak tampak takut Ia malah meletakkan tangannya di atas rok
Jeannie, meraba bagian pinggang stocking-nya yang kemudian ia renggut begitu
saja. Jeannie mendengar suara robekan.
388
kakinya pada rem kendaraannya terangkat, dan mobil itu mulai merayap maju.
Mungkin aku harus membuat dia kehilangan keseimbangan, pikir Jeannie. Ia
yang duduk di belakang kemudi mobil, dan hanya itulah peluang yang masih
dimilikinya. Dengan nekad ia meletakkan kakinya di pedal gas, lalu
menginjaknya kuat-kuat.
Mobil itu meluncur sambil meliuk. Rem-rem berderit sewaktu sebuah bus
Greyhound nyaris melanggar bumper Mercedes itu. Tubuh Steve terempas ke
belakang, terkejut sebentar, tapi beberapa detik kemudian tangannya sudah sibuk
lagi menggerayangi Jeannie, sementara Jeannie berusaha mengendalikan
kemudinya. Ia benar-benar kelabakan sekarang. Rupanya Steve sama sekali tidak
peduli apakah mereka akan mati atau tidak. Apa yang harus dilakukannya untuk
menghentikannya sekarang?
Jeannie mengayunkan sikut kanan dan tinjunya ke arah Steve, namun ia tidak
dapat mengerahkan seluruh tenaganya, karena ia masih duduk di belakang
kemudinya, sehingga ia hanya dapat mengalihkan perhatian anak muda itu
selama beberapa detik.
Masih berapa lama ini akan berlangsung? Apakah tidak ada mobil polisi yang
berpatroli di kota ini?
389
Ia menginjak pedal gasnya menelusuri bahu jalan. Begitu laju kendaraan itu
sudah lebih stabil, Steve mulai menyusupkan tangan di antara kedua paha
Jeannie untuk memasukkan jarinya ke celana dalam Jeannie. Jeannie menggeser
tubuh untuk mencoba menghentikan ulahnya. Ia melirik ke arah wajah anak
muda itu. Steve sedang tersenyum, matanya melebar, napasnya mendengus, dan
keringatnya mulai keluar. Rupanya ia amat menikmati situasi itu Ini benar-benar
edan.
Tidak ada sebuah mobil pun di depan atau di belakang mereka. Bahu jalan itu
berakhir di sebuah lampu lalu lintas yang sedang hijau. Di sebelah kirinya
terdapat sebuah taman pemakaman. Ia melihat sebuah rambu yang menunjuk ke
arah kanan dengan tulisan berbunyi Civic Center Blvd. Jeannie membelok ke
sana, dengan harapan akan sampai di sebuah balai kota yang sibuk, dengan
banyak orang lalu lalang di trotoarnya. Di luar perhitungannya, ternyata jalan itu
melewati sebuah deretan gedung yang berkesan sudah ditinggalkan. Di
depannya, lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Kalau ia berhenti, celakalah
dirinya.
390
kata, “Matikan mesinnya!” Sama seperti Jeannie, ia» menyadari bahwa kalau ia
memerkosa Jeannie di sini, besar kemungkinan tak. seorang pun akan
menghalanginya.
Sebuah mobil ambulans yang muncul dari sebelah kiri, memotong jalan mereka
Jeannie menginjak rem, sambil berusaha menghindari tabrakan, sementara pada
dirinya ia berkata,’ Andai kata aku menubruknya sekarang, setidaknya akan ada
bala bantuan. -
Tiba-tiba Steve menarik tangannya. Untuk sesaat Jeannie menarik napas lega.
Kemudian ia mencengkeram perseneling mobil itu untuk dipindahkan ke posisi
netral. Tiba-tiba Mercedes itu kehilangan momentumnya. Jeannie mengentakkan
perseneling itu kembali ke posisi drive, lalu menjejakkan kakinya di pedal gas.
menyusul si mobil ambulans. ,
Masih berapa lama lagi ini? ujar Jeannie pada dirinya. Ia harus dapat
menemukan suatu daerah permukiman ramai sebelum mobil itu berhenti atau
menabrak sesuatu Namun Philadelphia telah berubah menjadi permukaan bulan
yang sunyi.
391
sekuat tenaga. Steve, yang tidak menduga Jeannie sekuat itu, terenyak ke
belakang. Jeannie memindahkan persenelingnya ke posisi drive, lalu menjejak
pedal gasnya. Mobil itu melesat kembali ke muka, namun Jeannie tahu bahwa
tak lama lagi ia akan terpaksa menyerah. Setiap saat Steve akan berhasil
menghentikan mobil itu dan ia akan terperangkap di dalamnya bersamanya.
Steve menemukan kembali keseimbangannya saat Jeannie membelokkan
mobilnya mengitari sebuah jalan di sebelah kiri. Ia mencengkeram kemudi
dengan kedua tangannya, sementara Jeannie berkata dalam hati, Jadi, beginilah
akhirnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Kemudian mobil itu
sampai di sebuah jalan yang lurus, dan panorama kota itu pun berubah.
Ada sebuah jalan ramai, sebuah rumah sakit dengan orang-orang yang berdiri di
luar, sederetan taksi, dan sebuah kios kaki lima yang menjual penganan Cina.
“Yes!” seru Jeannie dalam nada menang. Ia menginjak remnya. Steve
mengentakkan kemudi mobil itu, semen-^ tara Jeannie berusaha menariknya
kembali. Mercedes itu meJiuk, kemudian tiba-tiba berhenti di tengah jalan.
Puluhan pengemudi taksi di kios kaki lima itu menoleh.
Jeannie duduk di sana sambil terengah-engah. Laki-laki itu sudah tidak tampak.
Mimpi buruknya sudah berakhir.
392
BAB 36
Tapi kini ia merasa resah dan sedih. Pengacaranya sudah berbicara dengan
Sersan Delaware dari Unit Tindak Kejahatan Seks di Baltimore tadi sore. Wanita
itu menyampaikan bahwa ia sudah memperoleh hasil tes DNA-nya. Dan ternyata
bekas sperma di vagina Lisa Hoxton persis sama dengan DNA yang terdapat di
dalam darah Steve.
Steve benar-benar merasa terpukul. Sebelumnya ia begitu yakin bahwa hasil tes
DNA itu akan mengakhiri seluruh dilema ini.
393
394
Steve tersentak kaget. Dalam nada bingung ia bertanya, “Jeannie, ada apa?”
“Jangan mendekat!” jeritnya. “Jangan sentuh aku! Aku akan panggil polisi
sekarang juga!”
Steve menaikkan tangannya dalam gaya ingin berdamai. “Oke, oke, apa pun
yang kaukatakan. Aku tidak akan menyentuhmu, oke? Ada apa sebetulnya
denganmu?’*
Seorang tetangga muncul dari pintu muka rumah yang Juga ditinggali Jeannie.
Tentunya ia penghuni apar temen di bawah milik Jeannie, pikir Steve. Ia seorang
laki-laki tua kulit hitam yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan dasi. “Kau
tidak apa-apa, Jeannie?” tanyanya. “Rasanya aku mendengar seseorang
berteriak.”
“Itu tadi aku, Mr. Oliver,” sahut Jeannie dalam nada bergetar. “Orang ini
menyerangku di dalam mobilku sendiri di Philadelphia sore tadi.”
“Menyerangmu?” ulang Steve dalam nada bingung. “Aku tidak bakal melakukan
itu!”
Steve merasa tersinggung. Ia sudah bosan setiap kali kena tuding terlibat dalam
tindakan brutal. “Omong sembarangan kau. Sudah bertahun-tahun aku tidak
menjejakkan kakiku di Philadelphia.”
Mr. Oliver menengahi mereka. “Anak muda ini sudah nangkring di tembok itu
sedikitnya dua jam, Jeannie. Tak mungkin dia keluyuran di Philadelphia
sesorean ini.”
Jeannie rupanya tidak mau menerima pernyataan itu, dan sepertinya sudah siap
untuk menuding tetangganya yang bermaksud baik itu.
Laki-laki itu angkat bahu. “Sam jam empat puluh menit, mungkin lima puluh
menit.”
“Anda yakin?”
“Jeannie, kalau dia memang berada di Philadelphia dua jam yang lalu, tentunya
dia kemari naik pesawat Concorde tadi.”
“Aku mengira tadi itu kau,” ujar Jeannie, sementara air mata mulai menggenangi
matanya.
396
Jeannie menarik diri. “Tidak usah, trims,” ujarnya “Aku cuma ingin membuang
pakaian-pakaian ini.”
Jeannie melintasi serambi, menuju pintu muka. Steve tampak ragu. Ia ingin
mengikutinya, tapi masih merasa butuh untuk diundang.
Steve membuntuti Jeannie naik tangga, lalu ikut masuk ke ruang duduknya.
Jeannie menjatuhkan kantong plastik hitamnya di karpet. Ia menuju pojok dapur,
melepaskan sepatunya, kemudian, sama sekali di luar perhitungan Steve, ia
melemparkan sepatu itu ke dalam tong sampah dapur. “Aku nggak pernah mau
lagi memakai pakaian-pakaian sialan ini,” ujarnya dalam nada marah. Ia
melepaskan blazernya, yang lalu ia buang. Sesudah itu sementara Steve
mengawasinya dengan pandangan bingung, ia mulai membuka kancing-kancing
397
n g
bajunya, yang setelah ia tanggalkan juga ia buang ke dalam tong sampah itu
Jeannie mengenakan BH hitam polos dari bahan katun. Tentunya dia tidak akan
melepaskan itu di hadapanku, ujar Steve dalam hati. Namun Jeannie toh meraih
pengait di belakang punggungnya. Ia melepaskan BH itu, lalu membuangnya ke
tempat sampah. Payudaranya kencang dan tidak terlalu besar, dengan puting
kecokelatan. Ada memar berwarna kemerahan di pundaknya, bekas tali BH-nya.
Tenggorokan Steve mulai terasa kering.
**Wauw,” desahnya. Ia duduk di sofa Jeannie yang berwarna hitam. Apa artinya
ini semua? Apakah semacam tes? Apa sebetulnya yang ingin disampaikan
Jeannie padanya?
Steve tersenyum. Betapa indah tubuhnya, begitu langsing, liat. dan sempurna
proporsinya. Apa pun yang akan terjadi, ia tidak akan pernah melupakan
penampilan Jeannie ketika itu
Jeannie mandi untuk waktu lama. Steve menyadari bahwa dalam suasana serba
ricuh itu, ia belum sempal mengutarakan kepada Jeannie, dilema apa yang
sedang
398
menimpa dirinya sendiri. Akhirnya aliran air itu berhenti. Beberapa menit
kemudian, Jeannie muncul di ruangan itu dalam mantel handuk berwarna
kemerahan, dengan rambut basah yang masih menempel di kepala nya. Jeannie
duduk di sebelahnya, lalu berkata. “Apa aku cuma mimpi, atau aku memang
benar-benar membuka semua pakaianku di depanmu?”
“Kau nggak mimpi,” sahut Steve. “Kau membuang semua pakaianmu ke dalam
tong sampah.”
“Tidak ada yang perlu kausesali. Aku senang kau cukup mempercayaiku. Aku
nggak bisa jelaskan padamu, betapa berartinya itu bagiku.”
“Tidak, kukira kau benar-benar terpukul gara-gara apa yang terjadi atas dirimu di
Philadelphia tadi.”
“Mungkin. Aku cuma ingat bahwa aku ingin membuang semua yang kukenakan
saat peristiwa itu terjadi.”
“Mungkin ini saatnya untuk membuka botol Vodka yang kausimpan di lemari
esmu.”
“Biar aku yang buat.” Steve berdiri, lalu melangkah menuju meja dapur. “Bual
apa kau membawa-bawa kantong sampah itu?”
“Aku dipecat tadi pagi. Mereka memasukkan semua barang pribadiku ke dalam
kantong itu lalu mengunci pintu ruang kerjaku.”
“Gara-gara sebuah artikel di New York Times hari ini, yang menyebutkan bahwa
penggunaan sistem data-ba.se ku melanggar hak keleluasaan pribadi orang. Tapi
kukira Berrington Jones cuma menggunakan itu sebagai alasan untuk
menyingkirkan aku.”
399
Hati Steve langsung panas. Ia ingin melontarkan protes, melindungi Jeannie, dan
menyelamatkannya dari perlakuan tidak adil itu. “Apa mereka bisa memecatmu
begitu saja?”
“Kita sama-sama baru menjalani minggu yang rusuh.” Pada saat Steve akan
mengungkapkan hasil tes DNA-nya, Jeannie meraih pesawat telepon.
Steve memasukkan sesendok teh ke dalam poci, lalu menemukan dua buah
cangkir. “Jeannie, pihak kepolisian sudah memperoleh hasil tes DNA itu.”
“Ternyata DNA dari vagina Lisa persis sama seperti DNA di dalam darahku.”
Dalam nada misterius Jeannie berkata, “Apakah kau punya pikiran yang sama
denganku?”
400
“Ya Tuhan.” Steve merasa hatinya menciut. “Tapi ini sepertinya tidak mungkin.
Pihak kepolisian tidak akan pernah mau menerima kenyataan ini. Bagaimana
mungkin hal seperti ini bisa terjadi?”
“Tunggu dulu,” ujar Jeannie dalam nada antusias. “Kau belum tahu apa yang
berhasil kutemukan sore ini, sebelum aku berpapasan dengan kembaranmu. Aku
punya jawabannya.”
Aventine Clinic didirikan pada tahun 1972 oleh Genetico, Inc., sebagai pusat
penelitian dan pengembangan pembuahan in vitro manusia yang pertama, yang
oleh surat kabar dinamakan “bayi tabung”.
Steve berkata, “Jadi, menurutmu Dennis dan aku dulu bayi-bayi tabung?” “Ya.”
Suatu perasaan aneh mulai menggerayangi perut Steve. “Nggak lucu memang.
Tapi apa artinya ini?”
Perut Steve terasa semakin mual. “Tapi apakah sperma dan telurnya milik Mom
dan Dad—atau milik pasangan Pinker?”
401
Dari apa yang tersirat di wajahnya, Steve tahu bahwa Jeannie merasa khawatir
kalau apa yang akan ia sampaikan ini bakal lebih mengguncangkan lagi. Steve
mengambil insiatif dengan langsung menebaknya. “Mungkin sperma dan
telurnya sama sekali bukan milik kedua orangtuaku maupun pasangan Pinker.
Mungkin aku anak kandung dari pasangan yang sama sekali tidak kukenal.”
Steve menjadi bingung. Rasanya seperti berada dalam mimpi, di mana secara
tiba-tiba ia mendapati dirinya jatuh dari suatu ketinggian yang tidak jelas. “Sulit
sekali untuk mencernanya,” ujarnya. Air di dalam ketel mendidih. Untuk
menyibukkan diri, Steve menuang air panas itu ke dalam poci. “Tampangku
memang nggak pernah mirip Mom maupun Dad. Tapi apakah lebih mirip salah
satu dari pasangan Pinker?”
“Tidak juga.”
“Steve, ini tetap tidak bisa menghapus kenyataan bahwa kedua orangtuamu
mencintaimu, bahwa mereka memeliharamu sampai besar, serta tetap bersedia
mengorbankan hidup mereka demi kau.”
Dengan tangan bergetar Steve menuang teh ke dalam dua buah cangkir. Ia
menyodorkan yang satu ke arah Jeannie, lalu duduk bersamanya di sofa. “Lalu
apa hubungan semua ini dengan si kembar ketiga?”
“Kalau bisa ada bayi tabung kembar dua, tentunya juga ada bayi tabung kembar
tiga. Prosesnya sama: satu di antara kedua embrio itu membelah lagi. Itu bisa
terjadi secara alamiah, jadi kukira itulah yang terjadi.”
402
“Kukira tidak. Ibumu dan Charlotte Pinker menyalakan kepadaku bahwa mereka
mengunjungi klinik itu untuk memperoleh suatu perawatan hormon. Pembuahan
in vitro belum dipraktekkan saat itu. Rupanya Genetico sudah berhasil
melangkah jauh ke depan dalam peng-gunakan teknik ini. Dan kukira mereka
mencobanya tanpa mengungkapkan kepada pasien-pasien mereka mengenai apa
yang sudah mereka lakukan.”
“Tidak heran mereka menjadi ketakutan,” ujar Steve. “Sekarang aku mengerti,
mengapa Berrington begitu nekad untuk mendiskreditmu.”
“Yeah. Apa yang mereka lakukan sebetulnya sama sekali tidak etis. Ini membuat
tindakan pelanggaran hak keleluasan pribadi kelihatan remeh sekali.”
“Masalahnya bukan lagi soal etis atau tidak. Genetico bisa morat-marit gara-gara
ini.”
“Ini serius sekali—bisa digolongkan tindakan pidana. Kami mengulas ini tahun
lalu di fakultas hukum.” Namun pada dirinya ia berkata, Buat apa aku membahas
ini dengannya, padahal aku sebetulnya ingin mengatakan kepadanya betapa aku
mencintainya. “Andai kata pihak Genetico menawarkan suatu perawatan hormon
kepada seorang wanita, kemudian dengan sengaja membuatnya hamil dengan
janin orang lain tanpa memberitahukan itu kepadanya, maka tindakan itu bisa
dikategorikan sebagai pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja.”
“Tapi kejadiannya sudah lama lewat. Apakah tidak ada masa batas yang
tertentu?”
403
“Aku belum mengerti bagaimana ini bisa membuat perusahaan itu morat-marit.”
“Ini akan merupakan kasus menuntut ganti rugi yang serius. Artinya, uangnya
bukan saja untuk memberikan kompensasi kepada si korban, katakanlah biaya
pengganti untuk membesarkan anak orang lain, tapi juga untuk menghukum si
pelaku, sambil memastikan bahwa mereka dan juga yang lain menjadi enggan
untuk melakukan kesalahan seperti itu lagi.”
“Seberapa banyak?”
“Pihak Genetico telah dengan sengaja melecehkan tubuh seorang wanita untuk
keuntungan mereka sendiri—aku yakin bahwa pengacara mana pun yang cukup
berbobot akan menuntut sebanyak seratus juta dolar.”
“Menurut artikel dalam Wall Street Journal kemarin, seluruh perusahaan itn
bernilai sekitar seratus delapan puluh juta dolar.”
“Tapi masa kau tidak lihat? Ancamannya saja sudah cukup untuk mejisabotase
proses pengambilalihan itu.”’
“Kenapa begitu?”
“Kemungkinan bahwa Genetico harus membayar uang dalam jumlah sebesar itu
sebagai ganti rugi akan menurunkan nilai saham-sahamnya. Proses
pengambilalihan itu bisa tertunda, sampai pihak Landsmann memperoleh akses
tentang seberapa jauh tanggung jawab mereka.”
“Wauw. Jadi, bukan hanya reputasi mereka taruhannya. Mereka juga bisa
kebagian rugi.”
404
Steve menjadi antusias lagi. “Kalau hasil pelacakan pertama memunculkan aku
dan Dennis, pelacakan berikutnya mungkin akan memunculkan aku dengan yang
ketiga, atau Dennis dengan yang ketiga, atau kami bertiga sekaligus.”
“Ya.”
“Setelah publisitas yang tidak menguntungkan itu, bakal sulit bagiku untuk
menemukan seseorang yang akan membiarkan aku menggunakan database-nya.”
“Sial!”
“Tapi masih ada satu kemungkinan lain. Aku sudah memiliki data-data sidik jari
dari FBI.”
Semangat Steve melambung kembali. “Nama Dennis tentunya ada dalam file
mereka. Andai kata si kembar ketiga pernah diambil sidik jarinya, pelacakan itu
pasti akan memunculkan data-datanya! Hebat sekali!”
“Betul.”
“Sial. Tapi aku bisa mendobrak pintunya. Ayo kita ke sana sekarang, mau tunggu
apa lagi?” *^
“Kau bakal dijebloskan ke penjara lagi. Pasti ada cara yang lebih sederhana
daripada itu.”
Dengan susah payah Steve berusaha mengendalikan diri. “Kau benar. Pasti ada
cara lain untuk mendapatkan disket itu.”
Jeannie mengangkat gagang pesawat teleponnya. “Aku sudah minta kepada Lisa
Hoxton untuk mencoba masuk ke dalam ruang kerjaku. Coba kita cek, apakah
dia sudah berhasil.” Ia memutar sebuah nomor. “Hei, Lisa,
405
ia
a,
apa kabar? Aku? Nggak terlalu baik. Eh, kau nggak bakal percaya mendengar
ini.” Jeannie membeberkan hasil penemuannya. “Aku tahu ini nggak masuk
akal, tapi aku bisa membuktikan kebenarannya begitu diskel itu ada di tanganku.
Kau berhasil masuk ke ruang kerjaku? Sial.” Wajah Jeannie tampak kecewa.
“Oke, thanks untuk usahamu. Aku tahu bahwa kau mempertaruhkan dirimu
untuk itu. Aku betul-betul menghargainya. Ya Bye.”
“Siapa pengacaramu?”
“Aku berani taruhan bahwa pihak perguruan tinggi akan memakai pengacara
termahal di kota ini.”
Steve hampir tidak berani mengucapkan apa yang tersirat di dalam kepalanya.
“Ehm… aku seorang penga—
mr
“Aku memang baru setahun di fakultas hukum, tapi dalam latihan kerja” praktek
kepengacaraan, aku selalu berhasil meraih angka tertinggi di kelasku.” Ia betul-
betul antusias membayangkan dirinya membela Jeannie dalam menghadapi
otoritas pihak Jones Falls University. Tapi apakah Jeannie menganggapnya
terlalu muda dan tidak berpengalaman? la mencoba membaca pikiran Jeannie,
namun tidak berhasil. Jeannie masih menera-406
“Tentu.” Jeannie melangkah ke sebuah meja tulis kecil di pojok, lalu membuka
sebuah laci. “Nih.”
407
“Aku akan menelepon Jack Budgen sekarang juga,” ujar Jeannie. “Ini pukul
delapan—dia pasti ada di rumah.” Ia mengangkat gagang pesawatnya.
“Sebentar,” ujar Steve. “Sebaiknya kita rundingkan dulu mengenai apa yang
akan kaukatakan padanya.”
“Kau benar. Kau berpikir secara strategis, sedangkan aku tidak.”
Steve merasa berbesar hati. Advis pertamanya yang ia berikan sebagai seorang
pengacara ternyata bagus. “Laki-laki ini memegang nasibmu di tangannya.
Seperti apa dia?”
“Ya. Lebih mirip seorang kepala bagian tata usaha daripada seorang akademikus.
Seorang pemain yang taktis, tapi menurutku dia tidak memiliki insting
pembunuh untuk dapat meraih tempat paling top dalam dunia tenis.”
“Nah, kesan apa yang ingin kita berikan padanya?” Steve mengetuk-ngetukkan
ujung-ujung jarinya. “Pertama: kita ingin tampak tidak punya niat’untuk main
keras, dan yakin akan sukses. Kau benar-benar antusias untuk menghadapi
sidang pemeriksaan itu. Kau tidak
408
“Kedua: Kau berada di pihak yang tertindas. Kau seorang gadis yang lemah,
tidak berdaya…” “Yang benar saja?”
Steve tertawa. “Hapus itu. Kau seorang akademikus yang masih junior, dan kau
berhadapan dengan Berrington dan Obell, dua tokoh yang sudah mapan, yang
biasanya selalu memperoleh apa yang mereka inginkan di JFU. Malah kau tidak
bisa membayar seorang pengacara sungguhan. Apa si Budgen orang Yahudi’?” .,
“Dengan begitu, akan tertanam ide bahwa mungkin ada sesuatu yang
disembunyikan Berrington.”
409
Telepon itu dijawab seseorang dalam nada tenang dan berwibawa, “Halo?”
Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Apakah aku kenal Anda, Mr. Logan?*’
“Belum, Sir. Aku menelepon Anda sehubungan dengan jabatan Anda sebagai
pimpinan komite penerapan disiplin Jones Falls University, untuk
memberitahukan bahwa aku akan mendampingi Dr. Ferrami besok. Dia sudah
siap menghadapi sidang pemeriksaan itu, dan merasa antusias untuk segera
menyelesaikan masalah-masalah yang bertalian dengan tuntutan yang diajukan
atas dirinya.”
Nada bicara Budgen amat tenang. “Anda seorang pengacara?”
410
Tentu saja tidak. Steve melanjutkan siasatnya “Tapi andai kata itu sampai terjadi,
mohon Anda tahu bahwa Dr. Ferrami tidak dapat menerimanya.” Steve
memutuskan untuk mengakhiri percakapan ini. “Profesor, aku berterima kasih
atas perhatian Andat dan merasa antusias untuk bertemu dengan Anda besok
pagi.”
“Selamat malam.”
Steve menutup pesawatnya. “Wow. persis seperti menghadapi sebongkah
gunung es.”
Jeannie tampak tidak mengerti- “Biasanya dia tidak seperti itu. Mungkin dia
cuma lagi bersikap formal.”
Steve yakin bahwa Budgen sudah mengambil keputusan untuk bersikap tidak
memihak Jeannie, namun ia tidak mengungkapkan itu kepada Jeanme.
“Setidaknya aku sudah menyampaikan ketiga hal yang ingin kita teruskan
kepadanya. Dan aku tahu sekarang bahwa JFU akan diwakili oleh Henry
Quinn.”
“Hebatkah dia?”
411
Jeannie menerima fakta itu. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
412
BAB 37
Jane Edels bo rough jauh lebih menarik dalam keadaan telanjang daripada saat ia
berpakaian. Ia berbaring di seprai berwarna merah muda kepucatan, diterangi
cahaya sebatang lilin beraroma harum.. Kulitnya yang lembut hening jauh lebih
memesona daripada warna-warna tanah yang biasa dikenakannya. Pakaian
pakaian longgar yang menjadi favoritnya cende rung menyembunyikan bentuk
tubuhnya: bisa dikatakan ia semacam makhluk amazon dengan lekuk buah dada
yang dalam serta pinggul lebar. Kesannya memang berat, tapi sesuai dengannya.
Berrington juga merasakan hal yang sama. meskipun ia tidak cukup terbuka
untuk mengatakannya. Jane mengetahui hal-hal yang biasanya harus ia ajarkan
kepada wanita yang lebih muda, yang biasanya ia ajak naik ke tempat tidur.
Iseng-iseng Berrington mempertanyakan pada dirinya, dari mana Jane
memperoleh keterampilan itu. Ia memang pernah menikah: suaminya, seorang
perokok, meninggal gara-gara kanker paru-paru
413
sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kehidupan seks mereka tentunya seru sekali.
“Aku toh merasa agak bersalah,” ujar Jane. “Sudah lama sekali aku tidak begini
nakal.”
“Nakal?” ujar Berrington sambil mengikat tali sepatunya. “Aku tidak mengerti
maksudmu. Kau kan tidak terikat, berkulit putih, dan sudah berusia dua puluh
satu tahun, sebagaimana yang biasa dikatakan orang.” Berrington melihat Jane
menggerenyitkan wajahnya: istilah tidak terikat, berkulit putih, dan sudah
berusia dua puluh satu tahun itu ternyata secara politis tidak dapat dikatakan
tepat. “Setidaknya, kau tidak terikat,” tambah Berrington cepat-cepat.
“Oh, bukan tidur denganmu yang kumaksud dengan nakal,” ujar Jane dalam
nada lamban “Masalahnya cuma aku tahu bahwa kau melakukannya denganku
karena aku berada dalam komite sidang pemeriksaan itu besok.”
Berrington terenyak persis saat ia sedang memasang dasinya yang bergaris-garis.
Jane berkata lagi, “Maumu kan aku mengira kau melihatku di kafetaria itu, lalu
menjadi terpukau oleh daya tarik seksualku?” Ia tersenyum sendu ke arah
Berrington. “Aku tidak mempunyai daya tank seksual, Berry, tidak untuk
seorang yang begitu memperhatikan penampilan seperti kau. Kau pasti memiliki
motif tertentu, dan aku hanya membutuhkan waktu sekitar lima detik untuk
mengetahui apa sebetulnya yang kauinginkan.”
414
Berrington merasa dirinya konyol sekali. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Di pihak lain, kau memiliki daya tarik seksual. Kau punya karisma dan tubuh
yang bagus, kau pintar dalam berpakaian, dan baumu enak. Selain itu, semua
orang tahu bahwa kau betul-betul suka pada wanita. Kau punya potensi untuk
memanipulasi dan mengeksploitasi mereka, tapi kau juga mencintai mereka. Kau
adalah teman kencan untuk semalam yang sempurna, dan aku berterima kasih
padamu.”
Sambil mengatakan itu, Jane menarik seprainya untuk menutupi tubuhnya yang
telanjang, bergulir ke satu sisi, kemudian memejamkan matanya.
Sebelum pergi, ia duduk di tepi tempat tidur itu. Jane membuka matanya.
Berrington berkata, “Kau akan memberikan dukunganmu kepadaku besok?”
Jane duduk tegak, lalu mengecup Berrington dengan hangat. “Aku harus
mendengar dulu kasusnya, sebelum aku memutuskan sesuatu,” jawabnya.
Berrington mengenakkan giginya. “Ini sangat berarti bagiku, lebih daripada yang
dapat kaubayangkan.”
Berrington meremas payudara kiri Jane yang terasa lembut dan berat. “Tapi
siapa yang lebih berarti bagimu—Jeannie atau aku?”
“Aku tahu bagaimana rasanya menjadi seorang akademikus wanita yang masih
muda di sebuah universitas yang didominasi oleh kaum laki-laki. Aku tidak akan
pernah melupakan itu.”
“Kau boleh menginap di sini malam ini, lalu kita dapat melakukannya lagi besok
pagi.” •
415
Begitu ia sampai di rumah, ada sebuah pesan dari Jim. Proust di perangkat
penjawab teleponnya Mudah-mudahan bukan berita buruk lagi, pikirnya. Ia
duduk di belakang meja tulis di ruang dudukuya, lalu memutar nomor telepon
rumah Jim. “Aku Berry.”
416
“Dia tidak bisa masuk ke sana.” Secercah harapan meliputi diri Berrington.
’”•Mungkin dia belum sempat melihatnya.” Semangatnya melambung sedikit.
Kau sudah terima E-mail-ku kemarin? Aku akan ke Balt imore besok, dan aku
betul-betul ingin bertemu denganmu lagi, biarpun hanya untuk beberapa menit.
Hubungi aku. Banyak sayang. Will.
Jeannie tidak menerima pesan dari laki-laki itu kemarin, karena isinya telah
dihapus oleh Berrington. Ia juga tidak akan menerima yang ini. Tapi di mana
daftar dari FBI itu? Pasti ia telah merekamnya kemarin pagi, sebelum kamarnya
dikunci oleh bagian sekuriti.
417
Di mana ia menyimpannya? Berrington menelusuri hard disk perangkat
komputer itu untnk menemukan kata-kata FBI, F.B.l. dengan utik-titik, atau
Federal Bureau of Investigation. IaHfdak menemukan apa-apa. Ia memeriksa
sebuah kotak disket di dalam lacinya, tapi isinya cuma copy file-file yang ada di
komputernya. “Wanita ini bahkan menyimpan copy daftar belanjanya,”
gumamnya.
Ia memakai pesawat Jeannie untuk menelepon Jim kembali. “Tidak ada apa-
apa,” ujarnya buru-buru.
“Kita harus tahu siapa-siapa yang ada dalam daftar itu!” sembur Jim.
“Tapi tidak dalam file E-mail-nya, jadi tentunya dia sudah merekamnya.”
“Kalau tidak ada di ruang kerjanya, daftar itu tentunya ada di rumahnya.”
“Masuk akal.” Berrington bisa melihat ke mana arahnya. “Kau bisa atur supaya
tempatnya…” la merasa enggan untuk mengatakan bisa digeledah oleh FBI
melalui telepon. “Bisa dicek?”
“Kukira begitu. David Creane ternyata gagal memenuhi misinya, jadi dia masih
punya utang padaku. Aku akan telepon dia.”
“Besok pagi saja. Sidang pemeriksaan itu akan berlangsung pada pukul sepuluh.
Dia bakal sibuk selama beberapa jam.”
“Oke. Akan kuatur itu. Tapi bagaimana kalau dia menyimpannya di dalam tas
yang selalu dibawa-bawa-nya? Apa yang harus kita lakukan kalau begitu?”
“Malam.”
di sana selama beberapa saat, sambil melayangkan pandang ke arah ruang sempit
yang dibuat menarik oleh Jeannie dengan nuansa-nuansa warna terang dan
berani. Kalau ada yang meleset besok, Jeannie akan berada di belakang meja ini
kembali sekitar waktu makan siang, dengan daftar FBI itu, melanjutkan lagi
penyidikannya, yang akan berakibat hancurnya karier tiga tokoh yang sudah
mapan.
Itu tidak boleh terjadi, ujarnya dalam hati. Itu tidak boleh terjadi.
419
JUMAT
di-scan daii di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh:
BAB 38
Jeannie terbangun di dalam mang duduknya yang berdinding putih dan sempit,
di sofa hitamnya, dalam pelukan Steve, hanya mengenakan mantel handuknya
yang berwarna merah muda.
Bagaimana aku bisa sampai di sini? Mereka telah menghabiskan separuh malam
itu dengan mempersiapkan diri untuk menghadapi sidang pemeriksaan yang
akan diadakan hari ini. Hati Jeannie menciut; kelanjutan nasibnya akan
ditentukan pagi ini
Sekitar pukul tiga pagi ia menguap, lalu menutup matanya sesaat. Lalu…?
Entah kapan Steve masuk ke dalam kamar tidur, kemudian mengambil selimut
tambalan biru dan pulih dari atas tempat tidur untuk menyelubungi tubuhnya,
mengingat ia merasa amat hangat di bawahnya
Tapi Steve tak mungkin bertanggung jawab atas cara ia berbaring, dengan kepala
di atas pahanya dan lengan memeluk pinggangnya. Pasti ia sendiri yang
melakukan itu, dalam tidurnya. Agak rikuh sebetulnya; wajahnya begitu dekat
dengan alat vital Steve. Entah bagaimana
423
Yah sebetulnya aku punya alasan untuk kelakuanku yang konyol itu. Aku baru
saja melewati minggu yang brengsek.
424
Jeannie menguap, lalu menggeliat. “Sori, aku tertidur di atasmu. Kau nggak apa-
apa?”
“Aliran darah ke kaki kiriku berhenti sejak sekitar pukul lima subuh, tapi begitu
mulai terbiasa, aku merasa nyaman.”
Jeannie duduk tegak agar dapat mengamati tampang Steve dengan lebih baik.
Pakaiannya kusut sama sekali, rambutnya acak-acakan, dan di wajahnya
membayang rambut-rambut yang minta dicukur, tapi selain itu ia betul-betul
menggemaskan. “Kau bisa tidur?”
“Kau nggak ngorok. Tapi kau ngiler sedikit, cuma itu.” Ia menunjuk ke suatu
bagian lembap di celananya.
“Mandilah sementara aku membuat kopi,” ujar Steve dalam nada simpatik.
Jeannie menatapnya. Anak muda ini memang bukan main. “Kau dikirim kemari
oleh Santa Klaus?”
Steve tertawa. “Menurut teorimu, aku berasal dari sebuah tabung percobaan.”
Wajahnya berubah menjadi serius kembali. “Ah, sudahlah, siapa yang peduli?”
425
diraihnya kini, dan semua itu karena ia ingin menjadi ilmuwan dan membantu
umat manusia untuk lebih mengerti mengenai keberadaan mereka. Dan kini
Berrington Jones akan membuyarkan semua itu dengan begitu saja.
Mandi membuatnya merasa lebih enak. Saat ia mengeringkan tubuh, pesawat
teleponnya berdering, la meraih pesawat yang terletak di sebelah tempat
tidurnya. “‘Ya.”
“Daddy muncul.”
“Dia sudah ke tempatku,” ujar Jeannie. “Dia muncul pada hari Senin. Hari
Selasa dia agak ngambek, karena aku tidak masak untuknya malam-malam. Hari
Rabu dia pergi, dengan komputerku, TV-ku, dan perangkat stereoku. Rupanya
hasil perolehannya sudah dia habiskan atau dia pakai untuk main judi.”
“Menjarah dari keluarganya sendiri! Wah, gawat, kalau Zip sampai tahu, dia
bakal diusir.”
“Patty, masalahku sebetulnya lebih serius dari itu. Ada kemungkinan aku akan
dipecat dari pekerjaanku hari ini.”
“Jeannie, kenapa?”
“Aku nggak punya waktu menjelaskannya padamu sekarang, tapi aku akan
meneleponmu nanti.” “Oke.”
“Oh, bagus, aku merasa lebih enak sekarang. Aku sudah pernah ngobrol
dengannya sekali, kemudian sewaktu aku meneleponnya lagi, dia sedang makan
siang.”
426
“Orang-orang itu memang kurang simpatik. Kita harus berusaha mengeluarkan
Mom dari situ secepatnya.”
Dia bakal terpaksa tinggal di sana lebih lama lagi kalau aku sampai dipecat hari
ini. “Aku akan meneleponmu lagi nanti.”
Steve ternyata lain. Andai kata aku tahu masih ada laki-laki model*begini, aku
sudah memesan satu dari dulu.
427
Ia tidak sendirian hari ini. Ia memiliki Steve yang akan memberikan dukungan
kepadanya. Bukan masalah baginya bahwa anak muda itu masih belum punya
pengalaman—seorang pengacara Washington yang mapan belum tentu akan
membuat lima orang profesor terkesan. Yang terpenting adalah ia hadir di sana.
Jeannie mengenakan mantel mandinya, lalu memanggil Steve. “Kau mau
mandi?”
“Tentu.” Steve masuk ke kamar tidur itu. “Andai kata aku punya sehelai kemeja
bersih.”
“Aku tidak punya kemeja untuk laki-laki—eh, tunggu dulu, aku punya.” Ia
teringat kemeja Ralph Lauren putih yang dipakai Lisa sewaktu peristiwa
kebakaran itu. Kemeja itu milik seseorang dari departemen matematika. Jeannie
sudah membawanya ke binatu, dan sekarang kemeja itu tersimpan di lemari
pakaiannya, masih dibungkus kertas cellophane. Ia memberikannya kepada
Steve.
“Jangan kautanyakan padaku dari mana asalnya. Ceritanya panjang sekali,” ujar
Jeannie. “Rasanya aku punya dasi di suatu tempat.” Ia membuka sebuah laci,
lalu mengeluarkan sehelai dasi biru berbintik-bintik dari bahan sutra, yang
kadang-kadang ia pakai dengan blus putih, untuk penampilan sedikit maskulin.
“Nih.”
428
Ia duduk di muka cerminnya, lalu mulai memakai make-upnya. Steve keluar dari
kamar mandi. Penampilannya formal dan tampan dalam kemeja dan dasi.
“Masih ada roti berbumbu kayu manis di lemari es,” ujar Jeannie. “Kau bisa
memasukkannya ke dalam microwave kalau kau lapar.”
“Aku terlalu tegang untuk makan. Tapi aku mau secangkir kopi lagi.”
“Ya.”
“Lalu kauapakan?”
“Keempat-empatnya?”
“Jeannie, aku senang berteman dan menghabiskan waktuku bersamamu, tapi kau
juga harus mengerti bahwa bukan hanya itu yang kuinginkan.”
429
“Aku ingin bercinta denganmu, dan aku begitu menginginkannya, sampai terasa
menyakitkan.”
Steve tampak kecewa, dan Jeannie menyadari bahwa ia telah salah ucap.
Mereka melangkah keluar. “Ayo kita naik satu mobil saja,” ujar Jeannie. “Kau
akan kuantar untuk menjemput mobilmu nanti.”
430
431
BAB 39
Sekelompok pengunjuk rasa berdiri di luar Hillside Hall, gedung kantor tata
usaha Jones Falls University. Sekitar tiga puluh atau empat puluh orang
mahasiswa, yang kebanyakan wanita, bergerombol di muka tangganya.
Suasananya tenang dan tertib. Begitu berada lebih dekat, Steve membaca sebuah
spanduk:
432
Jeannie merangkul seorang wanita yang lebih tua di dalam kerumunan itu.
“Sophie!” serunya. “Aku harus bilang apa?”
Jeannie menarik dirinya dari kerumunan orang dengan wajah berseri, lalu
mereka melangkah ke arah gedung itu. Steve berkata, “Yah, mereka menganggap
kau harus mempertahankan posisimu.”
“Aku nggak bisa ungkapkan kepadamu betapa besar artinya itu bagiku,” ujar
Jeannie. “Wanita yang lebih tua itu adalah Sophie Chappie, seorang profesor di
departemen psikologi. Aku mengira dia benci padaku Aku masih nggak bisa
percaya bahwa dia berdiri di sana untuk memberikan dukungannya padaku.”
“Aku yakin aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi dia terus mengawasi aku.”
Kemudian ia menebak. “Astaga, tentunya dia si korban.”
“Lisa Hoxton.”
“Pantas dia terus mengawasi aku.” Steve menoleh ke belakang lagi. Gadis itu
cantik dan lincah, posturnya pendek dan agak gemuk. Ia telah disergap oleh
kembaran Steve, diempaskan ke lantai, dan dipaksa untuk melayaninya. Suatu
perasaan marah melanda Steve. Ia cuma seorang wanita muda biasa, tapi kini
mimpi buruk itu akan terus menghantuinya seumur hidup.
Bangunan tata usaha itu dulunya sebuah rumah tua yang megah. Jeannie
menggiring Steve melintasi sebuah serambi berlantai marmer, melalui sebuah
pintu yang
433
ditandai dengan tulisan Old Dining Room, ke dalam sebuah ruangan suram
bergaya baronial langit-langit tinggi, jendela-jendela Gotik yang sempit, dan
perabotan berkaki besar dari kayu ek. Sebuah meja panjang berdiri di muka
pendiangan dari ukiran batu.
Empat orang laki-laki dan seorang wanita setengah baya duduk di belakang meja
itu. Steve mengenali laki-laki gundul yang duduk di tengah-tengah sebagai
lawan main tenis Jeannie, Jack Budgen. Jadi, inilah komitenya, ujarnya pada
dirinya—grup yang akan menentukan nasib Jeannie di masa mendatang. Ia
menarik napas dalam-dalam.
Masih ada dua orang lagi yang duduk” di sebuah meja di pojok. Laki-laki
bertubuh kecil dalam setelan jas berwarna biru laut adalah Berrington Jones,
yang berjumpa dengan Steve pada hari Senin yang lalu. Laki-laki kurus
berambut warna pasir dalam setelan jas abu-abu bergaris halus tentunya Henry
Quinn. Steve berjabat tangan dengan kedua laki-laki itu.
Quinn menggerenyit, seakan baru kena tampar, sementara Steve berkata pada
dirinya, “Itu terakhir kali dia melecehkan aku.”
434
Saat Budgen membuka acara itu, Steve mengawasi para anggota komite, sambil
berharap ada tanda-tanda yang menunjukkan simpati. Situasinya ternyata tidak
begitu meyakinkan. Hanya si wanita, Jane Edelsborough, yang mau menatap
Jeannie; yang lain menghindari tatapan matanya. Empat berbanding satu, pada
bahak awal, ujar Steve pada dirinya. Tidak begitu baik.
Quinn berdiri, lalu membuka tas kerjanya. Steve melihat ada noda kekuningan
bekas rokok pada jari-jarinya. Ia mengeluarkan setumpuk copy artikel New York
Times yang sudah diperbesar mengenai Jeannie, yang kemudian ia bagikan
kepada semua yang hadir di ruangan itu. Meja yang digunakan sidang itu jadi
penuh dengan lembaran-lembaran kertas yang berbunyi KEETISAN
PENELITIAN GEN: KERESAHAN, KECEMASAN, DAN SUATU
KETIDAKSEPAKATAN. Pengingat nyata yang andal akan masalah yang
ditimbulkan Jeannie. Steve berandai ia juga memiliki kertas-kertas semacam itu
untuk dibagikan, sehingga ia dapat menutup berkas-berkas yang disebar Quinn.
Gebrakan sederhana dan efektif dari Quinn ini membuat Steve merasa
diintimidasi. Bagaimana mungkin ia dapat bersaing dengan seorang laki-laki
yang mungkin sudah punya pengalaman selama tiga puluh tahun dalam sidang
pengadilan? Aku tidak bisa memenangkan ini,
435
Quinn mulai membuka mulut. Suaranya bersih dan tepat, tanpa aksen sedikit
pun. Gaya bicaranya tenang dan sok menguliahi. Steve berharap ia
menggunakan pendekatan yang keliru dalam menghadapi sidang juri yang terdiri
atas kaum intelektual yang -tidak butuh penguraian secara mendetail. Quinn
memberikan rangkuman sejarah komite penerapan disiplin itu serta menjelaskan
posisinya dalam tata organisasi universitas. Ia mendefinisikan arti
“mencemarkan reputasi”, lalu menampilkan copy kontrak kerja Jeannie. Steve
merasa lebih enak saat Quinn mulai melantur.
“Pada hari Senin sore yang lalu,” sahut Berrington. la mengulangi isi percakapan
antara dirinya dan Jeannie. Ceritanya ternyata tidak jauh berbeda dengan apa
yang pernah diungkapkan Jeannie kepada Steve.
“Dia marah-marah…”
Steve mengawasi reaksi para anggota komite. Mereka semua menoleh ke arah
Jeannie; mau tak mau. Steve
436
“Lalu apa yang kauharapkan?” sahut Steve dalam nada rendah. “Ini kan cuma
siasatnya.”
“Yah, aku mulai menyadari bahwa mungkin aku salah. Aku bukan pengacara.
Karena itu aku memutuskan untuk meminta advis secara hukum. Kalau apa yang
kukhawatirkan ternyata relevan, aku bisa mengambil tindakan yang diperlukan.
Tapi jika ternyata apa yang dilakukannya tidak merugikan siapa-siapa, aku akan
melupakan seluruh peristiwa itu.”
“Ya.”
Ia membuat catatan.
437
“Tolong ceritakan pada kami apa yang terjadi pada hari Rabu itu,” ujar Quinn
kepada Berrington.
Steve menoleh dengan tatapan bertanya ke arah Jeannie. Dalam nada rendah
Jeannie berkata, “Lihai sekali. Mereka menyodorkan surat pernyataan pers itu
kepadaku sebagai sebuah fait accompli.”
“Si reporter mengungkapkan kepada kami bahwa dia hams mengejar deadline-
nya sore itu,” sambung Berrington dalam nada meyakinkan. “Dr. Obell
memutuskan bahwa pihak universitas harus mengeluarkan suatu pernyataan
tegas, dan harus kuakui bahwa aku sependapat dengannya.”
“Tidak. Situasinya malah semakin kacau. Tapi itu benar-benar karena ulah Dr.
Ferrami. Dia menyatakan kepada si reporter bahwa dia bertekad untuk mengabai
438
kan peringatan kami dan bahwa tidak ada yang dapat kami lakukan mengenai
itu.”
“Apakah ada pihak lain di luar kalangan universitas yang menanggapi cerita
ini?”
“Aku ditelepon oleh Preston Barck, presiden direktur Genetico, yang juga donor
utama bagi universitas kita, yang secara khusus mendanai seluruh program riset
mengenai kekembaran itu,” ujar Berrington. “Wajar jika dia prihatin mengenai
cara uangnya digunakan. Artikel itu menampilkan kesan seakan pihak yang
berwewenang di universitas ini betul-betul impoten. Preston mengatakan
kepadaku, ‘Siapa yang mengelola sekolah itu sebenarnya?’ Memalukan sekali.”
“Apa yang membuat Anda begitu prihatin? Perasaan rikuh karena merasa
dilecehkan oleh seorang anggota staf fakultas yang lebih-muda?”
“Tentu saja tidak. Yang menjadi masalah adalah rusaknya nama baik Jones Falls
gara-gara ulah Dr. Ferrami.”
Gebrakan bagus, ujar Steve pada dirinya. Jauh di bawah sadar mereka, para
anggota komite itu tentunya tidak suka dilecehkan oleh seorang asisten profesor.
Berrington berhasil memenangkan simpati mereka. Tapi Quinn langsung
bergerak untuk mengangkat seluruh permasalahan ini ke tingkatan yang lebih
tinggi, sehingga mereka dapat mengatakan kepada diri mereka sendiri bahwa
dengan memecat Jeannie, mereka melindungi reputasi universitas, bukan sekadar
menghukum seorang bawahan yang keterlaluan.
439
Suatu formulasi yang mengena, dan seluruh jajaran rupanya sependapat Steve
mengangguk untuk menunjukkan bahwa ia pun menyetujui itu, sambil berharap
mereka akan melihat dan menarik kesimpulan bahwa ini bukan pokok
permasalahannya saat ini.
Quinn bertanya kepada Berrington, “Jadi, berapa banyak pilihan yang Anda
hadapi sejauh ini?”
“Cuma satu. Kita harus menunjukkan bahwa kita tidak merestui tindakan
melanggar hak keleluasaan pribadi yang dilakukan oleh para peneliti universitas
ini. Kita juga harus menunjukkan bahwa kita memiliki wewenang untuk
menerapkan peraturan-peraturan kita sendiri. Caranya adalah dengan memecat
Dr. Ferrami. Tidak ada alternatif lain.”
Steve merasa pesimis. Ternyata Quinn memang selihai yang diduganya. Ucapan-
ucapan Berrington betul-betul meyakinkan. Ia telah berhasil tampil sebagai
sosok berkepala dingin dan amat prihatin yang sedang mengupayakan jalan
keluar dalam menghadapi seorang bawahan yang berangasan dan urakan. Cara
yang amat meyakinkan untuk merangkum suatu kenyataan: Jeannie memang
berangasan.
Tapi situasinya bukan begitu. Hanya itulah pegangan Steve. Jeannie berada di
pihak yang benar. Ia hanya perlu membuktikan itu.
Jack Budgen berkata, “Ada pertanyaan-pertanyaan yang ingin Anda ajukan, Mr.
Logan?”
440
Berrington tampak agak terkesima. “Oh… rasanya kita pernah bertemu pada hari
Senin, ya.”
“Aku menjalani tes selama sehari di laboratorium Anda, sehingga Anda tentunya
memiliki banyak informasi mengenai diriku.”
“Profesor, izinkan aku memulai dengan pernyataan Anda yang pertama, di mana
Anda menyatakan niat Anda untuk mendapatkan advis secara hukum setelah
pembicaraan Anda dengan Dr. Ferrami pada hari Senin.”
“Ya.”
“Anda tidak sampai menemui seorang pengacara.” “Betul, aku kedahuluan oleh
beberapa peristiwa.” “Anda tidak membuat perjanjian untuk bertemu dengan
seorang pengacara.”
441
“Dalam tenggang waktu dua hari antara percakapan Anda dengan Dr. Ferrami
dan pembicaraan Anda dengan Dr. Obell mengenai artikel di New York Times,
Anda bahkan iidak pernah meminta sekretaris Anda untuk membuat perjanjian
dengan seorang pengacara.”
“Memang tidak.”
“Betul.”
Berrington tersenyum penuh percaya diri. “Tapi aku memiliki reputasi sebagai
orang yang jujur.”
“Bagus.”
“Atau mungkin Anda yang keliru ingat.” Steve merasa ia memenangkan bagian
itu, kemudian dengan cepat ia mengubah siasatnya. “Apakah reporter New York
Times, Ms. Freelander, mengungkapkan kepada Anda dari mana dia tahu
mengenai apa yang sedang ditekuni Dr. Ferrami?”
“Andai kata itu memang dia lakukan, Dr. Obell tidak meneruskannya kepadaku.”
“Apakah terpintas dalam diri Anda untuk mempertanyakan dari mana dia tahu?”
442
Budgen mengangguk.
Steve berkata, “Tapi sidang pemeriksaan ini bersifat informal—kita tidak usah
terlalu terikat pada tata krama pengadilan yang kaku.”
Steve hampir tak percaya bahwa ia memenangkan bahak pertama ini. Rupanya
para profesor kurang berkenan dikuliahi seorang pengacara yang sok mapan
mengenai apa yang sah dan apa yang tidak sah dalam suatu proses interogasi.
Tenggorokannya terasa kering menahan rasa tegang. Ia menuang air dari sebuah
wadah ke dalam gelas dengan tangan bergetar.
443
“Ya.”
“Dia tahu persis cara Dr. Feirami melacak pasangan kembar identik yang
dibesarkan secara terpisah melalui sistem database nya Ini merupakan suatu
teknik baru, yang dikembangkan oleh Dr. Ferrami sendiri, dan hanya diketahui
oleh Anda dan beberapa kolega lain di departemen psikologi.”
“Sepertinya informasi ini berasal dari dalam departemen itu sendiri, bukan?”
“Mungkin.”
“Tapi sepertinya ini ulah seorang saingan yang berhati jahat, atau mungkin iri—
bukankah begitu?”
“Mungkin.”
“Bagaimana kalau kita melangkah ke pernyataan Anda yang kedua? Ketika Mr.
Quinn menanyakan kepada Anda apakah ada pihak-pihak di luar kalangan
universitas yang menanggapi artikel surat kabar itu. Anda menjawab, ‘Tentu saja
ada.’ Apakah Anda masih akan mempertahankan pernyataan itu?”
“Ya.”
“Persisnya berapa kali Anda menerima telepon dari para donor universitas ini,
kecuali yang Anda terima dari Preston Barck?”
444
usaha menutupi sesuatu. “Maaf memotong Anda, Profesor.” Berrington tampak
tertegun, namun ia mendengarkan. “Mr. Abrahams-kah yang menelepon Anda,
atau sebaliknya?”
“Kita akan bahas itu kembali nanti. Kini sebutkanlah berapa banyak donor yang
menelepon Anda untuk mengekspresikan keprihatinan mereka mengenai
tudingan yang dilancarkan New York Times!”
Berrington tampak kelabakan “Rasanya memang tidak ada yang secara khusus
menelepon aku mengenai itu.”
“Sebenarnya apakah ada yang menelepon Anda untuk membahas soal artikel
itu?” “Kukira tidak.”
Steve melanjutkan lagi. “Sekarang mari kita bahas soal satu-satunya telepon
yang pernah Anda terima, dari Preston Barck, pimpinan Genetico. Dari cara
Anda mengatakannya, timbul kesan bahwa dia hanya prihatin sebagai seorang
donor mengenai cara uang yang disumbangkannya digunakan, tapi di balik itu
masih ada
445
“Ya.”
‘Terusahaan itu sedang dalam proses diambil alih oleh Landsmann, sebuah
konglomerasi farmasi Jerman.” “Ya.”
“Seorang teman lain Anda juga akan memperoleh bagian: Senator Proust.
Menurut siaran berita hari ini, dia akan menggunakan dana itu untuk
kampanyenya dalam rangka pemilihan calon presiden.”
‘Tapi Jim Proust teman Anda, bukan? Tentunya Anda tahu bahwa dia berniat
mencalonkan dirinya sebagai presiden.”
“Kurasa semua orang tahu mengenai niatnya.” “Apakah Anda juga akan
mendapat bagian dari transaksi pengambilalihan itu?” “Ya.”
Steve menjauh dari Jeannie dan mulai melangkah ke arah Berrington, supaya
semua mata tertuju ke arah
446
Steve tidak berniat melepaskannya kali ini. “Setidaknya, harga yang akan
dibayar untuk perusahaan itu adalah seratus delapan puluh juta dolar, menurut
Wall Street Journal.”
“Ya.”
Steve mengulangi jumlah itu. “Seratus delapan puluh juta dolar.” Ia menunggu
selama beberapa saat, untuk menciptakan suasana hening mencekam. Jumlah
sebesar itu tidak akan pernah terbayang oleh para profesor. Ia ingin menanamkan
kesan di hati para anggota komite itu bahwa Berrington sama sekali bukan salah
satu di antara mereka, melainkan dari suatu kelas yang lain. “Anda salah satu di
antara tiga orang yang akan memperoleh bagian dari seratus delapan puluh juta
dolar itu.”
Berrington mengangguk.
“Jadi, Anda punya alasan untuk merasa resah begitu Anda tahu mengenai artikel
dalam New York Times itu. Teman Anda Preston akan menjual perusahaannya,
teman Anda Jim akan mencalonkan dirinya sebagai presiden, dan Anda akan
memperoleh harta karun. Anda yakin bahwa reputasi Jones Falls-lah yang ada
dalam pikiran Anda pada saat Anda memutuskan untuk memecat Dr. Ferrami?
Ataukah ada hal lain? Terus terang saja, Profesor, Anda menjadi panik.”
“A-aku…”
“Anda membaca suatu artikel yang sama sekali tidak menguntungkan di surat
kabar. Anda membayangkan proses pengambilalihan itu bakal terganggu, lalu
Anda buru-buru mengambil tindakan. Anda membiarkan diri Anda digebrak
New York Times.”
447
“Apa yang dilakukan New York Times tidak cukup untuk menggebrakku, anak
muda. Aku langsung mengambil tindakan yang dibutuhkan, tapi tidak secara
terburu-buru.”
“Anda sama sekali tidak berusaha melacak sumber informasi harian itu.”
“Betul.”
“Berapa hari Anda habiskan untuk menyidik kebenaran apa yang ditudingkan
itu?”
“Aku tidak membutuhkan waktu lama…” “Hanya beberapa jam, bukan beberapa
hari?” “Ya…”
Steve angkat bahu. “Kita beri kelonggaran. Katakanlah dua jam. Apakah itu
cukup lama?” Ia memutar tubuh, lalu menunjuk Jeannie, supaya mereka semua
mengalihkan perhatian mereka ke arahnya. “Dalam waktu dua jam Anda
memutuskan untuk membuyarkan seluruh program riset seorang ilmuwan
muda?” Kepedihan membayang di wajah Jeannie. Steve merasa terenyuh
melihat reaksinya. Tapi ia harus mempermainkan emosinya, demi kebaikannya
sendiri. Ia mengorek luka itu lebih dalam. “Setelah dua jam, Anda tahu cukup
banyak untuk mengambil keputusan menghancurkan suatu pekerjaan bertahun-
tahun? Cukup untuk mengakhiri suatu karier yang menjanjikan. Cukup untuk
memorak-porandakan kehidupan seorang wanita?”
448
tuskan untuk mengambil risiko. “Dia menghambur keluar dengan begitu saja!”
ulangnya dalam nada seakan-akan tercengang. ‘T)ia menghambur keluar
mangan dengan begitu saja! Anda telah menyodorkan ke arahnya sebuah
pernyataan pers yang mengumumkan pembuyaran programnya. Tanpa menyidik
sumber informasi harian itu, tanpa memeriksa kebenaran tudingan itu, tanpa
kesempatan untuk mendiskusikannya, tanpa proses apa-apa sama sekali—Anda
menyatakan dengan begitu saja kepada ilmuwan muda ini bahwa seluruh
hidupnya hancur—dan yang dia lakukan hanyalah menghambur keluar, dari
ruangan itu dengan begitu sajaT* Berrington membuka mulutnya untuk
mengatakan sesuatu, namun Steve tidak memberikan kesempatan padanya.
“Sewaktu aku mendengar tentang ketidakadilan, ketidaklegalan, kekonyolan
tindakan Anda pada hari Rabu pagi itu, Profesor, tidak terbayang olehku
bagaimana Dr Ferrami dapat menahan dan mengontrol dirinya dengan hanya
bereaksi sesederhana itu.” Steve melangkah kembali ke tempat duduknya,
memutar tubuhnya menghadap komite itu, lalu berkata, “Tidak ada pertanyaan
lagi.”
“Aku oke.”
Quinn berkata, “Profesor, andai kata pihak universitas tidak melakukan tindakan
penghentian program riset Dr. Ferrami, dan tidak melakukan tindakan pemecatan
449
Itu benar-benar suatu gebrakan yang efektif, pikir Steve dengan getir. Semacam
membilas seluruh proses interogasi yang sudah dilakukannya. Steve mencoba
untuk tidak membiarkan Jeannie melihat kekecewaan yang membayang di
wajahnya.
Sekarang giliran Jeannie. Steve berdiri untuk memberi jalan. Dengan tenang dan
jelas Jeannie memberikan gambaran mengenai program risetnya, serta
menjelaskan relevansi ditemukannya suatu cara untuk menemukan pasangan
kembar identik yang dibesarkan secara terpisah dan pernah terlibat dalam
tindakan kriminal. Ia merinci tindakan-tindakan pengamanan yang dilakukannya
untuk memastikan bahwa detail-detail data medis seseorang tidak akan diotak-
atik sebelum yang bersangkutan menandatangani suatu pernyataan.
450
krisis yang seharusnya tidak usah terjadi,” ujarnya. “Pihak yang berwenang di
universitas ini telah menunjukkan sikap yang cukup bijaksana. Ulah gegabah
dan tidak kenal kompromi Dr. Ferrami-lah yang menyebabkan kehebohan ini.
Dia memang memiliki sebuah kontrak, dan kontrak itu mengatur hubungannya
dengan atasannya. Namun dari pihak staf senior fakultas, biar bagaimanapun,
dituntut untuk menyelia para anggota staf junior, yang andai kata mengerti, akan
mendengarkan arahan bijaksana dari mereka yang lebih tua dan berpengalaman
danpada mereka sendiri. Sikap keras kepala Dr. Ferrami me rubah suatu masalah
menjadi krisis, dan satu-satunya pemecahan untuk menghadapi krisis ini adalah
dia harus angkat kaki dari universitas ini.” Ia duduk kembali.
“Jawabannya mungkin boleh dirangkum dalam satu kata: ilmu. Jika kita
menginginkan definisi ringkas peran universitas ini dalam masyarakat Amerika,
bisa kita katakan bahwa fungsinya adalah untuk mencari ilmu dan menyebarkan
ilmu.”
Ia menatap para anggota komite itu satu per satu, untuk mengundang kata
sepakat mereka. Jane Edelsborough mengangguk. Yang lain menatapnya tanpa
bereaksi.
451
“Terima kasih,” ujar Jack Budgen. “Mohon agar semua, kecuali para anggota
komite, meninggalkan ruangan ini sementara kami berunding.”
Steve membukakan pintu untuk Jeannie, kemudian mengikutinya ke sebuah
lorong. Mereka meninggalkan bangunafc itu, lalu berdiri di bawah naungan
sebatang pohon. Wajah Jeannie pucat menahan ketegangan. “Bagaimana
menurutmu?” tanyanya.
452
Steve ternyata lebih dapat menguasai diri. Seorang pengacara memang harus
dapat bersikap seperti itu, ramah dalam menghadapi saingan mereka di luar
ruang pengadilan. Di samping itu, kelak ia mungkin akan mendapati dirinya
meminta pekerjaan pada Quinn. “Terima kasih,” sahutnya sopan.
“Mereka kan kaum intelek,” ujar Steve. “Dari mereka dituntut sikap rasional.”
453
“Kurasa kami tahu,” ujar Steve. ‘Tapi kami belum dapat membuktikannya, saat
ini.”
Steve mengamati wajah-wajah para anggota komite itu. Jack Budgen bertukar
pandang dengannya. Jane Edelsborough melontarkan seulas senyum ke arahnya.
454
BAB 40
Setelab beberapa saat, ia berdiri, mencuci muka, lalu membuat kopi. “Kau kan
tidak divonis kena kanker,” ujarnya pada dirinya. “Ayo, bangun lagi.” Tapi
ternyata itu tidak mudah Ia memang tidak akan mati, tapi ia sudah kehilangan
semua yang ia perjuangkan seumur hidupnya.
Ia membayangkan dirinya di usia dua puluh satu tahun. Ia lulus summa cum
laude dan memenangkan Mayfair Lites Challenge di tahun yang sama. Ia melihat
dirinya di lapangan tenis, mengangkat tinggi-tinggi pialanya dalam gaya
tradisional seorang pemenang. Dunia seakan berada di bawah telapak kakinya.
Saat mengingat kembali semua itu. ia merasa seakan orang lainlah yang sedang
mengangkat penghargaan itu.
Ia duduk di sofanya sambil menikmati kopi. Ayahnya, si tua itu, telah mencuri
pesawat TV-nya, sehingga ia
455
tidak dapat menonton opera sahun yang konyol sekalipun untuk melupakan
kesedihannya. Ia bisa menghabiskan sebatang cokelat andai kata ia memilikinya.
Ia terpikir untuk minum salah satu obat penenang, tapi akhirnya memutuskan
bahwa itu akan membuatnya semakin tidak keruan. Pergi belanja? Jangan-jangan
nanti malah tangisnya meledak di mang ganti pakaian; selain itu, saat ini kondisi
keuangannya bahkan lebih buruk daripada sebelumnya.
Namun si penelepon rupanya ngotot, dan ia menjadi bosan mendengar suara itu,
sehingga akhirnya ia toh mengangkatnya.
Suasana hening selama beberapa saat. kemudian Steve berkata “Tapi itu sangat
berarti untukku.”
Jeannie menghela napas. Setelah semua yang harus kutanggung ini, aku masih
juga harus memikirkan Steve? Kemudian ia sadar. Tapi ia terus memikirkan aku.
Ia merasa malu. “Steve, aku minta maaf,” ujarnya. “Aku terlalu memikirkan
diriku sendiri. Tentu saja aku akan membantumu. Apa yang harus kulakukan?”
“Tidak ada. Pengacaraku akan pergi ke pengadilan, begitu mendapat lampu hijau
darimu.”
Pikiran Jeannie mulai bekerja lagi. “Apakah risikonya tidak terlalu besar?
Maksudku, tentunya pihak JFU akan
456
diberitahu mengenai pengaduan kita. Lalu Berrington akan tahu di mana daftar
itu disimpan. Dan dia akan mendapatkannya sebelum kita.”
Beberapa saat kemudian, sebuah suara lain terdengar. “Dr. Ferrami, aku
Runciman Brewer, kami sedang menggunakan jaringan paralel saat ini. Di mana
persisnya Anda menyimpan data-data itu?”
“Di dalam laci meja tulisku, di dalam sebuah disket floppy yang ditandai tulisan
SHOPPING.LST.”
“Kami bisa meminta akses ke kamar kerja Anda tanpa menyebutkan secara
spesifik apa yang sedang kami cari.”
“Rasanya kita tidak punya pilihan lain.” Steve berkata, “Yang kita butuhkan
adalah seorang garong.”
“Kenapa?”
Daddy.
“Ya. Biar bagaimanapun, kita baru bisa melakukan itu setelah hari Senin.
Kenapa?”
“Aku baru mendapat ide. Coba kulihat dulu, apakah bisa dilaksanakan. Kalau
tidak, kita akan tempuh jalan hukum minggu depan. Steve?” “*
“Pasti.”
457
Daddy di rumah Patty sekarang. Ia sudah bangkrut sama sekali, jadi ia tidak bisa
ke mana-mana. Dan ia berutang pada Jeannie. Wauw, ia benar-benar berutang.
Andai kata Jeannie dapat menemukan si kembar ketiga, nama Steve akan bersih
kembali. Dan kalau ia bisa membuktikan kepada dunia, apa yang sudah
dilakukan Berrington dan teman-temannya di tahun tujuh puluhan, mungkin ia
dapat memperoleh pekerjaannya kembali.
“Jeannie?”
Suara itu tidak terdengar asing di telinganya. “Ya,” sahutnya. “Siapa di situ?”
“Will Temple.” “Will?”
“Aku sudah menghubungimu lewat E-mail dua kali. Kau belum terima?”
Mau apa si Will Temple ini? “Masuklah,” ujar Jeannie, sambil menekan sebuah
tombol.
Will naik ke atas. Ia mengenakan celana panjang dari bahan katun berwarna
kecokelatan dan kaus polo biru laut. Rambutnya lebih pendek, dan meskipun ia
masih memelihara cambangnya yang begitu disukai Jeannie, modelnya sekarang
lebih rapi daripada dulu. Si gadis kaya rupanya berhasil merapikan
penampilannya.
Jeannie tidak mau membiarkan Will mengecup pipinya; ia masih sakit hati
padanya. Ia hanya mengulurkan
458
“Maksudmu lain daripada tempat kita dulu.” Ruang duduk apartemen mereka di
Minneapolis lebih luas dan berantakan, penuh dengan sofa di sana-sini, roda
sepeda, raket tenis, dan gitar. Dibandingkan mangan yang dulu, tempat ini betul-
betul bersih. “Kukira aku sudah bosan dengan suasana serba semrawut itu.” t
“Sepertinya kau lebih suka begitu waktu itu.”
“Yang benar!”
“Belum, tapi dia menginginkan itu, dan aku sangat suka padanya. Bagaimana
denganmu? Kau masih bersama Georgina Tinkerton Ross?”
459
tu kan hubungan denganmu adalah kesalahan paling besar yang pernah kubuat
dalam hidupku.”
“Kau merupakan hal terbaik yang pernah terjadi atas diriku,” ujar Will. “Kau
tegar, tapi kau baik. Dan kau cerdas; aku membutuhkan orang yang cerdas. Kita
cocok satu sama lain. Kita pernah mencintai satu sama lain.”
“Aku amat terluka ketika itu,” ujar Jeannie. “Tapi aku sudah berhasil
mengatasinya.”
“Aku tidak yakin bahwa aku sudah berhasil mengatasinya.”
Laki-laki itu kemari untuk memintanya kembali kepadanya; itu jelas sekarang.
Dan Jeannie tahu jawabannya. Ia tidak menginginkan Will lagi. Will terlambat
muncul sekitar seminggu.
Tapi akan lebih simpatik kalau ia tidak membiarkan laki-laki itu merasa rendah
diri karena permintaannya ditolak. Jeannie berdiri. “Will, aku harus
menyelesaikan sesuatu yang penting, dan aku harus buru-buru melakukannya.
Sayang sekali aku tidak menerima pesan-pesanmu itu, kalau tidak tentunya aku
bisa mengatur waktuku.”
Will mengerti maksudnya dan tampak lebih sedih. “Sayang sekali,” ujarnya.
Lalu ia berdiri.
460
Suara itu berkata lagi, “Dia terbawa nafsu, sehingga misinya berantakan Tapi dia
bisa mengunjungimu lagi.” Jeannie berbisik, “Ya Tuhan!” “Waspadalah.”
Terdengar bunyi ceklik lalu nada putar. Laki-laki itu sudah menutup pesawatnya.
,
461
untuk melanjutkan perjuangannya melawan musuh yang tidak jelas, tapi rupanya
berpengaruh ini. Mereka terlalu kuat bagi dirinya. Mereka dapat memecatnya,
mente-romya, menggeledah ruang kerjanya, mencuri E-mail-nya. Sepertinya
mereka dapat melakukan apa saja. Mungkin mereka benar-benar dapat
membunuhnya.
Begitu tidak adilnya. Apa hak mereka? Ia seorang ilmuwan yang baik, tapi
mereka telah menghancurkan kariernya. Mereka membiarkan Steve masuk
penjara dengan tuduhan memerkosa Lisa. Mereka mengeluarkan ancaman untuk
membunuh dirinya. Amarah mulai melanda diri Jeannie. Memangnya mereka
siapa? Ia tidak akan membiarkan hidupnya berentakan gara-gara bajingan-
bajingan arogan yang mengira mereka dapat memanipulasi segalanya demi
kepentingan pribadi tanpa memedulikan orang lain sama sekali. Semakin ia
memikirkannya, semakin marahlah ia. Aku tidak akan membiarkan mereka
menang, ujarnya pada dirinya. Aku memiliki sesuatu yang dapat mencelakai
mereka—itu pasti; kalau tidak, mereka tidak perlu menggusahku atau
mengancam untuk membunuhku. Aku akan menggunakan itu. Aku lak peduli
apa yang akan terjadi atas diriku, selama aku dapat membuyarkan rencana
mereka. Aku cukup cerdas, dan aku tidak mudah goyah, dan aku adalah Jeannie
Ferrami, jadi bersiap-siaplah kalian, bajingan-bajingan, ini aku.
462
BAB 41
Ayah Jeannie sedang duduk di sofa, di ruang duduk Patty yang tidak rapi,
dengan secangkir kopi di pangkuannya, sambil menonton General Hospital dan
menikmati sepotong kue wortel.
“Daddy tahu aku sedang tak punya uang,” jerit Jeannie. “Daddy tahu aku sedang
mengupayakan cukup banyak uang untuk membayar rumah perawatan yang
lebih layak untuk ibuku—istri Daddy! Tapi toh Daddy mencuri TV sialanku!”
“Jangan memaki-maki seperti itu!”
463
“Oke, akan kujelaskan padamu.” ujar Daddy dalam nada keras, sehingga Jeannie
tercengang. “Akan kuungkapkan padamu kenapa aku melakukannya. Karena aku
sudah kehilangan keberanianku.” Air mata mulai menggenangi matanya. “Aku
menjarah putriku sendiri karena aku sudah terlalu tua dan takut untuk menjarah
orang lain, jadi sekarang kau tahu sebabnya.”
Nadanya begitu sendu, sehingga amarah Jeannie langsung mereda. “Oh, Daddy,
aku menyesal,” ujarnya. “Duduklah, aku ambil pengisap debu.”
“Aku memang.tidak layak memiliki gadis-gadis seperti kalian. Aku tahu itu,”
ujar Daddy saat ia duduk kembali.
Si ahli bedah di TV berkata. Ayo kita pergi sama-sama, berduaan saja, ke suatu
tempat yang asyik, lalu si wanita menjawab, Tapi bagaimana nanti dengan
istrimu! Wajah si dokter berubah masam. Jeannie mematikan pesawat TV itu,
lalu duduk di sebelah ayahnya.
464
“Aku tidak bermaksud melakukan itu. Manis. Tadinya aku berharap kau bisa
membantuku bangkit lagi dan mencarikan pekerjaan halal untukku. Tapi pada
waktu kau pergi, kebiasaan lamaku kambuh. Aku melihat perangkat stereo itu
dan membayangkan bahwa aku bisa memperoleh beberapa ratus dolar untuk itu,
dan mungkin seratus lagi untuk TV-nya, lalu aku melakukannya. Setelah
menjualnya, rasanya aku ingin bunuh diri. sungguh.”
Daddy berkata, “Aku minum sedikit, lalu main poker. Besoknya aku sudah
bangkrut lagi.” “Lalu Daddy menemui Patty.”
465
“Aku tidak akan melakukan itu padamu, Patty. Aku tidak akan melakukannya
lagi. Aku akan mengambil jalan lurus.”
Mereka berdua menatapnya. Dalam nada cemas Patty bertanya, “Jeannie, apa
maksudmu?”
“Daddy masih harus melakukannya sekali lagi,” ujar Jeannie. “Demi aku.
Malam ini juga.”
466
BAB42
Suasana semakin gelap saat mereka memasuki kawasan kampus Jones Falls.
“Sayang kita tidak naik mobil yang lebih umum,” ujar ayahnya saat Jeannie
mengemudikan mobil Mercedes merahnya ke pelataran parkir untuk para
mahasiswa. “Sebuah Ford Taurus akan lebih ideal, atau sebuah Buick Regal.
Kau akan melihat sekitar lima puluh mobil seperti itu dalam sehari, -dan tak
seorang pun akan ingat.”
Ia turun dari mobil, menjinjing sebuah tas koper kulit berwarna cokelat yang
sudah usang. Dalam kemeja bercorak kotak-kotak, celana panjang lusuh, rambut
semrawut dan sepatu tua, tampangnya persis seperti seorang profesor.
Jeannie merasa agak aneh. Sudah bertahun-tahun ia tahu bahwa ayahnya seorang
maling, tapi ia sendiri belum pernah melakukan suatu pelanggaran pun, kecuali
ngebut dengan kecepatan tujuh puluh mil sejam. Kini ia akan membobol sebuah
gedung, la merasa seakan sedang melangkahi suatu garis batas yang amat
penting, la tidak menganggap apa yang ia lakukan itu salah, namun ia toh merasa
citra dirinya agak terganggu. Ia selalu menilai dirinya sebagai seorang warga
negara yang patuh hukum. Kaum kriminal, termasuk ayahnya,
467
sepertinya tergolong dalam suatu kelompok lain. Kini ia akan bergabung dengan
mereka.
Hampir semua mahasiswa dan anggota staf fakultas sudah pulang, namun
beberapa orang masih keluyuran di sekitar tempat itu; beberapa profesor yang
lembur, mahasiswa-mahasiswa yang akan mengikuti kegiatan sosial, petugas
kebersihan yang masih harus mengunci pintu-pintu gedung, dan petugas sekuriti
yang mengadakan patroli. Jeannie berharap ia tidak akan berpapasan dengan
seseorang yang ia kenal.
Ia benar-benar tegang, seperti tali .gitar yang sewaktu-waktu bisa putus. Ia lebih
mengkhawatirkan keselamatan ayahnya daripada dirinya sendiri. Kalau mereka
tertangkap, situasinya akan amat memalukan bagi dirinya, tapi hanya sampai
sejauh itu; pengadilan tidak akan menjebloskannya ke penjara hanya karena ia
membobol ruang kerjanya sendiri untuk mencuri sebuah disket floppy. Tapi
Daddy, dengan catatan kejahatannya, bakal hams mendekam lagi di sana selama
beberapa tahun. Ia akan menjadi seorang laki-laki tua begitu keluar.
Lampu-lampu jalan serta sistem penyinaran luar gedung mulai menyala. Jeannie
dan ayahnya melintasi lapangan tenis; dua orang wanita sedang asyik bermain di
bawah sorotan lampu. Jeannie teringat saat Steve menegurnya setelah
permainannya hari Minggu yang baru lalu. Ketika itu, secara otomatis ia
langsung mengambil jarak. Steve tampak begitu percaya diri dan seakan
menguasai situasi. Betapa keliru penilaiannya waktu itu.
“Terus jalan,” ujar ayahnya. “Bagaimana cara masuk melalui pintu itu?1’
“Dengan sebuah kartu plastik, sama seperti kalau mau masuk ke dalam kantorku.
Tapi kartuku sudah tidak berfungsi lagi. Mungkin aku bisa meminjam satu.”
468
“Tidak perlu. Aku nggak suka pinjam pinjam Bagaimana caranya sampai di
belakang?” • “Akan kutunjukkan.” Sebuah jalan setapak yang melintasi lapangan
rumput menyusuri samping Nut House, menuju pelataran parkir untuk para
tamu. Jeannie menelusurinya, kemudian membelok di sebuah lapangan beton di
bagian belakang gedung. Ayahnya melayangkan pandang secara profesional.
“Pintu apa itu?” tanyanya sambil menunjuk.
didorong.”
Jeannie teringat akan sebuah tanda di bagian dalamnya yang berbunyi PINTU
INI MENGGUNAKAN SISTEM ALARM. “Alarmnya bakal bunyi,” ujarnya.
469
“Tunggu,” ujar Jeannie. “Ini tidak benar. Ayo tutup pintu, kita pulang.”
“Aku nggak bisa lakukan ini pada Daddy. Kalau ke tangkap. Daddy bakal masuk
penjara sampai umur tujuh puluhan.”
“Jeannie, aku mau melakukannya. Selama ini aku seorang ayah yang brengsek
untukmu. Ini kesempatanku untuk membantumu. Bagiku ini amat berarti. Ayo.”
Jeannie lari menelusuri tangga darurat itu, menuju lantai dua, kemudian sebuah
lorong menuju ruang kantornya. Ayahnya berada persis di belakangnya. Ia
menunjuk pintu ruang kerjanya.
Ayahnya mengeluarkan sebuah instrumen lain dari dalam tasnya. Yang ini
memiliki sebuah lempengan metal sebesar kartu kredit, yang dihubungkan
dengan beberapa kawat. Ia menyisipkan lempengan itu ke dalam alat penelusur
kartu, lalu menyalakan instrumennya. “Semua macam kombinasi bisa dilacak
dengan ini,” ujarnya.
470
“Sungguh, aku jadi berani lagi, mungkin karena kau bersamaku.” Ia tertawa.
“Hei, mungkin kita bisa menjadi satu tim.”
Jeannie menggeleng-gelengkan kepala. ‘.“Lupakan itu. Aku nggak tahan
menghadapi ketegangannya.”
“Sebentar lagi.”
Kini, setelah disket itu berada di tangannya, ia ingin segera tahu isinya.
Meskipun sudah tak sabar lagi untuk segera meninggalkan Nut House, ia toh
tergoda untuk membacanya sekarang juga. Ia tidak punya komputer di rumah;
sudah dijual Daddy. Untuk dapat membaca isi disket itu ia harus meminjam
sebuah perangkat komputer. Itu akan makan waktu.
Jantung Jeannie tiba-tiba seakan berhenti berdetak. Suara alarm itu benar-benar
memekakkan telinga. “Apa yang terjadi?” teriaknya.
Wajah ayahnya berubah pucat. “Alat sial itu ngaco, atau mungkin ada yang
melepasnya dari pintu,” teriaknya. “Celaka, Jeannie, ayo lari!”
Semula Jeannie berniat mengambil disketnya dari komputer itu, lalu langsung
kabur, namun ia memaksa dirinya untuk berpikir dengan tenang. Kalau ia sampai
tertangkap dan disket itu dirampas darinya, ia akan kehilangan segalanya. Ia
harus melihat daftar itu selagi masih bisa. Ia mencengkeram lengan ayahnya.
“Sedikit lagi!”
Si ayah tampak terguncang. “Aku nggak bisa, Jeannie, aku nggak bisa! Sori!” Ia
menyambar tas kopernya, lalu mulai lari.
Ia menuju jendela. Dua petugas sekuriti masuk dari bagian muka gedung.
472
Ternyata ada tiga puluh atau empat puluh pasang nama. Kebanyakan laki-laki,
namun itu bukan hal aneh; kebanyakan tindak kejahatan memang dilakukan oleh
kaum lelaki. Beberapa kasus memakai alamat sebuah penjara. Daftar itu
memang persis seperti yang ia harapkan. Tapi kini ia menginginkan sesuatu yang
khusus. Ia mencari nama Steven Logan atau Dennis Pinker.
Ada alamatoya di New York City, dan sebuah nomor telepon dengan kode
daerah 212.
Ia memandangi nama itu. Wayne Stattner. Laki-laki inilah yang memerkosa Lisa
di sini, di gedung olahraga kompleks ini. dan yang menyerang Jeannie di
Philadelphia. “Bajingan,” bisiknya dalam nada penuh dendam. “Kami akan
meringkusmu.”
Ia mendengar suara seorang laki-laki berteriak, “Aku yakin ada yang menyala
tadi di sini.”
Sebuah suara lain menjawab. “Sebaiknya kita periksa ruangan demi ruangan.”
473
Ia menelusuri lorong itu. Dengan seluruh daya yang dimilikinya, ia menahan diri
untuk tidak lari.
Ia melewati pintu laboratorium. Mau tak mau ia toh tergoda untuk melirik ke
dalamnya. Kedua petugas jaga itu sedang memunggunginya: yang satu sibuk
memeriksa lemari alat-alat, dan yang lain memperhatikan dengan penuh rasa
ingin tahu sederetan film hasil tes DNA di sebuah kotak yang sedang menyala.
Mereka tidak melihatnya.
Sedikit lagi.
Dua petugas jaga berlari menelusuri lorong, menuju ke arahnya. Mereka sama-
sama berusia hampir enam puluhan, mungkin polisi yang sudah pensiun.
Jeannie merasa tenggorokannya kering dan napasnya sesak. “Selamat malam,”
tegurnya. “Ada yang bisa kubantu?” Suara alarm meredam getaran dalam
suaranya.
474
Suatu hal konyol untuk diucapkan, namun Jeannie tidak menghiraukannya. “Apa
ada penyusup yang masuk?”
“Mungkin. Apa Anda melihat atau mendengar sesuatu yang tidak biasa,
Profesor?”
Para petugas itu mengira ia salah seorang anggota staf fakultas; itu bagus.
“Sepertinya aku mendengar suara kaca pecah tadi. Mungkin dari lantai atas, tapi
aku tidak yakin.”
Kedua laki-laki itu berpandangan. “Kami akan cek,” ujar salah satu di antara
mereka.
Temannya rupanya tidak begitu mudah diyakinkan. “Boleh aku tanya apa yang
Anda kantongi?”
“Kertas-kertas.”
“Anda tidak punya pilihan. Dalam pelatihan, kami diajar bahwa kertas-kertas
bisa sama berharganya seperti apa saja, di tempat seperti ini.”
“Baik,” sahut Jeannie. “Aku akan menunggu kalian di luar.” Setelah mengatakan
itu, dengan cepat ia membuka pintu ayun lorong tersebut, lalu dengan langkah-
langkah ringan mulai menuruni tangga
475
Jeannie membiarkan mereka menyusul dirinya di ruang lobi lantai dasar. Yang
satu mencengkeram lengannya, sementara yang lain membukakan pintu baginya.
Mereka melangkah keluar.
“Kurasa lebih baik begitu.” sahut yang mencengkeramnya. Laki-laki itu masih
terengah-engah sehabis berlari menuruni tangga dalam usaha untuk
mengejarnya.
Tapi mereka tidak punya harapan. Jeannie dua puluh lima tahun lebih muda
daripada mereka, dan kondisinya sebugar seekor kuda balap. Ketakutannya
semakin mereda begitu jarak di antara mereka semakin jauh. Ia berlari seperti
angin, sambil tertawa. Mereka masih berusaha mengejarnya sampai beberapa
meter lagi, lalu menyerah. Jeannie menoleh ke belakang dan melihat mereka
berdua membungkuk sambil berusaha mengembalikan napas. ^ Jeannie terus
berlari sampai ke pelataran parkir.
“Itu berita bagus!” seru Jeannie. “Dan aku memperoleh apa yang kuinginkan!”
476
“Andai kata aku bisa menjadi ayah yang lebih baik untukmu. Tapi kukira sudah
terlambat sekarang.”
Mereka keluar dari kawasan kampus, terus ke jalan raya; Jeannie menyalakan
lampu mobilnya. “Belum terlambat sebetulnya, Daddy. Sungguh.”
“Ya. dan ternyata tidak sia-sia! Daddy sudah membantuku untuk masuk! Mana
mungkin aku dapat melakukan itu sendirian.”
Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah, la sudah tak sabar lagi untuk segera
mengecek nomor telepon dalam daftar itu. Andai kata nomor itu sudah
kedaluwarsa, ia bisa repot lagi. Dan ia ingin mendengar suara Wayne Stattner.
Ia tidak dapat memastikannya hanya dari satu patah kata itu. Ia bertanya, “Boleh
aku bicara dengan Wayne Stattner?”
“Ternyata dia,” ujar Jeannie pada ayahnya. “Gaya bicaranya persis seperti Steve,
cuma Steve lebih sopan.”
477
“Tapi aku…”
Untuk sesaat tidak terdengar apa-apa. Begitu Mish membuka mulurnya lagi,
nadanya waswas. “Dari mana kau tahu?” *
“Kau ingat ceritaku mengenai bagaimana aku menemukan Steve dan Denms…
dengan melacak database gigi untuk mendapatkan data-data pasangan yang
mirip?”
“Ya.”
“Minggu ini aku melacak arsip sidik jari FBI untuk menemukan sidik jari yang
mirip. Program ini memunculkan Steve, Dennis, dan seorang laki-laki ketiga
dalam sebuah grup.”
“Tidak persis sama. Mirip. Tapi aku baru saja menelepon si kembar ketiga.
Suaranya persis seperti Steve. Aku berani bertaruh bahwa tampang mereka
sama. Mish, kau harus mempercayai aku.”
478
Suara Mish mengeras. “Jeannie, aku seorang polisi. Kau tidak bisa mengajukan
persyaratan, kau cuma bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Nah. sekarang berikan alamatnya kepadaku.”
“Kau mau masuk penjara? Itu pertanyaan untukmu saat ini, karena kalau tidak,
sebaiknya kauberikan alamat itu kepadaku sekarang juga.”
Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Mestinya kau ku jebloskan ke dalam tahanan
dengan tuduhan pelecehan.”
“Oke.”
479
BAB 43
Mereka naik penerbangan USAir ke New York pada pukuf enam lewat empat
puluh pagi. Jeannie merasa optimis. Ini mungkin akan merupakan akhir dari
mimpi buruk yang selama ini terus menghantui Steve. Jeannie telah menelepon
Steve tadi malam. Ia begitu senang, sehingga ingin ikut ke New York bersama
mereka, namun Jeannie tahu bahwa Mish tidak akan mengizinkan itu. Jeannie
sudah berjanji padanya untuk meneleponnya lagi secepatnya, begitu ada
perkembangan baru.
Mish berusaha bersikap toleran. Sulit baginya untuk mempercayai cerita Jeannie,
tapi ia merasa harus mengecek kebenarannya.
Data yang dimiliki Jeannie tidak mengungkapkan mengapa sidik jari Wayne
Stattner ada di dalam arsip FBI, namun Mish sudah melakukan pengecekan,
yang kemudian ia teruskan kepada Jeannie saat pesawat mereka meninggalkan
landasan Baltimore-Washington International Airport. Empat tahun yang lalu.
sepasang orangtua yang kebingungan berhasil melacak anak gadis mereka yang
baru berusia empat belas tahun dan hilang, sampai ke apartemen Stattner di New
York. Mereka menuntutnya dengan tuduhan tindak penculikan. Stattner
menyangkal, dengan menyatakan bahwa gadis itu tidak
483
mengalami tindak pemaksaan. Gadis itu sendiri mengata kan ia sudah jatuh cinta
pada Wayne. Usia Wayne saat itu baru sembilan belas tahun, sehingga akhirnya
tuntutan itu tidak jadi diteruskan.
Jeannie ingin menyukai Mish, tapi selalu ada ketegangan di antara mereka. Mish
sebagai polisi menganggap orang harus melakukan apa yang ia perintahkan,
sedangkan Jeannie tidak menyukai karakteristik seperti itu dalam diri seseorang.
Untuk mengakrabkan diri, Jeannie menanyakan kepadanya, bagaimana ia sampai
menjadi polisi.
“Dulu aku seorang sekretaris, dan aku bekerja untuk FBI,” jawab Mish.
“Sepuluh tahun aku di sana. Aku mulai berpikir bahwa aku dapat bekerja lebih
baik daripada agen yang menjadi atasanku. Karenanya aku mendaftarkan diri
untuk mengikuti pelatihan menjadi polisi. Aku masuk akademi, lalu menjadi
petugas patroli. Kemudian aku menjadi sukarelawan untuk suatu tugas
penyusupan bersama tim pembasmian obat-obatan terlarang. Menegangkan, tapi
terbukti bahwa aku mampu.”
484
reka. la suka mengisap ganja sekali-sekali, dan ia kurang suka pada mereka yang
ingin menjebloskan orang-orang seperti dirinya ke dalam penjara untuk itu.
“Kemudian aku pindah ke Unit Pelecehan Hak Anak-anak,” lanjut Mish. “Tapi
aku tidak betah lama-lama di sana. Sama seperti yang lain Tugasnya penting
sebetulnya, tapi orang tidak akan bertahan lama di situ Kau bisa kehilangan
kewarasanmu. Jadi, akhirnya aku masuk ke Urut Tindak Kejahatan Seks.”
“Setidaknya yang menjadi korban biasanya sudah dewasa. Dan setelah beberapa
tahun, mereka mengangkatku menjadi sersan untuk membawahi seluruh unit.”
Jeannie tampak tercengang. “Apakah kau tidak sependapat bahwa akan lebih
mudah bagi knrban untuk berbicara dengan seorang wanita?”
“Korban-korban yang sudah lanjut usia, mungkin; mereka yang umurnya di atas
tujuh puluhan.”
“Tapi suatu laporan pemerkosaan toh harus dilengkapi sampai batas tertentu
kalau akan diajukan ke pengadilan. Dan kalau sudah sampai ke bagian
interogasinya, kaum wanita bisa bersikap lebih brutal daripada laki-laki,
terutama terhadap wanita lain.”
Jeannie merasa agak sulit untnk mencerna hal itu, sehingga ia mempertanyakan
apakah Mish tidak sekadar membela kolega-koleganya dalam menghadapi orang
luar.
485
Saat mereka mulai kehabisan bahan pembicaraan, Jeannie hanyut dalam alam
pikirannya sendiri-Ia mempertanyakan nasibnya di masa mendatang, la belum
bisa membayangkan bahwa ada kemungkinan ia tidak bisa lagi melanjutkan
profesinya sebagai seorang ilmuwan. Dalam angan-angannya mengenai masa
depan, ia selalu membayangkan dirinya sebagai seorang wanita tua yang
terkenal, dengan rambut berwarna keabuan, agak cerewet, tapi diakui secara luas
karena hasil pekerjaannya, dan kepada para mahasiswa akan diceritakan, Kita
belum memiliki pengertian apa-apa mengenai perilaku kriminal, sampai
diterbitkannya buku terkenal lean Ferrami pada tahun 2000. Tapi sekarang itu
tidak akan terwujud-la membutuhkan fantasi baru.
Mereka tiba di LaGuardia beberapa menit setelah pukul delapan, lalu naik
sebuah taksi New York kuning yang butut menuju kota. Per-per taksi itu sudah
kacau, sehingga mereka dikocok dan diguncang-guncang sepanjang perjalanan.
Mereka melintasi Queens, menembus Midtown Tunnel, terus menuju daerah
Manhattan. Tapi Jeannie toh akan merasa kurang nyaman andai kata yang
mereka tumpangi itu sebuah Cadillac; ia akan menemui laki-laki yang pernah
menyerangnya di dalam mobilnya sendiri. Perutnya terasa seperti diaduk-aduk.
Alamat Wayne Stattner ternyata di sebuah bangunan mewah di pusat kota, persis
di sebelah selatan Houston Street Pagi hari Sabtu itu lumayan cerah, dan di
jalan-jalan sudah mulai berkeliaran anak-anak muda yang ingin jajan roti bagel
dan minum cappuccino di kafe-kafe pinggir jalan, atau sekadar melongok etalase
galeri-galeri seni.
Seorang detektif dari First Precint sudah menunggu mereka di pelataran parkir di
luar bangunan itu, dalam sebuah mobil Ford Escort berwarna kecokelatan yang
agak penyok pintu belakangnya. Laki-laki itu mengulurkan tangannya, lalu
sambil memperkenalkan dirinya
486
Mish berkata. “Kami menghargai kedatangan Anda pada hari Sabtu ini untuk
mendampingi kami.” la melontarkan seulas senyum hangat dan agak genit.
“Tentu.”
Mereka masuk ke dalam gedung itu, lalu menaiki lift barang yang jalannya
lambat. “Satu apartemen di masing-masing lantai,” ujar Herb. “Si calon
tersangka rupanya bukan orang sembarangan. Apa yang telah dia lakukan?”
Lift itu berhenti. Pintunya membuka persis di muka sebuah pintu lain, sehingga
mereka tidak bisa ke mana-mana sampai pintu apartemen itu dibuka. Mish
menekan sebuah bel. Lama tidak ada jawaban. Herb menahan pintu lift. Jeannie
berdoa semoga Wayne tidak sedang keluar kota untuk berakhir minggu; ia
merasa tidak bakal sanggup mengatasi antiklimaks seperti ini. Mish menekan bel
itu sekali lagi, sambil membiarkan jarinya tetap di atas tombol itu.
Nada itu berubah. “Tolong acungkan tanda pengenal Anda di lubang kaca di
muka Anda.”
“Oke, sebentar.”
Inilah saatnya, ujar Jeannie pada dirinya. Sekarang aku akan melihatnya.
487
Pintu itu dibuka oleh seorang anak muda berambut acak-acakan, tanpa alas kaki,
dalam jas handuk hitam yang sudah memudar warnanya.
“Ya.”
Pasti habis dicat, ujar Jeannie pada dirinya. Pasti habis dicat kemarin, atau pada
hari Kamis malam.
“Aku selalu bersedia bekerja sama dengan pihak kepolisian, Herb,” ujar Wayne,
la melirik ke arah Mish dan Jeannie. Jeannie melihat bahwa ia tidak
menampakkan reaksi mengenalinya sedikit pun. “Bagaimana kalau kalian
masuk?”
Mereka melangkah masuk. Ruang masuk yang tidak berjendela itu dicat hitam,
dengan tiga pintu merah. Di salah satu pojok berdiri sebuah tengkorak manusia,
jenis yang biasanya dipakai di sekolah-sekolah kedokteran, tapi yang ini
mulurnya disumbat dengan sebuah syal berwarna merah, dan pergelangan
tangannya dibelenggu borgol polisi.
Wayne menggiring mereka melalui salah sebuah pintu merah, menuju sebuah
ruangan besar berlangit-langit tinggi. Gorden-gorden beludru hitam menutupi
jendela-* jendelanya, sementara ruangan itu diterangi oleh lampu-lampu redup.
Di dinding terpampang sebuah bendera Nazi berukuran normal. Sebuah koleksi
cambuk mengisi tempat payungnya yang disinari lampu sorot. Sebuah lukisan
cat minyak yang besar, menggambarkan peristiwa penyaliban, bersandar di atas
kuda-kuda; setelah mengamati dengan cermat. Jeannie melihat bahwa sosok
telanjang yang disalibkan itu ternyata bukan Kristus tapi seorang wanita montok
dengan rambut pirang panjang. Ia menggigil lagi.
488
Rumah ini dihuni oleh seorang laki-laki yang sadis; sudah jelas dari apa yang
tampak.
“Aku memiliki dua buah kelab malam di sini, di New York. Terus terang karena
itulah aku selalu berusaha bekerja sama dengan pihak kepolisian. Aku harus
menjaga agar tanganku tetap bersih, demi kelancaran urusan bisnis.”
Jeannie melangkah ke sebuah kursi, tapi kemudian ia melihat bahwa itu kursi
listrik yang biasa dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Ia mengurungkan
niatnya, menyeringai, lalu duduk di tempat lain.
Herb berkata, “Ini Sersan Michelle Delaware dari Dinas Kepolisian Kota
Baltimore.”
Mish melayangkan tatapan kesal ke arahnya; Jeannie hanya boleh ikut melihat,
bukan menginterogasi calon tersangka.
Namun Wayne rupanya tidak merasa terganggu oleh pertanyaan itu. “Anda jeli
sekali.”
Ternyata aku benar, ujar Jeannie dalam hati dengan perasaan puas. Ternyata
memang dia. la mengalihkan matanya ke arah tangan anak muda itu, dan teringat
bagaimana pakaiannya dikoyak olehnya. Kau memang kurang ajar, bajingan,
umpatnya.
489
“Kapan Anda mengecat rambut Anda?” tanyanya. “Sejak aku berusia lima belas
tahun,” sahut Wayne. Pembohong.
Rambutmu pirang pada hari Kamis, ketika kau menggerayangi aku dengan
tanganmu yang besar, dan pada hari Minggu, ketika kau memerkosa sahabatku,
Lisa, di gedung olahraga JFU.
Tapi untuk apa ia berbohong? Apakah ia tahu bahwa orang yang mereka curigai
berambut pirang?
Wayne berkata, “Ada apa sebetulnya? Apakah warna rambutku suatu petunjuk!
Aku suka pada misteri.”
“Kami tidak akan berlama-lama,” ujar Mish. “Kami ingin tahu di mana Anda
pada hari Minggu malam yang lalu, sekitar pukul delapan.”
Jeannie ingin tahu, apakah ia memiliki alibi. Tidak akan sulit baginya untuk
menyatakan bahwa ia bermain kartu dengan beberapa orang preman, kemudian
membayar mereka untuk mendukung pernyataannya, atau mengatakan bahwa ia
tidur dengan seorang pelacur yang pasti bersedia bersumpah palsu baginya, demi
sejumlah imbalan.
Namun jawabannya ternyata berupa kejutan. “Itu tidak sulit,” ujarnya. “Aku di
California.”
Jeannie mulai merasa tidak enak. Mana mungkin ia memiliki alibi? Sudah pasti
dialah si pemerkosa itu
490
bisa sampai di bandara lebih dahulu daripada Jeannie sampai di rumah sakit itu?
“Aku tidak memenangkan apa-apa, tentu saja,” tambah anak muda itu. “Aku
tidak berkecimpung dalam bisnis itu. Tapi Salina Jones berkecimpung di situ,
dan dia seorang teman lama.”
Dengan hati menciut, Jeannie memungutnya. Memang ada sebuah foto Wayne,
betul-betul tampan dalam jas tuksedonya, mencium Salina yang sedang
menggenggam penghargaan Emmy-nya di tangan.
Di bawah foto itu tertulis Impresario klub malam New York, Wayne Stattner,
memberikan selamat kepada mantan kekasihnya, Salina Jones, atas penghargaan
Emmy yang diterimanya untuk Too Many Cooks dt Hollywood pada hari
Minggu malam.
Bagaimana mungkin?
Mish berkata. “Oke, Mr. Stattner, kami sudah cukup lama mengganggu Anda.”
491
“Kami sedang menyidik suatu kasus pemerkosaan yang terjadi di Baltimore pada
hari Minggu malam.” “Bukan aku,” ujar Wayne.
“Ya, dia seorang instruktur pilot helikopter di Fort Bragg. Dari mana Anda tahu
itu?”
“Apa Anda kebetulan tahu apakah ibu Anda mengalami kesulitan dalam
mengandung?”
Mish berkata “Dr. Ferrami adalah seorang ilmuwan dari Jones Falls University.
Risetnya ada hubungannya dengan kasus yang sedang kutangarri.”
Jeannie berkata, “Apakah ibu Anda pernah mengungkapkan bahwa dia pernah
menjalani suatu perawatan .kesuburan?”
“Tidak kepadaku.”
492
Jeannie menyodorkan sebuah pena. Wayne mengorat oret sebuah nomor di salah
satu halaman majalah People, yang kemudian ia sobek.
Mereka menuju pintu. Herb berkata. “Terima kasih untuk kerja sama Anda. Mr.
Stattner.”
“Bukan masalah.”
Saat mereka turun dengan lift, Jeannie bertanya, “Kau percaya alibinya?”
“Tentu saja dia punya banyak salah. Manis—tapi bukan untuk tindak kejahatan
yang ini.”
BAB 44
Steve sedang menunggu di dekat pesawat telepon. Ia duduk di ruang dapur yang
luas di rumah orangtuanya di Georgetown, mengawasi ibunya membuat perkedel
daging, sambil menunggu telepon dari Jeannie. Ia ingin tahu, apakah Wayne
Stattner memang betul-betul kembarannya. Ia ingin tahu, apakah Jeannie dan
Sersan Delaware akan menemukannya di alamat New York-nya. la ingin tahu,
apakah Wayne akan mengakui bahwa ia telah memerkosa Lisa Hoxton.
Untungnya Dad bersikap lebih tenang. Semula Steve beranggapan seorang laki-
laki akan menunjukkan reaksi lebih keras dalam menghadapi aspek yang sama
sekali tidak masuk akal ini. Tapi sejak awal Dad sudah bersikap amat rasional,
saat membahas logika Jeannie, menspe-kulasi kemungkinan lain sehubungan
dengan fenomena kembar tiga itu, dan pada akhirnya mengambil kesimpulan
bahwa Jeannie mungkin benar. Namun reaksi tenang memang merupakan bagian
dari pembawaan Dad. Apa yang terlihat dari luar itu belum tentu sesuai dengan
apa yang sebetulnya ia rasakan di dalam. Saat ini ia sedang berada di halaman,
dengan santai menyirami kebun bunga, namun hatinya mungkin sedang
bergolak-golak.
Mom mulai menumis bawang, dan aromanya menerbitkan air liur Steve.
“Perkedel daging dengan kentang dilumatkan dan saus tomat,” ujarnya. “Betul-
betul nggak ada yang lebih asyik.”
Mom tersenyum. “Ketika berusia lima tahun, kau ingin makan itu tiap hari.”
“Ya. Aku ingat ketika pindah, dan betapa janggal rasanya memiliki sebuah
rumah, bukannya apartemen.”
“Ketika itulah aku mulai memperoleh hasil dari buku pertamaku, What to Do
When You Can’t Get Pregnant.” Mom menghela napas. “Seandainya fakta
mengenai bagaimana aku sampai hamil terungkap, isi buku itu bakal
meninggalkan kesan konyol sekali.”
.“Mudah-mudahan para pembeli buku itu tidak menuntut kembali uang mereka.”
495
“Kenapa? Mom begitu terguncang tadi malam.”
“Aku memang masih kesal, bahwa aku dipakai seperti seekor simpanse. Tapi aku
toh menyadari satu hal yang sebetulnya sederhana: andai kata mereka tidak
melakukan eksperimen itu atas diriku, aku tidak akan memiliki kau. Selain itu,
masa bodoh.”
Mom merangkul Steve. “Kau milikku, Steve. Tidak ada yang dapat mengubah
fakta itu.”
“Aku Jeannie.”
“Apa yang terjadi?” ujar Steve sambil berusaha menahan napas. “Dia di sana?”
“Ya, dan dia memang kembaranmu. kecuali bahwa dia telah mengecat hitam
rambutnya.”
“Ya. Ibu Wayne sudah meninggal, tapi aku bani saja berbicara dengan ayahnya
di Florida, dan dia menyatakan bahwa istrinya pernah menjalani perawatan di
Aventine Clinic”
Itu berita bagus, namun nada suara Jeannie toh kurang antusias. “Sepertinya kau
tidak senang sebagaimana seharusnya.”
“Sial.” Harapan Steve langsung menciut lagi. “‘Kok bisa? Bagaimana alibinya?”
“Kuat. Dia sedang menghadiri acara penghargaan Emmy di Los Angeles. Ada
foto-fotonya.”
496
“Kau ingat apa yang dikatakan Sherlock Holmes? ‘Setelah berhasil menyisihkan
semua unsur yang tak mungkin, yang tinggal—meskipun kedengarannya tidak
masuk akal—adalah kebenarannya.’ Atau Hercule Poirot yang mengatakan itu?”
“Kalian berempat.”
“Bukan. Aku nggak percaya bahwa embrio ini membelah menjadi empat secara
kebetulan. Pasti sengaja dibelah, sebagai bagian dari eksperimen itu.”
“Sekarang, ya. Kau pasti pernah mendengar tentang cloning. Di tahun tujuh
puluhan, itu baru semacam ide. Tapi Genetico rupanya sudah lebih jauh dari
yang lain— mungkin karena mereka bekerja secara terselubung dan bisa
bereksperimen dengan menggunakan manusia.”
‘Tidak bisa lain. Sori, Steve. Kau terus mendengar yang aneh-aneh dariku.
Untung kau punya orangtua seperti yang kaumiliki.”
“Aneh. Dia memiliki sebuah lukisan yang menggambarkan Salina Jones disalib
dalam keadaan telanjang. Aku benar-benar ngeri berada di apartemennya.
Steve terdiam. Yang satu seorang pembunuh, yang lain seorang sadis, sedangkan
yang keempat, berdasarkan hipotesis, adalah seorang pemerkosa. Lalu aku
sendiri sebetulnya apa?
Jeannie berkata, “Ide itu juga menjelaskan alasan mengapa kalian semua
dilahirkan pada hari yang berbeda. Embrio-embrio itu disimpan di laboratorium
dalam periode-periode yang berlainan, sebelum ditanam dalam rahim wanita-
wanita itu.”
497
Kenapa ini harus terjadi atas diriku? Kenapa aku tidak bisa sama seperti orang-
orang lain?
“Yeah. Tampangnya persis seperti kan, tapi dia punya alibi, jadi menurut Jeannie
kalian berempat, dan kalian semacam clone.”
“Kalau aku memang semacam clone, tentunya aku juga seperti mereka.”
“Tapi apakah itu juga akan membuktikan bahwa pembawaanku tidak sama
seperti mereka? Atau bahwa aku sudah belajar untuk menyembunyikannya,
seperti seekor binatang yang sudah dijinakkan? Apakah Mom membuat aku
sebagaimana aku sekarang? Atau Genetico?”
“Aku tidak tahu, anakku,” sahut Mom. “Aku sungguh-sungguh tidak tahu.”
498
BAB 45
Jeannie mandi dan mencuci rambutnya, kemudian memakai make-up mata
dengan hati-hati. Ia memutuskan untuk tidak menggunakan lipstik atau perona
pipi. Ia mengenakan sweater ungu berleher V dan legging ketat berwarna abu-
abu. tanpa pakaian dalam ataupun sepatu. Ia memasang giwang hidung
favoritnya, sebuah perhiasan perak bertatahkan batu nilam yang mungil.
Penampilannya berkesan seksi di cermin. “Mau jadi alim, Non?” ujarnya.
Sesudah itu ia mengedipkan matanya, lalu menuju ruang duduk.
Ayahnya sudah pergi lagi. Rupanya ia lebih suka di rumah Patty, sebab ada
ketiga cucunya untuk menghibur hatinya. Ia dijemput Patty sewaktu Jeannie
berada di New York.
Tidak ada lagi yang harus dikerjakan Jeannie selain menunggu kedatangan
Steve. Ia mencoba untuk tidak memikirkan kekecewaan-kekecewaan yang
dialaminya hari itu. Untuk sementara, cukup, la mulai merasa lapar: seharian ia
cuma minum kopi. Ia menimbang-nimbang, apakah akan makan sekarang atau
menunggu sampai Steve datang. Ia tersenyum begitu teringat bahwa anak muda
itu telah melahap sekaligus delapan potong roti bumbu kayu manis sebagai
sarapan. Betulkah itu baru terjadi kemarin? Rasanya seperti seminggu yang lalu.
499
Tiba-tiba ia teringat bahwa ia tidak punya apa-apa di lemari es. Tidak lucu kalau
Steve datang dengan perut lapar, sedangkan ia tidak punya apa-apa untuk
dimakan! Cepat-cepat ia mengenakan sepatu bot Doc Marten-nya, lalu lari
keluar. Ia mengemudikan mobilnya ke 7-Eleven yang terletak di persimpangan
antara Falls Road dan 36th Street, lalu membeli telur, daging asap Canadian,
susu, sebongkah roti, salad siap makan, bir Dos Equis, es krim Ben & Jerry’s
rasa Rainforest Crunch, dan empat bungkus roti bumbu kayu manis yang masih
beku.
Saat berdiri dalam barisan di muka kasir, ia menyadari bahwa Steve mungkin
sudah sampai di rumahnya, sementara ia sedang keluar Malah mungkin Steve
sudah pergi lagi. Jeannie lari keluar dari toko itu dengan belanjaannya, kemudian
ngebut pulang seperti orang sedang kerasukan, sambil membayangkan Steve
menunggu dengan tak sabar di muka pintunya.
Tak ada seorang pun di muka rumahnya serta tanda-tanda kehadiran mobil
Datsun karatannya. Jeannie masuk ke dalam, lalu memasukkan makanan yang
baru dibelinya ke dalam lemari es. Ia mengeluarkan telur dari kartonnya untuk
dibariskan di tempatnya. Ia menyimpan birnya, lalu mengisi mesin kopinya.
Sesudah itu tidak ada lagi yang perlu ia kerjakan.
Terpintas dalam dirinya bahwa ulahnya lain dari biasa. Jeannie tidak pernah
peduli apakah seorang laki-laki mungkin merasa lapar. Dulu, dengan Will
Temple, kalau Will merasa lapar, ia akan menyiapkan sendiri sesuatu untuk
dimakan, dan kalau lemari es Jeannie kosong, Will akan pergi ke toko, dan kalau
tokonya tutup, ia akan pergi ke restoran. Tapi kini Jeannie merasa dirinya
dilanda oleh kebutuhan untuk memperhatikan tetek bengek seperti itu. Rupanya
Steve memiliki pengaruh lebih besar atas dirinya daripada laki-laki lain,
meskipun Jeannie baru beberapa hari mengenalnya.
500
Jeannie menekan tombol pembuka pintu. Untuk sesaat ia berdiri diam, dan
merasa dirinya agak konyol. Ulahnya persis seperti gadis remaja. Ia melihat
Steve menaiki tangga dalam baju kaus abu-abu dan celana blue jeans model
longgar. Di wajahnya membayang kepedihan dan kekecewaannya selama dua
puluh empat jam terakhir. Jeannie merangkul leher Steve, lalu memeluknya.
Tubuh yang kuat itu terasa tegang dan tertekan.
“Mau kopi T
501
sweater-nya yang terbuat dari bahan wol halus. Tangan Steve yang besar ternyata
amat lembut. Jeannie melakukan hal yang sama padanya, dengan mengusap-
usapkan telapak tangannya pada dada Steve.
Steve menarik diri. Ia menatap Jeannie, seakan ingin merekam garis-garis wajah
Jeannie ke dalam kenangan nya. Dengan ujung jarinya ia menyentuh alis
Jeannie, pipinya, ujung hidungnya, dan bibirnya, begitu lembut, seakan takut
akan merusak sesuatu. Ia menggeleng-gelengkan kepala, seakan tak dapat
mempercayai apa yang dilihatnya.
Jeannie menarik diri, kemudian masuk lebih dulu ke dalam kamar tidur. Ia
melepas pakaiannya, lalu melemparkannya ke lantai. Steve masuk ke dalam
kamar itu, lalu menutup pintu di belakangnya dengan tumit kakinya Melihat
Jeannie menanggalkan pakaiannya, dengan suatu gerakan cepat ia membuka
baju kausnya.
Mereka semua melakukan itu, ujar Jeannie pada dirinya; mereka semua menutup
pintu dengan tumit kaki.
502
Tiba-tiba Jeannie merasa takut. “Aku tidak dapat melakukan ini,” ujarnya
“Tapi untuk apa dia berpura-pura menjadi aku?” “Itu tidak penting.”
“Dia tidak akan mau melakukannya hanya untuk bercinta,” ujar Steve.
“Kembaranku memiliki cara-cara khusus untuk memuaskan nafsu mereka dan
yang jelas bukan dengan cara begini. Kalau dia ingin menidurimu, dia akan
mengancammu dengan pisau, atau menyobek stocking-mu, atau membakar
sebuah gedung, ya kan?”
503
itulah kau harus pergi dari sini, sekarang juga.” Jeannie menyambar pakaiannya
dari lantai dan cepat-cepat mengenakannya. Ia masih belum merasa cukup aman.
Rasa simpati membayang di mata anak muda itu. “Jeannie yang malang,”
ujarnya. “Mereka benar-benar berhasil* menakutimu. Aku menyesal sekali.” Ia
berdiri, kemudian mulai mengenakan celana jeans-nya.
Tapi inikah tujuan dari aktingnya? Begitu ia berhasil memenangkan Jeannie dan
mereka sudah dalam keadaan telanjang di tempat tidur, apakah ia akan berubah
dan menyingkapkan sifatnya yang sebenarnya, sifat alaminya yang senang
melihat wanita dalam ketakutan dan kesakitan? Jeannie menggigil.
Jawaban itu benar. “Tapi baik Steve maupun si pemerkosa ada di JFU hari itu.”
504
“Kukira ucapanmu masuk akal,” ujar Steve sambil mengenakan kembali baju
kausnya
Steve duduk di tempat tidur untuk mengenakan sepatunya Jeannie menuju ruang
duduk, karena tak ingin tinggal di kamar dan mengawasi Steve berpakaian.
Apakah ia salah? Ataukah ini justru langkah paling bijaksana yang pernah
diambilnya? Ia betul-betul merasa tidak epdk sekarang. Semula ia begitu ingin
bercinta dengan Steve. Namun bayangan mendapati dirinya di tempat tidur
bersama orang seperti Wayne Stattner betul-betul membuatnya menggigil
ketakutan.
Steve dapat membaca pikirannya. “Percuma, aku tahu. Percaya adalah percaya,
dan pada saat itu sirna itu sima.” Ia membiarkan kekecewaannya tampak sesaat.
“Brengsek sekali, benar-benar brengsek.”
Kemarahannya membuat Jeannie takut. Ia cukup kuat, tapi anak muda itu lebih
kuat. Ia ingin anak muda itu meninggalkan apartemennya secepatnya.
Steve merasakan itu. “Oke, aku akan pergi,” ujarnya Ia menuju pintu. “Kau
tentunya tahu bahwa dia tidak akan mau pergi.”
Jeannie mengangguk.
Steve mengucapkan apa yang terpintas dalam pikiran Jeannie. “Tapi sebelum
aku sungguh-sungguh pergi,
505
kau tidak akan tahu pasti. -Dan kalau aku pergi lalu kembali lagi, itu percuma.
Supaya kau yakin bahwa aku adalah aku, aku harus betul-betul pergi.”
“Ya.” Ia sudah merasa lebih yakin sekarang, bahwa anak muda ini memang
Steve, namun keraguannya akan kembali, kecuali kalau Steve sungguh-sungguh
pergi.
“Kita membutuhkan sebuah sandi rahasia, supaya kau tahu bahwa itu aku.”
“Oke.”
Jeannie tetap berdiri diam di tempat, sampai mendengar suara bantingan pintu.
506
BAB 46
Tidak pernah terpintas dalam dirinya bahwa ia akan melakukan semua ini
beberapa minggu menjelang hari ulang tahunnya yang keenam puluh: duduk di
dalam mobilnya, yang diparkir di pinggir sebuah jalan, mengawasi pintu depan
rumah seseorang, seakan ia seorang detektif kelas kacang. Apa yang akan
dikatakan ibunya? Ibunya masih hidup; seorang wanita bertubuh ramping dan
selalu tampil rapi dalam usia delapan puluh empat tahun, tinggal di sebuah kota
kecil di Maine, menulis surat-surat yang menarik ke sebuah koran lokal, dan
masih tetap aktif mempertahankan perannya sebagai kepala penata bunga untuk
gereja Episcopalian. Bulu kuduknya pasti berdiri menahan malu kalau ia tahu
apa ^yang sedang dikerjakan putranya.
507
tatapan mata orang yang lewat. Untungnya mobilnya tidak begitu mencolok. Ia
sendiri menilai kendaraannya sebagai sebuah mobil klasik yang elegan, namun
tidak banyak Lincoln Town Car berwarna perak yang diparkir di sepanjang jalan
itu; mobil-mobil tua yang kompak keluaran Jepang dan Pontiac Firebird yang
terawat apik merupakan kendaraan favorit orang-orang di sini. Berrington
sendiri bukan tipe yang tidak menarik perhatian, dengan rambut keabuannya
yang khas. Semula selama beberapa waktu ia menggelar sebuah peta jalan di
mukanya, sambil mendoyongkan tubuh ke arah kemudi, untuk kamuflase,
namun daerah ini adalah daerah permukiman yang ramah, dan sudah dua orang
yang mengetuk jendelanya untuk menawarkan petunjuk, sehingga ia terpaksa
menyisihkan peta itu. Ia menghibur dirinya dengan menganggap siapa pun yang
tinggal di daerah kelas murahan seperti ini tak mungkin memiliki kedudukan
cukup terpandang.
la tidak tahu apa-apa mengenai rencana Jeannie. Pihak FBI ternyata tidak
berhasil menemukan daftar itu di apartemennya. Berrington terpaksa
menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk: daftar itu akan
mengantar Jeannie ke clone yang lain. Kalau memang demikian, bencana itu
sudah tidak jauh lagi. Berrington, Jim, dan Preston akan terpaksa menghadapi
eksposi secara terbuka, kehilangan nama baik dan bangkrut.
508
Steve tidak lama di situ. Kalau aku jadi dia, pikir Berrington, «lengan Jeannie
berpakaian seperti itu, aku akan tinggal di sana semalaman dan hampir seluruh
hari Minggu.
Ia mengecek lagi jam di mobilnya untuk kedua puluh kali, lalu memutuskan
untuk menelepon Jim kembali. Mungkin Jim sudah tahu sesuatu dari pihak FBI
sekarang.
509
“Menanyakan keberadaannya pada hari Minggu yang lalu, dan hal-hal yang
berhubungan dengan itu. Ternyata Wayne menghadiri acara penghargaan Emmy.
Fotonya ada di majalah People. Begitu ceritanya.”
“Tidak banyak. Aku bisa melihat pintu rumahnya dari sini. Dia pergi belanja
sebentar, Steve Logan datang, lalu pergi, hanya itu. Mungkin mereka sudah
kehabisan ide.”
“Mungkin juga belum. Kita hanya tahu bahwa idemu untuk memecatnya
ternyata tidak berhasil membungkam mulutnya.”
“Oke, Jim, jangan diungkit-ungkit lagi. Tunggu… dia keluar.” Jeannie sudah
mengganti pakaiannya; ia mengenakan celana jeans putih dan sehelai blus tanpa
lengan berwarna biru. yang memperlihatkan lengan-lengannya yang kuat.
Seorang gadis kecil yang sedang menuju kamar kecil bersama ibunya berkata,
“Orang itu marah. Mommy.” “Sssh, Manis,” sahut ibunya.
510
511
BAB 47
Jeannie menatap ayah Steve. Rambut Charles berwarna gelap, dengan bayangan
cambang lebat di sekitar rahangnya. Ekspresi wajahnya keras dan
pembawaannya betul-betul rapi. Meskipun itu hari Sabtu dan ia bara saja
berkebun, ia mengenakan celana panjang berwarna gelap yang diseterika rapi,
dan sehelai kemeja bertangan pendek dengan kerah. Tampangnya sama sekali
tidak mirip Steve. Satu-satunya hal yang diturunkannya pada Steve mungkin
hanya selera berpakaiannya yang konservatif. Hampir semua mahasiswa Jeannie
mengenakan pakaian dari bahan denim yang robek dan bahan kulit berwarna
hitam, tapi Steve lebih suka mengenakan celana panjang dari khaki dan kemeja.
Tadi, begitu terbangun dari tidur ayamnya, suatu ide yang amat brilian melintas
di kepala Jeannie. Ia menemukan cara untuk melacak si clone keempat. Tapi
untuk itu ia membutuhkan bantuan Charles. Namun ia tidak
512
“Silakan.”
Mereka mencicipi limun itu, kemudian Charles berkata, “Jeannie, mengenai apa
ini sebetulnya?”
“Hampir seluruh masa dewasaku kuhabiskan sebagai prajurit, dan aku siap untuk
mempercayai hampir semua hal yang paling tidak masuk akal dalam dinas
kemiliteran. Tapi untuk apa mereka menaruh minat pada masalah fertilitas?”
513
Ucapan itu ia maksudkan sebagai semacam spekulasi, nadanya pun sambil lalu.
Namun efeknya membuat Charles seperti terkena sengatan listrik. “Ya Tuhan,”
ujarnya, ekspresi terguncang meliputi wajahnya. “Rasanya aku pernah dengar
mengenai inf.”
“Nah, itu dia!” Jeannie merasa akhirnya ia mulai mengerti. “Mereka menyeleksi
seorang laki-laki dan seorang wanita yang sehat, agresif, cerdas, dan berambut
pirang, kemudian meminta mereka menyumbangkan sperma dan sel telur untuk
dikembangkan menjadi embrio. Tapi yang betul-betul menarik bagi mereka
adalah kemungkinan untuk menggandakan si prajurit sempurna, begitu mereka
berhasil menciptakannya. Bagian paling menentukan dari eksperimen ini adalah
bagian pembelahan embrio serta menanamkannya dalam tubuh seorang ibu. Dan
ternyata mereka berhasil.” Jeannie mengerutkan alisnya. “Lalu apa yang
terjadi?”
“Aku bisa menjawabnya,” ujar Charles. “Watergate. Semua proyek rahasia yang
edan dihentikan setelah itu.”
‘Tapi Genetico kemudian jalan terus, seperti Mafia. Dan karena mereka betul-
betul berhasil menemukan cara untuk menghasilkan bayi tabung, perusahaan itu
dianggap menguntungkan. Hasilnya dipakai sebagai dana riset rekayasa genetika
yang sudah mereka geluti sejak lama Sepertinya proyekku sendiri merupakan
bagian dari rencana mereka yang akbar itu.”
514
“Yaitu?”
“Lalu untuk apa mereka menjual perusahaan itu? Rasanya tidak masuk akal.”
“Mungkin toh masuk akal,” sahut Jeannie setelah termanggu selama beberapa
saat. “Sewaktu menerima penawaran akuisisi itu, mungkin mereka melihatnya
sebagai peluang untuk bergerak ke peringkat yang lebih tinggi. Uangnya bisa
digunakan untuk kampanye pencalonan Proust untuk jabatan presiden. Begitu
berhasil bercokol di Gedung Putih, mereka dapat melakukan riset apa pun yang
mereka inginkan—dan menerapkan ide-ide mereka ke dalam praktek.”
Charles menghela napas. “Ini berarti aku sebetulnya bukan ayah Steve.”
515
buah foto. “Ada sesuatu yang harus kuungkapkan padamu, Jeannie. Aku tidak
pernah mempermasalahkan soal clone ini, tapi aku sering mengawasi Steve dan
mempertanyakan pada diriku, apakah ada sesuatu yang aku turunkan padanya.”
“Masa Anda tidak lihat?” ujar Jeannie.
“Kemiripan?”
“Tidak secara fisik. Tapi Steve memiliki perasaan tanggung jawab yang besar.
Tak satu pun di antara clone-clone lainnya peduli soal tanggung jawab. Itu yang
Anda turunkan padanya.”
Tampang Charles masih geram. “Ada sesuatu yang negatif dalam dirinya. Aku
tahu itu.”
“Demikian juga Dennis Pinker dan Wayne Stattner. Anak-anak seperti ini
memang sulit sekali ditangani dengan benar. Karena itu, Dennis menjadi
pembunuh dan Wayne cenderung sadis. Tapi Steve tidak seperti mereka—dan
Anda-lah sebabnya. Hanya orangtua yang paling sabar, paling menunjukkan
pengertian dan berdedikasi dapat mendidik anak-anak seperti ini, sehingga
mereka dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang normal. Dan Steve betul-betul
normal.”
“Tentu.”
Jeannie mengamati foto itu. Sepertinya belum lama diambil. Steve mengenakan
sehelai kemeja kotak-kotak biru dan rambutnya agak gondrong-Ia sedang
tersenyum rikuh ke arah kamera. “Aku belum punya fotonya,” ujar Jeannie
dalam nada menyesal saat mengembalikannya.
516
“Pasti.”
Jeannie merasa salah tingkah. Bukan niatnya untuk mengungkapkan semua ini
kepada ayah Steve. Semula ia belum menyadarinya; ini muncul begitu saja, tapi
kemudian ia menyadari bahwa sesungguhnya itulah yang dirasakannya.
“Itu tidak aneh. Kau bukan hanya cantik. Kau juga kuat; itu jelas. Dia
membutuhkan seseorang yang kuat, terutama saat menghadapi tuduhan seperti
ini.”
“Katakan.”
akan ada biro pemerintahan atau perusahaan asuransi yang mau mengambil
risiko dengan bekerja sama denganku. Kecuali…” “Kecuali?”
“Bayi-bayi itu pasti memiliki catatan medis di situ, dua puluh dua tahun yang
lalu. Catatan-catatan itu mungkin masih ada.”
“Aku yakin masih ada. Dinas kemiliteran tidak pernah membuang sesuatu.”
Harapan Jeannie melambung sedikit. Tapi masih ada satu masalah. “Mengingat
keadaan pada zaman itu, tentunya data-data tersebut masih ditulis di atas kertas.
Atau mungkin sudah mereka pindahkan ke komputer?”
518
“Anda mau melakukan itu?” tanya Jeannie dalam nada tak sabar.
“Mau?”
“Ya.”
519
BAB 48
Steve senang sekali melihat Jeannie duduk di serambi sambil minum limun dan
berbincang-bincang serius dengan ayahnya, seakan mereka sudah berteman
lama. Inilah yang kuinginkan, ujarnya dalam hati; aku ingin Jeannie masuk
dalam kehidupanku. Kemudian aku bisa mengatasi segalanya.
Ia melintasi hamparan rumput dari arah garasi, tersenyum, lalu mengecup bibir
Jeannie dengan lembut. “Kalian seperti sedang berkomplot.” ujarnya.
Jeannie menjelaskan apa yang sedang mereka rencanakan, dan Steve merasa
memiliki harapan lagi.
Dad berkata kepada Jeannie, “Aku tidak mengerti soal komputer. Aku butuh
bantuan untuk memasukkan programmu.”
“Aku akan ikut bersama Anda” “Aku berani bertaruh bahwa kau tidak membawa
paspormu kemari.” “Memang.”
“Aku tidak bisa mengajakmu masuk ke Pusat Data tanpa tanda pengenal.”
“Biar aku yang ikut,” ujar Steve. “Pasporku ada di atas. Aku yakin bisa
memasukkan program itu.”
Dad mengalihkan matanya ke arah Jeannie.
520
“Oke.”
Dad pergi ke dapur, lalu kembali dengan pesawat telepon. Ia memutar sebuah
nomor. “Don, ini Charlie, fcau menang dalam pertandingan golf itu? Aku tahu
kau bakal menang. Tapi aku akan mengalahkanmu minggu depan, lihat saja.
Begini, aku butuh bantuanmu, memang agak lain dari biasa. Aku ingin
mengecek catatan medis anakku dari beberapa tahun yang lalu. Ya, kondisinya
kurang baik, tidak membahayakan memang, tapi toh serius. Mungkin ada
kaitannya dengan sesuatu di masa kecilnya. Kau bisa atur agar aku dapat surat
izin untuk masuk ke dalam Command Data Center?”
Selama beberapa saat suasana hening. Steve tidak dapat membaca apa yang
tersirat di wajah ayahnya. Akhirnya Charles berkata, “Trims, Don, aku amat
menghargai itu.”
Dad meletakkan jarinya di bibir, lalu berkata. “Steve akan ikut bersamaku. Kami
akan sampai di sana dalam waktu sekitar lima belas sampai dua puluh menit lagi,
kalau kau tidak berkeberatan. Trims sekali lagi.” Ia menutup pesawatnya
Mereka menaiki mobil Lincoln Mark VIII Charles, lalu meluncur ke arah
Pentagon. Mereka akhirnya berhenti di pelataran parkir terbesar di dunia. Di
daerah Midwest ada kota-kota yang lebih kecil daripada pelataran parkir
Pentagon. Mereka menaiki sebuah tangga, menuju pintu masuk lantai dua.
Ketika baru berusia tiga belas tahun, Steve pernah diajak berkeliling seperti turis
oleh seorang anak muda bertubuh tinggi, dengan rambut dipotong pendek sekali.
Gedung itu terdiri atas lima lingkaran konsentris yang dihubungkan oleh sepuluh
lorong, seperti jari-jari sebuah roda. Lantainya ada lima, tanpa lift. Dalam
sekejap Steve sudah kehilangan arah. Satu-satunya hal yang diingatnya adalah
bahwa di tengah-tengah halaman utama terdapat sebuah bangunan yang disebut
Ground Zero, yang merupakan sebuah kios hotdog.
Tidak banyak orang di sekitar sini pada hari Sabtu malam, dan lorong-lorongnya
tampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang lembur, kebanyakan
berseragam, dan satu-dua kereta golf yang dipakai untuk memindahkan barang-
barang berat dan para VIP. Waktu itu Steve merasa nyaman berada di dalam
bangunan megah itu; semua it ada di sana untuk memberikan perlindungan
padanya. Namun kini pe^Baannya lain. Di suatu tempat, di antara simpang siur
lingkaran dan lorong-lorong ini, bercokol suatu komplotan yang telah
menciptakan dirinya beserta kembaran-kembarannya. Jajaran birokrasi yang
serba rumit ini di bentuk untuk menyembunyikan kebenaran yang dicarinya, dan
laki-522
laki dan perempuan dalam seragam angkatan darat, laut, dan udara yang rapi itu
kini adalah musuh-musuhnya.
Mereka boleh terus. Mereka membelok beberapa kali, dan akhirnya sampai di
muka sebuah pintu kaca. Di balik pintu itu, sekitar sepuluh orang prajurit muda
duduk di hadapan layar-layar komputer, mengisi data, atau memasukkan
dokumen-dokumen kertas ke dalam mesin-mesin pembaca karakter optik.
Seorang petugas jaga di luar pintu mengecek paspor Steve lagi, kemudian
mempersilakan mereka masuk.
523
Hati Steve menciut. Masa mereka akan dikalahkan dengan demikian mudahnya?
“Anda membutuhkan izin khusus untuk menggunakan data link-ny&. Tapi Anda
tidak memilikinya.”
“Aku tidak mengantisipasi ini. Kolonel,” ujar Dad. “Apakah aku harus
menghubungi Jenderal Krohner lagi? Dia tidak akan senang diganggu oleh hal-
hal seremeh ini pada hari Sabtu malam, tapi aku akan melakukannya kalau
memang perlu.”
“Terima kasih.”
Letnan Gambol berkata, “Apa Anda tahu bahwa penggunaan data-data itu diatur
di bawah Undang-undang Keleluasaan Pribadi, Sir?”
Ia duduk di depan terminal itu, lalu menyentuh beberapa tuts. Selang beberapa
menit ia berkata, “Pelacakan bagaimana yang Anda inginkan?”
Dad menoleh ke arah Steve. Steve angkat bahu, lalu menyerahkan disket floppy-
nya pada wanita itu.
Saat memasukkan program itu, si letnan menatap heran ke arah Steve. “Siapa
yang menyusun software ini?”
524
“Pintar sekali,” ujarnya. “Aku belum pernah melihat program seperti ini.” Ia
menoleh ke arah si kolonel, yang sedang mengawasi layar melalui pundaknya.
“Anda sudah pernah, Sir?”
“Silakan.”
525
BAB 49
Berrington merasa lega bisa melakukan sesuatu. Amat melelahkan untuk terus
didera rasa cemas, sementara ia tidak melakukan aktivitas apa pun.
Punggungnya terasa pegal, kaki-kakinya kaku. Andai kata ia dapat melupakan
ini semua dan pergi. Ia bisa duduk-duduk di sebuah restoran sambil menikmati
sebotol anggur yang enak, atau di rumah saja, mendengarkan Ninth Symphony
karya Mahler, atau menelanjangi Pippa Harpenden. Tapi kemudian ia ingat akan
imbalan yang diperolehnya dari transaksi pengambilalihan itu. Pertama-tama
adalah uangnya: enam puluh juta dolar yang akan menjadi bagiannya. Kemudian
kesempatan untuk memiliki pengaruh dalam percaturan politik, dengan Jim
Proust di Gedung Putih dan dirinya sendiri sebagai menteri kesehatan. Dan
akhirnya, andai kala proyek mereka berhasil, sebuah Amerika yang baru dan lain
untuk akad kedua puluh satu, Amerika sebagaimana dulu, kuat, tidak kenal
526
Untuk sesaat, tidak terlalu sulit baginya untuk mengikuti Logan menembus arus
lalu lintas Washington yang bergerak amat lambat. Seperti dalam sebuah film
detektif, ia berusaha tetap berada dalam jarak dua mobil di belakang. Mobil
Mark VIII itu elegan sekali, pikirnya. Mungkin sudah waktunya ia menukar
Town Car-nya Sedannya itu memang berwibawa, tapi sudah agak kuno; mobil si
kolonel kelihatan lebih keren. Ia mempertanyakan, berapa yang harus ia
keluarkan untuk menukar kendaraannya itu. Kemudian ia ingat bahwa sekitar
Senin malam ia akan kaya. Ia bisa membeli sebuah Ferrari, kalau ingin tampil
lebih keren.
Kemudian mobil Mark VIII itu menembus lampu hijau dan membelok di suatu
kelokan-Lampu lalu lintas berubah merah, mobil di muka Berrington berhenti,
dan ia tidak dapat melihat mobil Logan lagi. Ia mengumpat sambil menekan
klakson. Ia mulai kehilangan kendali diri. Ia menggeleng keras untuk
menjernihkan pikirannya kembali. Kejemuan saat melakukan pengintaian itu
ternyata menurunkan daya konsentrasinya. Begitu lampu berubah hijau kembali,
ia menikung dengan tajam, lalu menginjak pedal gasnya kuat-kuat.
Beberapa saat kemudian, ia melihat mobil hitam itu menunggu di sebuah lampu:
ia dapat bernapas lebih lega kembali.
527
mematikan mesin mobilnya, lalu mengawasi mereka. Steve dan ayahnya keluar
dari kendaraan mereka, kemudian melangkah menuju bangunan utama
Berrington mengecek isi mobil Mark VIII itu. Tidak ada yang menunggu di
dalamnya. Rupanya Jeannie ditinggal di rumah di Georgetown itu. Apa yang
akan dilakukan Steve bersama ayahnya? Dan Jeannie?
la berjalan sekitar dua puluh sampai tiga puluh langkah di belakang mereka, la
tidak menyukai ini. Ia khawatir ulahnya ketahuan. Apa yang harus ia katakan
kalau mereka mengkonfrontasi dirinya nanti? Itu akan amat memalukan.
Untungnya mereka tidak menoleh ke belakang. Mereka menaiki sebuah tangga,
lalu memasuki gedung itu. Ia masih mengawasi mereka, sampai mereka
melewati meja piket, dan ia terpaksa kembali.
Ia mencari pesawat telepon umum, lalu memutar nomor Jim Proust. “Aku di
Pentagon. Aku mengikuti Jeannie sampai ke rumah keluarga Logan, kemudian
membuntuti Steve Logan dan ayahnya kemari. Perasaanku tidak enak, Jim.”
“Ya”
“Kau tidak akan membawa anakmu ke acara main poker, seberapa dewasanya
pun dia.”
“Data-data.”
“Ah,” sahut Jim. “Mereka tidak memiliki catatan mengenai apa yang pernah kita
lakukan. Aku yakin akan hal itu.”
“Kita harus tahu apa yang sedang mereka lakukan. Kau tidak punya cara untuk
mencari tahu?”
528
“Kukira ada. Kalau aku tidak punya teman di Pentagon, berarti aku tidak punya
teman di mana-mana Aku akan menelepon beberapa orang. Hubungi aku lagi
nanti.‘t
529
BAB 50
Steve menunggu dengan hati berdebar-debar. Kalau ini berhasil, akan terungkap
siapa sebetulnya yang memerkosa Lisa Hoxton, dan ia akan memperoleh
kesempatan untuk membuktikan bahwa ia sama sekali tidak bersalah. Tapi
bagaimana kalau ternyata ada yang meleset? Proses pelacakan itu tidak bekerja,
atau data-data medis itu sudah tidak ada, atau dihapus dari sistem database itu.
Komputer sering memberikan jawaban-jawaban konyol seperti: Tidak
ditemukan, atau Tidak terekam, atau Ada kesalahan.
Ia menemukan sekotak disket baru dalam sebuah laci, lalu menyusupkan satu
disket ke dalam disk drive komputer. Ia membuat copy dari daftar itu,
mengeluarkannya kembali, kemudian menyelipkannya ke saku belakang celana
jeans-nysL
530
Steve menunggui printer itu, sambil membaca dengan cepat isi halaman-halaman
yang keluar, la berharap akan melihat namanya sendiri dalam daftar itu, dalam
rangkaian bersama tiga buah nama lain: Dennis Pinker, Wayne Stattner, dan si
laki-laki yang memerkosa Lisa Hoxton. Ayahnya yang berdiri di belakangnya,
ikut melihat melalui pundaknya.
Halaman pertama hanya berisi nama-nama pasangan kembar dua; tidak ada
kembar tiga atan empat.
Nama Steven Logan muncul menjelang akhir halaman kedua. Dad juga
melihatnya pada waktu bersamaan. “Itu,” celetuknya dalam nada antusias
tertahan.
Tapi ada yang tidak beres rupanya. Terlalu banyak nama dalam kelompok itu. Di
samping nama Steven Logan. Dennis Pinker, dan Wayne Stattner ternyata masih
ada nama-nama Henry Irwin King, Per Ericson, Murray Claud, Harvey John
Jones, dan George Dassault. Kelegaan Steve berubah menjadi keheranan.
Kemudian baru Steve sadar. “Sejumlah itulah yang dibuat Genetico,” ujarnya.
“Kami berdelapan.”
“Delapan cione!” ujar Dad dalam nada tercengang. “Gila! Mereka pikir, apa
yang sedang mereka lakukan?”
531
“Aku jadi ingin tahu, bagaimana pelacakan ini bisa berhasil menemukan
mereka,” ujar Steve. Ia melihat bagian bawah lembaran terakhir. Di situ tertulis
Kesamaan karakteristik: Elektrokardiogram.
“Ya, aku ingat,” ujar Dad. “Kau pernah menjalani itu sewaktu baru berusia
seminggu, tapi aku tidak pernah tahu untuk apa.”
“Aku masih tak bisa mempercayainya,” ujar Dad. “Jadi, ada delapan anak muda
di dunia ini yang persis seperti kan.”
“Kebanyakan tentunya sudah pindah sekarang. Apa kita tidak bisa memperoleh
informasi lebih banyak melalui program ini?”
‘Tidak bisa. Karena itulah program ini tidak melanggar hak keleluasaan pribadi
orang.”
“Aku sudah tanyakan itu padanya. Di universitasnya, semua nomor telepon yang
ada di buku telepon dimasukkan ke dalam CD-ROM. Kalau melalui itu tidak
berhasil, mereka akan menggunakan daftar surat izin mengemudi, biro-biro
referensi kredit, dan sumber-sumber lain.”
“Persetan dengan keleluasaan pribadi,” ujar Dad. “Aku akan membuka catatan
lengkap sejarah medis orang-orang ini, siapa tahu ada petunjuk.”
“Aku mau minum secangkir kopi,” ujar Steve. “Di mana aku bisa
memperolehnya?”
532
“Aku akan segera kembali.” Steve meninggalkan ruang Data Center sambil
mengangguk ke arah si penjaga pintu. Di ruang istirahat itu terdapat beberapa
buah meja dan kursi, juga mesin-mesin untuk membeli minuman soda dan
permen. Steve memakan dua batang cokelat Snicker dan meminum secangkir
kopi, kemudian kembali ke Data Center.
Ia menghentikan langkahnya di luar pintu kaca. Beberapa orang baru tampak di
dalam, termasuk seorang jenderal dan dua orang polisi militer bersenjata. Si
jenderal tampak sedang berdebat dengan Dad, sementara si kolonel yang
berkumis tipis rupanya juga sedang mengatakan sesuatu pada waktu bersamaan.
Gerak tubuh mereka membuat Steve waswas. Sesuatu yang kurang
menyenangkan sedang berlangsMg. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan itu,
kemudian berdiri di dekat pintu. Instingnya mengatakan agar ia tidak melakukan
sesuatu yang menarik perhatian.
Bagaimana ini bisa terjadi? Masalahnya pasti bukan karena Dad tertangkap
basah membuka data medis orang. Itu memang pelanggaran serius, tapi belum
cukup untuk menahan seseorang. Pasti ada sesuatu di balik ini. Entah bagaimana
caranya, pihak Genetico-lah yang mengaturnya.
Si jenderal menimpalinya dalam nada keras yang sama, “Jangan menguliahi aku
soal hak-hakku, Kolonel.”
Sia-sia kalau Steve berusaha melibatkan diri dalam argumentasi itu. Ia sudah
memiliki disket floppy dengan daftar nama itu di sakunya. Dad sedang
menghadapi masalah, tapi ia pasti dapat mengatasinya. Steve harus segera keluar
dari sini bersama informasi itu.
533
“Aku harus mengeluarkan nama Anda dari komputer. Boleh kulihat kartu
pengenal Anda?”
Steve menelusuri sebuah lorong. Satu meja piket lagi, setelah itu ia akan berada
di luar.
Untuk keluar dari bangunan itu, ia harus ke lingkaran E yang terletak paling
ujung. Bergegas ia menelusuri sebuah lorong, melewati lingkaran C. Sebuah
kereta golf berisi bahan-bahan pembersih lewat dari arah ber—
534
Ia yakin sudah berada di lantai menuju pintu keluar. Sambil mengikuti arah
jarum jam, ia mengitari lingkaran D ke lorong berikutnya. Ia mengenali tempat
itu; dari sinilah ia masuk tadi. Ia mengikuti sebuah lorong, dan sampai di sebuah
meja piket tempat ia masuk pertama kali. Ia hampir sampai.
Wanita itu sedang berdiri di dekat meja piket bersama seorang petugas.
Wajahnya merah dan napasnya terengah-engah.
“Kau tidak usah melepaskan itu,” ujar Letnan Gambol. “Jenderal ingin berbicara
denganmu.”
Steve meletakkan tanda pengenal itu di meja piket, lalu sambil berusaha
menutupi rasa takutnya, ia berkata, “Aku khawatir aku. tidak punya waktu untuk
itu. Selamat malam. Letnan, dan terima kasih untuk kerja sama Anda.”
535
Steve tersenyum pada si petugas. “Kalau Anda menyentuhku. Prajurit, itu akan
merupakan tindakan penyerangan. Aku akan berhak meninju Anda, dan
percayalah padaku, bahwa aku tidak merasa enggan melakukannya.”
Steve memutar tubuhnya. Si petugas jaga telah mengeluarkan sebuah pistol yang
sekarang diarahkan kepadanya.
Steve merasa otot-ototnya lemas saat ia melihat laras itu. Ia berusaha menguasai
diri. Ia yakin bahwa seorang petugas sekuriti Pentagon tidak akan menembak
seorang sipil yang tidak bersenjata. “Anda tidak akan menembakku,” ujarnya.
“Itu pembunuhan.”
536
Seseorang menjerit.
Sekilas terpintas dalam pikiran Steve, Dia menembak ke atasku, namun ia tidak
menoleh ke belakang lagi. Ia menghambur keluar dari pintu itu, lalu lari
menuruni undak-undakan. Hari sudah gelap sementara ia berada di dalam tadi,
dan pelataran parkir itu sudah diterangi oleh lampu-lampu jalan. Ia mendengar
suara tembakan lagi di belakangnya, kemudian satu lagi. Ia sampai di kaki
tangga, melintasi jalan setapak, lalu menghilang di antara semak-semak.
Akhirnya ia muncul di sebuah jalan dan terus lari. Ia sampai di sebuah tempat
perhentian bus. Ia memperlambat langkahnya. Sebuah bus memasuki halte itu
Dua orang tentara turun dan seorang wanita berpakaian sipil naik. Steve ikut
naik persis di belakangnya.
Bus iru mulai melaju kembali, keluar dari pelataran parkir itu, menuju ke arah
jalan bebas hambatan, meninggalkan Pentagon di belakangnya.
537
BAB 51
Hanya dalam beberapa jam, Jeannie sudah merasa amat suka pada Lorraine
Logan. Ternyata Lorraine jauh lebih gemuk daripada kesan di fotonya yang
terpampang di pojok atas kolom dari-hati ke hatinya di koran. Ia banyak senyum,
sehingga wajahnya yang lembut berkerut ke atas. Untuk menenangkan pikiran
Jeannie dan dirinya sendiri, ia membicarakan masalah-masalah yang biasanya
disampaikan orang padanya: tentang mertua yang terlalu dominan, suami yang
suka berlaku kasar, pacar-pacar yang impoten, bos-bos yang taugannya usil, para
remaja yang kecanduan obat bius. Apa pun topiknya, Lorraine sepertinya selalu
berhasil membuat Jeannie berpikir, Iya, ya, kok hal itu nggak pernah terlintas
dalam pikiranku sebelumnya?
“Periode itu bisa berlangsung sampai enam bulan. Tapi cepat atau lambat, dia
akan menyadari bahwa dia
538
harus berhenti menyangkal apa yang sudah terjadi, dan mencoba mengatasinya.
Tahap itu biasanya dimulai saat seorang wanita mencoba menjajaki kehidupan
seks yang normal kembali, dan mendapati dirinya tidak merasakan lagi apa yang
biasa dia rasakan sebelumnya. Pada saat itulah mereka akan menulis surat
kepadaku.”
“Aku janji.”
“Kau peka sekali.” Lorraine tersenyum. “Ya, memang pernah. Tapi hanya satu
kali.”
539 -
“Kukira tidak masalah apakah orangtua akan bersikap keras atau tidak mengenai
hal itu, asalkan mereka tetap konsisten dalam mempertahankannya. Anak-anak
muda biasanya dapat menyesuaikan diri dengan peraturan, baik yang keras
maupun yang kurang, selama peraturan itu konstan. Sikap tirani semena-
menalah yang biasanya membuat mereka bingung.”
Mereka mendengar suara mobil di luar. Lorraine langsung berdiri dan menuju
sudut ruangan itu untuk melihat ke jalan. “Steve pulang naik taksi,” ujarnya
dalam nada tidak mengerti.
Sebelum Lorraine dapat menjawab, Steve sudah muncul di serambi itu. “Mana
ayahmu?” tanya ibunya.
540
“Dad ditahan.”
“Aku tidak tahu. Kukira, entah bagaimana caranya, orang-orang Genetico itu
tahu. atau berhasil menebak, langkah-langkah kita. lalu mengambil tindakan.
Mereka mengirim dua orang polisi militer untuk menahan Dad-Tapi aku berhasil
lolos.”
Dalam nada waswas Lorraine berkata, “Stevie, ada sesuatu yang tidak
kauungkapkan padaku.”
“Tapi pelacakan itu ternyata tidak sia-sia.” Steve mengeluarkan sebuah disket
dari saku belakangnya. “Ini daftarnya Dan tunggu sampai kaulihat apa isinya”
“Maksudmu?”
“Kami berdelapan.”
Ternyata Genetico telah membelah embrio itu tujuh kali. kemudian secara diam-
diam menanamkannya ke dalam kandungan delapan orang wanita. Suatu
arogansi yang benar-benar sulit dipahami.
Namun kecurigaan Jeannie kini terbukti. Jadi, inilah yang begitu ingin ditutup-
tutupi Berrington. Begitu berita ini tersingkap luas, nama Genetico akan
tercemar, sedangkan kebenaran teori Jeannie diabsahkan.
541
“Kita masih harus melacaknya,” ujar Steve. “Dan itu tidak akan mudah. Alamat
yang kita miliki adalah dari tempat tinggal orangtua mereka pada saat mereka
dilahirkan. Bisa dipastikan mereka sudah pindah sekarang.”,
“Kita bisa telusuri keberadaan mereka. Itu kan keahlian Lisa.” Jeannie berdiri.
“Sebaiknya aku segera balik ke Baltimore. Ini bakal menghabiskan waktu
semalaman.”
“Aku akan ikut bersamamu.”
“Sebaiknya aku menelepon Lisa sebelum aku berangkat, supaya dia bisa siap-
siap,” ujar Jeannie. Pesawat telepon ada di meja serambi. “Bolehkah?”
“Tentu.”
Di luar, Steve menyerahkan disket itu kepadanya. “Jaga itu baik-baik,” ujarnya.
“Kita hanya punya itu, dan kita tidak akan mendapatkan kesempatan lain lagi.”
542
“Wauw,” ujar Steve sesudah itu. “Apa kita bisa ulangi lagi ini, dalam waktu
dekat?”
“Ya. Tapi sementara itu jangan sampai terjadi apa-apa atas dirimu. Aku tidak
mau kehilangan kau. Hati-hati.”
Steve tersenyum. “Aku senang sekali kau mengkhawatirkan diriku. Apa pun
rasanya nggak percuma.”
Jeannie menciumnya sekali lagi, lapi kali ini dengan lembut. “Aku akan
meneleponmu.”
Ia kecewa ketika mendapati tidak ada pesan untuknya dari Lisa di perangkat
penjawah teleponnya. Mungkin Lisa tertidur, atau sedang nonton TV, sehingga
tidak tahu mengenai pesan yang ditinggalkannya. Jangan panik, putar otakmu. Ia
segera lari keluar lagi, lalu dengan mobilnya menuju tempat tinggal Lisa, di
sebuah apartemen di Charles Village. Ia menekan bel pintunya, tapi tidak ada
jawaban. Ke mana Lisa pergi? Ia tidak punya pacar yang akan mengajaknya
keluar pada hari Sabtu malam. Mudah-mudahan dia tidak pergi menengok
ibunya di Pittsburgh
Lisa tinggal di nomor 12B. Jeannie menekan bel m nomor I2A-Kembali tidak
ada jawaban. Mungkin seluruh sistem sialan ini sedang rusak. Dengan jengkel
karena frustrasi, ia mencoba nomor I2C.
Seorang laki-laki dalam nada tidak ramah berkata. “Yeah, siapa di situ?”
“Maaf kalau aku mengganggu Anda. tapi aku teman Lisa Hoxton, yang tinggal
di sebelah Anda, dan aku harus berbicara dengannya secepatnya. Apa Anda
kebetulan tahu di mana dia?”
543
Suara itu menjawab, “Kaukira kau di mana, Non… Hicksville, USA? Tampang
tetanggaku seperti apa saja aku nggak tahu.” Klik.
“Kau sendiri dari mana? New York?” ujar Jeannie dalam nada marah melalui
interkom yang sudah dimatikan itu.
Setelah itu tidak ada lagi yang dapat dilakukannya. Tanpa Lisa, masuk ke dalam
Nut House pun ia tidak bisa.
544
“Nggak apa. Aku kan temanmu. Kau boleh marah-marah padaku. Aku pun akan
marah-marah padamu suaiu hari.”
Jeannie tertawa. “Trims. Aku punya sebuah daftar nama dari lima orang yang
mungkin kembaran Steve.” Sengaja ia tidak langsung menceritakan
permasalahannya; kenyataan itu terlalu sulit diterima. “Aku harus melacak
mereka malam ini juga. Kau bisa bantu aku?”
Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Jeannie, aku hampir mendapat masalah serius
saat mencoba masuk ke dalam ruang kerjamu. Hampir saja aku dan si petugas
sekuriti itu dipecat. Aku mau membantumu, tapi aku juga butuh pekerjaanku.”
“Aku takut.”
Rasa cemas Jeannie digantikan oleh ketetapan hatinya. Persetan, aku tidak akan
membiarkan kau lolos. Lisa, ini kan sudah hampir hari Minggu.” Aku tidak
senang melakukan ini terhadapmu, tapi aku terpaksa. “Seminggu yang lalu, aku
menerobos ke dalam sebuah bangunan yang terbakar untukmu.”
Untuk waktu lama tidak ada jawaban. “Kau benar,” ujar Lisa akhirnya. “Oke,
aku akan melakukannya.”
545
546
BAB 52
Ia keluar dari mobilnya, lalu langsung menggenggam tangan Jeannie. “Aku malu
sekali,” ujarnya. “Seharusnya kau tidak perlu mengingatkan aku akan apa yang
telah kaulakukan sebagai seorang teman.” “Tapi aku mengerti,” ujar Jeannie.
“Aku menyesal.” Jeannie merangkulnya.
549
putih dan steril, lampu-lampunya yang terang, dan deru lembut peralatan-
peralatan di sekitarnya mengingatkannya akan sebuah kamar jenazah.
Terpintas dalam dirinya bahwa cepat atau lambat mereka akan diganggu oleh
para petugas sekuriti. Setelah pembobolan yang berhasil dilakukannya tadi
malam, mereka akan menjaga Nut House ekstra ketat, dan mereka akan melihat
lampu-lampunya. Tapi bukan hal aneh bagi para ilmuwan untuk berada di
laboratorium pada jam-jam begini, dan pasti tidak akan ada masalah, kecuali jika
seorang*petugas kebetulan mengenali Jeannie dari peristiwa pada malam
sebelumnya. “Kalau ada petugas sekuriti kemari untuk mengecek, aku akan
bersembunyi di lemari peralatan,” ujar Jeannie pada Lisa. “Cuma untuk jaga-
jaga, jangan sampai yang muncul itu petugas yang tahu bahwa aku nggak boleh
masuk sini.”
“Mudah-mudahan kedengaran kalau dia muncul,” jawab Lisa dalam nada cemas.
“Kita bisa membuat semacam alarm.” Jeannie sudah ingin buru-buru memulai
pelacakannya, tapi ia berusaha menahan ketidaksabarannya: suatu peringatan
yang masuk akal-la melayangkan matanya ke seputar ruang laboratorium itu,
lalu melihat sebuah rangkaian bunga kecil di meja Lisa. “Seberapa besar arti vas
itu bagimu?”
Lisa angkat bahu- “Aku membelinya di K mart. Aku bisa beli yang lain.”
550
mungkin ada yang bisa masuk ke dalam tanpa mengakibatkan vas itu jatuh dan
pecah.
Saat mengawasinya, Lisa berkata, “Apa yang harus kukatakan kalau mereka
menanyakan padaku, kenapa aku melakukan itu?”
Lisa mengangguk puas. “Cuma Tuhan yang tahu bahwa aku memang punya
cukup alasan untuk berlaku sesenewen itu.”
“Ayo kita mulai dengan Henry King,” usul Jeannie. “Nama lengkapnya Henry
Irwin King.”
Di meja tulis Lisa ada dua drive CD-ROM. Ia mengeluarkan dua CD dari dalam
laci meja tulisnya, lalu memasukkannya ke dalam masing-masing drive. “Kita
memiliki semua nomor telepon rumah yang ada di Amerika dalam kedua disk
itu,” ujarnya. “Dan kita
551
memiliki sistem software yang memungkinkan kita melacak kedua disk itu pada
waktu bersamaan.”
H* King
lalu mengklik pada Count—hitung. Selang beberapa saat, sebuah jendela Count
muncul dengan angka 1.129.
Hati Jeannie langsung menciut. “‘Kita bakal butuh waktu semalaman untuk
menelepon begitu banyak nomor!”
“Tunggu dulu, mungkin ada alternatif yang lebih baik.” Lasa mengetik
“Oke, ada satu Henry Irwin King di Amherst dan empat Henry I. King di
Boston.”
“Tentu saja mereka mau,” sahut Jeannie. Itu namanya nekad. Ia tahu bahwa ia
akan mendapat masalah. Ia
552
cuma tidak mau menunggu sampai pagi. Ini terlalu berarti baginya. “Aku akan
bilang bahwa aku dari dinas kepolisian, bahwa aku sedang melacak seorang
pembunuh berantai.”
Lisa menerangi bagian yang dimaksud, lalu menekan tombol F2-Dari modem
komputer keluar serentetan suara bip Jeannie mengangkat pesawat teleponnya.
Ia mendengar tujuh kali deringan, lalu suatu suara mengantuk menjawab, “Ya?”
“Saya Detektif Susan Farber dari Dinas Kepolisian Amherst,” ujar Jeannie. Ia
sudah setengah siap akan mendengar. Sialan, tapi laki-laki itu ternyata tidak
bereaksi. Dengan nada tegas ia melanjutkan, “Kami meminta maaf telah
mengganggu Anda pada tengah malam begini, tapi urusan ini betul-betul
mendesak. Apakah saya berbicara dengan Henry Irwin King?”
Dari suaranya, sepertinya ia seorang laki-laki setengah baya, tapi Jeannie masih
ingin memastikannya. “Ini cuma masalah rutin.”
Salah. “Rutin?” ujar laki-laki itu dalam nada mulai marah. “Tengah malam
begini?”
“Anda tidak memiliki seorang putra dengan nama yang sama, bukan?”
“Tidak, aku hanya punya tiga anak perempuan. Aku bisa kembali tidur
sekarang?”
553
lagi. Terima kasih untuk kerja sama Anda dengan pihak kepolisian, dan selamat
beristirahat.” Jeannie menutup pesawatnya, lalu menatap dengan wajah berbinar
ke arah Lisa. “Betul, kan? Dia berbicara denganku. Dia tidak menyukai itu, tapi
dia berbicara.”
Jeannie tertawa. “Yang penting nekad. Ayo kita coba yang bernama Henry I.
King. Aku akan menelepon dua yang pertama, kau dua yang terakhir.”
Ternyata sistem putar otomatis itu tidak dapat digunakan berdua. Jeannie
mengambil sebuah buku notes dan bolpoin, lalu mencatat kedua nomornya.
Sesudah itu, ia mengangkat pesawat telepon dan mulai memutar nomornya.
Suara seorang laki-laki yang menjawab. Jeannie mulai beraksi, “Saya Detektif
Susan Farber dari dinas kepolisian kota Boston…”
“Buat apa menelepon aku malam-malam begini!” sembur laki-laki itu dalam
nada marah. “Kau tahu aku siapa?”
Lisa juga sudah menutup pesawatnya. “Aku dapat orang Jamaica, dan itu dia
buktikan dengan aksennya,” ujarnya. “Rupanya yang kaudapat tidak begitu
simpatik.”
“Amat.”
554
Jeannie tidak man menyerah hanya gara-gara ulah seorang laki-laki yang tidak
ramah. “Tidak,” ujarnya. “Aku masih tahan menghadapi kata-kata yang sedikit
kasar.”
“Terserah kau.”
“Dari suaranya, sepertinya dia sudah jauh melampaui usia dua puluh dua tahun,
jadi kita boleh melupakannya. Ayo kita coba dua yang lain.”
Sambil menyilangkan lengannya, ia mulai memutar lagi.
Henry King ketiga ternyata belum tidur; ada suara musik di latar belakang, dan
suara-suara lain dalam ruangan itu. “Yeah, siapa ini?” ujarnya.
Gaya berbicaranya persis seperti Steve, sehingga untuk sesaat Jeannie merasa
jantungnya berhenti berdetak. Yang ini mungkin salah satu di antara clone-clone
itu. Tapi bagaimana ia dapat mengatasi sikap curiganya? Jeannie memutuskan
untuk menantangnya. “Bagaimana kalau Anda menelepon saya kembali di
kantor polisi?”
Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Sudahlah, tidak usah,” jawah suara itu.
“Aku Henry King,” ujarnya. “Mereka memanggilku Hank. Apa yang Anda
inginkan?”
“Boleh aku cek dulu, kapan tanggal lahir Anda dan tempatnya?”
“Aku lahir di Fort Devens, persisnya dua puluh dua tahun yang lalu. Ini hari
ulang tahuuku, ehm… kemarin sebetulnya, hari Sabtu.”
555
antara - mereka. Sekarang ia harus memastikan, apakah anak muda itu berada di
Baltimore pada hari Minggu yang lalu. Ia mencoba untuk tidak terdengar terlalu
antusias saat bertanya, “Dapatkah Anda mengungkapkan pada saya, kapan Anda
keluar daerah terakhir kali?”
“Aku bekerja.”
“Ehm, aku seorang mahasiswa di MIT, tapi pada hari Minggu, aku bekerja
melayani meja bar di Blue Note Cafe di Cambridge.”
Jeannie mencatat itu. “Jadi, Anda di situ pada hari Minggu yang lalu?”
“Terima kasih, Mr. King.” Kalau itu benar, berarti dia bukan laki-laki yang
memerkosa Lisa. “Bisakah Anda memberikan nomor telepon kafe itu, agar saya
dapat mengkonfirmasi alibi Anda?”
“Aku tidak ingat, tapi pasti ada di buku telepon. Pelanggaran apa kira-kira yang
telah kulakukan?”
Benar-benar meresahkan bagi Jeannie untuk mendengar suara Steve, tapi tahu
bahwa yang berbicara itu orang lain. Andai kata ia dapat melihat tampang Henry
King, untuk mengecek persamaan fisiknya. Dengan perasaan enggan ia
mengakhiri percakapan itu. “Terima kasih sekali lagi. Sir. Selamat malam.” Ia
menutup pesawatnya, lalu mengembuskan napas. “Whew!”
556
“Ya, dia dilahirkan di Fort “Devens dan dia berusia dua puluh dua tahun hari ini.
Dia memang Henry King yang kita cari.”
“Hebat!”
“Tapi rupanya dia punya alibi. Katanya dia bekerja di sebuah bar di Cambridge.”
Jeannie mengecek catatannya. “The Blue Note.”
“Kita cek sekarang?” Insting berburu Lisa rupanya mulai tergugah.
Jeannie mengangguk- “Sudah malam sekali, tapi sebuah bar tentunya masih
buka, terutama pada malam Sabtu. Kau bisa lacak nomornya dari CD-ROMmu?”
“Saya Detektif Susan Farber dari dinas kepolisian Boston. Tolong hubungkan
saya dengan manajer bar ini.”
“Aku manajernya, ada apa?” Laki-laki itu memiliki aksen Hispanik, dan nada
suaranya terdengar agak cemas.
Rupanya Henry King sudah pernah berurusan dengan pihak berwajib. “Mungkin
tidak apa-apa. Kapan Anda melihatnya terakhir kali?”
“Hari ini, maksudku kemarin, hari Sabtu, dia dapat giliran kerja pagi.”
“Dan sebelumnya?”
“Coba sebentar, hari Minggu yang lalu dia bekerja dari pukul empat sampai
tengah malam.”
557
‘Tentu, kenapa tidak*? Siapa pun yang terbunuh, pasti bukan si Hank
pelakunya.”
“Oh, tidak apa.” Si manajer kedengarannya lega bahwa hanya itu yang
ditanyakan Jeannie. Andai kata aku seorang polisi sungguhan, pikir Jeannie, aku
akan tahu bahwa dia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. “Silakan
hubungi aku kapan saja ” Laki laki itu menutup pesawatnya.
“Jangan sedih,” ujar Lisa. “Kita boleh bangga bisa mengeliminasinya dalam
waktu begitu singkat—terutama mengingat namanya yang begitu umum. Ayo
kita coba si Per Ericson. Pasti tidak banyak yang memakai nama itu.”
Menurut daftar dari Pentagon, Per Ericson lahir di Fort Rucker, tapi dua puluh
dua tahun kemudian, tidak ada lagi yang bernama Per Ericson di Alabama. Lisa
mencoba:
P* Erics$n
Ternyata ada tiga yang memakai nama itu di Philadelphia. Yang pertama ternyata
seorang homo, yang kedua, dari suaranya, seorang laki-laki tua yang sudah
rapuh, dan yang ketiga seorang wanita, Petra. Jeannie dan Lisa mulai melacak
semua P. Ericson yang tinggal di Amerika; ternyata ada tiga puluh tiga orang.
558
P. Ericson kedua yang ditangani Lisa ternyata berdarah panas dan bermulut
kasar. Wajah Lisa amat pucat saat menutup pesawatnya, namun setelah minum
secangkir kopi, ia melanjutkan pekerjaannya kembali.
Setiap telepon merupakan suatu drama kecil tersendiri. Jeannie betul betul harus
mengumpulkan seluruh keberaniannya dalam usahanya berpura-pura menjadi
polisi. Sungguh-sungguh meresahkan menantikan kemungkinan ia dijawab oleh
laki-laki yang pernah mengatakan kepadanya, Jangan macam-macam, atau
kuhajar kau. Kemudian ia masih harus mengatasi rasa tegang saat
mempertahankan peran detektif polisi dalam menghadapi sikap curiga atau kasar
dari mereka yang menjawab teleponnya. Dan biasanya hasilnya mengecewakan.
“Dia seorang juara main ski, rupanya. Lehernya patah saat mencoba sesuatu
yang berbahaya.*’
Si nekat yang tidak kenal takut. “Sepertinya dia memang yang kita cari.”
Tak pernah terpintas dalam diri Jeannie bahwa tidak semua dari kedelapan clone
itu masih dalam keadaan hidup. Tapi kini ia menyadari bahwa pasti ada lebih
dari delapan implantasi dalam kasus ini. Bahkan kini.
559
di saat tekniknya sudah jauh lebih canggih, masih sering terjadi kegagalan.
Selain itu, masih ada kemungkinan bahwa beberapa ibu mengalami keguguran.
Pihak Genetico rupanya telah bereksperimen atas sekitar lima belas atau dua
puluh orang wanita, atau bahkan lebih.
“George Dassault.”
Jeannie mulai yakin bahwa mereka akan menemukan si pemerkosa itu, namun
ternyata mereka tidak begitu beruntung dengan nama tersebut. Ternyata hanya
ada tujuh George.Dassault di Amerika, tapi tiga di antaranya tidak menjawab
telepon mereka. Sepertinya tak satu pun bisa dihubungkan dengan kasus di
Baltimore ataupun Philadelphia—yang satu ada di Buffalo, satu di Sacramentn,
dan satu lagi di Houston—tapi itu belum membuktikan apa-apa. Tidak ada yang
dapat mereka lakukan selain melanjutkan usaha. Lisa mencetak daftar nomor
telepon yang mereka peroleh, untuk mereka coba lagi kemudian.
Masih ada satu kendala lagi. “Kukira kita tidak dapat memastikan bahwa orang
yang kita cari ada di CD-ROM itu,” ujar Jeannie.
“Memang. Mungkin saja dia tidak punya telepon. Atau nomornya tidak
terdaftar.”
“Dia bisa memakai nama lain, seperti Spike Dassault atau Flip Jones.”
Lisa cekikikan. “Mungkin dia seorang penyanyi rap dan sudah mengganti
namanya menjadi Icey Creamo Creamy.”
“Mungkin dia seorang jago gulat bernama Iron Billy.” “Atau penulis skenario
film koboi dengan nama Buck Remington.”
560
“Atau bintang film porno sebagai Heidi Whiplash.” “Dick Swiftly.” “Henrietta
Pussy.”
Derai tawa mereka tiba-tiba dihentikan oleh bunyi pecahan gelas yang
berserakan. Jeannie segera turun dari bangkunya dan lari ke lemari peralatan, la
menutup pintunya lalu berdiri dalam kegelapan, sambil memasang telinga.
Ia mendengar suara Lisa yang berkata dalam nada cemas, “Siapa di situ?”
“Sekuriti,” jawab suara seorang laki-laki. “Anda yang meletakkan gelas itu di
situ?”
“Ya.”
“Oke. tapi aku tidak akan membersihkan itu. Aku bukan petugas kebersihan.”
“Tak apa, biarkan saja” “Anda sendirian. Miss?”
“Ya”
Lisa berada agak jauh. “Aku senang omong-omong, tapi aku tidak punya waktu
sekarang. Aku sedang sibuk sekali.”
561
sini tengah malam begini. Jadi, kenapa kau tidak segera keluar saja dan
meninggalkannya sendirian?
“Oke, tak apa.” Suaranya persis di muka pintu itu. “Ada apa di sini?”
“Di situ kami menyimpan kromosom virus radioaktif,” jawab Lisa “Rasanya sih
cukup aman untuk masuk ke situ, kalau tidak dikunci.”
Jeannie menahan tawanya. Mana ada yang disebut kromosom virus radioaktif?
Untuk sesaat tidak terdengar apa-apa. Ketika ia berbicara lagi, suaranya sudah
lebih jauh. Jeannie merelaks. “Kalau Anda kesepian, mampirlah di rumah jaga.
Akan kubuatkan secangkir kopi untuk Anda.”
Murray Claud merupakan nama yang langka, sehingga dalam waktu singkat
mereka berhasil melacaknya. Jeannie yang menelepon kali ini. Murray Claud
senior mengungkapkan kepadanya, dalam nada penuh kepahitan dan emosi,
bahwa putranya masuk penjara di Athens sejak tiga tahun yang lalu, setelah
suatu perkelahian dengan pisau di sebuah taverna, dan tidak akan dilepas,
sebelum bulan Januari. “Anak muda itu sebetulnya bisa menjadi apa saja,”
ujarnya. “Antariksawan, pemenang
562
hadiah Nobel, bintang film, presiden Amerika Dia punya otak, pembawaan, dan
tampang yang baik. Tapi dia mencampakkannya begitu saja. Begitu saja”
Mereka menyisihkan Harvey Jones untuk yang terakhir, karena mereka tahu ia
akan paling sulit dilacak.
Jeannie menjadi kecil hati mendapati bahwa ada hampir sejuta orang yang
bernama Jones di Amerika, dan H merupakan inisial yang sangat umum. Nama
tengahnya John. Ia dilahirkan di Walter Reed Hospital di Washington. DC,
karena itu Jeannie dan Lisa terpaksa menelepon semua Harvey Jones, semua H J.
Jones, dan semua H. Jones yang terdapat di buku telepon Washington. Mereka
tidak menemukan seorang pun yang dilahirkan kira-kira dua puluh dua tahun
yang lalu di Walter Reed; tapi gawatnya mereka malah mendapatkan sebuah
daftar panjang mengenai kemungkinan—dari orang-orang yang tidak
mengangkat pesawat mereka.
Sekali lagi Jeannie mulai meragukan keberhasilan cara yang mereka tempuh.
Mereka sudah memiliki Uga George Dessault yang masih terkatung-katung, dan
kini sekitar dua puluh atau tiga puluh H. Jones. Secara ter> retis, cara pelacakan
ini sebetulnya sudah baik, tapi andai kala telepon mereka tidak dijawab, ia tidak
dapat menanyai orang yang bersangkutan. Mata Jeannie mulai berkunang-
kunang dan ia merasa gelisah karena terlalu banyak minum kopi dan kurang
tidur.
Pada pukul empat pagi, Jeannie dan Lisa mulai menelusuri para Jones yang
tinggal di Philadelphia.
“Astaga.”
“Hanya dijawab mesin, tapi itu suaranya, dan dia tinggal di Philadelphia, dekat
tempat aku diserang.”
564
BAB 53
“Mereka berada di Pusat Komando Data. Aku masih mengikuti proses untuk
menyidik apa persisnya rencana mereka. Coba cari cara untuk menemukan si
anak muda, atau cewek Ferrami itu.”
Berrington sudah tidak merasa keberatan melakukan itu. Situasinya sudah terlalu
gawat. Ini bukan lagi saatnya untuk mempermasalahkan harga dirinya. Kalau ia
gagal menghentikan Jeannie, ia tidak akan memiliki harga diri lagi sedikit pun.
Ketika ia kembali ke rumah keluarga Logan, suasana sudah gelap, dan sepi, dan
mobil Mercedes merah Jeannie sudah pergi. Ia menunggu di situ selama satu
jam, tapi tidak ada yang muncul. Ia memperkirakan Jeannie sudah pulang, jadi ia
kembali ke Baltimore, bolak-balik melin—
565
tasi jalan tempat tinggal Jeannie, tapi mobilnya ternyata juga tidak di sana.
Hari sudah mulai terang ketika akhirnya ia memarkir kendaraannya di luar
rumahnya sendiri di Roland Park. Ia masuk ke dalam, lalu menelepon Jim, tapi
tidak ada yang menjawab, baik di rumahnya maupun di kantornya. Berrington
merebahkan diri di tempat tidurnya, tanpa melepaskan pakaian. Ia memejamkan
mata, tapi tetap terjaga dengan pikiran resah, meskipun ia capek.
Pada pukul tujuh ia bangun, lalu mencoba menelepon lagi. Ia masih belum bisa
menghubungi Jim. Ia pergi mandi, bercukur, lalu mengenakan celana panjang
hitam dari bahan katun dan kemeja polo bergaris-garis. Ia memeras segelas besar
air jeruk, lalu meminumnya sambil berdiri di dapur, la mencoba membaca edisi
hari Minggu Sun, sebuah koran terbitan Baltimore, namun kepala beritanya sama
sekali tidak ada artinya baginya, seakan kata-katanya ditulis dalam bahasa
Finlandia.
Jim telah menghabiskan separuh dari malam itu di Pentagon, bersama seorang
teman, yang juga seorang jenderal, untuk menanyai personel Pusat Data, dengan
dalih mereka sedang menyidik suatu kasus pelanggaran sekuriti. Si jenderal,
teman Jim dari masa-masa CIA-nya, hanya tahu bahwa Logan sedang berusaha
membongkar suatu misi penyusupan dari tahun tujuh puluhan, dan Jim ingin
mencegahnya.
Kolonel Logan, yang masih ditahan, tidak mau mengatakan apa-apa selain Aku
ingin seorang pengacara. Namun hasil pelacakan Jeannie masih terpampang di
terminal komputer yang habis digunakan Steve, sehingga Jim tahu mengenai apa
yang telah mereka temukan. “Rupanya kau pernah menginstruksikan agar bayi-
bayi itu menjalani elektrokardiogram,” ujar Jim.
Berrington rupanya sudah lupa mengenai itu, tapi kini ia ingat lagi. “Ya, betul.”
566
“Kedelapan-delapannya.”
“Kan aku sudah bilang tempo hari. bahwa kita harus menyingkirkan dia.”
Jim memang paling menyebalkan kalau sedang stres. Setelah melewati malam
tanpa tidur, Berrington tidak memiliki kesabaran untuk menghadapinya. “Kalau
kau bilang begitu lagi, akan kuledakkan kepalamu, sungguh!”
“Oke, oke!”
“Ya Dia bilang habislah kita, tapi dia selalu mengatakan itu.”
Nada suara Jim terdengar datar dan rendah. “Kau mungkin sudah siap untuk
menyerah. Berry, tapi aku tidak,” ujarnya “Kita harus menjaga agar rahasia ini
tetap tertutup, sampai acara jumpa pers besok. Kalau itu berhasil kita lakukan,
proses pengambilalihan itu akan berlangsung dengan mulus.”
“Sesudah itu, kita akan memiliki seratus delapan puluh juta dolar, dan itu bisa
menutup banyak mulut”
Berrington ingin mempercayainya. “Kau memang lihai, lalu apa yang harus kita
lakukan sekarang?”
“Kita harus mencari tahu, seberapa banyak yang mereka ketahui. Tidak ada yang
dapat memastikan, apakah
567
Steven Logan mengantongi copy daftar nama dan alamat dalam sakunya
sewaktu dia kabur. Letnan wanita di Pusat Data itu bersikeras bahwa dia tidak
membawa apa-apa, tapi ucapannya bukan merupakan jaminan bagiku. Nyatanya,
alamat-alamat di tangannya itu sudah berusia dua puluh dua tahun. Tapi yang
ingin kutanyakan adalah, apakah melalui nama-nama itu Jeannie Ferrami dapat
menelusuri keberadaan mereka?’*
“Kurasa aku bisa menghubungi mereka, dan mencari tahu apakah mereka sudah
mendengar sesuatu darinya.”
Nama dari para clone itu, beserta nomor telepon mereka, tertulis dalam kode
sederhana, dalam Buku Pintar-nya. Ia mengeluarkan buku itu dari dalam laci
meja tulisnya.
estate yang menelepon untuk menanyakan apakah h»luarga itu punya minat
untuk menjual rumah mereka, atau apakah orangtua si anak tertarik untuk
membeli buku yang memuat informasi tentang beasiswa yang bisa diperoleh
anak-anak para mantan personel militer. Ia mengikuti dengan prihatin, sementara
kebanyakan di antara mereka berkembang dari anak-anak yang pintar tapi sulit
diatur menjadi remaja-remaja yang bandel dan tidak kenal takut, kemudian
orang-orang dewasa yang brilian tapi kurang stabil. Mereka adalah produk
sampingan yang kurang beruntung, hasil dari suatu eksperimen yang memiliki
nilai sejarah. Ia tidak pernah menyesali eksperimen itu sendiri, meskipun ia toh
merasa bersalah atas keberadaan anak-anak itu. Ia menangis ketika Per Ericson
meninggal gara-gara melakukan akrobatnya di suatu tempat bermain ski di Vail.
Berrington berkata, “Aku dari Bell Telephone, Sir, dan kami sedang mengadakan
pengecekan mengenai gangguan melalui telepon. Apakah Anda menerima
telepon yang aneh atau tidak biasanya selama dua puluh empat jam terakhir ini?”
“Tidak, aku tidak bisa bilang lain. Tapi aku keluar kota sejak hari Jumat, jadi aku
tidak di sini, kalaupun telepon seperti itu masuk.”
569
“Ya, tapi aku tidak ingat namanya. Sarah, Carol, Margaret, atau… Susan. Ya, itu
dia, Detektif Susan Farber.”
Nah, jelaslah sudah. Susan Farber adalah pengarang dari Identical Twins Reared
Apart, satu-satunya buku mengenai topik itu. Jeannie telah menggunakan nama
pertama yang terpintas dalam kepalanya ketika itu
570
Artinya daftar itu sudah ada padanya. Berrington termangu sejenak, kemudian
dengan geram ia melanjutkan pertanyaannya. “Apa yang dia katakan. Sir?”
Itu untuk memastikan bahwa ia berbicara pada Henry King yang sedang
dicarinya.
“Aku merasa itu agak aneh,” lanjut Hank. “Buat apa dia tanyakan itu?”
Berrington segera memutar otak. “Rupanya dia sedang mencari masukan untuk
sebuah perusahaan asuransi. Memang tidak legal caranya, tapi toh sering
dilakukan. Kami minta maaf telah menggangu Anda, Mr. King, dan terima kasih
untuk kerja sama Anda.’*
‘Tentu.”
571
BAB 54
‘Tapi kau tahu bahwa aku benar!” protes Jeannie. “Aku benar mengenai Wayne
Stattner. Ternyata dia memang kembaran Steve.”
“Kecuali warna rambutnya. Dan dia memiliki alibi.” “Lalu apa yang akan
kaulakukan?” “Aku akan menelepon dinas kepolisian Philadelphia dan berbicara
dengan seseorang dari Unit Tindak Kejahatan Seks di sana, untuk meminta
mereka melakukan pengecekan. Aku akan mengirimi mereka gambar E-FIT
melalui faks itu. Mereka akan mengecek, apakah Harvey Jones memenuhi ciri-
ciri dalam gambar rekaan itu, dan menanyakan kepadanya apakah dia dapat
merinci kegiatannya pada hari Minggu sore yang lalu. Kalau jawabannya adalah
Ya dan Tidak, berarti kita memiliki seorang calon tersangka.”
572
Bangunan yang ditinggali Harvey Jones ternyata sebuah rumah bergaya Victoria
yang besar dan kurang terpelihara, dan dibagi-bagi menjadi beberapa apartemen.
Jeannie menemukan sebuah tempat parkir di seberang jalan, dan selama
beberapa saat ia menunggu di situ, m mengawasi pintu keluarnya. „ Pada pukul
sebelas, ia masuk ke dalam.
573
Dia tinggal di sini, ujar Jeannie pada dirinya, sementara bulu kuduknya berdiri.
Apakah dia ada di rumah saat ini?
Harvey menempati kamar nomor 5B, jadi di lantai paling atas. Jeannie mengetuk
pintu pertama di lantai dasar. Seorang laki-laki bermata lamur dengan rambut
panjang dan cambang acak-acakan muncul di pintu, bertelanjang kaki. Jeannie
memperlihatkan foto itu padanya. Ia menggeleng, lalu membanting pintunya.
Jeannie teringat penghuni di bangunan yang ditinggali Lisa, yang berkata
kepadanya. Memangnya kaukira kau di mana. Non—Hicksville, USA?
Bagaimana tampang tetanggaku saja aku nggak tahu.
Jeannie mengenakkan giginya, lalu naik empat tingkat menuju lantai teratas. Ada
sebuah kartu dalam bingkai metal kecil pada pintu nomor 5B itu, yang cuma
ditulisi Jones. Selain itu tidak ada yang aneh.
Jeannie berdiri di luar sambil memasang telinga, namun yang terdengar olehnya
hanyalah degup ketakutan jantungnya sendiri. Dari dalam tidak ada suara sedikit
pun. Rupanya Harvey Jones tidak di dalam.
Jeannie mengetuk pintu nomor 5A. Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka
dan seorang laki-laki kulit putih yang sudah berumur muncul. Ia mengenakan
setelan bergaris-bergaris putih yang dulunya pasti bagus, ft dan warna rambutnya
begitu merah sehingga pasti bekas, dicat. Tampangnya cukup ramah. “Hai,”
tegurnya.
“Tidak.”
Si tetangga menerima foto itu darinya, lalu menyipitkan matanya. “Yeah. ini
fotonya”
574
Laki-laki ini seorang homo, tebak Jeannie. Seorang homo tua yang elegan.
Jeannie tersenyum. “Menurutku juga Anda tahu ke mana dia pergi?”
“Dia tidak pernah ada di rumah pada hari Minggu. Pergi sekitar pukul sepuluh,
dan baru pulang setelah makan malam.”
“Iya, Non. Kukira begitu.” Ternyata dia, tak bisa tidak. “Anda tahu ke mana
perginya?” “Tidak.”
Laki-laki itu berkata lagi, “Dia tidak banyak bicara. Malah dia sama sekali tidak
suka bicara. Kau seorang detektif?”
“Bukan-,,
“Apa yang telah dia lakukan?”
Jeannie tampak ragu sebentar, kemudian berkata kepada dirinya, Kenapa tidak
kuceritakan saja padanya apa adanya? “Kukira dia seorang pemerkosa” ujarnya
Laki-laki itu rupanya sama sekali tidak terkejut. “Aku bisa percaya itu. Dia
memang aneh. Aku pernah melihat beberapa gadis meninggalkan tempat ini
sambil mengisak. Dua kali itu terjadi.”
“Andai kata aku bisa melihat kamarnya.” Mungkin ia akan menemukan sesuatu
yang dapat menghubungkan si Harvey dengan kasus pemerkosaan itu.
“O ya?”
575
Laki-laki itu tampak ragu. “Aku juga kepingin lihat-lihat sebetulnya Tapi
bagaimana kalau dia tiba-tiba muncul selagi kita di dalam? Badannya besar—
rasanya tidak enak kalau dia marah-marah padaku.”
Jeannie juga takut menghadapi kemungkinan itu. namun rasa ingin tahunya toh
lebih besar. “Aku yang akan tanggung risikonya, kalau Anda mau,” ujarnya
Apa yang akan ia temukan di dalam sana? Sebuah kuil penuh kesadisan seperti
di tempat tinggal Wayne Stattner? Sebuah kamar jorok dengan dus-dus berisi
sisa makanan di mana-mana dan pakaian kotor berceceran di sana-sini? Atau
kerapian tiada tara dari seorang pribadi yang dikuasai suatu obesi?
Maldwyn berkata, “Jangan sentuh apa-apa, lihat-lihat saja Aku tidak mau dia
curiga bahwa aku masuk ke sini.”
576
Ia menelusuri rak bukunya, dan melihat buku Marquis de Sade, One Hundred
Days of Sodom, dan sejumlah pita video pomo dengan judul-judul seperti Pain
dan Extreme. Selain itu masih ada beberapa buku teks bidang ilmu ekonomi dan
bisnis; rupanya Harvey sedang mengejar gelar MBA.
”Bagaimana kalau aku melihat koleksi pakaiannya?” tanya Jeannie. la tak ingin
membuat Maldwyn tersinggung.
Jeannie merasa kecewa Di sinilah monster itu tinggal, namun suasananya tidak
mengungkapkan kesan bahwa penghuninya menderita gangguan jiwa; ini cuma
sebuah kamar yang berantakan, dengan beberapa unsur pornografi yang
menjijikkan.
“Aku sudah selesai,*’ ujarnya pada Maldwyn. “Aku tidak begitu yakin apa yang
harus kucari.”
Kemudian ia melihatnya.
“Si bajingan mengenakan topi itu ketika memerkosa sahabatku. Ayo kita keluar
dari sini.”
578
Ya Tuhan, Jones! \^
Tiba-tiba ia teringat gerakan yang dibuat Harvey di sebuah kafe saat bertemu
dengannya di Philadelphia Anak muda itu mengusap alisnya dengan ujung jari
telunjuknya. Ia sudah merasa tidak enak ketika itu, karena ia yakin pernah
melihat gerakan itu sebelumnya. Ia tidak ingat siapa yang juga melakukannya,
sehingga antara sadar dan tidak, ia menarik kesimpulan bahwa tentunya itu Steve
atau Dennis, karena para clone cenderung memiliki kebiasaan yang sama. Tapi
sekarang ia ingat. Berrington-lah yang melokukannya. Berrington suka
mengusap alisnya dengan ujung jari telunjuk. Sesuatu mengenai kebiasaan itu
membuat Jeannie merasa terganggu, entah kenapa. Kebiasaan ini tidak dimiliki
oleh para clone yang lain, tidak seperti halnya menutup pintu dengan tumit
mereka saat memasuki sebuah ruangan. Harvey memperoleh kebiasaan itu dari
ayahnya, sebagai suatu pengungkapan rasa puas.
Harvey mungkin sedang berada di rumah Berrington saat ini.
579
BAB 55
Preston Barck dan Jim Proust tiba di rumah Berrington sekitar tengah hari, dan
saat itu mereka sedang berada di ruang duduk sambil minum bir. Tak seorang
pun di antara mereka bisa tidur cukup pada malam sebelumnya, sehingga
tampang mereka betul-betul capek. Marianne, yang mengurus rumah tangga
Berrington, sedang menyiapkan hidangan siang, dan aroma harum masakannya
berembus masuk dari arah dapur. Namun tidak ada sesuatu pun yang dapat mem
bangkitkan gairah ketiga mitra itu.
“Jeannie sudah berbicara dengan Hank King dan ibu Per Ericson,” ujar
Berrington tanpa semangat. “Aku tidak berhasil mengecek yang lain, tapi dia
akan menemukan mereka semua dalam waktu tidak terlalu lama.”
Jim berkata, “Sebaiknya kita bersikap realistis. Apa persisnya yang dapat dia
lakukan pada jam ini besok?”
Preston Barck rupanya sudah siap mati. “Akan kukatakan padamu, apa yang
akan kulakukan andai kata aku berada dalam posisinya.” ujarnya. “Aku akan
menyebarkan hasil lemuanku secara luas, jadi andai kata aku bisa menghubungi
dua atau tiga di antara anak-anak muda itu, akan kuajak mereka ke New York
dan kutam-pilkan mereka dalam acara Good Morning America.
580
Sebuah mobil berhenti di luar. Jim melongok ke luar jendela, lalu berkata,
“Mobil Datsun karatan.”
Preston berkata, “Aku mulai menyukai ide Jim untuk mengeliminasi mereka
semua.”
“Pokoknya aku tidak setuju cara itu!” teriak Berrington.
“Sabar, Berry,” ujar Jim dalam nada tenang yang tidak biasanya. “Terus terang
aku cuma membual sedikit ketika mengusulkan itu. Dulu aku bisa menyuruh
orang untuk membunuh, tapi sekarang tidak. Aku sudah meminta banyak dari
teman-teman lamaku selama beberapa hari terakhir ini, dan meskipun sejauh ini
semuanya masih oke, aku toh tahu bahwa akan ada batasnya.”
“Kita dekati kedelapan keluarga itu dengan cara halus. Kita akui bahwa kita
telah melakukan kesalahan di klinik itu beberapa tahun yang lalu. Kita katakan
bahwa tidak ada pihak yang dirugikan sejauh ini. tapi kita ingin mencegah
sensasi. Kita tawarkan pada mereka masing-masing satu juta dolar sebagai
kompensasi. Dan kita akan lunasi itu dalam tenggang waktu sepuluh tahun,
dengan syarat pembayaran akan dihentikan begitu mereka berbicara—entah
kepada siapa pun: pihak pers, Jeannie Ferrami, para ilmuwan, pokoknya tidak
peduli siapa.”
“Betul. Dia tidak bakal mau, biarpun demi sepuluh juta dolar.”
“Semua itu ada harganya,” ujar Jim, penuh dengan keyakinan lamanya.
“Setidaknya, tidak banyak yang dapat dia lakukan tanpa kerja sama dari satu
atau dua keluarga yang lain.”
Jim berkata, “Kita harus berusaha mencari tahu mengenai apa yang akan
dilakukan Jeannie; sampai seberapa jauh dia sudah tahu dan apa rencananya
sesudah itu.”
“Aku tidak melihat suatu cara pun untuk melakukan itu,” ujar Berrington.
“Aku melihat,” ujar Jim_ “Kita semua tahu bahwa ada seseorang yang dia
percayai, dan orang ini dapat mencari tahu, apa persisnya yang ada di dalam
kepalanya.”
Berrington merasa amarah mulai menjalari dirinya. “Aku tahu apa maksudmu.”
“Hai. Dad!” serunya. “JLai, Paman Jim, Paman Preston, apa kabar?”
Berrington menatap putranya dengan perasaan bangga yang berbaur dengan rasa
sedih. Penampilan anak muda itu benar-benar menyenangkan dalam celana
panjang korduroi biru laut dan haju katun biru langit. Setidaknya dia mewarisi
selera berpakaianku, ujar Berrington dalarn hati. la berkata, “Ada yang pedu kita
bicarakan, Harvey.”
582
Preston dan Jim keluar. Berrington berdiri, lalu memeluk Harvey. “Aku
mencintaimu. Nak,” ujarnya. “Meskipun kau jahat.”
“Aku jahat?”
“Apa yang kaulakukan pada gadis malang di ruang bawah gedung olahraga itu
adalah hal paling jahat yang dapat dilakukan oleh seorang laki-laki.”
Ya Tuhan, aku benar-benar gagal menanamkan dalam dirinya hatasan antara apa
yang benar dan apa yang salah, pikir Berrington. Tapi sekarang sudah terlambat
untuk menyesali itu. “Duduklah dan dengarkan aku baik-baik sebentar,” ujarnya.
Harvey duduk.
“Ibumu dan aku telah bertahun-tahun mencoba memiliki bayi, tapi ada beberapa
masalah,” ujarnya. “Ketika itu Preston sedang menekuni proses fertilisasi dalam
tabung, di mana sperma dan sel telur dipersatukan di laboratorium, kemudian
embrionya ditanam dalam kandungan.”
“Maksud Dad, aku ini dulunya bayi tabung?” Ini rahasia. Kau tidak boleh
mengungkapkannya kepada siapa-siapa, seumur hidupmu. Juga tidak pada
ibumu.”
583
“Masih ada sesuatu di balik itu. Preston mengambil sebuah embrio hidup, lalu
membelahnya, menjadi kembar.”
“Anak muda yang masuk tahanan waktu itu?” “Preston membelah embrio itu
lebih dari sekali.” Harvey mengangguk. Mereka semua sama cerdasnya. “Jadi,
ada berapa?” “Delapan.”
“Dari seorang letnan di Fort Bragg—tinggi, kuat, sehat, cerdas, agresif, dan
tampan.” “Dan ibunya?”
“Seorang juru tik sipil dari West Point, juga hasil seleksi yang ketat.”
Seulas senyum pahit membayang di wajah tampan anak muda itu. “Orangtua
kandungku.”
Melihat apa yang tersirat di wajah putranya, Berrington tidak dapat mengatakan
apakah Harvey mempercayainya atau tidak.
“Gila, kami makin mencintaimu dari hari ke hari, sementara kau jadi semakin
sulit dicintai. Setiap tahun selalu rapor yang sama dari sekolah: Ia amat agresif,
ia belum juga bisa membagi, ia memukul anak-anak lain, ia menghadapi
kesulitan dalam bekerja sama, ia mengacau ketenangan kelas, ia harus belajar
menghormati lawan jenisnya. Setiap kali kau dikeluarkan dari sekolah, kami
berkeliling ke mana-mana, meminta-minta dan
584
“Tidak, Nak, itu terjadi karena kesalahanku sendiri. Yang ingin kukatakan
padamu adalah, aku mencintaimu, apa pun yang telah kaulakukan, persis seperti
orangtua lain.”
Harvey masih tampak kurang yakin. “Kenapa Dad menceritakan ini padaku
sekarang?”
“Steve Logan, salah satu kembaranmu, menjadi subjek untuk suatu studi di
departemenku. Aku betul-betul kaget begitu melihatnya. Kemudian polisi
menahannya dengan tuduhan memerkosa Lisa Hoxton. Tapi seorang profesor,
Jeannie Ferrami, mulai curiga. Untuk menyingkat kisahnya, dia berhasil
melacakmu. Dia ingin membuktikan bahwa Steve Logan tidak bersalah. Dan ada
kemungkinan dia juga ingin mengungkapkan seluruh cerita mengenai clone-
clone itu serta menghancurkan aku.”
“Tenang, Dad, tidak ada yang terjadi. Aku cuma ikut naik mobilnya sebentar.
Dia benar-benar menggemaskan.”
585
“Ayo kita bicarakan apa yang harus kita lakukan sekarang. Kita harus mencari
tahu, apa rencana Jeannie Ferrami, terutama selama dua puluh empat jam
mendatang ini. Kau harus mencari tahu, apakah dia mempunyai bukti yang dapat
menghubungkan dirimu dengan Lisa Hoxton. Kami» belum dapat menemukan
cara lain untuk menghadapinya, kecuali satu ini.”
Harvey mengangguk. “Dad ingin aku pergi menemuinya dan berbicara padanya,
dengan pura-pura menjadi Steve Logan.”
“Ya.”
“Ya. Aku tidak suka memintamu melakukan ini. tapi lakukanlah demi kan
sendiri dan demi aku.”
“Mungkin aku terlalu khawatir. Kukira tidak begitu berbahaya untuk pergi ke
apartemen seorang cewek.”
“Cek dulu mobil-mobil yang ada di sekitar tempat itu. Mobilnya sebuah Datsun,
persis seperti milikmu, gara-gara itulah pihak kepolisian begitu yakin bahwa dia
pelakunya.”
“Masa!”
“Kalian seperti pasangan kembar identik, kalian akan selalu membuat pilihan
yang sama. Kalau mobilnya ada di situ, jangan masuk. Telepon aku, lalu kita
coba cari cara untuk memancingnya keluar.”
586
BAB 56
Ia tahu bahwa Jeannie akan mengira ia Steve, sebab hal itu sudah pernah terjadi
di Philadelphia. Tampang mereka memang betul-betul mirip. Tapi untuk
berbincang-bincang dengannya akan lebih sulit. Jeannie akan menyinggung
bermacam-macam topik yang harus ia pahami. Ia akan terpaksa menjawab
sambil berusaha untuk tidak membuka, kedoknya. Sikapnya harus cukup
meyakinkan, sampai ia tahu cukup banyak mengenai bukti-bukti yang sudah
dimiliki Jeannie, serta apa rencananya kemudian. Kalau ia tidak amal hati-hati,
ia bisa salah ucap dan membuka kedoknya sendiri.
Namun bahkan pada saat memikirkan secara serius mengenai risiko yang
dihadapinya dalam tugas penyamaran itu, ia hampir tak dapat menahan rasa
antusiasnya
588
menghadapi prospek akan bertemu dengan Jeannie lagi. Apa yang telah
dilakukannya di dalam mobil Jeannie merupakan pengalaman seksnya yang
paling seru. Bahkan lebih seru daripada ketika ia berada di ruang ganti pakaian
wanita, di saat mereka semua begitu panik. Setiap kali membayangkan saat ia
merobek pakaian Jeannie, sementara mobil itu meliak-liuk di jalan bebas
hambatan, ia menjadi terangsang.
Ia tahu bahwa ia harus memusatkan seluruh perhatiannya pada tugasnya saat ini.
Ia tidak boleh membayangkan wajah itu mengerut ketakutan dan kaki-kakinya
yang kuat mengentak-entak ke sana kemari. Ia harus mendapatkan informasi itu,
lalu pergi. Namun seumur hidupnya ia belum pernah melakukan sesuatu yang
relevan.
Begitu sampai di rumah, Jeannie langsung menelepon kantor polisi, la tahu
bahwa Mish tidak akan ada di sana. karenanya ia meninggalkan pesan unruk
meminta Mish agar segera menghubunginya kembali. Bukankah Anda sudah
meninggalkan pesan seperti itu tadi pagi?” tanya si penerima pesan.
“Aku akan usahakan untuk meneruskannya,” ujar suara itu dalam nada kurang
meyakinkan
Kemudian Jeannie menelepon rumah Steve, tapi tidak ada yang menjawab.
Tentunya Steve dan Lorraine sedang bersama pengacara mereka, untuk mencoba
melepas Charles. Steve pasti akan meneleponnya begitu ia sempat.
Jeannie merasa kecewa: ia begitu ingin mengungkapkan berita baik itu kepada
seseorang.
589
Steve mengenakan baju dari bahan katun yang warnanya sama seperti matanya,
dan tampangnya betul-betul menggemaskan. Jeannie mencium dan memeluknya
kuat-kuat, sambil membiarkan payudaranya menempel pada tubuh anak muda
itu. Tangan Steve yang semula di punggungnya, mulai (urun ke bawah. Baunya
sekarang lain lagi. Sepertinya ia memakai semacam aftershave beraroma
tumbuh-tumbuhan. Rasanya pun lain, seakan ia habis minum teh.
Selang beberapa saat, Jeannie menarik diri. “Jangan terlalu terburu-buru, ah,”
ujarnya sambil terengah-engah. Rupanya ia masih ingin menikmati tahapan ini.
“Ayo masuk dan duduk. Banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu!”
Steve duduk di sofa, sementara Jeannie menuju lemari es. “Anggur, bir, kopi?”
Apa maksud ucapannya itu? Nggak bakal apa-apa, menurutmu? “Nggak tahn,”
sahutnya.
Oke, mereka membuka sebotol anggur, tapi isinya tidak langsung mereka
habiskan waktu itu. Botolnya mereka tutup, lalu mereka simpan di lemari es.
Sekarang ia mempertanyakan apakah isinya masih baik. Tapi ia ingin aku yang
memutuskannya. “Coba sebentar, hari apa itu?”
590
Ia bahkan tidak dapat melihat apakah anggurnya merah atau putih. Sial “Tuang
saja di gelas, lalu kita coba.”
Tde bagus.” Jeannie menuang anggur itu ke dalam sebuah gelas, kemudian
menyodorkannya ke arahnya. Ia mencicipi. ‘“Bisa diminum,” ujarnya.
Jeannie berkata, “Daddy mencuri stereoku, ingat? Aku nggak punya apa-apa
untnk pasang musik. Eh, sebentar… ada.” Ia pergi ke kamar sebelah—kamar
tidurnya, tentunya—lalu kembali dengan sebuah radio tahan air yang biasanya
digantung di kamar mandi. “Mom memberikan ini padaku untuk hadiah hari
Natal, sewaktu dia masih waras”
“Suaranya jelek sekali, tapi cuma ini yang kumiliki.” Ia menyalakannya. “Aku
selalu memasang gelombang 92Q.”
591
Sial Steve tentunya tidak tahu apa-apa mengenai radio pemancar di Baltimore.
“Aku mendengar itu di mobil tadi, dalam perjalanan kemari.”
Aku nggak tahu soal selera Steve, tapi kau tentunya juga tidak tahu, jadi apa
adanya saja. “Aku suka rap—Snoop Doggy Dog, Ice Cube, dan semacam itu.”
“The Ramones, The Sex Pistols. The Damned. Maksudku, waktu aku masih
muda, zamannya punk, tahu? Ibuku selalu mendengar lagu-lagu cengeng dari
tahun enam puluhan yang nggak ada artinya sama sekali buatku, kemudian,
waktu aku berusia sebelas tahun, tiba-tiba, beng! Talking Heads. Kau ingat
‘Psycho Killer’?”
“Pasti nggak!”
‘JOke, ibumu benar, aku terlalu tua untukmu.” Jeannie duduk di sebelahnya. Ia
meletakkan kepalanya di pundak si pemuda, lalu menyusupkan*tangannya di
bawah baju biru langit Harvey, la mengusap-usap dadanya. Rasanya asyik sekali.
“Aku senang kau bersamaku di sini.” ujarnya.
Si anak muda juga ingin menggerayang-gerayang seperti itu, tapi ada hal-hal
yang lebih penting yang hams ia lakukan. Dengan susah payah akhirnya ia
berkata, “Ada hal-hal serius yang perlu kita bicarakan.”
“Kau benar.” Jeannie duduk lebih tegak, kemudian mencicipi anggurnya. “Kau
dulu. Ayahmu masih ditahan?”
Astaga, aku mesti bilang apa sekarang? “Nggak ah, kau dulu,” ujarnya.
“Kauhilang banyak yang mau kauceritakan padaku.”
“Oke. Nomor satu. aku tahu siapa yang memerkosa Lisa. Namanya Harvey
Jones, dan dia tinggal di Philadelphia.*”
592
“Aku menemukan topi pet baseball yang dipakainya hari Minggu itu. Topi itu
tergantung di sebuah kait di belakang pintunya.”
Edan! Mestinya kubuang itu tempo hari. Tapi mana aku tahu akan ada yang
berhasil melacakku! “Kau memang hebat,” ujarnya. Steve bakal senang sekali
mendengar ini; dia bakal bebas dari tuntutan itu. “Entah bagaimana caranya aku
menyatakan terima kasihku.”
“Belum. Aku sudah tinggalkan pesan untuk Mish, tapi dia belum menghubungi
aku kembali.”
Jeannie berkata lagi, “Jangan khawatir. Dia belum tahu bahwa kita sudah
berhasil menemukannya. Tapi kau belum dengar bagian terbaiknya. Siapa lagi
yang kita kenal juga bernama Jones?”
Aku mesti berlaku tercengang. “Ya Tuhan!” ujarnya. Apa yang mesti kulakukan
sekarang? Mungkin Dad punya ide. Aku harus melaporkan ini kepadanya. Aku
mesti mencari alasan untuk bisa meneleponnya.
593
‘Tumbuhnya cepat sekali’ Sewaktu kau baru keluar dari tahanan, kuku-kukumu
pada rusak dan berantakan. Sekarang bagus amat!”
Jeannie membalik tangan anak muda itu. lalu mulai menjilati telapaknya.
“Wah, aku terlalu bernafsu rupanya.” Sebelumnya sudah pernah ada yang
mengatakan itu kepadanya. Steve tidak banyak bicara sejak ia datang, dan kini
Jeannie mengerti alasannya. “Aku memahami maksudmu. Aku terus berusaha
menolakmu akhir minggu kemarin, tapi sekarang kau merasa seakan aku ingin
melahapmu mentah-mentah.”
Jeannie menurunkan panci itu. “Ya, untuk beberapa waktu. Pakai pakaian robek,
rambut dicat hijau.” “Obat bius?”
594
bentar. “Cuma di cuping hidungku,” sahutnya. “Aku mulai giat main tenis
sewaktu berumur lima belas tahun.”
“Tentu saja.”
“Brengsek.”
“Kau masih belum menceritakan padaku mengenai keadaan ayahmu. Apa dia
sudah dilepas?”
Andai kata ia memutar tujuh nomor. Jeannie akan tahu bahwa ia sedang
membuat sambungan lokal, padahal ayahnya sudah mengatakan kepadanya
bahwa Steve Logan tinggal di Washington, DC. Ia menahan kait pesawat itu
dengan tangannya saat memutar secara asal tiga buah nomor, sebagai kode
daerah, kemudian melepaskannya dan mulai memutar nomor rumah ayahnya.
Bagus, Dad. “Ya. Aku cuma tanya, apa Dad sudah dilepas sekarang?”
“Kolonel Logan masih ditahan, tapi tidak di kantor polisi. Dia ada di tangan
polisi militer.”
untuk melihat apakah aktingnya masih cukup meyakinkan. Namun Jeannie pasti
akan curiga, karena itu ia memaksa diri untuk terus memusatkan mata ke arah
dinding. “Jeannie betul-betul hebat. Mom. Dia berhasil menemukan si
pemerkosa yang sesungguhnya.” Ia berusaha memperdengarkan nada senang
dalam suaranya. “Namanya Harvey Jones. Kami masih menunggu telepon dari si
detektif untuk meneruskan berita itu kepadanya.” “Astaga” Gawat ini!”
“Aku belum tahu itu.” Sebaiknya aku putuskan dulu sebelum salah omong.
Oke! “Yah, kuharap Dad cepat dilepas. Hubungi aku begitu ada berita lagi,
oke?”
“Situasinya aman?”
“Minta saja bicara dengan Steve.” la tertawa, seakan baru saja membuat lelucon.
“Jeannie akan mengenali suaraku. Tapi aku bisa minta Preston untuk menelepon.
“Bagus.”
“Oke.”
Jeannie berkata, “Sebaiknya aku menelepon kantor polisi lagi. Mungkin mereka
tidak mengerti urgensinya.” Ia mengangkat pesawatnya.
596
597
“Ada apa sih?” ujar anak muda itu, namun aktingnya sudah tidak begitu
meyakinkan lagi; Jeannie dapat membaca dari apa yang tersirat di wajahnya,
bahwa ia tahu persis apa yang dimaksud Jeannie.
“Kau mengusap alismu dengan ujung jari telunjukmu, persis seperti yang sering
dilakukan Berrington.”
“Oke. Lalu apa masalahnya?” ujar anak muda itu sambil berdiri. “Kalau kami
memang begitu mirip saju sama lain, kau bisa pura-pura aku Steve.”
Anak muda itu membuka celananya. ““Mengingat kita sudah sampai sejauh ini,
aku tidak akan meninggalkan tempat ini dengan begitu saja.”
Harvey melangkah maju sambil tersenyum. “Aku akan buka jeans-mu yang ketat
itu.”
Harvey menyambar lap dari meja dapur, lalu men-jejalkannya dengan kasar ke
dalam mulut Jeannie, sam—
598
pai bibirnya lecet. Jeannie tidak dapat bernapas dan mulai batuk. Harvey
mencengkeram pergelangan tangannya sedemikian rupa, sehingga ia tidak dapat
menggunakan tangannya untuk mengeluarkan lap itu dari mulutnya. Jeannie
mencoba mendorongnya keluar memakai lidahnya, tapi ternyata tidak bisa,
karena lap itu terlalu besar. Dapatkah Mr. Oliver mendengar teriakannya? Laki-
laki itu sudah tua, dan biasanya ia memutar volume televisinya keras sekali.
Jeannie menarik keluar lap itu dari mulutnya, lalu berteriak, “Tolong! Tolong!”
Harvey membekap mulut Jeannie dengan tangannya yang besar, untuk meredam
teriakan-teriakannya, kemudian menjatuhkan diri di atas tubuhnya. Jeannie
terenyak, dan untuk sesaat tidak dapat berbuat apa-apa. Saat ia berusaha
bernapas, Harvey melepaskan celananya. Dengan nekat Jeannie meronta-ronta
dan mencoba mendorong tubuhnya, tapi ternyata ia terlalu berat.
Pesawat teleponnya masih berdering. Kemudian bel pintn juga ikut berdering.
Bel pintu itu berdering lagi, lama dan panjang. Jeannie meludahkan darah
Harvey dari dalam
Dari bawah terdengar suara benturan keras, kemudian sesuatu yang jebol dan
kayu yang berhamburan.
Steve dan Harvey saling berpandangan dengan tercengang selama beberapa saat.
Tampang mereka persis sama. Apa yang akan terjadi andai kata mereka
berkelahi? Tinggi, berat, kekuatan, dan kondisi mereka berimbang. Perkelahian
mereka tidak akan ada habisnya.
Seakan baru saja lari ke arah net dalam suatu pertandingan bola voli, Jeannie
mengangkat panci itu kembali tinggi-tinggi dengan tangan kanannya, lalu
menghantamkannya sekeras mungkin di bagian atas kepala Harvey.
600
itu, lalu duduk terenyak di sebuah bangku dapur Steve merangkul bahunya.
“Semua sudah berakhir sekarang,’ ujarnya.
“Belum,” sahut Jeannie. “Ini baru bagian awalnya.” Pesawat telepon Jeannie
masih berdering.
601
BAB 57
“Ini Harvey Jones,” sahut Jeannie. “Dan dia putra Berrington Jones.”
Jeannie mengawasi sosok yang tergeletak pingsan di lantainya itu. “Apa yang
harus kita lakukan sekarang?”
“Tidak!”
602
“Aku tahu.”
“Aku juga mengira begitu. Jadi, aku tidak punya pilihan lain selain menghadapi
mereka.”
Terdengar suara langkah kaki di tangga. Mr. Oliver melongokkan kepala melalui
pintu. “Apa sih yang terjadi di sini?” ujarnya. Ia mengalihkan matanya dari
Harvey yang tergeletak pingsan di lantai ke arah Steve, kemudian ke Harvey
lagi. “Ya Tuhan.”
Steve memungut celana Levi hitam Jeannie, yang lalu ia serahkan kepada si
pemilik. Jeannie mengenakannya cepat-cepat, untuk menutupi ketelanjangannya.
Andai kata Mr. Oliver melihat, ia cukup bijaksana untuk tidak
mengomentarinya. Sambil menunjuk ke arah Harvey, ia berkata, “Pasti ini orang
yang Philadelphia itu. Tidak heran kau mengira dia pacarmu. Mereka pasti
pasangan kembar!”
Steve berkata, “Aku akan mengikatnya sebelum dia sadar. Kau punya tali,
Jeannie?”
Mr. Oliver berkata, “Aku punya kabel listrik. Aku akan ambil kotak
perkakasku.” Ia keluar.
Jeannie memeluk Steve dengan penuh rasa syukur. Ia merasa seakan baru
terbangun dari mimpi buruk. “Kukira dia kau,” ujarnya. “Suasananya persis
seperti kemarin, tapi kali ini aku tidak ketakutan, dan ternyata aku benar.”
“Kita kan sudah berniat untuk membuat kode, tapi belum kesampaian.”
“Ayo kita buat sekarang. Sewaktu kau mendekati aku di lapangan tenis hari
Minggu yang lalu, kau bilang. Aku juga bisa main tenis sedikit.”
“Lalu dengan enaknya kau bilang, Kalau kau cuma bisa main tenis sedikit, kau
bukan tandinganku.”
“Itulah kodenya. Kalau salah satu di antara kita mengatakan baris pertama, yang
lain harus menjawabnya dengan yang kedua.”
“Oke.”
Mr. Oliver tampak salah tingkah. “Kuharap kalian mau memaafkan aku untuk
mengatakan ini, tapi dengan begini dia bisa buang air kecil sendiri. Aku belajar
ini di Eropa, selagi perang.” la mulai mengikat kaki Harvey. “Orang ini tidak
akan merepotkan kalian lagi. Nah, apa yang akan kalian lakukan dengan pintu
muka itu?”
Mr Oliver berkata, “Aku punya beberapa potong papan di kebun. Aku bisa
memasangnya, supaya kita bisa menutupnya untuk malam ini. Kemudian kita
panggil orang untuk memperbaikinya besok.”
Jeannie merasa amat berterima kasih kepadanya. “Terima kasih, Anda baik
sekali.”
“Tak apa. Ini peristiwa paling menarik yang pernah kusaksikan sejak Perang
Dunia Kedua.”
604
yang tergeletak di karpet itu.” Tanpa menunggu jawaban mereka, ia memungut
kotak perkakasnya, lalu pergi ke bawah.
Jeannie mulai memutar otak. “Besok Genetico akan dijual senilai seratus
delapan puluh juta dolar, lalu Proust akan mencalonkan diri sebagai presiden.
Sementara itu, aku akan menjadi penganggur dan reputasiku hancur. Aku tidak
akan bisa bekerja sebagai ilmuwan lagi. Tapi aku bisa mengubah situasinya,
dengan apa yang kuketahui sejauh ini.”
“Yah… aku bisa meneruskan isu mengenai eksperimen itu pada pihak pers.”
“Kau dan Harvey bisa menjadi bukti yang cukup dramatis. Terutama kalau
kalian bisa muncul di TV sama-sama.”
“Yeah—di tayangan Sixty Minutes atau entah apa. Aku menyukai idenya.”
Namun wajah Steve memanjang lagi. “Tapi Harvey tidak bakal mau diajak
bekerja sama.”
“Kita bisa membuat film darinya dalam keadaan terikat. Kemudian kita panggil
polisi, lalu mereka juga bisa membuat filmnya.”
Steve menjentikkan jarinya. “Aku tahu! Kita sela konferensi pers mereka.”
605
memutuskan untuk tidak menandatangani berkas-berkas itu, dan seluruh proses
akuisisi itu akan dibatalkan/*
“Tentunya kita tidak waras,” ujar Steve. “Mereka to-‘ koh-tokoh paling
berpengaruh di Amerika, dan kita sedang membicarakan cara untuk
membuyarkan pesta mereka.”
Dari bawah terdengar suara orang memalu; rupanya Mr. Oliver mulai
membenahi pintu. Jeannie berkata. “Mereka benci orang kulit hitam, tahu?
Semua omong kosong mengenai perbaikan gen dan warga kelas dua Amerika ini
cuma semacam dalih. Mereka adalah orang-orang Neo-Nazi yang menggunakan
kemajuan ilmu sebagai kedok. Mereka ingin menempatkan Mr. Oliver sebagai
warga negara kelas dua. Persetan dengan mereka, aku tidak berniat tinggal diam
dan menonton.”
“Oke, begini,” ujar Jeannie. “Mula-mula kita harus mencari tahu, di mana
Genetico akan menyelenggarakan konferensi pers itu.”
“Ide bagus. Kemudian, entah bagaimana caranya, aku akan menyusup ke dalam
konferensi pers itu, lalu muncul di tengah acara mereka dan membuka mulut di
hadapan media massa yang berkumpul di sana.” “Mereka akan
membungkammu.” “Aku akan menyiapkan pernyataan pers lebih dahulu untuk
dibagikan. Tapi kemudian kau muncul bersama Harvey. Pasangan kembar selalu
menarik para juru foto; semua kamera akan terarah pada kalian.”
606
“Karena tampang kalian persis sama, impaknya akan dramatis sekali. Dan itu
akan menggelitik pihak pers untuk bertanya. Dalam waktu singkat, mereka akan
tahu bahwa ibu kalian tidak sama. Begitu menyadari itu, mereka akan tahu
bahwa ada suatu misteri untuk mereka singkap, persis seperti yang terjadi atas
diriku. Dan kau tahu bagaimana cara mereka menyidik seseorang yang
mencalonkan dirinya sebagai presiden.”
“Tapi tiga bakal lebih baik daripada dua, tentunya,” ujar Steve. “Apa kita bisa
mengundang salah satu dari yang lain untuk kemari?”
“Kita bisa coba. Kita bisa undang mereka semua, dengan harapan setidaknya
satu bakal muncul.”
“Lepaskan aku, atau kusayat tubuhmu habis-habisan dengan pisau silet, begitu
aku bebas.”
Jeannie menyumpal mulut anak muda itu dengan lap. “Tutup mulutmu, Harvey,”
ujarnya.
Suara Lisa terdengar dari bawah, menyalami Mr. Oliver. Sesaat kemudian ia
muncul, mengenakan celana blue jeans dan sepatu bot Doc Marten yang berat-Ia
melayangkan pandangannya ke arah Steve dan Harvey, lalu berkata, “Astaga,
ternyata benar.”
607
Steve berdiri. “Akulah yang kautunjuk saat pemba-risan itu,” ujarnya. “Tapi dia
yang sebetulnya menyerangmu.”
Steve berkata, “Kau sudah setahun bekerja di JFU, Lisa. Aneh bahwa kau tidak
pernah melihat putra Berrington.”
“Oke, Per Ericson sudah meninggal, Dennis Pinker dan Murray Claud ada di
penjara, tapi kita masih memiliki tiga alternatif: Henry King di Boston, Wayne
Stattner di New York, dan George Dassault—yang mungkin ada di Buffalo,
Sacramento, atau Houston, kita belum tahu di mana, tapi kita bisa melacaknya
lagi. Aku punya nomor-nomor telepon mereka.”
608
“Dicuri.”
Sementara Lisa keluar, Jeannie berkata, “Kita harus mencari cara untuk
membujuk orang-orang ini agar mau terbang ke Baltimore dalam waktu begitu
singkat. Dan kita harus menawarkan kepada mereka untuk membayar
ongkosnya. Aku nggak yakin kartu kreditku cukup untuk itu.”
“Aku punya kartu American Express yang diberikan ibuku untuk hal-hal darurat.
Aku yakin dia akan menganggap situasi ini darurat.’*
“Memang.”
609
BAB 58
Setelah enam kali mencoba, terpintas dalam diri Steve bahwa acara itu mungkin
tidak akan diselenggarakan di hotel. Bisa saja di restoran, atau di lokasi yang
lebih eksotis, misalnya di geladak kapal; atau mungkin mereka memiliki sebuah
ruangan yang cukup besar di markas besar Genetico, yang berkedudukan di
sebelah utara kota. Namun pada usaha berikutnya, seorang operator yang ramah
berkata, “Ya, di Regency Room, siang hari. Sir.”
610
‘Tesan sebuah tiket untuk penerbangan pukul sembilan lewat empat puluh lima,”
ujar Jeannie.
“Bukankah kau pernah bilang bahwa dia seorang mahasiswa yang bekerja di
bar””” ujar Steve. “Ya.”
Teleponnya diangkat oleh seorang laki-laki dengan aksen Hispanik. “The Blue
Note.” “Boleh bicara dengan Hank?”
“Dia lagi kerja, tahu?” ujar laki-laki itu dalam nada tidak simpatik.’
611
yang mirip sekali dengan suara Steve sendiri. “Yeah, siapa ini?”
“Hai, Hank, namaku Steve Logan, dan kita memiliki suatu kesamaan.”
“Oke, lalu?”
“Untuk menyingkat cerita, aku akan menuntut sepuluh juta dolar dari klinik itu,
dan aku mau mengajakmu bergabung denganku.”
Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Aku nggak tahu kau ngomong benar atau
tidak, Bung, lagi pula aku nggak punya uang untuk membayar pengacara.”
“Aku yang akan menanggung semua ongkos. Aku tidak ingin uangmu.”
Jangan melantur, tolol. “Sebuah tiket USAir atas nama Logan untuk
penerbangan pukul sembilan lewat empat puluh lima sudah tersedia untukmu.
Kau tinggal ambil itu di bandara.”
“Apa tuntutannya?”
612
“Penyalahgunaan perjanjian.”
“Aku seorang mahasiswa manajemen. Bukankan ada batas waktu tertentu untuk
itu? Sesuatu yang terjadi sekitar dua puluh tiga tahun yang lalu…”
“Memang ada, tapi masa berlakunya dihitung mulai dari saat kasus itu
terungkap. Dalam hal ini, itu terjadi minggu lalu.”
Di latar belakang, sebuah suara Hispanik berteriak, “Hei, Hank, masih ada
seratus orang yang belum kaula-yani!”
“Nggak. Artinya, aku akan memikirkannya begitu aku selesai dengan tugasku
malam ini. Sekarang aku mesti melayani orang-orang.”
“Kau bisa hubungi aku di hotel itu,” ujar Steve, tapi terlambat. Hank sudah
keburu menutup pesawatnya
Lisa berkata, “Kita cuma bisa menunggu, untuk melihat apakah dia bakal
muncul atau tidak.”
“Dia seorang pemilik kelab malam. Mungkin dia sudah memiliki sepuluh juta
dolar.”
“Kalau begitu, kita harus berusaha menggelitik rasa ingin tahunya. Kau punya
nomornya?”
“Tidak.”
613
itu dan disambut sebuah perangkat penjawab telepon “Hai, Wayne, namaku
Steve Logan, dan kalau kauper-hatikan, suaraku persis sama seperti suaramu. Itu
karena, kau boleh percaya atau tidak, kita ini memang kembar identik. Tinggiku
enam kaki dua inci dan beratku sembilan puluh lima kilo, dan tampangku benar-
benar persis seperti kau, kecuali warna rambut kita. Beberapa hal lain yang
mungkin sama di antara kita: aku alergi terhadap macadamia nuts, aku tidak
punya kuku di jari kelingking kakiku, dan kalau sedang berpikir, aku akan
menggaruk punggung tangan kiriku dengan jari-jari tangan kananku. Nah, ini
serunya: kita bukan pasangan kembar. Dan masih ada beberapa orang lagi yang
seperti kita. Salah satu di antaranya terlibat dalam suatu tindak kejahatan di
Jones Falls University hari Minggu yang lalu—karena itulah kau mendapat
kunjungan dari dinas kepolisian Baltimore kemarin. Dan kita akan mengadakan
pertemuan besok siang di Hotel Stouffler, Baltimore. Kedengarannya memang
aneh, Wayue, tapi aku berani sumpah bahwa semua ini benar. Hubungi aku atau
Dr. Jean Ferrami di hotel itu, atau muncullah begitu saja. Bakal menarik sekali.”
Steve menutup pesawatnya, lalu menatap Jeannie. “Bagaimana menurutmu?”
Jeannie angkat bahu. “Dia jenis yang bisa berbuat sesukanya Mungkin dia akan
tertarik. Dan seorang pemilik kelab malam tentunya tidak sibuk pada hari Senin
pagi. Di lain pihak, aku tidak akan mau naik pesawat hanya gara-gara sebuah
pesan telepon seperti itu.”
“Aku Paman Preston. Ayahmu ingin bicara.” Steve tidak memiliki seorang
Paman Preston. Ia mengerutkan alis, tidak mengerti. Sesaat kemudian, se—
614
“Wauw, trims.” Steve mendekatkan gagang pesawat itu ke telinganya. “Ehm, ya,
ini Steve,” ujarnya.
“Kalau begitu, kau harus pulang dan melapor pada kami!” “Oke.”
“Nah, setelah menutup pesawatmu, bilang bahwa yang menelepon tadi adalah
orang yang bekerja untuk pengacara orangtuamu, untuk memanggilmu pulang ke
DC secepatnya. Begitu saja dalihmu, jadi kau punya alasan untuk buru-buru
pergi. Oke?”
615
“Menarik sekali. Sepertinya Harvey memang dikirim kemari untuk mencari tahu
apa rencanamu. Mereka khawatir mengenai apa yang akan kaulakukan dengan
pengetahuan yang kaumiliki
Jeannie tampak khawatir. “Gawat. Kalau Harvey nggak muncul, Berrington akan
tahu bahwa ada yang tidak beres. Orang-orang Genetico itu akan segera
mengambil ancang-ancang. Tak seorang pun akan tahu, apa yang bakal mereka
lakukan: memindahkan acara konferensi pers itu ke lokasi lain, memasang
barisan sekuriti yang tidak dapat kita terobos, bahkan membatalkan seluruh
acara itu sama sekali dan langsung menandatangani berkas-berkas mereka di
sebuah kantor pengacara.”
616
pikir, “Aku akan ke rumah Berrington. pura-pura menjadi Harvey. Aku pasti bisa
meyakinkan mereka.”
“Steve, itu berbahaya sekali. Kau tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan
mereka. Kau bahkan tidak tahu di mana kamar mandinya.”
“Kalau Harvey bisa menipumu, kukira aku bisa menipu Berrington,” ujar Steve
sambil berusaha meninggalkan kesan lebih yakin dari yang sebetulnya ia
rasakan.
“Tidak begitu lama. Kita tahu bahwa Harvey selalu kembali ke Philadelphia
pada hari Minggu malam. Aku akan balik kemari sebelum tengah malam.”
“Tapi Berrington kan ayah Harvey. Mana mungkin kau dapat menipunya?”
Steve tahu bahwa apa yang dikatakan Jeannie memang benar. “Kau punya ide
yang lebih bagus?”
617
BAB 59
Steve mengenakan celana korduroi biru Harvey dan baju biru langitnya, lalu
mengemudikan mobil Datsun Harvey ke Roland Park. Hari sudah gelap saat ia
tiba di rumah Berrington. Ia parkir di belakang sebuah Lincoln Town Car
berwarna abu-abu keperakan, lalu duduk diam-diam selama beberapa saat, untuk
mengumpulkan semua keberaniannya.
Bagaimana suasana hati Harvey saat ini? tanya Steve pada dirinya Dia
diperintahkan oleh ayahnya untuk segera pulang. Padahal, menurut skenario, dia
sedang bersenang-senang dengan Jeannie. Tentunya dia kesal sekarang.
Steve menghela napas, la tidak dapat menunda saat-saat yang ditakutinya itu
lebih lama lagi. Ia keluar dari mobil, lalu menuju pintu muka rumah Berrington.
Harvey memiliki beberapa buah anak kumi Steve mempelajari lubang kunci
pintu muka itu. Rasanya ada
618
Di mana ruang keluarga sialan itu? Steve berusaha mengatasi rasa paniknya.
Rumah itu bergaya rumah peternakan pinggiran kota yang standar dari tahun
tujuh puluhan. Di sebelah kirinya, melalui suatu lengkungan ia dapat melihat
sebuah ruang duduk berisi perabotan bergaya formal. Tidak ada siapa-siapa di
situ. Lurus di mukanya terdapat sebuah lorong dengan beberapa pintu, yang ia
perkirakan menuju kamar tidur. Di sebelah kanannya terdapat dua pintu tertutup.
Satu di antaranya tentunya ruang keluarga itu—tapi yang mana?
Untuk sesaat Steve ragu, kemudian ia teringat bahwa suasana hatinya seharusnya
sedang tidak enak. .“Aku boleh kencing dulu, kan?” ujarnya ketus. Tanpa
menunggu jawaban, ia masuk ke kamar mandi itu, lalu menutup pintunya.
Yang ia masuki itu ternyata sebuah toilet duduk, hanya dengan sebuah kloset dan
wastafel. Ia mendoyongkan tubuhnya di muka wastafel itu, lalu bercermin. “Kau
pasti edan,” ujarnya pada bayangannya.
la dapat menangkap suara beberapa laki-laki dari bagian dalam rumah itu. Ia
membuka pintu sebelah kamar mandi; jadi, di sinilah ruang keluarga itu. la
melangkah masuk, menutup pintu, lalu dengan cepat
619
Ia teringat bahwa Harvey seharusnya sedang kesal. “Ngapain aku disuruh buru-
buru pulang?”
Berrington berusaha membujuk. “Kami baru saja se lesai makan,” ujarnya. “Kau
mau sesuatu? Marianne bisa menyiapkannya sebentar.”
Perut Steve terasa mual karena tegang, tapi Harvey tentunya mau makan, dan
Steve harus berusaha tampil sewajar mungkin, karena itu ia berpura-pura mau
dibujuk dan berkata, “Oke, aku mau sesuatu.”
620
Proust mendoyongkan tubuhnya ke muka, lalu bertanya, “Oke, Nak, apa yang
kaudapat?”
Steve sudah menyiapkan cerita mengenai apa-apa yang akan dilakukan Jeannie.
“Kukira kalian bisa santai, setidaknya untuk sementara ini,” ujamya. “Jeannie
Ferrami akan menuntut Jones Falls University melalui jalur hukum, karena dia
merasa diperlakukan secara tidak adil. Dia menganggap bahwa dia bisa
menyinggung soal keberadaan clone-clone itu selagi prosesnya berlangsung.
Sampai sejauh ini, dia belum punya rencana untuk mempublikasi apa-apa. Dia
akan bertemu dengan seorang pengacara pada hari Rabu.”
Ketiga laki-laki yang lebih tua itu tampak lega. Proust berkata, “Perlakuan tidak
adil. Prosesnya akan memakan waktu paling sedikit setahun. Kita masih punya
banyak waktu untuk melakukan apa yang harus kita lakukan.”
“Jeannie sudah tahu siapa aku, dan dia menganggap aku pelakunya, tapi dia
belum bisa membuktikannya. Mungkin dia bakal menudingku, tapi kesannya
nanti paling-paling seperti ulah seorang mantan pegawai yang sedang kalap.”
“Kau bisa ikut bersamaku menghadiri acara konferensi pers itu besok pagi, dan
sesudahnya kita pergi menemui Henry Quinn.”
Kalau aku tinggal di sini, aku akan tahu persis apa yang bakal dilakukan orang-
orang licik ini setiap saat. Risikonya memang besar. Tapi tak mungkin akan
terjadi apa-apa selama aku tidur. Aku bisa menyelinap sebentar untuk menelepon
Jeannie, supaya dia tahu apa yang terjadi. Ia mengambil keputusan. “Oke,”
ujarnya.
Proust berkata, “Jadi, selama ini kita menunggu di sini dengan khawatir, padahal
tidak ada apa-apa.”
Namun Barck rupanya tidak mau langsung menerima berita baik itu dengan
begitu saja. Dalam nada waswas ia bertanya, “Apa tidak terpikir oleh cewek itu
untuk mencoba mensabotase proses akuisisi Genetico?”
Proust mengedipkan matanya, lalu berkata, “Bagaimana dia di tempat tidur, he?”
Marianne muncul dengan sebuah baki: irisan ayam, salad dengan bawang
bombay, roti, dan sekaleng bir Budweiser Steve tersenyum. “Terima kasih,”
ujarnya. “Asyik sekali.”
Steve mulai makan. Barck berkata, “Kau masih ingat sewaktu kau kuajak ke
Plaza Hotel di New York untuk makan siang? Umurmu baru sepuluh tahun
ketika itu.”
622
di wajah Berrington. Apakah ini semacam tes? Apakah Barck curiga? “Plaza?”
ujarnya sambil mengerutkan dahi. Biar bagaimanapun, ia cuma bisa memberikan
satu jawaban. “Wah, Paman Preston. Aku nggak ingat itu.”
Steve berkata, “Buka saja laci paling bawah lemari itu. Biasanya Dad punya
persediaan di situ.”
Proust pergi ke lemari itu dan membuka lacinya “Hebat kau, Nak!” ujarnya. Ia
mengeluarkan botolnya dan beberapa buah gelas.
“Aku sudah tahu tentang itu sejak umur dua belas,” ujar Steve. “Sejak itulah aku
mulai mencuri dari situ.”
Proust tertawa terbahak-bahak. Steve melirik ke arah Barck. Bayangan gelap itu
sudah menghilang dari wajahnya. Ia sedang tersenyum.
623
BAB 60
Mr. Oliver memperlihatkan sebuah pistol besar yang sudah ia simpan sejak akhir
Perang Dunia Kedua. “Aku merampas ini dari tangan seorang tahanan
berkebangsaan Jerman,” ujarnya. “Para serdadu kulit berwarna biasanya tidak
boleh membawa senjata api di masa itu.” Ia duduk di sofa Jeannie, sambil
mengacungkan pistol itu ke arah Harvey.
Hotel Stouffler memiliki sebuah garasi bawah tanah: itu permulaan yang baik.
Jeannie meninggalkan mobilnya di sana, lalu naik lift. Ternyata lift itu hanya
dapat membawa mereka sampai ke lobi hotel, tidak ke kamar-kamarnya. Tapi
semua lift yang ada bermuara di sebuah lorong di belakang ruang lobi ulama,
yang tidak terlihat dari meja resepsi, dan untuk melintasi lorong itu dari lift
garasi ke lift kamar hanya memakan waktu beberapa detik. Apakah mereka
harus membopong Harvey, atau menyeretnya, atau apakah ia mau bekerja sama
dengan berjalan sendiri? Agak sulit memang.
624
“Aku berhasil menghubungi George Dassault!” seru Lisa dengan antusias begitu
ia muncul-
“Hebat! Di mana?”
“Ya. ‘Apa pun akan kulakukan demi publisitas,’ katanya. Aku sudah mengatur
penerbangannya, dan aku bilang akan menjemputnya di bandara besok.”
“Bagus sekali!”
“Kita akan punya tiga clone nanti. Orang-orang yang nonton televisi bakal
gempar.”
“Andai kata kita bisa membawa Harvey ke hotel itu.” Jeannie berpaling ke arah
Mr. Oliver. “Kita bisa mengelakkan petugas pintu hotel dengan langsung menuju
garasi bawah tanah. Lift garasi cuma bisa membawa kita sampai ke lantai dasar
hotel. Kita harus keluar dari sana dan mengambil lift lain untuk ke kamar. Tapi
lorong lift itu letaknya tersembunyi “
Dalam nada waswas Mr. Oliver berkata, “Biar bagaimanapun, kita harus
mengusahakan agar dia tenang selama sedikitnya lima sampai sepuluh menit,
sementara kita memindahkannya dari mobil ke kamar itu. Dan bagaimana kalau
ada tamu hotel yang melihat dia dalam keadaan terikat? Mungkin mereka
bertanya macam-macam, atau melaporkannya kepada pihak sekuriti.”
625
“Anda bisa ikat ulang kakinya sedemikian rupa, supaya dia bisa jalan, tapi tidak
terlalu cepat?” “Tentu.”
Sementara Mr. Oliver melakukan itu, Jeannie masuk ke kamar tidurnya. Dari
dalam lemari pakaiannya, ia mengeluarkan sebuah sarung berwarna, yang ia beli
untuk berlibur di pantai, sebuah syal besar, sehelai sapu tangan, dan sebuah
topeng Nancy Reagan yang ia peroleh dari sebuah pesta dan lupa ia buang.
Mr. Oliver membantu Harvey berdiri. Begitu sudah berdiri tegak. Harvey
berusaha memukul Mr. Oliver dengan tangannya yang masih terikat. Jeannie
menahan napas. Lisa menjerit Namun Mr. Oliver rupanya sudah mengantipasi
hal itu. Dengan sigap ia berkelit, kemudian menghajar perut Harvey dengan
gagang pistolnya. Harvey mengaduh, kemudian membungkuk. Mr. Oliver
menghantamnya sekali lagi, kali ini di kepalanya. Harvey ambruk di atas
lututnya. Mr. Oliver menariknya untuk berdiri lagi. Sesudah itu ia menjadi lebih
mudah diatur.
“Silakan,” ujar Mr. Oliver. “Aku akan mengawasi dia, dan menyakitinya sekali-
sekali, supaya dia mau bekerja sama.”
626
Jeannie telah melupakannya. Sudah empat belas atau lima belas jam berlalu
sejak ia merasa begitu perlu berbicara padanya. “Hai,” ujarnya.
“Bagus!”
“Aku sudah siap menahannya, cuma aku belum tahu di mana dia. Kau tahu?”
“Oke.”
“Jangan tahan dia sebelum konferensi pers itu selesai. Keberadaannya di situ
amat berarti bagiku.”
627
“Trims. Aku menghargai itu.” Jeannie menutup pesawatnya. “Oke, ayo kita
masukkan dia ke mobil.”
Mr. Oliver berkata, “Kalian duluan, untuk membuka pintunya. Aku yang akan
bawa dia.”
Jeannie menyambar kunci kuncinya, lalu lari ke bawah. Hari sudah gelap, tapi
langit penuh bintang dan suasana agak remang oleh penerangan dari lampu-
lampu jalan. Ia melayangkan pandang ke sekelilingnya. Sepasang muda-mudi
dalam jeans sobek-sobek sedang berjalan ke arah berlawanan sambil
bergandengan tangan. Di sisi lain jalan itu, seorang laki-laki yang mengenakan
topi jerami sedang jalan-jalan dengan seekor anjing Labrador kuning. Mereka
bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Apakah mereka akan
menoleh? Apakah mereka akan peduli?
Harvey dan Mr. Oliver melangkah keluar rumah bersama-sama. Mr. Oliver
mendorong tahanannya. Harvey terhuyung. Lisa, yang mengikuti mereka dari
belakang, menutup pintu rumah.
Untuk sesaat, adegan itu tampak amat menggelikan. Tawa histeris nyaris
melanda diri Jeannie. Cepat-cepat ia membekap mulutnya dengan tangan.
Harvey sampai di mobil. Mr. Oliver mendorongnya sekali lagi. Harvey hampir
terjungkal di bangku belakang.
628
Suasana pusat kota amat sepi pada malam hari Minggu itu. Jeannie melesat ke
dalam garasi bawah tanah hotel, laju memarkir kendaraannya sedekat mungkin
dengan lift. untuk mengurangi jarak yang harus mereka tempuh sambil menyeret
Harvey. Suasana di dalam garasi itu tidak sepi. Mereka harus menunggu di
dalam mobil, sementara sepasang suami-istri dalam pakaian pesta keluar dari
sebuah mobil Lexus, kemudian menuju ke arah hotel. Sesudah itu, saat tidak ada
siapa-siapa lagi yang kelihatan, mereka keluar dari mobil.
Sementara mereka naik, Mr. Oliver meninju perut Harvey sekali lagi.
629
Mereka melesat ke lantai delapan tanpa masalah. Harvey sudah mulai pulih dari
pukulan Mr. Oliver, dan mereka hampir sampai di tempat tujuan. Jeannie segera
menunjukkan jalan ke kamar yang telah diambilnya. Begitu mereka sampai,
hatinya langsung menciut melihat pintu kamar itu dalam keadaan terbuka, dan
pada pegangannya tergantung kartu yang bunyinya Kamar sedang dibersihkan.
Si pelayan hotel tentunya sedang membenahi tempat tidur atau entah apa.
Jeannie mengeluarkan suara erangan.
“Astaga, ada apa ini?” ujar sebuah suara. Si pelayan hotel, seorang wanita kulit
hitam berusia sekitar enam puluhan dalam pakaian seragam yang rapi,
melangkah keluar dari kamar itu.
Mr. Oliver berlutut di dekat kepala Harvey, lalu mengangkatnya. “Anak muda ini
baru keasyikan berpesta,” ujarnya “Mengotori seluruh lantai limousine-ku.”
Aku mengerti, dia pura-pura menjadi sopir kami, untuk meyakinkan si pelayan
hotel, pikir Jeannie.
Kepada Jeannie, Mr. Oliver berkata, “Anda bisa tolong angkat bagian kakinya?”
630
“Jangan macam-macam,” ujar wanita itu. namun ia tersenyum. “Aku kan sudah
tua.”
“Aku sudah tujuh puluh satu, dan kau pasti belum empat lima.”
“Aku sudah lima puluh sembilan, dan terlalu tua untuk melayani ulahmu.”
Mr. Oliver memegang lengan wanita itu, lalu dengan lembut menggiringnya
keluar sambil berkata, “Hei, tugasku hampir selesai dengan mereka Kau mau
jalan-jalan naik Hmousine-Vu?”
“Aku punya suami yang menungguku di rumah, dan kalau dia sampai
mendengar ucapanmu tadi, di lantai mobilmu bukan cuma bakal ada muntah. Mr.
Limo.”
Jeannie menjatuhkan diri di sebuah kursi. “Terima kasih. Tuhan. Kita berhasil,”
ujarnya.
BAB 61
Begitu selesai makan, Steve bangkit berdiri dan berkata, “Aku mau tidur.” Ia
ingin masuk ke dalam kamar Harvey secepatnya. Begitu sendirian, situasinya
akan lebih aman baginya.
Pesta itu pun bubar. Proust menghabiskan sisa wiskinya, kemudian Berrington
mengantar kedua tamunya ke mobil mereka masing-masing.
Berrington muncul kembali di ruang duduk itu, persis saat Steve mendengar
suara Jeannie. “Halo?” “Hai, Linda, ini Harvey,” ujarnya. “Steve, kaukah itu?”
“Ya, aku memutuskan untuk menginap di tempat Dad, rasanya sudah terlalu
malam untuk kembali.” “Demi Tuhan, Steve, kan nggak apa-apa?”
632
“Ada yang masih harus kuselesaikan, tapi aku bisa mengatasinya. Bagaimana
harimu, Manis?”
“Kami berhasil memboyongnya ke kamar hotel. Tidak mudah, tapi toh berhasil.
Lisa sudah berbicara dengan George Dassault Dia mau datang, jadi kita akan
punya tiga orang, setidaknya.”
“Bagus. Aku mau tidur sekarang. Sampai ketemu besok pagi. Manis, oke?”
“Asyik.”
“Malam, Dad.
633
la mencoba pintu di seberangnya. Sebuah kamar tidur besar dengan tempat tidur
untuk dua orang dan beberapa lemari pakaian. Sebuah setelan jas bergaris-
bergaris halus dalam kantong binatu tergantung di pegangan pintu. Harvey
tentunya tidak memiliki setelan seperti itu. Saat akan menutup kembali pintu itu,
ia dikejutkan oleh suara Berrington, persis di belakangnya. “Kau buluh sesuatu
dari kamarku?”
Tampangnya tentunya agak bersalah. Untuk sesaat ia tidak bisa menjawab. Aku
mesti bilang apa ? Kemudian kata-kata itu terlompat keluar dari mulutnya. “Aku
nggak punya apa-apa untuk tidur.”
“Sejak kapan kau pakai piama?” ujar Berrington. Nadanya entah curiga entah
cuma heran; Steve tidak dapat memastikannya.
Cepat-cepat ia berimprovisasi. “Siapa tahu Dad punya baju kaus yang besar.”
‘Tidak ada yang cukup buat pundakmu itu, Nak.” ujar Berrington, untungnya
sambil tertawa.
“Malam.”
Kanan atau kiri? Nggak tahu. Buka saja salah satu. Steve membuka pintu di
sebelah kanannya.
634
Ada sebuah baju rugbi di punggung kursi, CD Snoop Doggy Dog di tempat
tidur. Playboy di meja tulis Kamar seorang cowok. Terima kasih, Tuhan. la
melangkah masuk, lalu menutup pintu di belakangnya dengan tumitnya.
Selang beberapa saat, ia membuka pakaiannya, lalu naik ke tempat tidur. Janggal
sekali rasanya berada di tempat tidur Harvey, di kamar Harvey, di rumah ayah
Harvey. Ia mematikan lampunya, kemudian berbaring sambil mendengarkan
suara-suara di rumah yang asing baginya itu. Untuk sesaat ia mendengar suara
langkah-langkah kaki, pintu-pintu ditutup, suara air, dan sesudah itu suasana
tempat itu sunyi.
Untuk sesaat ia terlena, kemudian tiba-tiba ia tersentak. Ada orang lain di dalam
kamar itu.
Tercium olehnya aroma parfum bernada bunga, yang berbaur dengan bau
bawang putih dan rempah-rempah, lalu ia melihat siluet mungil Marianne di
dekat jendela.
Sebelum ia dapat mengatakan apa-apa, gadis itu sudah naik ke tempat tidur.
Dalam nada lembut Steve berbisik, “Hei!” “Aku akan melayani Tuan seperti
yang Tuan suka,” ujar gadis itu, namun Steve dapat menangkap nada takut
dalam suaranya.
“Jangan,” ujar Steve sambil mendorongnya saat gadis itu menyusup ke bawah
selimutnya. Ternyata ia sudah dalam keadaan telanjang.
“Jangan sakiti aku malam ini, ‘Arvey,* ujar gadis ttu. Ia memiliki aksen Prancis.
635
tara ayahnya berada di kamar sebelah. Kemudian Steve ingat akan pil-pil tidur
itu. Berrington tidur begitu nyenyak, sehingga jeritan-jeritan Marianne tidak
membuatnya terbangun.
Marianne mulai menciumi wajahnya. “Yang baik, yang baik, ya. Aku akan
lakukan segala yang kaumau, tapi jangan sakiti aku.”
Steve merangkul pundak Marianne yang mungil. Kulitnya lembut dan hangat.
“Berbaringlah diam-diam dan tenangkan dirimu,” ujarnya sambil mengusap-
usap punggungnya. “Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku janji.”
Steve menghela napas. Tapi itu perbuatan tercela. Marianne tidak melakukannya
dengan suka rela. Rasa tidak aman dan takutlah yang membawanya ke tempat
tidur ini, bukan nafsunya. Oke, Steve, kau bisa menidurinya, tapi itu berarti kau>
mengeksploitasi seorang imigran yang ketakutan, yang memiliki keyakinan
bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain. Dan itu perbuatan
636
yang amat rendah. Kau akan membenci laki-laki yang tega melakukan itu.
“Y-ya…”
Marianne menyentuh wajah Steve, lalu dengan lembut mencium bibirnya. Steve
tetap merapatkan bibirnya, namun ia menepuk-nepuk kepala Marianne dengan
cara bersahabat.
Steve masih merasa terangsang. Kenapa aku tidak seperti dia? Karena caraku
dibesarkan?
Tak mungkin.
” Aku bisa menidurinya. Aku bisa menjadi Harvey. Aku bukan dia karena aku
memilih untuk tidak menjadi dia. Orangtuaku tidak membuat keputusan itu tadi;
akulah yang melakukannya. Teruna kasih atas apa yang telah kalian lakukan
selama ini. Mom dan Dad, tapi itu tadi aku, bukan kalian, yang mengirim gadis
itu kembali ke kamarnya sendiri.
637
SENIN
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader dimhad.co.cc) oleh:
BAB 62
“Kenakan pakaian yang baik untuk acara pertemuan pers itu, oke?” ujar
Berrington. “Di lemari pakaianmu ada kemejamu yang kautinggalkan di sini
beberapa minggu yang lalu. Marianne sudah mencucinya. Masuklah ke kamarku
untuk memilih dasi yang bisa kaupakai Berrington keluar.
Saat turun dari tempat tidur, Steve berpikir. Bemngton berbicara kepada putranya
seakan kepada seorang anak yang sulit diatur dan biasa membantah. Kata-kata
Jangan membantah, pokoknya lakukan saja mengembel-embeli setiap
ucapannya. Namun itu menjadikan situasinya lebih mudah untuk Steve. Ia cukup
menjawab dengan kalimat-kalimat pendek, sehingga risiko kedoknya akan
terbuka menjadi lebih kecil.
641
Ia mengikuti aroma daging asap yang dibakar, menuju dapur. Marianne sedang
berdiri di muka kompor. Ia menatap Steve dengan mata terbeliak. Untuk sesaat
Steve menjadi panik: kalau Berrington sampai melihat ekspresi di wajahnya itu,
ia mungkin akan menanyakan apa yang tidak beres, dan gadis malang itu
tentunya akan begitu ketakutan, sehingga ia akan mengatakan apa adanya.
Namun Berrington sedang menonton acara CNN di sebuah pesawat televisi
kecil; selain itu, ia bukan tipe yang memperhatikan pelayannya.
Steve mengambil tempat duduk, sementara Marianne menuangkan kopi dan jus
untuknya. Ia tersenyum ke arah gadis itu, untuk menenangkan hatinya.
642
Terdengar suara dering bel pintu. Berrington menekan tombol interkom. Sambil
melongok melalui jendela dapur, ia berkata, “Ada mobil polisi di luar.”
Tiba-tiba Steve didera oleh rasa takut. Andai kata Jeannie berhasil menghubungi
Mish Delaware dan mengungkapkan penemuannya tentang Harvey, boleh jadi
pihak kepolisian lalu memutuskan untuk menangkap Harvey. Dan akan sulit bagi
Steve untuk menyangkal - bahwa ia bukan Harvey Jones, saat ia sedang
mengenakan pakaian Harvey dan duduk di dapur ayah “Harvey, menikmati
blueberry muffin yang dihidangkan juru masak ayah Harvey.
Tapi itu belum seberapa. Kalau ia sampai ditahan sekarang, ia tak mungkin hadir
dalam acara konferensi pers itu. Dan kalau tak satu elone-pun muncul, Jeannie
hanya akan memiliki Harvey. Dan kalau yang hadir hanya satu di antara mereka,
tentunya tidak akan membuktikan apa-apa.
643
Berrington berkata, “Akan kukatakan pada mereka bahwa kau tidak di sini.” Ia
meninggalkan ruangan itu.
Sepanjang malam Jeannie dan Mr. Oliver bangun secara bergiliran, yang satu
menjaga Harvey, sementara yang lain tidur, tapi mereka sama-sama tidak bisa
sungguh-sungguh beristirahat. Hanya Harvey yang tidur, mendengkur di balik
sumbat mulurnya.
Mr. Oliver memberikan segelas jus jeruk pada Harvey dengan mendekatkan
minuman itu ke mulurnya, sementara Jeannie berdiri di belakangnya, siap
memukul dengan linggisnya begitu Harvey mencoba bertingkah.
Jeannie menanti telepon dari Steve dengan hati waswas. Apa yang terjadi atas
dirinya? Steve telah melewatkan malam itu di rumah Berrington. Apakah ia
berhasil mempertahankan lakonnya?
644
“Terkendali.”
“Steve?”
“Apa!”
Lisa menelepon dari bandara. “Gawat,” ujarnya. ‘Tenerbangan dari New York
bakal terlambat.”
“Astaga!” ujar Jeannie. “Bagaimana dengan yang lain? Kau sudah melihat si
Wayne atau Hank?”
“Belum.”
645
Pada pukul sebelas, Berrington keluar dari kamar tidurnya sambil mengenakan
jas. Ia memakai setelan biru bergaris-garis halus putih, dengan sebuah vest di
atas sehelai kemeja putih bermanset gaya Prancis; agak kuno, tapi efektif. “Ayo
kita berangkat,” ujarnya.
Steve mengenakan jas Harvey dari bahan wol yang bermodel sportif. Benar-
benar pas, tentunya, dan mirip sekali dengan jas milik Steve sendiri.
Mereka melangkah keluar. Pakaian mereka agak terlalu tebal untuk cuaca hari
itu. Mereka masuk ke dalam mobil Lincoln perak Berrington, lalu menyalakan
AC. Mobil itu melesat cepat ke arah pusat kota. Steve merasa lega bahwa
Berrington tidak banyak bicara dalam perjalanan. Ia memarkir kendaraannya di
garasi hotel.
Saat mereka menuju Regency Room, seorang wanita dengan tata rambut yang
gaya, dalam setelan hitam, menyambut mereka. “Aku Caren Beamish dari Total
Communications,” ujarnya dalam nada penuh percaya diri. “Silakan ikut ke
ruang VIP.” Ia mengantar mereka ke sebuah ruangan kecil, di mana sudah
terhidang minuman dan makanan kecil.
Steve merasa agak gelisah; ia ingin meninjau tata letak ruang konferensi itu. Tapi
mungkin itu tidak akan mempengaruhi apa-apa. Selama Berrington masih
percaya bahwa ia Harvey, sampai Jeannie muncul, tidak ada hal lain yang
penting.
Di ruang VIP itu sudah ada enam atau tujuh orang lain, termasuk Proust dan
Barck. Bersama Proust berdiri seorang anak muda kekar dalam setelan hitam,
yang tampangnya seperti seorang pengawal pribadi. Berrington
646
Berrington menenggak segelas anggur putih dengan gugup. Steve ingin minum
martini, tapi ia harus tetap bersikap waspada dan tidak boleh lengah sedikit pun.
Ia melirik ke arah arloji yang diambilnya dari pergelangan tangan Harvey. Pukul
lima kurang dua belas. Tinggal beberapa menit lagi. Lalu semuanya akan
berakhir, dan baru setelah itulah aku bisa minum martini.
Caren Beamish menepukkan tangan untuk meminta perhatian dari yang hadir,
lalu berkata, “Tuan-tuan, sudah siap?” Orang-orang bergumam sambil
mengangguk. “Kalau begitu, semua kecuali yang berada di panggung
dipersilakan mengambil tempat masing-masing.”
Berrington menoleh ke arah Steve, lalu berkata, “See yau sooner, Montezuma.”
Ia menanti jawaban Steve.
Tubuh Steve menjadi dingin. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud Berrington.
Mungkin itu semacam sandi khusus antara Berrington dan Harvey, seperti See
yau later, alligator. Jelas bahwa ada jawabannya, tapi tentunya bukan In a while,
crocodile. Lalu apa? Steve mengumpat dalam hati. Acara konferensi pers itu
sebentar lagi akan dibuka—ia harus bisa mempertahankan lakonnya sampai
beberapa detik lagi!
“Masa kau lupa,” ujar Berrington, dan Steve melihat rasa curiga mulai
membayang di matanya.
647
Steve lega. Jadi, itu permainannya: kau harus mencari jawaban baru setiap kali.
Ia mensyukuri nasibnya. Untuk menyembunyikan rasa leganya, ia menoleh ke
arah lain.
Berrington betul-betul marah. “Kau anak kurang ajar,” desisnya. “Yang mana
kau? Steve Logan, tentunya.”
648
Berrington berusaha menguasai diri. “Anak muda ini bukan Harvey,” ujarnya
pada Jim. “Dia salah satu kembarannya. Sepertinya si Logan. Rupanya dia pura-
pura menjadi Harvey sejak kemarin malam. Harvey sendiri tentunya mereka
tahan entah di mana.”
Wajah Jim memucat- “Itu berarti apa yang dia ceritakan pada kita mengenai
rencana Jeannie Ferrami tidak benar!”
“Maaf, tapi kami tidak boleh memberikan nomor kamar tamu-tamu kami. Sir.”
Amarah Berrington nyaris meledak, saat suara itu menambahkan, “Bagaimana
kalau kami yang menyambungkan Anda dengan kamarnya?”
649
“Ya, baik.” Berrington mendengar nada panggil itu. Setelah menunggu sebentar,
ia dijawab oleh seorang laki-laki yang kedengarannya sudah berumur. Sambil
berimprovisasi, Berrington berkata, “Cucian Anda sudah siap, Mr. Blenkinsop.”
“Wah. mungkin sudah terlambat.” Berrington tampak ragu dan bingung. Ia tidak
ingin acara itu sampai tertunda, biarpun hanya untuk sesaat, tapi ia harus
berusaha mencegah entah apa yang sudah direncanakan oleh Jeannie. Selang
beberapa saat, ia berkata kepada Jim. “Bagaimana kalau kau duduk di panggung
bersama Madigan dan Preston? Aku akan berusaha sebisanya untuk menemukan
Harvey dan menghentikan Jeannie Ferrami.”
“Oke.”
Si pengawal berkata, “Itu bukan masalah, Sir. Aku bisa memborgolnya di sebuah
pipa.” “Bagus. Lakukan itu.”
Berrington dan Proust kembali ke ruang VIP. Madigan menatap dengan penuh
rasa ingin tahu ke arah mereka. “Ada masalah, Tuan-tuan?”
650
Berrington berkata, “Seorang wanita yang kupecat minggu lalu, Jeannie Ferrami,
ada di hotel ini sekarang. Mungkin dia akan mengacau, tapi aku akan berusaha
mencegahnya.”
“Kembalilah nanti.”
Berrington menoleh ke arah si pengawal. “Kau bisa tendang pintu ini sampai
jebol?”
kamar delapan dua satu Berrington menunggu sementara mereka lewat. Mereka
berhenti di muka kamar delapan tiga puluh. Si suami meletakkan kantong
belanjaannya, mencari kunci, dengan susah payah memasukkannya ke
lubangnya, lalu membuka pintu. Akhirnya pasangan itu menghilang ke dalam
kamar mereka.
Kusen pintu itu retak, tapi pintunya masih bertahan. Terdengar suara langkah-
langkah kaki dari dalam.
“Angkat tangan, tutup pintu itu, lalu masuk sini dan tiaraplah di situ, atau
kutembak kalian sampai mati,” ujar laki-laki itu. “Mengingat cara kalian masuk
ke sini, tidak seorang juri pun di Baltimore akan menyalah kanku kalau aku
membunuh kalian.”
Tiba-tiba sebuah sosok melesat dari tempat tidur. Berrington masih sempat
melihat bahwa itu adalah Harvey, dengan pergelangan tangan diikat” dan
semacam bekap di mulurnya. Laki-laki itu mengalihkan pistol ke arahnya.
Berrington khawatir putranya akan kena tembak, la berteriak “Jangan’.”
Gerakan si pak tua kurang cepat. Harvey berhasil menjatuhkan pistol dari
tangannya. Si pengawal langsung melompat untnk menyambarnya dari karpet.
Sambil berdiri, pengawal itu mengacungkannya ke arah si pak tua.
652
Jeannie keluar dari lift, mengenakan baju putih dan rok hitam, sambil membawa
sebuah baki berisi teh yang ia pesan sebelumnya untuk diantar ke kamarnya.
Jantungnya berdebar-debar. Sambil melangkah dengan sigap, ia memasuki
Regency Room.
Di ruang lobinya* yang kecil, dua wanita dengan sebuah daftar duduk di
belakang meja. Seorang petugas sekuriti yang berdiri di dekat meja itu sedang
mengobrol dengan mereka. Rupanya orang tidak bisa masuk ke dalam tanpa
undangan, tapi Jeannie yakin mereka tidak akan mencegat seorang pelayan yang
membawa baki. Ia memaksakan diri tersenyum ke arah si penjaga saat menuju
pintu masuk ruang konferensi itu.
Jeannie menoleh.
Jeannie segera memutar otak. “Senator Proust” Ia berharap laki-laki itu memang
di situ. “Oke, silakan.”
Di sisi lain ruangan itu, tiga laki-laki dalam setelan jas duduk di belakang sebuah
meja yang terletak di atas panggung. Di muka mereka terdapat setumpuk berkas.
Satu di antara mereka sedang berpidato. Yang hadir terdiri atas sekitar empat
puluh orang dengan bloknot, kaset-kaset kecil, dan kamera televisi genggam.
653
tampak seorang wanita dalam setelan hitam dan kacamata bermerek-Ia memakai
sebuah badge bertulisan:
Ternyata si humas yang ia lihat sebelumnya mengatur latar untuk acara itu.
Wanita itu menatap Jeannie dengan heran, tapi tidak berusaha menghentikannya;
tentunya ia mengira seseorang memang telah memesan sesuatu secara khusus.
Orang-orang yang berada di panggung itu memakai kartu nama di dada mereka.
Jeannie mengenali Senator Proust yang duduk di sebelah kanan. Di sebelah kiri
duduk Preston Barck. Yang di tengah, yang sedang berbicara, adalah Michael
Madigan. “Genetico bukan sekadar sebuah perusahaan bioteknologi yang amat
menjanjikan,” ujarnya dalam nada membosankan.
Jeannie berpaling ke arah para hadirin. “Aku akan membuat suatu pernyataan
khusus,” ujarnya.
Steve duduk di lantai dengan tangan kiri diborgol ke pipa pembuangan air
wastafel kamar mandi. Ia sangat marah, sekaligus putus asa. Berrington berhasil
membuka kedoknya hanya beberapa detik sebelum waktunya berakhir. Kini ia
sedang mencari Jeannie, dan mungkin akan menghancurkan seluruh rencananya
begitu ia berhasil menemukannya. Steve harus dapat melepaskan diri untuk
mengahari Jeannie.
Bagian atas pipa itu bersambung dengan tempat pembuangan air wastafel.
Ujungnya membentuk huruf S, kemudian menghilang ke dalam dinding. Setelah
654
mengubah posisi tubuhnya, Steve menjejakkan kaki pada pipa itu, kemudian
mengayunkan kakinya ke belakang dan menendang. Seluruh sistemnya bergetar,
la menendang sekali lagi. Plesteran semen di sekitar tempat pipa itu masuk ke
dalam dinding mulai retak. Ia menendang beberapa kali lagi. Plesterannya mulai
rontok, namun pipa itu ternyata tertanam kuat.
Jeannie berkata, “Dua puluh tiga tahun yang lalu, Genetico melakukan beberapa
eksperimen ilegal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas diri delapan
orang wanita Amerika, di luar sepengetahuan mereka.” Napasnya mulai
memburu, dan ia berusaha sebisanya untuk
655
r—
Caren Beamish berkata dalam nada terguncang, “Ini bukan acara untuk umum.
mohon segera meninggalkan tempat ini.”
Terdengar gumaman dari antara kerumunan para jurnalis. Mereka tertarik, pikir
Jeannie.
Di panggung, Preston Barck berdiri, lalu berkata, “Para hadirin, aku mohon
maaf. Kami memang sudah mengantisipasi adanya gangguan seperti ini.”
Jeannie melanjutkan, “Skandal ini berhasil mereka rahasiakan selama dua puluh
tiga tahun. Ketiga pelakunya—Preston Barck, Senator Proust, dan Profesor
Berrington Jones—telah mengupayakan segalanya untuk menutupinya,
sebagaimana dapat kukatakan berdasarkan suatu pengalaman pahit.”
656
Di bawah bakinya, Jeannie membawa sejumlah copy pernyataan pers yang telah
ia tulis dan sudah diperbanyak oleh Lisa. “Detail-detailnya ada di selebaran ini,”
ujarnya, sambil mulai membagi-bagi dan terus berbicara. “Kedelapan embrio itu
tumbuh dan kemudian dilahirkan. Tujuh di antara mereka masih hidup saat ini.
Anda akan mengenali mereka, karena tampang mereka semua mirip satu sama
lain.”
Dari ekspresi wajah para jurnalis itu, ia tahu bahwa ia berhasil mencapai
tujuannya. Saat melirik ke arah panggung, terlihat olehnya wajah Proust yang
gelap menahan amarah dan Preston Barck yang tampak seakan mau mati.
Sekitar waktu ini, Mr. Oliver seharusnya masuk bersama Harvey, sehingga
semua akan melihat bahwa tampangnya persis seperti Steve, dan mungkin juga
George Dassault. Tapi tak seorang pun di antara ketiga orang itu tampak. Gawat!
Jeannie masih terus berbicara, “Anda tentunya akan menganggap bahwa mereka
kembar—nyatanya DNA mereka memang identik—tapi mereka lahir dari
delapan ibu yang berbeda. Aku mendalami soal kekembaran, dan teka-teki
mengenai orang-orang kembar yang ternyata memiliki ibu berlainan ini
merupakan awal dari pelacakanku untuk menyingkapkan kisah yang amat
memprihatinkan ini.”
Pintu belakang ruangan itu terbuka tiba-tiba. Jeannie mengangkat wajah, dengan
harapan akan melihat salah seorang clone. Tapi ternyata Berrington-lah yang
masuk. Dengan terengah-engah, seakan habis berlari, Berrington berkata, “Para
hadirin, nona ini menderita gangguan jiwa, dan belum lama ini baru dipecat dari
pekerjaannya. Dia seorang peneliti dalam sebuah proyek yang didanai
657
oleh Genetico dan menaruh dendam pada perusahaan ini. Pihak sekuriti hotel
baru saja menahan rekannya di lantai lain. Mohon sahar sementara mereka
mengawal orang ini keluar dari sini, sesudah itu kita dapat melanjutkan acara
knnferensi pers kita.”
Jeannie berada dalam situasi terjepit sekarang. Mana Mr. Oliver dan Harvey?
Dan apa yang terjadi atas diri Steve? Penampilan dan selebarannya tidak akan
ada artinya tanpa bukti. Ia hanya memiliki beberapa detik lagi saat ini. Ada
sesuatu yang amat tidak beres rupanya. Entah bagaimana caranya, Berrington
berhasil mengacaukan rencananya.
Seorang petugas sekuriti dalam pakaian seragam memasuki ruangan itu, lalu
berbicara dengan Berrington.
Dalam keadaan putus asa, Jeannie berpaling ke arah Michael Madigan. Wajah
laki-laki itu suram sekali. Rupanya ia tipe laki-laki yang tidak suka kalau
acaranya yang sudah diatur dengan mulus terganggu. Namun demikian, Jeannie
toh mencobanya. “Berkas-berkas itu rupanya sudah ada di hadapan Anda, Mr.
Madigan,” ujarnya. “Apakah tidak lebih baik kalau Anda mengecek lebih dahulu
kebenaran cerita ini, sebelum Anda menandatanganinya? Seandainya ucapanku
benar, bayangkan berapa banyak uang yang akan dituntut oleh kedelapan wanita
itu!”
Para jurnalis tertawa, dan Berrington mulai tampak lebih percaya diri. Si petugas
sekuriti menghampiri Jeannie.
Jeannie berkata kepada yang hadir, “Semula aku berharap dapat menunjukkan
kepada Anda sekalian dua atau tiga di antara para clone itu, sebagai bukti.
Tapi… mereka rupanya berhalangan hadir.”
Para reporter itu tertawa lagi, dan Jeannie menyadari
658
Ia lewat di muka Berrington dan melihat laki-laki itu tersenyum. Ia merasa air
mata mulai merambah di matanya, namun ia berusaha menahannya sambil
menegakkan kepala. Persetan dengan kalian semua, umpatnya dalam hati; kelak
kalian akan tahu bahwa apa yang kukatakan itu benar.
Pada saat Jeannie dan si petugas sampai di pintu, tiba-tiba pintu itu membuka
dan Lisa muncul.
Jeannie menahan napas begitu merih.it salah seorang clone, persis di belakang
Lisa.
Laki-laki itu pasti George Dassault. Ternyata ia datang! Tapi seorang saja tidak
cukup—ia membutuhkan dua orang untuk menguatkan ceritanya. Andai kata
Steve muncul, atau Mr. Oliver bersama Harvey!
659
penuh antusias kepada para jurnalis itu. “Sekarang tanyakan pada mereka
tentang orangtua mereka. Mereka bukan kembar tiga. Ibu-ibu mereka tidak
mengenal satu sama lain! Tanyakan pada mereka. Ayo, tanyakan!”
Jeannie menjawab, “Namaku Dr. Jean Ferrami, dan aku seorang ilmuwan di
Jones Falls University, di departemen psikologi. Saat melakukan penelitian, aku
menemukan grup kembar ini, yang sepertinya identik, tapi ternyata sama sekali
tidak memiliki hubungan keluarga. Aku mulai melakukan penyelidikan
Berrington Jones mencoba memecatku untuk mencegah aku menemukan apa
yang selama ini mereka rahasiakan. Namun aku malah menemukan bahwa para
clone itu adalah hasil dari suatu eksperimen kemiliteran yang pernah dilakukan
Genetico.” Ia melayangkan mata ke sekelilingnya.
660
Di mana Steve?
Steve menendang sekali lagi, dan pipa pembuangan itu akhirnya jebol dari
bagian bawah wastafel. Semen dan serpihan marmer berhamburan. Setelah
mengangkat pipa itu dan menariknya dari wastafel, ia melungsurkan borgolnya
melalui celah yang terbentuk. Begitu bebas, ia langsung berdiri.
Di sebelah ruang VIP terdapat sebuah pintu bertulisan Regency Room. Di ujung
lain lorong itu berdiri salah satu kembarannya, menunggu lift.
661
melihat seorang, bukan… dua, tidak… tiga clone bersama mereka. Ia menerobos
kerumunan itu sambil berseru, “Jeannie’.’*
Jeannie menengadah ke arahnya, ekspresi di wajahnya tidak terbaca.
Steve berkata kepada Mish, “Kalau Anda mencari Harvey, dia ada di luar,
menunggu lift.”
Mish berkata kepada Jeannie. “Kau bisa bedakan yang mana dia?”
“Tentu,” ujar Jeannie sambil menatap Steve dan berkata, “Aku juga bisa main
tenis sedikit.”
Steve tertawa. “Kalau kau cuma bisa main tenis sedikit, kau bukan
tandinganku.”
“Terima kasih. Tuhan!” ujar Jeannie. Ia segera memeluk Steve. Anak muda itu
tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Jeannie untuk
menciumnya.
Mereka segera dikerubuti oleh kamera, lampu-lampu blitz menyala, dan foto
itulah yang menghias halaman muka surat-surat kabar di seluruh dunia pada hari
berikutnya.
662
BULAN JUNI BERIKUTNYA
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader dimhad.co.cc) oleh:
BAB 63
Forest Lawns amat mengingatkan akan sebuah hotel tempo dulu yang
bersuasana ramah. Dengan dinding-dinding dilapis kertas bercorak bunga-bunga,
pernak-permk porselen dalam lemari-lemari kaca, dan meja-meja berkaki
ramping di sana-sini. Harum rangkaian potpourri memenuhi tempat itu, bukan
disinfektan, dan para anggota stafnya memanggil ibu Jeannie dengan Mrs.
Ferrami, bukan Maria atau dear. Mom menempati sebuah kamar suite kecil,
dengan sebuah ruang duduk mungil, tempat tamu-tamunya dapat duduk dan
minum-minum teh.
“Ini suamiku, Mom,” ujar Jeannie. Steve tersenyum sesimpatik mungkin sambil
mengulurkan tangan.
“Dia baik-baik saja. Dia sudah terlalu tua untuk merampok orang-orang, karena
itu dia malah memberikan perlindungan kepada mereka sekarang. Dia memiliki
perusahaan jasa sekuriti sendiri. Dan sepertinya lumayan maju.”
665
“Tapi Mom kan sudah bertemu dengannya. Dia mengunjungi Mom Tapi Mom
tidak ingat.” Jeannie segera mengubah topik percakapan mereka. “Mom
kelihatan segar.” Ibu Jeannie mengenakan gaun panjang manis dari bahan katun,
dengan corak garis halus. Rambutnya tertata rapi, dan kukunya tampak terawat.
“Mom suka di sini? Lebih menyenangkan daripada di Belia Vista, bukan?”
Wajah Mom mulai tampak waswas. “Bagaimana kita akan membayar semua ini,
Jeannie? Aku tidak punya uang.”
Jeannie tahu bahwa ibunya tidak akan mengerti, tapi ia tph mengungkapkannya.
“Aku pimpinan Genetics Research di sebuah perusahaan besar bernama
Landsmann.” Michael Madigan menawarkan pekerjaan itu kepadanya setelah
seseorang memberikan penjelasan mengenai riset yang ditekuninya selama ini.
Gajinya tiga kali lebih banyak daripada yang diperolehnya di Jones Falls. Dan
yang membuatnya lebih antusias lagi adalah pekerjaannya merupakan ujung
tombak seluruh kegiatan dalam bidang riset genetjka
“Bagus sekali,” ujar Mom. “Oh! Sebelum aku lupa, ada sebuah foto dirimu di
koran. Aku menyimpannya.” la merogoh isi tas tangannya, lalu mengeluarkan
sehelai potongan koran. Ia membuka lipatannya, lalu menyodorkannya ke arah
Jeannie.
Jeannie sudah pernah melihat gambar itu, namun ia mengamatinya seakan baru
pertama kali melihatnya. Foto itu menggambarkan dirinya dalam suatu kongres
untuk menyidangkan kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan di Aventine
Clinic. Hasil laporannya belum disebarluaskan secara resmi, tapi isinya sudah
bisa diperkirakan. Sidang pemeriksaan atas Jim Proust, yang
666
Mom berkata, “Menurut koran, kau harus memberikan kesaksian. Kau tidak
terlibat masalah, bukan?”
Jeannie dan Steve bertukar pandang sambil tersenyum “Ya, selama seminggu, di
bulan September yang lalu. Mom. Tapi semuanya kemudian berakhir dengan
baik.”
“Itu bagus.”
Jeannie berdiri. “Kami harus berangkat sekarang. Kami sedang berbulan madu,
dan harus mengejar pesawat.” “Ke mana kalian pergi?”
“Ke sebuah tempat peristirahatan kecil di Kepulauan Karibia. Kata orang, itu
tempat terindah di dunia.”
Steve menjabat tangan Mom, dan Jeannie memberikan kecupan selamat tinggal
kepadanya.
“Selamat berlibur. Manis.” seru Mom saat mereka pergi. “Kau layak
mendapatkannya.”
667
r—
mciiimpii anda.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka yang namanya
tercantum di bawah ini, atas bantuan mereka dalam riset untuk buku The Third
Twin ini:
Di Baltimore City Police: Letnan Frederic Tabor, Letnan Larry Leeson, Sersan
Sue Young, Detektif Alexis Russell, Detektif Aaron Stewart, Detektif Andrea
Nolan. Detektif Leonard Douglas;
Dl Baltimore County Police: Sersan David Moxley dan Detektif Karen Gentry;
Petugas Pengadilan Cheryl Alston, Hakim’ Barbara Baer Wax man. Asisten
Pembela Umum Negara Mark Cohen;
Carole Kimmell, RN, di Mercy Hospital; Profesor Trish VanZandt beserta para
koleganya di Johns Hopkins University; Ms. Bonnie Ariano, Pimpinan Pusat
Rehabilitasi Korban Kejahatan Seks & Tindak Kekerasan di Baltimore;
Di Fort Detrick di Frederick, Md: Ms. Eileen Mitchell, Mr. Chuck Dasey,
Kolonel David Franz;
669
Penulis juga amat berterima kasih kepada editor penulis, Suzanne Baboneau,
Maijorie Chapman, dan Ann Patty; kepada para teman dan handai taulan yang
membaca konsep buku ini dan memberikan komentar mereka, terutama Barbara
Follett. Emanuele Follett. Katya Follett, Jann Turner, Kim Turner, John Evans,
George Brennan, dan Ken Burrows; kepada para agen Amy Berkower, Bob
Bookman, dan—terutama sekali—kepada kolaborator dan kritikus penulis yang
paling tajam, Al Zuckerman.
670
Ya, catat nama saya sebagai anggota GRAMEDIA BOOK CLUB dan kirimi
saya informasi setiap kali ada buku barn karya pengarang favorit saya yang
terbit.
-Telp:-
( ) John Grisham
( ) Sidney Sheldon
( ) Alimir MacLean
< )J«ckHiggin»
( ) Frederick Forsyth
( ) Michael Cricbton
( ) Steve Martini
( ) Irving Wallace
( ) Stephen King
(Kembaran Ketiga)
( ) Pearl S. Buck
( ) Jackie ColHni
( ) Rosarnunde Pilcher
( ) Agatha Chriitie
( (DanielleSteel
( >R.L.Stine
( )KenFoUet