Anda di halaman 1dari 582

Jeannie

Ferrami, seorang ilmuwan muda yang brilian, sedang mengadakan


penelitian mengenai pengaruh genetika dalam menentukan sifat seseorang, dan
ia mendapatkan sebuah penemuan mengejutkan. Dengan menggunakan database
milik FBI, ia menemukan dua pemuda yang tampaknya merupakan kembar
identik. Yang seorang, Steve, adalah mahasiswa hukum, dan satunya, Dennis,
seorang pembunuh yang kini berada di penjara. Namun keduanya dilahirkan
pada hari yang berbeda, oleh ibu yang berbeda, di rumah sakit yang terpisah
ratusan mil jauhnya.

Jeannie berusaha menyelidiki lebih jauh tentang mereka, namun semakin banyak
pihak-pihak yang berusai,a menghalanginya. Situasinya semakin buruk ketika ia
jatuh cinta pada Steve, salah satu kembar identik itu, yang kemudian dituduh
melakukan tindak kejahatan. Dan lebih mengejutkan lagi ketika ia mendapati
bahwa si kembar ternyata tidak hanya berdua…

Dalam fhr/7/er terbarunya ini, KEN FOLLETT mengangkat masalah rekayasa


genetika yang sedang menjadi topik pembicaraan masa

Penerbit,: PT Gram^di;

i,*“VJI. Palmerah [->4arta 1027


KEMBARAN KETIGA
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.cu.cc) oleh:

Dilarang meng-koiiiersil-kan atau kesialan menimpa hidup anda si-laiuanya.

Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang


Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau


memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda pai ng banyak Rp
00.000.000 — (seratus juta rupiah).

2. Barangsiapa dengan—sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau


menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara peling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh
juta rupiah).
KEN FOLLETT
KEMBARAN KETIGA

di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa hidup anda selamanya

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, i 997

THE THIRD TWIN by Ken Follett Copyright © Ken Follett 1996 All rights
reserved. No pan of this publication may be reproduced, stored in or introduced
into a retrieval system, or transmitted, in any form, or by any means electron!
mechanical, photocopying, recording, or otherwise) without the prior written
permission of the publisher. Any person who does any unauthorized act in
relation to this publication may be liable to criminal prosecution and civil claims
for damages.

KEMBARA N KETIGA Alih bahasa: Kathleen S.W ‘ GM. 402 97.613 Hak cipta
terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama II. Palmerah
Selatan 24-26, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Mei 1997

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbiun iKCT)

FOLLETT, Ken

Kembaran Ketiga / Ken Follett; alih bahasa, Kathleen, SW.— Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1997

672 him. ; 18 cm.

Judul asli: The Third Twin ISBN 979-605-613-5

i. Judul n. Kathleen, S W

813

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan

Teruntuk anak-anak lirihi: Jann Turner, Kim Turner, dan Adam Broer dengan
penuh sayang
I
v:
MINGGU
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader ilimhtul.co.ee) oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa hidup ando selamanya.

BAB 1

Gelombang panas menyelubungi Baltimore, bak .sehelai selimut. Daerah


pinggirannya yang hijau dipersejuk oleh ratusan ribu alat penyemprot taman,
namun para warganya yang terkemuka tinggal di dalam rumah dengan AC
dinyalakan penuh. Di North Avenue, para pelacur yang resah bernaung di
tempat-tempat teduh, bermandi keringat yang mengalir dari bawah rambut palsu
mereka, sementara anak-anak tanggung di pojok-pojok jalan mengeluarkan obat-
obat terlarang dari saku celana-celana baggy mereka. Ketika itu menjelang akhir
bulan September, namun musim gugur rupanya masih jauh.

Sebuah Datsun putih karatan, dengan satu lampu dim yang pecah dan ditempeli
cellotape. melesat melintasi sebuah daerah hunian kaum pekerja kulit putih yang
terletak di sebelah utara pusat kota. Mobil itu tidak memiliki AC, dan
pengemudinya membiarkan semua jendelanya dalam keadaan terbuka. Ia
seorang pemuda tampan berusia dua puluh dua tahun, mengenakan celana jeans,
baju kaus putih yang bersih, dan topi pet baseball merah dengan tulisan
SEKURITI dalam huruf-huruf putih di bagian depannya. Joknya yang dibungkus

plastik terasa licin di bawah pahanya, gara-gara keringatnya, tapi itu tidak
mengganggu kenyamanannya Suasana hatinya sedang bagus. Radio mobilnya
sedang menangkap siaran stasiun 92Q—“Twenty jams in a row!” Di bangku
sebelahnya tergeletak sebuah map dalam keadaan terbuka. Sekali-sekali ia
melirik ke sana, menghafal sehelai halaman ketik yang memuat beberapa istilah
teknik untuk tes besok. Belajar merupakan hal mudah baginya, dan ia akan
menguasai materi itu setelah mempelajarinya selama beberapa menit.

Di sebuah lampu setopan, seorang wanita pirang dalam mobil Porsche dengan
kap terbuka menghentikan kendaraannya di sebelahnya Pemuda itu tersenyum
padanya, lalu berkata, “Asyik mobilnya!” Wanita itu membuang muka tanpa
menjawab, namun ia yakin melihat seulas senyum membayang di sudut-sudut
bibirnya. Di balik kacamata hitamnya yang besar, usianya mungkin dua kali
lebih tua daripadanya, seperti kebanyakan wanita yang duduk di belakang
kemudi Porsche. “Ayo balapan sampai lampu setopan berikut,” lantangnya.
Wanita itu tertawa, renyah dan menggoda, kemudian memindahkan
persenelingnya dengan sebuah tangan ramping yang elegan, dan melesat dari
situ bak roket.

Si pemuda angkat bahu. Ia cuma iseng.

Ia melewati kampus Jones Falls University yang teduh, sebuah perguruan tinggi
Ivy League yang lebih elite daripada universitasnya sendiri. Saat melewati pintu
gerbangnya yang mengesankan, ia melihat rombongan delapan atau sepuluh
orang cewek sedang berjoging dalam pakaian olahraga mereka: celana pendek
ketat, sepatu Nike, baju kaus dan atasan yang penuh keringat. Rupanya mereka
tim pemain hockey yang sedang melakukan pemanasan, tebaknya, dan yang
bertampang sportif di depan adalah kapten mereka, yang akan mempersiapkan
kondisi mereka untuk menghadapi musim itu.

10

Mereka -membelok masuk ke dalam kampus, dan sekonyong-konyong ia


terhanyut dalam suatu fantasi yang begitu kuat dan mendebarkan, sehingga ia
hampir tak dapat memusatkan perhatian pada kemudinya lagi. Ia
membayangkan mereka berada di dalam ruang ganti— yang gemuk menyabuni
dirinya di bawah pancuran air, si rambut merah menghanduki mahkota
bernuansa perunggunya yang panjang, si gadis kulit hitam sedang mengenakan
celana dalam putihnya yang dari bahan renda, si kapten tim yang kekar mondar-
mandir telanjang sambil memamerkan otot-otot tubuhnya. Mendadak terjadi
sesuatu yang membuat mereka ketakutan. Mereka semua menjadi panik, dengan
mata melebar, menjerit-jerit dan menangis, nyaris histeris. Mereka berlarian ke
sana kemari, bertabrakan satu sama lain. Si gendut terjerembab, kemudian
tergeletak tak berdaya sambil menangis, sementara yang lain menginjak-injak
tubuhnya tanpa peduli saat mereka berusaha mati-matian bersembunyi, atau
menemukan pintu keluar, atan kabur dari entah apa yang membuat mereka
begitu ketakutan.

Ia menepikan kendaraannya ke pinggir jalan, lalu mengoper persenelingnya ke


posisi netral. Irama napasnya cepat sekali, dan ia dapat merasakan deburan
jantungnya. Belum pernah fantasinya sampai sehebat ini. Tapi toh ada sesuatu
yang kurang. Apa yang membuat mereka begitu takut? Ia memutar otak untuk
mencari jawabannya, kemudian tersentak saat ia menemukannya: api. Tempat itu
terbakar, dan mereka ketakutan menghadapi jilatan apinya. Mereka batuk-batuk
dan merasa sesak oleh. asapnya saat berdesak-desakan dalam keadaan setengah
telanjang dan kebingungan. “Wauw,” desahnya sambil menatap lurus ke depan,
membayangkan skenario itu, bak sebuah film yang sedang diproyeksikan ke
permukaan kaca depan mobil DatSun-nya.

Selang beberapa saat, ia menjadi lebih tenang. Dorongan itu masih terasa kuat,
namun sekadar berfantasi

tidak lagi cukup baginya; rasanya seperti membayangkan sebotol bir saat sedang
didera rasa haus. Ia menaikkan bagian keliman baju kausnya untuk menghapus
keringat dari wajahnya Ia tahu bahwa sebaiknya ia berusaha melupakan
fantasinya itu, dan melanjutkan perjalanannya; tapi skenario itu begitu indah.
Akan berbahaya sekali tentunya. Ia bisa masuk penjara selama bertahun-tahun
kalau tertangkap basah, lapi seumur hidupnya, bahaya tidak pernah membuatnya
mengurungkan niatnya Ia berusaha menyisihkan godaan itu dari pikirannya,
walau hanya untuk sesaat. “Aku kepingin,” gumamnya sambil memutar
mobilnya, lalu melintasi pintu gerbang megah itu, masuk ke dalam kawasan
kampus.

Ia sudah pernah ke sini. Kawasan universitas yang membentang seluas sekitar


seratus ekar itu terdiri atas lapangan rumput, taman, dan daerah berpohon-pohon
rimbun. Bangunannya kebanyakan dibuat dari batu bata merah, dengan beberapa
kerangka beton-dan-kaca yang modem, semua saling dihubungkan dengan jalur-
jalur jalanan sempit yang dilengkapi deretan meteran parkir.

Tim hockey itu sudah menghilang entah ke mana, namun dengan mudah ia
menemukan gelanggang olahraganya sebuah bangunan rendah di sebelah suatu
pelintasan lari, dengan patung besar seorang pelempar cakram di luar. Ia
memarkir mobilnya di dekat sebuah meteran, namun tidak memasukkan koin ke
dalamnya; ia memang tidak pernah memasukkan uang ke dalam meteran parkir.
Si kapten tim hockey yang berotot itu sedang berdiri di tangga gedung olahraga,
mengobrol dengan seorang cowok yang mengenakan kaus oblong sobek. Si
pemuda lari menaiki tangga, tersenyum pada si kapten saat melewatinya, lalu
mendorong pintu masuk ke dalam bangunan itu.

Lobinya penuh dengan anak-anak muda dan gadis-gadis bercelana pendek dan
berikat kepala yang mondar-mandir dengan raket di tangan dan ransel
terselempang

12

di pundak. Rupanya hampir semua tim olahraga di perguruan itu latihan pada
hari Minggu. Di belakang sebuah meja di tengah lobi ada seorang petugas
sekuriti yang mengecek kartu mahasiswa yang lalu lalang, tapi pada saat itu
serombongan besar atlet lari muncul secara bersamaan dan lewat di muka si
petugas, ada yang sambil melambaikan kartu pengenal mereka, ada yang tidak.
Si petugas cuma angkat bahu, kemudian mengalihkan perhatiannya kembali ke
buku The Dead Zone yang sedang dibacanya.

Si pemuda berpaling, lalu melihat sebuah lemari kaca yang memperagakan


beberapa piala perak yang pernah dimenangkan oleh para atlet Jones Falls.
Beberapa saat kemudian, sebuah tim pemain sepak bola masuk, sepuluh laki-laki
dan seorang wanita bertubuh kasar yang mengenakan sepatu sepak bola. Si
pemuda segera bergabung dengan mereka Ia melintasi lobi sebagai anggota grup
itu, lalu mengikuti mereka menelusuri sebuah tangga lebar menuju lantai bawah.
Mereka sedang berbincang-bincang mengenai permainan mereka, tertawa puas
saat menyinggung soal gol yang berhasil mereka cetak, dan agak sengit
mengenai suatu kesalahan, tapi mereka tidak memperhatikan keberadaannya di
antara mereka

Sikapnya santai, namun matanya betul-betul awas. Di kaki tangga itu terdapat
sebuah lobi kecil dengan sebuah mesin Coca Cola dan telepon umum. Ruang
ganti untuk laki-laki terletak di pojok lobi itu. Si wanita dari tim sepak bola terus
menelusuri sebuah lorong panjang, menuju ruang ganti kaum wanita, yang
sepertinya dibangun sebagai tambahan oleh seorang arsitek yang mengira tidak
akan pernah ada cukup banyak cewek di Jones Falls, di masa “sekolah campur”
masih dianggap sebagai ide yang seksi.

Si pemuda meraih gagang pesawat telepon umum, lalu berpura-pura mencari


koin. Cowok-cowok mulai

13

mengalir masuk ke dalam ruang ganti laki-laki. Ia melihat si wanita membuka


sebuah pintu, Lalu menghilang di baliknya. Itu tentunya ruang ganti cewek.
Mereka semua ada di dalam sana, ujarnya pada dirinya dengan antusias; mereka
membuka pakaian, mandi dan menggosok tubuh dengan handuk-handuk mereka.
Berada begitn dekat dengan mereka membuatnya merasa panas. Ia mengusap
alisnya dengan punggung tangan. Yang perlu ia lakukan untuk menyempurnakan
fantasinya hanyalah membuat mereka semua ketakutan setengah mati.

la berusaha menenangkan diri. Ia tak ingin membuyarkannya dengan melakukan


sesuatu yang gegabah. Ia membutuhkan beberapa menit untuk menyusun
rencananya.

Setelah mereka semua menghilang, ia menyelinap menyelusuri lorong itu, di


belakang si wanita.

Ternyata ada tiga pintu; dua letaknya berseberangan dan satu di pojok. Pintu
sebelah kanan adalah yang diambil wanita itu. la memeriksa pintu paling pojok
dan menemukan sebuah ruangan besar penuh debu, dengan mesin-mesin
raksasa: ketel uap dan penyaring. Untuk kolam renang, tebaknya la melangkah
ke dalam, kemudian menutup pintu di belakangnya. Terdengar deru rendah yang
monoton. Ia membayangkan seorang gadis yang ketakutan, hanya mengenakan
pakaian dalam—BH dan celana putih bercorak bunga—tergeletak di lantai
sambil mene raw angin ya dengan mata menyiratkan ketakutan saat ia
melepaskan ikat pinggangnya, la menikmati visi itu sesaat, sambil tersenyum
pada dirinya Cewek itu cuma beberapa meter darinya Saat ini mungkin ia sedang
membayangkan acaranya malam itu; mungkin ia sudah punya pacar, dan sedang
mempertimbangkan untuk membiarkan pacarnya melakukan apa yang ingin
dilakukannya malam itu, atau mungkin ia seorang mahasiswi baru yang kesepian
dan masih

sedikit malu-malu, yang tidak punya rencana apa-apa untuk malam itu selain*
menonton Columbo; atau mungkin ia akan mengerjakan tugas yang harus ia
serahkan besok, dan sudah merencanakan bergadang sepanjang malam untuk
menyelesaikannya Tapi lupakan semua itu, Sayang. Ini waktu untuk bermimpi
buruk.

Ia sudah pernah melakukan hal seperti ini, meskipun tidak pernah dalam skala
sedemikian besar. Ia memang amat stika menakuti gadis-gadis, sejauh yang
diingatnya. Sewaktu di sekolah menengah, tak ada yang lebih menyenangkan
baginya selain memojokkan seorang gadis sendirian, untuk diancam sampai
menangis dan memohon kepadanya agar dikasihani. Karena itulah ia terpaksa
pindah dari sekolah yang satu ke sekolah yang lain. Kadang-kadang ia
mengencani mereka, sekadar untuk melakukan apa yang dilakukan cowok-
cowok lain, dan ada yang untuk ia gandeng saat memasuki bar. Kalau sepertinya
mereka sudah mengharapkan itu, ia akan menggerogoti mereka, tapi itu tidak
seru.

Semua orang memiliki kelainan, menurutnya: ada cowok yang suka mengenakan
pakaian wanita, ada yang menyuruh cewek berpakaian kulit menginjak-injak
tubuh mereka dengan sepatu bertumit runcing. Seseorang yang ia kenal
menganggap bagian paling seksi dari seorang wanita adalah kakinya, dan ia akan
terangsang sekali saat berada di bagian sepatu wanita sebuah toserba, mengawasi
mereka memakai dan melepaskan sepatu.

Obsesinya adalah ketakutan. Yang membuatnya amat bergairah adalah wanita


yang gemetar ketakutan. Tanpa rasa takut; rangsangan itu tidak akan ada

Saat mempelajari keadaan sekelilingnya, ia melihat sebuah tangga terpancang


pada dinding, menuju ke sebuah penutup langit-langit dari besi yang disindik
dari dalam. Cepat-cepat ia menaiki tangga itu, membuka sindiknya, lalu
mendorong penutup itu. Pandangannya tertumbuk pada ban sebuah mobil
Chrysler New Yorker

15

yang terparkir di dalam sebuah garasi. Setelah berhasil mengorientasi diri, ia


menyadari ia sedang berada di bagian belakang bangunan. Ia menutup kembali
penutup langit-langit itu, lalu turun ke bawah.

Ia meninggalkan ruangan mesin kolam renang itu. Saat menelusuri lorong,


seorang wanita yang muncul dari arah berlawanan menatap curiga ke arahnya.
Untuk sesaat ia merasa gelisah; bisa saja wanita itu menanyakan apa yang
sedang ia lakukan di sekitar ruang ganti kaum cewek itu. Situasi seperti itu tidak
termasuk dalam skenarionya. Rencananya bisa berantakan. Namun mata si
cewek beralih ke topi petnya yang bertulisan SEKURITI, kemudian ke arah lain,
sambil membelok masuk ke ruang ganti.

Si pemuda menyeringai. Topi itu ia beli seharga $8.99 di sebuah toko suvenir.
Namun orang-orang sudah terbiasa melihat para petugas bercelana jeans di
konser-konser musik rock, detektif-detektif yang tampangnya seperti preman
sampai mereka menjentikkan lencana mereka, atau polisi-polisi bandara dalam
baju wol; terlalu merepotkan untuk mempertanyakan keabsahan wewenang
semua orang yang mengaku dirinya petugas sekuriti.
la mencoba pintu yang terletak di seberang ruang ganti kaum cewek itu. Ternyata
sebuah gudang kecil. Ia menyalakan lampunya sambil menutup pintu di
belakangnya.

Berbagai peralatan olahraga yang sudah tidak terpakai menumpuk di rak-rak di


sekelilingnya: bola-bola besar berwarna hitam, matras-matras karet yang sudah
usang, pemukul bola. sarung tangan tinju yang sudah jamuran, kursi-kursi lipat
dari kayu yang sudah reot. Ada sebuah kuda-kuda lompat dengan bantalan yang
sudah jebol dan satu kaki patah. Udara di dalam ruangan itu terasa pengap.
Sebuah pipa besar melintang di langit-langit, dan ia memperkirakan dari situlah
ruang ganti yang terletak di seberang lorong itu mendapatkan ventilasinya.

16

Ia mengulurkan tangan ke atas untuk meraba baut yang memasak pipa itu pada
sebuah kipas, la tidak dapat membukanya dengan tangan kosong, tapi ia
mempunyai kunci pas di dalam bagasi mobil Datsun nya Kalau ia dapat
melepaskan pipanya, kipas itu akan menyedot udara dari dalam gudang ini,
bukannya dari luar gedung.

Ia bisa membuat apinya persis di bawah kipas itu. la akan mencari sekaleng
minyak untuk dituang ke dalam sebuah botol Pemer kosong, lalu dibawa ke sini
bersama korek api dan koran untuk dinyalakan, berikut kunci pas itu.

Apinya akan cepat besar dan menimbulkan asap tebal, la akan membekap hidung
dan mulutnya dengan sepotong kain basah, dan menunggu sampai seluruh
gudang itu penuh asap. Kemudian ia akan membuka pipa ventilasi. Asap akan
tersedot ke dalam saluran pipa, menuju bagian dalam ruang ganti pakaian cewek.
Pada awalnya tidak akan ada yang memperhatikan. Kemudian satu atau dua
orang akan menghirup udara sambil berkata. “Ada yang merokok, ya?” la akan
membuka pintu gudang itu dan membiarkan asap mengalir ke dalam lorong itu.
Kemudian cewek-cewek itu akan menyadari ada sesuatu yang benar-benar tidak
beres. Mereka akan membuka pintu ruang ganti itu, lalu mengira seluruh gedung
sedang terbakar, dan mereka akan panik.

Sesudah itu ia akan masuk ke dalam ruang ganti. Di mana-mana akan berceceran
BH-BH dan stocking, buah dada dan bokong yang terbuka. Akan ada yang
berhamburan keluar dari kabin-kabin mandi dalam keadaan telanjang dan basah,
sambil berusaha menggapai handuk; ada yang akan mencoba memakai pakaian;
kebanyakan akan berlarian ke sana kemari mencari pintu-dengan pandangan
setengah kabur gara-gara asap. Akan ada jeritan-jeritan, isakan, dan teriakan-
teriakan ketakutan. Ia akan terus berlagak sebagai petugas sekuriti dengan

17

berteriak ke arah mereka, “Jangan berhenti untuk berpakaian! Situasinya gawat!


Keluar! Seluruh bangunan sudah terbakar. Lari, lari!” Ia akan memukuli bokong-
bokong telanjang mereka, mendorong mereka ke sana kemari, merenggut
pakaian mereka sambil menggerayangi tubuh-tubuh mereka. Mereka akan tahu
ada yang betul-betul tidak beres, tapi kebanyakan akan terlalu panik untuk
berpikir dengan kepala dingin. Andai kata si kapten hockey masih di sana,
mungkin akan terpintas dalam dirinya untuk bertanya padanya, tapi ia tinggal
membungkamnya dengan tinjunya

Sambil menjelajah, ia akan menyeleksi korban utamanya Cewek cantik dengan


tampang tak berdaya. Ia akan meraih lengannya, sambil berkata, “Ayo, lewat
sini, aku dari sekuriti.” Ia akan menggiringnya menelusuri lorong, kemudian
membawanya membelok ke arah yang salah, ke ruang mesin kolam renang. Di
sana, persis pada saat cewek itu mengira dirinya sedang diselamatkan, ia akan
menempeleng wajahnya dan meninju perutnya, lalu meng paskannya ke lantai
beton yang kotor itu. Ia akan mengawasi saat cewek itu terjerembab, berpaling,
kemudian duduk tegak, menahan napas, lalu mengisak sambil menatapnya
dengan ketakutan membayang di matanya.

Sesudah itu ia akan tersenyum dan membuka ikat pinggangnya.

18

BAB 2

Mrs. Ferrami berkata, “Aku mau pulang.” Putrinya, Jeannie, berkata, “Jangan
khawatir, kami akan mengeluarkan Mom dari sini, lebih cepat daripada yang
Mom perkirakan.”

Adik Jeannie, Patty, menatap kakaknya dengan pandangan yang mengatakan:


Memangnya kaupikir itu mudah?

The Belia Vista Sunset Home adalah satu-satunya rumah perawatan yang
ongkos-ongkosnya dapat ditutup dengan polis asuransi kesehatan Mom.
Suasananya bisa dibilang norak. Di dalam kamar itu terdapat dua tempat tidur
rumah sakit yang tinggi, dua lemari pakaian, sebuah sofa, dan sebuah televisi.
Dinding-dindingnya dicat warna cokelat jamur dan lantainya dari ubin plastik
berwarna krem dengan guratan-guratan oranye. Jendelanya berterali, tapi tanpa
tirai, dan menghadap ke arah sebuah pompa bensin. Ada sebuah wastafel di
pojok dan sebuah kamar mandi di ujung lorong.

“Aku mau pulang,” ulang Mom.

Patty berkata. “Tapi Mom terus lupa ini-itu. Mom tidak bisa menjaga diri sendiri
lagi.”

“Tentu saja bisa. Berani-beraninya kau bilang begitu padaku.”

19

Jeannie menggigit bibirnya. Melihat tubuh rapuh ibunya, ia ingin menangis.


Mom memiliki garis-garis wajah yang kuat—alis mata hitam, mata berwarna
gelap, hidung lurus, mulut lebar, dan dagu kuat. Pola yang sama diturunkan
kepada Jeannie dan Patty, meskipun tubuh Mom termasuk kecil, sementara
mereka sama-sama jangkung seperti Daddy. Mereka bertiga memiliki kemauan
keras seperti yang terpancar dari wajah mereka; tegar adalah kata yang biasa
dipakai untuk mendeskripsikan ketiga wanita dalam keluarga Ferrami ini.
Namun Mom tidak akan pernah setegar dulu lagi. Ia terserang penyakit
Alzheimer.

Usia Mom belum enam puluh tahun.’ Semula Jeannie, yang berusia dua puluh
sembilan tahun, dan Patty, yang berusia dua puluh enam, berharap ia dapat
mengurus dirinya sendiri selama beberapa tahun lagi, namun harapan itu buyar
pagi ini, pada pukul lima, ketika seorang petugas kepolisian dari Washington
menelepon untuk mengabari bahwa ia telah menemukan Mom berjalan kaki
menelusuri 18th Street dalam gaun malam lusuhnya sambil menangis dan
mengatakan bahwa ia tidak ingat di mana ia tinggal.

Jeannie langsung naik mobilnya dan pergi ke Washington, yang berjarak satu
jam dari Baltimore, di pagi hari Minggu yang masih sepi itu. Ia menjemput Mom
dari sebuah rumah penampungan, membawanya pulang, dan setelah
memandikan dan mendandaninya, ia menelepon Patty. Bersama-sama mereka
mengatur agar Mom bisa masuk ke Belia Vista. Rumah perawatan itu terletak di
kota Columbia, antara Washington dan Baltimore. Bibi mereka, Bibi Rosa,
menghabiskan sisa hidupnya di sini. Bibi Rosa juga memiliki polis asuransi yang
sama seperti Mom.

“Aku tidak suka tempat ini,” ujar Mom. Jeannie berkata, “Kami juga, tapi untuk
sementara kami cuma sanggup menempatkan Mom di sini.” Semula

20

ia berniat mengatakannya dalam nada apa adanya, tapi ternyata keluarnya


menjadi agak ketus.

Patty menatapnya dengan pandangan mencela, lalu berkata, “Ayolah, Mom, kita
kan pernah tinggal di tempat-tempat yang lebih buruk daripada ini.”

Memang benar. Setelah ayah mereka masuk penjara untuk kedua kalinya,
mereka dan Mom terpaksa tinggal di sebuah kamar dengan kompor listrik di atas
bufet dan sebuah wastafel di lorong. Itu adalah masa-masa hidup dari jaminan
sosial. Tapi Mom masih amat tegar ketika itu. Begitu Jeannie dan Patty masuk
sekolah, ia mencari seorang wanita setengah baya yang dapat dipercaya untuk
mengurus anak-anak itu begitu mereka pulang, lalu mencari pekerjaan—
sebelumnya ia seorang penata rambut, dan ternyata masih cukup andal,
meskipun agak kuno. la memindahkan mereka semua ke sebuah apartemen kecil
dengan dua kamar tidur di Adams-Morgan, yang ketika itu merupakan daerah
hunian kelas pekerja baik-baik

Ia akan menyiapkan roti goreng dengan telur untuk sarapan, lalu mengirim
Jeannie dan Patty ke sekolah dalam gaun-gaun bersih. Sesudah itu ia akan
menata rambutnya dan memakai makeup di wajahnya—orang harus tampil rapi
kalau bekerja di salon—dan selalu meninggalkan dapur dalam keadaan bersih,
dengan sepiring kue di meja untuk anak-anaknya kalau mereka pulang. Pada hari
Minggu, mereka bertiga membersihkan apartemen itu dan mencuci semua
pakaian mereka bersama-sama. Mom dulu begitu serba bisa, begitu dapat
diandalkan, tidak pernah mengenal capek; betul-betul menyedihkan melihatnya
menjadi wanita pelupa yang terus mengeluh di tempat tidur.

Kini ia mengerutkan alisnya, seakan bingung, lalu berkata, “Jeannie, kenapa kau
pakai cincin itu di hidungmu?”

Jeannie menyentuh cincin perak itu sambil tersenyum


21

sendu. “Mom, aku kan menindik hidungku sewaktu masih remaja. Masa Mom
sudah lupa bagaimana marahnya Mom gara-gara itu? Aku sudah khawatir Mom
bakal mengusirku.” “Aku lupa,” ujar Mom.

“Aku masih ingat,” ujar Patty. “Di mataku kau hebat sekali. Tapi ketika itu aku
baru berusia sebelas tahun dan kau empat belas, dan bagiku apa pun yang
kaulakukan benar-benar berani, gaya, dan hebat.”

“Mungkin,” sahut Jeannie dalam nada tidak pasti.

Patty tertawa cekikikan. “Tapi jaket oranye itu gawat sekali.”

“Ya, jaket itu. Mom akhirnya membakarnya setelah aku mengenakannya saat
tidur di sebuah bangunan yang sudah ditinggalkan, dan mendapat kutu.”

“Aku ingat itu,” ujar Mom. “Kutu! Anakku punya kutu!” la masih tetap merasa
sengit mengenai itu, lima belas tahun sesudahnya.

Tiba-tiba suasananya menjadi lebih enak. Kenangan-kenangan itu mengingatkan


mereka betapa akrabnya mereka dulu. Saat yang baik untuk angkat kaki.
“Sebaiknya aku pergi sekarang,” ujar Jeannie sambi) berdiri.

“Aku juga,” ujar Patty. “Aku masih harus masak.”

Namun tak seorang pun di antara keduanya bergerak ke arah pintu. Jeannie
merasa seakan ia menelantarkan ibunya, meninggalkannya justru pada saat ia
dibutuhkan. Tak seorang pun di sini mencintainya. Seharusnya salah seorang
anggota keluarganya yang merawatnya. Jeannie dan Patty seharusnya tinggal
bersamanya, memasak untuknya, menyeterika gaun-gaun tidurnya, dan
menyalakan TV agar ia dapat menonton acara-acara favoritnya.

Mom berkata, “Kapan aku akan melihat kalian lagi?”

Jeannie tampak ragu. Ia ingin mengatakan. Besok, aku akan mengantarkan


sarapan Mom dan tinggal bersama Mom sepanjang hari. Tapi itu tak mungkin;
ming-gu ini ia sibuk sekali. Rasa bersalah meliputi dirinya. Bisa-bisanya aku
begitu kejam.
22

Patty menolongnya dengan berkata, “Aku akan datang besok, dan membawa
anak-anak untuk menemui Mom. Mom pasti senang.”

Mom tidak berniat melepaskan Jeannie begitu saja. “Kau juga akan datang,
Jeannie?”

Jeannie nyaris tidak dapat menjawab. “Begitu aku bisa.” Dengan sedih ia
mendoyongkan tubuh ke arah tempat tidur, lalu mencium ibunya “Aku
menyayangimu, Mom. Cobalah mengingat itu.”

Begitu mereka berada di luar, Patty langsung mengisak.

Jeannie juga ingin menangis, tapi ia lebih tua, dan sejak dulu ia sudah
membiasakan diri untuk mengendalikan emosinya sendiri sementara ia menjaga
Patty, la merangkul pundak adiknya saat mereka menelusuri lorong yang steril
itu. Patty bukan lemah, tapi ia lebih pasrah daripada Jeannie yang selalu pantang
menyerah dan punya kemauan sendiri. Mom sering mengritik Jeannie dan
mengatakan seharusnya ia lebih seperti Patty.

“Kalau saja aku bisa mengajaknya tinggal bersamaku, tapi nyatanya tidak bisa,”
ujar Patty dalam nada menye sal.

Jeannie mengangguk-Patty bersuamikan seorang tukang kayu bernama Zip.


Mereka tinggal di sebuah rumah kecil dengan dua kamar. Kamar kedua
ditempati oleh ketiga anak lelakinya. Davey berusia enam tahun, Mei empat, dan
Tom dua. Tidak ada tempat untuk seorang nenek di sana.

Jeannie tinggal sendirian. Sebagai asisten profesor di Jones Falls University, ia


mendapat tiga puluh ribu dolar setahun—jauh lebih sedikit daripada suami Patty,
menurutnya—dan ia baru saja menandatangani hipotek pertamanya untuk
membeli sebuah apartemen dua ruangan dan perabotan yang akan ia lunasi
secara kredit. Ruangan yang satu adalah kamar duduk dengan sebuah

23

pojok yang berfungsi sebagai dapur, yang lain adalah kamar tidur dengan sebuah
lemari pakaian dan kamar mandi kecil. Andai kata ia memberikan tempat
tidurnya kepada Mom, ia harus tidur di sofa setiap malam; dan tidak ada seorang
pun di rumah sepanjang hari untuk menjaga seorang wanita yang menderita
Alzheimer. “Aku juga tidak bisa menampungnya,” ujarnya

Patty memperlihatkan amarah di balik deraian air matanya. “Lalu kenapa


kaukatakan padanya kita akan mengeluarkannya dari situ”’ Itu kan tidak
mungkin!”

Mereka melangkah ke luar dalam panas terik yang menyengat. Jeannie berkata,
“Besok aku akan ke bank, mencoba mendapatkan pinjaman. Kita akan
memindahkannya ke tempat yang lebih baik, dan aku akan menombok uang
asuransjnya.”

“Tapi bagaimana caramu membayar kembali itu semua?” ujar Patty secara
praktis.

“Aku akan diangkat menjadi lektor, lalu menjadi profesor penuh, lalu aku akan
ditugaskan menulis sebuah buku pegangan dan disewa sebagai konsultan oleh
tiga perusahaan konglomerat internasional.”

Patty tersenyum di antara deraian air matanya. “Aku percaya itu, tapi bagaimana
dengan orang-orang bank itu’?”

Patty memang selalu mempercayai ucapan ucapan Jeannie. Patty sendiri sama
sekali tidak ambisius. Ia termasuk dalam peringkat di bawah rata-rata di sekolah,
menikah dalam usia sembilan belas tahun, dan sejak itu tinggal di rumah untuk
membesarkan anak-anaknya tanpa rasa sesal sedikit pun. Jeannie justru
sebaliknya. Sebagai bintang kelas dan kapten dalam hampir semua nm olahraga,
ia menjadi juara tenis dan meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi
melalui beasiswa olahraga. Apa pun yang katanya akan ia lakukan, Patty tak
pernah meragukannya.

Tapi ucapan Patty betul; pihak bank tidak akan mem—

24

berikan pinjaman baru kepadanya setelah baru saja mendanai pembelian


apartemennya. Dan ia belum lama diangkat menjadi asisten profesor; baru tiga
tahun kemudian ia akan mendapat promosi lagi. Saat mereka tiba di pelataran
parkir, Jeannie berkata dalam nada putus asa, “Oke, akan kujual mobilku.”
Jeannie menyayangi mobilnya. Sebuah Mercedes 230C merah keluaran dua
puluh tahun yang lalu, dengan dua pintu dan jok dari bahan kulit berwarna
hitam, la membelinya delapan tahun yang lalu, dengan uang hadiah •
kemenangannya dalam the Mayfair Lites College Tennis Challenge, sebanyak
lima ribu dolar. Itu saat sebelum memiliki mobil Mercedes tua dianggap gaya.
“Nilainya sekarang mungkin sudah dua kali lipat dari yang kubayar dulu,”
ujarnya.

“Tapi kau harus membeli mobil lain,” ujar Patty, yang masih amal realistis.

“Kau benar.” Jeannie menghela napas. “Yah, aku bisa memberikan les privat.
Memang bertentangan dengan peraturan JFU, tapi aku mungkin bisa mendapat
empat puluh dolar sejam untuk mengajar remedial statistics mahasiswa-
mahasiswa kaya yang gagal ujian di universitas lain secara pribadi. Aku bisa
memperoleh tiga ratus dolar seminggu, mungkin; bebas pajak kalau aku tidak
melaporkannya” la menatap adiknya. “Kau bisa sisihkan sesuatu?”

Patty mengalihkan matanya. “Aku tidak tahu.”

“Zip kan mendapat lebih banyak daripada aku.”

“Dia bisa membunuhku karena mengatakan ini, tapi kukira kami, bisa
menyisihkan sekitar tujuh puluh lima sampai delapan puluh dolar seminggu,”
ujar Patty akhirnya. “Aku akan mendorongnya untuk meminta kenaikan gaji. Dia
bakal merasa sungkan mengajukannya, tapi setahuku dia layak menerimanya,
dan bosnya suka padanya”

Jeannie mulai merasa lebih senang, meskipun ia tidak

25

terlalu antusias membayangkan akan menghabiskan hari-hari Minggunya dengan


mengajar para mahasiswa baru yang ketinggalan. “Dengan uang ekstra sebesar
empat ratus dolar seminggu, kita dapat memperoleh kamar dengan kamar mandi
sendiri untuk Mom.”

“Dengan begitu, dia bisa memiliki barang-barangnya sendiri di sekitarnya,


pemak-pernik dan mungkin beberapa perabotan dari apartemennya.”

“Ayo kita mulai tanya sana-sini, mungkin ada yang tahu tentang tempat yang
lebih menyenangkan.”

“Oke.” Patty tampak berpikir. “Penyakit yang diderita Mom itu menurun, kan?
Aku pernah mengikuti liputannya di TV.”

Jeannie mengangguk. “Penyebabnya adalah kelainan suatu gen, AD3, yang


berhubungan dengan tahap paling awal penyakit ‘Alzheimer.” Lokasinya di
kromosom 14q24.3, seingat Jeannie, tapi itu toh tidak akan ada artinya bagi
Patty. -

“Apakah itu berarti kau dan aku nanti juga akan menderita seperti Mom?”

“Kemungkinan itu memang ada.”

Untuk sesaat mereka sama-sama terdiam. Bayangan akan kehilangan


kemampuan untuk berpikir terang betul-betul amat tidak menyenangkan untuk
dibicarakan.

“Untung aku sudah mulai punya anak dalam usia amat muda,” ujar Patty.
“Mereka sudah cukup besar untuk mengurus diri sendiri saat itu terjadi atas
diriku.”

Jeannie menangkap nada sindiran itu. Sama seperti Mom, Patty beranggapan ada
sesuatu yang tidak beres jika seseorang berusia dua puluh sembilan tahun belum
juga punya anak. Jeannie berkata, “Fakta bahwa mereka sudah berhasil
menemukan gennya menjanjikan pengharapan. Artinya, saat kita mencapai usia
Mom, mereka mungkin sudah dapat menyuntik kita dengan versi DNA kita
sendiri yang sudah diubah, dan tidak mengandung gen yang fatal itu lagi.”

26

“Mereka menyebutkan itu di TV. Teknologi rekombinasi DNA, kan?”

Jeannie tersenyum. “Betul.”

“Tuh, kan, aku nggak begitu bodoh.”

“Aku tidak pernah menganggap kau bodoh.” »

Dengan wajah serius Patty berkata, “Masalahnya, DNA membuat kita


sebagaimana adanya kita, sehingga kalau DNA-ku diubah, apakah aku akan
menjadi orang yang sama sekali berbeda?”

“Bukan hanya DNA-mu yang membuat kau menjadi kau, tapi juga bagaimana
caramu dibesarkan. Dan itulah yang sedang kutekuni saat ini.”

“Bagaimana dengan pekerjaanmu yang baru?”

“Seru. Ini kesempatan yang baik sekali bagiku, Patty. Ternyata banyak sekali
yang membaca artikel yang kutulis mengenai kriminalitas, dan apakah
kecenderungan itu terdapat di dalam gen kita.” Artikel itu diterbitkan tahun lalu,
saat ia masih di University of Minnesota, memakai nama profesor
pembimbingnya di atas namanya sendiri, tapi itu adalah hasil kerjanya

I* Aku masih belum mengerti, apakah maksudmu bakat jahat itu diturunkan atau
tidak.”

“Aku mengidentifikasi empat bakat yang diturunkan, yang cenderung mengarah


ke perilaku kriminal: sikap impulsif, tidak mengenal rasa takut, sikap agresif,
dan hiperaktif. Menurut teoriku yang hebat, cara tertentu untuk membesarkan
seorang anak dapat menetralisasi bakat-bakat ini dan mengubah mereka yang
berpotensi menjadi pelaku kriminal menjadi seorang warga negara yang baik.”,

“Lalu bagaimana caramu membuktikannya?”

“Dengan mempelajari pasangan-pasangan kembar identik yang dibesarkan


secara terpisah. Pasangan-pasangan kembar identik memiliki DNA yang sama.
Tapi kalau mereka diadopsi sewaktu dilahirkan atau dipisahkan entah dengan
alasan apa, mereka akan tumbuh

27

dewasa dengan cara berbeda. Karena itulah aku mencari pasangan-pasangan


kembar di mana yang satu adalah seorang kriminal dan yang lain normal.
Kemudian aku mempelajari cara mereka dibesarkan dan letak perbedaan cara
ojangtua mereka mendidik mereka.”

“Pekerjaanmu memang penting sekali,” ujar Patty.

“Kukira begitu.”
“Kita harus temukan alasan, mengapa begitu banyak orang Amerika jadi begitu
jahat belakangan ini.”

Jeannie mengangguk Memang begitulah, singkatnya.

Patty melangkah ke arah mobilnya sendiri, sebuah Ford station wagon tua yang
besar; bagian belakangnya penuh dengan barang-barang anak-anak dalam aneka
warna marak: sebuah sepeda roda tiga, sebuah kereta dorong yang dilipat,
berbagai macam raket dan bola, dan sebuah truk mainan besar dengan satu roda
patah.

Jeannie berkata, “Cium anak-anak untukku, oke?*

“Trims. Aku akan meneleponmu besok, setelah menengok Mom.”

Jeannie mengeluarkan kunci mobilnya, kemudian menghampiri Patty untuk


merangkul adiknya. “Aku menyayangimu. Sis,” ujarnya.

“Aku juga.”

Jeannie masuk ke dalam mobilnya, lalu melesat pergi.

la merasa tegang dan gelisah, penuh dengan berbagai perasaan yang tidak
terpecahkan mengenai Mom, Patty, dan ayahnya yang tidak ada di situ. Ia
memasuki 1-70 dan mulai menginjak gasnya, menyelip ke sana kemari di antara
kendaraan-kendaraan lain. la mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan
selanjutnya hari itu, kemudian teringat bahwa ia ada janji main tenis pada pukul
enam, sesudah itu minum bir dan makan piza bersama serombongan mahasiswa
senior dan para akademikus muda fakultas psikologi Jones Falls. Mula-mula
terpintas dalam dirinya membatalkan acaranya malam itu. Tapi ia tak ingin
duduk sendirian di rumah

28

dengan pikiran kusutnya. Ia akan main tenis putusnya-olahraga yang rfTenuntut


banyak energi itu akan membuatnya merasa lebih nyaman. Sesudah itu ia akan
menghabiskan waktunya di Andy’s Bar selama sejam atau dua jam, lalu tidur
lebih awal.

Tapi kenyataannya ternyata tidak begitu.


Lawan main tenisnya adalah Jack Budgen, kepala perpustakaan universitas.
Laki-laki ini pernah main di Wimbledon dan, meskipun sekarang ia sudah botak
dan berusia lima puluh tahun, kondisinya masih fit dan ia masih menguasai sisa-
sisa keterampilan lamanya Jeannie belum pernah masuk Wimbledon. Puncak
kariernya adalah dalam tim tenis USA di Olimpiade saat ia masih mahasiswi
junior. Namun ia toh lebih kuat dan cepat daripada Jack.

Mereka bermain di lapangan tenis yang dilapis tanah liat merah di kampus Jones
Falls. Mereka merupakan lawan setanding, sehingga permainan mereka menarik
perhatian sejumlah penonton. Memang tidak ada kode berpakaian, tapi karena
kebiasaan, Jeannie selalu bermain dalam celana pendek putih yang bersih dan
kaus polo putih. Rambutnya panjang dan berwarna gelap, tidak lembut dan lurus
seperti milik Patty, tapi berombak dan sulit diatur, karenanya ia
menyusupkannya ke dalam topi petnya

Pukulan serve Jeannie kuat sekali, sedangkan hantaman smash baekkand-nya


betul-betul mematikan. Tidak banyak yang dapat dilakukan Jack untuk
mengatasi serve-nya, namun setelah melewati beberapa babak awal, ia
memastikan Jeannie tidak memperoleh kesempatan untuk menggunakan smash
backhand nya la bermain dengan lihai, menghemat energinya dan membiarkan
Jeannie membuat kesalahan-kesalahan. Jeannie bermain agak terlalu agresif,
membuat kesalahan ulang saat ganti bola, dan terlalu terburu-buru lari ke arah
net. Dalam

29

situasi normal, Jeannie yakin ia dapat mengalahkan Jack, tapi hari ini
konsentrasinya sedang kacau, sehingga agak sulit baginya untuk memprakirakan
gerakan lawannya Mereka memenangkan masing-masing satu set, dan set ketiga
berakhir dengan 5-4 untuk pihak Jack. Tapi Jeannie mendapati dirinya masih
memegang bola

Permainan terus berlanjut sampai pada kedudukan dua deuce, kemudian Jack
mendapat satu angka dan berada di atas angin. Jeannie memukul bola ke dalam
net. Erangan tertahan terdengar dari arah kerumunan penonton. Bukannya
memberikan pukulan serve kedua normal yang lebih pelan, ia memperhitungkan
arah angin dan memukul lagi, seakan yang ia berikan itu sebuah serve pertama.
Jack berhasil meraih bola itu dan mengembalikannya ke posisi backhand
Jeannie, yang kemudian melancarkan pukulan smash-nya sambil lari ke arah net
Namun kondisi Jack tidak seburuk yang ia coba tampilkan. Bola itu melayang
kembali dengan mantap melewati kepala Jeannie, lalu mendarat tepat di garis
belakang.

Jeannie berdiri sambil mengawasi bola itu dengan berkacak pinggang, la benar-
benar marah pada dirinya. Meskipun sudah bertahun-tahun tidak pernah bermain
secara serius, ia masih memiliki semangat bertanding yang kuat, yang
membuatnya tidak mudah menerima kekalahan. Kemudian ia berusaha
menenangkan perasaannya dan menyunggingkan senyum di bibirnya. Ia
berpaling. “Bagus sekali!” serunya Ia melangkah ke arah net untuk menjabat
tangan Jack, sementara tepukan riuh terdengar dari arah para penonton.

Seorang anak muda menghampirinya. “Hei, permainan bagus!” ujarnya sambil


tersenyum lebar.

Jeannie menatapnya sekilas. Tubuhnya besar sekali, tinggi dan atletis, dengan
rambut pirang berombak yang dipotong pendek, dan sepasang mata. biru yang
simpatik. Rupanya ia sedang berusaha menarik perhatian Jeannie.

30

Jeannie sedang tidak mood. “Trims,” sahutnya dalam nada pendek.

Anak muda itu tersenyum lagi. Suatu senyuman relaks dan penuh percaya diri,
yang menyatakan bahwa kebanyakan cewek akan senang kalau ia mengajak
mereka, berbicara, entah ia sedang serius atau tidak. “Aku juga bisa main tenis
sedikit, dan kukira…”

“Kalau kau cuma bisa main tenis sedikit, kau bukan tandinganku sahut Jeannie
sambil berlalu.

Di belakangnya, Jeannie mendengar jawabannya yang bernada humor, “Apakah


itu berarti tidak akan ada acara makan malam romantis yang diteruskan dengan
malam yang penuh kehangatan?”

Mau tak mau Jeannie tersenyum menanggapi kegigihan anak muda itu,
walaupun tadi ia memberi tanggapan ketus. Ia berpaling, lalu berkata melalui
pundaknya, tanpa menghentikan langkah. “Ya. tapi trims untuk tawaranmu.”

Ia meninggalkan lapangan tenis itu dan menuju ruang ganti. Jeannie


mempertanyakan apa yang sedang dilakukan Mom pada saat itu. Tentunya ia
sudah makan malam sekitar waktu ini; sekarang pukul tujuh tiga puluh, dan
makan malam selalu diberikan awal di tempat-tempat perawatan seperti itu.
Mungkin Mom sedang nonton TV di ruang duduk. Mungkin ia akan menemukan
seorang teman yang hampir seusia dengannya dan dapat mentoleransi sifat
pelupanya dan menaruh minat pada foto cucu-cucunya. Dulu Mom punya
banyak teman—rekan-rekannya di salon, para pelanggannya, tetangga dan
mereka-mereka yang sudah ia kenal selama sekitar dua puluh lima tahun—tapi
tentunya tidak mudah bagi orang-orang ini untuk memelihara hubungan akrab
mereka kalau Mom setiap kali lupa siapa mereka.

Saat melewati lapangan hockey, Jeannie berpapasan dengan Lisa Hoxton. Lisa
adalah teman sejati perta—

31

manya sejak ia tiba di Jones Falls sebulan yang lalu Gadis itu seorang teknisi
laboratorium di fakultas psikologi. Ia memiliki gelar kesarjanaan, namun tak
ingin menjadi seorang akademikus. Sama seperti Jeannie, ia datang dari keluarga
miskin, dan merasa sedikit terintimidasi oleh kalangan Ivy League Jones Falls.
Mereka langsung merasa cocok satu sama lain.

“Barusan ada anak yang mencoba mendekati aku,” ujar Jeannie sambil
tersenyum.

“Kayak apa tampangnya?”

“Seperti Brad Pitt, tapi lebih tinggi.”

“Kaubilang padanya bahwa kau punya teman yang lebih mendekati usianya?”
ujar Lisa, yang berumur dua puluh empat tahun.

“Tidak.” Jeannie menoleh ke belakang, tapi anak muda itu sudah tidak tampak
lagi. “Jalan terus, siapa tahu dia membuntuti kita.”

“Begitu mengganggunyakah dia?”

“Ah.”

“Jeannie, yang tampangnya nggak enaklah yang harus kauhindari.” “Sudahlah!”


“Kau kan bisa memberikan nomor teleponku padanya.”

“Seharusnya kuselipkan secarik kertas dengan nomor ukuran BH-mu di


tangannya; itu bakal ampuh sekali.” Payudara Lisa memang besar.

Lisa berhenti melangkah-Untuk sesaat Jeannie mengira gurauannya sudah


keterlaluan, dan ia telah menyinggung perasaan Lisa, la mulai mencari cara
untuk meminta maaf. Kerrtudian Lisa berkata. “Gila! Ukuranku 36D, untuk
keterangan lebih lanjut, hubungi nomor ini. Boleh juga.”

“Aku cuma iri, dari dulu aku kepingin yang besaran,” ujar Jeannie, lalu mereka
sama-sama cekikikan. “Benar, lho. Aku sering berdoa untuk itu. Bisa dibilang
aku

32

cewek yang paling belakangan haid ih kelasku. Benar benar memalukan.*’

“Kau sungguh-sungguh berdoa. Ya Tuhan, tumbuhkanlah tetekku, sambil


berlutut di samping tempat tidurmu?”

“Aku berdoa kepada Perawan Maria, karena kupikir ini masalah cewek. Dan aku
nggak bilang tetekku, tentu saja”

“Lalu kau bilang apa? Buah dada?”

“Tidak, rasanya nggak enak bilang buah dada pada Ibu Maria.”

“Jadi, kau pakai kata apa?”

“Papan.”

Tawa Lisa meledak.

“Entah dari mana aku dapat kata itu, rasanya aku pernah dengar orang
menggunakan istilah itu. Kedengarannya cukup sopan di telingaku. Aku nggak
pernah menceritakan ini kepada siapa-siapa sebelumnya.”

Lisa menoleh ke belakang. “Yah, aku tidak melihat ada cowok keren
membuntuti kita. Rupanya kau sudah berhasil menggusah si Brad Pitt.”
“Bagus kalau begitu. Dia memang tipeku, cakep, seksi, sok percaya diri, dan
benar-benar tidak dapat dipercaya”

“Dari mana kau tahu dia tidak bisa dipercaya? Kau cuma bertemu dengannya
selama dua puluh detik.”

“Semua laki-laki tidak bisa dipercaya”

“Mungkin kau benar Kau ke Andy’s nanti malam?”

“‘Yeah, tapi cuma sejam atau dua jam. Aku mau mandi dulu.” Baju Jeannie
basah kuyup oleh keringatnya

“Aku juga.” Lisa mengenakan celana pendek dan sepatu lari. “Aku habis latihan
dengan tim hockey. Kenapa cuma sejam?”

“Ini hari yang berat untukku.” Pertandingan itu telah berhasil mengalihkan
perhatian Jeannie untuk sesaat, namun kini hatinya terasa pedih kembali. “Aku
terpaksa memasukkan ibuku ke rumah perawatan.”

33

“Oh, Jeannie, kasihan sekali.”

Jeannie mengungkapkan ceritanya saat mereka memasuki gedung olahraga itu


dan menuruni tangga ke basement. Di ruang ganti, Jeannie melihat pantulan
bayangan mereka di cermin. Penampilan mereka begitu kontras, sehingga
beikesan lucu. Tinggi Lisa sedikit di bawab rata-rata, sementara Jeannie hampir
enam kaki. Lisa seorang gadis pirang dengan lekuk tubuh yang_ lembut,
sementara Jeannie lebih gelap dan berotot. Wajah Lisa manis, dengan bintik-
bintik di sekitar hidung mungilnya yang lucu, dan mulutnya seperti busur. Keba
nyakan orang mendiskripsikan Jeannie sebagai gadis menarik, dan kaum lelaki
kadang-kadang mengatakan kepadanya bahwa ia cantik, tapi tidak pernah ada
yang menyebutnya manis.

Saat mereka melepaskan pakaian olahraga yang penuh keringat itu, Lisa berkata,
“Bagaimana dengan ayahmu? Kau nggak pernah cerita apa apa mengenai
dirinya.”

Jeannie menghela napas. Pertanyaan itu sangat ditakutinya sejak ia masih kecil,
tapi toh pada akhirnya selalu muncul, cepat atau lambat. Selama bertahun-tahun
ia sudah berbohong, dengan mengatakan Daddy sudah meninggal atau
menghilang atau menikah lagi dan pergi ke Saudi Arabia untuk bekerja. Namun
belakangan ia mulai mengungkapkan apa adanya. “Ayahku di dalam penjara,”
ujarnya

“Va Tuhan. Seharusnya aku tidak bertanya”

‘Tak apa Dia di penjara selama hampir seluruh hidupku. Dia pencuri. Ini sudah
ketiga kalinya dia masuk.”

“Berapa lama masa hukumannya?”

“Aku nggak ingat. Itu tidak penting. Dia toh tidak bakal bisa berbuat apa-apa
begitu keluar. Dia tidak pernah peduli urusan kami, dan tidak akan pernah
peduli.”

“Apa dia nggak pernah punya pekerjaan lain?” 34

“Cuma kalau dia sudah merencanakan untuk membobol suatu tempat. Dia akan
bekerja sebagai pesuruh, tukang jaga pintu, atau petugas sekuriti selama
seminggu atau dua minggu sebelum merampok di situ.”

Lisa menatapnya. “Karena itukah kau begitu tertarik pada soal genetika dalam
kasus kriminalitas?”

“Mungkin.”

“Mungkin juga tidak.” Lisa mengibaskan tangannya “Aku paling nggak demen
pada para ahli psikoanalisa amatiran.”

Mereka menuju kamar mandi. Jeannie menghabiskan waktu lebih lama daripada
biasanya, untuk mencuci rambut, la amat menghargai persahabatannya dengan
Lisa. Lisa sudah setahun lebih di Jones Falls, dan ia telah mengantar Jeannie ke
mana-mana sewaktu Jeannie baru tiba di situ pada awal semester tersebut.
Jeannie merasa senang bekerja sama dengan Lisa di laboratorium, karena
temannya itu betul-betul dapat diandalkan; dan ia senang, menghabiskan waktu
bebasnya bersama Lisa, karena ia merasa dapat mengungkapkan apa saja yang
terpintas dalam pikirannya tanpa khawatir akan dicela.
Jeannie sedang mengolesi rambutnya dengan conditioner saat ia menangkap
suara-suara aneh. Ia berhenti, lalu memasang telinga. Sepertinya jeritan-jeritan
ketakutan. Bulu kuduknya berdiri, dan membuatnya menggigil. Tiba-tiba ia
merasa amat tidak berdaya: tanpa busana, dalam keadaan basah, di lantai bawah
bangunan itu. Untuk sesaat ia ragu, kemudian cepat-cepat ia membilas
rambutnya sebelum keluar dari kabin mandi itu untuk melihat apa yang tidak
beres.

Begitu melangkah keluar dari kabin itu, ia mencium bau sesuatu yang terbakar.
Ia tidak dapat melihat apinya, tapi ada asap tebal berwarna hitam keabuan yang
membubung ke arah langit-langit. Sepertinya keluar dari ‘ r lubang ventilasi.
II - M
Ia merasa takut. Ia belum pernah menghadapi kebakaran.

Cewek-cewek yang lebih tenang segera merenggut tas-tas mereka, lalu beranjak
ke arah pintu. Yang lain mulai histeris, saling meneriaki dalam nada-nada
ketakutan sambil berlarian ke sana kemari tanpa arah. Seorang petugas sekuriti
brengsek, dengan sehelai sapu tangan berbintik-bintik menutupi hidung dan
mulutnya, membuat mereka semakin ketakutan dengan bolak-balik sambil
mendorong cewek-cewek itu dan sok memberikan instruksi.

Jeannie menyadari bahwa sebaiknya ia tidak menyia-nyiakan waktunya untuk


berpakaian, tapi ia toh merasa tidak enak untuk keluar dari gedung itu dalam
keadaan telanjang. Rasa cemas mulai menggerayangi dirinya, namun ia
memaksa diri untuk tetap tenang. Ia menemukan lemari locker n ya Lisa masih
belum kelihatan. Ia menyambar pakaiannya, mengenakan celana jeans dan baju
kausnya

Semua itu hanya memerlukan waktu beberapa detik, tapi sementara itu ruangan
tersebut mulai ditinggalkan orang-orang dan dipenuhi asap. Ia tidak dapat
melihat lagi pintu keluarnya, dan ia mulai batuk-batuk. Ia ketakutan
membayangkan dirinya tidak dapat bernapas. Aku tahu di mana pintunya, dan
aku harus tetap tenang, ujarnya pada diri sendiri. Kunci-kunci dan uangnya ada
di dalam saku celana jcans-nyu Ia meraih raket tenisnya. Sambil menahan napas,
dengan cepat ia meninggalkan ruang ganti itu, menuju pintu keluar. ,

Lorong itu sudah penuh asap tebal, dan matanya mulai berair, sehingga ia nyaris
tak dapat melihat. Kini ia menyesal tidak keluar dalam keadaan telanjang saja,
sehingga ia dapat memperoleh beberapa detik ekstra yang berharga. Celana jeans
nya toh tidak dapat membantu penglihatan atau pernapasannya di dalam lautan
asap ini. Dan tidak menjadi masalah sebetulnya untuk

36

ditemukan dalam keadaan telanjang pada saat kau sudah mati.

Dengan tangan bergetar ia menggerayangi dinding sebagai pegangan saat


menelusuri lorong itu, masih sambil menahan napas. Ia memperhitungkan
kemungkinan akan bertabrakan dengan salah seorang cewek, tapi rupanya
mereka semua sudah mendahuluinya. Ketika tidak ada lagi dinding untuk
digerayangi, ia tahu bahwa ia sudah berada di ruang lobi yang kecil, meskipun ia
belum bisa melihat apa-apa kacuah asap. Tangganya tentu ada di depannya Ia
menyeberangi lobi itu, lalu menabrak mesin Coca Cola Tangganya di sebelah
kiri atau sebelah kanan sekarang? Di sebelah kiri, ujarnya pada dirinya. Ia
bergerak ke arah itu, kemudian sampai di pintu ruang ganti laki-laki. la
menyadari bahwa ia telah salah memilih

la tidak dapat menahan napas lebih lama lagi. Sambil mengerang ia menghirup
udara. Kebanyakan asap yang masuk, sehingga ia terbatuk-batuk. Kembali
dengan terhuyung-huyung ia menelusuri tembok, sambil batuk, dengan lubang
pernapasan serasa terbakar, mata berair, dan hampir-hampif^tak dapat melihat
tangannya sendiri di mukanya. Saat ini ia sangat ingin menghirup udara segar, la
mengikuti tembok itu menuju mesin Coca Cola, kemudian mengitarinya. Ia
menyadari bahwa ia telah menemukan (angga setelah kakinya terantuk pada
undak-undak paling bawah, la menjatuhkan raketnya yang kemudian
menghilang dari pandangan. Raket itu amat istimewa baginya—ia berhasil
memenangkan pertandingan Mayfair Lites Challenge dengannya—tapi ia
meninggalkan raket itu, lalu merangkak menaiki tangga

Kabut asap itu menipis secara tiba-tiba begitu ia sampai di lobi utama yang luas
di lantai dasar, la dapat melihat pintu-pintu gedung yang terbuka. Seorang
petugas sekuriti berdiri di luar, memberikan isyarat kepadanya sambil berteriak.
“Ayo!” Masih sambil terbatuk-
V
batuk dan nyaris tak dapat bernapas, ia melintasi lobi itu, lalu keluar untuk
menghirup udara segar.

Ia berdiri di tangga luar selama dua atau tiga menit, membungkuk sambil
menarik napas dan membatukkan asap itu keluar dari paru-parunya. Setelah
irama napasnya kembali normal, ia mendengar lengking sirene sebuah mobil
unit gawat darurat di kejauhan, la melayangkan pandang ke sekitarnya untuk
mencari Lisa, namun tidak dapat menemukannya.

Apakah Lisa masih di dalam? Dengan tubuh gemetaran, Jeannie bergerak di


antara kerumunan orang, sambil mengawasi wajah-wajah di sekitarnya. Kini,
setelah berada di luar jangkauan bahaya, terdengar banyak tawa bernada emosi.
Kebanyakan gadis-gadis itu dalam keadaan hampir tidak berbusana, sehingga
suasana menjadi sedikit intim. Mereka yang berhasil menyelamatkan tas-tas
mereka meminjami pakaian lebih kepada yang kurang beruntung. Cewek-cewek
telanjang menyambut dengan penuh rasa terima kasih baju kaus kotor dan penuh
keringat milik teman-teman mereka. Beberapa hanya mengenakan handuk.

Lisa tidak berada di antara me%ka. Dengan hati semakin resah Jeannie kembali
ke petugas sekuriti yang sedang berdiri ifi pintu. “Aku khawatir temanku masih
di dalam sana,” ujarnya dengan nada cemas.

“Aku tidak akan menyusulnya,”# ujar laki-laki itu dengan cepat.

‘*Hebat sekali,” ucap Jeannie dalam nada sengit, la tidak tahu persis apa yang
diharapkannya dari laki-laki itu, namun ia sama sekali tak menduga akan
memperoleh jawaban seperti itu.

Sikap kurang suka membayang di wajah si petugas. “Itu tugas mereka,” ujarnya
sambil menunjuk ke sebuah mobil unit pemadam kebakaran yang sedang
memasuki pelintasan jalan.

Jeannie mulai mengkhawatirkan keselamatan Lisa,

38
namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia mengawasi dengan sikap tak
sabar dan tak berdaya, sementara para petugas pemadam kebakaran keluar dari
kendaraan mereka, lalu mengenakan perangkat bantu pernapasan. Gerakan
mereka seakan begitu lambat, sehingga ia ingin mengguncang-guncang tubuh
mereka sambil berteriak, “Cepat! Cepat!” Sebuah mobil unit kebakaran yang
lain tiba, disusul sebuah mobil polisi putih dengan garis-garis biru-dan-putih dari
Departemen Kepolisian Baltimore.

Sementara para petugas-pemadam kebakaran itu menghela sebuah selang ke


dalam bangunan, seorang perwira mendekati petugas jaga ruang lobi, lalu
bertanya, “Dari mana asal api?”

“Dari ruang ganti cewek,” ujar si petugas sekuriti.

“Di mana itu persisnya?”

“Di basement, di bagian belakang.”

“Ada berapa pintu keluar dari sana?”

“Cuma satu, melalui tangga yang menuju lobi utama, yang ini.**

Seorang petugas teknisi yang berdiri di dekat situ menyanggahnya “Ada sebuah
tangga di ruang mesin kolam renang yang menuju bagian belakang gedung.”

Jeannie berhasil menarik perhatian petugas pemadam kebakaran itu, lalu berkata,
“Kukira temanku masih di dalam sana.”

“Laki-laki atau perempuan?”

“‘Perempuan, berusia dua puluh empat tahun, pendek, pirang.”

“Kalau dia memang di sana^jita akan menemukannya.”

Untuk sesaat Jeannie merasa lebih tenang. Kemudian ia menyadari bahwa laki-
laki itu tidak menjanjikan untuk menemukan Lisa dalam keadaan hidup.

Si petugas sekuriti yang ia lihat di ruang ganti tadi tidak tampak. Jeannie berkata
kepada si petugas pe—
39

madam kebakaran, “Masih ada seorang petugas sekuriti di sana, yang tidak
kulihat sedari tadi. Orangnya tinggi.”

Si petugas jaga lobi berkata, “Tidak ada petugas sekuriti lain di dalam gedung
ini.”

“Yah, tapi dia memakai topi dengan tulisan SEKURITI di atasnya, dan dia
menyuruh orang-orang keluar dan dalam gedung.”

“Aku tidak peduli apa yang tertulis di topinya…”

“Astaga, itu tidak perlu diperdebatkan!” bentak Jeannie. “Mungkin dia cuma
hasil imajinasiku, tapi kalau tidak, nyawanya mungkin dalam bahaya!”

Seorang gadis dalam celana khaki laki-laki yang digulung berdiri rji dekat
mereka sambil ikut mendengarkan. “Aku melihat orang itu. Brengsek banget,”
ujarnya. “Dia menggerayangi aku.”

Si petugas pemadam kebakaran berkata, “Tenanglah, kami akan temukan


mereka. Terima kasih untuk keterangan Anda.” Ia berlalu.

Jeannie menatap si penjaga lobi dengan pandangan sengit. Ia merasa petugas


pemadam kebakaran tadi menganggapnya histeris gara-gara ia berteriak ke arah
laki-laki itu. Ia berpaling dengan perasaan sebal. Apa yang akan ia lakukan
sekarang? Para petugas pemadam kebakaran berhamburan ke dalam gedung,
mengenakan helm dan sepatu bot. Ia masih bertelanjang kaki dan mengenakan
sehelai baju kaus. Kalau ia mencoba ikut masuk bersama mereka: mereka akan
mengusirnya keluar. Ia mengepalkan tinjunya, bingung. Putar otakmu! Di mana
lagi ia dapat menemukan Lisa?

Gedung olahraga itu. bersebelahan dengan Ruth W. Acom Psychology Building,


mengikuti nama istri salah seorang penyumbangnya, tapi lebih dikenal, bahkan
di kalangan universitas itu, sebagai Nut House. Apakah Lisa ke sana? Pintu-
pintunya terkunci pada hari Minggu, tapi mungkin ia punya kunci. Mungkin ia
masuk ke sana untuk mencari jas laboratorium untuk menutupi

40
dirinya, atau sekadar duduk di belakang mejanya untuk memulihkan diri. Jeannie
memutuskan untuk mengecek Apa pun lebih baik daripada hanya berdiri di situ
tanpa melakukan apa-apa.

la segera melintasi lapangan rumput menuju pintu masuk utama Nut House, dan
mencoba mengintip k dalam melalui pintu-pintu kacanya. Tak tampak seorang
pun di lobinya. Ia mengeluarkan sebuah kartu plastik dari sakunya, yang
berfungsi sebagai kunci bila digesekkan di alat pembacanya. Pintu terbuka. Ia
segera lari menaiki tangga, sambil memanggil, “Lisa! Kau di sana9’” Ruang
laboratorium itu dalam keadaan sunyi. Kursi Lisa masih terletak rapi di belakang
meja tulisnya, dan layar komputernya kosong. Jeannie mencoba melongok ke
dalam kamar kecil wanita di ujung lorong. Tidak ada siapa-siapa. “Sial!”
umpatnya. “Di mana sih kau?”

Dengan napas terengah-engah ia lari lagi keluar. Ia memutuskan untuk mengitari


bangunan olahraga itu; siapa tahu Lisa sedang duduk-duduk di suatu tempat
untuk mengembalikan napasnya, la berlari menelusuri samping gedung,
melewati sebuah pelataran yang penuh drum-drum sampah. Di bagian belakang
terdapat sebuah tempat parkir kecil. Ia melihat sosok seseorang berlari melintasi
jalan setapak, menjauh. Postur tubuhnya lebih tinggi daripada Lisa, dan Jeannie
yakin ia seorang laki-laki. Mungkin si petugas sekuriti yang ia anggap hilang
tadi, tapi laki-laki itu menghilang di pojok Student Union sebelum ia dapat
memastikannya.

Jeannie meneruskan langkahnya. Di kejauhan tampak pelintasan*joging, yang


tampak sepi sekarang. Setelah membuat putaran penuh, akhirnya ia tiba kembali
di bagian muka bangunan olahraga itu.

Kerumunan orang sudah bertambah ramai, dan sekarang lebih banyak lagi mobil
pemadam kebakaran dan mobil polisi, namun ia belum juga melihat Lisa, la
hampir yakin bahwa temannya masih berada di dalam

gedung yang terbakar itu. Perasaan tidak enak mulai melanda dirinya. Jeannie
berusaha menyisihkannya. Kau tidak bisa membiarkan itu terjadi begitu saja!

Ia melihat si petugas pemadam kebakaran yang disapanya tadi. Ia


mencengkeram lengan laki-laki itu. “Aku hampir yakin bahwa Lisa Hoxton
masih di dalam sana,” ujarnya dengan cepat. “Aku sudah mencarinya ke mana-
mana.”
Si petugas pemadam kebakaran menatapnya tajam, lalu rupanya memutuskan
bahwa ucapannya dapat diandalkan. Tanpa menjawab Jeannie, ia mendekatkan
sebuah radio walkie-talkie ke mulutnya. “Perhatikan kalau ada seorang wanita
muda kulit putih yang mungkin masih berada di dalam gedung. Namanya Lisa,
aku ulangi… Lisa.”

“Terima kasih,” ujar Jeannie.

Laki-laki itu mengangguk singkat, dan berlalu.

Jeannie merasa bersyukur petugas itu memberikan tanggapan atas ucapannya,


namun ia toh belum merasa tenang. Mungkin Lisa masih terjebak di dalam sana,
terkunci di dalam kamar kecil atau terperangkap oleh api, menjerit-jerit sia-sia
untuk minta tolong; atau mungkin ia jatuh, lalu kepalanya terbentur sesuatu,
sehingga ia pingsan, atau dalam kepungan asap, terbaring tak sadar sementara
api menjalar semakin dekat.

Jeannie teringat ucapan si teknisi gedung yang menyatakan masih ada sebuah
jalan masuk lain ke basement. Ia tidak melihat jalan itu saat mengitari bangunan
tersebut. Ia memutuskan untuk melihat lagi. la kembali ke bagian belakang
gedung.

Ia langsung melihatnya. Pintunya ternyata terletak sejajar dengan permukaan


tanah, berdekatan dengan bangunan itu, dan tersembunyi di balik sebuah mobiL
Chrysler New Yorker berwarna keabuan. Daun pintunya yang dari baja dalam
keadaan terbuka, bersandar pada dinding bangunan. Jeannie berlutut di dekat
lubangnya yang berbentuk persegi, lalu melongok ke dalam.

42

Ada sebuah tangga ke bawah, menuju sebuah kamar kotor yang diterangi lampu
neon. Ia dapat melihat mesin-mesin dan sejumlah pipa. Ada kepulan asap di
sana, tapi tidak tebal. Rupanya tempat ini terpisah dari bagian Iain basement itu.
Namun demikian, bau asap mengingatkan dirinya tentang bagaimana ia terbatuk-
batuk dan tersedak tadi, saat menggerayang-gerayang ke sana kemari untuk
mencari tangga. Ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat.

“Ada orang di situ?” serunya.

Ia merasa mendengar sesuatu, tapi belum yakin. Ia berseru lebih keras. “Halo?”
Tidak ada jawaban.

Ia ragu sebentar. Hal paling bijaksana yang dapat ia lakukan adalah kembali ke
bagian muka gedung untuk memanggil seorang petugas pemadam kebakaran,
tapi itu akan memakan waktu terlalu lama, terutama jika si petugas memutuskan
untuk menanyainya terlebih dahulu. Alternatifnya adalah turun dan memeriksa
sendiri.

Membayangkan untuk memasuki gedung itu lagi membuat lututnya lernah


Dadanya masih sakit oleh serangan batuk yang melanda dirinya gara-gara asap
tadi. Tapi Lisa mungkin masih di bawah sana, terluka dan tidak dapat bergerak,
atau tertindih oleh balok yang rubuh, atau dalam keadaan pingsan. Ia harus
melihat.

Ia mengumpulkan seluruh keberaniannya, lalu menjejakkan kakinya di tangga


itu. Lututnya terasa lemah dan ia nyaris kehilangan keseimbangan. Untuk sesaat
ia ragu. Selang beberapa saat, ia merasa dirinya lebih kuat. la mulai melangkah
turun. Kemudian ada asap yang masuk ke dalam lubang pernapasannya, dan
membuatnya terbatuk batnk. la segera naik lagi.

Setelah berhenti batuk, ia mencoba sekali lagi.

la turun satu undakan, kemudian satu lagi. Kalau asap itu membuatku batuk lagi,
aku akan langsung keluar, ujarnya pada diri sendiri. Langkah ketiga ternyata

43

lebih mudah, dan selelah itu ia cepat-cepat turun, lalu melompat dari undak-
undak terakhir ke permukaan beton.

Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan besar yang penuh dengan pompa-
pompa dan alat penyaring, yang sepertinya untuk kolam renang. Bau asapnya
cukup menyengat, namun ia dapat bernapas dengan normal.

la langsung melihat Lisa, namun keadaan temannya membuatnya menahan


napas.

Lisa sedang berbaring miring, meringkuk dalam posisi janin, tanpa sehelai
benang pun. Terlihat noda darah di pahanya. Dan ia sama sekali tidak bergerak.
Untuk sesaat bulu kuduk Jeannie berdiri.

Ia mencoba menguasai diri. “Lisa!” serunya, la merasa suaranya berkesan


histeris, maka ia menarik napas untuk menenangkan diri. Ya Tuhan, lindungilah
dia. Ia melintasi ruangan itu sambil melangkahi pipa-pipa yang simpang siur.
lalu berlutut di dekat temannya. “Lisa?”

Lisa membuka matanya.

“Terima kasih. Tuhan.” ujar Jeannie. “Kukira kau mati.”

Perlahan-lahan Lisa berusaha duduk. Ia menghindari tatapan Jeannie. Bibirnya


tampak memar. “Di-dia… dia memerkosaku,” ujarnya.

Kelegaan di hati Jeannie karena menemukan Lisa masih dalam keadaan hidup
digantikan oleh rasa cemas yang mencekam. “Ya Tuhan. Di sini?”

Lisa mengangguk. “Dia bilang ini jalan keluarnya.”

Jeannie memejamkan mata. Ia dapat merasakan kepedihan dan rasa terhina Lisa,
haknya sebagai manusia dilanggar, diremehkan dan dicemari. Air mata mulai
menggenangi matanya, tapi ia berusaha menahannya Untuk sesaat ia merasa
terlalu lemas dan mual untuk mengatakan sesuatu.

Kemudian ia berusaha mengendalikan diri. “Siapa laki-laki itu?”

44

“Orang sekuriti.”

“Yang mukanya ditutup sapu tangan bintik-bintik?” “Dia melepaskannya.” Lisa


berpaling. “Dia terus menyeringai.”

Cocok rupanya. Cewek dalam celana khaki tadi mengatakan bahwa seorang
petugas sekuriti menggerayangi tubuhnya. Sementara itu, petugas lobi
menyatakan bahwa setahunya tidak ada petugas sekuriti lain di dalam bangunan
itu. “Dia bukan orang sekuriti,” ujar Jeannie. Ia baru saja melihat laki-laki itu lari
menjauh beberapa menit yang lalu. Gelombang rasa marah melanda dirinya saat
membayangkan laki-laki itu telah melakukan perbuatan maksiat ini di sini, di
kampus ini. di dalam bangunan olahraga ini, tempat mereka semua biasanya
merasa begitu aman untuk melepaskan pakaian dan mandi. Tangan Jeannie
bergetar. Ingin rasanya ia mengejar orang itu, lalu mencekik lehernya.

Ia mendengar suara ribut-ribut; suara orang memberikan perintah, langkah-


langkah kaki berat dan air yang disemprotkan. Para petugas pemadam kebakaran
sedang beroperasi dengan selang-selang mereka. “Dengar, kita sedang dalam
bahaya saat ini,” ujarnya cepat-cepat. “Kita harus keluar dari sini.”

Suara Lisa terdengar datar sekali. “Aku tidak punya pakaian.”

Kita bisa mati di sinil “Jangan khawatir soal pakaian, semua dalam keadaan
setengah telanjang di luar sana.” Jeannie melayangkan pandang ke sekitarnya,
lalu melihat pakaian dalam Lisa yang terbuat dari bahan renda berwarna merah
tergeletak di lapisan debu, di bawah sebuah tangki. Ia memungut pakaian dalam
itu. “Pakailah. Kotor memang, tapi toh lebih baik daripada tidak mengenakan
apa-apa.”

Lisa tetap duduk di lantai, sambil menatap dengan pandangan kosong.

Jeannie berusaha memerangi perasaan panik yang

45

mulai melanda dirinya. Apa yang bisa ia lakukan kalau Lisa bersikeras tidak
mau bergerak? Mungkin ia dapat mengangkat Lisa, tapi dapatkah ia
membopongnya naik tangga itu? Ia meninggikan suaranya. “Ayo, bangun!” la
meraih tangan Lisa, lalu menariknya sampai berdiri.

Akhirnya Lisa menatapnya. “Jeannie, ulahnya betul-betul menjijikkan,” ujarnya.

Jeannie merangkul Lisa, kemudian memeluknya erat. “Aku betul-betul


menyesal, Lisa. Sungguh,” ujarnya.

Kabut asap semakin tebal, meskipun dibatasi • oleh pintu yang berat itu.
Ketakutan menggantikan rasa prihatinnya saat itu. “Kita harus keluar dari sini—
apinya bakal merambat kemari. Demi Tuhan, kenakan ini!”

Akhirnya Lisa mulai bergerak, la memakai celana dalam dan BH-nya. Jeannie
meraih tangannya, menggiringnya ke tangga yang menempel pada dinding itu,
lalu menyuruhnya naik lebih dulu. Sementara Jeannie mengikutinya dari
belakang, pintu ruangan itu didobrak orang. Seorang petugas pemadam
kebakaran masuk bersama kepulan asap tebal. Air mengalir deras di sekitar
kakinya, la tampak terkejut melihat mereka. “Kami tidak apa-apa, kami akan
keluar melalui jalan ini,” teriak Jeannie ke arahnya. Kemudian ia naik ke atas,
menyusul Lisa.

Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di luar, menghirup udara bersih.

Jeannie merasa lemas, tapi juga lega; ia berhasil menyelamatkan Lisa dari api.
Tapi kini Lisa membutuhkan pertolongan. Jeannie melingkarkan lengan di bahu
temannya, lalu mengajaknya ke bagian muka gedung. Di mana-mana kendaraan
urut pemadam kebakaran dan mobil-mobil polisi malang melintang. Hampir
semua wanita di dalam kerumunan itu kini sudah mengenakan sesuatu untuk
menutupi ketelanjangan mereka, dan Lisa jadi tampak mengundang perhatian
dengan pakaian dalamnya yang berwarna merah. “Ada yang punya celana

46

panjang lebih atau apa saja?” tanya Jeannie dalam nada memohon saat mereka
mulai menerobos kerumunan orang. Rupanya semua sudah memberikan apa
yang bisa mereka berikan kepada yang lain. Jeannie ingin memberikan baju
kausnya pada Lisa, tapi ia sedang tidak memakai BH.

Akhirnya seorang laki-laki kulit hitam yang jangkung melepaskan kemejanya,


lalu menyerahkannya pada Lisa. “Nanti tolong dikembalikan, merknya Ralph
Lauren,” ujarnya. “Namaku Mitchell Waterfield, Fakultas Matematika.”

“Aku akan ingat itu,” ujar Jeannie dengan penuh rasa terima kasih.

Lisa mengenakan kemeja itu. Karena postur tubuhnya pendek, kemeja itu
mencapai lututnya.

Jeannie merasa mulai dapat menguasai keadaan yang serba mengenaskan itu. Ia
menggiring Lisa ke sebuah mobil unit gawat darurat. Tiga orang polisi sedang
bersandar pada kendaraan mereka, tidak melakukan apa apa. Jeannie
menghampiri yang tertua, seorang laki-laki kulit putih yang gemuk dengan
kumis keabuan. “Wanita ini bernama Lisa Hoxton. Dan dia baru saja diperkosa.”

Semula ia mengira berita itu akan membuat mereka langsung bereaksi,


mengingat undakan kriminal itu merupakan pelanggaran serius, tapi ternyata
tanggapan mereka biasa-biasa saja. Mereka membutuhkan beberapa detik untuk
mencerna informasi itu, namun saat Jeannie akan membentak mereka, yang
berkumis menghela dirinya sambil berkata, “Di mana terjadinya?”

“Di basement bangunan yang terbakar, di ruang mesin kolam renang di bagian
belakang.”

Salah seorang di antara mereka, seorang anak muda kulit hitam, berkata, “Para
petugas pemadam kebakaran mungkin sedang membilas bukti-buktinya
sekarang. Sersan.”

47

“Kau benar,” sahut si sersan. “Sebaiknya kau ke sana. Lenny, dan amankan
lokasi tindak kejahatan itu.” Lenny bergegas pergi. Si sersan berpaling ke arah
Lisa. “Anda kenal laki-laki yang melakukan ini atas diri Anda, Ms. Hoxton?”
tanyanya.

Lisa menggeleng.

Jeannie berkata, “Dia seorang laki-laki kulit putih yang memakai topi pet
baseball merah dengan tulisan SEKURITI di bagian depannya. Aku melihatnya
di ruang ganti wanita begitu kebakaran itu terjadi, dan kukira aku baru saja
melihatnya lari menjauh sebelum aku menemukan Lisa.”

Si sersan mengulurkan lengan ke dalam mobilnya, lalu mengeluarkan sebuah


radio telepon. Ia mengatakan sesuatu ke dalamnya, kemudian mengakhiri
percakapannya “Kalau dia cukup konyol untuk terus memakai topi pet itu, ada
kemungkinan kami dapat menangkapnya,” ujarnya, la mengalihkan perhatian ke
arah rekannya. “McHenty, antar korban ke rumah sakit”

McHcnty adalah seorang anak muda kulit putih berkacamata, la berkata kepada
Lisa, “Anda mau duduk di depan atau di belakang?”

Lisa tidak menjawab, tapi tampak ragu.

Jeannie membantunya. “Duduklah di depan. Kau tidak ingin tampak seperti


tersangka pelaku tindak kejahatan, bukan?”

Rasa cemas membayang di wajah Lisa, dan akhirnya ia berkata, “Kau tidak
ikut?”

“Aku akan ikut kalau kau mau aku ikut,” ujar Jeannie untuk menenteramkan
hatinya. “Atau aku bisa mampir sebentar di apartemenku, mengambilkan
pakaian untukmu, lalu aku akan menemuimu di rumah sakit.”

Lisa menatap McHenty dengan pandangan waswas.

Jeannie berkata, “Kau tidak akan apa-apa, Lisa.”

McHenty membuka pintu mobilnya, lalu Lisa masuk ke dalam.

48

“Rumah sakit mana?” tanya Jeannie kepadanya. “Santa Teresa.” McHenty


masuk ke dalam kendaraannya.

“Aku akan menyusulmu di sana,” seru Jeannie melalui jendela kaca, sementara
mobil itu melesat pergi.

Jeannie berlari kecil ke arah pelataran parkir fakultas. Ia mulai menyesal kenapa
ia tidak ikut untuk menemani Lisa. Lisa betul-betul ketakutan dan tampak tidak
keruan saat meninggalkan tempat itu. Tentu saja ia membutuhkan pakaian
bersih, tapi yang lebih ia butuhkan saat itu mungkin seorang teman wanita untuk
mendampingi, menggenggam tangannya, serta membesarkan hatinya. Sangat
berat baginya ditinggal sendirian bersama seorang laki-laki macho yang
menyandang pistol. Saat melompat ke dalam mobilnya, Jeannie merasa ia telah
membuat kesalahan besar. “Ya Tuhan, ini benar-benar hari yang berat.” ujarnya
sambil meninggalkan tempat parkir itu.

Jeannie tinggal tidak jauh dari kampus. Apartemennya terletak di lantai atas
sebuah rumah kopel kecil. Jeannie memarkir mobilnya, lalu bergegas lari ke
dalam.

Cepat-cepat ia mencuci tangan dan wajahnya, kemudian mengenakan pakaian


bersih. Ia berpikir sebentar untuk memutuskan pakaian mana yang cukup untuk
bangun tubuh Lisa yang pendek dan agak gemuk, la mengeluarkan sehelai baju
polo berukuran besar dan celana panjang berpinggang karet dari bahan katun.
Untuk pakaian dalamnya ternyata lebih sulit, la menemukan sebuah celana
pendek laki-laki model baggy, tapi tak satu pun BH-nya akan muat. Jadi, Usa
terpaksa tidak pakai BH. Ia memeriksa koleksi sepatunya, memasukkan
semuanya ke dalam sebuah tas kain. lalu segera lari keluar lagi.

Saat mengemudikan mobilnya ke arah rumah sakit, suasana hatinya mengalami


perubahan. Sejak peristiwa kebakaran itu terjadi, pikirannya hanya terpusat pada
apa yang hams dikerjakannya kini ia mulai merasa

49

marah. Selama ini Lisa adalah gadis berpembawaan riang dan suka bicara,
namun guncangan dan kejadian mengerikan itu telah mengubahnya jadi seperti
zombie yang takut masuk ke dalam sebuah mobil polisi sendirian.

Saat melintasi sebuah pusat perbelanjaan, Jeannie mulai memasang mata. kalau-
kalau laki-laki dalam topi pet merah itu terlihat lagi. Kalau melihatnya, ia akan
membanting kemudi ke arah trotoar untuk menabraknya. Tapi ia tidak akan
dapat mengenalinya. Tentunya laki-laki itu lelah melepaskan penutup wajahnya,
dan mungkin bahkan topinya. Apa lagi yang dikenakannya tadi? Ia merasa
tercengang menyadari bahwa ia hampir tidak dapat mengingatnya lagi. Semacam
baju kaus, ujarnya pada dirinya, dengan celana blue jeans atau mungkin celana
pendek. Biar bagaimanapun, kemungkinan besar laki-laki itu sudah ganti
pakaian sekarang, seperti halnya dirinya.

Malah orangnya bisa siapa saja yang bertubuh tinggi dan berkulit putih: anak
muda pengantar piza yang mengenakan seragam merah itu; atau si botak yang
sedang berjalan kaki ke gereja bersama istrinya, dengan buku kidung dalam
genggaman masing-masing; atan si tampan bercambang yang sedang menjinjing
kotak gitarnya; atau bahkan polisi yang sedang berbicara dengan seorang
gelandangan di luar sebuah toko minuman keras. Tidak ada yang dapat
dilakukan Jeannie saat itu untuk melampiaskan amarahnya, selain
mencengkeram kemudi mobilnya sekuat tenaga, sehingga buku-buku jarinya
memutih.

Santa Teresa adalah rumah sakit pinggiran yang besar di sebelah utara, dekat
perbatasan kota. Jeannie meninggalkan mobilnya di pelataran parkir, lalu segera
menuju bagian perawatan gawat darurat. Lisa sudah berbaring di tempat tidur,
dalam pakaian rumah sakit, menerawangi kejauhan Sebuah pesawat TV yang
suaranya

50
dimatikan sedang menayangkan acara pemberian penghargaan Emmy: ratusan
selebriti Hollywood dalam pakaian malam, minum-minum sampanye sambil
saling memberikan selamat. McHenty duduk di samping tempat tidur dengan
sebuah buku notes di atas lututnya.

Jeannie menurunkan tas kainnya. “Ini pakaian untukmu. Bagaimana?”

Lisa tidak menjawab dan wajahnya masih tetap tanpa ekspresi, la masih
terguncang, ujar Jeannie pada dirinya. Ia sedang menekan perasaannya, berjuang
agar tetap dapat mengendalikan diri. Tapi ia toh harus menemukan cara untuk
melampiaskan amarahnya. Perluapan itu akan terjadi, cepat atau lambat.

McHenty berkata, “Aku harus mendapatkan beberapa detail mengenai kasus ini,
Miss. Kalau Anda tidak berkeberatan untuk meninggalkan kami berdua selama
beberapa saat lagi?”

“Oh, tentu,” ujar Jeannie dalam nada meminta maaf. Tapi kemudian ia melihat
wajah Lisa. Untuk sesaat ia terenyak. Beberapa menit yang lalu, ia mengumpati
dirinya karena telah meninggalkan Lisa sendirian dengan seorang laki-laki. Kini
ia hampir melakukan hal yang sama. “Tapi.” ujarnya, “mungkin Lisa lebih suka
aku menemaninya di sini.” Instingnya ternyata dikonfirmasi oleh anggukan
lemah1 Lisa. Jeannie duduk di tempat tidur itu, lalu menggenggam tangan Lisa.

McHenty tampak kesal, namun tidak membantah. “Aku baru menanyakan


kepada Miss Hoxton tentang cara dia menghadapi penyerangan itu,” ujarnya.
“Apakah kau berteriak. Lisa?”

“Sekali, sewaktu dia mengempaskan tubuhku ke lantai,” jawab Lisa dalam suara
rendah. “Kemudian dia mengeluarkan sebilah pisau.”

Suara McHenty terdengar datar, dan pandangannya terarah ke buku notesnya


saat ia berkata, “Apakah kau mencoba melawannya?”

51

Lisa menggeleng. “Aku takut dia akan melukai aku.”

“Jadi, kau hampir tidak berusaha melawan setelah jeritau pertama itu?”

Lisa menggeleng, lalu mulai mengisak. Jeannie meremas tangannya. Ingin


rasanya ia berkata pada McHenty, Memangnya apa yang seharusnya ia lakukan?
Namun ia menahan diri. Ia sudah berlaku kasar tadi, kepada seorang anak muda
bertampang Brad Pitt, mengeluarkan komentar yang tidak enak mengenai
payudara Lisa, dan membentak si petugas jaga lobi di gedung olahraga itu. la
menyadari bahwa ia akan menemui masalah dalam menghadapi pihak
berwenang, dan memutuskan untuk tidak memusuhi petugas kepolisian yang
sedang melakukan pekerjaannya ini.

McHenty melanjutkan. “Sewaktu akan memerkosamu, apakah dia memaksamu


untuk mengangkang?”

Jeannie mengernyitkan wajahnya. Kenapa mereka tidak menugaskan seorang


polisi wanita untuk melakukan interogasi seperti itu?

Lisa berkata, “Dia menempelkan ujung pisaunya di pahaku.”

“Apakah dia melukaimu?”

“Tidak.”

“Jadi, kau membuka kakimu dengan begitu saja.”

Jeannie berkata, “Kalau seorang tersangka mengacungkan senjatanya ke arah


seorang polisi, biasanya kau akan menembaknya, bukan? Apakah kau akan
menyebut itu dengan begitu saja?”

McHenty melontarkan tatapan marah ke arah Jeannie. “Tolong jangan ikut


campur, Miss.” la mengalihkan perhatiannya kembali kepada Lisa. “Apakah ada
bagian tubuhmu yang terluka?”

“Aku sedang mengalami perdarahan, ya.”

“Apakah itu disebabkan oleh tindakan persetubuhan secara paksa?”

“Ya.”

52

“Di mana persisnya kau terluka?”


Jeannie tidak tahan lagi. “Bagaimana kalau kita biarkan para dokter yang
menentukannya?”

McHenty menatapnya seakan ia orang tolol. “Aku harus membuat laporan


pendahuluan.”

“Kalau begitu, katakan saja bahwa dia mengalami luka dalam yang diakibatkan
oleh peristiwa pemerkosaan itu.”

“Aku yang melakukan prosedur tanya-jawab ini.”

“Dan aku meminta padamu untuk tidak merongrongnya. Bung,” ujar Jeannie
sambil berusaha mengendalikan diri agar tidak meninggikan suaranya. ‘Temanku
ini sedang stres dan kukira dia tidak perlu mendeskripsikan luka-luka dalamnya
kepadamu, sementara dia akan diperiksa oleh seorang dokter sebentar lagi.”

McHenty tampak marah, tapi bertekad untuk meneruskan tugasnya. “Tadi


kulihat kau mengenakan pakaian dalam dari bahan renda berwarna merah.
Apakah menurutmu itu sedikit banyak ada pengaruhnya atas apa yang telah
terjadi?”

Lisa membuang muka, matanya penuh air mata.

Jeannie berkata, “Kalau aku melaporkan bahwa mobil Mercedes merahku dicuri,
apakah kau akan menanyakan padaku apakah aku memprovokasi terjadinya
pencurian itu dengan mengemudikan sebuah mobil yang demikian menariknya?”

McHenty mengabaikan dirinya. “Apa seingatmu kau sudah pemah bertemu


dengan laki-laki ini. Lisa?”

“Belum.”

“Tapi kabut asap tentunya mempersulitmu untuk dapat melihat jelas. Dan dia
memakai semacam syal untuk menutupi wajahnya.”

“Pada awalnya aku memang tidak bisa melihat apa-apa. Tapi tidak begitu banyak
asap di tempat… dia melakukan itu. Aku melihat tampangnya.” Lisa
mengangguk. “Aku melihat tampangnya.”

53
“Jadi, kau akan mengenalinya begitu kau melihatnya* lagi?”

Tubuh Lisa menggigil. “Ya, tentu.” “Tapi kau belum pernah melihatnya
sebelumnya, misalnya di bar atau tempat lain?” “Betul.”

“Kau suka pergi ke bar, Lisa?” “Ya.”

“Bar untuk orang-orang single, yang semacam itukah?”

Darah Jeannie mulai mendidih. “Pertanyaan macam apa itu?”

“Pertanyaan yang biasanya diajukan oleh para pengacara,” jawab McHenty.

“Lisa kan tidak sedang disidang? Dia bukan si calon tersangka! Dia korbannya!”

“Kau masih perawan, Lisa?”

Jeannie berdiri. “Oke, sekarang cukup. Tidak kusangka akan sampai begini. Kau
tidak berhak mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini.”

McHenty menaikkan volume suaranya. “Aku sedang menjajaki kredibilitasnya

“Satu jam setelah dia menjadi korban suatu tindakan kekerasan? Lupakan itu!”

“Aku cuma melakukan tugasku.”

“Rupanya kau tidak tahu, apa sebetulnya tugasmu. Rupanya kau memang benar-
benar tidak becus, McHenty.”

Sebelum laki-laki itu dapat menjawab, seorang dokter memasuki ruangan itu
tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia masih muda dan tampak tegang dan
kecapekan. ‘Tnt yang diperkosa?” tanyanya.

“Ini Ms. Lisa Hoxton,” ujar Jeannie dalam nada dingin. “Dan ya, dia baru saja
diperkosa.”

“Aku perlu melakukan pengambilan cairan vagina.”

Pembawaannya sama sekali tidak simpatik, tapi setidaknya sekarang ada alasan
untuk meminta McHenty
54

keluar dari tempat ini. Jeannie mengalihkan pandang ke arah petugas dari dinas
kepolisian itu. Laki-laki itu tidak bergeming, seakan ia menganggap tugasnya
adalah menyelia seluruh proses itu. Jeannie berkata, “Sebelum Anda melakukan
itu, Dokter, bagaimana kalau Opsir McHenty meninggalkan ruangan ini terlebih
dahulu?**

Si dokter terdiam, menoleh ke arah McHenty. Si polisi angkat bahu, lalu keluar.

Tiba-tiba dokter itu merenggut lembaran seprai yang menutupi tubuh Lisa.
**Angkat bajumu dan pentangkan kakimu,’* perintahnya.

Lisa mulai mengisak.

Jeannie hampir tak percaya mendengar perintah si dokter. Ada apa sebetulnya
dengan orang-orang ini? “Maaf, Dokter,” ujarnya.

Si dokter menatapnya dengan pandangan tidak suka. “Ada masalah?”

* “Bagaimana kalau Anda lebih sopan sedikit?”

Wajah si dokter memerah. “Rumah sakit ini penuh dengan pasien-pasien yang
mengalami berbagai macam trauma, entah karena kecelakaan atau penyakit
serius,” ujarnya. * Saat ini di ruang gawat darurat ada tiga anak kecil yang baru
saja mengalami kecelakaan mobil, dan mereka semua dalam keadaan sekarat.
Dan Anda menuntutku untuk berlaku lebih sopan kepada seorang cewek yang
tidur dengan laki-laki yang salah?”

Untuk sesaat Jeannie tercengang. “Tidur dengan laki-laki yang salah?**


ulangnya.

Lisa langsung duduk tegak. “Aku mau pulang,” ujarnya.

”Sepertinya itu ide yang baik,” sahut Jeannie. Ia membuka tas kainnya, lalu
mulai menggelar pakaian-pakaiannya di tempat tidur.

Untuk sesaat si dokter hanya terbengong. Kemudian ia berkata dalam nada


marah, “Sesukarnulah.” Lalu keluar.
55

Jeannie dan Lisa saling pandang. “Aku benar-benar tak percaya ini akan terjadi,”
ujar Jeannie.

“Untung mereka sudah pergi,” ujar Lisa sambil turun dari tempat tidur.

Jeannie membantu Lisa melepaskan pakaian rumah sakit itu. Setelah Lisa cepat-
cepat mengenakan pakaian dan sepatunya, Jeannie berkata, “Kuantar kau
pulang.”

“Kau mau menginap di apartemenku’/” tanya Lisa. “Aku tak ingin sendirian
malam ini.”

“Oke, dengan senang hati.”

McHenty sedang menunggu di luar. Tampangnya tidak begitu yakin lagi.


Mungkin ia sudah sadar bahwa ia kurang taktis dalam menangani situasi itu.
“Masih ada beberapa hal yang perlu kutanyakan,” ujarnya.

Dalam nada tenang Jeannie menjawab, “Kami mau pulang,” ujarnya. “Lisa
masih terlalu terguncang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sekarang.”

Tampak si polisi berubah menjadi cemai. “Tapi dia tidak punya pilihan lain.”
ujarnya. “Dia sudah kepalang mengajukan pengaduan.”

Lisa berkata, “Aku tidak diperkosa. Ada kekeliruan. Aku cuma mau pulang
sekarang.”

“Anda tahu bahwa Anda melakukan pelanggaran hukum dengan mengajukan


pengaduan palsu?”

Dengan marah Jeannie berkata. “Wanita itu bukan pelaku tindak kriminal—dia
sudah menjadi korban suatu tindak kriminal. Kalau alasanmu menanyakan
kenapa dia menarik pengaduannya, katakan padanya bahwa alasannya adalah
karena dia mendapatkan perlakukan brutal dari Opsir McHenty dari Dinas
Kepolisian Baltimore. Sekarang aku akan mengantarnya pulang. Permisi.”
Sesudah itu ia merangkul pundak Lisa dan menggiringnya melewati si polisi, ke
arah pintu keluar.
Saat mereka melangkah pergi, ia mendengar laki-laki itu bergumam. “Apa
salahku?”

BAB 3

BERRiNGTON Jones menatap kedua sahabat lamanya. “Sulit rasanya untuk


percaya,” ujarnya. “Kita sama-sama hampir menginjak usia enam puluh tahun,
dan tak seorang pun di antara kita bertiga pernah punya penghasilan lebih dari
beberapa ratus ribu dolar setahun. Sekarang kita ditawari masing-masing enam
puluh juta dolar—tapi kita justru berdiskusi bagaimana cara menolak tawaran
itu!”

Preston Barck berkata, “Sejak dulu memang bukan uang yang kita kejar,
bukan?”

Senator Proust berkata, “Aku masih belum mengerti situasinya. Kalau


sepertiga.dari suatu perusahaan yang bernilai seratus delapan puluh juta dolar
adalah rmlikku, kenapa sampai sekarang aku masih naik mobil Crown-Victoria
berusia tiga tahun?”

Ketiga lak laki itu adalah pemilik sebuah perusahaan bioteknologi pribadi yang
kecil, Genetico Inc. Preston yang mengelola bisnis itu dari hari ke hari, Jim
berke cimpung dalam politik, dan Berrington adalah seorang akademikus.
Namun proses akuisisi itu merupakan proyek utama Berrington. Dalam sebuah
pesawat menuju San Francisco, Berrington bertemu dengan Presiden

Direktur Landsmann, sebuah konglomerasi perusahaan farmasi Jerman, dan


berhasil membangkitkan minat laki-laki itu untuk mengajukan penawaran. Kini
Berrington tinggal membujuk rekan-rekannya untuk menerima penawaran itu.
Tapi prosesnya ternyata lebih sulit daripada yang ia perhitungkan.

Mereka berada di ruang duduk sebuah rumah di Roland Park, daerah hunian
bergengsi di Baltimore. Rumah itu milik Jones Falls University untuk
dipinjamkan kepada profesor-profesor yang sedang melakukan kunjungan kerja.
Berrington, yang menduduki jabatan profesor di Berkeley, California, di
Harvard, dan di Jones Falls, menggunakan rumah itu enam minggu setahun
selama ia berada di Baltimore. Di sana-sini ada beberapa barang pribadinya:
sebuah komputer lapwp. foto mantan istrinya bersama putra mereka, dan
setumpuk buku terbitannya yang terakhir. To Inherit the Future: How Genetic
Will Transform America—Untuk Mewarisi Masa Depan: Bagaimana Rekayasa
Genetika Dapat Mengubah Amerika.

Preston adalah seorang laki-laki kurus yang amat serius. Meskipun ia salah
seorang ilmuwan paling terkemuka dalam angkatannya, tampangnya lebih mirip
seorang akuntan. “Klinik-klinik itu selalu menghasilkan uang,” ujar Preston.
Genetico memiliki tiga klinik fertilitas yang secara khusus memperdalam proses
pembuahan in vitro—proyek bayi tabung—prosedur ini dimungkinkan oleh riset
yang pernah dilakukan Preston pada tahun tujuh puluhan. “Fertilitas merupakan
bidang yang paling cepat berkembang dalam dunia medis di Amerika. Genetico
akan menjadi sarana Landsmann untuk terjun ke dalam pasaran baru yang amat
luas ini. Mereka ingin kita membuka lima klinik baru setiap tahun, selama
sepuluh tahun mendatang.”

Jim Proust adalah seorang laki-laki botak dengan kulit kecokelatan, hidung
besar, dan kacamata tebal.

58

Garis wajahnya yang kuat tapi tidak bagus merupakan bulan-bulanan para
kartunis politik, la dan Berrington sudah berteman dan menjadi kolega selama
dua puluh lima tahun. “Kenapa kita tidak pernah sampai melihat uangnya?”
tanya Jim.

“Uang itu selalu kami habiskan untuk riset” Genetico memiliki laboratorium-
laboratorium sendiri, serta membuat kontrak riset dengan fakultas-fakultas
biologi dan psikologi dari berbagai universitas. Bening ton-1 ah yang membina
hubungan perusahaan dengan dunia akademis.

Dalam nada putus asa, Berrington berkata, “Aku tidak mengerti, kenapa kalian
berdua tidak bisa melihat bahwa ini merupakan kesempatan besar untuk kita.”

Jim menudingkan jarinya ke arah TV. “Tolong besarkan suaranya. Berry—


acaramu sekarang.”

Acara pemberian penghargaan Emmy sudah digantikan oleh Larry King Live,
dan Berrington tampil sebagai tamu. Berrington sama sekali tidak menyukai
Larry King—laki-laki itu terlalu liberal, menurut pendapatnya—namun
penampilan ini merupakan kesempatan baginya untuk berbicara pada jutaan
rakyat Amerika.
la menatap sosoknya di televisi, dan merasa senang. Sebetulnya postur tubuhnya
pendek, tapi kamera televisi telah membuat semua tampil sama tinggi.
Setelannya yang berwarna biru laut tampak rapi. kemeja biru langitnya senada
dengan warna matanya, dan dasinya yang berwarna merah anggur tidak
kelihatan norak di layar. Setelah menilai secara lebih kritis, ja menganggap
rambutnya yang keperakan «edikit terlalu rapi, nyaris tidak alami; gawatnya
malah hampir seperti seorang penginjil televisi.

King, yang seperti biasa selalu mengenakan bretel, sedang cenderung bersikap
agresif. Suaranya yang datar bernada menantang. “Profesor, Anda kembali
menimbulkan kehebohan dengan buku Anda yang terakhir, namun banyak yang
beranggapan bahwa motivasi Anda tidak

59

ilmiah, melainkan lebih berbau politik. Bagaimana tanggapan Anda mengenai


hal ini?**

Berrington merasa berbesar hati mendengar suaranya sendiri yang berkesan


menguasai keadaan dan logis. “Aku cuma ingin menyatakan bahwa keputusan-
kepu-tusan politik sebaiknya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, Larry.
Alam, kalau dibiarkan apa adanya, mengunggulkan gen-gen yang baik dan
memusnahkan yang kurang baik. Kebijakan kesejahteraan sosial kita
bertentangan dengan seleksi alam. Karena itulah kita memiliki generasi warga
kelas dua Amerika saat ini.**

Jim mencicipi wiskinya, lalu berkata, “Ungkapan yang bagus—generasi warga


kelas dua Amerika. Layak dikutip.*’

Dr layar TV, Larry King berkata, “Kalau teori Anda diikuti, apa yang akan
terjadi pada anak-anak orang miskin? Mereka akan dibiarkan kelaparan, bukan?”

Wajah Berrington di layar tampak berubah menjadi serius. “Ayahku meninggal


pada tahun 1942, ketika kapal induk Wasp ditenggelamkan oleh sebuah kapal
selam Jepang di Guadalcanal. Usiaku baru enam tahun ketika itu. Ibuku berjuang
keras untuk membesarkan dan menyekolahkan aku. Larry, aku anak dari
kalangan tidak berpunya.”

Nyatanya memang bisa dibilang begitu. Ayahnya, seorang insinyur yang brilian,
telah meninggalkan ibunya dengan tunjangan kecil, sehingga ibunya tidak
terpaksa harus bekerja atau menikah lagi. Ia berhasil mengirim Berrington ke
sekolah-sekolah swasta yang mahal, dan kemudian ke Harvard—tapi itu toh
merupakan perjuangan.

Preston berkata, “Penampilanmu bagus, Berry—kecuali mungkin rambutmu


yang bergaya daerah barat” Barck, yang termuda di antara trio itu, berusia lima
puluh lima tahun, berambut hitam pendek yang menempel menutupi tempurung
kepalanya seperti topi pet.

60

Berrington menanggapinya dengan gumaman sebal. Ia juga berpendapat begitu,


tapi toh merasa tersinggung mendengarnya dari mulut orang lain. Ia
menambahkan sedikit wiski ke dalam gelasnya sendiri. Mereka sedang minum
Springbank, merk berkualitas.

Di layar, Larry King berkata, “Secara falsafah, apa beda pandangan Anda
dengan mereka dari kelompok, katakanlah, Nazi?*’

Berrington menekan tombol remote control-nya untuk mematikan pesawat


televisi itu. “Aku sudah menggeluti masalah ini selama sepuluh tahun,” ujarnya.
“Tiga buah buku dan jutaan kali muncul dalam acara bincang-bincang semacam
itu sesudahnya. Apa relevansinya? Tidak ada.”

Preston berkata. “Toh ada. Soal genetika dan ras kaujadikan isu. Kau terlalu
terburu-buru.”

“Terburu-buru?” sahut Berrington kesal. “Kauanggap aku terlalu terburu-buru!


Dua minggu lagi umurku enam puluh tahun. Kita akan semakin tua. Kita tidak
punya banyak waktu lagi!”

Jim berkata, “Ucapannya benar, Preston. Kau masih ingat situasinya sewaktu
kita masih muda? Begitu kita membuka mata, akan tampak betapa kacaunya
Amerika ketika itu: hak asasi bagi orang-orang negro, orang-orang Meksiko
mengalir masuk, sekolah-sekolah terbaik didominasi oleh anak-anak Yahudi
yang berpandangan komunis, anak-anak kita sendiri mengisap ganja dan
mengelak wajib militer. Dan, wauw, ternyata apa yang sudah kita prakirakan itu
benar! Coba lihat apa yang terjadi kemudian! Tidak pernah terlintas dalam
bayangan kita bahwa obat-obat terlarang akan menjadi salah satu tonggak
industri paling vital di negeri ini, dan bahwa sepertiga dari jumlah bayi-bayi
akan lahir dari ibu-ibu yang dibantu program Medicaid. Dan ternyata hanya
kitalah yang memiliki keberanian untuk menghadapi masalah itu—kita serta
beberapa gelintir individu yang

61

memiliki pandangan sama. Selebihnya cuma menutup mata sambil


mengharapkan yang terbaik.”

Mereka masih tetap seperti dulu, ujar Berrington pada dirinya. Sejak dulu
Preston selalu amat hati-hati dan agak penakut, sedangkan Jim sedikit terlalu
percaya diri. la sudah mengenal mereka begitu lama, sehingga ia dapat
menerima ketidaksempurnaan mereka dengan dada lapang, setidaknya begitulah
biasanya. Dan ia sudah terbiasa dengan perannya sebagai si moderator yang
mengarahkan mereka sebagai penengah.

Kini ia berkata, “Bagaimana posisi kita sehubungan urusan dengan pihak


Jerman, Preston?”

“Sudah menjelang tahap pengambilan keputusan,” jawab Preston. “Mereka ingin


mengumumkan akuisisi ini melalui acara jumpa pers minggu depan.”

“‘Minggu depan?” sambut Berrington dalam nada antusias. “Bagus sekali!”

Preston menggeleng-gelengkan kepala. “Harus kuakui, aku belum merasa


mantap.”

Berrington mengeluarkan suara erangan.

Preston berkata lagi, “Kami sudah melewati fase yang disebut tahap akhir. Kita
harus membuka buku-buku kita di hadapan akuntan akuntan Landsmann, dan
mengungkapkan segala sesuatu yang mungkin mempengaruhi keuntungan
mereka di masa mendalang, seperti utang-piutang dan perkara-perkara hukum
yang masih dalam proses penyelesaian.”

“Tapi kita bersih dari itu. kan?” tanya Jim—

Preston menatapnya dengan serius. “Kita semua tahu bahwa perusahaan ini
memiliki hal-hal yang sebaiknya disembunyikan.”
Untuk sesaat suasana di dalam ruangan itu hening. Kemudian Jim berkata, “Gila,
tapi itu kan sudah lama sekali.”

“Lalu? Akibat dari apa yang pernah kita lakukan dulu itu masih berkeliaran di
luar sana.”

62

“Tapi dari mana Landsman akan tahu mengenai itu— khususnya dalam waktu
satu minggu ini?”

Preston angkat bahu, seakan berkata: Siapa tahu?

“Kita harus berani mengambil risiko itu,” ujar Berrington dalam nada tegas.
“Suntikan dana yang bakal kita peroleh dari Landsmann akan memungkinkan
kita meningkatkan program riset. Dalam beberapa tahun lagi kita akan mampu
menawarkan bayi-bayi yang sempurna, hasil rekayasa genetika, kepada
masyarakat terkemuka kulit putih Amerika yang datang ke klinik kita.”

“Tapi seberapa jauh relevansinya nanti?” tanya Preston. “Mereka yang miskin
akan terus beranak lebih cepat daripada yang kaya.”

“Kau melupakan program politik yang diajukan Jim,” ujar Berrington.

Jim berkata, “Pemerataan pajak pendapatan sampai sepuluh persen, dan


kewajiban untuk mengambil suntikan KB bagi mereka yang memperoleh
tunjangan sosial.”

“Bayangkan, Preston,” ujar Berrington. “Bayi-bayi yang sempurna untuk


kalangan kelas menengah, dan sterilisasi bagi kelompok ekonomi lemah. Kita
bisa mulai memulihkan keseimbangan antarras di Amerika. Itu kan target kita
sejak dulu.”

“Kita masih amat idealis ketika itu.” ujar Preston.

“Tapi apa yang telah kita lakukan itu benar!” ujar Berrington.

““Memang. Tapi semakin tua, semakin sering terpintas di dalam diriku bahwa
entah dengan cara bagaimana, dunia ini akan terus bergulir, meski seandainya
aku tidak pernah mencapai apa yang kurencanakan ketika aku berusia dua puluh
lima tahun.”

Arah percakapan ini bisa menggagalkan seluruh transaksi. “Tapi kita bisa
mencapai apa yang pernah kita rencanakan,” ujar Berrington. “Segala upaya kita
selama tiga puluh tahun terakhir ini akun segera membuahkan hasil. Risiko yang
kita ambil dulu. waktu bertahun—

63

tahun dan uang yang kita habiskan untuk riset itu— akhirnya ternyata tidak sia-
sia. Jangan senewen dulu, Preston!”

“Aku sama sekali tidak senewen. Aku cuma mengemukakan suatu masalah yang
praktis dan nyata,” sahut Preston. “Jim boleh saja mengajukan program
politiknya, tapi itu kan tidak menjamin pelaksanaannya.”

“Di situlah Landsmann berperan,” ujar Jim. “Dana yang kita dapatkan dari
penjualan saham-saham kita dalam perusahaan akan memberikan peluang untuk
mencapai sasaran paling tinggi dari yang ada.”

“Apa maksudmu?” tanya Preston dengan tampang tidak mengerti Namun


Berrington tahu ke mana arahnya, dan ia tersenyum.

“Gedung Putih,” ujar Jim. “Aku akan mencalonkan diriku dalam pemilihan
presiden.”

d i -scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.ee) oleh:

Dilarang meng-komersll-kan atau kesialan menimpa hidup anda selamanya.

64

BAB 4

Beberapa menit menjelang tengah malam, Steve Lo g an memarkir mobil Datsun


tua karatannya di Lexington Street, daerah permukiman Hollins Market,
Baltimore, sebelah barat pusat kota. la akan menghabiskan malam itu bersama
sepupunya, Ricky Menzies, yang menekuni ilmu kedokteran di University of
Maryland di Baltimore. Ricky tinggal di sebuah kamar dalam sebuah rumah tua
besar yang disewa oleh para mahasiswa.
Ricky adalah tukang hura-hura paling getol, setahu Steve. Ia suka minum-
minum, dansa, dan berpesta; begitu pula teman-temannya. Steve merasa amat
antusias untuk melewatkan malam itu bersama Ricky. Tapi masalahnya, para
tukang hura-hura ini betul-betul tidak dapat diandalkan. Secara mendadak Ricky
mendapat teman kencan yang asyik dan membatalkan janjinya, sehingga Steve*
terpaksa menghabiskan malam itu sendirian.

Ia keluar dari mobilnya, menjinjing sebuah las olahraga kecil berisi pakaian
bersih untuk keesokan harinya. Udara malam itu panas. Ia mengunci mobilnya,
lalu melangkah ke arah ujung jalan. Sekelompok anak muda, empat atau lima
orang cowok dan seorang cewek, semua

65

kulit hitam, sedang kumpul-kumpul di depan sebuah toko video, sambil


merokok. Steve tidak merasa gentar, meskipun ia berkulit putih; gayanya seakan
ia memang berasal dari daerah itu, dengan mobilnya yang sudah tua dan celana
jeans-nya yang lusuh; selain itu, ia lebih tinggi beberapa inci dari yang terbesar
di antara mereka. Ketika ia lewat, salah satu di antara mereka berkata pelan, tapi
jelas, “Mau cari kepulan, mau cari yang lebih keras?” Steve menggeleng sambil
terus melangkah.

Seorang wanita hitam yang sangat jangkung berjalan ke arahnya, dalam rok amat
pendek dan sepatu tumit tinggi, rambut ditata ke atas, lipstik merah manyala, dan
perona mata berwarna biru Mau tak mau Steve jadi memandanginya. Saat
mereka berpapasan, wanita itu berkata. “Hai, cakep,” dalam suara maskulin yang
dalam. Steve menyadari bahwa ia seorang laki-laki, dan tersenyum sambil terus
melangkah.

Ia mendengar anak-anak muda di ujung jalan tadi menegur si banci dengan


akrab. “Hei, Dorothy!”

“Halo, anak-anak.”

Beberapa saat kemudian ia mendengar suara derit ban mobil. Ia menoleh ke


belakang-Sebuah mobil polisi putih bergaris perak dan-biru berhenti di ujung
jalan. Beberapa anak muda itu segera menghilang dalam kegelapan, sementara
yang lain tetap tinggal di situ. Dua orang petugas patroli berkulit hitam keluar,
tanpa terburu-buru. Steve memutar tubuhnya. Melihat laki-laki yang dipanggil
Dorothy, satu di antara kedua petugas itu meludah, mengenai ujung salah satu
sepatu merah Dorothy-Steve terkejut. Perbuatan itu begitu tidak beralasan dan
tidak perlu. Namun Dorothy terus melangkah. “Sial,” umpatnya dalam nada
rendah.

Ucapan itu nyaris tidak terdengar, tapi telinga si petugas patroli rupanya tajam
sekali, la segera mencengkeram lengan Dorothy, lalu mengentakkan tubuhnya

66

pada permukaan jendela sebuah toko. Dorothy tampak kehilangan keseimbangan


dalam sepatu tumit tingginya. “Jangan pernah memaki aku dengan kata itu!” ujar
si petugas.

Steve merasa geram. Memangnya apa yang ia harapkan kalau ia dengan


seenaknya meludahi orang?

Sebuah bel nyaring mulai berdering di bawah sadarnya, seakan untuk


mengingatkannya. Jangan libatkan dirimu dalam perkelahian, Steve.

Rekan si petugas berdiri sambil bersandar pada kendaraannya, mengawasi


dengan ekspresi kosong.

“Ada apa sih. Bung?” ujar Dorothy dalam nada merayu. “Apakah aku
mengganggui”

Si petugas menghantamnya di perut. Ia seorang laki-laki tinggi besar, dan


hantaman itu ia hujamkan dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Dorothy
langsung melipat tubuhnya, dan tampak kehabisan napas.

“Gila,” umpat Steve sambil segera melangkah ke arah pojok jalan.

Apa yang sedang kaulakukan, Steve?

Dorothy masih membungkuk sambil tersengal-sengal. Steve berkata, “Selamat


malam, Opsir.”

Petugas itu berpaling ke arahnya. “Sana,” ujarnya.

“Tidak bisa,” sahut Steve.


“Apa kauhilang?”

“Aku bilang tidak bisa, Opsir. Lepaskan orang itu.” Tinggalkan tempat ini,
Steve. Jangan konyol. Ayo.

Sikapnya membuat anak-anak muda yang masih berada di situ4 menjadi lebih
berani. “Yeah. betul.” seru seorang bocah jangkung bertubuh ceking, yang
kepalanya dicukur gundul. “Kau tidak berhak mengusik Dorothy. Dia tidak
melanggar apa-apa.”

Si petugas menudingkan jarinya ke arah si bocah. “Kau mau dibekuk dengan


tuduhan mengedarkan obat bius? Terus saja bicara begitu.”

Si bocah mengalihkan pandangannya.

67

“Tapi ucapannya memang benar,” ujar Steve. “Dorothy tidak melakukan


pelanggaran.”

Si petugas menghampiri Steve. Jangan apa-apakan dia, biar bagaimanapun,


jangan sentuh dia. Ingat peristiwa Tip Hendricks. “Kau buta?** tantang si
petugas.

“Apa maksud Anda?”

Rekan si petugas berseru, “Hey, Lenny. Sudahlah. Ayo kita jalan.’* Tampangnya
agak gelisah.

Lenny tidak menghiraukan panggilan itu dan berkata kepada Steve, “Kau tidak
lihat? Kau satu-satunya yang berkulit putih di sini. Tempatmu bukan di sini.**

“Tapi aku baru saja menyaksikan suatu pelanggaran.’*

Si petugas merapat. “Kau mau ikut ke kantor polisi?” tantangnya. “Atau kau
lebih suka segera pergi dari sini?”

Steve tidak ingin ikut ke kantor polisi. Tidak akan sulit bagi mereka untuk
menyusupkan sedikit obat bius ke dalam saku-sakunya, .atau menggebukinya
dengan alasan ia melawan saat akan ditahan. Steve sedang kuliah di fakultas
hukum; kalau ia sampai dituduh terlibat dalam suatu tindak kejahatan, ia tidak
akan pernah bisa praktek kelak. Ia mulai menyesali ulah gegabahnya. Tak ada
gunanya membuang seluruh masa depannya hanya gara-gara seorang petugas
patroli menteror seorang banci.

Tapi situasinya tidak benar. Kini dua orang yang sedang kena teror, Dorothy dan
Steve. Si petugas itulah yang melakukan pelanggaran. Steve masih belum rela
untuk segera beranjak dan tempat itu

Dalam nada mengajak berdamai, ia berkata, “Aku tidak ingin membuat masalah,
Lenny,” ujarnya. “Bagaimana kalau kanbiarkan Dorothy pergi, dan aku
melupakan bahwa aku sudah melihatmu menyerang dia.”

“Kau mau coba mengancamku, ya?”

Satu ayunan tinju ke arah perutnya dan hantaman mantap ke arah kepalanya.
Satu demi uangnya, yang

68

kedua sekadar iseng. Dia bakal ambruk seperti seekor kuda yang kakinya cedera.

“Cuma usul saja.*’ Rupanya petugas ini ingin membuat [ masalah. Steve tidak
melihat peluang yang dapat mencairkan situasi. Andai kata Dorothy diam-diam
menyelinap pergi sekarang, mumpung Lenny sedang memunggunginya; tapi si
banci rupanya memilih untuk tetap berdiri di situ, menonton, sambil mengusap-
usap perutnya yang memar, menikmati amarah si petugas patroli.

Rupanya mereka sedang bernasib baik. Pesawat radio di dalam mobil patroli itu
tiba-tiba berbunyi. Kedua petugas itu terenyak, memasang telinga. Steve tidak
dapat menangkap arti runtunan kata dan kode-kode itu, namun rekan si Lenny
berkata, “Ada masalah. Ayo kita berangkat.”

Lenny tampak ragu. Matanya masih tertuju ke arah Steve, namun Steve yakin ia
melihat secercah kelegaan membayang di matanya. Mungkin ia sendiri merasa
diselamatkan dari situasi yang tidak mengenakkan ini. Namun nadanya sama
sekali tidak ramah. “Ingat aku,” ujarnya kepada Steve. “Karena aku tidak akan
melupakan tampangmu.” Setelah mengatakan itu, ia melompat ke dalam
kendaraannya, lalu membanting pintunya. Mobil patroli itu segera melesat pergi.
Anak-anak muda itu bertepuk tangan sambil bersorak sorai.

“Whew,” ujar Steve sambil menarik napas lega. “Benar-benar tidak lucu.”

Dan konyol. Kau tahu apa yang sebetulnya bisa terjadi. Kau tahu bagaimana
sifatmu.

Pada saat itulah sepupunya, Ricky, muncul. “Apa yang terjadi?” tanya Ricky
sambil menoleh ke arah mobil patroli yang mulai menghilang dari pandangan.

Dorothy menghampiri mereka, lalu meletakkan tangannya di pundak Steve.


“Jagoanku,” ujarnya dalam nada genit. “John Wayne.**

69

Steve merasa rikuh. “Ah, sudahlah.” “Pokoknya kalau kau pas lagi kepingin
bertualang, John Wayne, carilah aku. Pokoknya semua gratis.” “Trims….”

“Sebetulnya aku ingin menciummu, tapi kulihat kau pemalu, jadi sebaiknya aku
cuma bilang sampai ketemu.” la melambaikan jari-jarinya yang berkuku merah,
lalu memutar tubuhnya.

“Byet Dorothy.”

Ricky dan Steve menuju ke arah berlawanan. Ricky berkata, “Rupanya kan
sudah punya kenalan sekarang di sini.”

Steve tertawa, lebih karena merasa lega. “Aku nyaris dapat masalah,” ujarnya.
“Seorang polisi konyol menghajar cowok yang pakai rok itu, dan entah kenapa
aku mencoba menghentikannya.”

Ricky tampak tercengang. “Untung kau di sini.”

“Aku tahu itu.”

Mereka sampai di rumah Ricky, lalu masuk. Tempat itu bau keju, atau mungkin
susu yang sudah busuk. Ada tulisan-tulisan pada dinding-dindingnya yang dicat
hijau. Mereka menyelinap di antara beberapa sepeda yang dirantai di lorongnya,
lalu menaiki tangga. Steve berkata, “Aku jadi panas. Buat apa Dorothy kena
tinju di perutnya? Dia suka dandan dan memakai rok mini; lalu kenapa?”
“Kau benar.”

“Lalu apa hak Lenny melakukan itu? Mentang-mentang dia memakai seragam
polisi. Seharusnya mereka mempunyai norma-norma yang lebih tinggi, karena
fasilitas yang mereka dapatkan.”

“Maunya.”

“Karena itulah aku ingin menjadi pengacara. Untuk menghentikan hal-hal


brengsek seperti ini. Kau punya seorang jagoan, seseorang yang ingin
kaujadikan panutan?”

70

“Casanova, mungkin.”

“Ralph Nader. Dia seorang pengacara. Dia panutanku Dia selalu menangani
kasus-kasus paling berat di Amerika—dan biasanya menang!”

Ricky tertawa sambil merangkul Steve saat mereka memasuki kamarnya.


“Sepupuku, si idealis sejati.”

“Ah.”

“Kau mau kopi?” “Ya.”

Kamar Ricky kecil dan penuh dengan entah apa. Ada sebuah tempat tidur
sempit, sebuah meja tulis reot, sebuah sofa yang sudah amblas, dan sebuah
pesawat televisi besar. Di dindingnya terdapat poster seorang wanita telanjang
yang setiap tulangnya ditandai dengan istilah anatominya. Selain itu masih ada
sebuah AC yang tampaknya sudah tidak berfungsi lagi. Steve duduk di sofa.
“Kencanmu sukses?” “Tidak begitu.” Ricky mengisi sebuah ketel dengan air.
“Melisa sih oke, sebetulnya, tapi aku nggak akan pulang sepagi ini kalau dia
naksir aku seperti yang kubayangkan. Bagaimana dengan kau?*’

“Aku jalan-jalan keliling kampus Jones Falls. Asyik juga. Aku ketemu seorang
cewek.” Begitu teringat, wajahnya menjadi terang. “Aku melihatnya main tenis.
Dia benar-benar bukan main—tinggi, berotot, gesit. Serve-nya seperti tembakan
senapan bazooka. Benar.”
“Aku nggak pernah dengar ada orang naksir cewek gara-gara permainan
tenisnya.” Ricky tertawa. “Tampangnya bagaimana?”

“Garis-garis wajahnya kuat.” Steve dapat membayangkannya kembali saat itu.


“Matanya cokelat tua, alis hitam, rambutnya tebal dan berwarna gelap… dan dia
memakai cincin perak mungil di cuping hidungnya.” “Yang benar. Unik, ya?”
“Bisa dibilang begitu.” “Siapa namanya?”

71

“Aku nggak tahu.” Steve tersenyum misterius. “Dia menolakku tanpa


memberikan kesempatan sedikit pun. Mungkin aku nggak akan pernah bertemu
lagi dengannya.”

Ricky menuang kopinya. “Mungkin itu ada baiknya. Kau sudah punya pacar,
kan?”

“Bisa dibilang begitu.” Steve merasa sedikit bersalah, karena begitu tertarik pada
si pemain tenis itu. “Namanya Celine,” ujarnya. Kami belajar sama-sama.” Steve
kuliah di Washington DC

“Kau tidur dengannya?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Aku merasa nggak harus.”

Ricky tampak tercengang. “Aku nggak ngerti. Kau mesti merasa harus dulu
sebelum meniduri seorang

cewek?”

Steve menjadi salah tingkah. “Pokoknya begitu. Oke?” “Selalu?”

“Tidak. Sewaktu masih di sekolah menengah, aku selalu melakukan sampai


sejauh mana si cewek itu mau, katakanlah semacam kontes atau entah apa. Aku
berkencan dengan cewek cakep mana saja yang mau kupacari… tapi itu kan
dulu, sekarang lain. Aku sudah lebih dewasa, kukira.”
“Berapa umurmu? Dua puluh dua?”

“Ya.”

“Aku dua puluh lima, tapi rupanya aku belum sedewasa kau.”

Steve menangkap nada yang kurang enak. “Hei, ini bukan kritik, oke?”

“Oke.” Rupanya Ricky tidak terlalu tersinggung. “Lalu apa yang kaulakukan,
setelah dia menolakmu?”

“Pergi ke sebuah bar di Charles Village, lalu minum beberapa gelas bir dan
makan hamburger.”

“Itu mengingatkan aku—aku lapar. Mau makan sesuatu?”

72

“Kau punya apa?”

Ricky membuka lemari. “Boo Berry, Rice Krispies, atau Count Chocula.”

“Wauw. Count Chocula boleh juga.” Ricky mengeluarkan dua buah mangkuk,
meletakkan susu di meja, lalu mereka berdua mulai asyik makan.

Setelah selesai, mereka mencuci mangkuk-mangkuk, lalu bersiap-siap tidur


Steve berbaring di sofa dalam celana pendeknya; udara terlalu panas, tidak perlu
memakai selimut. Ricky naik ke tempat tidurnya. Sebelum mereka tidur, Ricky
berkata, “Jadi, apa yang akan kaulakukan di Jones Falls?”

“Mereka memintaku berpartisipasi dalam suatu riset. Aku harus melakukan


beberapa macam tes psikologi dan entah apa lagi.”

“Kenapa justru kau?”

“Nggak tahu. Mereka bilang aku unik, dan mereka akan menjelaskannya secara
lebih rinci begitu aku bertemu dengan mereka.”

“Kenapa kau bilang oke? Kedengarannya seperti buang-buang waktu.”

Steve memiliki alasan khusus, tapi ia tidak berniat mengungkapkannya kepada


Ricky. Karena itu ia menjawab seadanya. “Rasa ingin tahuku, kukira. Maksudku,
masa kau tidak pernah mempertanyakan pada dirimu mengenai keberadaanmu.
Misalnya, orang tipe apa aku ini sebenarnya, dan apa yang kuinginkan dalam
hidup ini?”

“Aku kepingin menjadi ahli bedah kondang dan menghasilkan jutaan dolar
setahun dengan melakukan imp lantasi payudara. Kukira aku tipe laki-laki
sederhana.”

“Apa kau nggak pernah pertanyakan buat apa itu semua?”

Ricky tertawa. “Tidak, Steve. Tidak pernah. Aku memang tidak seperti kau. Kau
memang lebih serius. Bahkan sejak kita masih kecil, kau sudah mempertanyakan
tentang Tuhan dan entah apa lagi.”

73

Nyatanya memang begitu. Steve pernah melalui periode ketika soal keagamaan
amat berarti baginya, sewaktu ia berusia sekitar tiga belas tahun. Ia mengunjungi
beberapa macam gereja, sebuah sinagoga, dan sebuah mesjid, dan secara serius
bertanya kepada para ulamanya mengenai kepercayaan mereka masing-masing.
Dan itu sempat membuat tertegun kedua orangtuanya, yang sama-sama penganut
faham agnostis—yang menerima keberadaan Tuhan tanpa mempertanyakan apa-
apa.

‘Tapi dari dulu kau memang agak lain,” lanjut Ricky. “Sejauh ini aku tidak
pernah mengenal seorang pun yang dapat mencapai nilai nilai setinggi yang
kauperoleh tanpa harus memeras otak.”

Dan itu juga benar. Dengan mudah Steve menguasai pelajarannya; tanpa usaha
keras ia menjadi juara kelas, kecuali setelah ia diledek oleh anak-anak lain dan
dengan sengaja membuat kesalahan-kesalahan supaya nilai-nilainya tidak tedalu
mencolok.

Tapi masih ada alasan lain yang ia pertanyakan mengenai dirinya sendiri. Ricky
tidak tahu mengenai itu. Dan tidak seorang pun di fakultasnya tahu. Hanya
orangtuanya yang tahu.

Steve pernah hampir membunuh seseorang.


Usianya baru lima belas tahun ketika itu, tapi postur tubuhnya sudah tinggi,
meskipun masih kurus. Ia menjadi kapten tim basket sekolahnya. Tahun itu
Hillsfield High berhasil memasuki babak semi final untuk kejuaraan di kota
mereka. Mereka bertanding melawan tim anak jalanan yang kasar dari sebuah
sekolah kumuh di Washington. Seorang pemain, seorang anak muda bernama
Tip Hendricks, mencurangi Steve sepanjang pertandingan. Tip seorang pemain
andal, namun ia mengerahkan seluruh keterampilannya dengan bermain licik.
Dan setiap kali melakukan itu, ia akan menyeringai, seakan mau mengatakan.
Kena kau! Itu membuat Steve kalap, tapi ia berusaha memendam amarahnya.
Akibatnya permainannya kurang baik. timnya kalah, dan peluang mereka untuk
mendapatkan piala kejuaraan itu hilang.

Steve menghindari Tip, tapi Tip kemudian menjentikkan puntung rokoknya ke


arah Steve, yang lalu mendarat di jaketnya.

Jaket itu amat berarti bagi Steve. Ia telah menabung uang perolehannya dengan
bekerja setiap hari Sabtu di McDonald’s, dan baru saja membeli benda sial itu
pada hari sebelumnya. Bahannya jatuhnya enak, terbuat dari kulit lembut
berwarna seperti mentega, dan kini ada noda bekas terbakar di bagian dadanya,
yang mau tidak mau pasti terlihat. Jaket itu cacat sekarang. Karena itulah Steve
melabrak anak muda itu.

Tip memberikan perlawanan sengit dengan menendang dan menyikutnya, namun


kemarahan membuat Steve mata gelap, sehingga ia hampir tidak dapat
merasakan apa-apa lagi. Wajah Tip sudah berlumuran darah saat pandangannya
tertumbuk pada sebuah kotak peralatan sopir bus. Ia meraih sebuah linggis, lalu
menghantam wajah Steve dua kali. Hantaman itu benar-benar menyakitkan,
sehingga amarah Steve semakin menjadi-jadi. Steve berhasil merenggut linggis
itu dari tangan Tip—sesudah itu ia tidak ingat lagi apa yang terjadi, sampai ia
berdiri di dekat tubuh Tip dengan linggis berlumuran darah di tangannya, dan
seseorang berseru. Ya Tuhan, dia sudah mati rupanya.

Ternyata Tip tidak mati ketika itu. Ia mati dua tahun sesudah peristiwa itu
dibunuh oleh seorang pemasok marijuana dari Jamaica, kepada siapa ia berutang
delapan puluh lima dolar. Namun Steve sudah berniat membunuhnya, sudah
mencoba membunuhnya. Ia tidak dapat menyangkal itu; ia telah mengawali
perkelahian itu, dan meskipun Tip-lah yang sebetulnya memungut linggis itu,
Steve telah menggunakannya secara membabi buta.
Steve sempat dituntut hukuman penjara selama enam

75

bulan, tapi itu kemudian ditangguhkan. Setelah diadili, ia dipindahkan ke


sekolah lain dan berhasil lulus dengan sukses, sebagaimana biasanya. Karena ia
masih di bawah umur saat perkelahian itu terjadi, catatan kriminalnya tidak
dapat diakses oleh siapa-siapa, sehingga tidak menjadi halangan baginya untuk
mendaftarkan diri ke fakultas hukum. Mom dan Dad sekarang menganggap itu
sebagai mimpi buruk yang sudah berlalu. Namun Steve masih tetap didera oleh
kebimbangan. Ia tahu bahwa hanya nasib baik dan kendali dirinyalah yang
menyelamatkannya dari tuntutan tindak pembunuhan. Tip Hendricks adalah
seorang manusia, dan Steve hampir membunuhnya hanya gara-gara sebuah
jaket. Saat mendengar irama napas Ricky yang teratur dari sisi lain kamar itu,
Steve masih terjaga di sofanya sambil merenung: Siapakah aku sebenarnya?

76
SENIN
(I i-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh:

Dilarang meng-komersil-kanataii kesialan menimpa hidup anda selamanya.

BAB 5

Kau pernah bertemu dengan seorang laki-laki yang ingin kaunikahi?” tanya Lisa.
Mereka sedang duduk di dalam apartemen Lisa, sambil minum-minum kopi
instan. Segala sesuatu di tempat itu berkesan manis, seperti Lisa: corak bunga-
bunga, pernak-pernik dari porselen, sebuah boneka beruang dengan pita
berbintik-bintik.

Lisa berniat mengambil cuti hari itu, tapi Jeannie sudah mengenakan pakaian
kerjanya yang berupa rok biru laut dan blus putih dari bahan katun. Hari ini hari
yang penting baginya, dan ia merasa tegang menghadapinya. Subjeknya yang
pertama akan muncul di laboratorium untuk menjalani beberapa tes. Apakah
laki-laki ini akan memenuhi kriteria-kriteria dalam teorinya atau tidak?
Menjelang sore ini, ia akan tahu apakah teorinya benar atau ia terpaksa
menjajaki kembali ide-idenya.

Namun ia tidak ingin berangkat kalau belum terlalu perlu. Lisa masih amat
rapuh. Jeannie menganggap hal terbaik yang dapat ia lakukan adalah duduk dan
mengajaknya mengobrol mengenai laki-laki dan seks, seperti yang biasanya
mereka -lakukan untuk membantunya secepat mungkin kembali pada kehidupan
normal. Sebe—

79

tulnya ia ingin menemani Lisa di situ sepanjang pagi, tapi sayang tidak bisa. Ia
menyayangkan bahwa Lisa tidak masuk kerja untuk membantunya di
laboratorium hari itu, tapi itu memang tak mungkin.

“Yeah, sekali,” ujar Jeannie. sebagai jawaban atas pertanyaan Lisa. “Pernah ada
seorang cowok yang ingin kunikahi. Namanya Will Temple. Dia pakar
antropologi. Sampai sekarang.” Jeannie dapat membayangkan tampangnya
sekarang. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan cambang pirang,
mengenakan celana blue jeans dan baju kaus, seperti seorang nelayan, naik
sepeda berperseneling sepuluh, menelusuri lorong-lorong universitas.

“Kau pernah sebut namanya,” ujar Lisa. “Seperti apa sih dia?”

“Menyenangkan.” Jeannie menghela napas. “Dia membuatku tertawa,


merawatku kalau aku sakit, menyeterika kemeja-kemejanya sendiri, dan sigap
seperti kuda.’”

Lisa tidak tersenyum. “Lalu apa yang terjadi?”

Jeannie merasa tersentuh, namun hatinya sedih mengingat-ingat itu semua


kembali. “Dia meninggalkan aku demi Georgina Tinkerton Ross.” Seakan agar
lebih jelas, ia menambahkan, “Tinkerton Ross dari Pittsburgh.”

“Seperti apa ceweknya?”

Jeannie benar-benar tak ingin membayangkan tampang Georgina. Tapi hal ini
akan mengalihkan perhatian Lisa dari peristiwa pemerkosaan itu, karenanya ia
memaksa dirinya untuk mengingat-ingat kembali. “Pokoknya dia sempurna,”
ujarnya. Ia tidak menyukai nada sarkastis dalam suaranya sendiri. “Rambut
pirang kemerahan, lekuk tubuhnya seperti gitar, seleranya tidak tercela, gemar
mengenakan baju-baju kaus dari bahan kasmir dan sepatu kulit buaya. Nggak
punya otak, tapi punya uang banyak.”

“Kapan semua ini terjadi?”.

“Will dan aku tinggal bersama selama setahun ketika

80

aku sedang menyiapkan skripsiku.” Ketika itu merupakan saat-saat paling


membahagiakan dalam hidupnya. “Dia meninggalkan aku sewaktu aku sedang
menulis artikel mengenai apakah kecenderungan untuk melakukan tindakan
kriminal dipengaruhi oleh faktor genetika.” Tepat sekali waktunya. Will. Andai
kata aku dapat lebih membencimu. “Kemudian Berrington menawarkan
pekerjaan padaku di Jones Falls, yang langsung kuterima.”

“Laki-laki memang brengsek.”


“Will nggak brengsek sebetulnya. Dia cowok yang baik. Dia cuma jatuh hati
pada orang lain.‘Itu saja. Menurutku dia kurang perhitungan dalam menentukan
pilihannya. Kan kami belum menikah. Dia tidak melanggar apa-apa. Dia bahkan
tidak pernah mengkhianatiku, kecuali mungkin sekali dua kali, sebelum dia
menyingkapkan hal itu padaku.” Jeannie menyadari bahwa ia sedang
mengulangi apa yang dikatakan Will untuk membenarkan dirinya. “Aku tidak
tahu, mungkin dia memang brengsek.”

“Mungkin ada baiknya kita kembali ke zaman Victoria, ketika seorang laki-laki
yang mencium seorang wanita akan menganggap dirinya tunangannya.
Setidaknya kaum cewek jadi tahu posisi mereka.”

Saat ini persepsi Lisa mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan amat
sensitif, tapi Jeannie tidak mengomentarinya. Malab ia bertanya, “Bagaimana
dengan kau? Apa kau pernah bertemu dengan seseorang yang ingin kaunikahi?”

“Belum. Belum pernah sekali pun.”

“‘Kita memang bukan tipe yang suka gegabah. Jangan khawatir, begitu Mr.
Jodoh muncul, dia akan ideal sekali.”

Bel pintu berdering, membuat keduanya sama-sama tersentak. Lisa langsung


melompat berdiri, menabrak meja. Sebuah vas porselen jatuh ke lantai, lalu
pecah. Lisa mengumpat, “Sialan!”

81”

Ia masih dalam keadaan sangat tegang. “Biar aku yang bersihkan pecahannya,”
ujar Jeannie dalam nada menenangkan. “Coba kaulihat, ada siapa di pintu.”

I jsa meraih gagang pesawat teleponnya. Alis matanya tampak mengerut saat ia
mengawasi layar monitornya. “Oke,” ujarnya dalam nada ragu. lalu ia menekan
tombol yang akan membuka pintu masuk ke apartemennya.

“Siapa itu?” tanya Jeannie.

“Seorang detektif dari Unit Tindak Kejahatan Seks.”

Jeannie sudah khawatir mereka akan mengirim seseorang untuk menteror Lisa
agar mau bekerja sama dengan mereka dalam menyingkapkan peristiwa itu. Ia
bertekad untuk mencegah mereka. Lisa tidak akan sanggup dihujani pertanyaan-
pertanyaan yang akan mengganggunya. “Kenapa kau nggak suruh dia pergi
saja?”

“Karena dia seorang wanita kulit hitam,” sahut Lisa.

“Kau bercanda?”

Lisa menggeleng.

Hebat sekali, umpat Jeannie dalam hati saat menyapu kepingan-kepingan


porselen itu. Mereka tahu ia dan Lisa tidak akan menunjukkan sikap bersahabat
kepada mereka. Kalau mereka mengutus seorang laki-laki kulit putih, ia dan Lisa
tidak akan membiarkannya masuk. Karena itu, mereka mengirim seorang wanita
kulit hitam. Biasanya gadis-gadis kulit putih dari kelas menengah akan berusaha
sebaik-baiknya bersikap sopan pada wanita kulit hitam. Yah, tapi kalau dia
mencoba merongrong Lisa, aku tetap akan mengusirnya keluar, putus Jeannie.

Detektif itu ternyata seorang wanita bertubuh pendek gemuk, berusia sekitar
empat puluhan, mengenakan blus berwarna krem dan sehelai syal sutra beraneka
warna, dengan sebuah tas kantor. “Aku Sersan Michelle Delaware,” ujarnya.
“Mereka memanggilku Mish.”

Jeannie mencoba menerka isi tasnya. Seorang detektif biasanya membawa


senjata, bukan berkas-berkas kertas.

“Aku Dr. Jean Ferrami,” ujar Jeannie. Ia selalu menyebutkan gelar


kesarjanaannya saat memperhitungkan kemungkinan ia akan berdebat dengan
seseorang. “Ini Lisa Hoxton.”

Si detektif berkata, “Ms. Hoxton, aku ingin menyatakan betapa menyesalnya aku
mengenai apa yang terjadi atas diri Anda kemarin. Unitku menangani satu kasus
pemerkosaan, rata-rata, setiap hari, dan masing-masing merupakan tragedi yang
amat mengenaskan dan trauma menyakitkan untuk si korban. Aku tahu Anda
merasa amal terpukul, dan aku mengerti.”

Wauw, ujar Jeannie dalam hati, ini pendekatan yang lain dari kemarin.

“Aku sedang mencoba melupakannya,” ujar Lisa dengan tegar, namun air
matanya mulai menetes kembali.
“Boleh aku duduk?”

‘Tentu.”

Si detektif mengambil tempat di meja dapur.

Jeannie menatapnya dengan pandangan curiga. “Sikap Anda rupanya berbeda


dengan si petugas patroli itu,” ujarnya.

Mish mengangguk. “Aku juga minta maaf kepada Anda soal McHenty dan cara
dia memperlakukan Anda Sama seperti semua petugas patroli yang lain, dia
pernah mengikuti pelatihan mengenai cara menghadapi para korban
pemerkosaan, tapi rupanya dia lupa apa yang sudah diajarkan kepadanya. Aku
merasa malu untuk seluruh staf dinas kepolisian.”

“Aku merasa hakku dilanggar sama sekali,” ujar Lisa di antara air matanya.

“Hal seperti itu tidak boleh terulang lagi,” ujar Mish, nada marah mulai
mewarnai suaranya. “Gara-gara inilah begitu banyak kasus pemerkosaan
akhirnya dimasukkan ke dalam arsip sebagai ‘Tidak Berdasar.’ Bukan berarti
wanita-wanita itu bohong mengenai peristiwa pemerkosaan itu. Melainkan
karena sistem yang berlaku memper-83

lakukan mereka dengan cara begitu brutal, sehingga mereka memilih untuk
menarik tuntutan mereka.”

Jeannie berkata, “Aku bisa mengerti itu.” la meng-. ingarkan dirinya untuk
berhati-hati: Mish mungkin berbicara sebagai seorang kakak, namun ia toh
seorang polisi.

Mish mengeluarkan sebuah kartu dari dalam tasnya. “Ini nomor sebuah yayasan
sosial untuk” wanita-wanita korban pelecehan seks dan anak-anak korban tindak
kekerasan,” ujarnya. “Cepat atau lambat, para korban ini membutuhkan
bantuan.”

Lisa menerima kartu itu, namun berkata, “Saat ini yang kuinginkan adalah
secepatnya melupakan seluruh peristiwa itu.”

Mish mengangguk. “Sebaiknya turuti saranku. Simpanlah kartu itu di laci.


Pikiran Anda masih kacau sekali saat ini. Kelak mungkin Anda merasa siap
untuk mendapatkan bantuan,”

“Oke.”

Jeannie memutuskan bahwa Mish berhak mendapat perlakuan lebih ramah.


“Anda mau minum kopi?” tawarnya.

“Aku akan suka itu.”

“Aku buatkan.” Jeannie berdiri untuk mengisi perangkat pembuat kopi.

Mish berkata, “Apa kalian berdua bekerja di tempat yang sama?”

“Ya,” sahut Jeannie. “Kami mengadakan riset mengenai kekembaran.”


“Kekembaran?1’

“Kami meneliti persamaan serta perbedaan-perbedaan di antara mereka, lalu


mencoba menelaah sampai seberapa banyak sifat-sifat tertentu diturunkan dan
seberapa banyak merupakan pengaruh dari cara mereka dibesarkan.”

“Apa peranmu dalam riset ini, Lisa?”

84

“Tugasku adalah menemukan pasangan-pasangan kembar untuk para ilmuwan,


untuk dipelajari.”

“Bagaimana caramu melakukan itu?”

“Aku mulai dengan menelusuri data-data kelahiran, yang merupakan informasi


umum di kebanyakan pemerintahan daerah. Satu persen dari jumlah kelahiran
berpeluang kembar, sehingga kami akan mendapatkan satu pasang kembar untuk
setiap seratus akte kelahiran yang kami telusuri. Dalam akte-akte itu akan
tercantum tanggal dan tempat kelahiran si kembar. Kami membuat copy-nya,
lalu kami telusuri keberadaan mereka.”

“Caranya?”

“Kami punya semua nomor telepon di Amerika dalam CD-ROM kami. Selain
itu, kami juga dapat menggunakan data-data Surat Izin Mengemudi dan Surat
Referensi Kredit.”

“Apa kau selalu menemukan pasangan-pasangan itu?”

“Tidak selalu. Keberhasilan kami tergantung dari usia mereka. Kami berhasil
menemukan sembilan puluh persen yang berusia sekitar sepuluh tahun, tapi
hanya lima puluh persen yang berusia sekitar delapan puluh. Mereka yang
dewasa cenderung sudah pindah rumah beberapa kali, ganti nama, atau
meninggal.”

Mish menatap Jeannie. “Kemudian kalian akan meneliti mereka.”

Jeannie berkata, “Aku mendalami kasus kembar identik yang dibesarkan secara
terpisah. Mereka lebih sulit ditemukan.” Ia membawa poci kopinya ke meja
dapur, lalu mengisi cangkir Mish. Andai kata si detektif memang punya niat
untuk menekan Lisa, rupanya ia tidak terburu-buru.

Mish menghirup kopinya, lalu berkata kepada Lisa, “Sewaktu di rumah sakit,
kau mendapat tindakan medis?”

“Tidak. Aku cuma sebentar di sana.”

“Seharusnya mereka menawarkan pil itu padamu. Kau tentunya tidak ingin
hamil.”

85

Lisa menggigil. “Pasti tidak. Aku memang sedang mempertanyakan pada diriku,
apa yang dapat kulakukan mengenai itu.”

“Temui dokter pribadimu. Dia akan memberikannya padamu, kecuali jika dia
memiliki pertimbangan keagamaan—dokter-dokter yang beragama Katolik
biasanya begitu. Tapi kau bisa menghubungi yayasan sosial untuk menemukan
pemecahannya.”

“Enak rasanya berbicara dengan seseorang yang mengerti soal-soal seperti ini,”
ujar Lisa.

“Ternyata peristiwa kebakaran itu bukan kecelakaan,” ujar Mish. “Aku sudah
berbicara dengan kepala dinas pemadam kebakaran. Ada yang membuat api di
gudang yang terletak di sebelah ruang ganti itu, dan dia membuka pipa-pipa
ventilasi untuk memastikan asapnya dipompa masuk ke dalam ruang ganti. Para
pelaku tindak pelecehan seks sebetulnya tidak tertarik pada unsur seksnya; rasa
takutlah yang membuat mereka terangsang. Jadi, menurutku kebakaran tersebut
merupakan bagian dari fantasi bajingan itu.”

Jeannie tidak dapat menerima itu. “Kukira dia cuma seorang oportunis yang
tidak mau menyia-nyaikan kesempatan itu.”

Mish menggeleng-gelengkan kepala. “Pelaku yang memerkosa teman kencannya


biasanya seorang oportunis; si cowok mendapati ceweknya sudah terlalu teler
atau mabuk untuk dapat menolaknya. Lain painya dengan mereka yang
memerkosa wanita-wanita yang tidak mereka kenal. Mereka adalah para tukang
rekayasa. Mereka mengkhayalkan suatu situasi, kemudian melakukan sesuatu
untuk mewujudkannya. Mereka biasanya lihai sekali. Dan itu menjadikan
mereka lebih berbahaya.”

Jeannie merasa semakin marah. “Aku hampir mati dalam api sialan itu,”
umpatnya.

Mish berkata pada Lisa, “Betul kan dugaanku, bahwa kau tidak pernah melihat
laki-laki ini sebelumnya? Dia benar-benar orang asing, kan?”

86

“Rasanya aku melihatnya sekitar satu jam sebelum peristiwa itu,” sahut Lisa.
“Saat aku lari bersama tim hockey itu. Sebuah mobil memperlambat
kecepatannya dan seorang cowok menoleh ke arah kami. Sepertinya dialah
orangnya.”

“Mobil apa itu?”

“Sebuah mobil tua, aku yakin itu. Putih, dan sudah karatan di mana-mana.
Mungkin sebuah Datsun.”

Jeannie memperhitungkan bahwa Mish akan mencatat itu, namun ternyata Mish
terus berbicara. “Kesan yang kuperoleh adalah dia seorang laki-laki berpikiran
tidak beres yang lihai dan sama sekali tidak memiliki hati nurani, yang akan
melakukan apa pun untuk memuaskan nafsunya sendiri.”
Dalam nada pahit Jeannie berkata, “Mestinya dia dikurung di balik terali seumur
hidupnya.”

Mish melemparkan kartu terakhirnya. “Tapi itu tidak akan terjadi. Dia masih
bebas. Dan dia akan -melakukannya lagi.”

Jeannie mulai bersikap waswas. “Dari mana kau tahu itu?”

“Kebanyakan pelaku tindak pelecehan seks biasanya terlibat dalam serangkaian


pemerkosaan. Kecuali para pemerkosa oportunis yang memerkosa teman kencan
mereka sendiri, sepati yang kusebutkan tadi. Jenis yang ini mungkin hanya akan
melakukan pelanggaran itu sekali. Tapi mereka yang memerkosa wanita-wanita
yang tidak mereka kenal akan melakukannya lagi dan lagi— sampai mereka
tertangkap.” Mish menatap mata Lisa dalam-dalam. “Dalam waktu tujuh sampai
sepuluh hari, laki-laki yang memerkosamu akan melakukan tindak pelanggaran
yang sama atas diri seorang wanita lain, kecuali kalau kita keburu
menangkapnya.”

“Ya Tuhan,” ujar Lisa.

Jeannie dapat melihat arah yang dituju Mish. Sesuai dengan perhitungannya, si
detektif sedang mencoba

87

mempengaruhi Lisa untuk membantu dalam penyidikannya Jeannie masih tetap


bertekad untuk tidak membiarkan Mish merongrong atau menekan Lisa. Tapi
memang sulit menampik apa yang dimintanya sekarang.

“Kami membutuhkan contoh DNA-nya,” ujar Mish.

Lisa mengernyitkan wajahnya. “Spermanya, yang kaumaksud.”

“Betul.”

Lisa menggeleng-gelengkan kepala. “Aku sudah bilas itu, mandi dan


membersihkan seluruh tubuhku. Kuharap tidak ada lagi yang tersisa di
dalamku.”

Mish rupanya tidak berniat untuk menyerah. “Bekas-bekasnya masih akan ada
selama empat puluh delapan sampai tujuh puluh dua jam sesudahnya. Kita perlu
melakukan pengambilan cairan vagina, penelusuran rambut di sekitar daerah
genital, dan tes darah.”

Jeannie berkata, “Dokter yang kami temui di Santa Teresa kemarin betul-betul
brengsek.”

Mish mengangguk. “Dokter-dokter memang kurang simpatik dalam menghadapi


para korban pemerkosaan. Kalau mereka harus tampil dalam sidang pengadilan,
mereka akan kehilangan waktu dan uang. Tapi seharusnya kau tidak dibawa ke
Santa Teresa. Itu salah satu dari sekian banyak kesalahan serius McHenty. Ada
tiga rumah sakit di kota ini yang juga merupakan Pusat Penampungan Korhan
Tindak Pelecehan Seks, dan Santa Teresa tidak termasuk di antaranya.”

Lisa berkata, “Jadi, kau ingin aku ke mana?”

“Mercy Hospital memiliki sebuah Unit Pemeriksaan Forensik Tindak Kejahatan


Seks, yang kami* sebut unit SAFE.”

Jeannie mengangguk. Mercy adalah sebuah rumah sakit besar di pusat kota.

Mish berkata lagi, “Kau akan ditangani oleh seorang petugas, biasanya wanita.
Dia sudah dilatih secara khusus untuk menghadapi hal-hal seperti ini, tidak
seperti dokter

88

yang kautemui kemarin, yang malah mungkin akan mengacaukan seluruhnya.”

Jelas bahwa bagi Mish profesi dokter tidak ada apa-apanya.

Ia membuka tas kerjanya. Jeannie mendoyongkan tubuh, penuh rasa ingin tahu.
Di dalamnya terdapat sebuah komputer laptop. Mish membuka tutupnya, lalu
menyalakannya. “Kami memiliki suatu program yang disebut E-FIT, singkatan
dari Electronic Facial Identification Technique—teknik identifikasi wajah secara
elektronis. Kami memang suka membuat akronim.” Ia tersenyum. “Sebenarnya
ini hasil rekayasa seorang detektif dari Scotland Yard. Dengan cara ini, kami
dapat mewujudkan tampang seorang calon tersangka, tanpa menggunakan
tenaga artis.” la menatap Lisa dengan pandangan berharap.
Lisa menoleh ke arah Jeannie. “Bagaimana menurutmu?”

“Jangan sampai kau merasa seperti dipaksa,”, ujar Jeannie. “Pikirkan dirimu.
Kau punya hak. Ikuti perasaanmu.”

Mish menatap Jeannie dengan pandangan mencela, lalu berkata kepada Lisa.
“Tidak ada yang menekanmu. Kalau kau mau aku pergi, aku akan keluar dari
sini. Tapi aku memohon kepadamu. Aku ingin menangkap pemerkosa ini, dan
aku membutuhkan bantuanmu-Tanpa kau, aku tidak punya peluang.”

Jeannie betul-betul terperangah. Mish telah menguasai dan mengendalikan


seluruh pembicaraan itu sejak ia masuk ke dalam ruangan ini, namun ia
melakukannya tanpa kesan menekan atau memanipulasi. Ia betul-betul tahu apa
yang sedang dibicarakannya, dan apa yang ia inginkan.

Lisa berkata, “Aku tidak tahu.”

Mish berkata, “Bagaimana kalau kaupelajari sebentar program komputer ini?


Kalau kau merasa tidak enak.

89

kita hentikan. Kalau tidak, setidaknya aku akan memperoleh gambaran


bagaimana tampang laki-laki yang sedang kulacak ini. Setelah kita selesai, kau
boleh pertimbangkan apakah kan masih mau ke Mercy atau tidak.”

Lisa tampak ragu lagi, sesudah itu berkata, “Oke.”

Jeannie berkata, “Ingat, kau boleh minta berhenti begitu kau mulai merasa tidak
enak.

Lisa mengangguk.

Mish berkata, “Untuk memulai, kita jajaki dulu secara kasar, bagaimana kira-
kira bentuk wajahnya. Gambarannya mungkin tidak akan persis seperti dirinya,
tapi itu bisa kita jadikan patokan. Kemudian akan kita teruskan detail-detailnya.
Aku ingin kau berkonsentrasi dengan serius untuk mengingat wajah si pelaku,
lalu deskripsi-kanlah secara kasar. Tidak usah buru-buru.”

Lisa memejamkan matanya. “Dia seorang laki-laki kulit putih yang kira-kira
sebaya denganku. Rambutnya pendek, warnanya biasa. Matanya berwarna
bening, biru kukira. Hidungnya tinggi…”

Mish bekerja dengan sebuah mouse. Jeannie bangkit, lalu berdiri di belakang si
detektif, supaya dapat melihat layarnya. Programnya Windows. Di sudut kanan
atas terdapat gambar sebuah wajah yang terbagi delapan. Sementara Lisa
menyebutkan garis-garis wajah si pelaku, Mish mengarahkan mouse-nya ke
bagian itu—klik— kemudian ia membuka sebuah, menu, mengecek data-data
yang ada, sesuai dengan komentar Lisa: rambut pendek, mata bening, hidung
tinggi.

Lisa melanjutkan, “Dagunya agak persegi, tanpa cambang atau kumis…


bagaimana?”

Mish menekan tombol mouse-nya lagi. Sebuah wajah yang utuh membayang di
layar. Seorang laki-laki kulit putih berusia sekitar tiga puluhan dengan garis
wajah yang umum. Bisa siapa saja di antara ribuan cowok. Mish memutar posisi
komputernya, sehingga Lisa dapat melihat layarnya. “Sekarang, kita ubah wajah
ini sedikit

90

demi sedikit Mula-mula akan kuperagakan wajah mi dengan serangkaian bentuk


dahi dan garis rambut. Kau cukup bilang ya, tidak, atau mungkin. Siap?” “Oke.”
*

Mish menekan tombol mouse-nya. Wajah di layar itu berubah, dan tiba-tiba garis
rambut di dahinya nyaris tidak tampak.

“Tidak,” ujar Lisa.

Mish menekan lagi. Kali ini wajah itu memiliki rambut yang potongannya
bergaya the Beatles. “Tidak.”

Tapi potongan berikutnya berombak, dan Lisa mengatakan, “Lebih mirip. Tapi
rasanya ada belahannya.”

Berikutnya lebih keriting. “Lebih mirip lagi,” ujar Lisa. “Yang ini lebih baik dari
yang tadi. Tapi rambutnya terlalu gelap.”
Mish berkata, “Setelah melihat semuanya, kita akan kembali ke yang kauanggap
paling mirip. Setelah memiliki gambaran utuh, kita akan menyempurnakannya
lagi; kita buat rambutnya lebih gelap atau terang, kita pindahkan belahannya,
membuat tampangnya lebih muda atau tua.”

Jeannie merasa sangat terkesan, namun prosedur itu bisa memakan waktu sejam
atau lebih, dan ia harus segera berangkat. “Aku mesti pergi,” ujarnya. “Kau
nggak apa-apa, Lisa?”

“Aku nggak apa-apa,” ujar Lisa, dan Jeannie tahu bahwa temannya tidak
berbohong. Mungkin lebih baik untuk Lisa jika ia dilibatkan dalam pelacakan
ini. la mengalihkan matanya ke arah Mish dan melihat pancaran kemenangan di
wajah wanita itu. Apakah aku keliru, ujar Jeannie pada dirinya, untuk bersikap
begitu curiga pada Mish dan terlalu melindungi Lisa? Mish cukup simpatik
sebetulnya. Ucapan-ucapannya mengena Namun prioritasnya bukanlah untuk
menolong Lisa, tapi

91

menangkap si pelaku. Lisa masih membutuhkan teman, seseorang yang


menempatkan kepentingan dirinya di atas segala-segalanya.

“Aku akan meneleponmu nanti.” ujar Jeannie kepadanya.

Lisa memeluk Jeannie. “Aku amat menghargai bahwa kau mau menemaniku tadi
malam,” ujarnya.

Mish mengulurkan tangannya, lalu berkata, “Menyenangkan bertemu dengan


Anda.”

Jeannie menerima ulurannya. “Semoga berhasil,” ujarnya. “Kuharap kalian


dapat segera menangkap orang ini.”

“Aku juga,” ujar Mish.

92

BAB 6

Steve memarkir mobilnya di pelataran parkir mahasiswa yang luas, di pojok


sebelah barat daya kampus Jones Falls yang luasnya seratus ekar itu. Saat itu
beberapa menit menjelang pukul sepuluh, dan kampus itu dipenuhi oleh para
mahasiswa dalam pakaian musim panas yang ringan, siap mengikuti mata kuliah
pertama mereka hari itu. Saat melintasi kawasan kampus itu, matanya mencari-
cari sosok si pemain tenis. Kecil sekali kemungkinan ia akan melihatnya, dan ia
tahu itu. Namun mau tak mau ia mengamati setiap gadis jangkung dengan
rambut berwarna gelap, untuk melihat apakah ia mengenakan cincin pada cuping
hidungnya.

Gedung Psikologi Ruth W. Acorn merupakan bangunan bertingkat empat yang


modern, dengan tembok bata merah yang sama seperti bangunan-bangunan di
sekitarnya yang lebih tua dan lebih tradisional. Steve menyebutkan namanya di
tempat penerimaan tamu di ruang lobi, lalu mendapatkan arahan untuk menuju
ruang laboratorium.

Selama tiga jam berikutuya ia menjalani tes-tes, yang ternyata jauh lebih banyak
daripada yang ia perkirakan. Tubuhnya ditimbang dan diukur, sidik jarinya
diambil.

Para ilmuwan, teknisi, dan mahasiswa memotret telinganya, mengetes kekuatan


daya cengkeramnya, dan mencatat reaksinya setelah memperlihatkan kepadanya
foto-foto korban dengan luka-luka bakar dan tubuh rusak, la menjawab
pertanyaan-pertanyaan mengenai minatnya di waktu senggang, kepercayaannya,
pacarnya, serta aspirasinya sehubungan dengan pekerjaannya. Ia harus
menyatakan apakah ia dapat mereparasi sebuah bel pintu, apakah ia menganggap
penampilannya sendiri rapi, apakah ia suka memukul anak-anaknya, dan apakah
irama musik tertentu membuatnya membayangkan gambar-gambar atau corak
warna yang berubah-ubah? Tapi tak seorang pun mengatakan kepadanya
mengapa ia terpilih untuk studi itu.

Ternyata ia bukan subjek satu-satunya Di laboratorium itu juga berkeliaran dua


gadis kecil dan seorang laki-laki setengah baya yang mengenakan sepatu koboi,
celana blue jeans, dan sehelai kemeja bergaya western. Waktu siang, mereka
semua berkumpul di sebuah ruang duduk dengan beberapa sofa dan sebuah
televisi, disuguhi piza dan Coca Cola untuk makan siang. Pada saat itulah Steve
menyadari bahwa sebetulnya ada dua laki-laki setengah baya bersepatu koboi;
mereka adalah sepasang kembar yang berpakaian sama.

Ia memperkenalkan dirinya, dan kini tahu bahwa nama kedua koboi itu adalah
Benny dan Arnold, dan gadis-gadis kecil itu Sue dan Elizabeth. “Apakah kalian
selalu berpakaian sama?” tanya Steve pada kedua laki-laki itu saat mereka
makan.

Keduanya berpandangan, kemudian Benny menjawab, “Tidak tahu. Kami baru


saja bertemu.”

“Kalian kembar, tapi baru saja bertemu?”

“Sewaktu baru lahir, kami berdua diadopsi—oleh dua keluarga yang berlainan.”

“Dan kalian secara kebetulan mengenakan pakaian yang sama?”

94

“Kelihatannya begitu.”

Arnold menambahkan, “Dan kami sama-sama tukang kayu, sama-sama


mengisap rokok merk Camel Lights, dan sama sama punya dua orang anak, satu
laki-laki dan satu perempuan.”

Benny berkata, “Anak perempuan kami sama-sama bernama Caroline, tapi anak
I aki-1 akiku bernama John. sedangkan anak laki-laki Arnold bernama Richard.”

Arnold berkata, “Tadinya aku ingin menamakannya John, tapi istriku ngotot dia
harus bernama Richard.”

“Wow,” ujar Steve. “Tapi masa kalian sama-sama mewarisi selera untuk
mengisap Camel Lights?”

“Siapa tahu?”

Satu di antara kedua gadis kecil itu, Elizabeth, berkata kepada Steve, “Mana
kembaranmu?”

“Aku tidak punya kembaran,” sahui Steve. “Itukah yang mereka pelajari di sini,
masalah kembaran?”

“Ya” Lalu dengan bangga ia menambahkan, “Sue dan aku adalah kembar
dizigotik.”
Steve mengangkat alisnya. Usia gadis-gadis itu sekitar sebelas tahun. “Rasanya
aku nggak kenal kata itu,” ujarnya dalam nada serius. “Apa artinya?”

“Kami bukan kembar identik. Kami kembar fraternal. Karena itu tampang kami
tidak mirip satu sama lain.” Ia menunjuk ke arah Benny dan Arnold. “Mereka
kembar monozigotik. Mereka memiliki DNA yang sama. Karena itulah mereka
begitu mirip.”

“Rupanya kau tahu banyak.” ujar Steve. “Mengesankan sekali.*’

“Kami sudah pernah kemari,” ujar-si gadis.

Pintu di belakang Steve membuka. Elizabeth mengangkat wajahnya, lalu


berseru, “Halo, Dr. Ferrami.”

Steve menoleh, kemudian melokal; si pemain tenis.

Tubuhnya yang berotot tefserjibunyi di balik jas laboratoriumnya yang


sepanjang lutut, nanwn. gerakannya seperti seorang atlet saat ia melangkah -
masuk ke dalam

ruangan itu. Ekspresi seriusnya yang begitu menarik di lapangan tenis itu masih
terpancar dari cara ia membawakan dirinya. Steve menatapnya, hampir-hampir
tidak dapat mempercayai keberuntungannya.

Ia mengucapkan halo pada kedua gadis kecil itu, lalu memperkenalkan diri
kepada yang lain. Ketika menerima uluran tangan Steve, ia menyambut dengan
kedua belah tangannya. “Jadi, kaulah Steve Logan!” serunya

“Anda pemain tenis yang andal.” sahut Steve.

“Tapi aku toh kalah.” Ia duduk. Rambutnya yang tebal dan berwarna gelap
tergerai lepas di pundaknya, dan Steve melihat, di bawah penerangan lampu
laboratorium yang kurang simpatik, bahwa ia sudah memiliki beberapa helai
uban. Sebagai ganti cincin perak, ia mengenakan giwang emas kecil yang polos
pada cuping hidungnya Ia memakai make-up hari ini, dan maskara membuat
matanya yang berwarna gelap menjadi lebih memesona.

Ia mengucapkan terima kasih pada mereka semua karena telah meluangkan


waktu demi kemajuan ilmu pengetahuan, dan menanyakan apakah pizanya
cukup lezat. Setelah berbasa-basi selama beberapa saat, ia meminta kedua gadis
kecil dan koboi-koboi itu meninggalkan mereka untuk melanjutkan tes sore itu.

Jeannie duduk di dekat Steve, dan entah kenapa perasaan Steve mengatakan
bahwa itu membuatnya rikuh. Seolah-olah sebentar lagi ia harus menyampaikan
berita buruk. Ia berkata, “Tentunya kau mempertanyakan pada dirimu, untuk apa
sebetulnya ini semua.”

“Kukira aku terpilih karena hasil-hasilku yang selalu demikian cemerlang di


sekolah.”

“Oh,” ujarnya “Betul, angka-angka yang kaucapai dalam tes IQ-mu memang
tinggi sekali. Kebcrhasilanmu di sekolah selama ini membuktikan
kemampuanmu. IQ-mu jauh di atas rata-rata Sepertinya kau selalu menjadi juara
kelas tanpa Harus belajar keras, betul kan?”

96

“Ya Tapi itu bukan alasan keberadaanku di sini?”

“Betul. Proyek kami di sini adalah untuk menjajaki sampai seberapa jauh
perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor genetika yang diwarisinya.”
Pembawaannya yang agak rikuh sebelumnya berubah menjadi lebih hangat saat
ia mengungkapkan topik yang dikuasainya itu. “Benarkah bahwa DNA yang
menentukan apakah kita cerdas, agresif, romantis, atau atletis? Ataukah itu
pengaruh dari cara kita dibesarkan? Kalau jawabannya adalah kedua-duanya,
sampai seberapa jauh interaksinya?”

“Suatu kontroversi yang klasik,” ujar Steve. Ia pernah mengikuti mata kuliah
filosofi di perguruan tinggi dan merasa tertarik dengan diskusi ini. “Apakah aku
menjadi begini karena aku memang dilahirkan begini, atau masyarakat yang
mendidikku menjadi begini?” Ia teringat pada ungkapan yang pernah
didengarnya: “Asli atau hasil asuhan.”

Jeannie mengangguk, rambutnya yang panjang ikut bergerak bak alunan


gelombang laut. Steve mempertanyakan bagaimana rasanya menyentuh rambut
itu. “Tapi kami mencoba menemukan jawabannya dengan cara yang betul-betul
ilmiah,” ujarnya. “Kau tahu, pasangan kembar identik memiliki gen-gen yang
sama—betul-betul persis sama. Lain halnya dengan pasangan kembar fraternal,
tapi mereka biasanya dibesarkan di dalam lingkungan yang persis sama. Kami
mempelajari masing-masing jenis, lalu membandingkan mereka dengan
pasangan-pasangan kembar yang dibesarkan secara terpisah, untuk menjajaki
seberapa jauh persamaan yang mereka miliki.”

Steve mempertanyakan hubungan ini semua dengan dirinya Ia juga


mempertanyakan berapa usia Jeannie sebetulnya. Melihatnya lari ke sana kemari
di lapangan tenis kemarin, dengan rambutnya tersembunyi di bawah topi, ia
mengira mereka seusia; tapi sekarang ia dapat

97

menebak bahwa umur gadis ini lebih mendekati tiga puluhan. Itu tidak
mengubah perasaannya, hanya saja ia belum pernah merasa begitu tertarik pada
seorang wanita yang begitu tua

Jeannie melanjutkan. “Andai kata faktor lingkungan yang lebih dominan,


pasangan-pasangan kembar yang dibesarkan bersama-sama akan amat mirip satu
sama lain, dan yang dibesarkan secara terpisah akan amat berlainan, tidak peduli
apakah mereka pasangan kembar identik atau fraternal. Nyatanya hasil temuan
kami justru tidak begitu. Pasangan kembar identik tetap mirip satu sama lain,
tanpa peduli siapa yang membesarkan mereka. Nyatanya, pasangan identik yang
dibesarkan secara terpisah lebih mirip satu sama lain daripada pasangan kembar
fraternal yang dibesarkan bersama.”

“Seperti Benny dan Arnold?**

“Tepat. Kami melihat sendiri betapa miripnya mereka, meskipun mereka


dibesarkan oleh dua keluarga yang berbeda. Itu memang sesuatu yang amat khas.
Departemen kami sudah melakukan studi atas lebih dari seratus pasangan
kembar identik yang dibesarkan secara terpisah. Dari sekitar dua ratus orang itu,
dua ternyata penulis puisi, dan mereka merupakan pasangan kembar. Dua terlibat
secara profesional dengan urusan binatang piaraan—yang satu seorang pelatih
anjing dan yang lain seorang pembiak anjing—dan mereka merupakan pasangan
kembar. Kami menemukan dua orang musisi—seorang guru piano dan seorang
pemain gitar— juga pasangan kembar. Tapi itu sebetulnya cuma contoh-contoh
yang jelas kelihatan. Seperti kaulihat pagi ini, kami juga melakukan studi secara
ilmiah sehubungan dengan masalah pembawaan, IQ, dan berbagai dimensi fisik,
dan ini biasanya akan kembali memperlihatkan pola yang sama: pasangan-
pasangan kembar identik ternyata amat mirip satu sama lain, tidak peduli
bagaimana cara mereka dibesarkan.’*

98

“Sementara itu, Sue dan Elizabeth ternyata tidak mirip sama sekali satu sama
lain.*’

“Betul. Namun mereka toh memiliki orangtua yang sama, tinggal di rumah yang
sama, pergi ke sekolah yang sama. makan menu yang sama seumur hidup
mereka, dan seterusnya. Sue tidak banyak bicara selama makan siang, sementara
Elizabeth membeberkan seluruh kisah hidupnya.”

“Dia menjelaskan padaku arti kata monozigonk.

Dr. Ferrami tertawa, memperagakan sederetan gigi putih dan sekilas warna
kemerahan dari ujung lidahnya Steve merasa amat berbesar hati telah berhasil
membuatnya senang.

“Tapi Anda masih belum menjelaskan kepadaku mengenai keterlibatanku di


sini,” ujarnya.

Dr. Ferrami tampak rikuh kembali. “Ini agak sulit untukku sebetulnya,” ujarnya.
“Sampai saat ini, hal seperti ini belum pernah terjadi.”

Tiba-tiba Steve tersentak. Situasinya begitu jelas, tapi anehnya ia tidak


menyadarinya sampai saat itu. “Menurut Anda, aku punya seorang saudara
kembar yang tidak kusadari keberadaannya?” tanyanya dalam nada seakan tak
percaya.

“Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya secara lebih simpatik


kepadamu.” jawab Jeannie dalam nada menyesal. “Ya, kau benar.”

“Wauw.” Steve menjadi bingung; sulit rasanya menerima kenyataan itu.

“Aku sungguh-sungguh menyesal.”

“Tak ada yang perlu disesali, kukira.”

“Kau keliru. Biasanya seseorang sudah tahu bahwa dia memiliki pasangan
kembar sebelum datang ke tempat kami. Namun aku baru saja merintis suatu
cara baru dalam merekrut subjek untuk studi ini. dan kaulah yang pertama.
Sebetulnya, fakta bahwa kau tidak tahu bahwa kau memiliki saudara kembar
merupakan bukti kecang

99

gihan sistemku ini. Tapi kemungkinan harus memberikan kejutan-kejutan yang


kurang menyenangkan betul-betul tidak kuperhitungkan.”

“Dari dulu aku ingin punya saudara laki-laki,” ujar Steve. Ia seorang anak
tunggal yang lahir ketika kedua orangtuanya sudah menjelang usia empat
puluhan. “Dia laki-laki, bukan?”

“Betul. Kalian kembar identik.”

“Seorang saudara kembar identik,” gumam Steve. “Tapi bagaimana itu bisa
terjadi tanpa sepengetahu-anku?”

Jeannie tampak rikuh.

“Sebentar, aku tahu sekarang,” ujar Steve. “Mungkin aku anak angkat.” Jeannie
mengangguk.

Ide itu bahkan lebih mengejutkan lagi; jadi, ada_ke mungkinan Mom dan Dad
bukan orangtua kandungnya. “Atau saudara kembarku yang diangkat orang.”

“Ya.”

“Atau dua-duanya, seperti Benny dan Arnold.”

“Atau dua-duanya,” ulang Jeannie dalam nada serius, la menatap Steve lurus-
lurus dengan matanya yang bernuansa gelap. Meskipun sedang bergumul dengan
pikirannya sendiri, toh terpintas dalam diri Steve betapa cantiknya ia. Asyik
rasanya kalau ditatap seperti itu untuk selama-lamanya.

Jeannie berkata, “Menurut pengalamanku, bahkan di saat seorang subjek tidak


tahu bahwa dia memiliki pasangan kembar, biasanya mereka tahu bahwa mereka
anak angkat. Namun seharusnya aku tahu bahwa kasusmu mungkin berbeda.”

Dalam nada getir Steve berkata, “Rasanya sulit membayangkan Mom dan Dad
menyembunyikan hal seperti itu dariku. Jelas ini bukan gaya mereka.”

“Ceritakanlah sesuatu mengenai kedua orangtuamu.”

Steve tahu bahwa Jeannie sedang berusaha mengajak—

100

nya berbicara untuk membantunya mencerna kejutan itu, tapi itu sebetulnya
tidak perlu. Ia memusatkan pikirannya. “Mom seorang wanita yang luar biasa.
Kau tentunya pernah mendengar tentangnya? Namanya Lorraine Logan.**

‘Tengisi kolom dari hati ke had?”

“Betul. Menggerilya dalam sekitar empat ratus harian, pengarang enam buah
buku bestseller tentang kesehatan kaum wanita. Kaya dan terkenal, dan dia
memang layak mendapatkan itu semua.”

“Kenapa kaukatakan begitu?”

**Dia betul-betul memberikan hatinya kepada mereka yang menulis kepadanya.


Dia menjawab ribuan surat. Kau tahu, pada dasarnya mereka berharap dia akan
mengayunkan sebuah tongkat ajaib—untuk meniadakan kehamilan yang tidak
mereka inginkan, menghapuskan keiagihan anak-anak mereka akan obat-obat
terlarang, mengubah suami-suami yang suka menyiksa menjadi suami-suami
yang lembut dan dapat diandalkan. Dia selalu memberikan petunjuk yang
mereka butuhkan dan mengatakan kepada mereka bahwa keputusan untuk
melakukan apa yang harus mereka lakukan ada di tangan mereka sendiri, ikuti
kata hatimu, dan jangan biarkan siapa pun mempengaruhimu. Suatu falsafah
yang bijaksana sekali.”

“Dan ayahmu?”

“Dad biasa-biasa saja, kukira. Dia seorang militer, bekerja di Pentagon.


Pangkatnya kolonel. Dia menekuni bidang humas, menyusun pidato-pidato
untuk para jenderal, dan sebagainya.”

“Amat menghargai disiplin?”

Steve tersenyum. “Dia sangat memperhatikan soal kewajiban. Tapi dia bukan
tipe yang menyukai tindakan kekerasan. Dia pernah bertugas di Asia, sebelum
aku lahir, tapi dia tidak pernah membawaku ke rumah kenangannya di sana.”

101

“Apakah disiplin perlu diterapkan atas dirimu9” Steve tertawa. “Aku selalu yang
paling nakal di kelas, di seluruh sekolah. Terus mendapat masalah.” “Untuk
apa?”

“Melanggar peraturan. Lari-lari di gang. Memakai kaus kaki merah. Mengunyah


permen karet di dalam kelas. Mencium Wendy Prasker di balik rak buku-buku
biologi di ruang perpustakaan sewaktu aku berumur tiga belas tahun.”

“Kenapa?”

“Karena dia begitu cantik.”

Jeannie tertawa lagi. “Maksudku, kenapa kau selalu melanggar peraturan-


peraturan itu?”

Steve menggeleng. “Sulit rasanya menjadi anak yang patuh. Aku ingin bebas
bergerak. Peraturan-peraturan itu konyol sekali, dan aku merasa bosan.
Sebetulnya mereka ingin mengeluarkan aku dari sekolah, tapi angka-angkaku
selalu baik, dan biasanya aku kapten dari salah satu tim olahraga atau entah apa:
sepak bola, basket, baseball, atletik. Aku tidak mengerti diriku. Apa aku aneh?”

“Semua orang unik dalam gaya masing-masing.”

“Kukira begitu. Kenapa kau memakai cincin di cuping hidungmu itu?”

Jeannie mengangkat alisnya yang berwarna gelap, seakan berkata aku yang
bertanya di sini, namun ia toh memberikan jawabannya. “Aku pernah melewati
masa punk sewaktu berusia sekitar empat belas tahun: rambut hijau, kaus kaki
robek, dan sebagainya. Melubangi cuping hidung merupakan bagian dari masa
itu.”

“Lubangnya bisa menutup dan pulih kalau kau-biarkan.”

“Aku tahu itu. Kukira aku tetap membiarkannya begitu karena aku merasa
tampil anggun betul-betul membosankan.”
Steve tersenyum. Aku menyukai wanita ini, ujarnya

102

dalam hati, meskipun dia sudah terlalu tua untukku. Kemudian pikirannya
kembali beralih ke pokok pembicaraan mereka semula. “Apa yang membuatmu
begitu yakin bahwa aku mempunyai seorang saudara kembar?’

“Aku berhasil mengembangkan suatu program komputer yang dapat menelusuri


data-data medis dan beberapa database untuk menemukan pasangan-pasangan.
Pasangan kembar identik memiliki gelombang otak, elektrokardiogram, sidik
jari, dan susunan gigi yang sama.” Aku menelusuri suatu database untuk sinar-X
gigi milik sebuah perusahaan asuransi medis, dan menemukan seseorang yang
memiliki ukuran gigi dan lekuk rahang yang persis sama seperti kepunyaanmu.”

“Kedengarannya tidak begitu meyakinkan.”

“Mungkin tidak, meskipun dia bahkan memiliki lubang gigi di tempat yang sama
seperti punyamu.”

“Jadi, siapa orang ini?”

“Namanya Dennis Pinker.”

“Di mana dia saat ini?”

“Richmond, Virginia.”

“Kau sudah pernah bertemu dengannya?”

“Aku akan ke Richmond untuk menemuinya besok. Aku akan melakukan tes-tes
yang persis sama seperti yang kami lakukan atas dirimu, dan mengambil contoh
darah supaya kami dapat membandingkan DNA-nya dengan milikmu. Kemudian
kami baru dapat memastikan kekembaran kalian.” ,

Steve mengerutkan alisnya. “Apakah ada bidang khusus yang sedang kaudalami
sehubungan dengan masalah genetika ini?”

“Ya, Aku menekuni kriminalitas dan apakah itu diturunkan.”


Steve mengangguk. “Aku mengerti sekarang. Apa yang telah dia lakukan?”
“Maaf?”

“Apa yang telah dilakukan Dennis Pinker?”

103

“Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Kau akan pergi untuk menemuinya, bukannya memintanya datang ke sini


Rupanya dia sedang berada dalam tahanan.”

Wajah Jeannie memerah, seakan merasa tertangkap basah. Dengan rona itu ia
tampak semakin seksi. “Ya, kau benar,” ujarnya.

“Kenapa dia di sana?”

Jeannie tampak ragu sebentar. “Karena dia terlibat dalam suatu kasus
pembunuhan.”

“Astaga!” Steve mengalihkan pandangannya, sambil mencoba mencerna apa


yang baru saja didengarnya. “Ternyata aku memiliki seorang saudara laki-laki
yang tidak hanya kembar identik, tapi juga seorang pembunuh! Bukan main!”

“Aku minta maaf,” ujar Jeannie. “Aku kurang taktis dalam menangani ini. Kau
adalah subjek pertamaku dalam studi ini”

“Wauw. Tadinya aku kemari dengan harapan akan tahu lebih banyak mengenai
diriku, namun yang kudapatkan kemudian ternyata lebih dari yang ingin
kuketahui.” Jeannie belum tahu, dan tidak akan pernah tahu, bahwa Steve
hampir saja membunuh seorang anak muda bernama Tip Hendricks. “Dan kau
amat berarti bagiku.” “Dalam arti apa?”

“Dalam arti apakah kriminalitas itu diturunkan atau tidak. Aku pernah menulis
sebuah makalah yang menyatakan bahwa ada pembawaan-pembawaan tertentu
yang diturunkan—seperti kombinasi dari kecenderungan untuk bersikap
impulsif, berani, agresif, dan hiperaktif— tapi apakah pribadi-pribadi dengan
pembawaan ini akan menjadi penjahat, tergantung dari cara orangtua mereka
menghadapi mereka. Untuk membuktikan teoriku, aku harus menemukan
pasangan-pasangan kembar identik, di mana yang satu seorang kriminal dan
yang lain

104

seorang warga yang taat hukum. Kau dan Dennis merupakan pasangan
kembarku yang pertama, dan kalian betul-betul pasangan ideal: dia sedang
mendekam di tahanan dan kau, maaf, kau adalah tipe pemuda idaman Amerika.
Sejujurnya, itu membuatku begitu bergairah, sampai aku hampir tidak bisa
duduk tenang.”

Mendengar ini, Steve jadi merasa salah tingkah. Ia mengalihkan pandang,


khawatir nafsunya akan terbaca di wajahnya. Tapi fakta yang baru saja
diungkapkan Jeannie kepadanya betul-betul mengganggu pikirannya, la
memiliki DNA yang sama seperti seorang pembunuh’. Jadi, apa artinya ini?

Pintu di belakang Steve dibuka seseorang. Jeannie mengangkal wajahnya. “Hai,


Berry,” tegurnya. “Steve, aku ingin kau berkenalan dengan Profesor Berrington
Jones, pimpinan studi mengenai kekembaran di JFU.”

Si profesor seorang laki-laki bertubuh pendek, berusia sekitar enam puluhan,


tampan, dengan rambut keperakan yang lurus, (a mengenakan setelan dari bahan
wol Irlandia berwarna keabuan yang tampak mahal, dan sebuah dasi kupu-kupu
berbintik-bintik putih; tampangnya rapi, seperti baru dikeluarkan dari kardus.
Steve sudah pernah melihatnya tampil di TV beberapa kali, untuk mengomentari
betapa semakin rusuhnya situasi Amerika. Steve tidak begitu menyukai
pandangannya, namun ia sudah dididik untuk bersikap sopan, karenanya ia
berdiri dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Berrington Jones menatapnya seakan sedang melihat hantu. “Ya Tuhan!”


gumamnya, sementara wajahnya berubah pucat.

Dr. Ferrami berkata, “Berry! Ada apa?” Steve berkata, “Apakah aku telah
melakukan sesuatu yang salah?”

Untuk sesaat si profesor tidak berkata apa-apa. Kemudian rupanya ia berhasil


menguasai dirinya kembali. “Maaf, tidak ada apa-apa,” ujarnya, meskipun ia
masih

105
tampak terguncang. “Aku cuma tiba-tiba teringat sesuatu… sesuatu yang lupa
kulakukan. Aku mesti pergi lagi.” Ia menuju ke arah pintu sambil bergumam,
“Maaf, maafkan aku.” Kemudian ia menghilang. Steve menatap Dr. Ferrami.

Jeannie angkat bahu sambil membentangkan kedua tangannya. “Aku tidak


mengerti,” ujarnya.

di -scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh:

Dilarang ujeug-komersil-kaiiatau kesialan menimpa hidup anda selamanya.

106

BAB 7

Berrington duduk di belakang mejanya dengan napas terengah-engah. Ruang


kerjanya terletak di pojok gedung, dan keadaannya amat sederhana: lantainya
dari ubin plastik, berdinding putih, dengan lemari arsip standar dan rak-rak buku
murahan. Layar komputernya menampakkan se-untai DNA yang terpilin
membentuk double-helix yang terkenal, yang berputar perlahan-lahan. Di meja
tulisnya terdapat foto dirinya bersama Geraldo Rivera, Newt Gingrich, dan Rush
Limbaugh. Jendelanya menghadap ke arah gedung olahraga yang masih ditutup
gara-gara kebakaran pada hari sebelumnya. Di seberang jalan, dua orang—anak
muda sedang menggunakan lapangan tenis, meskipun udara panas terik.

Berrington menggosok-gosok matanya. “Sial, sial, sial,” umpatnya penuh emosi.

la telah membujuk Jeannie Ferrami untuk datang di situ. Makalahnya mengenai


kriminalitas telah membuka suatu ide pemikiran baru yang berfokus pada
komponen pembawaan kriminal. Jawabannya amat berarti bagi proyek Genetico.
Ia ingin Dr. Ferrami melanjutkan pekerjaannya di bawah pengawasannya. Ia
telah membujuk

107

Jones Falls untuk memberinya pekerjaan dan mengatur agar risetnya


mendapatkan dana dan Genetico.

Dengan dukungannya, Jeannie akan dapat melakukan hal-hal besar, dan fakta
bahwa ia berasal dari sebuah keluarga sederhana akan membuat keberhasilan
yang dicapainya semakin mengesankan. Empat minggunya yang pertama di
Jones Falls ternyata membuktikan bahwa penilaiannya tidak keliru. Jeannie
sudah mulai bekerja dan proyeknya maju dengan pesat. Hampir semua orang
menyukainya, meskipun sikapnya kadang-kadang sedikit kasar; seorang teknisi
laboratorium yang rambutnya diikat ke belakang, yang mengira ia boleh bekerja
semaunya, sudah kena dampratannya pada hari kedua.

Berrington sendiri amat menyukainya. Staminanya mengimbangi


intelektualitasnya. Berrington merasa terombang-ambing antara kebutuhannya
untuk memberikan dorongan dan bimbingan seperti seorang ayah. dan keinginan
kuat untuk merayunya

Dan sekarang ini!

Setelah berhasil menguasai dirinya kembali, ia meraih pesawat teleponnya, lalu


memutar nomor Preston Barck. Preston adalah sahabat lamanya; mereka
bertemu di MIT pada tahun enam puluhan, ketika Berrington sedang meraih
gelar doktornya dalam bidang psikologi dan Preston sudah menjadi pakar
embriologi muda terkemuka. Mereka sama-sama dianggap amat unik, di era
serba gaya, dengan rambut berpotongan pendek dan setelan jas wol. Dalam
waktu singkat mereka mendapati bahwa mereka memiliki pandangan yang sama
dalam segala hal: irama jazz modem tidak ada apa-apanya, marijuana merupakan
langkah pertama menuju jenjang heroin, satu-satunya politisi yang jujur di
Amerika adalah Barry Goldwater. Ikatan persahabatan mereka ternyata lebih
kuat daripada perkawinan mereka. Berrington tidak pernah memikirkan lagi
apakah ia menyukai Preston atau tidak; pokoknya Preston ada di sana, persis
seperti Canada.

Saat ini Preston tentunya berada di kantor pusat Genetico, suatu kompleks
bangunan beratap rendah dan rapi yang menghadap ke sebuah lapangan golf di
Baltimore County, bagian utara pusat kota. Sekretaris Preston mengatakan ia
sedang rapat, tapi Berrington menyuruhnya untuk menghubunginya.

“Pagi. Berry, ada apa?”

“Siapa di sana bersamamu?”

“Aku bersama Lee Ho, akuntan senior dari Landsmann. Kami sedang
mendiskusikan detail-detail terakhir sehubungan dengan pernyataan yang akan
dikeluarkan Genetico.”
“Minta dia keluar dulu.”

Suara Preston melemah saat ia menjauhkan gagang pesawat dari wajahnya.


“Maaf. Lee, ini bakal sedikit lama. Aku akan teruskan diskusi kita denganmu
nanti.” Untuk sesaat tidak terdengar apa-apa, kemudian ia berbicara dengan
Berrington kembali. Nadanya sekarang agak kesal. “Yang baru kuusir tadi itu
tangan kanan Michael Madigan. Madigan adalah direktur utama Landsmann,
siapa tahu kau lupa. Kalau kau masih merasa seantusias tadi malam mengenai
akuisisi ini, sebaiknya…”

Berrington, yang mulai hilang sabar, langsung memotongnya, “Steve Logan ada
di sini.”

Untuk sesaat suasana hening mencekam. “Di Jones Falls?”

“Persisnya di gedung fakultas psikologi.”

Preston langsung lupa mengenai Lee Ho. “Ya Tuhan, bagaimana bisa?**

“Dia seorang subjek yang menjalani beberapa tes di laboratorium.”

Suara Preston naik satu oktaf. “Bagaimana itu bisa terjadi?”

“Aku tidak tahu. Aku baru saja berpapasan dengannya beberapa menit yang lalu.
Bisa kaubayangkan bagaimana terkejutnya aku.”

109

108

“Kau mengenalinya dengan begitu saja?” “Tentu saja aku mengenalinya.”

“Untuk apa dia dites?”

“Untuk studi kami mengenai kekembaran.”

“Kekembaran?” teriak Preston. “Kekembaran? Siapa pasangan kembar sialnya?”

“Aku belum tahu. Omong-omong- hal seperti ini kan mau tak mau bakal
terjadi.”
“Tapi kenapa justru sekarang! Sekarang kita harus membatalkan transaksi
dengan Landsmann.”

“Jangan! Aku tidak akan membiarkan kau memakai ini sebagai alasan untuk
menggoyahkan keputusanmu mengenai akuisisi ini, Preston.” Berrington mulai
menyesal telah menelepon. Namun ia merasa butuh berbagi keterkejutan dengan
seseorang. Dan biasanya Preston adalah pengatur strategi yang andal. “Kita
harus menemukan cara untuk mengendalikan situasi ini.”

“Siapa yang membawa Steven Logan ke situ?”

“Seorang lektor muda yang baru, Dr. Ferrami”

“Laki-laki yang menulis makalah brilian mengenai kriminalitas itu?”

“Betul, tapi dia seorang wanita. Seorang wanita yang sangat menarik malah.”

“Aku tidak peduli apakah dia Sharon Stone.”

“Rupanya dia yang merekrut Steven dalam proyek ini. Mereka sedang bersama
sewaktu aku bertemu dengan anak muda itu. Aku akan mengadakan
pengecekan.”

“Itu memang harus kaulakukan, Berry.” Preston sudah merasa lebih tenang
sekarang, dan mulai memusatkan perhatian kepada pemecahannya, bukan
masalahnya. “Cari tahu bagaimana cara dia direkrut. Sesudah itu, baru kita dapat
mengakses sampai seberapa jauh ini akan mempengaruhi kita.”

“Aku akan panggil Dr. Ferammi ke sini sekarang juga.”

“Hubungi aku kembali secepatnya, oke?”

110

“Oke.” Berrington menutup pesawatnya.

Namun ia tidak langsung memanggil Jeannie. Sebaliknya, ia duduk, lalu mulai


menimbang-nimbang.

Di mejanya ada sebuah foto hitam-putih tua ayahnya sebagai seorang letnan dua,
dalam seragam angkatan laut putih, lengkap dengan topinya. Berrington baru
berusia enam tahun ketika kelompok Wasp—yang terdiri atas orang-orang kulit
putih beragama Protestan yang berasal dari Inggris—mulai dilokalisir. Sama
seperti semua bocah laki-laki di Amerika, ia membenci orang-orang Jepang, dan
dalam bermain ia berkhayal membantai mereka dalam jumlah besar. Baginya
ayahnya adalah seorang pahlawan yang tak kelihatan, tinggi dan tampan, berani,
kuat, dan tidak terkalahkan. Ia masih dapat merasakan amarah yang mencekam
dirinya saat mengetahui ayahnya dibunuh oleh Jepang. Ia berdoa kepada Yang
Mana Kuasa untuk membiarkan perang itu terus berlangsung sampai ia dewasa
dan dapat bergabung dengan angkatan laut, agar ia dapat membantai jutaan
orang Jepang sebagai balas dendam.

Ia belum pernah membunuh siapa-siapa. Tapi ia tak pernah menerima pegawai


keturunan Jepang atau mahasiswa Jepang di universitas itu, atau menawarkan
pekerjaan kepada seorang psikolog Jepang.

Banyak orang, jika dihadapkan pada suatu masalah, akan mempertanyakan pada
diri mereka, apa yang akan dilakukan oleh ayah mereka untuk mengatasinya.
Teman-temannya mengatakan ini kepadanya, tapi kemudahan itu tidak akan
pernah ia rasakan. Ia masih terlalu muda ketika itu untuk mengenal ayahnya. Ia
sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Letnan
Jones dalam menghadapi suatu krisis, la belum pernah secara sungguh-sungguh
memiliki seorang ayah, hanya seorang pahlawan super hebat.

Ia akan menanyai Jeannie Ferrami tentang metode yang dipakainya dalam


merekrut. Kemudian, putusnya, ia akan mengajak gadis itu makan malam
bersamanya.

111

la menghubungi Jeannie melalui interkom. Jeannie langsung menjawab. Ia


merendahkan suaranya dan berbicara dalam nada yang oleh mantan istrinya,
Vivvie, disebut seksi. “Jeannie, aku Berry,” ujamya.

Sebagaimana biasa, Jeannie tidak berbasa-basi lagi. “Ada apa?” tanyanya.

“Aku bisa bicara denganmu sebentar?”

“Tentu.”
“Bagaimana kalau kau ke kantorku?” “Aku akan segera ke sana.” Jeannie
menutup pesawatnya.

Saat menunggu kemunculannya, dengan santai Berrington mencoba menghitung,


sudah berapa banyak wanita yang pernah ia tiduri. Akan terlalu lama baginya
untuk mengingat mereka satu per satu, tapi setidaknya ia dapat mengira-ngira.
Setidaknya lebih dari satu, malah lebih dari sepuluh. Apakah juga lebih dari
seratus? Itu berarti sekitar dua sampai lima setahun, sejak ia berusia sembilan
belas tahun; tapi ia merasa yakin lebih daripada itu. Seribu’? Dua puluh lima
setahun. Satu wanita setiap dua minggu sekali selama empat puluh tahun? Tidak,
ia belum pernah mencapai rekor setinggi itu. Selama sepuluh tahun masa
pernikahannya dengan Vivvie Ellington, sepertinya ia tidak pernah terlibat lebih
dari lima belas sampai dua puluh kali dalam perselingkuhan. Tapi ia berhasil
mengejar ketinggalannya setelah itu. Pokoknya antara seratus dan seribu, kalau
begitu. Tapi ia tidak akan mengajak Jeannie tidur bersamanya, la akan mencari
tahu bagaimana wanita itu sampai bisa berhubungan dengan Steven Logan.

Jeannie mengetuk pintu, lalu masuk, la mengenakan jas laboratorium putih di


atas rok dan blusnya. Berrington lebih suka wanita muda mengenakan jas-jas
seperti itu, tanpa apa-apa lagi kecuali pakaian dalam mereka. Baginya itu seksi.

“Kuhargai kedatanganmu,” ujarnya. Ia menarikkan

112

kursi untuk Jeannie, kemudian menghela kursinya sendiri dari belakang


mejanya, sehingga tidak ada lagi yang menghalangi mereka.

Tugasnya yang pertama adalah memberikan penjelasan yang cukup masuk akal
kepada Jeannie mengenai polahnya saat bertemu dengan Steven Logan. Tidak
akan mudah membodohinya. Mestinya tadi ia menggunakan waktunya untuk
mencari alasan, bukannya menghitung penaklukan-penaklukannya.

Ia duduk, lalu memberikan senyumannya yang paling meluluhkan hati. “Aku


mau minta maaf untuk tingkahku yang aneh barusan,” ujarnya. “Aku sedang
mentransmisi beberapa file dari University of Sydney, Australia.” Ia
mengayunkan tangan ke arah perangkat komputernya. “Persis saat kau akan
mempei kenaikanku kepada anak muda itu, aku menyadari bahwa aku telah
meninggalkan komputerku dalam keadaan on, dan lupa menutup pesawat
teleponku. Agak konyol memang, dan sikapku tidak bisa disebut ramah.”
Penjelasan yang kurang meyakinkan, tapi rupanya dapat diterima. “Syukurlah,”
ujar Jeannie dalam nada tulus. “Aku sempat khawatir telah melakukan sesuatu
yang kurang berkenan di hati Anda.”

Sejauh ini, semuanya masih sesuai rencana. “Semula aku berniat menemuimu
untuk membicarakan pekerjaanmu,” lanjut Berrington dengan santai. “Rupanya
kau sedang ngebut. Kau baru empat minggu di sini, tapi proyekmu sudah
berjalan mulus. Selamat.”

Jeannie mengangguk. “Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk


mendiskusikannya bersama Herb dan Frank selama musim panas, sebelum aku
memulai proyek ini secara resmi,” ujar Jeannie. Herb Dickson adalah pimpinan
fakultas itu dan Frank Demidenko seorang profesor penuh. “Kami sudah
membicarakan semua kemungkinan yang bakal kita hadapi.”

“Coba uraikan secara lebih rinci. Apakah belum ada masalah sejauh ini? Ada
yang bisa kulakukan?”

113

“Perekrutanlah yang kuanggap merupakan masalahku yang paling serius.” ujar


Jeannie. “Mengingat subjek-subjek kita adalah para sukarelawan, yang
kebanyakan seperti Steven Logan, orang Amerika baik-baik dari kelas
menengah, yang percaya bahwa sebagai warga negara yang baik, dia memiliki
kewajiban untuk mendukung kemajuan ilmu pengetahuan. Jarang bahwa yang
tampil itu “Seorang germo atau pengedar obat bius.”

“Sesuatu yang tidak pernah disorot oleh para kritikus dari kalangan liberal kita.”

“Di lain pihak, sulit untuk menemukan sifat-sifat bawaan seperti kecenderungan
untuk berlaku agresif dan terlibat dalam tindak knminal dengan melakukan studi
atas keluarga-keluarga kelas menengah Amerika yang patuh kepada hukum.
Karena itulah akan sangat berarti bagi proyekku jika aku bisa mengatasi masalah
perekrutan ini.”

“Dan itu sudah berhasil kaulakukan?”

“Kukira begitu. Pernah terpintas dalam diriku bahwa informasi medis mengenai
jutaan orang kini disimpan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dan biro-biro
pemerintahan dalam suatu sistem database yang amat luas jangkauannya.
Termasuk di dalamnya jenis data yang kami pergunakan untuk menentukan
apakah suatu pasangan kembar identik atau fraternal: seperti gelombang otak.
elektrokardiogram, dan seterusnya. Kalau kita dapat melacak pasangan dengan
elektrokardiogram yang sama, umpamanya, kita bisa menentukan
kekembarannya. Dan kalau database nya cukup canggih, akan ditemukan
pasangan-pasangan kembar yang di be sarkan secara terpisah. Dan inilah
kendalanya: Ada di antara mereka yang bahkan tidak tahu bahwa mereka
sebetulnya kembar.*”

“Bukan main,” ujar Berrington. “Sederhana, tapi orisinal dan amat inovatif.” Ia
tidak sekadar berbasa-basi. Pasangan kembar identik yang dibesarkan secara
terpisah

114

dianggap amat berarti untuk penelitian di bidang genetika, dan para Jlmuwan
telah melakukan banyak cara untuk merekut mereka. Sampai sekarang, cara
utama untuk menemukan mereka adalah melalui publisitas: mereka membaca
artikel-artikel dalam majalah mengenai studi kekembaran, lalu menawarkan diri
untuk ikut mengambil bagian. Dan sebagaimana yang dikatakan Jeannie, proses
ini akan menampilkan contoh yang didominasi oleh orang baik-baik dari kelas
menengah, yang secara umum kurang bermanfaat dan tidak mendukung proses
studi mengenai kriminalitas.

Tapi bagi Berrington pribadi, hal ini merupakan bencana. Ia menatap Jeannie
lurus-lurus sambil mencoba menyembunyikan perasaan resahnya. Ternyata
situasinya lebih gawat daripada yang diperkirakannya. Baru saja Preston Barck
mengatakan Kita semua tahu bahwa perusahaan ini memiliki hal-hal yang
sebaiknya disembunyikan. Jim Proust menanggapinya dengan mengatakan tidak
akan ada yang tahu mengenai itu. la sama sekali tidak memperhitungkan adanya
Jeannie Ferrami.

Berrington mencoba menjajaki. “Mendapatkan akses seperti itu dalam suatu


sistem database tidak selalu semudah kedengarannya.”

“Betul. Gambar-gambar grafik memang menyita banyak megabytes. Melacak


data-data seperti itu jauh lebih sulit daripada menelusuri Spelcheck untuk sebuah
tesis doktoral.”

“Tentunya masalah ini tidak bisa dianggap ringan dalam desain perangkat lunak.
Lalu, apa yang kaulakukan?”

“Aku menyusun sistem software-kv sendiri.”

Berrington tampak tertegun. “O ya?”

“Ya. Aku pernah mengambil gelar Master dalam ilmu komputer di Princeton.
Sewaktu masih di Minnesota, aku bersama profesorku menjajaki sistem software
jenis neutral-network untuk dapat mengenali pola.”

115

Begitu briliankah ia? “Bagaimana cara kerjanya?”

“Dengan menggunakan fuzzy logic—logika samar— proses penyocokan pola


dipercepat. Pasangan-pasangan yang kami cari akan mirip, tapi tidak selalu
persis sama. Umpamanya, foto sinar-X dari gigi yang sama, yang diambil oleh
teknisi yang berlainan memakai peralatan yang berlainan, tidak akan
membuahkan hasil yang persis sama. Tapi mata manusia akan melihat bahwa
mereka sama, dan pada waktu foto-foto sinar-X ini di-scan. di-digit, dan diarsip
secara.elektronis, sebuah komputer yang dilengkapi dengan fuzzy logic akan
mengenali kekembarannya.”

“Tentunya untuk itu kau membutuhkan komputer sebesar Empire State


Building.”

“Aku menemukan cara untuk memperpendek proses penyocokan pola dengan


mengkonsentrasikan perhatian pada suatu bagian kecil dari gambar digitnya.
Coba bayangkan: untuk mengenali seorang teman, kau tidak perlu men-scanning
seluruh tubuhnya—cukup wajahnya. Para pencinta otomobil dapat
mengidentifikasi mobil-mobil yang paling umum hanya dari foto sebuah lampu
dim. Adikku dapat mengenali setiap album Madonna setelah mendengar sebuah
lagu sekitar sepuluh detik.”

“Tapi toh ada kemungkinan bisa meleset.”

Jeannie angkat bahu. “Dengan tidak men-scan seluruh gambar, risikonya ada
bagian-bagian tertentu yang terlewati. Aku menemukan cara untuk secara radikal
mempersingkat proses pelacakan itu dengan risiko meleset sekecil mungkin.
Intinya berhubungan dengan soal statistik dan faktor kemungkinan.”
Semua pakar psikologi pernah mendalami statistik, tentu saja. “Tapi bagaimana
program yang sama dapat secara sekaligus men-scan foto sinar-X,
elektrokardiogram, dan sidik jari?”

“Sistem ini dapat membaca pola-pola elektronisnya. Tanpa memedulikan


bagaimana ujuduya.”

116

“Dan programmu itu jalan?”

“Sepertinya begitu. Aku mendapatkan akses untuk mencobanya di sebuah


database berisi rekaman data mengenai gigi milik sebuah perusahaan asuransi
medis yang besar. Hasilnya beberapa ratus pasangan. Tapi tentu saja aku cuma
tertarik pada pasangan kembar yang dibesarkan secara terpisah.”

“Bagaimana caramu menyeleksinya?”

“Aku menghapus semua pasangan dengan nama keluarga yang sama, dan semua
wanita yang sudah menikah, karena kebanyakan di antara mereka sudah
memakai nama suami. Sisanya adalah pasangan kembar yang tanpa alasan jelas
memiliki nama keluarga yang berlainan.”

Bukan main, ujar Berrington dalam hati. Ia merasa terombang-ambing antara


perasaan kagum dan kecemasan pada apa yang akan berhasil diungkapkan
Jeannie nanti. “Lalu sisanya tinggal berapa?”

“Tiga pasangan—sedikit mengecewakan memang. Semula aku berharap akan


lebih banyak. Dalam kasus yang pertama, salah satu dari pasangan itu mengganti
nama keluarganya karena alasan keagamaan: dia menjadi seorang muslim dan
mengambil nama Arab. Pasangan kedua menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Untungnya, pasangan ketiga persis seperti yang sedang kucan: Steven Logan
ternyata seorang warga yang patuh kepada hukum, sedangkan Dennis Pinker*
adalah seorang pembunuh.’”

Berrington sudah tahu mengenai itu. Pada suatu malam, Dennis Pinker
memutuskan aliran Listrik sebuah gedung bioskop yang tengah memutar film
Friday the Thirteenth. Dalam kepanikan yang timbul, ia melakukan kekerasan
seksual terhadap beberapa wanita. Seorang gadis rupanya berusaha memberikan
perlawanan, sehingga ia terpaksa membunuhnya.
Jadi, Jeannie berhasil menemukan Dennis Ya Tuhan, umpat Berrington dalam
hati, wanita ini benar-benar

117

berbahaya, la bisa membuyarkan segalanya: akuisisi itu, karier politik Jim,


Genetico, bahkan reputasi akademis Berrington. Rasa cemasnya membuatnya
marah; bagaimana mungkin segala yang ia upayakan selama ini bisa terancam
oleh ulah anak buahnya sendiri? Tapi dari mana ia bisa tahu bahwa ini akan
terjadi?

Keberadaan Jeannie di sini, di Jones Falls, merupakan keberuntungan, dalam arti


ia jadi mengetahui sebelumnya mengenai kapasitasnya. Namun ia tidak melihat
jalan lain. Andai kata arsip wanita itu dapat dimusnahkan dalam suatu
kebakaran, atau ia dibunuh dalam suatu kecelakaan mobil. Tapi itu semua cuma
fantasi.

Mungkinkah menggoyahkan kepercayaannya akan keandalan software-nya!


“Apa Steven Logan tahu bahwa dia diadopsi?” tanyanya sambil berusaha
menutupi nada dengkinya.

“Tidak.” Alis Jeannie mengerut. “Kita tahu ada keluarga-keluarga yang tidak
mau secara terbuka membicarakan soal adopsi anak mereka, namun dia
berkeyakinan bahwa ibunya akan mengungkapkan hal yang sebenarnya
kepadanya. Tapi mungkin ada alasan-alasan lain. Katakanlah mereka tak
mungkin dapat mengadopsi seorang anak melalui jalur-jalur normal, entah
karena apa, sehingga mereka terpaksa membeli seorang bayi. Itu bisa dijadikan
alasan bagi mereka untuk berbohong.”

“Atau ada suatn kesalahan dalam sistemmu,” usul Berrington. “Hanya gara-gara
dua anak muda memiliki susunan gigi yang identik, tidak menjamin kekembaran
mereka.”

“Menurutku tidak ada kesalahan dalam sistemku,” ujar Jeannie dalam nada
tegas. “Tapi aku merasa tak enak mengungkapkan pada sekian banyak orang
mengenai kemungkinan bahwa mereka pernah diadopsi. Aku bahkan tidak yakin
berhak mengacaukan kehidupan mereka dengan cara itu. Aku baru saja
menyadari keseriusan masalah ini.”

118
Berrington melirik ke arah arlojinya. “Waktuku sudah habis, tapi aku masih
ingin mendiskusikan masalah ini denganmu. Kau punya waktu untuk makan
malam bersamaku?’*

“Malam ini?”

“Ya.”

Berrington melihat keraguan yang membayang di wajahnya. Mereka pernah


makan malam sama-sama, di International Congress of Twin Studies, tempat
mereka pertama kali bertemu. Sejak Jeannie bekerja di JFU, mereka pernah pergi
minum bersama sekali, di bar Faculty Club di kampus itu. Suatu malam Sabtu,
mereka berpapasan secara kebetulan di kawasan perbelanjaan di Charles Village,
lalu Berrington mengajaknya keliling Baltimore Museum of Art. Jeannie tidak
jatuh cinta padanya, malah jauh dari itu, namun Berrington tahu bahwa gadis ini
menyukai keberadaannya dalam ketiga kesempatan itu. Di samping itu,
Berrington atasannya; bagaimana ia dapat menolak? *

“Tentu,” sahut Jeannie.

“Bagaimana kalau kita ke Hamptons, di Harbor Court Hotel? Kukira itu restoran
terbaik di Baltimore.” Setidaknya yang paling bergengsi.

“Baik,” jawab Jeannie sambil berdiri.

“Kalau begitu, aku akan menjemputmu pukul delapan.”

“Oke.”

Saat Jeannie memutar tubuh di hadapannya, secara tiba-tiba Berrington


membayangkan melihat pundaknya dalam keadaan telanjang, halus dan berotot,
bokongnya yang rata, serta tungkainya yang panjang; sejenak tenggorokannya
terasa kering oleh nafsu. Kemudian Jeannie menutup pintunya.

Berrington menggoyangkan kepala untuk menjernihkan pikiran dari fantasinya,


sesudah itu ia memutar nomor telepon Preston kembali. “Situasinya ternyata

119

lebih buruk daripada yang kita perkirakan,” ujarnya secara langsung. “Dia
berhasil menyusun suatu program komputer yang dapat menelusuri database
medis dan menemukan pasangan-pasangan kembar identik. Begitu dia
mencobanya untuk pertama kali, dia menemukan Steven dan Dennis.” “Sial.”

“Kita harus menghubungi Jim.” “Sebaiknya kita bertiga bertemu untuk


memutuskan apa yang akan kita lakukan. Bagaimana kalau nanti

malam?”

“Aku mau mengajak Jeannie pergi makan di luar.” “Kaupikir-itu dapat


memecahkan masalahnya?” “Kan tidak ada salahnya.”

“Menurutku pada akhirnya kita toh harus membatalkan transaksi dengan pihak
Landsmann.”

“Aku tidak sependapat denganmu,” ujar Berrington. “Dr. Ferrami memang


brilian, tapi dia tidak bakal bisa menyingkapkan apa-yang pernah terjadi itu
dalam waktu seminggu.”

Namun, saat menutup pesawatnya. Berrington mempertanyakan pada dirinya


apakah bijaksana untuk merasa begitu yakin.

120

BAB 8

Para mahasiswa di Teater Kuliah Ilmu Biologi Manusia tampak resah. Daya
konsentrasi mereka kurang dan mereka terus gelisah. Jeannie tahu sebabnya. Ia
sendiri merasa tidak tenang. Semua gara-gara peristiwa kebakaran dan
pemerkosaan itu. Kampus mereka yang hangat ternyata tidak aman sekarang.
Perhatian semua yang hadir terus melantur, kembali pada apa yang sudah terjadi
itu.

“Menurut penelitian, variasi inteligensi manusia dapat diuraikan berdasarkan


tiga faktor,” ujar Jeannie. “Yang pertama: gen yang berbeda. Kedua: lingkungan
yang berbeda. Dan ketiga: kesalahan dalam penjajakan.” Ia berhenti sebentar.
Mereka semua menulis di buku catatan masing-masing.

Ia sudah menyadari efek ini. Setiap kali ia menyebutkan urutan nomor, mereka
akan menulis. Andai kata ia cuma mengatakan Gen yang berlainan, suasana
lingkungan yang berbeda, dan kesalahan penjajakan, kebanyakan di antara
mereka tidak akan menulis apa-apa. Begitu menyadari kecenderungan ini, ia
memasukkan sebanyak mungkin urutan nomor dalam kuliah-kuliahnya.

121

Ia seorang guru yang baik—di luar dugaannya sendiri. Secara umum, ia merasa
kemampuannya bergaul dengan orang agak kurang. Ia amat tidak sabaran. dan
suka ketus, seperti tadi pagi umpamanya, pada Sersan Delaware. Namun ia
seorang komunikator yang baik, jelas dan tegas, dan suka menjelaskan duduk
perkara apa-apa. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat binar
mengerti di wajah seorang mahasiswa.

“Kita bisa mengekspresikan ini dalam suatu rumus,” ujarnya, lalu memutar
tubuh dan menulis di papan tulis dengan sepotong kapur:

Vt = Vq + Ve + Vm

“Vt adalah variasi total. Vg adalah komponen genetikanya, Ve adalah


lingkungannya, dan Vm adalah kesalahan dalam penjajakannya.” Semua
menyalin rumus itu. “Ini berlaku untuk semua kelainan yang mungkin dapat
dijajaki, mulai dari tinggi dan berat tubuh seseorang, sampai tendensinya dalam
hal beragama. Ada yang ingin membantah ini?” Tidak ada jawaban, karenanya ia
memberikan umpan kepada mereka. “Hasil akhirnya bisa lebih besar daripada
komponen-komponennya. Kenapa?”

Salah satu di antara anak-anak muda itu membuka suara. Seperti biasanya
seorang mahasiswa; para mahasiswi, entah mengapa, lebih malu-malu. “Karena
faktor gen dan lingkungan saling mempengaruhi?”

“Betul. Genmu mengarahkan dirimu ke lingkungan tertentu yang berbeda dari


yang lain. Bayi-bayi dengan temperamen berlainan mendapatkan perlakukan
berlainan dari orangtua mereka. Para balita yang aktif mendapatkan pengalaman
berlainan daripada yang lebih tenang, bahkan di dalam suasana rumah yang
sama. Para remaja yang lebih nekad cenderung minum lebih banyak obat-obat
terlarang daripada para anggota koor gereja di

122

kota yang sama. Kita harus tambahkan pada sisi kanan rumus ini istilah Cge,
singkatan dari gene-environment covariation—kovariasi antara gen dan suasana
lingkungan.” Ia menulis itu di papan tulis, kemudian melirik ke arah arloji Swiss
Army di pergelangan tangannya. Ljma menit menjelang pukul empat. “Ada
pertanyaan?”

Seorang wanita angkat bicara. Namanya Donna-Marie Dickson, seorang perawat


yang kembali ke bangku kuliah di usia tiga puluhan, brilian tapi agak pemalu. Ia
berkata, “Bagaimana dengan the Osmonds?”

Seluruh kelas tertawa. Wajah si wanita merona. Dengan lembut Jeannie berkata,
“Jelaskan maksudmu, Donna-Marie. Beberapa di antara yang hadir di sini
mungkin masih terlalu muda untuk mengingat siapa the Osmonds.”

“Mereka adalah sekelompok pemusik pop di tahun tujuh puluhan, para


anggotanya kakak-beradik. Seluruh keluarga Osmond berbakat musik. Namun
mereka tidak memiliki gen-gen yang sama, mereka bukan kembar. Rupanya
suasana keluargalah yang membual mereka semua menjadi musisi. Sama seperti
Jackson Five.” Yang lain, yang kebanyakan lebih muda, tertawa lagi. Si wanita
tersipu, lalu menambahkan, “Aku membongkar rahasia usiaku di sini.”

“Argumentasi Ms. Dickson betul-betul masuk akal, dan aku heran kenapa tidak
ada di antara kalian yang berpikir sampai ke situ.” ujar Jeannie. Sebetulnya ia
tidak heran, namun Donna-Marie perlu dibesarkan hatinya. “Orangtua yang
mempunyai karisma dan berdedikasi mungkin akan membuat anak-anaknya
memiliki idealisme tertentu, tidak peduli bagaimana unsur gen-gen mereka,
seperti juga orangtua yang suka menyiksa anak-anaknya mungkin akan
mengubah seluruh keluarganya menjadi penderita gangguan kejiwaan. Tapi ini
merupakan kasus-kasus yang boleh disebut ekstrem. Seorang anak yang kurang
mendapat gizi akan memiliki

12.1

postur tubuh pendek, bahkan andai kata kedua orangtua dan kakek neneknya
semuanya jangkung. Dan seorang anak yang diberi makan berlebihan akan
menjadi gemuk, meskipun dia keturunan orang-orang yang kurus. Namun
begitu, setiap studi baru cenderung membuktikan, dengan cara lebih meyakinkan
daripada studi sebelumnya, bahwa biasanya unsur warisan genetikalah, bukan
faktor suasana lingkungan dan cara seseorang dibesarkan, yang akan
menentukan pembawaan seorang anak.” Jeannie berhenti” sebentar. “Kalau tidak
ada pertanyaan lagi, silakan baca tulisan Bouchard dalam Science terbitan
tanggal 12 Oktober 1990, sebelum hari Senin yang akan datang.” Jeannie
mengumpulkan kertas-kertasnya.

Para mahasiswa mulai mengemasi buku-buku mereka. Selama beberapa saat ia


masih berdiri di sana, memberikan kesempatan kepada mereka yang merasa
terlalu .rikuh mengajukan pertanyaan secara terbuka untuk mendekatinya secara
pribadi. Mereka yang tertutup biasanya merupakan calon-calon ilmuwan
terkemuka.

Ternyata Donna-Marie yang maju. Wanita ini memiliki wajah bundar dan rambut
pirang berombak. Jeannie memperkirakan ia seorang perawat yang baik, tenang,
dan efisien. “Aku menyesal sekali atas apa yang menimpa Lisa,” ujar Donna-
Marie. “Betul-betul peristiwa mengerikan.”

“Dan polisi membuat situasinya semakin tidak keruan baginya,” ujar Jeannie.
“Petugas yang mengantarnya ke rumah sakit betul-betul brengsek.”

“Sial sekali. Tapi mungkin mereka dapat menangkap si pelaku. Mereka sudah
menyebar selebaran yang menggambarkan garis-garis wajahnya di seluruh
kampus.”

“Bagus!” Gambar yang dimaksud Donna-Marie tentunya adalah yang dibuat


dengan program komputer Mish Delaware. “Sewaktu aku meninggalkannya tadi
pagi, dia sedang menyusun konstruksinya bersama seorang detektif.”

124

“Bagaimana keadaannya sekarang?**

**Masih amat terguncang… juga amat kaget-kagetan.”

Donna-Marie mengangguk. “Mereka harus melewati beberapa fase tertentu,


sejauh yang pernah kulihat Yang pertama adalah penyangkalan. Mereka akan
mengatakan, ‘Aku cuma mau melupakan segalanya dan melanjutkan
kehidupanku.’ Tapi kenyataannya tidak sedemikian mudah.”

“Seharusnya dia berbicara denganmu. Lebih tahu mengenai apa yang akan
terjadi mungkin bisa membantunya.”
“Hubungi aku, kapan saja,” ujar Donna-Marie.

Jeannie melintasi halaman kampus, menuju Nut House. Cuaca masih terasa
panas. Ia mendapati dirinya mengawasi keadaan sekelilingnya dengan perasaan
waswas, seperti seorang koboi yang gelisah dalam film western, seakan ia
mengharapkan seseorang tiba-tiba muncul dari pojok asrama mahasiswa untuk
menyerang dirinya. Sampai saat itu kampus Jones Falls selalu bak suatu oasis
tradisional yang tenang di gurun sebuah kota modem Amerika. Memang, JFU
persis seperti sebuah kota kecil, dengan toko-toko dan bank-banknya, lapangan
olahraga dan meteran parkir, sekian banyak bar dan restorannya, kantor-Jcantor
dan rumah-rumahnya. Jumlah penduduknya sekitar lima ribu orang, setengahnya
tinggal di kawasan kampus. Namun kini suasananya sudah berubah sama sekali.
Laki-laki itu tidak berhak melakukan ini, ujar Jeannie pada dirinya dalam nada
getir; untuk membuatku merasa takut di tempat kerjaku sendiri. Mungkin suatu
tindak kejahatan selalu berakibat seperti ini, membuat tempat berpijak kita yang
tadinya mantap menjadi goyah.

Saat memasuki ruang kerjanya, pikirannya mulai beralih ke Berrington Jones. Ia


seorang laki-laki yang menarik dan amat memperhatikan kanm wanita. Setiap
kali menghabiskan waktu bersamanya, Jeannie selalu

125

senang, la juga merasa berutang budi padanya, mengingat Berrington-lah yang


memberikan pekerjaan ini kepadanya.

Di satu pihak, kelihatannya ia agak lihai. Jeannie memperkirakan sikapnya


kepada kaum wanita mungkin bersifat manipulatif. Berrington selalu
membuatnya ter mgat akan lelucon tentang seorang laki-laki yang beikata
kepada seorang wanita; “Ceritakan mengenai dinmu. Bagaimana pendapatmu
mengenai, umpamanya, aku?”

Di lain pihak tampangnya tidak seperti seorang akademikus. Namun berdasarkan


pengamatan Jeannie, mereka yang benar-benar berambisi dalam dunia akademis
biasanya memang bukan dari tipe profesor linglung. Berrington berpenampilan
dan bertindak seperti seorang laki-laki mapan. Sudah beberapa tahun ia tidak
menghasilkan pekerjaan ilmiah yang berarti, tapi itu normal: penemuan-
penemuan yang orisinal dan brilian, seperti helix ganda umpamanya, biasanya
diungkapkan oleh mereka yang masih berusia di bawah tiga puluh lima tahun.
Sementara para ilmuwan bertambah umur, mereka biasanya menggunakan
pengalaman dan insting mereka untuk membantu dan mengarahkan yang lebih
muda dan segar. Berrington dapat melakukan itu dengan baik sekali, dengan
ketiga gelar profesornya dan perannya sebagai pengelola dana riset yang mereka
peroleh dari Genetico. Namun ia memang tidak menjadi seterkemuka
seharusnya, karena para ilmuwan lain kurang menyukai keterlibatannya dalam
dunia politik. Jeannie sendiri menilai pengetahuannya di bidang ilmu cukup
andal, tapi pandangan politiknya betul-betul tidak ada apa-apanya.

Pada awalnya, tanpa keraguan ia mempercayai alasan Berrington soal transmisi


file dari Australia-nya, tapi setelah merefleksinya kembali, ia menjadi kurang
yakin. Ketika Berry melihat Steven Logan, tampangnya berubah seperti orang
melihat hantu, bukan rekening telepon.

Banyak keluarga menyimpan rahasia mengenai hu—

126

bungan antara orangtua dan anak mereka. Seorang wanita yang telah menikah
mungkin memiliki pacar, dan hanya ia yang tahu siapa sebenarnya ayah dari
anaknya. Seorang gadis mungkin melahirkan seorang bayi, untuk kemudian ia
serahkan kepada ibunya. Ia akan berpura-pura menjadi kakak si bayi, sementara
seluruh keluarga bersepakat untuk menyimpan rahasia itu. Anak-anak diadopsi
oleh tetangga, kenalan, atau teman yang akan menyembunyikan fakta
sesungguhnya. Lorraine Logan mungkin bukan tipe yang akan mati-matian
berusaha menutupi suatu kasus adopsi yang resmi, tapi ia bisa memiliki sekian
banyak alasan lain untuk membohongi Steven mengenai keberadaannya. Tapi
bagaimana Berrington bisa sampai terlibat di sini? Apakah ia ayah Steven yang
sebenarnya? Ide itu membuat Jeannie tersenyum. Berry memang tampan, tapi
postur tubuhnya sedikituya enam kaki lebih pendek daripada Steven. Meski apa
pun mungkin terjadi, penjelasan itu toh rasanya kurang mengena.

Ia merasa terusik oleh misteri itu. Biar bagaimanapun, Steven Logan merupakan
perlambang kemenangan baginya, la seorang warga negara terhormat yang patuh
huknm, dengan seorang saudara kembar identik yang ternyata penjahat yang
terlibat dalam tindak kekerasan. Steve menyatakan keandalan program
pelacakan komputernya serta mengkonfirmasi teorinya mengenai kriminalitas.
Tentu saja ia membutuhkan ratusan pasangan kembar lain seperti Steven dan
Dennis sebelum ia dapat berbicara mengenai bukti. Namun ini merupakan
kesempatan yang sangat baik. untuk memulai program pelacakannya.

Besok ia akan bertemu dengan Dennis. Kalau ternyata laki-laki ini pendek dan
rambutnya berwarna gelap, ia akan tahu bahwa ada sesuatu yang betul-betul
tidak beres. Tapi kalau sebaliknya, laki-laki ini adalah kembar an Steven Logan.

127

Jeannie betul-betul terguncang menghadapi kenyataan bahwa Steve Logan sama


sekali tidak tahu mengenai kemungkinan ia pernah diadopsi, la hams
memikirkan suatu cara untuk mengatasi situasi seperti ini. Di masa mendatang,
ia akan menghubungi pihak orangtua lebih dahulu untuk mengecek seberapa
banyak yang .sudah mereka ungkapkan, sebelum mengadakan pendekatan pada
si kembar. Ini akan memperlambat prosedur kerjanya, tapi memang harus
dilakukan: ia tak bisa menjadi penyingkap tabir rahasia keluarga.

Masalah itu dapat dipecahkan, tapi ia belum dapat mengatasi rasa cemas yang
ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan skeptis Berrington serta kebimbangan
Steven Logan, dan ia mulai memikirkan dengan hati berdebar-debar tahapan
selanjurnya dari proyeknya. Semula ia berharap akan menggunakan software-
nya untuk menjajaki arsip sidik jari FBI.

Itu akan merupakan sumber yang betul-betul sempurna baginya. Sekian banyak
di antara dua puluh dua juta nama yang tercantum di dalam arsip itu pernah
dianggap terlibat dalam salah satu tindak kejahatan atau menjalani hukuman.
Andai kata programnya memang andal, ratusan pasangan kembar akan dapat
dilacak, termasuk yang dibesarkan secara terpisah. Ini akan berarti lompatan
besar dalam risetnya. Tapi ia harus mendapatkan izin dulu dari pihak FBI.

Sahabatnya semasa di sekolah menengah adalah Ghita Sumra, seorang jenius


matematika keturunan India yang kini menduduki jabatan top di bagian
teknologi informasi FBI.

Ghita bekerja di Washington, DC, tapi tinggal di kota ini, di Baltimore. Ia sudah
berjanji akan meminta atasannya memberikan dukungan pada Jeannie. Ghita
sudah menyatakan akan meneruskan hasilnya sekitar akhir minggu ini, tapi
sekarang Jeannie ingin menggesa-nya. Ia memutar nomornya.

128
Ghita lahir di Washington, namun suaranya masih menyimpan nuansa India
dalam kelembutan nada dan cara pengucapannya. “Hei, Jeannie, bagaimana
akhir minggumu?” ujarnya.

^ “Menyedihkan,” sahut Jeannie. “Ibuku akhirnya terpaksa masuk ke rumah


perawatan.”

“Aku menyesal sekali mendengar itu. Apa yang terjadi padanya?”

“Dia lupa bahwa ketika itu sudah tengah malam. Dia turun dari tempat tidurnya,
lupa ganti pakaian, pergi keluar untuk membeli sekarton susu. lalu lupa di

mana dia tinggal.” “Apa yang terjadi?”

“Polisi menemukannya-Untungnya dia membawa selembar cek dan ku di dalam


dompetnya, sehingga mereka dapat menelusuri alamatku.”

“Bagaimana perasaanmu sekarang?”

Suatu pertanyaan khas yang akan diajukan oleh seorang wanita. Kaum laki laki
—Jack Budgen, Berrington Jones—menanyakan kepadanya apa yang akan ia
lakukan. Hanya seorang wanita yang akan menanyakan bagaimana perasaannya.
“Nggak keruan.” sahutnya. “Kalau aku harus merawat ibuku, siapa yang akan
menjamin kebutuhanku? Kau mengerti, kan?”

“Di mana dia dirawat?”

“Di tempat murah yang bisa ditutupi premi asuransinya. Aku harus
mengeluarkannya dari situ, begitu memperoleh uang untuk membayar tempat
yang lebih baik.” Ia mendengar keheningan di ujung lain pesawatnya, dan
menyadari bahwa Ghita mengira ia akan meminta uang padanya. “Aku akan
memberikan les privat di akhir minggu,” tambahnya cepat-cepat. “Kau sudah
tanyakan pada atasanmu mengenai usulanku itu?”

“Sudah.”

Jeannie menahan napas.,

“Semua di sini tertarik pada software-mu” ujar Ghita.


129

Itu bukan jawahan ya atau tidak. “Kalian tidak memiliki sistem scanning^

“Ada. tapi sistemmu ternyata jauh lebih cepat daripada yang kami miliki.
Mereka sedang menjajaki kemungkinan untuk melisensi programmu,”

“Wauw. Jadi, ada kemungkinan aku nggak perlu memberikan les privat di akhir
minggu.”

Ghita tertawa. “Sebelum kau membuka botol sampanyemu, sebaiknya kita


pastikan dulu bahwa programmu itu betul-betul andal.”

“Kapan akan kita lakukan itu?”

“Kita akan mencoba malam-malam, untuk mengurangi gangguan pemakaian


normal database-nya. Aku hams menunggu kesempatan yang baik. Mungkin
dalam waktu seminggu, dua minggu paling lama.”

“Tidak bisa lebih cepat?”

“Haruskah buru-buru?”

Sebetulnya ya, namun Jeannie merasa enggan untuk mengungkapkan


kecemasannya pada Ghita. “Aku cuma buru-buru ingin tahu hasilnya,” sahutnya.

“Aku akan usahakan secepatnya, jangan khawatir. Kau bisa pindahkan


programnya ke tempatku melalui modem?”

“Tentu. Tapi apakah menurutmu nggak lebih baik kalau aku juga ada di sana
selagi kau menjajakinya?”

“Kukira tidak, Jeannie,” ujar Ghita sambil tersenyum.

“Tentu, kau tentunya lebih tahu mengenai prosedurnya daripada aku.”

“Kirimlah ke alamat ini.” Ghita membacakan sebuah alamat E-mail, yang segera
dicatat Jeannie. “Aku akan mengirim hasilnya melalui cara yang sama.”

“Trims. Hei, Ghita?”


“Apa?”

“Apakah aku bakal kena pajak?” “Ah, sudahlah,” Ghita tertawa, kemudian
mengakhiri percakapan itu.

130

Jeannie menekan tombol mouse-nya pada America Online, lalu memperoleh


akses jaringan Internet. Saat programnya sedang ditransmisi ke FBI, terdengar
ketukan di pintunya, kemudian Steven Logan masuk.

Jeannie menatapnya dengan penuh simpati, la baru saja menerima berita yang
mengguncangkan, dan itu masih membayang di wajahnya; namun ia masih
muda dan tegar, dan pukulan itu tidak membuatnya ambruk. Secara psikologis,
ia amat stabil. Andai kata ia tipe yang cenderung terlibat dalam tindakan
kriminal—seperti saudaranya Dennis, umpamanya—tentunya ia sudah terlibat
dalam bentrokan fisik dengan seseorang sekarang. “Bagaimana?” tanya Jeannie.

Anak muda itu menutup pintu di belakangnya dengan tumitnya. “Semua sudah
beres,” sahutnya, “Aku sudah menjalani semua tes, menyelesaikan semua ujian,
dan mengisi semua lembaran questionnaire yang bisa disusun dengan nalar
manusia.”

“Kalau begitu, kau boleh pulang sekarang.”

“Aku sedang menimbang-nimbang untuk menginap di Baltimore malam ini.


Malah aku sempat mempertanyakan pada diriku, apakah kau akan bersedia
makan malam bersamaku.”

Ini benar-benar kejutan bagi Jeannie. “Untuk apa?” tanyanya secara kurang
taktis.

Pertanyaannya membuat hati anak muda itu menciut. “Ehm, eh… di satu pihak,
aku merasa tertarik untuk tahu lebih banyak mengenai risetmu.”

“Oh. Ehm, sayang sekali aku sudah ada janji untuk pergi makan malam nanti.”

Anak muda itu tampak kecewa. “Apakah aku terlalu muda menurutmu ?”

“Untuk apa?”
“Untuk mengajakmu keluar.”

Kemudian barulah Jeannie sadar. “Aku tidak memperhitungkan bahwa kau


sedang mengajakku berkencan” ujarnya.

131

Steven menjadi salah tingkah. “Rupanya kau termasuk tipe yang agak lambat
menangkap isyarat.”

“Maaf.” la memang agak lambat. Steven sudah berusaha mendekatinya kemarin,


di lapangan tenis itu. Namun sepanjang hari itu ia hanya menganggapnya
sebagai subjek untuk studinya. Tapi kini, setelah ia merenungkannya kembali,
ternyata anak muda ini memang terlalu muda untuk mengajaknya kehsar. Steven
baru berusia dua puluh dua tahun, seorang mahasiswa; ia tujuh tahun lebih tua
daripadanya; jaraknya lumayan besar.

Steven berkata, “Berapa usia teman kencanmu?”

“Lima puluh sembilan atau enam puluh tahun, kira-kira.”

“Wauw. Kau menyukai laki-laki yang sudah tua.”

Jeannie merasa tidak enak untuk mengecewakannya, la merasa memiliki


ganjalan setelah apa yang ia lakukan atas Steven tadi. Komputernya
mengeluarkan suara seperti dering bel pintu untuk memberitahukan bahwa
programnya sudah selesai ditransmisi. Aku sudah sele sai dengan tugasku hari
ini,” ujarnya. “Kau mau minum-minum di Faculty Club bersamaku?”

Wajah Steve langsung berbinar. “Tentu. Apa penampilanku sudah oke?”

la mengenakan celana panjang dari bahan khaki dan sehelai kemeja linen
berwarna biru. “Tampangmu bakal lebih oke daripada para profesor yang ada di
sana,” jawab Jeannie sambil tersenyum. Ia mengeluarkan programnya, lalu
mematikan komputernya.

“Aku sudah menelepon ibuku,” ujar Steven. “Untuk mengungkapkan padanya


soal teorimu”

“Dia marah?”
“Dia tertawa. Katanya aku tidak diadopsi, dan aku tidak punya saudara kembar
yang ditawarkan untuk adopsi.”

“Aneh.” Jeannie merasa lega bahwa keluarga Logan menanggapi hal ini dengan
begitu tenang. Di lain pihak.

sikap skeptis mereka membuatnya khawatir menghadapi ? kemungkinan bahwa


Steven dan Dennis mungkin sama sekali bukan pasangan kembar.

“Kau tahu…” Untuk sesaat ia ragu. Ia sudah mengungkapkan cukup banyak hal-
hal yang mengguncangkan hari itu. Namun ia memutuskan untuk terus. “Masih
ada hal lain yang mungkin dapat menjelaskan bahwa kau adalah kembaran
Dennis.”

“Aku tahu apa yang terpintas dalam dirimu,” ujar Steven. “Bayi-bayi yang
tertukar di rumah sakit”

Ia memang cerdas sekali. Tadi pagi Jeannie sudah melihat lebih dari sekali,
betapa cepatnya ia dapat menarik kesimpulan. “Betul,” ujar Jeannie. “Ibu nomor
satu melahirkan dua anak laki-laki kembar identik, ibu-ibu nomor dua dan tiga
sama-sama melahirkan seorang anak laki-laki. Si kembar diserahkan kepada ibu-
ibu nomor dua dan tiga, sementara bayi-bayi mereka diserahkan kepada ibu
nomor satu. Sewaktu anak-anak tumbuh besar, ibu nomor satu menarik
kesimpulan bahwa mereka pasangan kembar fraternal, yang bisa dikatakan
hampir tidak mirip satu sama lain.”

“Dan kalau kebetulan ibu-ibu nomor dua dan tiga tidak pernah berhubungan,
tidak akan ada yang memperhatikan kemiripan antara bayi-bayi nomor dua dan
tiga.”

“Kedengarannya seperti skenario kuno para penulis cerita-cerita romantis,” kata


Jeannie. “Tapi toh bukan tidak mungkin.” »

“Apa ada buku yang mengulas masalah kekembaran?” tanya Steven. “Aku ingin
tahu lebih banyak mengenai ini.”

“Ya, aku punya sebuah.” Jeannie memeriksa rak bukunya. “Ah, ternyata di
rumah.” “Kau tinggal di mana?” “Dekat sini.”

I “Kau bisa mengajakku ke rumahmu untuk minum-minum.”


132

133

Jeannie tampak ragu sebentar. Anak muda ini adalah kembaran yang normal,
bukan yang terganggu jiwanya, ujarnya dalam hati, untuk mengingatkan dirinya.

Steven berkata, “Kau tahu begitu banyak mengenai diriku, setelah hari ini. Aku
juga ingin tahu mengenai dirimu. Aku ingin melihat di mana kau tinggal.”

Jeannie angkat bahu. “Oke, kenapa tidak? Ayo kita berangkat.”

Saat itu pukul lima sore, dan udara mulai lebih sejuk sementara mereka
meninggalkan Nut House. Steven mengeluarkan siulan begitu melihat mobil
Mercedes merah Jeannie. “Asyik sekali!”

“Aku sudah memilikinya selama delapan tahun,” ujar Jeannie. “Aku betul-betul
sayang pada mobil itu.”

“Milikku ada di pelataran parkir. Aku akan membun-tutimu dari belakang dan
menyalakan lampu dimku.”

Steve melangkah pergi. Jeannie masuk ke dalam mobilnya, lalu menyalakan


mesinnya. Beberapa menit kemudian, ia melihat lampu mobil yang disorotkan ke
arah kaca spionnya, la mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir, kemudian
melaju.

Saat meninggalkan kawasan kampus, ia melihat sebuah mobil jip polisi


menempel di belakang mobil Steven, la memeriksa spedometernya, lalu
melambatkan kendaraannya sehingga jarumnya menunjuk ke angka tiga puluh.

Rupanya Steven Logan naksir padanya. Meskipun tidak berniat menanggapinya,


Jeannie toh merasa senang. Asyik rasanya berhasil memenangkan hati seorang
anak muda yang begitu tampan.

Steven terus membuntutinya sepanjang perjalanan menuju tempat tinggalnya.


Jeannie memarkir mobil di muka rumahnya, sementara Steve berhenti persis di
belakangnya.

Seperti halnya di kebanyakan jalan-jalan lama Baltimore, di situ terdapat deretan


emper-emper, semacam

134

serambi depan sepanjang deretan jalan, di mana para tetangga biasanya duduk-
duduk untuk menghirup angin segar semasa belum ada AC. la melintasi emper-
emper itu, kemudian berdiri di muka pintunya untuk mengeluarkan knnci.

Dua petugas dinas kepolisian melompat keluar dari mobil patroli mereka,
dengan senjata di tangan. Mereka mengambil posisi siap menembak, dengan
lengan terulur ke muka, senjata mereka terarah langsung ke Jeannie dan Steve.

Jantung Jeannie serasa berhenti berdetak. Steven berkata, “Ada ap…”

Kemudian salah satu di antara kedua laki-laki itu berteriak, “Polisi! Jangan
bergerak!”

Jeannie dan Steven sama-sama menaikkan tangan mereka.

Namun kedua petugas itu masih tetap tampak tegang. “Tiarap, bangsat!” bentak
salah satu di antara mereka. “Muka ke bawah, tangan ke belakang!”

Jeannie dan Steve sama-sama tiarap.

Kedua petugas itu mendekati mereka dengan hati-hati, seakan mereka bom yang
sewaktu-waktu akan meledak. Jeannie berkata, “Tidakkah sebaiknya Anda
jelaskan lebih dahulu pada kami, apa masalahnya?”

“Anda boleh berdiri. Miss,” ujar yang satu.

“Wauw, trims.” Jeannie langsung berdiri. Jantungnya berdegup dengan cepat


sekali, tapi rupanya jelas sekali bahwa kedua petugas ini telah membuat
kesalahan. “Sekarang, setelah kalian sempat membuat aku ketakutan selengah
mati, ada apa sih sebetulnya?”

Mereka masih juga belum menjawab. Mereka masih terus mengarahkan senjata
mereka kepada Steve. Satu di antara mereka berlutut di sampingnya, lalu dalam
gerakan cepat dan terlatih, memborgol pergelangannya. “Kau ditahan, bajingan,”
ujar si petugas.
Jeannie berkata, “Aku seorang wanita yang berpandangan terbuka, tapi apakah
maki-Tnakian itu memang perlu?”^idak ada yang menggubrisnya. Ia mencoba
sekali lagi. “Memangnya apa yang dia lakukan?”

Ban sebuah mobil Dodge Colt berwarna biru muda berdecit di belakang mobil
jip polisi, kemudian dua orang melompat keluar. Yang satu ternyata Mish
Delaware, detektif dari Unit Tindak Kejahatan Seks. Ia masih mengenakan
setelan rok dan blus seperti yang dipakainya tadi pagi, namun ia juga
mengenakan jaket linen yang hanya sebagian menutupi senjata yang tersisip di
pinggangnya.

“Kalian cepat sekali sampai di sini,” ujar salah satu petugas patroli itu.

“Kami memang berada di sekitar tempat ini,” sahut Mish. Ia melayangkan


pandangannya ke arah Steve yang masih tiarap di bawah- “Suruh dia berdiri,”
ujarnya.

Si petugas patroli mencengkeram lengan Steve, lalu membantunya berdiri.

“Ternyata memang dia,” ujar Mish. “Orang inilah yang memerkosa Lisa
Hoxton.”

“Steven?” tanya Jeannie dalam nada tak percaya. Ya Tuhan, hampir saja dia
kuajak masuk ke dalam apartemenku.

“Memerkosa?” tanya Steve.

“Petugas patroli melihat mobilnya meninggalkan kawasan kampus,” ujar Mish.

Untuk pertama kalinya Jeannie melihat mobil Steve. Sebuah Datsun berwarna
gelap, berumur sekitar lima belas tahun-Lisa mengira si pemerkosa mengendarai
sebuah Datsun tua berwarna putih.

Keterkejutan dan rasa paniknya mulai digantikan oleh pemikiran rasional. Pihak
kepolisian mencurigai Steve, tapi itu tidak membuatnya bersalah. Apa buktinya?
Ia berkata, “Kalau kalian menahan setiap orang yang kalian lihat mengendarai
sebuah Datsun karatan…”

Mish menyodorkan sehelai kertas ke arah Jeannie. Ternyata selebaran berupa


gambar hitam-putih seorang
136

laki-laki yang dibuat dengan komputer. Jeannie menatap gambar itu. Memang
sedikit mirip Steven. “Mungkin memang dia, tapi mungkin juga bukan,” ujar
Jeannie.

“Apa yang sedang kaulakukan bersamanya?”

“Dia seorang subjek. Kami baru saja melakukan beberapa tes atas dirinya di
laboratorium. Aku masih tak percaya bahwa dialah orangnya!” Hasil
penemuannya menyatakan bahwa Steven mewarisi pembawaan seorang pelaku
tindak kriminal yang potensial—tapi juga terbukti bahwa sejauh ini ia belum
pernah terlibat dalam suatu tindak kriminal sesungguhnya.

Mish berkata kepada Steven, “Kau masih ingat apa kegiatanmu kemarin, antara
pukul tujuh dan delapan malam?”

“Ehm, aku berada di JFU,” ujar Steven. “Apa yang kaulakukan?”

“Tidak banyak. Tadinya aku akan pergi bersama sepupuku, Ricky, tapi dia
membatalkan rencana kami. Aku kemari untuk mengecek ke mana aku harus
pergi pagi ini. Aku sedang tidak ada kegiatan.”

Alasan itu sama sekali tidak meyakinkan, bahkan bagi Jeannie. Mungkin Steve
memang si pemerkosa itu, ujarnya pada dirinya sendiri dengan kecewa. Tapi
andai kata ia memang pelakunya, maka seluruh teorinya hancur lebur.

Mish berkata, “Bagaimana kau menghabiskan waktumu?”

“Aku menyaksikan pertandingan tenis selama beberapa waktu. Sesudah itu aku
pergi ke sebuah bar di Charles Village dan menghabiskan waktu selama
beberapa jam di sana. Aku tidak di sana sewaktu peristiwa kebakaran itu
terjadi.”

“Ada yang dapat menguatkan pernyataanmu ini?”

“Ehm, aku sempat berbincang-bincang dengan Dr. Ferrami. meskipun ketika itu
aku belum tahu siapa dia sebetulnya.”

Mish menoleh ke arah Jeannie. Jeannie menangkap sikap *tourang bersahahat


yang terpancar dari matanya, lalu teringat akan ketegangan yang berlangsung di
antara mereka tadi pagi, saat Mish berusaha membujuk Lisa untuk bekerja sama.

Jeannie berkata, “Itu terjadi setelah aku selesai bertanding, beberapa menit
sebelum peristiwa kebakaran itu.”

Mish berkata, “Jadi, Anda tidak dapat menyatakan kepada kami di mana dia saat
peristiwa pemerkosaan itu terjadi?”

“Tidak, tapi aku dapat menyatakan sesuatu yang lain. Aku sudah menghabiskan
sepanjang hari ini dengan mengetes laki-laki ini. Dia tidak memiliki profil
psikologis seorang pemerkosa.”

Mish menatapnya dengan pandangan mencela. “Itu bukan bukti.”

Jeannie masih menggenggam selebaran itu di tangannya. “Ini pun bukan,


kukira,” Ia meremas kertas itu menjadi bola, kemudian ia campakkan ke trotoar.

Mish memberikan isyarat kepada kedua petugas polisi dengan gerakan


kepalanya. “Ayo kita pergi.”

Dalam nada terang dan tenang Steven berkata, “Sebentar.”

Mereka tampak ragu.

“Jeannie, aku tak peduli bagaimana anggapan mereka, tapi aku ingin kau tahu
bahwa aku tidak melakukan itu, dan bahwa aku tidak akan pernah melakukan
hal-hal seperti itu.”

Jeannie mempercayainya. Ia mempertanyakan alasannya, pada dirinya. Apakah


ia ingin anak muda itu bersih demi teorinya? Tidak. Hasil tes psikologinya
membuktikan bahwa Steven tidak memiliki karakteristik yang dapat
dihubungkan dengan sifat seorang kriminal. Namun masih ada satu hal lagi:
intuisinya. Ia merasa aman saat berada bersama Steve. Anak muda itu tidak
memancarkan sinyal-sinyal negatif. Ia menyimak saat

138

Jeannie berbicara padanya, ia tidak mencoba melecehkannya, ia tidak mencoba


menyentuhnya secara tidak wajar, ia tidak memperlihatkan rasa amarah atau
sikap kurang bersahabat. Steven menyukai kaum wanita dan ia menghormati
Jeannie. Ia bukan tipe pemerkosa.

Jeannie berkata, “Kau mau aku menelepon seseorang? Orangtuamu?”

“Jangan,” ujar Steven dalam nada tegas. “Mereka, akan cemas. Urusan ini toh
akan selesai dalam beberapa jam. Akn akan memberitahu mereka setelah itu.”

“Apa mereka tidak mengharapkan kedatanganmu malam ini?”

“Aku sudah mengatakan kepada mereka bahwa mungkin aku akan menginap
lagi semalam di tempat Ricky.”

“Yah, kalau itu maumu,” ujar Jeannie dalam nada ragu.

‘Itu memang mauku.”

“Ayo berangkat,” ujar Mish dalam nada tak sabar.

“Kenapa harus terburu-buru?” ujar Jeannie dalam nada sengit. “Apa masih ada
orang tidak bersalah yang harus kalian tangkap?”

Mish menatapnya dengan pandangan marah. “Apa masih ada yang ingin Anda
katakan padaku?”

“Apa yang akan terjadi setelah ini?”

“Mereka-mereka yang dicurigai akan dibariskan. Kita akan biarkan Lisa Hoxton
yang memutuskan apakah orang ini yang memerkosanya.” Kemudian dalam
nada ringan Mish menambahkan, “Kalau Anda tidak berkeberatan tentunya, Dr.
Ferrami.”

“Tidak ada masalah,” sahut Jeannie.

139

BAB 9

Mereka membawa Steve ke pusat kota dalam mobil Dodge Colt berwarna biru
muda itu. Si detektif wanita duduk di belakang kemudi, sementara rekannya,
seorang laki-laki kulit putih berkumis dan bertubuh besar duduk di sebelahnya,
tampak terjepit dalam mobil kecil itu. Tidak ada yang berbicara.

Diam-diam Steve menghela napas dengan kesal. Kenapa ia harus berada di


dalam mobil yang tidak nyaman ini, dengan tangan diborgol, saat ia semestinya
duduk di dalam apartemen Jeannie Ferrami dengan segelas minuman dingin di
tangan? Sebaiknya mereka cepat-cepat berusaha menuntaskan urusan ini.

Markas besar dinas kepolisian itu berupa bangunan granit berwarna kemerahan
yang terletak di distrik lampu merah Baltimore, di antara bar-bar mesum dan
klub-klub malam. Mereka, melintasi sebuah tanjakan, kemudian berhenti di
dalam sebuah garasi. Tempat itu penuh dengan mobil jip polisi dan kendaraan
murah seperti Colt yang mereka pakai.

Mereka membawa Steve naik dengan lift, lalu memasukkannya ke sebuah


ruangan dengan dinding bercat hijau dan tidak berjendela. Mereka melepaskan
borgolnya, sesudah itu meninggalkannya sendirian. Ia memper—

140

kirakan mereka mengunci pintunya, namun ia tidak mengeceknya.

Di situ terdapat sebuah meja dan dua kursi plastik yang keras. Di meja terdapat
asbak berisi dua puntung rokok, dua-duanya dengan ujung berfilter, yang satu
ada lipstiknya. Pada daun pintu terpasang selembar kaca berwarna buram; Steve
tidak dapat melihat keluar, tapi ia memperkirakan bahwa mereka bisa melihat ke
dalam.

Saat melihat asbak itu, ia merasa menyesal bahwa ia tidak merokok. Rupanya
merokok diperbolehkan di dalam sel kuning ini. Sebagai gantinya, ia melangkah
mondar-mandir.

Ia meyakinkan dirinya bahwa ia tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Ia masih


sempat melihat gambar yang tercetak di selebaran itu. dan meskipun sedikit
banyak memang ada kemiripan dengannya, jelas itu toh bukan dirinya. Rupanya
tampangnya mirip si pemerkosa, tapi begitu ia dibariskan bersama anak-anak
muda bertubuh tinggi lainnya, si korban tidak akan menuding dirinya. Biar
bagaimanapun, wanita malang itu tentunya sempat melihat jelas tampang si
bajingan itu; wajahnya masih akan terus menghantui ingatannya. Ia tidak akan
membuat kesalahan.

Tapi pihak kepolisian tidak berhak membiarkannya menunggu seperti ini. Oke,
mereka terpaksa menahannya sebagai seorang calon tersangka, tapi mereka tidak
bisa membiarkannya begitu saja sampai larut malam. Ia seorang warga negara
yang patuh hukum.

Ia mencoba melihat dari sisi terangnya. Ia akan melihat dari dekat sistem
keadilan yang berlaku di Amerika. Ia akan menjadi pengacara bagi dirinya
sendiri; suatu latihan bagus. Jika di masa mendatang ia mewakili seorang klien
yang dituduh melakukan suatu tindakan kejahatan, ia akan tahu apa saja yang
dialami orang ini selama berada dalam tahanan polisi.

141

Ia sudah pernah melihat bagian dalam sebuah rumah tahanan, tapi kesannya lain
ketika itu. Usianya baru enam belas tahun. Ia pergi ke kantor polisi ditemani
salah .seorang guru. la mengakui keterlibatannya dalam tindak kejahatan itu
tanpa bertele-tele, dan mengungkapkan secara blak-blakan segala yang terjadi
saat itu. Mereka bisa melihat bahwa ia babak belur; jelas baku hantam itu tidak
hanya berlangsung-dari satu pihak. Kedua orangtuanya kemudian muncul untuk
menjemputnya

Saat itu merupakan momentum paling memalukan dalam kehidupannya. Ketika


Mom dan Dad memasuki ruangan itu, Steve ingin mati rasanya. Dad tampak
amat terpukul, seakan baru saja menerima suatu penghinaan besar; ekspresi
wajah Mom membayangkan kesedihan; mereka sama-sama amat terguncang dan
terluka. Pada waktu itu, dengan seluruh dayanya ia berusaha mencegah
keluarnya air mata. dan sampai kini tenggorokannya masih terasa tersumbat
begitu teringat kejadian n ii kembali.

Tapi kali ini situasinya lain. Kali ini ia tidak bersalah.

Detektif wanita itu masuk membawa map. Ia sudah menanggalkan jaketnya,


namun masih menyandang senjata di ikat pinggangnya. Ia seorang wanita kulit
hitam yang menarik, berusia sekitar empat puluhan, agak kelebihan berat, dan
dengan pembawaan akulah-yang-ber-kuasa-di-sini.

Steve menatapnya dengan perasaan lega. “Terima kasih, Tuhan,” ujarnya.


“Untuk apa?”
“Bahwa sesuatu akhirnya terjadi. Aku tak ingin mendekam di sini sepanjang
malam yang sial ini.” “Bagaimana kalau kau duduk sekarang?” Steve duduk.

“Namaku Sersan Michelle Delaware.” Ia mengeluarkan sehelai kertas dari


mapnya untuk ia letakkan di meja “Sebutkan nama lengkap dan alamatmu.”

142

Steve menjawab, sementara si sersan mengisi formulirnya. “Umur?” “Dua puluh


dua.” “Pendidikan?”

“Aku seorang sarjana muda.”

Michelle Delaware mengisi formulir itu, lalu menyodorkannya ke arah Steve. Di


atas kertas itu tertera:

Dinas Kepolisian Baltimore, Maryland

PENJELASAN MENGENAI HAK Formulir No. 69

“Bacalah kelima kalimat dalam formulir ini, kemudian cantumkan parafmu di


bagian kosong yang disediakan di belakang masing-masing kalimat.” Si sersan
menyodorkan sebuah pena ke arahnya

Steve membaca isi formulir itu, lalu mulai memberikan parafnya

“Kau harus membacanya dengan suara keras,” ujar si seran.

Steve terdiam sebentar. “Supaya kau dapat memastikan aku tidak buta huruf?”
tanyanya

“Bukan. Supaya kelak kau tidak bisa berpura-pura tidak dapat membaca, dan
menuntut bahwa kau tidak mendapatkan penjelasan mengenai hak-hakmu.”

Ini tidak diajarkan di Fakultas Hukum.

Steve membaca: “Dengan ini kepada Anda dinyatakan bahwa: Satu. Anda
memiliki hak sepenuhnya untuk tetap diam.” Steve mencanmmkan SL di bagian
kosong pada akhir kalimat itu, lalu membaca lagi sambil memberikan paraf di
bagian belakang kalimat-kalimat berikutnya. “Dua, apa pun yang sudah Anda
katakan atau tulis dapat

143

digunakan sebagai bahan bukti yang memberatkan Anda dalam sidang


pengadilan. Tiga, Anda berhak berkonsultasi dengan seorang pengacara setiap
saat, sebelum proses interogasi, sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan
apa pun, atau selama proses interogasi. Empat, kalau Anda ingin didampingi
seorang pengacara, tapi tidak mampu menanggung biayanya, kepada Anda tidak
akan diajukan pertanyaan apa pun, dan pihak pengadilan akan diminta menunjuk
seorang pengacara untuk Anda. Lima, kalau Anda menyatakan bersedia
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan, Anda berhak untuk minta
berhenti setiap saat dan menuntut didampingi oleh seorang pengacara, dan
kepada Anda tidak akan diajukan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut.”

“Sekarang bubuhkanlah tanda tanganmu.” Si sersan menunjuk. “Di sini, dan di


sini.”

Bagian yang kosong untuk tanda tangan itu terdapat di bawah kalimat:

AKU SUDAH MEMBACA PENJELASAN MENGENAI HAK-HAKKU DI


ATAS, DAN AKU MENGERTI ISINYA SEPENUHNYA.

Tanda tangan

Steve membubuhkan tanda tangannya. “Lalu di bawahnya,” ujar si sersan.

Aku bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan, dan aku


tidak membutuhkan kehadiran seorang pengacara saat ini. Keputusanku untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan tanpa didampingi oleh
seorang pengacara adalah atas kehendak bebasku sendiri.

Tanda tangan

144

Steve memberikan tanda tangannya, lalu berkata. “Bagaimana kalian memaksa


mereka yang memang bersalah untuk menandatangani itu?”

Si sersan tidak menjawab, la membubuhkan namanya sendiri, lalu


menandatangani formulir itu.

Ia. mengembalikan formulir itu ke dalam mapnya, lalu menatap Steve. “Kau
sedang dalam masalah, Steve,” ujarnya. “Tapi tampangmu seperti anak muda
baik-baik- Bagaimana kalau kauceritakan saja dengan terus terang, mengenai
apa yang terjadi?” *

“Mana bisa,” jawab Steve. “Aku kan tidak di sana. Rupanya tampangku mirip
pelaku tindak pemerkosaan itu.”

Mish menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kaki, lalu tersenyum ramah ke


arah Steve. “Aku kenal kaum laki-laki,” ujarnya dalam nada intim. “Mereka
punya kebutuhan.”

Kalau aku lugu, ujar Steve dalam hati, aku akan menanggapi isyarat tubuhnya
dan memperhitungkan bahwa ia akan mendekatiku.

Mish berkata lagi, “Coba kuungkapkan apa yang ada di kepalaku. Kau seorang
laki-laki yang menarik; dia menaruh hati padamu.”

“Aku belum pernah bertemu dengan wanita ini. Sersan.”

Mish tidak menanggapi protes Steve. Sambil mendoyongkan tubuh ke arah meja,
ia meletakkan tangannya di atas tangan Steve. “Kukira dia menggodamu.”

Steve menatap tangan Mish. Kuku-kukunya indah, terawat, tidak terlalu panjang,
dan dipoles dengan cat kuku berwarna bening. Tapi tangannya sudah tidak
mulus; usianya sudah lebih dari empat puluh tahun, mungkin sekitar empat
puluh lima.

Mish berbicara seperti sedang mengajak berkonspirasi, seakan ingin berkata. Ini
kan cuma antara kita berdua. “Dia yang minta sendiri, maka kau melayaninya
Betul, kan?”

145

“Apa yang membuat Anda berpikir begitu?” ujar Steve dalam nada kesal.

“Aku tahu bagaimana ulah gadis-gadis. Dia memberikan lampu hijau, kemudian
pada saat-saat terakhir, pikirannya berubah. Tapi sudah terlambat. Laki-laki tidak
dapat distop begitu saja, setidaknya seorang laki-laki normal.”

“Sebentar, aku mengerti maksud Anda,” ujar Steve. “Tersangka mengiyakan


Anda, karena mengira situasinya akan kelihatan lebih baik bagi dirinya; tapi
sesungguhnya dia jadi mengaku bahwa persetubuhan itu pernah terjadi, dan
separuh tugas Anda selesai.”

Sersan Delaware menyandarkan tubuh. Tampangnya kesal, sehingga Steve


menarik kesimpulan bahwa dugaannya benar.

la berdiri. “Oke, anak pintar, ikuti aku.”

“Ke mana?”

“Ke sel.”

“Sebentar. Kapan mereka yang dicurigai dibariskan?*1

“Begitu kami berhasil menghubungi korban dan membawanya ke sini.”

“Anda tidak berhak menahanku selama waktu yang tidak terbatas tanpa melalui
prosedur yang berlaku.”

“Kami dapat menahanmu selama dua puluh empat jam tanpa prosedur apa pun,
jadi tutup mulutmu dan ayo kita keluar.”

Mish membawa Steve turun dengan lift, melalui sebuah pintu, ke dalam sebuah
ruang lobi yang dinding-dindingnya dicat warna oranye cokelat yang kurang
menarik. Sebuah pamflet di dinding mengingatkan para petugas untuk
membiarkan para tersangka tetap dalam keadaan diborgol selama proses
pemeriksaan. Si petugas pemegang kunci, seorang polisi kulit hitam berusia lima
puluhan, berdiri di belakang meja piket. “Hei, Spike,” tegur Sersan Delaware.
“Aku punya seorang anak sekolahan yang pintar untukmu.”

146

Si petugas tersenyum. “Kalau dia memang pintar, kok dia bisa masuk sini?”

Mereka berdua tertawa. Setelah menyadari reaksi mereka, Steve mengingatkan


dirinya untuk tidak membuka diri seperti itu lagi di hadapan polisi, di masa yang
akan datang. Ini suatu kekeliruan darinya; ia sudah pernah menghadapi guru-
gurunya dengan cara yang sama. Memang tidak ada yang suka pada orang-sok
tahu.

Si petugas yang dipanggil Spike berpostur tubuh kecil dan liat, dengan rambut
keabuan dan kumis kecil. Sikapnya sok akrab, tapi sinar matanya dingin, la
membuka sebuah pintu baja. “Kau juga ikut ke dalam, Mish?*’ tanyanya. “Aku
harus minta padamu untuk menitipkan senjatamu lebih dulu kalau memang
begitu.”

“Tidak, urusanku dengannya sudah selesai untuk hari ini,” ujar Mish. “Dia bakal
dibariskan nanti.” Ia memutar tubuhnya, lalu pergi.

“Lewat sini. Bung,” ujar si petugas kepada Steve. Steve memasuki sebuah pintu.
Sekarang ia berada di dalam suatu sel. Dinding-dinding dan lantainya berwarna
tanah. Steve mengira lift itu berhenti di lantai kedua, tapi ia tidak melihat sebuah
jendela pun, dan ia merasa seperu berada di dalam gua jauh di bawah tanah, dan
bahwa ia bakal membutuhkan waktu lama untuk dapat naik ke atas lagi.

Di sebuah ruang tunggu kecil terdapat sebuah meja tulis dan kamera. Spike
mengambil selembar formulir dari sebuah celah. Dalam keadaan terbalik, Steve
melihat bahwa di atas formulir itu tertulis:

Dinas Kepolisian Baltimore, Maryland

LAPORAN AKTIVITAS TAHANAN Formulir No. 92/12

147

Laki-laki itu membuka tutup bolpoinnya, lalu mulai mengisi formulir itu.

Setelah .selesai, ia menunjuk ke suatu tempat di dalam ruangan itu, lalu berkata,
“Berdiri di sana.”

Steve berdiri di muka kamera. Spike menekan sebuah tombol, kemudian tampak
kilatan.

“Putar ke samping.”

Sebuah kilatan lagi.


Sesudah itu Spike mengeluarkan sebuah kartu persegi bertulisan dalam tinta
berwarna kemerahan:

Biro Penyidikan Federal Departemen Kehakiman Amerika Serikat Washington.


D.C. 20537

Spike menekan jari-jari Steve di atas sebuah bantalan stempel, lalu mulai
mengisi kotak-kotak kosong di atas kartu yang ditandai dengan I. JEMPOL
KANAN, 2. TELUNJUK KANAN, dan seterusnya. Steve melihat bahwa
meskipun Spike berpostur kecil, tangannya besar-besar dan penuh otot. Saal
melakukan prosedur itu, Spike berkata, “Kami sudah memiliki Fasilitas
Pendataan Sentral di rumah tahanan pusat kota, di Greenmount Avenue, dan
mereka memiliki komputer yang dapat mendata sidik-sidik jari seseorang tanpa
tinta Persis seperti mesin fotokopi yang besar; cukup menempelkan tangan pada
permukaan kacanya. Tapi di sini kita masih memakai sistem kuno yang jorok
ini.”

Steve menyadari bahwa ia mulai merasa tidak enak, meskipun ia tidak


melakukan tindak kejahatan itu. Sebagian disebabkan oleh suasana yang serba
tegang, tapi terutama karena perasaan tidak berdayanya. Sejak para petugas
patroli itu menghambur turun dari kendaraan mereka di muka rumah Jeannie, ia
terus didorong ke sana kemari seperti sepotong daging, tanpa hak kendali atas
dirinya sendiri. Itu ternyata dapat menjatuhkan harga diri seseorang dengan amat
cepat.

148

Setelah sidik-sidik jarinya diambil, Steve diperbolehkan mencuci tangan.

“Izinkanlah aku mengantar Anda ke kamar suite Anda,” ujar Spike melucu.

la menggiring Steve menelusuri sebuah lorong dengan ruangan-ruangan sel di


kanan-kirinya. Masing-masing sel berbentuk persegi. Di bagian yang berbatasan
dengan lorong tidak terdapat dinding, cuma terali besi, sehingga setiap pojoknya
dapat terlihat jelas dari luar. Melalui terali besi itu, Steve dapat melihat bahwa
masing-masing sel memiliki sebuah dipan metal yang terpancang pada dinding
dan sebuah kloset serta wastafel dari stainless-steel. Dinding-dinding dan
dipannya dicat dalam warna oranye kecokelatan dan ditutupi dengan oretan-
oretan. Klosetnya tanpa penutup. Di dalam tiga atau empat sel terlihat
penghuninya berbaring resah di dipan, tapi kebanyakan masih dalam keadaan
kosong. “Hari Senin merupakan hari tenang di sini, di Lafayette Street Holiday
Inn,” ujar Spike dalam nada bercanda. Steve tidak dapat tertawa.

Spike berhenti di muka sebuah sel kosong. Steve melayangkan pandang ke


dalamnya, sementara si petugas memutar kunci pintunya. Sama sekali tidak ada
keleluasaan pribadi di sini. Steve menyadari bahwa andai kata ia perlu
menggunakan kloset, ia terpaksa memakainya secara terbuka di muka semua
orang, laki-laki atau perempuan, yang kebetulan lalu lalang di lorong itu. Entah
kenapa, itu terasa jauh lebih menyakitkan hati daripada apa pun.

Spike membuka pintu yang terletak di antara terali besi itu, lalu mendorong
Steve masuk. Pintu sorong itu ditutup dengan bantingan, untuk kemudian
dikunci oleh Spike..

Steve duduk di dipannya. “Astaga, tempat apa ini,” ujarnya.

“Kau akan terbiasa,” ujar Spike dalam nada ringan, lalu pergi.

Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah kotak dari


styrvfoam. “Aku masih punya sisa makan malam,” ujarnya. “Ayam goreng.
Mau?”

Steve menatap kotak itu, berpaling ke arah kloset yang terbuka, kemudian
menggeleng. “Tapi trims,” ujarnya “Rasanya aku tidak lapar.”

150

BAB 10

Berrington memesan sampanye. Jeannie sebetulnya ingin sekali menikmati


segelas Stolichnaya dengan es batu, setelah melewati hari yang amat berat
baginya, namun minum liquor berkadar alkohol setinggi itu tidak akan
meninggalkan kesan baik di mata atasannya. Karenanya ia memutuskan untuk
menahan keinginannya itu.

Sampanye berarti suasana romantis. Pada kesempatan-kesempatan sebelumnya,


saat mereka bertemu untuk memenuhi etika pergaulan. Berrington lebih
menampilkan sikap simpatik daripada ingin melakukan pendekatan. Apakah ia
sedang melakukan penjajakan sekarang? Pikiran itu membuat Jeannie merasa
resah. Ia belum pernah bertemu dengan laki-laki yang dapat menerima
penolakan secara sportif. Dan laki-laki ini adalah atasannya.

la juga belum menceritakan apa-apa mengenai Steve kepadanya. Ia sudah berniat


melakukan itu beberapa kali selama mereka makan, tapi entah kenapa selalu ada
yang menahannya. Andai kata. betul-betul di luar perhitungannya, Steve ternyata
seorang kriminal, teorinya akan tampak labil. Tapi ia memang kurang suka
meneruskan berita-berita yang kurang baik. Sebelum terbukti, ia tak ingin
menciptakan suasana ragu. Dan ia merasa

151

yakin bahwa pada akhirnya akan terbukti telah terjadi kekeliruan.

Ia sudah berbicara dengan Lisa. “Mereka baru saja menahan si Brad Pitt!”
ujarnya tadi. Lisa merasa ngeri membayangkan laki-laki itu telah menghabiskan
seluruh harinya di Nut House, tempatnya bekerja, dan bahwa Jeannie hampir
saja mengajaknya masuk ke dalam rumahnya. Jeannie juga sudah menegaskan
padanya bahwa ia yakin Steve bukanlah pelakunya Kemudian ia menyadari
bahwa seharusnya ia tidak menelepon Lisa; itu bisa ditafsirkan sebagai tindakan
mempengaruhi seorang saksi. Lisa akan melihat sebarisan anak muda kulit putih,
dan kemungkinan ia akan melihat laki-laki yang memerkosanya itu, atau ia tidak
melihatnya Ia tidak akan membuat kekeliruan dalam hal seperti ini.

Jeannie juga sudah berbicara dengan ibunya. Patty ada bersamanya hari itu,
dengan ketiga putranya, dan Mom dengan antusias menceritakan kepadanya
bagaimana anak-anak itu berlarian di sepanjang lorong rumah perawatan itu.
Untunglah, rupanya ia tidak ingat bahwa baru kemarin ia dipindahkan ke Belia
Vista. Ia berbicara seakan ia sudah tinggal di sana selama bertahun-tahun, dan ia
mencela Jeannie karena tidak mengunjunginya lebih sering. Setelah
perbincangan itu, Jeannie merasa lebih enak sedikit mengenai keadaan ibunya.

“Bagaimana ikannya?” tanya Berrington, memotong lanturan pikirannya

“Enak. Rasanya halus sekali.”

Berrington mengusap alisnya dengan ujung jari telunjuk kanannya Entah kenapa,
Jeannie menganggap gerakan itu sebagai suatu cara untuk mengekspresikan
kesuksesannya “Sekarang aku akan mengajukan suatu pertanyaan kepadamu,
dan kau -harus menjawab sejujurnya” Laki-laki itu tersenyum, supaya Jeannie
tidak terlalu serius menanggapinya
“Oke.”

152

“Kau suka hidangan pencuci mulut?”

“Ya Masa Anda menganggap aku tipe wanita yang akan berbasa-basi mengenai
hal seperti itu.”

Berrington menggeleng-gelengkan kepala “Aku kira kau bukan tipe yang suka
berbasa-basi mengenai banyak hal.”

“Terlalu banyak hal malah. Mereka mengatakan aku terlalu blak-blakan.”

“Jadi, itulah kekuranganmu?”

“Sebetulnya aku bisa memperbaiki, itu. Apa yang Anda anggap sebagai
kekurangan Anda?”

Tanpa berpikir dua kali, Berrington menjawab, “Jatuh cinta.”

“Itu suatu kekurangan’?”

“Kalau terlalu sering terjadi.”

“Atau pada lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, kukira.”

“Mungkin ada baiknya kalau aku menyurati Lorraine Logan untuk meminta
advisnya.”

Jeannie tertawa, namun ia tak ingin topik percakapan mereka beralih ke Steven.
“Siapa pelukis favorit Anda?” tanyanya

“Coba kautebak.”

Berrington adalah seorang patriot sejati, jadi*tentunya ia seorang laki-laki yang


sentimental. “Norman Rockwell?”

“Sama sekali tidak!” Tampangnya betul-betul mengekspresikan rasa tak


sukanya. “Dia ilustrator yang vulgar! Tidak, kalau aku mampu mengoleksi
lukisan, aku akan membeli karya-karya Impresionis Amerika. Lukisan
pemandangan alam musim dingin John Henry Twacht-man. Aku ingin sekali
memiliki The White Bridge. Kalau kau?”

“Sekarang giliran Anda untuk menebak.”

Berrington memusatkan pikirannya untuk sesaat. “Joan Miro.”

153

“Kenapa?”

“Kukira kau suka semburat warna-warna yang berani.”

Jeannie mengangguk. “Dapat diterima. Tapi tidak betul-betul mengena. Miro


terlalu abstrak. Aku lebih suka karya Mondrian.”

“Ah, tentu. Garis-garis lurus.” “Tepat. Anda hebat sekali dalam hal ini.”
Berrington angkat bahu. Terpintas dalam diri Jeannie bahwa ia sering main
tebak-tebakan seperti ini dengan banyak wanita lain.

Jeannie mencelupkan sendokuya ke dalam sorbet mangga. Jelas ini bukan acara
makan malam untuk urusan pekerjaan. Sebentar lagi ia harus mengambil
keputusan tegas mengenai arah hubungannya dengan Berrington sesudah ini.

Sudah satu setengah tahun lamanya ia tidak berciuman dengan laki-laki. Sejak
Will Temple meninggalkan dirinya, ia bahkan tidak pernah berkencan dengan
siapa pun, sampai hari ini. Ia tidak berniat untuk terus berkabung demi Will; ia
tidak mencintai laki-laki itu Tapi ia akan berhati-hati.

Namun ia bisa edan kalau harus terus hidup seperti biarawatf. la merindukan
sosok seseorang yang berbulu untuk menemaninya di tempat tidur; ia
merindukan aroma maskulin yang mengingatkannya akan minyak sepeda, baju
kaus penuh keringat, dan minuman wiski— dan terlebih lagi, ia amat
merindukan seks. Saat kaum feminis radikal menyatakan bahwa penis adalah
musuh, Jeannie ingin menjawab. Omongmu saja begitu.

la melirik ke arah Berrington yang sedang menikmati hidangan apel yang


dimasak dengan karamel, la menyukai laki-laki ini, meskipun pandangan
politikuya tidak ia hargai. Berrington seorang laki-laki cerdas— Jeannie
menyukai laki-laki yang cerdas—dan ia selalu memperoleh apa yang
diinginkannya Jeannie menaruh

154

respek atas keberhasilannya dalam bidang ilmu. Postur tubuhnya langsing dan
tampangnya selalu bugar, sepertinya ia seorang kekasih yang amat
berpengalaman dan terampil, dan matanya yang biru menyenangkan untuk
dipandang.

Namun ia sedikit terlalu tua. Jeannie menyukai laki-laki yang lebih malang, tapi
tidak setua itu.

Bagaimana cara menolaknya tanpa menghancurkan kariernya? Cara terbaik


mungkin dengan berpura-pura menafsirkan perhatiannya sebagai sikap ramah
dan keba-pakan. Dengan demikian, ia tidak akan secara langsung menyinggung
perasaannya.

Jeannie mencicipi sampanyenya. Si pelayan terus mengisi gelasnya dengan


rajirt. sehingga ia tidak tahu lagi sudah berapa banyak ia minum. Untung ia tidak
usah duduk di belakang kemudi.

Mereka mulai memesan kopi. Jeannie meminta secangkir double espresso untuk
menetralisir rasa ringan di kepalanya. Setelah Berrington membayar bonnya
mereka turun dengan lift ke tempat parkir, lalu menaiki mobil Lincoln Town Car
Berrington yang berwarna keperakan.

Berrington mengemudikan mobilnya menelusuri tepi pelahuhan, kemudian


memasuki Jones Falls Expressway. “Itu penjara pusat,” ujarnya sambil menunjuk
ke sebuah bangunan mirip benteng yang menempati sebuah blok. “Para bajingan
di muka bumi ini mendekam di sana.”

Steve mungkin di sana, ujar Jeannie dalam hati.

Bisa-bisanya ia mempertimbangkan untuk tidur dengan Berrington. la sama


sekali tidak merasakan sedikit pun kehangatan untuknya Ia merasa malu bahwa
ide itu sampai terlintas dalam dirinya. Saat Berrington menghentikan mobilnya
di tepi jalan di muka rumahnya, j . dengan tegas ia berkata, “Oke, Berry, terima
kasih untuk malam yang menyenangkan ini.” Apakah laki-laki itu
akan mengulurkan tangannya, tanyanya dalam hati, ataukah ia akan mencoba
menciumnya? Kalau Berrington mencoba menciumnya, Jeannie akan
menyodorkan pipinya.

Namun Berrington tidak melakukan keduanya. “Pesawat telepon di rumahku


sedang rusak, dan aku harus menelepon seseorang sebelum tidur.” ujarnya.
“Boleh kupinjam teleponmu?”

Jeannie tidak dapat mengatakan, Nggak bisa, mampirlah di kios telepon umum.
Rupanya ia bakal harus berusaha mengatasi pendekatan yang tidak
menggunakan banyak basa-basi lagi. ‘Tentu,” jawab Jeannie, sambil berusaha
menahan helaan napasnya. “Yuk.” Ia mempertanyakan dirinya apakah ia bisa
menghindar dari kewajiban untuk menawarkan kopi kepadanya.

Jeannie melompat keluar dari mobil itu lalu memimpin jalannya dengan
melintasi deretan emper. Pintu mukanya membuka ke sebuah ruangan lobi kecil
dengan dua pintu lagi. Yang satu menuju apartemen lantai bawah, yang
ditempati oleh Mr. Oliver, seorang petugas pelabuhan yang sudah pensiun. Yang
lain, pintu Jeannie, membuka ke sebuah tangga yang menuju apartemennya yang
terletak di lantai kedua.

Jeannie mengerutkan alisnya, seakan bingung. Ternyata pintunya sudah dalam


keadaan terbuka.

la masuk ke dalam, lalu memimpin jalan menuju ke atas. Sebuah lampu menyala
di sana. Aneh sekali: ia pergi tadi, sebelum hari gelap.

Tangga itu langsung menuju ruang dudukuya. la melangkah ke dalam, lalu


menjerit.

Laki-laki itu sedang berdiri di muka lemari esnya dengan sebuah botol vodka di
tangan. Tampangnya kotor dan wajahnya belum dicukur. Rupanya ia sedikit
mabuk.

Di belakangnya, Berrington berkata, “Ada apa?”

“Kau butuh sistem pengamanan yang lebih baik, Jeannie,” ujar tamu yang tidak
diundang itu. “Aku

156
berhasil membuka kuncimu dalam waktu sekitar sepuluh detik.”

Berrington bertanya, “Siapa dia?” Dalam nada masih terguncang. Jeannie


berkata, “Kapan Daddy keluar dari penjara?”

di-scan dandi-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.ee) oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa hidup anda selamanya.

157

BAB 11

Ruangan tempat para tersangka dibariskan terletak di lantai yang sama seperti
sel-sel tempat mereka ditahan.

Di dalam ruang tunggunya terdapat enam laki-laki lain yang berusia serta
memiliki postur tubuh hampir sama dengan Si£££. Menurut tebakan Steve,
mereka adalah para anggota dinas kepolisian. Mereka tidak mengatakan apa-apa
kepadanya serta menghindari tatapan matanya Mereka memperlakukannya
seakan ia seorang penjahat. Ia ingin berkata, “Hei, aku di pihak kalian, aku
bukan pemerkosa, aku tidak bersalah.

Mereka semua harus melepaskan arloji dan pernak-pernik mereka, dan


mengenakan setelan dari bahan kertas berwarna putih di atas pakaian mereka.
Sementara mereka menyiapkan diri, seorang anak muda dalam setelan jas
masuk, lalu berkata, “Siapa di antara kalian yang dianggap sebagai tersangka?”

“Aku,” jawab Steve.

“Aku Lew Tanner, pembela,” ujar laki-laki itu. “Aku kemari untuk memastikan
prosedur ini berlangsung sebagaimana mestinya. Apa yang ingin Anda
tanyakan?”

“Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan aku dari sini setelah
ini?” ujar Steve.

158

“Andai kata Anda tidak ditunjuk nanti, kira-kira beberapa jam.”


“Beberapa jam!” ulang Steve dalam nada protes. “Jadi, aku harus kembali ke
dalam sel sialan itu?” “Aku khawatir begitu.” “Ya ampun.”

“Aku akan minta mereka untuk lebih mempercepat prosesnya,” ujar Lew. “Ada
lagi?” “Tidak, trims.”

“Oke.” Lew meninggalkan tempat itu.

Seorang petugas menggiring ketujuh laki-laki itu melalui sebuah pintu yang
terletak di alas sebuah panggung. Di latar belakangnya terdapat sebuah skala
yang akan menunjukkan ketinggian mereka, serta posisi mereka yang ditandai
dengan nomor satu sampai sepuluh Sebuah lampu terang disorotkan ke arah
mereka, dan sebuah layar memisahkan panggung itu dari bagian lain ruangan.
Mereka tidak dapat melihat melalui layar itu, tapi mereka dapat mendengar apa
yang sedang berlangsung di baliknya.

Untuk sesaat tidak terdengar apa-apa selain suara langkah kaki dan sekali-sekali
gumaman rendah, semuanya maskulin. Kemudian Steve mendengar suara yang
tak mungkin tidak adalah suara langkah kaki seorang wanita. Tak berapa lama
kemudian terdengar suara seorang laki-laki, nadanya seperti sedang membaca
dari sebuah kartu, atau mengulangi sesuatu yang dihafalnya.

“Di hadapan Anda berdiri tujuh orang. Mereka hanya akan Anda kenali
berdasarkan nomor. Kalau di antara orang-orang ini ada yang pernah melakukan
sesuatu atas diri Anda, atau di saat Anda hadir, aku ingin Anda menyebutkan
nomor orang ini, hanya nomornya Kalau Anda ingin salah satu di antara mereka
mengatakan, atau mengucapkan kalimat tertentu, kami akan menyuruhnya
melakukan itu. Kalau Anda ingin mereka memutar tubuh atau menghadap ke
samping, mereka

159

akan melakukannya secara serentak. Apakah Anda mengenali salah satu di


antara mereka sebagai orang yang pernah melakukan sesuatu atas diri Anda atau
di saat Anda hadir?”

Suasana hening. Steve merasa saraf-sarafnya setegang tali gitar, meskipun ia


yakin wanita itu tidak akan menunjuk dirinya.

Kemudian terdengar suara rendah seorang wanita, “Dia memakai topi.”


Nadanya seperti seorang wanita kelas menengah yang terdidik dan kira-kira
sebaya dengannya.

Suara seorang laki-laki berkata, “Kami punya topi-topi. Anda mau mereka
semua memakai topi?”

“Sebetulnya lebih mirip pet. Pet baseball.”

Steve menangkap nada waswas dan tegang dalam suaranya, tapi juga
kemantapan. Sama sekali tanpa kesan mengada-ngada. Sepertinya ia tipe wanita
yang akan bicara apa adanya, bahkan dalam keadaan amat terpukul. Steve
merasa lebih enak.

“Dave, coba kauperiksa apakah kita mempunyai tujuh pet baseball di dalam
lemari itu.”

Selama beberapa menit tidak terdengar apa-apa. Steve mulai mengenakkan gigi,
menahan sabar. Sebuah suara bergumam. “Wauw, tak pernah kusangka kita
punya ini semua… kacamata, kumis…”

“Jangan melantur, Dave,” ujar laki-laki yang pertama. “Ini prosedur resmi.”

Akhirnya seorang detektif muncul di panggung, dari arah samping, untuk


membagi-bagikan pet baseball kepada ketujuh laki-laki yang berdiri di dalam
barisan itu. Mereka semua mengenakannya, kemudian si detektif berlalu.

Dari sisi lain layar itu terdengar suara isakan seorang wanita.

Laki-laki itu mengulang kembali kalimat-kalimat yang ia ucapkan sebelumnya.


“Apakah Anda mengenali salah

160

satu di antara mereka sebagai orang yang pernah melakukan sesuatu atas diri
Anda atau di saat Anda hadir? Kalau memang begitu, sebutkanlah nomornya,
hanya nomornya.”

“Nomor empat,” ujar wanita itu dengan terisak. Steve berpaling untuk melihat ke
latar belakang. Ternyata ia nomor empat.
“Tidak!” jeritnya. “Itu tak mungkin! Bukan aku pelakunya!”

Suara laki-laki itu berkata, “Nomor empat. Anda dengar itu?”

“Tentu saja aku dengar, tapi bukan aku yang melakukannya!”

Keenam laki-laki lain dalam barisan n u sudah mulai meninggalkan panggung.

“Demi Tuhan!” Steve menatap ke arah layar dengan lengan terentang, seakan
memohon sesuatu. “Kenapa Anda bisa menunjukku? Aku bahkan tidak tahu
bagaimana tampang Anda!”

Suara laki-laki dari sisi lain layar itu berkata. “Jangan bilang apa-apa, Miss.
Terima kasih atas kerja sama Anda. Silakan lewat sini.”

“Ada kekeliruan di sini, tidakkah Anda mengerti?” teriak Steve.

Si petugas bernama Spike muncul. “Sudah selesai. Bung, ayo,” ujarnya.

Steve menatapnya. Sesaat ia merasa terdorong untuk menghantam deretan gigi


laki-laki bertubuh kecil ini sampai melesak.

Spike melihat apa yang terpancar di mata Steve. Ekspresi wajahnya berubah
menjadi keras. “Sebaiknya jangan cari masalah sekarang. Kau tidak bisa ke
mana-mana lagi.” Ia mencengkeram lengan Steve kuat-kuat. Tak ada gunanya
lagi protes.

Steve merasa seperti dihantam dari belakang. Entah dari mana persisnya.
Pundaknya langsung lungai dan ia

161

diliputi perasaan tak berdaya yang membuatnya amat frustrasi. “Kenapa ini bisa
sampai terjadi?” ujarnya. “Bagaimana ini bisa sampai terjadi?”

162

BAB 12

Berrington berkata, “Daddy?” Jeannie serasa ingin menelan kembali ucapannya.


Benar-benar konyol mengatakan: Kapan Daddy keluar dari penjara? Baru
beberapa menit yang lalu Berrington mendeskripsikan mereka yang mendekam
di penjara kota sebagai bajingan muka bumi ini.

Jeannie betul-betul merasa tidak keruan. Sudah cukup gawat andai kata
atasannya sampai tahu bahwa ayahnya seorang maling profesional. Tapi bertemu
dengannya secara pribadi bahkan lebih gawat lagi. Wajahnya tampak memar
bekas jatuh atau entah apa, sementara cambangnya sepertinya sudah beberapa
hari tidak dicukur. Pakaiannya kotor dan dari tubuhnya menebar bau yang tidak
menyenangkan. Ia merasa begitu malu, sehingga tidak dapat membalas tatapan
Berrington.

Pernah ada suatu masa, bertahun-tahun yang lalu, ketika ia tidak merasa malu
akan ayahnya. Malah sebaliknya; ayahnya membuat ayah gadis-gadis kecil lain
berkesan membosankan. Ayahnya masih tampan ketika itu dan lucu, dan ia akan
pulang dalam setelan jas yang baru dan saku saku penuh uang. Kemudian akan
ada bioskop, gaun-gaun baru, dan es krim Mom akan membeli sebuah gaun
malam yang cantik dan mulai berdiet. Tapi sesudahnya ayahnya akan pergi lagi,
dan

setelah menginjak usia sekitar sembilan tahun, Jeannie akhirnya mengerti


sebabnya. ‘I am my Fontaine-lah yang mengungkapkan itu kepadanya. Ia tidak
akan pernah melupakan percekcokan itu. ‘ “Bajumu jelek,” ujar Tammy ketika
itu.

“Hidungmu jelek,” sahut Jeannie dengan cepat, sementara anak-anak lain mulai
mengerumuni mereka.

“Pakaian-pakaian yang dibelikan ibumu benar-benar menakutkan.”

“Ibumu gendut.”

“Ayahmu di penjara.”

“Tidak.”

“Iya.”

“TIDAK!”

“Aku dengar sendiri daddy-ku mengatakan begitu pada Mommy. Dia sedang
membaca koran. Sepertinya si Pete Ferrami masuk penjara lagi, katanya.”

“Bohong, bohong, dasar tukang bohong,” lantun Jeannie ketika itu, namun jauh
di dalam hatinya ia mempercayai ucapan Tammy. Segalanya menjadi lebih jelas:
mereka tiba-tiba kaya, kemudian tiba-tiba ayahnya menghilang, untuk waktu
lama.

Sejak itu ia tak pernah melibatkan diri dalam percekcokan dengan teman-teman
sekolahnya. Siapa pun dapat membungkamnya dengan menyebutkan nama
ayahnya. Dalam usia sembilan tahun, ia sudah merasa tercemar seumur hidup.
Kalau ada sesuatu yang hilang di sekolah, ia akan merasa mereka semua
menatapnya dengan pandangan menuduh. Ia tidak bisa merasa terbebas dari
perasaan bersalah. Kalau ada seseorang yang memeriksa isi dompetnya, lalu
berkata, “Sial, kukira aku masih punya sepuluh dolar,” wajah Jeannie akan
segera merona merah. Kemudian obsesinya adalah berlaku sejujur mungkin: ia
akan menempuh jarak satu mil dengan berjalan kaki hanya untuk
mengembalikan sebuah bolpoin murahan, karena takut kalau ia menyim-164

pannya si pemilik akan mengatakan ia maling, persis seperti ayahnya.

Kini, di sinilah ayahnya, berdiri persis di hadapan atasannya, dalam keadaan


kotor, belum bercukur, dan sepertinya bokek. “Ini Profesor Berrington Jones,”
ujar Jeannie. “Berry, perkenalkan ayahku, Pete Ferrami.”

Berrington ternyata cukup simpatik, la menjabat tangan Daddy. “Senang


berkenalan dengan Anda, Mr. Ferrami,” ujarnya. “Putri Anda betul-betul seorang
wanita yang istimewa.”

“Yang benar,” sahut Daddy sambil tersenyum bangga.

“‘Yah, Berry, kini kau mengetahui rahasia keluargaku,” ujar Jeannie dalam nada
sendu. “Daddy dijebloskan ke penjara, untuk ketiga kalinya, pada hari aku
diwisuda summa cum laude di Princeton. Dia mendekam di sana selama delapan
tahun terakhir ini.”

“Mestinya lima belas tahun,” ujar Daddy. “Kami menggunakan senjata ketika
itu.”

“Trims untuk informasi itu. Dad. Atasanku pasti amat terkesan.”


Daddy rupanya tersinggung, sekaligus tercengang. Jeannie merasa kasihan
padanya, meskipun hatinya kesal. Kelemahan ayahnya bukan hanya melukai
dirinya sen-” diri, tapi juga keluarganya. Ia benar-benar merupakan unsur
kegagalan alam. Sistem menakjubkan yang mereproduksi umat manusia—
mekanisme yang amat kompleks dari DNA yang sedang dipelajari Jeannie—
diprogram untuk membuat setiap individu sedikit berbeda satu sama lain. Seperti
sebuah mesin fotokopi dengan kesalahan yang memang sudah dari sananya.
Kadang-kadang hasilnya baik: seorang Einstein, seorang Louis Armstrong,
seorang Andrew Carnegie. Tapi kadang-kadang yang muncul adalah seorang
Pete Ferrami

Jeannie harus berusaha mengusir Berrington secepatnya. “Kalau kau masih ingin
menelepon, Berry, kau bisa memakai pesawat yang ada di kamar tidur.”

165

“Ehm, bisa ditunda sebetulnya ujar Berrington.

Untunglah. “Kalau begitu, terima kasih untuk malam yang menyenangkan ini.”
Jeannie mengulurkan tangannya.

“Aku juga senang. Selamat malam.” Dengan rikuh ia menerima uluran tangan
Jeannie, lalu meninggalkan ruangan itu.

Jeannie berpaling ke arah ayahnya- “Apa yang terjadi?”

“Aku mendapat keringanan karena berkelakuan baik. Aku bebas sekarang. Dan
tentunya yang pertama-tama ingin kutemui adalah gadis kecilku.”

“Persis setelah Daddy bermabuk-mabukan selama tiga hari.” Ketidaktulusannya


begitu mudah terbaca, sehingga betul-betul tidak lucu lagi. Jeannie merasa
kemarahan yang sudah tidak asing itu mulai menggerayangi dirinya. Kenapa ia
tidak bisa mempunyai seorang ayah seperti yang dimiliki orang-orang lain?

Ayahnya berkata, “Ayolah, jangan begitu.”

Rasa marahnya digantikan oleh perasaan sedih. Belum pernah ia merasa


memiliki seorang ayah dalam arti sesungguhnya, dan ia tidak akan pernah.
“Berikan botol itu padaku,” ujarnya. “Aku akan membuat kopi.”
Dengan enggan si ayah menyerahkan botol vodkanya, yang kemudian ia
kembalikan ke tempatnya di lemari es. la mengisi air ke dalam mesin pembuat
kopi, lalu menyalakannya.

“Kau jadi lebih tua,” ujar si ayah. “Aku melihat sedikit uban di rambutmu.”

“Wah, trims.” Jeannie mengeluarkan dua buah cangkir, susu, dan gula.

”Ibumu masih muda ketika mulai ubanan.”

“Aku selalu mengira itu gara-gara ulah Daddy.”

“Aku sudah ke rumahnya,” ujar ayahnya dalam nada sedikit tersinggung. “Dia
tidak tinggal di situ lagi rupanya.”

166

“Dia tinggal di Belia Vista sekarang.”

“Itu yang dikatakan tetangganya. Mrs. Mendoza. Dia yang memberikan


alamatmu padaku. Aku kurang suka membayangkan ibumu di tempat seperti
itu.”

Kalau begitu, keluarkan dia dari sana!” ujar Jeannie dengan sengit. “‘Biar
bagaimanapun, dia masih istri Daddy. Usahakan mencari pekerjaan, apartemen
yang layak, dan mulailah merawat Mom.”

“Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu. Aku tidak pernah bisa melakukannya.”

“Kalau begitu, jangan mencela aku karena tidak melakukannya.”

Nada suara si ayah melemah. “Aku sama sekali tidak mencelamu. Manis. Aku
cuma bilang bahwa aku kurang suka membayangkan ibumu di tempat seperti itu,
hanya itu.”

“Aku juga tidak suka, demikian pula Patty. Kami akan mencoba mengumpulkan
uang untuk mengeluarkannya dari situ.’* Tiba-tiba Jeannie menjadi emosional.
Ia berusaha menahan air matanya. “Dasar Daddy, situasinya sudah cukup berat
tanpa komentar seperti itu.”
“Oke, oke,” ujar ayahnya.

Jeannie menelan ludahnya. Aku tidak boleh membiarkannya merongrongku


seperti ini. Ia mengubah topik pembicaraan mereka. “Apa yang akan Daddy
lakukan sekarang? Apa sudah punya rencana?”

“Aku akan lihat-lihat dulu.”

Maksudnya ia akan melihat-lihat dulu, tempat mana yang akan dibobolnya.


Jeannie tidak mengomentarinya. Ayahnya seorang maling, dan ia tidak akan
dapat mengubahnya.

Ayahnya mendeham. “Mungkin kau bisa pinjamkan aku beberapa dolar sebagai
modal.”

Permintaan itn membuat Jeannie marah lagi. “Coba dengar, Dad,’* ujarnya
dalam nada tegang. “Aku minta Daddy mandi dan bercukur, sementara pakaian
Daddy

akan kumasukkan ke dalam mesin cuci. Kalau Daddy berjanji untuk tidak
menyentuh botol vodka itu, aku akan membuatkan telur dan roti panggang.
Daddy boleh pinjam piama dariku dan tidur di sofaku. Tapi aku tidak akan
memberikan uang sedikit pun pada Daddy. Aku sedang berusaha mati-matian
mengumpulkan uang agar Mom bisa tinggal di tempat yang memperlakukannya
dengan lebih manusiawi, jadi aku tidak punya apa-apa lagi untuk kusisihkan.”

“Oke, Manis,” sahut ayahnya sambil memasang tampang sendu. “Aku


mengerti.”

Jeannie menatapnya. Akhirnya, setelah kemelut antara rasa malu, marah, dan
kasihan di dalam dirinya mereda, yang masih tinggal adalah rasa rindn. Andai
kata ayahnya dapat mengurus dirinya sendiri, bisa tinggal di suatu tempat lebih
dari beberapa minggu, bisa memiliki pekerjaan yang normal, mampu
mencurahkan cintanya, mampu memberikan dorongan dan lebih stabil. Ia
merindukan seorang ayah yang bisa berlaku seperti seorang ayah. Tapi ia tahu
bahwa harapannya tidak akan pernah’ bisa terpenuhi. Di dalam • hatinya ada
tempat untuk seorang ayah, tapi tempat itu akan kosong selamanya.

Pesawat teleponnya berdering.


Jeannie menjawabnya. “Halo.”

Ternyata dari Lisa. Nadanya amat emosional. “Jeannie, ternyata dia!” “Siapa?
Apa?”

“Laki-laki yang mereka tahan sewaktu bersamamu itu. Aku menunjuknya tadi.
Dialah yang memerkosaku. Steven Logan.”

“Dia pelakunya?” tanya Jeannie dalam nada tak percaya. “Kau yakin?”

“Seyakin-yakinnya, Jeannie,” ujar Lisa. “Ya Tuhan, betul-betul menakutkan


melihat wajahnya lagi* Pada awalnya aku tidak bilang apa-apa, karena
tampangnya begitu lain tanpa topi. Kemudian detektifnya menyuruh

mereka semua memakai topi pet baseball, bam kemudian aku betul-betul yakin.”

“Lisa, tak mungkin dia pelakunya,” ujar Jeannie.

“Apa maksudmu?”

“Hasil tesnya tidak menyatakan itu. Dan aku sudah menghabiskan waktuku
bersamanya. Perasaanku mengatakan dia bukan seorang pemerkosa.”

“Tapi aku mengenalinya” ujar Lisa dalam nada tersinggung.

“Aneh sekali. Aku tidak mengerti.”

“Tidak sesuai dengan teorimu, kan? Kau ingin kembaran yang satu baik dan
yang lain jahat.”

“Ya. Tapi satu penyimpangan bukan berarti teori itu salah.”

“Aku minta maaf kalau kau merasa kelanggengan proyekmu terancam oleh
kejadian ini.”

“Itu bukan alasanku menyatakan dia bukan si pemerkosa.” Jeannie menghela


napas. “Yah, mungkin aku keliru. Aku tidak tahu lagi. Kau di mana sekarang?”

“Di rumah.”

*‘Kau nggak apa-apa?”


“Aku nggak apa-apa, setelah dia mendekam dalam tahanan sekarang.”

“Kelihatannya dia begitu baik.”

“Justru tipenya yang paling berbahaya, menurut Mish. Yang kelihatannya normal
dari luar, justru yang paling lihai dan paling kejam, dan mereka amat suka
membuat kaum wanita menderita.”

“Ya Tuhan.”

“Aku mau tidur, aku capek sekali. Aku cuma mau mengabarimu. Bagaimana
malammu?”

“Begitu-begitu saja. Aku akan ceritakan padamu besok.”

“Aku masih mau ikut bersamamu ke Richmond.”

Menurut rencana, Jeannie akan mengajak Lisa untuk membantunya


mewawancarai Dennis Pinker. “Kau masih berniat?”

169

168 %

“Ya, aku betul-betul ingin meneruskan kehidupanku secara normal. Aku nggak
sakit, dan aku tidak membutuhkan istirahat untuk memulihkan diri.”

“Ada kemungkinan Dennis Pinker betul-betul mirip Steve Logan.”

“Altu tahu itu. Dan aku bisa mengatasinya.”

“Kalau kau merasa begitu yakin.”

“Aku akan meneleponmu pagi-pagi.”

“Oke. Selamat tidur.”

Jeannie mengempaskan tubuh di sofa. Apakah sikap simpatik Steven hanya


sekadar topeng? Ternyata penilaianku tentang karakter seseorang betul-betul
payah, ujar Jeannie pada dirinya Dan mungkin aku juga seorang ilmuwan yang
payah; mungkin semua pasangan kembar identik akan terbukti memiliki
kecenderungan identik untuk melakukan tindak kriminal. Jeannie menghela
napas.

Di sebelahnya duduk sosok yang mewariskan pada dirinya kecenderungan untuk


melakukan tindakan kriminal. “Profesor itu tampangnya oke, tapi sepertinya dia
lebih tua daripadaku!” komentar ayahnya. “Kau menjalin sesuatu dengannya,
atau apa?”

Jeannie mengernyitkan hidungnya. “Kamar mandinya di sebelah sana, Daddy,”


ujarnya.
V
170

BAB 13

Steve kembali berada di dalam mang interogasi yang berdinding kuning. Kedua
puntung rokok yang sama masih tergeletak di dalam asbaknya. Suasana ruangan
itu belum berubah, tidak seperti dirinya. Tiga jam yang lalu ia masih berstatus
seorang warga negara yang patuh hukum, sama sekali tidak pernah terlibat
dalam tindak kejahatan, kecuali mengemudikan mobil dengan kecepatan enam
puluh mil dalam zona batas kecepatan lima puluh lima mil. Kini ia seorang
pemerkosa, tertangkap, dikenali oleh korbannya, dan sekarang akan dituntut. Ia
sedang diproses dalam mesin peradilan, di atas ban berjalannya. Ia seorang
kriminal. Tak peduli berapa kali ia terus mengingatkan dirinya bahwa ia tidak
melakukan kesalahan apa-apa, ia tetap tak dapat menyisihkan perasaan tak
berharga dan tercemarnya.

Sebelumnya ia sudah bertemu dengan si detektif wanita, Sersan Delaware. Kini


muncul yang lain, seorang laki-laki, juga membawa sebuah map biru. Postur
tubuhnya setinggi Steve, tapi pundaknya lebih lebar dan bobotnya lebih berat,
dengan rambut merah keabuan dipotong pendek dan kumis kaku. la duduk, lalu
mengeluarkan sebungkus rokok. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia
mengetuk-ngetuk keluar sebatang rokok, menyalakannya, lalu menjatuhkan
batang korek apinya ke dalam

asbak. Sesudah itu ia membuka mapnya Di dalamnya terdapat sebuah formulir


lain. Yang ini berjudul:

PENGADILAN DISTRIK MARYLAND UNTUK………….

(Kota/Daerah)

Bagian atasnya dibagi dalam dua kolom yang masing-masing berjudul


PENGGUGAT dan TERGUGAT. Sedikit di bawahnya tercantum:
SURAT GUGATAN
Si detektif mulai mengisi formulirnya, masih tanpa mengeluarkan suara. Setelah
menulis beberapa patah kata, -ia mengangkat halaman putih teratas untuk
mengecek keempat lembaran copy di bawahnya, yang masing-masing berwarna
hijau, kuning, kemerahan, dan krem.

Dalam keadaan terbalik, Steve membaca bahwa nama si korban adalah Lisa
Margaret Hoxton. “Bagaimana tampangnya?” tanyanya.

Si detektif menatapnya. “Diam kau,” ujarnya. Ia menghirup asap rokoknya, lalu


meneruskan pekerjaannya.

Steve merasa dirinya diremehkan. Laki-laki itu memperlakukannya semaunya,


dan ia merasa tak berdaya untuk mengatasinya. Ini merupakan suatu tahap lagi
dalam proses untuk merendahkan harga dirinya, untuk membuat ia merasa kecil
dan tak berdaya. Kurang ajar, umpatnya dalam hati. ayo kita bertemu di luar
gedung mi, taupa senjata sialanmu.

Si detektif mulai melengkapi isi formulir itu. la menulis tanggal pada hari
Minggu itu, kemudiair Gedung Olah Raga Jones Falls University, Balto., MD.
Di bawahnya ia menulis Tindakan Pemerkosaan, tingkat satu. Kemudian ia
menulis nama tempat dan tanggal itu lagi,

172

laki Tindak penyerangan dengan maksud untuk memerkosa.

Ia mengambil sehelai kertas lagi, lalu menambahkan dua tuntutan Tindakan


Kekerasan dan Tindakan Sodomi. “Sodomi?” tanya Steve dalam nada tak
percaya “Tutup mulutmu.”

Steve sudah mengambil ancang-ancang untuk mengayunkan tinjunya. Ini


kebangetan, ujarnya pada dirinya. Dia mau menerorku. Tapi kalau aku
mengayunkan tinju ke arahnya, dia akan punya alasan untuk memanggil tiga
orang lagi kemari untuk memegangiku, sementara dia menendangiku dengan
semena-mena. Jangan, jangan lakukan itu.
Setelah selesai menulis, si detektif membalik kedua lembaran itu dan
menyodorkannya pada Steve. “Posisimu betul-betul buruk, Steve. Kau sudah
menghajar, memerkosa, dan menyodomi seorang gadis….”

“Sama sekali tidak.”

“Tutup mulutmu.”

Steve menggigit bibirnya, sambil berusaha menahan diri.

“Kau brengsek. Kau bajingan. Orang baik-baik tidak akan mau berada satu
ruangan denganmu. Kau sudah menggebuki, memerkosa, dan menyodomi
seorang gadis. Aku tahu ini bukan yang pertama kali. Kau sudah beberapa lama
melakukan ini. Kau amat lihai, kau menyiapkan rencana, dan kau selalu berhasil
lolos dari cengkeraman hukum di masa lalu. Tapi kali ini kau tertangkap. Kau
sudah diidentifikasi korbanmu. Ada saksi-saksi lain yang melihatmu di sekitar
tempat kejadian peristiwa itu pada waktu itu. Dalam waktu sekitar satu jam atau
lebih, begitu Sersan Delaware menerima surat penggeledahan dan penahanan
dari petugas kehakiman yang sedang bertugas, kami akan membawamu ke
Mercy Hospital untuk melakukan tes darah dan menelusuri rambut genitalmu
untuk membuktikan bahwa

173

DNA-mu persis sama dengan yang kami temukan dari vagina korban.”

“Akan makan waktu berapa lama itu—tes DNA-nya?”

“Tutup mulut. Kau tertangkap sekarang, Steve. Kau* .tahu apa yang akan terjadi
atas dirimu?” Steve tidak menjawab.

“Hukuman untuk tindak pemerkosaan tingkat satu adalah dipenjara seumur


hidup. Kau bakal masuk penjara, dan kau tahu apa yang akan terjadi atas dirimu
di sana? Kau akan mencicipi sendiri, bagaimana rasanya mendapat perlakuan
seperti yang biasanya kaulakukan. Seorang anak muda bertampang keren seperti
kau? Jangan khawatir. Kau akan dihajar, diperkosa, dan disodomi. Kau akan tahu
bagaimana perasaan Lisa ketika itu. Hanya saja dalam kasusmu itu akan
berlangsung selama bertahun-tahun.”

Si detektif berhenti sebentar, memungut bungkus rokoknya untuk ia tawarkan


kepada Steve.

Dalam keadan tertegun, Steve menggeleng.

“Omong-omong, namaku Detektif Brian Allaston.” Ia menyalakan sebatang


rokok. “Sebenarnya aku tidak tahu untuk apa aku mengungkapkan ini padamu,
tapi ada suatu cara untuk meringankan situasimu.”

Steve mengerutkan alisnya, penuh rasa ingin tahu. Apa lagi sekarang?

Detektif Allaston berdiri, mengitari meja, lalu dudyk di salah satu ujungnya,
dengan satu kaki di lantai, di dekat Steve, la mendoyongkan tubuhnya ke muka.
lalu berbicara dalam nada lebih rendah. “Akan kujelaskan padamu. Tindak
pemerkosaan adalah persetubuhan melalui vagina, dengan menggunakan
paksaan atau ancaman dengan kekerasan, di luar kehendak atau tanpa
persepakatan dari pihak wanita. Untuk dapat dikategorikan menjadi tindak
pemerkosaan tingkat satu, masih harus ada suatu faktor yang memberatkan,
seperti tindak

174

penculikan, penganiayaan, atau pemerkosaan oleh dua 1 orang atau lebih.


Hukuman untuk tindak pemerkosaan .tingkat dua lebih ringan. Nah, kalau kau
bisa meyakinkanku bahwa yang kaulakukan cuma tingkat dua, situasinya akan
jauh lebih menguntungkan untuk diri-fcmu.”

Steve tidak memberikan tanggapan. “Kau mau ungkapkan padaku bagaimana


kejadiannya?”

Pada akhirnya Steve berkata, “Usil sekali.”

Allaston langsung bereaksi. Ia melompat turun dari meja, mencengkeram leher


kemeja Steve, menariknya berdiri dari kursinya, untuk kemudian ia hantamkan
pada dinding. Kepala Steve terentak ke belakang dan mengenai dinding dengan
mengeluarkan suara keras.

Tubuh Steve menegang. Ia mengepalkan tinjunya di .sampingnya. Jangan


lakukan itu, ujarnya pada dirinya, rjangan melawan. Ternyata itu tidak mudah.
Detektif I Allaston bertubuh berat dan tidak berada dalam kondisi prima. Steve
tahu bahwa ia dapat-menundukkan bajingan ini dalam sekejap. Tapi ia harus bisa
mengendalikan diri. Ia harus terus berpegang pada status tidak bersalahnya.
Kalau ia menghajar seorang petugas kepolisian, tak peduli apa pun alasannya, ia
akan dipersalahkan karena telah melakukan tindak kekerasan. Kalau itu terjadi,
runyamlah nasibnya. Rasa percaya dirinya akan goyah andai kata ia tidak
memiliki keyakinan bahwa ia berada di pihak yang benar untuk membesarkan
semangatnya. Karenanya ia hanya berdiri dengan tubuh tegang, gigi terkatup
rapat, sementara Allaston menariknya ke arahnya untuk kemudian dihantamkan
lagi ke dinding dua kali, tiga kali, empat kali.

“Jangan coba-coba ngomong begitu lagi, bangsat,” ujar Allaston.

Steve merasa kemarahannya mereda. Apa yang dilakukan Allaston bahkan tidak
terasa menyakitkan. Ini semua

175

cuma sebuah panggung sandiwara, ujarnya pada dirinya. Allaston sedang


memerankan bagiannya, dan memainkannya dengan buruk. Ia berperan sebagai
si keras dan Mish sebagai yang lembut. Sebentar lagi wanita itu akan masuk
untuk menawarkan kopi padanya dan berlaku seakan ia temannya. Namun
tujuannya tetap sama: membujuk Steve untuk mengakui bahwa ia telah
memerkosa seorang wanita yang belum pernah ia lihat, bernama Lisa Margaret
Hoxton. “‘Cukup. Detektif,” ujarnya. “Aku tahu kau memang tangguh, tapi
andai kata kita berada di tempat lain dan kau tidak memiliki senjata yang
kausandang di pinggang itu, aku bisa menghajarmu. Jadi, sebaiknya kita berhenti
berlaga sekarang.”

Allaston tampak tercengang. Jelas bahwa semula ia mengira Steve akan


ketakutan untuk membuka mulut, la melepaskan leher kemeja Steve, kemudian
melangkah ke arah pintu.

“‘Mereka bilang kau sok pintar.” ujarnya. “Oke, akan kuungkapkan padamu, apa
yang akan kulakukan untuk memberikan pelajaran padamu. Kau harus kembali
mendekam di dalam sel selama beberapa waktu, tapi kali ini kau bakal punya
teman. Sebagaimana kau tahu, keempat puluh satu sel yang ada di sini entah
karena apa tidak bisa dipakai, jadi kau terpaksa tinggal satu sel bersama seorang
laki-laki bernama Rupert Butcher, yang dikenal sebagai Porky. Kaupikir kau
jagoan, tapi dia lebih hebat darimu. Dia habis berpesta ganja selama tiga hari,
jadi kepalanya pusing sekarang. Tadi malam, sekitar waktu kau menyulut api di
gedung olahraga itu dan menodai Lisa Hoxton yang malang, Porky Butcher
menikam kekasihnya sampai mati dengan sebuah garpu kebun. Kalian akan
menikmati kebersamaan kalian Ayo.”

Steve mulai ketakutan. Seluruh keberaniannya tiba-tiba surut, seakan sebuah


sumbat baru saja dicabut; ia

176

merasa dirinya tak berdaya dan dikalahkan. Si detektif telah berhasil


mengecilkan dirinya, tanpa sungguh-sungguh mengancam untuk melukainya,
tapi semalaman bersama seorang gila betul-betul amat berbahaya. Sosok Butcher
ini sudah pernah melakukan tindak pembunuhan; andai kata ia memiliki
kemampuan untuk berpikir rasional, ia akan menyadari bahwa tidak akan banyak
pengaruhnya kalau ia melakukan kejahatan itu sekali lagi.

“Sebentar,” ujar Steve dalam suara bergetar. Allaston memutar tubuhnya tanpa
terburu-buru. “Ya?” “Kalau aku mengaku, aku akan mendapat sel sendiri?”

Kelegaan membayang di wajah si detektif. “Tentu,” ujarnya. Nadanya tiba-tiba


terdengar lebih ramah.

Perubahan nada itu membuat Steve digerayangi oleh perasaan kesal. “Tapi kalau
aku tidak memperolehnya, aku akan dibunuh oleh Porky Butcher.”

Allaston mengangkat tangannya dalam gerakan apa boleh buat.

Steve merasakan ketakutannya berubah menjadi kebencian. “Kalau begitu,


Detektif,” ujarnya, “pergilah ke neraka.”

Ekspresi tertegun membayang di wajah Allaston. “Kurang ajar,” ujarnya. “Kita


lihat apakah kau akan tetap begitu berani dalam waktu beberapa jam lagi. Ayo.”

Ia mendorong Steve ke arah lift, lalu menggiringnya ke arah blok yang terdiri
atas sel-sel. Spike masih di situ. “Taruh si sok tahu ini di sel si Porky,” ujar
Allaston padanya.

Spike mengangkat alisnya. “Sampai begitu gawatnya?”

“Ya. Dan omong-omong, Steve ini suka mengigau.” “O ya?”


“Kalau kau mendengar dia menjerit-jerit, jangan khawatir, paling-paling dia lagi
mimpi.”

177

“Aku ngerti maksudmu,” ujar Spike. Allaston berlalu, sementara Spike


membawa Steve ke selnya.

Porky sedang berbaring di dipannya. Tingginya hampir sama dengan Steve,


cuma ia lebih berat. Tampangnya seperti atlet bina raga yang baru saja mendapat
kecelakaan lalu lintas: baju kausnya yang penuh bercak darah menempel di
tubuhnya yang berotot. Ia sedang telentang, kepalanya menghadap ke arah
dinding belakang sel itu, kakinya menggelayut di bagian kaki dipan. Ia
membuka mata saat Spike memutar kunci pintunya agar Steve dapat masuk ke
dalam.

Pintu itu diempaskan oleh Spike, lalu dikunci kembali.

Porky membuka matanya, lalu melayangkan pandangannya ke arah Steve.

Steve membalas tatapannya sesaat.

“Selamat mimpi,” ujar Spike.

Porky menutup matanya kembali.

Steve duduk di lantai, dengan punggung menghadap ke tembok, sambil


mengawasi Porky.

178

BAB 14

Berrington J ones mengemudikan mobilnya perlahan-lahan, la merasa kecewa,


sekaligus lega. Seperti _ seseorang yang sedang diet dan terus berusaha menahan
godaan untuk menuju ke kedai es krim, lalu mendapati tempat itu sedang tutup,
ia diselamatkan dari sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia lakukan.

Ia tidak terlalu berhasil menangani masalah yang ditimbulkan Jeannie serta apa
yang mungkin terungkap gara-gara itu. Mungkin seharusnya ia lebih banyak
menggunakan waktunya untuk menginterogasinya daripada menikmati
kebersamaan mereka. Ia mengerutkan alisnya, seakan heran, saat memarkir
mobilnya di luar rumah, lalu masuk ke dalam.

Suasananya begitu hening: Marianne, pengurus rumah tangganya, tentunya


sudah tidur. Ia masuk ke ruang duduk untuk mengecek pesan-pesan di pesawat
penjawab teleponnya. Ternyata ada sebuah pesan.

“Profesor, aku Sersan Delaware dari Unit Tindak Kejahatan Seks yang
menghubungi Anda pada hari Senin malam. Aku amat menghargai kerja sama
Anda hari ini.” Berrington angkat bahu. Ia tidak berbuat banyak selain
mengkonfirmasi bahwa Lisa Hoxton bekerja - di Nut House. Kemudian wanita
itu berkata, “Mengingat Anda atasan Ms. Hoxton dan tindak pemerkosaan itu
terjadi di kampus, kukira ada baiknya ku sampaikan pada Anda bahwa kami
sudah berhasil menangkap si pelaku malam ini. Malah dia sudah menjadi subjek
di laboratorium Anda hari ini. Namanya Steven Logan.”

“Ya Tuhan!” ujar Berrington.”

* Si korban menunjuknya saat dia dibariskan, karena itu aku yakin tes DNA-nya
akan membuktikan bahwa memang dialah orangnya. Tolong teruskan informasi
ini kepada mereka-mereka di kampus yang Anda anggap perlu diberitahu.
Terima kasih.”

“Tidak!” ujar Berrington. Ia mengempaskan tubuhnya di sofa “Tidak,”


gumamnya lagi.

Kemudian ia mulai menangis.

Setelah beberapa saat, masih sambil menangis, ia berdiri untuk menutup pintu
ruangan kerjanya, karena khawatir pelayannya akan masuk. Sesudah itu ia
kembali ke meja tulisnya, lalu membenamkah kepala ke dalam tangannya

Ia tetap seperti itu selama beberapa waktu.

Ketika akhirnya air matanya mengering, ia meraih pesawat teleponnya. lalu


mulai memutar sebuah nomor yang ia hafal dengan baik.

“Mudah-mudahan jangan pesawat penjawab teleponnya,” ujarnya sambil


mendengarkan deringan di ujung lain.
Seorang anak muda menjawab. “Halo?” “Ini aku,” ujar Berrington. “Hei, apa
kabar?” “Payah.”

“Oh.” Nadanya berkesan bersalah.

Andai kata semula Berrington ragu, nada di dalam suara itu berhasil menghapus
keraguannya. “Kau tahu kenapa aku meneleponmu, bukan?”

“Kenapa?”

“Jangan main-main denganku. Aku sedang bicara

180

tentang peristiwa yang terjadi pada hari Minggu malam itu.”

Anak muda itu menghela napas. “Oke.”

“Kau ceroboh sekali. Kau pergi ke kampus, kan? K-kau…” Berrington


menyadari bahwa ia tidak boleh mengatakan terlalu banyak melalui pesawatnya.
“Kau melakukannya lagi.”

“M-maaf…”

“Maaf!”

“Dari mana Daddy tahu?”

“Mula-mula aku tidak mengira itu kau—kukira kau sudah pergi. Mereka
menangkap seseorang yang tampangnya mirip denganmu.”

“Wauw! Jadi, itu berarti aku…”

“Kau bebas.”

“Wauw. Melegakan sekali. Begini…” “Apa?”

“Daddy tidak akan membuka mulut, kan? Kepada polisi, atau entah siapa?”

“Tidak, aku tidak akan buka mulut,” ujar Bemngton dalam nada berat.
“Percayalah padaku.”
181
SELASA
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa hidup anda selamanya.

BAB 15

Suasana kota Richmond memiliki kesan pernah jaya, dan Jeannie menilai bahwa
keberadaan kedua orangtua Dennis Pinker di situ memang pas. Charlotte Pinker,
seorang wanita berambut merah dengan wajah berbintik-bintik dalam gaun sutra
yang mengeluarkan suara gemeresik, memiliki pembawaan seorang wanita
kalangan atas daerah Virginia, meskipun ia tinggal di sebuah rumah kecil di atas
sebuah lahan sempit. Ia mengaku berumur lima puluh lima tahun, namun Jeannie
memperkirakan usianya lebih dekat ke enam puluh. Suaminya, yang ia sebut
“Mayor”, kira-kira sebaya dengannya, namun penampilannya lebih tidak rapi
dan pembawaannya yang berkesan serba santai mengingatkan akan seseorang
yang sudah lama pensiun. Si suami mengedipkan matanya dengan nakal ke arah
Jeannie dan Lisa, lalu berkata, “Apa kalian mau minum koktail?”

Si istri memiliki aksen daerah Selatan yang halus, tapi suaranya terlalu keras,
seakan ia sedang berbicara di hadapan orang banyak. Ia berkata, “Astaga,
Mayor, ini kan baru pukul sepuluh pagi’

Si suami angkat bahu. “Aku cuma mau mencoba mencairkan suasana.”

“Ini kan bukan pesta. Nona-nona ini datang untuk

185

melakukan >tndi mengenai kita. Karena puira kita seorang pembunuh.”

Jeanriie menyadari bahwa wanita itu menyebut Dennis Pinker sebagai putra kita;
namun itu mungkin tidak berarti banyak. Bisa saja mereka mengadopsinya.
Jeannie benar-benar ingin tahu asal-usul Dermis Pinker. Andai kata pasangan
Pinker mau mengakui bahwa Dennis diadopsi, separuh dari teka-teki itu akan
terpecahkan. Namun ia harus berhati-hati. Ini pertanyaan sensitif. Kalau ia
terlalu terburu-buru, mungkin mereka akan berkelit Ia memaksa dirinya untuk
menunggu saat yang lebih tepat.

Jeannie juga ingin tahu tampang Dennis. Apakah ia memang kembaran Steven
Logan atau bukan? Dengan penuh harap ia melirik ke arah foto-foto di dalam
bingkai-bingkai murahan di sekitar ruang duduk itu. Semuanya rupanya diambil
bertahun-tahun yang lalu. Dennis kecil difoto dalam kereta bayinya, di atas
sepeda roda tiganya, dalam pakaian baseball, dan saat bersalaman dengan
Mickey Mouse di Disneyland. Tidak ada fotonya sebagai seorang laki-laki
dewasa. Jelas kedua orangtuanya lebih suka mengingatnya sebagai si bocah yang
belum berdosa, sebelum ia menjalani hukuman sebagai seorang pembunuh.
Akibatnya, Jeannie tidak dapat belajar apa-apa dari foto-foto itu. Bocah pirang
berusia dua belas tahun itu mungkin tampangnya persis seperti Steven Logan
sekarang, atau bisa juga tumbuh dewasa menjadi jelek, pendek, dan berkulit
gelap.

Baik Charlotte maupun si Mayor sudah mengisi beberapa lembar formulir


sebelumnya, dan sekarang mereka masih harus diwawancarai masing-masing
sekitar satu jam. Lisa mengajak si Mayor ke dapur, sementara Jeannie
mewawancarai Charlotte.

Jeannie merasa agak sulit memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan


rutin itu. Pikirannya terus melayang kepada Steve yang sedang berada di dalam
tahanan.

186

Masih sulit baginya untuk percaya bahwa anak muda itu seorang pemerkosa.
Alasannya bukan hanya karena itu akan mengacaukan teorinya sendiri. Jeannie
menyukai anak muda itu: ia begitu cerdas dan menarik, dan sepertinya baik. Ia
juga memiliki suatu Utik kelemahan: ketertegunan dan keprihatinannya saat
menerima kabar bahwa ia memiliki saudara kembar identik yang sakit jiwa telah
membual Jeannie ingin merangkulnya untuk menghiburnya

Ketika Jeannie menanyakan kepada Charlotte apakah ada di antara anggota


keluarganya yang lain yang pernah punya masalah dengan hukum, Charlotte
memandang Jeannie dengan tatapan menantang, lalu bergumam, “Kaum lelaki di
dalam keluargaku memang bisa dibilang menyukai kekerasan Ia mengeluarkan
dengusan lewat hidungnya. “Aku lahir sebagai seorang Marlowe dan kami
keluarga yang berdarah panas.”
Itu bisa berarti bahwa Dermis bukan anak angkat, atau bahwa status adopsinya
tidak diakui. Jeannie mencoba menutupi rasa kecewanya. Apakah mungkin
Charlotte akan menyangkal bahwa Dennis memiliki seorang saudara kembar?

Pertanyaan itu terpaksa harus diajukan. Jeannie berkata, “Mrs. Pinker, apakah
mungkin Dennis punya saudara kembar?”

‘Tidak.”

Jawabannya datar, tanpa nada marah, tanpa emosi, hanya apa adanya. “Anda
yakin?”

Charlotte tertawa. “Manisku, untuk satu hal itu, seorang ibu tak mungkin
membuai kesalahan!” “Dia bukan anak angkat.”

“Aku yang mengandung anak itu di dalam rahimku, semoga Tuhan mengampuni
aku.”

Hati Jeannie langsung menciut. Charlotte Pinker mempunyai potensi lebih besar
untuk tidak mengatakan yang

187

sebenarnya daripada Lorraine Logan, menurut penilaian Jeannie, namun pada


saat bersamaan, rasanya janggal dan meresahkan bahwa mereka berdua sama-
sama menyangkal fakta bahwa putra-putra mereka sebetulnya kembar.

Jeannie merasa pesimis saat minta diri pada pasangan Pinker. Perasaannya
mengatakan bahwa begitu bertemu dengan Dermis, ia akan mendapati laki-laki
itu sama sekali tidak mirip Steve.

Mobil Ford Aspire yang mereka sewa terparkir di luar. Cuaca hari itu panas.
Jeannie mengenakan gaun tanpa lengan dengan blazer untuk memberikan kesan
berwibawa. AC mobil Ford itu mengeluarkan suara deru, kemudian
mengembuskan kabut hangat. Ia melepaskan stocking-nya, lalu menggantungkan
blazernya pada kail pakaian di atas bangku belakang mobil itu.

Jeannie yang duduk di belakang kemudi. Saat mereka memasuki jalan raya,
menuju ke arah penjara, Lisa berkata, “Aku jadi tidak enak setelah kau
menganggapku menunjuk orang yang salah.”
“Aku juga.” sahut Jeannie. “Aku tahu kau tidak akan melakukan itu, kecuali kau
betul-betul yakin.”

“Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa aku keliru?”

“Aku sama sekali tidak yakin mengenai apa pun. Cuma perasaanku mengatakan
bahwa Steve Logan bukan pelakunya.”

“Kelihatannya kau harus menimbang-nimbang antara perasaan dan keyakinan si


saksi, lalu mempercayai keyakinan si saksi mata.”

“Aku tahu. Tapi apa kau pernah nonton film Alfred Hitchcock itu? Tayangannya
hitam-putih, dan pernah diputar ulang beberapa kali di televisi.”

“Aku tahu maksudmu. Yang kisahnya tentang empat orang yang menjadi saksi
mata sebuah kecelakaan lalu lintas, dan masing-masing melihat sesuatu dari
sudut yang berbeda.”

188

“Kau tersinggung?**

Lisa menghela napas. “Seharusnya iya, tapi aku terlalu menyukaimu untuk
marah-marah padamu mengenai itu.”

Jeannie meraih tangan Lisa, lalu meremasnya. “Trims.”

Suasana hening selama beberapa saat, kemudian Lisa berkata, “Aku benar-benar
nggak suka dianggap lemah.**

Jeannie mengerutkan alisnya. “Menurutku kau tidak lemah.”

“Tapi kebanyakan menganggapku lemah. Karena posturku kecil, hidungku kecil


dan lucu, dan aku punya bintik-bintik di wajahku.”

“Yah, tampangmu memang tidak tegar, itu betul.”

“Tapi aku tegar. Aku tinggal sendiri, aku mandiri, aku punya pekerjaan, dan
tidak seorang pun melecehkan aku. Setidaknya kukira begitu, sebelum hari
Minggu itu. Sekarang aku merasa anggapan orang-orang itu benar: ternyata aku
memang lemah. Aku sama sekali tidak bisa menjaga diriku sendiri! Orang
sinting mana pun yang sedang berkeliaran di jalan bisa menghadangku,
menghunuskan pisaunya ke wajahku, dan melakukan apa pun yang dia mau
dengan tubuhku dan meninggalkan spermanya di dalamnya.**

Jeannie menoleh ke arahnya. Wajah Lisa tampak pucat, penuh emosi. Jeannie
hanya bisa berharap bahwa dengan mengeluarkan isi hatinya seperti itu, Lisa
akan merasa lebih lega. “Kau tidak lemah.”

“Kau tegar,*’ ujar Lisa.

“Masalahku justru kebalikannya—orang cenderung menganggap aku tidak


sensitif. Karena tinggiku enam kaki, memakai cincin hidung, dan sikapku sok
asal. mereka mengira aku tak bisa disakiti.”

“Sikapmu nggak sok asal.”

“Aku tidak sensitif.”

“Siapa, bilang kau tidak sensitif? Aku tidak.” “Wanita yang mengelola Belia
Vista, tempat perawatan yang menampung ibuku. Dia mengatakan padaku.

189

secara blak-blakan, Ibumu tidak akan pernah mencapai usia enam puluh lima
tahun. Begitu saja. Aku tahu Anda akan lebih suka kalau aku langsung
mengatakan apa adanya, ujarnya. Aku kepingin mengatakan kepadanya bahwa
mentang-mentang aku memakai cincin di hidungku, bukan berani aku nggak
punya perasaan.”

“Mish Delaware mengatakan bahwa para pemerkosa sebetulnya bukan tertarik


kepada seksnya. Yang mereka nikmati adalah perasaan dominan atas si wanita,
di mana dia dapat mendominasinya, membuatnya ketakutan dan kesakitan. Dia
akan memilih seseorang yang tampangnya sepertinya mudah untuk dibikin
takut.”

“Siapa yang tidak bakal ketakutan?”

“Nyatanya dia tidak memilihmu. Kau bakal langsung menghajarnya.”


“Aku bakal menyukai kesempatan seperti itu.”

“Setidaknya kau akan memberikan perlawanan lebih hebat daripada yang sudah
kulakukan, dan kau nggak bakal kelihatan begitu tak berdaya dan ketakutan.
Karena itulah dia tidak memilihmu.”

Jeannie dapat melihat arah pembicaraan ini. “Lisa, mungkin yang kaukatakan itu
benar, tapi itu tidak berarti bahwa peristiwa pemerkosaan itu adalah
kesalahanmu, oke? Kau tidak bisa disalahkan, sedikit pun. Kau kebetulan
menjadi korban suatu tindak kejahatan beruntun: siapa pun bisa berada dalam
situasi yang sama.”

“Kau benar,” ujar Lisa.

Setelah menempuh jarak sejauh sepuluh mil dari kota, mereka memasuki suatu
kawasan yang ditandai dengan sebuah papan bertulisan “Lembaga
Pemasyarakatan Greenwood”. Penjara bergaya lama itu terdiri atas beberapa
bangunan batu yang dikelilingi tembok tinggi dengan kawat berduri. Mereka
meninggalkan mobil mereka di bawah naungan sebatang pohon di pelataran
parkir yang disediakan untuk para tamu. Jeannie mengenakan blazernya, tapi
membiarkan stoeking-nya.

190

“Kau siap menghadapi ini?” tanya Jeannie. “Tampang Dennis mungkin bakal
sama dengan yang memerkosamu, kecuali kalau metodologiku keliru sama
sekali.”

Lisa mengangguk dengan tegar. “Aku sudah siap.”

Pintu gerbang utama membuka untuk sebuah truk pengangkut barang, sehingga
mereka dapat masuk tanpa rintangan. Sistem penjagaannya tidak begitu ketat,
pikir Jeannie, meskipun ada kawat berduri. Rupanya kehadiran ‘ mereka sudah
dinantikan. Seorang petugas mengecek tanda pengenal mereka, lalu mengawal
mereka melintasi sebuah lapangan yang panas, di mana sekelompok anak muda
kulit hitam dalam seragam narapidana sedang main basket.

Bangunan perkantorannya memakai sistem AC. Mereka diantar ke ruang kerja


sipir penjara. John Temoigne. Laki-laki ini mengenakan kemeja lengan pendek
dan dasi. Di asbaknya terdapat beberapa puntung cerutu Jeannie menjabat
tangannya. “Aku Dr. Jean Ferrami dari Jones Falls University.”

“Apa kabar, Jean?”

Rupanya Temoigne termasuk tipe laki-laki yang sok akrab pada wanita. Dengan
sengaja Jeannie tidak menyebutkan nama kecil Lisa. “Dan ini asistenku, Ms.
Hoxton.”

“Halo, Manis.”

“Aku sudah memberikan penjelasan mengenai pekerjaan kami sewaktu aku


menulis pada Anda. Tapi kalau masih ada yang ingin Anda tanyakan, aku
bersedia menjawabnya.” Jeannie harus mengatakan itu, meskipun sebetulnya ia
sudah amat ingin segera bertemu dengan Dennis Pinker.

“Anda harus mengerti bahwa Pinker seorang laki-laki yang menyukai kekerasan
dan amat berbahaya,” ujar Temoigne. “Anda tahu detail-detail tindak
kejahatannya?”

“Setahuku dia mencoba menyerang seorang wanita

191

di dalam sebuah gedung bioskop, dan membunuhnya sewaktu wanita itu


mencoba memberikan perlawanan “

“Sudah cukup dekat. Kejadiannya di gedung bioskop Eldorado yang terletak di


Greensburg. Mereka sedang menonton film horor. Pinker pergi ke ruang bawah
tanah untuk mematikan listriknya. Kemudian, sementara semua panik dalam
kegelapan, dia menggerayangi cewek-cewek di situ.”

Jeannie dan Lisa bertukar pandang. Situasinya begitu mengingatkan akan apa
yang terjadi di JFU pada hari Minggu itu. Suatu selingan yang menimbulkan
kekacauan dan kepanikan, dan memberikan peluang pada pelakunya. Di
samping itu, kedua skenario tersebut masih memiliki kesamaan lain dalam
perwujudan fantasinya: menggerayangi cewek-cewek dalam ruangan bioskop
yang gelap, dan melihat kaum wanita yang berhamburan keluar dalam keadaan
telanjang dari ruang ganti. Andai kata Steve Logan memang pasangan kembar
identik Dermis, berarti mereka telah melakukan tindak kejahatan yang amat
mirip satu sama lain.
Temoigne berkata lagi, “Seorang wanita secara kurang bijaksana berusaha
menepisnya, lalu dia mencekiknya.”

Darah Jeannie mulai mendidih. ‘Kalau ada yang menggerayangi Anda. Bung
Sipir, apakah Anda tidak akan setara kurang bijaksana berusaha menepisnya?”

“Aku kan bukan cewek,” ujar Temoigne dengan gaya sok dan penuh percaya
diri.

Dengan penuh diplomasi Lisa memotong, “Sebaiknya kita segera mulai, Dr.
Ferrami. Masih banyak yang harus kita kerjakan.”

“Anda benar.”

Temoigne berkata, “Biasanya narapidana diwawancarai melalui penyekat. Anda


secara khusus meminta berada di dalam ruangan yang sama dengannya, dan aku
sudah memperoleh instruksi dari atas untuk memenuhinya. Namun kuanjurkan
pada Anda untuk mempertim—

192

bangkannya sekali lagi. Dia penjahat yang menyukai

kekerasan dan berbahaya.”

Jeannie merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya,

namun dari luar ia tetap tampak tenang. “Akan ada

seorang petugas bersenjata di dalam ruangan itu selama

kami bersama Dermis.”

“Tentu. Tapi aku akan merasa lebih enak kalau ada

penyekat dari besi yang memisahkan Anda dari narapidana itu.” Laki-laki itu
menyeringai. “Seseorang tidak

harus terganggu jiwanya untuk merasa tergoda melihat dua gadis muda
semenarik Anda.”
Tiba-tiba Jeannie berdiri. “Aku menghargai keprihatinan Anda, Bung Sipir,
sungguh. Tapi kami harus melakukan beberapa prosedur, seperti mengambil
contoh darah, memotret subjek, dan seterusnya, yang lak mungkin dapat kami
lakukan melalui penyekat. Selain itu, ada bagian-bagian dalam wawancara ini
yang sifatnya intim, dan kami rasa penyekat akan menjadi semacam pemisah
antara kami dan si subjek.”

Temoigne angkat bahu. “Yah. kukira kalian tidak akan apa-apa.” la berdiri.
“Akan kutemani Anda kc blok selnya.”

Mereka meninggalkan ruang kerja itu dan melintasi sebuah lapangan, menuju
sebuah bangunan bertingkat dua. Seorang petugas membuka pintu gerbang
besinya dan membiarkan mereka masuk. Bagian dalam bangunan itu ternyata
sama panasnya seperti di luar. Temoigne berkata, “Robinson akan melayani
kalian berdua mulai dari sini. Kalau ada yang kalian butuhkan, kalian tinggal
teriak.”

“Terima kasih,” ujar Jeannie. “Kami menghargai kerja sama Anda.”

Robinson adalah seorang laki-laki kulit hitam yang jangkung, dengan kesan
dapat diandalkan. Usianya sekitar tiga puluh tahun, la menyandang pistol dalam
sarung pistol tertutup dan sebuah tongkat yang tampak

193

menakutkan. Ta menggiring mereka ke sebuah ruang interogasi kecil dengan


sebuah meja dan setengah lusin kursi dalam sebuah tumpukan. Ada sebuah
asbak di meja itu dan sebuah perangkat pendingin air di pojok. Selain itu,
ruangan tersebut kosong. Lantainya’ berubin lembaran plastik berwarna keabuan
dan dinding-dindingnya dicat dalam nuansa yang sama. Tidak terdapat sebuah
jendela pun.

Robinson berkata, “Pinker akan muncul sebentar lagi.” Ia membantu Jeannie dan
Lisa mengatur meja dan kursi-kursi. Kemudian mereka semua duduk.

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka.

194

BAB 16
Berrington Jones bertemu dengan Jim Proust dan Preston Barck di The Monocle,
sebuah restoran dekat gedung perkantoran Senat di Washington. Sebuah tempat
makan siang terkemuka, penuh dengan tokoh-tokoh yang mereka kenal: orang-
orang kongres, para konsultan politik, jurnalis, dan ajudan. Berrington telah
memutuskan” bahwa tak ada gunanya mencoba menyelinap diam-diam. Mereka
sudah terlalu dikenal, terutama Senator Proust dengan kepalanya yang botak dan
hidung1 nya yang besar. Kalau mereka bertemu di suatu tempat yang tidak jelas,
pasti ada wartawan yang akan memergoki mereka, lalu menulis berita gosip
yang mempertanyakan alasan mereka mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia
itu. Lebih baik muncul di suatu tempat di mana tiga puluh orang akan mengenali
mereka dan menarik kesimpulan bahwa mereka sedang mengadakan diskusi
rutin mengenai salah satu hal yang ada sangkut-pautnya dengan kepentingan
mereka bersama.

Tujuan Berrington adalah mengupayakan agar transaksi dengan pihak


Landsmann bisS tetap berlanjut. Sejak, awal usaha ini memang sudah penuh
risiko, dan Jeannie Ferrami telah membuatnya membahayakan. Satu-satunya
alternatif yang mereka miliki sekarang adalah merelakan impian itu terbang.
Hanya ada satu kesem—

195

patarj untuk mengubah Amerika dan memulihkan arahnya Sekarang belum


terlambat. Bayangan akan sebuah keluarga Amerika kulit putih yang patuh
hukum, rajin ke gereja, dan sayang pada keluarga dapat diwujudkan. Namun usia
mereka bertiga sudah sekitar enam puluhan; mereka tidak akan pernah
memperoleh kesempatan yang sama lagi setelah ini.

Jim Proust adalah seorang tokoh terkemuka, selalu ramai dan mudah meledak;
tapi, meski sering membuat Berrington jengkel, biasanya ia dapat dibujuk.
Preston, yang lebih tenang dan menyenangkan, ternyata juga keras kepala.

Berrington harus menyampaikan suatu berita buruk kepada mereka, dan ia


langsung membeberkannya begitu mereka selesai memesan makanan. “Jeannie
Ferrami pergi ke Richmond hari ini, untuk menemui Dennis Pinker.”

Jim mengeluarkan umpatan. “Kenapa tidak kaucegah dia?” Suaranya dalam dan
parau, akibat bertahun-tahun selalu main perintah sana-sini.

Sebagaimana biasa, sikap sok kuasa Jim membuat kesal Berrington.


“Memangnya apa yang harus kulakukan? Mengikatnya?”

“Kau kan atasannya?”

“JFU kan universitas, Jim, bukan akademi militer.”

Dalam nada rikuh Preston berkata, “Sebaiknya jangan ngomong keras-keras,


Bung.” Ia memakai sebuah kacamata sempit berbingkai hitam; ia sudah
mengenakan gaya yang sama itu sejak tahun 1959, dan menurut pengamatan
Berrington, model itu sekarang sudah mulai dianggap mode lagi. “Kita kan
sudah memperhitungkan kemungkinan ini sebelumnya. Menurutku sebaiknya
kita mengambil insiatif. dan membuat pengakuan secara terbuka secepatnya.”

“Pengakuan?” ujar Jim dalam nada tak percaya. “Apa kita pernah melakukan
sesuatu yang salah?”

196

“Orang-orang mungkin melihatnya.”

“Sebaiknya kalian ingat bahwa ketika CIA mengeluarkan laporan yang menjadi
awal dari semua ini, New Developments in Soviet Science—Perkembangan
Baru dalam Dunia Ilmu Pengetahuan Soviet—Presiden Nixon sendirilah yang
mengatakan bahwa itu merupakan berita paling mengguncangkan dari Moskow
sejak pihak Soviet berhasil memecah atom.”

Preston berkata, “Laporan itu belum tentu benar.”

“Tapi kita mengira itu benar. Dan yang lebih penting lagi, presiden kita
mempercayainya. Kalian masih ingat bagaimana resahnya situasi ketika itu?”

Tentu saja Berrington masih ingat. Pihak Soviet memiliki suatu program
pemuliaan manusia kata CIA ketika itu. Mereka merekayasa calon-calon
ilmuwan yang sempurna, para pemain catur yang sempurna, atlet-atlet yang
sempurna—dan serdadu-serdadu yang sempurna. Nixon memerintahkan
Komando Riset Medis Militer Amerika, sebagaimana statusnya ketika itu, untuk
mendirikan suatu pficgram serupa, dan menemukan cara untuk membiakkan
serdadu-serdadu Amerika yang sempurna. Jim Proust-lah yang ditunjuk untuk
mewujudkannya.
Jim langsung menghubungi Berrington untuk meminta bantuannya. Beberapa
tahun sebelumnya, Berrington mengejutkan semua orang, terutama istrinya,
Vivvie, dengan memasuki dinas ketentaraan, justru pada saat kaum muda
Amerika yang seusia dengannya mulai memperlihatkan sikap antiperang Ia
ditempatkan di Fort Derrick, di Frederick, Maryland, untuk mendalami kelelahan
yang dialami para prajurit. Menjelang awal tahun tujuh puluhan, ia sudah
menjadi seorang tokoh dunia terkemuka dalam bidang pewarisan karakteristik
prajurit, seperti sifat agresif dan stamina. Sementara Preston, yang ketika itu
masih di Harvard, sudah membuat beberapa terobosan dalam pemahaman
mengenai fertilitas manusia.

197

Berrington berhasil membujuknya untuk meninggalkan universitas itu dan ikut


ambil bagian dalam eksperimen besar bersama dirinya dan Proust.

Suatu momentum yang amat membanggakan bagi Berrington. “Aku juga masih
ingat bagaimana mendebar-kannya masa-masa itu,” ujarnya. “Kita sedang
menjadi mata tombak dunia ilmu pengetahuan, kita sedang meng- * arahkan
Amerika pada jalur yang benar, dan presiden kitalah yang meminta agar kita
melakukan pekerjaan ini” untuknya”

Preston memain-mainkan hidangan salad di piringnya. “Zaman berubah. Alasan


bahwa ‘Aku melakukannya karena presiden Amerika Serikat yang memintaku,’
tidak lagi dapat diterima. Banyak yang masuk penjara karena melakukan apa
yang diperintahkan presiden kepada mereka.”

“Apa yang salah dalam hal ini?” tanya Jim dalam nada menantang. “Itu memang
rahasia, oke. Tapi apa yang butuh pengakuan, coba?”

“Kita melakukan tugas terselubung * ujar Preston.

Wajah Jim memerah. “Kita mengalihkan proyek kita ke sektor swasta.”

Itu suatu taktik, ujar Berrington dalam hati, meskipun ia tidak mencela Jim untuk
mengatakan itu. Badut-badut komite pencalonan kembali presiden tertangkap
basah dalam suatu aksi di Hotel Watergate, dan itu membuat seluruh Washington
resah. Preston mendirikan Genetico sebagai sebuah perusahaan swasta, dan Jim
memberikan fasilitas berupa koneksinya dengan pihak militer. Selang beberapa
waktu, usaha klinik fertilitas itu menjadi begitu menguntungkan, sehingga
hasilnya dapat menutupi biaya program riset mereka tanpa bantuan dana dari
pihak militer lagi. Berrington kemudian berkiprah kembali dalam dunia
akademis, dan Jim pindah dari dinas militer ke CIA, lalu masuk ke Senat.

Preston berkata, “Aku tidak bilang bahwa apa yang

198

_kita lakukan itu salah—meskipun ada hal-hal yang pernah kita lakukan ketika
itu bertentangan dengan hukum.”

Berrington tidak ingin kedua orang itu saling baku hantam. Ia menengahi dengan
berkata dalam nada tenang, “Ironisnya, ternyata tak mungkin membiakkan
orang-orang Amerika yang sempurna. Seluruh proyek berada di jalur yang salah.
Pemuliaan secara alami ternyata amat tidak eksak. Tapi kita toh cukup jeli untuk
melihat prospek rekayasa genetika.”

“Istilah itu belum dikenal sama sekali waktu itu,” gumam Jim sambil memotong
daging stea/c-nya.

Berrington mengangguk. “Jim benar, Preston. Seharusnya kita bangga aTcan


keberhasilan kita, bukannya malu. Kalau kaurenungkan kembali, kita berhasil
membuat mukjizat. Kita telah mengerahkan seluruh upaya kita untuk
mengetahui apakah bakat-bakat tertentu, seperti inteligensi dan sifat agresif,
dipengaruhi oleh faktor genetika, lalu kita mengidentifikasi gen-gen yang
bertanggung jawab untuk bakat-bakat itu, dan pada akhirnya berhasil
merekayasa mereka ke dalam embrio-embrio tabung percobaan—dan kita
sedang berada di ambang sukses!”

Preston angkat bahu. “Seluruh masyarakat ilmu biologi manusia sedang


menekuni topik yang sama.”

“Tidak juga. Kegiatan kita lebih terfokus, dan kita lebih berhati-hati dalam
mempertaruhkannya.”

“Itu betul.”

Dengan cara masing-masing, Preston dan Jim berhasil meredakan emosi.


Mereka begitu dapat diduga, ujar Berrington dalam hati dengan lega; mungkin
karena mereka sudah begitu lama berteman. Jim sudah mengumbar emosinya,
dan Preston sudah mengeluarkan keluhan—keluhannya. Kini mereka mungkin
sudah cukup tenang untuk bisa melihat seluruh situasi itu dengan kepala dingin.
“Ini membawa kita kembali ke topik tentang Jeannie Ferrami,” ujar Berrington.
“Dalam waktu se-199

tahun atau dua, dia bakal mengungkapkan pada kita cara membuat seseorang
agresif tanpa mengubahnya menjadi seorang kriminal. Bagian-bagian terakhir
teka-teki itu mulai terisi. Pengambilalihan oleh pihak Landsmann menawarkan
kepada kita kesempatan untuk meningkatkan seluruh program sambil mengantar
Jim ke Gedung Putih. Sekarang bukan saatnya untuk mundur.”

“Oke,” ujar Preston. “Tapi apa yang akan kita lakukan? Landsmann punya kode
etik, tahu?”

Berrington menelan ludah. “Hal pertama yang harus kita ingat adalah bahwa kita
tidak sedang menghadapi krisis di sini; kita cuma menghadapi suatu masalah”
katanya. “Dan masalahnya bukalTlah Landsmann. Akuntan-akuntan mereka
tidak akan bisa menyingkapkan apa-apa dalam kurun waktu seratus tahun, hanya
dengan mempelajari buku-buku kita. Masalah kita adalah Jeannie Ferrami. Kita
harus menghentikan dia, setidaknya sebelum hari Senin yang akan datang, saat
kita menandatangani dokumen-dokumen pengambilalihan itu.” • Dalam nada
sarkastis Jim berkata, “Tapi kau tak bisa memerintahnya, karena itu sebuah
universitas, bukan akademi militer.”

Berrington mengangguk. Kini ia sudah berhasil menggiring keduanya ke arah


yang dikehendakinya. “Betul,” jawabnya dengan tenang. “Aku tidak bisa
memerintahnya. Tapi masih banyak cara untuk memanipulasi seseorang daripada
menggunakan cara-cara militer, Jim. Kalau kalian berdua mau memasrahkan
urusan ini ke tanganku, aku akan menghadapinya.”

Preston masih belum puas. “Caranya?”

Berrington sudah menjajaki pertanyaan ini dari segala macam arah. Ia belum
punya rencana, tapi ia sudah memiliki ide. “Kukira ada suatu masalah mengenai
pemakaian sistem database medisnya. Secara etis, itu akan menimbulkan
pertanyaan. Kukira aku bisa memaksanya untuk berhenti.”

200

‘Tentunya dia sudah menyiapkan jawabannya.” - “Aku tidak perlu


mengemukakan alasan, cukup suatu dalih.”

“Seperti apa dia?” tanya Jim.

“Sekitar tiga puluhan. Jangkung, atletis. Rambutnya berwarna gelap, dengan


cincin di cuping hidung, naik mobil Mercedes tua berwarna merah. Sejak
beberapa lama aku menaruh respek padanya. Tadi malam aku menemukan
bahwa ada darah yang kurang baik dalam keluarganya. Ayahnya ternyata tipe
kriminal. Tapi dia juga pintar sekali, penuh gairah, dan keras kepala.”

“Kawin, cerai?”

“Sendirian, tidak punya pacar.”

“Punya anjing?”

“Tidak. Tampangnya menarik, tapi sulit ditaklukkan.”

Jim mengangguk dengan serius. “Kita masih punya teman-teman yang bisa
diandalkan dalam masyarakat intelijen. Tidak terlalu sulit membuat cewek
seperti itu lenyap**

Wajah Preston membayangkan kecemasan. “Jangan pakai kekerasan, Jim, demi


Tuhan.”

Seorang pelayan mengangkat piring-piring mereka, dan mereka menunggu


sampai ia berlalu. Berrington menyadari bahwa ia harus mengungkapkan kepada
mereka pesan Sersan Delaware pada malam sebelumnya. Dengan berat hati ia
berkata. “Masih ada satu hal yang perlu kalian ketahui. Pada hari Minggu
malam, seorang gadis diperkosa di dalam gedung olahraga. Pihak polisi
menahan Steve Logan. Si korban menunjuknya sewaktu dia dibariskan.”

Jim berkata, “Apakah dia pelakunya?”

“Bukan.”

“Kau tahu siapa yang melakukannya?” Berrington menatap matanya lurus-lurus.


“Ya, Jim, aku tahu.”

Preston mengumpat, “Sial.”


201

Jim berkata, “Mungkin kita harus melenyapkan anak-anak itu.”

Berrington merasa tenggorokannya seakan dicekik, dan ia tahu bahwa wajahnya


mulai memerah. Ia mendoyongkan tubuh ke arah meja, lalu menudingkan
jarinya ke arah Jim. “Jangan sampai kudengar kau mengucapkan kata-kata itu
lagi!” serunya sambil menghujamkan jarinya ke arah mata Jim. sehingga Jim
menarik diri, meskipun postur tubuhnya jauh lebih besar.

Preston mendesis, “Sudahlah, orang-orang pada menoleh!”

Berrington menarik diri, namun masih belum puas. Andai kata mereka berada di
tempat yang tidak begitu terbuka, ia sudah akan mencengkeram leher Jim. Tapi
yang ia cengkeram kemudian adalah bagian leher kemeja Jim. “Kita sudah
memberikan kehidupan kepada anak-anak itu. Kita yang membawa mereka ke
dunia ini. Baik atau buruk, mereka tanggung jawah kita.”

“Oke, oke!” ujar Jim.

“Dengar baik-baik. Kalau salah satu di antara mereka sampai terluka, Jim, akan
kuhancurkan kepalamu.”

Seorang pelayuan muncul, lalu berkata, “Adakah di antara tuan-tuan yang mau
memesan hidangan penutup?”

Berrington melepaskan cengkeramannya.

Jim merapikan kembali letak pakaiannya dengan gerakan marah.

“Sial,” gumam Berrington. “Sial.”

Preston berkata kepada si pelayan. “Bawa saja bonnya ke sini.”

202

BAB 17

Steve Logan belum memejamkan matanya sepanjang malam.

Selama itu Porky Butcher tidur seperti bayi, sekali-sekali mengeluarkan suara
dengkuran lembut. Steve duduk di lantai sambil mengawasinya, memperhatikan
setiap gerak geriknya dengan hati waswas, dan mencoba membayangkan apa
yang akan terjadi begitu laki laki itu bangun nanti. Apakah Porky akan
mengajaknya berkelahi? Mencoba memerkosanya? Memukulinya?

Rasa takutnya cukup beralasan. Sepanjang sejarah, mereka yang masuk tahanan
sering mengalami penganiayaan. Banyak di antara mereka kemudian terluka,
malah ada yang terbunuh. Masyarakat luar tidak peduli, karena berpandangan
bahwa andai kata para narapidana itu saling membuat cedera dan membantai
satu sama lain, makin sedikit potensi mereka untuk merampok dan membunuh
para warga negara yang patuh hukum.

Biar bagaimanapun, ujar Steve pada dirinya dengan tubuh gemetar, ia tidak
boleh kelihatan tak berdaya. Ia tahu bahwa orang mudah terkecoh oleh
penampilannya. Tip Hendricks telah membuat kesalahan itu. Steve memiliki
tampang ramah. Meskipun postur tubuhnya besar, pembawaannya seperti orang
yang tidak sampai * hati melukai seekor lalat pun.

Kini ia harus tampil siap untuk menghadapi setiap tindak kekerasan, meskipun
tanpa kesan menantang. Yang paling penting, ia tidak boleh membiarkan Porky
menganggapnya sebagai anak sekolah yang masih polos. Itu akan
menjadikannya target empuk sebagai bantalan tinju, sekadar untuk main-main,
dan akhirnya sebagai tempat pelampiasan kekesalan. Ia harus tampil seperti
seorang kriminal yang, tegar, kalau mungkin. Kalau tidak, ia akan membuat
Porky bingung dan merasa terkecoh dengan isyarat-isyarat yang dianggap asing
olehnya.

Dan kalau semua itu tidak ada hasilnya?

Porky lebih tinggi dan lebih berat daripada Steve, dan mungkin juga seorang
tukang berkelahi jalanan yang berpengalaman. Stamina Steve lebih baik dan
mungkin ia dapat bergerak lebih cepat, tapi sejak tujuh tahun yang lalu ia tidak
pernah lagi memukul seseorang dalam keadaan marah. Di tempat yang lebih
luas, Steve mungkin dapat mengatasi atau menghindari Porky tanpa akibat
serius. Tapi di sini, di dalam sel itu, darah akan berceceran, entah siapa pun yang
menang. Andai kata apa yang dikatakan Detektif Allaston memang benar. Porky
sudah membuktikan, dalam kurun waktu dua puluh empat jam terakhir, bahwa ia
memiliki insting pembunuh. Apakah aku memiliki insting pembunuh, tanya
Steve pada dirinya sendiri. Apakah yang disebut insting pembunuh itu memang
ada? Aku hampir saja membunuh Tip Hendricks. Apakah itu menjadikan aku
sama seperti Porky?

Begitu terpintas dalam dirinya, apa artinya jika ia memenangkan perkelahian


dengan Porky, bulu kuduk Steve berdiri. Ia membayangkan tubuh laki-laki itu
tergeletak di lantai sel, bermandi darah, sementara ia berdiri di dekatnya, seperti
dulu di dekat tubuh Tip Hendricks, dan suara Spike, si petugas penjara, berkata,
Ya Tuhan, dia ‘mati rupanya. Steve memilih untuk dihajar habis-habisan.

204

Mungkin lebih baik kalau ia bersikap pasif. Mungkin akan lebih aman jika ia
meringkuk saja di lantai dan membiarkan Porky menendangi dirinya, sampai
laki-laki itu capek sendiri. Namun Steve tidak yakin dapat melakukan itu.
Karenanya ia duduk dengan tenggorokan kering dan jantung berdebar-debar,
sambil menerawang! si penderita gangguan jiwa yang sedang tidur itu, dan
membayangkan perkelahian-perkelahian yang akan terjadi, di mana akhirnya
dirinyalah yang kalah.

Ia memperkirakan semua ini adalah siasat yang sering dimainkan pihak polisi.
Spike, si petugas penjara, kelihatannya tidak menganggap prosedur ini luar
biasa. Mungkin, daripada menghajar orang di dalam ruang interogasi untuk
mendapatkan pengakuan, mereka lebih suka membiarkan para tahanan lain yang
melakukan pekerjaan itu untuk mereka. Steve mempertanyakan, berapa banyak
orang sudah mengaku melakukan suatu tindak kejahatan yang tidak pernah
mereka lakukan, hanya untuk menghindari kemungkinan dilemparkan satu sel
dengan orang seperti Porky.

Ia tidak akan pernah melupakan ini, sumpahnya. Begitu menjadi pengacara,


membela mereka yang dituduh melakukan tindak kejahatan, ia tidak akan pernah
menerima suatu pengakuan sebagai bahan bukti. Ia membayangkan dirinya
sendiri di muka suatu sidang juri. “Aku pernah dituduh melakukan suatu tindak
kejahatan yang tidak kulakukan, sampai aku hampir saja membuat pengakuan,”
ia akan berkata begitu. “Aku sudah pernah berada dalam situasi seperti itu, jadi
aku tahu.”

Kemudian terpintas dalam dirinya bahwa kalau ia sampai dihukum gara-gara ini,
ia akan dikeluarkan dari fakultas hukum dan tidak akan pernah dapat membela
siapa pun.
Steve terus berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak akan sampai
dihukum. Tes DNA itu akan membersihkan namanya. Sekitar tengah malam, ia
dikeluarkan dari sel itu, diborgol, lalu diantar ke Rumah Sakit Mercy, yang
terletak beberapa blok dari markas kepolisian tersebut. Di sana contoh darahnya
diambil untuk memeriksa DNA-nya. Ia masih sempat menanyakan kepada si
perawat, berapa lama proses tes itu, dan merasa kecewa mendengar bahwa
hasilnya paling cepat akan siap dalam waktu tiga hari. la kembali ke selnya
dengan hati menciut. Ia disatukan lagi dengan Porky, yang untungnya masih
tidur nyenyak.

Steve memperhitungkan bahwa ia tahan tidak tidur selama dua puluh empat jam.
Itu batas waktu terlama bagi mereka untuk menahannya tanpa surat penahanan
resmi dari pihak pengadilan. Ia ditangkap sekitar pukul enam sore, jadi ia akan
mendekam di sini sampai sekitar waktu yang sama sore ini. Kemudian,
kepadanya harus diberikan kesempatan untuk minta dilepas dengan jaminan. Itu
akan menjadi peluang baginya untuk meninggalkan tempat ini.

Ia berusaha mengingat-ingat isi mata kuliahnya mengenai dikeluarkan dari


tahanan dengan jaminan. “Satu-satunya hal yang akan dipertanyakan pihak
pengadilan adalah apakah si tertuduh akan muncul saat perkaranya disidangkan
kelak,” ujar Profesor Rexam ketika itu. Nadanya terdengar begitu membosankan
waktu itu, namun kini begitu besar artinya. Ia mulai ingat detail-detailnya. Ada
dua faktor yang harus diperhitungkan. Yang pertama adalah prakiraan besarnya
hukuman yang akan dijatuhkan. Kalau tuduhannya serius, risiko untuk
mengabulkan permohonan dilepas dengan jaminan itu akan lebih besar: tertuduh
untuk tindak pembunuhan cenderung untuk kabur daripada tertuduh suatu kasus
pencurian ringan. Hal yang sama juga berlaku andai kata ia sudah memiliki
catatan kejahatan, dan sebagai akibatnya menghadapi kemungkinan dijatuhi
hukuman yang lebih berat. Steve belum memiliki catatan kejahatan: meskipun ia
pernah dihukum gara-gara tindak penye-206

rangan, usianya ketika itu baru delapan belas tahun, dan catatan itu tidak dapat
digunakan untuk memperberat tuntutan atas dirinya. Ia akan tampil di muka
sidang pengadilan dengan lembaran yang masih bersih. Namun tuntutan yang
dihadapinya betul-betul serius.

Faktor kedua, seingatnya, adalah hubungan si tahanan dengan masyarakat di


sekelilingnya: dengan keluarganya, rumah, dan pekerjaannya. Seorang laki-laki
yang sudah tinggal bersama istri dan anak-anaknya di suatu alamat yang sama
selama lima tahun dan bekerja di sekitar situ, akan dilepas dengan jaminan,
sedangkan seseorang yang tidak memiliki keluarga yang tinggal di kota itu, baru
menempati apartemennya selama enam minggu, dan menyatakan bahwa ia
seorang musisi tanpa pekerjaan tetap, cenderung akan ditoiak. Dalam hal ini,
Steve merasa cukup tenang, la tinggal bersama orangtuanya, dan sedang
menjalani tahun keduanya di fakultas hukum; ia akan rugi besar kalau mencoba
kabur.

Sidang seharusnya tidak menjadikan unsur apakah si tertuduh akan


membahayakan masyarakat atau tidak sebagai bahan pertimbangan. Itn akan
menyalahi asas praduga tak bersalah. Namun dalam prakteknya mereka toh
melakukan itu. Secara tidak resmi, seseorang yang terlibat dalam serangkaian
tindak kekerasan memiliki kecenderungan lebih besar untuk tidak dilepas
dengan jaminan, daripada seseorang yang hanya satu kali melakukan tindakan
yang sama. Kalau Steve dituduh melakukan serangkaian pemerkosaan, bukan
hanya satu kali, peluangnya untuk dilepas dengan jaminan akan lebih mendekati
angka nol.

Melihat situasinya saat itu, kemungkinannya bisa apa saja, dan sementara
mengawasi Porky, ia mencoba menghafalkan kata-kata yang akan diucapkannya
kepada hakim kelak.

la masih tetap bersiteguh untuk bertindak sebagai pengacara bagi dirinya sendiri.
Ia belum memakai hak—

207

nya untuk menelepon seseorang, la bertekad untuk menyembunyikan semua ini


dari kedua orangtuanya, sampai ia dapat mengatakan bahwa ia sudah bersih.
Bayangan untuk mengungkapkan kepada mereka bahwa ia sedang berada di
dalam tahanan betul-betul berat baginya; mereka akan merasa amat terpukul dan
sedih. Ia sangat ingin berbagi beban dengan mereka, tapi setiap kali tergoda
untuk melakukan itu, ia teringat akan wajah mereka ketika mereka melangkah
masuk ke dalam rumah tahanan itu tujuh tahun yang lalu, setelah perkelahiannya
dengan Tip Hendricks, dan ia tahu bahwa kekecewaan mereka akan lebih
melukai dirinya daripada yang mungkin dilakukan oleh Porky Butcher.

Semakin malam, semakin banyak orang yang dijebloskan ke dalam sel-sel itu.
Ada yang acuh tak acuh dan menurut saja, ada yang protes keras bahwa ia tidak
bersalah. Seseorang berusaha memberikan perlawanan, dan akhirnya dihajar
secara profesional.

Menjelang pukul lima pagi suasana lebih tenang. Sekitar pukul delapan,
pengganti Spike mengantarkan sarapan dalam wadah-wadah dari styrofoam,
yarig dibeli di sebuah restoran bernama Mother Hubbard’s. Datangnya makanan
membangunkan para tahanan di sel-sel lain, dan kegaduhan itu membuat Porky
terbangun.

Steve tetap diam di tempatnya, duduk di lantai, menerawangi kejauhan. Tapi


dengan hati waswas ia mengawasi Porky melalui sudut matanya. Sikap
bersahabat akan dianggap sebagai tanda kelemahan, putusnya. Senantiasa pasif
dan waspada merupakan sikap yang harus diambilnya.

Porky duduk di dipannya, memegangi kepalanya sam bil melayangkan mata ke


arah Steve, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Steve menduga Porky sedang
menilai dirinya.

Setelah beberapa saat, Porky berkata. “Ngapain kau di sini?”

208

Steve memasang tampang bego dan tidak peduli, kemudian tanpa terburu-buru ia
menoleh, sehingga pandangannya bertemu dengan Porky. Untuk sesaat mereka
saling menatap. Porky seorang laki-laki tampan, dengan wajah agak gemuk yang
berkesan sedikit agresif, la menatap Steve dengan matanya yang kemerahan.
Steve menilainya sebagai seorang tukang foya-foya, seorang pecundang, tapi
juga berbahaya. Ia mengalihkan pandang, untuk mengekspresikan sikap tidak
pedulinya. Ia tidak menjawab pertanyaan itu. Semakin lama waktu yang
dibutuhkan Porky untuk menilai dirinya, semakin aman situasinya baginya.

Ketika si petugas menyodorkan makanan melalui celah di terali sel itu, Steve
tidak bereaksi.

Porky mengambil bakinya. Ia menghabiskan semua serpihan daging asapnya,


telur dan roti panggangnya, meminum kopinya, lalu menggunakan WC dengan
suara ribut, tanpa malu-malu.

Setelah selesai, ia menarik celananya, dan duduk di dipannya. Sambil menatap


Steve, ia berkata, “Kenapa kau dijebloskan di sini, anak bule?”
Ini merupakan momentum yang paling berbahaya. Porky sedang mencobainya,
menilai dirinya. Steve kini harus menampilkan sosok yang sama sekali berbeda
daripada dirinya, seorang mahasiswa kelas menengah yang masih polos, yang
tidak pernah lagi terlibat perkelahian sejak remaja.

Ia menoleh ke arah Porky, seakan baru memperhatikan keberadaannya untuk


pertama kali. Ia menatapnya lurus-lurus selama beberapa saat, sebelum
memberikan jawaban. Sambil sedikit menggumam, ia berkata, “Ada yang ngajak
aku cari perkara, jadi kuladeni.”

Porky membalas tatapannya. Steve tidak dapat mengatakan apakah laki-laki itu
mempercayainya atau tidak. Setelah agak lama. Porky berkata, “Pembunuhan?”

“Tingkat satu.”

209

“Aku juga.”

Rupanya Porky mempercayainya. Dengan santai Steve menambahkan,


“Pokoknya dia nggak bakal bisa mengganggu aku lagi.”

“Yeah,” sahut Porky.

Suasana hening selama beberapa saat. Rupanya Porky sedang berpikir. Akhirnya
ia berkata, “Kenapa mereka mengurung kita di sini sama-sama?”

“Mereka nggak punya bukti untuk menuntutku,” jawab Steve. “Jadi, mereka
pikir, kalau aku menghajarmu di sini, mereka akan punya kasus.”

Porky merasa tersinggung. “Bagaimana kalau aku yang menghajarmu?”


tantangnya.

Steve angkat bahu. “Kalau begitu, kau yang dapat masalah.”

Porky mengangguk perlahan, “Yeah,” ujarnya. “Masuk akal.”

Rupanya ia mulai kehabisan bahan percakapan. Selang beberapa saat, ia


merebahkan dirinya kembali.
Steve menunggu. Sudah selesaikah?

Tak lama setelah itu, Porky sepertinya tertidur lagi.

Saat ia mendengkur, Steve melorotkan tubuh di tembok dengan perasaan lemas


dan sekaligus lega.

Sesudah itu, selama beberapa jam tidak terjadi apa-apa.

Tidak ada yang datang untuk berbicara dengan Steve, tidak ada yang
mengungkapkan kepadanya apa yang sedang terjadi. Tidak ada tempat untuk
memperoleh informasi. Ia ingin tahu, kapan ia akan memperoleh kesempatan
untuk minta dibebaskan, tapi tak seorang pun mengungkapkan itu kepadanya. Ia
mencoba berbicara dengan si petugas baru, namun laki-laki itu tidak
mengacuhkannya.

Porky masih tidur saat si petugas muncul, lalu membuka pintu sel. Ia memborgol
pergelangan tangan dan kaki Steve, kemudian membangunkan Porky dan mela

210

kukan hal yang sama atas dirinya. Mereka dirantai bersama dua orang lagi,
digiring beberapa langkah menuju pojok blok itu, lalu ke sebuah ruang kerja
yang kecil.

Di dalamnya terdapat dua meja tulis, masing-masing dengan sebuah komputer


dan mesin cetak laser. Di muka kedua meja tulis itu terdapat sederetan kursi
plastik berwarna abu-abu. Di belakang meja yang satu duduk seorang wanita
kulit hitam berpakaian rapi dan berusia sekitar tiga puluhan. Ia melirik ke arah
mereka dan berkata, “Silakan duduk,” lalu meneruskan tugasnya mengetik di
papan tutsnya dengan jari-jari terawat.

Mereka menyeret langkah sepanjang deretan kursi itu, lalu duduk. Ruang kantor
itu biasa-biasa saja, dengan lemari-lemari arsip, papan-papan pengumuman,
sebuah alat pemadam api, dan lemari besi kuno. Dibandingkan sel mereka,
tempat ini lebih indah.

Porky menutup matanya dan sepertinya tidur lagi. Di antara kedua tahanan yang
lain, satu menatap dengan ekspresi seakan tak percaya ke arah kaki kanannya
yang dibungkus gips, sementara yang lain tersenyum entah ke mana, jelas-jelas
tidak menyadari di mana ia berada, seakan sedang teler atau terganggu
pikirannya, atau kedua-duanya.

Akhirnya wanita itu mengalihkan mata dari layarnya. “Sebut nama Anda,”
ujarnya.

Steve berada dalam urutan pertama, karenanya ia menjawab, “Steven Logan.”

“Mr. Logan, aku Panitera Williams.”

Tentu: wanita ini seorang petugas pengadilan. Kini ia ingat bagian prosedur ini
dari mata kuliahnya. Panitera adalah pejabat pengadilan yang kedudukannya
lebih rendah daripada hakim. Ia menangani surat-surat penahanan dan hal-hal
kecil lain yang berhubungan dengan prosedurnya. Ia memiliki wewenang untuk
memberikan status tahanan luar kepada seorang tersangka, dengan

211

imbalan; ini membuat semangat Steve bangkit kembali. Mungkin ia toh bisa
keluar dari sini.

Wanita itu berkata lagi, “Aku di sini untuk mengungkapkan kepada Anda,
pelanggaran apa yang dituduhkan atas diri Anda, tanggal perkara Anda
disidangkan, waktu dan tempatnya, apakah Anda akan bebas dengan imbalan
atau dilepas, dan andai kata dilepas, apakah dengan syarat.” Bicaranya amat
cepat, tapi pernyataannya mengenai bebas dengan imbalan sesuai dengan apa
yang diingat Steve. Jadi, inilah orang yang harus ia yakinkan bahwa ia dapat
diandalkan untuk muncul dalam sidang yang akan menangani perkaranya.

“Anda berada di hadapanku berdasarkan tuntutan atas tindak pemerkosaan


tingkat satu, tindak penyerangan dengan maksud untuk memerkosa, menganiaya,
dan melakukan sodomi.” Wajahnya yang bundar tidak menunjukkan ekspresi
saat ia merinci tindakan-tindakan kejahatan yang dituduhkan atas Steve. Wanita
itu menjadwalkan tanggal sidangnya tiga minggu kemudian, dan Steve ingat
bahwa setiap tersangka harus sudah ditentukan tanggal persidangannya tidak
lebih lama daripada tiga puluh hari setelah hari penahanannya.

“Atas tindakan memerkosa yang dituduhkan, Anda dihadapkan pada tuntutan


penjara seumur hidup. Atas tindak penyerangan dengan maksud untuk
memerkosa, dua sampai lima belas tahun. Dua-duanya merupakan tindak
kejahatan serius.” Steve mengerti apa yang dimak-sudnlengan tindak kejahatan
serius, tapi ia mempertanyakan apakah Porky Butcher juga mengerti-Si
pemerkosa juga menimbulkan kebakaran di gedung olah raga itu, seingat Steve.
Mengapa tidak ada tuntutan sehubungan peristiwa kebakaran itu? Mungkin
karena pihak kepolisian tidak dapat menemukan bukti yang dapat secara
langsung menghubungkan dirinya dengan api itu.

Wanita itu menyodorkan dua helai kertas ke arahnya.

212

Yang pertama menyatakan bahwa ia sudah diberitahu mengenai haknya untuk


diwakili, yang kedua mengungkapkan kepadanya cara untuk menghubungi
seorang pembela umum. Ia harus menandatangani masing-masing lembar.

Wanita itu memberondongnya dengan serangkaian pertanyaan, lalu memasukkan


jawabannya ke dalam kom putemya, “Sebutkan nama lengkap Anda. Anda
tinggal di mana? Nomor telepon Anda? Sudah berapa lama Anda tinggal di
sana? Di-mana Anda tinggal sebelumnya?”

Steve mulai merasa lebih optimis saat mengungkapkan kepada si petugas


pengadilan bahwa ia tinggal bersama kedua orangtuanya, ia sedang menjalani
tahun kedua di fakultas hukum, dan bahwa ia tidak memiliki catatan kejahatan
sebagai orang dewasa. Wanita itu menanyakan apakah ia pernah punya masalah
kecanduan obat bius atau alkohol, dan ia bisa menjawab tidak. Ia
mempertanyakan apakah ia akan memperoleh kesempatan untuk mengajukan
permohonan bebas dengan imbalan, namun si wanita berbicara begitu cepat, dan
kelihatannya sudah memiliki rumusan tertentu yang harus ia ikuti.

“Untuk tuntutan melakukan tindak sodomi kuanggap alasannya tidak cukup


meyakinkan,” ujarnya. Ia mengalihkan pandang dari layar komputer ke arah
Steve Ini tidak berarti Anda tidak melakukan pelanggaran ini, tapi data-data
yang ada di sini, di dalam laporan pihak kepolisian, bagiku tidak memenuhi
persyaratan untuk tuduhan itu.”

Steve mempertanyakan mengapa para detektif itu memasukkan tuntutan ini.


Mungkin mereka berharap ia akan menyangkalnya habis-habisan, lalu
menelanjangi dirinya sendiri dengan berkata, Itu betul-betul keterlaluan, aku
memang menyetubuhinya, tapi aku rujak melakukan tindakan sodomi sama
sekali. Memangnya kalian anggap aku apa?

Si petugas pengadilan berkata lagi, “Tapi Anda masih akan dituntut di hadapan
sidang untuk tindakan itu.”

Steve tampak bingung. Apa maksudnya andai kata ia masih tetap akan dituntut
di hadapan sidang untuk tindakan itu? Dan kalau dirinya, seorang mahasiswa
tingkat dua fakultas hukum, menganggap ini sulit untuk dimengerti, bagaimana
dengan mereka yang lebih awam?

Si petugas pengadilan berkata, “Apa ada yang ingin Anda tanyakan?”

Steve menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin mengajukan permohonan dilepas


sebagai tahanan luar,” ujarnya. “Aku tidak bersalah…”

Wanita itu memotongnya. “Mr. Logan, Anda berada di hadapanku berdasarkan


tuntutan atas beberapa tindak kejahatan serius, yang peraturannya digariskan di
bawah undang-undang No. 638B. Ini berarti bahwa aku. sebagai seorang petugas
pengadilan, tidak dapat mengeluarkan keputusan lepas dengan imbalan untuk
diri Anda. Hanya seorang hakim yang dapat melakukannya.”

Steve merasa seakan wajahnya ditampar. Ia begitu kecewa, sehingga merasa


mual. Ia menatap wanita itu dengan pandangan tak percaya. “Lalu apa gunanya
seluruh prosedur ini?” ujarnya dalam nada marah.

“Sementara ini Anda ditahan dengan status tidak bisa dilepas sebagai tahanan
luar.”

Nada suara Steve meninggi. “Jadi, untuk apa Anda mengajukan semua
pertanyaan ini kepadaku dan membuat aku berharap harap9 Kusangka aku bisa
keluar dari sini!” b

Si petugas pengadilan tampak tidak tergerak. “Informasi yang Anda berikan


mengenai alamat Anda dan sebagainya akan dicek kebenarannya oleh seorang
penyidik prasidang, yang akan melaporkan hasilnya pada pepgadilan,” ujarnya
dengan tenang. “Anda boleh mengajukan permohonan untuk dilepas dengan
jaminan besok, dan keputusannya akan berada di tangan hakim.”

214
“Aku dimasukkan ke dalam satu sel bersama orang ini!” ujar Steve sambil
menunjuk ke arah Porky yang sedang tidur.

“Bagian itu bukan tanggung jawabku…”

“Dia seorang pembunuh! Satu-satunya alasan dia belum membunuhku adalah


karena dia masih terlalu teler untuk melakukan itu! Sekarang secara resmi aku
mengajukan protesku kepada Anda, sebagai seorang petugas pengadilan, bahwa
aku dianiaya secara merfial dan bahwa nyawaku dalam bahaya.”

“Kalau sel-selnya sudah penuh, Anda memang terpaksa…”

“Sel-sel itu sama sekali belum penuh. Menolehlah ke sana, Anda bisa lihat
sendiri. Kebanyakan masih kosong. Mereka menjebloskan aku bersamanya
supaya dia dapat menghajarku. Dan kalau itu dia lakukan, aku akan akan
menuntut Anda, secara pribadi. Panitera Williams, karena membiarkan itu
terjadi.”

Sikap si petugas pengadilan melembut sedikit “Aku akan perhatikan itu.


Sekarang akan kuserahkan beberapa berkas ke tangan Anda.” Ia menyerahkan
berkas tuntutannya, berkas pernyataan, dan beberapa berkas lain. “Tolong tanda
tangani satu per satu dan ambil sebuah copy.”

Dalam keadaan frustrasi dan sedih, Steve menerima bolpoin yang disodorkan
petugas pengadilan itu. lalu mulai menandatangani berkas-berkas tersebut.
Sementara itu, si petugas penjara berusaha membangunkan Porky. Steve
menyerahkan berkas-berkasnya kembali kepada si panitera. Wanita itu
memasukkannya ke dalam sebuah map.

Sesudah itu, ia menoleh ke arah Porky. “Sebutkan nama Anda.”

Steve membenamkan kepala ke dalam kedua belah tangannya.

215

BAB 18

kan Mh mengawasi pintu masuk ruang interogasi yang terbuka pelan-pelan itu.

Laki-laki yang melangkah masuk itu ternyata benar-benar kembaran Steven


Logan.

Di sebelahnya. Jeannie mendengar Lisa menahan napas.

Tampang Dennis Pinker begitu mirip dengan Steven, sehingga Jeannie tidak
akan pernah dapat membedakan mereka satu sama lain. *•

Teoriku ternyata benar, pikirnya dengan perasaan bangga. Meskipun orangtua


kedua, anak muda itu bersiteguh menyangkal kemungkinan bahwa mereka
adalah pasangan kembar, mereka toh bagai pinang dibelah dua.

Rambut pirangnya yang berombak dipotong dalam gaya yang persis sama:
pendek, dengan belahan. Dennis menggulung lengan kemeja seragam penjaranya
dengan rapi, seperti Steven menggulung manset kemeja linennya yang biru.
Dennis menutup pintu di belakangnya dengan tumitnya, seperti yang dilakukan
Steven saat memasuki ruang kerja” Jeannie di Nut House. Sambil duduk, ia
melontarkan senyum polos kebocahan yang menarik ke arah Jeannie, persis
seperti senyum Steven. Sulit bagi Jeannie untuk mempercayai bahwa ia bukan
Steven.

216

Jeannie menoleh ke arah Lisa. Temannya sedang menatap Dennis dengan mata
melebar. Wajahnya tampak pucat dan ketakutan. “Dia pelakunya,” desahnya.

Dennis menatap Jeannie, lalu berkata, “Kau mesti memberikan celana dalammu
padaku.”

Jeannie merinding mendengar ucapannya yang begitu meyakinkan itu, namun


secara intelektual ia juga merasa amat antusias. Steven tidak akan pernah
mengucapkan kata-kata seperti itu. Ini dia, materi genetika sama yang
ditransformasi ke dalam dua individu yang sama sekali berbeda—yang satu
seorang mahasiswa simpatik, yang lain jiwanya terganggu. Tapi apakah
perbedaan itu hanya sebatas itu saja?

Robinson, si petugas jaga, berkata dengan tenang, “Nah, jaga kelakuanmu dan
jangan macam-macam, Pinker, atau kau bakal dapat masalah.”

Dennis melontarkan senyum kebocahan itu lagi, namun kata-katanya


menakutkan. “Robinson tidak akan menyadari apa yang terjadi, tapi kau akan
menuruti perintahku,” ujarnya pada Jeannie. “Kau akan keluar dari sini dengan
semilir angin membelai bokong telanjangmu.”

Jeannie berusaha menenangkan diri. Ini cuma gertakan, la seorang wanita yang
pintar dan tegar. Dennis akan mendapati bahwa tidak mudah menyerang dirinya
bahkan andai kata mereka cuma berduaan. Dengan adanya si petugas penjara
yang jangkung itu, berdiri di dekatnya dengan sebuah tongkat pemukul dan
pistol, ia akan cukup aman.

“Kau tidak apa-apa?” gumamnya pada Lisa.

Wajah Lisa tampak pucat, namun garis bibirnya mengekspresikan ketegaran saat
ia menjawab dengan tegas, “Aku tidak apa-apa.”

Seperti orangtuanya, Dennis sudah mengisi beberapa formulir sebelumnya. Kini


Lisa mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih kompleks, yang tidak
dapat

217

dilengkapi hanya dengan memberikan tanda centang. Sementara mereka bekerja,


Jeannie mempelajari hasilnya sambil membandingkan Dennis dengan Steven.
Persamaan di antara keduanya betul-betul menakjubkan: profil psikologis, minat
dan hobi, selera, keterampilan fisik— semuanya persis sama. Dennis bahkan
memiliki IQ tinggi yang setaraf dengan Steve.

Betul-betul sayang sekali, ujarnya pada dirinya. Anak muda ini memiliki bakat
untuk menjadi ilmuwan, dokter bedah, insinyur, perancang software. Tapi saat
ini ia berada di sini, hidup terisolasi.

Perbedaan terbesar antara Dennis dan Steven adalah dalam cara mereka bergaul.
Steven adalah pribadi yang matang, dengan kemampuan bergaul di atas rata-rata
— ia bisa membawa diri di antara mereka yang tidak dikenalnya, siap menerima
wibawa kekuasaan, merasa santai di antara kawan-kawannya, senang ikut ambil
bagian dalam suatu tim. Dennis memiliki kemampuan beradaptasi dengan
sekelilingnya seperti seorang bocah berusia tiga tahun. Ia mengambil begitu saja
apa pun yang ia inginkan, menemui kesulitan dalam berbagi, ia merasa takut
menghadapi orang-orang yang asing baginya, dan kalau tidak memperoleh apa
yang diinginkannya, ia akan marah dan kasar.
Jeannie masih ingat ketika ia sendiri berusia tiga tahun. Ia melihat dirinya
bersandar pada pagar tempat tidur bayi adiknya yang baru lahir. Patty sedang
tidur dalam pakaian cantik berwarna merah muda, dengan bordiran bunga-bunga
biru di bagian kerahnya. Jeannie masih dapat merasakan amarah yang menguasai
dirinya saat ia menerawangi wajah mungil itu. Patty telah mencuri mommy dan
daddy-nya. Dengan seluruh daya yang dimilikinya, Jeannie ingin membunuh si
pengacau ini, yang telah menyita begitu banyak kasih sayang dan perhatian yang
sebelumnya hanya dicurahkan kepadanya. Ketika Bibi Rosa mengatakan. “Kau
sayang pada adik

218

kecilmu, bukan?” Jeannie menjawah, “Aku benci padanya, lebih baik dia mati.”
Bibi Rosa menamparnya, sehingga Jeannie merasa semakin diperlakukan tidak
adil.

Jeannie tumbuh dewasa, Steven juga. tapi lain halnya dengan Dennis. Kenapa
Steven tidak seperti Dennis? Apakah ia diselamatkan oleh cara ia dibesarkan?
Ataukah kelihatannya saja ia lain? Apakah kemampuannya untuk bergaul tidak
lebih dari kedok untuk menutupi jiwanya yang terganggu di baliknya?

Saat memperhatikan dan mendengarkan, Jeannie menyadari bahwa masih ada


perbedaan lain. Ia merasa takut pada Dennis. Ia tidak dapat mengatakan secara
persis, apa sebetulnya alasannya, tapi ada sesuatu yang negatif mengenai anak
muda itu. Perasaannya mengatakan bahwa Dennis akan melakukan apa pun yang
melintas di kepalanya, tanpa memedulikan konsekuensinya. Steven sama sekali
tidak menimbulkan perasaan itu dalam dirinya sekejap pun.

Jeannie memotret Dennis, lalu membuat gambar close-up kedua telinganya.


Pasangan kembar identik biasanya memiliki telinga yang mirip sekali, terutama
pada bagian cupingnya.

Saat mereka hampir selesai, Lisa mengambil contoh darah Dennis; ini memang
keahliannya. Jeannie hampir tak sabar lagi untuk melihat perbandingan hasil
pengetesan DNA-nya. la yakin Steve dan Dennis memiliki gen-gen yang sama
Itu akan membuktikan bahwa mereka sebetulnya toh pasangan kembar identik.

Sesuai rutin, Lisa menutup tabungnya, memberikan paraf pada labelnya,


kemudian pergi untuk memasukkannya ke dalam cool box di dalam bagasi mobil
mereka; Jeannie menyelesaikan wawancara itu sendiri.
Saat melengkapi rangkaian pertanyaannya yang terakhir, Jeannie berandai ia
dapat mempertemukan Steve dan Dennis di laboratoriumnya selama satu
minggu. Tapi itu tidak akan mungkin bagi kebanyakan pasangan

219

kembarnya. Dalam menekuni para kriminal, secara konstan ia akan berhadapan


dengan masalah bahwa beberapa di antara subjeknya berada di dalam penjara.
Tes-tes yang lebih canggih, yang melibatkan penggunaan mesin-mesin
laboratorium, tidak akan dapat dilaksanakan atas Dennis sampai ia keluar dari
penjara—kalau ia keluar. Jeannie harus bisa menerima kenyataan itu Tapi ia
masih memiliki banyak data lain untuk diolahnya.

Ia selesai dengan daftar pertanyaan terakhir. “Terima kasih untuk kesabaran


Anda, Mr. Pinker,” ujarnya.

‘Tapi kau belum menyerahkan celana dalammu,” sahut Pinker dengan tenang.

Robinson berkata, “Eh, Pinker, kau sudah begitu baik sepanjang sore. jangan
kaurusak suasananya.”

Dennis menatap si petugas jaga dengan pandangan menantang. Kemudian ia


berkata kepada Jeannie, “Si Robinson takut sama tikus, tahu9

Tiba-tiba Jeannie merasa tidak enak. Sesuatu yang tidak ia mengerti sedang
berlangsung. Cepat-cepat ia membenahi berkas-berkasnya.

Robinson tampak salah tingkah. “Aku tidak suka pada tikus, betul, tapi aku tidak
takut pada mereka”

“Juga tidak pada si abu-abu gendut di pojok situ?” ujar Dennis sambil menunjuk.

Robinson menoleh. Tidak ada apa-apa di sana, tapi begitu Robinson


memunggunginya Dennis merogoh sakunya, lalu mengeluarkan sebuah
bungkusan yang tertutup rapat. Gerakannya begitu cepat, sehingga Jeannie tidak
dapat menebak apa yang sedang ia lakukan, sampai terlambat. Ia membuka
sehelai sapu tangan berbintik-bintik biru untuk menampilkan seekor tikus abu-
abu yang gemuk, dengan ekor berwarna kemerahan. Tubuh Jeannie menggigil.
Ia tidak jijik, tapi ada sesuatu yang membuatnya bergidik melihat si tikus dalam
cakupan lembut tangan-tangan yang belum lama ini telah mencekik seorang
wanita sampai mati.

220

Sebelum Robinson sempat membalikkan tubuhnya kembali, Dennis telah


melepaskan si tikus.

Binatang itu lari melintasi ruangan tersebut. “Itu, Robinson, di sana!” seru
Dennis.

Robinson memutar tubuhnya, melihat si tikus, lalu berubah pucat, “Sial,”


umpatnya sambil meraih tongkat pemukulnya.

Si tikus lari menelusuri dinding, mencari tempat untuk bersembunyi. Robinson


segera mengejarnya, sambil mengayun-ayunkan pemukulnya. Ulahnya
meninggalkan beberapa guratan hitam di dinding, namun hantamannya tidak
mengenai sasaran.

Jeannie mengawasi Robinson, sementara bawah sadarnya seakan


mengingatkannya untuk waspada. Ada yang tidak beres di sini, sesuatu yang
betul-betul tidak masuk akal. Intermeso ini sama sekali tidak lucu. Dermis bukan
tukang bercanda, ia seorang penderita penyimpangan seks dan seorang
pembunuh. Apa yang dilakukannya amat janggal. Kecuali, ujar Jeannie pada
dirinya sambil merinding, ini merupakan suatu cara untuk mengalihkan
perhatian, dan Dennis sudah memiliki rencana lain….

Ia merasa sesuatu menyentuh rambutnya. Ia menoleh. Tiba-tiba jantungnya


seakan berhenti berdetak.

Ternyata Dermis sudah beranjak dari tempatnya dan sekarang berdiri di


dekatnya. Ia menghunuskan sebilah pisau buatan sendiri di muka Jeannie;
sebuah sendok timah yang bagian lengkungnya sudah dipipihkan dan diasah
membentuk mata anak panah.

Jeannie mencoba berteriak, tapi tenggorokannya seperti disumbat. Satu detik


yang lalu ia mengira situasinya cukup aman; kini ia sedang diancam oleh
seorang pembunuh dengan sebuah pisau. Bagaimana ini dapat terjadi dalam
waktu sesingkat itu? Kepalanya terasa kosong; ia hampir tidak dapat berpikir.

Dermis menjambak rambut Jeannie dengan tangan kirinya, lalu memindahkan


ujung pisaunya ke dekat

221

matanya sedemikian rupa, sehingga Jeannie tidak dapat memfokuskannya lagi.


Ia mendoyongkan tubuh, kemudian mengatakan sesuatu ke telinga Jeannie.
Napas laki-laki itu terasa panas di pipinya dan tubuhnya bau keringat. Suaranya
begitu rendah, sehingga Jeannie hampir tidak dapat menangkap kata-katanya di
antara suara ribut yang ditimbulkan oleh ulah Robinson “Lakukan apa yang
kukatakan, atau akan kuiris bola matamu

Hati Jeannie menciut ketakutan. “Oh, jangan, jangan bikin aku buta,” mohonnya.

Mendengar suaranya sendiri dalam nada pasrah yang begitu asing baginya,
membuat Jeannie kembali sadar akan keberadaannya. Mati-matian ia berusaha
menguasai diri dan berpikir terang. Robinson masih sibuk mengejar si tikus, dan
sama sekali tidak menyadari polah Dennis. Sulit bagi Jeannie untuk
mempercayai bahwa ini sungguh-sungguh terjadi. Mereka sedang berada di
sebuah bangunan penjara, dan ia di bawah pengawalan seorang petugas jaga
yang bersenjata, namun nasibnya ada di tangan Dennis. Betapa ironisnya,
beberapa menit yang lalu ia mengira bisa membual laki-laki itu menyesal kalau
sampai berani menyerangnya! Jeannie mulai menggigil ketakutan.

Dennis mengentakkan rambutnya, untuk memaksanya berdiri.

“Aduh!” Bahkan saat mengucapkan kata itu, Jeannie mengumpati dirinya, tapi ia
terlalu takut untuk berbuat lain. “Akan kuturuti maumu!”

Ia merasakan bibir laki-laki itu di dekat telinganya. “Lepaskan celana dalammu,”


desah Dennis.

Jeannie terenyak: Ia sudah siap melakukan apa pun yang diinginkan laki-laki itu,
seberapa pun memalukannya, agar dapat terlepas dari cengkeramannya; tapi
melepaskan celana dalamnya sama berbahayanya dengan menantangnya. Jeannie
tidak dapat memutuskan apa yang akan ia lakukan, la mencoba melirik ke arah
Robinson. Si petugas jaga berada-di luar jangkauan

222

penglihatannya, di belakangnya, dan ia tidak berani menoleh karena posisi pisau


yang dihunuskan ke arah matanya. Namun Jeannie dapat mendengar suara
Robinson mengutuki si tikus sambil berusaha menghajarnya dengan
pemukulnya, dan sepertinya ia masih belum menyadari apa yang sedang
dilakukan Dennis saat itu

“Waktuku tidak banyak lagi,” gumam Dennis dalam suara bernada dingin.
“Kalau aku tidak memperoleh apa yang kuinginkan, kau tidak akan pernah
melihat matahari yang bersinar lagi.”

Jeannie mempercayainya. Ia baru saja menghabiskan tiga jamnya yang terakhir


dengan mewawancarai laki-laki ini, dan ia tahu bagaimana pembawaannya.
Dermis tidak memiliki kata hati; ia tidak memiliki kemampuan untuk merasa
bersalah atau menyesal. Kalau Jeannie tidak menuruti keinginannya, ia akan
mencederainya tanpa ragu sedikit pun.

Tapi apa yang akan dilakukannya setelah aku melepaskan celana dalamku, tanya
Jeannie pada dirinya.. Apakah ia akan merasa puas. lalu menjauhkan pisau itu
dari wajahnya? Apakah ia toh akan melukainya? Atau ia akan minta lebih
banyak lagi?

Kenapa Robinson belum juga berhasil membunuh tikus sialan itu9

“Cepat!” desis Dennis.

Apa yang lebih menakutkan daripada menjadi buta? “Oke,” erang Jeannie.

Ia membungkuk dengan kaku, sementara Dennis masih mencengkeram


rambutnya dan menghunuskan pisau ke arahnya. Dengan susah payah ia
menaikkan rok gaun linennya, lalu menanggalkan celana dalam putihnya yang
terbuat dari bahan katun Dennis menggeram dalam suara berat seekor beruang
saat celana dalam Jeannie jatuh ke lantai. Jeannie merasa malu, meskipun akal
sehatnya mengatakan kepadanya bahwa ini bukan salahnya. Cepat-cepat ia
menurunkan roknya untuk me-223

nutupi ketelarijangannya. Sesudah itu ia menendang celana tersebut ke tengah-


tengah ruangan yang ditutupi lantai plastik berwarna keabuan itu. la benar-benar
merasa lemah.

Dermis melepaskan cengkeramannya, memungut celana dalam itu, untuk


ditempelkan ke wajahnya. Ia menghirup aromanya sambil memejamkan mata
untuk menikmatinya.

Jeannie memperhatikan ulahnya, masih dalam keadaan terguncang oleh situasi


yang dipaksakan itu. Meskipun laki-laki itu tidak menyentuhnya, bulu kuduknya
toh berdiri.

Apa yang akan dilakukannya setelah ini?

Tongkat pemukul Robinson menimbulkan suara hantaman yang meremukkan.


Jeannie menoleh dan melihat bahwa akhirnya si petugas jaga berhasil menghajar
si tikus. Tongkatnya mengenai bagian belakang tubuh binatang gemuk itu, dan di
lantai plastik berwarna keabuan terdapat bercak-bercak merah. Si tikus tidak bisa
lari lagi, meskipun masih hidup. Matanya terbuka dan tubuhnya bergerak naik
turun mengikuti irama napasnya. Robinson mengayunkan pemukulnya sekali
lagi, menghantam kepalanya. Si tikus berhenti bergerak, dan dari tengkorak
kepalanya yang hancur mengalir cairan kental berwarna .abu-abu.

Jeannie menoleh ke arah Dennis. Di luar dugaannya, laki-laki itu sudah duduk
kembali di tempatnya, seperti sebelumnya. Tampangnya seakan ia tidak pernah
beranjak dari sana. Gayanya seakan sama sekali tidak bersalah. Baik pisau
maupun celana dalam itu sudah menghilang entah ke mana.

Apakah ia sudah terlepas dari ancaman bahaya? Sudah selesaikah


permainannya?

Robinson tampak terengah-engah. Ia melayangkan pandangan curiga ke arah


Dennis, lalu berkata, “Bukan kau yang membawa binatang itu ke sini. kan,
Pinker9”

224

“Bukan, Sir,” sahut Dennis naif.

Di kepala Jeannie terangkai kalimat, Ya, dia yang membawanya! Tapi entah
kenapa ia tidak mengucapkannya.

Robinson berkata lagi, “Sebab, kalau ini memang ulahmu, aku akan…” Si
penjaga melirik ke arah Jeannie, lalu memutuskan untuk tidak mengucapkan apa
yang akan ia lakukan atas diri Dennis. “Aku yakin kau tahu bahwa aku akan
membuatmu menyesal.”
“Ya, Sir.”

Jeannie menyadari bahwa situasinya sudah lebih aman sekarang. Tapi rasa
leganya langsung diganti oleh kemarahan-Ia menatap Dennis dengan pandangan
berapi-api. Apakah laki-laki itu akan terus berpura-pura tidak ada apa-apa?

Robinson berkata, “Oke, sekarang ambil seember air untuk membersihkan


tempat ini.” “Baik, Sir.”

“Itu kalau Dr. Ferrami sudah selesai denganmu.”

Jeannie mencoba mengatakan. Sementara kau sibuk mengejar tikus itu, Dennis
mencuri celana dalamku, namun kata-kata itu tidak mau keluar. Kedengarannya
begitu konyol. Dan ia sudah dapat membayangkan konsekuensinya kalau ia
sampai mengucapkannya. Ia bakal tertahan di sini selama sejam lagi, sementara
pelanggaran itu diusut. Tubuh Dennis akan digeledah dan celana dalamnya akan
ditemukan. Benda itu akan ditunjukkan kepada Sipir Temoigne. Sudah terbayang
oleh Jeannie bagaimana laki-laki itu akan memeriksa barang buktinya dengan
tampangnya yang menyebalkan itu….

Tidak. Ia tidak akan mengatakan apa-apa. - Ia merasa sedikit bersalah. Biasanya


ia selalu menyesali para korban tindak kekerasan yang memilih untuk tetap
diam, sementara pelakunya dibiarkan berkeliaran bebas tanpa perlu
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ide itu membuatnya begitu sengit,
sehingga untuk

225

sesaat ia merasa terdorong untuk mengadukannya, hanya untuk membuyarkan


skenarionya. Kemudian terbayang olehnya bagaimana Temoigne, Robinson, dan
para lelaki lain di penjara itu akan menatapnya sambil mengatakan dalam hati,
Dia tidak memakai celana dalam, dan ia menyadari bahwa beban itu terlalu berat
untuknya

Betapa lihainya Dermis, selihai laki-laki yang menyulut api di gedung olahraga
serta memerkosa Lisa, selihai Steve….

“Anda agak pucat,” ujar Robinson padanya. “Rupanya Anda juga tidak suka
pada tikus, seperti aku.”
Jeannie berusaha menguasai diri. Semua sudah berakhir, la selamat, bahkan
masih dapat melihat. Apa sebetulnya yang masih perlu dikeluhkan? tanyanya
pada dirinya. Bisa saja aku sudah cedera atau diperkosa. Tapi aku cuma
kehilangan pakaian dalamku. Bersyukurlah. “Aku tidak apa-apa, terima kasih,”
ujarnya.

“Kalau begitu, kuantar Anda keluar.”

Bertiga mereka keluar dari ruangan itu

Di luar pintu Robinson berkata, “Ambil lap pel, Pinker.”

Dennis melontarkan senyuman ke arah Jeannie, sebuah senyuman intim, seakan


mereka sepasang kekasih yang baru saja melewatkan sore itu bersama-sama di
tempat tidur. Kemudian ia menghilang. Jeannie mengawasinya dari belakang
dengan perasaan amat lega, meskipun mendadak ia toh merasa tidak enak,
mengingat laki-laki itu masih mengantongi pakaian dalamnya di sakunya.
Apakah ia akan tidur dengan menempelkan celana dalam itu pada pipinya,
seperti seorang bocah dengan boneka teddy bear-nya? Atau ia melilitkannya
pada alat vitalnya saat bermasturbasi, seolah-olah ia sedang bercinta dengannya?
Apa pun yang akan dilakukannya. Jeannie merasa dirinya dilibatkan secara
paksa, haknya sebagai seorang pribadi dilanggar dan keleluasaannya
dicemarkan.

226

Robinson mengantar Jeannie sampai ke pintu gerbang, kemudian menjabat


tangannya. Jeannie menyeberangi pelataran yang panas itu, menuju mobil Ford
sewaan mereka, sambil berkata dalam hatii Aku baru merasa lega setelah keluar
dari tempat ini. Ia sudah mendapatkan contoh DNA Dennis, itu yang paling
penting.

Lisa sedang duduk di belakang kemudi, dengan AC menyala untuk menyejukkan


udara di dalam mobil. Jeannie langsung melonjorkan tubuh di bangku
sebelahnya.

“Tampangmu nggak keruan,” ujar Lisa saat ia menjalankan kendaraannya.

“Kita mampir di daerah pertokoan pertama yang kita lewati,” ujar Jeannie.
“Oke. Kau butuh sesuatu?”

“Aku akan menceritakannya padamu,” sahut Jeannie. “Tapi kau tidak akan
mempercayainya.”

di-scandandi-djvu-kan untuk’ dimhader (dimhad.co cc oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa hidup anda selamanya.

227

BAB 19

Setelah acara makan siang itu, Berrington pergi ke sebuah bar yang tenang di
sekitar situ. lalu memesan segelas martini.

Ide Jim Proust untuk melakukan tindak pembunuhan betul-betul amat


mengguncangkan baginya. Berrington tahu bahwa ulahnya mencengkeram kerah
kemeja Jim serta berteriak-teriak padanya memang konyol. Tapi ia tidak
menyesalinya. Setidaknya ia sudah memastikan Jim tahu persis bagaimana
sikapnya.

Memang bukan hal baru bagi mereka untuk berselisih paham. Ia teringat krisis
serius mereka yang pertama, di awal tahun tujuh puluhan, ketika skandal
Watergate terbongkar. Saat itu merupakan masa yang serba salah: pandangan
konservatif dianggap negatif, kaum politisi yang berpegang teguh pada hukum
dan peraturan ternyata menyeleweng, dan kegiatan-kegiatan tidak jelas, tak
peduli seberapa baik pun tujuannya, secara tiba-tiba dianggap subversif. Preston
Barck amat ketakutan waktu itu, dan ingin menyudahi seluruh misi. Jim Proust
menyebutnya pengecut, dan bersikeras menyatakan bahwa situasinya cukup
aman. Ia mengusulkan agar mereka melanjutkan proyek ini sebagai usaha kerja
sama dengan pihak CIA-Angkatan Bersenjata, kalau mungkin dengan
menggunakan sistem sekuriti yang lebih ketat. Tak perlu

228

diragukan bahwa ia sudah siap untuk melenyapkan pihak mana pun yang berniat
mengotak-atik apa yang sedang mereka kerjakan. Berrington-lah yang ketika itu
mengusulkan untuk mendirikan suatu perusahaan swasta dan mulai menjaga
jarak dengan pemerintah. Kini sekali lagi tergantung pada dirinya, apakah
mereka akan menemukan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang
sedang mereka hadapi ini.

Suasana tempat itu suram dan dingin. Seperangkat TV di meja bar menayangkan
sebuah opera sabun, tapi suaranya dikecilkan. Minuman gin yang dingin itu
berhasil menenangkan Berrington. Amarahnya kepada Jim berangsur-angsur
mereda, dan ia mulai memusatkan pikirannya pada Jeannie Ferrami.^

Akibat kecemasannya, ia telah membuat janji dengan agak terburu-buru. Tanpa


menggunakan pikiran jernih, ia menyatakan pada Jim dan Preston bahwa ia akan
menghadapi Jeannie. Kini ia terpaksa menuntaskan apa yang telah ia sepakati. Ia
hams menghentikan Jeannie Ferrami melakukan interogasinya sehubungan
dengan keberadaan Steve Logan dan Dennis Pinker.

Situasinya sama sekali tidak mudah. Meskipun ia yang mempekerjakan Jeannie


serta mengatur peroleh an dana proyeknya, ia tidak dapat memerintahnya ini-itu
dengan begitu saja; seperti yang ia katakan pada Jim, universitasnya bukanlah
dinas kemiliteran. Jeannie dipekerjakan oleh JFU, dan pihak Genetico sudah
menyerahterimakan subsidi mereka selama setahun. Kelak, tentu saja, dengan
mudah ia dapat menekannya; tapi ide itu tidak relevan. Jeannie harus disetop
secepatnya, hari ini atau besok, sebelum hasil lacakannya keburu
menghancurkan mereka semua.

Tenang, ujarnya pada dirinya, tenang.

Titik kelemahan Jeannie adalah pemakaian sistem database medisnya yang tanpa
izin dari pasien-pasien yang bersangkutan. Ini bisa diolah menjadi skandal

229

oleh koran-koran, tanpa mempermasalahkan apakah keleluasaan pribadi


seseorang betul-betul dilanggar atau tidak. Pihak universitas biasanya tidak
menyukai skandal; itu akan mempengaruhi usaha mereka untuk mendapatkan
subsidi.

Memang tragis sekali untuk membubarkan begitu saja suatu proyek ilmiah yang
begitu berpotensi. Ini betul-betul bertentangan dengan segala yang
diperjuangkan Berrington selama ini. Ia telah mendorong Jeannie untuk maju,
dan kini ia harus menghentikannya. Jeannie akan kecewa sekali, dengan alasan
yang amat masuk akal. Berrington mengingatkan dirinya bahwa Jeannie
memiliki gen-gen yang kurang baik, sehingga cepat atau lambat ia akan terlibat
masalah, namun Berrington toh tak ingin dirinyalah yang menjadi sebab
kejatuhan Jeannie.

Berrington mencoba untuk tidak membayangkan bentuk tubuhnya. Sejak dulu


kaum wanita memang merupakan titik kelemahannya. Ia tidak pernah tergoda
oleh kebiasaan-kebiasaan buruk lain: ia minum-minum secukupnya, tidak pernah
berjudi, dan tidak mengerti untuk apa orang memakai obat-obat terlarang, la
mencintai Vivvie, mantan istrinya, tapi bahkan ketika status mereka masih
suami-istri ia tak dapat menahan godaan untuk berselingkuh dengan wanita-
wanita lain, sehingga pada akhirnya Viwic meninggalkan dirinya. Kini, saat
memikirkan Jeannie, ia membayangkan jari-jari wanita itu menelusuri
rambutnya sambil berkata, Anda telah begitu baik kepadaku, aku berutang budi
pada Anda, entah bagaimana caranya aku dapat menyatakan terima kasihku.

Pikiran-pikiran seperti itu membuatnya malu pada dirinya. Seharusnya ia berlaku


sebagai pelindung dan pembimbingnya, bukan sebagai seorang perayu.

Di samping nafsu, ia juga dijalari oleh perasaan kesal. Biar bagaimanapun,


Jeannie cuma seorang wanita:

230

bagaimana mungkin ia dapat menjadi ancaman bagi mereka? Bagaimana


seorang wanita muda dengan sebentuk cincin di cuping hidungnya dapat
membahayakan posisi dirinya, Preston, dan Jim di saat mereka sebentar lagi
akan meraih ambisi seumur hidup mereka? Rasanya tak mungkin mereka akan
gagal sekarang; bayangan itu membuat kepalanya berputar-putar.dalam
kepanikan. Di saat tidak sedang membayangkan dirinya bercinta dengan Jeannie,
dalam fantasinya ia sedang mencekik leher gadis itu.

Selain itu, ia enggan membuat kehebohan mengenai masalah ini. Sulit sekali
mengendalikan pihak pers. Ada kemungkinan mereka akan mulai dengan
menyelidiki seluruh kegiatan Jeannie, kemudian berlanjut sampai kepada
dirinya. Ini strategi berbahaya. Tapi ia tidak memiliki ide lain untuk
mengimbangi usul Jim yang lebih fatal itu.

Ia mengosongkan isi gelasnya. Pelayan bar menawarkan segelas martini lagi,


namun ia menolaknya. Ia melayangkan pandang ke sekitar ruang bar itu dan
melihat sebuah pesawat telepon umum di sebelah kamar kecil pria. Ia menyusur
kartu American Express-nya melalui alat sensor pesawat itu, lalu memutar
nomor telepon kantor Jim. Salah seorang anak muda arogan yang bekerja untuk
Jim menjawab, “Kantor Senator Proust.”

“Aku Berrington Jones…”

“Maaf, tapi Senator sedang rapat sekarang.”

Seharusnya ia melatih mereka untuk bersikap lebih simpatik, umpat Berrington


dalam hati. “Kalau begitu, coba kita cari cara untuk tidak mengganggunya,”
ujarnya. “Apakah dia harus menghadiri salah satu pertemuan pers sore ini?”

“Aku tidak yakin. Boleh aku tahu untuk apa Anda tanyakan itu. Sir?”

“Tidak, Nak, kan tidak boleh tahu,” ujar Berrington

231

dalam nada kesal. Asisten-asisten yang sok tahu merupakan malapetaka bagi
Capitol Hill. “Tapi kau boleh jawab pertanyaanku; kau mau langsung hubungkan
aku dengan Jim Proust sekarang, atau kau boleh kehilangan pekerjaanmu. Nah,
silakan pilih.” “Tolong jangan ditutup dulu.”

Untuk waktu lama tidak terdengar apa-apa. Berrington menyadari bahwa


mengharapkan Jim akan mengajari anak buahnya untuk bersikap lebih simpatik
adalah seperti berharap seekor simpanse mau mengajari anak-anaknya tata
krama di meja makan. Gaya si bos biasanya menular kepada para anggota
stafnya; orang yang tidak pernah memperhatikan tata krama cenderung memiliki
pegawai yang akan mengabaikan sopan santun.

Sebuah suara lain terdengar. “Profesor Jones, lima belas menit lagi Senator akan
menghadiri acara jumpa pers dalam rangka peluncuran buku Anggota Kongres
Dinkey, New Hope for America.”

Betul-betul pas sekali. “Di mana?”

“Di Hotel Watergate.”

“Katakan pada Jim bahwa aku akan hadir, dan tolong pastikan namaku
tercantum di daftar tamu.” Berrington menutup pesawatnya tanpa menantikan
jawaban.

la meninggalkan bar itu, lalu naik taksi ke Hotel Watergate. Ini harus ia tangani
dengan hati-hati. Memanipulasi pihak pers besar risikonya; seorang reporter
yang baik mungkin akan melihat ada apa sebetulnya di balik sebuah cerita, dan
mempertanyakan mengapa itu dipersoalkan. Tapi setiap kali ia mulai
mempertimbangkan risiko itu, ia mengingatkan diri akan imbalannya, lalu
berusaha meneguhkan tekadnya.

Ia menemukan ruangan tempat acara jumpa pers itu akan diadakan. Namanya
tidak tercantum dalam daftar tamu—anggota staf yang sok tahu biasanya tidak
efisien—namun penerbit buku itu mengenali wajahnya dan menyambutnya
sebagai penambah marak suasana

232

untuk publisitasnya melalui kamera. Berrington merasa lega bahwa ia


mengenakan kemeja Tumbull & Asser bergaris-garis halus yang membuat
tampangnya begitu keren dalam foto-foto.

la mengambil segelas Perrier, lalu melayangkan pandang ke seputar ruangan itu.


Ada sebuah mimbar kecil di muka latar berupa sampul yang sudah diperbesar
dari buku yang akan diluncurkan, dan setumpuk berkas berisi bahan untuk
dibagi-bagikan kepada pihak pers di sebuah meja kecil di sebelahnya. Para
anggota kru televisi tampak sibuk menyiapkan sistem penyinaran mereka.
Berrington melihat satu-dua orang reporter yang dikenalnya, tapi tak seorang
pun yang betul-betul dapat ia percayai.

Namun semakin lama semakin banyak yang datang. Ia bergerak mengitari


ruangan untuk berbasa-basi di sana-sini, sementara matanya terus mengawasi
pintu Kebanyakan para jurnalis itu tahu siapa dirinya: ia seorang selebriti,
meskipun tidak dari peringkat atas. Ia belum pernah membaca bukunya, namun
Dinkey, seorang tradisionalis berhaluan sayap kanan, memiliki pandangan
hampir sama seperti yang dianut Berrington, Jim, dan Preston, sehingga tidak
sulit bagi Berrington untuk mengungkapkan kepada para reporter di situ bahwa
ia sepaham dengan apa yang ingin disampaikan melalui buku itu.

Beberapa menit lewat pukul tiga, Jim muncul bersama Dinkey. Persis di
belakang mereka tampak Hank Stone, tokoh senior dari New York Times—
berkepala botak, hidung merah, perut menyembul di atas batas pinggang celana
panjangnya, leher kemeja tidak dikancing, dasi molor ke bawah, dan sepatu
kecokelatan yang sudah usang. Pasti ia reporter berpenampilan paling gawat
dalam korps wartawan White House.

Berrington menimbang-nimbang, apakah Hank bisa diandalkan.

233

Hank tidak menganut pandangan politik yang jelas. Berrington berkenalan


dengannya pada saat ia sedang mengolah artikel tentang Genetico, lima belas
atau dua puluh tahun yang lalu. Sejak mendapat pekerjaan di Washington, ia
pernah membuat ulasan tentang ide Berrington sekali dua kali, dan ide Jim
Proust beberapa kali. Gayanya lebih sensasional daripada intelektual,
sebagaimana biasanya di koran-koran, namun ia tidak pernah berlagak bermoral
seperti kebanyakan jurnalis beraliran liberal.

Hank akan menanggapi suatu masukan secara selektif; kalau ia menganggap


ceritanya baik, ia akan menulisnya. Tapi apakah ia dapat diandalkan untuk tidak
mengorek-ngorek lebih dalam? Berrington tidak dapat memastikannya.

la menyapa Jim, kemudian berjabat tangan dengan Dinkey. Mereka berbincang-


bincang selama beberapa saat, sementara Berrington terus berharap munculnya
prospek yang lebih baik. Namun yang ia tunggu-tunggu tak juga tampak, dan
konferensi pers akan segera dimulai.

Berrington duduk mendengarkan sambutan demi sambutan, sambil berusaha


menahan kesabarannya. Waktunya tidak banyak lagi. Andai kata masih punya
waktu beberapa hari lagi, ia bisa menemukan seseorang yang lebih baik daripada
Hank, tapi ia tidak memiliki waktu beberapa hari, ia cuma punya beberapa jam.
Dan pertemuan secara kebetulan seperti ini cenderung tidak begitu
mencurigakan dibandingkan membuat perjanjian dengan mengajak si jurnalis
pergi makan siang.

Saat acara itu berakhir masih juga belum tampak seseorang yang lebih baik
daripada Hank.

Saat para wartawan mulai bubar, Berrington mencegat Hank. “Hank. Wah,
kebetulan sekali kita berpapasan. Rasanya aku punya cerita untukmu.”

“Bagus!”
234

“Tentang penyalahgunaan informasi medis melalui database.”

Hank mengerutkan wajahnya. “Sebetulnya bukan bidangku, Berry, tapi coba


teruskan.”

Berrington mengerang dalam hati. Rupanya Hank sedang tidak mudah tergugah.
Ia melanjutkan usahanya, dengan mengerahkan karismanya. “Menurutku ini
justru tepat untukmu, mengingat kau akan melihat potensi yang mungkin akan
dilewatkan oleh seorang reporter biasa.”

“Oke, cobalah.”

“Pertama-tama, anggap pembicaraan ini tidak pernah ada.”

“Begitu lebih menjanjikan.”

“Kedua, kau tentunya akan mempertanyakan kenapa aku memberikan cerita ini
kepadamu, tapi kau tidak akan mengajukannya.”

“Itu lebih bagus lagi,” ujar Hank, namun ia belum menjanjikan apa-apa.

Berrington memutuskan untuk tidak mendesaknya. “Di Jones Falls University, di


departemen psikologinya, ada seorang peneliti muda bernama Dr. Jean Ferrami.
Dalam usahanya mencari subjek yang cocok untuk risetnya, dia menelusuri
sejumlah database medis tanpa seizin pemilik catatan dalam file-file itu.”

Hank menarik hidungnya yang merah.‘“Tentang apa cerita ini? Tentang


penyalahgunaan dalam pemakaian komputer, atau etika dunia ilmu?”

“Aku tidak tahu, kau kan jurnalisnya.”

Hank tampak tidak begitu antusias. “Topiknya kurang menarik.”

Jangan sok jual mahal, brengsek. Berrington menyentuh lengan Hank dengan
cara bersahabat. “Begini saja, bagaimana kalau kaucoba tanya sana-sini?”
bujuknya. “Hubungi pimpinan universitas, namanya Maurice Obeli. Telepon Dr.
Ferrami. Katakan pada mereka bahwa
235

ini cerita besar, dan dengarkan tanggapan mereka. Aku yakin reaksi mereka
bakal menarik sekali.” “Masa?”

“Aku berani bertaruh, Hank. Waktumu tidak akan terbuang sia-sia.” Bilang oke,
brengsek, bilang oke!

Hank tampak ragu, kemudian berkata, “Oke, aku akan coba.”

Berrington berusaha menyembunyikan rasa puasnya di balik ekspresi wajah


yang serius, namun ia toh tersenyum sedikit.

Hank melihatnya. Kerutan alisnya membayang di wajahnya. “Kau tidak sedang


mencoba memperalatku, kan, Berry? Untuk membuat seseorang gelisah,
umpamanya?”

Berrington tersenyum sambil melingkarkan lengannya di pundak si jurnalis.


“Hank,” ujarnya. “Percayalah padaku.”

236

BAB 20

Jeannie membeli sebungkus celana dalam katun putih isi tiga di Walgreen, di
sebuah mal kecil persis di luar Richmond. Ia memakai satu di kamar kecil wanita
restoran Burger King yang terletak di sebelahnya, kemudian merasa jauh lebih
enak.

Sungguh aneh, betapa tidak berdaya perasaannya tanpa pakaian dalam. Ia hampir
tidak dapat berkonsentrasi pada hal-hal lain. Sewaktu masih mencintai Will
Temple, ia suka ke mana-mana tanpa celana dalam. Itu membuatnya merasa
seksi sepanjang hari. Saat duduk di ruang perpustakaan, atau bekerja di
laboratoriumnya, atau sekadar keluyuran di jalan, ia berkhayal Will tiba-tiba
muncul begitu saja, penuh nafsu berahi, dan berkata padanya, Aku tidak punya
banyak waktu, tapi aku menginginkan dirimu, sekarang, di sini, dan ia sudah
siap untuknya. Tapi tanpa seorang laki-laki dalam kehidupannya, ia
membutuhkan pakaian dalamnya, sama seperti ia membutuhkan sepatunya.

Setelah berpakaian sepantasnya, ia kembali ke mobil. Lisa membawa mereka ke


bandara Richmond-Williamsburg, untuk mengembalikan kendaraan sewaan
mereka, lalu menaiki pesawat untuk terbang kembali ke Baltimore.

Kunci misteri itu tentunya ada di rumah sakit tempat

237

Dennis dan Steven dilahirkan, putus Jeannie saat pesawat mereka meninggalkan
landasan. Entah bagaimana, pasangan kembar identik itu akhirnya dibesarkan
oleh ibu-ibu yang berlainan. Skenario yang mirip dongeng, tapi itulah yang
terjadi.

Jeannie menelusuri berkas-berkas di dalam tas kerjanya, untuk memeriksa data-


data yang ia miliki tentang kedua subjeknya itu. Steven lahir pada tanggal 25
Agu tus Tapi di luar dugaannya, ia mendapati Dennis ternyata lahir pada tanggal
7 September—hampir dua minggu sesudahnya.

“Pasti ada yang salah,” ujarnya. “Aku tidak mengerti, kenapa aku tidak
mengecek ini sebelumnya.” Ia menyodorkan data-data yang saling bertentangan
itu kepada Lisa.

“Kita bisa cek lagi itu,” ujar Lisa.

“Apakah di dalam salah satu formulir kita ada pertanyaan mengenai nama rumah
sakit tempat si subjek dilahirkan?”

Lisa tertawa getir. “Rasanya pertanyaan itu tidak kita masukkan.”

“Dalam kasus ini, tentunya itu sebuah rumah sakit militer. Kolonel Logan
bekerja di dinas kemiliteran, dan tentunya si ‘Mayor* seorang prajurit pada saat
Dennis dilahirkan.”

“Kita akan cek itu.”

Lisa tidak merasa tak sabaran seperti Jeannie. Baginya proyek ini cuma salah
satu riset. Tapi bagi Jeannie proyek ini berarti segalanya. “Aku ingin
menghubungi mereka sekarang juga,” ujarnya. “Apa ada telepon di pesawat
ini?”

Lisa mengerutkan alisnya. “Kau mau menelepon ibu Steven?”


Jeannie menangkap nada kurang setuju dalam suara Lisa. “Ya. Kenapa tidak?”

“Apa dia tahu bahwa anaknya dalam tahanan?”

238

“Pertanyaan bagus. Aku tidak tahu. Sial. Bukan hakku meneruskan berita itu
kepadanya.”

“Mungkin dia sudah menelepon mereka.”

“Mungkin ada baiknya kalau aku menjenguknya di tahanan. Itu diperbolehkan,


bukan?”

“Kukira begitu. Tapi sepertinya mereka memiliki jam-jam berkunjung, seperti di


rumah sakit.”

“Aku akan muncul begitu saja. Siapa tahu? Setidaknya aku bisa menghubungi
pasangan Pinker” Ia melambaikan tangan ke arah seorang pramugari. “Apakah
ada telepon di pesawat ini?”

“Tidak, sayang sekali.”

“Apa boleh buat.”

Si pramugari tersenyum. “Kau tidak ingat aku. Jeannie?”

Jeannie menatapnya untuk pertama kali, kemudian langsung mengenalinya.


“Penny Watermeadow!” serunya. Penny pernah kuliah di Minnesota bersama
leannie untuk meraih gelar kesarjanaannya dalam bahasa Inggris. “Apa kabar?”

“Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”

“Aku di Jones Falls, melakukan riset yang rupanya sedang menghadapi beberapa
masalah. Kukira kau sedang mengejar pekerjaan yang sifatnya lebih akademis.”

‘Tadinya memang, tapi nggak berhasil.**

Jeannie merasa rikuh bahwa ia berhasil, sedangkan temannya tidak. “Sayang


sekali.”
“Tapi aku toh merasa puas sekarang. Aku menikmati pekerjaan ini, dan
imbalannya jauh lebih banyak daripada bekerja di salah satu perguruan tinggi.”

Jeannie tidak mempercayai ucapannya. Sungguh mengguncangkan baginya


untuk melihat seorang wanita bergelar sarjana bekerja sebagai pramugari. “Aku
selalu membayangkan kau akan menjadi seorang guru yang baik.”

“Aku pernah mengajar di sebuah sekolah menengah

239

selama beberapa waktu. Aku pernah ditusuk oleh seorang siswa yang tidak
sependapat denganku mengenai Macbeth. Aku lalu mempertanyakan pada
diriku, untuk apa aku melakukannya—mempertaruhkan nyawaku untuk
mengajar Shakespeare pada anak-anak muda yang sudah tak sabar lagi untuk
kembali berkeliaran di jalan dan mencuri uang untuk membeli kokain.”

Jeannie masih ingat nama suami Penny. “Bagaimana dengan Danny?”

“Dia baik-baik saja. Dia seorang sales manager regional sekarang. Artinya dia
harus sering pergi, tapi penghasilannya juga lumayan.”

“Wah, menyenangkan sekali bertemu denganmu lagi. Kau tinggal di Baltimore?”

“Washington, DC.”

“Berikan nomor teleponmu, aku akan menghubungimu.” Jeannie menyodorkan


bolpoin, kemudian Penny menuliskan nomor teleponnya di salah sebuah map
Jeannie.

“Kita pergi makan siang sama-sama,” ujar Penny. “Bakai menyenangkan sekali.”
“Pasti.”

Penny meninggalkan mereka.

Lisa berkata, “Tampangnya cerdas.”

“Dia memang pintar. Sayang sekali. Nggak ada yang salah dengan profesi
sebagai pramugari, tapi sepertinya dua puluh lima tahun pendidikan menjadi sia-
sia.”
“Apa kau akan menghubunginya?”

“Kukira tidak. Tentunya dia menyesal. Keberadaanku cuma akan mengingatkan


dirinya pada apa yang pernah dia impikan dulu. Menyedihkan.”

“Kukira juga begitu. Aku kasihan padanya.”

“Aku juga.”

Begitu mereka mendarat. Jeannie menuju ke sebuah pesawat telepon umum


untuk menghubungi pasangan Pinker di Richmond, tapi pesawat mereka rupanya
se—

240

dang sibuk. “Sial,” umpatnya. Ia menunggu selama lima menit, lalu mencoba
sekali lagi. namun nadanya masih tetap sama. “Charlotte tentunya sedang
menelepon keluarganya yang berdarah panas untuk menceritakan mengenai
kunjungan kita,” ujarnya. “Aku akan coba lagi nanti.”

Mobil Lisa ada di pelataran parkir. Mereka menuju ke arah kota, ialu Lisa
mengantar Jeannie ke apartemennya. Sebelum turun dari mobil, Jeannie berkata,
“Boleh aku minta sesuatu darimu?”

“Tentu. Tapi aku nggak mau janji akan melakukannya.” Lisa tertawa.

“Tolong mulai olah DNA-nya malam ini.”

Wajah Lisa memanjang. “Oh, Jeannie. kita kan sudah keluar seharian. Aku
masih mesti belanja untuk makan malam.”

“Aku tahu. Dan aku masih mesti pergi ke rumah tahanan itu. Bagaimana kalau
kita bertemu di laboratorium nanti, pukul sembilan?”

“Oke.” Lisa tersenyum. “Aku ingin tahu hasil tesnya nanti.”

“Kalau kita mulai malam ini, kita sudah bisa lihat hasilnya besok lusa.”

Lisa tampak jurang yakin. “Setelah memotong beberapa prosedur, ya.”

“Bagus!” Jeannie turun dari mobil itu, kemudian Lisa melesat pergi.
Sebetulnya Jeannie ingin langsung naik ke mobilnya sendiri, lalu langsung pergi
ke kantor polisi, tapi ia memuluskan lebih baik mengecek keadaan ayahnya dulu,
karena itu ia masuk ke rumahnya.

Ayahnya sedang menonton Wheel of Fortune. “Hai, Jeannie, kok baru pulang?”
ujarnya.

“Aku kan kerja, dan aku belum selesai.” jawab Jeannie. “Bagaimana hari ini?”

“Agak membosankan, di sini sendirian.”

241

Jeannie merasa kasihan pada ayahnya. Sepertinya ia tidak punya teman. Namun
tampangnya jauh lebih baik daripada malam sebelumnya. Penampilannya bersih,
habis bercukur dan istirahat. Ia telah memanaskan sepotong piza dari lemari es
Jeannie untuk makan siangnya; perabotan bekas makannya masih berserakan di
pojok dapur. Jeannie baru akan menanyakan kepadanya, siapa yang akan
memasukkan semua itu ke mesin pencuci perabotan, namun ia keburu
mengurungkan niatnya.

Ia meletakkan tas kantornya, ialu mulai merapi rapi kan dapurnya. Si ayah tidak
mematikan pesawat TV-nya.

“Aku baru dari Richmond, Virginia,” ujar Jeannie.

“Itu bagus. Manis. Kita makan apa nanti malam?”

Tidak, ujar Jeannie pada dirinya, tidak bisa dibiarkan. Ia tidak akan
memperlakukan aku sebagaimana ia memperlakukan Mom. “Bagaimana kalau
Daddy menyiapkan sesuatu?” ujarnya.

Ucapan itu berhasil menggugah perhatian ayahnya. Ia mengalihkan matanya dari


pesawat TV. “Aku kan tidak bisa masak!”

“Aku juga tidak bisa. Daddy.”

Si ayah mengerutkan alisnya, lalu tersenyum. “Kalau begitu, kita makan di


luar!”
Ekspresi wajahnya saat itu begitu akrab. Ingatan Jeannie langsung kembali ke
suatu masa, sekitar dua puluh tahun yang lalu. Ia dan Patty sama-sama
mengenakan celana jeans yang baru. Ia melihat Daddy dengan rambutnya yang
hitam dan cambang berkata, “Ayo kita ke pasar malam! Kita beli harum manis?
Ayo naik mobil!” Ia iaki-iaki paling menyenangkan di dunia waktu itu
Kemudian kenangan Jeannie beralih ke sekitar sepuluh tahun yang ialu. Ia
mengenakan celana jeans hitam dan sepatu bot Doc Marten waktu itu; rambut
Daddy lebih pendek dan mulai ubanan. Daddy berkata, “Akan kuantar kau
sampai ke Boston dengan barang

242

barangmu; aku akan beli minibus. Dengan begitu kita punya waktu untuk
dihabiskan bersama-sama; kita akan makan fast food di jalan. Bakal seru sekali
nanti! Usahakan siap pukul sepuluh!” Jeannie menunggu sepanjang hari, tapi si
ayah tidak pernah muncul, dan pada hari berikutnya ia naik sebuah bus
Greyhound.

Kini, melihat binar ayo-kita-bergembira yang sama di matanya, Jeannie cuma


dapat berandai dengan sepenuh hati, kalau saja ia bisa berusia sembilan tahun
kembali dan mempercayai seiiap patah kata yang diucapkan ayahnya. Tapi ia
sudah dewasa sekarang, karena itu ia berkata, “Daddy punya uang berapa?”

Tampang si ayah berubah sedih. “Aku tidak punya sepeser pun, kan aku sudah
bilang.”

“Aku juga tidak punya. Jadi, kita tidak bisa pergi makan di luar.” Jeannie
membuka lemari esnya. Ia masih punya daun selada, beberapa tongkol jagung,
sebutir jeruk lemon, sebungkus daging anak domba, sebutir tomat, dan sekotak
beras Uncle Ben yang isinya tinggal setengah. Ia mengeluarkan itu semua dan
meletakkannya di meja dapur. “Begini saja.” ujarnya. “Kita akan makan jagung
dengan mentega yang sudah dicairkan sebagai hidangan pembuka, ialu daging
anak domba dengan bumbu sari jeruk lemon yang dimakan dengan selada dan
nasi, ialu es krim sebagai hidangan penutup

“Wah, itu baru asyik!”

“Daddy yang menyiapkannya, sementara aku pergi.”

Si ayah berdiri, kemudian menatap bahan makanan yang baru saja dikeluarkan
Jeannie.

Jeannie memungut tas kantornya. “Aku pulang sekitar pukul sepuluh.”

“Aku tidak tahu cara memasak ini semua!” ujar si ayah sambil mengacungkan
setongkoi jagung.

Dari sebuah rak di atas lemari esnya, Jeannie mengambil The Readers Digest
Att-the-Year-Round Cookbook—Buku Masak Sepanjang Tahun The Reader’s Di

243

gest. Ia menyerahkan buku itu kepada ayahnya. “Cari saja resepnya di sini,”
ujarnya. Dan setelah mengecup pipi ayahnya, ia keluar.

Saat memasuki mobilnya, kemudian melesat ke arah kota, ia hanya dapat


berharap sikapnya terhadap ayahnya tidak terlalu keras. Ayahnya berasal dari
generasi yang lebih tua, peraturan peraturannya tentunya lain di zamannya.
Namun ia tidak bisa berfungsi sebagai pengurus rumah tangga ayahnya, bahkan
andai kata ia mau; ia harus mempertahankan pekerjaannya. Dengan memberikan
tempat bernaung malam itu kepada ayahnya, ia telah berbuat lebih banyak untuk
ayahnya daripada yang pernah dilakukan sang ayah untuknya hampir seumur
hidupnya. Namun Jeannie toh menyesal tidak meninggalkan ayahnya dalam
suasana yang lebih menyenangkan. Ayahnya memang tidak becus, tapi ia juga
satu-satunya ayah yang dimilikinya.

Jeannie memarkir mobilnya di sebuah garasi yang sudah disediakan, lalu


menyeberangi distrik lampu merah, menuju markas besar dinas kepolisian. Ia
memasuki sebuah lobi megah dengan bangku-bangku dari marmer dan sebuah
lukisan dinding yang menggambarkan adegan-adegan sejarah kota Baltimore. Ia
menyatakan kepada petugas piket bahwa ia datang untuk menemui Steven
Logan, yang sedang berada di dalam tahanan. Ia sudah memperhimngkan akan
ada argumentasi mengenai itu, namun setelah menunggu beberapa menit,
seorang wanita muda berseragam mengantarnya ke dalam, lalu naik ke atas
dengan lift.

Jeannie digiring masuk ke dalam sebuah ruangan sempit. Tidak ada apa-apa di
situ, selain sebuah jendela kecil di salah satu dinding, dan sebuah panel sistem
suara di bawahnya. Jendela itu mengarah ke sebuah mangan kecil lain yang
serupa. Tidak ada celah sedikit pun untuk menyodorkan apa-apa dari ruangan
yang satu ke mangan yang lain melalui dinding itu.

244

Jeannie menerawangi jendela itu Setelah sekitar lima menit Steven dibawa
masuk. Saat memasuki ruangan satunya, Jeannie melihat tangannya diborgoi dan
kakinya dipasangi rantai, seakan ia amat berbahaya. Steven menghampiri jendela
itu. Begitu mengenali Jeannie, ia tersenyum lebar. “Kejutan yang1
menyenangkan!” ujarnya. “Malah ini satu-satunya hal menyenangkan yang
terjadi atas diriku sepanjang hari .ini.”

Meskipun pembawaannya ceria, tampang anak muda itu betul-betul tidak


keruan: tegang dan capek. “Bagaimana keadaanmu?” ujar Jeannie.

“Agak gawat. Mereka memasukkan aku satu sei bersama seorang pembunuh
yang masih berada di bawah pengaruh obat bius. Aku nggak berani tidur.”

Jeannie merasa amat prihatin mendengar itu. Ia mengingatkan dirinya bahwa


anak muda itu ditahan karena tuduhan telah memerkosa Lisa. Namun ia tidak
dapat menerima kenyataan itu. “Masih berapa lama kau harus mendekam di sini?
*’

“Aku akan dihadapkan ke hakim besok, untuk memutuskan statusku sebagai


tahanan luar. Kalau ditolak, aku bisa dikurung di sini sampai hasil tes DNA itu
keluar. Sepertinya itu akan memakan waktu tiga hari.”

Berbicara soal DNA. Jeannie teringat akan tujuannya datang ke situ. “Aku
bertemu dengan kembaranmu hari ini.”

“Lalu?”

“Semuanya jelas. Dia memang pasangan kembarmu.”

“Mungkin dia yang memerkosa Lisa Hoxton.”

Jeannie menggeleng-gelengkan kepalanya. “Andai kata dia sempat kabur dari


penjara akhir minggu itu, ya. Tapi nyatanya dia disekap dalam kurungan.*’

“Apa tak mungkin dia kabur, lalu kembali? Supaya dia punya alibi?”
Itu terlalu muluk. Kalau Dermis memang berhasil kabur dari penjara, tidak akan
a^jfblasan baginya untuk kembali.”

245

“Kukira itu masuk akal.” ujar Steven dalam nada sedih.

“Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu.” “Silakan.”

“Pertama-tama, aku ingin mengecek ulang tanggal lahirmu.”

“25 Agustus.”

Tanggal itulah yang ditulis Jeannie sebelumnya. Mungkin ia keliru saat menulis
tanggal lahir Dennis. “Dan apakah kau secara kebetulan tahu di mana kau
dilahirkan?”

“Ya Dad sedang bertugas di Fort Lee. Virginia, ketika itu, sehingga aku
dilahirkan di sebuah rumah sakit tentara di sana.”

“Tentu saja^ Mom menulis tentang itu dalam bukunya, Having a Bab" Ia
menyipitkan matanya dengan cara yang mulai terasa tidak asing bagi Jeannie.
Artinya ia sedang mencoba menjajaki apa yang terlintas dalam pikirannya.
“Dennis lahir di mana?”

“Aku belum tahu sejauh ini.”

‘Tapi hari lahir kami sama.”

“Sayangnya, dia menyatakan lahir tanggal 7 September. Tapi mungkin terjadi


kekeliruan. Aku akan cek lagi. Akan kutelepon ibunya begitu aku sampai di
kantorku. Kau sudah bicara dengan orangtuamu?”

“Belum.”

“Kau mau aku menghubungi mereka?”

“Jangan! Kumohon. Aku tak ingin mereka tahu sebelum aku bisa mengatakan
kepada mereka bahwa namaku sudah bersih.”

Jeannie mengerutkan alisnya “Dari semua yang sudah kauungkapkan padaku


mengenai mereka, sepertinya mereka tipe orangtua yang akan memberikan
dukungan.”

“Memang. Tapi ak^Jidak mau mereka susah.”

“Tentu saja ini akan menyakitkan bagi mereka. Tapi

246

mungkin mereka lebih suka dibentahu supaya dapat menolongmu.”

“Tidak. Kumohon jangan hubungi mereka”

Jeannie angkat bahu. Ada sesuatu yang disembunyikan Steven darinya. Namun
ini adalah keputusannya.

“Jeannie… seperti apa dia?”

“Dennis? Dari luar, dia amat mirip denganmu.”

“Apakah rambutnya panjang, pendek, punya kumis, kuku-kuku kotor, jerawat,


agak pincang…”

“Rambutnya sependek rambutmu, dia tidak pakai kumis atau cambang,


tangannya bersih, dan kulitnya bening. Dia bisa tampil seperti dirimu.”

“Wauw.” Tampang Steven berubah resah.

“Yang betul-betul berbeda adalah pembawaannya. Sepertinya dia tidak tahu cara
bergaul dengan manusia lain.”

“Aneh sekali.”

“Menurutku tidak. Malah fakta itu mengkonfirmasi kebenaran teoriku. Kalian


sama-sama termasuk dalam kelompok anak-anak yang berangasan. Aku
mencomot istilah itu dari sebuah film Prancis. Aku memakainya untuk tipe anak
yang tidak mengenal takut, sulit diatur, hiperaktif. Anak-anak seperti ini
biasanya mengalami masalah dalam pergaulan. Charlotte Pinker dan suaminya
gagal dalam menangani Dennis. Kedua orangtuamu berhasil.”

Steven belum puas. “Tapi pada dasarnya, Dennis dan aku sama.”
“Kalian sama-sama lahir berangasan.” “Tapi aku dipoles tata krama.”

Jeannie melihat ia benar-benar terguncang. “Kenapa kau jadi begitu risau gara-
gara itu?”

“Aku ingin menganggap diriku manusia, bukan seekor gorila yang dilatih.”

Jeannie tertawa, meskipun tampang Steven masib amat serius. “Gorila memang
harus belajar bergaul.

247

Begitu pula semua jenis binatang yang hidup dalam kelompok. Dari situlah
lahirnya pelanggaran.”

Steven tampak tergugah. “Dari tinggal di dalam kelompok?”

“Ya. Pelanggaran merupakan penyimpangan dari suatu peraturan masyarakat


yang dianggap penting. Jenis binatang yang hidupnya sendirian tidak memiliki
peraturan-peraturan. Seekor beruang akan menyelonong masuk ke dalam sarang
beruang lain, mencuri makanannya serta membunuh anak-anaknya. Serigala
tidak akan melakukan hal seperti itu: kalau mereka toh melakukannya, mereka
tidak akan bisa tinggal berkelompok. Serigala termasuk jenis hewan
monogamous; mereka ikut memelihara anak-anak serigala lain, dan mereka
menghormati ruang gerak pribadi masing-masing. Kalau ada yang melanggar
peraturan, mereka akan menghukumnya; kalau dia masih ngotot, mereka akan
mengucilkannya dari kelompok, atau membunuhnya.”

“Bagaimana kalau peraturan-peraturan yang tidak begitu penting yang


dilanggar?”

“Seperti kentut di dalam lift? Kita akan menyebutnya tidak tahu aturan.
Hukumannya hanya sikap kurang berkenan dari yang lain. Sungguh-sungguh
menakjubkan, efek dari sikap itu.”

“Kenapa kau begitu menaruh perhatian kepada mereka yang terlibat dalam
pelanggaran?”

Jeannie teringat ayahnya. Ia belum dapat memastikan apakah di dalam dirinya


terdapat gen kriminal atau tidak. Steve akan merasa jauh lebih enak andai kata
tahu bahwa ia sendiri meresahkan soal warisan genetikanya. Tapi ia sudah terlalu
lama berbohong mengenai daddy nya sehingga tidak mudah baginya membuka
pembicaraan mengenai ayahnya sekarang. “Itu kan bukan masalah kecil,” ujar
Jeannie menghindar. “Semua orang menaruh perhatian kalau terjadi suatu kasus
pelanggaran.”

Pintu di belakang Jeannie dibuka. Si polisi wanita

248

yang masih muda itu melongokkan kepalanya. “Waktu Anda sudah habis, Dr
Ferrami.”

“Oke,” sahut Jeannie. “Steve, tahukah kau bahwa Lisa Hoxton adalah sahabatku
di Baltimore?”

“Tidak, aku tidak tahu.”

“Kami bekerja sama; dia seorang teknisi laboratorium.”

“Seperti apa dia?”

“Dia bukan tipe yang akan sembarangan menuding seseorang.”

Steven mengangguk.

“Tapi aku juga ingin kau tahu bahwa aku tidak percaya kaulah pelakunya.”

Untuk sesaat Jeannie mengira Steve akan mengucurkan air mata. “Terima
kasih.” ujar anak muda itu dalam nada parau. “Aku tidak bisa mengungkapkan
padamu, betapa berartinya itu bagiku.”

“Hubungi aku begitu kau keluar.” Jeannie memberikan nomor telepon


rumahnya. “Kau bisa ingat itu?”

“Tidak ada masalah.”

Jeannie merasa enggan untuk berdiri. Ia memberikan senyum untuk


membesarkan hati. “Semoga kau beruntung.”

“Trims.”
Jeannie memutar tubuhnya, lalu pergi.

Si polisi wanita menemaninya sampai ke lobi. Hari sudah mulai gelap saat ia
kembali ke garasi parkir itu. Ia mengarahkan kendaraannya ke Jones Falls
Expressway, kemudian menyalakan lampu besar Mercedes tuanya. Saat menuju
ke utara, ia mulai ngebut, karena ingin segera tiba di kawasan universitasnya. Ia
memang selalu ngebut. Ia tahu bahwa ia seorang pengemudi yang terampil, tapi
juga agak gegabah. Tapi ia memiliki kesabaran untuk melajukan kendaraannya
tidak melebihi batas kecepatan lima puluh lima mil per jam.

Mobil Honda Accord putih Lisa sudah bertengger di

249

luar Nut House. Jeannie memarkir kendaraannya di sebelahnya, lalu masuk ke


dalam. Lisa baru saja menyalakan lampu-lampu di ruang laboratorium. Cool
box-nya yang berisi contoh darah Dennis Pinker masih “tergeletak di meja
kerjanya.

Kantor Jeannie terletak persis di seberang lorong. Ia membuka pintunya dengan


cara menyusuri kartu plastiknya melalui alat pembaca kode, lalu masuk ke
dalam. Begitu duduk di belakang meja tulisnya ia memutar nomor keluarga
Pinker di Richmond. “Akhirnya!” serunya begitu mendengar nada panggil itu.

Charlotte yang menjawab. “Bagaimana keadaan anakku?” tanyanya.

“Dia sehat-sehat saja,” sahut Jeannie. Tampangnya sama sekali tidak seperti
penderita gangguan jiwa, ujarnya dalam hati, sampai dia menghunuskan pisau ke
arahku dan mencuri celana dalamku. Jeannie mencoba memusatkan
perhatiannya kepada sesuatu yang lebih positif. “Dia sangat kooperatif.”

“Kelakuannya memang baik,” ujar Charlotte dalam aksen Selatan kental yang
biasa ia gunakan untuk memberikan tekanan pada ucapannya.

“Mrs. Pinker, boleh aku tanya sekali lagi pada Anda kapan hari lahirnya?”

“Dia lahir pada tanggal 7 September.” Seakan itu suatu hari nasional yang
penting.

Ternyata itu bukan jawaban yang diharapkan Jeannie. “Dan di rumah sakit mana
dia dilahirkan?*’

“Kami di Fort Bragg, North Carolina, waktu itu.**

Jeannie berusaha menelan umpatan kecewanya.

“Si Mayor bertugas untuk melatih mereka yang kena wajib militer ke Vietnam,”
ujar Charlotte dalam nada bangga. “Komando Medis Angkatan Bersenjata
memiliki sebuah rumah sakit besar di Bragg. Di situlah Dennis dilahirkan.”

Jeannie tidak tahu lagi harus berkata apa. Situasinya

250

masih sama misteriusnya seperti sebelumnya. “Mrs. Pinker, aku ingin


mengucapkan terima kasih sekali lagi untuk kerja sama Anda.” “Sama-sama.”

Jeannie kembali ke laboratorium, lalu berkata pada Lisa, “Rupanya Steve dan
Dennis lahir dalam tenggang waktu tiga belas hari, dan di negara bagian yang
berlainan. Aku betul-betul tidak mengerti.”

Lisa membuka sebuah kotak tabung percobaan yang baru. “Yah, tapi ada satu tes
yang tidak dapat dibantah lagi hasilnya. Kalau mereka memiliki DNA yang
sama, mereka pasti pasangan kembar identik, tidak peduli apa pun yang
dikatakan orang mengenai kelahiran mereka.” Ia mengeluarkan dua tabung kaca
kecil. Panjangnya hanya beberapa inci. Masing-masing memiliki sebuah tutup
dan dasar berbentuk kerucut Ia mengeluarkan sebungkus kertas label, lalu
menulis “Dennis Pinker” di atas yang satu dan “Steven Logan” di atas yang lain,
untuk ditempelkan pada tabung-tabung itu. Sesudah itu ia menempatkannya di
sebuah rak.

Ia membuka segel contoh darah Dennis, lalu memasukkannya setetes ke dalam


salah satu tabung. Kemudian ia mengambil wadah berisi contoh darah Steven
dari dalam lemari es dan melakukan hai yang sama.

Dengan menggunakan sebuah pipet berkaliber presisi tinggi, berupa pipa yang
salah am ujungnya berbentuk labu, ia menambahkan sejumlah kecil kloroform
pada masing-masing tabung. Kemudian ia mengambil sebuah pipet baru untuk
membubuhkan fenol dalam jumlah persis sama.
Ia menutup kedua tabung itu dan memasukkannya ke dalam Whrilmixer untuk
mengagitasi bahan-bahan itu selama beberapa detik. Kloroform akan melarutkan
lemak dan fenol akan menguraikan protein, tapi untaian molekul-molekul asam
deo mbonukleat nya yang panjang akan tetap utuh.

251

Lisa menempatkan tabung-tabung itu kembali di raknya. “Hanya itu yang dapat,
kita lakukan sementara ini,” ujarnya.

Bahan fenol yang dilarutkan air pelan-pelan akan memisahkan diri dari
kloroform. Akan terbentuk suatu lengkung pada permukaan larutan di dalam
tabung itu. DNA-nya akan berada di bagian yang cair, yang akan diambil dengan
pipet untuk tahap pengetesan selanjutnya. Tapi untuk itu mereka harus
menunggu sampai pagi.

Sebuah pesawat telepon berdering entah di mana. Jeannie mengerutkan alis;


sepertinya bunyinya berasal dari ruangan kerjanya. Ia menyeberangi lorong
untuk menjawabnya. “Ya?”

“Dengan Dr. Ferrami?”

Jeannie paling sebal menerima telepon dari orang-orang yang langsung


menanyakan dengan siapa mereka berbicara, tanpa memperkenalkan diri lebih
dahulu. Rasanya seperti mengetuk pintu seseorang, ialu berkata, “Siapa kau?”
Jeannie berusaha menahan diri untuk tidak bersikap sarkastis, kemudian
menjawab, “Aku Dr. Jeannie Ferrami. Dengan siapa aku berbicara?’*

“Dengan Naomi Freelander, dari New York Times” Suaranya seperu seorang
perokok berat berusia sekitar lima puluhan. “Aku punya beberapa pertanyaan
untuk Anda.”

“Malam-malam begini?’”

“Aku bekerja tanpa melihat waktu. Sepertinya Anda juga begitu.”

“Kenapa Anda meneleponku?”

“Aku sedang melakukan .riset untuk sebuah artikel mengenai etika dalam dunia
ilmu pengetahuan.”
“Oh.” Jeannie langsung ingat akan Steve yang tadinya sama sekali tidak
menyadari fakta bahwa mungkin ia seorang anak angkat. Masalah ini
berhubungan dengan soal etika, meskipun bukannya tidak bisa diselesaikan—
tapi tentunya The Times tidak tahu mengenai itu. “Apa yang ingin Anda
ketahui?”

252

“Setahuku Anda menelusuri database medis untuk mendapatkan subjek-subjek


yang tepat untuk studi Anda.”

“Oh, oke.” Jeannie lebih santai. Tidak ada yang perlu ia cemaskan mengenai
topik ini. “Yah, aku sudah menciptakan suatu sarana riset yang dapat menelusuri
data-data komputer untuk menemukan pasangan-pasangan yang sesuai.
Tujuanku adalah menemukan pasangan kembar identik. Sistem ini dapat
diterapkan melalui database mana pun.”

“Tapi Anda sudah mendapatkan akses untuk menggunakan catatan-catatan medis


ini.*’

“Akan sangat berarti kalau Anda mendefinisikan apa yang Anda maksudkan
dengan akses. Aku cukup berhati-hati untuk tidak melanggar hak pribadi
seseorang. Aku belum pernah menelusuri detail-detail medis siapa pun. Dalam
program ini, data-data seperti itu tidak akan dicetak.”

“Lalu apa yang tercetak?”

“Nama dari kedua individu itu, beserta alamat dan nomor telepon mereka.”

“Tapi nama-nama itu tercetak secara berpasangan.*’

“Tentu saja, itu memang tujuannya.”

“Jadi, kalau Anda menggunakan, katakanlah, suatu database


electroencephalogram. Anda akan mendapati bahwa gelombang otak John Doe
persis sama seperti milik Jim Fitz?”

“Persis sama atau mirip. Tapi aku tidak akan tahu apa-apa mengenai kondisi
kesehatan masing-masing individu.”
“Namun demikian, andai kata Anda tahu sebelumnya bahwa John Doe adalah
seorang penderita gangguan jiwa. Anda bisa menyimpulkan bahwa Jim Fitz juga
menderita hal yang samaT* -

“Kami tidak akan tahu mengenai hal seperti itu.’*

”Mungkin saja Anda kenal John Doe.”

“Maksud Anda?”

253

“Mungkin dia seorang pesuruh di kantor Anda, atau entah apa.”

“Ah, Anda mengada-ngada.” “Tapi itu mungkin.”

“Itukah topik yang ingin Anda liput dalam artikel Anda?”

“Mungkin.”

“Oke. secara teoretis itu memang mungkin, meskipun kecil sekali, sehingga
mereka yang bersifat terbuka tidak akan mempermasalahkannya.”

“Itu patut dijadikan bahan pertimbangan.”

Si reporter rupanya bertekad untuk membuat berita sensasi, tanpa memedulikan


fakta-fakta yang ada, ujar Jeannie pada dirinya; dan ia mulai waswas. Ia sudah
punya cukup banyak masalah tanpa polah usil pihak media massa. “Seberapa
seriusnya hal ini?” tanyanya. “Apakah Anda sudah menemukan seseorang yang
merasa keleluasaan pribadinya dilanggar gara-gara program ini?”

“Aku tertarik pada sudut potensinya.”

Suatu ide tiba-tiba melintas dalam dirinya. “Siapa yang meminta Anda
menghubungi aku, sebetulnya?”

“Kenapa itu Anda tanyakan?”

“Untuk alasan yang sama Anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan Anda


kepadaku. Aku ingin tahu yang sebenarnya.”
“Aku tidak bisa mengungkapkannya kepada Anda.”

“Menarik sekali,” ujar Jeannie. “Aku sudah membeberkan panjang lebar pada
Anda mengenai riset dan metodeku. Tidak ada yang kusembunyikan. Tapi Anda
tidak dapat melakukan hal yang sama. Rupanya Anda. katakanlah, merasa rikuh.
Apakah ada yang tidak wajar mengenai cara Anda mendapatkan informasi
tentang proyekku?”

“Aku sama sekali tidak merasa rikuh,” jawab si reporter dalam nada ketus

254

Jeannie mulai marah. Memangnya ia mengira dirinya siapa? “Oke, ada pihak
yang merasa rikuh. Kalau tidak, kenapa Anda tidak mau mengatakan siapa yang
memberikan informasi itu kepada Anda?”

“Aku harus melindungi sumber informasiku.”

“Dari apa?” Jeannie tahu bahwa sebaiknya ia mulai mundur. Tidak ada yang
dapat ia peroleh dengan menantang pihak pers. Tapi sikap wanita itu betul-betul
menyebalkan. “Seperti sudah kujelaskan tadi, tidak ada yang salah mengenai
metodeku dan tidak ada seorang pun yang terancam hak keleluasaan pribadinya.
Jadi, untuk apa sumber informasi Anda harus bersikap begitu misterius?”

“Semua orang punya alasan.”

“Sepertinya sumber informasi Anda memiliki maksud-maksud negatif, bukan?”


Bahkan pada saat mengatakan itu, Jeannie membatin, Untuk apa seseorang mau
melakukan ini pada diriku?

“Aku tidak bisa mengomentari itu.”

“A/o comment, he?” ujar Jeannie dalam nada ketus. “Ada baiknya aku ingat-
ingat ungkapan itu.” *

“Dr. Ferrami, aku ingin mengucapkan terima kasih untuk kerja sama Anda.”

“Sudahlah,” sahut Jeannie, kemudian menutup pesawatnya.

Ia masih menerawangi pesawat itu selama beberapa saat. “Nah, apa artinya ini
semua?” ujarnya.

255

-^jr^ndan d i-djvu-kan unuik~ dinlliadcr (dimhad.co.cc) okh-


OBI
imilmal dinihad pallgcu, sulni bbsc, kangz”” I stlichiarga, otoy dengan
kameranya, syauqy I “«anlianaoki.wcirdpress.coill -irya, g”81* j semua di
mliader.

’””«Kmeng-komersil-kiiuM»“1‘“1”1”” nienliiipn «nrle.

‘I’
RABU
BAB 21

Berrington Jones tidak dapat tidur nyenyak. Ia telah melewatkan malam itu
bersama Pippa Harpenden. Pippa adalah seorang sekretaris di fakultas fisika. Ia
sudah pernah diajak oleh banyak profesor, termasuk beberapa yang. sudah
beristri, namun hanya dengan Berrington lah ia mau berkencan. Berrington
mengenakan pakaian terbaiknya saat menggandeng wanita itu ke sebuah restoran
bersuasana intim, kemudian memesan anggur yang eksklusif. Ia telah menikmati
lirikan iri kaum laki-laki yang sebaya dengannya, yang makan malam bersama
istri-istri mereka ¦ yang sudah tua dan jelek. Kemudian ia mengajak Pippa
pulang. Ia menyalakan lilin-lilin, mengenakan piama sutra, ialu bercinta
dengannya perlahan-lahan, sampai wanita itu mendesah kesenangan.

Tapi ia terbangun pada pukul empat pagi dan mulai memikirkan hal-hal yang
dapat menggagalkan rencananya. Sepanjang sore kemarin, Hank Stone
menenggak anggur murahan yang disuguhkan oleh pihak penerbit buku itu bisa
saja ia sudah lupa sama sekali mengenai pembicaraannya dengan Berrington.
Namun andai kata ia ingat, masih ada kemungkinan pihak

259

redaksi New York Times memutuskan untuk tidak melanjutkan liputan itu.
Mungkin mereka akan tanya sana-sini sedikit, lalu menyadari bahwa tidak ada
yang aneh mengenai apa yang sedang dikerjakan Jeannie. Atau bisa saja mereka
menanggapinya dengan begitu santai, dan baru mulai bergerak minggu depan, di
saat segalanya sudah terlambat.

Setelah bolak-balik di tempat tidurnya selama beberapa saat, Pippa bergumam,


“Kau tidak apa apa. Berry?”

Berrington membelai rambutnya yang pirang dan panjang, sementara Pippa


mengeluarkan dengusan dengusan lembut yang mengundang. Bercinta dengan
seorang wanita cantik biasanya merupakan selingan yang menghibur saat
menghadapi kesusahan, namun kali ini rasanya prinsip itu tidak berlaku. Terlalu
banyak yang ada dalam pikirannya. Akan melegakan andai kata ia bisa
membicarakan masalahnya dengan Pippa—wanita itu cukup cerdas, sikapnya
juga penuh pengertian dan simpatik— tapi ia tidak dapat membeberkan rahasia
seperti itu kepada siapa pun.

Selang beberapa saat, ia turun dari tempat tidur untuk pergi lari pagi. Ketika ia
kembali, Pippa sudah pergi, dengan meninggalkan surat pendek berisi ucapan
terima kasih yang di bungkus di dalam stocking nilon hitamnya yang tipis.

Pengurus rumah tangganya tiba beberapa menit menjelang pukul delapan dan
membuatkan telur dadar baginya. Marianne adalah seorang gadis kurus dan
selalu resah yang berasal dari Martinique, sebuah tempat di Kepulauan Karibia
Prancis. Ia hanya bisa berbicara bahasa Inggris sedikit-sedikit dan amat takut
dikirim kembali ke tempat asalnya. Gara-gara ini, ia menjadi amat patuh.
Marianne seorang gadis cantik, dan Berrington memperkirakan andai kata ia
menyuruh gadis itu tidur dengannya, Marianne akan menganggap itu adalah
bagian dari tugasnya sebagai seorang pegawai. Namun

260

Berrington tidak melakukan hal itu, tentu saja; tidur dengan seorang pelayan
bukanlah gayanya.

Ia pergi mandi, bercukur, lalu memilih pakaian yang menampilkan kesan


berwibawa, berupa setelan jas abu-abu arang dengan garis-garis halus, kemeja
putih, dan dasi hitam dengan bintik-bintik kecil berwarna merah. Ia memakai
kancing manset dari emas yang digrafir, menyisipkan sehelai saputangan putih
dari linen ke saku dadanya, lalu menyikat sepatu Oxford hitamnya sampai
mengilat.

Ia berangkat ke kampus, menuju ruang kantornya, lalu menyalakan


komputernya. Seperti kebanyakan kaum akademik yang brilian, jam
mengajarnya tidak begitu banyak. Di Jones Falls ia hanya memberikan satu sesi
kuliah setahun. Perannya adalah mengarahkan dan menyelia riset para ilmuan di
fakultasnya, serta menambahkan prestise namanya pada karya-karya tulis yang
mereka susun. Tapi pagi ini ia tidak dapat memusatkan perhatian, karenanya ia
melihat ke luar jendela dan menonton empat orang anak muda yang sedang
bermain tenis, sambil menunggu pesawat teleponnya berdering.

Ternyata ia tidak perlu menunggu lama.

Pukul sembilan lewat tiga puluh, pimpinan Jones Falls University, Maurice
Obeli, menelepon. “Kita sedang menghadapi masalah,” ujarnya.

Tubuh Berrington menegang. “Ada apa, Maurice?”

“Aku ditelepon seorang wanita dari New York Times. Dia bilang seseorang di
bagianmu melanggar hak keleluasaan pribadi orang. Namanya Dr. Ferrami.”

Syukurlah, pikir Berrington dengan hati**berbunga-bunga; rupanya Hank Stone


tergugah! Ia membuat nada suaranya terdengar prihatin. “Aku akan segera ke
tempatmu.” Ia menutup pesawatnya, lata duduk selama beberapa saat, memutar
otak. Masih terlalu awal untuk merayakan kemenangan ini. Ia baru saja memulai
selu—

261

ruh prosesnya. Kini ia berusaha menggiring Maurice dan Jeannie ke arah yang
diinginkannya.

Nada suara Maurice terdengar khawatir. Itu awal yang baik. Berrington harus
memastikan agar ia tetap merasa khawatir. Ia harus membuat Maurice merasa
bahwa akan merupakan malapetaka andai kata Jeannie tidak segera berhenti
menggunakan program riset database-nya Begitu Maurice sudah memutuskan
untuk mengambil tindakan tegas, Berrington harus memastikan ia tetap
mempertahankan keputusannya itu.

Yang terpenting adalah ia harus mencegah terjadinya kompromi. Berrington tahu


bahwa pada dasarnya Jeannie bukan orang yang mudah diajak berkompromi,
tapi kalau seluruh masa depannya menjadi taruhan, mungkin saja ia akan
menempuh segala macam cara. Berrington harus berusaha memancing
amarahnya dan sifat suka membangkangnya.

Ia harus melakukan itu dengan kesan bermaksud baik. Kalau ia mencoba


menyudutkan Jeannie secara mencolok, Maurice akan curiga. Berrington harus
pura-pura sedang berupaya membela Jeannie.

Ia meninggalkan Nut House dan menyeberangi kawasan kampus, lewat Barry


more Theater dan Fakultas Seni, menuju ke arah Hillside Hall. Bangunan yang
tadinya rumah peristirahatan donatur orisinal universitas itu kini telah berubah
fungsi menjadi gedung administrasi. Kantor pimpinan universitas adalah bekas
ruang duduk megah rumah tua itu. Berrington mengangguk dengan simpatik ke
arah sekretaris Dr. Obell. lalu berkata, “Dia sedang menungguku.”

“Silakan langsung masuk. Profesor,” ujar si sekretaris.

Maurice sedang duduk di dekat sebuah jendela besar yang menghadap ke kebun.
Ia seorang laki-laki pendek berdada bidang, *yang kembali dari Vietnam dengan
kursi roda, dalam keadaan lumpuh dari batas pinggang ke bawah. Berrington
menilainya mudah untuk diajak

262

berbicara, mungkin karena mereka sama-sama pernah bertugas dalam dinas


kemiliteran. Mereka juga sama-sama menyukai musik karya Mahler.

Maurice sering memasang tampang tegang. Untuk mengelola JFU, ia berusaha


mendapatkan sepuluh juta dolar setahun dari para donatur, baik secara pribadi
maupun melalui perusahaan, dan akibatnya ia amat mencemaskan pubilisitas
yang sifatnya negatif.

Ia memutar kursi rodanya, kemudian menggelinding ke arah meja tulisnya.


“Mereka sedang mengolah artikel besar mengenai etika dalam dunia ilmu
pengetahuan, katanya. Berry, aku tak bisa membiarkan mereka memuat nama
Jones Falls dalam artikel itu sebagai contoh perilaku tidak etis dalam dunia ilmu
pengetahuan. Separuh dari donor-donor yang paling kita andalkan bakal geger.
Kita harus melakukan sesuatu untuk mengatasi ini.”

“Siapa nama cewek itu?”

Maurice memeriksa buku notesnya. “Naomi Freelander. Dia duduk dalam dewan
redaksi yang menangani soal etika. Apa kau tahu bahwa mereka memiliki dewan
redaksi seperti itu? Aku tidak.”

“Aku tidak akan heran kalau New York Times memilikinya.”

“Tapi itu bukan alasan bagi mereka untuk berlagak seperti orang-orang Gestapo.
Semula mereka akan menarik artikel ini, katanya, tapi kemarin mereka
memperoleh masukan menyangkut si Ferrami-mu itu.”

“Dari mana mereka mendapat masukan itu?” tanya Berrington.


“Tentunya dari salah satu bajingan di sini yang tidak punya rasa loyalitas sama
sekali.” “Rupanya begitu.”

Maurice menghela napas. “Katakan bahwa itu tidak benar, Berry. Katakan
padaku bahwa dia sama sekali tidak melanggar hak keleluasaan pribadi orang.”

Berrington menyilangkan kakinya, mencoba tampil

263

santai, meski sebenarnya ia merasa sangat tegang. Di sinilah ia harus mulai


bersiasat. “Menurutku dia tidak melakukan pelanggaran,” ujarnya. “Dia
menelusuri database medis untuk menemukan orang-orang yang tidak menyadari
bahwa mereka sebetulnya memiliki pasangan kembar. Brilian sekali,
sebenarnya.”

“Apakah ia menelusuri data-data medis orang tanpa seizin mereka?”

Bemngton pura-pura enggan menjawab. “Ehm… bisa dibilang begitu.”

“Kalau begitu, dia harus menghentikan kegiatan itu.”

“Masalahnya, dia betul-betul membutuhkan informasi ini untuk proyek


risetnya.”

“Mungkin kita tawarkan padanya suatu kompensasi.”

Tidak pernah terpintas dalam Berrington kemungkinan untuk menyuap Jeannie.


Ia meragukan hasilnya, namun tak ada salahnya mencoba. “Itu ide bagus.”

“Apa dia sudah memiliki jabatan tetap?”

“Dia baru mulai bekerja di sini semester ini, sebagai asisten profesor. Sedikitnya
masih enam tahun sebelum dia dapat menduduki jabatan tetap. Tapi kita bisa
memberikan kenaikan gaji kepadanya. Setahuku dia butuh uang. Dia pernah
mengungkapkan itu kepadaku.”

“Berapa yang diterimanya sekarang?”

“Tiga puluh ribu dolar setahun.”


“Berapa menurutmu sebaiknya kita tawarkan kepadanya?”

“Jumlahnya harus mantap. Delapan atau sepuluh ribu lagi.”

“Dan mengenai sumber dananya?”

Berrington tersenyum. “Kurasa aku bisa membujuk pihak Genetico.”

“Kalau begitu, itu yang akan kita lakukan. Panggil -dia ke sini sekarang. Berry.
Kalau dia ada di kawasan kampus, suruh dia masuk ke sini sekarang juga. Kita
selesaikan ini sebelum tim yang sok etis itu menelepon kita lagi1

264

Berrington meraih pesawat telepon Maurice, lalu memutar nomor ruang kerja
Jeannie. Deringannya langsung dijawab. “Jeannie Ferrami.”

“Aku Berrington.”

“Selamat pagi.” Nadanya waswas. Apakah ia tahu mengenai niat Berrington


merayunya pada hari Senin malam itu? Mungkin ia mengira dirinya sedang
dicoba lagi. Atau mungkin ia sudah tahu mengenai masalah mereka dengan New
York Times?

“Bisa temui aku sekarang?”

“Di ruang kerja Anda?”

“Aku sedang berada di kantor Dr. Obell, di Hillside Hall.”

Jeannie menghela napas. “Apakah ini mengenai seorang wanita bernama Naomi
Freelander?”

“Ya.”

“Semuanya cuma gertak sambal. Anda tahu itu.” “Ya, tapi kita harus
menghadapinya” “Aku akan segera ke sana.”

Berrington menutup pesawatnya. “Dia sedang menuju kemari,” ujarnya pada


Maurice. “Sepertinya dia sudah dihubungi oleh pihak Times.”
Menit-menit berikutnya akan merupakan saat-saat yang menentukan. Andai kata
Jeannie dapat membela dirinya sendiri dengan baik, ada kemungkinan Maurice
akan mengubah strateginya. Berrington harus mengupayakan agar Maurice tetap
pada pendiriannya, tanpa menampilkan sikap negatif terhadap Jeannie. Gadis itu
memiliki temperamen panas dan nekat, sama sekali bukan tipe yang memilih
untuk mengalah, terutama kalau ia yakin dirinya benar. Ada kemungkinan ia bisa
menjadi musuh Maurice tanpa bantuan Berrington. Tapi menghadapi
kemungkinan ia akan berlaku manis dan mau dibujuk, Berrington membutuhkan
rencana cadangan.

Tiba-tiba suatu inspirasi melintasi pikirannya. Ia

berkata, “Sambil menunggu, ada baiknya kita membuat konsep sebuah


pernyataan pers.” “Itu ide bagus.”

Berrington meraih sebuah bloknot dan mulai meng orat oret Ia butuh sesuatu
yang tak mungkin disepakati Jeannie, sesuatu yang akan melukai harga dirinya
dan membuatnya sangat marah. Ia menulis bahwa Jones Falls University
mengakui kesalahan yang terjadi. Pihak universitas meminta maaf kepada
mereka yang merasa keleluasaan pribadinya dilanggar, dan menjanjikan bahwa
program itu sudah tidak diberlakukan terhitung mulai hari itu.

Ia menyerahkan hasilnya kepada sekretaris Maurice sambil memintanya untuk


langsung memprosesnya lewat komputernya.

Jeannie muncul dengan suasana hati diliputi kegeraman. Ia mengenakan kaus


hijau zamrud yang longgar, celana jeans hitam ketat, dan semacam sepatu bot
montir yang kini sedang dianggap mode. Ia memakai sebuah cincin perak di
cuping hidungnya, rambutnya yang lebat dan berwarna gelap diikat ke belakang.
Tampangnya sebetulnya menggemaskan, di mata Berrington, tapi penampilan
seperti itu tidak membuat si pimpinan universitas terkesan. Baginya penampilan
Jeannie mengekspresikan tipe seorang akademik muda yang urakan dan
mungkin akan membawa JFU dalam posisi serba salah.

Maurice mempersilakannya duduk, lalu bercerita kepadanya tentang telepon


yang diterimanya dari pihak pers. Sikapnya kaku. Ia merasa lebih nyaman
berada di antara kaum laki-laki yang lebih matang, ujar Berrington pada dirinya:
seorang wanita muda dalam celana jeans ketat membuatnya rikuh.

“Wanita yang sama juga menghubungi aku,” ujar Jeannie dalam nada sebal.
“Norak sekali.”

“Tapi kau memang mengakses database medis,” ujar (Maurice.

266

“Aku tidak membaca isi database-nya, komputerkulah yang melakukan itu. Tak
ada seorang pun yang membaca data-data medis siapa pun. Programku
menampilkan sebuah daftar nama dan alamat, berdasarkan pasangan.”

“Tapi…”

“Kami tidak akan melangkah lebih jauh tanpa lebih dahulu meminta izin dari
subjek yang dianggap berpotensi. Kami bahkan tidak mengungkapkan kepada
mereka bahwa mereka memiliki pasangan kembar, sampai setelah mereka
menyatakan bersedia ikut ambil bagian dalam studi kami. Jadi, keleluasaan
pribadi siapa sebetulnya yang dilanggar?”

Berrington berpura-pura memberikan dukungan padanya. “Kan aku sudah bilang


tadi, Maurice,” ujarnya. “Rupanya pihak Times telah melihat dari sudut yang
salah.”

“Menurut mereka tidak. Dan aku harus mempertimbangkan reputasi univeritas.”

Jeannie berkata, “Percayalah, hasil pekerjaanku akan meningkatkan itu.” Ia


mendoyongkan tubuhnya ke muka, dan Berrington menangkap nada gairah
untuk berjuang demi kemajuan ilmu pengetahuan, seperti yang dirasakan setiap
ilmuwan berbakat. “Proyek ini betul-betul penting. Aku satu-satunya orang yang
berhasil mewujudkan cara untuk mempelajari unsur genetika dalam kriminalitas.
Begitu kita mempublikasi hasilnya, akan terjadi sensasi.”

“Apa yang dikatakannya betul,” ujar Berrington menimpali. Dan nyatanya


memang begitu. Bidang yang sedang ditekuninya itu memang amat menarik.
Sayang sekali kalau harus dihentikan. Tapi memang tidak ada pilihan lain.

Maurice menggeleng. “Tugasku adalah melindungi universitas ini dari skandal.”

Dengan nekat Jeannie berkata, ‘Tapi juga merupakan tugas Anda untuk membela
kebebasan akademis.”
Ia telah mengambil langkah yang salah. Dulu sekali,

267

jelas, para pimpinan universitas berjuang demi hak kebebasan untuk


memperdalam ilmu, tapi hari-hari itu sudah lama berlalu. Jeannie hanya akan
menyinggung perasaan Maurice dengan menyebut-nyebut soal kebebasan
akademis.

Maurice menjadi panas. “Kau tidak perlu menguliahi aku tentang tugas-tugasku
sebagai pimpinan universitas, ^Nona,” ujarnya dalam nada ketus.

Jeannie rupanya tidak menangkap maksud tersirat itu, dan ini membuat hati.
Berrington berbunga. “O ya?” ujarnya pada Maurice, dalam nada yang mulai
bersemangat “Anda menghadapi suatu konflik. Di satu pihak, ada koran yang
ngotot meliput sebuah berita yang sebetulnya tidak ada; di pihak lain, seorang
ilmuwan yang sedang mengejar kebenaran. Kalau seorang pimpinan universitas
merasa bimbang dalam menghadapi , tekanan seperti ini, entah apa jadinya
nanti?”

Hati Berrington melonjak. Tampang Jeannie betul-betul amat menarik, dengan


pipi “merona kemerahan dan mata berapi-api, namun ia sedang menggali liang
kuburnya sendiri. Maurice merasa tersinggung sekali.

Kemudian Jeannie rupanya menyadari apa yang sedang ia lakukan, sebab secara
tiba-tiba ia mengubah taktiknya. “Tapi di pihak lain, kita sama-sama tidak
menginginkan publisitas bernada negatif untuk universitas ini,” ujarnya dalam
nada lebih simpatik. “Aku bisa mengerti kekhawatiran Anda. Dr. Obell.”

Amarah Maurice langsung mereda. Hati Berrington menciut. “Aku mengerti


bahwa ini membuatmu berada dalam posisi serba salah,” ujar Maurice. “Pihak
universitas bersedia memberikan kompensasi padamu, dalam bentuk kenaikan
gaji sebesar sepuluh ribu dolar setahun.”

Jeannie tampak terperangah.

Berrington berkata, “Itu akan memungkinkaumu mengeluarkan ibumu dari


tempat yang membuatmu begitu resah itu”

268
Untuk sesaat Jeannie tampak ragu. “Aku amat menghargai tawaran Anda,”
ujarnya, “tapi itu tidak akan menyelesaikan masalahnya Aku masih tetap
membutuhkan pasangan kembar yang terlibat dalam tindakan kriminal untuk
risetku. Kalau tidak, tidak akan ada bahan bagiku untuk dipelajari.”

Berrington sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa Jeannie


bisa disuap.

Maurice berkata, ‘Tentunya ada cara lain untuk menemukan subjek-subjek yang
cocok bagimu.”

“Tidak, tidak ada. Aku membutuhkan pasangan-pasangan kembar identik, yang


dibesarkan secara terpisah, setidaknya pasangan yang salah satu di antaranya
pernah terlibat dalam tindakan kriminal. Itu memang sulit. Program komputerku
bisa melokasi mereka yang bahkan sama sekali tidak menyadari bahwa mereka
memiliki pasangan kembar. Tidak ada metode lain untuk melakukan itu.”

“O ya?” ujar Maurice.

Nadanya menjadi lebih akrab. Kemudian sekretaris Maurice masuk dan


menyerahkan sehelai kertas kepadanya. Isinya pemberitahuan pers sesuai dengan
konsep yang ditulis Berrington Maurice memperlihatkan kertas itu kepada
Jeannie, sambil berkata, “Kita harus menyiarkan sesuatu yang bunyinya kira-kira
begini hari ini, kalau kita ingin meredam berita itu.”

Jeannie membacanya sekilas. Amarahnya bangkit lagi. “Tapi ini kan omong
kosong!” semburnya. ‘Tidak ada kesalahan yang pernah dibuat. Tidak ada
seorang pun yang keleluasaan pribadinya dilanggar. Tidak ada seorang pun yang
pernah mengajukan keluhan!”

Berrington berusaha menyembunyikan rasa puasnya. Betul-betul paradoks


bahwa Jeannie bisa begitu berapi-api, namun toh memiliki kesabaran dan
ketekunan untuk melakukan riset ilmiah yang begitu berkepanjangan dan rumit
Berrington pernah melihatnya bekerja dengan

269

dan >an

subjek subjekuya sepertinya mereka tidak pernah bisa membuatnya kesal atau
capek, bahkan pada saat mereka membuat kacau jalannya tes. Dengan mereka, ia
mendapati bahwa perilaku buruk amat menarik dan dapat ditolerir, la cuma
menulis apa yang mereka katakan, lalu mengucapkan terima kasih kepada
mereka dengan tulus. Namun di luar ruang laboratorium, ia bisa meledak-ledak
seperti petasan begitu menghadapi sedikit provokasi.

Berrington memainkan peran sebagai penengah yang prihatin. **Tapi. Jeannie,


Dr. Obell merasa kita harus membuat pernyataan yang tegas.”

“Anda kan tidak bisa mengatakan bahwa program komputerku sudah tidak
diberlakukan!” ujar Jeannie. “Itu sama saja membubarkan seluruh proyekku!”

Ekspresi wajah Maurice mengeras. “Aku tidak bisa membiarkan pihak New
York Times menerbitkan artikel yang.mengatakan bahwa para ilmuwan Jones
Falls melanggar hak keleluasaan pribadi orang,” ujarnya. “Bayarannya adalah
hilangnya donasi senilai jutaan dolar.”

“Tempuh jalan tengah,” ujar Jeannie dalam nada memohon. “Katakan saja Anda
akan menangani masalah itu. Bentuk sebuah komite. Kita kembangkan sistem
pengamanan hak keleluasaan itu lebih jauh lagi, kalau memang perlu.”

Wah, wah, ujar Berrington pada dirinya. Itu betul-betul masuk akal. “Kita kan
sudah memiliki sebuah komite yang menangani soal etika,” ujarnya, dalam
usahanya mengulur waktu. “Sebuah subkomite dari senat.” Senat merupakan
dewan tertinggi universitas, dan anggota-anggotanya adalah para profesor yang
memiliki jabatan tetap, namun semua kegiatan yang ada dilaksanakan oleh
komite-komite. “Anda bisa menyatakan bahwa Anda sudah meneruskan
masalahnya kepada mereka.”

“Tidak cukup baik,” sahut Maurice. “Semua akan tahu bahwa itu cuma cara
untuk mengulur waktu.”

270

Jeannie langsung protes, “Masa Anda tidak lihat bahwa dengan bersikeras untuk
langsung mengambil tindakan, berarti Anda meniadakan kesempatan untuk
berkompromi!”

Sekarang merupakan saat yang tepat untuk mengakhiri pertemuan ini, putus
Berrington. Keduanya sedang sama-sama panas, sama-sama mencoba
mempertahankan prinsip masing-masing. Ia harus mengakhirinya sebelum
mereka mulai menyadari bahwa mereka harus berusaha berkompromi lagi. “Itu
masuk akal, Jeannie,” ujar Berrington. “Bagaimana kalau aku mengusulkan
sesuatu sekarang—andai kata kau tidak berkeberatan, Maurice.”

“Oke, katakan.”

“Kita menghadapi dua masalah yang sama sekali berbeda. Yang satu adalah
menemukan cara untuk melanjutkan program riset Jeannie tanpa menimbulkan
skandal yang dapat mengganggu reputasi universitas. Itu harus dipecahkan oleh
Jeannie dan aku, dan kita harus membahasnya secara panjang-lebar, nanti.
Masalah kedua adalah bagaimana cara fakultas dan universitas kita menyiarkan
ini ke dunia luar. Itu harus dibicarakan antara kau dan aku, Maurice.”

Maurice tampak lega. “Masuk akal,” ujarnya.

Berrington berkata, “Terima kasih untuk kedatanganmu, Jeannie.”

Jeannie menyadari bahwa ia dipersilakan menarik diri. Ia berdiri dengan


tampang sedikit bingung. Ia tahu mereka sudah berhasil memanuver dirinya,
namun ia belum dapat menangkap sampai sejauh mana. “Anda akan menelepon
aku nanti?” tanyanya kepada Berrington.

‘Tentu.”

“Baiklah.” Untuk sesaat ia ragu, kemudian melangkah keluar.

“Dia keras sekali,” ujar Maurice. Berrington mendoyongkan tubuhnya ke muka,


mencakup kedua telapak tangannya, lalu melihat ke bawah.

seakan ingin merendahkan dirinya. “Kurasa ini salahku, Maurice.” Maurice


menggeleng, namun Berrington berkata lagi, “Aku yang menerima Jeannie
Ferrami. Tentu saja tidak pernah terpintas dalam diriku bahwa dia akan
menciptakan metode kerja seperti ini—tapi toh ini tanggung jawabku, dan kukira
ada baiknya aku membantumu menyelesaikan masalah ini.” “Apa usulmu?”

“Aku tidak bisa memintamu untuk tidak mempubli kasi pernyataan pers itu. Aku
tidak punya hak untuk itu. Kau tidak bisa menempatkan suatu riset di atas
kepentingan seluruh universitas, itu kuakui.” Ia menatap ke atas.
Maurice tampak ragu. Untuk sesaat Berrington sempat mempertanyakan, apakah
Maurice tiba-tiba menyadari dirinya berhasil dipojokkan. Tapi pada saat
bersamaan, kekhawatirannya itu pun berlalu. “Aku menghargai ucapanmu itu,
Berry. Tapi bagaimana caramu menghadapi Jeannie?”

Berrington merelaks. Sepertinya segalanya sesuai dengan rencananya. “Kukira


itu masalahku,” ujarnya. “Biar aku yang tangani.”

272

BAB 22

teve jatuh tertidur di tengah jam-jam pertama hari Rabu pagi.

Suasana di penjara itu sunyi. Porky masih mendengkur, dan Steve sudah tidak
tidur selama empat puluh dua jam. Ia berusaha untuk tetap terjaga, sambil
menghafal kata-kata yang akan ia ucapkan saat mengajukan permohonan kepada
hakim untuk dilepas sebagai tahanan luar besok, tapi setiap kali ia hanyut ke
alam mimpi, di mana si hakim tersenyum ramah kepadanya sambil berkata,
Permohonan untuk dilepas sebagai tahanan luar dikabulkan, biarkan orang ini
pergil, lalu ia melangkah keluar meninggalkan gedung pengadilan, menuju jalan
yang disinari panas matahari. Saat duduk dalam posisi yang sama di lantai sel
itu, dengan bersandar ke tembok, ia mendapati dirinya terlena, kemudian
tersentak bangun lagi beberapa kali, namun akhirnya kehendak alam berhasil
menundukkan kekerasan tekadnya.

la sedang terlelap saat tiba-tiba dikagetkan oleh suatu hantaman menyakitkan


pada tulang rusuknya, la terenyak, lalu membuka mata. Rupanya Porky baru saja
menendangnya dan sekarang sedang mendoyongkan tubuh ke arahnya, dengan
mata terbeliak seperti orang kalap, sambil berteriak, “Kaucuri ganjaku, bangsat!
Kautaruh di mana, di mana? Kembalikan kepadaku sekarang juga, atau
mampuslah kau!”

273

Steve langsung bereaksi, tanpa berpikir sama sekali, la melompat berdiri seperti
pegas, tangan kanannya terulur kaku, kemudian ia menghujamkan dua jarinya ke
mata Porky. Porky berteriak kesakitan sambil melangkah mundur. Steve
mengikutinya, seraya mencoba menembuskan jari-jarinya ke dalam otak Porky,
terus sampai ke bagian belakang kepalanya. Di suatu tempat di kejauhan, ia
dapat menangkap suatu suara yang terdengar amat mirip dengan suara teriakan
marahnya sendiri.

Porky mengambil satu langkah mundur lagi, lalu terenyak keras di atas kloset,
sambil menutup matanya dengan kedua tangannya.

Steve meletakkan kedua tangannya di belakang leher Porky, sesudah itu menarik
kepalanya ke arahnya, kemudian menghantam wajahnya dengan lutut. Darah
muncrat dari mulut Porky. Steve merenggut leher kemejanya, menariknya berdiri
dari kloset itu, lalu mengempaskannya ke lantai. Saat akan menendanginya, tiba-
tiba kewarasannya pulih. Untuk sesaat ia termanggu, menerawangi Porky yang
sedang mengalami perdarahan di lantai, kemudian kabut amarahnya mereda.
“Oh, tidak,” ujarnya. “Apa yang sudah kulakukan?”

Pintu sel itu tiba-tiba terbuka dan dua orang polisi menghambur masuk, sambil
mengacungkan tongkat pemukul mereka.

Steve menaikkan tangannya ke atas.

“Yang tenang sekarang,” ujar salah satu polisi itu.

“Aku sudah tenang,” jawab Steve.

Para petugas itu memborgol tangannya, lalu mengeluarkannya dari sel itu. Satu
di antara mereka mengayunkan tinjunya ke perut Steve dengan keras. Steve
langsung membungkuk, megap-megap. “Itu cuma untuk mengingatkanmu agar
tidak coba-coba lagi,” ujar si polisi.

Ia mendengar suara pintu selnya dibanting menutup dan suara Spike, si petugas
jaga, berkata dalam nada

274

bercanda, “Kau perlu dokter. Porky? Kebetulan ada seorang dokter bewan di
East Baltimore Street.” Ia tertawa karena leluconnya sendiri.

Steve menegakkan tubuhnya. Bekas hantaman itu masih terasa sakit, tapi ia
sudah bisa bernapas. Ia menoleh ke arah Porky melalui terali besi. Laki-laki itu
sedang duduk tegak sambil menggosok-gosok matanya. Melalui bibirnya yang
berdarah ia menjawab Spike, “Bangsat kan.”
Steve merasa lega; Porky tidak terluka parah.

Spike berkata, “Memang sudah waktunya kau keluar dari sana, anak sok pintar.
Tuan-tuan ini datang untuk menjemputmu ke pengadilan.” Ia memeriksa sehelai
kertas. “Coba kita lihat, siapa lagi yang harus ikut ke Northern District Court?
Mr. Robert Sandilands, yang lebih dikenal sebagai Sniff….” Ia mengeluarkan
tiga orang lagi dari dalam beberapa sel. lalu merantai mereka dengan Steve.
Kemudian kedua anggota polisi itu menggiring mereka ke tempat parkir, dan
naik ke atas sebuah bus.

Steve berharap ia tidak usah kembali ke tempat itu.

Di luar masih gelap. Steve memperkirakan saat itu sekitar pukul enam pagi.
Sidang tidak akan dimulai sebelum pukul sembilan atau sepuluh pagi, jadi ia
masih harus menunggu lama. Mereka mengitari kota selama lima belas sampai
dua puluh menit, kemudian memasuki sebuah pintu garasi di gedung pengadilan.
Mereka turun dari bus itu, lalu menuju lantai dasar.

Di sekitar sebuah tempat terbuka terdapat delapan kurungan berterali besi.


Masing-masing kurungan memiliki sebuah dipan dan kloset, tapi tempatnya
lebih luas daripada sel-sel yang ada di kantor polisi. Keempat tahanan itu
dimasukkan ke dalam sebuah kurungan yang sudah berisi enam orang di
dalamnya. Rantai-rantai mereka dibuka, lalu digeletakkan di sebuah meja di
tengah-tengah ruangan itu. Ada beberapa petugas di

275

sana, yang dikepalai oleh seorang wanita kulit hitam bertubuh tinggi dan
bertampang kejam dalam seragam sersan.

Selama satu jam berikutnya, sekitar tiga puluh atau lebih tahanan baru tiba.
Mereka ditempatkan berdua belas dalam sebuah kurungan. Teriakan dan siulan
terdengar saat serombongan kecil tahanan wanita digiring masuk. Mereka
dimasukkan ke dalam kurungan yang terletak di ujung lain ruangan itu.

Setelah itu tidak banyak yang terjadi selama beberapa jam. Sarapan pagi mulai
dibawa masuk, namun sekali lagi Steve menolak bagiannya; ia masih belum
terbiasa makan di tempat yang ada klosetnya. Beberapa orang tahanan
berbincang-bincang dengan ramainya, kebanyakan tetap bertampang murung
dan diam. Ada yang kelihatannya masih belum pulih akibat kebanyakan minum
minuman keras. Kelakar antara para tahanan dan petugas jaga tidak sekonyol di
tempat sebelumnya, dan Steve mempertanyakan apakah itu karena seorang
wanitalah yang membawahinya.

Susasana di penjara ternyata sama sekali tidak seperti yang mereka perlihatkan
di televisi, pikirnya. Acara-acara televisi dan film-film membuat penjara tampak
seperti hotel murahan; mereka tidak pernah menunjukkan kloset-klosetnya yang
terbuka, pelecehan-pelecehan verbalnya, atau tindakan-tindakan kekerasan yang
diterima oleh yang dianggap membuat masalah.

Hari ini mungkin akan menjadi hari terakhirnya di penjara. Andai kata ia
percaya pada Tuhan, tentunya ia sudah akan berdoa dengan sepenuh hati

Ia memperkirakan sudah sekitar tengah hari saat mereka mulai mengeluarkan


para tahanan dari sel-sel itu.

Steve termasuk dalam rombongan kedua. Mereka diborgol lagi dan sepuluh
orang dirantai bersama. Kemudian mereka naik ke ruang sidang.

276

Ruang sidang itu mengingatkannya akan sebuah kapel Methodist. Dinding-


dindingnya dicat warna hijau, sampai ke sebuah garis hitam sebatas pinggang,
kemudian dalam warna krem di atasnya Ada sebuah karpet hijau di lantainya dan
sembilan deretan bangku kayu berwarna kekuningan.

Di deretan paling belakang duduk ayah dan ibu Steve. Ia tersentak kaget.

Dad mengenakan seragam kolonelnya, dengan topinya di bawah lengan. Ia


duduk tegak, seakan sedang berdiri siaga. Rona wajahnya khas orang Celtic—
mata biru, rambut bernuansa gelap, dan bayangan cambang lebat pada pipi yang
habis dicukur bersih. Ekspresi wajahnya kaku, tegang dengan emosi tertahan.
Mom duduk di sebelahnya, kecil dan agak .gemuk, wajahnya yang bundar
sembab oleh air mata.

Steve berandai ia dapat amblas ke bawah lantai. Dengan rela ia bersedia kembali
ke sel si Porky untuk menghindari momentum ini. la berhenti melangkah,
sehingga seluruh barisan tahanan itu terhenti, kemudian menatap dengan
pandangan sedih ke arah orangtuanya, sampai, seorang petugas mendorongnya
dan ia tersungkur ke arah bangku paling depan.
Seorang pegawai pengadilan wanita duduk di muka sidang, menghadap para
tahanan. Seorang petugas penjara berjaga-jaga di pintu. Satu-satunya petugas
pengadilan lain yang hadir di situ adalah seorang laki-laki kulit hitam
berkacamata yang berusia sekitar empat puluhan, mengenakan jas dan dasi,
dengan celana blue jeans. Ia menanyakan nama para tahanan, lalu mengecek
sebuah daftar. -

SteveTnenoleh ke belakang melalui pundaknya. Tidak ada siapa-siapa di bangku


yang disediakan untuk umum, kecuali kedua orangtuanya. Ia merasa bersyukur
memiliki keluarga yang cukup peduli untuk hadir, tidak seperti para tahanan lain.
Namun pada saat bersamaan, ia

lebih suka melewati momentum memalukan ini tanpa ada yang menyaksikan.

Ayahnya berdiri, kemudian melangkah maju. Laki-laki bercelana jeans itu


menatapnya dengan pandangan sok penting. “Kenapa, Sir?”

“Aku ayah Steven Logan, dan aku ingin bicara dengannya,” ujar Dad dalam
nada berwibawa. “Boleh aku tahu siapa Anda?”

“David Purdy, aku seorang penyidik prasidang. Aku yang menelepon Anda pagi
tadi.”

Jadi, begitu caranya Mom dan Dad tahu, ujar Steve pada dirinya. Seharusnya ia
dapat menebaknya. Petugas pengadilan itu mengatakan kepadanya bahwa
seorang penyidik akan mengecek kebenaran data-datanya. Cara termudah untuk
melakukannya adalah dengan menghubungi kedua orangtuanya. Hatinya
menciut membayangkan mereka menerima telepon itu. Apa yang telah dikatakan
penyidik itu? Aku perlu mengecek alamat Steven Logan, yang sedang ditahan di
Baltimore, dengan tuduhan melakukan tindak pemerkosaan. Anda ibunya?

Dad mengulurkan tangannya ke arah laki-laki itu, lalu berkata, “Senang


berkenalan dengan Anda, Mr. Purdy.” Namun Steve dapat melihat bahwa Dad
sama sekali tidak suka padanya.

Purdy berkata, “Anda bisa bicara dengan putra Anda. Silakan. Tidak ada
masalah.” .

Dad mengangguk singkat. Ia menyusuri bangku di belakang para tahanan, lalu


duduk persis di belakang Steve. Ia meletakkan tangannya di pundak Steve, lalu
meremasnya dengan lembut Air mata mulai menggenangi mata Steve. “Dad, aku
tidak melakukan ini,” ujarnya.

^“Aku tahu, Steve,” sahut ayahnya. Nadanya yang begitu tulus membobolkan
pertahanan Steve, dan ia mulai menangis. Begitu mulai, ia tidak dapat berhenti
lagi. Ia merasa lemah karena lapar dan

278

kurang tidur. Seluruh ketegangan dan penderitaannya selama dua hari terakhii ini
membuatnya hanyut, air matanya mengalir bebas. Berkali-kali ia mencoba
menelan dan mengeringkan wajahnya dengan tangannya yang diborgol.

Selang beberapa saat, Dad berkata, “Kami ingin mencari seorang pengacara
untukmu, tapi waktunya tidak cukup—kami baru saja sampai di sini.”

Steve mengangguk. Ia akan bertindak sebagai pengacaranya sendiri, andai kata


ia dapat menguasai dirinya.

Dua orang gadis dibawa masuk oleh seorang petugas wanita. Mereka tidak
diborgol. Mereka duduk, lalu tertawa cekikikan. Usia mereka sekitar tujuh
belasan.

“Bagaimana sebetulnya kejadiannya?” tanya Dad kepada Steve.

Usaha untuk menjawab pertanyaan itu membantu Steve menghentikan


isakannya. “Rupanya tampangku mirip dengan si pelaku,” ujarnya. Ia
membersihkan hidungnya, kemudian menelan ludah. “Si korban menunjukku
saat kami dibariskan. Dan seperti yang kuungkapkan pada pihak kepolisian, aku
memang kebetulan ada di sekitar situ pada waktu itu. Tes DNA itu akan
menjernihkan namaku kembali, tapi hasilnya baru keluar setelah tiga hari.
Mudah-mudahan aku bisa dilepas sebagai tahanan luar hari ini.”

“Katakan pada hakimnya bahwa kami ada di sini.” ujar Dad. ‘*Mungkin itu akan
membantu.”

Steve merasa seperti anak yang sedang dihibur oleh ayahnya. Ini
mengingatkannya kembali akan suatu kenangan manis-manis pahit yang terjadi
pada hari ia memperoleh sepedanya yang pertama. Sepertinya ini hari ulang
tahunnya yang kelima. Sepeda itu jenis yang memiliki sepasang roda ekstra di
belakang, untuk penjaga-keseimbangan. Rumah mereka memiliki sebuah kebun
besar dengan dua anak tangga menuju serambi. “Kau boleh putar-putar kebun,
tapi jangan main dekat

279

tangga” ujar Dad ketika itu, tapi Stevie kecil justru mencoba menggelindingkan
sepedanya turun tangga. Ia terjungkal, mencederai sepedanya dan dirinya
sendiri; ia menduga ayahnya akan marah-marah padanya karena tidak mematuhi
perintahnya Tapi Dad membantunya berdiri, membersihkan luka-lukanya dengan
hati-hati, sesudah itu membetulkan sepedanya Stevie menantikan saat ia akan
marah-marah, tapi hal itu tidak juga terjadi. Dad bahkan tidak mengatakan, Kan
aku sudah bilang. Tak peduli apa pun yang terjadi, orangtua Steve selalu berada
di pihaknya Si hakim muncul.

Ia seorang wanita kulit putih menarik yang berusia sekitar lima puluhan, mungil
dan rapi. Ia mengenakan sehelai jubah hitam dan membawa sekaleng Diet Cola,
yang ia letakkan di mejanya saat ia duduk.

Steve mencoba membaca wajahnya. Apakah ia wanita yang kejam atau lembut?
Apakah suasana hatinya sedang enak atau kurang baik? Apakah ia wanita yang
hangat, berpikiran terbuka, dan memiliki hati, atau secara obsesif berpegang
teguh pada disiplin dan diam-diam berharap dapat mengirim mereka semua ke
kursi listrik? Steve menatap matanya yang biru, hidungnya yang lancip,
rambutnya yang berwarna gelap dan diseling keabuan. Apakah ia memiliki
suami berperut gendut, seorang anak yang sedang menginjak remaja dan sering
membuatnya pusing, seorang cucu yang disayanginya dengan siapa ia berguling-
guling di karpet? Ataukah ia tinggal sendirian di sebuah apartemen mahal yang
penuh dengan perabotan modem yang kaku dan bersudut-sudut tajam? Dosen-
dosennya pernah membeberkan padanya secara teoretis, alasan-alasan untuk
memberikan atau menolak permintaan seseorang untuk menjadi tahanan luar,
tapi kini semua itu sepertinya tidak relevan lagi. Yang benar-benar penting
hanyalah apakah wanita ini berhati lembut atau tidak.

280

Si hakim melayangkan pandang ke arah deretan tahanan, lalu berkala, “Selamat


siang. Ini adalah sidang peninjauan ulang permohonan Anda untuk mendapatkan
status tahanan luar.” Suaranya rendah tapi jelas, nadanya tegas. Segala sesuatu
mengenai dirinya berkesan tegas dan rapi—kecuali kaleng Coke itu, suaiu
sentuhan manusiawi yang membangkitkan kembali harapan di hati Steve.

“Apakah Anda sekalian sudah menerima surat gugatan kalian?” Semua sudah
menerima. Kemudian ia membacakan sebuah naskah tentang hak-hak mereka,
serta cara untuk mendapatkan pengacara.

Setelah itu ia berkata, “Pada saat dipanggil, angkatlah tangan kanan Anda. Ian
Thompson.” Seorang tahanan menaikkan tangannya. Ia membacakan tuntutan
serta penalti yang dihadapi laki-laki itu. Ian Thompson rupanya sudah
menggarong tiga rumah di daerah permukiman elite Roland Park. Ia seorang
laki-laki keturunan Hispanik yang lengannya digips. Tampaknya ia tidak peduli
akan nasibnya, dan merasa bosan menjalani seluruh proses itu.

Sebagaimana diungkapkan si hakim, ia mempunyai hak untuk dihadapkan pada


suatu sidang pemeriksaan awal dan diadili oleh suatu dewan juri. Steve
menunggu dengan hati berdebar-debar, apakah orang ini akan memperoleh status
tahanan luarnya.

Si «penyidik prasidang berdiri. Dalam gaya bicara yang amat cepat ia


menyatakan bahwa Thompson sudah tinggal di alamat yang sama selama satu
tahun, punya seorang istri dan seorang bayi, tapi tidak memiliki pekerjaan tetap.
Ia juga punya masalah obat bius dan sebuah catatan kejahatan. Steve tidak akan
melepas orang seperti ini di jalan.

Namun si hakim mengabulkan permohonannya dengan imbalan sebesar dua


puluh lima ribu dolar. Steve merasa memiliki harapan. Ia tahu bahwa si tenuduh

281

biasanya hanya perlu menyediakan sepuluh persen dari jumlah ini dalam bentuk
kontan, jadi Thompson dapat bebas kalau ia bisa memperoleh dua ribu lima ratus
dolar. Itu sepertinya tidak terlalu berat.

Satu di antara kedua gadis itu memperoleh giliran berikutnya. Rupanya ia


terlibat dalam percekcokan dengan gadis lain dan dituntut telah melakukan
tindakan penyerangan. Si penyidik prasidang menyatakan kepada Hakim bahwa
ia tinggal bersama kedua orangtuanya dan bekerja di kasir sebuah pasar
swalayan di dekat situ. Jelas bahwa tuntutannya tidak begitu serius, sehingga si
hakim mengabulkan permohonannya berdasarkan surat pernyataan sanggupnya
untuk berpegang pada tata tertib pengadilan. Ini berarti ia tidak usah
menyediakan uang sama sekali.

Suatu keputusan yang ringan lagi. Hati Steve mulai melambung sedikit.

Kepada si tertuduh juga diingatkan untuk tidak pergi ke alamat gadis yang
pernah cekcok dengannya itu. Steve jadi teringat bahwa seorang hakim bisa
menambahkan persyaratan pada keputusannya Mungkin ada baiknya kalau ia
mengajukan bahwa ia akan menjauhi Lisa Hoxton. la sama sekali tidak tahu di
mana wanita itu tinggal atau bagaimana tampangnya, namun ia bersedia
mengatakan apa saja yang mungkin dapat membantunya meninggalkan tempat
tahanan itu.

Tahanan berikutnya adalah seorang laki-laki kulit putih setengah baya yang telah
mengekspos alat vitalnya kepada para pelanggan wanita di bagian higina sebuah
toko Rite-Aid. Ia sudah memiliki catatan panjang untuk pelanggaran yang persis
sama Ia tinggal sendirian, tapi di alamat yang sama, selama lima tahun. Di luar
dugaan Steve, si hakim menolak permohonan dilepasnya. Postur tubuh laki-laki
itu kecil dan kurus; Steve menilainya sama sekali tidak’berbahaya. Tapi mungkin
hakim ini, sebagai seorang wanita, lebih keras dalam menghadapi kasus
pelanggaran seks.

282

Wanita itu mengalihkan perhatian ke lembaran kertas di hadapannya, lalu


berkata, “Steven Charles Logan”

Steve mengangkat tangannya. Tolong keluarkan aku dari sini.

“Anda dituntut telah melakukan tindakan pemerkosaan tingkat satu, dan


mungkin menghadapi penalti hukuman penjara seumur hidup.”

Di belakangnya, Steve mendengar suara desahan napas ibunya

Si hakim masih membacakan beberapa tuntutan lain beserta penalti-penaltinya,


kemudian si penyidik prasidang berdiri. Ia menyatakan umur Steve, alamat, dan
pekerjaannya, dan mengatakan bahwa Steve tidak memiliki catatan kejahatan
serta tidak memiliki masalah ketergantungan apa-apa. Menurut Steve,
dibandingkan dengan yang lain, catatannya betul-betul ideal. Tentunya wanita itu
memperhatikannya.
Setelah Purdy selesai, Steve berkata, “Bolehkah aku mengatakan sesuatu, Yang
Mulia7’

“Baik, tapi ingat, tidak akan menguntungkan bagi Anda untuk mengungkapkan
sesuatu mengenai tindak kejahatan itu.”

Steve berdiri. “Aku tidak bersalah, Yang Mulia. Tapi sepertinya penampilanku
mirip si pelaku, sehingga andai kata Anda mengabulkan permohonanku, aku
berjanji untuk tidak mendekati si korban, andai kata Anda ingin menjadikan itu
persyaratan untuk melepasku dengan jaminan.”

“Baik.”

Ia masih ingin bicara lebih banyak untuk lebih meyakinkan si hakim, namun
semua ucapan yang sudah dipersiapkannya sewaktu berada di dalam sel kini
menghilang begitu saja dari kepalanya. Ia tidak tahu lagi apa yang harus
dikatakan. Dengan perasaan frustrasi, ia duduk.

Di belakangnya, ayahnya berdiri. “Yang Mulia, aku

ayah Steven, Kolonel Charles Logan. Aku bersedia menjawab pertanyaan apa
saja yang ingin Anda ajukan kepadaku.”

Si hakim menatap dengan pandangan dingin. “Itu tidak perlu.”

Steve mempertanyakan, mengapa wanita itu sepertinya kurang menyukai


campur tangan ayahnya. Mungkin ia cuma ingin menyatakan bahwa ia tidak
merasa terkesan oleh pangkat militernya. Mungkin ia ingin mengatakan, Semua
menduduki tempat yang sama di dalam sidangku, siapa pun itu, tak peduli betapa
terhormat serta terpelajarnya ia.

Dad duduk kembali.

Si hakim mengalihkan pandang ke arah Steve. “Mr. Logan, apakah Anda


mengenal wanita itu sebelum tindak kejahatan itu berlangsung?”

“Aku belum pernah bertemu dengannya,” ujar Steve.

“Pernahkah Anda melihatnya sebelumnya?”


Steve memperkirakan wanita itu sedang mempertanyakan apakah ia pernah
melakukan pengintaian selama beberapa waktu sebelum menyerang Lisa
Hoxton. Ia menjawab, “Aku tidak bisa menjawab itu, aku tidak tahu bagaimana
tampangnya.”

Si hakim tampak menimbang-nimbang kebenaran jawaban itu selama beberapa


detik. Steve merasa seakan ia sedang bergelayut di sebuah tebing. Sepatah kata
dari si hakim sudah cukup untuk menyelamatkan dirinya. Andai kata wanita itu
menolak permohonan dilepasnya, ia akan jatuh ke dalam jurang yang curam itu.

Akhirnya wanita itu berkata, “Permohonan untuk dilepas dikabulkan, dengan


imbalan sebesar dua ratus ribu dolar.”

Rasa lega melanda Steve, bak guyuran ombak. Seluruh tubuhnya merelaks.
“Terima kasih, Tuhan,” gumamnya.

“Anda tidak boleh mendekati Lisa Hoxton atau pergi ke 1321 Vine Avenue.”

284

Steve kembali merasakan cengkeraman hangat tangan ayahnya di pundaknya. Ia


menaikkan tangannya yang masih diborgol untuk menyentuh jari-jari kurus laki-
laki itu.

Ia tahu masih perlu waktu satu-dua jam lagi sebelum ia betul-betul dilepas, tapi
ia tak peduli, sebab kini ia yakin akan bebas, la akan memakan enam buah Big
Mac dan tidur selama dua puluh empat jam. Ia ingin mandi air panas, ganti
pakaian bersih, dan memperoleh arlojinya kembali. Ia ingin segera menikmati
kembali keberadaannya di antara mereka yang tidak mengeluarkan kata-kata
umpatan setiap kali membuka mulut.

Dan ia menyadari, sedikit di luar perhitungannya, bahwa yang paling ia inginkan


saat itu adalah menghubungi Jeannie Ferrami.

BAB 23

Jeannie merasa sangat kesal saat kembali ke ruang kantornya. Maurice Obeli
betul-betul pengecut. Seorang reporter koran yang agresif menuding secara
ngawur, itu saja, tapi dia sudah menciut. Dan Berrington ternyata terlalu lemah
untuk memberikan perlindungan padanya secara lebih efektif.
Program komputernya merupakan keberhasilannya yang paling besar. Ia telah
mulai mengembangkannya saat ia menyadari bahwa risetnya dalam dunia
kriminalitas tidak akan pernah lancar tanpa suatu sarana baru untuk menemukan
subjek-subjek yang dibutuhkan bagi studinya. Ia telah menghabiskan tiga tahun
untuk itu. Program ini merupakan salah satu keberhasilannya yang betul-betul
luar biasa, di luar gelar juara yang telah ia capai dalam bidang tenis. Andai kata
ia memang memiliki bakat intelektual yang unik, maka bidangnya adalah
memecahkan teka-teki logis sejenis itu. Meskipun yang ditekuninya adalah
psikologi manusia-manusia yang tidak rasional dan tidak dapat diandalkan, ia
toh melakukannya dengan memanipulasi sejumlah data dari ratusan ribu
individu; usaha itu dapat dipertanggungjawabkan secara statistik dan matematik.
Andai kata programnya ternyata tidak baik, menurutnya, ia akan merasa sia-sia.
Lebih baik ia mengundurkan diri saja dan menjadi pramugari, seperti Penny
Watermeadow.

286

, Ia tercengang melihat Annette Bigelow menunggu di muka pintunya. Annette


adalah mahasiswa senior yang proyek akhirnya mendapatkan penyeliaan dari
Jeannie sebagai bagian dari tugas mengajarnya. Sekarang ia teringat bahwa akhir
minggu yang lalu, Annette menyerahkan usulan untuk jadwalnya pada tahun itu,
dan mereka sudah berjanji akan membicarakannya pagi ini. Jeannie memutuskan
untuk membatalkan pertemuannya; masih banyak hal yang lebih penting
menantinya. Kemudian ia melihat ekspresi antusias yang membayang di wajah
wanita yang lebih muda itu, dan ia teringat betapa berartinya pertemuan-
pertemuan seperti ini saat kau masih seorang mahasiswa; ia memaksa dirinya
untuk tersenyum, lalu berkata, “Maaf kau terpaksa menunggu. Ayo kita mulai
sekarang juga.”

Untungnya ia sudah membaca usulan itu dengan cermat sebelumnya, dan


membuat beberapa catatan. Annette merencanakan untuk menelusuri data-data
mengenai pasangan kembar yang ada, untuk melihat apakah ia dapat
menemukan korelasi antara bidang-bidang yang berhubungan dengan pandangan
politis dan sikap moral. Suatu gagasan yang menarik dan betul-betul ilmiah.
Jeannie mengusulkan sedikit perbaikan di sana-sini, lalu memberikan lampu
hijaunya.

Saat Annette meminta diri, Ted Ransome melongokkan kepala melalui pintu.
“Tampangmu seperti siap membantai entah siapa,” ujarnya.
“Pokoknya bukan kau,” Jeannie tersenyum. “Masuklah, kita minum secangkir
kopi.”

“Asyik.” Ransome adalah sosok favorit Jeannie di departemen itu. Seorang


lektor yang menekuni ilmu psikologi persepsi, dengan rumah tangga rukun
bahagia dan dua orang anak yang masih kecil. Jeannie tahu bahwa Ransome
menilai dirinya sebagai wanita yang menarik, namun ia tidak pernah melakukan
yang aneh-aneh. Mereka sering terlibat dalam situasi-situasi menye-riangkan,
yang tidak akan pernah berkembang sampai, menimbulkan masalah.

Jeannie menyalakan perangkat pembuat kopi di samping meja tulisnya, lalu


menceritakan kepada Ransome tentang konfliknya dengan New York Times dan
Maurice Obeli. “‘Tapi sekarang tinggal satu pertanyaan besar,” ujarnya. “Siapa
yang memberikan masukan itu kepada mereka?” *

“Tentunya si Sophie,” ujar Ransome.

Sophie Chappie adalah satu-satunya wanita lain di fakultas psikologi. “Meskipun


usianya sudah menjelang lima puluhan dan jabatannya seorang profesor penuh,
ia masih menganggap Jeannie semacam saingan dan bersikap amat cemburuan
sejak awal semester itu. Ia mencela segala sesuatu mengenai Jeannie, mulai dari
rok-rok mininya sampai cara ia memarkir mobilnya.

“Masa dia akan melakukan hal seperti itu?” ujar Jeannie.

“Kenapa tidak?”

“Kukira kau benar.” Jeannie tidak pernah berhenti tercengang menghadapi


kepicikan para ilmuwan top. Ia pernah menyaksikan seorang ahli matematika
terkemuka meninju ahli ilmu fisika paling brilian di Amerika hanya gara-gara
merasa gilirannya di sebuah kafetaria diserobot. “Mungkin akan kutanyakan
padanya.”

Ransome mengangkat alisnya. “Dia nggak bakal ngaku.”

“Tapi tampangnya bakal rikuh.”

“Bakal terjadi keributan.”

“Sebelumnya suasananya juga sudah tegang.”


Pesawat telepon Jeannie berdering. Ia meraihnya sambil memberikan isyarat
kepada Ted untuk menuang kopinya. “Halo.”

“Naomi Freelander di sini.”

Untuk sesaat Jeannie bimbang. “Aku tidak yakin Tipakah ada baiknya aku
melayani Anda.”

288

“Kudengar Anda sudah tidak menggunakan sistem database medis itu untuk
melaksanakan riset Anda.” “Tidak.”

“Apa maksud Anda dengan, ‘Tidak*?”

“Maksudku aku tidak menggunakannya. Ulah Anda telah mengawali terjadinya


suatu diskusi, tapi sejauh ini belum ada keputusan yang dibuat.”

“Aku baru saja menerima faks dari kantor pimpinan universitas. Di dalamnya
pihak universitas meminta maaf kepada mereka yang merasa keleluasaan
pribadinya dilanggar, dan memastikan program itu tidak akan dilanjutkan lagi.”

Jeannie tersentak. “Mereka mengirim itu?”

“Anda tidak tahu?”

“Aku melihat konsepnya, tapi aku sama sekali tidak mendukung ide mereka.”

“Rupanya mereka membatalkan program Anda tanpa memberitahu Anda.”

“Mana mungkin?”

“Maksud Anda?” (

“Aku mempunyai kontrak dengan universitas ini. Mereka tidak bisa berbuat
seenaknya.” •

“Apakah itu berarti Anda akan melanjutkan program Anda menentang kebijakan
pihak pimpinan universitas?”

“Ini bukan soal menentang. Mereka tidak bisa mengomando aku.” Mata Jeannie
bertemu pandang dengan Ted. Laki-laki itu mengangkat tangannya, kemudian
menggerakannya, seakan mengatakan jangan. Jeannie menyadari bahwa Ted
benar; bukan begini cara menghadapi pihak media massa. Ia mengubah
taktiknya. “Begini,” ujarnya dalam nada berkompromi, “Anda sendiri yang
mengatakan bahwa invasi keleluasaan pribadi dianggap amat berpotensi, dalam
kasus ini.”

“Ya…”

“Dan sejauh ini. Anda belum berhasil menemukan

289

siapa pun yang bersedia mengajukan tuntutan atas programku itu. Namun Anda
sama sekali tidak tergugah mengenai pembatalan proyek riset ini.‘1

“Aku tidak memberikan penilaianku, aku cuma melaporkan.”

“Apakah Anda tahu mengenai apa risetku sebenarnya? Aku sedang mencoba
menemukan apa yang membuat seseorang cenderung melakukan tindakan
kriminal. Aku orang pertama yang rnemikirkan cara yang betul-betul
menjanjikan untuk mendalami problema ini. Andai kata semuanya lancar, apa
yang kutemukan akan menjadikan Amerika tempat yang lebih baik untuk
membesarkan cucu-cucu Anda.”

“Aku tidak punya cucu.”

“Itukah alasan Anda?”

“Aku tidak membutuhkan alasan…”

“Mungkin tidak, tapi apakah tidak lebih baik jika Anda menemukan suatu kasus
invasi keleluasaan pribadi yang betul-betul dipermasalahkan orang? Tidakkah itu
merupakan liputan yang lebih menarik untuk dimuat di koran?”

“Biar aku yang memutuskan itu.”

Jeannie menghela napas. Ia sudah melakukan sebisanya Sambil mengenakkan


gigi, ia mencoba mengakhiri percakapan itu dalam nada lebih bersahabat. “Oke,
semoga Anda berhasil.”
“Aku menghargai kerja sama Anda, Dr. Ferrami.”

“Selamat siang.” Jeannie menutup pesawatnya sambil mengumpat, “Brengsek.”

Ted menyodorkan secangkir kopi ke arahnya. “Sepertinya mereka sudah


mengeluarkan pernyataan bahwa programmu tidak akan dilanjutkan.”

“Aku tidak mengerti. Berrington bilang kami masih akan membicarakan


langkah-langkah yang akan kami ambil.”

Ted menurunkan volume suaranya. “Kau tidak me—

290

ngenal Berry sebaik aku mengenalnya. Percayalah padaku, dia benar-benar


selihai ular. Aku udak akan lengah jika berhadapan dengannya.”

“Mungkin terjadi kekeliruan,” ujar Jeannie penuh harap. “Mungkin sekretaris Dr.
Obell mengirim surat pernyataan itu secara tak sengaja.”

“Mungkin,” ujar Ted. “Tapi aku berani bertaruh ini ulah si ular.”

“Bagaimana kalau aku menelepon Times untuk melaporkan bahwa aku diteror
seseorang?”

Ted tertawa. “Menurutku sebaiknya kau ke kantor si Berry dan menanyakan


kepadanya apakah dia memang sengaja mengirim pernyataan itu sebelum dia
berbicara denganmu.”

“Ide bagus.” Jeannie meneguk kopinya, lalu berdiri.

Ted melangkah ke arah pintu. “Semoga kau berhasil. Aku akan berdoa
untukmu.”

“Trims.” Semula Jeannie ingin mengecup pipi laki-laki itu, namun ia keburu
mengurungkan niatnya.

Jeannie menelusuri lorong, lalu menaiki tangga menuju ruang kerja Berrington.
Pintunya dalam keadaan terkunci. Ia menuju ruang sekretariat yang melayani
semua profesor yang ada. “Hai, Julie, di mana Berry?”
“Dia sudah pulang, tapi dia memintaku membuat perjanjian dengan Anda
besok.”

Sial. Bajingan itu sedang berusaha menghindari dirinya. Teori Ted ternyata
benar. “Jam berapa besok?”

“Sembilan tiga puluh?”

“Aku akan kemari.”

Jeannie turun kembali ke lantainya, lalu melangkah masuk ke dalam


laboratorium. Lisa sedang sibuk di belakang meja kerjanya, memeriksa
konsentrasi DNA Steven dan Dennis yang ada di dalam tabung percoba—annya
Ia baru saja mencampurkan dua mikroliter dari masing-masing contoh dengan
dua mililiter bahan warna fluorescent. Bahan warna itu mengeluarkan kilau
begitu

kontak dengan DNA, dan kuantitas DNA-nya ditunjukkan oleh kilaunya yang
diukur dengan sebuah DNA jluoromeier dengan sebuah jarum yang akan
memperlihatkan hasilnya dalam ukuran nanogram DNA per mikroliter.

“Apa kabar?” tegur Jeannie.

“Baik-baik.”

Jeannie mengawasi wajah Lisa. Ia masih dalam tahap memungkir, rupanya.


Ekspresinya tanpa emosi, sementara ia memusatkan seluruh perhatian kepada
pekerjaannya, namun ketegangan toh masih menguasai bawah sadarnya. “Kau
sudah berbicara dengan ibumu?” Orangtua Lisa tinggal di Pittsburgh.

“Aku tidak ingin dia menjadi risau.”

“Tapi untuk itulah dia di sana. Teleponlah dia.”

“Nanti malam mungkin.”

Jeannie membeberkan kepadanya soal si reporter dari New York Times,


sementara Lisa terus bekerja. Ia mencampurkan contoh-contoh DNA itu dengan
suatu enzim yang dikenal sebagai endonukleat restriksi. Enzim-enzim ini
menghancurkan DNA asing yang mungkin bisa masuk ke dalam tubuh. Mereka
melakukannya dengan memotong molekul DNA yang panjang menjadi ribuan
fragmen yang lebih pendek. Yang membuat mereka begitu berguna bagi para
peneliti genetika adalah bahwa suatu endonukleat selalu memotong DNA pada
suatu titik tertentu. Akibatnya fragmen-fragmen dari dua contoh darah bisa
diperbandingkan. Andai kata cocok, berarti darah itu berasal dari satu individu
yang sama, atau dari pasangan kembar identik. Kalau fragmen-fragmennya lain,
mereka tentunya berasal dari individu-individu yang berbeda.

Situasinya seperti memotong Satu inci pita kaset dari sebuah opera. Ambillah
sebuah fragmen yang terpotong lima menit dari awal dua pita yang berbeda:
andai kata musik di kedua pita itu merupakan suatu duet yang

292

melantunkan Se a Caso Madama, maka mereka sama-sama berasal dari The


Marriage of Figaro. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya dua opera yang
sama sekali berbeda memiliki untaian nada yang persis sama di titik itu, perlu
dilaknkan perbandingan dengan beberapa fragmen lain, tidak hanya satu.

Proses fragmentasi ini berlangsung selama beberapa jam dan tidak dapat digesa;
kalau DNA-nya tidak difrag-mentasi secara sempurna, percobaan itu akan sia-
sia.

Lisa tampak tercengang mendengar apa yang diungkapkan Jeannie, tapi ia tidak
menunjukkan simpati sebagaimana yang diharapkan Jeannie. Mungkin karena ia
baru saja mengalami trauma berat tiga hari yang lalu, dan kalau dibandingkan
dengan itu, krisis yang sedang dialami Jeannie tidak ada apa-apanya. “Kalau kau
tidak bisa melanjutkan proyekmu ini,” ujar Lisa, “apa yang akan kautekuni
kemudian?”

“Aku tidak tahu,” sahut Jeannie. “Sulit rasanya membayangkan itu.” Jeannie
menyadari bahwa Lisa rupanya kurang tanggap mengenai apa yang membuat
seorang ilmuwan merasa terdorong. Bagi Lisa, yang menjadi teknisi
laboratorium, proyek riset yang satu hampir mirip dengan yang lain.

Jeannie kembali ke ruang kerjanya, lalu memutar nomor telepon Belia Vista
Sunset Home. Setelah berbagai hal yang ia alami selama ini, ia merasa kurang
menyisihkan waktu untuk berbicara dengan ibunya. “Boleh aku berbicara
dengan Mrs. Ferrami?” tanyanya.
Jawabannya pendek. “Mereka sedang makan siang.”

Untuk sesaat Jeannie ragu. “Oke. Tolong sampaikan kepadanya bahwa putrinya,
Jeannie, meneleponnya, dan aku akan mencoba lagi nanti.”

“Oke.”

Perasaan Jeannie mengatakan bahwa wanita itu kurang menanggapi pesannya.


“Namaku J-E-A-N-N-I-E,” ujarnya. “Aku putrinya.”

293

“Ya, oke.”

“Terima kasih. Aku menghargai perhatian Anda.” “Tentu.”

Jeannie menutup pesawatnya Ia harus mengeluarkan Mom dari situ. Ia belum


mengambil langkah apa-apa sehubungan dengan niatnya untuk memberikan
pelajaran tambahan di akhir minggu.

Ia melirik arlojinya; masih siang. Ia meraih mouse-nya, lalu mengalihkan


perhatian ke layar komputernya, tapi rasanya percuma bekerja saat sedang
menghadapi prospek proyeknya akan dibekukan. Merasa mangkel dan tak
berdaya, ia memutuskan untuk pulang lebih awal

Ia mematikan pemangkat komputernya, mengunci pintu ruang kerjanya, lalu


meninggalkan bangunan itu. Ia masih memiliki mobil Mercedes merahnya Ia
memasukinya, lalu mengusap kemudinya dengan perasaan sayang.

Ia mencoba menghibur dirinya. Ia memiliki seorang ayah; ini merupakan suatu


situasi langka. Mungkin ada baiknya jika ia menghabiskan waktu bersama
ayahnya, untuk menikmati keunikan hubungan mereka. Mereka bisa menelusuri
daerah pelabuhan, lalu jalan-jalan di sekitar sana. Ia bisa membelikan sebuah
jaket baru yang sportif di Brooks Brothers. Ia tidak memiliki uang, tapi ia bisa
memakai kartu kreditnya. Peduli amat, hidup ini kan pendek.

Merasa lebih enak, ia meluncur pulang, lalu memarkir mobilnya di luar rumah.
“Daddy, aku pulang,” serunya saat menaiki tangga. Pada waktu memasuki ruang
duduknya, ia merasakan kejanggalan. Selang beberapa saat, ia menyadari bahwa
pesawat TV-nya rupanya pindah. Mungkin ayahnya membawanya ke kamar
tidur untuk menonton. Ia memasuki kamar berikutnya; ayahnya tidak di sana Ia
kembali ke ruang duduknya. “Wah,” erangnya VCR-nya ternyata juga sudah
tidak ada. “Daddy,

294

teganya kau!” Perangkat stereo dan komputernya sudah tidak di meja tulisnya
lagi. “Tidak,” celetuknya, “Tidak, aku tidak percaya ini!” Ia lari ke kamar
tidurnya, lalu membuka kotak perhiasannya. Giwang hidungnya berupa berlian
satu karat yang diperolehnya dari Will Temple ternyata hilang.

Pesawat telepon berdering. Secara otomatis ia menjawabnya.

“Aku Steven Logan,” ujar suara itu. “Apa kabar?” “Hari ini merupakan hari
paling sial dalam hidupku,” ujarnya, lalu ia mulai menangis.

295

BAB 24

Steven Logan menutup pesawatnya. Ia sudah mandi, bercukur, dan mengenakan


pakaian bersih. Dan perutnya kenyang dengan lasagne buatan ibunya Ia sudah
menceritakan seluruh pengalamannya secara mendetail kepada orangtuanya.
Mereka bersikeras untuk mendapatkan advis lembaga bantuan hukum, meskipun
ia sudah mengungkapkan kepada mereka bahwa tuntutan-tuntutan itu pasti akan
ditarik begitu hasil les DNA-nya keluar, dan bahwa ia akan menemui seorang
pengacara keesokan harinya. Ia telah tidur sepanjang perjalanan dari Baltimore
ke Washington di bangku belakang mobil Lincoln Mark VIII ayahnya, dan
meskipun itu belum dapat mengimbangi satu setengah malam yang ia lewatkan
dengan terus berusaha tetap terjaga, ia toh merasa lebih baik.

Dan ia ingin sekali bertemu dengan Jeannie. Ia sudah merasakan itu sebelum
meneleponnya Tapi kini, setelah tahu situasi Jeannie saat ini, ia merasa lebih
terdorong lagi. Ia ingin merangkul gadis itu dan mengatakan kepadanya bahwa
segalanya akan berakhir dengan baik.

Ia juga merasa ada pertalian antara masalah Jeannie dengan masalahnya sendiri.
Bagi Steve, segalanya sepertinya jadi serba salah, sejak saat ia diperkenalkan

296
pada bos Jeannie dan Berrington memperlihatkan reaksi yang janggal.

Ia ingin tahu lebih banyak mengenai misteri asal-usulnya Ia belum


mengungkapkan bagian itu kepada kedua orangtuanya. Sepertinya terlalu
mustahil dan mengguncangkan. Tapi ia merasa perlu membicarakannya dengan
Jeannie.

Ia mengangkat pesawatnya untuk menelepon Jeannie kembali, tapi kemudian


mengurungkan niatnya. Jeannie akan mengatakan bahwa ia sedang tak ingin
ditemani. Orang-orang yang sedang sedih biasanya begitu, bahkan pada saat
mereka sebetulnya membutuhkan teman untuk mencurahkan perasaan. Mungkin
lebih baik kalau ia muncul begitu !>aja di ambang pintu Jeannie dan berkata,
Hei, bagaimana kalau kita saling menghibur diri masing-masing?

la menuju dapur. Mom sedang membersihkan wadah lasagne dengan sebuah


sikat khusus. Dad sudah berangkat ke kantor sejam yang lalu. Steve mulai
memasukkan perabotan ke dalam mesin cuci. “Mom,” ujarnya, “mungkin
kedengarannya sedikit aneh, tapi…”

“Kau akan menemui seorang gadis,” sahut Mom.

Steve tersenyum. “Kok tahu?”

“Aku kan ibumu. Itu yang disebut telepati. Siapa namanya?”

“Jeannie Ferrami. Doktor Pemurni.”

“Aku akan menjadi ibu orang Yahudi rupanya. Haruskah aku terkesan oleh gelar
dokternya?”

“Dia seorang ilmuwan, bukan dokter.”

“Kalau dia sudah meraih gelar doktornya tentunya dia lebih tua (larimu

“Umurnya dua puluh sembilan.”

“Hm. Seperti apa orangnya?”

“Yah, bisa dibilang dia menarik. Dia jangkung, dan benar-benar bugar—dia
pemain tenis yang hebat—dengan rambut dan mata berwarna gelap, dan dia
memakai

anting-anting mungil dari perak di cuping hidungnya, dan dia, katakanlah,


terbuka sekali, suka bicara apa adanya, blak-blakan, tapi juga banyak tertawa.
Aku berhasil membuatnya tertawa beberapa kali, tapi pada dasarnya dia…”
Steve mencoba mencari kata yang tepat. “Pokoknya dia memancarkan pengaruh
yang kuat; saat dia berada di situ, sulit untuk mengalihkan perhatian ke arah
lain….” Suaranya menghilang.

Untuk sesaat ibunya cuma menatapnya, lalu berkata, “Wah, wah… serius nih,
rupanya.”

“Ehm, belum tentu…” Steve tidak menyelesaikan ucapannya. “Yah, mungkin


Mom benar. Aku memang tergila-gila padanya.”

“Apakah dia juga merasakan hal yang sama?”

“Belum.”

Si ibu tersenyum lembut. “Kalau begitu, pergilah dan temui dia. Kuharap dia
memang layak untukmu.”

Steve mencium ibunya. “Apa yang membuat Mom begitu baik?”

“Latihan,” sahut si ibu.

Mobil Steve terparkir di luar rumahnya; mereka menjemputnya di kampus Jones


Falls dan ibunya yang mengemudikannya saat mereka kembali ke Washington.
Kini ia melesat ke arah 1-95, menuju Baltimore.

Jeannie tentunya siap untuk mendapatkan perlakukan lembut Ia sudah


menceritakan kepada Steve di telepon bahwa ia baru saja digarong oleh ayahnya
dan dikhianati oleh pimpinan universitasnya Ia membutuhkan seseorang untuk
menghibur dirinya, dan Steve sangat ahli dalam hal itu.

Saat menjalankan kendaraannya Steve membayangkan Jeannie duduk di


sebelahnya, di sofa, tertawa sambil mengatakan, Aku senang sekali kau datang.
Kau membuatku merasa lebih enak. Bagaimana kalau kita buka pakaian
^sekarang dan naik ke tempat tidur?
Steve mampir di sebuah mal kecil di daerah Mount

298

Washington, lalu membeli sebuah piza seafood, sebotol chardonnay senilai


sepuluh dolar, sekarton es krim Ben & Jerry’s—dengan rasa Rainforest Crunch
—dan seikat bunga carnation kuning yang terdiri atas sepuluh tangkai. Sekilas ia
melihat halaman muka Wall Street Journal dengan berita utama tentang Genetico
Inc. Seingatnya perusahaan itulah yang mendanai riset Jeannie mengenai
kekembaran. Sepertinya akan terjadi akuisisi oleh pihak Landsmann, sebuah
konglomerasi Jerman. Ia membeli harian itu.

Fantasinya yang menyenangkan tiba-tiba dibuyarkan oleh kecemasannya


menghadapi kemungkinan Jeannie sedang keluar rumah. Atau mungkin ia ada,
tapi merasa enggan membuka pintunya. Atau mungkin ia sedang ada tamu.

Steve merasa berbesar hati begitu melihat sebuah Mercedes 280C merah
terparkir di dekat rumah Jeannie; ia pasti ada di rumah. Kemudian ia menyadari
bahwa Jeannie mungkin pergi jalan kaki. Atau naik taksi. A tan mobil seorang
teman.

Jeannie memakai sebuah pesawat interkorrt untuk masuk. Steve menekan


belnya, lalu menerawangi speaker-nya, sambil berharap akan mendengar
sesuatu. Tidak ada yang terjadi, la mencoba lagi. Terdengar suara kresek-kresek.
Hatinya melambung. Sebuah suara dalam nada jengkel menjawab, “Siapa di
situ?”

“Aku Steve Logan. Aku datang untuk menghiburmu.”

Lama tidak terdengar jawaban. “Steve, rasanya aku lagi tak ingin ditemani.”

“Setidaknya biarkan aku memberikan padamu bunga yang kubawa ini.”

Jeannie tidak menjawab. Rupanya ia takut, ujar Steve pada dirinya. Hatinya
langsung menciut. Katanya ia percaya bahwa dirinya tidak bersalah, tapi itu kan
saat ia sedang berada di balik terali besi. Kini, setelah Steve berdiri di muka
pintunya dan ia sedang sendirian, si—

299
tuasinya ternyata tidak begitu mudah. “Kau belum mengubah penilaianmu
mengenai diriku, bukan?” tanya Steve. “Kau masih percaya bahwa aku tidak
bersalah? Kalau tidak, sebaiknya aku pergi.”

Terdengar suara desing, lalu pintu membuka.’

Rupanya ia tidak tahan menghadapi tantangan, ujar Steven dalam hati.

la melangkah ke dalam sebuah ruang masuk kecil dengan dua buah pintu lagi.
Yang satu dalam keadaan terbuka serta menuju ke sebuah tangga. Di ujung atas
berdiri Jeannie, dalam baju kaus hijau terang.

“Kukira sebaiknya kau naik,” ujarnya.

Nadanya tidak begitu antusias, namun Steve toh tersenyum, la naik dengan
membawa hadiah hadiahnya dalam sebuah kantong kertas. Jeannie
menggiringnya ke sebuah ruang duduk kecil dengan sebuah dapur sudut Steve
melihat bahwa ia menyukai warna hitam dan putih, dengan kombinasi warna-
warna yang hidup. Ia memiliki sebuah sofa yang dilapis bahan berwarna hitam,
dengan bantal-bantal berwarna oranye, sebuah jam listrik biru pada dinding yang
dicat putih, kap-kap lampu berwarna kuning terang, dan sebuah meja dapur putih
dengan cangkir-cangkir kopi merah.

Steve meletakkan kantong kertasnya di meja dapur. “Begini,” ujarnya. “Kau


butuh sesuatu untuk dimakan, untuk membuatmu merasa lebih enak.” Ia
mengeluarkan pizanya. “Dan segelas anggur untuk meredakan ketegangan.
Kemudian, saat kau sudah lebih siap untuk memanjakan dirimu, kau boleh
makan es krim ini langsung dari wadah kartonnya; kau bahkan tidak perlu
menyajikannya di piring. Setelah makanan dan minuman itu semuanya habis,
kau masih memiliki bunga-bunga ini. Oke?”

Jeannie menatap Steve, seakan ia berasal dari Mars.

Steve menambahkan, “Selain itu, kukira kau membutuhkan seseorang untuk


mengungkapkan kepadamu bahwa kau seorang wanita yang hebat dan
istimewa.”

Air mata mulai menggenang di mata Jeannie. “Brengsek kau!” ujarnya. “Aku
nggak pernah nangis!” .
Steve meletakkan tangannya di pundak Jeannie. Ini merupakan kali pertama ia
menyentuhnya. Dengan agak ragu ia menarik Jeannie ke arahnya. Jeannie tidak
berusaha melawan. Masih setengah mempercayai keberuntungannya, ia
merangkulnya. Jeannie hampir setinggi dirinya sendiri. SeteJah meletakkan
kepala di pundaknya, tubuh Jeannie mulai berguncang-guncang oleh isakannya.
Steve membelai rambutnya. Rasanya lembut dan berat. Ia mulai terangsang dan
sedikit membuat jarak, sambil berharap Jeannie tidak menyadarinya. “Semuanya
akan beres,” ujarnya. “Kau akan menemukan jalan keluarnya.”

Untuk saat yang lama dan menyenangkan, Jeannie masih tetap dalam
pelukannya. Steve dapat merasakan kehangatan tubuhnya dan menghirup
aromanya. Ia mempertanyakan pada dirinya, apakah saatnya tepat untuk
mengecupnya. Ia menimbang-nimbang, khawatir andai kata ia terlalu gegabah,
Jeannie akan menolaknya. Kemudian momentum itu berlalu, dan Jeannie mulai
menarik dirinya.

Jeannie mengusap hidungnya dengan tepi baju kausnya yang longgar,


memperagakan sekilas perutnya yang datar dan kecokelatan. “Trims,” ujarnya.
“Aku membutuhkan pundak untuk mencurahkan emosiku.”

Steve merasa dikecilkan oleh nadanya yang apa adanya. Baginya momentum itu
amat berarti, tapi bagi Jeannie tidak lebih dari pelepas ketegangan. “Sudah
termasuk dalam servisnya,” ujarnya dalam nada bercanda, kemudian ia
menyesali ucapannya.

Jeannie membuka sebuah lemari, lalu mengeluarkan piring-piring. “Aku sudah


merasa lebih enakan,” ujarnya. “Ayo kita makan.”

Steve bertengger di sebuah bangku tinggi di meja dapur. Jeannie memotong


pizanya dan membuka sumbat botol anggur. Steve menikmati cara ia bergerak di
seputar

300

301

rumahnya. Ia menutup sebuah laci dengan pinggulnya, menyipitkan mata untuk


memastikan gelas anggurnya Cukup bersih, memungut alat pembuka botol
anggur dengan jari-jarinya yang panjang dan mantap. Ia teringat gadis yang
pernah menjadi cinta pertamanya. Namanya Bonnie, dan usianya tu uh tahun,
sama seperti dirinya ketika itu; ia pernah menerawang* ikat-ikalnya yang
berwarna pirang stroberi dan matanya yang hijau, sambil menganggap betapa
menakjubkan bahwa sosok yang begitu sempurna bisa hadir -di halaman Sekolah
Dasar Spillar Road Selama beberapa waktu ia sempat berkhayal bahwa mungkin
gadis itu sebetulnya malaikat.

Ia tidak menganggap Jeannie seorang malaikat, tetapi ada sesuatu yang


memancar dari dalam dirinya, yang memberikan sensasi sama yang amat
menakjubkan.

“Kau tegar sekali,” komentar Jeannie. “Sewaktu aku menjengukmu, tampangmu


betul-betul tidak keruan. Dan itu baru sekitar dua puluh empat jam yang lalu.
tapi sepertinya kau sudah pulih sama sekali.”

“Nasibku agak mujur. Bagian kepalaku yang dihantam ke tembok oleh Detektif
Allaston masih terasa sakit, dan tulang rusukku yang ditendang Porky Butcher
pada pukul lima pagi tadi memang masih memar, tapi aku akan oke, selama aku
tidak usah kembali ke penjara itu.” Ia menyisihkan bayangan itu dari pikirannya,
la tidak akan kembali ke sana; tes DNA-nya akan menghapuskan tuduhan atas
dirinya sebagai seorang tersangka.

Steve melayangkan matanya ke arah rak buku. Jeannie memiliki banyak buku
nonfiksi buku-buku biografi tentang Darwin, Einstein, dan Francis Bacon;
beberapa novelis wanita yang belum pernah ia baca, seperti Erica Jong dan
Joyce Carol Oates; lima atau enam karya Edith Wharton; beberapa buku klasik
modern. “Hei, kau juga punya novel favoritku sepanjang masa!” serunya.

“Biar kutebak: To Kill a Mockingbird.”

Steve tercengang. “Dari mana kau tahu?”

302

“Ayolah. Tokoh utamanya seorang pengacara yang menghadapi tantangan


prasangka masyarakat untuk membela seorang laki-laki yang tidak bersalah. Itu
kan impianmu? Di samping itu aku yakin kau tidak akan menjatuhkan pilihanmu
pada The Women’s Room.”

Steve menggeleng-gelengkan kepala. “Kau sudah tahu begitu banyak mengenai


aku. Menakutkan sekali.”
“Buku yang mana menurutmu adalah favoritku?”

“Ini tes?”

“Coba saja.”

“Ehm… eh, Middlemarch” “Kenapa?”

“Tokohnya seorang wanita yang tegar dan berpikiran amat mandiri.”

“Tapi dia tidak melakukan apa-apa. Lagi pula, buku yang ada di kepalaku bukan
novel. Coba tebak lagi.”

Steve menggeleng. “Sebuah buku nonfiksi.” Kemudian terlintas suatu inspirasi.


“Aku tahu. Kisah suatu penemuan ilmiah yang amat elegan dan brilian, yang
mengungkapkan sesuatu yang penting mengenai kehidupan umat manusia. Aku
berani taruhan bahwa judulnya adalah The Double Helix.”

“Hei, bagus sekali!”

Mereka mulai makan. Pizanya masih hangat. Selama beberapa saat Jeannie
termenung, kemudian berkata, “Aku benar-benar membuat situasinya semakin
berantakan hari ini. Aku bisa melihat itu sekarang. Mestinya aku menanggapi
krisis ini dengan kepala lebih dingin. Mestinya aku bilang, Yah, mungkin kita
bisa diskusikan itu, sebaiknya jangan membuat kepulasan terburu-buru. Tapi aku
malah menantang pihak universitas, dan me m buat segalanya bertambah
runyam dengan mengungkapkan itu kepada pihak media massa.”

“Sepertinya kau tidak suka berkompromi,” ujar Steve.

Jeannie mengangguk. ‘Tidak suka berkompromi, dan kadang-kadang bodoh.”

Steve memperlihatkan Wait Street Journal kepadanya. “Ini mungkin akan


menjelaskan mengapa departemenmu begitu sensitif mengenai publisitas yang
kurang menguntungkan saat ini. Sponsor kalian akan melakukan akuisisi.”

Jeannie menelusuri alinea pertamanya. Seratus delapan puluh juta dolar? Wauw.”
la terus membaca sambil mengunyah pizanya. Setelah selesai dengan artikel itu,
ia menggeleng-gelengkan kepala. “Teorimu menarik sekali, tapi aku belum
begitu yakin.”
“Kenapa tidak?” - “Sepertinya Maurice Obeli yang memusuhi aku, bukan
Berrington. Meskipun Berrington kadang-kadang lihai sekali, menurut mereka.
Lagi pula. aku kan nggak begitu penting. Aku cuma bagian kecil sekali dari riset
yang disponsori oleh Genetico. Bahkan andai kata pekerjaanku ternyata benar-
benar melanggar hak keleluasaan pribadi orang, itu bukan skandal yang dapat
mempengaruhi uatu proses akuisisi senilai sekian juta dolar.”

Sieve mengelap jari-jarinya pada sehelai kertas serbet, lalu memungut sebuah
foto berbingkai dari seorang wanita bersama seorang bayi. Wanita itu agak mirip
Jeannie, dengan rambut lurus. “Adikmu?” tebaknya.

“Ya. Patty. Dia sudah punya tiga orang anak seka rang—semuanya laki-laki.”

“Aku tidak punya kakak adik sama sekali,” ujar Steve. Kemudian ia teringat.
“Kecuali kalau kau menghitung Dennis Pinker.” Ekspresi wajah Jeannie
berubah, kemudian Steve menambahkan, “Kau menganggap aku semacam
spesimen.”

“Sori. Mau coba es krim?”

“Yuk.”

Jeannie meletakkan wadahnya di meja, lalu mengeluarkan dua buah sendok.


Steve senang. Makan dari wadah yang sama merupakan satu langkah lebih dekat
ke tahap berciuman. Jeannie makan dengan lahapnya.

304

Steve mempertanyakan pada dirinya, apakah ia juga akan bercinta dengan


antusiasme yang sama.

la menelan sesendok Rainforest Crunch, lalu berkata, “Aku senang sekali kau
percaya padaku. Polisi-polisi itu rupanya tidak.”

“Kalau kau seorang pemerkosa, seluruh teoriku berantakan.”

“Meskipun begitu, tidak semua wanita akan membiarkan aku masuk ke rumah
mereka malam ini Terutama setelah tahu bahwa aku memiliki gen yang sama
seperti Dennis Pinker.”
“Aku sempat ragu,” ujarnya. “Tapi kau membuktikan bahwa teoriku benar.”

“Maksudmu?”

Jeannie melayangkan tangannya ke arah sisa makan malam mereka. “Kalau


Dennis Pinker tertarik kepada seorang wanita, dia akan mencabut pisaunya dan
memaksanya untuk melepaskan pakaiannya. Kau membawa piza.”

Steve tertawa.

“Kedengarannya mungkin lucu,” ujar Jeannie, “tapi di situlah letak


perbedaannya.”

“Ada sesuatu yang sebaiknya kauketahui mengenai diriku,” ujar Steve. “Sebuah
rahasia.”

Jeannie meletakkan sendoknya. “Apa?”

“Aku pernah hampir membunuh seseorang.”

“Bagaimana?”

Steve mengungkapkan padanya Itisah percekcokannya dengan Tip Hendricks.


“Karena itulah aku begitu penasaran mengenai asal-usulku yang sebenarnya,”
ujarnya. “Aku tidak bisa menjelaskan padamu, betapa meresahkan bagiku untuk
tahu bahwa ada kemungkinan Mom dan Dad bukan orangtua kandungku.
Bagaimana kalau ayahku yang sesungguhnya ternyata seorang pembunuh?”

Jeannie menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau terlibat dalam percekcokan


anak-anak sekolahan. Itu tidak

berarti kau bisa dikategorikan sebagai penderita gangguan jiwa. Lalu bagaimana
mengenai anak muda itu? Tip namanya?”

“Dia dibunuh orang lain beberapa tahun kemudian. . Dia terlibat dalam jaringan
jual beli obat bius. Dia cekcok dengan salah satu pengedar, lalu ditembak persis
di kepalanya.”

“Justru dia yang mengalami gangguan jiwa, menurutku,” ujar Jeannie. Ttu yang
biasanya terjadi atas mereka. Mereka tidak bisa tidak terlibat masalah. Seorang
anak muda yang besar dan kuat seperti kau .mungkin akan berhadapan dengan
hukum sekali waktu, tapi kau akan bisa mengatasinya, lalu melanjutkan
kehidupanmu secara normal. Sedangkan Dennis bakal terus keluar masuk
penjara, sampai seseorang membunuhnya.”

“Berapa usiamu, Jeannie?”

“Kau nggak suka aku menyebutmu anak muda yang besar dan kuat?”

“Aku sudah dua puluh dua.”

“Aku dua puluh sembilan. Selisih yang tidak kecil.”

“Apakah sikapku begitu kebocahan di matamu?”

“Begini, aku tidak tahu. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan mungkin tidak
akan naik mobil ke sini dari Washington cuma untuk mengantarkan aku piza.
Sepertinya agak terlalu impulsif.”

“Kau menyesali ulahku?”

‘Tidak.” Jeannie menyentuh tangan Steve. “Aku senang sekali.”

Steve masih belum dapat memastikan posisinya sejauh ini. Tapi Jeannie tadi
menangis di pundaknya. Kau kan tidak akan mencurahkan emosimu pada
seorang anak, ujarnya dalam hati.

“Kapan kau akan tahu mengenai genku?” tanya Steve.

Jeannie mengecek arlojinya. “Proses penggumpalannya tentunya sedang


berlangsung. Lisa akan membuat filmnya besok pagi.”

306

“Maksudmu tesnya lalu tuntas?” “Hampir.”

“Apakah kita tidak bisa melihat hasilnya sekarang? Aku sudah nggak sabar lagi
untuk tahu, apakah aku memiliki DNA yang sama seperti Dennis Pinker.”

“Kukira bisa,” ujar Jeannie. “Aku juga ingin tahu.”


“Lalu, kita tunggu apa lagi sekarang?”

307

BAB 25

Berrington Jones mempunyai sebuah kartu plastik yang dapat membuka semua
pintu di Nut House. Tak seorang pun tahu itu. Bahkan para profesor penuh selalu
membayangkan dengan bangga bahwa ruangan-ruangan mereka adalah milik
mereka pribadi. Mereka tahu bahwa para petugas kebersihan memiliki kunci-
kunci induk. Demikian pula para petugas sekuriti kampus. Tapi tidak pernah
terpintas dalam diri mereka bahwa tidak akan begitu sulit untuk mendapatkan
akses atas sebuah kunci yang bahkan diberikan kepada para petugas kebersihan.

Selain itu, Berrington memang belum pernah memakai kunci induknya.


Mengendap-endap seperti itu betul-betul tidak patut; bukan gayanya. Pete
Watlingson mungkin memiliki foto-foto bocah laki-laki telanjang di dalam laci
meja tulisnya Ted Ransome tentunya menyisipkan sedikit marijuana di salah satu
tempat; Sophie Chappie mungkin menyimpan sebuah alat perangsang untuk
melewatkan sore-sorenya yang sepi dan panjang, namun Berrington tidak ingin
tahu mengenai itu Kunci induk itu hanyalah untuk kasus-kasus yang betul betul
perlu.

Dan ini salah saru di antaranya.

Pihak universitas telah menginstruksikan Jeannie un—

308

tuk menghentikan penggunaan program pelacak komputernya, dan mereka sudah


mengumumkan kepada dunia luar bahwa itu tidak akan dilanjutkan lagi, tapi
bagaimana ia dapat memastikan bahwa situasinya memang begitu? la tidak dapat
mengecek semua pesan elektronik yang berseliweran melalui jaringan telepon
dari termi-” nal yang satu ke yang lain. Sepanjang hari pikirannya terus
terganggu oleh kemungkinan bahwa Jeannie sudah menggunakan sistem
database lain. Dan tidak akan ada yang tahu. apa saja yang mungkin akan
ditemukannya.

Karena itulah ia kembali ke kantornya dan kini duduk di belakang meja tulisnya,
sementara kehangatan senja mulai menyapu batu-batu bata merah bangunan
kampus itu. Ia mengetuk-ngetuk sebuah kartu plastik di atas mouse
komputernya, sambil mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu yang sama
sekali tidak sesuai dengan instingnya.

Harga dirinya amat berarti baginya, la sudah mengembangkan itu dalam dirinya
sejak masih muda. Sebagai bocah laki-laki terkecil di kelasnya, tanpa seorang
ayah untuk mengajarinya cara menghadapi para tukang teror, “**ibu yang terlalu
sibuk mengatur keuangan keluarga, sehingga tidak memiliki waktu untuk
memedulikan kebahagiaannya, secara bertahap ia mewujudkan citra lebih
unggul di dalam dirinya, mengambil sikap menjaga jarak untuk melindungi
keberadaannya. Di Harvard, secara cermat ia mempelajari seorang rekan
sekelasnya yang berasal dari keluarga yang sudah kaya secara turun-temurun. Ia
memperhatikan semua detail, seperti ikat pinggangnya yang dari kulit dan sapu
tangan linennya, setelan jas dari bahan wol dan syal-syal kasmernya; cara ia
membuka lipatan serbetnya serta menarik kursi untuk kaum wanita; mengagumi
gayanya yang santai dan sopan saat berhadapan dengan para profesor, sikapnya
yang berkesan simpatik tapi toh menjaga jarak saat berhubungan dengan mereka
yang lebih rendah status sosialnya. Pada saat Berrington mulai bergiat untuk

309

mencapai gelar Master, secara luas ia sudah dianggap sebagai seorang gentleman
sejati.

Bisa dikatakan seluruh kehidupannya sejak berdirinya Genetico merupakan


dusta, namun ia terus maju dengan tegar dan penuh keberanian. Namun
demikian, tidak ada cara yang terhormat untuk menyelinap ke dalam ruang kerja
seseorang dan melakukan penggeledahan.

Ia memeriksa arlojinya. Laboratorium itu tentunya sudah tutup sekarang. Hampir


semua koleganya sudah meninggalkan gedung itu menuju rumah-rumah mereka
di daerah pinggiran atau Faculty Club, bar mereka. Sekarang merupakan
momentum terbaik. Bangunan itu tak pernah beml-betul kosong; para ilmuwan
biasanya bekerja sesuai dengan dorongan hati mereka sendiri. Kalau sampai ada
yang melihat dirinya, ia terpaksa berlaku seakan tidak ada apa-apa.

la meninggalkan ruang kerjanya, menuruni tangga, lalu menelusuri lorong,


menuju pintu Jeannie. Tidak ada seorang pun di sekitar situ la menggesek
kartunya melalui penelusur kartu dan pintu itu membuka. Ia melangkah masuk,
menyalakan lampu-lampunya, lalu menutup pintu di belakangnya.

Ruangan itu merupakan kantor terkecil di dalam bangunan tersebut. Malah


sebelumnya berfungsi sebagai gudang, tapi Sophie Chappie telah bersikeras
menjadikannya ruang kerja Jeannie, dengan alasan bahwa mereka membutuhkan
ruangan yang lebih besar untuk menyimpan kardus-kardus berisi formulir-
formulir yang diperlukan departemen itu. Ruangan itu sempit dan hanya
memiliki sebuah jendela kecil, tapi Jeannie telah menghidupkan suasananya
dengan dua buah kursi kayu yang dicat warna merah terang, sebuah tanaman
palem yang indah dalam pot, dan sebuah reproduksi karya Picasso yang
menggambarkan suatu pertarungan adu banteng dalam warna-warna kuning dan
oranye yang cerah.

310

Berrington memungut sebuah foto berbingkai dari meja tulis Jeannie. Foto
hitam-putih seorang laki-laki tampan bercambang yang mengenakan sebuah dasi
lebar, dan seorang wanita muda dengan ekspresi tegar di wajahnya—orangtua
Jeannie di tahun tujuh puluhan, tebaknya. Selain itu, meja tulisnya sama sekali
bersih. Rapi sekali-,

Berrington duduk, lalu menyalakan perangkat komputer Jeannie.-Sementara


melakukan proses booting, ia mulai menelusuri laci-laci meja itu. Yang paling
atas berisi beberapa buah bolpoin dan bloknot. Dalam laci berikutnya ia
menemukan sekotak pembalut wanita dan sepasang celana stocking yang
kemasannya belum pernah dibuka. Berrington paling benci pada celana stocking.
Ia masih menyimpan khayalan remaja tentang tali-tali penahan dan kaus
stocking dengan keliman. Selain itu, celana stocking kurang baik untuk
kesehatan, sama seperti celana dalam dari bahan nilon. Kalau Presiden Proust
kelak mengangkatnya menjadi menteri kesehatan, ia akan memasang tanda
peringatan pada semua celana stocking. Laci berikutnya berisi sebuah cermin
tangan dan sikat rambut dengan beberapa helai rambut panjang berwarna gelap
di antara gigi-giginya; yang terakhir sebuah kamus kantong dan buku saku
berjudul A Thousand Acres. Sejauh ini tidak ada yang misterius.

Menu Jeannie mulai tampak di layar komputernya. Berrington meraih mouse-


nya, lalu rrienceklik di Calendar. Jadwalnya bisa ditebak: jam kuliah dan kelas
kelasnya, jam-jam prakteknya di laboratorium, jadwal tenis, janji untuk minum
m num dan nonton. Ia akan pergi ke Oriole Park di Camden Yards untuk
menonton pertandingan bola pada hari Sabtu; Ted Ransome dan istrinya
mengnndangnya makan siang pada hari Minggu; mobilnya mesti masuk bengkel
pada hari Senin. Tidak ada entry yang menyatakan Telusuri arsip-arsip medis
Acme Insurance. Daftar yang masih harus dilakukannya

311

juga sama normalnya: Beli vitamin, telepon Ghita. hadiah ulang tahun Lisa,
periksa modem.

Ia menutup agenda itu, lalu mulai menelusuri file file-nya. Ternyata Jeannie
memiliki banyak statistik di atas program spreadsheets. File word-processing-
nya lebih sempit: beberapa surat, desain untuk formulir-formulir, konsep sebuah
artikel. Dengan menggunakan fasilitas Find, ia menelusuri seluruh directory
WP-nya untuk mencari kata database. Kata itu muncul beberapa kali dalam
artikel itu. dan di bagian copy file tiga buah surat keluar, tapi sama sekali tidak
ada petunjuk yang menyatakan ke mana Jeannie merencanakan untuk
menggunakan sarana risetnya itu kemudian. “Ayo,” ujar Berrington, “pasti ada
sesuatu.”

Jeannie memiliki sebuah lemari arsip, tapi isinya tidak banyak; ia kan baru
beberapa minggu di sini. Setelah setahun dua tahun, lemari itu akan penuh
dengan formulir-formulir yang sudah diisi, data-data mentah riset psikologinya.
Kini hanya ada beberapa surat masuk di dalam sebuah map, memo intem di
dalam map lain, dan fotokopi beberapa artikel di dalam map ketiga.

Di dalam sebuah lemari yang biasanya kosong, ia menemukan, dalam keadaan


terbalik, sebuah foto berbingkai Jeannie bersama seorang laki-laki tinggi,
bercambang, di atas sepeda masing-masing, di tepi sebuah danau. Berrington
menyimpulkan itu adalah episode cinta yang sudah berakhir.

Ia jadi semakin resah. Ruangan ini ditempati oleh seseorang yang hidupnya
terorganisir, jenis yang merencanakan sebelumnya. Jeannie mengarsip surat-
surat masuknya serta menyimpan copy dari segala sesuatu yang ia kirim keluar.
Pasti ada sesuatu di sini yang dapat mengungkapkan apa yang akan ia lakukan
selanjutnya, la tidak memiliki alasan untuk menyembunyikan apa-apa; sampai
hari ini tidak ada sugesti yang membuatnya harus merasa risih. Pasti ia sudah
merencanakan untuk

312
menelusuri salah satu database lain. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal
dari ketidakberadaan petunjuk itu adalah bahwa Jeannie mengatur segalanya
melalui telepon atau secara pribadi, mungkin dengan seseorang yang cukup
dekat dengannya. Dan kalau memang begitu kasusnya, sepertinya Berrington
tidak akan dapat menemukan apa-apa mengenai itu dengan menggeledah kamar
kerjanya.

Berrington mendengar suara langkah kaki di lorong, dan menjadi tegang. Ada
suara ceklik saat sebuah kartu digesekkan melalui penelusur kartu. Berrington
mengawasi pintu dengan pandangan tak berdaya. Tidak ada yang dapat
dilakukannya; ia akan tertangkap basah duduk di belakang meja tulis Jeannie,
dengan perangkat komputer dalam keadaan menyala, la tidak dapat berpura-pura
kesasar ke sini secara tak sengaja.

Pintunya membuka, la sudah memperhitungkan akan melihat Jeannie, tapi


ternyata yang muncul seorang petugas sekuriti.

Laki-laki itu mengenalnya. “Oh… selamat malam. Profesor,” ujar si petugas.


“Aku melihat lampu menyala, sehingga aku memutuskan untuk mengecek. Dr.
Ferrami biasanya membiarkan pintunya terbuka kalau dia ada di sini.”

Berrington berusaha untuk tampak wajar. ‘Tidak apa.” ujarnya. Jangan pernah
minta maaf, jangan pernah berusaha memberikan penjelasan. “Aku akan
menutup pintu ini kembali begitu aku selesai.”

“Baik.”

Si petugas masih tetap berdiri di sana, menantikan penjelasan darinya.


Berrington tidak memberikan tanggapan. Akhirnya laki-laki itu berkata, “Ehm…
selamat malam, Profesor.”

“Selamat malam.”

Si petugas berlalu.

Berrington merelaks. Tidak ada masalah.

313

Ia mengecek apakah modem Jeannie masih dalam keadaan menyala, kemudian


menceklik America Online dan mengakses mailbox~nya. Terminal itu diprogram
untuk mengeluarkan kata sandinya secara otomatis. Jeannie memiliki tiga file
untuk itu. Berrington membuka ketiga-tiganya. Yang pertama berisi
pemberitahuan mengenai kenaikan tarif penggunaan jaringan Internet Yang
kedua datang dari University of Minnesota dan bunyinya:

Aku akan ke Baltimore pacla hari Jumat, dan ingin pergi minum-mi-• num
bersamamu, demi persahabatan kita dulu. Salam, Will.

Berrington mempertanyakan apakah Will itu laki-laki bercambang yang naik


sepeda di foto tadi. la menutup file itu, lalu membuka yang ketiga.

Berrington merasa seperti kena sengatan listrik.

Kau akan lega begitu tahu bahwa aku sudah menelusuri programmu melalui file
sidik jari kami ma 1 am ini. Hubungi aku. Ghita..

Dari FBI.

“Sial,” Berrington bergumam. “Ini bisa berbahaya.”

314

BAB 26

Berrington tidak berani berbicara melalui telepon tentang Jeannie dan file sidik
jari FBI itu. Begitu banyak pesawat telepon yang dimonitor oleh para biro
intelijen. Belakangan ini pelacakan dilakukan melalui komputer yang diprogram
untuk menangkap kata-kata dan ungkapan-ungkapan kunci. Kalau seseorang
mengatakan plutonium atau herion atau habisi presiden, komputer akan
merekam percakapan itu, lalu menggugah perhatian seseorang. Berrington jelas
tak ingin seorang penguping CIA mempertanyakan kenapa Senator Proust
menaruh minat begitu besar pada file sidik jari FBI.

Karena itu, ia menaiki Lincoln Town Car berwarna peraknya, lalu melesat
dengan kecepatan sembilan puluh mil per jam di Baltimore-Washington
Parkway. Ia sering melanggar batas kecepatan mengemudi. Nyatanya ia tidak
sabaran dalam hal mematuhi berbagai macam peraturan, la menyadari bahwa ini
merupakan suatu kontradiksi darinya. Ia membenci para pengunjuk rasa yang
menuntut perdamaian dan para pemakai obat bius, kaum homo dan feminis, para
pemain musik rock dan semua nonkonfonmis yang melecehkan tradisi Amerika.
Namun ia juga tidak menyukai mereka yang berusaha mengaturnya di mana ia
harus memarkir mobilnya, atau seberapa banyak ia harus menggaji pegawai-
pega-3.15

wainya, atau seberapa banyak alat pemadam kebakaran harus ia tempatkan di


dalam laboratoriumnya.

Saat melajukan kendaraannya, ia mempertanyakan pada dainya mengenai


hubungan antara Jim Proust dengan masyarakat intelijen. Apakah mereka cuma
sekelompok prajurit tua yang suka kumpul-kumpul untuk mengenang cara
mereka memeras para tukang protes anuperang dan menghabisi nyawa beberapa
presiden Amerika Selatan? Ataukah mereka masih tetap bergiat secara aktif?
Masihkah mereka saling menolong, seperti Mafia, dan menganggap balas budi
sesuatu yang amat sakral? Atau apakah hari-hari itu sudah lama berlalu? Sudah
lama sekali sejak Jim menarik diri dari CIA; bahkan mungkin ia sudah tidak tahu
apa-apa lagi-sekarang.

Hari sudah malam, namun Jim masih menunggu kedatangan Berrington di


kantornya di gedung Capitol. “Apa yang terjadi, yang tidak bisa kausampaikan
kepadaku melalui telepon?” tanyanya.

“Dia akan menelusuri program komputernya di file sidik jari FBI.”

Wajah Jim memucat. “Apa bisa?”

“Nyatanya bisa untuk menelusuri data-data gigi, kenapa yang ini tidak?”

“Ya Tuhan,” seru Jim dalam nada prihatin.

“Berapa banyak sidik jari mereka miliki dalam file mereka?”

“Lebih dari dua puluh juta set, setahuku. Tak mungkin semuanya pernah terlibat
dalam tindakan kriminal. Masa begitu banyak kriminal di Amerika?”

“Aku tidak tahu, mungkin mereka juga menyimpan sidik jari dari yang sudah
meninggal. Pusatkan konsentrasimu, Jim. Demi Tuhan, masa tidak ada yang bisa
kaulakukan untuk menghentikan ini?*’

“Siapa kontaknya di FBI?”


Berrington menyodorkan printout yang dikeluarkannya

316

dari file E-mail Jeannie. Sementara Jim mempelajarinya, Berrington


melayangkan pandang ke sekelilingnya. Di dinding kantornya, Jim memasang
foto-foto dirinya dengan para presiden Amerika sesudah zaman Kennedy. Ada
foto Kapten Proust dalam seragam, memberikan salut kepada Lyndon Johnson;
Mayor Proust, masih dengan kepala penuh rambut pirang yang lurus, berjabat
tangan dengan Dick Nixon; Kolonel Proust menatap sinis ke arah Jimmy Carter;
Jenderal Proust berbagi lelucon dengan Ronald Reagan, keduanya tampak
tertawa terpingkal-pingkal; Proust dalam setelan jas, sebagai wakil pimpinan
CIA, sibuk dalam percakapan dengan George Bush yang menanggapinya dengan
wajah serius; dan Senator Proust, kini botak dan mengenakan kacamata,
menggoyang-goyangkan jarinya ke arah Bill Clinton. Ia juga pernah difoto saat
berdansa dengan Margaret Thatcher, bermain golf dengan Bob Dole, dan
berkuda dengan Ross Perot. Berrington juga memiliki beberapa foto seperti itu,
tapi Jim memilikinya sebanyak satu galeri penuh. Siapa yang ingin ia buat
terkesan? Dirinya sendiri, rupanya. Secara konstan melihat dirinya dengan
mereka-mereka yang paling berpengaruh di dunia ini menyatakan kepadanya
betapa pentingnya ia.

“Aku tidak pernah dengar tentang Ghita Sumra ini,” ujar Jim. “Tentunya dia
bukan orang penting.”

“Siapa yang kaukenal di FBI?” tanya Berrington dalam nada tak sabar.

“Kau pernah bertemu dengan pasangan Creane, David dan Hilary?”

“David adalah seorang asisten direktur, Hilary seorang mantan alkoholis. Usia
mereka sekitar lima puluhan. Sepuluh tahun yang lalu, saat aku masih
mengepalai CIA, David bekerja untukku di Direktorat Diplomasi, mengawasi
kegiatan di semua kedutaan asing serta seksi spionase mereka. Akn menyukai
David. Pokoknya, pada suatu sore Hilary mabuk, pergi keluar dalam mobil

317

Honda Civic-nya, dan menabrak sampai mati seorang bocah berusia enam tahun,
seorang gadis kecil kulit hitam, di Beulah Road, Springfield. Dia terus kabur,
mampir di sebuah mal, lalu menelepon Dave di Lan-gley. Dave langsung ke sana
naik Thunderbird-nya. Dia menjemput dan mengantar Hilary pulang, kemudian
melaporkan bahwa mobil Honda itu dicuri orang.” “Tapi sesuatu meleset.’”

“Ada seorang saksi yang melihat kecelakaan itu, yang merasa yakin bahwa
pengemudinya seorang wanita setengah baya berkulit putih, dan seorang detektif
keras • kepala tahu bahwa jarang ada wanita mencuri mobil. Si saksi secara
positif mengidentifikasi Hilary, yang kemudian ambruk dan mengaku salah.”
“Lalu apa yang terjadi?”

“Aku pergi menemui jaksa wilayah itu. Dia ingin menjebloskan mereka berdua
di penjara. Aku menyatakan bahwa mi merupakan masalah sekuriti nasional, dan
membujuknya untuk membatalkan tuntutannya Hilary mulai melakukan
kunjungan ke AA dan tidak pernah minum-minum lagi sejak itu.”

“Dan Dave dipindahkan ke FBI, dan ternyata sukses.”

“Dan jangan lupa, dia berutang budi padaku.”

“Apa dia bisa menghentikan si Ghita ini?”

“Dia termasuk salah satu dari sembilan asisten direktur yang melapor langsung
ke wakil direktur. Dia tidak di divisi sidik jari, tapi dia punya pengaruh.”

“Tapi apa dia dapat melakukan itu?”

“Aku tidak tahu! Aku akan tanya, oke? Kalau memang bisa, dia akan
melakukannya untukku.”

“Oke, Jim,” ujar Berrington. “Angkat pesawat telepon sial itu dan tanyakan
padanya.”

318

BAB 27

Jeannie menyalakan lampu-lampu ruang laboratorium psikologi sementara Steve


mengikutinya dari belakang. “Bahasa genetika terdiri atas empat buah huruf,”
ujar Jeannie. “A, C, G, dan T.” “Kenapa justru yang empat itu?” “Adenine,
cytosine, guanine, dan thymine. Mereka merupakan persenyawaan kimia yang
terjalin dalam untaian sentral molekul DNA yang panjang. Mereka membentuk
rangkaian kata dan kalimat, seperti Pasang lima jari pada masing-masing kaki.”

“Tapi DNA semua orang harus berbunyi Pasang lima jari pada masing-masing
kaki”

“Betul. DNA-mu mirip dengan punyaku serta semua orang lain di dunia ini. Kita
bahkan memiliki banyak persamaan dengan binatang-binatang, karena mereka -
terbuat dari protein-protein yang sama seperti kita.”

“Jadi, dari mana kau tahu beda antara DNA Dennis dengan DNA-ku?”

“Di antara kata-kata itu ada bagian yang tidak ada artinya sama sekali, semacam
omong kosong. Mereka seperti spasi-spasi dalam sebuah kalimat. Mereka
disebut oligonukleatida tapi orang biasanya menamakan mereka oligo. Dalam
spasi antara lima dan jari, mungkin ter—

319

dapat suatu oligo yang berbunyi TATAGAGACCCC, yang akan beculang.”

“Apa semua orang-punya TATAGAGACCCC?*’

“Ya, tapi jumlah pengulangannya bervariasi. Kau mungkin memiliki tiga puluh
satu oligo TATAGAGACCCC di antara lima dan jari, sedangkan aku mungkin
punya dua ratus delapan puluh tujuh. Tidak relevan sebetulnya, seberapa banyak
yang kumiliki, karena oligo itu tidak mempunyai arti.”

“Bagaimana caramu membedakan oligo-ku dengan milik Dennis?”

Jeannie memperlihatkan sebuah piringan berbentuk persegi, dengan ukuran dan


rupa seperti buku. “Kita lapis piringan ini dengan sebuah gel, membuat celah-
celah di bagian atasnya, lalu kita teteskan contoh DNA-mu dan DNA Dennis ke
dalam celah-celah itu. Kemudian kita letakkan piringan itu di sini.” Di meja
laboratorium terdapat sebuah tangki kecil dari kaca. “Kita alirkan arus listrik
melalui gelnya selama beberapa jam. Ini akan mengakibatkan fragmen-fragmen
DNA merembes melalui gel dalam garis-garis lurus. Tapi fragmen-fragmen yang
kecil bergerak lebih cepat daripada yang besar. Akibatnya fragmenmu, dengan
tiga puluh satu oligo, akan melaju lebih cepat daripada milikku yang jumlahnya
dua ratus delapan puluh tujuh.”
“Bagaimana kau bisa melihat sudah sejauh mana mereka bergerak?”

“Kita gunakan bahan kimia yang disebut pelacak. Mereka akan mengaitkan diri
pada oligo-oligo tertentu. Katakanlah kita memiliki sebuah oligo yang menarik
TATAGAGACCCC.” Jeannie memperlihatkan sepotong kain semacam lap
piring. “Kita ambil sehelai membran nilon yang sudah dicelup dalam suatu
solusi pelacak, yang kemudian kita letakkan di atas gel, sehingga dia dapat
menyerap fragmen-fragmennya. Pelacak ini juga mengeluarkan kilau, sehingga
akan kelihatan kalau di-320

film secara fotografis.” Jeannie melongok ke dalam tang-” ki yang lain.


“Tampaknya Lisa sudah meletakkan nilon di atas filmnya.” Ia menyipitkan mata
untuk dapat melihat lebih jelas. “Kukira polanya sudah terbentuk. Sekarang kita
tinggal memasang film.”

Steve mencoba melihat wujudnya di atas film saat Jeannie mengolahnya dalam
sebuah wadah berisi bahan, kimia, kemudian membilasnya di bawah kran.
Sejarah dirinya akan tertulis di kertas itu. Namun yang dapat ia lihat hanyalah
sebuah pola semacam tangga di atas lembaran plastik bening. Akhirnya Jeannie
mengibas-ngibasnya sampai kering, lalu menjepitkannya di muka sebuah kotak
lampu.

Steve mengamatinya. Film itu dipenuhi alur-alur, dari atas sampai ke bawah,
berupa garis-garis lurus, selebar sekitar seperempat inci, seperti jalur-jalur
berwarna keabuan. Jalur-jalur itu dinomori sepanjang sisi bawah film, 1 sampai
18. Di antara jalur-jalur itu terdapat bercak-bercak hitam yang rapi. semacam
selaput. Semua itu tidak ada artinya baginya.

Jeannie berkata, “Bercak-bercak hitam menunjukkan kepadamu seberapa jauh


fragmen-fragmenmu menelusur sepanjang jalur-jalur itu.”

“Tapi ada dua bercak merah di masing-masing jalur.”

“Itu karena kau memiliki dua rangkaian DNA, satu dari ayahmu dan satu lagi
dari ibumu.”

“Tentu. Double helix, kan?”


“Betul. Dan kedua orangtuamu memiliki oligo yang berbeda.” Jeannie mengecek
catatannya, lalu mengangkat wajahnya. “Kau yakin kau sudah siap untuk
menerima ini, apa pun hasilnya?”

“Ya.” I

“Oke.” Ia menunduk lagi. “Yang di jalur tiga itu darahmu.”

Di sana terdapat dua bercak dalam jarak kira-kira satu inci, melewati
pertengahan film itu.

321

“Jalur empat merupakan suatu kontrol. Mungkin itu darahku, atau milik Lisa.
Bercak-bercaknya tentunya dalam posisi yang sama sekali berbeda.”

“Memang.” Kedua bercak itu berjarak jauh lebih dekat, persis di bagian bawah
film. dekat nomor-nomor itu.

“Jalur lima milik Dennis Pinker. Apakah bercak-bercaknya persis dalam posisi
yang sama seperti punyamu, atau lain?”

“Sama,” seru Steve. “Persis sama.”

Jeannie menatapnya. “Steve,” ujarnya, “kalian pasangan kembar.”

Steve tidak mau mempercayai itu. “Apa tidak mungkin terjadi kesalahan?”

“Tentu.” sahut Jeannie. “Ada peluang satu banding seratus bahwa dua individu
yang tidak punya hubungan apa-apa mungkin memiliki sebuah fragmen yang
sama pada masing-masing DNA yang berasal dari garis keturunan ayah dan ibu.
Biasanya kami mengetes empat fragmen yang berbeda, menggunakan oligo yang
berbeda, dan pelacak yang berbeda Itu akan mengurangi peluang terjadinya
kekeliruan menjadi satu berbanding sejuta. Lisa akan melakukan prosedur ini
tiga kali lagi, yang masing-masing akan memakan tempo setengah hari. Tapi aku
toh tahu bagaimana hasilnya nanti. Dan kau juga, kan?”

“Kukira begitu,” Steve menghela napas. “Ada ucapanmu yang tidak bisa
kusisihkan dari pikiranku: Aku tidak punya kakak-adik sama sekati. Dari apa
yang pernah kauungkapkan mengenai kedua orangtuamu, sepertinya mereka tipe
yang akan menginginkan rumah penuh dengaiteanak-anak, setidaknya tiga atau
empat orang.”

“Kau benar,” ujar Steve. “Tapi Mom mengalami masalah dalam hal
mengandung. Dia berusia tiga puluh tiga dan menikah dengan Dad selama
sepuluh tahun, ketika aku akhirnya lahir. Dia pernah menulis buku

322

mengenai itu: What ta Do When You Can’t Get Pregnant—Apa yang Harus
Anda Lakukan Bila Anda Tidak ¦ Bisa Hamil. Itu bestseller-nya yang pertama
Dia mem beli sebuah pondok peristirahatan musim panas di Virginia dengan
uangnya.”

“Charlotte Pinker berusia tiga puluh sembilan tahun ketika Dennis lahir. Aku
berani taruhan bahwa dia juga menghadapi masalah yang sama. Aku tidak tahu
apakah itu relevan.”

“Apa hubungannya?”

“Aku tidak tahu. Apakah ibumu pernah menjalani salah saiu perawatan khusus?”

“Aku belum pernah membaca bukunya. Bagaimana kalau aku meneleponnya?”

“Kau tidak berkeberatan?”

“Sudah waktunya menyingkapkan misteri ini kepada

mereka, setidaknya.”

Jeannie menunjuk ke arah meja Lisa. “Pakai saja pesawat Lisa.”

Steve memutar nomor rumahnya. Ibunya yang menjawab. “Halo. Mom.”

“Dia senang melihatmu?”

“Tadinya tidak. Tapi aku masih bersamanya sampai sekarang.”

“Jadi, dia tidak membencimu?”

Steve melirik ke arah Jeannie. “Dia tidak membenciku, Mom, tapi dia
menganggap aku terlalu muda.”

“Dia ikut mendengar?”

“Ya, dan kukira aku membuatnya salah tingkah, untuk pertama kali. Mom, kami
sedang ada di laboratorium, dan berhadapan dengan semacam teka-teki.
Rupanya DNA-ku persis sama seperti milik seorang subjek lain yang juga
menjadi bahan studinya, seorang anak muda bernama Dennis Pinker.”

“Mana mungkin? Kalau begitu, kalian kan pasangan kembar identik.”

w9

323

“Dan itu hanya bisa terjadi kalau aku dulu hasil adopsi.”

“Steve, kau tidak pernah diadopsi, kalau itu yang mengganggu pikiranmu. Dan
kau bukan berasal dari suatu pasangan kembar. Hanya Tuhan yang^ tahu
bagaimana aku dapat menangani dua orang anak seperti kau.”

“Apakah Mom pernah menjalani semacam perawatan untuk meningkatkan


kesuburan sebelum aku lahir?”

“Ya, pernah. Dokter merekomendasi aku untuk pergi ke suatu tempat di


Philadelphia, yang juga dikunjungi oleh sejumlah istri perwira waktu itu. Nama
tempat itu Aventine Clinic. Aku menjalani perawatan hormon.”

Steve mengulangi itu untuk Jeannie, yang mencatatnya di sebuah bloknot Post-It

Mom berkata lagi, “Perawatan itu ternyata tidak sia-sia. Kau pun muncul,
sebagai hasil jerih payah yang seakan tidak berkesudahan itu, nongkrong di
Baltimore, mengusik seorang wanita cantik yang tujuh tahun lebih senior danmu,
padahal kau seharusnya berada di sini, di DC, menemani ibumu yang sudah tua
dan ubanan.”

Steve tertawa. “Trims, Mom.”

“Hei, Steve?”
“Ya.”

” “Jangan pulang terlalu malam. Kau masih harus menemui pengacaramu besok
pagi. Sebaiknya kita keluarkan kau dari urusan brengsek ini sebelum kau mulai
mempermasalahkan soal DNA-mu itu.”

“Aku tidak akan pulang terlalu malam. Bye” Ia menutup pesawatnya.

Jeannie berkata, “Aku akan menelepon Charlotte Pinker sekarang. Mudah-


mudahan dia belum tidur.” la menelusuri Rolodex Lisa, kemudian meraih
pesawatnya dan memutar sebuah nomor. Selang beberapa saat, ia memperoleh
sambungan. “Halo, Mrs. Pinker, aku Dr. Ferrami dari Jones Falls University.
Baik-baik, terima

324

kasih, bagaimana dengan Anda? Kuharap Anda tidak berkeberatan jika aku
menanyakan kepada Anda satu pertanyaan lagi. Oh, Anda baik sekali. Ya.
Sebelum mengandung Dennis, apakah Anda pernah menjalani semacam
perawatan untuk meningkatkan kesuburan?” Untuk waktu yang agak lama tidak
ada jawahan, kemudian tiba-tiba wajah Jeannie berbinar. “Di Philadelphia? Ya,
aku pernah mendengar tentang tempat itu. Suatu perawatan hormon. Menarik
sekali. Itu akan membantuku. Terima kasih sekali lagi. Selamat malam.” Jeannie
mengembalikan gagangnya di tempatnya. “Bingo,” serunya. “Charlotte pernah
mengunjungi klinik yang sama.”

“Bukan main,” ujar Steve. “Tapi apa artinya itu?*’

“Aku belum tahu,” ujar Jeannie. Ia meraih pesawat telepon itu lagi, lalu memutar
nomor empat-sebelas. “Bagaimana caraku memperoleh informasi Philadelphia?
Trims.” Ia memutar lagi. “Aventine Clinic.” Hening sebentar. Jeannie menatap
Steve, lalu berkata, “Mungkin sudah tutup beberapa tahun yang lalu.”

Steve mengawasinya dengan tertegun. Wajah Jeannie tampak berbinar penuh


antusias, sementara pikirannya berputar terus, mengembara ke mana-mana.
Penampilannya betul-betul memesona. Steve berandai dapat melakukan lebih
banyak untuk membantunya.

Tiba-tiba Jeannie meraih pensil, lalu mencatat sebuah nomor. “Terima kasih!”
ujarnya. Ia menutup pesawatuya. “Masih ada di situ!”
Untuk sesaat Steve seakan terpaku di tempatnya. Misteri gen-gennya mungkin
akan terpecahkan. “Catatan,” ujarnya. “Klinik itu tentunya punya catatan.
Mungkin kita bisa memperoleh petunjuk dari sana.”

“Aku mesti ke sana,*’ ujar Jeannie. Ia mengerutkan alisnya. “Aku punya surat
izin yang ditandatangani oleh Charlotte Pinker—orang orang yang kami
wawancarai kami minta untuk menandatanganinya—dengan itu, kami akan
memperoleh akses untuk melihat data

325

data medis yang bersangkutan. Maukah kau meminta ibumu menandatangani


surat itu malam ini, untuk kemudian difaks kepadaku di JFU?” “Tentu.”

Jeannie memutar sebuah nomor lagi dengan tak sabar. “Selamat malam, dengan
Aventine Clinic? Boleh aku berbicara dengan penanggung jawab yang sedang
tugas malam ini? Terima kasih.”

Untuk waktu lama tidak terdengar apa-apa. Jeannie mengetuk-ngetuk dengan


pensilnya, sementara Steve mengawasinya dengan penuh kekaguman. Ia tak
peduli kalau ini berlangsung semalaman.

“Selamat malam, Mr. Ringwood, aku Dr. Ferrami dari departemen psikologi
Jones Falls University. Dua orang subjek untuk risetku pernah melakukan
kunjungan ke klinik Anda sekitar dua puluh tiga tahun yang lalu, dan akan
sangat membantu bagiku kalau aku bisa melihat catatan mereka. Aku memiliki
izin dari mereka yang bisa aku faks ke alamat Anda lebih dahulu. Aku
menghargai itu. Apakah besok terlalu cepat untuk Anda? Bagaimana kalau pukul
dua siang? Anda baik sekali. Terima kasih. Selamat malam.”

“Klinik fertilitas,” ujar Steve dalam nada serius. “Rasanya aku pernah baca di
Wall Street Journal bahwa Genetico memiliki beberapa klinik fertilitas.”

Jeannie menatapnya dengan mulut terbuka. “Astaga,” bisiknya. “Tentu saja


mereka punya.”

“Entah apa hubungannya dengan ini.”

“Kurasa ada,” ujar Jeannie.


“Kalau ada. artinya…”

“Artinya Berrington Jones mungkin tahu lebih banyak mengenai keberadaanmu


dan Dennis daripada yang mau dia beberkan.”

326

BAB 28

Hari ini betul-betul brengsek, tapi toh berakhir dengan lumayan, ujar Berrington
pada dirinya saat melangkah keluar dari kamar mandinya.

la menatap bayangan dirinya di cermin. Kondisi tubuhnya baik sekali untuk


usianya yang lima puluh sembilan tahun: ramping, tegap, dengan sentuhan
warna kecokelatan dan perut yang nyaris datar. Rambut di bagian bawah
perutnya berwarna gelap, tapi itu hasil cat, untuk menghilangkan nuansa
keabuannya yang memalukan. Baginya amat berarti untuk dapat melepaskan
pakaiannya di muka seorang wanita tanpa mematikan lampu.

Ia telah memulai harinya dengan anggapan bahwa ia pasti dapat mengatasi


masalahnya dengan Jeannie Ferrami, tapi nyatanya wanita itu lebih tegar
daripada dugaannya. Aku tidak akan meremehkannya lagi dengan begitu saja,
janjinya pada diri sendiri.

Dalam perjalanan kembali dari Washington, ia mampir di rumah Preston Barck


untuk mengungkapkan perkembangan terakhir. Sebagaimana biasa, Preston
menjadi lebih khawatir dan pesimis daripada tuntutan situasi sebenarnya.
Terpengaruh oleh sikap Preston, Berrington pulang dengan perasaan murung.
Tapi begitu ia melangkahkan kaki ke dalam rumahnya, pesawat teleponnya

berdering, dan Jim, yang menggunakan bahasa sandi hasil improvisasinya,


meneruskan kepadanya bahwa David Creane akan melakukan sesuatu untuk
memutuskan hubungan FBI dengan Jeannie. Ia telah berjanji untuk segera
menyelesaikannya melalui telepon malam itu juga.

Berrington menghanduki dirinya sampai kering, lalu mengenakan piama katun


berwarna biru dan sehelai mantel mandi bergaris-garis biru-putih. Marianne,
pengurus rumah tangganya, sedang libur malam itu, tapi ada sebuah casserole di
lemari es: ayam ala provencale, menurut catatan yang ditinggalkannya dalam
tulisan tangan hati-hati yang berkesan kebocahan. Berrington memasukkan
hidangan itu ke dalam oven, lalu mengisi sebuah gelas kecil dengan Sprmgbank
malt wiski. Saat mencicipinya, pesawat telepon berdering.

Ternyata dari mantan istrinya, Vivvie. “Menurut Wall Street Journal, kau bakal
kaya,” ujarnya.

Berrington membayangkan Vivvie—seorang wanita pirang bertubuh ramping


dalam usia enam puluhan, duduk-duduk di teras rumah California-nya. sambil
menikmati pemandangan matahari terbenam di Lautan Pasifik. “Rupanya kau
punya niat untuk kembali kepadaku.”

“Aku sudah pertimbangkan itu, Berny. Dengan serius sekali, selama sedikituya
sepuluh detik. Kemudian aku menyadari bahwa seratus delapan puluh juta dolar
tidak cukup banyak.”

Berrington tertawa.

“Sungguh, Berry, aku senang sekali untukmu.”

Berrington tahu bahwa ia memang tulus. Vivvie sendiri punya banyak uang.
Setelah meninggalkan dirinya, ia terjun dalam usaha real estate di Santa Barbara,
dan ternyata sukses. “Terima kasih.’*

“Apa yang akan kaulakukan dengan uangnya? Akan kauwariskan kepada anak
itu?”

328

Putra mereka sedang menekuni program diploma untuk menjadi akuntan. “Dia
tidak membutuhkannya. Dia akan menghasilkan banyak uang sebagai akuntan.
Mungkin akan kusumbangkan sebagian pada Jim Proust. Dia akan mencalonkan
diri sebagai presiden.”

“Apa yang akan kauperoleh sebagai imbalannya? Kau mau jadi duta besar
Amerika di Paris?”

“Tidak, tapi siapa tahu aku bisa jadi menteri kesehatan.”

“Hei, Berry, kau betul-betul serius? Tapi kukira sebaiknya kau jangan bicara
terlalu banyak melalui telepon mengenai ini.’*
“Kau benar.”

“Sudah, ya, teman kencanku sudah di muka pintu. See you sooner, Montezuma.”
Suatu salam perpisahan khas di antara mereka.

Berrington memberikan jawabannya. “In a flash, succotash.” Ia mengembalikan


gagang pesawat di tem-patuya.

Ia merasa agak kecil hati membayangkan Vivvie akan pergi malam itu dengan
seorang teman kencan—ia tidak tahu dengan siapa—sementara ia duduk
sendirian di rumah, dengan wiskinya. Selain ditinggal mati oleh ayahnya,
ditinggal Vivvie merupakan kesedihan terbesar dalam kehidupannya. Ia tidak
menyalahkan Vivvie; ia memang sudah terlalu sering tidak setia. Tapi ia
mencintai Vivvie, dan masih merasa kehilangan dirinya, tiga belas tahun setelah
perpisahan mereka. Fakta bahwa itu adalah kesalahannya sendiri membuat ia
semakin sedih. Bercanda dengan Vivvie di telepon mengingatkan dirinya tentang
manisnya hubungan mereka sewaktu segalanya masih oke.

Berrington menyalakan pesawat televisi dan menonton Prime Time Live,


sementara makanannya mulai hangat. Dapurnya mulai dipenuhi aroma bumbu-
bumbu yang digunakan Marianne. Gadis itu memang seorang koki

329

yang andal. Mungkin karena Martinique pernah dijajah Prancis.

Persis saat ia sedang mengeluarkan casserole-nya dari dalam oven, pesawat


teleponnya berdering kembali. Kali ini dari Preston Barck. Nadanya senewen
sekali. “Aku baru saja dapat kabar dari Dick Minsky di Philadelphia,” ujarnya.
“Jeannie Ferrami sudah punya janji untuk mengunjungi Avemine Clinic besok.”

Berrington mengempaskan tubuhnya ke kursi. “Ya Tuhan,” ujarnya. “Kok dia


bisa sampai ke sana?”

“Aku tidak tahu. Dick tidak di sana waktu itu. Yang tugas malam yang menerima
teleponnya. Tapi rupanya dia mengatakan beberapa di antara subjek risetuya
pernah mendapatkan perawatan di klinik itu beberapa tahun yang lalu, dan dia
ingin mengecek catatan medis mereka. Dia berjanji untuk mengirim melalui faks
surat izinnya, dan bahwa dia akan muncul di sana sekitar pukul dua siang.
Untungnya Dick kebetulan mampir untuk suatu hal lain, dan si petugas
melaporkannya padanya.”

Dick Minsky adalah salah satu orang pertama yang bekerja untuk Genetico di
tahun tujuh puluhan. Dulu ia seorang kurir; kini ia sudah menjadi pemimpin
klinik. Ia belum pernah menjadi anggota grup intinya—cuma Jim, Preston, dan
Berrington-lah yang bisa—tapi ia tahu beberapa hal yang menjadi rahasia
perusahaan itu. Mawas diri merupakan sesuatu yang otomatis baginya.

“Apa yang kau instruksikan padanya?”

“Batalkan janji itu, tentu saja. Dan kalau dia toh muncul, tolak dia. Katakan
padanya dia tidak boleh melihat catatan-catatan itu.”

Berrington menggeleng-gelengkan kepala. “Itu saja tidak cukup.”

“Kenapa?”

“Itu cuma akan semakin membangkitkan rasa ingin tahunya. Dia akan mencoba
menemukan cara lain untuk melihat arsip-arsip itu.”

330

“Umpamanya dengan apa?”

Berrington menghela napas. Preston memang tidak punya imajinasi. “Yah, andai
kata aku jadi dia aku akan menelepon Landsmann, aku akan mencoba
menghubungi sekretaris Michael Madigan, dan mengungkapkan kepadanya
bahwa ada baiknya bosnya memeriksa arsip-arsip Aventine Clinic selama dua
puluh tiga tahun terakhir ini sebelum menutup transaksi ambil alih itu. Itu akan
membuat bosnya mulai bertanya-tanya, bukan?”

“Oke, jadi bagaimana usulmu?” ujar Preston.

“Menurutku kita harus memusnahkan semua arsip yang berasal dari tahun tujuh
puluhan.”

Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Berry, arsip-arsip itu amat unik. Secara ilmiah,
nilainya…”

“Kaukira aku tidak tahu itu?” bentak Berrington.


“Pasti ada cara lain.”

Berrington menghela napas. Ia juga merasakan hal yang sama seperti Preston. Ia
sering berkhayal bahwa kelak, di suatu saat, seseorang akan menulis tentang
eksperimen-eksperimen yang mereka pelopori itu, kemudian akan terungkaplah
ketegaran serta kebrilianan mereka pada dunia. Hancur hatinya menghadapi
kenyataan bahwa bukti sejarah ini harus dimusnahkan dengan cara amat brutal
begini. Tapi apa boleh bual. “Kalau arsip-arsip itu masih ada, kita akan
terancam. Jadi, terpaksa harus dimusnahkan Dan sebaiknya itu dilakukan
sekarang juga.”

“Apa yang harus kita katakan kepada stafnya?”

“Sial, mana aku tahu, Preston? Cari. alasan yang tepat. Kebijakan baru dalam
strategi penanganan dokumen. Pokoknya asal mereka mulai memusnahkannya
“pagi-pagi, aku tidak peduli kau bilang apa pada mereka.”

“Kukira kau benar. Oke, aku akan menghubungi Dick lagi sekarang juga.
Bagaimana kalau kau yang menelepon Jim. supaya dia juga tahu?’

“Oke.”

331

“Bye.””

Berrington memutar nomor telepon rumah Jim Proust. Istrinya, seorang wanita
pendek dan kurus yang memiliki sikap minder, menjawah telepon itu, kemudian
meneruskannya kepada Jim. “Aku sudah di tempat tidur. Berry, ada apa lagi
sekarang?”

Mereka bertiga mulai arnat tidak sabaran satu terhadap yang lain.

Berrington mengungkapkan kepada Jim apa yang baru saja dilaporkan Preston
padanya, serta tindakan yang telah mereka putuskan.

“Bagus,” ujar Jim. “Tapi itu saja tidak cukup. Masih banyak cara lain bagi si
Ferrami untuk akhirnya sampai pada kita.”

Berrington mulai hilang sabar. Jim tak pernah puas. Apa pun yang telah
kauusutkan padanya, Jim selalu mengharapkan tindakan yang lebih keras, lebih
ekstrem. Berrington berusaha menahan diri. Kali ini ucapan Jim memang masuk
akal, menurutuya. Sudah terbukti bahwa Jeannie memiliki insting seekor anjing
pelacak yang betul-betul andal, pantang menyerah dalam mengejar targetuya.
Rintangan kecil tidak akan membuatnya mundur begitu saja. “Aku sependapat
denganmu,” ujar Berrington pada Jim. “Dan kudengar Steve Logan sudah keluar
dari tahanan hari ini, jadi dia punya teman sekarang. Kita harus menghadapinya
secara lebih serius.”

“Dia harus digertak supaya pergi.”

“Jim, demi Tuhan.,.”

“Aku tahu .ini akan membuatmu menciut, Berry, tapi tidak ada cara lain.”
“Lupakan itu.” “Begini…”

“Aku punya ide yang lebih baik, Jim, kalau kau mau dengar sebentar.” “Oke,
katakan.*’ “Akan kupecat dia.”

332

Jim menimbang-nimbang sesaat. “Aku tidak tahu, apa itu cukup?”

‘Tentu. Begini, dia mengira secara kebetulan dia berhasil menyingkapkan sebuah
kasus penyimpangan biologis. Semacam yang bisa mengangkat karier seorang
ilmuwan muda. Dia tidak tahu apa-apa mengenai apa yang tersembunyi di
belakang semua ini; dia mengira pihak universitas cuma takut menghadapi
publisitas yang kurang menguntungkan. Kalau dia sampai kehilangan pekerjaan,
dia tidak memiliki fasilitas lagi untuk melanjutkan penyelidikannya, juga alasan
untuk terus mempertahankannya. Selain itu, dia akan terlalu sibuk mencari
pekerjaan lain. Kebetulan aku tahu bahwa dia sedang butuh uang.”

“Mungkin kan benar.”

Berrington menjadi cunga. Terlalu cepat Jim menerima ide itu. “Kau tidak
merencanakan sesuatu di luar pengetahuanku, kan?” tanyanya.

Jim mengalihkan perhatian Berrington dari pertanya annya. “Kau bisa lakukan
itu? Kau bisa memecatnya?”
“Tentu.”

“Tapi kau kan bilang hari Selasa yang lalu bahwa sebuah universitas bukanlah
dinas kemiliteran.”

“Memang, kau tidak bisa membentaki orang-orang agar mereka melakukan apa
yang kauperintahkan. Tapi aku sudah berkecimpung di dunia akademi selama
hampir empat puluh tahun terakhir ini. Aku tahu cara kerja sistem ini. Kalau
betul-betul perlu, aku bisa memecat seorang asisten profesor dengan begitu
saja.”

“Oke.”

Berrington mengerutkan alisnya. “Kita sependapat dalam hal ini, bukan, Jim?”
“Baik.”

“Oke. Selamat tidur” “Selamat malam.”

Berrington menutup pesawatuya. Masakan ayam pro—

333

venpak-nya sudah dingin. Ia membuangnya di tempat sampah, lalu pergi tidur.

Untuk waktu lama ia masih terjaga, memikirkan Jeannie Ferrami. Pada pukul
dua pagi ia bangun untuk meminum segelas Dalmane. Sesudah itu. akhirnya ia
pergi tidur.

334

BAB 29

Udara Philadelphia amat panas malam itu. Di dalam bangunan flat, semua pintu
dan jendelanya dalam keadaan terbuka, sebab tidak sebuah ruangan pun
dilengkapi AC. Suara-suara dari jalan terdengar sampai ke apartemen 5A yang
terletak di lantai paling atas: gelegar klakson mobil, derai tawa, alunan irama
musik. Di sebuah meja tulis kayu pinus murahan, yang sudah tergores-gores dan
penuh noda bekas puntung rokok, sebuah pesawat telepon berdering.

Si anak muda mengangkat gagangnya.


Sebuah suara bernada keras berkata, “Aku Jim.”

“Hei, Paman Jim, apa kabar?**

“Aku sedang cemas gara-gara ulahmu.”

“Kenapa?”

“Aku tahu mengenai apa yang terjadi pada hari Minggu malam.”

Anak muda itu ragu sesaat, tidak yakin harus menjawab apa. “Mereka sudah
menangkap orang lain untuk itu.”

“Tapi teman wanitanya yakin dia tidak bersalah.” “Jadi?”

“Dia akan ke Philadelphia besok.” “Buat apa?”

“Aku tidak tahu. Tapi menurutku dia berbahaya.” 335

“Sial.”

“Mungkin kau mau lakukan sesuatu untuk mengatasinya.”

“‘Umpamanya?” “Terserah kau.”

“Bagaimana aku bisa menemukannya?” “Kau tahu Aventine Clinic? Yang di


dekat tempatmu itu?”

“Tentu, yang di Chestnut itu, aku melewatinya setiap hari.”

“Dia bakal di sana sekitar pukul dua siang.”

“Dari mana aku bisa tahu bahwa dia orangnya?”

“Jangkung, rambutnya berwarna gelap, pakai giwang hidung, sekitar tiga


puluhan.”

“Banyak cewek yang seperti itu.”

“Sepertinya dia bakal naik sebuah mobil Mercedes merah yang sudah tua.”
‘Itu lebih spesifik.”

“Oke, tapi jangan lupa, cowoknya sudah dilepas sebagai tahanan luar.”

Anak muda itu mengerutkan alisnya. “Lalu kenapa?”

“Andai kata dia mendapat kecelakaan, setelah dia terlihat bersamamu…”

“Aku mengerti. Mereka akan mengira aku cowoknya.”

“Dari dulu otakmu memang encer sekali, Nak.”

Si anak muda tertawa. “Dan Anda dari dulu lihai sekali. Paman.”

“Satu hal lagi.”

“Aku masih di sini.”

“Dia cantik sekali. Jadi, nikmati itu.”

“Bye, Paman Jim. Dan trims.”


KAMIS
336

BAB 30

e Annie bermimpi tentang mobil Thunderbird itu

Bagian pertama mimpi itu memang benar-benar pernah terjadi, ketika ia baru
berusia sembilan tahun dan adiknya enam tahun, dan ayah mereka masih—untuk
sesaat—tinggal bersama mereka. Ia punya banyak uang ketika itu (dan baru
beberapa tahun kemudian Jeannie menyadari bahwa uang itu hasil perampokan
yang sukses). Ia membawa pulang sebuah mobil Ford Thunderbird yang baru.
berwarna biru kehijauan, dengan bangku dalam warna yang sama. Benar-benar
mobil paling keren yang dapat diimpikan seorang gadis kecil berusia sembilan
tahun. Mereka semua lalu pergi berjalan-jalan, Jeannie dan Patty duduk di
bangku depan, di antara Daddy dan Mom. Saat melintasi George Washington
Memorial Parkway, Daddy memangku Jeannie dan membiarkannya memegang
kemudi.

Dalam kehidupan sesungguhnya, mobil itu meluncur ke jalur cepat, dan ia


sempat panik saat sebuah mobil yang mencoba menyusul mereka menekan
klaksonnya dengan keras. Dad langsung mengentakkan kemudi dan
mengembalikan mobil Thunderbird itu pada jalurnya semula. Tapi dalam
mimpinya, Daddy tidak di situ ia sedang mengemudikan mobil tanpa bantuan,
sementara

lagi

339

Mom dan Patty duduk dengan santai di sebelahnya, meskipun mereka tahu
bahwa ia tidak dapat melihat melalui dasbor itu, dan ia cuma mencengkeram
kemudinya erat-erat, semakin erat dan semakin erat, menanti momentum
terjadinya tabrakan itu, sementara kendaraan-kendaraan lain terus mengklakson
bel pintunya kencang-kencang, dan semakin kencang.

Jeannie tersentak bangun dengan kuku-kuku terbenam dalam telapak tangannya,


sementara bel pintunya masih terus berdering nyaring di telinganya. Waktu
menunjukkan pukul enam pagi. Untuk sesaat ia cuma berbaring diam-diam,
menikmati rasa lega yang meliputi «dirinya begitu menyadari bahwa tadi itu
cuma mimpi. Kemudian ia melompat turun dari tempat tidurnya dan melangkah
ke pesawat interkomnya. “Halo?”

“Aku Ghita, ayo bangun dan biarkan aku masuk.”

Ghita tinggal di Baltimore, tapi bekerja di markas besar FBI di Washington.


Tentunya ia sedang dalam perjalanan ke kantor, ujar Jeannie pada dirinya. Ia
menekan sebuah tombol untuk membuka pintunya.

Jeannie mengenakan sehelai baju kaus berukuran besar yang panjangnya nyaris
mencapai lutut; cukup sopan untuk menerima seorang teman wanita. Ghita
muncul lewat tangga. Sosoknya seperti seorang eksekutif yang sedang naik daun
dalam setelan linen berwarna biru laut, rambut hitam model bob, giwang besar,
kacamata lebar berkesan ringan, sambil mengepit New York Times. “Ada apa sih
sebenarnya?” tanya Ghita tanpa basa-basi lebih dulu.

Jeannie berkata, “Aku nggak tahu, aku baru bangun.” Beritanya bakal kurang
bagus, ia dapat melihat itu.

“Bosku menelepon aku di rumah tadi malam, dan memerintahkan agar aku tidak
berurusan lagi denganmu.”

“Wah!” Jeannie membutuhkan data-data’ FBI itu untuk membuktikan bahwa


metodenya relevan, meskipun ter—

340

nyata ada kesimpangsiuran mengenai Steven dan Dennis. “Sial! Apa dia bilang
alasannya?”

“Katanya metodemu melanggar hak keleluasaan pribadi orang.”

“Tidak biasanya FBI meributkan soal-soal seremeh itu.”

“Sepertinya New York Times juga bereaksi seperti itu.” Ghita menyodorkan
korannya ke arah Jeannie. Di halaman mukanya terpampang sebuah artikel
berjudul:
Keetisan Penelitian Gen: Keresahan, Kecemasan, dan suatu Ketidaksepakatan

Jeannie merasa khawatir bahwa istilah “Ketidaksepakatan” lebih dimaksudkan


untuk menggambarkan situasi dirinya, dan ternyata ia benar.

Jeannie Ferrami adalah seorang wanita muda yang kukuh. Bertentangan dengan
harapan para koleganya dan pimpinan Jones Falls University di Baltimore, Md
dengan nekad ia bersikeras untuk terus menelusuri data-data medis yang ada,
untuk melacak pasangan-pasangan kembar.

“Aku sudah punya kontrak,” sanggahnya. “Mereka tidak berhak melakukan itu.”
Sementara keresahan yang berkisar sekitar keetisaan kegiatannya rupanya tidak
membuatnya mundur.

Jeannie merasa perutnya mual. “Ya Tuhan. Ini gawat,” ujarnya.

Liputan itu kemudian beralih ke topik lain, mengenai riset yang dilakukan atas
embrio manusia; Jeannie terpaksa membalik sampai ke halaman 19 sebelum
sampai kepada bagian yang menyinggung dirinya lagi

341

Suatu masalah baru untuk jajaran pimpinan perguruan tinggi timbul gara-gara
kasus Dr. Jean Ferrami dari departemen psikologi Jones Falls. Meskipun
pimpinan universitas, Dr. Maurice Obeli, dan pakar ilmu psikologi terkemuka,
Prof. Berrington Jones, sama-sama berpendapat bahwa pekerjaan yang sedang
ditekuninya itu tidak etis. ia masih tetap bersikeras untuk melanjutkannya, dan
sepertinya tidak ada sesuatu pun yang dapat menahannya lagi.

Jeannie membaca seluruh artikel itu sampai tamat, namun koran itu rupanya
sama sekali tidak menyinggung soal sikap teguhnya bahwa secara etis, apa yang
ia kerjakan sama sekali tidak melanggar apa-apa. Yang dijadikan permasalahan
sebetulnya cuma drama dari sikap menentangnya.

Betul-betul mengejutkan dan menyakitkan, diserang seperti ini. Ia merasa


terluka sekaligus marah, persis seperti ketika seorang maling menabraknya,
kemudian menyambar lembaran uangnya yang terbang di sebuah pasar swalayan
di Minneapolis beberapa tahun yang lalu. Meskipun ia tahu si wartawan memang
berniat menjatuhkannya, ia toh merasa malu, seakan apa yang ia lakukan ifu
salah. Dan ia merasa seakan dirinya ditelanjangi, untuk dinilai oleh seluruh
negeri.

“Bakal sulit bagiku sekarang untuk menemukan seseorang yang mau


membantuku menelusuri suatu database,” ujarnya dalam nada sendu. “Kau mau
kopi? Aku butuh sesuatu untuk membangkitkan semangatku kembali Tidak
semua hari harus dimulai dengan cara kurang menyenangkan seperti ini.”

“Aku menyesal sekali, Jeannie, tapi aku juga sedang dapat masalah, karena
melibatkan FBI dalam kasus ini.”

Saat menyalakan mesin kopinya, sesuatu melintas da—

342

lam pikiran Jeannie. “Artikel ini sama sekali tidak adil, tapi kalau bosmu
meneleponmu tadi malam, tentunya bukan koran yang membuatnya mengambil
tindakan itu.”

“Mungkin dia tahu artikel itu bakal muncul.”

“Entah siapa yang memberikan masukan itu kepadanya.”

Dia tidak menyebut persisnya siapa. Dia cuma bilang ada yang meneleponnya
dari Capitol Hill.”

Jeannie mengerutkan alisnya. “Sepertinya ada unsur politisnya-Apa yang


membuat seorang anggota kongres atau senator menaruh minat begitu besar pada
proyekku, sehingga merasa perlu memberikan instruksi kepada FBI untuk tidak
membantuku?”

“Mungkin itu cuma dimaksudkan sebagai masukan dari seorang teman yang tahu
mengenai artikel itu.”

Jeannie menggeleng-gelengkan kepala. “Di dalam artikel itu tidak disebut-sebut


soal FBI. Tak seorang pun tahu bahwa aku sedang melacak arsip-arsip FBI. Aku
bahkan belum pernah mengungkapkannya kepada Berrington.”

“Aku akan cari tahu, dari mana asal masukan itu.” Jeannie melongok ke dalam
lemari esnya. “Kau sudah sarapan? Aku punya roti bumbu kayu manis.” ‘Tidak
usah, terima kasih.”
“Kurasa aku juga tidak lapar.” Ia menutup pintu lemari esnya. Ia merasa sedih.
Apakah tidak ada yang dapat dilakukannya? “Ghita, tentunya kau nggak bisa
menelusuri data-dataku tanpa izin bosmu, ya?”

Sepertinya kecil sekali kemungkinan bahwa Ghita akan mengatakan bisa.


Namun jawaban yang ia peroleh toh mencengangkannya. Ghita mengerutkan
alisnya, lalu berkata, “Kau belum terima E-mail-ku kemarin?”

“Aku meninggalkan kantorku lebih awal. Apa isinya?”

“Bahwa aku akan menelusuri data-datamu tadi malam.”

“Dan itu sudah kaulakukan?”

343

“Sudah. Karena itulah aku kemari sekarang. Aku sudah keburu melakukan itu
tadi malam, sebelum bosku meneleponku.”

Tiba-tiba hati Jeannie melonjak lagi. “Apa? Dan kau memperoleh hasilnya?”

“Aku sudah kirim semuanya ke tempatmu melalui E-mail”

Hati Jeannie kembali berbunga. “Hebat sekali! Kau melihat isinya? Banyak
pasangan kembarnya?”

“Lumayan, sekitar dua puluh sampai tiga puluh pasangan.”

“Bagus! Aninya sistemku relevan.”

“Tapi aku mengatakan kepada bosku bahwa aku belum melakukannya. Aku
ketakutan, lalu berbohong.”

Jeannie mengerutkan alisnya. “Wah. Maksudku, bagaimana kalau dia sampai


tahu, entah kapan di suatu masa?”

“Itulah. Jeannie, kau harus menghancurkan daftar itu.”

“Apa?”

“Kalau dia sampai tahu mengenai itu, hancurlah aku.”


“Tapi aku tidak bisa menghancurkannya! Tidak, kalau itu bisa membuktikan
bahwa aku benar!”

Wajah Ghita berubah serius. “Kau harus melakukannya.”

“Wah, repot,” ujar Jeannie dalam nada menyesal. “Bagaimana aku bisa
menghancurkan sesuatu yang mungkin dapat menyelamatkan diriku?”

“Aku terlibat dalam hal ini hanya karena aku ingin menyenangkan hatimu,” ujar
Ghita sambil mengangkat jarinya. “Kau hams menolongku!”

Jeannie tidak melihat bahwa secara keseluruhan ini merupakan kesalahannya.


Dalam nada agak getir ia berkata, “Aku kan nggak menyuruhmu berbohong
kepada bosmu.”

344

Kata-kata itu membuat Ghita marah. “Aku kan sedang ketakutan!”

“Sebentar,” ujar Jeannie. “Coba tenang dulu.” Ia menuang kopinya ke dalam


cangkir-cangkir, lalu menyodorkan sebuah ke arah Ghita. “Umpamanya kau
masuk kerja hari ini dan mengatakan kepada bosmu bahwa telah terjadi
kesalahpahaman. Kau sudah memberikan instruksi untuk membatalkan
penelusuran itu, tapi kemudian ternyata data-datanya sudah keluar dan dikirim
melalui E-mail”

Ghita menerima cangkir kopinya, namun tidak meminum isinya. Sepertinya ia


sedang berusaha menahan air matanya. “Kau bisa bayangkan apa yang terjadi
kalau kau bekerja untuk FBI? Aku bergumul dengan sosok-sosok paling macho
di Amerika. Mereka terus mencari segala alasan untuk mengatakan bahwa kaum
perempuan tidak becus.”

“Tapi kau kan tidak akan dipecat.”

“Kau membuat posisiku menjadi serba salah.”

Tapi Jeannie berkata. “Ah. kau. Maksudku kan tidak begitu.”

Hati Ghita tidak mencair. “Tapi situasinya menjadi begitu. Aku meminta padamu
untuk menghancurkan daftar itu.”
“Tidak bisa.”

“Kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.” Ghita melangkah ke
arah pintu.

“Jangan pergi dengan cara seperti ini,” ujar Jeannie. “Kita sudah berteman untuk
waktu yang lama sekali.”

Ghita toh pergi.

“Sial,” umpat Jeannie. “Sial.”

Pintu luar dibanting.

Apakah aku baru saja kehilangan salah seorang temanku yang terbaik? ujar
Jeannie pada dirinya.

Ghita telah mengecewakannya. Jeannie dapat mengerti alasannya: wanita muda


itu menghadapi banyak tekanan

345

dalam menjalankan kariernya. Namun Jeannie lah yang saat ini sedang diserang,
bukan Ghita. Persahabatannya dengan Ghita ternyata tidak cukup kuat untuk
melewati suatu krisis.

Jeannie mempertanyakan pada dirinya, apakah teman-temannya yang lain juga


akan melakukan hal yang sama.

Dengan hati tidak keruan, ia cepat-cepat mandi dan berpakaian. Kemudian ia


berhenti sebentar untuk berpikir. Ia akan segera terjun dalam suatu anjang
pertempuran; sebaiknya ia berpakaian lebih baik untuk menghadapinya. Ia
melepaskan celana jeans hitam dan baju kaus merahnya, lalu memulai lagi dari
awal. Ia mencuci dan mengeringkan rambutnya. Sesudah itu ia mendandani
wajahnya dengan cermat: alas bedak, bedak, maskara, dan lipstik. Ia
mengenakan setelan hitam dengan blus abu-abu merpati, stocking tipis, dan
sepatu pantofel kulit bertumit tinggi. Ia mengganti anting-anting hidungnya
dengan sebuah giwang yang lebih sederhana.

Ia mengamati penampilannya di sebuah cermin panjang. Ia merasa tampangnya


berkesan berbahaya dan menakutkan. “Bunuh, Jeannie, bunuh,” gumamnya
Kemudian ia melangkah keluar.

346

BAB 31

Jeannie memikirkan Steve Logan dalam perjalanannya ke JFU. Ia telah


menyebut Steve seorang bocah besar yang kuat, tapi sesungguhnya anak muda
itu lebih matang daripada kebanyakan laki-laki. Jeannie telah menangis di
pundaknya, dan itu berarti ia mempercayai Steve. Ia menyukai aroma rubuhnya,
yang mengingatkan akan bau tembaku sebelum dinyalakan Walaupun hatinya
sedang gundah, ia toh menyadari gairah Steve, meskipun Steve sudah berusaha
membuatnya tidak memperhatikan itu. Rasanya bangga juga bahwa anak muda
itu bisa begitu terangsang dengan sekadar memeluknya, dan ia tersenyum saat
mengingat kembali kejadian itu. Sayangnya Steve tidak sepuluh atau lima belas
tahun lebih tua.

Steve amat mengingatkan dirinya akan cinta pertamanya, Bobby Springfield. Ia


berusia tiga belas tahun ketika itu, sedangkan Bobby lima belas, la belum
mengerti apa-apa mengenai cinta dan seks, dan ternyata Bobby pun masih sama
polosnya. Berdua mereka menjajaki suatu alam penemuan yang baru. Wajah
Jeannie merona begitu teringat hal-hal yang pernah mereka lakukan di barisan
paling belakang Movic-dromc setiap Sabtu malam. Yang paling menyenangkan
mengenai Bobby adalah, sama seperti Steve, ada suatu perluapan

347

fiai

perasaan yang tertahan. Bobby begitu menginginkan dirinya, dan bisa menjadi
begitu terangsang hanya de ngan menyentuh puting susu atau celana dalamnya,
sehingga Jeannie nyaris merasa punya kuasa. Untuk beberapa waktu ia sempat
menggunakannya, dengari membuat Bobby benar-benar panas dan penasaran,
hanya untuk membuktikan bahwa ia dapat melakukannya. Tapi dalam waktu
yang tidak terlalu lama, ia menyadari, meski usianya baru tiga belas tahun,
bahwa permainan itu konyol sekali. Namun keberaniannya untuk mengambil
risiko, untuk menikmati permainannya dengan api yang berbahaya, tidak pernah
mereda. Dan hal yang sama itu ia rasakan terhadap Steve.
Steve merupakan satu-satunya faktor yang menyenangkan dalam dunianya saat
ini. Ia sedang menghadapi masalah besar. Ia tidak dapat mengundurkan diri dari
jabatannya di JFU sekarang. Setelah New York Times menyebarluaskan sikap
membangkangnya dalam menghadapi’para atasannya, akan sulit baginya untuk
mendapatkan pekerjaan ilmiah yang lain. Andai kata aku seorang profesor, aku
tidak akan mempekerjakan seseorang yang bakal menimbulkan masalah
semacam ini, ujarnya pada dirinya.

Tapi sudah terlambat baginya untuk mengambil sikap lain. Satu-satunya


harapannya adalah untuk tetap bersiteguh menggunakan data-data FBI itu, dan
mewujudkan hasil yang begitu meyakinkan secara ilmiah, sehingga orang-orang
mau menelaah sekali lagi metodologinya serta memperdebatkan segi etisnya
dengan lebih serius.

Waktu menunjukkan pukul sembilan saat ia memasuki tempat parkir. Ketika


mengunci pintu mobilnya dan melangkah masuk ke dalam Nut House, ia merasa
agak mual; terlalu tegang, sementara perutnya kosong.

Begitu melangkah ke dalam ruang kerjanya, ia tahu bahwa seseorang sudah


masuk ke sana.

Bukan para petugas kebersihan. Ia sudah terbiasa

348

dengan perubahan-perubahan yang mereka lakukan: kursi-kursi yang akan


bergeser seinci dua inci, segalanya digosok bersih, keranjang sampah di sisi lain
meja tulisnya. Tapi kali ini lain. Seseorang telah duduk di belakang’perangkat
komputernya. Papan tutsnya terletak pada kemiringan yang salah; si penyusup
telah secara tak sadar menggesernya ke posisi yang nyaman untuk dirinya
sendiri. Mouse-nya ditinggal begitu saja di tengah-tengah bantalannya, padahal
ia sendiri selalu mengembalikannya dengan rapi, persis di sisi papan tutsnya.
Saat melayangkan pandang, ia melihat pintu lemarinya terbuka sedikit dan sudut
sehelai kertas muncul keluar dari tepi lemari arsipnya.

Ruang kerjanya habis digeledah seseorang.

Setidaknya, ujarnya pada dirinya, penggeledahan itu telah dilakukan secara


amatiran. Jelas bahwa yang sedang menguntitnya bukan pihak CIA. Namun
demikian, hal itu toh membuatnya resah, dan perutnya terasa semakin tidak enak
saat ia duduk, lalu menyalakan perangkat komputernya. Siapa yang ke sini tadi?
Seseorang dari fakultasnya? Seorang mahasiswa? Seorang petugas sekuriti yang
disogok? Orang luar? Lalu untuk apa?

Sebuah amplop telah diselipkan seseorang di bawah pintunya. Isinya sebuah


surat kuasa yang ditandatangani oleh Lorraine Logan, yang difaks ke Nut House
oleh Steve. Jeannie mengeluarkan surat kuasa Charlotte Pinker dari dalam
sebuah map, lalu memasukkan keduanya ke dalam tas kerjanya, la akan
memfaks surat-surat itu ke Aventine Clinic.

Ia duduk di belakang mejanya, lalu membuka file E-mail-nya. Hanya ada satu
pesan: hasil scanning FBI-nya. “Syukurlah,” desahnya.

Ia segera merekam daftar nama dan alamat itu dengan hati teramat lega. Ternyata
ia benar: proses scanning itu betul-betul menemukan pasangan-pasangan
kembar. Ia hampir tak sabar lagi untuk mengecek hasilnya dan

349

memastikan apakah masih ada kasus-kasus lain semacam Steve dan Dennis.

Seingat Jeannie, Ghita telah mengirim suatu pesan E-mail untuknya, menyatakan
bahwa ia akan melakukan scanning itu. Apa yang terjadi? Ia mempertanyakan
apakah pesan itu sudah dikutip oleh si penyusup. Mungkin itu sebabnya bos
Ghita menelepon malam-malam

Saat akan menelusuri nama-nama yang tercantum dalam daftar itu, pesawat
telepon Jeannie berdering. Ternyata dari pimpinan universitas. “Aku Maurice
Obeli. Ada baiknya kita segera mendiskusikan liputan dalam New York Times
ini, bukan?”

Perut Jeannie terasa kencang. Ini dia, ujarnya pada dirinya. Mulailah. “Tentu,”
ujarnya. “Kapan waktu yang sesuai untuk Anda?”

“Tadinya aku berharap kau bisa ke kantorku sekarang juga.”

“Aku akan muncul di sana dalam waktu lima menit.”

Jeannie membuat copy dari data-data FBI itu dalam sebuah disket floppy,
kemudian keluar dari jaringan Internet, la mengeluarkan disket itu dari
komputernya, lalu meraih sebuah pena. Ia berpikir sebentar, kemudian menulis
di atas labelnya SHOPPING.LST. Jelas itu merupakan langkah-langkah
pengamanan yang sebetulnya tidak perlu ia lakukan, namun perasaannya
menjadi lebih lega.

Ia menyisipkan disket itu ke dalam sebuah kotak berisi file-file cadangannya,


kemudian keluar.

Hari sudah bertambah panas. Saat melintasi kawasan kampus, ia


mempertanyakan pada dirinya, apa yang ingin ia raih dari hasil penemuannya
dengan Obell. Targetnya cuma agar ia diperbolehkan melanjutkan risetnya, la
harus memperlihatkan sikap teguh bahwa ia tidak berniat untuk dilecehkan; tapi
lebih ideal kalau ia dapat meredakan amarah pihak pimpinan universitas dan
menetralisir konflik itu.

la merasa lega bahwa ia mengenakan setelan hitam—

350

nya, meskipun ia sudah mulai berkeringat di dalamnya; tampangnya menjadi


lebih tua dan berwibawa. Sepatu tumit tingginya berbunyi saat ia melangkah di
atas batuan hampar, menuju Hillside Hall. Ia langsung dipersilakan masuk ke
dalam ruang kerja pimpinan universitas yang mewah itu.

Berrington Jones sudah duduk di sana, dengan copy New York Times di tangan.
Jeannie tersenyum ke arahnya, lega bahwa ia memiliki seorang sekutu.
Berrington mengangguk, sedikit kaku, lalu berkata, “Selamat pagi. Jeannie.”

Maurice Obell duduk di kursi rodanya, di belakang meja tulisnya yang besar.
Dalam gayanya yang tidak banyak berbasa-basi ia berkata, “Pihak universitas
tidak dapat mentoleransi ini, Dr. Ferrami.”

Meskipun tidak dipersilakan duduk, Jeannie tidak berniat membiarkan dirinya


diperlakukan seperti seorang anak sekolah, karenanya ia memilih sebuah kursi,
menggesernya, Ialu duduk sambil menyilangkan kaki. “Patut disesalkan bahwa
Anda menyaWtan kepada pihak pers bahwa Anda sudah memblokir proyekku
sebelum mengecek apakah secara hukum Anda berhak melakukan itu,” ujar
Jeannie dalam nada setenang mungkin. “Aku sependapat dengan Anda bahwa itu
menjatuhkan wibawa pihak universitas.”
“Bukan aku yang membuat pihak universitas jatuh wibawa,” sanggah Obell.

Jeannie memutuskan bahwa ia sudah cukup banyak memperlihatkan sikapnya;


kini saatnya menyatakan kepada atasannya bahwa mereka sebetulnya berada di
pihak yang sama. Ia mengubah posisi duduknya. “Tentu saja tidak,” ujarnya.
“Masalahnya cuma kita sama-sama telah bertindak sedikit _ terlalu terburu-buru,
sehingga pihak perslah yang menarik keuntungannya.” ^

Berrington memotong. “Kekisruhan itu sudah terjadi Percuma meminta maaf


sekarang.”

351

adi

“Aku tidak meminta maaf,” sergah Jeannie. Ia berpaling ke arah Obell kembali,
lalu tersenyum. “Namun kukira ada baiknya kalau kita berhenti saling
menyalahkan.*’

Sekali lagi Berrington-lah yang menanggapinya. “Sudah terlambat,” ujarnya.

“Aku yakin tidak,” ujar Jeannie. Ia mempertanyakan dalam hati, mengapa


Berrington mengatakan itu. Seharusnya laki-laki itu menginginkan mereka
mendapatkan titik temu; kenapa ia harus bersikap begitu sengit? Jeannie masih
mengarahkan perhatian dan senyumnya ke si pimpinan universitas. “Kita kan
orang-orang yang rasional. Seharusnya kita dapat menemukan suatu kompromi
yang memungkinkan aku melanjutkan pekerjaanku, tapi sekaligus tetap
mempertahankan wibawa universitas”

Jelas bahwa Obell menyukai ide itu, meskipun ia mengerutkan keningnya dan
berkata, “Aku masih belum melihat bagaimana…”

“Kita cuma membuaift-buang waktu,” ujar Berrington dalam nada tak sabar.

Sudah tiga kali ia memotong untuk menyulut perdebatan. Jeannie menelan


kembali kata-katanya yang akan keluar. Kenapa Berrington bersikap seperti itu?
Apakah ia ingin Jeannie menghentikan risetnya, punya masalah dengan pihak
universitas dan sekaligus didis-kreditkan? Sepertinya memang begitu. Apakah
Berrington yang menyelinap ke dalam ruang kerjanya, lalu mengutip E-mail-
nya, dan mengadukannya ke FBI?
Apakah mungkin justru Berrington-lah yang memberikan masukan itu kepada
pihak New York Times, kemudian mengawali seluruh kekisruhan ini? Jeannie
begitu bingung menghadapi kendala yang tidak masuk akal ini, seb^igga untuk
sesaat ia betul-betul diam.

“Kami sudah memutuskan jalan apa yang akan ditempuh oleh pihak
universitas,” ujar Berrington.

352

Jeannie menyadari bahwa ia telah keliru dalam memperhitungkan struktur


otoritas di dalam ruangan itu. Berrington-lah bos di sini. bukan Obell. Berrington
adalah mata rantai dana riset jutaan dolar mereka dan pihak Genetico, yang amat
dibutuhkan Obell. Berrington sama sekali tidak takut pada Obell; malah justru
sebaliknya. Selama ini Jeannie hanya memusatkan perhatiannya kepada si
monyet, bukan si pemain organnya.

Berrington tidak berbasa-basi lagi sekarang, mengenai siapa sebenarnya yang


punya kuasa. “Kami tidak memintamu ke sini untuk menanyakan pendapatmu,”
ujarnya.

“Lalu untuk apa Anda memintaku ke sini?” tanya Jeannie.

“Untuk memecatmu,” sahut Berrington.

Jeannie terpukau. Ia memang tahu bahwa ia akan dipersilakan keluar, tapi tidak
dengan cara seperti iriT Ia mencoba mencerna situasinya “Apa maksud Anda?”
ujarnya seperti orang bodoh.

“Maksudku kau dipecat,” ujar Berrington. la mengusap alisnya dengan ujung jari
telunjuk kanannya, suatu tanda bahwa ia merasa puas dengan dirinya.

Jeannie merasa seakan baru saja ditinju seseorang. Mana mungkin aku dipecat,
ujarnya pada dirinya. Aku baru beberapa minggu di sini. Segalanya berjalan
dengan begitu baik. Aku mengira mereka semua suka padaku, kecuali Sophie
Chappie. Mana mungkin ini hisa terjadi begitu saja?

Ia mencoba menguasai diri. “Anda tidak bisa memecatku,” ujarnya.

“Kami baru saja melakukan itu.”


“Tidak.” Begitu berhasil mengatasi guncangan itu, ia mulai merasa marah dan
sengit. “Anda tidak berfungsi sebagai kepala suatu suku yang masih primitif di
sini. Tentunya ada suatu prosedur yang harus dipatuhi.” Pihak universitas
biasanya tidak dapat memecat seseorang tanpa

353

melalui semacam sidang pemeriksaan. Itu disebutkan di dalam kontraknya,


meskipun ia belum pernah mengecek detail-detailnya. Tiba-tiba itu menjadi amat
penting baginya.

Maurice Obell mensuplainya dengan informasi yang dibutuhkannya. “Akan ada


suatu sidang pemeriksaan di hadapan komite penerapan disiplin senat
universitas, tentu saja,” ujarnya. “Biasanya dibutuhkan tenggang waktu empat
minggu untuk itu; tapi mengingat publisitas yang tidak menguntungkan
sehubungan dengan kasus ini, aku, sebagai pimpinan universitas, sudah
mengajukan agar prosedur ini dipercepat, sehingga sidang pemeriksaan itu dapat
diadakan besok pagi.”

Jeannie betul-betul tercengang menanggapi betapa cepatnya mereka bertindak.


Komite penerapan disiplin? Prosedur yang dipercepat? Besok pagi? Ini bukan
suatu forum diskusi, melainkan suatu proses penahanan. Sudah setengah
terbayang olehnya Obell menyebutkan hak-haknya.

Ternyata ia memang melakukan sesuatu semacam itu. Ia menyodorkan sebuah


map ke arah Jeannie. “Di dalam ini kau akan menemukan peraturan-peraturan
prosedur komite itu. Kau boleh minta diwakili oleh seorang pengacara atau
pembela hukum lainnya, dengan syarat kau memberitahu pihak pimpinan komite
sebelumnya.”

Jeannie akhirnya berhasil menemukan pertanyaan yang masuk akal. “Siapa


pimpinan komitenya?” “Jack Budgen,” sahut Obell.

Berrington mengangkat wajahnya. “Apa itu sudah pasti?”

“Pemilihannya biasanya diadakan setahun sekali,” ujar Obell. “Jack sudah duduk
di situ sejak awal semester ini.”

“Aku tidak tahu mengenai itu.” Berrington sepertinya tidak suka, dan Jeannie
tahu alasannya. Jack Budgen
354

adalah partner tenis Jeannie. Itu suatu fakta yang membesarkan hati: Jack
tentunya akan adil padanya. Situasinya tidak sebegitu gawatnya. Ia akan punya
ke-* sempatan untuk membela diri, dan metode risetnya, di muka sekelompok
akademikus. Akan ada diskusi serius.’ bukan cuma asal tuding ala New York
Times.

Dan ia sudah memiliki data-data hasil scanning FBI-nya. Ia mulai melihat cara
untuk membela diri. Ia akan menyodorkan data-data FBI-nya pada komite itu.
Siapa tahu akan ada satu-dua pasangan di situ yang tidak tahu bahwa mereka
sebetulnya kembar. Itu akan amat mengesankan. Kemudian ia dapat memberikan
penjelasan mengenai tindakan-tindakan pengamanan yang dilakukannya untuk
melindungi hak keleluasaan pribadi orang-orang ini.

“Kukira sementara ini cukup,” ujar Maurice Obell.

Jeannie sudah dipersilakan keluar, la berdiri. “Sayang sekali akhirnya harus


begini,” ujarnya.

Dengan cepat Berrington berkata, “Kau yang mengarahkannya ke sini.”

Sikapnya betul-betul seperti seorang bocah yang mau menang sendiri. Jeannie
merasa enggan meladeni omongannya yang tidak berujung pangkal itu. Ia cuma
melayangkan pandangan menyesal ke arah Berrington, lalu meninggalkan
ruangan itu

Saat melintasi kawasan kampus, ia menyadari dengan hati sebal bahwa ia betul-
betul tidak berhasil memenuhi targetnya sendiri. Semula ia ingin mengajak
mereka bernegosiasi, namun yang ia hadapi ternyata suatu kontes argumentasi.
Rupanya Berrington dan Obell sudah mengambil keputusan sebelum ia
melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Kehadirannya cuma sebagai formalitas.

Ia kembali ke r*Jnt House. Saat hampir sampai di ruang kerjanya, ia melihat


para petugas kebersihan telah meninggalkan sebuah, kantong plastik besar
hitam, persis di muka pintunya. Ia akan memanggil mereka. Tapi

355

saat ia mencoba membuka pintu ruang kerjanya, sepertinya ada masalah. Ia


menggesek kartunya melalui alat penelusur kartu sampai beberapa kali, namun
pintu itu tetap tertutup. Sewaktu akan melangkah* ke meja piket untuk
memanggil bagian pengelolaan gedung, suatu ide yang kurang menyenangkan
melintas di kepalanya.

la membuka kantong plastik hitam itu. Isinya ternyata bukan. sampah kertas dan
cangkir-cangkir dari bahan styrofoam. Yang pertama tampak adalah tas kerja
kanvas Land’s End-nya. Juga kotak Kleenex dari dalam lacinya, sebuah buku
saku A Thousand Acres karya Jane Smiley, dua buah foto dalam bingkai, dan
sikat rambutnya.

Rupanya mereka telah mengeluarkan isi meja tulisnya dan dengan sengaja
mengunci kamar kerjanya.

Ia merasa sangat terpukul. Ini lebih menyakitkan daripada apa yang baru saja
dialaminya di kantor Maurice Obell. Tadi itu cuma kata-kata, sedangkan yang ini
membuatnya merasa seakan suatu bagian yang amat berarti dalam hidupnya
diamputasi dengan begitu saja. Ini kan kamar kerjaku, ujarnya pada dirinya; kok
bisa-bisanya mereka melakukan ini terhadapku? “Sial,” umpatnya.

Ini pasti dilakukan oleh orang-orang sekuriti saat ia sedang berada di mang kerja
Obell. Tentu saja mereka tidak memberitahukan apa-apa padanya terlebih
dahulu; itu akan memberikan peluang baginya untuk segera mengamankan apa
yang betul-betul ia butuhkan. Sekali lagi ia dikejutkan oleh kelihaian mereka.

Ini benar-benar suatu pengamputasian Mereka telah merenggut ilmunya,


pekerjaannya. Ia-tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan dirinya, ke mana
ia harus pergi. Selama sebelas tahun ia mengabdikan dirinya untuk ilmu
pengetahuan—sefcagai seorang mahasiswa junior, mahasiswa, mahasiswa
senior, pasca sarjana, dan seorang asisten profesor. Kini, secara tiba-tiba, ia
bukan apa-apa lagi.

356

Sementara semangatnya terus melorot sampai ke tahap putus asa, tiba-tiba ia


teringat disketnya yang berisi data-data dari FBI Ia mengaduk-aduk isi kantong
plastik itu, namun tidak menemukan sebuah disket pun. Data-data itu, bagian
paling vital untuk membela dirinya, terkunci di dalam kamar itu.

Ia menggedor pintunya dengan tinjunya. Seorang mahasiswa yang kebetulan


lewat, yang mengikuti kuliah statistiknya, menatapnya dengan tercengang, lalu
bertanya, “Bisa kubantu, Profesor?”

Jeannie ingat nama anak muda itu. “Hai, Ben. Bagaimana kalau kaudobrak pintu
sial ini sampai roboh?”

Ben mengalihkan perhatiannya ke arah pintu dengan tampang bingung.

“Aku cuma main-main,” ujar Jeannie. “Aku tidak apa-apa. trims.”

Ben angkat bahu. lalu melanjutkan langkahnya.

Percuma berdiri di situ sambil menerawang! pintu yang terkunci itu Ia


memungut kantong plastik hitam itu lalu melangkah ke dalam laboratorium. Lisa
sedang berada di belakang mejanya, memasukkan data-data ke dalam komputer.
“Aku dipecat,” ujar Jeannie.

Lisa menoleh ke arahnya. “Apa?”

“Mereka mengunci ruang kerjaku dan memasukkan semua barangku ke dalam


kantong sampah sial ini.”

“Aku-nggak percaya!”

Jeannie mengeluarkan tas kerjanya dari dalam kantong hitam itu. lalu
mengambil New York Times dari dalamnya. “Gara-gara ini.”

Lisa membaca dua alinea pertama, lalu berkata, “Tapi ini kan omong kosong.”

Jeannie mengempaskan tubuhnya ke kursi. “Aku tahu. Tapi kenapa Berrington


harus berpura-pura menanggapinya dengan begitu serius?**

“Menurutmu dia berpura-pura?”

“Aku yakin dia berpura-pura. Dia terlalu lihai untuk

357

membiarkan dirinya digoyahkan oleh hal begini. Pasti ada suatu acara lain di
agendanya Jeannie mengetuk-ngetukkan tumitnya di lantai, tidak berdaya
mengatasi frustrasinya. “Rupanya dia siap melakukan apa pun, mengorbankan
apa pun… pasti ada sesuatu yang besar yang dia pertaruhkan.” Mungkin
jawahannya akan ia temukan dalam catatan medis Aventine Clinic di
Philadelphia, la mengecek arlojinya. Ia harus berada di sana pada pukul dua
siang; ia harus segera berangkat.

Lisa masih belum dapat mencerna apa yang baru didengarnya. “Mereka kan
nggak bisa memecatmu begitu saja,” ujarnya dalam nada emosi.

“Akan ada sidang penerapan disiplin besok.”

“Wah, mereka serius sekali rupanya.”

“Memang begitu.”

“Apa ada yang dapat kulakukan?**

Sebetulnya ada, tapi Jeannie merasa rikuh untuk memintanya. Ia menatap Lisa.
Lisa mengenakan baju berleher tinggi dengan sebuah baju hangat yang agak
longgar di atasnya, meskipun udara panas sekali; ia sedang berusaha menutupi
tubuhnya, suatu reaksi dari peristiwa pemerkosaan itu, tentunya. Ia masih
banyak diam, sebagaimana layaknya orang yang baru kehilangan sesuatu yang
amat berharga.

Apakah persahabatan mereka juga serapuh persahabatannya dengan Ghita?


Jeannie merasa takut untuk mendengar jawabannya. Andai kata Lisa ternyata
tega untuk mengecewakannya, siapakah nanti temannya yang tinggal? Namun ia
toh harus menjajakinya, meskipun waktunya sepertinya kurang tepat. “Kau bisa
mengupayakan sesuatu untuk masuk ke dalam ruang kerjaku,” ujarnya dalam
nada ragu. “Data-data yang kuperoleh dari FBI ada di dalam sana.”

Lisa tidak langsung menjawab. “Apa mereka mengubah kuncimu?”

“Malah lebih sederhana daripada itu. Mereka cuma

358

mengubah kodenya secara elektronis, sehingga kartumu tidak berfungsi lagi.


Aku berani taruhan bahwa dalam waktu beberapa jam nanti, aku tidak bakal bisa
masuk ke dalam gedung ini lagi.*’
“Aku nggak ngerti, kok semuanya begitu mendadak.”

Jeannie merasa enggan untuk memaksa Lisa. Ia mencoba memutar otak untuk
memperoleh pemecahannya. “Mungkin aku mesti coba sendiri. Mungkin ada
petugas kebersihan yang bisa menolongku, tapi kukira kuncinya juga tidak akan
bereaksi dengan kartu mereka. Kalau aku tidak memakai kamar itu. tentunya
tidak ada yang perlu dibersihkan lagi. Tapi para petugas sekuriti pasti bisa
masuk.”

“Mereka tidak akan mau membantumu. Mereka akan tahu bahwa kamarmu
memang dengan sengaja dikunci.**

“Kau benar,” ujar Jeannie. “Tapi mereka akan mengizinkan kau masuk. Kau bisa
bilang pada mereka bahwa kau membutuhkan sesuatu dari kamarku.”

Lisa tampak menimbang-nimbang.

“Aku nggak suka sebetulnya meminta ini darimu,” ujar Jeannie.

Kemudian ekspresi wajah Lisa berubah. “Ya,” ujarnya akhirnya. “Tentu saja aku
akan mencobanya.”

Jeannie merasa seakan tenggorokannya tersumbat. “Trims,” ujarnya. “Ia


menggigit bibirnya. “Kau benar-benar seorang teman.” Ia mengulurkan
lengannya untuk meremas tangan Lisa.

Lisa merasa rikuh menanggapi emosi Jeannie. “Di mana persisnya di ruang
kerjamu kausimpan daftar dari FBI itu?” tanyanya dalam nada praktis.

“Di dalam sebuah disket floppy berlabel SHOPPING.LST, di dalam sebuah dus-
disket di laci meja tulisku.”

“Oke.” Lisa mengerutkan alisnya. “Aku tidak mengerti kenapa mereka bersikap
begitu memusuhimu.” “Semuanya berawal dengan kemunculan Steve Lo—

359

gan,” ujar Jeannie. “Sejak Berrington bertemu dengannya di sini, langsung


timbul masalah. Tapi kukira aku mulai mengerti alasannya.” Ia berdiri.
“Apa yang akan kaulakukan sekarang?” tanya Lisa.

“Aku mau pergi ke Philadelphia dulu.”

360

BAB 32

Berrington menatap ke luar jendela kamar kerjanya. Tidak ada yang


menggunakan lapangan tenis itu pagi ini. Ia membayangkan Jeannie sedang
bermain di situ. Ia mulai memperhatikan kehadirannya di sana pada hari pertama
atau kedua semester itu, berlari ke sana kemari melintasi lapangan dalam rok
pendekuya, dengan tungkai-tungkainya yang kecokelatan dan sepatunya yang
putih bersih. Ia jatuh hati padanya sejak itu. Berrington mengerutkan kening. Ia
mempertanyakan pada dirinya, kenapa ia begitu terkesan oleh penampilan
Jeannie yang atletis. Menyaksikan kaum wanita berolahraga bukanlah sesuatu
yang amat menarik baginya. Ia tidak pernah menonton American Gladiator,
seperti Profesor Gormley dari departemen Egyptologi, yang merekam setiap
tayangan di pita video untuk diputar kembali, menurut desas-desus, sampai larut
malam di ruang duduk rumahnya. Tapi begitu Jeannie main tenis,
penampilannya menjadi ekstra menarik. Kesannya seperti menonton seekor
singa yang lari dalam sebuah film mengenai kehidupan bebas: otot-ototnya
menegang di bawah permukaan kulitnya rambutnya berkibar, tubuhnya bergerak,
berhenti, membalik, kemudian bergerak lagi dengan kecepatan menakjubkan dan
luar biasa. Sungguh-sungguh memesona untuk dilihat. Kini Jeannie merupa

361

kan ancaman bagi segala yang diperjuangkan Berrington seumur hidupnya.


Meskipun demikian, ia toh berharap masih dapat menyaksikan permainannya
satu kali lagi.

Ia merasa frustrasi bahwa ia tidak dapat memecat Jeannie begitu saja, meskipun
gajinya sebetulnya dibayar olehnya. Jeannie bekerja untuk Jones Falls
University, dan pihak Genetico sudah menyerahkan uang itu kepada mereka.
Sebuah perguruan tinggi tidak dapat memecat seorang akademikus seperti
sebuah restoran memecat seorang pelayan yang kurang kompeten. Karena itulah
ia terpaksa melewati prosedur yang berbelit-belit ini.

“Persetan dengannya,” umpatnya, kemudian ia melangkah ke meja tulisnya


kembali.

Pembicaraan mereka pagi ini berlangsung cukup lancar, sampai pengungkapan


mengenai Jack Budgen itu. Berrington sudah mempersiapkan Maurice dengan
sebaik-baiknya, dan ia telah mengambil langkah-langkah yang perlu untuk
menghindari terjadinya persepakatan antara pimpinan universitas itu dengan
Jeannie. Tapi ia betul-betul tidak memperhitungkan bahwa kepala komite
penerapan disiplin itu adalah partner tenis Jeannie. Berrington memang tidak
melakukan pengecekan mengenai hal itu sebelumnya; ia menganggap dapat
mempengaruhi siapa pun yang akan menempati posisLdi dalam komite itu, dan
merasa berkecil hati begitu mengetahui bahwa penyeleksiannya sudah
dilaksanakan.

Risikonya adalah bahwa Jack akan memihak Jeannie.

Berrington menggaruk-garuk kepalanya, la tidak pernah bergaul dengan kolega-


kolega akademisnya ia lebih suka berada di antara tokoh-tokoh politik dan media
massa yang lebih glamor. Tapi ia tahu sesuatu mengenai latar belakang Jack
Budgen. Jack mengundurkan diri dari ajang tenis profesional sewaktu berusia
tiga puluh tahun, dan kembali ke dunia perguruan tinggi untuk meraih gelar
doktornya. Mengingat ia sudah terlalu tua untuk memulai karier dalam bidang
ilmu kimia, yang

362

merupakan topik yang ditekuninya, ia akhirnya menjadi seorang administrator, la


mengelola kompleks perpustakaan universitas dan berusaha memenuhi tuntutan
dari departemen-departemen lain; ini membutuhkan pembawaan yang taktis dan
penuh dedikasi, seperti yang dimiliki Jack.

Bagaimana cara untuk menggoyahkan Jack? la bukan seorang laki-laki culas;


malah sebaliknya, sikapnya yang tenang diimbangi oleh semacam kenaifan, la
akan merasa tersinggung kalau Berrington secara blak-blakan berusaha
mendekatinya, atau menawarkan kepadanya semacam uang sogokan. Tapi
mungkin ia dapat dipengaruhi melalui cara yang lebih bijaksana.

Berrington sendiri pernah menerima sogokan satu kali. la masih merasa tidak
enak setiap kali teringat akan peristiwa itu Kejadiannya di awal masa kariernya,
sebelum ia menjadi seorang profesor penuh. Seorang mahasiswi junior
tertangkap basah melakukan kecurangan— membayar seorang mahasiswa lain
untuk membuat skripsinya. Namanya Judy Gilmore dan tampangnya
menggemaskan sekali. Mestinya ia dipecat dari universitas itu, tapi seorang
kepala departemen memiliki mandat untuk mengurangi vonis tersebut. Judy
muncul di niang kerja Berringion untuk “membicarakan masalah itu”. Sambil
menyilangkan kakinya, ia menatap Berrington dengan mata sendu, lalu
mendoyongkan -tubuhnya ke muka, sehingga Berrington dapai melihat sekilas
BH-nya yang terbuat dari bahan renda. Berrington menyatakan simpatinya dan
berjanji akan melakukan sesuatu untuknya. Gilmore mengucurkan air mata,
mengucapkan terima kasih, sesudah itu menjabat tangannya, menciumnya di
bibir, dan akhirnya membuka ritsleting celananya.

Gadis itu tidak menjanjikan apa-apa padanya. Ia tidak menawarkan seks sebelum
Berrington menyatakan janjinya untuk membantu, dan setelah mereka bercinta
di lantai, dengan .tenang ia berpakaian kembali, menyisir

rambutnya, mencium Berrington, lalu pergi. Tapi pada hari berikutnya,


Berrington membujuk kepala departemennya untuk melepas gadis itu dengan
suatu peringatan keras.

Ia menerima sogokan itu karena ia bisa mengatakan kepada dirinya bahwa itu
bukan sogokan. Judy meminta bantuannya, ia menyatakan bersedia membantu,
gadis itu terkesan oleh simpatinya, lalu mereka bercinta. Sementara waktu terus
berjalan, ia mulai melihat ini sebagai suatu ide yang sesat. Tawaran seks itu
merupakan hal yang mutlak untuk si gadis, dan pada waktu Berrington
menjanjikan apa yang memang ia harapkan, dengan bijaksana ia menutup
transaksi itu Berrington senang dianggap sebagai orang yang memiliki prinsip
namun ia toh telah melakukan sesuatu yang betul-betul memalukan.

Menyogok seseorang hampir sama tidak etisnya seperti menerima sogokan.


Namun ia toh akan menyogok Jack Budgen kalau bisa. Ide itu membuatnya
menyeringai sinis, tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia benar-benar sudah terjepit.

Ia akan melakukan itu dengan cara Judy dulu— dengan memberikan kepada
Jack kesempatan untuk me-nyarukan masalahnya.

Berrington menimbang-nimbang selama beberapa menit lagi, lalu meraih


pesawatnya untuk menelepon Jack.

“Trims untuk mengirim copy memomu mengenai perluasan perpustakaan


biofisika itu,” ujarnya
Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Oh, ya. Yang sudah beberapa lama itu—tapi
aku senang kau menyempatkan waktu untuk membacanya.”

Bisa dikatakan Berrington hampir tak pernah melihat dokumen itu, walaupun
cuma sekilas. “Menurutku usulanmu itu masuk akal. Aku menelepon cuma
untuk mengatakan bahwa aku akan mendukungmu begitu surat itu ditampilkan
di muka dewan direksi.”

364

“Terima kasih. Aku menghargai itu.”

“Sepertinya aku bisa membujuk pihak Genetico untuk menutupi sebagian


pendanaannya.”

Jack menanggapi ide itu dengan antusias. “Kita bisa menamakan perpustakaan
itu Genetico Biophysics Library.”

“Bagus. Aku akan membicarakannya dengan mereka.” Berrington mencari cara


untuk mengalihkan percakapan itu ke arah Jeannie. Mungkin bisa lewat topik
mengenai tenis. “Bagaimana dengan liburan musim panasmu?” tanyanya. “Apa
kau sampai ke Wimbledon?”

“Tidak tahun ini. Aku terlalu sibuk.”

“Sayang sekali.” Dengan hati waswas ia berpura-pura akan mengakhiri


percakapan itu. “Aku akan menghubungimu lagi.”

Persis sebagaimana yang ia harapkan, Jack memotongnya. “Ehm, Berry,


bagaimana menurutmu mengenai desas-desus dalam koran itu? Mengenai
Jeannie?”

Berrington berusaha menutupi perasaan leganya, lalu berkata dalam nada sambil
lalu, “Oh, itu—suatu kehebohan yang tidak berarti.”

“Aku sudah mencoba meneleponnya, tapi rupanya dia tidak di ruang kerjanya.”

“Jangan khawatir soal Genetico,” ujar Berrington. meskipun Jack sama sekali
tidak menyebut nama perusahaan itu. “Mereka masih tetap berkepala dingin
dalam menanggapi masalah itu. Untungnya Maurice Obell langsung bergerak
dan mengambil tindakan tepat.”

“Maksudmu tentang sidang penerapan disiplin itu?”

“Kukira itu cuma suatu formalitas. Dia menempatkan pihak universitas dalam
situasi serba salah, menolak untuk tidak melanjutkan kegiatannya, lalu
menghubungi pihak pers. Aku tidak yakin dia bahkan peduli untuk membela
dirinya Aku sudah menyampaikan pada orang orang Genetico bahwa situasinya
sudah berhasil kita atasi. Sejauh ini tidak ada masalah antara pihak universitas-
dengan mereka.”

365

“Itu bagus.”

“Tentu saja andai kata komite memihak Jeannie melawan Maurice, entah dengan
alasan apa, kita akan dapat masalah. Tapi kukira itu tidak mungkin terjadi,
bukan?” Berrington menahan napas.

“Kau tahu bahwa aku pimpinan komite itu?”

Jack memilih untuk mengalihkan pertanyaan itu. Sial. “Ya, dan aku merasa lega
bahwa seseorang yang berkepala dinginlah yang akan menangani prosedur itu.”
Berrington menyebutkan nama seorang profesor filsafat berkepala botak. “Andai
kata Malcolm Barnet yang duduk di situ, entah apa yang akan terjadi.”

Jack tertawa. “Orang-orang senat memang tidak sembarangan. Mereka tidak


akan memilih orang seperti Malcolm—dia pernah mencoba memakai komite
sebagai sarana untuk mencapai suatu perubahan.”

“Tapi dengan kau di situ, komite tentunya akan mendukung presiden.”

Sekali lagi jawaban Jack kurang menjanjikan. “Tidak semua anggota komite
dapat diprediksi.”

Brengsek, apa kau sengaja melakukan ini untuk menyiksaku? “Tapi pihak
pimpinan kan punya pengaruh, setahuku.” Berrington menghapus setetes
keringat di keningnya.

Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Berry, rasanya kurang tepat bagiku kalau aku
sudah menentukan sikap mengenai isu itu sebelum…”

Persetan kau!

“Tapi kukira aku bisa bilang bahwa pihak Genetico tidak usah khawatir tentang
masalah ini.”

Akhirnya! “Trims, Jack. Aku menghargai itu.” “Tapi ini betul-betul hanya di
antara kita, tentunya.” “Jelas.”

“Sampai ketemu besok, kalau begitu.” “Bye.” Berrington menutup pesawatnya.


Wauw, sama sekali tidak mudah!

366

Apakah Jack sungguh-sungguh tidak menyadari bahwa ia baru saja disogok?


Apakah ia mencoba mengelabui dirinya sendiri? Atau ia mengerti tapi berlagak
bodoh?

Peduli apa, selama ia mempengaruhi komite sebagaimana mestinya.

Tapi tentu saja itu belum merupakan akhir dari masalah ini. Keputusan komite
baru akan sah kalau dihadiri oleh seluruh jajaran senat. Kemungkinan lain adalah
Jeannie memakai seorang pengacara yang hebat, dan mulai menuntut berbagai
kompensasi dari pihak universitas. Kasus ini bisa berlarut-larut sampai beberapa
tahun. Tapi penyidikannya akan terhenti, dan itu yang paling penting.

Namun demikian, keputusan komite belum bisa disebut relevan. Kalau ada yang
meleset besok pagi, Jeannie akan duduk kembali di belakang mejanya besok
siang, sibuk mengotak-atik kesalahan-kesalahan masa lalu pihak Genetico.
Berrington menggigil: amit-amit. Ia meraih sebuah bloknot, lalu menuliskan
nama-nama para anggota komite itu.

Jack Budgen—Perpustakaan Tenniel BWdenham—Sejarah Budaya Milton


Powers—Matematika Mark Trader—Antropologi Jane Edelsborough—Ilmu
Fisika

Biddenham, Powers, dan Trader merupakan tokoh-tokoh yang amat


konvensional, profesor-profesor yang sudah punya nama dan lama memiliki
ikatan dengan Jones Falls, berikut prestise dan kesuksesannya. Berrington yakin
mereka bisa diandalkan akan mendukung pimpinan universitas. Yang bisa
menjadi batu sandungan adalah seorang wanita. Jane Edelsborough.

Berrington akan menanganinya sesudah ini.

367

BAB 33

Dalam perjalanan menuju Philadelphia di 1-95, Jeannie kembali memikirkan


Steve Logan. Ia telah memberikan kecupan selamat malam pada Steve tadi
malam, di pelataran parkir untuk tamu kampus Jones Falls. Ia menyesal
momentum itu hanya berlangsung sekilas. Bibir anak muda itu terasa penuh dan
kering, permukaan kulitnya hangat. Jeannie ingin melakukan itu sekali lagi.

Kenapa ia merasa begitu sangsi menghadapi Steve? Apakah karena usianya?


Apa sebetulnya yang begitu hebat mengenai laki-laki yang lebih tua? Will
Temple, yang berusia tiga puluh sembilan, telah mencampakkan dirinya hanya
demi seorang pewaris berkepala kosong. Apa arti kematangan usia?

Ia menekan tombol Seek radionya, untuk mencari pemancar yang lumayan, dan
memperoleh alunan Nirvana yang memainkan Come as You Are. Setiap kali
mempertimbangkan untuk mengencani seorang laki-laki yang sebaya
dengannya, atau yang lebih muda, ia merasa agak ngeri, seperti apa yang ia
rasakan saat mendengarkan sebuah lagu Nirvana. Laki-laki yang lebih tua
biasanya lebih matang, dan tahu apa yang harus mereka lakukan.

Apakah ini betul-betul aku? ujarnya pada dirinya.

368

Jeannie Ferrami, wanita yang selalu melakukan apa yang ingin ia lakukan, dan
biasanya mengatakan peduli apa kepada dunia? Apakah aku membutuhkan
kemapanan? Ah!

Tapi nyatanya toh begitu, sesungguhnya. Mungkin itu karena ayahnya. Setelah
ayahnya, ia tidak pernah ingin berurusan lagi dengan laki-laki yang tidak
bertanggung jawab dalam hidupnya. Di pihak lain, ayahnya merupakan bukti
hidup bahwa laki-laki yang lebih tua bisa sama tidak bertanggungjawabnya
seperti yang lebih muda.
Tentunya Daddy sedang tidur di salah sebuah hotel murah, entah di mana di
Baltimore. Setelah bermabuk-mabukan dan berjudi habis-habisan dengan uang
hasil penjualan komputer dan TV-nya—yang pasti tidak akan bertahan lama—ia
bakal mencuri lagi atau meminta belas kasihan dari anak perempuannya yang
satu lagi, Patty. Jeannie membenci ayahnya karena telah mencuri barang-
barangnya. Namun peristiwa itu ternyata memungkinkan dirinya melihat sisi
terbaik dalam diri Steve Logan. Anak muda itu benar-benar seorang pangeran.
Peduli amat, ujarnya pada dirinya; begitu ketemu Steve Logan, aku akan
menciumnya lagi, dan kali ini aku akan melakukannya dengan baik.

Jeannie menjadi tegang saat mengemudikan Mercedes-nya menembus pusat


keramaian Philadelphia. Ini bisa merupakan suatu terobosan besar. Ada
kemungkinan ia akan menemukan pemecahan teka-teki yang menyangkut
pertalian antara Steve dan Dennis.

Aventine Clinic terletak di University City, sebelah barat Shuylkill River, suatu
kompleks bangunan perguruan tinggi dan apartemen mahasiswa. Kliniknya
sendiri merupakan bangunan bertingkat tahun lima puluhan yang
menyenangkan, yang dikelilingi pepohonan. Jeannie parkir di sebuah meteran di
tepi jalan, lalu masuk ke dalam.

369

Empat orang sedang berada di ruang tunggu: sepasang anak muda, yang wanita
tampak tegang, sedangkan yang laki-laki senewen, serta dua wanita yang kira-
kira seumur Jeannie. Semua duduk di sebuah pojok bersofa rendah, membalik-
balik majalah. Seorang penerima tamu yang lincah mempersilakan Jeannie
mengambil tempat duduk. Ia memungut sehelai brosur mengilap mengenai
Genetico, Inc. Ia membiarkannya terbuka di pangkuannya, tanpa membaca
isinya, lalu menerawangi karya seni abstrak yang tidak jelas tapi berkesan
menenangkan pada dinding ruang lobi itu, sambil dengan sabar meng entak-
entakkan kaki di lantai berkarpet.

Ia tidak menyukai suasana rumah sakit Baru sekali ia mengalami perawatan


sebagai pasien. Pada usia dua puluh tiga tahun, saat menjalani suatu proses
aborsi. Ayah si jabang bayi adalah seorang sutradara film yang berbakat. Jeannie
berhenti meminum pil KB-nya gara-gara mereka berpisah, tapi laki-laki itu
kembali lagi setelah beberapa hari, hubungan mereka kembali mesra, lalu
mereka bercinta tanpa melakukan pencegahan, dan ia menjadi hamil. Proses
aborsi itu berlangsung tanpa komplikasi, namun sesudahnya Jeannie menangis
selama berhari-hari. Rasa cintanya kepada si sutradara film meluntur, meskipun
laki-laki itu terus berusaha rhendam-pinginya.

Si sutradara baru saja menyelesaikan film Hollywood-nya yang pertama, sebuah


film action. Jeannie pergi sendirian untuk menontonnya di Charles Cinema,
Baltimore. Satu-satunya sentuhan manusiawi dalam kisah tembak-tembakan
memakai senjata otomatis itu adalah saat pacar si tokoh mengalami depresi
setelah melakukan aborsi dan memutuskan hubungannya dengan si tokoh. Laki-
laki itu, seorang detektif polisi, menjadi amat terguncang, kemudian patah hati.
Jeannie menangis ketika itu.

Kenangan itu masih terasa menyakitkan. Jeannie berdiri, kemudian mulai


mondar-mandir di ruangan itu.

370

Satu menit sesudah itu, seorang laki-laki muncul dari bagian belakang lobi dan
berseru, “Dr. Ferrami!” Tampangnya seperti berusaha untuk bersikap antusias.
Usianya sekitar lima puluhan, dengan kepala nyaris botak dan sisa rambut
berwarna jahe, seperti biarawan. “Halo, halo, menyenangkan sekali bertemu
dengan Anda.” ujarnya dalam nada diramah ramahkan

Jeannie menerima uluran tangannya. “Aku sudah berbicara dengan Mr.


Ringwood tadi malam.”

“Ya, ya! Aku koleganya, namaku Dick Minsky. Apa kabar?” Dick mempunyai
pembawaan senewen yang membuatnya mengedipkan mata setiap beberapa
detik sekali. Jeannie merasa kasihan padanya.

Ia menggiring Jeannie menaiki sebuah tangga. “Untuk apa Anda membutuhkan


informasi dari kami, kalau aku boleh tahu?”

“Untuk memecahkan suatu misteri medis.” jawab Jeannie. “Ada dua wanita yang
putra-putranya ternyata mempunyai ciri-ciri persis sama. namun mereka tidak
memiliki pertalian keluarga. Sam satunya koneksi yang berhasil kuungkapkan
sejauh ini adalah’ kedua wanita, ini pernah menjalani perawatan di sini, sebelum
mereka hamil.”

“Begitu?” sahut Minsky, seakan sambil lalu. Jeannie agak tertegun; menurut
perhitungannya, laki-laki itu akan tergugah.

Mereka memasuki sebuah ruangan pojok. “Semua data yang kami miliki dapat
diakses melalui komputer, dengan kode yang tepat.” ujarnya. Ia duduk di
belakang sebuah layar. “Oke, nama pasien-pasien yang akan kita lacak
adalah…?”

“Charlotte Pinker dan Lorraine Logan.”

“Ini tidak akan butuh waktu lama.” Ia mulai memasukkan nama-nama itu.

Jeannie berusaha mengendalikan diri. Selalu ada kemungkinan mereka tidak


akan menemukan apa-apa Ia

371

melayangkan pandang ke sekelilingnya. Tempat itu sedikit terlalu mewah


sebagai ruang kerja seorang petugas arsip. Dick tentunya lebih daripada seorang
“kolega” Mr. Ringwood, pikir Jeannie. “Apa peran Anda di klinik ini, Dick?”
tanyanya.

“Aku general manager di sini.”

Jeannie mengangkat alisnya, tapi laki-laki itu tidak mengalihkan mata dari
keyboard-nya. Kenapa ia harus dilayani oleh tokoh yang begitu tinggi
kedudukannya? tanyanya pada dirinya. Suatu perasaan tak enak mulai merayapi
hatinya. “

Dick mengerutkan alis. “Aneh sekali. Komputer kami tidak menyimpan data
untuk kedua nama itu.”

Jeannie semakin merasa tidak enak. Mereka mencoba membohongi aku,


pikirnya. Prospek akan mendapatkan pemecahan atas teka-tekinya kembali
menghilang di kejauhan. Suatu perasaan antiklimaks melanda dirinya dan
membuatnya kecil hati.

Dick memiringkan layar sedemikian rupa, sehingga Jeannie dapat melihat apa
yang tertera di atasnya. “Apa nama-namanya sudah kueja dengan benar?”

“Ya.”
“Kapan kira-kira mereka mengunjungi klinik ini?” Sekitar dua puluh tiga tahun
yang lalu.”

Dick menatapnya. “Wah,” ujarnya sambil mengejapkan mata. “Kalau begitu aku
khawatir kau cuma buang-buang waktu kemari.”

“Kenapa?”

“Kami tidak menyimpan lagi data-data dari masa sejauh itu Ini memang strategi
penanganan dokumen yayasan kami.”

Jeannie menyipitkan matanya. “Kalian membuang arsip-arsip lama?”

“Kami memusnahkannya, ya, setelah dua puluh tahun, kecuali tentu saja si
pasien mendapatkan perawatan lagi di sini, data-datanya akan ditransfer ke
komputer.”

372

Betul-betul mengecewakan, dan membuang waktu yang sebetulnya ia butuhkan


untuk menyiapkan diri menghaffiipi sidang pemeriksaan itu besok. Dalam nada
getir ia berkata, “Aneh bahwa Mr. Ringwood tidak mengungkapkan itu
kepadaku saat aku berbicara dengannya tadi malam.”

“Seharusnya dia memberitahu Anda. Mungkin Anda tidak menyebutkan apa-apa


soal tahun.”

“Aku yakin telah mengatakan padanya bahwa kedua wanita itu menjalani
perawatan di sini sekitar dua puluh tiga tahun yang lalu.” Jeannie masih ingat
bahwa ia menambahkan setahun di atas usia Steve untuk menentu kan
periodenya.

“Kalau begitu, memang aneh.”

Entah mengapa Jeannie tidak terlalu heran mendapati situasinya akan begini.
Dick Minsky, dengan sikapnya yang ekstra ramah dan kedipan senewennya,
benar-benar menggambarkan sosok karikatur seorang laki-laki yang memendam
rasa bersalah.

Dick mengembalikan posisi layarnya. Dalam nada seakan-akan menyesal ia


berkata, “Aku khawatir tidak ada lagi yang dapat kulakukan untuk Anda.”

“Bagaimana kalau kita temui Mr. Ringwood untuk menanyakan kepadanya,


kenapa dia tidak mengungkapkan kepadaku mengenai data-data yang sudah
dimusnahkan itu?”

“Aku khawatir Peter tidak masuk hari ini.” “Wah, kebetulan sekali.”

Dick mencoba tampak tersinggung, tapi hasilnya justru sebaliknya. “Kuharap


Anda tidak menganggap bahwa kami berusaha menyembunyikan sesuatu dari
Anda.”

“Kenapa aku akan berpikir begitu?” “Entahlah.” Ia berdiri. “Tapi sekarang, aku
khawatir, waktuku sudah habis.”

Jeannie berdiri dan mengikutinya melangkah ke pintu.

373

Dick mengantarnya turun ke lobi. “Selamat siang untuk Anda,” ujarnya dalam
nada kaku

“Selamat siang,” sahut Jeannie.

Di luar pintu itu, Jeannie berdiri sambil menimbang-nimbang. Sesuatu di dalam


dirinya memaksanya untuk tidak menyerah. Ia merasa terdorong untuk
melakukan sesuatu, untuk menunjukkan kepada mereka bahwa mereka tidak bisa
memanipulasi dirinya begitu saja. Ia memutuskan untuk sedikit menyusup ke
sana kemari.

Pelataran parkir itu penuh dengan kendaraan para dokter, mobil-mobil Cadjlac,
dan BMW model terakhir. Jeannie menelusuri samping gedung itu. Seorang laki-
laki kulit hitam berjenggot putih sedang menyapu sampah. Tidak ada yang aneh
atau menarik di sini. Ia sampai pada sebuah tembok penghalang, lalu melangkah
kembali.

Melalui pintu kaca muka bangunan itu, ia melihat Dick Minsky masih berdiri di
lobi, berbincang-bincang dengan si penerima tamu yang lincah. Laki-laki itu
menoleh saat Jeannie lewat.
Jeannie mengitari gedung itu melalui sisi lain. la sampai di sebuah tempat
pembuangan sampah. Tiga orang laki-laki yang mengenakan sarung tangan karet
tebal tampak sibuk memindahkan sampah yang ada ke atas sebuah truk. Ini
memang konyol, ujar Jeannie pada dirinya. Lagaknya seperti seorang detektif
dalam sebuah film misteri yang menegangkan. Saat akan membalikkan tubuh,
tiba-tiba terpintas sesuatu di kepalanya. Mereka mengangkat sampah dalam
kantong-kantong plastik cokelat yang besar itu dengan sangat santai, seakan
tidak berat sama sekali. Apa yang akan dibuang sebuah klinik dengan massa
yang besar tapi toh ringan?

Serpihan-serpihan kertas?

Ia mendengar suara Dick Minsky. Nadanya cemas. ^“Silakan meninggalkan


tempat ini, Dr. Ferrami.”

la menoleh. Laki-laki itu muncul dari balik pojok

374

gedung, ditemani seseorang dalam seragam polisi yang biasanya dipakai oleh
para petugas sekuriti.

Buru-buru ia menghampiri tumpukan kantong plastik itu.

Dick Minsky berteriak, “Hei!”

Para tukang sampah itu menoleh ke arahnya, namun Jeannie tidak memedulikan
mereka. Ia merobek sebuah kantong, merogoh ke dalamnya, lalu mengeluarkan
segenggam isinya.

Ia menggenggam serpihan-serpihan kertas karton tipis berwarna kecokelatan.


Setelah mengamatinya dengan lebih cermat, ia dapat melihat bahwa ada tulisan-
tulisan di atasnya, ada yang dengan pena dan ada yang diketik. Rupanya seperti
dokumen-dokumen rumah sakit yang dimusnahkan.

Hanya satu alasan mengapa ada banyak kantong plastik di situ hari ini.

Data-data itu baru saja dimusnahkan pagi tadi— cuma beberapa jam setelah ia
menelepon mereka.
Kini tidak ada yang perlu diragukan lagi.

Jeannie berdiri di hadapan Dick Minsky dengan tangan di pinggang. Laki-laki


itu telah berbohong padanya, dan karena itulah sikapnya begitu senewen.
“Rupanya ada yang Anda coba rahasiakan di sini, bukan?” serunya. “Sesuatu
yang Anda coba sembunyikan dengan memusnahkan dokumen-dokumen ini.”

Tampang Dick benar-benar ketakutan. “Tentu saja tidak,” ujarnya. “Dan, omong-
omong, tuduhan itu betul-betul menyakitkan.”

“Tentu saja,” sahut Jeannie. Amarah melanda dirinya, la menuding dengan


gulungan brosur Genetico-nya. “Penyidikan ini amat berarti bagiku, dan
sebaiknya Anda percaya bahwa siapa pun yang membohongi aku mengenai hal
ini akan mendapat masalah.”

“Silakan pergi,” ujar Dick.

Si petugas sekuriti mencengkeram siku kirinya.

375

“Aku akan pergi,” ujar Jeannie “Aku tidak perlu digiring.”

Petugas itu tidak melepaskan cengkeramannya. “Lewat sini,” ujarnya.

Laki-laki itu sudah setengah baya, dengan rambut berwarna keabuan dan perut
buncit. Dalam situasi ini, Jeannie tidak berniat membiarkan dirinya diperlakukan
seenaknya. Dengan tangan kanannya ia mencengkeram lengan yang dipakai laki-
laki itu untuk mencengkeramnya. Otot-otot lengan atasnya ternyata lunak.
“Lepaskan,” ujar Jeannie sambil meremas. Tangannya kuat dan cengkeramannya
lebih kuat daripada kebanyakan laki-laki. Si petugas sekuriti menooba untuk
tetap mencengkeram siku Jeannie, namun rasa sakit di lengannya sendiri
ternyata tidak tertahankan olehnya, sehingga ia terpaksa melepaskaunya.
“Terima kasih,” ujar Jeannie.

Ia melangkah pergi.

Ia merasa lebih enak. Ternyata memang ada yang belum tersingkap di klinik ini.
Usaha mereka untuk menghalangi dirinya merupakan konfirmasi bahwa
memang ada yang patut mereka sembunyikan. Pemecahan misteri itu ada
hubungannya dengan tempat ini. Tapi di mana posisinya sekarang?

Jeannie melangkah ke mobilnya, tapi tidak langsung masuk. Waktu


menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh, dan ia belum makan siang. Ia masih
terlalu resah untuk makan banyak, tapi ia toh membutuhkan secangkir kopi. Di
seberang jalan, persis di sebelah sebuah aula, ada sebuah kafe. Kelihatannya
murah dan bersih. Ia menyeberang, kemudian masuk ke dalam.

Ancaman yang dilontarkannya kepada Dick Minsky sebetulnya kosong; tidak


ada yang dapat ia lakukan untuk menggoyahkan kedudukan Minsky. Tidak ada
yang ia capai dengan marah-marah padanya. Malah ia telah melakukan
kecerobohan, dengan menyatakan ia tahu bahwa dirinya sedang dibohongi. Kini
mereka akan bersikap lebih waspada.

376

Suasana di dalam kafe itu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa sedang
menghabiskan santapan siang mereka. Ia memesan kopi dan sepiring salad.
Sambil menunggu, ia membuka brosur yang diambilnya dari lobi klinik. Ia mulai
membaca:

Aventine Clinic didirikan pada tahun 1972 oleh Genetico, Inc., sebagai pusat
penelitian dan pengembangan pembuahan in vitro manusia yang pertama, yang
oleh surat kabar dinamakan “bayi tabung”.

Lalu tiba-tiba segalanya menjadi jelas.

Salam btiat dimhad paiigcu, sulni bbsc, kaiig zusi sekeluarga, otoy dengan
kameranya, syanqy arr dengan haiiaoki.wordpress.com nya, grafity. dan semua
dimhader

Dilarang meiig komersil kanataii kesialan menimpa anda.

377

BAB 34

Jane Edelsborough-sudah menjadi janda di usia lima puluhan. Sebagai wanita


yang tegar tapi tidak rapi, biasanya ia mengenakan pakaian-pakaian etnik yang
longgar dan sepatu sandal. Sebetulnya ia seorang intelek, tapi tak seorang pun
akan menduga hal itu jika melihat tampangnya. Berrington menilai ia eksentrik.
Kalau kau memang brilian, menurutnya, buat apa menyamar sebagai orang tolol
dengan berpakaian ngawur seperti itu? Nyatanya universitas-universitas selalu
penuh dengan orang-orang begini—malah dapat dikatakan bahwa Berrington
sendiri terlalu terobsesi dalam memperhatikan penampilannya.

Hari ini Berrington kelihatan ekstra perlente dalam jas linen biru laut, sebuah
vest yang serasi, dan “celana panjang bercorak gurat-gurat dari bahan ringan. Ia
mengamati bayangannya di cermin belakang pintu, sebelum meninggalkan ruang
kerjanya untuk menemui Jane.

Ia menuju ruang Student Union. Para dosen jarang makan di sana—Berrington


sendiri belum pernah memasuki tempat itu—tapi Jane rupanya sedang berada di
sana untuk makan siang, menurut sekretaris departemen Ilmu Fisika.

Bagian lobi bangunan itu penuh dengan anak-anak muda bercelana pendek yang
berbaris untuk mengambil

378

uang di ATM. Ia melangkah ke dalam kafetaria itu, lalu melayangkan pandang


ke sekelilingnya. Wanita itu sedang duduk di sebuah pojok, membaca sebuah
jumal sambil makan kentang goreng dengan jari-jarinya.

Tempat itu merupakan pusat makanan, seperti yang sering dilihat Berrington di
bandara bandara udara dan pusat perbelanjaan, dengan sebuah kios Pizza Hut, es
krim, Burger King, dan sebuah kafetaria biasa. Berring; ton meraih sebuah
nampan, lalu pergi ke bagian kafetaria. Di dalam sebuah kotak kaca terlihat
beberapa potong roti dan kue yang sama sekali tidak menggugah selera. Ia
menggigil; dalam situasi normal, ia akan mengemudikan mobilnya ke kota lain
daripada makan di sini.

Ini agak sulit. Jane bukan jenis wanita yang disukainya, dan itu memperbesar
kemungkinan bahwa Jane akan memihak sisi yang salah dalam sidang penerapan
disiplin itu. Berrington harus berusaha memenangkan simpatinya dalam waktu
teramat pendek. Ia harus mengerahkan seluruh karisma yang dimilikinya.

Ia membeli sepotong kue keju dan secangkir kopi, lalu membawa makanannya
ke meja Jane, la merasa rikuh, namun memaksa diri untuk kelihatan dan
terdengar santai. “Jane,” tegurnya. “Menyenangkan sekali. Boleh aku
menemanimu?”

“Tentu,” sahut Jane dengan ramah, sambil menyisihkan jurnalnya, la melepaskan


kacamatanya, menampakkan sepasang mata berwarna cokelat tua dengan kerut-
kerut simpatik di sudutnya, ¦ tapi penampilannya betul-betul berantakan:
rambutnya yang panjang dan berwarna keabuan diikat dengan semacam perca
yang tidak jelas warnanya, dan ia mengenakan sebuah blus abu-abu kehijauan
yang tidak berbentuk, dengan noda bekas keringat di bagian ketiaknya. “Rasanya
aku tidak pernah melihatmu di sini,” ujarnya.

“Aku memang belum pernah ke sini. Tapi mengingat

379

usia kita, sebaiknya jangan terbawa oleh hal-hal yang sifatnya terlalu rutin—ya,
kan?”

“Aku jauh lebih muda daripadamu,” ujar Jane dengan santai. “Meskipun kukira
tak seorang pun akan menyangka itu.”

“Ah, masa?” Berrington menggigit kue kejunya. La-, pisan dasarnya sekeras
kertas karton dan isinya seperti shaving-cream rasa lemon. Ia menelannya
dengan susah payah. “Bagaimana pendapatmu tentang usulan Jack Budgen
mengenai sebuah perpustakaan biofisika?”

“Karena itukah kau menemui aku?”

“Aku kemari bukan untuk menemuimu, aku datang untuk mencoba makanannya,
dan sekarang aku menyesal. Rasanya benar-benar tidak keruan. Bisa-bisanya kau
makan di sini.”

Jane mencelupkan sendoknya ke dalam hidangan penutup. “Aku tidak


memperhatikan apa yang kumakan. Berry. Aku sedang memikirkan akselerator
partikelku. Ceritakan padaku mengenai perpustakaan baru itu.”

Berrington pernah seperti Jane, terobsesi oleh pekerjaannya, dulu sekali. Tapi ia
tidak pernah membiarkan dirinya tampil seperti gelandangan, meskipun sebagai
seorang ilmuwan muda ia betul-betul hanya hidup demi penyingkapan
penemuan-penemuan baru. Namun demikian, kehidupannya akhirnya
membuatnya menempuh jalur yang berbeda. Buku-bukunya hanya
mempopulerkan hasil kerja orang-orang lain; sudah lima belas atau dua puluh
tahun lamanya ia tidak menulis hasil karyanya sendiri. Untuk sesaat ia
mempertanyakan, apakah ia akan lebih bahagia andai kata ia memilih jalan lain.
Jane yang slebor, yang melahap makanan murah sambil mengotak-atik masalah-
masalah ilmu fisika nuklir, memiliki pembawaan tenang dan puas yang tidak
pernah dikenal Berrington.

Dan sepertinya ia belum juga berhasil memenangkan hatinya. Wanita ini terlalu
bijaksana. Mungkin ia harus

380

menyanjung-nyanjung keintelekannya. “Menurutku mestinya kau memperoleh


masukan lebih banyak. Kau kan ahli ilmu fisika paling senior di kampus, salah
satu ilmuwan paling terkemuka yang dimiliki JFU—seharusnya kau dilibatkan
dalam proyek perpustakaan ini.”

“Apa masih akan terjadi?”

“Kukira Genetico akan mendanainya.”

“Yah, itu berita bagus. Lalu apa manfaatnya untuk mur

“Tiga puluh tahun yang lalu, aku membuat nama, saat aku mulai
mempertanyakan karakteristik manusia mana yang diturunkan dan mana yang
dipelajari. Karena hasil kerjaku, dan hasil kerja mereka yang menekuni bidang
yang sama seperti aku, kita kini tahu bahwa segi pewarisan genetika seorang
manusia lebih relevan daripada cara dia dibesarkan serta pengaruh
lingkungannya dalam menemukan sifat-sifat psikologisnya secara keseluruhan.”

“Pengaruh pembawaan, bukan pendidikan.”

“Tepat. Aku berhasil membuktikan bahwa seorang manusia adalah DNA-nya.


Generasi muda rupanya tertarik akan prosesnya. Apa mekanisme yang membuat
suatu kombinasi kimiawi menjadikan mataku biru, sementara kombinasi lain
menjadikan matamu memiliki nuansa kecokelatan yang lebih dalam dan gelap,
kukira.”

“Berry!” ujar Jane sambil tersenyum. “Kalau aku seorang sekretaris berusia tiga
puluh tahun dengan buah dada montok, aku bakal menganggap kau sedang
mencoba mencuri hatiku.”

Itu lebih baik, ujar Berrington pada dirinya. Akhirnya wanita ini mulai
melembut. “Montok?” ulangnya sambil tertawa. Dengan sengaja ia melirik ke
arah buah dada wanita itu, kemudian kembali ke wajahnya. “Menurutku kau
semontok yang kaubayangkan.”

Jane tertawa, namun Berrington yakin hatinya senang. Akhirnya ia berhasil


mencapai suatu titik pertemuan. Kemudian Jane berkata “Aku mesti pergi “

381

Sial. Ia belum berhasil mengendalikan situasinya rupanya. Ia harus cepat-cepat


melakukan sesuatu untuk mendapatkan perhatian Jane. Ia ikut berdiri
bersamanya. “‘Sepertinya akan ada suatu komite untuk menelaah perwujudan
perpustakaan yang baru ini,” ujarnya saat mereka melangkah keluar dari
kafetaria itu. “Aku ingin mendengar pendapatmu mengenai siapa-siapa yang
pantas untuk duduk di situ/’

“Wauw, aku harus pikirkan itu dulu. Sekarang aku harus memberi kuliah.”

Sial, dia bakal lolos dari cengkeramanku umpat Berrington.

Kemudian Jane berkata, “Bagaimana kalau kita bahas Ttu lain kali?”

Berrington tidak berniat menyia-nyiakan kesempatan ini. “Bagaimana kalau


sambil makan malam?”

Jane tampak tertegun. “Oke,” sahutnya selang beberapa saat.

“Malam ini?”

Suatu ekspresi tak percaya membayang di wajahnya. “Kenapa tidak?”

Setidaknya ini suatu peluang baginya. Dengan lega Berrington menjawab,


“Akan kujemput kau pukul delapan.”

“Oke.” Jane memberikan alamatnya, yang dicatat Berrington di sebuah bloknot

“Jenis makanan apa yang kausukai?” tanyanya. “Oh, tidak usah kaujawab, aku
tahu. kau sedang memikirkan akselerator partikelmu’.” Mereka sampai di bawah
terik matahari. Berrington meremas lengan Jane dengan ringan. “Sampai nanti
malam.”

“Berry,” ujar Jane. “Kau tidak menginginkan sesuatu dariku, bukan?”

Berrington mengedipkan matanya. “Memangnya kau punya apa?”

Jane tertawa, lalu pergi.

382

BAB 35

Bayi tabung. Pembuahan in vitro. Di situlah pertaliannya. Jeannie dapat melihat


keseluruhannya sekarang.

Charlotte Pinker dan Lorraine Logan sama-sama pernah menjalani suatu


perawatan kesuburan di Aventine Clinic. Klinik itu ternyata pernah memelopori
proses pembuahan in vitro, di mana sperma yang berasal dari seorang ayah dan
telur dari seorang ibu disatukan di dalam tabung laboratorium, dan menghasilkan
embrio’ yang kemudian ditanam di dalam kandungan si wanita.

Pasangan kembar identik terjadi pada saat sebuah embrio terbelah menjadi dua,
di dalam kandungan, kemudian tumbuh menjadi dua individu. Itu juga bisa
terjadi di dalam sebuah tabung. Sesudah itu, pasangan kembar dari tabung itu
bisa ditanam dalam kandungan dua wanita yang berbeda. Dengan cara itulah
pasangan kembar identik bisa dilahirkan oleh dua wanita yang tidak memiliki
pertalian keluarga Bingo.

Seorang pelayan datang untuk mengantar salad yang dipesan Jeannie, namun ia
merasa terlalu antusias untuk dapat menikmatinya. *

Bayi tabung bukan lagi sekadar teori di awal tahun tujuh puluhan, setahunya.
Tapi Genetico rupanya sudah lebih jauh melangkah ke depan dalam proses riset
mereka

383

Lorraine dan Charlotte sama-sama menyatakan bahwa mereka pernah menjalani


suatu terapi hormon. Sepertinya klinik itu telah membohongi mereka mengenai
perawatan tersebut.

Itu sudah cukup mengenaskan, tapi saat Jeannie mulai merenungkannya secara
lebih mendalam, ia menyadari” sesuatu yang bahkan lebih mengerikan lagi.
Embrio yang membelah itu mungkin anak kandung Lorraine dan Charles, atau
Charlotte -dan si Mayor—tapi tak mungkin milik mereka masing-masing. Salah
satu di antara mereka mengandung anak pasangan yang lain.

Hati Jeannie dipenuhi dengan perasaan tidak keruan saar ia menyadari bahwa
bisa saja mereka sama-sama mengandung bayi dari pasangan yang sama sekali
tidak mereka kenal.

Jeannie mempertanyakan, mengapa Genetico melakukan pelecehan dengan cara


yang betul-betul tidak etis ini. Teknik itu belum pernah diterapkan; mungkin
mereka sedang butuh kelinci percobaan. Mungkin mereka pernah mengajukan
permohonan untuk itu dan ditolak. Atau mereka memiliki salah satu alasan lain
yang misterius.

Apa pun motif mereka untuk membohongi wanita-wanita ini, Jeannie kini tahu
mengapa penyidikannya membuai pihak Genetico begitu resah. Membuat
seorang wanita mengandung embrio orang lain, tanpa sepengetahuan si wanita,
betul betul tidak dapat dibenarkan. Sama sekali tidak mengherankan bahwa
mereka menjadi begitu nekad untuk menyembunyikan skandal itu Andai kata
Lorraine Logan sampai mengetahui apa yang telah terjadi atas dirinya,
tuntutannya bisa banyak sekali.

Jeannie menghirup kopinya. Perjalanannya ke Philadelphia ternyata tidak


percuma. Ia memang belum menemukan semua jawaban yang dicarinya, tapi ia
telah berhasil memecahkan bagian utama teka-teki itu. Betul-betul memuaskan.

384

Saat menengadahkan wajah ia tertegun melihat Steve tiba-tiba muncul di situ.

Jeannie mengejapkan mata, lalu menerawangi anak muda itu. Ia mengenakan


celana panjang k h aki dan kemeja biru, dan saat masuk, ia menutup pintu di
belakangnya dengan tumitnya.

Jeannie tersenyum lebar, kemudian berdiri untuk menyambutnya. “Steve!”


serunya dengan antusias. Mengingat akan tekadnya, ia langsung merangkul dan
mengecup bibirnya. Aromanya lain hari ini, tembakaunya lebih sedikit, tapi
lebih banyak rempahan. Anak muda itu merapatkan tubuh dan membalas
ciumannya. Jeannie mendengar suara seorang wanita yang lebih tua daripadanya
berkata, “Wauw, aku masih ingat bagaimana rasanya itu,” lalu beberapa orang
tertawa.

Jeannie melepaskan rangkulannya. “Duduklah. Kau mau makan sesuatu? Kita


bisa berhagi salad Apa yang kaulakukan di sini? Aku nggak percaya rasanya.
Tentunya kau menyusul aku. Tidak, tidak, kau tahu nama klinik itu, lalu
memutuskan untuk menemui aku di sini.”

“Aku cuma lagi ingin ngobrol-ngobrol denganmu.” Anak muda itu mengusap
alisnya dengan ujung jari telunjuknya. Gerakannya itu membuat Jeannie berpikir
— Siapa yang juga melakukan itu?—namun ia menyisihkan pertanyaan itu dari
kepalanya.

“Kau memang selalu penuh kejutan.”

Tiba-tiba sepertinya ia resah. “O ya?”

“Kau selalu muncul tiba-tiba.”

“Kukira begitu.”

Jeannie tersenyum. “Kau agak aneh hari ini. Ada apa sih?”

“Begini, kau membuatku merasa nggak keruan,” jawabnya. “Bagaimana kalau


kita keluar dari sini?”

“Oke.” Jeannie meninggalkan selembar lima dolar di” meja itu, lalu berdiri.

385

“Mana mobilmu?” tanya Jeannie setelah mereka berada di luar.

“Kita naik mobilmu.”

Mereka masuk ke dalam mobil Mercedes merah Jeannie. Jeannie memasang


sabuk pengamannya, tapi Steve tidak. Begitu ia meluncur dari situ, Steve
merapatkan duduknya, menyibak rambut Jeannie, dan mulai mengecupi
lehernya. Jeannie menyukai itu, tapi ia merasa rikuh dan berkata, “Kukira kita
sudah terlalu tua untuk melakukannya di dalam mobil.”

“Oke,” ujar Steve. Ia menghentikan itu dan mengalihkan perhatiannya ke jalan,


tapi ia membiarkan lengannya tetap di pundak Jeannie. Di Chestnut mereka
melesat ke arah timur. Begitu mereka sampai di jembatan, Steve berkata, “Ambil
jalan bebas hambatan— ada yang ingin kuperlihatkan kepadamu.” Mengikuti
rambu-rambu yang ada, Jeannie mengambil jalur sebelah kanan, terus ke
Shuylkill Avenue, lalu berhenti di sebuah lampu lalu lintas.

Tangan yang bertengger di pundaknya mulai turun ke bawah. Steve mulai


menggerayangi payudaranya. Jeannie menegang sebagai reaksi sentuhannya,
namun pada saat yang bersamaan ia merasa tidak enak. Rasanya seperti diraba
seseorang di sebuah kereta api bawah tanah. Ia berkata, “Steve, aku suka
padamu, tapi kurasa tempomu terialu cepat untukku.”

Steve tidak menjawab, tapi jari-jarinya sudah meremas payudara Jeannie keras-
keras.

“Aduh!” jerit Jeannie. “Sakit! Ada apa sih denganmu?” Jeannie berusaha
mendorong dengan tangan kanannya. Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau,
dan Jeannie mulai menelusuri jalur, menuju Shuylkill Expressway.

“Aku nggak ngerti maumu,” protes Steve. “Tahu-tahu kau mencium aku seperti
seorang nymphomaniac. laki tiba-tiba kau menjadi dingin.”

386

Padahal aku mengira anak muda itu sudah matang! “Dengar, aku menciummu
karena ingin menciummu. Itu bukan pertanda bahwa kau boleh berbuat
seenaknya atas diriku. Dan kau tidak pernah boleh menyakiti seorang gadis.” Ia
mulai melesat di jalan bebas hambatan itu.

“Tapi ada cewek-cewek yang senang kalau disakiti.” sahut Steve, sambil
memindahkan tangannya ke lutut Jeannie.

Jeannie berusaha menyisihkan tangan itu. “Apa sih sebetulnya yang ingin
kauperlihatkan padaku?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian Steve.
“Ini,” jawab Steve, sambil meraih tangan kanan Jeannie. Sesaat kemudian,
Jeannie merasa tangannya menyentuh alat vital Steve dalam keadaan polos,
tegang, dan panas.

“Ya Tuhan!” Jeannie menarik tangannya. Gila, salah perhitungan ia rupanya!


“Jangan begitu, Steve, hentikan kelakuanmu yang kekanak-kanakan itu!”

Tahu-tahu sesuatu menghantam sisi wajahnya dengan keras.

Ia menjerit dan untuk sesaat kehilangan kendali dirinya. Suara klakson


menggelegar sewaktu mobilnya meliuk ke jalur lain di jalan bebas hambatan itu,
di muka sebuah truk Mack yang besar. Tulang-tulang di wajahnya seperti retak
dan ia merasakan ada darah. Sambil mencoba melupakan rasa sakitnya, ia
berusaha menguasai mobilnya kembali.

la menyadari bahwa Steve baru saja menghajarnya dengan tinjunya.

Tak seorang pun pernah melakukan itu atas dirinya.

“Bangsat kau!” jeritnya.

“Sebaiknya kauturuti mauku,” ujar Steve. “Kalau tidak, kuhajar kau habis-
habisan.” “Edan!” umpatnya.

Melalui sudut matanya, ia melihat Steve sudah siap untuk mengayunkan tinjunya
sekali lagi.

Tanpa berpikir panjang, ia menginjak rem.

Steve terempas ke muka dan pukulannya meleset. Kepalanya menghantam


permukaan kaca. Suara ban sebuah mobil limousine putih berdecit keras untuk
menghindari mobil Mercedes Jeannie.

Begitu Steve menemukan keseimbangannya kembali, Jeannie melepaskan


remnya. Mobilnya melesat maju kembali. Andai kata ia berhenti di jalur cepat
jalan bebas hambatan itu selama beberapa detik, Steve pasti akan ketakutan dan
memohon kepadanya untuk jalan lagi. Ia menginjak remnya sekali lagi; Steve
terhuyung ke depan kembali.

Kali ini keseimbangan Steve pulih lebih cepat. Mobil itu akhirnya berhenti.
Kendaraan-kendaraan lain meliuk di sekeliling mereka, klakson-klakson
menggelegar. Jeannie mulai ketakutan; setiap saat bagian belakang Mercedes itu
bisa dihantam oleh salah satu kendaraan itu. Namun siasatnya rupanya tidak
berhasil: Steve tidak tampak takut Ia malah meletakkan tangannya di atas rok
Jeannie, meraba bagian pinggang stocking-nya yang kemudian ia renggut begitu
saja. Jeannie mendengar suara robekan.

Jeannie mencoba mendorong tubuhnya, tapi Steve sudah keburu menindihnya.


Masa ia akan mencoba memerkosanya di sini, di jalan bebas hambatan ini?
Dalam keadaan kalut, Jeannie membuka pintunya, tapi ia tidak bisa keluar,
karena ia masih memakai sabuk pengamannya. Ia mencoba melepaskannya, tapi
ia tidak dapat mencapai gespernya gara-gara Steve.

Di sebelah kirinya, kendaraan-kendaraan melintas dari jalur lambat jalan «bebas


hambatan itu ke jalur yang lebih cepat, dengan laju sekitar enam puluh mil per
jam. Apakah tidak ada seorang pengemudi pun yang mau berhenti untuk
menolong seorang wanita yang se-dang diserang?

Saat berusaha meronta untuk melepaskan diri, jejakan

388

kakinya pada rem kendaraannya terangkat, dan mobil itu mulai merayap maju.
Mungkin aku harus membuat dia kehilangan keseimbangan, pikir Jeannie. Ia
yang duduk di belakang kemudi mobil, dan hanya itulah peluang yang masih
dimilikinya. Dengan nekad ia meletakkan kakinya di pedal gas, lalu
menginjaknya kuat-kuat.

Mobil itu meluncur sambil meliuk. Rem-rem berderit sewaktu sebuah bus
Greyhound nyaris melanggar bumper Mercedes itu. Tubuh Steve terempas ke
belakang, terkejut sebentar, tapi beberapa detik kemudian tangannya sudah sibuk
lagi menggerayangi Jeannie, sementara Jeannie berusaha mengendalikan
kemudinya. Ia benar-benar kelabakan sekarang. Rupanya Steve sama sekali tidak
peduli apakah mereka akan mati atau tidak. Apa yang harus dilakukannya untuk
menghentikannya sekarang?

Jeannie membanting kemudinya ke kiri, membuat tubuh Steve terempas ke


pintu. Nyaris ia melanggar sebuah truk sampah. Sekilas ia melirik ke arah wajah
terkejut si sopir, seorang laki-laki setengah baya dengan kumis berwarna
keabuan; kemudian ia membuang kemudinya ke arah lain. Mercedes itu
terhindar lagi dari kecelakaan.

Steve mencengkeramnya lagi. Ia menginjak remnya kuat-kuat, kemudian pedal


gasnya, tapi Steve cuma tertawa sementara tubuhnya terayun ke sana kemari,
seakan ia sedang menikmati permainan di sebuah karnaval; kemudian ia
merapatkan tubuhnya.

Jeannie mengayunkan sikut kanan dan tinjunya ke arah Steve, namun ia tidak
dapat mengerahkan seluruh tenaganya, karena ia masih duduk di belakang
kemudinya, sehingga ia hanya dapat mengalihkan perhatian anak muda itu
selama beberapa detik.

Masih berapa lama ini akan berlangsung? Apakah tidak ada mobil polisi yang
berpatroli di kota ini?

Melalui pundak Steve, Jeannie melihat bahwa mereka

389

sedang melewati suatu bahu jalan. Persis beberapa meter di belakangnya


meluncur sebuah mobil Cadillac tua berwarna biru langit. Tiba-tiba ia
membuang kemudi. Bannya berdecit, mobil Mercedes itu terus melesat di atas
dua roda, sementara tubuh Steve terempas ke arahnya. Mobil Cadillac biru itu
membanting kemudi untuk menghindari Mercedes-nya. Klakson kendaraan-
kendaraan lain menggelegar sebagai pelampias amarah. Ia mendengar suara
mobil-mobil saling bertubrukan dan pecahan kaca berhamburan. Roda mobilnya
mulai turun kembali, kemudian menghantam aspal dengan suara keras. Mereka
berada di bahu jalan. Mobilnya mengge-luyur, nyaris melanggar tembok beton di
sisi jalan, namun Jeannie berhasil menguasai kemudi.

Ia menginjak pedal gasnya menelusuri bahu jalan. Begitu laju kendaraan itu
sudah lebih stabil, Steve mulai menyusupkan tangan di antara kedua paha
Jeannie untuk memasukkan jarinya ke celana dalam Jeannie. Jeannie menggeser
tubuh untuk mencoba menghentikan ulahnya. Ia melirik ke arah wajah anak
muda itu. Steve sedang tersenyum, matanya melebar, napasnya mendengus, dan
keringatnya mulai keluar. Rupanya ia amat menikmati situasi itu Ini benar-benar
edan.

Tidak ada sebuah mobil pun di depan atau di belakang mereka. Bahu jalan itu
berakhir di sebuah lampu lalu lintas yang sedang hijau. Di sebelah kirinya
terdapat sebuah taman pemakaman. Ia melihat sebuah rambu yang menunjuk ke
arah kanan dengan tulisan berbunyi Civic Center Blvd. Jeannie membelok ke
sana, dengan harapan akan sampai di sebuah balai kota yang sibuk, dengan
banyak orang lalu lalang di trotoarnya. Di luar perhitungannya, ternyata jalan itu
melewati sebuah deretan gedung yang berkesan sudah ditinggalkan. Di
depannya, lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Kalau ia berhenti, celakalah
dirinya.

Steve, yang berhasil merogoh celana dalamnya, ber—

390

kata, “Matikan mesinnya!” Sama seperti Jeannie, ia» menyadari bahwa kalau ia
memerkosa Jeannie di sini, besar kemungkinan tak. seorang pun akan
menghalanginya.

Steve mulai menyakiti Jeannie dengan mencubiti dan menggerayanginya, tapi


yang lebih membuat kalut Jeannie adalah kecemasannya menghadapi apa yang
akan terjadi. Ia menginjak gas sekuat-kuatnya ke arah lampu merah.

Sebuah mobil ambulans yang muncul dari sebelah kiri, memotong jalan mereka
Jeannie menginjak rem, sambil berusaha menghindari tabrakan, sementara pada
dirinya ia berkata,’ Andai kata aku menubruknya sekarang, setidaknya akan ada
bala bantuan. -

Tiba-tiba Steve menarik tangannya. Untuk sesaat Jeannie menarik napas lega.
Kemudian ia mencengkeram perseneling mobil itu untuk dipindahkan ke posisi
netral. Tiba-tiba Mercedes itu kehilangan momentumnya. Jeannie mengentakkan
perseneling itu kembali ke posisi drive, lalu menjejakkan kakinya di pedal gas.
menyusul si mobil ambulans. ,

Masih berapa lama lagi ini? ujar Jeannie pada dirinya. Ia harus dapat
menemukan suatu daerah permukiman ramai sebelum mobil itu berhenti atau
menabrak sesuatu Namun Philadelphia telah berubah menjadi permukaan bulan
yang sunyi.

Steve mencengkeram kemudi mobil, lalu mencoba menepikannya ke pinggir


jalan. Jeannie mengentakkan nya kembali. Roda belakangnya mengeluarkan
suara decit. Si ambulans mengklaksoni mereka.
Steve mencoba lagi. Kali ini dengan cara lebih lihai. Ia memindahkan
persenelingnya ke posisi netral dengan tangan kiri, lalu mencengkeram
kemudinya dengan tangan kanan. Laju mobil itu melambat, menuju bahu jalan.

Jeannie mengangkat kedua tangannya dari kemudi, memindahkannya ke dada


Steve untuk mendorongnya

391

sekuat tenaga. Steve, yang tidak menduga Jeannie sekuat itu, terenyak ke
belakang. Jeannie memindahkan persenelingnya ke posisi drive, lalu menjejak
pedal gasnya. Mobil itu melesat kembali ke muka, namun Jeannie tahu bahwa
tak lama lagi ia akan terpaksa menyerah. Setiap saat Steve akan berhasil
menghentikan mobil itu dan ia akan terperangkap di dalamnya bersamanya.
Steve menemukan kembali keseimbangannya saat Jeannie membelokkan
mobilnya mengitari sebuah jalan di sebelah kiri. Ia mencengkeram kemudi
dengan kedua tangannya, sementara Jeannie berkata dalam hati, Jadi, beginilah
akhirnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Kemudian mobil itu
sampai di sebuah jalan yang lurus, dan panorama kota itu pun berubah.

Ada sebuah jalan ramai, sebuah rumah sakit dengan orang-orang yang berdiri di
luar, sederetan taksi, dan sebuah kios kaki lima yang menjual penganan Cina.
“Yes!” seru Jeannie dalam nada menang. Ia menginjak remnya. Steve
mengentakkan kemudi mobil itu, semen-^ tara Jeannie berusaha menariknya
kembali. Mercedes itu meJiuk, kemudian tiba-tiba berhenti di tengah jalan.
Puluhan pengemudi taksi di kios kaki lima itu menoleh.

Steve membuka pintunya, melangkah keluar, lalu kabur.

“Terima kasih, Tuhan,” bisik Jeannie.

Beberapa saat kemudian, Steve sudah menghilang.

Jeannie duduk di sana sambil terengah-engah. Laki-laki itu sudah tidak tampak.
Mimpi buruknya sudah berakhir.

Salah seorang pengemudi taksi itu menghampirinya, lalu melongokkan kepala


melalui jendela mobil. Jeannie segera merapikan letak pakaiannya. “Anda tidak
apa-apa, Miss?” tanyanya.
“Kukira begitu,” sahut Jeannie buru-buru.

“Apa yang terjadi sebetulnya?”

Jeannie menggeleng. “Andai aku tahu,” jawabnya.

392

BAB 36

Steve duduk di sebuah tembok rendah di dekat rumah Jeannie. menanti


kedatangannya. Udara panas, namun ia memanfaatkan kerindangan sebuah
pohon maple besar. Jeannie tinggal di daerah permukiman kelas pekerja tua yang
terdiri atas deretan rumah bergaya tradisional. Beberapa remaja dari sebuah
sekolah di dekat situ sedang berjalan kaki pulang ke rumah sambil Jertawa,
bercanda, dan mengulum permen. Rasanya belum lama sejak ia sendiri juga
melakukan itu; delapan atau sembilan tahun yang lalu.

Tapi kini ia merasa resah dan sedih. Pengacaranya sudah berbicara dengan
Sersan Delaware dari Unit Tindak Kejahatan Seks di Baltimore tadi sore. Wanita
itu menyampaikan bahwa ia sudah memperoleh hasil tes DNA-nya. Dan ternyata
bekas sperma di vagina Lisa Hoxton persis sama dengan DNA yang terdapat di
dalam darah Steve.

Steve benar-benar merasa terpukul. Sebelumnya ia begitu yakin bahwa hasil tes
DNA itu akan mengakhiri seluruh dilema ini.

Ia dapat melihat bahwa pengacaranya tidak lagi mempercayai penyataan tidak


bersalahnya. Tidak seperti Mom dan Dad, meskipun kini mereka bingung sekali;
mereka sama-sama tahu bahwa suatu tes DNA amat dapat diandalkan.

393

Di saat-saat paling kelam, ia mempertanyakan apakah ia memiliki semacam


kepribadian ganda. Mungkin ada seorang Steve lain yang mengambil alih situasi
dengan memerkosa kaum wanita, lalu sesudahnya mengembalikan tubuhnya
kepadanya. Dengan begitu, ia tidak akan tahu mengenai apa yang sudah
dilakukannya. Ia masih ingat, secara agak samar-samar, bahwa ada beberapa *
detik selama perkelahiannya dengan Tip Hendricks yang tidak ia ingat sama
sekali. Dan bahwa ia sudah siap menghujamkan jari-jarinya ke dalam tempurung
kepala Porky Butcher. Apakah sisi dari kepribadiaannya yang lain yang
melakukan ini semua? Ia tidak dapat sungguh-sungguh mempercayai itu. Pasti
ada penjelasan lain.

Secercah harapan yang masih dimilikinya berkisar seputar misteri keberadaan


dirinya dan Dennis Pinker. Dennis memiliki DNA yang sama seperti dirinya.
Pasti ada kesalahan di sini. Dan satu-satunya orang yang dapat memecahkan
misteri ini baginya adalah Jeannie Ferrami.

Anak-anak muda itu menghilang ke dalam rumah masing-masing, sementara


matahari mulai terbenam di balik deretan rumab di sisi lain jalan itu Menjelang
pukul enam sore, mobil Mercedes Jeannie melesat ke dalam suatu pelataran
parkir, kira-kira lima puluh yard dari situ. Jeannie melangkah keluar dari
dalamnya. Pada mulanya ia tidak melihat Steve. Ia membuka bagasi dan
mengeluarkan sebuah kantong plastik sampah hitam yang besar. Kemudian ia
mengunci mobilnya dan mulai menelusuri jalan setapak ke arah Steve. Ia
mengenakan pakaian formal—setelan rok berwarna hitam—namun tampangnya
berantakan. Dan ada sentuhan kelelahan dalam gaya berjalannya yang membuat
Steve terenyuh. Steve mempertanyakan dalam hati, apa yang membuatnya
kelihatan seperti habis terlibat pertempuran seru. Tapi penampilannya toh masih
memesona, dan Steve mengawasinya dengan penuh kerinduan.

Setelah jarak di antara mereka cukup dekat, Steve

394

berdiri, tersenyum, lalu melangkah maju untuk menyambutnya.

Jeannie mengangkat wajah, pandangan mereka bertemu. Tiba-tiba ketakutan


membayang di wajahnya.

Mulut Jeannie membuka, kemudian ia mulai menjerit

Steve tersentak kaget. Dalam nada bingung ia bertanya, “Jeannie, ada apa?”

“Jangan mendekat!” jeritnya. “Jangan sentuh aku! Aku akan panggil polisi
sekarang juga!”

Steve menaikkan tangannya dalam gaya ingin berdamai. “Oke, oke, apa pun
yang kaukatakan. Aku tidak akan menyentuhmu, oke? Ada apa sebetulnya
denganmu?’*

Seorang tetangga muncul dari pintu muka rumah yang Juga ditinggali Jeannie.
Tentunya ia penghuni apar temen di bawah milik Jeannie, pikir Steve. Ia seorang
laki-laki tua kulit hitam yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan dasi. “Kau
tidak apa-apa, Jeannie?” tanyanya. “Rasanya aku mendengar seseorang
berteriak.”

“Itu tadi aku, Mr. Oliver,” sahut Jeannie dalam nada bergetar. “Orang ini
menyerangku di dalam mobilku sendiri di Philadelphia sore tadi.”

“Menyerangmu?” ulang Steve dalam nada bingung. “Aku tidak bakal melakukan
itu!”

“Brengsek kau, kau melakukan itu dua jam yang lalu.”

Steve merasa tersinggung. Ia sudah bosan setiap kali kena tuding terlibat dalam
tindakan brutal. “Omong sembarangan kau. Sudah bertahun-tahun aku tidak
menjejakkan kakiku di Philadelphia.”

Mr. Oliver menengahi mereka. “Anak muda ini sudah nangkring di tembok itu
sedikitnya dua jam, Jeannie. Tak mungkin dia keluyuran di Philadelphia
sesorean ini.”

Jeannie rupanya tidak mau menerima pernyataan itu, dan sepertinya sudah siap
untuk menuding tetangganya yang bermaksud baik itu.

Steve melihat bahwa Jeannie tidak mengenakan stocking; kakj-kakinya yang


telanjang tampak janggal dengan setelannya yang berkesan begitu formal. Ada
bagian wajahnya yang agak sembab dan kemerahan. Rasa sakit hatinya mereda.
Sepertinya ada seseorang yang baru saja menyerang Jeannie. Ingin rasanya ia
merangkul bahu Jeannie untuk menghibur hatinya. Dan itu membuat ketakutan
Jeannie akan dirinya semakin memprihatinkan. “Dia telah menyakitimu,” ujar
Steve. “Bajingan sekali orang itu.”

Ekspresi wajah Jeannie berubah. Ketakutan yang membayang di matanya


mereda. Ia mengalihkan pandang ke arah tetangganya. “Dia sudah sampai di sini
dua jam yang lalu?**

Laki-laki itu angkat bahu. “Sam jam empat puluh menit, mungkin lima puluh
menit.”

“Anda yakin?”

“Jeannie, kalau dia memang berada di Philadelphia dua jam yang lalu, tentunya
dia kemari naik pesawat Concorde tadi.”

Jeannie mengalihkan pandangannya ke Steve. “Kalau begitu, yang tadi itu


Dennis tentunya.”

Steve mendekat. Jeannie tidak berusaha menjauh. Steve mengulurkan tangannya,


lalu menyentuh pipi Jeannie yang sembab dengan ujung jarinya. “Jeannie yang
malang,” ujarnya.

“Aku mengira tadi itu kau,” ujar Jeannie, sementara air mata mulai menggenangi
matanya.

Steve menariknya ke dalam pelukannya. Sedikit demi sedikit Steve merasa


Jeannie lebih santai, dan mulai bersandar padanya dengan pasrah. Steve
membelai kepalanya sambil membenamkan jari-jarinya ke dalam ikal-ikal
rambutnya yang tebal dan berwarna gelap. Ia menutup matanya, sambil
membayangkan betapa luwes dan kuatnya tubuh gadis itu. Aku berani bertaruh
bahwa Dennis juga memar-memar, ujarnya pada dirinya. Aku benar-benar
berharap begitu.

396

Mr. Oliver berdeham. “Apa kalian mau minum secangkir kopi?”

Jeannie menarik diri. “Tidak usah, trims,” ujarnya “Aku cuma ingin membuang
pakaian-pakaian ini.”

Rasa tegangnya tersirat di wajahnya, namun itu justru membuat penampilannya


semakin memesona. Aku sudah jatuh cinta pada wanita ini, ujar Steve dalam
hati. Aku bukan hanya ingin tidur dengannya—meskipun itu juga termasuk. Aku
ingin dia menjadi temanku. Aku ingin nonton televisi bersamanya, pergi ke pasar
swalayan dengannya, dan memberikan padanya sesendok NyQuil saat dia kena
flu. Aku ingin melihat bagaimana dia menggosok giginya dan mengenakan
celana jeans-ny&, serta mengoleskan mentega di atas roti panggangnya. Aku
ingin dia menanyakan padaku apakah lipstiknya yang bernuansa oranye pantas
untuknya, dan apakah dia harus membelikan pisau cukur untukku serta pukul
berapa aku akan pulang.

Steve mempertanyakan pada dirinya, apakah ia akan cukup berani untuk


mengungkapkan semua itu pada Jeannie.

Jeannie melintasi serambi, menuju pintu muka. Steve tampak ragu. Ia ingin
mengikutinya, tapi masih merasa butuh untuk diundang.

Jeannie menoleh begitu sampai di ambang pintu. “Ayo,” ujarnya.

Steve membuntuti Jeannie naik tangga, lalu ikut masuk ke ruang duduknya.
Jeannie menjatuhkan kantong plastik hitamnya di karpet. Ia menuju pojok dapur,
melepaskan sepatunya, kemudian, sama sekali di luar perhitungan Steve, ia
melemparkan sepatu itu ke dalam tong sampah dapur. “Aku nggak pernah mau
lagi memakai pakaian-pakaian sialan ini,” ujarnya dalam nada marah. Ia
melepaskan blazernya, yang lalu ia buang. Sesudah itu sementara Steve
mengawasinya dengan pandangan bingung, ia mulai membuka kancing-kancing

397

n g

bajunya, yang setelah ia tanggalkan juga ia buang ke dalam tong sampah itu

Jeannie mengenakan BH hitam polos dari bahan katun. Tentunya dia tidak akan
melepaskan itu di hadapanku, ujar Steve dalam hati. Namun Jeannie toh meraih
pengait di belakang punggungnya. Ia melepaskan BH itu, lalu membuangnya ke
tempat sampah. Payudaranya kencang dan tidak terlalu besar, dengan puting
kecokelatan. Ada memar berwarna kemerahan di pundaknya, bekas tali BH-nya.
Tenggorokan Steve mulai terasa kering.

Jeannie membuka ritsletingnya, kemudian membiarkan roknya jatuh. Ia


memakai celana dalam hitam model bikini yang sederhana. Steve
menerawanginya dengan bengong. Tubuhnya begitu sempurna: pundak yang
kuat, payudara yang indah, perut yang datar, serta sepasang kaki panjang yang
bak dipahat. Jeannie melepaskan celana dalamnya, yang kemudian ia satukan
dengan roknya, untuk dibuang semuanya ke tempat sampah.
Untuk sesaat ia menatap Steve dengan pandangan kosong, seakan tidak mengerti
mengapa anak muda itu ada di situ. Kemudian ia berkata, “Aku mesti mandi.”
Dalam keadaan telanjang ia berlalu. Steve mengikutinya dengan pandangannya
dari belakang.

Jeannie sudah meninggalkan ruangan itu. Beberapa saat kemudian, Steve


mendengar suara air mengalir.

**Wauw,” desahnya. Ia duduk di sofa Jeannie yang berwarna hitam. Apa artinya
ini semua? Apakah semacam tes? Apa sebetulnya yang ingin disampaikan
Jeannie padanya?

Steve tersenyum. Betapa indah tubuhnya, begitu langsing, liat. dan sempurna
proporsinya. Apa pun yang akan terjadi, ia tidak akan pernah melupakan
penampilan Jeannie ketika itu

Jeannie mandi untuk waktu lama. Steve menyadari bahwa dalam suasana serba
ricuh itu, ia belum sempal mengutarakan kepada Jeannie, dilema apa yang
sedang

398

menimpa dirinya sendiri. Akhirnya aliran air itu berhenti. Beberapa menit
kemudian, Jeannie muncul di ruangan itu dalam mantel handuk berwarna
kemerahan, dengan rambut basah yang masih menempel di kepala nya. Jeannie
duduk di sebelahnya, lalu berkata. “Apa aku cuma mimpi, atau aku memang
benar-benar membuka semua pakaianku di depanmu?”

“Kau nggak mimpi,” sahut Steve. “Kau membuang semua pakaianmu ke dalam
tong sampah.”

“Gila, aku benar-benar nggak ngerti kenapa.”

“Tidak ada yang perlu kausesali. Aku senang kau cukup mempercayaiku. Aku
nggak bisa jelaskan padamu, betapa berartinya itu bagiku.”

“Tentunya kau mengira aku sudah kehilangan akal warasku.”

“Tidak, kukira kau benar-benar terpukul gara-gara apa yang terjadi atas dirimu di
Philadelphia tadi.”
“Mungkin. Aku cuma ingat bahwa aku ingin membuang semua yang kukenakan
saat peristiwa itu terjadi.”

“Mungkin ini saatnya untuk membuka botol Vodka yang kausimpan di lemari
esmu.”

Jeannie menggeleng-gelengkan kepala. “Yang saat ini kuinginkan adalah


secangkir teh.”

“Biar aku yang buat.” Steve berdiri, lalu melangkah menuju meja dapur. “Bual
apa kau membawa-bawa kantong sampah itu?”

“Aku dipecat tadi pagi. Mereka memasukkan semua barang pribadiku ke dalam
kantong itu lalu mengunci pintu ruang kerjaku.”

“Apa?” seru Steve dalam nada tak percaya. “Apa alasannya?”

“Gara-gara sebuah artikel di New York Times hari ini, yang menyebutkan bahwa
penggunaan sistem data-ba.se ku melanggar hak keleluasaan pribadi orang. Tapi
kukira Berrington Jones cuma menggunakan itu sebagai alasan untuk
menyingkirkan aku.”

399

Hati Steve langsung panas. Ia ingin melontarkan protes, melindungi Jeannie, dan
menyelamatkannya dari perlakuan tidak adil itu. “Apa mereka bisa memecatmu
begitu saja?”

“Tidak, akan ada sidang pemeriksaan besok, di hadapan komite penerapan


disiplin senat universitas.”

“Kita sama-sama baru menjalani minggu yang rusuh.” Pada saat Steve akan
mengungkapkan hasil tes DNA-nya, Jeannie meraih pesawat telepon.

“Aku ingin minta nomor telepon Lembaga Pemasyarakatan Greenwood, yang di


dekat Richmond, Virginia.” Sementara Steve mengisi ketel, Jeannie mencatat
sebuah nomor, lalu memutar lagi. “Boleh aku bicara dengan Sipir Temoigne?
Aku Dr. Ferrami. Ya, aku akan menunggu. Terima kasih. Selamat malam, Mr.
Temoigne, apa kabar? Aku baik-baik saja. Mungkin ini kedengarannya aneh, tapi
apa Dennis Pinker masih di penjara? Anda yakin? Anda baru saja melihatnya
dengan mata kepala Anda sendiri? Terima kasih. Dan kuharap Anda juga
menjaga diri Anda. Bye.” Jeannie mengangkat wajahnya. “Dennis masih di
penjara. Sipir itu baru saja berbicara dengannya sekitar sejam yang lalu.”

Steve memasukkan sesendok teh ke dalam poci, lalu menemukan dua buah
cangkir. “Jeannie, pihak kepolisian sudah memperoleh hasil tes DNA itu.”

Jeannie terdiam. ‘Lalu…?”

“Ternyata DNA dari vagina Lisa persis sama seperti DNA di dalam darahku.”

Dalam nada misterius Jeannie berkata, “Apakah kau punya pikiran yang sama
denganku?”

“Seseorang yang tampangnya mirip aku serta memiliki DNA-ku memerkosa


Lisa Hoxton pada hari Minggu. Orang yang sama menyerangmu di Philadelphia
hari ini. Tapi dia bukan Dennis Pinker.”

Pandangan mereka bertemu, lalu Jeannie berkata, ‘Rupanya kalian bertiga.”

400

“Ya Tuhan.” Steve merasa hatinya menciut. “Tapi ini sepertinya tidak mungkin.
Pihak kepolisian tidak akan pernah mau menerima kenyataan ini. Bagaimana
mungkin hal seperti ini bisa terjadi?”

“Tunggu dulu,” ujar Jeannie dalam nada antusias. “Kau belum tahu apa yang
berhasil kutemukan sore ini, sebelum aku berpapasan dengan kembaranmu. Aku
punya jawabannya.”

“Ya Tuhan, mudah-mudahan ini memang jawabannya.”

Wajah Jeannie tampak prihatin. “Steve, kau akan menganggap ini


mengguncangkan.”

“Aku nggak peduli, aku cuma buluh penjelasan.”

Jeannie merogoh isi kantong plastik sampah hitamnya, lalu mengeluarkan


sebuah tas kantor dari bahan kanvas. “Coba lihat ini. la mengeluarkan sebuah
brosur mengilap yang langsung membuka di halaman pertama, la
menyodorkannya ke arah Steve:

Aventine Clinic didirikan pada tahun 1972 oleh Genetico, Inc., sebagai pusat
penelitian dan pengembangan pembuahan in vitro manusia yang pertama, yang
oleh surat kabar dinamakan “bayi tabung”.

Steve berkata, “Jadi, menurutmu Dennis dan aku dulu bayi-bayi tabung?” “Ya.”

Suatu perasaan aneh mulai menggerayangi perut Steve. “Nggak lucu memang.
Tapi apa artinya ini?”

“Perwujudan pasangan kembar identik dapat terjadi di dalam laboratorium.


Kemudkui mereka dapat dimasukkan ke dalam kandungan wanita-wanita yang
berbeda.”

Perut Steve terasa semakin mual. “Tapi apakah sperma dan telurnya milik Mom
dan Dad—atau milik pasangan Pinker?”

“Aku tidak tahu.”

401

“Jadi, ada kemungkinan pasangan Pinker adalab orangtua kandungku? Ya


Tuhan.”

“Masih ada satu kemungkinan lain.”

Dari apa yang tersirat di wajahnya, Steve tahu bahwa Jeannie merasa khawatir
kalau apa yang akan ia sampaikan ini bakal lebih mengguncangkan lagi. Steve
mengambil insiatif dengan langsung menebaknya. “Mungkin sperma dan
telurnya sama sekali bukan milik kedua orangtuaku maupun pasangan Pinker.
Mungkin aku anak kandung dari pasangan yang sama sekali tidak kukenal.”

Jeannie tidak menjawab, namun tampangnya yang serius mengiyakan


pendapatnya.

Steve menjadi bingung. Rasanya seperti berada dalam mimpi, di mana secara
tiba-tiba ia mendapati dirinya jatuh dari suatu ketinggian yang tidak jelas. “Sulit
sekali untuk mencernanya,” ujarnya. Air di dalam ketel mendidih. Untuk
menyibukkan diri, Steve menuang air panas itu ke dalam poci. “Tampangku
memang nggak pernah mirip Mom maupun Dad. Tapi apakah lebih mirip salah
satu dari pasangan Pinker?”

“Tidak juga.”

“Kalau begitu, kemungkinannya adalah mereka orang lain.”

“Steve, ini tetap tidak bisa menghapus kenyataan bahwa kedua orangtuamu
mencintaimu, bahwa mereka memeliharamu sampai besar, serta tetap bersedia
mengorbankan hidup mereka demi kau.”

Dengan tangan bergetar Steve menuang teh ke dalam dua buah cangkir. Ia
menyodorkan yang satu ke arah Jeannie, lalu duduk bersamanya di sofa. “Lalu
apa hubungan semua ini dengan si kembar ketiga?”

“Kalau bisa ada bayi tabung kembar dua, tentunya juga ada bayi tabung kembar
tiga. Prosesnya sama: satu di antara kedua embrio itu membelah lagi. Itu bisa
terjadi secara alamiah, jadi kukira itulah yang terjadi.”

402

Steve masih merasa amat terombang-ambing, tapi-kini ia juga mulai merasakan


suatu sensasi lain: kelegaan. Kisahnya memang sulit sekali dimengerti, tapi
setidaknya sudah ada jawaban yang masuk akal, kenapa ia kena tuding untuk
dua tindakan kriminal yang brutal.

“Apakah Mom dan Dad tahu mengenai ini?”

“Kukira tidak. Ibumu dan Charlotte Pinker menyalakan kepadaku bahwa mereka
mengunjungi klinik itu untuk memperoleh suatu perawatan hormon. Pembuahan
in vitro belum dipraktekkan saat itu. Rupanya Genetico sudah berhasil
melangkah jauh ke depan dalam peng-gunakan teknik ini. Dan kukira mereka
mencobanya tanpa mengungkapkan kepada pasien-pasien mereka mengenai apa
yang sudah mereka lakukan.”

“Tidak heran mereka menjadi ketakutan,” ujar Steve. “Sekarang aku mengerti,
mengapa Berrington begitu nekad untuk mendiskreditmu.”

“Yeah. Apa yang mereka lakukan sebetulnya sama sekali tidak etis. Ini membuat
tindakan pelanggaran hak keleluasan pribadi kelihatan remeh sekali.”
“Masalahnya bukan lagi soal etis atau tidak. Genetico bisa morat-marit gara-gara
ini.”

“Ini serius sekali—bisa digolongkan tindakan pidana. Kami mengulas ini tahun
lalu di fakultas hukum.” Namun pada dirinya ia berkata, Buat apa aku membahas
ini dengannya, padahal aku sebetulnya ingin mengatakan kepadanya betapa aku
mencintainya. “Andai kata pihak Genetico menawarkan suatu perawatan hormon
kepada seorang wanita, kemudian dengan sengaja membuatnya hamil dengan
janin orang lain tanpa memberitahukan itu kepadanya, maka tindakan itu bisa
dikategorikan sebagai pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja.”

“Tapi kejadiannya sudah lama lewat. Apakah tidak ada masa batas yang
tertentu?”

“Betul, tapi berlakunya kan sejak tindakan penipuan itu terungkap.”

403

“Aku belum mengerti bagaimana ini bisa membuat perusahaan itu morat-marit.”

“Ini akan merupakan kasus menuntut ganti rugi yang serius. Artinya, uangnya
bukan saja untuk memberikan kompensasi kepada si korban, katakanlah biaya
pengganti untuk membesarkan anak orang lain, tapi juga untuk menghukum si
pelaku, sambil memastikan bahwa mereka dan juga yang lain menjadi enggan
untuk melakukan kesalahan seperti itu lagi.”

“Seberapa banyak?”

“Pihak Genetico telah dengan sengaja melecehkan tubuh seorang wanita untuk
keuntungan mereka sendiri—aku yakin bahwa pengacara mana pun yang cukup
berbobot akan menuntut sebanyak seratus juta dolar.”

“Menurut artikel dalam Wall Street Journal kemarin, seluruh perusahaan itn
bernilai sekitar seratus delapan puluh juta dolar.”

“Itu yang akan membuat mereka morat-marit.”

“Perlu waktu beberapa tahun untuk dapat mengajukan mereka ke pengadilan.”

“Tapi masa kau tidak lihat? Ancamannya saja sudah cukup untuk mejisabotase
proses pengambilalihan itu.”’

“Kenapa begitu?”

“Kemungkinan bahwa Genetico harus membayar uang dalam jumlah sebesar itu
sebagai ganti rugi akan menurunkan nilai saham-sahamnya. Proses
pengambilalihan itu bisa tertunda, sampai pihak Landsmann memperoleh akses
tentang seberapa jauh tanggung jawab mereka.”

“Wauw. Jadi, bukan hanya reputasi mereka taruhannya. Mereka juga bisa
kebagian rugi.”

‘Tepat.” Pikiran Steve kembali kepada permasalahannya sendiri. “Tapi bagiku


ini tidak ada relevansinya sama sekali,” ujarnya dalam nada murung lagi. “Aku
harus bisa membuktikan bahwa teorimu mengenai kembar ketiga ini benar. Satu-
satunya cara adalah dengan menemukannya.” Sesuatu melintas di kepalanya.
“Apa—

404

kah sistem pelacakanmu dapat digunakan? Kau mengerti kan maksudku?”


“Tentu.”

Steve menjadi antusias lagi. “Kalau hasil pelacakan pertama memunculkan aku
dan Dennis, pelacakan berikutnya mungkin akan memunculkan aku dengan yang
ketiga, atau Dennis dengan yang ketiga, atau kami bertiga sekaligus.”

“Ya.”

Jeannie tidak merasa seantusias itu. “Kau bisa melakukannya?”

“Setelah publisitas yang tidak menguntungkan itu, bakal sulit bagiku untuk
menemukan seseorang yang akan membiarkan aku menggunakan database-nya.”

“Sial!”

“Tapi masih ada satu kemungkinan lain. Aku sudah memiliki data-data sidik jari
dari FBI.”

Semangat Steve melambung kembali. “Nama Dennis tentunya ada dalam file
mereka. Andai kata si kembar ketiga pernah diambil sidik jarinya, pelacakan itu
pasti akan memunculkan data-datanya! Hebat sekali!”

“Tapi hasilnya ada di sebuah disket floppy di dalam ruang kerjaku.”

“Wah, gawat! Dan kau tidak bisa masuk ke sana!”

“Betul.”

“Sial. Tapi aku bisa mendobrak pintunya. Ayo kita ke sana sekarang, mau tunggu
apa lagi?” *^

“Kau bakal dijebloskan ke penjara lagi. Pasti ada cara yang lebih sederhana
daripada itu.”

Dengan susah payah Steve berusaha mengendalikan diri. “Kau benar. Pasti ada
cara lain untuk mendapatkan disket itu.”

Jeannie mengangkat gagang pesawat teleponnya. “Aku sudah minta kepada Lisa
Hoxton untuk mencoba masuk ke dalam ruang kerjaku. Coba kita cek, apakah
dia sudah berhasil.” Ia memutar sebuah nomor. “Hei, Lisa,

405

ia

a,

apa kabar? Aku? Nggak terlalu baik. Eh, kau nggak bakal percaya mendengar
ini.” Jeannie membeberkan hasil penemuannya. “Aku tahu ini nggak masuk
akal, tapi aku bisa membuktikan kebenarannya begitu diskel itu ada di tanganku.
Kau berhasil masuk ke ruang kerjaku? Sial.” Wajah Jeannie tampak kecewa.
“Oke, thanks untuk usahamu. Aku tahu bahwa kau mempertaruhkan dirimu
untuk itu. Aku betul-betul menghargainya. Ya Bye.”

Ia menutup pesawatnya, lalu berkata, “Lisa sudah mencoba membujuk seorang


petugas sekuriti untuk diperbolehkan masuk. Dia nyaris berhasil, tapi laki-laki
itu kemudian meminta izin kepada atasannya, dan hampir saja dipecat.”

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”


“Kalau aku memperoleh kembali pekerjaanku besok pagi, setelah sidang
pemeriksaan itu, aku bisa melenggang masuk ke dalam kamarku.”

“Siapa pengacaramu?”

“Aku nggak punya pengacara, aku nggak pernah membutuhkan pengacara.”

“Aku berani taruhan bahwa pihak perguruan tinggi akan memakai pengacara
termahal di kota ini.”

“Sial. Aku nggak bisa membayar seorang pengacara.”

Steve hampir tidak berani mengucapkan apa yang tersirat di dalam kepalanya.
“Ehm… aku seorang penga—

mr

Jeannie menatapnya dengan pandangan menilai.

“Aku memang baru setahun di fakultas hukum, tapi dalam latihan kerja” praktek
kepengacaraan, aku selalu berhasil meraih angka tertinggi di kelasku.” Ia betul-
betul antusias membayangkan dirinya membela Jeannie dalam menghadapi
otoritas pihak Jones Falls University. Tapi apakah Jeannie menganggapnya
terlalu muda dan tidak berpengalaman? la mencoba membaca pikiran Jeannie,
namun tidak berhasil. Jeannie masih menera-406

wangi dirinya. Ia membalas tatapan Jeannie, dengan melihat ke dalam matanya


yang berwarna gelap. Aku tidak berkeberatan untuk melakukan ini sampai akhir
/.aman, ujar Steve pada dirifTya

Kemudian Jeannie mendoyongkan tubuhnya ke muka untuk mengecup bibirnya,


ringan dan cepat. “Wah. Steve, kau memang bukan main,” ujarnya.

Kecupan itu memang ringan sekali, tapi sungguh-sungguh menggetarkan. Steve


senang sekali. Ia tidak yakin apa yang dimaksud Jeannie dengan kata bukan
main, tapi artinya pasti bagus.

-Ia tidak boleh mengecewakan Jeannie. Ia mulai resah mengenai sidang


pemeriksaan itu. “Kau tahu sesuatu mengenai peraturan-peraturan yang berlaku
dalam komite itu? Prosedur dalam menghadapi sidang itu?”
Jeannie merogoh isi tas kanvasnya, lalu menyodorkan sebuah map dari karton
kepadanya.

Steve menelusuri isinya. Peraturan-peraturan itu lebih merupakan peleburan


antara berbagai tradisi perguruan tinggi dan peristilahan hukum modem.
Pelanggaran-pelanggaran untuk mana seorang staf fakultas dapat dipecat,
termasuk penghujatan dan tindak sodomi, namun yang sepertinya paling relevan
sehubungan dengan kasus yang dihadapi Jeannie sifatnya lebih tradisional:
mencemarkan serta merusak reputasi universitas.

Komite penerapan disiplin ternyata tidak memiliki mandat untuk memberikan


keputusan terakhir; fungsi mereka hanyalah membuat rekomendasi untuk senat,
yang mempengaruhi seluruh keberadaan universitas itu. Itu sesuatu yang relevan
untuk diketahui. Andai kata Jeannie kalah besok, pihak senat bisa berfungsi
sebagai sidang peninjau ulang keputusan komite.

“Kau punya copy kontrakmu?” tanya Steve.

“Tentu.” Jeannie melangkah ke sebuah meja tulis kecil di pojok, lalu membuka
sebuah laci. “Nih.”

Steve membacanya cepat-cepat. Dalam pasal ke-12,

407

Jeannie menyatakan bersedia mematuhi keputusan senat universitas. Itu akan


mempersulit dirinya untuk meminta secara resmi kasusnya ditinjau ulang pada
saat pengambilan keputusan terakhir. ™

Kemudian ia mempelajari peraturan-peraturan komite penerapan disiplin.


“Disebutkan di sini bahwa kau harus melaporkan kepada pimpinan komite
sebelumnya, andai kata kau ingin diwakili oleh seorang pengacara atau orang
lain,” ujarnya.

“Aku akan menelepon Jack Budgen sekarang juga,” ujar Jeannie. “Ini pukul
delapan—dia pasti ada di rumah.” Ia mengangkat gagang pesawatnya.

“Sebentar,” ujar Steve. “Sebaiknya kita rundingkan dulu mengenai apa yang
akan kaukatakan padanya.”
“Kau benar. Kau berpikir secara strategis, sedangkan aku tidak.”

Steve merasa berbesar hati. Advis pertamanya yang ia berikan sebagai seorang
pengacara ternyata bagus. “Laki-laki ini memegang nasibmu di tangannya.
Seperti apa dia?”

“Dia kepala bagian perpustakaan, dan partner tenisku.”

“Yang main denganmu pada hari Minggu itu?”

“Ya. Lebih mirip seorang kepala bagian tata usaha daripada seorang akademikus.
Seorang pemain yang taktis, tapi menurutku dia tidak memiliki insting
pembunuh untuk dapat meraih tempat paling top dalam dunia tenis.”

“Oke. kalau begitu, hubungannya denganmu bisa disebut kompetitif.” “Kukira


begitu.’

“Nah, kesan apa yang ingin kita berikan padanya?” Steve mengetuk-ngetukkan
ujung-ujung jarinya. “Pertama: kita ingin tampak tidak punya niat’untuk main
keras, dan yakin akan sukses. Kau benar-benar antusias untuk menghadapi
sidang pemeriksaan itu. Kau tidak

408

bersalah, dan kau senang memperoleh kesempatan untuk membuktikannya. Kau


merasa yakin bahwa komite itu akan melihat kebenaran masalah ini, di bawah
arahan bijaksana Budgen.” “Oke.”

“Kedua: Kau berada di pihak yang tertindas. Kau seorang gadis yang lemah,
tidak berdaya…” “Yang benar saja?”

Steve tertawa. “Hapus itu. Kau seorang akademikus yang masih junior, dan kau
berhadapan dengan Berrington dan Obell, dua tokoh yang sudah mapan, yang
biasanya selalu memperoleh apa yang mereka inginkan di JFU. Malah kau tidak
bisa membayar seorang pengacara sungguhan. Apa si Budgen orang Yahudi’?” .,

“Aku nggak tahu. Mungkin.”

“Kuharap begitu. Kalangan minoritas biasanya cenderung kurang bersimpati


pada pihak yang punya wewenang. Ketiga: kisah di balik alasan Berrington
begitu ngotot untuk menyingkirkanmu seperti ini, kini tersingkap. Memang
mengguncangkan, tapi toh terpaksa dibeberkan.”

“Apa hikmahnya bagiku untuk melakukan itu?”

“Dengan begitu, akan tertanam ide bahwa mungkin ada sesuatu yang
disembunyikan Berrington.”

“Baik. Masih ada lagi?”

“Kukira tidak.” w Jeannie memutar sebuah nomor, lalu menyodorkan gagang


pesawatnya ke arah Steve.

Steve menerimanya dengan hati berdebar-debar. Ini akan merupakan teleponnya


yang pertama sebagai pengacara seseorang. Semoga situasinya tidak bertambah
runyam. m

Saat mendengarkan nada. dering di ujung lain, ia mencoba mengingat-ingat cara


Jack Budgen bermain tenis. Waktu itu seluruh perhatian Steve memang hanya
tertumpah pada Jeannie, tapi ia toh masih dapat mem—

409

bayangkan seorang laki-laki gundul berpenampilan bugar, usia sekitar lima


puluhan, bermain dengan terampil dan jejakan kaki yang mantap. Budgen
berhasil mengalahkan Jeannie, meskipun Jeannie lebih muda dan lebih kuat
daripadanya. Steve berjanji untuk tidak menganggap enteng laki-laki ini.

Telepon itu dijawab seseorang dalam nada tenang dan berwibawa, “Halo?”

“Profesor Budgen, namaku Steven Logan.”

Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Apakah aku kenal Anda, Mr. Logan?*’

“Belum, Sir. Aku menelepon Anda sehubungan dengan jabatan Anda sebagai
pimpinan komite penerapan disiplin Jones Falls University, untuk
memberitahukan bahwa aku akan mendampingi Dr. Ferrami besok. Dia sudah
siap menghadapi sidang pemeriksaan itu, dan merasa antusias untuk segera
menyelesaikan masalah-masalah yang bertalian dengan tuntutan yang diajukan
atas dirinya.”
Nada bicara Budgen amat tenang. “Anda seorang pengacara?”

Steve merasa napasnya mulai memburu, seakan ia habis berlari. Ia mencoba


untuk tetap tenang. “Aku masih kuliah di fakultas hukum. Dr. Ferrami tidak
dapat membayar seorang pengacara. Namun aku akan mengerahkan seluruh
dayaku untuk dapat mewakilinya dalam kasus ini, tapi kalau aku sampai
membuat kesalahan, aku akan terpaksa menyerah.” Steve berhenti sebentar,
memberikan kesempatan pada Budgen untuk mengucapkan beberapa patah kata
ramah, atau sekadar gumaman simpatik; namun ia tidak memperoleh tanggapan,
Steve melanjutkan. “Boleh a\u tahu, siapa yang akan mewakili pihak perguruan
tinggi?”

“Setahuku mereka sudah menghubungi Henry Quinn, dari Harvey Horrocks


Quinn.”

Steve tersentak. Itu nama salah satu biro hukum

410

yang paling tua di Washington. Ia mencoba untuk meninggalkan kesan tenang.


“Sebuah biro hukum yang amat terkemuka,” ujarnya sambil tertawa kecil. “O
ya?”

Karismanya rupanya tidak mempan untuk menghadapi laki-laki ini. Kini


waktunya untuk bersikap sedikit tegar. “Ada satu hal yang kukira ada baiknya
kusebutkan. Kita harus mengungkapkan, apa sebetulnya yang menjadi alasan
Berrington untuk bersikap begitu keras pada Dr. Ferrami. Kami harap sidang
pemeriksaan itu tidak akan mengalami penundaan, apa pun alasannya. Itu akan
menjadi beban bagi Dr. Ferrami. Biar bagaimanapun, semuanya mesti
dibongkar.”

“Setahuku tidak akan ada penundaan sidang.”

Tentu saja tidak. Steve melanjutkan siasatnya “Tapi andai kata itu sampai terjadi,
mohon Anda tahu bahwa Dr. Ferrami tidak dapat menerimanya.” Steve
memutuskan untuk mengakhiri percakapan ini. “Profesor, aku berterima kasih
atas perhatian Andat dan merasa antusias untuk bertemu dengan Anda besok
pagi.”

“Selamat malam.”
Steve menutup pesawatnya. “Wow. persis seperti menghadapi sebongkah
gunung es.”

Jeannie tampak tidak mengerti- “Biasanya dia tidak seperti itu. Mungkin dia
cuma lagi bersikap formal.”

Steve yakin bahwa Budgen sudah mengambil keputusan untuk bersikap tidak
memihak Jeannie, namun ia tidak mengungkapkan itu kepada Jeanme.
“Setidaknya aku sudah menyampaikan ketiga hal yang ingin kita teruskan
kepadanya. Dan aku tahu sekarang bahwa JFU akan diwakili oleh Henry
Quinn.”

“Hebatkah dia?”

Ia seorang tokoh legendaris. Steve agak ngeri membayangkan akan berhadapan


dengan Henry Quinn. Namun ia tidak ingin membuat Jeannie kecil hati. “Quinn
memang pernah punya nama, tapi mungkin dia sudah melewati masa-masa
jayanya.”

411

Jeannie menerima fakta itu. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Steve menatapnya. Mantel handuk Jeannie yang berwarna kemerahan tersibak


sedikit, dan ia dapat melihat payudaranya yang indah di balik bahan kain yang
lembut itu. “Sebaiknya kita telusuri apa-apa yang mungkin akan ditanyakan
kepadamu dalam sidang pemeriksaan itu,” ujar Steve dalam nada agak menyesal.
“Masih banyak yang hams kita lakukan malam ini.”

412

BAB 37

Jane Edels bo rough jauh lebih menarik dalam keadaan telanjang daripada saat ia
berpakaian. Ia berbaring di seprai berwarna merah muda kepucatan, diterangi
cahaya sebatang lilin beraroma harum.. Kulitnya yang lembut hening jauh lebih
memesona daripada warna-warna tanah yang biasa dikenakannya. Pakaian
pakaian longgar yang menjadi favoritnya cende rung menyembunyikan bentuk
tubuhnya: bisa dikatakan ia semacam makhluk amazon dengan lekuk buah dada
yang dalam serta pinggul lebar. Kesannya memang berat, tapi sesuai dengannya.

Saat berbaring di tempat tidurnya, ia tersenyum menggoda ke arah Berrington


yang sedang mengenakan celana pendek birunya. “Wauw, ternyata lebih asyik
daripada yang kuperhitungkan,” ujarnya.

Berrington juga merasakan hal yang sama. meskipun ia tidak cukup terbuka
untuk mengatakannya. Jane mengetahui hal-hal yang biasanya harus ia ajarkan
kepada wanita yang lebih muda, yang biasanya ia ajak naik ke tempat tidur.
Iseng-iseng Berrington mempertanyakan pada dirinya, dari mana Jane
memperoleh keterampilan itu. Ia memang pernah menikah: suaminya, seorang
perokok, meninggal gara-gara kanker paru-paru

413

sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kehidupan seks mereka tentunya seru sekali.

Berrington begitu menikmati kebersamaan dengan Jane, sehingga ia tidak perlu


berfantasi sebagaimana biasanya, bahwa ia sedang bercinta dengan seorang dewi
kecantikan yang terkenal seperti Cindy Crawford, Bridget Fonda, atau Putri
Diana. Dan sementara berbaring di sebelahnya, Jeannie membisikkan di
telinganya, Terima kasih. Berry, bagiku ini benar-benar yang paling asyik, kau
begitu hebat, terima kasih.

“Aku toh merasa agak bersalah,” ujar Jane. “Sudah lama sekali aku tidak begini
nakal.”

“Nakal?” ujar Berrington sambil mengikat tali sepatunya. “Aku tidak mengerti
maksudmu. Kau kan tidak terikat, berkulit putih, dan sudah berusia dua puluh
satu tahun, sebagaimana yang biasa dikatakan orang.” Berrington melihat Jane
menggerenyitkan wajahnya: istilah tidak terikat, berkulit putih, dan sudah
berusia dua puluh satu tahun itu ternyata secara politis tidak dapat dikatakan
tepat. “Setidaknya, kau tidak terikat,” tambah Berrington cepat-cepat.

“Oh, bukan tidur denganmu yang kumaksud dengan nakal,” ujar Jane dalam
nada lamban “Masalahnya cuma aku tahu bahwa kau melakukannya denganku
karena aku berada dalam komite sidang pemeriksaan itu besok.”
Berrington terenyak persis saat ia sedang memasang dasinya yang bergaris-garis.

Jane berkata lagi, “Maumu kan aku mengira kau melihatku di kafetaria itu, lalu
menjadi terpukau oleh daya tarik seksualku?” Ia tersenyum sendu ke arah
Berrington. “Aku tidak mempunyai daya tank seksual, Berry, tidak untuk
seorang yang begitu memperhatikan penampilan seperti kau. Kau pasti memiliki
motif tertentu, dan aku hanya membutuhkan waktu sekitar lima detik untuk
mengetahui apa sebetulnya yang kauinginkan.”

414

Berrington merasa dirinya konyol sekali. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

“Di pihak lain, kau memiliki daya tarik seksual. Kau punya karisma dan tubuh
yang bagus, kau pintar dalam berpakaian, dan baumu enak. Selain itu, semua
orang tahu bahwa kau betul-betul suka pada wanita. Kau punya potensi untuk
memanipulasi dan mengeksploitasi mereka, tapi kau juga mencintai mereka. Kau
adalah teman kencan untuk semalam yang sempurna, dan aku berterima kasih
padamu.”

Sambil mengatakan itu, Jane menarik seprainya untuk menutupi tubuhnya yang
telanjang, bergulir ke satu sisi, kemudian memejamkan matanya.

Berrington berusaha mempercepat proses berpakaiannya.

Sebelum pergi, ia duduk di tepi tempat tidur itu. Jane membuka matanya.
Berrington berkata, “Kau akan memberikan dukunganmu kepadaku besok?”

Jane duduk tegak, lalu mengecup Berrington dengan hangat. “Aku harus
mendengar dulu kasusnya, sebelum aku memutuskan sesuatu,” jawabnya.

Berrington mengenakkan giginya. “Ini sangat berarti bagiku, lebih daripada yang
dapat kaubayangkan.”

Jane mengangguk simpatik, namun jawabannya masih belum bisa disebut


meyakinkan. “Juga untuk Jeannie Ferrami, kukira.”

Berrington meremas payudara kiri Jane yang terasa lembut dan berat. “Tapi
siapa yang lebih berarti bagimu—Jeannie atau aku?”
“Aku tahu bagaimana rasanya menjadi seorang akademikus wanita yang masih
muda di sebuah universitas yang didominasi oleh kaum laki-laki. Aku tidak akan
pernah melupakan itu.”

“Sial.” Berrington menarik tangannya.

“Kau boleh menginap di sini malam ini, lalu kita dapat melakukannya lagi besok
pagi.” •

415

Berrington berdiri. “Aku sedang banyak pikiran.” Jane menutup matanya.


“Sayang sekali.” Berrington keluar.

Mobilnya terparkir di pelintasan jalan rumah Jane yang terletak di daerah


pinggiran, persis di sebejah Jaguar-nya. Mobil Jaguar itu seharusnya sudah
merupakan tanda peringatan untukku, umpat Berrington dalam hati; tanda bahwa
di balik apa yang tampak, masih ada sesuatu yang lain. Berrington merasa
dirinya dimanfaatkan, namun ia toh menikmatinya. Ia mempertanyakan, apakah
wanita-wanita yang pernah dipikatnya juga merasakan hal yang sama seperti
dirinya sekarang.

Dalam perjalanan pulang, ia merasa resah menghadapi sidang pemeriksaan yang


akan diadakan keesokan hari itu. Ia sudah punya empat orang yang akan
memihaknya dalam komite itu, namun ia gagal memenangkan suara dari Jane.
Apakah masih ada yang dapat dilakukannya? Di saat-saat terakhir ini sepertinya
tidak.

Begitu ia sampai di rumah, ada sebuah pesan dari Jim. Proust di perangkat
penjawab teleponnya Mudah-mudahan bukan berita buruk lagi, pikirnya. Ia
duduk di belakang meja tulis di ruang dudukuya, lalu memutar nomor telepon
rumah Jim. “Aku Berry.”

“Orang-orang FBI itu mengacau,” ujar Jim tanpa basa-basi.

Hati Berrington langsung menciut. “Ceritakan.” “Mereka menerima instruksi


untuk menghentikan pelacakan itu, namun perintah itu datangnya terlambat.”
“Sial.”

“Hasil-hasilnya sudah keburu dikirim ke E-mail Jeannie.”


Berrington mulai resah. “Nama-nama siapa saja yang terdapat di daftarnya?”

“Tidak ada yang tahu. Mereka tidak membuat copy-nya.”

Ini benar-benar kelewatan. “Kita harus tahu isinya!”

416

“Mungkin kau bisa mengupayakan sesuatu. Daftar itu tentunya ada di


kantornya.”

“Dia tidak bisa masuk ke sana.” Secercah harapan meliputi diri Berrington.
’”•Mungkin dia belum sempat melihatnya.” Semangatnya melambung sedikit.

“Kau bisa lakukan sesuatu?”

“Tentu.” Berrington mengecek arloji Rolex emasnya. “Aku akan ke universitas


sekarang juga.” “Hubungi aku lagi secepatnya.” “Oke”

Berrington kembali masuk ke dalam mobilnya, lalu segera meluncur ke arah


Jones Falls University. Suasana kampus sudah gelap dan .sepi Ia memarkir
mobilnya di luar Nut House, lalu memasuki bangunan itu. Ia tidak terlalu rikuh
lagi menyelinap ke dalam ruang kerja Jeannie untuk kedua kalinya. Peduli apa,
terlalu banyak yang harus dipertaruhkannya dibandingkan harga dirinya.

la menyalakan perangkat komputer Jeannie, lalu mengakses E-mail-nya.


Ternyata isinya cuma satu. Mudah-mudahan daftar dari FBI itu. la
menelusurinya. Di luar harapannya, isinya cuma sebuah pesan dari seorang
teman di University of Minnesota:

Kau sudah terima E-mail-ku kemarin? Aku akan ke Balt imore besok, dan aku
betul-betul ingin bertemu denganmu lagi, biarpun hanya untuk beberapa menit.
Hubungi aku. Banyak sayang. Will.

Jeannie tidak menerima pesan dari laki-laki itu kemarin, karena isinya telah
dihapus oleh Berrington. Ia juga tidak akan menerima yang ini. Tapi di mana
daftar dari FBI itu? Pasti ia telah merekamnya kemarin pagi, sebelum kamarnya
dikunci oleh bagian sekuriti.

417
Di mana ia menyimpannya? Berrington menelusuri hard disk perangkat
komputer itu untnk menemukan kata-kata FBI, F.B.l. dengan utik-titik, atau
Federal Bureau of Investigation. IaHfdak menemukan apa-apa. Ia memeriksa
sebuah kotak disket di dalam lacinya, tapi isinya cuma copy file-file yang ada di
komputernya. “Wanita ini bahkan menyimpan copy daftar belanjanya,”
gumamnya.

Ia memakai pesawat Jeannie untuk menelepon Jim kembali. “Tidak ada apa-
apa,” ujarnya buru-buru.

“Kita harus tahu siapa-siapa yang ada dalam daftar itu!” sembur Jim.

Dalam nada sarkastis Berrington menjawab, “Apa yang sebaiknya kulakukan


sekarang, Jim—menculik dan menyiksa dia?”

“Daftar itu pasti ada padanya, kan?”

“Tapi tidak dalam file E-mail-nya, jadi tentunya dia sudah merekamnya.”

“Kalau tidak ada di ruang kerjanya, daftar itu tentunya ada di rumahnya.”

“Masuk akal.” Berrington bisa melihat ke mana arahnya. “Kau bisa atur supaya
tempatnya…” la merasa enggan untuk mengatakan bisa digeledah oleh FBI
melalui telepon. “Bisa dicek?”

“Kukira begitu. David Creane ternyata gagal memenuhi misinya, jadi dia masih
punya utang padaku. Aku akan telepon dia.”

“Besok pagi saja. Sidang pemeriksaan itu akan berlangsung pada pukul sepuluh.
Dia bakal sibuk selama beberapa jam.”

“Oke. Akan kuatur itu. Tapi bagaimana kalau dia menyimpannya di dalam tas
yang selalu dibawa-bawa-nya? Apa yang harus kita lakukan kalau begitu?”

“Aku tidak tahu. Selamat malam, Jim.”

“Malam.”

Setelah menutup pesawat, Berrington masih duduk


418

di sana selama beberapa saat, sambil melayangkan pandang ke arah ruang sempit
yang dibuat menarik oleh Jeannie dengan nuansa-nuansa warna terang dan
berani. Kalau ada yang meleset besok, Jeannie akan berada di belakang meja ini
kembali sekitar waktu makan siang, dengan daftar FBI itu, melanjutkan lagi
penyidikannya, yang akan berakibat hancurnya karier tiga tokoh yang sudah
mapan.

Itu tidak boleh terjadi, ujarnya dalam hati. Itu tidak boleh terjadi.

419
JUMAT
di-scan daii di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh:

Dilarang meng-komersil-kanaiaii kesialan menimpii liidiipiiiida selamanya.

di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.ccl oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan memmpa liidup anda selamanya.

BAB 38

Jeannie terbangun di dalam mang duduknya yang berdinding putih dan sempit,
di sofa hitamnya, dalam pelukan Steve, hanya mengenakan mantel handuknya
yang berwarna merah muda.

Bagaimana aku bisa sampai di sini? Mereka telah menghabiskan separuh malam
itu dengan mempersiapkan diri untuk menghadapi sidang pemeriksaan yang
akan diadakan hari ini. Hati Jeannie menciut; kelanjutan nasibnya akan
ditentukan pagi ini

Tapi bagaimana aku sampai bisa berbaring di pangkuannya?

Sekitar pukul tiga pagi ia menguap, lalu menutup matanya sesaat. Lalu…?

Tentunya ia jatuh tertidur.

Entah kapan Steve masuk ke dalam kamar tidur, kemudian mengambil selimut
tambalan biru dan pulih dari atas tempat tidur untuk menyelubungi tubuhnya,
mengingat ia merasa amat hangat di bawahnya

Tapi Steve tak mungkin bertanggung jawab atas cara ia berbaring, dengan kepala
di atas pahanya dan lengan memeluk pinggangnya. Pasti ia sendiri yang
melakukan itu, dalam tidurnya. Agak rikuh sebetulnya; wajahnya begitu dekat
dengan alat vital Steve. Entah bagaimana

423

penilaian anak muda itu mengenai dirinya. Kelakuannya sedikit keterlaluan.


Membuka pakaian di mukanya, kemudian jatuh tertidur di atasnya; ulahnya
seakan ia sudah lama menjadi kekasih Steve.

Yah sebetulnya aku punya alasan untuk kelakuanku yang konyol itu. Aku baru
saja melewati minggu yang brengsek.

Ia telah diperlakukan seenaknya oleh Opsir McHenty, dirampok oleh ayahnya,


dituding oleh New York Times, diancam dengan pisau oleh Dennis Pinker,
dipecat oleh universitasnya, dan diserang di dalam mobilnya sendiri. Ia merasa
haknya sebagai pribadi dilanggar.

Kepalanya terasa berdenyut-denyut bekas hantaman tinju itu pada hari


sebelumnya, namun cedera yang dideritanya tidak hanya secara fisik. Tindakan
penyerangan itu juga telah melukai harga dirinya. Begitu teringat pergumulan
yang terjadi di dalam mobilnya, amarahnya kembali meledak. Ingin rasanya ia
mencengkeram leher laki-laki itu. Bahkan di saat sedang tidak ingat, di bawah
sadarnya ia merasa tercemar, seakan nilai keberadaannya berkurang gara-gara
peristiwa itu.

Mencengangkan sebetulnya bahwa ia masih bisa tertidur di sofa dengan


seseorang yang tampangnya persis seperti kedua penyeranguya. Namun kini ia
merasa lebih yakin mengenai Steve. Tak satu pun dari dua orang itu dapat
menghabiskan malam seperti ini, hanya berduaan dengan seorang gadis, tanpa
memaksakan diri atasnya.

Jeannie mengerutkan alisnya Samar-samar ia ingat bahwa Steve telah melakukan


sesuatu tadi malam; sesuatu yang menyenangkan. Ya, lamat-lamat teringat
olehnya bagaimana tangan Steve yang besar mengusap-usap rambutnya dengan
lembut, rasanya untuk waktu lama, sementara ia mulai terlelap dalam keadaan
nyaman, seperti seekor kucing yang dibelai.

Jeannie tersenyum, kemudian mulai bergerak. Steve langsung menyapanya “Kau


sudah bangun.”

424

Jeannie menguap, lalu menggeliat. “Sori, aku tertidur di atasmu. Kau nggak apa-
apa?”

“Aliran darah ke kaki kiriku berhenti sejak sekitar pukul lima subuh, tapi begitu
mulai terbiasa, aku merasa nyaman.”

Jeannie duduk tegak agar dapat mengamati tampang Steve dengan lebih baik.
Pakaiannya kusut sama sekali, rambutnya acak-acakan, dan di wajahnya
membayang rambut-rambut yang minta dicukur, tapi selain itu ia betul-betul
menggemaskan. “Kau bisa tidur?”

Steve menggeleng. “Aku begitu menikmati keberadaanmu, mengamatimu tidur.”

“Jangan bilang aku ngorok.”

“Kau nggak ngorok. Tapi kau ngiler sedikit, cuma itu.” Ia menunjuk ke suatu
bagian lembap di celananya.

“Wah!” Jeannie berdiri. Pandangannya beralih ke jam dindingnya yang berwarna


biru terang: sudah pukul delapan lewat tiga puluh. “Kita nggak punya banyak
waktu lagi,” ujarnya dalam nada panik. “Sidang pemeriksaan itu akan dimulai
pukul sepuluh.”

“Mandilah sementara aku membuat kopi,” ujar Steve dalam nada simpatik.

Jeannie menatapnya. Anak muda ini memang bukan main. “Kau dikirim kemari
oleh Santa Klaus?”

Steve tertawa. “Menurut teorimu, aku berasal dari sebuah tabung percobaan.”
Wajahnya berubah menjadi serius kembali. “Ah, sudahlah, siapa yang peduli?”

Suasana hati Jeannie ikut suram. Ia masuk ke kamar tidur, menjatuhkan


pakaiannya di lantai, ialu masuk ke kamar mandi. Saat mencuci rambut, ia
merenungkan kembali perjuangan kerasnya selama sepuluh tahun terakhir ini:
usaha untuk meraih beasiswa, latihan tenis secara intensif untuk mengimbangi
jam-jam belajarnya yang panjang; sikap pembimbingnya yang kurang simpatik
saat ia berusaha meraih gelar doktornya, la telah bekerja seperti robot untuk
mencapai apa yang berhasil

425

diraihnya kini, dan semua itu karena ia ingin menjadi ilmuwan dan membantu
umat manusia untuk lebih mengerti mengenai keberadaan mereka. Dan kini
Berrington Jones akan membuyarkan semua itu dengan begitu saja.
Mandi membuatnya merasa lebih enak. Saat ia mengeringkan tubuh, pesawat
teleponnya berdering, la meraih pesawat yang terletak di sebelah tempat
tidurnya. “‘Ya.”

“Jeannie, ini Patty.”

“Hai, ada apa?”

“Daddy muncul.”

Jeannie duduk di tempat tidurnya. “Bagaimana keadaannya?”

“Tidak punya uang sepeser pun, tapi sehat.”

“Dia sudah ke tempatku,” ujar Jeannie. “Dia muncul pada hari Senin. Hari
Selasa dia agak ngambek, karena aku tidak masak untuknya malam-malam. Hari
Rabu dia pergi, dengan komputerku, TV-ku, dan perangkat stereoku. Rupanya
hasil perolehannya sudah dia habiskan atau dia pakai untuk main judi.”

Patty terbengong. “Oh, Jeannie, brengsek sekali!”

“Hebat, kan? Sebaiknya kausimpan barang-barang ber-hargamu.”

“Menjarah dari keluarganya sendiri! Wah, gawat, kalau Zip sampai tahu, dia
bakal diusir.”

“Patty, masalahku sebetulnya lebih serius dari itu. Ada kemungkinan aku akan
dipecat dari pekerjaanku hari ini.”

“Jeannie, kenapa?”

“Aku nggak punya waktu menjelaskannya padamu sekarang, tapi aku akan
meneleponmu nanti.” “Oke.”

“Kau sudah ketemu Mom?” “Setiap hari.”

“Oh, bagus, aku merasa lebih enak sekarang. Aku sudah pernah ngobrol
dengannya sekali, kemudian sewaktu aku meneleponnya lagi, dia sedang makan
siang.”

426
“Orang-orang itu memang kurang simpatik. Kita harus berusaha mengeluarkan
Mom dari situ secepatnya.”

Dia bakal terpaksa tinggal di sana lebih lama lagi kalau aku sampai dipecat hari
ini. “Aku akan meneleponmu lagi nanti.”

“Semoga kau sukses!”

Jeannie menutup pesawatnya. Ia melihat secangkir kopi yang masih mengepul di


meja samping tempat tidurnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub.
Memang hanya secangkir kopi, tapi yang paling mencengangkan adalah cara
Steve mengetahui apa yang betul-betul dibutuhkannya. Sikap spontannya begitu
wajar. Dan ia tidak mengharapkan apa-apa sebagai balasan. Berdasarkan
pengalamannya, kalau seorang laki-laki mendahulukan kebutuhan teman
wanitanya di atas kebutuhannya sendiri, ia akan mengharapkan si wanita berlaku
sebagai geisha selama sebulan sebagai balasannya.

Steve ternyata lain. Andai kata aku tahu masih ada laki-laki model*begini, aku
sudah memesan satu dari dulu.

Jeannie telah melakukan segalanya sendiri, selama seluruh masa dewasanya.


Ayahnya tidak pernah ada untuk menunjangnya. Sejak dulu Mom memang
keras, tapi akhirnya kekerasannya malah menjadi masalah yang hampir
mengimbangi kelemahan Daddy. Mom sudah menyusun rencana untuk Jeannie,
dan ia tetap bersikeras untuk mempertahankannya, la ingin Jeannie menjadi
penata rambut. Ia bahkan mengupayakan agar Jeannie mendapat pekerjaan, dua
minggu sebelum ulang tahunnya yang keenam belas, yaitu dengan mencuci
rambut dan menyapu lantai di Salon Alexis di Adams-Morgan. Cita-cita Jeannie
untuk menjadi ilmuwan betul-betul ia anggap tidak masuk akal. “Kau bisa
menjadi penata rambut terkemuka sebelum gadis-gadis lain lulus dari perguruan
tinggi!” ujar Mom ketika itu. Ia tidak pernah bisa mengerti, mengapa Jeannie
marah dan bahkan menolak untuk mampir di salon itu.

427

Ia tidak sendirian hari ini. Ia memiliki Steve yang akan memberikan dukungan
kepadanya. Bukan masalah baginya bahwa anak muda itu masih belum punya
pengalaman—seorang pengacara Washington yang mapan belum tentu akan
membuat lima orang profesor terkesan. Yang terpenting adalah ia hadir di sana.
Jeannie mengenakan mantel mandinya, lalu memanggil Steve. “Kau mau
mandi?”

“Tentu.” Steve masuk ke kamar tidur itu. “Andai kata aku punya sehelai kemeja
bersih.”

“Aku tidak punya kemeja untuk laki-laki—eh, tunggu dulu, aku punya.” Ia
teringat kemeja Ralph Lauren putih yang dipakai Lisa sewaktu peristiwa
kebakaran itu. Kemeja itu milik seseorang dari departemen matematika. Jeannie
sudah membawanya ke binatu, dan sekarang kemeja itu tersimpan di lemari
pakaiannya, masih dibungkus kertas cellophane. Ia memberikannya kepada
Steve.

“Ukuranku, tujuh belas tiga puluh enam,” ujar Steve. “Hebat.”

“Jangan kautanyakan padaku dari mana asalnya. Ceritanya panjang sekali,” ujar
Jeannie. “Rasanya aku punya dasi di suatu tempat.” Ia membuka sebuah laci,
lalu mengeluarkan sehelai dasi biru berbintik-bintik dari bahan sutra, yang
kadang-kadang ia pakai dengan blus putih, untuk penampilan sedikit maskulin.
“Nih.”

“Trims.” Steve masuk ke kamar mandinya yang kecil.

Jeannie merasa sedikit kecewa. Semula ia berharap akan melihat Steve


membuka kemejanya. Dasar laki-laki, ujarnya dalam hati; yang brengsek
mengekspos dirinya tanpa diminta, yang baik-baik sealim biarawan.

“Aku boleh pinjam pisau cukurmu?” seru Steve.

“Ya, silakan.” Sebuah catatan pribadi: bercintalah dengannya sebelum dia


menjadi semacam saudara laki-laki bagimu.

Jeannie mencari setelan hitamnya yang terbaik, lalu

428

teringat bahwa ia telah membuangnya di tempat sampah kemarin. “Konyol


banget,” umpatnya. Mungkin ia bisa memungutnya kembali, tapi kondisinya
pasti kusut dan kotor. Ia memiliki sebuah blazer berwarna biru; ia bisa memakai
itu dengan sehelai baju kaus putih dan celana panjang hitam. Agak mencolok
memang, tapi sepertinya pas.

Ia duduk di muka cerminnya, lalu mulai memakai make-upnya. Steve keluar dari
kamar mandi. Penampilannya formal dan tampan dalam kemeja dan dasi.
“Masih ada roti berbumbu kayu manis di lemari es,” ujar Jeannie. “Kau bisa
memasukkannya ke dalam microwave kalau kau lapar.”

“Asyik,” ujar Steve. “Kau juga mau?”

“Aku terlalu tegang untuk makan. Tapi aku mau secangkir kopi lagi.”

Steve mengantarkan kopi selagi ia menyelesaikan make-up-nya. Cepat-cepat ia


meminumnya, lalu berpakaian. Pada saat ia muncul di ruang duduk, Steve
sedang duduk di meja dapur. “Ketemu rotinya?’*

“Ya.”

“Lalu kauapakan?”

“Kauhilang kau nggak lapar, jadi kuhabiskan semuanya.”

“Keempat-empatnya?”

“Ehm… sebetulnya ada dua paket tadi.”

“Kau memakan delapan buah roti?”

Tampang Steve menjadi serba salah. “Aku Japar.”

Jeannie tertawa. “Ayo.”

Saat ia memutar tubuh. Steve mencengkeram lengannya. “Sebentar.” “Kenapa?”

“Jeannie, aku senang berteman dan menghabiskan waktuku bersamamu, tapi kau
juga harus mengerti bahwa bukan hanya itu yang kuinginkan.”

“Aku tahu itu.”

429

“Aku jatuh cinta padamu.”


Jeannie melihat ke dalam matanya. Rupanya ia betul-betul tulus. “Aku juga
mulai merasa tergantung padamu,” ujarnya dalam nada ringan.

“Aku ingin bercinta denganmu, dan aku begitu menginginkannya, sampai terasa
menyakitkan.”

Aku tidak berkeberatan menbicarakan hal-hal seperti ini dengannya sepanjang


hari. pikir Jeannie. “Begini,” katanya, “kalau nafsu bercintamu sebesar nafsu
makanmu, aku adalah milikmu.”

Steve tampak kecewa, dan Jeannie menyadari bahwa ia telah salah ucap.

“Maafkan aku,” ujarnya. “Bukan maksudku untuk melucu.”

Steve angkat bahu.

Jeannie meraih tangannya. “Dengar. Mula-mula kita akan melakukan sesuatu


untuk menyelamatkan aku. Kemudian kita akan menyelamatkanmu. Sesudah itu
baru kita berhura-hura.”

Steve meremas tangan Jeannie. “Oke.”

Mereka melangkah keluar. “Ayo kita naik satu mobil saja,” ujar Jeannie. “Kau
akan kuantar untuk menjemput mobilmu nanti.”

Mereka masuk ke dalam Mercedes Jeannie. Radionya langsung berbunyi pada


saat ia menyalakan mesinnya. Saat melesat di’antara keramaian 41st Street,
Jeannie mendengar pembaca siaran berita menyebutkan sesuatu mengenai
Genetico. Ia membesarkan volume radionya. ‘Senator Jim Proust, mantan kepala
CIA, diharapkan akan memberikan konfirmasinya hari ini untuk mewakili Partai
Republik dalam pemilihan calon presiden tahun depaa Dia menjanjikan dalam
kampanyenya sepuluh persen pajak pemasukan, yang akan disalurkan sebagai
dana untuk kesejahteraan. Pendanaan kampanye itu bukan masalah, komentar
sebuah sumber, mengingat dia akan menerima enam puluh juta dolar dari
transaksi

430

pengambilalihan perusahaan riset medisnya, Genetico. Dalam bidang olahraga,


Philadelphia Rams…”
Jeannie mematikan radio itu. “Apa komentarmu mengenai itu?’*

Steve menggeleng-gelengkan kepalanya dengan prihatin. “Taruhannya semakin


tinggi,” ujarnya “Kalau kita bongkar kisah Genetico yang sebenarnya, lalu
penawaran akuisisi itu dibatalkan, Jim Proust tidak bakal bisa menutupi
kampanye pencalonannya sebagai presiden. Sementara itu, Proust seorang tokoh
yang benar-benar keras; tidak punya hati nurani, mantan CIA, tidak mendukung
soal pembatasan pemilikan senjata, dan lain-lain. Kau sedang menghalangi jalan
beberapa tokoh yang amat berbahaya, Jeannie.”

Jeannie mengertakkan giginya. “Itu membuat segalanya menjadi lebih layak


diperjuangkan. Aku dibesarkan dengan dana kesejahteraan, Steve. Kalau Proust
sampai menjadi presiden, gadis-gadis seperti aku akan selamanya menjadi
penata rambut.”

431

BAB 39

Sekelompok pengunjuk rasa berdiri di luar Hillside Hall, gedung kantor tata
usaha Jones Falls University. Sekitar tiga puluh atau empat puluh orang
mahasiswa, yang kebanyakan wanita, bergerombol di muka tangganya.
Suasananya tenang dan tertib. Begitu berada lebih dekat, Steve membaca sebuah
spanduk:

Kembalikan Posisi Ferrami Sekarang Juga!

Di mata Steve, mi suatu pertanda baik. “Mereka mendukungmu,” ujarnya pada


Jeannie.

Jeannie memusatkan perhatiannya ke arah tulisan tulisan itu. Secercah rona


membayang di wajahnya. “Rupanya begitu. Wauw, jadi ada yang sayang juga
padaku.”

Sebuah spanduk lain berbunyi:

Jangan lakukan ini pada JF

Sambutan meriah terdengar begitu mereka melihat Jeannie. Jeannie


menghampiri mereka sambil tersenyum Steve mengikutinya dari belakang.
Tidak semua profesor

432

akan menerima dukungan demikian spontan dari para mahasiswa. Jeannie


berjabat tangan dengan yang laki-laki, serta mencium yang perempuan. Steve
menyadari bahwa dirinya sedang diawasi oleh seorang wanita pirang yang
cantik.

Jeannie merangkul seorang wanita yang lebih tua di dalam kerumunan itu.
“Sophie!” serunya. “Aku harus bilang apa?”

“Semoga sukses di dalam sana.” ujar wanita itu.

Jeannie menarik dirinya dari kerumunan orang dengan wajah berseri, lalu
mereka melangkah ke arah gedung itu. Steve berkata, “Yah, mereka menganggap
kau harus mempertahankan posisimu.”

“Aku nggak bisa ungkapkan kepadamu betapa besar artinya itu bagiku,” ujar
Jeannie. “Wanita yang lebih tua itu adalah Sophie Chappie, seorang profesor di
departemen psikologi. Aku mengira dia benci padaku Aku masih nggak bisa
percaya bahwa dia berdiri di sana untuk memberikan dukungannya padaku.”

“Siapa cewek cantik yang berdiri di deretan depan?”

Jeannie menatapnya dengan aneh. “Kau tidak mengenalinya?”

“Aku yakin aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi dia terus mengawasi aku.”
Kemudian ia menebak. “Astaga, tentunya dia si korban.”

“Lisa Hoxton.”

“Pantas dia terus mengawasi aku.” Steve menoleh ke belakang lagi. Gadis itu
cantik dan lincah, posturnya pendek dan agak gemuk. Ia telah disergap oleh
kembaran Steve, diempaskan ke lantai, dan dipaksa untuk melayaninya. Suatu
perasaan marah melanda Steve. Ia cuma seorang wanita muda biasa, tapi kini
mimpi buruk itu akan terus menghantuinya seumur hidup.

Bangunan tata usaha itu dulunya sebuah rumah tua yang megah. Jeannie
menggiring Steve melintasi sebuah serambi berlantai marmer, melalui sebuah
pintu yang

433

ditandai dengan tulisan Old Dining Room, ke dalam sebuah ruangan suram
bergaya baronial langit-langit tinggi, jendela-jendela Gotik yang sempit, dan
perabotan berkaki besar dari kayu ek. Sebuah meja panjang berdiri di muka
pendiangan dari ukiran batu.

Empat orang laki-laki dan seorang wanita setengah baya duduk di belakang meja
itu. Steve mengenali laki-laki gundul yang duduk di tengah-tengah sebagai
lawan main tenis Jeannie, Jack Budgen. Jadi, inilah komitenya, ujarnya pada
dirinya—grup yang akan menentukan nasib Jeannie di masa mendatang. Ia
menarik napas dalam-dalam.

Sambil mendoyongkan tubuh ke muka, ia menjabat tangan Jack Budgen dan


berkata, “Selamat pagi, Dr. Budgen. Aku Steven Logan. Kita sudah berbincang-
bincang kemarin.” Instinguya mulai mengambil alih situasi, dan dari dalam
dirinya memancar rasa percaya diri yang menenangkan, yang sebetulnya
berlawanan dengan apa yang sedang ia rasakan. Ia berjabat tangan dengan
masing-masing anggota komite, dan mereka menyebutkan nama mereka.

Masih ada dua orang lagi yang duduk” di sebuah meja di pojok. Laki-laki
bertubuh kecil dalam setelan jas berwarna biru laut adalah Berrington Jones,
yang berjumpa dengan Steve pada hari Senin yang lalu. Laki-laki kurus
berambut warna pasir dalam setelan jas abu-abu bergaris halus tentunya Henry
Quinn. Steve berjabat tangan dengan kedua laki-laki itu.

Quinn menatapnya dengan pandangan angkuh, lalu berkala “Sudah berapa


banyak pengalamanmu, anak muda?”

Steve tersenyum ramah ke arahnya, kemudian dalam nada rendah, sehingga


tidak mungkin terdengar oleh yang lain, ia menjawab, “Sial kau, Henry.”

Quinn menggerenyit, seakan baru kena tampar, sementara Steve berkata pada
dirinya, “Itu terakhir kali dia melecehkan aku.”

434

Ia menarik sebuah kursi untuk Jeannie, lalu mereka berdua duduk.


“Oke, mungkin ada baiknya kita segera mulai,” ujar Jack. “Prosedur ini bersifat
tidak formal. Dan saya yakin semua sudah menerima copy dari rubrik ini, serta
paham mengenai peraturan-peraturannya. Tuntutan dilakukan oleh Profesor
Berrington Jones, yang mengusulkan agar Dr. Jean Ferrami dibebastugaskan
karena telah mencemarkan reputasi Jones Falls University.”

Saat Budgen membuka acara itu, Steve mengawasi para anggota komite, sambil
berharap ada tanda-tanda yang menunjukkan simpati. Situasinya ternyata tidak
begitu meyakinkan. Hanya si wanita, Jane Edelsborough, yang mau menatap
Jeannie; yang lain menghindari tatapan matanya. Empat berbanding satu, pada
bahak awal, ujar Steve pada dirinya. Tidak begitu baik.

Jack berkata”, “Berrington diwakili oleh Mr. Quinn.”

Quinn berdiri, lalu membuka tas kerjanya. Steve melihat ada noda kekuningan
bekas rokok pada jari-jarinya. Ia mengeluarkan setumpuk copy artikel New York
Times yang sudah diperbesar mengenai Jeannie, yang kemudian ia bagikan
kepada semua yang hadir di ruangan itu. Meja yang digunakan sidang itu jadi
penuh dengan lembaran-lembaran kertas yang berbunyi KEETISAN
PENELITIAN GEN: KERESAHAN, KECEMASAN, DAN SUATU
KETIDAKSEPAKATAN. Pengingat nyata yang andal akan masalah yang
ditimbulkan Jeannie. Steve berandai ia juga memiliki kertas-kertas semacam itu
untuk dibagikan, sehingga ia dapat menutup berkas-berkas yang disebar Quinn.

Gebrakan sederhana dan efektif dari Quinn ini membuat Steve merasa
diintimidasi. Bagaimana mungkin ia dapat bersaing dengan seorang laki-laki
yang mungkin sudah punya pengalaman selama tiga puluh tahun dalam sidang
pengadilan? Aku tidak bisa memenangkan ini,

435

ujarnya pada dirinya, sementara kepanikan mulai melandanya.

Quinn mulai membuka mulut. Suaranya bersih dan tepat, tanpa aksen sedikit
pun. Gaya bicaranya tenang dan sok menguliahi. Steve berharap ia
menggunakan pendekatan yang keliru dalam menghadapi sidang juri yang terdiri
atas kaum intelektual yang -tidak butuh penguraian secara mendetail. Quinn
memberikan rangkuman sejarah komite penerapan disiplin itu serta menjelaskan
posisinya dalam tata organisasi universitas. Ia mendefinisikan arti
“mencemarkan reputasi”, lalu menampilkan copy kontrak kerja Jeannie. Steve
merasa lebih enak saat Quinn mulai melantur.

Akhirnya ia menyelesaikan bagian pembukaannya, lalu mulai mengajukan


pertanyaan-pertanyaan kepada Berrington. Ia mengawalinya dengan
menanyakan kapan Berrington pertama kali mendengar tentang program
pelacakan komputer Jeannie.

“Pada hari Senin sore yang lalu,” sahut Berrington. la mengulangi isi percakapan
antara dirinya dan Jeannie. Ceritanya ternyata tidak jauh berbeda dengan apa
yang pernah diungkapkan Jeannie kepada Steve.

Kemudian Berrington berkata, “Begitu aku mengerti tekniknya, kukatakan


padanya bahwa menurutku tindakan itu ilegal.”

Jeannie langsung berteriak: “Apa?”

Quinn tidak menggubrisnya dan bertanya kepada Berrington. “Lalu bagaimana


reaksinya?”

“Dia marah-marah…”

“Kau bohong!” seru Jeannie.

Berrington menjadi rikuh mendengar tudingan itu

Jack Budgen menengahi. “Mohon jangan dipotong,” ujarnya.

Steve mengawasi reaksi para anggota komite. Mereka semua menoleh ke arah
Jeannie; mau tak mau. Steve

436

mencengkeram lengan Jeannie, seakan untuk menahannya.

“Omongannya tidak benar!” protes Jeannie.

“Lalu apa yang kauharapkan?” sahut Steve dalam nada rendah. “Ini kan cuma
siasatnya.”

“Aku minta maaf.” bisik Jeannie.


“Tidak usah,” sahut Steve di telinganya. “Jangan kau tahan-tahan Mereka akan
melihat bahwa amarahmu tidak dibuat-buat”

Berrington melanjutkan, “Dia menjadi berangasan, persis seperti sekarang. Dia


mengatakan kepadaku bahwa dia berhak melakukan apa yang mau dia lakukan;
dia memiliki kontrak.”

Salah seorang anggota komite, Tenniel Biddenham, mengerutkan alis, jelas-jelas


tak senang bahwa seorang anggota staf fakultas yang lebih muda menggunakan
kontraknya untuk menyudutkan profesornya. Berrington memang lihai, pikir
Steve. Ia tahu cara mengubah suatu situasi agar menguntungkan bagi dirinya.

Quinn bertanya kepada Berrington. “Lalu apa yang Anda lakukan?”

“Yah, aku mulai menyadari bahwa mungkin aku salah. Aku bukan pengacara.
Karena itu aku memutuskan untuk meminta advis secara hukum. Kalau apa yang
kukhawatirkan ternyata relevan, aku bisa mengambil tindakan yang diperlukan.
Tapi jika ternyata apa yang dilakukannya tidak merugikan siapa-siapa, aku akan
melupakan seluruh peristiwa itu.”

“Dan Anda menghubungi seorang pengacara?”

“Ternyata aku sudah kedahuluan Sebelum aku sempat menemui seorang


pengacara, berita itu sudah sampai ke tangan New York Times.”

“Bohong!” bisik Jeannie.

“Kau yakin?” tanya Steve padanya.

“Ya.”

Ia membuat catatan.

437

“Tolong ceritakan pada kami apa yang terjadi pada hari Rabu itu,” ujar Quinn
kepada Berrington.

“Apa yang kukhawatirkan ternyata menjadi kenyataan. Pimpinan universitas,


Maurice Obell, memanggilku ke kantornya dan meminta aku menjelaskan
kenapa dia ditelepon secara gencar oleh pihak pers mengenai suatu riset di
departemenku. Kami membuat konsep pernyataan untuk pers sebagai suatu basis
untuk diskusi, lalu kami memanggil Dr. Ferrami.”

“Ya Tuhan!” gumam Jeannie.

Berrington melanjutkan, “Dia menolak untuk membahas pernyataan pers itu.


Sekali lagi dia marah-marah tidak keruan, menekankan bahwa dia dapat
melakukan apa yang ingin dia lakukan, lalu menghambur keluar.”

Steve menoleh dengan tatapan bertanya ke arah Jeannie. Dalam nada rendah
Jeannie berkata, “Lihai sekali. Mereka menyodorkan surat pernyataan pers itu
kepadaku sebagai sebuah fait accompli.”

Steve mengangguk, namun memutuskan untuk tidaic menekankan masalah ini


dalam giliran tanya-jawabnya. Pihak komite mungkin akan berpendapat bahwa
tidak seharusnya Jeannie menghambur keluar dengan begitu saja dari ruangan
itu.

“Si reporter mengungkapkan kepada kami bahwa dia hams mengejar deadline-
nya sore itu,” sambung Berrington dalam nada meyakinkan. “Dr. Obell
memutuskan bahwa pihak universitas harus mengeluarkan suatu pernyataan
tegas, dan harus kuakui bahwa aku sependapat dengannya.”

“Dan apakah pernyataan yang Anda keluarkan memperoleh tanggapan


sebagaimana yang Anda harapkan?”

“Tidak. Situasinya malah semakin kacau. Tapi itu benar-benar karena ulah Dr.
Ferrami. Dia menyatakan kepada si reporter bahwa dia bertekad untuk mengabai

438

kan peringatan kami dan bahwa tidak ada yang dapat kami lakukan mengenai
itu.”

“Apakah ada pihak lain di luar kalangan universitas yang menanggapi cerita
ini?”

“Tentu saja ada.”


Cara Berrington menjawab pertanyaan itu membuat Steve tergugah, dan ia
membuat catatan.

“Aku ditelepon oleh Preston Barck, presiden direktur Genetico, yang juga donor
utama bagi universitas kita, yang secara khusus mendanai seluruh program riset
mengenai kekembaran itu,” ujar Berrington. “Wajar jika dia prihatin mengenai
cara uangnya digunakan. Artikel itu menampilkan kesan seakan pihak yang
berwewenang di universitas ini betul-betul impoten. Preston mengatakan
kepadaku, ‘Siapa yang mengelola sekolah itu sebenarnya?’ Memalukan sekali.”

“Apa yang membuat Anda begitu prihatin? Perasaan rikuh karena merasa
dilecehkan oleh seorang anggota staf fakultas yang lebih-muda?”

“Tentu saja tidak. Yang menjadi masalah adalah rusaknya nama baik Jones Falls
gara-gara ulah Dr. Ferrami.”

Gebrakan bagus, ujar Steve pada dirinya. Jauh di bawah sadar mereka, para
anggota komite itu tentunya tidak suka dilecehkan oleh seorang asisten profesor.
Berrington berhasil memenangkan simpati mereka. Tapi Quinn langsung
bergerak untuk mengangkat seluruh permasalahan ini ke tingkatan yang lebih
tinggi, sehingga mereka dapat mengatakan kepada diri mereka sendiri bahwa
dengan memecat Jeannie, mereka melindungi reputasi universitas, bukan sekadar
menghukum seorang bawahan yang keterlaluan.

Berrington berkata, “Sebuah universitas hendaknya cukup peka dalam


menghadapi isu-isu yang berhubungan dengan keleluasaan pribadi. Kita
menerima uang dari para donor, dan para mahasiswa bersaing keras untuk
mendapatkan tempat di sini, karena universitas ini me

439

rupakan salah sebuah institusi pendidikan paling terkemuka di negeri ini.


Tudingan bahwa kita kurang memperhatikan hak sipil pribadi amatlah
merugikan.”

Suatu formulasi yang mengena, dan seluruh jajaran rupanya sependapat Steve
mengangguk untuk menunjukkan bahwa ia pun menyetujui itu, sambil berharap
mereka akan melihat dan menarik kesimpulan bahwa ini bukan pokok
permasalahannya saat ini.
Quinn bertanya kepada Berrington, “Jadi, berapa banyak pilihan yang Anda
hadapi sejauh ini?”

“Cuma satu. Kita harus menunjukkan bahwa kita tidak merestui tindakan
melanggar hak keleluasaan pribadi yang dilakukan oleh para peneliti universitas
ini. Kita juga harus menunjukkan bahwa kita memiliki wewenang untuk
menerapkan peraturan-peraturan kita sendiri. Caranya adalah dengan memecat
Dr. Ferrami. Tidak ada alternatif lain.”

“Terima kasih, Profesor,” ujar Quinn, lalu duduk.

Steve merasa pesimis. Ternyata Quinn memang selihai yang diduganya. Ucapan-
ucapan Berrington betul-betul meyakinkan. Ia telah berhasil tampil sebagai
sosok berkepala dingin dan amat prihatin yang sedang mengupayakan jalan
keluar dalam menghadapi seorang bawahan yang berangasan dan urakan. Cara
yang amat meyakinkan untuk merangkum suatu kenyataan: Jeannie memang
berangasan.

Tapi situasinya bukan begitu. Hanya itulah pegangan Steve. Jeannie berada di
pihak yang benar. Ia hanya perlu membuktikan itu.

Jack Budgen berkata, “Ada pertanyaan-pertanyaan yang ingin Anda ajukan, Mr.
Logan?”

“Tentu,” sahut Steve. Sesaat ia menahan napas, untuk mengumpulkan seluruh


pikirannya.

Ini merupakan momentum yang diimpi-impikannya. Ia tidak berada di dalam


ruang pengadilan: ia bahkan belum menjadi seorang pengacara sungguhan, tapi
ia

440

sedang membela sosok kambing hitam melawan ketidakadilan suatu institusi


yang amat berwibawa. Situasinya tidak menguntungkan baginya, namun
kebenaran berada di pihaknya. Inilah yang menjadi angan-angannya.

Ia berdiri, lalu mengarahkan pandangannya lurus-lurus kepada Berrington.


Andai kata teori Jeannie memang benar, laki-laki itu akan merasa rikuh dalam
menghadapi situasi begini. Ibarat Dr. Frankenstein sedang diinterogasi oleh
monster ciptaannya sendiri. Steve ingin memanipulasi itu sedikit, untuk
menggoyahkan Berrington, sebelum mulai melontarkan pertanyaan-
penanyaannya.

“Anda mengenal aku, bukan, Profesor?” ujar Steve.

Berrington tampak agak terkesima. “Oh… rasanya kita pernah bertemu pada hari
Senin, ya.”

“Dan Anda tahu mengenai diriku.”

“A-aku… tidak begitu mengerti maksud Anda.”

“Aku menjalani tes selama sehari di laboratorium Anda, sehingga Anda tentunya
memiliki banyak informasi mengenai diriku.”

“Aku mengerti sekarang maksud Anda, ya.”

Berrington tampak serba salah.

Steve bergerak ke belakang kursi yang diduduki Jeannie, sehingga mereka


semua terpaksa menatap ke arahnya. Tentunya lebih sulit berpikir negatif
mengenai seseorang yang secara polos dan amat terbuka akan membalas
tatapanmu.

“Profesor, izinkan aku memulai dengan pernyataan Anda yang pertama, di mana
Anda menyatakan niat Anda untuk mendapatkan advis secara hukum setelah
pembicaraan Anda dengan Dr. Ferrami pada hari Senin.”

“Ya.”

“Anda tidak sampai menemui seorang pengacara.” “Betul, aku kedahuluan oleh
beberapa peristiwa.” “Anda tidak membuat perjanjian untuk bertemu dengan
seorang pengacara.”

441

“Waktunya tidak cukup….”

“Dalam tenggang waktu dua hari antara percakapan Anda dengan Dr. Ferrami
dan pembicaraan Anda dengan Dr. Obell mengenai artikel di New York Times,
Anda bahkan iidak pernah meminta sekretaris Anda untuk membuat perjanjian
dengan seorang pengacara.”

“Memang tidak.”

“Pun Anda tidak meminta rekomendasi siapa-siapa, atau mendiskusikannya


dengan salah satu kolega Anda, untuk menemukan seseorang yang cukup andal.”

“Betul.”

“Nyatanya Anda tidak cukup marnpu untuk memperkuat pernyataan ini.”

Berrington tersenyum penuh percaya diri. “Tapi aku memiliki reputasi sebagai
orang yang jujur.”

“Dr. Ferrami masih ingat dengan jelas isi pembicaraan itu.”

“Bagus.”

“Menurutnya, Anda tidak pernah menyinggung soal masalah legal atau


pelanggaran hak keleluasaan pribadi. Yang Anda pertanyakan ketika itu
hanyalah apakah sarana itu dapat diandalkan.”

“Mungkin dia lupa mengenai itu.”

“Atau mungkin Anda yang keliru ingat.” Steve merasa ia memenangkan bagian
itu, kemudian dengan cepat ia mengubah siasatnya. “Apakah reporter New York
Times, Ms. Freelander, mengungkapkan kepada Anda dari mana dia tahu
mengenai apa yang sedang ditekuni Dr. Ferrami?”

“Andai kata itu memang dia lakukan, Dr. Obell tidak meneruskannya kepadaku.”

“Jadi, Anda tidak mempertanyakan itu?” “Tidak.”

“Apakah terpintas dalam diri Anda untuk mempertanyakan dari mana dia tahu?”

442

“Kukira para reporter tentunya memiliki sumber-sumber mereka.”


“Mengingat Dr. Ferrami belum pernah mempublikasi apa-apa mengenai proyek
ini, sumber itu tentunya salah seorang individu.”

Berrington tampak bingung, lalu menoleh ke arah Quinn untuk mendapatkan


arahan. Quinn berdiri. “Sir,” ujarnya ke arah Jack Budgen. “Sebaiknya saksi
tidak diarahkan untuk berspekulasi.”

Budgen mengangguk.

Steve berkata, “Tapi sidang pemeriksaan ini bersifat informal—kita tidak usah
terlalu terikat pada tata krama pengadilan yang kaku.”

Jane Edelsborough membuka mulutnya untuk pertama kali. “Pertanyaan itu


sepertinya menarik dan cukup relevan bagiku. Jack.”

Berrington melontarkan pandangan marah ke arahnya, namun Jane hanya angkat


bahu, seakan minta maaf. Suatu gerakan yang berkesan intim, dan Steve mulai
mempertanyakan bagaimana hubungan di antara kedua orang itu.

Budgen menunggu, mungkin mengharapkan komentar dari salah seorang


anggota komite lain sebelum mengambil keputusan sebagai ketua; namun tidak
ada yang bereaksi. “Baik,” sahutnya selang beberapa saat. “Silakan dilanjutkan,
Mr. Logan.”

Steve hampir tak percaya bahwa ia memenangkan bahak pertama ini. Rupanya
para profesor kurang berkenan dikuliahi seorang pengacara yang sok mapan
mengenai apa yang sah dan apa yang tidak sah dalam suatu proses interogasi.
Tenggorokannya terasa kering menahan rasa tegang. Ia menuang air dari sebuah
wadah ke dalam gelas dengan tangan bergetar.

Ia minum seteguk, kemudian mengalihkan perhatiannya kembali kepada


Berrington. “Ternyata Ms. Freelander tahu lebih banyak, bukan hanya secara
umum, tentang pekerjaan Dr. Ferrami, bukan?”

443

“Ya.”

“Dia tahu persis cara Dr. Feirami melacak pasangan kembar identik yang
dibesarkan secara terpisah melalui sistem database nya Ini merupakan suatu
teknik baru, yang dikembangkan oleh Dr. Ferrami sendiri, dan hanya diketahui
oleh Anda dan beberapa kolega lain di departemen psikologi.”

“Kalau ingin Anda katakan begitu.”

“Sepertinya informasi ini berasal dari dalam departemen itu sendiri, bukan?”

“Mungkin.”

“Motivasi apa yang mungkin dimiliki seorang kolega untuk mempublikasi


secara negatif kegiatan serta pekerjaan Dr, Ferrami?”

“Aku sungguh-sungguh tidak tahu.”

“Tapi sepertinya ini ulah seorang saingan yang berhati jahat, atau mungkin iri—
bukankah begitu?”

“Mungkin.”

Steve mengangguk dengan puas. Ia merasa menemukan arah, menguasai


medannya. Ia mulai merasa mungkin ia toh bisa menang.

Jangan terlalu terbawa, ujarnya mengingatkan diri. Berhasil mengumpulkan


angka belum berarti kau akan menang.

“Bagaimana kalau kita melangkah ke pernyataan Anda yang kedua? Ketika Mr.
Quinn menanyakan kepada Anda apakah ada pihak-pihak di luar kalangan
universitas yang menanggapi artikel surat kabar itu. Anda menjawab, ‘Tentu saja
ada.’ Apakah Anda masih akan mempertahankan pernyataan itu?”

“Ya.”

“Persisnya berapa kali Anda menerima telepon dari para donor universitas ini,
kecuali yang Anda terima dari Preston Barck?”

“Ehm, aku sempat berbicara dengan Herb Abrahams…”

Steve dapat merasakan bahwa Berrington sedang ber—

444
usaha menutupi sesuatu. “Maaf memotong Anda, Profesor.” Berrington tampak
tertegun, namun ia mendengarkan. “Mr. Abrahams-kah yang menelepon Anda,
atau sebaliknya?”

“Ehm. rasanya aku yang menelepon Herb.”

“Kita akan bahas itu kembali nanti. Kini sebutkanlah berapa banyak donor yang
menelepon Anda untuk mengekspresikan keprihatinan mereka mengenai
tudingan yang dilancarkan New York Times!”

Berrington tampak kelabakan “Rasanya memang tidak ada yang secara khusus
menelepon aku mengenai itu.”

“Berapa banyak di antara para mahasiswa yang berpotensi yang menelepon


Anda?” “Tidak ada.”

“Sebenarnya apakah ada yang menelepon Anda untuk membahas soal artikel
itu?” “Kukira tidak.”

“Apakah Anda menerima surat sehubungan dengan topik itu?” “Belum.”

“Rupanya situasinya tidak sampai menimbulkan kegemparan, kalau begitu.”

“Kukira Anda tidak bisa menarik kesimpulan seperti itu.”

Jawabannya kurang meyakinkan, dan Steve berhenti sebentar untuk membiarkan


itu meresap. Berrington tampak rikuh. Komite itu mulai bangun dan mengikuti
seluruh perkembangan. Steve menoleh ke arah Jeannie. Wajahnya tampak
terang, penuh harapan.

Steve melanjutkan lagi. “Sekarang mari kita bahas soal satu-satunya telepon
yang pernah Anda terima, dari Preston Barck, pimpinan Genetico. Dari cara
Anda mengatakannya, timbul kesan bahwa dia hanya prihatin sebagai seorang
donor mengenai cara uang yang disumbangkannya digunakan, tapi di balik itu
masih ada

445

sesuatu, bukan? Kapan Anda berjumpa dengannya untuk pertama kali?”


“Ketika aku masih di Harvard, sekitar empat puluh tahun yang lalu.”

“Tentunya dia salah seorang teman lama Anda.”

“Ya.”

“Dan kemudian setahuku Anda mendirikan Genetico bersamanya.” “Betul.”

“Jadi, dia juga partner Anda dalam bisnis.” “Ya.”

‘Terusahaan itu sedang dalam proses diambil alih oleh Landsmann, sebuah
konglomerasi farmasi Jerman.” “Ya.”

“Tentunya Mr. Barck akan mendapat banyak uang dari transaksi


pengambilalihan itu.” “Pasti.”

“Berapa banyak?” “Kukira itu rahasia.”

Steve memutuskan untuk tidak menyudutkannya mengenai masalah jumlah itu.


Keengganan Berrington untuk mengungkapkannya sudah cukup berdampak
negatif.

“Seorang teman lain Anda juga akan memperoleh bagian: Senator Proust.
Menurut siaran berita hari ini, dia akan menggunakan dana itu untuk
kampanyenya dalam rangka pemilihan calon presiden.”

“Aku tidak mengikuti siaran berita pagi ini.”

‘Tapi Jim Proust teman Anda, bukan? Tentunya Anda tahu bahwa dia berniat
mencalonkan dirinya sebagai presiden.”

“Kurasa semua orang tahu mengenai niatnya.” “Apakah Anda juga akan
mendapat bagian dari transaksi pengambilalihan itu?” “Ya.”

Steve menjauh dari Jeannie dan mulai melangkah ke arah Berrington, supaya
semua mata tertuju ke arah

446

Berrington. “Jadi, Anda seorang pemegang saham, bukan sekadar konsultan.”


“Itu hal biasa.”
“Profesor, berapa yang akan Anda peroleh dari tran- , -saksi pengambilalihan
ini?” “Kukira itu soal pribadi.”

Steve tidak berniat melepaskannya kali ini. “Setidaknya, harga yang akan
dibayar untuk perusahaan itu adalah seratus delapan puluh juta dolar, menurut
Wall Street Journal.”

“Ya.”

Steve mengulangi jumlah itu. “Seratus delapan puluh juta dolar.” Ia menunggu
selama beberapa saat, untuk menciptakan suasana hening mencekam. Jumlah
sebesar itu tidak akan pernah terbayang oleh para profesor. Ia ingin menanamkan
kesan di hati para anggota komite itu bahwa Berrington sama sekali bukan salah
satu di antara mereka, melainkan dari suatu kelas yang lain. “Anda salah satu di
antara tiga orang yang akan memperoleh bagian dari seratus delapan puluh juta
dolar itu.”

Berrington mengangguk.

“Jadi, Anda punya alasan untuk merasa resah begitu Anda tahu mengenai artikel
dalam New York Times itu. Teman Anda Preston akan menjual perusahaannya,
teman Anda Jim akan mencalonkan dirinya sebagai presiden, dan Anda akan
memperoleh harta karun. Anda yakin bahwa reputasi Jones Falls-lah yang ada
dalam pikiran Anda pada saat Anda memutuskan untuk memecat Dr. Ferrami?
Ataukah ada hal lain? Terus terang saja, Profesor, Anda menjadi panik.”

“A-aku…”

“Anda membaca suatu artikel yang sama sekali tidak menguntungkan di surat
kabar. Anda membayangkan proses pengambilalihan itu bakal terganggu, lalu
Anda buru-buru mengambil tindakan. Anda membiarkan diri Anda digebrak
New York Times.”

447

“Apa yang dilakukan New York Times tidak cukup untuk menggebrakku, anak
muda. Aku langsung mengambil tindakan yang dibutuhkan, tapi tidak secara
terburu-buru.”

“Anda sama sekali tidak berusaha melacak sumber informasi harian itu.”
“Betul.”

“Berapa hari Anda habiskan untuk menyidik kebenaran apa yang ditudingkan
itu?”

“Aku tidak membutuhkan waktu lama…” “Hanya beberapa jam, bukan beberapa
hari?” “Ya…”

“Atau malah kurang daripada sejam sebelum Anda mengeluarkan pernyataan


pers yang menyatakan bahwa program Dr. Ferrami tidak akan dilanjutkan lagi.”

“Aku yakin lebih dari sejam.”

Steve angkat bahu. “Kita beri kelonggaran. Katakanlah dua jam. Apakah itu
cukup lama?” Ia memutar tubuh, lalu menunjuk Jeannie, supaya mereka semua
mengalihkan perhatian mereka ke arahnya. “Dalam waktu dua jam Anda
memutuskan untuk membuyarkan seluruh program riset seorang ilmuwan
muda?” Kepedihan membayang di wajah Jeannie. Steve merasa terenyuh
melihat reaksinya. Tapi ia harus mempermainkan emosinya, demi kebaikannya
sendiri. Ia mengorek luka itu lebih dalam. “Setelah dua jam, Anda tahu cukup
banyak untuk mengambil keputusan menghancurkan suatu pekerjaan bertahun-
tahun? Cukup untuk mengakhiri suatu karier yang menjanjikan. Cukup untuk
memorak-porandakan kehidupan seorang wanita?”

“Aku sudah memberi kesempatan padanya untuk membela diri,” ujar


Berrington. “Tapi dia tidak bisa menguasai diri, lalu menghambur keluar mangan
dengan begitu saja!”

Steve tampak menimbang-nimbang, kemudian memu—

448

tuskan untuk mengambil risiko. “Dia menghambur keluar dengan begitu saja!”
ulangnya dalam nada seakan-akan tercengang. ‘T)ia menghambur keluar
mangan dengan begitu saja! Anda telah menyodorkan ke arahnya sebuah
pernyataan pers yang mengumumkan pembuyaran programnya. Tanpa menyidik
sumber informasi harian itu, tanpa memeriksa kebenaran tudingan itu, tanpa
kesempatan untuk mendiskusikannya, tanpa proses apa-apa sama sekali—Anda
menyatakan dengan begitu saja kepada ilmuwan muda ini bahwa seluruh
hidupnya hancur—dan yang dia lakukan hanyalah menghambur keluar, dari
ruangan itu dengan begitu sajaT* Berrington membuka mulutnya untuk
mengatakan sesuatu, namun Steve tidak memberikan kesempatan padanya.
“Sewaktu aku mendengar tentang ketidakadilan, ketidaklegalan, kekonyolan
tindakan Anda pada hari Rabu pagi itu, Profesor, tidak terbayang olehku
bagaimana Dr Ferrami dapat menahan dan mengontrol dirinya dengan hanya
bereaksi sesederhana itu.” Steve melangkah kembali ke tempat duduknya,
memutar tubuhnya menghadap komite itu, lalu berkata, “Tidak ada pertanyaan
lagi.”

Jeannie melihat ke bawah, namun pada waktu bersamaan ia meremas lengan


Steve. Steve mendoyongkan tubuh ke arahnya, lalu berbisik, “Kau nggak apa-
apa?”

“Aku oke.”

Steve menepuk-nepuk punggung tangan Jeannie. Ingin rasanya ia mengatakan,


Kukira kita akan menang, tapi itu sama seperti menantang nasib.

Henry Quinn berdiri. Tampangnya tetap tenang. Seharusnya ia merasa lebih


waswas, setelah Steve melumat habis kliennya. Tapi tetap tampil penuh percaya
diri rupanya memang bagian dari keahliannya, tak peduli seberapa ruwet pun
kasusnya.

Quinn berkata, “Profesor, andai kata pihak universitas tidak melakukan tindakan
penghentian program riset Dr. Ferrami, dan tidak melakukan tindakan pemecatan

449

atas dirinya, apakah itu akan mempengaruhi proses pengambilalihan Genetico


oleh Landsmann?*’

“Sama sekali tidak,” sahut Berrington.

“Terima kasih. Tidak ada pertanyaan lagi.”

Itu benar-benar suatu gebrakan yang efektif, pikir Steve dengan getir. Semacam
membilas seluruh proses interogasi yang sudah dilakukannya. Steve mencoba
untuk tidak membiarkan Jeannie melihat kekecewaan yang membayang di
wajahnya.
Sekarang giliran Jeannie. Steve berdiri untuk memberi jalan. Dengan tenang dan
jelas Jeannie memberikan gambaran mengenai program risetnya, serta
menjelaskan relevansi ditemukannya suatu cara untuk menemukan pasangan
kembar identik yang dibesarkan secara terpisah dan pernah terlibat dalam
tindakan kriminal. Ia merinci tindakan-tindakan pengamanan yang dilakukannya
untuk memastikan bahwa detail-detail data medis seseorang tidak akan diotak-
atik sebelum yang bersangkutan menandatangani suatu pernyataan.

Steve sudah memperhitungkan bahwa Quinn akan mengajukan beberapa


pertanyaan kepadanya, dan mencoba membuktikan bahwa toh masih ada
kemungkinan, sekecil apa pun, bahwa suatu informasi secara tak sengaja bisa
terungkap Ia sudah mempersiapkan Jeannie untuk menghadapi situasi ini tadi
malam, dengan dirinya memainkan peran sebagai penuntut umum. Tapi di luar
dugaannya, Quinn tidak menanyakan apa-apa.- Apakah karena khawatir proses
bela diri Jeannie akan terdengar terlalu meyakinkan? Ataukah karena ia merasa
yakin bahwa rangkuman yang akan dibawakannya sudah cukup mantap?

Ia memulainya. Ia mengulangi apa-apa yang sudah disebutkan Berrington


sebelumnya, sekali lagi dengan merinci detail-detail yang menurut Steve kurang
begitu bijaksana darinya. Namun demikan, rangkumannya ternyata cukup
pendek. “Kita sedang menghadapi suatu

450

krisis yang seharusnya tidak usah terjadi,” ujarnya. “Pihak yang berwenang di
universitas ini telah menunjukkan sikap yang cukup bijaksana. Ulah gegabah
dan tidak kenal kompromi Dr. Ferrami-lah yang menyebabkan kehebohan ini.
Dia memang memiliki sebuah kontrak, dan kontrak itu mengatur hubungannya
dengan atasannya. Namun dari pihak staf senior fakultas, biar bagaimanapun,
dituntut untuk menyelia para anggota staf junior, yang andai kata mengerti, akan
mendengarkan arahan bijaksana dari mereka yang lebih tua dan berpengalaman
danpada mereka sendiri. Sikap keras kepala Dr. Ferrami me rubah suatu masalah
menjadi krisis, dan satu-satunya pemecahan untuk menghadapi krisis ini adalah
dia harus angkat kaki dari universitas ini.” Ia duduk kembali.

Kini giliran Steve memberikan rangkumannya, la sudah menghafal apa yang


akan ia katakan sepanjang malam. Ia berdiri.

“Untuk apa ada Jones Falls University?”


la berhenti untuk memberikan efek dramatis.

“Jawabannya mungkin boleh dirangkum dalam satu kata: ilmu. Jika kita
menginginkan definisi ringkas peran universitas ini dalam masyarakat Amerika,
bisa kita katakan bahwa fungsinya adalah untuk mencari ilmu dan menyebarkan
ilmu.”

Ia menatap para anggota komite itu satu per satu, untuk mengundang kata
sepakat mereka. Jane Edelsborough mengangguk. Yang lain menatapnya tanpa
bereaksi.

la melanjutkan, “Sekali waktu, fungsi ini menghadapi tantangan. Selalu ada


orang yang ingin menyembunyikan kebenaran, dengan alasan seperti motivasi
yang berbau politik, sikap prasangka keagamaan…” Ia menatap Berrington. “…
atau keuntungan komersial. Kukira semua yang hadir di sini sependapat bahwa
kebebasan intelektual di perguruan tinggi ini amat tergantung pada

451

reputasinya. Kebebasan itu harus seimbang dengan beberapa faktor lain,


tentunya, seperti kebutuhan untuk menaruh respek pada hak keleluasan pribadi
individu. Namun, suatu perlindungan hak yang mantap untuk mengejar ilmu
akan meningkatkan reputasi universitas di antara semua yang berpikiran luas.”

Ia mengayunkan tangan untuk menyatakan maksudnya. “Jones Falls amat berarti


bagi semua yang hadir di sini. Reputasi sebuah akademi bisa bangun dan jatuh
bersama institusi tempat sesorang bekerja. Aku meminta Anda sekalian
merenungkan kembali efek dari keputusan yang Anda ambil pada reputasi JFU
sebagai sebuah institusi akademis yang bebas dan mandiri. Apakah universitas
ini akan terpengaruh oleh rongrongan bernada picik di sebuah harian? Apakah
sebuah program riset ilmiah akan dibuyarkan begitu saja demi suatu penawaran
akuisisi yang komersial? Kuharap tidak. Kuharap pihak komite akan
mempertahankan reputasi JFU dengan menunjukkan bahwa sebetulnya yang
lebih relevan di sini adalah suatu nilai yang teramat sederhana: kebenaran.”
Steve menatap mereka, sambil membiarkan kata-katanya meresap. Ia tidak dapat
menebak, dari ekspresi di wajah mereka, apakah rangkumannya berhasil
menyentuh mereka atau tidak. Selang beberapa saat, ia duduk.

“Terima kasih,” ujar Jack Budgen. “Mohon agar semua, kecuali para anggota
komite, meninggalkan ruangan ini sementara kami berunding.”
Steve membukakan pintu untuk Jeannie, kemudian mengikutinya ke sebuah
lorong. Mereka meninggalkan bangunafc itu, lalu berdiri di bawah naungan
sebatang pohon. Wajah Jeannie pucat menahan ketegangan. “Bagaimana
menurutmu?” tanyanya.

“Kita pasti menang,” sahut Steve. “Kita di pihak yang benar.”

“Apa yang harus kulakukan kalau kita kalah?” ujar

452

Jeannie. “Pindah ke Nebraska? Mencari pekerjaan sebagai guru di sebuah


sekolah? Atau menjadi pramugari, seperti Penny Watermeadow?” “Siapa Penny
Watermeadow?”

Sebelum Jeannie dapat menjawab, sesuatu di balik punggung Steve membuatnya


termangu. Steve menoleh, lalu melihat Henry Quinn, dengan sebatang rokok.
“Kau lihai sekali di dalam sana,” ujar Quinn. “Kuharap kau tidak menganggap
aku melecehkanmu kalau aku mengatakan bahwa aku sungguh-sungguh
menikmati beradu kelihaian denganmu tadi.”

Jeannie mengeluarkan suara dengusan, lalu membuang muka.

Steve ternyata lebih dapat menguasai diri. Seorang pengacara memang harus
dapat bersikap seperti itu, ramah dalam menghadapi saingan mereka di luar
ruang pengadilan. Di samping itu, kelak ia mungkin akan mendapati dirinya
meminta pekerjaan pada Quinn. “Terima kasih,” sahutnya sopan.

“Argumentasimu bagus sekali,” sambung Quinn. Steve sama sekali tidak


menduga bahwa ia akan begitu terbuka. “Di pihak lain, dalam kasus seperti ini,
orang cenderung memperhatikan kepentingan mereka sendiri, dan seluruh
komite itu beranggotakan profesor-profesor senior. Akan sulit bagi mereka untuk
memihak seorang anggota staf junior dalam menghadapi seseorang dari
kalangan mereka sendiri, biar bagaimanapun argumentasinya.”

“Mereka kan kaum intelek,” ujar Steve. “Dari mereka dituntut sikap rasional.”

Quinn mengangguk. “Ucapanmu itu mungkin benar,” ujarnya. Ia menatap Steve


dengan pandangan spekulatif, lalu berkata, “Apa kau tahu, mengenai apa semua
ini sebetulnya!”
“Apa maksud Anda?” tanya Steve dalam nada waspada.

“Jelas bahwa Berrington khawatir mengenai sesuatu.

453

dan itu pasti bukan publisitas yang kurang menguntungkan. Aku


mempertanyakan pada diriku, apakah kau dan Dr. Ferrami menyadari itu.”

“Kurasa kami tahu,” ujar Steve. ‘Tapi kami belum dapat membuktikannya, saat
ini.”

“Jangan menyerah.” ujar Quinn. Ia menjatuhkan puntung rokoknya, kemudian


menginjaknya. “Moga-moga Jim Proust tidak terpilih menjadi presiden.” Ia
memutar tubuhnya.

Wauw, ujar Steve pada dirinya; seorang liberal.

Jack Budgen muncul, lalu memberikan isyarat untuk berkumpul. Steve


menggandeng lengan Jeannie, lalu mereka kembali ke mang sidang.

Steve mengamati wajah-wajah para anggota komite itu. Jack Budgen bertukar
pandang dengannya. Jane Edelsborough melontarkan seulas senyum ke arahnya.

Itu pertanda baik. Harapannya mulai membubung.

Mereka semua duduk.

Jack Budgen membenahi beberapa berkas kertas. “Kami mengucapkan terima


kasih kepada berbagai pihak untuk memungkinkan terselenggaranya sidang
pemeriksaan ini dengan baik.” la berhenti sebentar. “Keputusan ini kami ambil
dengan suara bulat. Kami merekomendasi senat universitas ini untuk memecat
Dr. Jean Ferrami. Terima kasih.”

Jeannie membenamkan kepala ke dalam tangannya.

454

BAB 40

Setelah sendirian, Jeannie mengempaskan tubuh ke tempat tidurnya untuk


menangis. Ia menangis untuk waktu lama. Ia memukuli bantalnya, meneriaki
dinding, serta melontarkan kata-kata paling jorok yang diketahuinya, sesudah itu
ia membenamkan wajahnya ke dalam selimut dan menangis lagi. Seprainya
menjadi basah oleh air mata dan bernoda hitam bekas maskara.

Setelab beberapa saat, ia berdiri, mencuci muka, lalu membuat kopi. “Kau kan
tidak divonis kena kanker,” ujarnya pada dirinya. “Ayo, bangun lagi.” Tapi
ternyata itu tidak mudah Ia memang tidak akan mati, tapi ia sudah kehilangan
semua yang ia perjuangkan seumur hidupnya.

Ia membayangkan dirinya di usia dua puluh satu tahun. Ia lulus summa cum
laude dan memenangkan Mayfair Lites Challenge di tahun yang sama. Ia melihat
dirinya di lapangan tenis, mengangkat tinggi-tinggi pialanya dalam gaya
tradisional seorang pemenang. Dunia seakan berada di bawah telapak kakinya.
Saat mengingat kembali semua itu. ia merasa seakan orang lainlah yang sedang
mengangkat penghargaan itu.

Ia duduk di sofanya sambil menikmati kopi. Ayahnya, si tua itu, telah mencuri
pesawat TV-nya, sehingga ia

455

tidak dapat menonton opera sahun yang konyol sekalipun untuk melupakan
kesedihannya. Ia bisa menghabiskan sebatang cokelat andai kata ia memilikinya.
Ia terpikir untuk minum salah satu obat penenang, tapi akhirnya memutuskan
bahwa itu akan membuatnya semakin tidak keruan. Pergi belanja? Jangan-jangan
nanti malah tangisnya meledak di mang ganti pakaian; selain itu, saat ini kondisi
keuangannya bahkan lebih buruk daripada sebelumnya.

Sekitar pukul dua, pesawat teleponnya berbunyi.

Jeannie membiarkannya berdering.

Namun si penelepon rupanya ngotot, dan ia menjadi bosan mendengar suara itu,
sehingga akhirnya ia toh mengangkatnya.

Ternyata dari Steve. Setelah sidang pemeriksaan itu, Steve kembali ke


Washington untuk menemui pengacaranya “Aku di kantornya saat ini,” ujarnya.
“Kami ingin kau menempuh jalan hukum untuk menuntut Jones Falls, untuk
mendapatkan daftar FBI itu kembali. Keluargaku yang akan menanggung
biayanya. Mereka menganggap kemungkinan menemukan si kembar ketiga akan
ada gunanya.”

Jeannie berkata, “Aku nggak peduli soal si kembar ketiga.”

Suasana hening selama beberapa saat. kemudian Steve berkata “Tapi itu sangat
berarti untukku.”

Jeannie menghela napas. Setelah semua yang harus kutanggung ini, aku masih
juga harus memikirkan Steve? Kemudian ia sadar. Tapi ia terus memikirkan aku.
Ia merasa malu. “Steve, aku minta maaf,” ujarnya. “Aku terlalu memikirkan
diriku sendiri. Tentu saja aku akan membantumu. Apa yang harus kulakukan?”

“Tidak ada. Pengacaraku akan pergi ke pengadilan, begitu mendapat lampu hijau
darimu.”

Pikiran Jeannie mulai bekerja lagi. “Apakah risikonya tidak terlalu besar?
Maksudku, tentunya pihak JFU akan

456

diberitahu mengenai pengaduan kita. Lalu Berrington akan tahu di mana daftar
itu disimpan. Dan dia akan mendapatkannya sebelum kita.”

“Sial. Kau benar. Kuteruskan itu kepada pengacaraku.”

Beberapa saat kemudian, sebuah suara lain terdengar. “Dr. Ferrami, aku
Runciman Brewer, kami sedang menggunakan jaringan paralel saat ini. Di mana
persisnya Anda menyimpan data-data itu?”

“Di dalam laci meja tulisku, di dalam sebuah disket floppy yang ditandai tulisan
SHOPPING.LST.”

“Kami bisa meminta akses ke kamar kerja Anda tanpa menyebutkan secara
spesifik apa yang sedang kami cari.”

“Kalau begitu, menurutku mereka bisa menghapus semua yang ada di


komputerku dan di dalam disket disketku.”

“Rasanya kita tidak punya pilihan lain.” Steve berkata, “Yang kita butuhkan
adalah seorang garong.”

Jeannie berkata, “Ya Tuhan.”

“Kenapa?”

Daddy.

Si pengacara berkata, “Ada apa, Dr. Ferrami?”

“Anda bisa tunda pengajuan tuntutan ke pengadilan ini?” tanya Jeannie.

“Ya. Biar bagaimanapun, kita baru bisa melakukan itu setelah hari Senin.
Kenapa?”

“Aku baru mendapat ide. Coba kulihat dulu, apakah bisa dilaksanakan. Kalau
tidak, kita akan tempuh jalan hukum minggu depan. Steve?” “*

“Aku masih di sini.”

“Hubungi aku lagi nanti.”

“Pasti.”

Jeannie menutup pesawatnya.

Daddy bisa masuk ke dalam ruang kerjanya.

457

Daddy di rumah Patty sekarang. Ia sudah bangkrut sama sekali, jadi ia tidak bisa
ke mana-mana. Dan ia berutang pada Jeannie. Wauw, ia benar-benar berutang.

Andai kata Jeannie dapat menemukan si kembar ketiga, nama Steve akan bersih
kembali. Dan kalau ia bisa membuktikan kepada dunia, apa yang sudah
dilakukan Berrington dan teman-temannya di tahun tujuh puluhan, mungkin ia
dapat memperoleh pekerjaannya kembali.

Dapatkah ia meminta ayahnya melakukan ini? Biar ¦bagaimanapun, ini suatu


pelanggaran. Ayahnya bisa masuk penjara lagi kalau ada yang meleset. Daddy
memang sering mengambil risiko itu, tapi kali ini Jeannie yang harus
menanggung akibatnya.

Jeannie meyakinkan dirinya bahwa mereka tidak akan tertangkap.

Bel pintunya berbunyi. Jeannie meraih interkomnya. “Ya?”

“Jeannie?”

Suara itu tidak terdengar asing di telinganya. “Ya,” sahutnya. “Siapa di situ?”
“Will Temple.” “Will?”

“Aku sudah menghubungimu lewat E-mail dua kali. Kau belum terima?”

Mau apa si Will Temple ini? “Masuklah,” ujar Jeannie, sambil menekan sebuah
tombol.

Will naik ke atas. Ia mengenakan celana panjang dari bahan katun berwarna
kecokelatan dan kaus polo biru laut. Rambutnya lebih pendek, dan meskipun ia
masih memelihara cambangnya yang begitu disukai Jeannie, modelnya sekarang
lebih rapi daripada dulu. Si gadis kaya rupanya berhasil merapikan
penampilannya.

Jeannie tidak mau membiarkan Will mengecup pipinya; ia masih sakit hati
padanya. Ia hanya mengulurkan

458

tangan. “Ini benar-benar kejutan,” ujarnya. “Aku belum sempat memeriksa E-


mail-ku selama beberapa hari terakhir ini.”

“Aku harus menghadiri suatu konferensi di Washington,” ujar Will. “Aku


menyewa mobil, lalu kemari ” “Kau mau kopi?” “Tentu.”

“Duduklah.” Jeannie membuat kopi. Will melayangkan pandang ke


sekelilingnya “Tempat yang menyenangkan.” “Trims.” “Lain.”

“Maksudmu lain daripada tempat kita dulu.” Ruang duduk apartemen mereka di
Minneapolis lebih luas dan berantakan, penuh dengan sofa di sana-sini, roda
sepeda, raket tenis, dan gitar. Dibandingkan mangan yang dulu, tempat ini betul-
betul bersih. “Kukira aku sudah bosan dengan suasana serba semrawut itu.” t
“Sepertinya kau lebih suka begitu waktu itu.”

“Memang. Tapi situasinya sudah berubah.”

Will mengangguk, lalu mengubah arah pembicaraan mereka “Aku membaca


artikel di New York Times mengenai dirimu. Tentunya isinya omong kosong.”

“Tapi aku terkena akibatnya. Aku dipecat hari ini.”

“Yang benar!”

Jeannie menuang kopinya, lalu duduk di seberang Will untuk menceritakan


jalannya sidang pemeriksaan itu. Setelah ia mengakhirinya, Will berkata, “Si
Steve ini… kau serius dengannya?”

“Aku tidak tahu. Aku tidak menutup diriku.”

“Kalian tidak berkencan?”

“Belum, tapi dia menginginkan itu, dan aku sangat suka padanya. Bagaimana
denganmu? Kau masih bersama Georgina Tinkerton Ross?”

“Tidak.” Will menggeleng-gelengkan kepala. “Jeannie, sebetulnya aku kemari


untuk mengatakan bahwa memu—

459

tu kan hubungan denganmu adalah kesalahan paling besar yang pernah kubuat
dalam hidupku.”

Jeannie merasa tersentuh melihat tampangnya yang sedih. Sebagian dirinya


merasa senang bahwa laki-laki itu sekarang menyesali putusnya hubungan
mereka, namun ia tidak menyukuri ketidakbahagiaan Will.

“Kau merupakan hal terbaik yang pernah terjadi atas diriku,” ujar Will. “Kau
tegar, tapi kau baik. Dan kau cerdas; aku membutuhkan orang yang cerdas. Kita
cocok satu sama lain. Kita pernah mencintai satu sama lain.”

“Aku amat terluka ketika itu,” ujar Jeannie. “Tapi aku sudah berhasil
mengatasinya.”
“Aku tidak yakin bahwa aku sudah berhasil mengatasinya.”

Jeannie menatapnya. Ia seorang laki-laki bertubuh besar, tidak menggemaskan


seperti Steve, tapi menarik dalam arti yang lebih kasar. Jeannie menjajaki
perasaannya, seperti seorang dokter meraba sebuah memar, tapi tidak ada reaksi,
tidak tersisa sedikit pun emosi seperti yang pernah ia rasakan untuk Will.

Laki-laki itu kemari untuk memintanya kembali kepadanya; itu jelas sekarang.
Dan Jeannie tahu jawabannya. Ia tidak menginginkan Will lagi. Will terlambat
muncul sekitar seminggu.

Tapi akan lebih simpatik kalau ia tidak membiarkan laki-laki itu merasa rendah
diri karena permintaannya ditolak. Jeannie berdiri. “Will, aku harus
menyelesaikan sesuatu yang penting, dan aku harus buru-buru melakukannya.
Sayang sekali aku tidak menerima pesan-pesanmu itu, kalau tidak tentunya aku
bisa mengatur waktuku.”

Will mengerti maksudnya dan tampak lebih sedih. “Sayang sekali,” ujarnya.
Lalu ia berdiri.

Jeannie mengulurkan tangannya. “Trims untuk mampir.”

Will menarik Jeannie ke arahnya untuk menciumnya.

460

Jeannie menyodorkan pipinya. Will mengecupnya dengan lembut, lalu


melepaskannya lagi. “Andai kata aku dapat meralat naskah hidup kita,” ujarnya.
“Aku akan memberikan sentuhan akhir yang lebih menyenangkan.”

“Sampai bertemu lagi. Will.”

“Sampai bertemu lagi. Jeannie.”

Jeannie mengawasinya dari belakang saat ia menuruni tangga, lalu keluar


melalui pintu.

Pesawat teleponnya berbunyi.

Jeannie mengangkatnya. “Halo?”


“Dipecat bukanlah hal terburuk yang dapat menimpamu.”

Suara seorang laki-laki yang mulutnya seakan ditutupi sesuatu untuk


menyamarkannya.

Jeannie berkata, “Siapa ini?”

“Jangan mengotak-atik yang bukan urusanmu.”

Siapa sih ini? “Otak-atik apa?”

“Yang kaujumpai di’Philadelphia sebetulnya berniat membunuhmu “

Jeannie menahan napas. Tiba-tiba ia merasa amat takut.

Suara itu berkata lagi, “Dia terbawa nafsu, sehingga misinya berantakan Tapi dia
bisa mengunjungimu lagi.” Jeannie berbisik, “Ya Tuhan!” “Waspadalah.”

Terdengar bunyi ceklik lalu nada putar. Laki-laki itu sudah menutup pesawatnya.
,

Jeannie mengembalikan gagang pesawat di tempatnya kemudian


menerawanginya

Belum pernah ada yang mengancam dirinya. Sungguh-sungguh mengerikan


bahwa ada seseorang yang berniat mengakhiri hidupnya. Ia merasa begitu tak
berdaya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Ia duduk di sofa, sambil berusaha menemukan kembali kendali dirinya. Ingin


rasanya ia menyerah. Ia merasa dirinya sudah terlalu penuh bilur-bilur, dan penat

461

untuk melanjutkan perjuangannya melawan musuh yang tidak jelas, tapi rupanya
berpengaruh ini. Mereka terlalu kuat bagi dirinya. Mereka dapat memecatnya,
mente-romya, menggeledah ruang kerjanya, mencuri E-mail-nya. Sepertinya
mereka dapat melakukan apa saja. Mungkin mereka benar-benar dapat
membunuhnya.

Begitu tidak adilnya. Apa hak mereka? Ia seorang ilmuwan yang baik, tapi
mereka telah menghancurkan kariernya. Mereka membiarkan Steve masuk
penjara dengan tuduhan memerkosa Lisa. Mereka mengeluarkan ancaman untuk
membunuh dirinya. Amarah mulai melanda diri Jeannie. Memangnya mereka
siapa? Ia tidak akan membiarkan hidupnya berentakan gara-gara bajingan-
bajingan arogan yang mengira mereka dapat memanipulasi segalanya demi
kepentingan pribadi tanpa memedulikan orang lain sama sekali. Semakin ia
memikirkannya, semakin marahlah ia. Aku tidak akan membiarkan mereka
menang, ujarnya pada dirinya. Aku memiliki sesuatu yang dapat mencelakai
mereka—itu pasti; kalau tidak, mereka tidak perlu menggusahku atau
mengancam untuk membunuhku. Aku akan menggunakan itu. Aku lak peduli
apa yang akan terjadi atas diriku, selama aku dapat membuyarkan rencana
mereka. Aku cukup cerdas, dan aku tidak mudah goyah, dan aku adalah Jeannie
Ferrami, jadi bersiap-siaplah kalian, bajingan-bajingan, ini aku.

462

BAB 41

Ayah Jeannie sedang duduk di sofa, di ruang duduk Patty yang tidak rapi,
dengan secangkir kopi di pangkuannya, sambil menonton General Hospital dan
menikmati sepotong kue wortel.

Begitu masuk dan melihatnya, Jeannie kehilangan kendali diri. “Tega-teganya


Daddy melakukan itu?” jeritnya. “Tega-teganya Daddy menggarong putrimu
sendiri?”

Si ayah langsung berdiri, menumpahkan kopi dan menjatuhkan kuenya.

Patty berdiri di belakang Jeannie. “Jangan bikin keributan,” ujarnya. “Sebentar


lagi Zip pulang.”

Daddy berkata, “Aku minta maaf, Jeannie, aku malu sekali.”

Patty segera membersihkan kopi yang tumpah dengan segenggam Kleenex. Di


layar televisi, seorang dokter tampan dalam seragam ruang bedah mencium
seorang wanita cantik.

“Daddy tahu aku sedang tak punya uang,” jerit Jeannie. “Daddy tahu aku sedang
mengupayakan cukup banyak uang untuk membayar rumah perawatan yang
lebih layak untuk ibuku—istri Daddy! Tapi toh Daddy mencuri TV sialanku!”
“Jangan memaki-maki seperti itu!”

“Ya Tuhan, beri aku kekuatan.”

463

“Aku minta maaf.”

Jeannie berkata, “Aku tidak mengerti. Aku betul-betul tidak mengerti.”

Patty berkata, “Sudahlah, Jeannie.”

“Tapi aku mau tahu. Kenapa Daddy tega melakukan itu?”

“Oke, akan kujelaskan padamu.” ujar Daddy dalam nada keras, sehingga Jeannie
tercengang. “Akan kuungkapkan padamu kenapa aku melakukannya. Karena aku
sudah kehilangan keberanianku.” Air mata mulai menggenangi matanya. “Aku
menjarah putriku sendiri karena aku sudah terlalu tua dan takut untuk menjarah
orang lain, jadi sekarang kau tahu sebabnya.”

Nadanya begitu sendu, sehingga amarah Jeannie langsung mereda. “Oh, Daddy,
aku menyesal,” ujarnya. “Duduklah, aku ambil pengisap debu.”

Ia memungut cangkir kopi yang terbalik itu, lalu membawanya ke dapur. Ia


kembali dengan pengisap debu, lalu mulai membersihkan remah-remah kue yang
berceceran. Patty sudah selesai membersihkan bekas kopi yang tumpah.

“Aku memang.tidak layak memiliki gadis-gadis seperti kalian. Aku tahu itu,”
ujar Daddy saat ia duduk kembali.

Patty berkata, “Aku akan ambil secangkir kopi lagi.”

Si ahli bedah di TV berkata. Ayo kita pergi sama-sama, berduaan saja, ke suatu
tempat yang asyik, lalu si wanita menjawab, Tapi bagaimana nanti dengan
istrimu! Wajah si dokter berubah masam. Jeannie mematikan pesawat TV itu,
lalu duduk di sebelah ayahnya.

“Apa maksud Daddy dengan kehilangan keberanian?” tanyanya, penuh rasa


ingin tahu. “Apa yang terjadi?”
Si ayah menghela napas. “Begitu keluar dari penjara, aku mengincar sebuah
bangunan di Georgetown. Sebuah perusahaan kecil, biro arsitek yang baru saja
menambah perangkat kerja mereka dengan lima belas sampai dua

464

puluh buah komputer, berikut perlengkapan-perlengkapan lain seperti mesin faks


dan beberapa buah printer. Si pemasok peralatan itu menyatakan dia akan
membeli barang-barang itu dariku untuk dia jual kembali kepada mereka, begitu
mereka menerima .uang asuransi. Aku akan memperoleh sepuluh ribu dolar.”

Patty berkata, “Aku tidak mau anak-anakku mendengar ini.” Ia mengecek


apakah mereka ada di gang, lalu menutup pintu.

Jeannie bertanya kepada Daddy, “Lalu apa yang terjadi?”

“Aku membawa mobil pickup ke bagian belakang bangunan itu, menetrahsir


alarmnya, kemudian membuka pintu tempat mereka biasa membongkar-muat
barang. Lalu aku mulai berpikir, apa yang akan terjadi kalau seorang polisi
muncul. Biasanya aku tidak peduli sama sekali, tapi sepuluh tahun sudah berlalu
sejak aku terakhir kali melakukan itu. Aku jadi begitu ketakutan, sampai
tanganku mulai gemetaran. Aku masuk ke dalam, melepaskan kabel-kabel
sebuah komputer, yang sesudah itu kugotong keluar, kumasukkan ke dalam
pickup, lalu aku kabur. Keesokan harinya aku pergi ke tempatmu.”

“Kemudian Daddy menggarongku.”

“Aku tidak bermaksud melakukan itu. Manis. Tadinya aku berharap kau bisa
membantuku bangkit lagi dan mencarikan pekerjaan halal untukku. Tapi pada
waktu kau pergi, kebiasaan lamaku kambuh. Aku melihat perangkat stereo itu
dan membayangkan bahwa aku bisa memperoleh beberapa ratus dolar untuk itu,
dan mungkin seratus lagi untuk TV-nya, lalu aku melakukannya. Setelah
menjualnya, rasanya aku ingin bunuh diri. sungguh.”

“Tapi itu tidak Daddy lakukan.”

Patty berseru, “Jeannie!”

Daddy berkata, “Aku minum sedikit, lalu main poker. Besoknya aku sudah
bangkrut lagi.” “Lalu Daddy menemui Patty.”
465

“Aku tidak akan melakukan itu padamu, Patty. Aku tidak akan melakukannya
lagi. Aku akan mengambil jalan lurus.”

“Sebaiknya memang begitu!” ujar Patty.

“Memang harus, aku tidak punya pilihan lagi.”

Jeannie berkata, “Tapi jangan sekarang.”

Mereka berdua menatapnya. Dalam nada cemas Patty bertanya, “Jeannie, apa
maksudmu?”

“Daddy masih harus melakukannya sekali lagi,” ujar Jeannie. “Demi aku.
Malam ini juga.”

466

BAB42

Suasana semakin gelap saat mereka memasuki kawasan kampus Jones Falls.
“Sayang kita tidak naik mobil yang lebih umum,” ujar ayahnya saat Jeannie
mengemudikan mobil Mercedes merahnya ke pelataran parkir untuk para
mahasiswa. “Sebuah Ford Taurus akan lebih ideal, atau sebuah Buick Regal.
Kau akan melihat sekitar lima puluh mobil seperti itu dalam sehari, -dan tak
seorang pun akan ingat.”

Ia turun dari mobil, menjinjing sebuah tas koper kulit berwarna cokelat yang
sudah usang. Dalam kemeja bercorak kotak-kotak, celana panjang lusuh, rambut
semrawut dan sepatu tua, tampangnya persis seperti seorang profesor.

Jeannie merasa agak aneh. Sudah bertahun-tahun ia tahu bahwa ayahnya seorang
maling, tapi ia sendiri belum pernah melakukan suatu pelanggaran pun, kecuali
ngebut dengan kecepatan tujuh puluh mil sejam. Kini ia akan membobol sebuah
gedung, la merasa seakan sedang melangkahi suatu garis batas yang amat
penting, la tidak menganggap apa yang ia lakukan itu salah, namun ia toh merasa
citra dirinya agak terganggu. Ia selalu menilai dirinya sebagai seorang warga
negara yang patuh hukum. Kaum kriminal, termasuk ayahnya,
467

sepertinya tergolong dalam suatu kelompok lain. Kini ia akan bergabung dengan
mereka.

Hampir semua mahasiswa dan anggota staf fakultas sudah pulang, namun
beberapa orang masih keluyuran di sekitar tempat itu; beberapa profesor yang
lembur, mahasiswa-mahasiswa yang akan mengikuti kegiatan sosial, petugas
kebersihan yang masih harus mengunci pintu-pintu gedung, dan petugas sekuriti
yang mengadakan patroli. Jeannie berharap ia tidak akan berpapasan dengan
seseorang yang ia kenal.

Ia benar-benar tegang, seperti tali .gitar yang sewaktu-waktu bisa putus. Ia lebih
mengkhawatirkan keselamatan ayahnya daripada dirinya sendiri. Kalau mereka
tertangkap, situasinya akan amat memalukan bagi dirinya, tapi hanya sampai
sejauh itu; pengadilan tidak akan menjebloskannya ke penjara hanya karena ia
membobol ruang kerjanya sendiri untuk mencuri sebuah disket floppy. Tapi
Daddy, dengan catatan kejahatannya, bakal hams mendekam lagi di sana selama
beberapa tahun. Ia akan menjadi seorang laki-laki tua begitu keluar.

Lampu-lampu jalan serta sistem penyinaran luar gedung mulai menyala. Jeannie
dan ayahnya melintasi lapangan tenis; dua orang wanita sedang asyik bermain di
bawah sorotan lampu. Jeannie teringat saat Steve menegurnya setelah
permainannya hari Minggu yang baru lalu. Ketika itu, secara otomatis ia
langsung mengambil jarak. Steve tampak begitu percaya diri dan seakan
menguasai situasi. Betapa keliru penilaiannya waktu itu.

Jeannie mengangguk ke arah Ruth W. Acorn Psychology Building. “101


tempatnya,” ujarnya. “Orang-orang menyebutnya Nut House.”

“Terus jalan,” ujar ayahnya. “Bagaimana cara masuk melalui pintu itu?1’

“Dengan sebuah kartu plastik, sama seperti kalau mau masuk ke dalam kantorku.
Tapi kartuku sudah tidak berfungsi lagi. Mungkin aku bisa meminjam satu.”

468

“Tidak perlu. Aku nggak suka pinjam pinjam Bagaimana caranya sampai di
belakang?” • “Akan kutunjukkan.” Sebuah jalan setapak yang melintasi lapangan
rumput menyusuri samping Nut House, menuju pelataran parkir untuk para
tamu. Jeannie menelusurinya, kemudian membelok di sebuah lapangan beton di
bagian belakang gedung. Ayahnya melayangkan pandang secara profesional.
“Pintu apa itu?” tanyanya sambil menunjuk.

‘ “Kukira pintu darurat kalau ada kebakaran.”

- Ayahnya mengangguk. “Biasanya ada palangnya pada

ketinggian pinggang, model yang akan terbuka begitu

didorong.”

“Rasanya memang begitu. Dari situkah kita akan masuk?” “Ya.”

Jeannie teringat akan sebuah tanda di bagian dalamnya yang berbunyi PINTU
INI MENGGUNAKAN SISTEM ALARM. “Alarmnya bakal bunyi,” ujarnya.

“Tidak bakal,” sahut ayahnya. Ia melayangkan pandang ke sekelilingnya. “Apa


banyak orang suka lewat sini?”

“Tidak. Terutama di waktu malam.”

“Oke. Ayo-kita mulai.” la meletakkan tas kopernya di bawah. Setelah


membukanya, ia mengeluarkan sebuah kotak hitam dari plastik dengan semacam
jarum. Ia menekan sebuah tombol, lalu mulai menelusurkannya ke seputar kusen
pintu itu, sambil memperhatikan jarumnya. Jarum itu bergerak begitu sampai di
pojok kanan atas pintu. Ia mengeluarkan suara gerutuan puas.

Sesudah mengembalikan kotak itu-ke dalam tasnya, ia mengeluarkan sebuah


peralatan lain yang bampir sama, dan” segulung pita isolasi. Ia menempelkan
peralatan itu di pojok kanan atas pintu, lalu memindahkan sebuah switch.
Terdengar suara dengungan rendah. “Itu cukup untuk mengacaukan sistem
alarmnya,” ujarnya.

469

Ia mengeluarkan sepotong kawat panjang yang dulu berfungsi sebagai


gantungan pakaian. Dengan hati hati ia membengkokkannya, lalu menyisipkan
bagian itu ke dalam celah pintu. Ia mengotak-atik selama beberapa saat,
kemudian menarik kawat itu keluar.
Pintunya membuka.

Sistem alarmnya tidak berbunyi.

Ia memungut tas kopernya, lalu melangkah masuk.

“Tunggu,” ujar Jeannie. “Ini tidak benar. Ayo tutup pintu, kita pulang.”

“Hei, ayolah, jangan takut.”

“Aku nggak bisa lakukan ini pada Daddy. Kalau ke tangkap. Daddy bakal masuk
penjara sampai umur tujuh puluhan.”

“Jeannie, aku mau melakukannya. Selama ini aku seorang ayah yang brengsek
untukmu. Ini kesempatanku untuk membantumu. Bagiku ini amat berarti. Ayo.”

Jeannie melangkah masuk.

Ayahnya menutup pintu. “Kau yang di depan.”

Jeannie lari menelusuri tangga darurat itu, menuju lantai dua, kemudian sebuah
lorong menuju ruang kantornya. Ayahnya berada persis di belakangnya. Ia
menunjuk pintu ruang kerjanya.

Ayahnya mengeluarkan sebuah instrumen lain dari dalam tasnya. Yang ini
memiliki sebuah lempengan metal sebesar kartu kredit, yang dihubungkan
dengan beberapa kawat. Ia menyisipkan lempengan itu ke dalam alat penelusur
kartu, lalu menyalakan instrumennya. “Semua macam kombinasi bisa dilacak
dengan ini,” ujarnya.

Jeannie terkesan melihat betapa mudahnya ia memasuki sebuah gedung yang


memiliki sistem sekuriti yang demikian canggih.

“Kau tahu?” ujar ayahnya. “Aku sama sekali tidak takut!”

“Tapi aku takut,” ujar Jeannie.

470

“Sungguh, aku jadi berani lagi, mungkin karena kau bersamaku.” Ia tertawa.
“Hei, mungkin kita bisa menjadi satu tim.”
Jeannie menggeleng-gelengkan kepala. ‘.“Lupakan itu. Aku nggak tahan
menghadapi ketegangannya.”

Terpintas dalam dirinya bahwa Berrington mungkin sudah kemari untuk


mengangkut pergi komputernya, berikut semua disketnya. Akan konyol sekali
kalau ia mempertaruhkan semua ini, lalu tidak menemukan apa-apa. “Masih
berapa lama?” tanyanya dalam nada tak sabar.

“Sebentar lagi.”

Tak berapa lama kemudian, pintu itu terbuka perlahan-lahan.

“Kau mau masuk?” ujar ayahnya dalam nada bangga.

Jeannie masuk, lalu menyalakan lampu. Komputernya masih di tempatnya.


Jeannie membuka laci. Di situ ada sebuah kotak disket berisi copy file-file-nya.
Cepat-cepat ia memeriksanya. Ternyata SHOPPING.LST masih di sana. Ia
mencabutnya keluar. ‘Terima kasih, Tuhan,” ujarnya.

Kini, setelah disket itu berada di tangannya, ia ingin segera tahu isinya.
Meskipun sudah tak sabar lagi untuk segera meninggalkan Nut House, ia toh
tergoda untuk membacanya sekarang juga. Ia tidak punya komputer di rumah;
sudah dijual Daddy. Untuk dapat membaca isi disket itu ia harus meminjam
sebuah perangkat komputer. Itu akan makan waktu.

Ia memutuskan untuk mencoba.

Ia menyalakan komputer di mejanya, lalu menunggu sementara perangkat itu


melalui proses booting-rvya.

“Apa yang kaulakukan?” tanya Daddy.

“Aku mau membaca isinya.”

“Kau nggak bisa lakukan, itu di rumah?”

“Aku nggak punya komputer, Daddy.”

Ayahnya tidak menangkap ironinya. “Cepatlah, kalau begitu.” Ia menuju jendela,


lalu melihat ke luar. “
471

Layar komputer berkedip. Jeannie menceklik WP. Ia menyelipkan disket floppy-


nya ke tempatnya, lalu menyalakan printer-nya.

Tiba-tiba terdengar suara alarm.

Jantung Jeannie tiba-tiba seakan berhenti berdetak. Suara alarm itu benar-benar
memekakkan telinga. “Apa yang terjadi?” teriaknya.

Wajah ayahnya berubah pucat. “Alat sial itu ngaco, atau mungkin ada yang
melepasnya dari pintu,” teriaknya. “Celaka, Jeannie, ayo lari!”

Semula Jeannie berniat mengambil disketnya dari komputer itu, lalu langsung
kabur, namun ia memaksa dirinya untuk berpikir dengan tenang. Kalau ia sampai
tertangkap dan disket itu dirampas darinya, ia akan kehilangan segalanya. Ia
harus melihat daftar itu selagi masih bisa. Ia mencengkeram lengan ayahnya.
“Sedikit lagi!”

Si ayah melihat ke luar jendela. “Sial, sepertinya seorang petugas sekuriti!”

“Aku mesti cetak dulu ini! Tunggu!”

Si ayah tampak terguncang. “Aku nggak bisa, Jeannie, aku nggak bisa! Sori!” Ia
menyambar tas kopernya, lalu mulai lari.

Jeannie merasa kasihan padanya, namun ia tidak bisa berhenti sekarang, la


menelusuri daftar file di drive A-nya, menemukan file FBI-nya, lalu menceklik
Print.

Tidak ada reaksi. Printer masih melewati proses pemanasan. Ia mengumpat.

Ia menuju jendela. Dua petugas sekuriti masuk dari bagian muka gedung.

Ia menutup pintu ruang kerjanya.

Ia mengawasi printer-nya. “Ayo, ayo.”

Akhirnya terdengar suara ketikan dan dengungan lembut. Sehelai kertas


bergerak meninggalkan penampan kertas.
la mencabut floppy-nya dari disk drive, kemudian ia selipkah ke saku jaket
birunya.

472

Printer mengeluarkan empat lembar kertas, lalu berhenti.

Dengan hati berdebar-debar Jeannie menyambar halaman-halaman itu, lalu


menelusuri bans-bansnya

Ternyata ada tiga puluh atau empat puluh pasang nama. Kebanyakan laki-laki,
namun itu bukan hal aneh; kebanyakan tindak kejahatan memang dilakukan oleh
kaum lelaki. Beberapa kasus memakai alamat sebuah penjara. Daftar itu
memang persis seperti yang ia harapkan. Tapi kini ia menginginkan sesuatu yang
khusus. Ia mencari nama Steven Logan atau Dennis Pinker.

Dua-duanya ada di situ.

Dan nama-nama itu dikaitkan dengan nama ketiga: Wayne Stattner.

“Yes!” seru Jeannie dengan penuh antusias.

Ada alamatoya di New York City, dan sebuah nomor telepon dengan kode
daerah 212.

Ia memandangi nama itu. Wayne Stattner. Laki-laki inilah yang memerkosa Lisa
di sini, di gedung olahraga kompleks ini. dan yang menyerang Jeannie di
Philadelphia. “Bajingan,” bisiknya dalam nada penuh dendam. “Kami akan
meringkusmu.”

Sekarang ia harus kabur dengan informasi itu. Ia menjejal kertas-kertas itu ke


sakunya, mematikan lampu, lalu membuka pintu ruang kerjanya.

Ia mendengar suara-suara di lorong, menyaingi suara bising alarm yang masih


juga meraung-raung. Ia terlambat rupanya. Dengan hati-hati ia menutup
pintunya kembali. Kakinya terasa lemas sekali. Ia menyandarkan tubuhnya pada
pintu, sambil memasang telinga.

Ia mendengar suara seorang laki-laki berteriak, “Aku yakin ada yang menyala
tadi di sini.”
Sebuah suara lain menjawab. “Sebaiknya kita periksa ruangan demi ruangan.”

Jeannie melayangkan pandang ke seputar ruangannya yang kecil, dalam


pencahayaan samar dari lampu jalanan di luar. Tidak ada tempat untuk
bersembunyi baginya.

473

[a membuka pintunya sedikit. Ia tidak dapat melihat atau mendengar apa-apa. Ia


melongokkan kepalanya. Di ujung lain lorong itu terlihat berkas cahaya yang
berasal dari sebuah pintu yang terbuka. Ia menunggu sambil memperhatikan.
Para petugas jaga keluar dari ruangan itu. Mereka mematikan lampunya,
menutup pintu, kemudian menuju ruangan berikutnya, yaitu sebuah
laboratorium. Mereka bakal membutuhkan waktu paling sedikit satu sampai dua
menit untuk memeriksanya. Apakah ia akan sempat menyelinap lewat pintunya
tanpa terlihat dan mencapai lorong tangga?

Jeannie melangkah keluar dari ruang kerjanya, lalu menutup pintu di


belakangnya dengan tangan bergetar.

Ia menelusuri lorong itu. Dengan seluruh daya yang dimilikinya, ia menahan diri
untuk tidak lari.

Ia melewati pintu laboratorium. Mau tak mau ia toh tergoda untuk melirik ke
dalamnya. Kedua petugas jaga itu sedang memunggunginya: yang satu sibuk
memeriksa lemari alat-alat, dan yang lain memperhatikan dengan penuh rasa
ingin tahu sederetan film hasil tes DNA di sebuah kotak yang sedang menyala.
Mereka tidak melihatnya.

Sedikit lagi.

Akhirnya ia sampai di ujung lorong. Ia membuka pintu ayunnya.

Saat akan melewatinya, sebuah suara berseru, “Hei! Kau! Berhenti!”

Insting memaksanya untuk lari, namun ia berusaha mengendalikan diri. Ia


membiarkan pintu itu menutup, kemudian berpaling sambil tersenyum.

Dua petugas jaga berlari menelusuri lorong, menuju ke arahnya. Mereka sama-
sama berusia hampir enam puluhan, mungkin polisi yang sudah pensiun.
Jeannie merasa tenggorokannya kering dan napasnya sesak. “Selamat malam,”
tegurnya. “Ada yang bisa kubantu?” Suara alarm meredam getaran dalam
suaranya.

474

“Sistem alarm gedung tiba-tiba aktif,” ujar yang satu.

Suatu hal konyol untuk diucapkan, namun Jeannie tidak menghiraukannya. “Apa
ada penyusup yang masuk?”

“Mungkin. Apa Anda melihat atau mendengar sesuatu yang tidak biasa,
Profesor?”

Para petugas itu mengira ia salah seorang anggota staf fakultas; itu bagus.
“Sepertinya aku mendengar suara kaca pecah tadi. Mungkin dari lantai atas, tapi
aku tidak yakin.”

Kedua laki-laki itu berpandangan. “Kami akan cek,” ujar salah satu di antara
mereka.

Temannya rupanya tidak begitu mudah diyakinkan. “Boleh aku tanya apa yang
Anda kantongi?”

“Kertas-kertas.”

“Rupanya memang begitu. Boleh kulihat?”

Jeannie sudah bertekad untuk tidak menyerahkannya kepada siapa-siapa: berkas-


berkas itu terlalu berharga. Ia segera mengimprovisasi, dengan pura-pura tidak
menunjukkan keberatan, tapi kemudian mengubah pikirannya. “Tentu,” ujarnya
sambil mengeluarkannya dari sakunya. Sesudah itu ia melipatnya kembali, untuk
dikantongi lagi. “Setelah kupikir-pikir lagi, tidak. Kalian tidak boleh melihat ini.
Sifatnya pribadi sekali.”

“Anda tidak punya pilihan. Dalam pelatihan, kami diajar bahwa kertas-kertas
bisa sama berharganya seperti apa saja, di tempat seperti ini.”

“Aku tidak akan mengizinkan kalian membaca surat-surat pribadiku hanya


karena sistem alarm gedung ini tiba-tiba aktif.”
“Kalau begitu, aku terpaksa meminta Anda ikut bersamaku ke kantor sekuriti
kami, untuk berbicara dengan atasanku.”

“Baik,” sahut Jeannie. “Aku akan menunggu kalian di luar.” Setelah mengatakan
itu, dengan cepat ia membuka pintu ayun lorong tersebut, lalu dengan langkah-
langkah ringan mulai menuruni tangga

475

Kedua laki-laki itu segera mengikutinya dari belakang. “Tunggu!”

Jeannie membiarkan mereka menyusul dirinya di ruang lobi lantai dasar. Yang
satu mencengkeram lengannya, sementara yang lain membukakan pintu baginya.
Mereka melangkah keluar.

“Kau tidak perlu mencengkeram aku,” ujarnya.

“Kurasa lebih baik begitu.” sahut yang mencengkeramnya. Laki-laki itu masih
terengah-engah sehabis berlari menuruni tangga dalam usaha untuk
mengejarnya.

Jeannie mengenal medannya. Ia mencengkeram pergelangan tangan laki-laki itu,


lalu meremasnya dengan keras. Si petugas berteriak “Aduh!” kemudian
melepaskan lengannya.

Jeannie segera lari.

“Hei! Brengsek, berhenti!” Mereka segera mengejarnya.

Tapi mereka tidak punya harapan. Jeannie dua puluh lima tahun lebih muda
daripada mereka, dan kondisinya sebugar seekor kuda balap. Ketakutannya
semakin mereda begitu jarak di antara mereka semakin jauh. Ia berlari seperti
angin, sambil tertawa. Mereka masih berusaha mengejarnya sampai beberapa
meter lagi, lalu menyerah. Jeannie menoleh ke belakang dan melihat mereka
berdua membungkuk sambil berusaha mengembalikan napas. ^ Jeannie terus
berlari sampai ke pelataran parkir.

Ayahnya sedang menunggu di dekat mobilnya. Ia membuka pintunya, lalu


mereka berdua masuk, la segera melesat meninggalkan pelataran itu, tanpa
lampu.
“Maafkan aku, Jeannie.” ujarnya. “Tadi aku mengira kalaupun aku tidak bisa
melakukannya untuk diriku sendiri lagi, setidaknya mungkin aku bisa
melakukannya untukmu. Tapi ternyata percuma. Aku sudah tidak bisa lagi. Aku
tidak akan merampok lagi.”

“Itu berita bagus!” seru Jeannie. “Dan aku memperoleh apa yang kuinginkan!”

476

“Andai kata aku bisa menjadi ayah yang lebih baik untukmu. Tapi kukira sudah
terlambat sekarang.”

Mereka keluar dari kawasan kampus, terus ke jalan raya; Jeannie menyalakan
lampu mobilnya. “Belum terlambat sebetulnya, Daddy. Sungguh.”

“Mungkin. Setidaknya aku sudah mencoba untukmu, bukan?”

“Ya. dan ternyata tidak sia-sia! Daddy sudah membantuku untuk masuk! Mana
mungkin aku dapat melakukan itu sendirian.”

“Yah, kukira kau benar.”

Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah, la sudah tak sabar lagi untuk segera
mengecek nomor telepon dalam daftar itu. Andai kata nomor itu sudah
kedaluwarsa, ia bisa repot lagi. Dan ia ingin mendengar suara Wayne Stattner.

Begitu mereka berada di dalam apartemennya, ia menyambar gagang pesawat


teleponnya, lalu memutar nomor itu.

Seorang laki-laki menjawab, “Halo?”

Ia tidak dapat memastikannya hanya dari satu patah kata itu. Ia bertanya, “Boleh
aku bicara dengan Wayne Stattner?”

“Yeah, ini Wayne. Dengan siapa ini?”

Suaranya persis seperti Steve. Bajingan kau, berani-beraninya kau


menggerayangi aku. Ia berusaha menahan rasa marahnya. “Mr. Stattner, aku
bekerja di sebuah perusahaan yang sedang mengadakan riset pemasaran, dan
Anda teipilih…”
“Brengsek!” makinya sambil membanting pesawatnya.

“Ternyata dia,” ujar Jeannie pada ayahnya. “Gaya bicaranya persis seperti Steve,
cuma Steve lebih sopan.”

Ia sudah memberikan gambaran singkat skenarionya kepada ayahnya, yang


meskipun dapat menangkap idenya, toh merasa waswas juga. “Apa yang akan
kaulakukan sesudah ini?”

477

“Menelepon polisi.” Ia memutar nomor Unit Tindak Kejahatan Seks dan


meminta dihubungkan dengan Sersan Delaware.

Daddy menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kagum. “Ini agak sulit bagiku


—bayangan untuk membiasakan diriku bekerja sama dengan polisi. Mudah-
mudahan sersan ini tidak seperti detektif detektif lain yang biasanya kuhadapi.”

“Rasanya dia seperti mereka.”

Semula ia tidak mengharapkan dapat langsung berbicara dengan Mish—saat itu


sudah pukul sembilan malam. Ia sudah merencanakan untuk meninggalkan
pesan urgen, tapi kebetulan Mish masih di situ. **Menyelesaikan laporanku,”
ujarnya menjelaskan. “Ada apa?”

“Ternyata Steve Logan dan Dermis Parker bukan kembar dua.”

“Tapi aku…”

“Mereka kembar tiga.”

Untuk sesaat tidak terdengar apa-apa. Begitu Mish membuka mulurnya lagi,
nadanya waswas. “Dari mana kau tahu?” *

“Kau ingat ceritaku mengenai bagaimana aku menemukan Steve dan Denms…
dengan melacak database gigi untuk mendapatkan data-data pasangan yang
mirip?”

“Ya.”
“Minggu ini aku melacak arsip sidik jari FBI untuk menemukan sidik jari yang
mirip. Program ini memunculkan Steve, Dennis, dan seorang laki-laki ketiga
dalam sebuah grup.”

“Sidik jari mereka persis sama?”

“Tidak persis sama. Mirip. Tapi aku baru saja menelepon si kembar ketiga.
Suaranya persis seperti Steve. Aku berani bertaruh bahwa tampang mereka
sama. Mish, kau harus mempercayai aku.”

“Kau punya alamatnya?”

478

“Yeah. Di New York.” “Coba berikan.” “Tapi ada satu syarat.”

Suara Mish mengeras. “Jeannie, aku seorang polisi. Kau tidak bisa mengajukan
persyaratan, kau cuma bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Nah. sekarang berikan alamatnya kepadaku.”

“Aku harus memastikannya untuk diriku sendiri. Aku ingin melihatnya.”

“Kau mau masuk penjara? Itu pertanyaan untukmu saat ini, karena kalau tidak,
sebaiknya kauberikan alamat itu kepadaku sekarang juga.”

“Aku ingin kita sama-sama menemuinya besok.”

Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Mestinya kau ku jebloskan ke dalam tahanan
dengan tuduhan pelecehan.”

“Kita bisa naik pesawat pertama ke New York pagi-pagi.”

“Oke.”

479

di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh:


OBI
Salam buat dimhad-pangcu, stilm bbsc, kang zusi sekeluarga, otoy dengan
kameranya, syauqy_arr dengan hanaoki.wordpress.com -nya, grafity, dan semua
diniliader.

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda.

BAB 43

Mereka naik penerbangan USAir ke New York pada pukuf enam lewat empat
puluh pagi. Jeannie merasa optimis. Ini mungkin akan merupakan akhir dari
mimpi buruk yang selama ini terus menghantui Steve. Jeannie telah menelepon
Steve tadi malam. Ia begitu senang, sehingga ingin ikut ke New York bersama
mereka, namun Jeannie tahu bahwa Mish tidak akan mengizinkan itu. Jeannie
sudah berjanji padanya untuk meneleponnya lagi secepatnya, begitu ada
perkembangan baru.

Mish berusaha bersikap toleran. Sulit baginya untuk mempercayai cerita Jeannie,
tapi ia merasa harus mengecek kebenarannya.

Data yang dimiliki Jeannie tidak mengungkapkan mengapa sidik jari Wayne
Stattner ada di dalam arsip FBI, namun Mish sudah melakukan pengecekan,
yang kemudian ia teruskan kepada Jeannie saat pesawat mereka meninggalkan
landasan Baltimore-Washington International Airport. Empat tahun yang lalu.
sepasang orangtua yang kebingungan berhasil melacak anak gadis mereka yang
baru berusia empat belas tahun dan hilang, sampai ke apartemen Stattner di New
York. Mereka menuntutnya dengan tuduhan tindak penculikan. Stattner
menyangkal, dengan menyatakan bahwa gadis itu tidak

483

mengalami tindak pemaksaan. Gadis itu sendiri mengata kan ia sudah jatuh cinta
pada Wayne. Usia Wayne saat itu baru sembilan belas tahun, sehingga akhirnya
tuntutan itu tidak jadi diteruskan.

Cerita itu mengungkapkan bahwa Stattner memiliki kebutuhan untuk


mendominasi wanita, tapi bagi Jeannie, secara psikologis itu belum memenuhi
karakteristik seorang pemerkosa. Namun Mish berpendapat bahwa tidak ada
ketentuan yang pasti mengenai itu.

Jeannie belum menceritakan apa-apa kepada Mish tentang laki-laki yang


menyerang dirinya di Philadelphia, la tahu bahwa Mish tidak akan mempercayai
ucapannya kalau ia mengatakan laki-laki itu bukan Steve. Mish pasti ingin
menginterogasi Steve, sedangkan Steve tidak membutuhkan itu. Akibatnya
Jeannie juga harus tutup mulut mengenai laki-laki yang meneleponnya kemarin
dan mengancam hidupnya. Ia belum menceritakan itu kepada siapa-siapa,
bahkan kepada Steve; ia tak ingin menambah kekhawatiran Steve.

Jeannie ingin menyukai Mish, tapi selalu ada ketegangan di antara mereka. Mish
sebagai polisi menganggap orang harus melakukan apa yang ia perintahkan,
sedangkan Jeannie tidak menyukai karakteristik seperti itu dalam diri seseorang.
Untuk mengakrabkan diri, Jeannie menanyakan kepadanya, bagaimana ia sampai
menjadi polisi.

“Dulu aku seorang sekretaris, dan aku bekerja untuk FBI,” jawab Mish.
“Sepuluh tahun aku di sana. Aku mulai berpikir bahwa aku dapat bekerja lebih
baik daripada agen yang menjadi atasanku. Karenanya aku mendaftarkan diri
untuk mengikuti pelatihan menjadi polisi. Aku masuk akademi, lalu menjadi
petugas patroli. Kemudian aku menjadi sukarelawan untuk suatu tugas
penyusupan bersama tim pembasmian obat-obatan terlarang. Menegangkan, tapi
terbukti bahwa aku mampu.”

Untuk sesaat Jeannie merasakan jarak di antara me—

484

reka. la suka mengisap ganja sekali-sekali, dan ia kurang suka pada mereka yang
ingin menjebloskan orang-orang seperti dirinya ke dalam penjara untuk itu.

“Kemudian aku pindah ke Unit Pelecehan Hak Anak-anak,” lanjut Mish. “Tapi
aku tidak betah lama-lama di sana. Sama seperti yang lain Tugasnya penting
sebetulnya, tapi orang tidak akan bertahan lama di situ Kau bisa kehilangan
kewarasanmu. Jadi, akhirnya aku masuk ke Urut Tindak Kejahatan Seks.”

“Kedengarannya tidak jauh berbeda.”

“Setidaknya yang menjadi korban biasanya sudah dewasa. Dan setelah beberapa
tahun, mereka mengangkatku menjadi sersan untuk membawahi seluruh unit.”

“Menurutku detektif untuk kasus-kasus pemerkosaan memang sebaiknya


wanita.” ujar Jeannie.

“Rasanya aku tidak sependapat denganmu.”

Jeannie tampak tercengang. “Apakah kau tidak sependapat bahwa akan lebih
mudah bagi knrban untuk berbicara dengan seorang wanita?”

“Korban-korban yang sudah lanjut usia, mungkin; mereka yang umurnya di atas
tujuh puluhan.”

Jeannie menggigil membayangkan wanita-wanita tua yang sudah rapuh


diperkosa seseorang.

Mish melanjutkan, “Tapi, terus terang, kebanyakan lebih suka


mengungkapkannya kepada sebuah tiang lampu.”

“Laki-laki cenderung menganggap seorang wanita memang minta dirinya


diperkosa.”

“Tapi suatu laporan pemerkosaan toh harus dilengkapi sampai batas tertentu
kalau akan diajukan ke pengadilan. Dan kalau sudah sampai ke bagian
interogasinya, kaum wanita bisa bersikap lebih brutal daripada laki-laki,
terutama terhadap wanita lain.”

Jeannie merasa agak sulit untnk mencerna hal itu, sehingga ia mempertanyakan
apakah Mish tidak sekadar membela kolega-koleganya dalam menghadapi orang
luar.

485

Saat mereka mulai kehabisan bahan pembicaraan, Jeannie hanyut dalam alam
pikirannya sendiri-Ia mempertanyakan nasibnya di masa mendatang, la belum
bisa membayangkan bahwa ada kemungkinan ia tidak bisa lagi melanjutkan
profesinya sebagai seorang ilmuwan. Dalam angan-angannya mengenai masa
depan, ia selalu membayangkan dirinya sebagai seorang wanita tua yang
terkenal, dengan rambut berwarna keabuan, agak cerewet, tapi diakui secara luas
karena hasil pekerjaannya, dan kepada para mahasiswa akan diceritakan, Kita
belum memiliki pengertian apa-apa mengenai perilaku kriminal, sampai
diterbitkannya buku terkenal lean Ferrami pada tahun 2000. Tapi sekarang itu
tidak akan terwujud-la membutuhkan fantasi baru.

Mereka tiba di LaGuardia beberapa menit setelah pukul delapan, lalu naik
sebuah taksi New York kuning yang butut menuju kota. Per-per taksi itu sudah
kacau, sehingga mereka dikocok dan diguncang-guncang sepanjang perjalanan.
Mereka melintasi Queens, menembus Midtown Tunnel, terus menuju daerah
Manhattan. Tapi Jeannie toh akan merasa kurang nyaman andai kata yang
mereka tumpangi itu sebuah Cadillac; ia akan menemui laki-laki yang pernah
menyerangnya di dalam mobilnya sendiri. Perutnya terasa seperti diaduk-aduk.

Alamat Wayne Stattner ternyata di sebuah bangunan mewah di pusat kota, persis
di sebelah selatan Houston Street Pagi hari Sabtu itu lumayan cerah, dan di
jalan-jalan sudah mulai berkeliaran anak-anak muda yang ingin jajan roti bagel
dan minum cappuccino di kafe-kafe pinggir jalan, atau sekadar melongok etalase
galeri-galeri seni.

Seorang detektif dari First Precint sudah menunggu mereka di pelataran parkir di
luar bangunan itu, dalam sebuah mobil Ford Escort berwarna kecokelatan yang
agak penyok pintu belakangnya. Laki-laki itu mengulurkan tangannya, lalu
sambil memperkenalkan dirinya

486

sebagai Herb Reitz. Rupanya mengawal detektif-detektif dari kota lain


merupakan tugas sehari-harinya.

Mish berkata. “Kami menghargai kedatangan Anda pada hari Sabtu ini untuk
mendampingi kami.” la melontarkan seulas senyum hangat dan agak genit.

Hati si detektif mencair sedikit. “Itu bukan masalah.”

“Sewaktu^aktu kau butuh sesuatu di Baltimore, hubungi aku secara pribadi.”

“Tentu.”

Jeannie ingin menyela dengan, Demi Tuhan, ayo!

Mereka masuk ke dalam gedung itu, lalu menaiki lift barang yang jalannya
lambat. “Satu apartemen di masing-masing lantai,” ujar Herb. “Si calon
tersangka rupanya bukan orang sembarangan. Apa yang telah dia lakukan?”

“Dia telah memerkosa seseorang,” sahut Mish.

Lift itu berhenti. Pintunya membuka persis di muka sebuah pintu lain, sehingga
mereka tidak bisa ke mana-mana sampai pintu apartemen itu dibuka. Mish
menekan sebuah bel. Lama tidak ada jawaban. Herb menahan pintu lift. Jeannie
berdoa semoga Wayne tidak sedang keluar kota untuk berakhir minggu; ia
merasa tidak bakal sanggup mengatasi antiklimaks seperti ini. Mish menekan bel
itu sekali lagi, sambil membiarkan jarinya tetap di atas tombol itu.

Akhirnya terdengar sebuah suara dari dalam. “Siapa di luar?”

Ternyata memang dia. Suaranya membuat Jeannie menggigil ketakutan.

Herb berkata, “Polisi. Sekarang buka pintunya.”

Nada itu berubah. “Tolong acungkan tanda pengenal Anda di lubang kaca di
muka Anda.”

Herb memperlihatkan lencana detektifnya.

“Oke, sebentar.”

Inilah saatnya, ujar Jeannie pada dirinya. Sekarang aku akan melihatnya.

487

Pintu itu dibuka oleh seorang anak muda berambut acak-acakan, tanpa alas kaki,
dalam jas handuk hitam yang sudah memudar warnanya.

Jeannie memandanginya dengan perasaan bingung.

Dia memang mirip Steve—kecuali bahwa rambutnya berwarna hitam.

Herb berkata, “Wayne Stattner?” •

“Ya.”

Pasti habis dicat, ujar Jeannie pada dirinya. Pasti habis dicat kemarin, atau pada
hari Kamis malam.

“Aku Detektif Herb Reitz dari First Precinct.”

“Aku selalu bersedia bekerja sama dengan pihak kepolisian, Herb,” ujar Wayne,
la melirik ke arah Mish dan Jeannie. Jeannie melihat bahwa ia tidak
menampakkan reaksi mengenalinya sedikit pun. “Bagaimana kalau kalian
masuk?”

Mereka melangkah masuk. Ruang masuk yang tidak berjendela itu dicat hitam,
dengan tiga pintu merah. Di salah satu pojok berdiri sebuah tengkorak manusia,
jenis yang biasanya dipakai di sekolah-sekolah kedokteran, tapi yang ini
mulurnya disumbat dengan sebuah syal berwarna merah, dan pergelangan
tangannya dibelenggu borgol polisi.

Wayne menggiring mereka melalui salah sebuah pintu merah, menuju sebuah
ruangan besar berlangit-langit tinggi. Gorden-gorden beludru hitam menutupi
jendela-* jendelanya, sementara ruangan itu diterangi oleh lampu-lampu redup.
Di dinding terpampang sebuah bendera Nazi berukuran normal. Sebuah koleksi
cambuk mengisi tempat payungnya yang disinari lampu sorot. Sebuah lukisan
cat minyak yang besar, menggambarkan peristiwa penyaliban, bersandar di atas
kuda-kuda; setelah mengamati dengan cermat. Jeannie melihat bahwa sosok
telanjang yang disalibkan itu ternyata bukan Kristus tapi seorang wanita montok
dengan rambut pirang panjang. Ia menggigil lagi.

488

Rumah ini dihuni oleh seorang laki-laki yang sadis; sudah jelas dari apa yang
tampak.

Herb tampak mengawasi sekelilingnya dengan bingung. “Apa mata pencaharian


Anda, Mr. Stattner?*”

“Aku memiliki dua buah kelab malam di sini, di New York. Terus terang karena
itulah aku selalu berusaha bekerja sama dengan pihak kepolisian. Aku harus
menjaga agar tanganku tetap bersih, demi kelancaran urusan bisnis.”

Herb menjentikkan jarinya. “Tentu, Wayne Stattner. Aku membaca artikel


mengenai Anda di majalah New York. Jutawan Muda dari Daerah Manhattan.
Seharusnya aku mengenali nama itu.”
“Silakan duduk.”

Jeannie melangkah ke sebuah kursi, tapi kemudian ia melihat bahwa itu kursi
listrik yang biasa dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Ia mengurungkan
niatnya, menyeringai, lalu duduk di tempat lain.

Herb berkata, “Ini Sersan Michelle Delaware dari Dinas Kepolisian Kota
Baltimore.”

“Baltimore?” ulang Wayne dengan tampang tercengang. Jeannie memperhatikan


wajahnya, untuk melihat tanda-tanda yang menunjukkan kecemasan, tapi
sepertinya ia seorang aktor yang baik. “Jadi. ada kejahatan di Baltimore?”
ujarnya dalam nada sarkastis.

Jeannie berkata, “Rambut Anda dicat, bukan?”

Mish melayangkan tatapan kesal ke arahnya; Jeannie hanya boleh ikut melihat,
bukan menginterogasi calon tersangka.

Namun Wayne rupanya tidak merasa terganggu oleh pertanyaan itu. “Anda jeli
sekali.”

Ternyata aku benar, ujar Jeannie dalam hati dengan perasaan puas. Ternyata
memang dia. la mengalihkan matanya ke arah tangan anak muda itu, dan teringat
bagaimana pakaiannya dikoyak olehnya. Kau memang kurang ajar, bajingan,
umpatnya.

489

“Kapan Anda mengecat rambut Anda?” tanyanya. “Sejak aku berusia lima belas
tahun,” sahut Wayne. Pembohong.

“Warna hitam sudah lama menjadi mode, sejauh yang kuingat.”

Rambutmu pirang pada hari Kamis, ketika kau menggerayangi aku dengan
tanganmu yang besar, dan pada hari Minggu, ketika kau memerkosa sahabatku,
Lisa, di gedung olahraga JFU.

Tapi untuk apa ia berbohong? Apakah ia tahu bahwa orang yang mereka curigai
berambut pirang?
Wayne berkata, “Ada apa sebetulnya? Apakah warna rambutku suatu petunjuk!
Aku suka pada misteri.”

“Kami tidak akan berlama-lama,” ujar Mish. “Kami ingin tahu di mana Anda
pada hari Minggu malam yang lalu, sekitar pukul delapan.”

Jeannie ingin tahu, apakah ia memiliki alibi. Tidak akan sulit baginya untuk
menyatakan bahwa ia bermain kartu dengan beberapa orang preman, kemudian
membayar mereka untuk mendukung pernyataannya, atau mengatakan bahwa ia
tidur dengan seorang pelacur yang pasti bersedia bersumpah palsu baginya, demi
sejumlah imbalan.

Namun jawabannya ternyata berupa kejutan. “Itu tidak sulit,” ujarnya. “Aku di
California.”

“Apa ada yang dapat menguatkan pernyataan itu?”

Anak muda itu tertawa. “Sekitar seratus ribu orang, kukira.”

Jeannie mulai merasa tidak enak. Mana mungkin ia memiliki alibi? Sudah pasti
dialah si pemerkosa itu

Mish berkata, “Apa maksudmu?”

“Aku sedang menghadiri perayaan Emmy.”

Jeannie teringat bahwa ia melihat acara penyerahan penghargaan Emmy yang


ditayangkan di televisi, di ruang rumah sakit tempat Lisa diperiksa. Bagaimana
mungkin Wayne bisa berada di situ? Mana mungkin ia

490

bisa sampai di bandara lebih dahulu daripada Jeannie sampai di rumah sakit itu?

“Aku tidak memenangkan apa-apa, tentu saja,” tambah anak muda itu. “Aku
tidak berkecimpung dalam bisnis itu. Tapi Salina Jones berkecimpung di situ,
dan dia seorang teman lama.”

” Ia melayangkan mata ke arah lukisan cat minyaknya. Jeannie menyadari bahwa


wanita dalam lukisan itu mirip si artis yang bermain sebagai Babe, putri Brian
yang suka menggerutu di sebuah sinetron mengenai kehidupan di sebuah
restoran. Ton Many Cooks. Rupanya wanita itu pernah berpose untuknya.

Wayne berkata, “Salina memenangkan penghargaan sebagai artis komedi


terbaik, dan aku mencium kedua pipinya saat dia turun dari panggung dengan
piala di tangannya. Momentum yang indah, sempat diabadikan oleh beberapa
kamera televisi, untuk langsung disiarkan ke seluruh dunia. Aku punya
videonya. Dan fotonya ada di majalah People terbitan minggu ini.”

Ia menunjuk ke arah sebuah majalah yang tergeletak di karpet.

Dengan hati menciut, Jeannie memungutnya. Memang ada sebuah foto Wayne,
betul-betul tampan dalam jas tuksedonya, mencium Salina yang sedang
menggenggam penghargaan Emmy-nya di tangan.

Rambut Wayne hitam ketika itu.

Di bawah foto itu tertulis Impresario klub malam New York, Wayne Stattner,
memberikan selamat kepada mantan kekasihnya, Salina Jones, atas penghargaan
Emmy yang diterimanya untuk Too Many Cooks dt Hollywood pada hari
Minggu malam.

Nilainya sama seperti sebuah alibi.

Bagaimana mungkin?

Mish berkata. “Oke, Mr. Stattner, kami sudah cukup lama mengganggu Anda.”

“Atas tuduhan apa aku dituding?”

491

“Kami sedang menyidik suatu kasus pemerkosaan yang terjadi di Baltimore pada
hari Minggu malam.” “Bukan aku,” ujar Wayne.

Mish melirik ke arah lukisan penyaliban itu. Wayne mengikuti pandangannya.


“Korban-korbanku melakukannya dengan sukarela,” ujarnya sambil menatap
Mish dalam gaya mengundang.

Wajah Mish memerah, lalu ia membuang muka.


Jeannie merasa tersisih. Seluruh harapannya sirna. Namun otaknya masih
bekerja, dan saat mereka berdiri untuk minta diri, ia bertanya, “Boleh aku tanya
sesuatu?”

“Tentu,” ujar Wayne dalam nada ringan.

“Anda punya kakak atau adik?”

“Aku anak tunggal.”

“Sekitar waktu Anda dilahirkan, ayah Anda bertugas di dinas kemiliteran,


betul?”

“Ya, dia seorang instruktur pilot helikopter di Fort Bragg. Dari mana Anda tahu
itu?”

“Apa Anda kebetulan tahu apakah ibu Anda mengalami kesulitan dalam
mengandung?”

“Ini pertanyaan yang lucu dari seorang polisi.”

Mish berkata “Dr. Ferrami adalah seorang ilmuwan dari Jones Falls University.
Risetnya ada hubungannya dengan kasus yang sedang kutangarri.”

Jeannie berkata, “Apakah ibu Anda pernah mengungkapkan bahwa dia pernah
menjalani suatu perawatan .kesuburan?”

“Tidak kepadaku.”

“Anda berkeberatan kalau aku langsung menanyakan itu kepadanya?”

“Dia sudah meninggal.”

“Aku menyesal mendengar itu. Bagaimana mengenai ayah Anda?”

Wayne angkat bahu. “Anda bisa meneleponnya.” “Di mana?”

“Dia tinggal di Miami. Akan kuberikan nomornya.”

492
Jeannie menyodorkan sebuah pena. Wayne mengorat oret sebuah nomor di salah
satu halaman majalah People, yang kemudian ia sobek.

Mereka menuju pintu. Herb berkata. “Terima kasih untuk kerja sama Anda. Mr.
Stattner.”

“Bukan masalah.”

Saat mereka turun dengan lift, Jeannie bertanya, “Kau percaya alibinya?”

“Akan aku cek kebenarannya,” sahut Mish. “Tapi sepertinya cukup


meyakinkan.”

Jeannie menggeleng-gelengkan kepala. “Sulit rasanya untuk percaya bahwa dia


tidak bersalah.”

“Tentu saja dia punya banyak salah. Manis—tapi bukan untuk tindak kejahatan
yang ini.”

BAB 44

Steve sedang menunggu di dekat pesawat telepon. Ia duduk di ruang dapur yang
luas di rumah orangtuanya di Georgetown, mengawasi ibunya membuat perkedel
daging, sambil menunggu telepon dari Jeannie. Ia ingin tahu, apakah Wayne
Stattner memang betul-betul kembarannya. Ia ingin tahu, apakah Jeannie dan
Sersan Delaware akan menemukannya di alamat New York-nya. la ingin tahu,
apakah Wayne akan mengakui bahwa ia telah memerkosa Lisa Hoxton.

Mom sedang merajang bawang. Ia betul-betul tertegun dan terkejut ketika


pertama kali mendengar mengenai apa yang pernah dilakukan atas dirinya di
Aventine Clinic pada bulan Desember 1972. Semula ia tidak mau
mempercayainya, dan hanya menerimanya untuk sementara, seakan untuk
menghindari argumentasi saat mereka sedang berunding dengan si pengacara.
Tapi tadi malam Steve berbincang-bincang dengan kedua orangtuanya sampai
larut malam, untuk membicarakan hal yang tidak masuk akal ini. Mom betul-
betul marah ketika itu. Membayangkan dokter-dokter itu melakukan eksperimen
atas diri pasien-pasien tanpa izin yang bersangkutan, merupakan hal yang amat
mengguncangkan baginya. Dalam artikelnya, Mom sering mengulas tentang hak
kaum wanita untuk mengontrol tubuh mereka sendiri.
494

Untungnya Dad bersikap lebih tenang. Semula Steve beranggapan seorang laki-
laki akan menunjukkan reaksi lebih keras dalam menghadapi aspek yang sama
sekali tidak masuk akal ini. Tapi sejak awal Dad sudah bersikap amat rasional,
saat membahas logika Jeannie, menspe-kulasi kemungkinan lain sehubungan
dengan fenomena kembar tiga itu, dan pada akhirnya mengambil kesimpulan
bahwa Jeannie mungkin benar. Namun reaksi tenang memang merupakan bagian
dari pembawaan Dad. Apa yang terlihat dari luar itu belum tentu sesuai dengan
apa yang sebetulnya ia rasakan di dalam. Saat ini ia sedang berada di halaman,
dengan santai menyirami kebun bunga, namun hatinya mungkin sedang
bergolak-golak.

Mom mulai menumis bawang, dan aromanya menerbitkan air liur Steve.
“Perkedel daging dengan kentang dilumatkan dan saus tomat,” ujarnya. “Betul-
betul nggak ada yang lebih asyik.”

Mom tersenyum. “Ketika berusia lima tahun, kau ingin makan itu tiap hari.”

“Aku ingat. Di dapur kecil di Hoover Tower.”

“Kau masih ingat itu?”

“Ya. Aku ingat ketika pindah, dan betapa janggal rasanya memiliki sebuah
rumah, bukannya apartemen.”

“Ketika itulah aku mulai memperoleh hasil dari buku pertamaku, What to Do
When You Can’t Get Pregnant.” Mom menghela napas. “Seandainya fakta
mengenai bagaimana aku sampai hamil terungkap, isi buku itu bakal
meninggalkan kesan konyol sekali.”

.“Mudah-mudahan para pembeli buku itu tidak menuntut kembali uang mereka.”

Mom memasukkan daging cincang ke dalam penggorengan, bersama


bawangnya, lalu mengelap tangannya. “Sepanjang malam aku merenungkan hal
ini, dan kau tahu? Aku toh merasa bersyukur bahwa mereka melakukan itu
padaku di Aventine Clinic.”

495
“Kenapa? Mom begitu terguncang tadi malam.”

“Aku memang masih kesal, bahwa aku dipakai seperti seekor simpanse. Tapi aku
toh menyadari satu hal yang sebetulnya sederhana: andai kata mereka tidak
melakukan eksperimen itu atas diriku, aku tidak akan memiliki kau. Selain itu,
masa bodoh.”

“Mom tidak mempermasalahkan bahwa aku sebetulnya bukan sungguh-sungguh


anak Mom?”

Mom merangkul Steve. “Kau milikku, Steve. Tidak ada yang dapat mengubah
fakta itu.”

Pesawat telepon berdering. Steve langsung menyambarnya. “Halo”

“Aku Jeannie.”

“Apa yang terjadi?” ujar Steve sambil berusaha menahan napas. “Dia di sana?”

“Ya, dan dia memang kembaranmu. kecuali bahwa dia telah mengecat hitam
rambutnya.”

“Ya Tuhan! Jadi, kami bertiga.”

“Ya. Ibu Wayne sudah meninggal, tapi aku bani saja berbicara dengan ayahnya
di Florida, dan dia menyatakan bahwa istrinya pernah menjalani perawatan di
Aventine Clinic”

Itu berita bagus, namun nada suara Jeannie toh kurang antusias. “Sepertinya kau
tidak senang sebagaimana seharusnya.”

‘Ternyata dia punya alibi untuk hari Minggu itu.”

“Sial.” Harapan Steve langsung menciut lagi. “‘Kok bisa? Bagaimana alibinya?”

“Kuat. Dia sedang menghadiri acara penghargaan Emmy di Los Angeles. Ada
foto-fotonya.”

“Dia berkecimpung di dunia perfilman?”

“Dia pemilik kelab malam. Seorang selebriti minor.”


Steve mengerti sekarang, kenapa Jeannie begitu patah semangat.
Keberhasilannya untuk menemukan Wayne amal brilian, namun mereka tidak
mendapatkan apa-apa. “Lalu siapa yang memerkosa Lisa?”

496

“Kau ingat apa yang dikatakan Sherlock Holmes? ‘Setelah berhasil menyisihkan
semua unsur yang tak mungkin, yang tinggal—meskipun kedengarannya tidak
masuk akal—adalah kebenarannya.’ Atau Hercule Poirot yang mengatakan itu?”

Jantung Steve seakan berhenti berdetak. Apakah Jeannie hendak mengatakan


bahwa dia yang memerkosa Lisa? “Maksudmu?”

“Kalian berempat.”

“Quadruplet? Jeannie, itu kan tidak mungkin.”

“Bukan. Aku nggak percaya bahwa embrio ini membelah menjadi empat secara
kebetulan. Pasti sengaja dibelah, sebagai bagian dari eksperimen itu.”

“Apa itu mungkin?”

“Sekarang, ya. Kau pasti pernah mendengar tentang cloning. Di tahun tujuh
puluhan, itu baru semacam ide. Tapi Genetico rupanya sudah lebih jauh dari
yang lain— mungkin karena mereka bekerja secara terselubung dan bisa
bereksperimen dengan menggunakan manusia.”

“Jadi, menurutmu aku ini semacam clone!”

‘Tidak bisa lain. Sori, Steve. Kau terus mendengar yang aneh-aneh dariku.
Untung kau punya orangtua seperti yang kaumiliki.”

“Yeah. Seperti apa dia, si Wayne itu?”

“Aneh. Dia memiliki sebuah lukisan yang menggambarkan Salina Jones disalib
dalam keadaan telanjang. Aku benar-benar ngeri berada di apartemennya.

Steve terdiam. Yang satu seorang pembunuh, yang lain seorang sadis, sedangkan
yang keempat, berdasarkan hipotesis, adalah seorang pemerkosa. Lalu aku
sendiri sebetulnya apa?
Jeannie berkata, “Ide itu juga menjelaskan alasan mengapa kalian semua
dilahirkan pada hari yang berbeda. Embrio-embrio itu disimpan di laboratorium
dalam periode-periode yang berlainan, sebelum ditanam dalam rahim wanita-
wanita itu.”

497

Kenapa ini harus terjadi atas diriku? Kenapa aku tidak bisa sama seperti orang-
orang lain?

“Pesawatnya sudah mau berangkat, aku mesti buru-buru.”

“Aku ingin menemui mu Aku akan berangkat ke Baltimore.” “Oke Bye”

Steve menutup pesawatnya. “Mom dengar, kan?” ujarnya pada ibunya.

“Yeah. Tampangnya persis seperti kan, tapi dia punya alibi, jadi menurut Jeannie
kalian berempat, dan kalian semacam clone.”

“Kalau aku memang semacam clone, tentunya aku juga seperti mereka.”

‘Tidak. Kau lain, karena kau milikku.”

“Tapi nyatanya tidak.” Steve melihat suatu kepedihan membayang di wajah


ibunya, tapi ia sendiri sedang merasakan hal yang sama. “Aku adalah anak dari
dua orang yang sama sekali tidak kukenal, hasil seleksi para ilmuwan yang
bekerja untuk Genetico. Begitulah silsilahku.”

“Kau tidak sama seperti yang lain, sikapmu lain.”

“Tapi apakah itu juga akan membuktikan bahwa pembawaanku tidak sama
seperti mereka? Atau bahwa aku sudah belajar untuk menyembunyikannya,
seperti seekor binatang yang sudah dijinakkan? Apakah Mom membuat aku
sebagaimana aku sekarang? Atau Genetico?”

“Aku tidak tahu, anakku,” sahut Mom. “Aku sungguh-sungguh tidak tahu.”

498

BAB 45
Jeannie mandi dan mencuci rambutnya, kemudian memakai make-up mata
dengan hati-hati. Ia memutuskan untuk tidak menggunakan lipstik atau perona
pipi. Ia mengenakan sweater ungu berleher V dan legging ketat berwarna abu-
abu. tanpa pakaian dalam ataupun sepatu. Ia memasang giwang hidung
favoritnya, sebuah perhiasan perak bertatahkan batu nilam yang mungil.
Penampilannya berkesan seksi di cermin. “Mau jadi alim, Non?” ujarnya.
Sesudah itu ia mengedipkan matanya, lalu menuju ruang duduk.

Ayahnya sudah pergi lagi. Rupanya ia lebih suka di rumah Patty, sebab ada
ketiga cucunya untuk menghibur hatinya. Ia dijemput Patty sewaktu Jeannie
berada di New York.

Tidak ada lagi yang harus dikerjakan Jeannie selain menunggu kedatangan
Steve. Ia mencoba untuk tidak memikirkan kekecewaan-kekecewaan yang
dialaminya hari itu. Untuk sementara, cukup, la mulai merasa lapar: seharian ia
cuma minum kopi. Ia menimbang-nimbang, apakah akan makan sekarang atau
menunggu sampai Steve datang. Ia tersenyum begitu teringat bahwa anak muda
itu telah melahap sekaligus delapan potong roti bumbu kayu manis sebagai
sarapan. Betulkah itu baru terjadi kemarin? Rasanya seperti seminggu yang lalu.

499

Tiba-tiba ia teringat bahwa ia tidak punya apa-apa di lemari es. Tidak lucu kalau
Steve datang dengan perut lapar, sedangkan ia tidak punya apa-apa untuk
dimakan! Cepat-cepat ia mengenakan sepatu bot Doc Marten-nya, lalu lari
keluar. Ia mengemudikan mobilnya ke 7-Eleven yang terletak di persimpangan
antara Falls Road dan 36th Street, lalu membeli telur, daging asap Canadian,
susu, sebongkah roti, salad siap makan, bir Dos Equis, es krim Ben & Jerry’s
rasa Rainforest Crunch, dan empat bungkus roti bumbu kayu manis yang masih
beku.

Saat berdiri dalam barisan di muka kasir, ia menyadari bahwa Steve mungkin
sudah sampai di rumahnya, sementara ia sedang keluar Malah mungkin Steve
sudah pergi lagi. Jeannie lari keluar dari toko itu dengan belanjaannya, kemudian
ngebut pulang seperti orang sedang kerasukan, sambil membayangkan Steve
menunggu dengan tak sabar di muka pintunya.

Tak ada seorang pun di muka rumahnya serta tanda-tanda kehadiran mobil
Datsun karatannya. Jeannie masuk ke dalam, lalu memasukkan makanan yang
baru dibelinya ke dalam lemari es. Ia mengeluarkan telur dari kartonnya untuk
dibariskan di tempatnya. Ia menyimpan birnya, lalu mengisi mesin kopinya.
Sesudah itu tidak ada lagi yang perlu ia kerjakan.

Terpintas dalam dirinya bahwa ulahnya lain dari biasa. Jeannie tidak pernah
peduli apakah seorang laki-laki mungkin merasa lapar. Dulu, dengan Will
Temple, kalau Will merasa lapar, ia akan menyiapkan sendiri sesuatu untuk
dimakan, dan kalau lemari es Jeannie kosong, Will akan pergi ke toko, dan kalau
tokonya tutup, ia akan pergi ke restoran. Tapi kini Jeannie merasa dirinya
dilanda oleh kebutuhan untuk memperhatikan tetek bengek seperti itu. Rupanya
Steve memiliki pengaruh lebih besar atas dirinya daripada laki-laki lain,
meskipun Jeannie baru beberapa hari mengenalnya.

500

Suara bel pintu berdering nyaring, seakan mau meledak.

Jeannie tersentak, jantungnya berdebar-debar. Kemudian melalui interkomnya ia


bertanya, “Ya?” “Jeannie? Aku Steve.”

Jeannie menekan tombol pembuka pintu. Untuk sesaat ia berdiri diam, dan
merasa dirinya agak konyol. Ulahnya persis seperti gadis remaja. Ia melihat
Steve menaiki tangga dalam baju kaus abu-abu dan celana blue jeans model
longgar. Di wajahnya membayang kepedihan dan kekecewaannya selama dua
puluh empat jam terakhir. Jeannie merangkul leher Steve, lalu memeluknya.
Tubuh yang kuat itu terasa tegang dan tertekan.

Jeannie menggiring Steve ke ruang duduk. Steve duduk di sofa, sementara ia


menyalakan mesin kopinya. Jeannie merasa begitu dekat dengannya. Mereka
belum pernah pergi berkencan, ke restoran-restoran, dan nonton berdua,
sebagaimana cara Jeannie biasanya mengawali hubungan dengan seorang laki-
laki. Yang mereka lakukan adalah berjuang berdampingan untuk memecahkan
misteri demi misteri, serta menghadapi perlakuan tidak adil musuh-musuh
terselubung Dan situasi itu dengan cepat mengakrabkan mereka.

“Mau kopi T

Steve menggeleng. “Aku lebih suka kalau kita berpegangan tangan.?

Jeannie duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya. Steve mendoyongkan


tubuhnya ke depan. Jeannie mengangkat wajahnya, lalu Steve mencium
bibirnya. Itu ciuman serius mereka yang pertama. Jeannie meremas tangan
Steve, lalu menguakkan bibirnya. Aroma dari mulut anak muda itu
mengingatkannya akan asap kayu. Untuk sesaat nafsunya agak mereda saat ia
mempertanyakan pada dirinya, apakah ia sudah menggosok gigi; begitu teringat
bahwa ia sudah melakukan itu, ia merasa santai kembali. Steve menyentuh
payudaranya melalui

501

sweater-nya yang terbuat dari bahan wol halus. Tangan Steve yang besar ternyata
amat lembut. Jeannie melakukan hal yang sama padanya, dengan mengusap-
usapkan telapak tangannya pada dada Steve.

Dalam waktu singkat, mereka sama-sama sudah merasa panas.

Steve menarik diri. Ia menatap Jeannie, seakan ingin merekam garis-garis wajah
Jeannie ke dalam kenangan nya. Dengan ujung jarinya ia menyentuh alis
Jeannie, pipinya, ujung hidungnya, dan bibirnya, begitu lembut, seakan takut
akan merusak sesuatu. Ia menggeleng-gelengkan kepala, seakan tak dapat
mempercayai apa yang dilihatnya.

Dalam tatapannya, Jeannie melihat suatu kerinduan. Laki-laki ini menginginkan


dirinya dengan seluruh keberadaannya. Dan itu membuatnya terangsang.
Nafsunya mulai berkobar, seakan diembus angin selatan, panas dan menggebu-
gebu. Ia merasakan suatu sensasi yang selama satu setengah tahun tak pernah ia
rasakan. Ia menginginkan segala-galanya sekaligus, tubuh anak muda itu di
atasnya, lidahnya di dalam mulutnya, dan tangannya di mana-mana.

Ia mencakup wajah Steve, kemudian menariknya. Lalu ia menciumnya lagi, kali


ini dengan mulut terbuka. Ia mendoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga
anak muda itu setengah menindihnya. Akhirnya ia mendorong tubuh Steve, lalu
dengan napas terengah-engah berkata. “Kamar tidur.”

Jeannie menarik diri, kemudian masuk lebih dulu ke dalam kamar tidur. Ia
melepas pakaiannya, lalu melemparkannya ke lantai. Steve masuk ke dalam
kamar itu, lalu menutup pintu di belakangnya dengan tumit kakinya Melihat
Jeannie menanggalkan pakaiannya, dengan suatu gerakan cepat ia membuka
baju kausnya.
Mereka semua melakukan itu, ujar Jeannie pada dirinya; mereka semua menutup
pintu dengan tumit kaki.

502

Steve melepaskan sepatunya, membuka ikat pinggangnya, lalu menanggalkan


celana jeans-nya. Bentuk tubuhnya betul-betul sempurna, bahunya bidang,
dengan dada berotot dan pinggul sempit dalam celana Jockey putih.

Tapi benarkah ini Steve?

Steve bergerak mendekat, tapi Jeannie melangkah mundur.

Laki-laki yang meneleponnya mengatakan, “Dia dapat mengunjungimu.”

Steve mengerutkan dahi. “Ada apa?”

Tiba-tiba Jeannie merasa takut. “Aku tidak dapat melakukan ini,” ujarnya

Steve menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya lagi. “Wauw,”


ujarnya. Ia memalingkan wajahnya “Wauw.”

Jeannie menyilangkan lengannya di muka dada, untuk menutupi payudaranya.


“Aku tidak tahu siapa kau.”

“Astaga.” Steve duduk di tempat tidur, membelakangi Jeannie, bahunya yang


besar melengkung lemas. Tapi mungkin ia cuma pura-pura. “Kau mengira aku
yang menjumpaimu di Philadelphia”

“Aku mengira dia Steve.”

“Tapi untuk apa dia berpura-pura menjadi aku?” “Itu tidak penting.”

“Dia tidak akan mau melakukannya hanya untuk bercinta,” ujar Steve.
“Kembaranku memiliki cara-cara khusus untuk memuaskan nafsu mereka dan
yang jelas bukan dengan cara begini. Kalau dia ingin menidurimu, dia akan
mengancammu dengan pisau, atau menyobek stocking-mu, atau membakar
sebuah gedung, ya kan?”

“Aku ditelepon seseorang,” ujar Jeannie dalam nada bergetar. “Seorang


penelepon gelap. Dia mengatakan: Yang menemuimu di Philadelphia sebetulnya
punya niat untuk membunuhmu. Dia terbawa nafsu, sehingga misinya
berantukan. Tapi dia bisa mengunjungimu lagi. Karena

503

itulah kau harus pergi dari sini, sekarang juga.” Jeannie menyambar pakaiannya
dari lantai dan cepat-cepat mengenakannya. Ia masih belum merasa cukup aman.

Rasa simpati membayang di mata anak muda itu. “Jeannie yang malang,”
ujarnya. “Mereka benar-benar berhasil* menakutimu. Aku menyesal sekali.” Ia
berdiri, kemudian mulai mengenakan celana jeans-nya.

Tiba-tiba Jeannie merasa yakin bahwa ia telah membuat kekeliruan. Si


Philadelphia, si pemerkosa, tidak akan mau mengenakan pakaiannya kembali
dalam situasi seperti ini. la akan mengempaskan Jeannie ke tempat tidur,
mencabik-cabik pakaiannya, serta mencoba merengkuhnya secara paksa. Yang
ini lain. Yang ini pasti Steve. Jeannie merasakan dorongan tak tertahankan untuk
segera merangkul anak muda ini dan bercinta dengannya. “Steve…”

Steve tersenyum. ““Itu aku.”

Tapi inikah tujuan dari aktingnya? Begitu ia berhasil memenangkan Jeannie dan
mereka sudah dalam keadaan telanjang di tempat tidur, apakah ia akan berubah
dan menyingkapkan sifatnya yang sebenarnya, sifat alaminya yang senang
melihat wanita dalam ketakutan dan kesakitan? Jeannie menggigil.

Situasinya sepertinya kurang baik. Jeannie mengalihkan pandangannya.


“Sebaiknya kau pergi,” ujarnya.

“Kau bisa mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku,” ujar Steve.

“Baik. Di mana aku bertemu Steve pertama kali?”

“Di lapangan tenis.”

Jawaban itu benar. “Tapi baik Steve maupun si pemerkosa ada di JFU hari itu.”

“Tanyakan sesuatu yang lain padaku.”


“Berapa potong roti bumbu kayu manis dimakan Steve pada hari Jumat pagi?”

Steve tersenyum. “Delapan, malu juga aku mengakui- • nya.”

504

Jeannie menggeleng-gelengkan” kepalanya dengan panik. “Tempat ini mungkin


disadap. Mereka sudah menggeledah ruang kantorku, menghapus E-mail-ku,
mungkin mereka sedang menguping pembicaraan kita saat ini. Gawat. Aku
belum terlalu mengenal Steve Logan, dan yang kuketahui mengenai dirinya
mungkin juga diketahui orang lain.”

“Kukira ucapanmu masuk akal,” ujar Steve sambil mengenakan kembali baju
kausnya

Steve duduk di tempat tidur untuk mengenakan sepatunya Jeannie menuju ruang
duduk, karena tak ingin tinggal di kamar dan mengawasi Steve berpakaian.
Apakah ia salah? Ataukah ini justru langkah paling bijaksana yang pernah
diambilnya? Ia betul-betul merasa tidak epdk sekarang. Semula ia begitu ingin
bercinta dengan Steve. Namun bayangan mendapati dirinya di tempat tidur
bersama orang seperti Wayne Stattner betul-betul membuatnya menggigil
ketakutan.

Steve muncul dalam pakaian lengkap. Jeannie menatap ke dalam matanya. Ia


mencoba mencari sesuatu di sana, suatu tanda yang dapat mengenyahkan rasa
ragunya namun ia tidak menemukannya Aku tidak tahu siapa kau, aku sungguh-
sungguh tidak tahu!

Steve dapat membaca pikirannya. “Percuma, aku tahu. Percaya adalah percaya,
dan pada saat itu sirna itu sima.” Ia membiarkan kekecewaannya tampak sesaat.
“Brengsek sekali, benar-benar brengsek.”

Kemarahannya membuat Jeannie takut. Ia cukup kuat, tapi anak muda itu lebih
kuat. Ia ingin anak muda itu meninggalkan apartemennya secepatnya.

Steve merasakan itu. “Oke, aku akan pergi,” ujarnya Ia menuju pintu. “Kau
tentunya tahu bahwa dia tidak akan mau pergi.”

Jeannie mengangguk.
Steve mengucapkan apa yang terpintas dalam pikiran Jeannie. “Tapi sebelum
aku sungguh-sungguh pergi,

505

kau tidak akan tahu pasti. -Dan kalau aku pergi lalu kembali lagi, itu percuma.
Supaya kau yakin bahwa aku adalah aku, aku harus betul-betul pergi.”

“Ya.” Ia sudah merasa lebih yakin sekarang, bahwa anak muda ini memang
Steve, namun keraguannya akan kembali, kecuali kalau Steve sungguh-sungguh
pergi.

“Kita membutuhkan sebuah sandi rahasia, supaya kau tahu bahwa itu aku.”

“Oke.”

“Aku akan memikirkannya.” “Oke.”

“Sampai ketemu,” ujarnya. “Aku tidak akan mencoba menciummu.”

Steve mulai menuruni tangga. “Jangan lupa telepon aku,” serunya.

Jeannie tetap berdiri diam di tempat, sampai mendengar suara bantingan pintu.

Ia menggigit bibir. Ia ingin menangis rasanya. Ia pergi ke dapur, lalu menuang


kopi ke dalam cangkir. Ia mengangkatnya ke mulutnya, tapi cangkir itu tiba-tiba
terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai, kemudian hancur berserakan ke
mana-mana. “Sial,” umpatnya.

Kakinya terasa lemas, lalu ia berbaring di sofa. Ia merasa dirinya begitu


terancam. Kini ia tabu bahwa bahaya itu cuma hasil imajinasinya sendiri, namun
ia toh merasa lega bahwa semua itu sudah berlalu. Tubuhnya masih terasa tidak
enak. “Tidak lama lagi.” ujarnya pada dirinya. “Tidak lama lagi.” Ia mencoba
membayangkan, bagaimana suasananya kalau mereka bertemu lagi kelak; ia
akan memeluk dan mencium Steve dan meminta maaf kepadanya. Dan Steve
akan memaafkannya dengan lembut.

Kemudian ia tertidur sebentar.

506
BAB 46

Perasaan dilecehkan mendera Berrington. Keberhasilannya mengalahkan Jeannie


Ferrami tidak membuatnya merasa lebih enak. Ia terpaksa berlaku seperti
seorang pencuri kelas teri. Diam-diam ia telah menggelitik rasa ingin tahu pihak
pers, menyelinap ke dalam ruang kerja Jeannie, menggeledah laci-laci meja
tulisnya, dan kini mengintai rumahnya. Dunianya serasa akan runtuh di
sekitarnya. Ia sudah benar-benar nekat.

Tidak pernah terpintas dalam dirinya bahwa ia akan melakukan semua ini
beberapa minggu menjelang hari ulang tahunnya yang keenam puluh: duduk di
dalam mobilnya, yang diparkir di pinggir sebuah jalan, mengawasi pintu depan
rumah seseorang, seakan ia seorang detektif kelas kacang. Apa yang akan
dikatakan ibunya? Ibunya masih hidup; seorang wanita bertubuh ramping dan
selalu tampil rapi dalam usia delapan puluh empat tahun, tinggal di sebuah kota
kecil di Maine, menulis surat-surat yang menarik ke sebuah koran lokal, dan
masih tetap aktif mempertahankan perannya sebagai kepala penata bunga untuk
gereja Episcopalian. Bulu kuduknya pasti berdiri menahan malu kalau ia tahu
apa ^yang sedang dikerjakan putranya.

Mudah-mudahan ia tidak kepergok oleh salah seorang kenalannya. Ia cukup


berhati-hati untuk tidak membalas

507

tatapan mata orang yang lewat. Untungnya mobilnya tidak begitu mencolok. Ia
sendiri menilai kendaraannya sebagai sebuah mobil klasik yang elegan, namun
tidak banyak Lincoln Town Car berwarna perak yang diparkir di sepanjang jalan
itu; mobil-mobil tua yang kompak keluaran Jepang dan Pontiac Firebird yang
terawat apik merupakan kendaraan favorit orang-orang di sini. Berrington
sendiri bukan tipe yang tidak menarik perhatian, dengan rambut keabuannya
yang khas. Semula selama beberapa waktu ia menggelar sebuah peta jalan di
mukanya, sambil mendoyongkan tubuh ke arah kemudi, untuk kamuflase,
namun daerah ini adalah daerah permukiman yang ramah, dan sudah dua orang
yang mengetuk jendelanya untuk menawarkan petunjuk, sehingga ia terpaksa
menyisihkan peta itu. Ia menghibur dirinya dengan menganggap siapa pun yang
tinggal di daerah kelas murahan seperti ini tak mungkin memiliki kedudukan
cukup terpandang.
la tidak tahu apa-apa mengenai rencana Jeannie. Pihak FBI ternyata tidak
berhasil menemukan daftar itu di apartemennya. Berrington terpaksa
menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk: daftar itu akan
mengantar Jeannie ke clone yang lain. Kalau memang demikian, bencana itu
sudah tidak jauh lagi. Berrington, Jim, dan Preston akan terpaksa menghadapi
eksposi secara terbuka, kehilangan nama baik dan bangkrut.

Jim-lah yang mengusulkan kepada Berrington untuk mengawasi rumah Jeannie.


“Kita harus tahu apa yang sedang dia lakukan, siapa-siapa saja yang datang ke
rumahnya dan pergi dari sana,” ujar Jim ketika itu, dan Berrington terpaksa
menurutinya. Ia sudah sampai ke situ pagi-pagi, tapi tidak ada yang terjadi
hingga sekitar tengah hari, ketika Jeannie diantar oleh seorang wanita kulit hitam
yang ia kenali sebagai salah satu detektif yang menyidik kasus pemerkosaan itu.
Wanita itu sempat mewawancarainya sebentar pada hari Senin. Berrington

508

menganggapnya menarik. Ia juga masih ingat namanya: Sersan Delaware.

Berrington menelepon Proust dari sebuah telepon umum di restoran McDonald


di ujung jalan, dan Proust berjanji akan mengerahkan teman FBl-nya untuk
mencari tahu siapa yang telah mereka kunjungi. Terbayang oleh Berrington
orang FBI itu berkata. Sersan Delaware hari ini mengontak seorang calon
tersangka yang sedang dalam pengintaian kami. Untuk alasan sekuriti, aku tidak
dapat mengungkapkan lebih banyak daripada itu, tapi akan sangat bermanfaat
bagi kami untuk tahu persis apa yang dilakukannya pagi ini dan kasus apa yang
sedang ditanganinya.

Sekitar satu jam kemudian, Jeannie tergesa-gesa meninggalkan rumahnya;


penampilannya seksi sekali dalam sweater berwarna keunguan Berrington tidak
langsung membuntutinya, meskipun hatinya cemas; sulit rasanya menurunkan
gengsinya dengan cara itu. Namun Jeannie muncul kembali beberapa menit
kemudian, membawa beberapa kantong kertas cokelat dari sebuah toko
swalayan. Yang muncul berikutnya adalah salah seorang clone, tentunya Steve
Logan.

Steve tidak lama di situ. Kalau aku jadi dia, pikir Berrington, «lengan Jeannie
berpakaian seperti itu, aku akan tinggal di sana semalaman dan hampir seluruh
hari Minggu.
Ia mengecek lagi jam di mobilnya untuk kedua puluh kali, lalu memutuskan
untuk menelepon Jim kembali. Mungkin Jim sudah tahu sesuatu dari pihak FBI
sekarang.

Berrington meninggalkan “mobilnya, lalu pergi ke ujung jalan. Aroma kentang


goreng membuatnya lapar, tapi ia tidak suka makan hamburger dari wadah-
wadah styrofoam. Ia memesan secangkir kopi hitam, lalu menghampiri sebuah
pesawat telepon umum.

“Mereka ke New York,” ujar Jim kepadanya.

509

Memang itu yang dikhawatirkan Berrington selama ini. “Wayne Stattner,”


ujarnya. “Ya.”

“Sial. Lalu apa yang mereka lakukan?”

“Menanyakan keberadaannya pada hari Minggu yang lalu, dan hal-hal yang
berhubungan dengan itu. Ternyata Wayne menghadiri acara penghargaan Emmy.
Fotonya ada di majalah People. Begitu ceritanya.”

“Apa sudah ada petunjuk mengenai apa yang direncanakan Jeannie


selanjutnya?”

“Belum. Apa yang terjadi di sana sejauh ini?”

“Tidak banyak. Aku bisa melihat pintu rumahnya dari sini. Dia pergi belanja
sebentar, Steve Logan datang, lalu pergi, hanya itu. Mungkin mereka sudah
kehabisan ide.”

“Mungkin juga belum. Kita hanya tahu bahwa idemu untuk memecatnya
ternyata tidak berhasil membungkam mulutnya.”

“Oke, Jim, jangan diungkit-ungkit lagi. Tunggu… dia keluar.” Jeannie sudah
mengganti pakaiannya; ia mengenakan celana jeans putih dan sehelai blus tanpa
lengan berwarna biru. yang memperlihatkan lengan-lengannya yang kuat.

“Ikuti dia,” ujar Jim. * 1


“Tidak. Dia sudah masuk ke mobilnya” “Berry, kita harus tahu ke mana dia
pergi.” “Aku bukan polisi!”

Seorang gadis kecil yang sedang menuju kamar kecil bersama ibunya berkata,
“Orang itu marah. Mommy.” “Sssh, Manis,” sahut ibunya.

Berrington menurunkan nada suaranya “Dia sudah pergi.”

“Cepat naik mobilmu!” “Sialan kau, Jim.”

“Buntuti dia!” Jim menutup pesawatnya Berrington masih berdiri termanggu di


sana.

510

Mobil Mercedes merah Jeannie melesat di hadapannya-lalu membelok ke arah


selatan di Falls Road. Berrington lari ke mobilnya

di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad co cc) oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan memmpa hidup anda selawan a

511

BAB 47

Jeannie menatap ayah Steve. Rambut Charles berwarna gelap, dengan bayangan
cambang lebat di sekitar rahangnya. Ekspresi wajahnya keras dan
pembawaannya betul-betul rapi. Meskipun itu hari Sabtu dan ia bara saja
berkebun, ia mengenakan celana panjang berwarna gelap yang diseterika rapi,
dan sehelai kemeja bertangan pendek dengan kerah. Tampangnya sama sekali
tidak mirip Steve. Satu-satunya hal yang diturunkannya pada Steve mungkin
hanya selera berpakaiannya yang konservatif. Hampir semua mahasiswa Jeannie
mengenakan pakaian dari bahan denim yang robek dan bahan kulit berwarna
hitam, tapi Steve lebih suka mengenakan celana panjang dari khaki dan kemeja.

Steve belum pulang, dan menurut perhitungan Charles, mungkin ia sedang


mampir di perpustakaan fakultasnya untuk mencari bacaan mengenai kasus-
kasus pemerkosaan* Ibu Steve sedang tidur. Charles membuat minuman limun
segar, lalu ia dan Jeannie menuju serambi rumah untuk duduk-duduk di kursi
kebun.

Tadi, begitu terbangun dari tidur ayamnya, suatu ide yang amat brilian melintas
di kepala Jeannie. Ia menemukan cara untuk melacak si clone keempat. Tapi
untuk itu ia membutuhkan bantuan Charles. Namun ia tidak

512

yakin laki-laki itu akan bersedia melakukan apa yang dimintanya.

Charles menyodorkan sebuah gelas tinggi yang dingin, kemudian ia duduk


setelah mengisi gelasnya sendiri. “Boleh kupanggil Anda dengan nama kecil
Anda?” tanyanya.

“Silakan.”

[“Dan aku berharap kau melakukan hal yang sama” “Tentu.”

Mereka mencicipi limun itu, kemudian Charles berkata, “Jeannie, mengenai apa
ini sebetulnya?”

Jeannie meletakkan gelasnya. “Mengenai suatu eksperimen, menurutku,” jawab


Jeannie. “Berrington dan Proust sama-sama bertugas di dinas kemiliteran,
beberapa waktu sebelum mereka mendirikan Genetico. Sepertinya perusahaan
itu awalnya semacam kamuflase untuk &uatu proyek militer.”

“Hampir seluruh masa dewasaku kuhabiskan sebagai prajurit, dan aku siap untuk
mempercayai hampir semua hal yang paling tidak masuk akal dalam dinas
kemiliteran. Tapi untuk apa mereka menaruh minat pada masalah fertilitas?”

“Coba Anda pertimbangkan ini. Steve dan kembar-kembamya semua tinggi,


kuat, sehat, dan tampan. Mereka juga cerdas sekali, meskipun kecenderungan
mereka untuk terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan sering mempengaruhi
keberhasilan yang mereka capai. Tapi Steve dan Dennis sama-sama memiliki IQ
di atas rata-rata, dan menurut dugaanku, demikian pula dua yang lain: Wayne
sudah menjadi jutawan dalam usia dua puluh dua tahun, dan yang keempat
setidaknya cukup lihai untuk menghapuskan sama sekali jejak-jejaknya”

“Jadi, apa kesimpulanmu?”


“Aku belum tahu. Aku mempertanyakan kemungkinan pihak militer sedang
mencoba mengembangkan ide prajurit yang serba sempurna.”

513

Ucapan itu ia maksudkan sebagai semacam spekulasi, nadanya pun sambil lalu.
Namun efeknya membuat Charles seperti terkena sengatan listrik. “Ya Tuhan,”
ujarnya, ekspresi terguncang meliputi wajahnya. “Rasanya aku pernah dengar
mengenai inf.”

“Apa maksud Anda?”

“Ada semacam desas-desus, di tahun tujuh puluhan, yang membuat heboh


seluruh jajaran militer. Orang-orang Rusia memiliki suatu program pemuliaan,
katanya. Mereka membuat prajurit-prajurit yang sempurna, atlet-atlet yang
sempurna, pemain catur yang sempurna, pokoknya segalanya. Ada yang
mengatakan kita juga hams melakukan itu. Ada yang mengatakan kita sudah
sejauh itu.”

“Nah, itu dia!” Jeannie merasa akhirnya ia mulai mengerti. “Mereka menyeleksi
seorang laki-laki dan seorang wanita yang sehat, agresif, cerdas, dan berambut
pirang, kemudian meminta mereka menyumbangkan sperma dan sel telur untuk
dikembangkan menjadi embrio. Tapi yang betul-betul menarik bagi mereka
adalah kemungkinan untuk menggandakan si prajurit sempurna, begitu mereka
berhasil menciptakannya. Bagian paling menentukan dari eksperimen ini adalah
bagian pembelahan embrio serta menanamkannya dalam tubuh seorang ibu. Dan
ternyata mereka berhasil.” Jeannie mengerutkan alisnya. “Lalu apa yang
terjadi?”

“Aku bisa menjawabnya,” ujar Charles. “Watergate. Semua proyek rahasia yang
edan dihentikan setelah itu.”

‘Tapi Genetico kemudian jalan terus, seperti Mafia. Dan karena mereka betul-
betul berhasil menemukan cara untuk menghasilkan bayi tabung, perusahaan itu
dianggap menguntungkan. Hasilnya dipakai sebagai dana riset rekayasa genetika
yang sudah mereka geluti sejak lama Sepertinya proyekku sendiri merupakan
bagian dari rencana mereka yang akbar itu.”

514
“Yaitu?”

“Suatu generasi orang-orang Amerika yang sempurna: cerdas, agresif, dan


pirang. Suatu ras yang unggul.” Jeannie angkat bahu. “Suatu ide lama, tapi
mungkin terwujud saat ini, dengan perkembangan baru dalam ilmu genetika.”

“Lalu untuk apa mereka menjual perusahaan itu? Rasanya tidak masuk akal.”

“Mungkin toh masuk akal,” sahut Jeannie setelah termanggu selama beberapa
saat. “Sewaktu menerima penawaran akuisisi itu, mungkin mereka melihatnya
sebagai peluang untuk bergerak ke peringkat yang lebih tinggi. Uangnya bisa
digunakan untuk kampanye pencalonan Proust untuk jabatan presiden. Begitu
berhasil bercokol di Gedung Putih, mereka dapat melakukan riset apa pun yang
mereka inginkan—dan menerapkan ide-ide mereka ke dalam praktek.”

Charles mengangguk. “Ada sebuah artikel mengenai ide-ide Proust dalam


Washington Post terbitan hari ini. Aku tidak yakin aku ingin hidup di dunia yang
dia angan-angankan. Kalau yang ada nanti cuma prajurit-prajurit yang patuh dan
agresif, siapa yang akan merangkai puisi, mengalunkan musik, dan melakukan
unjuk rasa antiperang?”

Jeannie mengangkat alisnya. Benar-benar komentar mencengangkan dari


seorang tentara. “Masih banyak hal lain di balik itu,” ujarnya. “Vanasi itu sendiri
merupakan hikmah. Ada alasan mengapa kita tidak persis sama seperti kedua
orangtua kita. Proses evolusi melibatkan urusan uji-coba. Kita tidak dapat
mencegah kegagalan alam dalam bereksperimen, tanpa juga mengeliminasi
keberhasilannya”

Charles menghela napas. “Ini berarti aku sebetulnya bukan ayah Steve.”

“Jangan bilang begitu.”

Charles membuka dompetnya lalu mengeluarkan se—

515

buah foto. “Ada sesuatu yang harus kuungkapkan padamu, Jeannie. Aku tidak
pernah mempermasalahkan soal clone ini, tapi aku sering mengawasi Steve dan
mempertanyakan pada diriku, apakah ada sesuatu yang aku turunkan padanya.”
“Masa Anda tidak lihat?” ujar Jeannie.

“Kemiripan?”

“Tidak secara fisik. Tapi Steve memiliki perasaan tanggung jawab yang besar.
Tak satu pun di antara clone-clone lainnya peduli soal tanggung jawab. Itu yang
Anda turunkan padanya.”

Tampang Charles masih geram. “Ada sesuatu yang negatif dalam dirinya. Aku
tahu itu.”

Jeannie menyentuh lengannya. “Dengar baik-baik. Steve termasuk anak yang


agak sulit diatur—bandel, impulsif, berani, dan sepertinya tidak bisa diam—ya,
kan?”

Charles tersenyum sendu. “Betul.”

“Demikian juga Dennis Pinker dan Wayne Stattner. Anak-anak seperti ini
memang sulit sekali ditangani dengan benar. Karena itu, Dennis menjadi
pembunuh dan Wayne cenderung sadis. Tapi Steve tidak seperti mereka—dan
Anda-lah sebabnya. Hanya orangtua yang paling sabar, paling menunjukkan
pengertian dan berdedikasi dapat mendidik anak-anak seperti ini, sehingga
mereka dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang normal. Dan Steve betul-betul
normal.”

“Mudah-mudahan kau benar.” Charles membuka dompetnya lagi untuk


menyimpan foto itu kembali.

“Boleh kulihat?** tanya Jeannie.

“Tentu.”

Jeannie mengamati foto itu. Sepertinya belum lama diambil. Steve mengenakan
sehelai kemeja kotak-kotak biru dan rambutnya agak gondrong-Ia sedang
tersenyum rikuh ke arah kamera. “Aku belum punya fotonya,” ujar Jeannie
dalam nada menyesal saat mengembalikannya.

516

“Ambillah yang itu.”


“Jangan. Anda selalu membawanya ke mana-mana.” “Aku punya banyak foto
Steve. Aku akan memasuk kan yang lain ke dalam dompetku.”

“Trims, aku sungguh-sungguh senang menerimanya.” “Sepertinya kau suka


padanya.” “Aku mencintainya, Charles.” “Sungguh?”

Jeannie mengangguk. “Sewaktu aku mengira dia akan dijebloskan ke penjara


gara-gara .kasus pemerkosaan itu, aku ingin menawarkan diriku untuk
menggantikannya.”

Charles tersenyum. “Aku juga.”

“Itu yang dinamakan cinta, bukan?”

“Pasti.”

Jeannie merasa salah tingkah. Bukan niatnya untuk mengungkapkan semua ini
kepada ayah Steve. Semula ia belum menyadarinya; ini muncul begitu saja, tapi
kemudian ia menyadari bahwa sesungguhnya itulah yang dirasakannya.

Charles berkata, “Bagaimana perasaan Steve terhadapmu?”

Jeannie tersenyum. “Mungkin aku mengada-ngada…” “Tak apa.”

“Sepertinya dia tergila-gila padaku.”

“Itu tidak aneh. Kau bukan hanya cantik. Kau juga kuat; itu jelas. Dia
membutuhkan seseorang yang kuat, terutama saat menghadapi tuduhan seperti
ini.”

Jeannie menatapnya. Kini saatnya untuk meminta.

“Ada sesuatu yang dapat Anda lakukan.”

“Katakan.”

Sepanjang perjalanannya ke Washington, Jeannie sudah menghafalkan, apa-apa


yang akan ia ucapkan. “Kalau aku bisa mengakses suatu database lagi, mungkin
aku bisa menemukan si pemerkosa yang sesungguhnya Tapi setelah publisitas
dalam New York Times, tidak
517

akan ada biro pemerintahan atau perusahaan asuransi yang mau mengambil
risiko dengan bekerja sama denganku. Kecuali…” “Kecuali?”

Jeannie mendoyongkan tubuhnya ke muka. “Genetico melakukan eksperimen-


eksperimennya pada istri-istri prajurit yang direkomendasikan pada mereka oleh
rumah-rumah sakit tentara. Karenanya ada kemungkinan hampir semua atau
semua clone dilahirkan di rumah sakit tentara.”

Charles mengangguk pelan.

“Bayi-bayi itu pasti memiliki catatan medis di situ, dua puluh dua tahun yang
lalu. Catatan-catatan itu mungkin masih ada.”

“Aku yakin masih ada. Dinas kemiliteran tidak pernah membuang sesuatu.”

Harapan Jeannie melambung sedikit. Tapi masih ada satu masalah. “Mengingat
keadaan pada zaman itu, tentunya data-data tersebut masih ditulis di atas kertas.
Atau mungkin sudah mereka pindahkan ke komputer?”

“Aku yakin sudah. Itu satu-satunya cara untuk menyimpan segalanya.”

“Kalau begitu, kemungkinan itu ada,” ujar Jeannie sambil berusaha


mengendalikan rasa antusiasnya.

Wajah Charles berubah serius.

Jeannie menatapnya lurus-lurus. “Charles, Anda bisa membantuku untuk


mendapatkan aksesnya?”

“Apa, persisnya, yang perlu kulakukan?”

“Aku harus memasukkan programku ke dalam komputer, lalu membiarkannya


melacak semua file yang ada.”

Berapa lama waktu yang kaubutuhkan?”

“Sulit untuk dikatakan. Tergantung besar aatabase-nya dan kekuatan komputer


itu.”
“Apakah itu akan mempengaruhi proses pelacakan data yang normal?”

518

“Prosesnya akan melambat.” Charles mengerutkan dahi.

“Anda mau melakukan itu?” tanya Jeannie dalam nada tak sabar.

“Kalau kita tertangkap, berakhirlah karierku.”

“Mau?”

“Ya.”

519

BAB 48

Steve senang sekali melihat Jeannie duduk di serambi sambil minum limun dan
berbincang-bincang serius dengan ayahnya, seakan mereka sudah berteman
lama. Inilah yang kuinginkan, ujarnya dalam hati; aku ingin Jeannie masuk
dalam kehidupanku. Kemudian aku bisa mengatasi segalanya.

Ia melintasi hamparan rumput dari arah garasi, tersenyum, lalu mengecup bibir
Jeannie dengan lembut. “Kalian seperti sedang berkomplot.” ujarnya.

Jeannie menjelaskan apa yang sedang mereka rencanakan, dan Steve merasa
memiliki harapan lagi.

Dad berkata kepada Jeannie, “Aku tidak mengerti soal komputer. Aku butuh
bantuan untuk memasukkan programmu.”

“Aku akan ikut bersama Anda” “Aku berani bertaruh bahwa kau tidak membawa
paspormu kemari.” “Memang.”

“Aku tidak bisa mengajakmu masuk ke Pusat Data tanpa tanda pengenal.”

“Aku bisa pulang untuk mengambilnya.”

“Biar aku yang ikut,” ujar Steve. “Pasporku ada di atas. Aku yakin bisa
memasukkan program itu.”
Dad mengalihkan matanya ke arah Jeannie.

520

Jeannie mengangguk. “Prosesnya sederhana. Kalau ada masalah. Anda bisa


meneleponku dan situ, lalu aku bisa membimbing Anda.”

“Oke.”

Dad pergi ke dapur, lalu kembali dengan pesawat telepon. Ia memutar sebuah
nomor. “Don, ini Charlie, fcau menang dalam pertandingan golf itu? Aku tahu
kau bakal menang. Tapi aku akan mengalahkanmu minggu depan, lihat saja.
Begini, aku butuh bantuanmu, memang agak lain dari biasa. Aku ingin
mengecek catatan medis anakku dari beberapa tahun yang lalu. Ya, kondisinya
kurang baik, tidak membahayakan memang, tapi toh serius. Mungkin ada
kaitannya dengan sesuatu di masa kecilnya. Kau bisa atur agar aku dapat surat
izin untuk masuk ke dalam Command Data Center?”

Selama beberapa saat suasana hening. Steve tidak dapat membaca apa yang
tersirat di wajah ayahnya. Akhirnya Charles berkata, “Trims, Don, aku amat
menghargai itu.”

Steve mengacungkan tinjunya ke udara, sambil berseru, “Yes!”

Dad meletakkan jarinya di bibir, lalu berkata. “Steve akan ikut bersamaku. Kami
akan sampai di sana dalam waktu sekitar lima belas sampai dua puluh menit lagi,
kalau kau tidak berkeberatan. Trims sekali lagi.” Ia menutup pesawatnya

Steve segera lari ke kamarnya, lalu kembali bersama paspornya.

Jeannie sudah menyiapkan disjtet-disketnya di dalam sebuah kotak^plastik kecil.


Ia menyerahkannya kepada Steve. “Masukkan yang ditandai No.l ke dalam disk
drive. Instruksinya akan muncul di layar.”

Steve menatap ayahnya. “Siap?”

“Ayo kita berangkat.”

“Semoga sukses,” ujar Jeannie.


521

Mereka menaiki mobil Lincoln Mark VIII Charles, lalu meluncur ke arah
Pentagon. Mereka akhirnya berhenti di pelataran parkir terbesar di dunia. Di
daerah Midwest ada kota-kota yang lebih kecil daripada pelataran parkir
Pentagon. Mereka menaiki sebuah tangga, menuju pintu masuk lantai dua.

Ketika baru berusia tiga belas tahun, Steve pernah diajak berkeliling seperti turis
oleh seorang anak muda bertubuh tinggi, dengan rambut dipotong pendek sekali.
Gedung itu terdiri atas lima lingkaran konsentris yang dihubungkan oleh sepuluh
lorong, seperti jari-jari sebuah roda. Lantainya ada lima, tanpa lift. Dalam
sekejap Steve sudah kehilangan arah. Satu-satunya hal yang diingatnya adalah
bahwa di tengah-tengah halaman utama terdapat sebuah bangunan yang disebut
Ground Zero, yang merupakan sebuah kios hotdog.

Kini ayahnya membawanya melewati sebuah tempat pangkas rambut yang


tertutup, sebuah restoran, dan sebuah pintu masuk ke stasiun kereta api bawah
tanah, terus ke sebuah meja piket. Steve menunjukkan paspornya, namanya
dicatat sebagai tamu, dan kepadanya diberikan kartu pengenal untuk disematkan
pada bagian muka kemejanya.

Tidak banyak orang di sekitar sini pada hari Sabtu malam, dan lorong-lorongnya
tampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang lembur, kebanyakan
berseragam, dan satu-dua kereta golf yang dipakai untuk memindahkan barang-
barang berat dan para VIP. Waktu itu Steve merasa nyaman berada di dalam
bangunan megah itu; semua it ada di sana untuk memberikan perlindungan
padanya. Namun kini pe^Baannya lain. Di suatu tempat, di antara simpang siur
lingkaran dan lorong-lorong ini, bercokol suatu komplotan yang telah
menciptakan dirinya beserta kembaran-kembarannya. Jajaran birokrasi yang
serba rumit ini di bentuk untuk menyembunyikan kebenaran yang dicarinya, dan
laki-522

laki dan perempuan dalam seragam angkatan darat, laut, dan udara yang rapi itu
kini adalah musuh-musuhnya.

Mereka menelusuri sebuah lorong, menaiki tangga, mengitari sebuah lingkaran,


menuju sebuah meja piket lain. Kali ini mereka mampir lebih lama. Nama
lengkap dan alamat Steve dimasukkan ke dalam komputer, lalu (mereka harus
menunggu selama beberapa waktu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia-
merasa pengecekan sekuriti itu secara khusus diarahkan kepadanya, memang
dirinyalah yang dicari. Ia merasa tidak enak dan bersalah, meskipun ia tidak
melakukan pelanggaran. Suatu sensasi yang aneh. Mereka yang terlibat dalam
tindakan kriminal tentunya terus merasa begitu, pikirnya. Juga para mata-mata,
penyelundup, dan suami-suami yang berselingkuh.

Mereka boleh terus. Mereka membelok beberapa kali, dan akhirnya sampai di
muka sebuah pintu kaca. Di balik pintu itu, sekitar sepuluh orang prajurit muda
duduk di hadapan layar-layar komputer, mengisi data, atau memasukkan
dokumen-dokumen kertas ke dalam mesin-mesin pembaca karakter optik.
Seorang petugas jaga di luar pintu mengecek paspor Steve lagi, kemudian
mempersilakan mereka masuk.

Ruangan itu berkarpet, tidak berjendela, hening, dengan penerangan lembut.


Operasi itu dikelola oleh seorang kolonel, seorang laki-laki dengan rambut
berwarna keabuan dan kumis tipis. Ia belum pernah bertemu dengan ayah Steve,
tapi ia sudah menunggu kedatangan mereka. Nadanya formal saat ia menggiring
mereka ke sebuah terminal yang boleh mereka gunakan; mungkin ia
menganggap kehadiran mereka mengganggu.

Dad mengatakan kepadanya, “Kami ingin melacak data-data medis mengenai


bayi-bayi yang lahir di rumah sakit tentara sekitar dua puluh dua tahun yang
lalu.”

“Data-data seperti itu tidak disimpan di sini.”

523

Hati Steve menciut. Masa mereka akan dikalahkan dengan demikian mudahnya?

“Di mana data-data itu disimpan?”

*‘Di St. Louis.”

“Bisa diakses dari sini?”

“Anda membutuhkan izin khusus untuk menggunakan data link-ny&. Tapi Anda
tidak memilikinya.”

“Aku tidak mengantisipasi ini. Kolonel,” ujar Dad. “Apakah aku harus
menghubungi Jenderal Krohner lagi? Dia tidak akan senang diganggu oleh hal-
hal seremeh ini pada hari Sabtu malam, tapi aku akan melakukannya kalau
memang perlu.”

Si kolonel menimbang-nimbang, apakah ia akan memilih untuk melakukan


pelanggaran kecil ini, atau mengambil risiko kena damprat si jenderal. “Kukira
oke. Toh sedang tidak ada yang pakai, dan kami harus mengetesnya menjelang
akhir minggu ini.”

“Terima kasih.”

Si kolonel memanggil seorang wanita dalam seragam letnan dan


memperkenalkannya sebagai Caroline Gambol. Usianya sekitar lima puluhan,
gemuk dan memakai korset, dengan gaya seorang kepala sekolah. Dad
mengulangi apa yang sudah ia ungkapkan kepada si kolonel.

Letnan Gambol berkata, “Apa Anda tahu bahwa penggunaan data-data itu diatur
di bawah Undang-undang Keleluasaan Pribadi, Sir?”

“Ya, dan,kami punya izinnya.”

Ia duduk di depan terminal itu, lalu menyentuh beberapa tuts. Selang beberapa
menit ia berkata, “Pelacakan bagaimana yang Anda inginkan?”

“Kami membawa program pelacakan kami sendiri.”

“Baik, Sir. Aku akan memasukkannya untuk Anda.”

Dad menoleh ke arah Steve. Steve angkat bahu, lalu menyerahkan disket floppy-
nya pada wanita itu.

Saat memasukkan program itu, si letnan menatap heran ke arah Steve. “Siapa
yang menyusun software ini?”

524

“Seorang profesor di Jones Falls.”

“Pintar sekali,” ujarnya. “Aku belum pernah melihat program seperti ini.” Ia
menoleh ke arah si kolonel, yang sedang mengawasi layar melalui pundaknya.
“Anda sudah pernah, Sir?”

Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala.

“Sudah siap. Boleh aku melakukan pelacakan itu?”

“Silakan.”

Letnan Gambol menekan tombol Enter.

525

BAB 49

Instinglah yang membuat Berrington membuntuti Lincoln Mark VIII hitam


Kolonel Logan saat mobil itu muncul dari pelintasan jalan rumah Georgetown-
nya. Ia tidak dapat memastikan apakah Jeannie berada di dalamnya; ia hanya
dapat melihat si kolonel dan Steve yang duduk di depan, tapi mengingat jenis
kendaraan itu, bisa saja Jeannie duduk di belakang.

Berrington merasa lega bisa melakukan sesuatu. Amat melelahkan untuk terus
didera rasa cemas, sementara ia tidak melakukan aktivitas apa pun.
Punggungnya terasa pegal, kaki-kakinya kaku. Andai kata ia dapat melupakan
ini semua dan pergi. Ia bisa duduk-duduk di sebuah restoran sambil menikmati
sebotol anggur yang enak, atau di rumah saja, mendengarkan Ninth Symphony
karya Mahler, atau menelanjangi Pippa Harpenden. Tapi kemudian ia ingat akan
imbalan yang diperolehnya dari transaksi pengambilalihan itu. Pertama-tama
adalah uangnya: enam puluh juta dolar yang akan menjadi bagiannya. Kemudian
kesempatan untuk memiliki pengaruh dalam percaturan politik, dengan Jim
Proust di Gedung Putih dan dirinya sendiri sebagai menteri kesehatan. Dan
akhirnya, andai kala proyek mereka berhasil, sebuah Amerika yang baru dan lain
untuk akad kedua puluh satu, Amerika sebagaimana dulu, kuat, tidak kenal

526

takut, dan bersih. Karena itulah ia merapatkan rahangnya dan meneruskan


tekadnya untuk menyelesaikan tugas pengintaian yang menjatuhkan gengsinya
ini.

Untuk sesaat, tidak terlalu sulit baginya untuk mengikuti Logan menembus arus
lalu lintas Washington yang bergerak amat lambat. Seperti dalam sebuah film
detektif, ia berusaha tetap berada dalam jarak dua mobil di belakang. Mobil
Mark VIII itu elegan sekali, pikirnya. Mungkin sudah waktunya ia menukar
Town Car-nya Sedannya itu memang berwibawa, tapi sudah agak kuno; mobil si
kolonel kelihatan lebih keren. Ia mempertanyakan, berapa yang harus ia
keluarkan untuk menukar kendaraannya itu. Kemudian ia ingat bahwa sekitar
Senin malam ia akan kaya. Ia bisa membeli sebuah Ferrari, kalau ingin tampil
lebih keren.

Kemudian mobil Mark VIII itu menembus lampu hijau dan membelok di suatu
kelokan-Lampu lalu lintas berubah merah, mobil di muka Berrington berhenti,
dan ia tidak dapat melihat mobil Logan lagi. Ia mengumpat sambil menekan
klakson. Ia mulai kehilangan kendali diri. Ia menggeleng keras untuk
menjernihkan pikirannya kembali. Kejemuan saat melakukan pengintaian itu
ternyata menurunkan daya konsentrasinya. Begitu lampu berubah hijau kembali,
ia menikung dengan tajam, lalu menginjak pedal gasnya kuat-kuat.

Beberapa saat kemudian, ia melihat mobil hitam itu menunggu di sebuah lampu:
ia dapat bernapas lebih lega kembali.

Mereka mengitari Lincoln Memorial, kemudian menyeberangi Potomac di


Arlington Bridge. Apakah mereka sedang menuju Bandara National? Mereka
memasuki Washington Boulevard, lalu Berrington menyadari bahwa tujuan
mereka ternyata Pentagon.

Ia membuntuti mereka masuk jalur lambat, terus ke pelataran parkir Pentagon


yang sangat luas. Ia menemukan sebuah tempat kosong di deretan berikutnya la

527

mematikan mesin mobilnya, lalu mengawasi mereka. Steve dan ayahnya keluar
dari kendaraan mereka, kemudian melangkah menuju bangunan utama

Berrington mengecek isi mobil Mark VIII itu. Tidak ada yang menunggu di
dalamnya. Rupanya Jeannie ditinggal di rumah di Georgetown itu. Apa yang
akan dilakukan Steve bersama ayahnya? Dan Jeannie?

la berjalan sekitar dua puluh sampai tiga puluh langkah di belakang mereka, la
tidak menyukai ini. Ia khawatir ulahnya ketahuan. Apa yang harus ia katakan
kalau mereka mengkonfrontasi dirinya nanti? Itu akan amat memalukan.
Untungnya mereka tidak menoleh ke belakang. Mereka menaiki sebuah tangga,
lalu memasuki gedung itu. Ia masih mengawasi mereka, sampai mereka
melewati meja piket, dan ia terpaksa kembali.

Ia mencari pesawat telepon umum, lalu memutar nomor Jim Proust. “Aku di
Pentagon. Aku mengikuti Jeannie sampai ke rumah keluarga Logan, kemudian
membuntuti Steve Logan dan ayahnya kemari. Perasaanku tidak enak, Jim.”

“Si kolonel memang bekerja di Pentagon, bukan?”

“Ya”

“Mungkin tidak apa-apa.”

“Tapi buat apa dia kemari pada hari Sabtu malam?”

“Buat main poker di ruang kerja si jenderal, seingatku di masa-masa dinasku.”

“Kau tidak akan membawa anakmu ke acara main poker, seberapa dewasanya
pun dia.”

“Apa ada sesuatu di Pentagon yang mungkin berbahaya bagi kita?”

“Data-data.”

“Ah,” sahut Jim. “Mereka tidak memiliki catatan mengenai apa yang pernah kita
lakukan. Aku yakin akan hal itu.”

“Kita harus tahu apa yang sedang mereka lakukan. Kau tidak punya cara untuk
mencari tahu?”

528

“Kukira ada. Kalau aku tidak punya teman di Pentagon, berarti aku tidak punya
teman di mana-mana Aku akan menelepon beberapa orang. Hubungi aku lagi
nanti.‘t

Berrington menutup pesawatnya, kemudian tetap berdiri termangu selama


beberapa saat. Situasinya betul-betul membuatnya frustrasi. Segala yang ia
perjuangkan selama ini akan berantakan dan apa yang ia lakukan? Membuntuti
orang-orang seperti seorang detektif kelas kacang. Tapi memang tidak ada lagi
yang dapat ia lakukan. Sambil mengembuskan napas, ia memutar tubuh, lalu
kembali ke mobilnya untuk menunggu.

529

BAB 50

Steve menunggu dengan hati berdebar-debar. Kalau ini berhasil, akan terungkap
siapa sebetulnya yang memerkosa Lisa Hoxton, dan ia akan memperoleh
kesempatan untuk membuktikan bahwa ia sama sekali tidak bersalah. Tapi
bagaimana kalau ternyata ada yang meleset? Proses pelacakan itu tidak bekerja,
atau data-data medis itu sudah tidak ada, atau dihapus dari sistem database itu.
Komputer sering memberikan jawaban-jawaban konyol seperti: Tidak
ditemukan, atau Tidak terekam, atau Ada kesalahan.

Terminal komputer itu mengeluarkan suara deringan-Steve menatap layar. Proses


pelacakan itu sudah selesai. Di layar tampil sebuah daftar nama dan alamat yang
diurut berpasangan. Ternyata program Jeannie bekerja. Tapi apakah nama clone-
clone itu juga ada di situ?

Ia berusaha mengendalikan rasa ingin tahunya. Yang pertama-tama harus ia


lakukan adalah membuat copy dari daftar itu.

Ia menemukan sekotak disket baru dalam sebuah laci, lalu menyusupkan satu
disket ke dalam disk drive komputer. Ia membuat copy dari daftar itu,
mengeluarkannya kembali, kemudian menyelipkannya ke saku belakang celana
jeans-nysL

530

Baru setelah itulah ia mulai memeriksa nama-nama itu.

Ia tidak mengenali saru pun di antaranya. Ia menekan sebuah tombol untuk


melihat bagian bawahnya; ternyata daftar itu terdiri atas beberapa halaman.
Akan lebih mudah baginya untuk menelusurinya di sehelai kertas. la memanggil
Letnan Gambol. “Bolehkan aku mencetak dari terminal ini?”
“Tentu,*’ sahut si letnan. “Kau bisa pakai printer laser yang itu.” Ia menghampiri
Steve untuk memperlihatkan caranya.

Steve menunggui printer itu, sambil membaca dengan cepat isi halaman-halaman
yang keluar, la berharap akan melihat namanya sendiri dalam daftar itu, dalam
rangkaian bersama tiga buah nama lain: Dennis Pinker, Wayne Stattner, dan si
laki-laki yang memerkosa Lisa Hoxton. Ayahnya yang berdiri di belakangnya,
ikut melihat melalui pundaknya.

Halaman pertama hanya berisi nama-nama pasangan kembar dua; tidak ada
kembar tiga atan empat.

Nama Steven Logan muncul menjelang akhir halaman kedua. Dad juga
melihatnya pada waktu bersamaan. “Itu,” celetuknya dalam nada antusias
tertahan.

Tapi ada yang tidak beres rupanya. Terlalu banyak nama dalam kelompok itu. Di
samping nama Steven Logan. Dennis Pinker, dan Wayne Stattner ternyata masih
ada nama-nama Henry Irwin King, Per Ericson, Murray Claud, Harvey John
Jones, dan George Dassault. Kelegaan Steve berubah menjadi keheranan.

Dad mengerutkan alisnya. “Siapa itu semua?”

Steve menghitung. “Ternyata ada delapan nama.”

“Delapan?” ujar Dad. “Delapan?”

Kemudian baru Steve sadar. “Sejumlah itulah yang dibuat Genetico,” ujarnya.
“Kami berdelapan.”

“Delapan cione!” ujar Dad dalam nada tercengang. “Gila! Mereka pikir, apa
yang sedang mereka lakukan?”

531

“Aku jadi ingin tahu, bagaimana pelacakan ini bisa berhasil menemukan
mereka,” ujar Steve. Ia melihat bagian bawah lembaran terakhir. Di situ tertulis
Kesamaan karakteristik: Elektrokardiogram.

“Ya, aku ingat,” ujar Dad. “Kau pernah menjalani itu sewaktu baru berusia
seminggu, tapi aku tidak pernah tahu untuk apa.”

“Ternyata semua pernah menjalaninya. Dan pasangan kembar identik memiliki


karakteristik jantung yang sama.”

“Aku masih tak bisa mempercayainya,” ujar Dad. “Jadi, ada delapan anak muda
di dunia ini yang persis seperti kan.”

“Coba lihat alamat-alamat ini,” ujar Steve. “Pangkalan militer semua.”

“Kebanyakan tentunya sudah pindah sekarang. Apa kita tidak bisa memperoleh
informasi lebih banyak melalui program ini?”

‘Tidak bisa. Karena itulah program ini tidak melanggar hak keleluasaan pribadi
orang.”

“Lalu, bagaimana cara Jeannie melacak mereka?”

“Aku sudah tanyakan itu padanya. Di universitasnya, semua nomor telepon yang
ada di buku telepon dimasukkan ke dalam CD-ROM. Kalau melalui itu tidak
berhasil, mereka akan menggunakan daftar surat izin mengemudi, biro-biro
referensi kredit, dan sumber-sumber lain.”

“Persetan dengan keleluasaan pribadi,” ujar Dad. “Aku akan membuka catatan
lengkap sejarah medis orang-orang ini, siapa tahu ada petunjuk.”

“Aku mau minum secangkir kopi,” ujar Steve. “Di mana aku bisa
memperolehnya?”

“Membawa minuman ke dalam Data Center tidak diperkenankan. Cairan yang


tumpah bisa merusak perangkat komputer. Di pojok sana ada ruang istirahat
dengan .perangkat pembuat kopi dan mesin Coca Cola.”

532

“Aku akan segera kembali.” Steve meninggalkan ruang Data Center sambil
mengangguk ke arah si penjaga pintu. Di ruang istirahat itu terdapat beberapa
buah meja dan kursi, juga mesin-mesin untuk membeli minuman soda dan
permen. Steve memakan dua batang cokelat Snicker dan meminum secangkir
kopi, kemudian kembali ke Data Center.
Ia menghentikan langkahnya di luar pintu kaca. Beberapa orang baru tampak di
dalam, termasuk seorang jenderal dan dua orang polisi militer bersenjata. Si
jenderal tampak sedang berdebat dengan Dad, sementara si kolonel yang
berkumis tipis rupanya juga sedang mengatakan sesuatu pada waktu bersamaan.
Gerak tubuh mereka membuat Steve waswas. Sesuatu yang kurang
menyenangkan sedang berlangsMg. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan itu,
kemudian berdiri di dekat pintu. Instingnya mengatakan agar ia tidak melakukan
sesuatu yang menarik perhatian.

Ia mendengar si jenderal berkata, “Aku mendapat perintah, Kolonel Logan.


Anda kami tahan.”

Tubuh Steve terasa dingin.

Bagaimana ini bisa terjadi? Masalahnya pasti bukan karena Dad tertangkap
basah membuka data medis orang. Itu memang pelanggaran serius, tapi belum
cukup untuk menahan seseorang. Pasti ada sesuatu di balik ini. Entah bagaimana
caranya, pihak Genetico-lah yang mengaturnya.

Apa yang harus kulakukan sekarang?

Dalam nada marah Dad berkata, “Kalian tidak berhak menahanku!”

Si jenderal menimpalinya dalam nada keras yang sama, “Jangan menguliahi aku
soal hak-hakku, Kolonel.”

Sia-sia kalau Steve berusaha melibatkan diri dalam argumentasi itu. Ia sudah
memiliki disket floppy dengan daftar nama itu di sakunya. Dad sedang
menghadapi masalah, tapi ia pasti dapat mengatasinya. Steve harus segera keluar
dari sini bersama informasi itu.

533

Ia memutar tubuh, dan keluar melalui pintu kaca ruangan itu.

Ia melangkah cepat, sambil mencoba tampak meyakinkan. Ia merasa seperti


seorang pelarian. Ia berusaha mengingat-ingat, bagaimana ia bisa sampai ke sini
melalui lorong-lorong yang berbelit-belit itu. Ia membelok beberapa kali, lalu
melewati sebuah meja piket.
“Sebentar, Sir!” ujar si petugas.

Steve berhenti melangkah, lalu menoleh dengan hati berdebar-debar. “Ya?”


ujarnya, mencoba berlagak seperti orang sibuk yang sudah tak sabar untuk
segera melanjutkan pekerjaannya.

“Aku harus mengeluarkan nama Anda dari komputer. Boleh kulihat kartu
pengenal Anda?”

“Tentu.” Steve menyerahkan paspornya.

Si petugas mengecek fotonya, lalu mengetik nama Steve di komputernya.


“Terima kasih. Sir,” ujarnya sambil mengembalikan paspor itu.

Steve menelusuri sebuah lorong. Satu meja piket lagi, setelah itu ia akan berada
di luar.

Di belakangnya ia mendengar suara Caroline Gambol. “Mr. Logan! Tunggu


sebentar!”

Steve menoleh melalui pundaknya. Si letnan sedang berlari di belakangnya,


dengan wajah kemerahan dan napas terengah-engah.

“Sial,” umpat Steve.

Ia membelok di sebuah pojok, lalu menemukan tangga. Ia lari ke bawah, menuju


lantai berikutnya. Ia sudah memiliki daftar nama yang dapat membersihkan
namanya dari kasus pemerkosaan, itu; ia tidak akan membiarkan siapa pun
menghalanginya keluar dari sini bersama informasi itu, bahkan tentara Amerika
sekalipun.

Untuk keluar dari bangunan itu, ia harus ke lingkaran E yang terletak paling
ujung. Bergegas ia menelusuri sebuah lorong, melewati lingkaran C. Sebuah
kereta golf berisi bahan-bahan pembersih lewat dari arah ber—

534

lawanan.’ Saat hampir sampai di lingkaran D, ia mendengar suara Letnan


Gambol lagi. “Mr Logan!” Wanita itu masih membuntutinya. “Jenderal ingin
berbicara dengan Anda!” Seorang laki-laki berseragam angkatan udara menoleh
dengan penuh rasa ingin tahu ke arahnya. Untungnya tidak begitu banyak orang
di sana pada hari Sabtu malam. Steve menemukan sebuah tangga, lalu
menaikinya. Itu tentunya akan memperlambat langkah si letnan yang bertubuh
agak gemuk itu.

Di lantai berikutnya, ia bergegas menelusuri lorong, menuju lingkaran D. la


mengitari lingkaran itu, kemudian turun lagi. Letnan Gambol tidak kelihatan.
Rupanya aku berhasil lolos dari cengkeramannya, pikir Steve dengan perasaan
lega.

Ia yakin sudah berada di lantai menuju pintu keluar. Sambil mengikuti arah
jarum jam, ia mengitari lingkaran D ke lorong berikutnya. Ia mengenali tempat
itu; dari sinilah ia masuk tadi. Ia mengikuti sebuah lorong, dan sampai di sebuah
meja piket tempat ia masuk pertama kali. Ia hampir sampai.

Kemudian ia melihat Letnan Gambol.

Wanita itu sedang berdiri di dekat meja piket bersama seorang petugas.
Wajahnya merah dan napasnya terengah-engah.

Steve mengumpat. Ternyata ia belum lolos dari cengkeraman wanita itu.


Rupanya wanita itu toh sampai lebih dulu di situ daripadanya.

Ia memutuskan untuk berlagak bodoh.

Ia menghampiri si petugas sambil melepaskan tanda pengenalnya.

“Kau tidak usah melepaskan itu,” ujar Letnan Gambol. “Jenderal ingin berbicara
denganmu.”

Steve meletakkan tanda pengenal itu di meja piket, lalu sambil berusaha
menutupi rasa takutnya, ia berkata, “Aku khawatir aku. tidak punya waktu untuk
itu. Selamat malam. Letnan, dan terima kasih untuk kerja sama Anda.”

535

“Aku terpaksa memaksa Anda,” ujar si letnan.

Steve berusaha memperlihatkan sikap tidak sabaran. “Anda tidak berhak


memaksaku,” ujarnya. “Aku seorang penduduk sipil. Anda tidak dapat
mengomando aku. Aku Udak melakukan kesalahan, jadi Anda tidak dapat
menahanku. Aku tidak membawa apa pun milik dinas kemiliteran, seperti Anda
lihat sendiri.” Ia berharap disket floppy di saku belakangnya tidak tampak.
“Tidak sah kalau Anda mencoba menghalang-halangi aku.”

Si letnan mengatakan sesuatu kepada si petugas jaga, seorang laki-laki berusia


sekitar tiga puluhan yang kira-kira tiga atau empat inci lebih pendek daripada
Steve. “Jangan biarkan dia pergi,” ujarnya.

Steve tersenyum pada si petugas. “Kalau Anda menyentuhku. Prajurit, itu akan
merupakan tindakan penyerangan. Aku akan berhak meninju Anda, dan
percayalah padaku, bahwa aku tidak merasa enggan melakukannya.”

Letnan Gambol melayangkan pandang ke sekelilingnya, untuk mencari bala


bantuan, tapi yang tampak di sekitar situ hanyalah dua orang petugas kebersihan
dan seorang tukang listrik yang sedang memperbaiki lampu.

Steve melangkah ke arah pintu keluar.

Letnan Gambol berteriak, “Hentikan dia!”

Di belakangnya, ia mendengar suara si petugas jaga berteriak, “Berhenti, atau


kutembak!”

Steve memutar tubuhnya. Si petugas jaga telah mengeluarkan sebuah pistol yang
sekarang diarahkan kepadanya.

Para petugas kebersihan dan si tukang listrik terenyak.

Tangan si petugas jaga bergetar saat ia mengarahkan senjatanya ke Steve.

Steve merasa otot-ototnya lemas saat ia melihat laras itu. Ia berusaha menguasai
diri. Ia yakin bahwa seorang petugas sekuriti Pentagon tidak akan menembak
seorang sipil yang tidak bersenjata. “Anda tidak akan menembakku,” ujarnya.
“Itu pembunuhan.”

536

Ia memutar tubuh, lalu berjalan ke arah pintu.


Perjalanan itu merupakan yang terpanjang yang pernah ia tempuh seumur
hidupnya. Jaraknya cuma tiga atau empat meter, namun ia seakan harus
menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melewatinya. Punggungnya seperti
dibakar api.

Pada saat tangannya meraih pintu, terdengar suara tembakan.

Seseorang menjerit.

Sekilas terpintas dalam pikiran Steve, Dia menembak ke atasku, namun ia tidak
menoleh ke belakang lagi. Ia menghambur keluar dari pintu itu, lalu lari
menuruni undak-undakan. Hari sudah gelap sementara ia berada di dalam tadi,
dan pelataran parkir itu sudah diterangi oleh lampu-lampu jalan. Ia mendengar
suara tembakan lagi di belakangnya, kemudian satu lagi. Ia sampai di kaki
tangga, melintasi jalan setapak, lalu menghilang di antara semak-semak.

Akhirnya ia muncul di sebuah jalan dan terus lari. Ia sampai di sebuah tempat
perhentian bus. Ia memperlambat langkahnya. Sebuah bus memasuki halte itu
Dua orang tentara turun dan seorang wanita berpakaian sipil naik. Steve ikut
naik persis di belakangnya.

Bus iru mulai melaju kembali, keluar dari pelataran parkir itu, menuju ke arah
jalan bebas hambatan, meninggalkan Pentagon di belakangnya.

537

BAB 51

Hanya dalam beberapa jam, Jeannie sudah merasa amat suka pada Lorraine
Logan. Ternyata Lorraine jauh lebih gemuk daripada kesan di fotonya yang
terpampang di pojok atas kolom dari-hati ke hatinya di koran. Ia banyak senyum,
sehingga wajahnya yang lembut berkerut ke atas. Untuk menenangkan pikiran
Jeannie dan dirinya sendiri, ia membicarakan masalah-masalah yang biasanya
disampaikan orang padanya: tentang mertua yang terlalu dominan, suami yang
suka berlaku kasar, pacar-pacar yang impoten, bos-bos yang taugannya usil, para
remaja yang kecanduan obat bius. Apa pun topiknya, Lorraine sepertinya selalu
berhasil membuat Jeannie berpikir, Iya, ya, kok hal itu nggak pernah terlintas
dalam pikiranku sebelumnya?

Mereka duduk di serambi, sementara cuaca bertambah sejuk, sambil menunggu


dengan penuh harap kembalinya Steve bersama ayahnya. Jeannie menceritakan
kepada Lorraine perihal Lisa. “Dia akan terus mencoba mengubur peristiwa itu,
seakan akan semua itu tidak pernah terjadi,” ujar Lorraine.

“Ya, memang begitu situasinya sekarang.”

“Periode itu bisa berlangsung sampai enam bulan. Tapi cepat atau lambat, dia
akan menyadari bahwa dia

538

harus berhenti menyangkal apa yang sudah terjadi, dan mencoba mengatasinya.
Tahap itu biasanya dimulai saat seorang wanita mencoba menjajaki kehidupan
seks yang normal kembali, dan mendapati dirinya tidak merasakan lagi apa yang
biasa dia rasakan sebelumnya. Pada saat itulah mereka akan menulis surat
kepadaku.”

“Apa yang Anda anjurkan kepada mereka?”

“Menjalani konsultasi. Pemecahannya memang tidak mudah. Tindak


pemerkosaan merusak sesuatu di dalam diri seorang wanita, dan itu perlu
dipulihkan kembali.”

“Detektif yang menangani kasus ini menganjurkan padanya untuk menjalani


konsultasi.”

Lorraine mengangkat alisnya. “Laki-laki yang bijak sana.”

Jeannie tersenyum. “Dia seorang wanita.”

Lorraine tertawa. “Kita cenderung menyalahkan laki-laki mengenai hal-hal yang


berhubungan dengan seks. Tapi kumohon kau tidak mengungkapkan kepada
siapa-siapa, apa yang baru saja kukatakan.”

“Aku janji.”

Untuk sesaat suasana hening. Kemudian Lorraine berkata, “Steve mencintaimu.”

Jeannie mengangguk. “Ya, kukira begitu.”


“Seorang ibu akan tahu.”

“Jadi, dia sudah pernah jatuh cinta?”

“Kau peka sekali.” Lorraine tersenyum. “Ya, memang pernah. Tapi hanya satu
kali.”

“Ceritakan padaku mengenai gadis itu—kalau menurut Anda Steve tidak


berkeberatan.”

“Oke. Namanya Fanny Gallaher. Matanya hijau dan rambutnya kemerahan


bergelombang. Dia amat lincah dan tidak kenal susah, dan satu-satunya gadis di
sekolah itu yang tidak tertarik pada Steve. Steve yang mengejarnya, dan dia
berusaha menolaknya, selama berbulan-bulan. Tapi pada akhirnya Steve berhasil
mencuri hatinya, dan mereka berpacaran selama sekitar setahun.”

539 -

“Apa mereka sudah tidur sama-sama?”

“Setahuku sudah. Mereka sering menghabiskan malam-malam mereka di sini.


Aku bukan tipe yang suka memaksa anak-anak muda untuk melakukannya di
tempat-tempat parkir.”

“Bagaimana dengan orangtua Fanny?”

“Aku berbicara pada ibunya. Ternyata pendapatnya sama seperti aku.”

“Aku kehilangan kegadisanku di gang di belakang sebuah klub punk rock


sewaktu aku berusia empat belas tahun. Pengalaman itu begitu buruk, sehingga
aku tidak pernah melakukan hubungan seksual lagi sampai aku berusia dua
puluh satu tahun. Andai kata ibuku seperti Anda.”

“Kukira tidak masalah apakah orangtua akan bersikap keras atau tidak mengenai
hal itu, asalkan mereka tetap konsisten dalam mempertahankannya. Anak-anak
muda biasanya dapat menyesuaikan diri dengan peraturan, baik yang keras
maupun yang kurang, selama peraturan itu konstan. Sikap tirani semena-
menalah yang biasanya membuat mereka bingung.”

“Kenapa hubungan Steve dan Fanny akhirnya putus?”


“Steve menghadapi masalah. Mungkin ada baiknya kalau dia sendiri yang
mengungkapkan itu kepadamu kelak.”

“Apakah yang Anda maksud adalah perkelahiannya dengan Tip Hendricks?”

Lorraine mengangkat alisnya. “Jadi, dia sudah mengungkapkan itu kepadamu!


Wauw, dia sudah sungguh-sungguh mempercayaimu.”

Mereka mendengar suara mobil di luar. Lorraine langsung berdiri dan menuju
sudut ruangan itu untuk melihat ke jalan. “Steve pulang naik taksi,” ujarnya
dalam nada tidak mengerti.

Jeannie berdiri. “Bagaimana tampangnya?”

Sebelum Lorraine dapat menjawab, Steve sudah muncul di serambi itu. “Mana
ayahmu?” tanya ibunya.

540

“Dad ditahan.”

“Astaga. Kenapa?” kata Jeannie.

“Aku tidak tahu. Kukira, entah bagaimana caranya, orang-orang Genetico itu
tahu. atau berhasil menebak, langkah-langkah kita. lalu mengambil tindakan.
Mereka mengirim dua orang polisi militer untuk menahan Dad-Tapi aku berhasil
lolos.”

Dalam nada waswas Lorraine berkata, “Stevie, ada sesuatu yang tidak
kauungkapkan padaku.”

“Seorang petugas menembakkan senjatanya dua kali.”

Lorraine mengeluarkan suara pekikan tertahan.

“Rasanya dia mengarahkannya ke atas kepalaku. Setidaknya, aku tidak apa-apa,


kan?”

Mulut Jeannie terasa kering. Membayangkan peluru-peluru yang ditembakkan


ke arah Steve betul-betul mengerikan baginya. Bagaimana kalau Steve sampai
tewas?

“Tapi pelacakan itu ternyata tidak sia-sia.” Steve mengeluarkan sebuah disket
dari saku belakangnya. “Ini daftarnya Dan tunggu sampai kaulihat apa isinya”

Jeannie menelan ludahnya. “Apa?”

“Kami tidak hanya berempat.”

“Maksudmu?”

“Kami berdelapan.”

Jeannie terperangah. “Delapan?”

“Kami menemukan delapan nama dengan elektrokardiogram yang persis sama.”

Ternyata Genetico telah membelah embrio itu tujuh kali. kemudian secara diam-
diam menanamkannya ke dalam kandungan delapan orang wanita. Suatu
arogansi yang benar-benar sulit dipahami.

Namun kecurigaan Jeannie kini terbukti. Jadi, inilah yang begitu ingin ditutup-
tutupi Berrington. Begitu berita ini tersingkap luas, nama Genetico akan
tercemar, sedangkan kebenaran teori Jeannie diabsahkan.

Selain itu, Steve akan bebas dari tuduhan.

“Hebat kau!” seru Jeannie sambil memeluk Steve.

541

Kemudian sesuatu melintas dalam pikirannya. “Tapi siapa di antara kedelapan


orang ini yang melakukan tindak pemerkosaan itu?”

“Kita masih harus melacaknya,” ujar Steve. “Dan itu tidak akan mudah. Alamat
yang kita miliki adalah dari tempat tinggal orangtua mereka pada saat mereka
dilahirkan. Bisa dipastikan mereka sudah pindah sekarang.”,

“Kita bisa telusuri keberadaan mereka. Itu kan keahlian Lisa.” Jeannie berdiri.
“Sebaiknya aku segera balik ke Baltimore. Ini bakal menghabiskan waktu
semalaman.”
“Aku akan ikut bersamamu.”

“Bagaimana dengan ayahmu? Kau harus berusaha melepaskannya dari


cengkeraman pihak polisi militer.”

Lorraine berkata, “Kau dibutuhkan di sini, Steve. Aku akan menelepon


pengacara kita sekarang juga. Aku punya nomor rumahnya, tapi kau yang harus
menceritakan kepadanya mengenai apa yang terjadi.”

“Oke,” jawab Steve dalam nada enggan.

“Sebaiknya aku menelepon Lisa sebelum aku berangkat, supaya dia bisa siap-
siap,” ujar Jeannie. Pesawat telepon ada di meja serambi. “Bolehkah?”

“Tentu.”

Jeannie memutar nomor Lisa. Pesawatnya berdering empat kali, kemudian


terdengar nada khaS sebuah perangkat penjawab telepon. “Sial,” umpat Jeannie
saat mendengarkan pesan yang ditinggalkan Lisa. Setelah pesan itu selesai, ia
berkata, “Lisa, tolong hubungi aku. Aku akan meninggalkan Washington
sekarang, aku akan sampai di rumah sekitar pukul sepuluh. Ada sesuatu yang
amat penting.” Jeannie menutup pesawat itu.

Steve berkata, “Aku akan mengantarmu ke mobil.”

Jeannie berpamitan pada Lorraine, yang segera memeluknya dengan hangat.

Di luar, Steve menyerahkan disket itu kepadanya. “Jaga itu baik-baik,” ujarnya.
“Kita hanya punya itu, dan kita tidak akan mendapatkan kesempatan lain lagi.”

542

Jeannie memasukkan disket itu ke dalam tasnya. “Jangan khawatir. Masa


depanku juga ditentukan oleh ini.” Ia mencium Steve dengan gemas.

“Wauw,” ujar Steve sesudah itu. “Apa kita bisa ulangi lagi ini, dalam waktu
dekat?”

“Ya. Tapi sementara itu jangan sampai terjadi apa-apa atas dirimu. Aku tidak
mau kehilangan kau. Hati-hati.”
Steve tersenyum. “Aku senang sekali kau mengkhawatirkan diriku. Apa pun
rasanya nggak percuma.”

Jeannie menciumnya sekali lagi, lapi kali ini dengan lembut. “Aku akan
meneleponmu.”

Ia masuk ke dalam mobilnya, lalu melesat pergi.

Ia ngebut dan sampai di rumah dalam waktu kurang dari sejam.

Ia kecewa ketika mendapati tidak ada pesan untuknya dari Lisa di perangkat
penjawah teleponnya. Mungkin Lisa tertidur, atau sedang nonton TV, sehingga
tidak tahu mengenai pesan yang ditinggalkannya. Jangan panik, putar otakmu. Ia
segera lari keluar lagi, lalu dengan mobilnya menuju tempat tinggal Lisa, di
sebuah apartemen di Charles Village. Ia menekan bel pintunya, tapi tidak ada
jawaban. Ke mana Lisa pergi? Ia tidak punya pacar yang akan mengajaknya
keluar pada hari Sabtu malam. Mudah-mudahan dia tidak pergi menengok
ibunya di Pittsburgh

Lisa tinggal di nomor 12B. Jeannie menekan bel m nomor I2A-Kembali tidak
ada jawaban. Mungkin seluruh sistem sialan ini sedang rusak. Dengan jengkel
karena frustrasi, ia mencoba nomor I2C.

Seorang laki-laki dalam nada tidak ramah berkata. “Yeah, siapa di situ?”

“Maaf kalau aku mengganggu Anda. tapi aku teman Lisa Hoxton, yang tinggal
di sebelah Anda, dan aku harus berbicara dengannya secepatnya. Apa Anda
kebetulan tahu di mana dia?”

543

Suara itu menjawab, “Kaukira kau di mana, Non… Hicksville, USA? Tampang
tetanggaku seperti apa saja aku nggak tahu.” Klik.

“Kau sendiri dari mana? New York?” ujar Jeannie dalam nada marah melalui
interkom yang sudah dimatikan itu.

Ia pulang ke rumahnya, mengemudikan mobilnya seperti kesetanan. Ia


menelepon perangkat penjawab telepon Lisa kembali. “Lisa, tolong telepon aku
kembali begitu kau sampai di rumah, nggak peduli jam berapa. Aku menunggu
di dekat telepon.”

Setelah itu tidak ada lagi yang dapat dilakukannya. Tanpa Lisa, masuk ke dalam
Nut House pun ia tidak bisa.

Ia pergi mandi, lalu mengenakan mantel mandinya yang berwarna kemerahan. Ia


merasa lapar, karena itu ia memasukkan sebuah roti bumbu kayu manis yang
masih beku ke dalam microwave, tapi makan membuat perutnya muak sehingga
akhirnya ia membuang roti itu dan minum kopi susu. Andai kata ia memiliki
pesawat televisi untuk mengalihkan pikirannya.

Ia mengeluarkan foto Steve yang diperolehnya dari Charles. Ia harus mencarikan


bingkai untuk foto itu. Ia menempelkannya di pintu lemari esnya dengan
sepotong magnet.

Ia mulai membuka-buka album fotonya. Ia tersenyum melihat Daddy dalam


setelan jas cokelat bergaris-garis, dengan kelepak lebar dan celana panjang
longgar, berdiri di sebelah mobil Thunderbird-nya yang berwarna biru kehijauan.
Dalam beberapa foto. Jeannie mengenakan pakaian tenis, mengacungkan dengan
bangga piala-piala perak serta piagam perolehannya. Ada Mom mendorong Patty
dalam sebuah kereta bayi kuno, ada Will Temple yang mengenakan topi koboi,
membadut dan membuat Jeannie tertawa….

Pesawat teleponnya berdering.

544

Jeannie langsung melompat berdiri untuk menyambar gagangnya, sehingga


albumnya jatuh ke lamai. “Lisa?” “Hai, Jeannie, ada apa sih?”

Jeannie mengempaskan tubuhnya ke sofa dengan perasaan lega. “Terima kasih.


Tuhan! Aku meneleponmu berjam-jam yang lalu. ke mana saja kau?”

“Aku pergi nonton dengan Catherine dan Bill. Salahkah?”

“Sori, aku tidak berhak menginterogasimu seperti itu.”

“Nggak apa. Aku kan temanmu. Kau boleh marah-marah padaku. Aku pun akan
marah-marah padamu suaiu hari.”
Jeannie tertawa. “Trims. Aku punya sebuah daftar nama dari lima orang yang
mungkin kembaran Steve.” Sengaja ia tidak langsung menceritakan
permasalahannya; kenyataan itu terlalu sulit diterima. “Aku harus melacak
mereka malam ini juga. Kau bisa bantu aku?”

Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Jeannie, aku hampir mendapat masalah serius
saat mencoba masuk ke dalam ruang kerjamu. Hampir saja aku dan si petugas
sekuriti itu dipecat. Aku mau membantumu, tapi aku juga butuh pekerjaanku.”

Rasa cemas mulai menggerayangi Jeannie. Tidak, kau tidak boleh


mengecewakan aku, tidak pada saat aku sudah berhasil mencapai sebanyak ini.
“Tolong.”

“Aku takut.”

Rasa cemas Jeannie digantikan oleh ketetapan hatinya. Persetan, aku tidak akan
membiarkan kau lolos. Lisa, ini kan sudah hampir hari Minggu.” Aku tidak
senang melakukan ini terhadapmu, tapi aku terpaksa. “Seminggu yang lalu, aku
menerobos ke dalam sebuah bangunan yang terbakar untukmu.”

“Aku tahu, aku tahu.”

“Aku juga takut waktu itu.”

Untuk waktu lama tidak ada jawaban. “Kau benar,” ujar Lisa akhirnya. “Oke,
aku akan melakukannya.”

545

Jeannie menahan din untuk tidak menyuarakan pekik kemenangannya.


“Seberapa cepat kau bisa sampai di sana?”

“Dalam lima belas menit.”

“Aku akan menemuimu di luar.”

Jeannie menutup pesawatnya, lalu lari ke kamar tidur. Ia menjatuhkan mantel


mandinya ke lantai, lalu mengenakan celana jeans hitamnya dan baju kaus
berwarna hijau kebiruan. Ia memakai sebuah jaket Levi hitam, kemudian lari ke
lantai bawah.
Ia meninggalkan ramahnya pada tengah malam.

di-scan dan d i -d j vu-ka.ii untuk dimhader dim had co cc oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa hidup anda selamanya.

546

BAB 52

Jeannie sampai lebih dulu di universitas, la memarkir mobilnya di tempat yang


disediakan untuk para tamu, karena ia tak ingin kendaraannya yang unik terlihat
di luar bangunan Nut House. Kemudian ia melintasi kawasan kampus yang gelap
dan sepi itu. Sambil menunggu dengan tak sabar di luar gedung, ia menyesal
tidak berhenti dulu untuk membeli makanan. Ia belum makan apa-apa sepanjang
hari itu. Ia membayangkan cheeseburger dengan kentang goreng, sepotong piza
dengan pepperoni, kue apel dengan es krim vanila, atau bahkan sepiring besar
salad Caesar yang memakai banyak bawang putih. Akhirnya Lisa muncul dalam
mobil Honda putihnya yang keren.

Ia keluar dari mobilnya, lalu langsung menggenggam tangan Jeannie. “Aku malu
sekali,” ujarnya. “Seharusnya kau tidak perlu mengingatkan aku akan apa yang
telah kaulakukan sebagai seorang teman.” “Tapi aku mengerti,” ujar Jeannie.
“Aku menyesal.” Jeannie merangkulnya.

Mereka masuk ke dalam, lalu menyalakan lampu laboratorium. Jeannie


memasang mesin kopi, sementara Lisa mem booting komputernya. Rasanya
aneh berada di situ pada tengah malam. Dekorasinya yang serba

549

putih dan steril, lampu-lampunya yang terang, dan deru lembut peralatan-
peralatan di sekitarnya mengingatkannya akan sebuah kamar jenazah.

Terpintas dalam dirinya bahwa cepat atau lambat mereka akan diganggu oleh
para petugas sekuriti. Setelah pembobolan yang berhasil dilakukannya tadi
malam, mereka akan menjaga Nut House ekstra ketat, dan mereka akan melihat
lampu-lampunya. Tapi bukan hal aneh bagi para ilmuwan untuk berada di
laboratorium pada jam-jam begini, dan pasti tidak akan ada masalah, kecuali jika
seorang*petugas kebetulan mengenali Jeannie dari peristiwa pada malam
sebelumnya. “Kalau ada petugas sekuriti kemari untuk mengecek, aku akan
bersembunyi di lemari peralatan,” ujar Jeannie pada Lisa. “Cuma untuk jaga-
jaga, jangan sampai yang muncul itu petugas yang tahu bahwa aku nggak boleh
masuk sini.”

“Mudah-mudahan kedengaran kalau dia muncul,” jawab Lisa dalam nada cemas.

“Kita bisa membuat semacam alarm.” Jeannie sudah ingin buru-buru memulai
pelacakannya, tapi ia berusaha menahan ketidaksabarannya: suatu peringatan
yang masuk akal-la melayangkan matanya ke seputar ruang laboratorium itu,
lalu melihat sebuah rangkaian bunga kecil di meja Lisa. “Seberapa besar arti vas
itu bagimu?”

Lisa angkat bahu- “Aku membelinya di K mart. Aku bisa beli yang lain.”

Jeannie membuang bunga-bunganya, lalu mengosongkan airnya di sebuah


wastafel. Dari sebuah rak, ia mengambil buku berjudul Identical Twins Reared
Apart—Pasangan Kembar Identik yang Dibesarkan Secara Terpisah—karangan
Susan L. Farber. Ia pergi ke ujung lorong; di situ terdapat sepasang pintu ayun
menuju tangga. Ia menarik pintu-pintu itu sedikit ke dalam, lalu menggunakan
bukunya untuk menahan posisi pintu agar tetap begitu. Sesudah itu ia
meletakkan vasnya di ujung daun pintu-pintu itu, persis di celahnya. Tak

550

mungkin ada yang bisa masuk ke dalam tanpa mengakibatkan vas itu jatuh dan
pecah.

Saat mengawasinya, Lisa berkata, “Apa yang harus kukatakan kalau mereka
menanyakan padaku, kenapa aku melakukan itu?”

“Kau tidak ingin ada yang mengendap-endap di belakangmu,” sahut Jeannie.

Lisa mengangguk puas. “Cuma Tuhan yang tahu bahwa aku memang punya
cukup alasan untuk berlaku sesenewen itu.”

“Ayo kita mulai,” ujar Jeannie.

Mereka masuk kembali ke dalam ruang laboratorium, meninggalkan pintu dalam


keadaan terbuka, agar mereka dapat mendengar suara vas itu jatuh. Jeannie
memasukkan disket floppy-nya yang berharga ke dalam komputer Lisa, untuk
mencetak hasil hasil perolehannya dari Pentagon. Di situ terdapat kedelapan
nama bayi yang hasil elektrokardiogramnya ternyata persis sama, seakan
semuanya berasal dari satu individu. Delapan jantung mungil berdetak dengan
cara yang persis sama. Entah bagaimana caranya, Berrington berhasil mengatur
agar bayi-bayi ini menjalani tes tersebut di rumah-rumah sakit tentara. Tak perlu
diragukan lagi bahwa copy-copy-nya kemudian dikirim ke Aventine Clinic, di
mana data-datanya mereka simpan, sampai akhirnya terpaksa dihancurkan pada
hari Kamis yang lalu. Tapi Berrington rupanya lupa, atau mungkin tidak pernah
menyadarinya bahwa pihak militer akan menyimpan copy orisinalnya.

“Ayo kita mulai dengan Henry King,” usul Jeannie. “Nama lengkapnya Henry
Irwin King.”

Di meja tulis Lisa ada dua drive CD-ROM. Ia mengeluarkan dua CD dari dalam
laci meja tulisnya, lalu memasukkannya ke dalam masing-masing drive. “Kita
memiliki semua nomor telepon rumah yang ada di Amerika dalam kedua disk
itu,” ujarnya. “Dan kita

551

memiliki sistem software yang memungkinkan kita melacak kedua disk itu pada
waktu bersamaan.”

Sebuah program Windows muncul di layar monitor “Sayangnya, orang tidak


selalu mencantumkan nama lengkap mereka di dalam buku telepon,” tambahnya
“Coba kita lihat, ada berapa banyak H. King di Amerika” la mengetik

H* King

lalu mengklik pada Count—hitung. Selang beberapa saat, sebuah jendela Count
muncul dengan angka 1.129.

Hati Jeannie langsung menciut. “‘Kita bakal butuh waktu semalaman untuk
menelepon begitu banyak nomor!”

“Tunggu dulu, mungkin ada alternatif yang lebih baik.” Lasa mengetik

Henry I. King ATAU Henry Irwin King


lalu ia mengklik pada ikon Retrieve—telusuri, yang bergambar seekor anjing.
Selang beberapa waktu, sebuah daftar muncul di layar. “Kita memperoleh tiga
nama Henry Irwing King dan tujuh belas Henry I. King. Di mana alamat
terakhirnya waktu itu?”

Jeannie memeriksa lembaran kertas yang baru dicetaknya. “Fort Devens,


Massachusetts.”

“Oke, ada satu Henry Irwin King di Amherst dan empat Henry I. King di
Boston.”

“Ayo kita telepon mereka.”

“Kau sadar bahwa sekarang pukul satu pagi?”

“Aku nggak bisa menunggu sampai besok.”

“Orang tidak bakal mau melayanimu pada jam-jam begini.”

“Tentu saja mereka mau,” sahut Jeannie. Itu namanya nekad. Ia tahu bahwa ia
akan mendapat masalah. Ia

552

cuma tidak mau menunggu sampai pagi. Ini terlalu berarti baginya. “Aku akan
bilang bahwa aku dari dinas kepolisian, bahwa aku sedang melacak seorang
pembunuh berantai.”

“Itu kan pelanggaran hukum.”

“Berikan padaku nomor yang di Amherst itu.”

Lisa menerangi bagian yang dimaksud, lalu menekan tombol F2-Dari modem
komputer keluar serentetan suara bip Jeannie mengangkat pesawat teleponnya.

Ia mendengar tujuh kali deringan, lalu suatu suara mengantuk menjawab, “Ya?”

“Saya Detektif Susan Farber dari Dinas Kepolisian Amherst,” ujar Jeannie. Ia
sudah setengah siap akan mendengar. Sialan, tapi laki-laki itu ternyata tidak
bereaksi. Dengan nada tegas ia melanjutkan, “Kami meminta maaf telah
mengganggu Anda pada tengah malam begini, tapi urusan ini betul-betul
mendesak. Apakah saya berbicara dengan Henry Irwin King?”

“Ya, betul, apa yang terjadi?”

Dari suaranya, sepertinya ia seorang laki-laki setengah baya, tapi Jeannie masih
ingin memastikannya. “Ini cuma masalah rutin.”

Salah. “Rutin?” ujar laki-laki itu dalam nada mulai marah. “Tengah malam
begini?”

Cepat-cepat Jeannie berimprovisasi dengan, “Kami sedang menyidik suatu kasus


kriminal yang serius, dan kami merasa perlu mengeliminasi nama Anda sebagai
calon tersangka, Sir. Dapatkah Anda menyatakan kepada kami tanggal dan
tempat lahir Anda?”

“Aku lahir di Greenfield, Massachusetts, pada tanggal 4 Mei, tahun sembilan


belas empat lima. Oke?”

“Anda tidak memiliki seorang putra dengan nama yang sama, bukan?”

“Tidak, aku hanya punya tiga anak perempuan. Aku bisa kembali tidur
sekarang?”

“Kami tidak akan mengganggu Anda lebih lama

553

lagi. Terima kasih untuk kerja sama Anda dengan pihak kepolisian, dan selamat
beristirahat.” Jeannie menutup pesawatnya, lalu menatap dengan wajah berbinar
ke arah Lisa. “Betul, kan? Dia berbicara denganku. Dia tidak menyukai itu, tapi
dia berbicara.”

Lisa tertawa. “Dr. Ferrami kau punya bakat untuk menipu.”

Jeannie tertawa. “Yang penting nekad. Ayo kita coba yang bernama Henry I.
King. Aku akan menelepon dua yang pertama, kau dua yang terakhir.”

Ternyata sistem putar otomatis itu tidak dapat digunakan berdua. Jeannie
mengambil sebuah buku notes dan bolpoin, lalu mencatat kedua nomornya.
Sesudah itu, ia mengangkat pesawat telepon dan mulai memutar nomornya.
Suara seorang laki-laki yang menjawab. Jeannie mulai beraksi, “Saya Detektif
Susan Farber dari dinas kepolisian kota Boston…”

“Buat apa menelepon aku malam-malam begini!” sembur laki-laki itu dalam
nada marah. “Kau tahu aku siapa?”

“Setahu saya, Anda Henry King…”

“Setahuku kau bakal kehilangan pekerjaan sialanmu, goblok,” ujarnya dalam


nada semakin marah. “Susan apa kauhilang tadi?”

“Saya cuma butuh mengecek tanggal kelahiran Anda, Mr. King…”

“Sambungkan aku dengan letnanmu sekarang juga.” “Mr. King…”

“Lakukan apa yang baru kukatakan!”

“Brengsek,” umpat Jeannie, lalu menutup pesawatnya. Ia merasa terguncang


sekali. “Kuharap ini tidak akan menjadi malam yang penuh caci maki seperti
itu.”

Lisa juga sudah menutup pesawatnya. “Aku dapat orang Jamaica, dan itu dia
buktikan dengan aksennya,” ujarnya. “Rupanya yang kaudapat tidak begitu
simpatik.”

“Amat.”

554

“Kita bisa berhenti dulu, dan melanjutkannya besok pagi.”

Jeannie tidak man menyerah hanya gara-gara ulah seorang laki-laki yang tidak
ramah. “Tidak,” ujarnya. “Aku masih tahan menghadapi kata-kata yang sedikit
kasar.”

“Terserah kau.”

“Dari suaranya, sepertinya dia sudah jauh melampaui usia dua puluh dua tahun,
jadi kita boleh melupakannya. Ayo kita coba dua yang lain.”
Sambil menyilangkan lengannya, ia mulai memutar lagi.

Henry King ketiga ternyata belum tidur; ada suara musik di latar belakang, dan
suara-suara lain dalam ruangan itu. “Yeah, siapa ini?” ujarnya.

Dari suaranya, usianya kira-kira pas. Harapan Jeannie mulai melambung. Ia


berpura-pura menjadi seorang petugas dinas kepolisian lagi. tapi laki-laki itu
ternyata curiga. “Dari mana aku bisa tahu bahwa Anda memang polisi?”

Gaya berbicaranya persis seperti Steve, sehingga untuk sesaat Jeannie merasa
jantungnya berhenti berdetak. Yang ini mungkin salah satu di antara clone-clone
itu. Tapi bagaimana ia dapat mengatasi sikap curiganya? Jeannie memutuskan
untuk menantangnya. “Bagaimana kalau Anda menelepon saya kembali di
kantor polisi?”

Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Sudahlah, tidak usah,” jawah suara itu.

Jeannie dapat bernapas kembali.

“Aku Henry King,” ujarnya. “Mereka memanggilku Hank. Apa yang Anda
inginkan?”

“Boleh aku cek dulu, kapan tanggal lahir Anda dan tempatnya?”

“Aku lahir di Fort Devens, persisnya dua puluh dua tahun yang lalu. Ini hari
ulang tahuuku, ehm… kemarin sebetulnya, hari Sabtu.”

Ini dia! Jeannie sudah berhasil menemukan sara di

555

antara - mereka. Sekarang ia harus memastikan, apakah anak muda itu berada di
Baltimore pada hari Minggu yang lalu. Ia mencoba untuk tidak terdengar terlalu
antusias saat bertanya, “Dapatkah Anda mengungkapkan pada saya, kapan Anda
keluar daerah terakhir kali?”

“Sebentar, bulan Agustus, aku pergi ke New York ketika itu.”

Lnsting Jeannie mengatakan anak muda itu menyatakan yang sebenarnya,


namun ia toh melanjutkan pertanyaannya. “Apa yang Anda lakukan pada hari
Minggu yang lalu?”

“Aku bekerja.”

“Apa mata pencaharian Anda?”

“Ehm, aku seorang mahasiswa di MIT, tapi pada hari Minggu, aku bekerja
melayani meja bar di Blue Note Cafe di Cambridge.”

Jeannie mencatat itu. “Jadi, Anda di situ pada hari Minggu yang lalu?”

“Ya. Melayani sedikitnya seratus orang.”

“Terima kasih, Mr. King.” Kalau itu benar, berarti dia bukan laki-laki yang
memerkosa Lisa. “Bisakah Anda memberikan nomor telepon kafe itu, agar saya
dapat mengkonfirmasi alibi Anda?”

“Aku tidak ingat, tapi pasti ada di buku telepon. Pelanggaran apa kira-kira yang
telah kulakukan?”

“Kami sedang menyidik suatu kasus kebakaran.”

“Untung aku punya alibi.”

Benar-benar meresahkan bagi Jeannie untuk mendengar suara Steve, tapi tahu
bahwa yang berbicara itu orang lain. Andai kata ia dapat melihat tampang Henry
King, untuk mengecek persamaan fisiknya. Dengan perasaan enggan ia
mengakhiri percakapan itu. “Terima kasih sekali lagi. Sir. Selamat malam.” Ia
menutup pesawatnya, lalu mengembuskan napas. “Whew!”

Lisa ternyata mengikuti percakapan itu. “Kau menemukannya?”

556

“Ya, dia dilahirkan di Fort “Devens dan dia berusia dua puluh dua tahun hari ini.
Dia memang Henry King yang kita cari.”

“Hebat!”

“Tapi rupanya dia punya alibi. Katanya dia bekerja di sebuah bar di Cambridge.”
Jeannie mengecek catatannya. “The Blue Note.”
“Kita cek sekarang?” Insting berburu Lisa rupanya mulai tergugah.

Jeannie mengangguk- “Sudah malam sekali, tapi sebuah bar tentunya masih
buka, terutama pada malam Sabtu. Kau bisa lacak nomornya dari CD-ROMmu?”

“Kita hanya memiliki nomor-nomor telepon rumah. Yang berhubungan dengan


urusan bisnis ada di disket lain.”

Jeannie menelepon bagian informasi, mendapatkan nomornya, lalu mulai


memutar. Deringannya langsung dijawab.

“Saya Detektif Susan Farber dari dinas kepolisian Boston. Tolong hubungkan
saya dengan manajer bar ini.”

“Aku manajernya, ada apa?” Laki-laki itu memiliki aksen Hispanik, dan nada
suaranya terdengar agak cemas.

“Anda punya pegawai bernama Henry King?”

“Hank, ya, apa lagi yang dia lakukan?”

Rupanya Henry King sudah pernah berurusan dengan pihak berwajib. “Mungkin
tidak apa-apa. Kapan Anda melihatnya terakhir kali?”

“Hari ini, maksudku kemarin, hari Sabtu, dia dapat giliran kerja pagi.”

“Dan sebelumnya?”

“Coba sebentar, hari Minggu yang lalu dia bekerja dari pukul empat sampai
tengah malam.”

“Kalau memang perlu. Anda bisa bersaksi untuk itu?”

557

‘Tentu, kenapa tidak*? Siapa pun yang terbunuh, pasti bukan si Hank
pelakunya.”

“Terima kasih untuk kerja sama Anda, Sir.”

“Oh, tidak apa.” Si manajer kedengarannya lega bahwa hanya itu yang
ditanyakan Jeannie. Andai kata aku seorang polisi sungguhan, pikir Jeannie, aku
akan tahu bahwa dia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. “Silakan
hubungi aku kapan saja ” Laki laki itu menutup pesawatnya.

Dalam nada kecewa Jeannie berkata, “Alibinya kuat.”

“Jangan sedih,” ujar Lisa. “Kita boleh bangga bisa mengeliminasinya dalam
waktu begitu singkat—terutama mengingat namanya yang begitu umum. Ayo
kita coba si Per Ericson. Pasti tidak banyak yang memakai nama itu.”

Menurut daftar dari Pentagon, Per Ericson lahir di Fort Rucker, tapi dua puluh
dua tahun kemudian, tidak ada lagi yang bernama Per Ericson di Alabama. Lisa
mencoba:

P* Erics?on andai kata dieja dengan dua s, kemudian ia mencoba

P* Erics$n

untuk memasukkan kemungkinan pengejaan Ericsen dan Ericson, namun


komputer itu tidak berhasil menemukan apa-apa.

“Coba Philadelphia,” usul Jeannie. “Di situ dia menyerangku.”

Ternyata ada tiga yang memakai nama itu di Philadelphia. Yang pertama ternyata
seorang homo, yang kedua, dari suaranya, seorang laki-laki tua yang sudah
rapuh, dan yang ketiga seorang wanita, Petra. Jeannie dan Lisa mulai melacak
semua P. Ericson yang tinggal di Amerika; ternyata ada tiga puluh tiga orang.

558

P. Ericson kedua yang ditangani Lisa ternyata berdarah panas dan bermulut
kasar. Wajah Lisa amat pucat saat menutup pesawatnya, namun setelah minum
secangkir kopi, ia melanjutkan pekerjaannya kembali.

Setiap telepon merupakan suatu drama kecil tersendiri. Jeannie betul betul harus
mengumpulkan seluruh keberaniannya dalam usahanya berpura-pura menjadi
polisi. Sungguh-sungguh meresahkan menantikan kemungkinan ia dijawab oleh
laki-laki yang pernah mengatakan kepadanya, Jangan macam-macam, atau
kuhajar kau. Kemudian ia masih harus mengatasi rasa tegang saat
mempertahankan peran detektif polisi dalam menghadapi sikap curiga atau kasar
dari mereka yang menjawab teleponnya. Dan biasanya hasilnya mengecewakan.

Sewaktu Jeannie mengakhiri telepon keenamnya yang juga tidak membuahkan


apa-apa, ia mendengar Lisa berkata. “Oh. aku menyesal sekali. Sumber
informasi kami tentunya sudah kedaluwarsa. Maaf telah mengganggu Anda,
Mrs. Ericson. Selamat malam.” Ia menutup pesawatnya dengan (ampang tidak
keruan. “Memang dia yang kita cari,” ujarnya dalam nada prihatin. “Tapi dia
sudah meninggal musim dingin yang lalu. Tadi itu ibunya. Dia langsung
menangis ketika aku menanyakan soal putranya.”

Jeannie mencoba membayangkan, seperti apa si Per Ericson itu. Apakah ia


seorang penderita gangguan jiwa seperti Dennis, atau ia lebih mirip Steve?
“Bagaimana dia mati?”

“Dia seorang juara main ski, rupanya. Lehernya patah saat mencoba sesuatu
yang berbahaya.*’

Si nekat yang tidak kenal takut. “Sepertinya dia memang yang kita cari.”

Tak pernah terpintas dalam diri Jeannie bahwa tidak semua dari kedelapan clone
itu masih dalam keadaan hidup. Tapi kini ia menyadari bahwa pasti ada lebih
dari delapan implantasi dalam kasus ini. Bahkan kini.

559

di saat tekniknya sudah jauh lebih canggih, masih sering terjadi kegagalan.
Selain itu, masih ada kemungkinan bahwa beberapa ibu mengalami keguguran.
Pihak Genetico rupanya telah bereksperimen atas sekitar lima belas atau dua
puluh orang wanita, atau bahkan lebih.

“Ini bukan tugas mudah,” ujar Lisa.

“Kau mau istirahat dulu?”

“Tidak.” Lisa menggeleng. “Sejauh ini semuanya lancar. Kita sudah


mengeliminasi dua di antara lima, padahal belum pukul tiga sekarang. Siapa
yang berikutnya?”

“George Dassault.”
Jeannie mulai yakin bahwa mereka akan menemukan si pemerkosa itu, namun
ternyata mereka tidak begitu beruntung dengan nama tersebut. Ternyata hanya
ada tujuh George.Dassault di Amerika, tapi tiga di antaranya tidak menjawab
telepon mereka. Sepertinya tak satu pun bisa dihubungkan dengan kasus di
Baltimore ataupun Philadelphia—yang satu ada di Buffalo, satu di Sacramentn,
dan satu lagi di Houston—tapi itu belum membuktikan apa-apa. Tidak ada yang
dapat mereka lakukan selain melanjutkan usaha. Lisa mencetak daftar nomor
telepon yang mereka peroleh, untuk mereka coba lagi kemudian.

Masih ada satu kendala lagi. “Kukira kita tidak dapat memastikan bahwa orang
yang kita cari ada di CD-ROM itu,” ujar Jeannie.

“Memang. Mungkin saja dia tidak punya telepon. Atau nomornya tidak
terdaftar.”

“Dia bisa memakai nama lain, seperti Spike Dassault atau Flip Jones.”

Lisa cekikikan. “Mungkin dia seorang penyanyi rap dan sudah mengganti
namanya menjadi Icey Creamo Creamy.”

“Mungkin dia seorang jago gulat bernama Iron Billy.” “Atau penulis skenario
film koboi dengan nama Buck Remington.”

560

“Atau bintang film porno sebagai Heidi Whiplash.” “Dick Swiftly.” “Henrietta
Pussy.”

Derai tawa mereka tiba-tiba dihentikan oleh bunyi pecahan gelas yang
berserakan. Jeannie segera turun dari bangkunya dan lari ke lemari peralatan, la
menutup pintunya lalu berdiri dalam kegelapan, sambil memasang telinga.

Ia mendengar suara Lisa yang berkata dalam nada cemas, “Siapa di situ?”

“Sekuriti,” jawab suara seorang laki-laki. “Anda yang meletakkan gelas itu di
situ?”

“Ya.”

“Boleh aku tanya kenapa?”


“Supaya tidak ada yang mengendap-endap di belakangku. Aku sedikit ngeri
bekerja malam-malam di sini.”

“Oke. tapi aku tidak akan membersihkan itu. Aku bukan petugas kebersihan.”
“Tak apa, biarkan saja” “Anda sendirian. Miss?”

“Ya”

“Aku akan periksa-periksa sebentar.” “Silakan.”

Jeannie segera mencengkeram pegangan pintunya dari dalam, dengan kedua


tangannya. Andai kata laki-laki itu mencoba membukanya ia akan berusaha
menghambatnya.

fa mendengar suara langkah-langkah kaki saat si petugas mengitari laboratnrium


itu. “Omong-omong, apa yang sedang Anda kerjakan sebetulnya?” Suaranya
dekat sekali.

Lisa berada agak jauh. “Aku senang omong-omong, tapi aku tidak punya waktu
sekarang. Aku sedang sibuk sekali.”

Kalau dia tidak sibuk, bego, dia tidak akan ada di

561

sini tengah malam begini. Jadi, kenapa kau tidak segera keluar saja dan
meninggalkannya sendirian?

“Oke, tak apa.” Suaranya persis di muka pintu itu. “Ada apa di sini?”

Jeannie mencengkeram pegangan pintu itu kuat-kuat, sambi! menariknya ke


atas, siap untuk menahan tekanannya

“Di situ kami menyimpan kromosom virus radioaktif,” jawab Lisa “Rasanya sih
cukup aman untuk masuk ke situ, kalau tidak dikunci.”

Jeannie menahan tawanya. Mana ada yang disebut kromosom virus radioaktif?

“Sebaiknya kulewatkan saja kalau begitu,” ujar si petugas. Saat akan


melonggarkan cengkeramannya pada pegangan pintu itu, tiba-tiba Jeannie
merasakan tekanan. Dengan seluruh tenaganya ia menariknya ke atas. “Toh
terkunci,” ujar laki-laki itu.

Untuk sesaat tidak terdengar apa-apa. Ketika ia berbicara lagi, suaranya sudah
lebih jauh. Jeannie merelaks. “Kalau Anda kesepian, mampirlah di rumah jaga.
Akan kubuatkan secangkir kopi untuk Anda.”

“Trims,” ujar Lisa.

Ketegangan Jeannie mulai mereda, namun ia tetap tinggal di tempat itu,


menunggu tanda Semua Sudah Oke. Selang beberapa menit, Lisa membuka
pintunya. “Dia sudah meninggalkan gedung ini,” ujarnya

Mereka kembali ke pesawat telepon.

Murray Claud merupakan nama yang langka, sehingga dalam waktu singkat
mereka berhasil melacaknya. Jeannie yang menelepon kali ini. Murray Claud
senior mengungkapkan kepadanya, dalam nada penuh kepahitan dan emosi,
bahwa putranya masuk penjara di Athens sejak tiga tahun yang lalu, setelah
suatu perkelahian dengan pisau di sebuah taverna, dan tidak akan dilepas,
sebelum bulan Januari. “Anak muda itu sebetulnya bisa menjadi apa saja,”
ujarnya. “Antariksawan, pemenang

562

hadiah Nobel, bintang film, presiden Amerika Dia punya otak, pembawaan, dan
tampang yang baik. Tapi dia mencampakkannya begitu saja. Begitu saja”

Jeannie mengerti kepedihan hati si ayah. Ia menganggap itu kesalahannya


Jeannie merasa begitu tergoda untuk mengungkapkan yang sebenarnya
kepadanya, tapi ia belum siap untuk itu, dan lagi pula waktunya tidak ada. Ia
berjanji pada dirinya untuk menelepon bapak itu lagi nanti, untuk memberikan
penghiburan yang mungkin dapat ia berikan. Kemudian ia mengakhiri
percakapan mereka

Mereka menyisihkan Harvey Jones untuk yang terakhir, karena mereka tahu ia
akan paling sulit dilacak.

Jeannie menjadi kecil hati mendapati bahwa ada hampir sejuta orang yang
bernama Jones di Amerika, dan H merupakan inisial yang sangat umum. Nama
tengahnya John. Ia dilahirkan di Walter Reed Hospital di Washington. DC,
karena itu Jeannie dan Lisa terpaksa menelepon semua Harvey Jones, semua H J.
Jones, dan semua H. Jones yang terdapat di buku telepon Washington. Mereka
tidak menemukan seorang pun yang dilahirkan kira-kira dua puluh dua tahun
yang lalu di Walter Reed; tapi gawatnya mereka malah mendapatkan sebuah
daftar panjang mengenai kemungkinan—dari orang-orang yang tidak
mengangkat pesawat mereka.

Sekali lagi Jeannie mulai meragukan keberhasilan cara yang mereka tempuh.
Mereka sudah memiliki Uga George Dessault yang masih terkatung-katung, dan
kini sekitar dua puluh atau tiga puluh H. Jones. Secara ter> retis, cara pelacakan
ini sebetulnya sudah baik, tapi andai kala telepon mereka tidak dijawab, ia tidak
dapat menanyai orang yang bersangkutan. Mata Jeannie mulai berkunang-
kunang dan ia merasa gelisah karena terlalu banyak minum kopi dan kurang
tidur.

Pada pukul empat pagi, Jeannie dan Lisa mulai menelusuri para Jones yang
tinggal di Philadelphia.

Pada pukul empat tiga puluh, Jeannie menemukannya.

Semula ia mengira ia hanya akan memperpanjang daftar kemungkinannya.


Pesawat di ujung lain itu berdering empat kali, kemudian terdengar suatu nada
henti yang khas dan ceklik sebuah perangkat penjawab telepon. Namun suara
yang keluar dari perangkat itu ternyata begitu tidak asing di telinganya. “Anda
telah mendapat sambungan dengan tempat tinggal Harvey Jones.” ujar suara itu.
Bulu kuduk Jeannie langsung berdiri. Rasanya seperti mendengar suara Steve:
nada suaranya, tekanannya, dan cara ia mengatakannya persis seperti Steve.
“Aku tidak bisa menjawab Anda sekarang, jadi tolong tinggalkan pesan setelah
nada panjang ini.”

Jeannie menutup pesawat itu, lalu mengecek kembali alamatnya. Ternyata


sebuah apartemen di Spruce Street, University City, tidak jauh dari Aventine
Clinic. Ia menyadari bahwa tangannya bergetar. Itu karena ia begitu ingin
mencekik leher laki-laki itu.

“Aku menemukannya,” ujar Jeannie kepada Lisa.

“Astaga.”
“Hanya dijawab mesin, tapi itu suaranya, dan dia tinggal di Philadelphia, dekat
tempat aku diserang.”

“Coba kudengar suaranya.” Lisa memutar nomor itu. Begitu ia mendengar


pesannya, wajahnya berubah pucat. “Betul dia,” ujarnya. Ia menutup
pesawatnya. “Aku bisa mendengar lagi suaranya sekarang. Lepaskan celana
cantik itu, katanya. Ya Tuhan.

Jeannie meraih pesawatnya, lalu menelepon kantor polisi.

564

BAB 53

Berrington Jones tidak tidur sama sekali Sahtu malam itu.

la tinggal di pelataran parkir Pentagon untuk mengawasi mobil Lincoln Mark


VIII hitam milik Kolonel Logan sampai tengah malam, kemudian menelepon
Proust dan mendengar bahwa Logan sudah ditahan, tapi Steve berhasil kabur,
mungkin naik kereta api bawah tanah atau bus. mengingat ia tidak mengambil
mobil ayahnya.

“Apa yang mereka lakukan di Pentagon?” tanyanya pada Jim.

“Mereka berada di Pusat Komando Data. Aku masih mengikuti proses untuk
menyidik apa persisnya rencana mereka. Coba cari cara untuk menemukan si
anak muda, atau cewek Ferrami itu.”

Berrington sudah tidak merasa keberatan melakukan itu. Situasinya sudah terlalu
gawat. Ini bukan lagi saatnya untuk mempermasalahkan harga dirinya. Kalau ia
gagal menghentikan Jeannie, ia tidak akan memiliki harga diri lagi sedikit pun.

Ketika ia kembali ke rumah keluarga Logan, suasana sudah gelap, dan sepi, dan
mobil Mercedes merah Jeannie sudah pergi. Ia menunggu di situ selama satu
jam, tapi tidak ada yang muncul. Ia memperkirakan Jeannie sudah pulang, jadi ia
kembali ke Baltimore, bolak-balik melin—

565

tasi jalan tempat tinggal Jeannie, tapi mobilnya ternyata juga tidak di sana.
Hari sudah mulai terang ketika akhirnya ia memarkir kendaraannya di luar
rumahnya sendiri di Roland Park. Ia masuk ke dalam, lalu menelepon Jim, tapi
tidak ada yang menjawab, baik di rumahnya maupun di kantornya. Berrington
merebahkan diri di tempat tidurnya, tanpa melepaskan pakaian. Ia memejamkan
mata, tapi tetap terjaga dengan pikiran resah, meskipun ia capek.

Pada pukul tujuh ia bangun, lalu mencoba menelepon lagi. Ia masih belum bisa
menghubungi Jim. Ia pergi mandi, bercukur, lalu mengenakan celana panjang
hitam dari bahan katun dan kemeja polo bergaris-garis. Ia memeras segelas besar
air jeruk, lalu meminumnya sambil berdiri di dapur, la mencoba membaca edisi
hari Minggu Sun, sebuah koran terbitan Baltimore, namun kepala beritanya sama
sekali tidak ada artinya baginya, seakan kata-katanya ditulis dalam bahasa
Finlandia.

Proust menelepon pada pukul delapan.

Jim telah menghabiskan separuh dari malam itu di Pentagon, bersama seorang
teman, yang juga seorang jenderal, untuk menanyai personel Pusat Data, dengan
dalih mereka sedang menyidik suatu kasus pelanggaran sekuriti. Si jenderal,
teman Jim dari masa-masa CIA-nya, hanya tahu bahwa Logan sedang berusaha
membongkar suatu misi penyusupan dari tahun tujuh puluhan, dan Jim ingin
mencegahnya.

Kolonel Logan, yang masih ditahan, tidak mau mengatakan apa-apa selain Aku
ingin seorang pengacara. Namun hasil pelacakan Jeannie masih terpampang di
terminal komputer yang habis digunakan Steve, sehingga Jim tahu mengenai apa
yang telah mereka temukan. “Rupanya kau pernah menginstruksikan agar bayi-
bayi itu menjalani elektrokardiogram,” ujar Jim.

Berrington rupanya sudah lupa mengenai itu, tapi kini ia ingat lagi. “Ya, betul.”

566

“Logan menemukan mereka.” “Semua?”

“Kedelapan-delapannya.”

Berita terburuk dari yang ada Kedelapan hasil elektrokardiogram itu.


sebagaimana biasanya pada pasangan kembar identik, akan persis sama, seakan
mereka diambil dari satu individu yang sama pada hari yang berlainan. Steve
dan ayahnya, dan mungkin juga Jeannie, tentunya kini tahu bahwa ia merupakan
salah satu di antara delapan clone. “Sial,” umpat Berrington. “Kita sudah
berhasil menyimpan rahasia ini selama dua puluh dua tahun, dan sekarang cewek
sialan ini berhasil membongkarnya.”

“Kan aku sudah bilang tempo hari. bahwa kita harus menyingkirkan dia.”

Jim memang paling menyebalkan kalau sedang stres. Setelah melewati malam
tanpa tidur, Berrington tidak memiliki kesabaran untuk menghadapinya. “Kalau
kau bilang begitu lagi, akan kuledakkan kepalamu, sungguh!”

“Oke, oke!”

“Apa Preston sudah tahu?”

“Ya Dia bilang habislah kita, tapi dia selalu mengatakan itu.”

“Kali ini mungkin dia benar.”

Nada suara Jim terdengar datar dan rendah. “Kau mungkin sudah siap untuk
menyerah. Berry, tapi aku tidak,” ujarnya “Kita harus menjaga agar rahasia ini
tetap tertutup, sampai acara jumpa pers besok. Kalau itu berhasil kita lakukan,
proses pengambilalihan itu akan berlangsung dengan mulus.”

“Tapi apa yang akan terjadi sesudahnya?”

“Sesudah itu, kita akan memiliki seratus delapan puluh juta dolar, dan itu bisa
menutup banyak mulut”

Berrington ingin mempercayainya. “Kau memang lihai, lalu apa yang harus kita
lakukan sekarang?”

“Kita harus mencari tahu, seberapa banyak yang mereka ketahui. Tidak ada yang
dapat memastikan, apakah

567

Steven Logan mengantongi copy daftar nama dan alamat dalam sakunya
sewaktu dia kabur. Letnan wanita di Pusat Data itu bersikeras bahwa dia tidak
membawa apa-apa, tapi ucapannya bukan merupakan jaminan bagiku. Nyatanya,
alamat-alamat di tangannya itu sudah berusia dua puluh dua tahun. Tapi yang
ingin kutanyakan adalah, apakah melalui nama-nama itu Jeannie Ferrami dapat
menelusuri keberadaan mereka?’*

“Bisa.” sahut Berrington. “Kami memang ahlinya di departemen psikologi.


Kami harus melakukan itu setiap waktu, untuk melacak keberadaan pasangan
kembar identik. Kalau daftar itu sampai ke tangannya tadi malam, tentunya dia
sudah menemukan sebagian di antara mereka sekarang.”

“Itu yang aku khawatirkan. Apa ada cara untuk mengeceknya?”

“Kurasa aku bisa menghubungi mereka, dan mencari tahu apakah mereka sudah
mendengar sesuatu darinya.”

“Kau mesti hati-hati.”

“Jangan melecehkan aku. Jim. Kadang-kadang lagakmu seperti kau satu-satunya


yang punya otak di Amerika. Tentu saja aku akan berhati-hati. Aku akan
meneleponmu lagi.” Berrington menutup pesawatnya dengan kesal.

Nama dari para clone itu, beserta nomor telepon mereka, tertulis dalam kode
sederhana, dalam Buku Pintar-nya. Ia mengeluarkan buku itu dari dalam laci
meja tulisnya.

Ia selalu mengikuti perkembangan mereka dari tahun ke tahun. Ia merasa lebih


dekat dengan mereka daripada Preston dan Jim. Sewaktu mereka masih kecil,
secara berkala ia menyurati orangtua mereka melalui Aventine Clinic, untuk
meminta informasi, dengan dalih untuk kelanjutan studi klinik itu dalam bidang
perawatan hormon. Kemudian, setelah alasan itu tidak bisa diterima lagi, ia
mulai menggunakan berbagai macam dalih lainnya, seperti berpura-pura menjadi
seorang makelar real-568

estate yang menelepon untuk menanyakan apakah h»luarga itu punya minat
untuk menjual rumah mereka, atau apakah orangtua si anak tertarik untuk
membeli buku yang memuat informasi tentang beasiswa yang bisa diperoleh
anak-anak para mantan personel militer. Ia mengikuti dengan prihatin, sementara
kebanyakan di antara mereka berkembang dari anak-anak yang pintar tapi sulit
diatur menjadi remaja-remaja yang bandel dan tidak kenal takut, kemudian
orang-orang dewasa yang brilian tapi kurang stabil. Mereka adalah produk
sampingan yang kurang beruntung, hasil dari suatu eksperimen yang memiliki
nilai sejarah. Ia tidak pernah menyesali eksperimen itu sendiri, meskipun ia toh
merasa bersalah atas keberadaan anak-anak itu. Ia menangis ketika Per Ericson
meninggal gara-gara melakukan akrobatnya di suatu tempat bermain ski di Vail.

Ia menatap daftarnya sambil memikirkan alasan yang akan ia gunakan untuk


menelepon mereka. Sesudah itu ia meraih pesawat teleponnya dan memutar
nomor ayah Murray Claud. Pesawat di ujung lain itu berdering dan berdering,
tapi tidak ada yang mengangkat. Akhirnya Berrington mengambil kesimpulan
bahwa pada hari itu si ayah pergi menengok anaknya di penjara.

Kemudian ia menelepon George Dassault. Kali ini ia lebih beruntung.


Teleponnya dijawab oleh suara muda yang tidak asing lagi baginya. “Yeah, siapa
ini?”

Berrington berkata, “Aku dari Bell Telephone, Sir, dan kami sedang mengadakan
pengecekan mengenai gangguan melalui telepon. Apakah Anda menerima
telepon yang aneh atau tidak biasanya selama dua puluh empat jam terakhir ini?”

“Tidak, aku tidak bisa bilang lain. Tapi aku keluar kota sejak hari Jumat, jadi aku
tidak di sini, kalaupun telepon seperti itu masuk.”

“Terima kasih untuk keterangan Anda, Sir. Selamat siang.”

569

Kalaupun Jeannie memiliki nama George, ia pasti belum berbasil


menghubunginya. #

Sesudah itu Berrington mencoba menelepon Hank King di Boston

“Yeah, siapa ini?”

Betul-betul menakjubkan, ujar Berrington pada dirinya, bahwa mereka semua


menjawab telepon dengan cara tidak simpatik yang sama. Rasanya tidak ada gen
yang mengatur perilaku bertelepon. Namun riset mengenai pasangan kembar
identik ini memang penuh dengan fenomena-fenomena seperti itu. ‘Ini dari A.T.
& T.,” ujar Berrington. “Kami sedang melakukan survei mengenai gangguan
melalui telepon, dan kami ingin mengetahui apakah Anda menerima telepon
yang aneh atau mencurigakan selama dua puluh empat jam terakhir ini.”
Suara Hank terdengar tidak jelas. “Wah, aku asyik pesta kemarin. Aku tidak
ingat.” Berrington menggelindingkan bola matanya ke atas. Hank berulang tahun
kemarin. Tentunya ia habis minum-minum sampai mabuk, atau memakai obat
bius, atau dua-duanya. “Eh, tunggu dulu! Ada sesuatu. Aku ingat. Waktunya
tengah malam. Wanita itu bilang dia dari dinas kepolisian Boston.”

“Wanita?” Mungkin dari Jeannie, pikir Berrington, siap mengantisipasi berita


buruk yang akan didengarnya. “Yeah, seorang wanita.”

“Apakah dia menyebutkan namanya? Itu akan mempermudah pengecekan yang


akan kami lakukan.”

“Ya, tapi aku tidak ingat namanya. Sarah, Carol, Margaret, atau… Susan. Ya, itu
dia, Detektif Susan Farber.”

Nah, jelaslah sudah. Susan Farber adalah pengarang dari Identical Twins Reared
Apart, satu-satunya buku mengenai topik itu. Jeannie telah menggunakan nama
pertama yang terpintas dalam kepalanya ketika itu

570

Artinya daftar itu sudah ada padanya. Berrington termangu sejenak, kemudian
dengan geram ia melanjutkan pertanyaannya. “Apa yang dia katakan. Sir?”

“Dia menanyakan tanggal dan tempat lahirku.”

Itu untuk memastikan bahwa ia berbicara pada Henry King yang sedang
dicarinya.

“Aku merasa itu agak aneh,” lanjut Hank. “Buat apa dia tanyakan itu?”

Berrington segera memutar otak. “Rupanya dia sedang mencari masukan untuk
sebuah perusahaan asuransi. Memang tidak legal caranya, tapi toh sering
dilakukan. Kami minta maaf telah menggangu Anda, Mr. King, dan terima kasih
untuk kerja sama Anda.’*

‘Tentu.”

Berrington menutup pesawatnya dengan perasaan tidak keruan Jeannie sudah


memiliki daftar nama itu. Sekarang tinggal masalah waktu sebelum ia berhasil
melacak mereka semua.

Berrington sedang berhadapan dengan masalah terbesar dalam hidupnya.

571

BAB 54

Mish Delaware benar-benar bersikeras tidak mau pergi ke Philadelphia untuk


mengecek Harvey Jones. “Kita sudah melakukan itu kemarin. Manis,” ujarnya
ketika Jeannie akhirnya berhasil berbicara sendiri padanya melalui telepon, pada
pukul tujuh tiga puluh pagi. “Hari ini cucuku merayakan ulang tahunnya yang
pertama. Aku punya keluarga, tahu?”

‘Tapi kau tahu bahwa aku benar!” protes Jeannie. “Aku benar mengenai Wayne
Stattner. Ternyata dia memang kembaran Steve.”

“Kecuali warna rambutnya. Dan dia memiliki alibi.” “Lalu apa yang akan
kaulakukan?” “Aku akan menelepon dinas kepolisian Philadelphia dan berbicara
dengan seseorang dari Unit Tindak Kejahatan Seks di sana, untuk meminta
mereka melakukan pengecekan. Aku akan mengirimi mereka gambar E-FIT
melalui faks itu. Mereka akan mengecek, apakah Harvey Jones memenuhi ciri-
ciri dalam gambar rekaan itu, dan menanyakan kepadanya apakah dia dapat
merinci kegiatannya pada hari Minggu sore yang lalu. Kalau jawabannya adalah
Ya dan Tidak, berarti kita memiliki seorang calon tersangka.”

Jeannie membanting pesawatnya dengan marah. Setelah segala yang dialaminya


selama ini! Ia tidak tidur semalaman untuk melacak clone-clone itu!

572

Ia bertekad untuk tidak tinggal diam. Ia memutuskan untuk pergi ke Philadelphia


dan mengecek sendiri keberadaan Harvey. Ia tidak akan menyapa atau berbicara
padanya. Tapi ia bisa memarkir mobilnya di luar rumah laki-laki itu dan
melihatnya begitu ia keluar dari sana. Kalau tidak, ia bisa berbicara dengan
tetangga-tetangganya dan memperlihatkan kepada mereka foto Steve yang
diberikan Charles padanya. Entah bagaimana caranya, ia akan memastikan
bahwa laki-laki itu adalah kembaran Steve.

Ia sampai di Philadelphia sekitar pukul setengah sebelas. Di University City


tampak sejumlah keluarga kulit hitam berpakaian bagus berkumpul di luar
gedung gereja, dan anak-anak remaja merokok di emper rumah-rumah tua,
namun para mahasiswanya rupanya masih tidur. Keberadaan mereka hanya
ditandai oleh beberapa mobil Toyota karatan dan Chevrolet bobrok penuh
dengan stiker-stiker yang membanggakan tim olahraga perguruan tinggi mereka
atau stasiun radio setempat.

Bangunan yang ditinggali Harvey Jones ternyata sebuah rumah bergaya Victoria
yang besar dan kurang terpelihara, dan dibagi-bagi menjadi beberapa apartemen.
Jeannie menemukan sebuah tempat parkir di seberang jalan, dan selama
beberapa saat ia menunggu di situ, m mengawasi pintu keluarnya. „ Pada pukul
sebelas, ia masuk ke dalam.

Bangunan itu rupanya masih mempertahankan sisa-sisa kejayaan masa lalunya.


Selusuran tangganya sudah rapuh, dan ada bunga-bunga plastik yang penuh debu
dalam vas-vas murahan di birai jendela-jendelanya. Beberapa pemberitahuan
dalam tulisan tangan rapi seorang wanita yang sudah berumur, meminta kepada
para penghuni untuk menutup pintu mereka pelan-pelan, untuk memasukkan
sampah mereka ke dalam kantong-kantong plastik yang ditutup rapat, dan tidak
membiarkan anak-anak bermain di lorong.

573

Dia tinggal di sini, ujar Jeannie pada dirinya, sementara bulu kuduknya berdiri.
Apakah dia ada di rumah saat ini?

Harvey menempati kamar nomor 5B, jadi di lantai paling atas. Jeannie mengetuk
pintu pertama di lantai dasar. Seorang laki-laki bermata lamur dengan rambut
panjang dan cambang acak-acakan muncul di pintu, bertelanjang kaki. Jeannie
memperlihatkan foto itu padanya. Ia menggeleng, lalu membanting pintunya.
Jeannie teringat penghuni di bangunan yang ditinggali Lisa, yang berkata
kepadanya. Memangnya kaukira kau di mana. Non—Hicksville, USA?
Bagaimana tampang tetanggaku saja aku nggak tahu.

Jeannie mengenakkan giginya, lalu naik empat tingkat menuju lantai teratas. Ada
sebuah kartu dalam bingkai metal kecil pada pintu nomor 5B itu, yang cuma
ditulisi Jones. Selain itu tidak ada yang aneh.

Jeannie berdiri di luar sambil memasang telinga, namun yang terdengar olehnya
hanyalah degup ketakutan jantungnya sendiri. Dari dalam tidak ada suara sedikit
pun. Rupanya Harvey Jones tidak di dalam.

Jeannie mengetuk pintu nomor 5A. Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka
dan seorang laki-laki kulit putih yang sudah berumur muncul. Ia mengenakan
setelan bergaris-bergaris putih yang dulunya pasti bagus, ft dan warna rambutnya
begitu merah sehingga pasti bekas, dicat. Tampangnya cukup ramah. “Hai,”
tegurnya.

“Hai. Tetangga Anda di rumah?”

“Tidak.”

Jeannie merasa lega, sekaligus kecewa. Ia mengeluarkan foto Steve. “Apa


tampangnya seperti ini?”

Si tetangga menerima foto itu darinya, lalu menyipitkan matanya. “Yeah. ini
fotonya”

Ternyata aku benar.’ Terbukti lagi bahwa program pelacakan komputerku


bekerja. “Keren, ya?”

574

Laki-laki ini seorang homo, tebak Jeannie. Seorang homo tua yang elegan.
Jeannie tersenyum. “Menurutku juga Anda tahu ke mana dia pergi?”

“Dia tidak pernah ada di rumah pada hari Minggu. Pergi sekitar pukul sepuluh,
dan baru pulang setelah makan malam.”

“Dia juga tidak di rumah pada hari Minggu yang lalu?”

“Iya, Non. Kukira begitu.” Ternyata dia, tak bisa tidak. “Anda tahu ke mana
perginya?” “Tidak.”

Tapi aku tahu. Dia pergi ke Baltitnore.

Laki-laki itu berkata lagi, “Dia tidak banyak bicara. Malah dia sama sekali tidak
suka bicara. Kau seorang detektif?”

“Bukan-,,
“Apa yang telah dia lakukan?”

Jeannie tampak ragu sebentar, kemudian berkata kepada dirinya, Kenapa tidak
kuceritakan saja padanya apa adanya? “Kukira dia seorang pemerkosa” ujarnya

Laki-laki itu rupanya sama sekali tidak terkejut. “Aku bisa percaya itu. Dia
memang aneh. Aku pernah melihat beberapa gadis meninggalkan tempat ini
sambil mengisak. Dua kali itu terjadi.”

“Andai kata aku bisa melihat kamarnya.” Mungkin ia akan menemukan sesuatu
yang dapat menghubungkan si Harvey dengan kasus pemerkosaan itu.

Laki-laki itu menatapnya dengan nakal. “Aku punya kuncinya.”

“O ya?”

“Penghuni sebelumnya memberikannya padaku. Kami berteman. Aku tidak


sempat mengembalikannya sewaktu dia pergi. Dan orang ini rupanya tidak
mengganti kunci kuncinya sewaktu dia masuk. Mungkin dia menganggap
dirinya terlalu besar dan kuat untuk dirampok.”

575

“Anda bisa bantu aku untuk masuk?”

Laki-laki itu tampak ragu. “Aku juga kepingin lihat-lihat sebetulnya Tapi
bagaimana kalau dia tiba-tiba muncul selagi kita di dalam? Badannya besar—
rasanya tidak enak kalau dia marah-marah padaku.”

Jeannie juga takut menghadapi kemungkinan itu. namun rasa ingin tahunya toh
lebih besar. “Aku yang akan tanggung risikonya, kalau Anda mau,” ujarnya

“Tunggulah sebentar. Aku akan segera kembali.”

Apa yang akan ia temukan di dalam sana? Sebuah kuil penuh kesadisan seperti
di tempat tinggal Wayne Stattner? Sebuah kamar jorok dengan dus-dus berisi
sisa makanan di mana-mana dan pakaian kotor berceceran di sana-sini? Atau
kerapian tiada tara dari seorang pribadi yang dikuasai suatu obesi?

Si tetangga muncul lagi. “Omong-omong, namaku Maldwyn.”


“Aku Jeannie.**

“Namaku sebenarnya Bert, tapi kesannya begitu membosankan. Karenanya aku


selalu menyebut diriku Maldwyn.” Ia memutar kunci pintu nomor 5B, lalu
masuk ke dalam.

Jeannie mengikutinya dari belakang.

Ternyata suasananya khas apartemen yang biasa ditinggali mahasiswa. Sebuah


ruang duduk dan kamar tidur dengan pojok untuk dapur, dan sebuah kamar
mandi kecil. Perabotannya campur aduk: sebuah meja rias dari kayu pinus,
sebuah meja yang dicat, tiga buah kursi yang berbeda-beda, sebuah sofa yang
sudah amblas, dan sebuah pesawat TV tua yang besar. Tempat itu sepertinya
sudah lama tidak dibersihkan, dan tempat tidurnya berantakan. Begitu biasa dan
mengecewakan.

Jeannie menutup pintu apartemen itu di belakangnya.

Maldwyn berkata, “Jangan sentuh apa-apa, lihat-lihat saja Aku tidak mau dia
curiga bahwa aku masuk ke sini.”

576

Jeannie mempertanyakan pada dirinya, apa yang ia harapkan akan ia temukan.


Sebuah denah dari bangunan olahraga, ruang mesin kolam renang yang ditulisi
Perkosa dia di sini? Harvey tidak mengambil pakaian dalam Lisa sebagai
cenderamata. Mungkin ia pernah mengintai dan memotret Lisa beberapa minggu
sebelum menyergapnya. Mungkin ia memiliki koleksKpernak-pernik seperti
lipstik, sehelai cek restoran, bekas bungkus permen, surat berisi omong kosong
dengan alamat Lisa di atasnya

Saat melayangkan pandang k» sekelilingnya, ia mulai melihat kepribadian


Harvey secara mendetail. Di dinding terdapat gambar yang disobek dari sebuah
majalah khusus untuk kaum laki-laki. memperagakan seorang wanita telanjang
dalam pose yang betul-betul tidak senonoh. Jeannie menggigil.

Ia menelusuri rak bukunya, dan melihat buku Marquis de Sade, One Hundred
Days of Sodom, dan sejumlah pita video pomo dengan judul-judul seperti Pain
dan Extreme. Selain itu masih ada beberapa buku teks bidang ilmu ekonomi dan
bisnis; rupanya Harvey sedang mengejar gelar MBA.
”Bagaimana kalau aku melihat koleksi pakaiannya?” tanya Jeannie. la tak ingin
membuat Maldwyn tersinggung.

“Oke, kenapa tidak?”

Jeannie membuka laci-laci dan lemari-lemarinya. Pakaian Harvey ternyata persis


seperti yang dimiliki Steve, agak konservatif untuk usianya: celana panjang dari
bahan chino dan baju-baju polo, jas-jas bermodel sportif dari bahan wol dan
kemeja. Sepatu Oxford dan sepatu-sepatu santai tertutup dari bahan kulit yang
lembut. Lemari esnya kosong, kecuali dua pak bir yang masing-masing berisi
enam kaleng dan sebotol susu. Harvey suka makan di luar rupanya. Di bawah
tempat tidurnya ada sebuah tas olahraga berisi raket squash dan sehelai handuk
kotor.

Jeannie merasa kecewa Di sinilah monster itu tinggal, namun suasananya tidak
mengungkapkan kesan bahwa penghuninya menderita gangguan jiwa; ini cuma
sebuah kamar yang berantakan, dengan beberapa unsur pornografi yang
menjijikkan.

“Aku sudah selesai,*’ ujarnya pada Maldwyn. “Aku tidak begitu yakin apa yang
harus kucari.”

Kemudian ia melihatnya.

Tergantung di sebuah sangkutan di belakang pintu apartemen itu tampak sebuah


topi pet baseball berwarna merah.

Semangat Jeannie melambung. Ternyata aku benar. Aku berhasil menemukan


bajingan itu, dan inilah buktinya. Ia mendekat untuk melihat dengan lebih baik.
Kata SEKURITI tercetak di bagian depannya dalam huruf-huruf putih. Tiba-tiba
ia merasa terdorong untuk menari-nari di seputar apartemen itu, sebagai
perluapan rasa gembira atas kemenangannya.

“Kau menemukan sesuatu, ya?”

“Si bajingan mengenakan topi itu ketika memerkosa sahabatku. Ayo kita keluar
dari sini.”

Mereka meninggalkan apartemen itu, lalu menutup pintunya. Jeannie


mengulurkan tangannya ke arah Maldwyn. “Aku betul-betul berterima kasih
padamu. Ini sungguh-sungguh penting.”

“Apa yang akan kaulakukan sekarang?” tanya Maldwyn.

“Kembali ke Baltimore, dan menelepon polisi,” ujarnya.

Dalam perjalanan pulang melintasi 1-95, pikiran Jeannie beralih ke Harvey


Jones. Kenapa ia ke Baltimore setiap hari Minggu? Untuk menemui seorang
pacar? Mungkin, tapi jawaban yang paling masuk akal adalah karena
orangtuanya tinggal di sana. Biasanya mahasiswa membawa pulang pakaian
kotor mereka di akhir minggu. Mungkin ia di sana sekarang, menikmati

578

masakan ibunya, atau nonton pertandingan bola di TV bersama ayahnya. Apakah


ia akan menyergap seorang gadis lagi dalam perjalanan pulangnya?

Ada berapa banyak keluarga Jones di Baltimore? Seribu? Ia mengenal satu di


antara mereka, tentu saja: mantan bosnya. Profesor Berrington Jones….

Ya Tuhan, Jones! \^

Jeannie begitu terkejut, sehingga terpaksa menepikan kendaraannya untuk


menenangkan diri.

Ada kemungkinan Harvey Jones adalah putra Berrington.

Tiba-tiba ia teringat gerakan yang dibuat Harvey di sebuah kafe saat bertemu
dengannya di Philadelphia Anak muda itu mengusap alisnya dengan ujung jari
telunjuknya. Ia sudah merasa tidak enak ketika itu, karena ia yakin pernah
melihat gerakan itu sebelumnya. Ia tidak ingat siapa yang juga melakukannya,
sehingga antara sadar dan tidak, ia menarik kesimpulan bahwa tentunya itu Steve
atau Dennis, karena para clone cenderung memiliki kebiasaan yang sama. Tapi
sekarang ia ingat. Berrington-lah yang melokukannya. Berrington suka
mengusap alisnya dengan ujung jari telunjuk. Sesuatu mengenai kebiasaan itu
membuat Jeannie merasa terganggu, entah kenapa. Kebiasaan ini tidak dimiliki
oleh para clone yang lain, tidak seperti halnya menutup pintu dengan tumit
mereka saat memasuki sebuah ruangan. Harvey memperoleh kebiasaan itu dari
ayahnya, sebagai suatu pengungkapan rasa puas.
Harvey mungkin sedang berada di rumah Berrington saat ini.

579

BAB 55

Preston Barck dan Jim Proust tiba di rumah Berrington sekitar tengah hari, dan
saat itu mereka sedang berada di ruang duduk sambil minum bir. Tak seorang
pun di antara mereka bisa tidur cukup pada malam sebelumnya, sehingga
tampang mereka betul-betul capek. Marianne, yang mengurus rumah tangga
Berrington, sedang menyiapkan hidangan siang, dan aroma harum masakannya
berembus masuk dari arah dapur. Namun tidak ada sesuatu pun yang dapat mem
bangkitkan gairah ketiga mitra itu.

“Jeannie sudah berbicara dengan Hank King dan ibu Per Ericson,” ujar
Berrington tanpa semangat. “Aku tidak berhasil mengecek yang lain, tapi dia
akan menemukan mereka semua dalam waktu tidak terlalu lama.”

Jim berkata, “Sebaiknya kita bersikap realistis. Apa persisnya yang dapat dia
lakukan pada jam ini besok?”

Preston Barck rupanya sudah siap mati. “Akan kukatakan padamu, apa yang
akan kulakukan andai kata aku berada dalam posisinya.” ujarnya. “Aku akan
menyebarkan hasil lemuanku secara luas, jadi andai kata aku bisa menghubungi
dua atau tiga di antara anak-anak muda itu, akan kuajak mereka ke New York
dan kutam-pilkan mereka dalam acara Good Morning America.

580

Pihak televisi selalu antusias mengenai hal-hal yang berhubungan dengan


kekembaran.”

“Amit-amit,” ujar Berringtorh—

Sebuah mobil berhenti di luar. Jim melongok ke luar jendela, lalu berkata,
“Mobil Datsun karatan.”

Preston berkata, “Aku mulai menyukai ide Jim untuk mengeliminasi mereka
semua.”
“Pokoknya aku tidak setuju cara itu!” teriak Berrington.

“Sabar, Berry,” ujar Jim dalam nada tenang yang tidak biasanya. “Terus terang
aku cuma membual sedikit ketika mengusulkan itu. Dulu aku bisa menyuruh
orang untuk membunuh, tapi sekarang tidak. Aku sudah meminta banyak dari
teman-teman lamaku selama beberapa hari terakhir ini, dan meskipun sejauh ini
semuanya masih oke, aku toh tahu bahwa akan ada batasnya.”

Berrington berkata dalam hati, Terima kasih, Tuhan.

“Tapi aku punya ide lain,” ujar Jim.

Kedua temannya menatapnya.

“Kita dekati kedelapan keluarga itu dengan cara halus. Kita akui bahwa kita
telah melakukan kesalahan di klinik itu beberapa tahun yang lalu. Kita katakan
bahwa tidak ada pihak yang dirugikan sejauh ini. tapi kita ingin mencegah
sensasi. Kita tawarkan pada mereka masing-masing satu juta dolar sebagai
kompensasi. Dan kita akan lunasi itu dalam tenggang waktu sepuluh tahun,
dengan syarat pembayaran akan dihentikan begitu mereka berbicara—entah
kepada siapa pun: pihak pers, Jeannie Ferrami, para ilmuwan, pokoknya tidak
peduli siapa.”

Berrington mengangguk pelan-pelan. “Benar, mungkin itu caranya. Siapa yang


bakal menolak demi satu juta dolar?”

Preston berkata, “Lorraine Logan. Dia tentunya ingin membuktikan bahwa


putranya tidak bersalah.”

“Betul. Dia tidak bakal mau, biarpun demi sepuluh juta dolar.”

“Semua itu ada harganya,” ujar Jim, penuh dengan keyakinan lamanya.
“Setidaknya, tidak banyak yang dapat dia lakukan tanpa kerja sama dari satu
atau dua keluarga yang lain.”

Preston mengangguk. Bahkan Berrington merasa memiliki harapan baru. Pasti


ada cara untuk menutup mulut keluarga Logan. Namun masih ada masalah yang
lebih serius. “Bagaimana kalau Jeannie berhasil menyiarkannya secara luas
dalam tempo dua puluh empat jam ini?” tanyanya. “Pihak Landsmann mungkin
akan menunda akuisisi itu sambil menyidiki kebenaran luduhan tersebut.
Akibatnya kita tidak memiliki jutaan itu untuk dibagi-bagikan.”

Jim berkata, “Kita harus berusaha mencari tahu mengenai apa yang akan
dilakukan Jeannie; sampai seberapa jauh dia sudah tahu dan apa rencananya
sesudah itu.”

“Aku tidak melihat suatu cara pun untuk melakukan itu,” ujar Berrington.

“Aku melihat,” ujar Jim_ “Kita semua tahu bahwa ada seseorang yang dia
percayai, dan orang ini dapat mencari tahu, apa persisnya yang ada di dalam
kepalanya.”

Berrington merasa amarah mulai menjalari dirinya. “Aku tahu apa maksudmu.”

“Nih orangnya datang,” ujar Jim. .

Ada suara langkah kaki di lorong, kemudian putra Bemngton muncul.

“Hai. Dad!” serunya. “JLai, Paman Jim, Paman Preston, apa kabar?”

Berrington menatap putranya dengan perasaan bangga yang berbaur dengan rasa
sedih. Penampilan anak muda itu benar-benar menyenangkan dalam celana
panjang korduroi biru laut dan haju katun biru langit. Setidaknya dia mewarisi
selera berpakaianku, ujar Berrington dalarn hati. la berkata, “Ada yang pedu kita
bicarakan, Harvey.”

582

Jim berdiri. “Mau bir. Nak?” “Ya,” sahut Harvey.

Jim memiliki kecenderungan yang amat menjengkelkan dalam hal mengajarkan


kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik pada Harvey. “Lupakan itu,” ujar
Berrington dalam nada ketus. “Jim, bagaimana kalau kau dan Preston peigi ke
kamar sebelah dulu, sementara aku berbicara dengan Harvey?” Kamar di sebelah
ruang duduk itu berkesan amat formal dan kaku, serta tidak pernah dipakai oleh
Berrington.

Preston dan Jim keluar. Berrington berdiri, lalu memeluk Harvey. “Aku
mencintaimu. Nak,” ujarnya. “Meskipun kau jahat.”
“Aku jahat?”

“Apa yang kaulakukan pada gadis malang di ruang bawah gedung olahraga itu
adalah hal paling jahat yang dapat dilakukan oleh seorang laki-laki.”

Harvey cuma angkat bahu.

Ya Tuhan, aku benar-benar gagal menanamkan dalam dirinya hatasan antara apa
yang benar dan apa yang salah, pikir Berrington. Tapi sekarang sudah terlambat
untuk menyesali itu. “Duduklah dan dengarkan aku baik-baik sebentar,” ujarnya.

Harvey duduk.

“Ibumu dan aku telah bertahun-tahun mencoba memiliki bayi, tapi ada beberapa
masalah,” ujarnya. “Ketika itu Preston sedang menekuni proses fertilisasi dalam
tabung, di mana sperma dan sel telur dipersatukan di laboratorium, kemudian
embrionya ditanam dalam kandungan.”

“Maksud Dad, aku ini dulunya bayi tabung?” Ini rahasia. Kau tidak boleh
mengungkapkannya kepada siapa-siapa, seumur hidupmu. Juga tidak pada
ibumu.”

“Mom tidak tahu?” ujar Harvey dalam nada tidak mengerti.

583

“Masih ada sesuatu di balik itu. Preston mengambil sebuah embrio hidup, lalu
membelahnya, menjadi kembar.”

“Anak muda yang masuk tahanan waktu itu?” “Preston membelah embrio itu
lebih dari sekali.” Harvey mengangguk. Mereka semua sama cerdasnya. “Jadi,
ada berapa?” “Delapan.”

“Wauw. Dan spermanya tentunya bukan dari Dad.” “Betul.”

“Lalu dari siapa?”

“Dari seorang letnan di Fort Bragg—tinggi, kuat, sehat, cerdas, agresif, dan
tampan.” “Dan ibunya?”
“Seorang juru tik sipil dari West Point, juga hasil seleksi yang ketat.”

Seulas senyum pahit membayang di wajah tampan anak muda itu. “Orangtua
kandungku.”

Berrington menggerenyit. “Tidak, bukan,” ujarnya. “Kau tumbuh di dalam perut


ibumu. Kau dilahirkan olehnya, dan percayalah padaku, dia benar-benar
merasakan sakitnya. Kami melihatmu belajar berjalan, perjuanganmu untuk
memasukkan sesendok kentang yang dilumatkan ke dalam mulutmu, dan saat-
saat kau mengucapkan kata-kata pertamamu.”

Melihat apa yang tersirat di wajah putranya, Berrington tidak dapat mengatakan
apakah Harvey mempercayainya atau tidak.

“Gila, kami makin mencintaimu dari hari ke hari, sementara kau jadi semakin
sulit dicintai. Setiap tahun selalu rapor yang sama dari sekolah: Ia amat agresif,
ia belum juga bisa membagi, ia memukul anak-anak lain, ia menghadapi
kesulitan dalam bekerja sama, ia mengacau ketenangan kelas, ia harus belajar
menghormati lawan jenisnya. Setiap kali kau dikeluarkan dari sekolah, kami
berkeliling ke mana-mana, meminta-minta dan

584

memohon-mohon supaya kau bisa diterima di sekolah lain. Kami mencoba


membujukmu, memukulimu membatasi kesenangan kesenanganmu Kami
membawamu ke tiga psikolog yang berlainan. Kau benar-benar membuat hidup
kami susah.

“Maksud Dad, aku menghancurkan perkawinan kalian?” m

“Tidak, Nak, itu terjadi karena kesalahanku sendiri. Yang ingin kukatakan
padamu adalah, aku mencintaimu, apa pun yang telah kaulakukan, persis seperti
orangtua lain.”

Harvey masih tampak kurang yakin. “Kenapa Dad menceritakan ini padaku
sekarang?”

“Steve Logan, salah satu kembaranmu, menjadi subjek untuk suatu studi di
departemenku. Aku betul-betul kaget begitu melihatnya. Kemudian polisi
menahannya dengan tuduhan memerkosa Lisa Hoxton. Tapi seorang profesor,
Jeannie Ferrami, mulai curiga. Untuk menyingkat kisahnya, dia berhasil
melacakmu. Dia ingin membuktikan bahwa Steve Logan tidak bersalah. Dan ada
kemungkinan dia juga ingin mengungkapkan seluruh cerita mengenai clone-
clone itu serta menghancurkan aku.”

“Dia wanita yang kutemui di Philadelphia.”

Berrington terperangah. “Kau sudah pernah bertemu dengannya?”

“Paman Jim meneleponku dan menyuruhku melakukan sesuatu supaya dia


takut.”

Berrington marah. “Brengsek, akan kurenggut kepalanya dari pundaknya….”

“Tenang, Dad, tidak ada yang terjadi. Aku cuma ikut naik mobilnya sebentar.
Dia benar-benar menggemaskan.”

Berrington berusaha mengendalikan diri. “Pamanmu itu memang suka ngawur


soal mengajarimu. Dia menyukai sikap bandelmu, jelas karena dia sendiri begitu
brengsek.”

585

“Aku suka padanya.”

“Ayo kita bicarakan apa yang harus kita lakukan sekarang. Kita harus mencari
tahu, apa rencana Jeannie Ferrami, terutama selama dua puluh empat jam
mendatang ini. Kau harus mencari tahu, apakah dia mempunyai bukti yang dapat
menghubungkan dirimu dengan Lisa Hoxton. Kami» belum dapat menemukan
cara lain untuk menghadapinya, kecuali satu ini.”

Harvey mengangguk. “Dad ingin aku pergi menemuinya dan berbicara padanya,
dengan pura-pura menjadi Steve Logan.”

“Ya.”

Harvey menyeringai. “Sepertinya bakal seru.”


Berrington mengeluarkan erangan. “Jangan melakukan yang aneh-aneh. Cukup
bicara saja padanya.”

“Mau aku pergi sekarang juga?”

“Ya. Aku tidak suka memintamu melakukan ini. tapi lakukanlah demi kan
sendiri dan demi aku.”

‘Tenang, Dad—apa sih yang bisa terjadi?”

“Mungkin aku terlalu khawatir. Kukira tidak begitu berbahaya untuk pergi ke
apartemen seorang cewek.”

“Bagaimana kalau si. Steve ada di sana?”

“Cek dulu mobil-mobil yang ada di sekitar tempat itu. Mobilnya sebuah Datsun,
persis seperti milikmu, gara-gara itulah pihak kepolisian begitu yakin bahwa dia
pelakunya.”

“Masa!”

“Kalian seperti pasangan kembar identik, kalian akan selalu membuat pilihan
yang sama. Kalau mobilnya ada di situ, jangan masuk. Telepon aku, lalu kita
coba cari cara untuk memancingnya keluar.”

“Umpamanya dia berkeliaran di sekitar sana?”

“Dia tinggal di Washington.”

“Oke.” Harvey berdiri. “Mana alamat cewek itu?”

“Dia tinggal di Hampden.” Berrington menulis nama

586

jalannya di sebuah kartu, kemudian menyodorkannya kepada anaknya. “Hati-


hati, oke?”

“Pasti. See you sooner, Montezuma.”

Berrington memaksa sebuah senyum. “In a flash, succotash”


587

BAB 56

Harvey rnondar-rnandir di jalan tempat tinggal Jeannie, mencari-cari sebuah


mobil yang mirip miliknya sendiri. Ternyata banyak mobil tua di situ, kecuali si
mobil Datsun karatan. Berarti Steve Logan tidak berada di sekitar tempat itu.

la memarkir kendaraannya di dekat rumah Jeannie, lalu mematikan mesinnya.


Untuk sesaat ia hanya duduk diam-diam, sambil berpikir. Ia harus menggunakan
akalnya. Untung ia tidak minum bir yang ditawarkan Paman Jim padanya.

Ia tahu bahwa Jeannie akan mengira ia Steve, sebab hal itu sudah pernah terjadi
di Philadelphia. Tampang mereka memang betul-betul mirip. Tapi untuk
berbincang-bincang dengannya akan lebih sulit. Jeannie akan menyinggung
bermacam-macam topik yang harus ia pahami. Ia akan terpaksa menjawab
sambil berusaha untuk tidak membuka, kedoknya. Sikapnya harus cukup
meyakinkan, sampai ia tahu cukup banyak mengenai bukti-bukti yang sudah
dimiliki Jeannie, serta apa rencananya kemudian. Kalau ia tidak amal hati-hati,
ia bisa salah ucap dan membuka kedoknya sendiri.

Namun bahkan pada saat memikirkan secara serius mengenai risiko yang
dihadapinya dalam tugas penyamaran itu, ia hampir tak dapat menahan rasa
antusiasnya

588

menghadapi prospek akan bertemu dengan Jeannie lagi. Apa yang telah
dilakukannya di dalam mobil Jeannie merupakan pengalaman seksnya yang
paling seru. Bahkan lebih seru daripada ketika ia berada di ruang ganti pakaian
wanita, di saat mereka semua begitu panik. Setiap kali membayangkan saat ia
merobek pakaian Jeannie, sementara mobil itu meliak-liuk di jalan bebas
hambatan, ia menjadi terangsang.

Ia tahu bahwa ia harus memusatkan seluruh perhatiannya pada tugasnya saat ini.
Ia tidak boleh membayangkan wajah itu mengerut ketakutan dan kaki-kakinya
yang kuat mengentak-entak ke sana kemari. Ia harus mendapatkan informasi itu,
lalu pergi. Namun seumur hidupnya ia belum pernah melakukan sesuatu yang
relevan.
Begitu sampai di rumah, Jeannie langsung menelepon kantor polisi, la tahu
bahwa Mish tidak akan ada di sana. karenanya ia meninggalkan pesan unruk
meminta Mish agar segera menghubunginya kembali. Bukankah Anda sudah
meninggalkan pesan seperti itu tadi pagi?” tanya si penerima pesan.

“Betul, tapi ini lain, juga sama pentingnya.”

“Aku akan usahakan untuk meneruskannya,” ujar suara itu dalam nada kurang
meyakinkan

Kemudian Jeannie menelepon rumah Steve, tapi tidak ada yang menjawab.
Tentunya Steve dan Lorraine sedang bersama pengacara mereka, untuk mencoba
melepas Charles. Steve pasti akan meneleponnya begitu ia sempat.

Jeannie merasa kecewa: ia begitu ingin mengungkapkan berita baik itu kepada
seseorang.

Rasa antusias sehubungan dengan keberhasilannya menemukan apartemen


Harvey mulai mereda, dan ia mulai diliputi oleh rasa frustrasi. Pikirannya beralih
pada bencana yang akan ia hadapi di masa depannya, tanpa uang, tanpa
pekerjaan, dan tanpa daya untuk memperbaiki nasib ibunya.

589

Untuk menghibur diri, ia menyiapkan makanan. Ia membuat dadar orak-arik dari


tiga butir telur, dan menggoreng sedikit daging asap yang ia beli pada hari
sebelumnya untuk Steve. Ia menikmatinya dengan roti panggang dan kopi. Saat
memasukkan piringnya ke dalam mesin cuci, bel pintunya berdering.

Ia mengangkat gagang interkomnya. “Halo?”

“Jeannie? Ini Steve.”

“Masuklah!” ujarnya dalam nada gembira.

Steve mengenakan baju dari bahan katun yang warnanya sama seperti matanya,
dan tampangnya betul-betul menggemaskan. Jeannie mencium dan memeluknya
kuat-kuat, sambil membiarkan payudaranya menempel pada tubuh anak muda
itu. Tangan Steve yang semula di punggungnya, mulai (urun ke bawah. Baunya
sekarang lain lagi. Sepertinya ia memakai semacam aftershave beraroma
tumbuh-tumbuhan. Rasanya pun lain, seakan ia habis minum teh.

Selang beberapa saat, Jeannie menarik diri. “Jangan terlalu terburu-buru, ah,”
ujarnya sambil terengah-engah. Rupanya ia masih ingin menikmati tahapan ini.
“Ayo masuk dan duduk. Banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu!”

Steve duduk di sofa, sementara Jeannie menuju lemari es. “Anggur, bir, kopi?”

“Anggur sepertinya asyik.”

“Nggak bakal apa-apa, menurutmu?”

Apa maksud ucapannya itu? Nggak bakal apa-apa, menurutmu? “Nggak tahn,”
sahutnya.

“Kapan botolnya kita buka?”

Oke, mereka membuka sebotol anggur, tapi isinya tidak langsung mereka
habiskan waktu itu. Botolnya mereka tutup, lalu mereka simpan di lemari es.
Sekarang ia mempertanyakan apakah isinya masih baik. Tapi ia ingin aku yang
memutuskannya. “Coba sebentar, hari apa itu?”

590

“Hari Rabu, jadi sudah empat hari.”

Ia bahkan tidak dapat melihat apakah anggurnya merah atau putih. Sial “Tuang
saja di gelas, lalu kita coba.”

Tde bagus.” Jeannie menuang anggur itu ke dalam sebuah gelas, kemudian
menyodorkannya ke arahnya. Ia mencicipi. ‘“Bisa diminum,” ujarnya.

Jeannie mendoyongkan tnbuhnya ke muka. “Coba kucicipi.” Ia mengecup bibir


si anak muda. “Buka mulutmu,” ujarnya. “Aku ingin mencicipi anggurnya.” Si
anak muda tertawa dan melakukan apa yang diminta. Jeannie memasukkan
ujung lidahnya ke dalam mulutnya. Edan, seksi banget cewek ini. “Kau benar,”
ujarnya. “Memang bisa diminum.” Sambil tertawa, Jeannie mengisi gelas anak
muda itu lagi dan gelasnya sendiri.

Si anak muda mulai menikmati suasananya. “Ayo pasang musik,” usulnya.


“Pakai apa?”

Ia tidak mengerti maksudnya. Celaka, aku salah omong. Ia melayangkan


matanya ke sekitar apartemen itu; tidak ada perangkat stereo. Goblok.

Jeannie berkata, “Daddy mencuri stereoku, ingat? Aku nggak punya apa-apa
untnk pasang musik. Eh, sebentar… ada.” Ia pergi ke kamar sebelah—kamar
tidurnya, tentunya—lalu kembali dengan sebuah radio tahan air yang biasanya
digantung di kamar mandi. “Mom memberikan ini padaku untuk hadiah hari
Natal, sewaktu dia masih waras”

Daddy mencuri stereonya, Mom tidak waras—keluarga macam apa itu?

“Suaranya jelek sekali, tapi cuma ini yang kumiliki.” Ia menyalakannya. “Aku
selalu memasang gelombang 92Q.”

“Twenty jams in a row,” celetuk anak muda itu secara otomatis.

“Kok kau tahu?” : •

591

Sial Steve tentunya tidak tahu apa-apa mengenai radio pemancar di Baltimore.
“Aku mendengar itu di mobil tadi, dalam perjalanan kemari.”

“Jenis musik apa yang kausukai?”

Aku nggak tahu soal selera Steve, tapi kau tentunya juga tidak tahu, jadi apa
adanya saja. “Aku suka rap—Snoop Doggy Dog, Ice Cube, dan semacam itu.”

“Ah, kau, aku jadi merasa tua.”

“Kau suka apa?”

“The Ramones, The Sex Pistols. The Damned. Maksudku, waktu aku masih
muda, zamannya punk, tahu? Ibuku selalu mendengar lagu-lagu cengeng dari
tahun enam puluhan yang nggak ada artinya sama sekali buatku, kemudian,
waktu aku berusia sebelas tahun, tiba-tiba, beng! Talking Heads. Kau ingat
‘Psycho Killer’?”
“Pasti nggak!”

‘JOke, ibumu benar, aku terlalu tua untukmu.” Jeannie duduk di sebelahnya. Ia
meletakkan kepalanya di pundak si pemuda, lalu menyusupkan*tangannya di
bawah baju biru langit Harvey, la mengusap-usap dadanya. Rasanya asyik sekali.
“Aku senang kau bersamaku di sini.” ujarnya.

Si anak muda juga ingin menggerayang-gerayang seperti itu, tapi ada hal-hal
yang lebih penting yang hams ia lakukan. Dengan susah payah akhirnya ia
berkata, “Ada hal-hal serius yang perlu kita bicarakan.”

“Kau benar.” Jeannie duduk lebih tegak, kemudian mencicipi anggurnya. “Kau
dulu. Ayahmu masih ditahan?”

Astaga, aku mesti bilang apa sekarang? “Nggak ah, kau dulu,” ujarnya.
“Kauhilang banyak yang mau kauceritakan padaku.”

“Oke. Nomor satu. aku tahu siapa yang memerkosa Lisa. Namanya Harvey
Jones, dan dia tinggal di Philadelphia.*”

Gila! Harvey berjuang keras untuk tidak membuka

592

kedoknya. Untung aku kemari. “Kau menemukan buktinya?”

“Aku masuk ke dalam apartemennya. Tetangganya yang membantuku, dengan


sebuah kunci duplikat.”

Si homo sialan itu. akan kuplintir lehernya yang rapuh nanti.

“Aku menemukan topi pet baseball yang dipakainya hari Minggu itu. Topi itu
tergantung di sebuah kait di belakang pintunya.”

Edan! Mestinya kubuang itu tempo hari. Tapi mana aku tahu akan ada yang
berhasil melacakku! “Kau memang hebat,” ujarnya. Steve bakal senang sekali
mendengar ini; dia bakal bebas dari tuntutan itu. “Entah bagaimana caranya aku
menyatakan terima kasihku.”

“Aku akan memikirkan caranya,*’ ujar Jeannie sambil tersenyum seksi.


Apakah aku akan sempat kembali ke Philadelphia untuk membuang topi itu
sebelum polisi sampai ke sandi “Kau sudah laporkan ini pada polisi?”

“Belum. Aku sudah tinggalkan pesan untuk Mish, tapi dia belum menghubungi
aku kembali.”

Haleluya! Aku masih punya kesempatan!

Jeannie berkata lagi, “Jangan khawatir. Dia belum tahu bahwa kita sudah
berhasil menemukannya. Tapi kau belum dengar bagian terbaiknya. Siapa lagi
yang kita kenal juga bernama Jones?”

Haruskah aku bilang “Berrington”? Itukah yang akan terpintas di kepala si


Steve?. “Nama yang umum sekali….”

“Berrington, tentu saja! Menurutku Harvey dibesarkan sebagai putra


Berrington!”

Aku mesti berlaku tercengang. “Ya Tuhan!” ujarnya. Apa yang mesti kulakukan
sekarang? Mungkin Dad punya ide. Aku harus melaporkan ini kepadanya. Aku
mesti mencari alasan untuk bisa meneleponnya.

Jeannie meraih tangannya. “Hei, coba lihat kuku-kukumu!”

593

Ada apa lagi sekarang? “Kenapa?”

‘Tumbuhnya cepat sekali’ Sewaktu kau baru keluar dari tahanan, kuku-kukumu
pada rusak dan berantakan. Sekarang bagus amat!”

“Kondisi tubuhku memang biasanya cepat pulih.”

Jeannie membalik tangan anak muda itu. lalu mulai menjilati telapaknya.

“Lidahmu panas hari ini,” ujar si anak muda.

“Wah, aku terlalu bernafsu rupanya.” Sebelumnya sudah pernah ada yang
mengatakan itu kepadanya. Steve tidak banyak bicara sejak ia datang, dan kini
Jeannie mengerti alasannya. “Aku memahami maksudmu. Aku terus berusaha
menolakmu akhir minggu kemarin, tapi sekarang kau merasa seakan aku ingin
melahapmu mentah-mentah.”

Ia mengangguk. “Yah, bisa dibilang begitu.”

“Aku>nemang begini. Sekali aku sudah memutuskan, begitulah jadinya.’ Jeannie


berdiri. “Oke, aku mundur dulu.” Ia pergi ke dapur, lalu mengeluarkan sebuah
panci penggorengan. Saking beratnya, ia harus menggunakan kedua tangannya
untuk mengangkatnya. “Aku beli makanan untukmu kemarin. Kau lapar?” Panci
itu agak karatan—ia jarang masak—karenanya ia membersihkannya dengan lap.
“Mau telur?”

“Nggak, ah. Coba ceritakan, kau pernah ikut aliran punkT’

Jeannie menurunkan panci itu. “Ya, untuk beberapa waktu. Pakai pakaian robek,
rambut dicat hijau.” “Obat bius?”

“Aku suka pakai sedikit di sekolah, kalau punya uang.”

“Di bagian mana di tubuhmu kau memakai anting-anting?”

Tiba-tiba Jeannie ingat akan gambar yang dilihatnya di dinding apartemen


Harvey Jones. Ia menggigil se—

594

bentar. “Cuma di cuping hidungku,” sahutnya. “Aku mulai giat main tenis
sewaktu berumur lima belas tahun.”

“Aku kenal seorang gadis yang memakai anting-anting di payudaranya.”

Jeannie merasa cemburu. “Kau tidur dengannya?”

“Tentu saja.”

“Brengsek.”

“Hei, kaupikir aku masih perjaka?”

“Jangan tuntut aku untuk bersikap rasional!”


Anak muda itu mengangkat tangannya. “Oke.”

“Kau masih belum menceritakan padaku mengenai keadaan ayahmu. Apa dia
sudah dilepas?”

“Bagaimana kalau aku menelepon ke rumah untuk menanyakan perkembangan


terakhir?”

Andai kata ia memutar tujuh nomor. Jeannie akan tahu bahwa ia sedang
membuat sambungan lokal, padahal ayahnya sudah mengatakan kepadanya
bahwa Steve Logan tinggal di Washington, DC. Ia menahan kait pesawat itu
dengan tangannya saat memutar secara asal tiga buah nomor, sebagai kode
daerah, kemudian melepaskannya dan mulai memutar nomor rumah ayahnya.

Dad yang menjawah. Harvey berkata, “Hai, Mom.” Ia menggenggam gagang


pesawat itu kuat-kuat, sambil berharap ayahnya tidak akan mengatakan, Siapa
ini, rupanya Anda salah sambung.

Namun ayahnya ternyata cepat tanggap. “Kau bersama Jeannie?”

Bagus, Dad. “Ya. Aku cuma tanya, apa Dad sudah dilepas sekarang?”

“Kolonel Logan masih ditahan, tapi tidak di kantor polisi. Dia ada di tangan
polisi militer.”

“Wah, tadinya aku berharap dia sudah dilepas.”

Dengan hati-hati Dad bertanya, “Kau bisa ungkapkan sesuatu T*

Harvey amat tergoda untuk melirik ke arah Jeannie, 595

untuk melihat apakah aktingnya masih cukup meyakinkan. Namun Jeannie pasti
akan curiga, karena itu ia memaksa diri untuk terus memusatkan mata ke arah
dinding. “Jeannie betul-betul hebat. Mom. Dia berhasil menemukan si
pemerkosa yang sesungguhnya.” Ia berusaha memperdengarkan nada senang
dalam suaranya. “Namanya Harvey Jones. Kami masih menunggu telepon dari si
detektif untuk meneruskan berita itu kepadanya.” “Astaga” Gawat ini!”

“Ya. Hebat, bukan?” Jangan sok ironis seperti itu, tolol*


“Setidaknya kita sudah tahu sekarang. Kau bisa lakukan sesuatu untuk
mencegahnya melaporkan itu kepada polisi?”

“Sebaiknya memang begitu.”

“Bagaimana mengenai Genetico? Apa dia punya rencana untuk


menyebarluaskan penemuannya mengenai kami?”

“Aku belum tahu itu.” Sebaiknya aku putuskan dulu sebelum salah omong.

“Pastikan kan tahu. Itu penting, tahu?”

Oke! “Yah, kuharap Dad cepat dilepas. Hubungi aku begitu ada berita lagi,
oke?”

“Situasinya aman?”

“Minta saja bicara dengan Steve.” la tertawa, seakan baru saja membuat lelucon.

“Jeannie akan mengenali suaraku. Tapi aku bisa minta Preston untuk menelepon.

“Bagus.”

“Oke.”

“Bye.” Harvey menutup pesawatnya.

Jeannie berkata, “Sebaiknya aku menelepon kantor polisi lagi. Mungkin mereka
tidak mengerti urgensinya.” Ia mengangkat pesawatnya.

Harvey menyadari bahwa ia harus segera melakukan sesuatu sekarang.

596

“Cium aku dulu,” ujarnya.

Jeannie menyusup ke dalam pelukan Harvey, sambil menyandarkan tubuhnya


pada meja dapur. Ia membuka mulutnya untuk menyambut kecupan anak muda
itu. Harvey mengusap pinggangnya. “Sweater-mu bagus,” gumamnya, kemudian
ia mencakup payudara Jeannie dengan tangannya yang besar.
Entah kenapa. Jeannie tidak merasa senikmat yang ia harapkan, la mencoba
untuk santai dan meresapi momentum yang sudah ditunggu-tunggunya itu.
Harvey menyusupkan tangan ke bawah pakaiannya, dan Jeannie melentingkan
punggungnya sedikit saat anak muda itu menyentuh payudaranya. Sebagaimana
biasa, ia merasa agak rikuh untuk sesaat, khawatir anak muda itu akan kecewa.
Laki-laki yang pernah tidur dengannya selalu menyukai payudaranya, tapi ia
sendiri selalu merasa masih ada yang kurang. Namun sama seperti yang lain,
Steve tidak memperlihatkan tanda-tanda kurang puas.

Jeannie mengawasinya. Sepertinya ada yang tidak beres. Tubuhnya memang


bereaksi, tapi entah kenapa ia diliputi oleh semacam keraguan, dan ia tidak dapat
berkonsentrasi, la merasa kesal pada dirinya. Aku sudah merusak suasana
kemarin, karena ketakutanku sendiri, aku tidak mau mengulangi itu lagi
sekarang.

Anak muda itu rupanya merasakan keresahannya. Sambil menegakkan tubuhnya,


ia berkata, “Posisimu kurang nyaman. Ayo kita ke sofa.” Ia mengambil tempat
duduk. Jeannie mengikutinya. Tiba-tiba anak muda itu mengusap alisnya dengan
ujung jari telunjuk, lalu mengulurkan tangannya kc arah Jeannie

Jeannie langsung menarik dirinya.

“Kenapa?” tanya anak muda itu.

Tidak! Tak mungkin!

“K-kau… k-kau… lakukan itu, dengan alismu.” “Lakukan apa?”

597

Jeannie melompat berdiri. “Bajingan kau!” teriaknya. “Berani-beraninya!”

“Ada apa sih?” ujar anak muda itu, namun aktingnya sudah tidak begitu
meyakinkan lagi; Jeannie dapat membaca dari apa yang tersirat di wajahnya,
bahwa ia tahu persis apa yang dimaksud Jeannie.

“Keluar dari sini!” teriak Jeannie.

Si anak muda masih mencoba mempertahankan lakonnya. “Tadi kau mau


melahapku, sekarang begini!”
“Aku tahu siapa kau, bajingan. Kau Harvey!”

Si anak muda menyerah. “Dari mana*“kau tahu?”

“Kau mengusap alismu dengan ujung jari telunjukmu, persis seperti yang sering
dilakukan Berrington.”

“Oke. Lalu apa masalahnya?” ujar anak muda itu sambil berdiri. “Kalau kami
memang begitu mirip saju sama lain, kau bisa pura-pura aku Steve.”

“Keluar dari sini!”

Anak muda itu membuka celananya. ““Mengingat kita sudah sampai sejauh ini,
aku tidak akan meninggalkan tempat ini dengan begitu saja.”

Ya Tuhan. Cawat! Dia benar-benar binatang. “Jangan sentuh aku!”

Harvey melangkah maju sambil tersenyum. “Aku akan buka jeans-mu yang ketat
itu.”

Jeannie ingat Mish pernah mengatakan bahwa seorang pemerkosa senang


melihat korbannya ketakutan. “Aku tidak takut padamu,” ujarnya, sambil
berusaha membuat suaranya terdengar tenang. “Kalau kau berani menyentuhku,
aku bersumpah akan membunuhmu.”

Harvey langsung bergerak eepat. Dalam sekejap ia sudah mencengkeram


Jeannie, mengangkat tubuhnya, kemudian mengempaskannya ke lantai.

Pesawat telepon Jeannie berdering.

Jeannie berteriak, “Tolong! Mr. Oliver! Tolong!”

Harvey menyambar lap dari meja dapur, lalu men-jejalkannya dengan kasar ke
dalam mulut Jeannie, sam—

598

pai bibirnya lecet. Jeannie tidak dapat bernapas dan mulai batuk. Harvey
mencengkeram pergelangan tangannya sedemikian rupa, sehingga ia tidak dapat
menggunakan tangannya untuk mengeluarkan lap itu dari mulutnya. Jeannie
mencoba mendorongnya keluar memakai lidahnya, tapi ternyata tidak bisa,
karena lap itu terlalu besar. Dapatkah Mr. Oliver mendengar teriakannya? Laki-
laki itu sudah tua, dan biasanya ia memutar volume televisinya keras sekali.

Pesawat telepon itu masih terus berdering.

Harvey mulai menggerayangi bagian pinggang jeans-nya. Jeannie mencoba


meronta. Harvey menampar wajahnya dengan keras, sehingga matanya
berkunang-kunang. Sementara ia terenyak, Harvey melepaskan pergelangan
tangannya, dan mulai menarik celana jeans dan celana dalamnya. “Wauw,”
serunya.

Jeannie menarik keluar lap itu dari mulutnya, lalu berteriak, “Tolong! Tolong!”

Harvey membekap mulut Jeannie dengan tangannya yang besar, untuk meredam
teriakan-teriakannya, kemudian menjatuhkan diri di atas tubuhnya. Jeannie
terenyak, dan untuk sesaat tidak dapat berbuat apa-apa. Saat ia berusaha
bernapas, Harvey melepaskan celananya. Dengan nekat Jeannie meronta-ronta
dan mencoba mendorong tubuhnya, tapi ternyata ia terlalu berat.

Pesawat teleponnya masih berdering. Kemudian bel pintn juga ikut berdering.

Namun Harvey rupanya tidak menggubris itu.

Jeannie membuka mulutnya. Jari-jari Harvey masuk di antara rahangnya.


Jeannie menggigitnya sekuat tenaga. Ia tak peduli giginya bakal patah kena
tulangnya. Darah hangat menyembur ke dalam mulutnya. Ia mendengar Harvey
menjerit kesakitan saat menarik tangannya.

Bel pintu itu berdering lagi, lama dan panjang. Jeannie meludahkan darah
Harvey dari dalam

mulutnya, lalu berteriak lagi. “Tolong!” jeritnya. “Tolong, tolong, tolong!”

Dari bawah terdengar suara benturan keras, kemudian sesuatu yang jebol dan
kayu yang berhamburan.

Harvey berusaha berdiri, sambil mencengkeram tangannya yang terluka.

Jeannie menggulirkan tubuhnya, berdiri, kemudian mundur tiga langkah dari


laki-laki itu.

Pintu apartemen itu terbuka. Harvey memutar tubuh, membelakangi Jeannie.

Steve menghambur masuk.

Steve dan Harvey saling berpandangan dengan tercengang selama beberapa saat.

Tampang mereka persis sama. Apa yang akan terjadi andai kata mereka
berkelahi? Tinggi, berat, kekuatan, dan kondisi mereka berimbang. Perkelahian
mereka tidak akan ada habisnya.

Secara impulsif, Jeannie mengangkat panci penggorengannya dengan kedua


tangannya. Sambil membayangkan melakukan pukulan smes mematikan, ia
memindahkan seluruh bobotnya ke satu kaki depan, merapatkan pergelangan
tangannya, lalu mulai mengayunkan panci yang berat itu dengan segenap
tenaganya.

Ia memukul bagian belakang kepala Harvey, persis di tempat yang paling


sensitif.

Terdengar suara benturan yang memualkan. Kaki-kaki Harvey mulai lemas.


Sambil meliak liuk, akhirnya ia roboh.

Seakan baru saja lari ke arah net dalam suatu pertandingan bola voli, Jeannie
mengangkat panci itu kembali tinggi-tinggi dengan tangan kanannya, lalu
menghantamkannya sekeras mungkin di bagian atas kepala Harvey.

Mata Harvey bergulir ke atas, kemudian ia lemas dan ambruk ke lantai.

Steve berkata, “Wauw, untung kau tidak salah pukul.”

Tubuh Jeannie mulai bergetar. Ia menjatuhkan panci

600

itu, lalu duduk terenyak di sebuah bangku dapur Steve merangkul bahunya.
“Semua sudah berakhir sekarang,’ ujarnya.

“Belum,” sahut Jeannie. “Ini baru bagian awalnya.” Pesawat telepon Jeannie
masih berdering.

601

BAB 57

Kau berhasil melumpuhkannya,” ujar Steve. “Siapa dia?”

“Ini Harvey Jones,” sahut Jeannie. “Dan dia putra Berrington Jones.”

Steve tercengang. “Berrington membesarkan salah satu di antara kami sebagai


putranya? Gila benar.”

Jeannie mengawasi sosok yang tergeletak pingsan di lantainya itu. “Apa yang
harus kita lakukan sekarang?”

“Tertama-tama, bagaimana kalau kita angkat pesawat telepon itu dulu?”

Secara otomatis Jeannie mengangkatnya. Ternyata dari Lisa. “Aku nyaris


diperkosa,” ujarnya tanpa basa-basi.

“Tidak!”

“Oleh orang yang sama.”

“Yang benar! Bagaimana kalau aku ke sana sekarang?”

“Trims, aku senang sekali.”

Jeannie menutup pesawatnya. Tubuhnya terasa sakit bekas dibanting ke lantai,


dan mulutnya memar gara-gara dibekap Harvey, la masih dapat merasakan
darahnya, karena itu ia menuang segelas air untuk berkumur, kemudian
meludahkannya ke wastafel dapur. Sesudah itu ia berkata, “Situasinya berbahaya
sekali, Steve. Orang-orang yang kita hadapi punya koneksi kuat.”

602

“Aku tahu.”

“Mungkin mereka mau membunuh kita.” “Aku tahu.”


Situasinya membuat Jeannie hampir tidak dapat berpikir lagi. Aku tidak boleh
membiarkan diriku kalut gara-gara aku ketakutan, ujarnya pada dirinya.
“Menurutmu, apakah mereka akan melepaskan aku andai kata aku berjanji untuk
tidak pernah mengungkapkan apa yang kuketahui?”

Steve mempertimbangkan pertanyaan itu selama beberapa saat, lalu berkata,


“Tidak, kukira tidak.”

“Aku juga mengira begitu. Jadi, aku tidak punya pilihan lain selain menghadapi
mereka.”

Terdengar suara langkah kaki di tangga. Mr. Oliver melongokkan kepala melalui
pintu. “Apa sih yang terjadi di sini?” ujarnya. Ia mengalihkan matanya dari
Harvey yang tergeletak pingsan di lantai ke arah Steve, kemudian ke Harvey
lagi. “Ya Tuhan.”

Steve memungut celana Levi hitam Jeannie, yang lalu ia serahkan kepada si
pemilik. Jeannie mengenakannya cepat-cepat, untuk menutupi ketelanjangannya.
Andai kata Mr. Oliver melihat, ia cukup bijaksana untuk tidak
mengomentarinya. Sambil menunjuk ke arah Harvey, ia berkata, “Pasti ini orang
yang Philadelphia itu. Tidak heran kau mengira dia pacarmu. Mereka pasti
pasangan kembar!”

Steve berkata, “Aku akan mengikatnya sebelum dia sadar. Kau punya tali,
Jeannie?”

Mr. Oliver berkata, “Aku punya kabel listrik. Aku akan ambil kotak
perkakasku.” Ia keluar.

Jeannie memeluk Steve dengan penuh rasa syukur. Ia merasa seakan baru
terbangun dari mimpi buruk. “Kukira dia kau,” ujarnya. “Suasananya persis
seperti kemarin, tapi kali ini aku tidak ketakutan, dan ternyata aku benar.”

“Kita kan sudah berniat untuk membuat kode, tapi belum kesampaian.”

“Ayo kita buat sekarang. Sewaktu kau mendekati aku di lapangan tenis hari
Minggu yang lalu, kau bilang. Aku juga bisa main tenis sedikit.”

“Lalu dengan enaknya kau bilang, Kalau kau cuma bisa main tenis sedikit, kau
bukan tandinganku.”
“Itulah kodenya. Kalau salah satu di antara kita mengatakan baris pertama, yang
lain harus menjawabnya dengan yang kedua.”

“Oke.”

Mr. Oliver muncul kembali dengan kotak peralatannya. Ia menggulirkan tubuh


Harvey, lalu mulai mengikat kedua tangannya di depan, dengan kedua telapak
tangan menempel satu sama lain, sementara jari-jari kelingkingnya dibiarkan
bebas.

Steve berkata, “Kenapa tidak diikat ke belakang saja?”

Mr. Oliver tampak salah tingkah. “Kuharap kalian mau memaafkan aku untuk
mengatakan ini, tapi dengan begini dia bisa buang air kecil sendiri. Aku belajar
ini di Eropa, selagi perang.” la mulai mengikat kaki Harvey. “Orang ini tidak
akan merepotkan kalian lagi. Nah, apa yang akan kalian lakukan dengan pintu
muka itu?”

Jeannie menatap Steve, yang menjawab, “Rusaknya berat juga, gara-gara


hantamanku.”

“Sebaiknya aku panggil tukang kayu.”

Mr Oliver berkata, “Aku punya beberapa potong papan di kebun. Aku bisa
memasangnya, supaya kita bisa menutupnya untuk malam ini. Kemudian kita
panggil orang untuk memperbaikinya besok.”

Jeannie merasa amat berterima kasih kepadanya. “Terima kasih, Anda baik
sekali.”

“Tak apa. Ini peristiwa paling menarik yang pernah kusaksikan sejak Perang
Dunia Kedua.”

“Aku akan membantu Anda,” ujar Steve.

Mr. Oliver menggeleng-gelengkan kepala. “Masih banyak yang hams kalian


rundingkan. Misalnya, apakah kalian akan memanggil polisi untuk melaporkan
orang

604
yang tergeletak di karpet itu.” Tanpa menunggu jawaban mereka, ia memungut
kotak perkakasnya, lalu pergi ke bawah.

Jeannie mulai memutar otak. “Besok Genetico akan dijual senilai seratus
delapan puluh juta dolar, lalu Proust akan mencalonkan diri sebagai presiden.
Sementara itu, aku akan menjadi penganggur dan reputasiku hancur. Aku tidak
akan bisa bekerja sebagai ilmuwan lagi. Tapi aku bisa mengubah situasinya,
dengan apa yang kuketahui sejauh ini.”

“Bagaimana kau akan melakukannya?”

“Yah… aku bisa meneruskan isu mengenai eksperimen itu pada pihak pers.”

“Apa kau tidak membutuhkan bukti kuat untuk itu?”

“Kau dan Harvey bisa menjadi bukti yang cukup dramatis. Terutama kalau
kalian bisa muncul di TV sama-sama.”

“Yeah—di tayangan Sixty Minutes atau entah apa. Aku menyukai idenya.”
Namun wajah Steve memanjang lagi. “Tapi Harvey tidak bakal mau diajak
bekerja sama.”

“Kita bisa membuat film darinya dalam keadaan terikat. Kemudian kita panggil
polisi, lalu mereka juga bisa membuat filmnya.”

Steve mengangguk. “Masalahnya, kau harus bergerak sebelum pihak Landsmann


dan Genetico menandatangani transaksi akuisisi itu. Begitu uangnya ada di
tangan mereka, mereka bisa membungkam semua pihak. Tapi aku masih
bingung, bagaimana earanya kau bisa muncul di TV dalam waktu beberapa jam
ini. Sedangkan menurut Wall Street Journal, mereka akan menyelenggarakan
konferensi pers itu besok pagi.”

“Mungkin kita bisa mengadakan acara jumpa pers sendiri.”

Steve menjentikkan jarinya. “Aku tahu! Kita sela konferensi pers mereka.”

“Ya. Dengan begitu, pihak Landsmann mungkin akan

605
memutuskan untuk tidak menandatangani berkas-berkas itu, dan seluruh proses
akuisisi itu akan dibatalkan/*

“Dan Berrington tidak akan menerima jutaan dolar itu.”

**Dan Jim Proust tidak dapat mencalonkan diri sebagai presiden.”

“Tentunya kita tidak waras,” ujar Steve. “Mereka to-‘ koh-tokoh paling
berpengaruh di Amerika, dan kita sedang membicarakan cara untuk
membuyarkan pesta mereka.”

Dari bawah terdengar suara orang memalu; rupanya Mr. Oliver mulai
membenahi pintu. Jeannie berkata. “Mereka benci orang kulit hitam, tahu?
Semua omong kosong mengenai perbaikan gen dan warga kelas dua Amerika ini
cuma semacam dalih. Mereka adalah orang-orang Neo-Nazi yang menggunakan
kemajuan ilmu sebagai kedok. Mereka ingin menempatkan Mr. Oliver sebagai
warga negara kelas dua. Persetan dengan mereka, aku tidak berniat tinggal diam
dan menonton.”

*‘Kita harus menyusun rencana,” ujar Steve secara praktis.

“Oke, begini,” ujar Jeannie. “Mula-mula kita harus mencari tahu, di mana
Genetico akan menyelenggarakan konferensi pers itu.”

“Mungkin di sebuah hotel di Baltimore.”

“Kita bisa telepon mereka semua, kalau perlu.”

“Mungkin kita perlu menyewa sebuah kamar di hotel itu.”

“Ide bagus. Kemudian, entah bagaimana caranya, aku akan menyusup ke dalam
konferensi pers itu, lalu muncul di tengah acara mereka dan membuka mulut di
hadapan media massa yang berkumpul di sana.” “Mereka akan
membungkammu.” “Aku akan menyiapkan pernyataan pers lebih dahulu untuk
dibagikan. Tapi kemudian kau muncul bersama Harvey. Pasangan kembar selalu
menarik para juru foto; semua kamera akan terarah pada kalian.”

606

Steve mengerutkan alisnya. “Apa yang ingin kau-buktikan dengan keberadaanku


bersama Harvey di situ?”

“Karena tampang kalian persis sama, impaknya akan dramatis sekali. Dan itu
akan menggelitik pihak pers untuk bertanya. Dalam waktu singkat, mereka akan
tahu bahwa ibu kalian tidak sama. Begitu menyadari itu, mereka akan tahu
bahwa ada suatu misteri untuk mereka singkap, persis seperti yang terjadi atas
diriku. Dan kau tahu bagaimana cara mereka menyidik seseorang yang
mencalonkan dirinya sebagai presiden.”

“Tapi tiga bakal lebih baik daripada dua, tentunya,” ujar Steve. “Apa kita bisa
mengundang salah satu dari yang lain untuk kemari?”

“Kita bisa coba. Kita bisa undang mereka semua, dengan harapan setidaknya
satu bakal muncul.”

Di lantai, Harvey mulai membuka matanya dan mengerang.

Jeannie nyaris lupa mengenai keberadaan Harvey di situ. Saat menoleh ke


arahnya, ia berharap kepala bedebah itu masih sakit. Kemudian ia merasa
bersalah telah mempunyai pikiran seperti itu. “Mengingat caraku menghajarnya,
mungkin dia perlu dokter.**

Harvey ternyata cepat pulih. “Lepaskan aku, pelacur,*’ umpatnya.

“Lupakan si dokter,” ujar Jeannie.

“Lepaskan aku, atau kusayat tubuhmu habis-habisan dengan pisau silet, begitu
aku bebas.”

Jeannie menyumpal mulut anak muda itu dengan lap. “Tutup mulutmu, Harvey,”
ujarnya.

Steve berkata, “Akan menarik sekali usaha untuk menyelundupkannya ke dalam


hotel dalam keadaan terikat.”

Suara Lisa terdengar dari bawah, menyalami Mr. Oliver. Sesaat kemudian ia
muncul, mengenakan celana blue jeans dan sepatu bot Doc Marten yang berat-Ia
melayangkan pandangannya ke arah Steve dan Harvey, lalu berkata, “Astaga,
ternyata benar.”
607

Steve berdiri. “Akulah yang kautunjuk saat pemba-risan itu,” ujarnya. “Tapi dia
yang sebetulnya menyerangmu.”

Jeannie menjelaskan, “Harvey mencoba menyerangku juga. Steve muncul tepat


pada waktunya, dengan menjebol pintu itu.”

Lisa menghampiri Harvey yang masih terbujur di lantai. Ia menatapnya selama


beberapa saat, kemudian sambil mengerutkan alis, ia mengayunkan kakinya ke
belakang, menendang tulang rusuk Harvey sekuat tenaga dengan ujung sepatu
Doc Marten-nya. Harvey mengerang sambil menggeliat kesakitan.

Lisa melakukan itu sekali lagi. “Wauw,” ujarnya sambil menggeleng-gelengkan


kepala, “enak rasanya.”

Dengan singkat Jeannie menceritakan kepada Lisa perkembangan terakhir hari


itu. “Rupanya banyak yang terjadi sementara aku tidur,” ujar Lisa dalam nada
takjub.

Steve berkata, “Kau sudah setahun bekerja di JFU, Lisa. Aneh bahwa kau tidak
pernah melihat putra Berrington.”

“Berrington tidak pernah bergaul dengan kolega-koleganya,” ujar Lisa. “Dia


seorang selebriti. Mungkin tak seorang pun di JFU pernah melihat Harvey.”

Jeannie mengungkapkan rencana mereka untuk mengacaukan acara konferensi


pers yang akan diselenggarakan pihak Genetico. “Kami baru saja membahas
kemungkinan untuk memantapkan penampilan kita dengan memunculkan salah
satu di antara clone-clone yang lain.”

“Oke, Per Ericson sudah meninggal, Dennis Pinker dan Murray Claud ada di
penjara, tapi kita masih memiliki tiga alternatif: Henry King di Boston, Wayne
Stattner di New York, dan George Dassault—yang mungkin ada di Buffalo,
Sacramento, atau Houston, kita belum tahu di mana, tapi kita bisa melacaknya
lagi. Aku punya nomor-nomor telepon mereka.”

608

“Aku juga,” ujar Jeannie.


Steve berkata, “Apa mereka keburu ke sini pada waktunya?**

“Kita bisa cek penerbangan-penerbangan yang ada melalui CompuServe,” ujar


Lisa. “Mana komputermu, Jeannie?”

“Dicuri.”

“Aku membawa Powerbook-ku di bagasi. Akan kuambil sebentar.”

Sementara Lisa keluar, Jeannie berkata, “Kita harus mencari cara untuk
membujuk orang-orang ini agar mau terbang ke Baltimore dalam waktu begitu
singkat. Dan kita harus menawarkan kepada mereka untuk membayar
ongkosnya. Aku nggak yakin kartu kreditku cukup untuk itu.”

“Aku punya kartu American Express yang diberikan ibuku untuk hal-hal darurat.
Aku yakin dia akan menganggap situasi ini darurat.’*

“Ibumu hebat,*’ ujar Jeannie dalam nada sedikit iri.

“Memang.”

Lisa muncul lagi, lalu menghubungkan komputernya dengan modem milik


Jeannie.

“Sebentar,” ujar Jeannie. “Kita atur strateginya dulu.”

609

BAB 58

Jeannie menyusun pernyataan persnya, sementara Lisa mengakses WorldSpan


Travelshopper untuk mengecek penerbangan-penerbangan yang ada, dan Steve
membalik-balik buku Halaman Kuning sambil mulai menelepon semua hotel
besar. “Apakah dalam jadwal Anda untuk besok pagi ada acara konferensi pers
yang akan diselenggarakan oleh Genetico, Inc., atau Landsmann?”

Setelah enam kali mencoba, terpintas dalam diri Steve bahwa acara itu mungkin
tidak akan diselenggarakan di hotel. Bisa saja di restoran, atau di lokasi yang
lebih eksotis, misalnya di geladak kapal; atau mungkin mereka memiliki sebuah
ruangan yang cukup besar di markas besar Genetico, yang berkedudukan di
sebelah utara kota. Namun pada usaha berikutnya, seorang operator yang ramah
berkata, “Ya, di Regency Room, siang hari. Sir.”

“Bagus!” ujar Steve. Jeannie menatapnya dengan pandangan bertanya. Steve


tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya. “Apa aku bisa memesan sebuah
kamar untuk malam ini?”

“Aku akan menghubungkan Anda dengan bagian penerimaan tamu, mohon


ditunggu sebentar.”

Steve memesan sebuah kamar, dan membayarnya de—

610

ngan kartu American Express ibunya. Setelah ia menutup P pesawatnya, Lisa


berkata, “Ada tiga penerbangan yang dapat mengangkut Henry King kemari
tepat pada waktunya, ketiga-tiganya USAir. Ada yang berangkat pukul enam
lewat dua puluh, tujuh lewat empat puluh, dan sembilan lewat empat puluh lima.
Di ketiga-tiganya masih ada tempat.”

‘Tesan sebuah tiket untuk penerbangan pukul sembilan lewat empat puluh lima,”
ujar Jeannie.

Steve menyodorkan kartu kreditnya ke arah Lisa, yang kemudian memasukkan


data-datanya ke dalam komputernya.

Jeannie berkata, “Aku masih belum menemukan cara untuk membujuknya


kemari.”

“Bukankah kau pernah bilang bahwa dia seorang mahasiswa yang bekerja di
bar””” ujar Steve. “Ya.”

“Dia membutuhkan uang. Biar aku yang coba Mana nomornya?”

Jeannie memberikan nomor telepon Henry King kepada Steve. “Nama


panggilannya Hank,” ujarnya.

Steve memutar nomor itu. Ternyata tidak ada jawaban. _ Ia menggeleng-


gelengkan kepala dengan kecewa. “‘Tidak di rumah,” ujarnya.
Jeannie menatap ke bawah untuk sesaat, kemudian menjentikkan jarinya.
“Mungkin dia sedang bekerja di bar itu.” Ia memberikan nomornya kepada
Steve.

Teleponnya diangkat oleh seorang laki-laki dengan aksen Hispanik. “The Blue
Note.” “Boleh bicara dengan Hank?”

“Dia lagi kerja, tahu?” ujar laki-laki itu dalam nada tidak simpatik.’

Steve tersenyum ke arah Jeannie, lalu menggerakkan mulutnya membentuk kata


Ada! “Ini penting sekali, aku tidak akan lama.”

Beberapa menit kemudian, terdengar sebuah suara

611

yang mirip sekali dengan suara Steve sendiri. “Yeah, siapa ini?”

“Hai, Hank, namaku Steve Logan, dan kita memiliki suatu kesamaan.”

“Kau mau menjual sesuatu?”

“Ibumu dan ibuku sama-sama pernah menjalani perawatan di sebuah tempat


bernama Aventine Clinic sebelum kita lahir. Kau bisa tanyakan itu kepadanya.”

“Oke, lalu?”

“Untuk menyingkat cerita, aku akan menuntut sepuluh juta dolar dari klinik itu,
dan aku mau mengajakmu bergabung denganku.”

Untuk sesaat tidak ada jawaban. “Aku nggak tahu kau ngomong benar atau
tidak, Bung, lagi pula aku nggak punya uang untuk membayar pengacara.”

“Aku yang akan menanggung semua ongkos. Aku tidak ingin uangmu.”

“Jadi, buat apa kau menelepon aku?”

“Karena kasusku akan menjadi lebih kuat dengan penampilanmu.” *

“Sebaiknya kautulisi aku detail-detailnya….”


“Justru di situ masalahnya. Aku membutuhkan kehadiranmu di sini, di
Baltimore, di Hotel Stouffler besok siang. Aku akan mengadakan konferensi
pers sebelum maju ke sidang, dan aku ingin kau muncul.”

“Siapa yang mau ke Baltimore? Mendingan ke Honolulu.”

Jangan melantur, tolol. “Sebuah tiket USAir atas nama Logan untuk
penerbangan pukul sembilan lewat empat puluh lima sudah tersedia untukmu.
Kau tinggal ambil itu di bandara.”

“Kau menawarkan untuk membagi sepuluh juta dolar denganku?”

“Tidak. Kau akan mendapat sepuluh juta dolarmu sendiri.”

“Apa tuntutannya?”

612

“Penyalahgunaan perjanjian.”

“Aku seorang mahasiswa manajemen. Bukankan ada batas waktu tertentu untuk
itu? Sesuatu yang terjadi sekitar dua puluh tiga tahun yang lalu…”

“Memang ada, tapi masa berlakunya dihitung mulai dari saat kasus itu
terungkap. Dalam hal ini, itu terjadi minggu lalu.”

Di latar belakang, sebuah suara Hispanik berteriak, “Hei, Hank, masih ada
seratus orang yang belum kaula-yani!”

Hank berkata, “Bicaramu mulai terdengar meyakinkan.”

“Jadi, kau mau datang?”

“Nggak. Artinya, aku akan memikirkannya begitu aku selesai dengan tugasku
malam ini. Sekarang aku mesti melayani orang-orang.”

“Kau bisa hubungi aku di hotel itu,” ujar Steve, tapi terlambat. Hank sudah
keburu menutup pesawatnya

Jeannie dan Lisa menatapnya.


Steve angkat bahu. “Aku tidak tahu,” ujarnya dalam ada frustrasi. “Aku tidak
tahu apakah aku berhasil meyakinkannya atau tidak.”

Lisa berkata, “Kita cuma bisa menunggu, untuk melihat apakah dia bakal
muncul atau tidak.”

“Apa mata pencaharian Wayne Stattner?”

“Dia seorang pemilik kelab malam. Mungkin dia sudah memiliki sepuluh juta
dolar.”

“Kalau begitu, kita harus berusaha menggelitik rasa ingin tahunya. Kau punya
nomornya?”

“Tidak.”

Steve menghubungi bagian informasi. “Kalau dia seorang selebriti, nomornya


mungkin tidak terdaftar.”

“Mungkin ada nomor kantornya.” Steve mendapat sambungan, lalu


menyebutkan namanya. Beberapa saat kemudian, ia memperoleh nomornya. Ia
memutar nomor

613

itu dan disambut sebuah perangkat penjawab telepon “Hai, Wayne, namaku
Steve Logan, dan kalau kauper-hatikan, suaraku persis sama seperti suaramu. Itu
karena, kau boleh percaya atau tidak, kita ini memang kembar identik. Tinggiku
enam kaki dua inci dan beratku sembilan puluh lima kilo, dan tampangku benar-
benar persis seperti kau, kecuali warna rambut kita. Beberapa hal lain yang
mungkin sama di antara kita: aku alergi terhadap macadamia nuts, aku tidak
punya kuku di jari kelingking kakiku, dan kalau sedang berpikir, aku akan
menggaruk punggung tangan kiriku dengan jari-jari tangan kananku. Nah, ini
serunya: kita bukan pasangan kembar. Dan masih ada beberapa orang lagi yang
seperti kita. Salah satu di antaranya terlibat dalam suatu tindak kejahatan di
Jones Falls University hari Minggu yang lalu—karena itulah kau mendapat
kunjungan dari dinas kepolisian Baltimore kemarin. Dan kita akan mengadakan
pertemuan besok siang di Hotel Stouffler, Baltimore. Kedengarannya memang
aneh, Wayue, tapi aku berani sumpah bahwa semua ini benar. Hubungi aku atau
Dr. Jean Ferrami di hotel itu, atau muncullah begitu saja. Bakal menarik sekali.”
Steve menutup pesawatnya, lalu menatap Jeannie. “Bagaimana menurutmu?”

Jeannie angkat bahu. “Dia jenis yang bisa berbuat sesukanya Mungkin dia akan
tertarik. Dan seorang pemilik kelab malam tentunya tidak sibuk pada hari Senin
pagi. Di lain pihak, aku tidak akan mau naik pesawat hanya gara-gara sebuah
pesan telepon seperti itu.”

Pesawat telepon itu berdering. Steve mengangkatnya secara otomatis. “Halo?”

“Boleh bicara dengan Steve?” Suaranya tidak ia kenal. “Ini Steve.”

“Aku Paman Preston. Ayahmu ingin bicara.” Steve tidak memiliki seorang
Paman Preston. Ia mengerutkan alis, tidak mengerti. Sesaat kemudian, se—

614

buah suara lain terdengar. “Kau sendirian? Apa dia di situ?”

Tiba-tiba Steve mengerti. Ekspresinya berubah menjadi bingung. Ia tidak tahu


harus menjawab apa. “Sebentar,” ujarnya. Ia menutup bagian mulut pesawat itu
dengan tangannya. “Kurasa ini Berrington Jones’.” ujarnya pada Jeannie. “Dan
dia mengira aku Harvey. Apa yang mesti kulakukan?”

Jeannie cuma bisa mengangkat tangannya ke atas. “Coba berimprovisasi,”


ujarnya.

“Wauw, trims.” Steve mendekatkan gagang pesawat itu ke telinganya. “Ehm, ya,
ini Steve,” ujarnya.

“Ada apa? Lama benar kau di sana!”

“A-aku kira begitu…”

“Kau sudah tahu apa rencana Jeannie?”

“Ehm… ya, sudah.”

“Kalau begitu, kau harus pulang dan melapor pada kami!” “Oke.”

“Kau tidak tertahan di situ, kan?” “Nggak.”


“Tentunya kau menidurinya?” “Bisa dibilang begitu.”

“Pakai celanamu sekarang juga dan pulang! Situasinya sudah betul-betul


gawat!” “Oke.”

“Nah, setelah menutup pesawatmu, bilang bahwa yang menelepon tadi adalah
orang yang bekerja untuk pengacara orangtuamu, untuk memanggilmu pulang ke
DC secepatnya. Begitu saja dalihmu, jadi kau punya alasan untuk buru-buru
pergi. Oke?”

“Oke. Aku akan pulang secepatnya.”

Berrington menutup pesawatnya; Steve juga melakukan hal yang sama.

Steve menghela napas lega. “Rasanya aku berhasil menipunya.”

615

Jeannie bertanya, “Apa katanya?**

“Menarik sekali. Sepertinya Harvey memang dikirim kemari untuk mencari tahu
apa rencanamu. Mereka khawatir mengenai apa yang akan kaulakukan dengan
pengetahuan yang kaumiliki

“Mereka? Siapa saja?”

“Berrington dan seseorang yang menyebut dirinya Parran Preston.”

“Preston Barck adalah presiden Genetico. Buat apa mereka menelepon


kemari?’*

“Mereka sudah nggak sabar rupanya. Berrington sudah bosan menunggu.


Sepertinya mereka ingin tahu, supaya mereka dapat mencari cara untuk
menghadapimu. Dia mengatakan supaya aku berpura-pura harus segera kembali
ke Washington untuk menemui pengacaraku, lalu segera kembali ke rumahnya
secepatnya.*’

Jeannie tampak khawatir. “Gawat. Kalau Harvey nggak muncul, Berrington akan
tahu bahwa ada yang tidak beres. Orang-orang Genetico itu akan segera
mengambil ancang-ancang. Tak seorang pun akan tahu, apa yang bakal mereka
lakukan: memindahkan acara konferensi pers itu ke lokasi lain, memasang
barisan sekuriti yang tidak dapat kita terobos, bahkan membatalkan seluruh
acara itu sama sekali dan langsung menandatangani berkas-berkas mereka di
sebuah kantor pengacara.”

Steve mengerutkan alisnya, sambil menerawangi lantai. Ia memiliki sebuah ide,


tapi masih ragu untuk mengajukannya. Akhirnya ia berkata, “Kalau begitu,
Harvey mesti pulang.”

Jeannie menggeleng-gelengkan kepala. “Dari tadi dia di situ mengikuti


pembicaraan kita. Dia akan membeberkan semuanya kepada mereka.”

“Tidak, kalau aku yang pergi sebagai gantinya.”

Jeannie dan Lisa menatapnya terperangah.

Steve belum punya rencana, tapi berkata sambil ber—

616

pikir, “Aku akan ke rumah Berrington. pura-pura menjadi Harvey. Aku pasti bisa
meyakinkan mereka.”

“Steve, itu berbahaya sekali. Kau tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan
mereka. Kau bahkan tidak tahu di mana kamar mandinya.”

“Kalau Harvey bisa menipumu, kukira aku bisa menipu Berrington,” ujar Steve
sambil berusaha meninggalkan kesan lebih yakin dari yang sebetulnya ia
rasakan.

“Harvey tidak berhasil menipuku. Kedoknya tersingkap.”

‘Tapi dia berhasil menipumu untuk sesaat.”

“Kurang dari sejam. JCau bakal lebih lama di sana.”

“Tidak begitu lama. Kita tahu bahwa Harvey selalu kembali ke Philadelphia
pada hari Minggu malam. Aku akan balik kemari sebelum tengah malam.”

“Tapi Berrington kan ayah Harvey. Mana mungkin kau dapat menipunya?”
Steve tahu bahwa apa yang dikatakan Jeannie memang benar. “Kau punya ide
yang lebih bagus?”

Jeannie berpikir selama beberapa saat, kemudian menjawab, “Tidak.”

di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader dim liati, c o cc oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa hidup anda selamanya.

617

BAB 59

Steve mengenakan celana korduroi biru Harvey dan baju biru langitnya, lalu
mengemudikan mobil Datsun Harvey ke Roland Park. Hari sudah gelap saat ia
tiba di rumah Berrington. Ia parkir di belakang sebuah Lincoln Town Car
berwarna abu-abu keperakan, lalu duduk diam-diam selama beberapa saat, untuk
mengumpulkan semua keberaniannya.

la harus melakukan ini dengan benar. Kalau ia ketahuan, habislah riwayat


Jeannie. Tapi ia tidak punya apa-apa sebagai pegangan; ia tidak memiliki
informasi sedikit pun. Ia harus bersikap waswas senantiasa, peka mengenai apa
yang diharapkan darinya, dan bersikap santai kalau ia sampai melakukan
kesalahan. Andai kata ia seorang aktor.

Bagaimana suasana hati Harvey saat ini? tanya Steve pada dirinya Dia
diperintahkan oleh ayahnya untuk segera pulang. Padahal, menurut skenario, dia
sedang bersenang-senang dengan Jeannie. Tentunya dia kesal sekarang.

Steve menghela napas, la tidak dapat menunda saat-saat yang ditakutinya itu
lebih lama lagi. Ia keluar dari mobil, lalu menuju pintu muka rumah Berrington.

Harvey memiliki beberapa buah anak kumi Steve mempelajari lubang kunci
pintu muka itu. Rasanya ada

618

tulisan Yale-nya. Ia mencari sebuah kunci Yale. Sebelum ia menemukannya,


Berrington membuka pintu itu. “Buat apa kau berdiri diam di sini?” dampratnya.
“Ayo masuk.”
Steve melangkah masuk.

“Ayo ke ruang keluarga,” perintah Berrington.

Di mana ruang keluarga sialan itu? Steve berusaha mengatasi rasa paniknya.
Rumah itu bergaya rumah peternakan pinggiran kota yang standar dari tahun
tujuh puluhan. Di sebelah kirinya, melalui suatu lengkungan ia dapat melihat
sebuah ruang duduk berisi perabotan bergaya formal. Tidak ada siapa-siapa di
situ. Lurus di mukanya terdapat sebuah lorong dengan beberapa pintu, yang ia
perkirakan menuju kamar tidur. Di sebelah kanannya terdapat dua pintu tertutup.
Satu di antaranya tentunya ruang keluarga itu—tapi yang mana?

“Ayo ke ruang keluarga” ulang Berrington, seakan Steve tidak mendengar


perintahnya sebelumnya.

Steve membuka sebuah pintu secara asal.

Ternyata pilihannya salah. Pintu itu menuju kamar mandi.

Berrington menatapnya dengan kesal.

Untuk sesaat Steve ragu, kemudian ia teringat bahwa suasana hatinya seharusnya
sedang tidak enak. .“Aku boleh kencing dulu, kan?” ujarnya ketus. Tanpa
menunggu jawaban, ia masuk ke kamar mandi itu, lalu menutup pintunya.

Yang ia masuki itu ternyata sebuah toilet duduk, hanya dengan sebuah kloset dan
wastafel. Ia mendoyongkan tubuhnya di muka wastafel itu, lalu bercermin. “Kau
pasti edan,” ujarnya pada bayangannya.

Ia membilas kloset itu. mencuci tangannya, kemudian kejuar.

la dapat menangkap suara beberapa laki-laki dari bagian dalam rumah itu. Ia
membuka pintu sebelah kamar mandi; jadi, di sinilah ruang keluarga itu. la
melangkah masuk, menutup pintu, lalu dengan cepat

619

melayangkan pandang ke sekelilingnya Ada sebuah meja tulis, sebuah lemari


arsip dari kayu, rak-rak buku, sebuah TV, dan beberapa kursi sofa. Di meja tulis
terdapat foto seorang wanita pirang yang menarik, berusia sekitar empat
puluhan, mengenakan pakaian yang kelihatannya ketinggalan zaman dua puluh
tahun. Wanita itu menggendong seorang bayi. Mantan istri Berrington? “Ibuku”?
Ia membuka laci-laci meja tulis itu, sambil memperhatikan isinya, kemudian
membuka lemari arsip. Ternyata ada sebotol wiski Springbank dan beberapa
gelas kristal di laci paling bawah, seakan sengaja disembunyikan. Mungkin ini
salah satu titik kelemahan Berrington. Saat ia menutup laci itu, pintu ruang
keluarga terbuka dan Berrington masuk ke dalam, diikuti oleh dua orang laki-
laki. Steve mengenali Senator Proust, yang berkepala botak dan berhidung besar,
dari siaran berita di TV. la memperkirakan bahwa laki-laki berambut hitam dan
berpembawaan lebih diam itu adalah “Paman” Preston Barck, presiden Genetico.

Ia teringat bahwa Harvey seharusnya sedang kesal. “Ngapain aku disuruh buru-
buru pulang?”

Berrington berusaha membujuk. “Kami baru saja se lesai makan,” ujarnya. “Kau
mau sesuatu? Marianne bisa menyiapkannya sebentar.”

Perut Steve terasa mual karena tegang, tapi Harvey tentunya mau makan, dan
Steve harus berusaha tampil sewajar mungkin, karena itu ia berpura-pura mau
dibujuk dan berkata, “Oke, aku mau sesuatu.”

Berrington berteriak, “Marianne”” Selang beberapa saat, seorang gadis kulit


hitam yang cantik dan tampak gugup muncul di pintu. “Bawakan makanan untuk
Harvey,” perintah Berrington.

“Baik, Monsieur,” bisik gadis itu.

Steve mengikuti langkah-langkah gadis itu dengan matanya. Ia melihat Marianne


melewati ruang duduk dalam perjalanannya menuju dapur. Tentunya ruang ma—

620

kan juga di sekitar sana, kecuali kalau mereka makan di dapur.

Proust mendoyongkan tubuhnya ke muka, lalu bertanya, “Oke, Nak, apa yang
kaudapat?”

Steve sudah menyiapkan cerita mengenai apa-apa yang akan dilakukan Jeannie.
“Kukira kalian bisa santai, setidaknya untuk sementara ini,” ujamya. “Jeannie
Ferrami akan menuntut Jones Falls University melalui jalur hukum, karena dia
merasa diperlakukan secara tidak adil. Dia menganggap bahwa dia bisa
menyinggung soal keberadaan clone-clone itu selagi prosesnya berlangsung.
Sampai sejauh ini, dia belum punya rencana untuk mempublikasi apa-apa. Dia
akan bertemu dengan seorang pengacara pada hari Rabu.”

Ketiga laki-laki yang lebih tua itu tampak lega. Proust berkata, “Perlakuan tidak
adil. Prosesnya akan memakan waktu paling sedikit setahun. Kita masih punya
banyak waktu untuk melakukan apa yang harus kita lakukan.”

Kena tipu kalian, rasain.

Berrington berkata, “Lalu bagaimana mengenai kasus Lisa Hoxton?”

“Jeannie sudah tahu siapa aku, dan dia menganggap aku pelakunya, tapi dia
belum bisa membuktikannya. Mungkin dia bakal menudingku, tapi kesannya
nanti paling-paling seperti ulah seorang mantan pegawai yang sedang kalap.”

Berrington mengangguk. “Bagus, tapi kau toh membutuhkan pengacara. Kau


tahu apa yang akan kami lakukan. Kau menginap saja di sini malam ini—toh
sudah terlalu malam untuk kembali ke Philadelphia sekarang.”

Aku tidak mau menghabiskan malam ini di sini! “Entahlah…”

“Kau bisa ikut bersamaku menghadiri acara konferensi pers itu besok pagi, dan
sesudahnya kita pergi menemui Henry Quinn.”

Risikonya terlalu besar!

Jangan panik, pusatkan pikiranmu.

Kalau aku tinggal di sini, aku akan tahu persis apa yang bakal dilakukan orang-
orang licik ini setiap saat. Risikonya memang besar. Tapi tak mungkin akan
terjadi apa-apa selama aku tidur. Aku bisa menyelinap sebentar untuk menelepon
Jeannie, supaya dia tahu apa yang terjadi. Ia mengambil keputusan. “Oke,”
ujarnya.

Proust berkata, “Jadi, selama ini kita menunggu di sini dengan khawatir, padahal
tidak ada apa-apa.”

Namun Barck rupanya tidak mau langsung menerima berita baik itu dengan
begitu saja. Dalam nada waswas ia bertanya, “Apa tidak terpikir oleh cewek itu
untuk mencoba mensabotase proses akuisisi Genetico?”

“Dia memang pintar, tapi sepertinya pikirannya tidak berorientasi ke soal


bisnis,-” jawab Steve.

Proust mengedipkan matanya, lalu berkata, “Bagaimana dia di tempat tidur, he?”

“Asyik,” sahut Steve sambil nyengir. Proust tertawa terbahak-bahak.

Marianne muncul dengan sebuah baki: irisan ayam, salad dengan bawang
bombay, roti, dan sekaleng bir Budweiser Steve tersenyum. “Terima kasih,”
ujarnya. “Asyik sekali.”

Marianne menatapnya dengan tercengang. Steve menyadari bahwa Harvey


mungkin jarang sekali mengucapkan kata-kata terima kasih. Ia melirik ke arah
Preston Barck, yang tampak sedang mengerutkan alisnya. Awas, hati-hati!
Jangan sampai salah sekarang, kau sudah berhasil mengakali mereka sejauh ini,
kau cuma tinggal melewatkan satu jam lagi bersama mereka sebelum waktu
tidur.

Steve mulai makan. Barck berkata, “Kau masih ingat sewaktu kau kuajak ke
Plaza Hotel di New York untuk makan siang? Umurmu baru sepuluh tahun
ketika itu.”

Steve hampir mengatakan Ya ketika ia melihat kerut

622

di wajah Berrington. Apakah ini semacam tes? Apakah Barck curiga? “Plaza?”
ujarnya sambil mengerutkan dahi. Biar bagaimanapun, ia cuma bisa memberikan
satu jawaban. “Wah, Paman Preston. Aku nggak ingat itu.”

“Mungkin yang kuajak itu keponakanku,” ujar Barck. Huh.

Berrington berdiri. “Aku mau ke kamar mandi dulu,” ujarnya. Ia keluar.

“Aku kepingin minum Scotch,” ujar Proust.

Steve berkata, “Buka saja laci paling bawah lemari itu. Biasanya Dad punya
persediaan di situ.”

Proust pergi ke lemari itu dan membuka lacinya “Hebat kau, Nak!” ujarnya. Ia
mengeluarkan botolnya dan beberapa buah gelas.

“Aku sudah tahu tentang itu sejak umur dua belas,” ujar Steve. “Sejak itulah aku
mulai mencuri dari situ.”

Proust tertawa terbahak-bahak. Steve melirik ke arah Barck. Bayangan gelap itu
sudah menghilang dari wajahnya. Ia sedang tersenyum.

623

BAB 60

Mr. Oliver memperlihatkan sebuah pistol besar yang sudah ia simpan sejak akhir
Perang Dunia Kedua. “Aku merampas ini dari tangan seorang tahanan
berkebangsaan Jerman,” ujarnya. “Para serdadu kulit berwarna biasanya tidak
boleh membawa senjata api di masa itu.” Ia duduk di sofa Jeannie, sambil
mengacungkan pistol itu ke arah Harvey.

Lisa masih sibuk di telepon, mencoba menghubungi George Dassault.

Jeannie berkata, “Sebaiknya aku check-in di hotel itu sekarang, sambil


meninjau.” Ia mengisi sebuah koper, lalu berangkat ke Hotel Stouffler, sambil
memikirkan cara untuk membawa Harvey ke kamar hotel tanpa menarik
perhatian pihak sekuritinya.

Hotel Stouffler memiliki sebuah garasi bawah tanah: itu permulaan yang baik.
Jeannie meninggalkan mobilnya di sana, lalu naik lift. Ternyata lift itu hanya
dapat membawa mereka sampai ke lobi hotel, tidak ke kamar-kamarnya. Tapi
semua lift yang ada bermuara di sebuah lorong di belakang ruang lobi ulama,
yang tidak terlihat dari meja resepsi, dan untuk melintasi lorong itu dari lift
garasi ke lift kamar hanya memakan waktu beberapa detik. Apakah mereka
harus membopong Harvey, atau menyeretnya, atau apakah ia mau bekerja sama
dengan berjalan sendiri? Agak sulit memang.

624

Setelah check-in, Jeannie pergi ke kamarnya, meletakkan kopernya di sana, lalu


segera keluar lagi dan pulang ke apartemennya.

“Aku berhasil menghubungi George Dassault!” seru Lisa dengan antusias begitu
ia muncul-

“Hebat! Di mana?”

“Aku berhasil menghubungi ibunya di Buffalo. Kemudian dia memberikan


kepadaku nomornya di New York. George Dassault seorang aktor di sebuah
teater kecil di Broadway.”

“Dia mau datang besok?”

“Ya. ‘Apa pun akan kulakukan demi publisitas,’ katanya. Aku sudah mengatur
penerbangannya, dan aku bilang akan menjemputnya di bandara besok.”

“Bagus sekali!”

“Kita akan punya tiga clone nanti. Orang-orang yang nonton televisi bakal
gempar.”

“Andai kata kita bisa membawa Harvey ke hotel itu.” Jeannie berpaling ke arah
Mr. Oliver. “Kita bisa mengelakkan petugas pintu hotel dengan langsung menuju
garasi bawah tanah. Lift garasi cuma bisa membawa kita sampai ke lantai dasar
hotel. Kita harus keluar dari sana dan mengambil lift lain untuk ke kamar. Tapi
lorong lift itu letaknya tersembunyi “

Dalam nada waswas Mr. Oliver berkata, “Biar bagaimanapun, kita harus
mengusahakan agar dia tenang selama sedikitnya lima sampai sepuluh menit,
sementara kita memindahkannya dari mobil ke kamar itu. Dan bagaimana kalau
ada tamu hotel yang melihat dia dalam keadaan terikat? Mungkin mereka
bertanya macam-macam, atau melaporkannya kepada pihak sekuriti.”

Jeannie mengalihkan perhatiannya ke Harvey, yang masih tergeletak di lantai


dengan mulut tersumbat dan dalam keadaan tenkat. Ia sedang mengawasi
mereka sambil mendengarkan. “Aku juga sudah memikirkan hal itu, dan aku
punya beberapa ide,” ujar Jeannie.

625
“Anda bisa ikat ulang kakinya sedemikian rupa, supaya dia bisa jalan, tapi tidak
terlalu cepat?” “Tentu.”

Sementara Mr. Oliver melakukan itu, Jeannie masuk ke kamar tidurnya. Dari
dalam lemari pakaiannya, ia mengeluarkan sebuah sarung berwarna, yang ia beli
untuk berlibur di pantai, sebuah syal besar, sehelai sapu tangan, dan sebuah
topeng Nancy Reagan yang ia peroleh dari sebuah pesta dan lupa ia buang.

Mr. Oliver membantu Harvey berdiri. Begitu sudah berdiri tegak. Harvey
berusaha memukul Mr. Oliver dengan tangannya yang masih terikat. Jeannie
menahan napas. Lisa menjerit Namun Mr. Oliver rupanya sudah mengantipasi
hal itu. Dengan sigap ia berkelit, kemudian menghajar perut Harvey dengan
gagang pistolnya. Harvey mengaduh, kemudian membungkuk. Mr. Oliver
menghantamnya sekali lagi, kali ini di kepalanya. Harvey ambruk di atas
lututnya. Mr. Oliver menariknya untuk berdiri lagi. Sesudah itu ia menjadi lebih
mudah diatur.

“Aku mau mendandaninya,” ujar Jeannie.

“Silakan,” ujar Mr. Oliver. “Aku akan mengawasi dia, dan menyakitinya sekali-
sekali, supaya dia mau bekerja sama.”

Dengan perasaan waswas, Jeannie melilitkan sarung itu di pinggang Harvey,


kemudian mengikatnya seperti sebuah rok. Tangannya bergetar; ia sama sekali
tidak suka berada dalam jarak begitu intim dengan Harvey. Sarung itu ternyata
cukup panjang untuk menutupi pergelangan kaki Harvey dan kabel listrik yang
membuat langkahnya nanti terseok-seok. la menyelempangkan syalnya di
pundak laki-laki itu, lalu menyematkan sebuah peniti di ikatan pada pergelangan
tangannya, supaya tampak seakan Harvey sedang memegangi ujung syal itu,
seperti nenek-nenek. Sesudah itu ia menggulung sapu tangannya, yang ia ikatkan
melalui mulut Harvey

626

dengan sebuah simpul di belakang kepalanya, supaya lap di dalam mulutnya


tidak jatuh keluar. Akhirnya ia memasang topeng Nancy Reagan itu untuk
menutupi sumbat mulutnya. “Dia baru menghadiri pesta kostum, berpakaian
seperti Nancy Reagan, dan dia dalam keadaan mabuk,” ujarnya.

“Oke sekali,” ujar Mr. Oliver.


Pesawat telepon berdering. Jeannie mengangkatnya. “Halo?”

“Aku Mish Delaware.”

Jeannie telah melupakannya. Sudah empat belas atau lima belas jam berlalu
sejak ia merasa begitu perlu berbicara padanya. “Hai,” ujarnya.

“Ternyata kau benar. Memang Harvey Jones pelakunya”

“Dari mana kau tahu?”

‘“Dari pihak kepolisian Philadelphia. Mereka sudah ke apartemennya. Dia tidak


di sana, tapi seorang tetangga membantu mereka. Mereka menemukan topi pet
itu dan menyadari bahwa benda itu sesuai deskripsi.” *

“Bagus!”

“Aku sudah siap menahannya, cuma aku belum tahu di mana dia. Kau tahu?”

Jeannie melayangkan matanya ke arah Harvey, yang berpakaian seperti seorang


Nancy Reagan yang tingginya enam kaki dua inci. “Tidak,” sahutnya. “Tapi aku
bisa mengatakan padamu di mana dia besok siang.”

“Oke.”

“Regency Room, Hotel Stouffler. di sebuah konferensi pers.” “Trims.”

“Mish, boleh aku minta sesuatu darimu?” “Apa?”

“Jangan tahan dia sebelum konferensi pers itu selesai. Keberadaannya di situ
amat berarti bagiku.”

Untuk sesaat Mish ragu. Kemudian ia berkata, “Oke.”

627

“Trims. Aku menghargai itu.” Jeannie menutup pesawatnya. “Oke, ayo kita
masukkan dia ke mobil.”

Mr. Oliver berkata, “Kalian duluan, untuk membuka pintunya. Aku yang akan
bawa dia.”
Jeannie menyambar kunci kuncinya, lalu lari ke bawah. Hari sudah gelap, tapi
langit penuh bintang dan suasana agak remang oleh penerangan dari lampu-
lampu jalan. Ia melayangkan pandang ke sekelilingnya. Sepasang muda-mudi
dalam jeans sobek-sobek sedang berjalan ke arah berlawanan sambil
bergandengan tangan. Di sisi lain jalan itu, seorang laki-laki yang mengenakan
topi jerami sedang jalan-jalan dengan seekor anjing Labrador kuning. Mereka
bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Apakah mereka akan
menoleh? Apakah mereka akan peduli?

Jeannie memutar kunci mobilnya, lalu membuka pintu.

Harvey dan Mr. Oliver melangkah keluar rumah bersama-sama. Mr. Oliver
mendorong tahanannya. Harvey terhuyung. Lisa, yang mengikuti mereka dari
belakang, menutup pintu rumah.

Untuk sesaat, adegan itu tampak amat menggelikan. Tawa histeris nyaris
melanda diri Jeannie. Cepat-cepat ia membekap mulutnya dengan tangan.

Harvey sampai di mobil. Mr. Oliver mendorongnya sekali lagi. Harvey hampir
terjungkal di bangku belakang.

Jeannie berhasil menguasai diri kembali. Ia menoleh lagi ke orang-orang yang


sedang berada di jalanan saat itu. Si laki-laki bertopi jerami sedang mengawasi
anjingnya mengencingi ban sebuah mobil Subaru. Pasangan muda itu rupanya
belum sempat menoleh ke belakang.

Sejauh ini. semua oke.

“Aku akan duduk di belakang bersamanya,” ujar Mr. Oliver. “Oke.”

628

Lisa duduk di depan, sementara Jeannie mengemudikan mobil itu.

Suasana pusat kota amat sepi pada malam hari Minggu itu. Jeannie melesat ke
dalam garasi bawah tanah hotel, laju memarkir kendaraannya sedekat mungkin
dengan lift. untuk mengurangi jarak yang harus mereka tempuh sambil menyeret
Harvey. Suasana di dalam garasi itu tidak sepi. Mereka harus menunggu di
dalam mobil, sementara sepasang suami-istri dalam pakaian pesta keluar dari
sebuah mobil Lexus, kemudian menuju ke arah hotel. Sesudah itu, saat tidak ada
siapa-siapa lagi yang kelihatan, mereka keluar dari mobil.

Jeannie mengambil sebuah linggis dari bagasinya, yang ia perlihatkan kepada


Harvey, kemudian ia sembunyikan di dalam saku celana blue jeans-nya. Mr.
Oliver telah menyelipkan pistol masa perangnya di ban pinggangnya, di balik
kemeja. Mereka menghela Harvey keluar dari mobil. Semula Jeannie sudah
memperhitungkan bahwa ia akan berontak, tapi ternyata ia melangkah dengan
tenang ke arah lift.

Sepertinya lama sekali baru lift itu turun.

Begitu sampai, mereka mendorong Harvey masuk. Jeannie menekan tombol


menuju ruang lobi.

Sementara mereka naik, Mr. Oliver meninju perut Harvey sekali lagi.

Jeannie betul-betul tercengang; tidak ada periawanan.

Harvey mengerang, kemudian membungkuk persis pada saat pintu lift


membuka. Dua laki-laki yang sedang menunggu di luar memandang ke arah
Harvey. Mr. Oliver menggiring Harvey keluar, sambil berkata, “Maaf, Tuan-
tuan, anak muda ini kebanyakan minum.” Mereka berhasil lolos dengan selamat.

Sebuah lift lain menunggu. Mereka memasukkan Harvey ke dalamnya, lalu


Jeannie menekan tombol menuju lantai delapan. Ia menghela napas lega saat
pintunya menutup.

629

Mereka melesat ke lantai delapan tanpa masalah. Harvey sudah mulai pulih dari
pukulan Mr. Oliver, dan mereka hampir sampai di tempat tujuan. Jeannie segera
menunjukkan jalan ke kamar yang telah diambilnya. Begitu mereka sampai,
hatinya langsung menciut melihat pintu kamar itu dalam keadaan terbuka, dan
pada pegangannya tergantung kartu yang bunyinya Kamar sedang dibersihkan.
Si pelayan hotel tentunya sedang membenahi tempat tidur atau entah apa.
Jeannie mengeluarkan suara erangan.

Tiba-tiba Harvey mulai membuat ulah, dengan mengeluarkan suara-suara protes


dari balik bekapannya, dan mengayun-ayunkan tangannya yang terikat. Mr.
Oliver mencoba memukulnya, tapi ia berkelit, lalu mengambil tiga langkah
menjauhi mereka.

Jeannie membungkuk di depannya, memegang tali yang mengikat pergelangan


kaki laki-laki itu dengan kedua tangannya, lalu menyentaknya. Harvey
sempoyongan. Jeannie mencoba lagi. namun kali ini tanpa hasil. Astaga, berat
sekali dia. Harvey menaikkan tangannya untuk memukul Jeannie. Jeannie
memusatkan konsentrasinya, kemudian menarik dengan sekuat tenaga. Harvey
kehilangan pijakan dan tubuhnya terbanting ke lantai.

“Astaga, ada apa ini?” ujar sebuah suara. Si pelayan hotel, seorang wanita kulit
hitam berusia sekitar enam puluhan dalam pakaian seragam yang rapi,
melangkah keluar dari kamar itu.

Mr. Oliver berlutut di dekat kepala Harvey, lalu mengangkatnya. “Anak muda ini
baru keasyikan berpesta,” ujarnya “Mengotori seluruh lantai limousine-ku.”

Aku mengerti, dia pura-pura menjadi sopir kami, untuk meyakinkan si pelayan
hotel, pikir Jeannie.

“Habis pesta?” ujar si pelayan. “Kok tampangnya seperti habis berkelahi.”

Kepada Jeannie, Mr. Oliver berkata, “Anda bisa tolong angkat bagian kakinya?”

Jeannie segera melakukan apa yang diminta.

630

Mereka menggotong Harvey yang mencoba meronta. Mr. Oliver berpura-pura


pegangannya terlepas, namun ia menempatkan lututnya sedemikian rupa,
sehingga Harvey jatuh persis di atasnya dan merasakan sakitnya.

“Hati-hati!” seru pelayan itu.

“Ayo kita angkat lagi, Nona,” ujar Mr Oliver.

Mereka mengangkatnya lagi dan membopongnya masuk ke dalam kamar itu,


lalu menjatuhkannya di tempat tidur.

Si pelayan mengikuti mereka. “Mudah-mudahan dia tidak muntah di sini.”


Mr. Oliver tersenyum ke arahnya. “Eh, kok aku belum pernah melihatmu di
sekitar tempat ini? Mataku jeli sekali soal cewek cantik, tapi rasanya aku belum
pernah melihatmu.”

“Jangan macam-macam,” ujar wanita itu. namun ia tersenyum. “Aku kan sudah
tua.”

“Aku sudah tujuh puluh satu, dan kau pasti belum empat lima.”

“Aku sudah lima puluh sembilan, dan terlalu tua untuk melayani ulahmu.”

Mr. Oliver memegang lengan wanita itu, lalu dengan lembut menggiringnya
keluar sambil berkata, “Hei, tugasku hampir selesai dengan mereka Kau mau
jalan-jalan naik Hmousine-Vu?”

“Dengan lantai penuh munjah? Tidak mau!” Ia tertawa.

“Bisa kubersihkan dulu.”

“Aku punya suami yang menungguku di rumah, dan kalau dia sampai
mendengar ucapanmu tadi, di lantai mobilmu bukan cuma bakal ada muntah. Mr.
Limo.”

“Oh-ho.” Mr. Oliver mengangkat tangannya dalam gerakan menyerah. “Aku


tidak punya maksud jelek.” Pura-pura takut, ia melangkah mundur ke dalam
kamar, lalu menutup pintunya.

Jeannie menjatuhkan diri di sebuah kursi. “Terima kasih. Tuhan. Kita berhasil,”
ujarnya.

BAB 61

Begitu selesai makan, Steve bangkit berdiri dan berkata, “Aku mau tidur.” Ia
ingin masuk ke dalam kamar Harvey secepatnya. Begitu sendirian, situasinya
akan lebih aman baginya.

Pesta itu pun bubar. Proust menghabiskan sisa wiskinya, kemudian Berrington
mengantar kedua tamunya ke mobil mereka masing-masing.

Steve menggunakan kesempatan itu untuk menelepon Jeannie dan menceritakan


apa yang terjadi, la menyambar pesawat telepon, lalu memutar nomor informasi.
Untuk waktu lama ia terpaksa menunggu. Ayo, ayo! Akhirnya ia memperoleh
sambungan. Ia menanyakan nomor telepon hotel itu. Mula-mula ia memutar
nomor yang salah, nomor sebuah restoran. Dengan panik ia memutar sekali lagi,
dan akhirnya dijawah oleh hotel itu. “Aku ingin bicara dengan Dr. Jean
Ferrami,” ujarnya.

Berrington muncul kembali di ruang duduk itu, persis saat Steve mendengar
suara Jeannie. “Halo?” “Hai, Linda, ini Harvey,” ujarnya. “Steve, kaukah itu?”

“Ya, aku memutuskan untuk menginap di tempat Dad, rasanya sudah terlalu
malam untuk kembali.” “Demi Tuhan, Steve, kan nggak apa-apa?”

632

“Ada yang masih harus kuselesaikan, tapi aku bisa mengatasinya. Bagaimana
harimu, Manis?”

“Kami berhasil memboyongnya ke kamar hotel. Tidak mudah, tapi toh berhasil.
Lisa sudah berbicara dengan George Dassault Dia mau datang, jadi kita akan
punya tiga orang, setidaknya.”

“Bagus. Aku mau tidur sekarang. Sampai ketemu besok pagi. Manis, oke?”

“Hei, sukses, ya.”

“Kau juga Selamat malam.”

Berrington mengedipkan matanya. “Seru?”

“Asyik.”

Berrington mengeluarkan beberapa buah pil yang kemudian ia telan dengan


wiskinya. Melihat Steve melirik ke arah botol obatnya, ia berkata, “Dalmane.
Aku butuh sesuatu untuk tidur, setelah semua ini.”

“Malam, Dad.

Berrington meletakkan lengannya di pundak Steve. “Malam, Nak,” ujarnya.


“Jangan khawatir, semuanya akan beres nanti.”
Dia benar-benar mencintai putranya yang bajingan itu. pikir Steve; dan untuk
sesaat, entah mengapa, ia merasa bersalah telah membohongi seorang ayah yang
sedang mencurahkan kasihnya kepada putranya.

Kemudian ia menyadari bahwa ia tidak tahu di mana kamar tidurnya.

Ia meninggalkan ruang duduk itu, lalu menelusuri lorong yang ia perkirakan


akan menuju ke kamar-kamar tidur. Ia tidak tahu pintu mana yang membuka ke
kamar Harvey. Saat menoleh ke belakang, ia melihat bahwa Berrington tidak
dapat mengawasinya dari ruang duduk itu. Cepat-cepat ia membuka pintu
terdekat, sepelan mungkin.

Ternyata kamar mandi utama.

Ia menutupnya lagi dengan hati-hati.

633

Di sebelahnya ada sebuah ruangan penuh dengan handuk dan seprai.

la mencoba pintu di seberangnya. Sebuah kamar tidur besar dengan tempat tidur
untuk dua orang dan beberapa lemari pakaian. Sebuah setelan jas bergaris-
bergaris halus dalam kantong binatu tergantung di pegangan pintu. Harvey
tentunya tidak memiliki setelan seperti itu. Saat akan menutup kembali pintu itu,
ia dikejutkan oleh suara Berrington, persis di belakangnya. “Kau buluh sesuatu
dari kamarku?”

Tampangnya tentunya agak bersalah. Untuk sesaat ia tidak bisa menjawab. Aku
mesti bilang apa ? Kemudian kata-kata itu terlompat keluar dari mulutnya. “Aku
nggak punya apa-apa untuk tidur.”

“Sejak kapan kau pakai piama?” ujar Berrington. Nadanya entah curiga entah
cuma heran; Steve tidak dapat memastikannya.

Cepat-cepat ia berimprovisasi. “Siapa tahu Dad punya baju kaus yang besar.”

‘Tidak ada yang cukup buat pundakmu itu, Nak.” ujar Berrington, untungnya
sambil tertawa.

Steve angkat bahu. “Ya sudah.” Kemudian ia beranjak dari sana.


Di ujung lorong itu ada dua pintu, saling berseberangan: kamar Harvey, dan
kamar pelayan itu tentunya. Tapi yang mana?

Steve memperlambat langkahnya, sambil berharap Berrington segera masuk ke


kamarnya sendiri sebelum ia harus menentukan pilihan.

Begitu sampai di ujung lorong, ia menoleh ke belakang. Berrington sedang


mengawasinya.

“Malam, Dad,” ujarnya.

“Malam.”

Kanan atau kiri? Nggak tahu. Buka saja salah satu. Steve membuka pintu di
sebelah kanannya.

634

Ada sebuah baju rugbi di punggung kursi, CD Snoop Doggy Dog di tempat
tidur. Playboy di meja tulis Kamar seorang cowok. Terima kasih, Tuhan. la
melangkah masuk, lalu menutup pintu di belakangnya dengan tumitnya.

la menyandarkan tubuhnya pada daun pintu dengan perasaan lega.

Selang beberapa saat, ia membuka pakaiannya, lalu naik ke tempat tidur. Janggal
sekali rasanya berada di tempat tidur Harvey, di kamar Harvey, di rumah ayah
Harvey. Ia mematikan lampunya, kemudian berbaring sambil mendengarkan
suara-suara di rumah yang asing baginya itu. Untuk sesaat ia mendengar suara
langkah-langkah kaki, pintu-pintu ditutup, suara air, dan sesudah itu suasana
tempat itu sunyi.

Untuk sesaat ia terlena, kemudian tiba-tiba ia tersentak. Ada orang lain di dalam
kamar itu.

Tercium olehnya aroma parfum bernada bunga, yang berbaur dengan bau
bawang putih dan rempah-rempah, lalu ia melihat siluet mungil Marianne di
dekat jendela.

Sebelum ia dapat mengatakan apa-apa, gadis itu sudah naik ke tempat tidur.
Dalam nada lembut Steve berbisik, “Hei!” “Aku akan melayani Tuan seperti
yang Tuan suka,” ujar gadis itu, namun Steve dapat menangkap nada takut
dalam suaranya.

“Jangan,” ujar Steve sambil mendorongnya saat gadis itu menyusup ke bawah
selimutnya. Ternyata ia sudah dalam keadaan telanjang.

“Jangan sakiti aku malam ini, ‘Arvey,* ujar gadis ttu. Ia memiliki aksen Prancis.

Sieve mereka-reka. Marianne seorang imigran, dan Harvey telah membuatnya


begitu ketakutan, sehingga ia tidak hanya melakukan .apa pun yang diminta anak
muda itu, tapi juga mengantisipasi tuntutan-tuntutannya. Bisa-bisanya Harvey
memukuli gadis malang itu. semen—

635

tara ayahnya berada di kamar sebelah. Kemudian Steve ingat akan pil-pil tidur
itu. Berrington tidur begitu nyenyak, sehingga jeritan-jeritan Marianne tidak
membuatnya terbangun.

“Aku tidak akan menyakitimu, Marianne.” ujar Steve. “Tenanglah.”

Marianne mulai menciumi wajahnya. “Yang baik, yang baik, ya. Aku akan
lakukan segala yang kaumau, tapi jangan sakiti aku.”

“Marianne,” ujar Steve dalam nada berwibawa. “Diam.” - Marianne terenyak.

Steve merangkul pundak Marianne yang mungil. Kulitnya lembut dan hangat.
“Berbaringlah diam-diam dan tenangkan dirimu,” ujarnya sambil mengusap-
usap punggungnya. “Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku janji.”

Tubuh Marianne menegang, seakan mengharapkan pukulan, tapi sesudah itu


pelan-pelan ia lebih tenang. Ia mulai merapatkan tubuhnya pada Steve.

Steve merasa terangsang; ia tak dapat mencegahnya. Ia tahu bahwa ia dapat


merengkuh gadis itu dengan mudah. Berbaring di sana, sambil memeluk
tubuhnya yang mungil dan gemetaran, membuatnya amat tergoda. Tidak akan
ada yang tahu. Betapa asyiknya membelai tubuh gadis itu dan membangkitkan
gairahnya. Marianne akan tercengang dan senang sekali diperlakukan dengan
begitu lembut dan penuh pengertian. Mereka akan berciuman dan saling
menyentuh sepanjang malam.

Steve menghela napas. Tapi itu perbuatan tercela. Marianne tidak melakukannya
dengan suka rela. Rasa tidak aman dan takutlah yang membawanya ke tempat
tidur ini, bukan nafsunya. Oke, Steve, kau bisa menidurinya, tapi itu berarti kau>
mengeksploitasi seorang imigran yang ketakutan, yang memiliki keyakinan
bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain. Dan itu perbuatan

636

yang amat rendah. Kau akan membenci laki-laki yang tega melakukan itu.

“Kau sudah merasa lebih baik sekarang?” tanya Steve.

“Y-ya…”

“Kembalilah ke kamarmu sendiri, kalau begitu.”

Marianne menyentuh wajah Steve, lalu dengan lembut mencium bibirnya. Steve
tetap merapatkan bibirnya, namun ia menepuk-nepuk kepala Marianne dengan
cara bersahabat.

Marianne menatapnya dalam keremangan. “Kau bukan dia, kan?” ujarnya.

“Betul,” jawab Steve. “Aku bukan dia.”

Beberapa saat kemudian, Marianne meninggalkan kamar itu.

Steve masih merasa terangsang. Kenapa aku tidak seperti dia? Karena caraku
dibesarkan?

Tak mungkin.

” Aku bisa menidurinya. Aku bisa menjadi Harvey. Aku bukan dia karena aku
memilih untuk tidak menjadi dia. Orangtuaku tidak membuat keputusan itu tadi;
akulah yang melakukannya. Teruna kasih atas apa yang telah kalian lakukan
selama ini. Mom dan Dad, tapi itu tadi aku, bukan kalian, yang mengirim gadis
itu kembali ke kamarnya sendiri.

Berrington tidak membuat aku. Kalian tidak membuat aku.


Aku sendirilah vang membuat diriku.

637
SENIN
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader dimhad.co.cc) oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa hidup anda selamanya.

BAB 62

Steve tersentak bangun. Di mana aku? Seseorang mengguncang-guncang


tubuhnya, seorang laki-laki dalam piama bergaris. Berrington Jones. Untuk
sesaat Steve bingung, kemudian segalanya menjadi jelas lagi baginya.

“Kenakan pakaian yang baik untuk acara pertemuan pers itu, oke?” ujar
Berrington. “Di lemari pakaianmu ada kemejamu yang kautinggalkan di sini
beberapa minggu yang lalu. Marianne sudah mencucinya. Masuklah ke kamarku
untuk memilih dasi yang bisa kaupakai Berrington keluar.

Saat turun dari tempat tidur, Steve berpikir. Bemngton berbicara kepada putranya
seakan kepada seorang anak yang sulit diatur dan biasa membantah. Kata-kata
Jangan membantah, pokoknya lakukan saja mengembel-embeli setiap
ucapannya. Namun itu menjadikan situasinya lebih mudah untuk Steve. Ia cukup
menjawab dengan kalimat-kalimat pendek, sehingga risiko kedoknya akan
terbuka menjadi lebih kecil.

Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Dengan mengenakan pakaian dalam,


Steve menelusuri lorong, menuju kamar mandi. Ia mandi, kemudian bercukur, la
sengaja berlama-lama, untuk menunda sebisanya saat

641

saai ia harus mempertaruhkan keselamatannya dengan melibatkan diri dalam


perbincangan dengan Berrington.

Setelah melilitkan handuk di pinggangnya, ia pergi ke kamar Berrington, sesuai


dengan instruksi laki-laki itu. Ternyata Berrington tidak ada di situ. Steve
membuka lemari pakaiannya. Koleksi dasi Berrington ternyata cuma begitu-
begitu saja: garis-garis, bintik-bintik, bercorak, semuanya dari bahan sutra
mengilat dan ketinggalan zaman. Steve memilih satu, dengan pola garis-garis
horizontal lebar. Ia juga membutuhkan pakaian dalam. Ia memeriksa koleksi
celana pendek Berrington. Meskipun postur tubuhnya lebih tinggi daripada
Berrington. mereka toh memiliki ukuran pinggang yang sama. Steve mengambil
sepasang yang berwarna biru polos.

Setelah selesai berpakaian, ia menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan


berikutnya. Hanya beberapa jam lagi, lalu semuanya akan berakhir. Ia harus
berusaha meredam rasa curiga Berrington sampai siang ini, saat Jeannie akan
memotong acara konferensi pers itu.

Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian melangkah keluar.

Ia mengikuti aroma daging asap yang dibakar, menuju dapur. Marianne sedang
berdiri di muka kompor. Ia menatap Steve dengan mata terbeliak. Untuk sesaat
Steve menjadi panik: kalau Berrington sampai melihat ekspresi di wajahnya itu,
ia mungkin akan menanyakan apa yang tidak beres, dan gadis malang itu
tentunya akan begitu ketakutan, sehingga ia akan mengatakan apa adanya.
Namun Berrington sedang menonton acara CNN di sebuah pesawat televisi
kecil; selain itu, ia bukan tipe yang memperhatikan pelayannya.

Steve mengambil tempat duduk, sementara Marianne menuangkan kopi dan jus
untuknya. Ia tersenyum ke arah gadis itu, untuk menenangkan hatinya.

Berrington mengangkat tangannya untuk meminta

642

mereka agar tidak bersuara—sebetulnya tidak perlu, mengingat Steve tidak


berniat berbasa-basi—kemudian si penyiar TV membacakan berita mengenai
proses pengambilalihan Genetico. “Michael Madigan, Presiden Direktur
Landsmann North America, mengatakan tadi malam bahwa mereka sudah
menyelesaikan tahap akhir persepakatan proses pengambilalihan itu, dan
transaksinya akan ditandatangani di depan umum dalam suatu konferensi pers
yang akan diselenggarakan di Baltimore hari ini. Nilai saham-saham Landsmann
naik lima puluh pfennig di bursa saham Frankfurt tadi pagi. General Motors
diduga…”

Terdengar suara dering bel pintu. Berrington menekan tombol interkom. Sambil
melongok melalui jendela dapur, ia berkata, “Ada mobil polisi di luar.”
Tiba-tiba Steve didera oleh rasa takut. Andai kata Jeannie berhasil menghubungi
Mish Delaware dan mengungkapkan penemuannya tentang Harvey, boleh jadi
pihak kepolisian lalu memutuskan untuk menangkap Harvey. Dan akan sulit bagi
Steve untuk menyangkal - bahwa ia bukan Harvey Jones, saat ia sedang
mengenakan pakaian Harvey dan duduk di dapur ayah “Harvey, menikmati
blueberry muffin yang dihidangkan juru masak ayah Harvey.

Ia tak ingin kembali kc penjara.

Tapi itu belum seberapa. Kalau ia sampai ditahan sekarang, ia tak mungkin hadir
dalam acara konferensi pers itu. Dan kalau tak satu elone-pun muncul, Jeannie
hanya akan memiliki Harvey. Dan kalau yang hadir hanya satu di antara mereka,
tentunya tidak akan membuktikan apa-apa.

Berrington berdiri untuk membukakan pintu.

Steve berkata, “Bagaimana kalau mereka kemari untuk mencariku?”

Tampang Marianne berubah, seakan hidupnya akan berakhir.

643

Berrington berkata, “Akan kukatakan pada mereka bahwa kau tidak di sini.” Ia
meninggalkan ruangan itu.

Steve tidak dapat mengikuti percakapan yang berlangsung di ambang pintu


rumah. Ia cuma duduk terpaku di tempatnya tanpa menyentuh makanan ataupun
minumannya. Marianne berdiri seperti patung di muka kompornya, dengan
sebuah sendok kayu di tangan.

Akhirnya Berrington muncul kembali. “Tiga rumah di sekitar kita kemalingan


tadi malam,”- ujarnya. “Rupanya kita beruntung.”

Sepanjang malam Jeannie dan Mr. Oliver bangun secara bergiliran, yang satu
menjaga Harvey, sementara yang lain tidur, tapi mereka sama-sama tidak bisa
sungguh-sungguh beristirahat. Hanya Harvey yang tidur, mendengkur di balik
sumbat mulurnya.

Paginya, mereka bergantian menggunakan kamar mandi. Jeannie mengenakan


pakaian yang dibawanya dalam kopernya, sehelai baju putih dan rok hitam,
supaya ia bisa dikira seorang pelayan.

Mereka memesan sarapan untuk dimakan di kamar. Mereka tidak membiarkan


pelayan hotel masuk ke dalam kamar itu, karena ia akan melihat Harvey di
tempat tidur dalam keadaan terikat Oleh sebab itu, Mr. Oliver menandatangani
bonnya di pintu, sambil berkata. “Istriku sedang berpakaian, biar aku yang bawa
masuk kereta ini.”

Mr. Oliver memberikan segelas jus jeruk pada Harvey dengan mendekatkan
minuman itu ke mulurnya, sementara Jeannie berdiri di belakangnya, siap
memukul dengan linggisnya begitu Harvey mencoba bertingkah.

Jeannie menanti telepon dari Steve dengan hati waswas. Apa yang terjadi atas
dirinya? Steve telah melewatkan malam itu di rumah Berrington. Apakah ia
berhasil mempertahankan lakonnya?

Lisa mampir sebentar pada pukul sembilan, dengan

644

setumpuk copy pernyataan pers yang sudah ia siapkan, kemudian berangkat ke


bandara untuk menjemput George Dassault dan entah clone mana yang mungkin
akan muncul. Tak seorang pun di antara ketiga clone yang lain menghubungi
mereka.

Steve menelepon pada pukul setengah sepuluh. “Aku mesti cepat-cepat,”


ujarnya. “Berrington ada di kamar mandi sekarang. Semuanya oke, aku akan
hadir di konferensi pers itu bersamanya.”

“Dia tidak mencurigaimu sama sekali?”

“Tidak, meskipun aku sempat melewati beberapa saat yang menegangkan.


Bagaimana dengan kembaranku?”

“Terkendali.”

“Sudah dulu, ya?”

“Steve?”
“Apa!”

“Aku mencintaimu.” Jeannie menutup pesawatnya. Mestinya aku tidak


mengatakan itu. Seorang cewek mestinya jual mahal. Ah, peduli setan.

Pada pukul sepuluh, Jeannie melakukan peninjauan untuk mengecek situasi di


Regency Room. Ternyata tempat itu sebuah ruang pojok dengan lobi kecil dan
sebuah pintu menuju ruang sebelahnya. Seorang humas sudah berada di sana,
mengatur sebuah latar berlogo Genetico untuk disorot kamera televisi.

Jeannie berkeliling sebentar, kemudian kembali ke kamarnya.

Lisa menelepon dari bandara. “Gawat,” ujarnya. ‘Tenerbangan dari New York
bakal terlambat.”

“Astaga!” ujar Jeannie. “Bagaimana dengan yang lain? Kau sudah melihat si
Wayne atau Hank?”

“Belum.”

“Jam berapa pesawat yang ditumpangi George akan mendarat?”

“Sekitar pukul sebelas lewat tiga puluh.” “Mungkin masih keburu.”

645

“Aku akan ngebut sebisa-bisanya.”

Pada pukul sebelas, Berrington keluar dari kamar tidurnya sambil mengenakan
jas. Ia memakai setelan biru bergaris-garis halus putih, dengan sebuah vest di
atas sehelai kemeja putih bermanset gaya Prancis; agak kuno, tapi efektif. “Ayo
kita berangkat,” ujarnya.

Steve mengenakan jas Harvey dari bahan wol yang bermodel sportif. Benar-
benar pas, tentunya, dan mirip sekali dengan jas milik Steve sendiri.

Mereka melangkah keluar. Pakaian mereka agak terlalu tebal untuk cuaca hari
itu. Mereka masuk ke dalam mobil Lincoln perak Berrington, lalu menyalakan
AC. Mobil itu melesat cepat ke arah pusat kota. Steve merasa lega bahwa
Berrington tidak banyak bicara dalam perjalanan. Ia memarkir kendaraannya di
garasi hotel.

“Genetico memakai tenaga sebuah biro humas untuk menyelenggarakan acara


ini,” ujar Berrington saat mereka berada di dalam lift. “Bagian humas kita
sendiri belum pernah menangani acara sebesar ini.-‘

Saat mereka menuju Regency Room, seorang wanita dengan tata rambut yang
gaya, dalam setelan hitam, menyambut mereka. “Aku Caren Beamish dari Total
Communications,” ujarnya dalam nada penuh percaya diri. “Silakan ikut ke
ruang VIP.” Ia mengantar mereka ke sebuah ruangan kecil, di mana sudah
terhidang minuman dan makanan kecil.

Steve merasa agak gelisah; ia ingin meninjau tata letak ruang konferensi itu. Tapi
mungkin itu tidak akan mempengaruhi apa-apa. Selama Berrington masih
percaya bahwa ia Harvey, sampai Jeannie muncul, tidak ada hal lain yang
penting.

Di ruang VIP itu sudah ada enam atau tujuh orang lain, termasuk Proust dan
Barck. Bersama Proust berdiri seorang anak muda kekar dalam setelan hitam,
yang tampangnya seperti seorang pengawal pribadi. Berrington

646

memperkenalkan Steve pada Michael Madigan, presiden direktur Landsmann


North America.

Berrington menenggak segelas anggur putih dengan gugup. Steve ingin minum
martini, tapi ia harus tetap bersikap waspada dan tidak boleh lengah sedikit pun.
Ia melirik ke arah arloji yang diambilnya dari pergelangan tangan Harvey. Pukul
lima kurang dua belas. Tinggal beberapa menit lagi. Lalu semuanya akan
berakhir, dan baru setelah itulah aku bisa minum martini.

Caren Beamish menepukkan tangan untuk meminta perhatian dari yang hadir,
lalu berkata, “Tuan-tuan, sudah siap?” Orang-orang bergumam sambil
mengangguk. “Kalau begitu, semua kecuali yang berada di panggung
dipersilakan mengambil tempat masing-masing.”

Oke. Aku berhasil. Selesailah sudah.

Berrington menoleh ke arah Steve, lalu berkata, “See yau sooner, Montezuma.”
Ia menanti jawaban Steve.

“Oke,” jawab Steve.

Berrington tertawa. “Apa maksudmu, oke? Jawab dong terusannya!”

Tubuh Steve menjadi dingin. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud Berrington.
Mungkin itu semacam sandi khusus antara Berrington dan Harvey, seperti See
yau later, alligator. Jelas bahwa ada jawabannya, tapi tentunya bukan In a while,
crocodile. Lalu apa? Steve mengumpat dalam hati. Acara konferensi pers itu
sebentar lagi akan dibuka—ia harus bisa mempertahankan lakonnya sampai
beberapa detik lagi!

Berrington mengerutkan alisnya dengan bingung, sambil menatapnya.

Steve merasa keringat mulai membasahi dahinya.

“Masa kau lupa,” ujar Berrington, dan Steve melihat rasa curiga mulai
membayang di matanya.

“Tentu saja tidak,” sahut Steve cepat-cepat—terlalu cepat, karena tiba-tiba ia


menyadari bahwa ia sudah terjebak sekarang. *

647

Senator Proust mengalihkan perhatian ke arahnya. Berrington berkata. “Kalau


begitu, apa terusannya?” Steve melihat bahwa ia melirik ke arah pengawal
pribadi Proust, yang langsung mengambil ancang-ancang.

Dalam keadaan putus asa, Steve menjawab, “In an hour, Eisenhower.”

Untuk sesaat suasana hening.

Kemudian Berrington berkata, “Bagus sekali!” Lalu tertawa.

Steve lega. Jadi, itu permainannya: kau harus mencari jawaban baru setiap kali.
Ia mensyukuri nasibnya. Untuk menyembunyikan rasa leganya, ia menoleh ke
arah lain.

“Mari kita mulai,” ujar si petugas humas.


“Ayo kemari,” ujar Proust pada Steve. “Kau kan tidak mau muncul di
panggung.” Ia membuka sebuah pintu, dan Steve melewatinya.

Ia mendapati dirinya berada di dalam sebuah kamar mandi. Sambil memutar


tubuh, ia berkata, “Tapi ini…”

Pengawal pribadi Proust berada persis di belakangnya. Sebelum Steve


menyadari apa yang terjadi, laki-laki itu menghajarnya dengan keras. “Kau
berani buka mulut, akan kupatahkan lenganmu,” ancamnya.

Berrington melangkah masuk ke dalam kamar mandi itu, di belakang si


pengawal pribadi. Jim Proust mengikutinya, lalu menutup pintu.

Si pengawal mencengkeram anak muda itu kuat-kuat.

Berrington betul-betul marah. “Kau anak kurang ajar,” desisnya. “Yang mana
kau? Steve Logan, tentunya.”

Si anak muda mencoba mempertahankan lakonnya. “Dad, ada apa sih?”

“Sudahlah, permainanmu sudah selesai. Mana anakku?”

Si anak muda tidak menjawab.

Jim berkata, “Berry, ada apa sebetulnya?”

648

Berrington berusaha menguasai diri. “Anak muda ini bukan Harvey,” ujarnya
pada Jim. “Dia salah satu kembarannya. Sepertinya si Logan. Rupanya dia pura-
pura menjadi Harvey sejak kemarin malam. Harvey sendiri tentunya mereka
tahan entah di mana.”

Wajah Jim memucat- “Itu berarti apa yang dia ceritakan pada kita mengenai
rencana Jeannie Ferrami tidak benar!”

Berrington mengangguk dengan geram. “Mungkin dia sudah merencanakan


untuk mengacaukan acara konferensi pers ini.”

“Sial, mudah-mudahan tidak di depan kamera-kamera itu!” umpat Proust.


“Itu yang akan kulakukan kalau aku jadi dia—ya, kan?”

Proust berpikir sebentar. “Apa Madigan bisa terpengaruh?”

Berrington menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tidak tahu. Bakal konyol sekali


kalau dia membatalkan proses pengambilalihan itu pada saat-saat terakhir begini.
Di pihak lain, akan lebih konyol lagi kalau dia membayar seratus delapan puluh
juta dolar untuk sebuah perusahaan yang akan dituntut habis-habisan. Entah apa
pilihannya.”

“Kalau begitu, kita harus mencari Jeannie Ferrami dan berusaha


menghentikannya!”

“Mungkin dia menginap di hotel ini.” Berrington menyambar pesawat telepon


yang terletak di sebelah kloset kamar mandi itu. “Aku Profesor Jones,
penyelenggara acara konferensi pers untuk Genetico di Regency Room,” ujarnya
dalam nada berwibawa. “Kami sedang menanti kehadiran Dr. FetTami… di
kamar nomor berapa dia menginap?”

“Maaf, tapi kami tidak boleh memberikan nomor kamar tamu-tamu kami. Sir.”
Amarah Berrington nyaris meledak, saat suara itu menambahkan, “Bagaimana
kalau kami yang menyambungkan Anda dengan kamarnya?”

649

“Ya, baik.” Berrington mendengar nada panggil itu. Setelah menunggu sebentar,
ia dijawab oleh seorang laki-laki yang kedengarannya sudah berumur. Sambil
berimprovisasi, Berrington berkata, “Cucian Anda sudah siap, Mr. Blenkinsop.”

“Aku tidak punya cucian.”

“Oh, maaf, Sir—Anda di kamar nomor berapa?” Berrington menahan napas.


“Delapan dua satu.”

“Aku harus menghubungi kamar delapan satu dua. Mohon maaf.”

“Tidak ada masalah.”

Berrington menutup pesawatnya. “Mereka berada di kamar delapan dua satu,”


ujarnya dalam nada antusias. “Aku berani bertaruh bahwa Harvey ada di situ.”
Proust berkata, “Acaranya akan segera dimulai.”

“Wah. mungkin sudah terlambat.” Berrington tampak ragu dan bingung. Ia tidak
ingin acara itu sampai tertunda, biarpun hanya untuk sesaat, tapi ia harus
berusaha mencegah entah apa yang sudah direncanakan oleh Jeannie. Selang
beberapa saat, ia berkata kepada Jim. “Bagaimana kalau kau duduk di panggung
bersama Madigan dan Preston? Aku akan berusaha sebisanya untuk menemukan
Harvey dan menghentikan Jeannie Ferrami.”

“Oke.”

Berrington melayangkan matanya ke arah Steve. “Aku akan merasa lebih


mantap kalau bisa mengajak orang sekuritimu bersamaku. Tapi kita tidak bisa
membiarkan Steve lepas.”

Si pengawal berkata, “Itu bukan masalah, Sir. Aku bisa memborgolnya di sebuah
pipa.” “Bagus. Lakukan itu.”

Berrington dan Proust kembali ke ruang VIP. Madigan menatap dengan penuh
rasa ingin tahu ke arah mereka. “Ada masalah, Tuan-tuan?”

650

Proust berkata, “Cuma soal sekuriti, Mike. Berrington yang akan


membereskannya, sementara mulai saja acaranya.”

Madigan rupanya tidak puas mendengar jawaban itu. “Sekuriti?”

Berrington berkata, “Seorang wanita yang kupecat minggu lalu, Jeannie Ferrami,
ada di hotel ini sekarang. Mungkin dia akan mengacau, tapi aku akan berusaha
mencegahnya.”

Ternyata itu cukup. “Oke, ayo kita mulai.”

Madigan, Barck, dan Proust menuju ruang konferensi. Si pengawal pribadi


keluar dari kamar mandi. Berrington bergegas ke arah lorong bersamanya, lalu
menekan tombol untuk memanggil lift. Berrington tampak gelisah. Ia bukan tipe
yang suka beradu kekuatan fisik. Ajang baku hantamnya biasanya berlangsung
dalam bentuk adu kelihaian dalam komite-komite perguruan tinggi, la berharap
tidak perlu terlibat dalam perkelahian fisik.
Mereka menuju lantai delapan, kemudian lari ke kamar delapan dua satu.
Berrington mengetuk pintunya. Seorang laki-laki menjawab dari dalam, “Siapa
itu?”

Berrington menjawab, “Bagian rumah tangga.”

“Kami tidak apa-apa, terima kasih.”

“Aku harus mengecek kamar Anda, Sir.”

“Kembalilah nanti.”

“Ada masalah, Sir.”

“Aku sibuk sekarang. Kembalilah sejam lagi.”

Berrington menoleh ke arah si pengawal. “Kau bisa tendang pintu ini sampai
jebol?”

Laki-laki itu tampak senang, kemudian ia melayangkan matanya melalui pundak


Berrington, dan kelihatan ragu. Berrington mengikuti pandangannya, lalu
melihat sepasang suami-istri yang sudah tua dengan kantong-kantong belanjaan
melangkah keluar dari lift. Mereka berjalan pelan-pelan menelusuri lorong,
menuju ke arah

kamar delapan dua satu Berrington menunggu sementara mereka lewat. Mereka
berhenti di muka kamar delapan tiga puluh. Si suami meletakkan kantong
belanjaannya, mencari kunci, dengan susah payah memasukkannya ke
lubangnya, lalu membuka pintu. Akhirnya pasangan itu menghilang ke dalam
kamar mereka.

Si pengawal pribadi menendang pintu.

Kusen pintu itu retak, tapi pintunya masih bertahan. Terdengar suara langkah-
langkah kaki dari dalam.

Ia menendang sekali lagi. Pintu itu pun terbuka.

Ia segera masuk ke dalam, diikuti Berrington.


Langkah mereka terhenti melihat seorang laki-laki tua kulit hitam
mengacungkan sebuah pistol antik tua ke arah mereka.

“Angkat tangan, tutup pintu itu, lalu masuk sini dan tiaraplah di situ, atau
kutembak kalian sampai mati,” ujar laki-laki itu. “Mengingat cara kalian masuk
ke sini, tidak seorang juri pun di Baltimore akan menyalah kanku kalau aku
membunuh kalian.”

Berrington mengangkat kedua tangannya.

Tiba-tiba sebuah sosok melesat dari tempat tidur. Berrington masih sempat
melihat bahwa itu adalah Harvey, dengan pergelangan tangan diikat” dan
semacam bekap di mulurnya. Laki-laki itu mengalihkan pistol ke arahnya.
Berrington khawatir putranya akan kena tembak, la berteriak “Jangan’.”

Gerakan si pak tua kurang cepat. Harvey berhasil menjatuhkan pistol dari
tangannya. Si pengawal langsung melompat untnk menyambarnya dari karpet.
Sambil berdiri, pengawal itu mengacungkannya ke arah si pak tua.

Berrington bisa bernapas lagi.

Si pak tua mengangkat lengannya ke atas pelan-pelan.

Si pengawal mengangkat pesawat telepon kamar itu. “Minta sekuriti hotel ke


kamar delapan dua satu,” ujar—

652

nya. “Ada seorang tamu yang membawa senjata api di sini.”

Berrington melayangkan matanya ke sekeliling kamar itu. Ia tidak melihat


Jeannie.

Jeannie keluar dari lift, mengenakan baju putih dan rok hitam, sambil membawa
sebuah baki berisi teh yang ia pesan sebelumnya untuk diantar ke kamarnya.
Jantungnya berdebar-debar. Sambil melangkah dengan sigap, ia memasuki
Regency Room.

Di ruang lobinya* yang kecil, dua wanita dengan sebuah daftar duduk di
belakang meja. Seorang petugas sekuriti yang berdiri di dekat meja itu sedang
mengobrol dengan mereka. Rupanya orang tidak bisa masuk ke dalam tanpa
undangan, tapi Jeannie yakin mereka tidak akan mencegat seorang pelayan yang
membawa baki. Ia memaksakan diri tersenyum ke arah si penjaga saat menuju
pintu masuk ruang konferensi itu.

“Hei’” seru laki-laki itu.

Jeannie menoleh.

“Kan ada banyak kopi dan minuman lain di dalam sana.”

“Ini teh jasmine, ada yang pesan.” “Siapa?”

Jeannie segera memutar otak. “Senator Proust” Ia berharap laki-laki itu memang
di situ. “Oke, silakan.”

Jeannie tersenyum lagi. membuka pintunya, lalu masuk ke dalam.

Di sisi lain ruangan itu, tiga laki-laki dalam setelan jas duduk di belakang sebuah
meja yang terletak di atas panggung. Di muka mereka terdapat setumpuk berkas.
Satu di antara mereka sedang berpidato. Yang hadir terdiri atas sekitar empat
puluh orang dengan bloknot, kaset-kaset kecil, dan kamera televisi genggam.

Jeannie melangkah maju. Berdiri di sebelah panggung,

653

tampak seorang wanita dalam setelan hitam dan kacamata bermerek-Ia memakai
sebuah badge bertulisan:

CAREN BEAMISH Total Communications!

Ternyata si humas yang ia lihat sebelumnya mengatur latar untuk acara itu.
Wanita itu menatap Jeannie dengan heran, tapi tidak berusaha menghentikannya;
tentunya ia mengira seseorang memang telah memesan sesuatu secara khusus.

Orang-orang yang berada di panggung itu memakai kartu nama di dada mereka.
Jeannie mengenali Senator Proust yang duduk di sebelah kanan. Di sebelah kiri
duduk Preston Barck. Yang di tengah, yang sedang berbicara, adalah Michael
Madigan. “Genetico bukan sekadar sebuah perusahaan bioteknologi yang amat
menjanjikan,” ujarnya dalam nada membosankan.

Jeannie tersenyum sambil meletakkan bakinya di depan laki-laki itu. Ia tampak


tercengang, dan untuk sesaat berhenti berbicara.

Jeannie berpaling ke arah para hadirin. “Aku akan membuat suatu pernyataan
khusus,” ujarnya.

Steve duduk di lantai dengan tangan kiri diborgol ke pipa pembuangan air
wastafel kamar mandi. Ia sangat marah, sekaligus putus asa. Berrington berhasil
membuka kedoknya hanya beberapa detik sebelum waktunya berakhir. Kini ia
sedang mencari Jeannie, dan mungkin akan menghancurkan seluruh rencananya
begitu ia berhasil menemukannya. Steve harus dapat melepaskan diri untuk
mengahari Jeannie.

Bagian atas pipa itu bersambung dengan tempat pembuangan air wastafel.
Ujungnya membentuk huruf S, kemudian menghilang ke dalam dinding. Setelah

654

mengubah posisi tubuhnya, Steve menjejakkan kaki pada pipa itu, kemudian
mengayunkan kakinya ke belakang dan menendang. Seluruh sistemnya bergetar,
la menendang sekali lagi. Plesteran semen di sekitar tempat pipa itu masuk ke
dalam dinding mulai retak. Ia menendang beberapa kali lagi. Plesterannya mulai
rontok, namun pipa itu ternyata tertanam kuat.

Dalam keadaan frustrasi, ia mempelajari di mana persisnya pipa itu bersambung


dengan wastafelnya. Mungkin sambungannya lebih lemah. Ia mencengkeram
pipa itu dengan kedua tangannya, lalu mulai menggoyang goyangnya sekuat
tenaga. Sekali lagi segalanya bergetar, tapi selain itu tidak ada yang terjadi.

Ia mengalihkan perhatiannya ke lengkungan yang membentuk huruf S itu. Ia


melihat sebuah ring, persis di atas lengkungan tersebut. Steve tahu bahwa tukang
ledeng biasanya memutar itu saat akan membersihkan lengkungan tersebut
dengan sebuah alat. Steve mencengkeram ring itu dengan tangan kirinya kuat-
kuat, lalu berusaha memutarnya. Pegangannya melejit, sehingga tinjunya
tergesek pada permukaan dinding.

Ia mengetuk-ngetuk bagian bawah wastafel itu. Ternyata terbuat dari semacam


marmer, lumayan keras. Ia mempelajari lagi tempat pipa itu bersambung dengan
wastafel. Kalau ia dapat merusaknya, mungkin ia dapat mencabut pipa itu dari
sana. Sesudah itu dengan mudah ia dapat meluncurkan borgolnya melalui
ujungnya, dan akhirnya bebas.

Ia mengubah posisinya, mengayunkan kakinya ke belakang, kemudian mulai


menendang lagi.

Jeannie berkata, “Dua puluh tiga tahun yang lalu, Genetico melakukan beberapa
eksperimen ilegal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas diri delapan
orang wanita Amerika, di luar sepengetahuan mereka.” Napasnya mulai
memburu, dan ia berusaha sebisanya untuk

655

r—

berbicara senormal mungkin, dengan memusatkan seluruh perhatian pada


suaranya. “Mereka adalah istri-istri perwira militer.” Ia mencari Steve di antara
para hadirin, namun tidak melihatnya. Di mana dia? Seharusnya ia ada di sini,
untuk membuktikan kebenaran ucapannya.

Caren Beamish berkata dalam nada terguncang, “Ini bukan acara untuk umum.
mohon segera meninggalkan tempat ini.”

Jeannie mengabaikan peringatan itu. “Wanita-wanita ini mengunjungi klinik


Genetico di Philadelphia untuk menjalani perawatan kesuburan.” Ia membiarkan
amarahnya tampak. “Tanpa seizin mereka, kandungan mereka ditanami embrio
dari orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal.”

Terdengar gumaman dari antara kerumunan para jurnalis. Mereka tertarik, pikir
Jeannie.

Ia menaikkan volume suaranya. “Preston Barck, yang sebetulnya dianggap


seorang ilmuwan yang bertanggung jawab, ternyata begitu terobsesi dengan
proses cloning yang dirintisnya, sehingga dia membelah sebuah embrio sampai
tujuh kali, menghasilkan delapan embrio yang identik, yang kemudian
ditanamkannya ke dalam kandungan delapan orang wanita, tanpa sepengetahuan
mereka.”

Jeannie melihat Mish Delaware duduk di belakang, mengikuti pembicaraannya


dengan wajah geli. Tapi Berrington tidak berada di dalam ruangan itu. Ini aneh,
dan meresahkan.

Di panggung, Preston Barck berdiri, lalu berkata, “Para hadirin, aku mohon
maaf. Kami memang sudah mengantisipasi adanya gangguan seperti ini.”

Jeannie melanjutkan, “Skandal ini berhasil mereka rahasiakan selama dua puluh
tiga tahun. Ketiga pelakunya—Preston Barck, Senator Proust, dan Profesor
Berrington Jones—telah mengupayakan segalanya untuk menutupinya,
sebagaimana dapat kukatakan berdasarkan suatu pengalaman pahit.”

656

Caren Beamish meraih pesawat interkom hotel. Jeannie dapat mendengar ia


berkata, “Tolong panggil pihak sekuriti ke sini sekarang juga.”

Di bawah bakinya, Jeannie membawa sejumlah copy pernyataan pers yang telah
ia tulis dan sudah diperbanyak oleh Lisa. “Detail-detailnya ada di selebaran ini,”
ujarnya, sambil mulai membagi-bagi dan terus berbicara. “Kedelapan embrio itu
tumbuh dan kemudian dilahirkan. Tujuh di antara mereka masih hidup saat ini.
Anda akan mengenali mereka, karena tampang mereka semua mirip satu sama
lain.”

Dari ekspresi wajah para jurnalis itu, ia tahu bahwa ia berhasil mencapai
tujuannya. Saat melirik ke arah panggung, terlihat olehnya wajah Proust yang
gelap menahan amarah dan Preston Barck yang tampak seakan mau mati.

Sekitar waktu ini, Mr. Oliver seharusnya masuk bersama Harvey, sehingga
semua akan melihat bahwa tampangnya persis seperti Steve, dan mungkin juga
George Dassault. Tapi tak seorang pun di antara ketiga orang itu tampak. Gawat!

Jeannie masih terus berbicara, “Anda tentunya akan menganggap bahwa mereka
kembar—nyatanya DNA mereka memang identik—tapi mereka lahir dari
delapan ibu yang berbeda. Aku mendalami soal kekembaran, dan teka-teki
mengenai orang-orang kembar yang ternyata memiliki ibu berlainan ini
merupakan awal dari pelacakanku untuk menyingkapkan kisah yang amat
memprihatinkan ini.”

Pintu belakang ruangan itu terbuka tiba-tiba. Jeannie mengangkat wajah, dengan
harapan akan melihat salah seorang clone. Tapi ternyata Berrington-lah yang
masuk. Dengan terengah-engah, seakan habis berlari, Berrington berkata, “Para
hadirin, nona ini menderita gangguan jiwa, dan belum lama ini baru dipecat dari
pekerjaannya. Dia seorang peneliti dalam sebuah proyek yang didanai

657

oleh Genetico dan menaruh dendam pada perusahaan ini. Pihak sekuriti hotel
baru saja menahan rekannya di lantai lain. Mohon sahar sementara mereka
mengawal orang ini keluar dari sini, sesudah itu kita dapat melanjutkan acara
knnferensi pers kita.”

Jeannie berada dalam situasi terjepit sekarang. Mana Mr. Oliver dan Harvey?
Dan apa yang terjadi atas diri Steve? Penampilan dan selebarannya tidak akan
ada artinya tanpa bukti. Ia hanya memiliki beberapa detik lagi saat ini. Ada
sesuatu yang amat tidak beres rupanya. Entah bagaimana caranya, Berrington
berhasil mengacaukan rencananya.

Seorang petugas sekuriti dalam pakaian seragam memasuki ruangan itu, lalu
berbicara dengan Berrington.

Dalam keadaan putus asa, Jeannie berpaling ke arah Michael Madigan. Wajah
laki-laki itu suram sekali. Rupanya ia tipe laki-laki yang tidak suka kalau
acaranya yang sudah diatur dengan mulus terganggu. Namun demikian, Jeannie
toh mencobanya. “Berkas-berkas itu rupanya sudah ada di hadapan Anda, Mr.
Madigan,” ujarnya. “Apakah tidak lebih baik kalau Anda mengecek lebih dahulu
kebenaran cerita ini, sebelum Anda menandatanganinya? Seandainya ucapanku
benar, bayangkan berapa banyak uang yang akan dituntut oleh kedelapan wanita
itu!”

Dengan tenang Madigan berkata, “Bukan kebiasaanku untuk membuat


keputusan bisnis berdasarkan masukan yang kuperoleh dari penderita gangguan
jiwa.”

Para jurnalis tertawa, dan Berrington mulai tampak lebih percaya diri. Si petugas
sekuriti menghampiri Jeannie.

Jeannie berkata kepada yang hadir, “Semula aku berharap dapat menunjukkan
kepada Anda sekalian dua atau tiga di antara para clone itu, sebagai bukti.
Tapi… mereka rupanya berhalangan hadir.”
Para reporter itu tertawa lagi, dan Jeannie menyadari

658

bahwa ia mulai menjadi bahan lelucon. Berakhir sudah segalanya, dan ia


terpaksa menyerah kalah.

Si petugas mencengkeram lengannya, lalu menariknya ke arah pintu. Sebetulnya


ia dapat memberikan perlawanan, tapi untuk apa?

Ia lewat di muka Berrington dan melihat laki-laki itu tersenyum. Ia merasa air
mata mulai merambah di matanya, namun ia berusaha menahannya sambil
menegakkan kepala. Persetan dengan kalian semua, umpatnya dalam hati; kelak
kalian akan tahu bahwa apa yang kukatakan itu benar.

Di belakangnya, ia mendengar Caren Beamish berkata, “Mr. Madigan, kalau


Anda tidak berkeberatan meneruskan sambutan Anda?”

Pada saat Jeannie dan si petugas sampai di pintu, tiba-tiba pintu itu membuka
dan Lisa muncul.

Jeannie menahan napas begitu merih.it salah seorang clone, persis di belakang
Lisa.

Laki-laki itu pasti George Dassault. Ternyata ia datang! Tapi seorang saja tidak
cukup—ia membutuhkan dua orang untuk menguatkan ceritanya. Andai kata
Steve muncul, atau Mr. Oliver bersama Harvey!

Kemudian, sama sekali di luar dugaannya, ia melihat clone yang kedua


melangkah masuk. Tentunya ini Henry King, la mengguncang-guncang lengan si
petugas sekuriti. “Lihat!” serunya. “Lihat itu!”

Sementara ia mengatakan itu, clone ketiga melangkah masuk. Dari rambutnya


yang hitam, ia tahu bahwa itu Wayne Stattner.

“Lihat!” teriak Jeannie. “Ini mereka! Mereka benar-benar persis sama!”

Semua kamera yang semula disorotkan ke arah panggung kini dialihkan ke


pendatang-pendatang baru itu Lampu-lampu blitz menyala saat para fotografer
mulai mengabadikan peristiwa itu.
“Aku sudah bilang pada kalian!” seru Jeannie dengan

659

penuh antusias kepada para jurnalis itu. “Sekarang tanyakan pada mereka
tentang orangtua mereka. Mereka bukan kembar tiga. Ibu-ibu mereka tidak
mengenal satu sama lain! Tanyakan pada mereka. Ayo, tanyakan!”

Jeannie menyadari bahwa ia terlalu antusias, dan ia berusaha menenangkan diri.


Ternyata tidak mudah. Ia merasa begitu bahagia. Beberapa reporter mulai maju
menghampiri ketiga clone itu, untuk menanyai mereka. Si petugas sekuriti
mencengkeram lengan Jeannie kembali, tapi kini Jeannie berada di tengah-
tengah kerumunan orang, dan tidak dapat bergerak ke mana-mana.

Di latar belakang, ia dapat mendengar suara Berrington yang berusaha mengatasi


suasana heboh itu. “Para hadirin, mohon perhatian Anda!” Nadanya semula
terdengar marah, namun kemudian lebih di sabar sabarkan “Kami akan
melanjutkan acara konferensi pers ini!” Ternyata percuma. Para pelacak berita
itu telah mengendus cerita yang lebih menarik. Mereka tidak berminat lagi
mendengarkan pidato-pidato itu.,.

Melalui sudut matanya, Jeannie melihat Senator Proust diam-diam menyelinap


keluar, meninggalkan ruangan itu.

Seorang anak muda menyodorkan mikrofon ke arahnya, lalu bertanya, “Dari


mana Anda tahu mengenai eksperimen-eksperimen ini?”

Jeannie menjawab, “Namaku Dr. Jean Ferrami, dan aku seorang ilmuwan di
Jones Falls University, di departemen psikologi. Saat melakukan penelitian, aku
menemukan grup kembar ini, yang sepertinya identik, tapi ternyata sama sekali
tidak memiliki hubungan keluarga. Aku mulai melakukan penyelidikan
Berrington Jones mencoba memecatku untuk mencegah aku menemukan apa
yang selama ini mereka rahasiakan. Namun aku malah menemukan bahwa para
clone itu adalah hasil dari suatu eksperimen kemiliteran yang pernah dilakukan
Genetico.” Ia melayangkan mata ke sekelilingnya.

660

Di mana Steve?
Steve menendang sekali lagi, dan pipa pembuangan itu akhirnya jebol dari
bagian bawah wastafel. Semen dan serpihan marmer berhamburan. Setelah
mengangkat pipa itu dan menariknya dari wastafel, ia melungsurkan borgolnya
melalui celah yang terbentuk. Begitu bebas, ia langsung berdiri.

Ia memasukkan tangan kirinya ke saku untuk menyembunyikan borgol yang


menggelayut dari pergelangan tangannya, kemudian ia keluar dari kamar mandi
itu.

Ruang VIP itu sekarang kosong.

Tidak yakin di mana letak ruang konferensi, ia melangkah ke arah lorong.

Di sebelah ruang VIP terdapat sebuah pintu bertulisan Regency Room. Di ujung
lain lorong itu berdiri salah satu kembarannya, menunggu lift.

Siapa dia? Laki-laki itu menggosok-gosok pergelangan tangannya, seakan-akan


pegal bekas diikat, dan ada memar merah melintang di kedua pipinya, seperti
bekas dibebat kuat-kuat. Ini pasti Harvey, yang telah melewatkan malam ini
dalam keadaan terikat.

Harvey mengangkat wajahnya, lalu melihat Steve.

Mereka berpandangan selama beberapa saat. Kesannya seperti melihat ke dalam


cermin. Steve mencoba melihat pribadi di balik penampilan luar Harvey, dengan
membaca ekspresi di wajahnya, kemudian terus menembus ke dalam hatinya,
untuk memastikan apa sebetulnya yang membuatuya begitu jahat. Ternyata ia
tidak berhasil. Yang tampak cuma seorang laki-laki dengan wajah persis seperti
dirinya, yang telah menempuh jalan yang sama, namun di tikungan mengambil
arah berbeda.

Ia mengalihkan perhatiannya dari Harvey, lalu segera menuju Regency Room.

Suasananya kacau sekali. Jeannie dan Lisa berada di tengah-tengah kerumunan


sejumlah juru kamera. Ia

661

melihat seorang, bukan… dua, tidak… tiga clone bersama mereka. Ia menerobos
kerumunan itu sambil berseru, “Jeannie’.’*
Jeannie menengadah ke arahnya, ekspresi di wajahnya tidak terbaca.

“Aku Steve!” seru Steve.

Mish Delaware berdiri di sebelah Jeannie.

Steve berkata kepada Mish, “Kalau Anda mencari Harvey, dia ada di luar,
menunggu lift.”

Mish berkata kepada Jeannie. “Kau bisa bedakan yang mana dia?”

“Tentu,” ujar Jeannie sambil menatap Steve dan berkata, “Aku juga bisa main
tenis sedikit.”

Steve tertawa. “Kalau kau cuma bisa main tenis sedikit, kau bukan
tandinganku.”

“Terima kasih. Tuhan!” ujar Jeannie. Ia segera memeluk Steve. Anak muda itu
tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Jeannie untuk
menciumnya.

Mereka segera dikerubuti oleh kamera, lampu-lampu blitz menyala, dan foto
itulah yang menghias halaman muka surat-surat kabar di seluruh dunia pada hari
berikutnya.

662
BULAN JUNI BERIKUTNYA
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader dimhad.co.cc) oleh:

Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa hidup anda selamanya.

BAB 63

Forest Lawns amat mengingatkan akan sebuah hotel tempo dulu yang
bersuasana ramah. Dengan dinding-dinding dilapis kertas bercorak bunga-bunga,
pernak-permk porselen dalam lemari-lemari kaca, dan meja-meja berkaki
ramping di sana-sini. Harum rangkaian potpourri memenuhi tempat itu, bukan
disinfektan, dan para anggota stafnya memanggil ibu Jeannie dengan Mrs.
Ferrami, bukan Maria atau dear. Mom menempati sebuah kamar suite kecil,
dengan sebuah ruang duduk mungil, tempat tamu-tamunya dapat duduk dan
minum-minum teh.

“Ini suamiku, Mom,” ujar Jeannie. Steve tersenyum sesimpatik mungkin sambil
mengulurkan tangan.

“Gagah sekali,” ujar Mom. “Apa pekerjaanmu, Steve?” “Aku mahasiswa


fakultas hukum.” “Hukum. Itu karier yang bagus.” Ada saat-saat pikiran terang
Mom menyelingi periode-periode bingungnya yang semakin panjang.

Jeannie berkata, “Daddy menghadiri upacara perkawinan kami.”

“Bagaimana kabar ayahmu?”

“Dia baik-baik saja. Dia sudah terlalu tua untuk merampok orang-orang, karena
itu dia malah memberikan perlindungan kepada mereka sekarang. Dia memiliki
perusahaan jasa sekuriti sendiri. Dan sepertinya lumayan maju.”

665

“Sudah dua puluh tahun aku tidak melihatnya.”

“Tapi Mom kan sudah bertemu dengannya. Dia mengunjungi Mom Tapi Mom
tidak ingat.” Jeannie segera mengubah topik percakapan mereka. “Mom
kelihatan segar.” Ibu Jeannie mengenakan gaun panjang manis dari bahan katun,
dengan corak garis halus. Rambutnya tertata rapi, dan kukunya tampak terawat.
“Mom suka di sini? Lebih menyenangkan daripada di Belia Vista, bukan?”

Wajah Mom mulai tampak waswas. “Bagaimana kita akan membayar semua ini,
Jeannie? Aku tidak punya uang.”

“Aku punya pekerjaan baru. Mom. Aku mampu membayarnya.”

“Pekerjaan sebagai apa?”

Jeannie tahu bahwa ibunya tidak akan mengerti, tapi ia tph mengungkapkannya.
“Aku pimpinan Genetics Research di sebuah perusahaan besar bernama
Landsmann.” Michael Madigan menawarkan pekerjaan itu kepadanya setelah
seseorang memberikan penjelasan mengenai riset yang ditekuninya selama ini.
Gajinya tiga kali lebih banyak daripada yang diperolehnya di Jones Falls. Dan
yang membuatnya lebih antusias lagi adalah pekerjaannya merupakan ujung
tombak seluruh kegiatan dalam bidang riset genetjka

“Bagus sekali,” ujar Mom. “Oh! Sebelum aku lupa, ada sebuah foto dirimu di
koran. Aku menyimpannya.” la merogoh isi tas tangannya, lalu mengeluarkan
sehelai potongan koran. Ia membuka lipatannya, lalu menyodorkannya ke arah
Jeannie.

Jeannie sudah pernah melihat gambar itu, namun ia mengamatinya seakan baru
pertama kali melihatnya. Foto itu menggambarkan dirinya dalam suatu kongres
untuk menyidangkan kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan di Aventine
Clinic. Hasil laporannya belum disebarluaskan secara resmi, tapi isinya sudah
bisa diperkirakan. Sidang pemeriksaan atas Jim Proust, yang

666

disiarkan melalui jaringan televisi nasional, ternyata amat menghebohkan. Proust


berusaha menyangkal sekeras-kerasnya, tapi semakin banyak ia berbicara,
semakin terbuka masalahnya. Setelah sidangnya berakhir, ia mengundurkan diri
sebagai senator.

Berrington Jones tidak diperkenankan mengundurkan diri dari Jones Falls. Ia


dipecat oleh komite penerapan disiplin. Jeannie mendengar bahwa ia sudah
pindah ke California, dan hidup dari tunjangan kecil yang diperolehnya dari
mantan istrinya.
Preston Barck mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pimpinan Genetico,
yang dilikuidasi untuk membayar uang kompensasi pada kedelapan wanita yang
melahirkan para clone itu. Suatu jumlah yang lumayan juga disisihkan untuk
membayar biaya konsultasi, untuk membantu masing-masing clone mengatasi
dilema yang sedang mereka hadapi.

Harvey Jones dihukum selama lima tahun, dengan tuntutan sengaja


menimbulkan kebakaran dan melakukan tindak pemerkosaan.

Mom berkata, “Menurut koran, kau harus memberikan kesaksian. Kau tidak
terlibat masalah, bukan?”

Jeannie dan Steve bertukar pandang sambil tersenyum “Ya, selama seminggu, di
bulan September yang lalu. Mom. Tapi semuanya kemudian berakhir dengan
baik.”

“Itu bagus.”

Jeannie berdiri. “Kami harus berangkat sekarang. Kami sedang berbulan madu,
dan harus mengejar pesawat.” “Ke mana kalian pergi?”

“Ke sebuah tempat peristirahatan kecil di Kepulauan Karibia. Kata orang, itu
tempat terindah di dunia.”

Steve menjabat tangan Mom, dan Jeannie memberikan kecupan selamat tinggal
kepadanya.

“Selamat berlibur. Manis.” seru Mom saat mereka pergi. “Kau layak
mendapatkannya.”

667

r—

s~-tf^can dan didJvu-kaniI^^—v ditnhader (dimhad.co.cc) o\eYu ‘


OBI
Salam buat dimhad-paiigcu, stilm blisc, kangzusi «¦keluarga, otoy dengan
kameranya, syaiKff 0e,«a” lKmaold.wordpress.com -,iya, grafit»*™ sciiuia
duiiliadcr

DUarail« «»e.,g-ko.,iersil-lain *<«” kcslabW

mciiimpii anda.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka yang namanya
tercantum di bawah ini, atas bantuan mereka dalam riset untuk buku The Third
Twin ini:

Di Baltimore City Police: Letnan Frederic Tabor, Letnan Larry Leeson, Sersan
Sue Young, Detektif Alexis Russell, Detektif Aaron Stewart, Detektif Andrea
Nolan. Detektif Leonard Douglas;

Dl Baltimore County Police: Sersan David Moxley dan Detektif Karen Gentry;

Petugas Pengadilan Cheryl Alston, Hakim’ Barbara Baer Wax man. Asisten
Pembela Umum Negara Mark Cohen;

Carole Kimmell, RN, di Mercy Hospital; Profesor Trish VanZandt beserta para
koleganya di Johns Hopkins University; Ms. Bonnie Ariano, Pimpinan Pusat
Rehabilitasi Korban Kejahatan Seks & Tindak Kekerasan di Baltimore;

Di University of Minnesota: Profesor Thomas Bouchard, Profesor Matthew


McGue, Profesor David Lykken;

Di Pentagon: Letnan Kolonel Letwich, Kapten Regenor;

Di Fort Detrick di Frederick, Md: Ms. Eileen Mitchell, Mr. Chuck Dasey,
Kolonel David Franz;

669

Peter D. Martin dari Laboratorium Ilmu Forensik Dinas Kepolisian


Metropolitan; Ruth dan Norman Click; para pakar komputer Wade Chambers,
Rob Cook, dan Alan Gold; dan terutama peneliti profesional Dan Starer, dari
Research for Writers, New York City, yang memperkenalkan penulis pada
hampir semua yang namanya disebutkan di atas.

Penulis juga amat berterima kasih kepada editor penulis, Suzanne Baboneau,
Maijorie Chapman, dan Ann Patty; kepada para teman dan handai taulan yang
membaca konsep buku ini dan memberikan komentar mereka, terutama Barbara
Follett. Emanuele Follett. Katya Follett, Jann Turner, Kim Turner, John Evans,
George Brennan, dan Ken Burrows; kepada para agen Amy Berkower, Bob
Bookman, dan—terutama sekali—kepada kolaborator dan kritikus penulis yang
paling tajam, Al Zuckerman.

^r^andan di -d j vu-kan umuJT^ dimhader (dimhad.co.ccj oleh-


OBI
Giwang meug-komersil-kaii ala» kes,aJaB V— ‘“enimna liidup anda ulamanya–
J

670

Ya, catat nama saya sebagai anggota GRAMEDIA BOOK CLUB dan kirimi
saya informasi setiap kali ada buku barn karya pengarang favorit saya yang
terbit.

Terlampir prangko balasan Rp 600,-

No. Anggota:. Uste :_

_ (Isikan jika Anda pernah terdaftar)

Jabatan : Pelajar/makam» a/kary iwan/wirawasUwan/ibn ranah tangga* Alamat


:_._,_

-Telp:-

* Coret yang tidak perlu

Tandai pengarang yang Anda pilih

( ) John Grisham

( ) Sidney Sheldon

( ) Alimir MacLean

< )J«ckHiggin»

( ) Frederick Forsyth

( ) Michael Cricbton

( ) Sir Arthur Conan Doyle


( ) Allan Folsom

( ) Steve Martini

( ) Irving Wallace

( ) Stephen King

(Kembaran Ketiga)

{ ) Barbara Taylor Bradford

( > Erich Segal

( ) Pearl S. Buck

( ) Jackie ColHni

( ) Rosarnunde Pilcher

( ) Agatha Chriitie

( (DanielleSteel

( ) Mary Higgiiu Clark

( > Judith Michael

( >R.L.Stine

( )KenFoUet

FT Gramedia Pustaka Utama Bagian Promosi JL Palmerah Selatan 24-2«, Lt«


Jakarta 10270

Anda mungkin juga menyukai