Anda di halaman 1dari 2

RIDLALIA, AKU, DAN KAMPUNGKU

Mendengar lagu asal kampung sembari mengenang kampung halaman adalah sebuah
keindahan, seperti melihat hujan diselingi nyanyian lawas dan sendu. Aku merindu. Ini
adalah tahun ketiga tak kujejakkan kaki di tanah lahir. Maka boleh kukatakan rindu itu
menggumpal dan meninggi membentuk bukit-bukit kecil yang dirimbuni pelbagai macam
tumbuhan seperti pohon sangka, batang-batang duga, dan segenap duri syak. Ah, Aceh. Baru
aku tahu tentang indahnya dari seorang gadis muda Brunai Darussalam yang lama menuntut
ilmu di sana. Seharusnya aku tak boleh menyebut “di sana”, sebab itu akan menjadi asing
sekali dan jauh. Bukankah Aceh adalah tempat lebih setengah usia kulewatkan? Baiklah,
akan kukatakan bahwa Aceh begitu dekat denganku, seperti aku dan darahku. Sebab dulu
Ayah mengajarkanku bahwa Aceh adalah darah bagi rakyatnya.

Ini adalah senja terakhirku di Brunai Darussalam. Ridlalia Asra binti Dato Seri Kaltsum
belum juga datang memenuhi janjinya. Ia ingin aku membawakan sepotong kain songket
buatan Brunai untuk makciknya, yang sebenarnya ibu kos dia saat  masih di Aceh. Dia
hendak  menitipkannya padaku. “Aku akan ke Aceh beberapa bulan lagi, Pakcik,” katanya.
Aku tersenyum saja. Ia berkata begitu kemarin, saat aku bercerita padanya tentang
kepulanganku. “Kau diberikan apa dulu waktu pulang dari Aceh?” tanyaku. “Baju kurung. Ini
yang kupakai,” jawabnya puas sekali. Memang ia begitu padan mengenakan baju kurung itu.
Gadis hitam manis yang dibalut pakaian serba biru tua di depanku adalah lanskap perempuan
yang  menghargai budaya. “Aceh budayanya kuat sekali, Pakcik,” katanya. Aku tersenyum,
tapi jujur saja aku sangsi pada kata-katanya itu.

Jelas sekali aku ingin membantah apa yang ia pikirkan tentang budaya di tanah lahirku. Iya,
aku setuju jika dia berpikir bahwa Aceh budayanya beragam, tapi ketika sering kali ia berkata
bahwa orang Aceh menghargai budaya-budayanya, aku keberatan. Tapi, sudahlah, aku tak
perlu membantahnya hari itu. Ia sedang sangat mengenang Aceh, sedang aku sedang berpikir
lain tentang apa yang ia pikirkan itu.

Lagu-lagu Melayu mengalun dari radio di sudut kamarku. Aku telah siap untuk menuju
bandara. Semua barang telah kumasukkan ke dalam tas. Ridlalia Asra binti Dato Seri
Kaltsum belum juga membalas pesanku. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku
membukanya dan di depanku tegak seorang gadis berkerudung cokelat tua dan berpakaian
dengan warna yang sama. Disodorkan kotak kecil itu. Tak lagi perlu kutebak. Isinya pasti
kain songket Brunai.

“Katamu, kau akan mengajakku makan-makan sebelum aku pulang,” godaku. “Pasti, Pakcik.
Mari kita ke rumah makan di seberang jalan itu saja. Di sana enak-enak,” sahutnya sembari
tersenyum. Aku mengikuti jalannya. Ada hal yang menarik dari gadis itu: Ia masih berbicara
ngedok Brunai, walaupun ujung tiap kata-katanya telah berubah menjadi bahasa Indonesia. Ia
sangat menghargai bahasanya. Tak seperti orang kampungku, baru merantau ke Banda saja
sudah tak bisa berbicara bahasa asli kampungnya. Sudah berubah logatnya. Ridlalia
mengenakan pakaian ala gadis Brunai, katanya di Aceh dulu ia juga berpakaian yang sama. Ia
sangat menghargai budaya berpakaian bangsanya, tak seperti orang kampungku. Baru saja
merantau ke Banda sudah berpakaian macam orang Barat.

Saat makan ia lebih banyak diam daripada bercakap-cakap. Aku mencoba menghargainya.
Setelah makan baru kami berbicara banyak tentang Aceh dan Brunai, tentang dia dan aku,
tentang budayanya dan budayaku. Kemudian ia memuji-muji Aceh. “Di Aceh budayanya
hidup dalam darah semua orang, Pakcik, kan?” katanya. Aku ingin muntah.

Baiklah, aku jujur. Sama sekali aku tak peduli pada hidup dan matinya kampungku. Musikku
sudah berganti. Aku tak menabuh rapa’i lagi, sudah ada drum, tak meniup seurunee kale lagi,
sudah ada saxophone, sudah tak senang lagi kunonton budaya seudati, sudah ada konser
band-band papan atas, sudah hampir mati balee seumeubeut, sudah ada TV, sudah hampir tak
suka lagi meudalae, sudah suka ngejam, sudah tak ada lagi dara-dara dan muda-muda yang
memeluk kitab atau berpeci saban sore menuju pesantren, sudah ada motor untuk putar-putar
di sepanjang jalan kota. Apa lagi? Aku ingin memuntahkan itu semua padanya. Tapi ia
sedang memuntahkan kelebihan-kelebihan Aceh padaku dari bibir-bibir kecilnya itu. Aku tak
kuasa memotong kata-katanya yang lembut. Ah, mengapa malam begitu lama datang? Aku
ingin meninggalkan Brunai Darussalam dan gadis itu sekarang juga.

Anda mungkin juga menyukai