Anda di halaman 1dari 10

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
INDONESIA BUKAN POLITIK SEGREGRASI
 
 
 
written by
 
NASHWA IBTISAM
ANGGITA TRI WAHYUNI
TIM KREATIF
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Address
Phone
E-mail
EXT. HUTAN
Pada pagi hari, Bima dan Ling-Ling berjalan santai. Ling-Ling
ialah seseorang yang sering berkunjung ke berbagai daerah
sehingga memiliki banyak pengalaman dari sana. Ia membahas
perkembangan zaman dengan Bima. Bima memiliki antusias yang
tinggi terhadap keadaan dunia luar. Keterbatasan informasi
tentang dunia luar sangat mengganggunya. Sebab itulah, ia
bersama Ling-Ling sering bercengkerama mengenai era saat ini.
LING LING
“Bima, kemarin aku pergi ke
Jakarta”

Ujar Ling-Ling dengan wajah senangnya.


BIMA
“Oh ya? Sampaikanlah hal-hal soal
Jakarta saat ini. Beta ingin tahu
banyak tentangnya”
LING LING
“Aa, kamu ingin tahu banyak, ya ...
kenapa kamu tidak pergi saja ke
sana?”
BIMA
“Dengan keterbatasan seperti ini?
Lagipula, belum cukup umur beta tuk
pigi ka luar.”
LING-LING
“Hehehe, betul juga itu.”
BIMA
“Ling-Ling, sampaikanlah soal
Jakarta.”
LING LING
“Ya, ya ... akan aku katakan. Jadi
... Jakarta itu punya bangunan
tinggi. Gedung pencakar langit
namanya.”
BIMA
“Benar-benar mencakar langit?”
LING LING
“Traa. Traa mencakar langit, itu
hanya kiasan. Tapi dengan
ketinggiannya itu seakan tampak
menembus langit. Awan maksudnya.”
Bima menampakkan wajah antusias.
2.

 
“Tidak hanya itu, mereka yang
tinggal di sana berkendara dengan
mobil yang super cepat.”
BIMA
“Mobil? Apa itu?”
Ling-Ling terkejut, dan bingung bagaimana menjelaskannya.
LING LING
“Eemm ... mobil itu seperti ...
eem, seperti kendaraan pengangkut
sagu. Dia punya empat roda, dan ada
yang mengendarainya. Lalu melaju
cepat, wuz!”
BIMA
“WAH! Dengan siapa Kam pigi ka
sana?”
LING LING
“Dengan Papa.”
Tiba-tiba wajah Ling-Ling muram. Ia mengingat sesuatu.
LING LING (CONT'D)
“Papa…”
BIMA
“Ada apa, Ling? Ada apa dengan
Papamu?”

Bima bertanya dengan halus, ia merasa ada yang salah.


LING LING
“Papa ke sana dan menemui Bupati
Bona.”
BIMA
“Bupati Bona di Jakarta?”
LING LING
“Iya. Entah kenapa ia yang harusnya
di sini, justru berada di Jakarta.”
Ling-Ling gelisah ingin mengatakan yang sebenarnya.
LING LING (CONT'D)
“Mereka….Mereka merencanakan
perluasan lahan. Bupati Bona,
menawarkan penggusuran Suku Tehit.”
3.

BIMA
“Hah! Mengapa ia semudah itu
berkata Suku Tehit? Macam haknya
saja berkata begitu!"
Bima membentak terkejut mendengarnya. Bima menatap langit dan
mengangkat tangannya. Ia geram. Dan segera kembali ke suku.
Ling-Ling menjadi takut melihat Bima marah. Melihat Ling-Ling
kembali ke suku, tangannya seakan meraih Bima. Tetapi Bima
segera berlari. Iapun akhirnya kembali.
(Lagu)

EXT. DESA SUKU


Di Suku, sedang ada upacara adat. (~)
Suatu ketika Kepala Suku sedang mengawasi dan keluar dari
area menari, Bima datang dan mengabarkan.
Kakinya ditekut seakan merunduk dengan tangan kanan di dada
kiri.
BIMA
“Bapa…”
Kepala Suku Ohohako itu menoleh.
OHOHAKO
“Ya, sampaikan.”
BIMA
“Ada kabar mendesak, Bapa. Akan ada
penggusuran berencana dari Bupati
Bona dan Bapa Ling-Ling. Mereka
akan menggusur Suku secara tiba-
tiba untuk perluasan lahan kelapa
sawit, Bapa.”
(Perlahan-lahan, tarian memudar menghilang secara implisit.)
OHOHAKO
“Benarkah itu? Dari mana Kam dapat
kabar begitu?”
BIMA
“Dari ... dari Ling-Ling, Bapa”
Bima berkata lirih.
Ohohako segera memanggil beberapa orang-orangnya untuk
berbicara.
4.

OHOHAKO
“Baiklah, Kam tunggu ka sini. Beta
kan pigi pada Gubernur dengan
Tetua.”

EXT. SUNGAI HONGA


Ketua Suku (Ohohako) dan Tetua pergi ke Istana Gubernur lewat
Sungai Honga.

EXT. GUBERNUR
OHOHAKO
“Gubernur, kami minta waktunya
sebentar. Kitorang dari Suku Tehit
berada”
ujar Ohohako.
GUBERNUR
“Ya, apa yang membuat kalian ke
sini?”
OHOHAKO
“Tehit terancam bahaya, Gubernur.
Akan ada penggusuran dalam waktu
dekat. Bantulah kami.”
GUBERNUR
“Penggusuran? Siapa yang berani
menggusur tanah kita?”
OHOHAKO
“Mereka yang ingin memperluas
perkebunan sawit, Gubernur.”
Gubernur kaget mendengarnya. Ia tiba-tiba ingin mengalihkan
perhatian tentang masalah ini. Sebab perkebunan sawit, tentu
urusannya juga dengannya, bukan hanya bupati.
GUBERNUR
“Dalam pelaporan masalah, baiknya
kamorang pergi ka DPRD.”
Ohohako dan Tetua merasa tidak nyaman mendengarnya. Mereka
seakan tak diacuhkan.
OHOHAKO
“Ini masalah mendesak Gubernur.
Kami datang ka sini agar bantuan
segera sampai.”
5.

GUBERNUR
“Ya ... tapi untuk masalah begini
sebaiknya dilaporkan dulu ke DPRD,
nanti dari mereka, ditindaklanjuti
oleh kami.”

OHOHAKO
“Tidak bisakah secara langsung,
Gubernur? Ini masalah mendesak.
Benarlah memang kitorang harus
sampaikan pada DPRD, tapi kali ini,
bantuan dibutuhkan mendesak.”
GUBERNUR
"Yaa--"
Gubernur mengalihkan pandangan matanya.
Tetua merasa direndahkan,
TETUA SUKU
"Jangan Kam buat birokrasi semakin
berbelit-belit! Tuntutan ini bukan
dari kami semata. Rakyat Tehit
menunggu di sana! Dalam bayang-
bayang ketakutan, kini Kam tambah 
ketidakadilan? Tehit juga
Indonesia!"
GUBERNUR
"Keluarlah kamorang!"
Gubernur mengusir mereka.
OHOHAKO
“Apa tra Bupati saja, Gubernur pun
tersuap? Kami pilih Kam jadi
Gubernur, janji manis pula yang
kami dapat! Bicara saja hiperbola
saat kampanye, nyatanya omong
kosong!”
Gubernur terperanjat mendengarnya. Harga dirinya seakan
direndahkan, ia mengangkat pistolnya. Ia bukan bersekongkol,
tetapi persetujuan pembangunan lahan kelapa sawit tentu
melibatkan izinnya. Baru saja dimulai, dan kini harus ditarik
kembali. Uang yang diberikan sangat besar, dan Gubernur
sedikit tergiur. Itulah sebab ia bingung dengan masalah ini.
Tetua maju, dan mendekat ke arah pistol.
TETUA SUKU
“Tra sebodoh itu kami ka sini
berdua.
(MORE)
6.
TETUA SUKU (CONT'D)
Seseorang telah berangkat ke
pemerintah pusat, akan melaporkan
keadaan di suku dan perbuatan
persekongkolanmu!”
Gubernur menurunkan pistol, dan menyuruh ke luar sekali lagi.
GUBERNUR
“Keluar kamorang! Keluar!”
OHOHAKO
“Entah lebih cepat satuan komando
militer pusat atau milikmu yang
akan datang ka Tehit!”
Gubernur kesal dan marah. Ia menembakkan pistolnya tiga kali
ke atas. Ia akhirnya memutuskan untuk mengirim pasukannya.
(Lagu)

EXT. DESA SUKU


Rakyat suku melanjutkan upacara adat. Ketika sedang khusyuk,
dan suasana hening sejenak. Tiba-tiba, Guan, Bupati Bona dan
beberapa orang-orangnya yang juga membawa eskavator, datang
masuk ke dalam suku.
GUAN
"Hei kalian semua! Pergilah dari
sini. Suku kalian akan digusur!
Hahaha!" Guan menampakkan dirinya
dan mengagetkan rakyat suku.
Bupati Bona datang di sebelah Guan dengan mimik muka sombong,
membuat rakyat semakin geram akan kehadirannya. Orang-orang
Guan menodongkan pistol. Beberapa ada yang menembakkan ke
atas. Keadaan semakin mencekam.
SALAH SATU ANGGOTA SUKU
Bupati? Dia … dia berkhianat!
Bupati berkhianat!
BUPATI BONA
Hahaha! Sebaiknya kalian segera
pergi mengungsi daripada sibuk
mengurusi diriku. Aahahaha!
Ohohako yang baru datang dan tidak memiliki persiapan,
bertambah marah dengan kedatangan mereka. Ia gundah,
7.

OHOHAKO
“Di mana bantuan dari gubernur? Dia
benar-benar tidak mengirim bantuan?
Haagh!”
Ohohako geram.
Eskavator menabrak mereka. Bangunan-bangunan di sekitar roboh
seketika. Rakyat Suku Tehit berhamburan. Mereka sekuat tenaga
bertarung, dan berusaha melepaskan pistol dari tangan para
pesuruh. Hingga suatu ketika, banyak rakyat sudah
ditundukkan. Mereka berkumpul membentuk lingkaran di tengah
lapangan suku. Tersisa Bima yang menarik salah satu pesuruh
mereka, dan mengaitkan tangannya di leher pesuruh.
PESURUH
“Jang dekati mereka! Atau salah
satu di antara kalian ini 'kan
mati!”
Pesuruh yang lain justru menarik lengan salah satu perempuan
yang sedang merunduk berkumpul. Tidak disangka, yang ditarik
ialah Ibu Bima.
IBU BIMA
“Jagalah suku, Bima. Jagalah tanah
airmu.”
Kata Ibu Bima dengan suara parau.
BIMA
“Mace!Bima berteriak. Lepaskan
Mace!”
Pisau semakin ditodongkan pada Mace.
Tiba-tiba, bala bantuan datang. Gubernur menepati janji.
Mereka akhirnya bertarung. Rakyat suku sebagian ada yang ikut
bertempur membantu. Sebagian lainnya khususnya perempuan,
mereka berlindung diri.
(Bisa ditambahkan lagu)
Hingga akhirnya Guan, Bupati Bona, dan pesuruh-pesuruhnya
diborgol. Kini mereka yang ditundukkan.
Ohohako sebagai ketua suku, sangat berterima kasih kepada
mereka.
OHOHAKO
“Terima kasih Sa sampaikan mewakili
segenap rakyat Suku Tehit. Semoga
kitorang selalu mendapat lindungan
Tuhan.”
8.

Pemimpin mereka menjawabnya degan tegas,


PEMIMPIN MILITER
“Sama-sama. Jangan segan-segan
datang menemui kami. Kami pamit
kembali ke Manokwari.”
Mereka pergi dengan memborgol Bupati Bona, Guan, serta
pesuruh-pesuruhnya. Membawa mereka menjauh dari Suku Tehit.
Akhirnya seluruh warga suku dan kepala suku dengan bahagia
berkumpul untuk bekerja sama serta membangun kembali Suku
itu. Mereka merayakan kebahagiaan mereka dengan kebiasaan
Adat
Ling ling melihat dari kejauhan, Bima melihat ling ling lalu
lari menuju lingling. Bima, perlahan mendekati Ling ling.
Bima menyapa lembut
BIMA
“Ling!”
Ling-ling hanya berdiam diri dan matanya berkaca kaca.
Bima melihat Ling-Ling tampak sedih.
BIMA (CONT'D)
“Ada apa Ling? Kenapa kamu di
sini?”
Ling-Ling tersedu-sedu, merasa bersalah karena kesalahan
bapaknya.
LING LING
“Maafkan aku, Bima ..., maafkan
kesalahanku dan Papa .... Karena
papa, sukumu jadi tergusur.”
Bima mengelus pundaknya.
BIMA
“Tra mengapa, Ling. Setiap orang
pasti melakukan kesalahan. Sa 'kan
maafkan.”
Ling-Ling mengangguk-angguk penuh harap.
LING LING
“Kini aku sendiri. Papa dan Mama
tidak lagi ada bersamaku. Aku
sendiri.”
9.

BIMA
“Kalau Kam mau, tinggal saja ka
Suku Tehit.”
LING LING
“Bolehkah”
BIMA
“Boleh”
Jawab Bima perlahan.
Bima dan Ling Ling menatap dari jauh keadaan Suku Tehit yang
sedang memperbaiki konstruksi bangunannya.
(Lagu)
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai