Indonesia Bukan Politik Segregrasi (1) - 1
Indonesia Bukan Politik Segregrasi (1) - 1
INDONESIA BUKAN POLITIK SEGREGRASI
written by
NASHWA IBTISAM
ANGGITA TRI WAHYUNI
TIM KREATIF
Address
Phone
E-mail
EXT. HUTAN
Pada pagi hari, Bima dan Ling-Ling berjalan santai. Ling-Ling
ialah seseorang yang sering berkunjung ke berbagai daerah
sehingga memiliki banyak pengalaman dari sana. Ia membahas
perkembangan zaman dengan Bima. Bima memiliki antusias yang
tinggi terhadap keadaan dunia luar. Keterbatasan informasi
tentang dunia luar sangat mengganggunya. Sebab itulah, ia
bersama Ling-Ling sering bercengkerama mengenai era saat ini.
LING LING
“Bima, kemarin aku pergi ke
Jakarta”
“Tidak hanya itu, mereka yang
tinggal di sana berkendara dengan
mobil yang super cepat.”
BIMA
“Mobil? Apa itu?”
Ling-Ling terkejut, dan bingung bagaimana menjelaskannya.
LING LING
“Eemm ... mobil itu seperti ...
eem, seperti kendaraan pengangkut
sagu. Dia punya empat roda, dan ada
yang mengendarainya. Lalu melaju
cepat, wuz!”
BIMA
“WAH! Dengan siapa Kam pigi ka
sana?”
LING LING
“Dengan Papa.”
Tiba-tiba wajah Ling-Ling muram. Ia mengingat sesuatu.
LING LING (CONT'D)
“Papa…”
BIMA
“Ada apa, Ling? Ada apa dengan
Papamu?”
BIMA
“Hah! Mengapa ia semudah itu
berkata Suku Tehit? Macam haknya
saja berkata begitu!"
Bima membentak terkejut mendengarnya. Bima menatap langit dan
mengangkat tangannya. Ia geram. Dan segera kembali ke suku.
Ling-Ling menjadi takut melihat Bima marah. Melihat Ling-Ling
kembali ke suku, tangannya seakan meraih Bima. Tetapi Bima
segera berlari. Iapun akhirnya kembali.
(Lagu)
OHOHAKO
“Baiklah, Kam tunggu ka sini. Beta
kan pigi pada Gubernur dengan
Tetua.”
EXT. GUBERNUR
OHOHAKO
“Gubernur, kami minta waktunya
sebentar. Kitorang dari Suku Tehit
berada”
ujar Ohohako.
GUBERNUR
“Ya, apa yang membuat kalian ke
sini?”
OHOHAKO
“Tehit terancam bahaya, Gubernur.
Akan ada penggusuran dalam waktu
dekat. Bantulah kami.”
GUBERNUR
“Penggusuran? Siapa yang berani
menggusur tanah kita?”
OHOHAKO
“Mereka yang ingin memperluas
perkebunan sawit, Gubernur.”
Gubernur kaget mendengarnya. Ia tiba-tiba ingin mengalihkan
perhatian tentang masalah ini. Sebab perkebunan sawit, tentu
urusannya juga dengannya, bukan hanya bupati.
GUBERNUR
“Dalam pelaporan masalah, baiknya
kamorang pergi ka DPRD.”
Ohohako dan Tetua merasa tidak nyaman mendengarnya. Mereka
seakan tak diacuhkan.
OHOHAKO
“Ini masalah mendesak Gubernur.
Kami datang ka sini agar bantuan
segera sampai.”
5.
GUBERNUR
“Ya ... tapi untuk masalah begini
sebaiknya dilaporkan dulu ke DPRD,
nanti dari mereka, ditindaklanjuti
oleh kami.”
OHOHAKO
“Tidak bisakah secara langsung,
Gubernur? Ini masalah mendesak.
Benarlah memang kitorang harus
sampaikan pada DPRD, tapi kali ini,
bantuan dibutuhkan mendesak.”
GUBERNUR
"Yaa--"
Gubernur mengalihkan pandangan matanya.
Tetua merasa direndahkan,
TETUA SUKU
"Jangan Kam buat birokrasi semakin
berbelit-belit! Tuntutan ini bukan
dari kami semata. Rakyat Tehit
menunggu di sana! Dalam bayang-
bayang ketakutan, kini Kam tambah
ketidakadilan? Tehit juga
Indonesia!"
GUBERNUR
"Keluarlah kamorang!"
Gubernur mengusir mereka.
OHOHAKO
“Apa tra Bupati saja, Gubernur pun
tersuap? Kami pilih Kam jadi
Gubernur, janji manis pula yang
kami dapat! Bicara saja hiperbola
saat kampanye, nyatanya omong
kosong!”
Gubernur terperanjat mendengarnya. Harga dirinya seakan
direndahkan, ia mengangkat pistolnya. Ia bukan bersekongkol,
tetapi persetujuan pembangunan lahan kelapa sawit tentu
melibatkan izinnya. Baru saja dimulai, dan kini harus ditarik
kembali. Uang yang diberikan sangat besar, dan Gubernur
sedikit tergiur. Itulah sebab ia bingung dengan masalah ini.
Tetua maju, dan mendekat ke arah pistol.
TETUA SUKU
“Tra sebodoh itu kami ka sini
berdua.
(MORE)
6.
TETUA SUKU (CONT'D)
Seseorang telah berangkat ke
pemerintah pusat, akan melaporkan
keadaan di suku dan perbuatan
persekongkolanmu!”
Gubernur menurunkan pistol, dan menyuruh ke luar sekali lagi.
GUBERNUR
“Keluar kamorang! Keluar!”
OHOHAKO
“Entah lebih cepat satuan komando
militer pusat atau milikmu yang
akan datang ka Tehit!”
Gubernur kesal dan marah. Ia menembakkan pistolnya tiga kali
ke atas. Ia akhirnya memutuskan untuk mengirim pasukannya.
(Lagu)
OHOHAKO
“Di mana bantuan dari gubernur? Dia
benar-benar tidak mengirim bantuan?
Haagh!”
Ohohako geram.
Eskavator menabrak mereka. Bangunan-bangunan di sekitar roboh
seketika. Rakyat Suku Tehit berhamburan. Mereka sekuat tenaga
bertarung, dan berusaha melepaskan pistol dari tangan para
pesuruh. Hingga suatu ketika, banyak rakyat sudah
ditundukkan. Mereka berkumpul membentuk lingkaran di tengah
lapangan suku. Tersisa Bima yang menarik salah satu pesuruh
mereka, dan mengaitkan tangannya di leher pesuruh.
PESURUH
“Jang dekati mereka! Atau salah
satu di antara kalian ini 'kan
mati!”
Pesuruh yang lain justru menarik lengan salah satu perempuan
yang sedang merunduk berkumpul. Tidak disangka, yang ditarik
ialah Ibu Bima.
IBU BIMA
“Jagalah suku, Bima. Jagalah tanah
airmu.”
Kata Ibu Bima dengan suara parau.
BIMA
“Mace!Bima berteriak. Lepaskan
Mace!”
Pisau semakin ditodongkan pada Mace.
Tiba-tiba, bala bantuan datang. Gubernur menepati janji.
Mereka akhirnya bertarung. Rakyat suku sebagian ada yang ikut
bertempur membantu. Sebagian lainnya khususnya perempuan,
mereka berlindung diri.
(Bisa ditambahkan lagu)
Hingga akhirnya Guan, Bupati Bona, dan pesuruh-pesuruhnya
diborgol. Kini mereka yang ditundukkan.
Ohohako sebagai ketua suku, sangat berterima kasih kepada
mereka.
OHOHAKO
“Terima kasih Sa sampaikan mewakili
segenap rakyat Suku Tehit. Semoga
kitorang selalu mendapat lindungan
Tuhan.”
8.
BIMA
“Kalau Kam mau, tinggal saja ka
Suku Tehit.”
LING LING
“Bolehkah”
BIMA
“Boleh”
Jawab Bima perlahan.
Bima dan Ling Ling menatap dari jauh keadaan Suku Tehit yang
sedang memperbaiki konstruksi bangunannya.
(Lagu)
TAMAT