Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KELOMPOK

DETEKSI KEGAWATDARURATAN MATERNAL

Dosen Pengajar:

Meirita Herawati, M.Tr.Keb

Nama Kelompok:

1. Ella Elfrina 220602113


2. Gusmi Nurhidayati 220602121
3. Linda Faujanah 220602115
4. Rahma 220602228
5. Sriyanti 220602116

STIKES AL INSYIRAH PEKANBARU TA 2022/2023


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perdarahan yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat cukup bulan meliputi perdarahan
yang terjadi pada minggu awal kehamilan (abortus, mola hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/
ektopik) dan perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan (plasenta previa, solusio
plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan per vagina setelah seksio sesarea, retensio plasentae/ plasenta
inkomplet), perdarahan pasca persalinan, hematoma,dan koagulopati obstetri.
Kegawat daruratan maternal dapat terjadi setiap saat selama proses kehamilan, persalinan merupakan
masa nifas. Sebelum Anda melakukan deteksi terhadap kegawatdaruratan maternal, maka anda perlu
mengetahui apa saja penyebab kematian ibu. Menurut anda, kasus apa saja yang dapat menyebabkan
kematian ibu?
Penyebab kematian ibu sangat kompleks, namun penyebab langsung seperti toksemia gravidarum,
perdarahan, dan infeksi harus segera ditangani oleh tenaga kesehatan. Oleh karena penyebab terbanyak
kematian ibu preeklamsia/eklamsia maka pada pemeriksaan antenatal nantinya harus lebih seksama dan
terencana persalinannya. Dengan asuhan antenatal yang sesuai, mayoritas kasus dapat dideteksi secara dini
dan minoritas kasus ditemukan secara tidak sengaja sebagai pre eklamsia berat.

Skrining bertujuan mengidentifikasi anggota populasi yang tampak sehat yang memiliki risiko
signifikan menderita penyakit tertentu. Syarat suatu skrining adalah murah dan mudah dikerjakan. Akan
tetapi, skrining hanya dapat menunjukkan risiko terhadap suatu penyakit tertentu dan tidak mengkonfirmasi
adanya penyakit. Selanjutnya marilah kita pelajari deteksi/skrining dari beberapa kasus kegawatdaruratan
maternal.

Setiap bayi baru lahir akan mengalami bahaya jiwa saat proses kelahirannya. Ancaman jiwa berupa
kamatian tidak dapat diduga secara pasti walaupun denagn bantuan alat-alat medis modern sekalipun,sering
kali memberikan gambaran berbeda tergadap kondisi bayi saat lahir.
B.     Rumusan Masalah
a.      Apa Definisi Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal ?
b.      Apa Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan?
c.      Apa Prinsip Umum Penanganan Kasus Kegawatdaruratan ?
d.      Apa Kunci Keberhasilan Penanganan Kegawatdaruratan Maternal?
e.       Bagaimana Penanganan Awal dan Penanganan Lanjutan Kegawatdaruratan Maternal
C.    Tujuan

Menguraikan masalah tentang kegawatdaruratan maternal


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kegawatdaruratan Maternal

Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba, seringkali merupakan
kejadian yang berrbahaya (Dorlan,  2011).
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi
secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamtkan jiwa/ nyawa
(Campbell S, Lee C, 2000).
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi dalam
kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan
gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey, &
Phillip Steer, 1999).
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat
kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir.
(Saifuddin, 2002).
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat tim medis yang
menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas kesehatan yang terlatih untuk setiap
kasus-kasus kegawatdaruratan.

B.     Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan


1.      Prinsip Dasar
Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama (diagnosa) dan tindakan
pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak panik, walaupun suasana keluarga
pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan
terarah. Walaupun prosedur pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan
hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan.

2.      Menghormati hak pasien


Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa memandang status sosial dan
ekonominya. Dalam hal ini petugas harus memahami dan peka bahwa dalam situasi dan kondisi gawatdarurat
perasaan cemas, ketakutan, dan keprihatinan adalah wajar bagi setiap manusia dan kelurga yang
mengalaminya.

3.      Gentleness
Dalam melakukan pemeriksaan ataupun memberikan pengobatan setiap langkah harus dilakukan
dengan penuh kelembutan, termasuk menjelaskan kepada pasien bahwa rasa sakit atau kurang enak tidak
dapat dihindari sewaktu melakukan pemeriksaan atau memerikan pengobatan, tetapo prosedur akan
dilakukan selembut mungkin sehingga perasaan kurang enak itu diupayakan sesedikit mungkin.

4.      Komunikatif
Petugas kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa dan kalimat yang tepat, mudah
dipahami, dan memperhatikan nilai norma kultur setempat. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas
kesehatan harus menjelaskan kepada pasien apa yang akan diperikssssa dan apa yang diharapkan. Apabila
hasil pemeriksaan normal atau kondisi pasien sudah stabil,upaya untuk memastikan hal itu harus dilakukan.
Menjelaskan kondisi yang sebenarnya kepada pasien sangatlah penting.

5. Hak Pasien

Hak-hak pasien harus dihormati seperti penjelasan informed consent,  hak pasien untuk menolak

pengobatan yang akan diberikan dan kerahasiaan status medik pasien.

6.      Dukungan Keluarga (Family Support)


Dukungan keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus
mengupayakan hal itu antara lain dengan senantiasa memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang
kondisi pasien, peka akan masalah kelurga yang berkaitan dengan keterbatasan keuangan, keterbatasan
transportasi, dan sebagainya.
Dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat dinomorduakan, misalnya apa bila pasien dalam
keadaan syok, dan petugas kesehatan kebetulan hanya sendirian, maka tidak mungkin untuk meminta
informed consent kepada keluarga pasien. Prosedur untuk menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan
walaupun keluarga pasien belum diberi informasi.

7.      Penilaian Awal
Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam keadaan gawatdarurat atau
tidak, secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan secara sistematis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik
umum, dan pemeriksaan obstetrik. Dalam praktik, oleh karena pemeriksaan sistematis membutuhkan waktu
yang agak lama, padahal penilaian harus dilakukan secara cepat, maka dilakukan penilaian awal.
Penilaian awal adalah langkah untuk menentukan dengan cepat kasus obstetri yang dicurigai dalam
keadaan kegawatdarurat dan membutuhkan pertolongan segera dengan mengidentifikasi penyulit yang
dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis lengkap belum dilakukan. Anamnesa awal dilakukan
bersama-sama periksa pandang, periksa raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan
informasi yang sangat penting berkaitan dengan kasus. Misalnya apakah kasus mengalami perdarahan,
demam, tidak sadar, kejang, sudah mengedan, atau bersalin berapa lama, dan sebagainya. Fokus utama
penilaian adalah apakah pasieng mengalami syok hipofolemik, syok septik, syok jenis lain (syok kardiogenik,
syok neurologik, dan sebagainya), koma, kejang-kejang, atau koma disertai kejang-kejang, dan hal itu terjadi
dalam kehamilan, persalinan,  atau pasca persalinan.

C.    Prinsip Umum Penanganan Kasus Kegawatdaruratan


1.      Pastikan Jalan Napas Bebas
Harus diyakini bahwa jalan napas tidak tersumbat. Jangan memberikan cairan atau makanan ke dalam
mulut karena pasien sewaktu-waktu dapat muntah dan cairan muntahan dapat terisap masuk ke dalam paru-
paru. Putarlah kepala pasien dan kalau perlu putar juga badannya ke samping dengan demikian bila ia
muntah, tidak sampai terjadi aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya tetap hangat karena kondisi hipotermia
berbahaya dan dapat memperberat syok. Naikkanlah kaki pasien untuk membantu aliran darah balik ke
jantung. Jika posisi berbaring menyebabkan pasien merasa sesak napas, kemungkinan hla ini dikarenakan
gagal jantung dan edema paru-paru. Pada kasus demikian, tungkai diturunkan dan naikkanlah posisi kepala
untuk mengurangi cairan dalam paru-paru.

2.      Pemberian Oksigen
Oksigen diberikan dengan kecepatan 6-8 liter / menit. Intubasi maupun ventilasi tekanan positif hanya
dilakukan kalau ada indikasi yang jelas.

3.      Pemberian Cairan Intravena


Cairan intra vena diberikan pada tahap awal untuk persiapan mengantisipasi kalau kemudian
penambahan cairan dibutuhkan. Pemberian cairan infus intravena selanjutnya  baik jenis cairan, banyaknya
cairan yang diberikan, dan kecepatan pemberian cairan harus sesuai dengan diagnosis kasus. Misalnya
pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh  yang hilang pada syok hipovolemik seperti pada perdarahan
berbeda dengan pemberian cairan pada syok septik. Pada umumnya dipilih cairan isotonik, misalnya NaCl
0.9 % atau Ringer Laktat. Jarum infus yang digunakan sebaiknya nomor 16-18 agar cairan dapat dimasukkan
secara cepat.
Pengukuran banyaknya cairan infus yang diberikan sangatlah penting. Berhati-hatilah agar tidak
berlebihan memberikan cairan intravena terlebih lagi pada syok septik. Setiap tanda pembengkakan, napas
pendek, dan pipi bengkak, kemungkinan adalah tanda kelebihan pemberian cairan. Apabila hal ini terjadi,
pemberian cairan dihentikan. Diuretika mungkin harus diberikan bila terjadi edema paru-paru.
4.      Pemberian Tranfusi Darah
Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai syok, transfusi darah sangat
diperlukan untuk menyelamatkan jiwa penderita. Walaupun demikian, transfusi darah bukan tanpa risiko dan
bahkan dapat berakibat kompliksai yang berbahaya dan fatal. Oleh karena itu, keputusan untuk memberikan
transfusi darah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Risiko yang serius berkaitan dengan transfusi darah
mencakup penyebaran mikroorganisme infeksius ( misalnya human immunodeficiency virus atau HIV dan
virus hepatitis), masalah yang berkaitan dengan imunologik ( misalnya hemolisis intravaskular), dan
kelebihan cairan dalam transfusi darah.

5.      Pasang Kateter Kandung Kemih


Kateter kandung kemih dipasang untuk mengukur banyaknya urin yang keluar guna menulai fungsi
ginjal dan keseimbangan pemasukan danpengeluaran cairan tubuh. Lebih baik dipakai kateter foley. Jika
kateterisasi tidak mungkin dilakukan, urin ditampung dan dicatat kemungkinan terdapat peningkatan
konsesntrasi urin ( urin berwarna gelap) atau produksi urin berkurang sampai tidak ada urin sama sekali. Jika
produksi urin mula-mula rendah kemudian semakin bertambah, hal ini menunjukan bahwa kondisi pasien
membaik. Diharapkan produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 mL/ jam.

6.      Pemberian Antibiotika
Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada kasus sepsi, syok septik, cidera
intraabdominal, dan perforasi uterus.
Pada kasus syok, pemberian antibiotika intravena lebih diutamakan sebab lebih cepat menyebarkan
obat ke jaringan yang terkena infeksi. Apabila pemberian intravena tidak memungkinkan, obat dapat
diberikan intramuskular. Pemberian antibiotika per oral diberikan jika pemberian intra vena dan
intramuskular tidak memungkinkan, yaitu jika pasien dalam keadaan syok, pada infeksi ringan, atau untuk
mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi diantisipasi dapat terjadi sebagai komplikasi.
Profilaksis antibiotika adalah pemberian antibiotika untuk pencegahan infeksi pada kasus tanpa tanda-
tanda dan gejala infeksi. Antibiotika diberikan dalam dosis tugngal, paling banyak ialah 3 kali dosis.
Sebaiknya profilaksis antibiotika diberikan setelah tali pusat diklem untuk menghindari efeknya pada bayi.
Profilaksis antibiotika yang diberikan dalam dosis terapeutik selain menyalahi prinsip juga tidak perlu
dan  suatu pemborosan bagi si penderita. Risiko penggunaan antibiotika berlebihan ialah retensi kuma, efek
samping, toksisitas, reaksi alergi, dan  biaya yang tidak perlu dikeluarkan.

7.      Obat Pengurang Rasa Nyeri


Pada beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri, penderita dapat mengalami rasa nyeri yang
membutuhkan pengobatan segera. Pemberian obat pengurang rasa nyeri jangan sampai menyembunyikan
gejala yang sangat penting untuk menentukan diagnosis. Hindarilah pemberian antibiotika pada kasus yang
dirujuk tanpa didampingi petugas kesehatan, terlebih lagi petugas tanpa kemampuan untuk mengatasi depresi
pernapasan.

8.      Penanganan Masalah Utama


Penyebab utama kasus kegawatdaruratan kasus harus ditentukan diagnosisnya dan ditangani sampai
tuntas secepatnya setelah kondisi pasien memungkinkan untuk segera ditindak. Kalau tidak, kondisi
kegawatdaruratan dapat timbul lagi dan bahkan mungkin dalam kondisi yang lebih buruk.

9.      Rujukan        
Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai untuk menyelesaikan kasus dengan
tindakan klinik yang adekuat, maka kasus harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap.
Sebaiknya sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima rujukan dihubungi dan diberitahu
terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan ataupun perawatan inap telah dilakukan dan diyakini rujukan
kasusa tidak akan ditolak.

D.    Kunci Keberhasilan Penanganan Kegawatdaruratan Maternal


Penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal meliputi intervensi yang spesifik untuk menangani
kasus “kegawatan” atau komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan nifas, serta kegawatan pada bayi baru
lahir di bawah 30 hari. Intervensi yang dilakukan antara lain pmeberian antibiotik intravena, penanganan
komplikasi aborsi, penanganan perdarahan postpartum, pengananan asfiksia neonatorum, penanganan ikterus
neonatorum, dan lain sebagainya.
Kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal bukanlah merupakan tanggung jawab petugas kesehatan
untuk mengananinya. Namun, dibutuhkan peran serta berbagai pihak dalam mewujudkan kondisi yang
mendukung demi tercapainya keselamatan ibu dan bayi yang mengalami kegawatan melalui sistem
pertolongan yang sinergi, bekerja efektif, efisien, dan kontinu.
Pemberi bantuan dana, pembuat kebijakan, dan petugas kesehatan harus menyadari bahwa tujuan utama
pengananan kegawatdaruratan maternal dan neonatal adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya,
juga untuk menyelamatkan jiwa bayi yang baru lahir atau dengan kata lain untuk mengurangi angka kematian
ibu
Penyediaan pelanyanan penanganan kegawatdaruratan yang berkualitas bukanlah penyelesaian masalah.
Bukan pula dengan tersedianya rumah sakit yang menyediakan layanan pembedahan di kamar operasi, tetapi
ada beberapa poin yang menentukan berhasilnya pertolongan kasus kegawatdaruratan di antaranya yaitu.
a. Pendidikan dan mobilisasi komunitas
Tujuannya agar masyarakat mengetahui kapan harus mencari pertolongan dan kapan menghubungi
petugas kesehatan jika tampak tanda bahaya atau kegawatan.
b. Pinjaman dana komunitas
Kurangnya biaya  merupakan masalah atau hambatan daam mendapatkan pertolongan ataupun
penanganan di fasilitas kesehatan. Mendirikan sebuah pinjaman dana komunitas memberikan dampak yang
baik di mana masyarakat termotivasi dalam mendonorkan dana demi tercapainya penggunaan fasilitas yang
dibutukan oleh ibu ataupun bayi yang mengalami kegawatan.
c. Trained and skilled staff ( petugas kesehatan yang terlatih dan terampil).
d.   Alat transportas
Ketersediaan alat transportasi merupakan elemen yang krusial dari kuatnya sistem rujukan. Alat
transportasi tidak mesti harus ambulans. Sarana transportasiumum seperti taxi ataupun mobil pribadi dapat
digunakan dalam situasi gawatdarurat.
e. Maternity Waiting Homes ( Rumah Singgah Ibu
Maternity waiting homes dirancang umumnya untuk mengurangi komplikasi intra partum dan
postpartum. Penggunaan MWH ini telah lama direkomendasikan oleh WHO sebagai strategi untuk
mengurangi angka kesakitan dan kematian ibu.
f.   Ketersediaan obat, bahan, alat, dan perlengkapan, kamar operasi, dan lain sebagainya di fasilitas
kesehatan.
g.   Lingkungan kerja yang kondusif serta kerjasama antara petugas yang baik
h.   Meningakatkan kualitas sistem penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal pada setiap
fasilitas kesehatan/ pusat pelayanan kesehatan
i.    Komunikasi dan hubungan antara penolong kasus kegawatan pada level komunitas dengan petugas
di fasilitas yang lebih baik (tempat rujukan).

E.     Penanganan Awal dan Penanganan Lanjutan Kegawatdaruratan Maternal( Penanganan


Plasenta Previa dan deteksi Pre Eklampsia)

Terdapat banyak kasus kegawatdaruratan atau komplikasi yang dapat dialami oleh ibu selama masa
kehamilan, persalinan, maupun postpartum dan juga pada 0 – 30 hari pada bayi
barulahirdiantaranya  (a) perdarahan obstetri,(b) eklampsia,(c) Pre Eklampsia.

1.      Plasenta Previa
·         Pengertian dan Klasifikasi Plasenta Previa
Plasenta previa adalah keadaaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada
segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (Ostium Uteri Internal)
(Rustam mochtar, 1998).
Plasenta previa ialah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga dapat
menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terletak di bagian atas
uterus (Hanifa Winkjosastro, 2005)
Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada
waktu tertentu :
1.      Plasenta previa totalis : bila seluruh pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.
2.       Plasenta previa lateralis : bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.
3.      Plasenta previa marginalis : bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan jalan lahir.
4.      Plasenta letak rendah.
Tepi plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir pembukaan pada pemeriksaan dalam tidak teraba (Hanifa
Winkjosastro, 2005).

·         Ciri – CiriPlasenta Previa


Ciri- ciri plasenta previa yaitu :
1.   Perdarahan tanpa nyeri
2.   Perdarahan berulang
3.   Warna perdarahan merah segar
4.   Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah
5.   Timbulnya perlahan-lahan
6.   Waktu terjadinya saat hamil
7.    His biasanya tidak ada
8.    Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi
9.    Denyut jantung janin ada
10.  Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina
11.   Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul
12.   Presentasi mungkin abnormal.

·         Etiologi
Penyebab plasenta previa secara pasti sulit ditentukan, tetapi ada beberapafaktor yang meningkatkan
risiko terjadinya plasenta previa, misalnya bekasoperasi rahim (bekas sesar atau operasi mioma), sering
mengalami infeksirahim (radang panggul), kehamilan ganda, usia ibu di atas 35 tahun, paritas, pernah
plasenta previa, atau kelainan bawaan rahim.
·      
Diagnosis Plasenta Previa

a.  Anamnesis : adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih 20 minggu dan berlangsung tanpa
sebab.
b.  Pemeriksaan luar : sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka kepala belum masuk pintu atas
panggul.
c.  Inspekulo : adanya darah dari ostium uteri eksternum.
d.  USG untuk menentukan letak plasenta.
e.  Penentuan letak plasenta secara langsung dengan perabaan langsung melalui kanalis servikalis tetapi
pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu cara
ini hanya dilakukan diatas meja operasi.

2. Pre Eklampsia

Deteksi Pre-Eklamsia
Preeklamsia/Eklamsia merupakan suatu penyulit yang timbul pada seorang wanita hamil dan umumnya
terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan ditandai dengan adanya hipertensi dan protein uria.
Pada eklamsia selain tanda tanda preeklamsia juga disertai adanya kejang. Preeklamsia/Eklamsia merupakan
salah satu penyebab utama kematian ibu di dunia. Tingginya angka kematian ibu pada kasus ini sebagian
besar disebabkan karena tidak adekuatnya penatalaksanaan di tingkat pelayanan dasar sehingga penderita
dirujuk dalam kondisi yang sudah parah, sehingga perbaikan kualitas di pelayanan kebidanan di tingkat
pelayanan dasar diharapkan dapat memperbaiki prognosis bagi ibu dan bayinya. Bacalah kasus berikut :

Ny. M datang ke tempat praktek Anda, menyatakan hamil 3 bulan. Hasil pemeriksaan didapatkan TD
140/90 mmHg, Nadi 80 kali/menit, Respirasi 20 kali/menit, suhu 36,5 derajat Celcius. Hasil palpasi TFU 3
jari atas sympisis, belum teraba ballottement. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak terdapat protein dalam
urine. Menurut anda apakah yang terjadi pada Ny. M?

Untuk menentukan diagnose pada kasus diatas, tentunya anda harus mempunyai pengetahuan tentang
kasus hypertensi dalam kehamilan yang dapat dimanifestasikan dalam beberapa diagnose. Untuk lebih
jelasnya, silahkan anda pelajari penjelasan berikut:

Klasifikasi dan definisi


Adanya peningkatan tekanan darah selama kehamilan dan persalinan dapat menunjukkan beberapa
kondisi sebagai berikut :
1. Diagnosis hipertensi dalam kehamilan ditegakkan bila didapatkan:
Tekanan darah ≥140/90 mmHg untuk pertama kalinya selama kehamilan, tidak terdapat protein uria,
tekanan darah kembali normal dalam waktu 12 minggu pasca persalinan (jika peningkatan tekanan
darah tetap bertahan, ibu didiagnosis hipertensi kronis), diagnosis akhir baru dibuat pada periode pasca
persalinan, tanda tanda lain preeklamsia seperti nyeri epigastrik dan trombositopenia mungkin ditemui
dan dapat mempengaruhi penatalaksanaan yang diberikan.
2. Diagnosis preeklamsia ringan ditegakkan bila didapatkan :
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu, protein uria ≥ 1+ pada pengukuran
dengan dipstick urine atau kadar protein total ≥ 300 mg/24 jam.
3. Diagnosis preeklamsia berat ditegakkan bila didapatkan:
a. Hipertensi
Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau tekanan darah diastolic ≥110 mmHg.
b. Protein uria
Kadar protein dalam kencing ≥ ++ pada pengukuran dipstick urine atau kadar protein total sebesar 2
gr/24 jam.
c. Kadar kreatinin darah melebihi 1,2 mg/dL kecuali telah diketahui meningkat sebelumnya.
d. Tanda/gejala tambahan:

Tanda gejala tambahan lainnya dapat berupa keluhan subyektif berupa nyeri kepala, nyeri uluhati,
dan mata kabur. Ditemukannya proteinuria ≥ 3 gram, jumlah produksi urine ≤ 500 cc/24 jam (oliguria),
terdapat peningkatan kadar asam urat darah, peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum serta
terjadinya sindroma HELLP yang ditandai dengan terjadinya hemolisis ditandai dengan adanya icterus,
hitung trombosit ≤ 100.000, serta peningkatan SGOT dan SGPT.
4. Pada eklampsia disertai adanya kejang konvulsi yang bukan disebabkan oleh infeksi atau trauma.
Diagnosis Preeklamsia super impos ditegakkan apabila protein awitan baru ≥ 300 mg/ 24 jam pada ibu
penderita darah tinggi tetapi tidak terdapat protein uria pada usia kehamilan sebelum 20 minggu.
5. Diagnosis hipertensi kronis ditegakkan apabila hipertensi telah ada sebelum kehamilan atau yang
didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau hipertensi pertama kali didiagnosis setelah usia
kehamilan 20 minggu dan terus bertahan setelah 12 minggu pasca persalinan.
6. Diagnosis Preeklamsia super impos ditegakkan apabila protein awitan baru ≥ 300 mg/ 24 jam pada
ibu penderita darah tinggi tetapi tidak terdapat protein uria pada usia kehamilan sebelum 20 minggu.
7. Diagnosis hipertensi kronis ditegakkan apabila hipertensi telah ada sebelum kehamilan atau yang
didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau hipertensi pertama kali didiagnosis setelah usia
kehamilan 20 minggu dan terus bertahan setelah 12 minggu pasca persalinan.
Deteksi/Skrining
Identifikasi wanita dengan risiko preeklampsia mempunyai keuntungan sebagai berikut :
a. Pengawasan lebih ketat
b. Diagnosis lebih akurat
Intervensi tepat waktu
a. Pencegahan komplikasi sejak dini

Metode skrining preeklamasia/eklamsia


Metode skrining dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti dibawah ini :

Anamnesa Faktor Risiko Preeklampsia


Metode skrining yang pertama adalah dengan melakukan anamneses pada ibu, untuk mencari
beberapa faktor risiko sebagai berikut :
a. Usia Ibu
Primigravida dengan usia dibawah 20 tahun dan semua ibu dengan usia diatas 35 tahun
dianggap lebih rentan untuk mengalami preeklamsia/eklamsia.
b. Ras
Ras African lebih berisiko mengalami preeklamsia dibandingkan ras caucasian maupun ras
Asia.
c. Metode Kehamilan
Kehamilan yang tidak terjadi secara alamiah (inseminasi dan sebagainya) berisiko 2 kali lipat
untuk terjadinya preeklamsia
d. Merokok selama hamil
Wanita yang merokok selama hamil berisiko untuk mengalami preeklamsia
e. Riwayat penyakit dahulu (Hipertensi, preeklamsia pada kehamilan terdahulu, penyakit Ginjal,
penyakit Autoimun, Diabetes Mellitus, Metabolik sindrom, Obesitas dll)
f. Riwayat penyakit keluarga
Bukti adanya pewarisan secara genetik paling mungkin disebabkan oleh turunan yang resesif
g. Paritas
Primigravida memiliki insidensi hipertensi hampir 2 kali lipat dibandingkan multigravida
h. Kehamilan sebelumnya
Kehamilan dengan riwayat preeklamsi sebelumnya berisiko mengalami preeklamsia kembali
pada kehamilan sekarang. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko rekurensi (terjadinya
preeklamsia kembali) jika kehamilan sebelumnya preeklampsia: 14-20% dan risiko rekurensi
lebih besar (s/d 38%) jika menghasilkan persalinan prematur (early-onset preeklampsia).

Pemeriksaan Tekanan Darah


Metode skrining yang kedua adalah dengan melakukan pengukuran tekanan darah setiap kali antenatal
care. Hipertensi didefinisikan sebagai hasil pengukuran sistolik menetap (selama setidaknya 4 jam) >140–
150 mmHg, atau diastolic 90–100 mmHg. Pengukuran tekanan darah bersifat sensitif terhadap posisi tubuh
ibu hamil sehingga posisi harus seragam, terutama posisi duduk, pada lengan kiri setiap kali pengukuran.
Apabila tekanan darah ≥160/100 maka kita dapat menetapkan hipertensi.

Pengukuran tekanan darah dapat berupa tekanan darah Sistolik, Tekanan Darah Diastolik dan MAP
(Mean Arterial Pressure). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa MAP trimester 2 >90 mmHg berisiko
3.5 kali untuk terjadinya preeklamsia, dan tekanan darah diastole >75 mmHg pada usia kehamilan 13–20
minggu berisiko 2.8 kali untuk terjadinya preeklamsia. MAP merupakan prediktor yang lebih baik daripada
tekanan darah sistol, diastol, atau peningkatan tekanan darah, pada trimester pertama dan kedua kehamilan.

Penggunaan USG Untuk Skrining Preeklampsia

Pada pasien Preeklamsia terdapat perubahan patofisiologis yaitu:


a. Gangguan implantasi tropoblast
b. Perfusi uteroplacenta yang berkurang dan
mengarah ke disfungsi endotel yang menyebabkan edema, protein uria dan hemokonsentrasi;
vasospasme yang menyebabkan
hipertensi, oliguria, iskemia organ, solusio placenta dan terjadinya kejang-kejang;
aktifasi koagulasi yang menyebabkan trombositopenia; dan pelepasan zat molekul
berbahaya (sitokin dan lipid peroksidase) yang menyebabkan penurunan perfusi uteriplacenta lebih
lanjut dan pelepasan molekul vasoaktif seperti prostaglandin, nitrit oksida, dan endotelin, yang
seluruhnya menurunkan perfusi uetroplacenta.
c. Aliran uteroplacenta bertahanan tinggi
Akibat patofisiologis diatas, terdapat tiga lesi patologis utama yang terutama berkaitan dengan
preeklamsia dan eklamsi yaitu:
1. Perdarahan dan nekrosis dibanyak organ, sekunder terhadap konstriksi kapiler
2. Endoteliosis kapiler glomerular
3. Tidak adanya dilatasi arteri spiral
Gambaran tersebut ditunjukkan dalam USG dengan :
a. Notch diastolik yang menetap diatas 24 minggu
b. Nilai ratio flow velocity doppler yang abnormal
ALUR PENGELOLAAN PENDERITA PREEKLAMSIA BERAT/EKLAMSIA

JANGAN BIARKAN PASIEN SENDIRIAN


TEMPATKAN PENDERITA SETENGAH DUDUK

Mintalah pertolongan pada petugas yang lain atau


keluarga penderita

JALAN NAFAS  Bersihkan jalan nafas  pertahankan


 Miringkan kepala penderita

PERNAFASAN  Berikan oksigen 4 -6 liter/ menit


 Kalau perlu lakukan ventilasi dengan balon dan masker

SIRKULASI  Observasi nadi dan tekanan darah


 Pasang IV line (infuse) dengan cairan RL/ RD5/ Na Cl 0,9%

 MgSO4 40% 4 gram (10 cc) dijadikan 20 cc diberikan IV


Bolus pelan ± 5 menit
Bila IM: Mg SO4 40% 8 gram (20 cc) bokong kanan/kiri
CEGAH KEJANG/ KEJANG Bila IV: Mg So4 40% 6 gram (15 cc) masukkan dalam cairan
ULANGAN RL/ RD5/ Na Cl 0,9% 250 cc drip dengan tetesan 15 tetes per
menit
Bila Kejang berlanjut:Mg SO4 40% 2 gram (5 cc) dijadikan
10 cc diberikan IV Bolus pelan ± 5 menit
 Pantau: Pernafasan, reflek patella,produksi urine
 Antidotum: calcium Gluconas 10% 10 cc IV pelan

 Antihipertensi diberikan bila:


PENGATURAN TEKANAN DARAH  Tekanan darah systole : ≥ 160mmHg
 Tekanan darah diatole: ≥ 110 mmhg
 NIFEDIPIN 10 mg Oral
 METILDOPA 250 mg

RUJUK  Dirujuk Langsung ke RUMAH SAKIT


 BAKSOKU
Bidan, Alat, Kendaraan, Surat, Obat, Keluarga, U
BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang
terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamtkan
jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat tim medis yang
menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas kesehatan yang terlatih
untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan
Prinsip umum penanganan kasus kegawatdaruratan
a. Pastikan jalan napas bebas
b. Pemberian oksigen
c. Pemberian cairan intravena
d. Pemberian tranfusi darah
e. Pasang kateter kandung kemih
f. Pemberian antibiotika
g. Obat pengurang rasa nyeri
h. Penanganan masalah utama
i. Rujukan           
Plasenta previa adalah keadaaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu
pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir
(Ostium Uteri Internal) (Rustam mochtar, 1998).
DAFTAR PUSTAKA

Nwobodo EL. Obstetric emergencies as seen in a tertiary health institution in


     North-Western Nigeria: maternal and fetal outcome. Nigerian Medical
     Practitioner. 2006;49(3):54–55.
Waspodo, dkk.. 2005. Pelatihan Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri neonatal Esensial
Dasar. Jakarta : Depkes RI.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I . EGC : Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Buku Panduan Praktis Maternal dan     Neonatal. 2002. YBSP :
Jakarta..
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. YBPSP: Jakarta.
Allen Carol Vestal, 1998, Memahami Proses Keperawatan,  EGC : Jakarta.
Aminullah Asril,1994, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina pustaka Sarwono
     Prawirohardjo: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai