Anda di halaman 1dari 57

63

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Dasar-dasar Penanganan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal


1. Pengertian Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara
tiba-tiba,

seringkali

merupakan

kejadian

yang

berbahaya.

Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang


kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan
membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa.
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa
yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan
kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam
kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya. Kasus gawat
darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani
akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab
utama kematian ibu, janin dan bayi baru lahir.
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan
manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( usia 28
hari) membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan
psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja
timbul sewaktu-waktu.

14

15

2. Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal


a. Sebab Kematian Ibu, Janin dan Bayi Baru Lahir
Kasus kegawatdaruratan obstetri ialah kasus yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan
janin. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu, janin dan bayi
baru lahir. Secara umum, terdapat 4 penyebab utama kematian ibu,
janin dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1) perdarahan; (2)
infeksi sepsis; (3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4)
persalinan macet (distosia).
Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung,
sedangkan ketiga penyebab yang lain dapat terjadi dalam kehamilan,
persalinan, dan masa nifas. Kasus perdarahan yang dimaksud disini
adalah perdarahan yang diakibatkan oleh perlukaan jalan lahir
mencakup juga kasus rupture uteri.
Selain keempat penyebab kematian tersebut, masih banyak jenis kasus
kegawatdaruratan obstetri baik yang terkait langsung dengan kehamilan
dan persalinan, misalnya emboli air ketuban, kehamilan ektopik,
maupun yang tidak terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan,
misalnya luka bakar, syok anafilaktik karena obat dan cedera akibat
kecelakaan lalu lintas.

b. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan tersebut berbeda-beda dalam
rentang yang cukup luas, sebagai berikut :

16

1) Kasus perdarahan, dapat bermanifestasi mulai dari perdarahan


berwujud bercak merembes, profus, sampai syok.
2) Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari
pengeluaran cairan pervaginam yang berbau, air ketuban hijau,
demam, sampai syok.
3) Kasus hipertensi dan preeclampsia/eklampsia, dapat bermanifestasi
mulai dari keluhan sakit/pusing kepala, bengkak, penglihatan kabur,
kejang-kejang, sampai koma/pingsan/tidak sadar.
4) Kasus persalinan macet, lebih mudah dikenal apabila kemajuan
persalinan tidak berlangsung sesuai dengan batas waktu yang
normal, tetapi kasus persalinan macet ini dapat merupakan
manifestasi rupture uteri.
5) Kasus kegawatdaruratan lain, bermanifestasi klinik sesuai dengan
penyebabnya.
Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting
agar pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat
manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan obstetri yang berbeda-beda
dalam rentang yang cukup luas, mengenal kasus tersebut tidak selalu
mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan, kemampuan daya
pikir dan daya analisis, serta pengalaman tenaga penolong. Kesalahan
ataupun keterlambatan dalam menentukan kasus dapat berakibat fatal.
Dalam prinsip, pada saat menerima setiap kasus yang dihadapi harus
dianggap gawatdarurat atau setidak-tidaknya dianggap berpotensi gawat
darurat, sampai ternyata setelah pemeriksaan selesai kasus itu ternyata
bukan kasus gawat darurat.

17

c. Prinsip Dasar
Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan
utama (diagnosis) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan
cepat, tepat, dan tenang tidak panik, walaupun suasana keluarga pasien
ataupun pengantarnya mungkin dalam kepanikan. Semuanya dilakukan
dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur pemeriksaan dan
pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan
antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap
diperhatikan.
1) Menghormati hak pasien
Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa
memandang status sosial dan ekonominya. Dalam hal ini petugas
harus memahami dan peka bahwa dalam situasi dan kondisi gawat
darurat perasaan cemas, ketakutan, dan keprihatinanan adalah wajar
bagi setiap manusia dan keluarga yang mengalaminya.

2) Gentleness
Dalam melakukan pemeriksaan ataupun memberikan pengobatan
setiap langkah harus dilakukan dengan penuh kelembutan, termasuk
menjelaskan kepada pasien bahwa rasa sakit atau kurang enak tidak
dapat dihindari sewaktu melakukan pemeriksaan atau memberikan
pengobatan, tetapi prosedur akan dilakukan selembut mungkin
sehingga perasaan kurang enak itu diupayakan sesedikit mungkin.
3) Komunikatif
Petugas kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa
dan kalimat yang tepat, mudah dipahami dan memperhatikan nilai

18

norma kultur setempat. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas


kesehatan harus menjelaskan kepada pasien apa yang akan diperiksa
dan apa yang diharapkan. Apabila hasil pemeriksaan normal atau
kondisi pasien sudah stabil, upaya untuk memastikan hal itu harus
dilakukan. Menjelaskan kondisi yang sebenarnya kepada pasien
sangatlah penting.
4) Hak pasien
Hak-hak pasien harus dihormati seperti penjelasan informed consent,
hak pasien untuk menolak pengobatan yang akan diberikan dan
kerahasiaan status medik pasien.

5) Family support
Dukungan keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu,
petugas kesehatan harus mengupayakan hal itu antara lain dengan
senantiasa memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang
kondisi pasien, peka akan masalah keluarga yang berkaitan dengan
keterbatasan keuangan, keterbatasan transportasi, dan sebagainya.
Dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat di nomor
duakan, misalnya apabila pasien dalam keadaan syok, dan petugas
kesehatan kebetulan hanya sendirian, maka tidak mungkin untuk
meminta informed consent kepada keluarga pasien. Prosedur untuk
menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan walaupun keluarga
pasien belum diberi informasi.
d. Penilaian Awal
Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam
keadaan gawat darurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan

19

pemeriksaan secara sistematis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik


umum, dan pemeriksaan obstetri. Dalam praktik, oleh karena
pemeriksaan sistematis membutuhkan waktu yang agak lama, padahal
penilaian harus dilakukan secara cepat, maka dilakukan penilaian awal.
Penilaian awal adalah langkah untuk menentukan dengan cepat kasus
obstetri

yang

dicurigai

dalam

keadaan

kegawatdaruratan

dan

membutuhkan pertolongan segera dengan mengidentifikasi penyulit


yang dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis lengkap belum
dilakukan. Anamnesa awal dilakukan bersama-sama periksa pandang,
periksa raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan
informasi yang sangat penting berkaitan dengan kasus. Misalnya
apakah kasus mengalami pendarahan, demam, tidak sadar, kejang,
susah mengedan atau bersalin lama, dan sebagainya. Fokus utama
penilaian adalah apakah pasien mengalami syok hipovolemik, syok
septik, syok jenis lain (syok kardiogenik, syok neurologic, dan
sebagainya), koma, kejang-kejang, atau koma disertai kejang-kejang,
dan hal itu terjadi dalam kehamilan, persalinan, atau pascapersalinan.
e. Prinsip Umum Penanganan
1) Pastikan jalan nafas bebas
Harus diyakini bahwa jalan nafas tidak tersumbat. Jangan
memberikan cairan atau makanan ke dalam mulut karena pasien
sewaktu-waktu dapat muntah dan cairan muntahan dapat terisap
masuk ke dalam paru-paru. Putarlah kepala pasien dan kalau perlu
putar juga badannya kesamping dengan demikian bila ia muntah,
tidak sampai terjadinya aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya

20

tetap hangat karena kondisi hipotermia berbahaya dan dapat


memperberat syok.
Naikkanlah kaki pasien untuk membantu aliran darah balik ke
jantung. Jika posisi berbaring menyebabkan pasien merasa sesak
nafas, kemungkinan hal ini dikarenakan gagal jantung dan edema
paru-paru.

Pada

kasus

demikian,

tungkai

diturunkan

dan

naikkanlah posisi kepala untuk mengurangi cairan dalam paru-paru.


2) Pemberian oksigen
Oksigen diberikan dengan kecepatan 6-8 liter/menit. Intubasi
maupun ventilasi tekanan positif hanya dilakukan kalau ada
indikasi yang jelas.
3) Pemberian cairan intravena
Cairan intravena diberikan pada tahap awal untuk persiapan
mengantisipasi kalau kemudian penambahan cairan dibutuhkan.
Pemberian cairan infus intravena selanjutnya baik jenis cairan,
banyaknya cairan yang diberikan, dan kecepatan pemberian cairan
harus sesuai dengan diagnosis kasus. Misalnya pemberian cairan
untuk mengganti cairan tubuh yang hilang pada syok hipovolemik
seperti pada perdarahan berbeda dengan pemberian cairan pada
syok septik. Pada umumnya dipilih cairan isotonik, misalnya NaCl
0,9% atau Ringer Laktat. Jarum infus yang digunakan sebaiknya
nomor 16-18 agar cairan dapat dimasukkan secara cepat.
Pengukuran banyaknya cairan infus yang diberikan sangatlah
penting. Berhati-hatilah agar tidak berlebihan memberikan cairan
intravena

terlebih

lagi

pada

syok

septik.

Setiap

tanda

pembengkakan, nafas pendek, dan pipi bengkak, kemungkinan

21

adalah tanda kelebihan pemberian cairan. Apabila hal ini terjadi,


pemberian cairan dihentikan. Diuretika mungkin harus diberikan
bila terjadi edema paru-paru.
4) Pemberian transfusi darah
Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai
syok, tranfusi darah sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa
penderita. Walaupun demikian, transfusi darah bukan tanpa resiko
dan bahkan dapat berakibat komplikasi yang berbahaya dan fatal.
Oleh karena itu, keputusan untuk memberikan transfusi darah harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Resiko yang serius berkaitan
dengan transfusi darah mencakup penyebaran mikroorganisme
infeksius (misalnya human immunodeficiency virus atau HIV dan
virus hepatitis), masalah yang berkaitan dengan imunologik
(misalnya hemolisis intravascular), dan kelebihan cairan dalam
transfusi darah.
5) Pasang kateter kandung kemih
Kateter kandung kemih dipasang untuk mengukur banyaknya urine
yang keluar guna menilai fungsi ginjal dan keseimbangan
pemasukan dan pengeluaran cairan tubuh. Lebih baik dipakai
kateter foley. Jika kateterisasi tidak mungkin dilakukan, urine
ditampung

dan

dicatat

kemungkinan

terdapat

peningkatan

konsentrasi urine (urine berwarna gelap) atau produksi urine


berkurang sampai tidak ada urine sama sekali. Jika produksi urine
mula-mula

rendah

kemudian

semakin

bertambah,

hal

ini

menunjukkan bahwa kondisi pasien membaik. Diharapkan


produksi urine paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 ml/jam.

22

6) Pemberian antibiotika
Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada
kasus sepsis, syok septik, cidera intraabdominal, dan peforasi
uterus. Pada kasus syok, pemberian antibiotika intravena lebih
diutamakan sebab lebih cepat menyebarkan obat ke jaringan yang
terkena infeksi. Apabila pemberian intravena tidak memungkinkan,
obat dapat diberikan intramuscular. Pemberian antibiotika peroral
diberikan jika pemberian intravena dan intramuscular tidak
memungkinkan, yaitu jika pasien dalam keadaan syok, pada infeksi
ringan, atau untuk mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi
diantisipasi dapat terjadi sebagai komplikasi.
7) Obat pengurang rasa nyeri
Pada beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri, penderita dapat
mengalami rasa nyeri yang membutuhkan pengobatan segera.
Pemberian

obat

pengurang

rasa

nyeri

jangan

sampai

menyembunyikan gejala yang sangat penting untuk menentukan


diagnosis. Hindarilah pemberian antibiotika pada kasus yang
dirujuk tanpa didampingi petugas kesehatan, terlebih lagi petugas
tanpa kemampuan untuk mengatasi depresi pernapasan.
8) Penanganan masalah utama
Penyebab utama kasus kegawatdaruratan kasus harus ditentukan
diagnosisnya dan ditangani sampai tuntas secepatnya setelah
kondisi pasien memungkinkan untuk segera ditindak. Kalau tidak,
kondisi kegawatdaruratan dapat timbul lagi dan bahkan mungkin
dalam kondisi yang lebih buruk.

23

9) Rujukan
Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai
untuk menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat,
maka kasus harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih
lengkap. Sebaiknya sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan
yang akan menerima rujukan dihubungi dan diberitahu terlebih
dahulu sehingga persiapan penanganan ataupun perawatan inap
telah dilkukan dan diyakini rujukan kasus tidak akan ditolak oleh
fasilitas kesehatan rujukan tersebut.
Kebanyakan ibu hamil tampak sehat-sehat saja sampai waktu
persalinan dan melahirkan. Meskipun sebagian besar ibu akan
mengalami persalinan normal, namun ada sekitar 10-15 % dari
mereka, khususnya di Indonesia akan mengalami masalah selama
proses persalinan dan kelahiran dan perlu dirujuk ketempat dimana
mereka bisa menerima pertolongan. Sulit untuk meramalkan ibu
mana yang akan mengalami masalah dan yang mana tidak. Oleh
sebab itu penting mendiskusikan kemungkinan rujukan dengan ibu
hamil semenjak ia dating untuk asuhan antenatal. Dari segi
penolong persalinan, seorang penolong persalinan juga sudah harus
mempunyai perencanaan yang baik mengenai sistem rujukan
berkaitan dengan kelengkapan fasilitas tempat rujukan, jarak dan
biaya pada tempat rujukan.
Berikut ini adalah ringkasan hal-hal yang penting untuk diingatkan
saat akan memberangkatkan ibu untuk dirujuk :

24

Bidan (B) yaitu jika mungkin pasien ditemani oleh seseorang bidan
atau petugas kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan
untuk memberikan penatalaksanaan awal kegawatdaruratan obstetri
dan bayi baru lahir. Alat (A) yaitu tersedian alat untuk pertolongan
persalinan bila ibu melahirkan saat diperjalanan ketempat rujukan.
Keluarga (K) yaitu beritahu ibu dan keluarga mengenai kondisi
terakhir ibu dan mengapa ibu perlu dirujuk. Amat dianjurkan agar
ada anggota keluarga khususnya suami menemani ibu hingga
ketempat rujukan. Surat (S) yaitu walaupun diterima oleh
bidan/petugas

kesehatan

adalah

sangat

dianjurkan

untuk

melampirkan surat yang menyatakan identitas pasien, penyebab


rujukan,

hasil

pemeriksaan,

diagnosis,

masalah

dan

penatalaksanaan/terapi yang telah diberikan termasuk partograf.


Obat (O) yaitu persiapan obat-obatan yang dibutuhkan untuk
menatalaksanaan kegawatdaruratan yang mungkin terjadi selama
perjalanan ke tempat rujukan. Kendaraan (K) yaitu siapkan
kendaraan yang paling memungkinkan ibu untuk dirujuk dalam
kondisi cukup nyaman, disamping kondisi kendaraan tersebut juga
cukup baik agar mencapai tempat rujukan pada waktu yang tepat.
Uang (U) yaitu ingatkan pada keluarga agar membawa uang dalam
jumlah yang cukup untuk membeli obat-obatan dan kebutuhan
lainnya selama proses rujukan.
f. Kunci Keberhasilan

25

Penanganan

kegawatdaruratan

maternal

dan

neonatal

meliputi

intervensi yang spesifik untuk menangani kasus kegawatan atau


komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan nifas serta kegawatan
pada bayi baru lahir di bawah 30 hari.Intervensi yang dilakukan antara
lain pemberian antibiotik intravena, penanganan komplikasi aborsi,
penanganan perdarahan postpartum, penanganan asfiksia neonatorum,
penanganan icterus neonatorum, dan lain sebagainya.
Kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal bukanlah merupakan
tanggung jawab petugas kesehatan untuk menanganinya. Namun,
dibutuhkan peran serta berbagai pihak dalam mewujudkan kondisi yang
mendukung demi tercapainya keselamatan ibu dan bayi yang
mengalami kegawatan melalui sistem pertolongan yang sinergi, bekerja
efektif, efisien dan kontinu.
Pemberi bantuan dana, pembuat kebijakan, dan petugas kesehatan harus
menyadari bahwa tujuan utama penanganan kegawatdaruratan maternal
dan neonatal adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya, juga
untuk menyelamatkan jiwa bayi yang baru lahir atau dengan kata lain
untuk mengurangi angka kematian ibu dan angka kematian neonatal.
Penyediaan pelayanan penanganan kegawatdaruratan yang berkualitas
bukanlah penyelesaian masalah. Bukan pula dengan tersedianya rumah
sakit yang menyediakan layanan pembedahan di kamar operasi, tetapi
ada beberapa poin yang menentukan behasilnya pertolongan kasus
kegawatdaruratan diantaranya sebagai berikut :
1) Pendidikan dan mobilisasi komunitas, tujuannya agar masyarakat
mengetahui

kapan

harus

mencari

pertolongan

dan

kapan

26

menghubungi petugas kesehatan jika tampak tanda bahaya atau


kegawatan.
2) Pinjaman dana komunitas, karena kurangnya biaya merupakan
masalah atau hambatan dalam mendapatkan pertolongan ataupun
penanganan di fasilitas kesehatan. Mendirikan sebuah pinjaman
dana komunitas memberikan dampak yang baik dimana masyarakat
termotivasi

dalam

mendonorkan

dana

demi

tercapainya

penggunaan fasilitas yang dibutuhkan oleh ibu ataupun bayi yang


mengalami kegawatan.
3) Trained and skilled staff, yakni petugas kesehatan yang terlatih dan
terampil.
4) Ketersediaan alat transportasi merupakan elemen yang krusial dari
kuatnya sistem rujukan. Alat transportasi tidak mesti harus
ambulans. Sarana transportasi umum seperti taxi ataupun mobil
pribadi dapat digunakan dalam situasi gawat darurat.
5) Maternity waiting homes (rumah singgah ibu) dirancang umumnya
untuk mengurangi komplikasi intra partum dan post partum.
Penggunaan MWH ini telah lama direkomendasikan oleh WHO
sebagai strategi untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian
ibu.
6) Ketersediaan obat, bahan, alat dan perlengkapan, kamar operasi
dan lain sebagainya di fasilitas kesehatan.
7) Lingkungan kerja yang kondusif serta kerja sama antara petugas
yang baik.
8) Meningkatkan kualitas sistem penanganan kegawatdaruratan
maternal dan neonatal pada setiap fasilitas kesehatan pusat
pelayanan kesehatan.

27

9) Komunikasi dan hubungan antara penolong kasus kegawatan pada


level komunikasi dengan petugas di fasilitas yang lebih baik
(tempat rujukan).

3. Indikator Kesehatan Maternal


Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan
kesehatan ibu di Indonesia adalah masih tingginya angka kematian ibu
yang berhubungan dengan persalinan. Menghadapi masalah ini maka pada
bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe Motherhood yang mempunyai
prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita terutama pada
masa kehamilan, persalinan dan pascapersalinan.
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika
persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan
janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah
penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Fakta
berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang
menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati.

28

Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan


ataupun dokter.
Masih banyak ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan
kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi
yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat
persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat
membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi.
Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan,
permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi
juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di
daerah pedesaan. Di samping itu, dengan masih adanya preferensi terhadap
jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan
istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang
relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pada saat
melahirkan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah
masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan
dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara,
kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan
pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenarnya sangat
dibutuhkan oleh ibu wanita hamil tentunya akan berdampak negatif
terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang
gizi pada ibu wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dan
memang selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga

29

rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan
bayi.
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para
ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir
dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah faktor memandirikan
peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatam
ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan
pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap
keluarga dalam menghadapi keadaan gawat.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun
beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah.
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya
disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya
murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan
dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari.
Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan
kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih,
namun praktik-praktik tradisional tertentu masih dilakukan.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan
dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat.
Tidak jarang pula nasihat-nasihat yang diberikan oleh teman atau tetangga
mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula
diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah ibu dengan tempat
pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh
faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa ibu ke

30

rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor
keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis, dan
kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga
oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa
segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan.
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih
diberlakukan juga pada masa paska persalinan. Pantangan ataupun anjuran
ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya,
ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak
produk ASI ; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap
dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktikpraktik yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi
fisik dan kesehatan ibu. Misalnya, mengurut perut yang bertujuan untuk
mengembalikan rahim ke posisi semula.
4. Manajemen Asuhan Kebidanan
Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan
dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis, mulai
dari pengkajian, analisa data, diagnosis kebidanan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.
Proses manajemen terdiri dari 7 langkah berurutan dimana setiap langkah
disempurnakan secara periodik. Proses dimulai dengan pengumpulan data
dasar dan berakhir dengan evaluasi. Ketujuh langkah tersebut membentuk
suatu kerangka lengkap yang diaplikasikan dalam situasi apa pun. Akan
tetapi, setiap langkah dapat diuraikan lagi menjadi langkah-langkah yang
lebih rinci dan bisa berubah sesuai dengan kondisi klien.

31

Ketujuh langkah manajemen kebidanan menurut Varney adalah sebagai


berikut :
a. Langkah I : Identifikasi Data Dasar
1) Pada langkah pertama ini

dilakukan

pengkajian

dengan

mengumpulkan semua informasi yang akurat dan lengkap dari


semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
2) Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan dan pemeriksaan tandatanda fital.
3) Pemeriksaan penunjang (laboratorium).
b. Langkah II : Identifikasi Diagnosis atau Masalah Aktual
Ada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar, terhadap diagnosis
atau masalah kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas
data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan
diinterpretasikan, sehingga dapat merumuskan Diagnosis dan masalah
yang spesifik.
c. Langkah III : Antisipasi Diagnosis/Masalah Potensial
Pada langkah ini, dilakukan identifikasi diagnosis atau masalah
potensial dan mengantisipasi penanganannya. Pada langkah ini kita
mengidentifikasi masalah potensial atau diagnosis potensial yang
berdasarkan

rangkaian

diidentifikasikan.

masalah

Langkah

ini

dan

diagnose

membutuhkan

yang
antisipasi

sudah
bila

memungkinkan dilakukan pencegahan, sambil mengamati klien, bidan


diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnosis/masalah potensial ini
benar-benar terjadi. Langkah ini sangat penting didalam melakukan
asuhan yang aman.
d. Langkah IV : Tindakan Segera dan Kolaborasi
Pada langkah ini mencerminkan kesinambungan dari proses manajemen
kebidanan. Bidan menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera,

32

melakukan konsultasi, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain


berdasarkan kondisi klien, pada langkah ini bidan juga harus
merumuskan tindakan emergency untuk menyelamatkan ibu dan bayi,
yang mampu dilakukan secara mandiri dan bersifat rujukan.
e. Langkah V : Rencana Tindakan Asuhan
Kebidanan pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh
yang ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya dan merupakan
lanjutan manajemen terhadap diagnosis atau masalah yang telah
diidentifikasikan atau diantisipasi. Rencana tindakan komprehensif
bukan hanya meliputi kondisi klien serta hubungannya dengan masalah
yang dialami oleh klien, tetapi juga dari kerangka pedoman antisipasi
terhadap klien, serta penyuluhan, konseling dan apakah perlu merujuk
klien bila ada masalah-masalah yang berkaitan dengan social-ekonomi,
agama, kultural ataupun masalah psikologis. Setiap rencana asuhan
harus diseratai oleh klien dan bidan agar dapat dilaksanakan dengan
efektif. Sebab itu, harus berdasarkan rasional yang relevan dan
kebenarannya serta situasi dan kondisi tindakan harus secara teoritis.
f. Langkah VI : Implementasi Tindakan
Asuhan kebidanan melaksanakan rencana tindakan serta efesiensi dan
menjamin rasa aman klien. Implementasi dapat dikerjakan keseluruhan
oleh bidan ataupun bekerja sama dengan kesehatan lain. Bidan harus
melakukan implementasi yang efesien dan akan mengurangi waktu
perawatan serta akan meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan.
g. Langkah VII : Evaluasi
Tindakan asuhan kebidanan mengetahui sejauh mana tingkat
keberhasilan asuhan yang diberikan kepada klien. Pada tahap evaluasi

33

ini bidan harus melakukan pengamatan dan observasi terhadap masalah


yang duhadapi klien, apakah masalah diatasi seluruhnya, sebagian telah
dipecahkan atau mungkin timbul masalah baru. Pada prinsipnya
tahapan evaluasi adalah pengkajian kembali terhadap klien untuk
menjawab pertanyaan seberapa jauh tercapainya rencana yang
dilakukan.

B. Indikator Mutu Pelayanan Kebidanan


1. Definisi
Indikator adalah pengukuran tidak langsung suatu peristiwa atau kondisi.
Contoh : berat badan bayi dan umurnya adalah indikator status nutrisi dari
bayi tersebut (Wilson & Sapanuchart, 1993).
Indikator adalah variabel yang mengindikasikan atau menunjukkan satu
kecendrungan situasi, yang dapat dipergunakan untuk mengukur
perubahan (Green, 1992).
Indikator adalah variabel untuk mengukur suatu perubahan baik langsung
maupun tidak langsung (WHO, 1981).
Ada dua kata penting dalam pengertian tersebut diatas adalah pengukuran
dan perubahan. Untuk mengukur tingkat hasil suatu kegiatan digunakan
indikator sebagai alat atau petunjuk untuk mengukur prestasi pelaksanaan

34

suatu kegiatan. Indikator adalah alat atau petunjuk untuk mengukur


prestasi suatu pelaksanaan kegiatan. Indikator adalah tolak ukur yang
menunjukkan tercapai tidaknya suatu standar pelayanan kesehatan, dapat
diukur dengan menggunakan instrumen atau suatu daftar tilik.
Mutu pelayanan kesehatan adalah penampilan yang pantas dan sesuai
(yang berhubungan dengan standar-standar) dari suatu intervensi yang
diketahui aman, yang dapat memberikan hasil kepada masyarakat yang
bersangkutan dan yang telah mempunyai kemampuan untuk menghasilkan
dampak (Amirudin, 2007).
Indikator mutu pelayanan kesehatan terdiri dari beberapa macam.
Indikator adalah suatu perangkat yang dapat digunakan dalam pemantauan
suatu proses tertentu. Indikator mutu pelayanan kesehatan adalah suatu
ukuran penatalaksanaan pasien atau keluaran dari layanan kesehatan.
Indikator dibuat untuk memantau bagian kritis dari layanan kesehatan.
2. Klasifikasi Indikator
Menurut Amiruddin (2007) dalam melakukan penilaian mutu ada tiga
pendekatan penilaian mutu yaitu Struktur, Proses dan Outcomes.
Menurut Donabedian sebagaimana dikutip Mulyadi (2001 : 1-2),
pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat diukur dengan menggunakan
tiga variabel :
a. Input (struktur) yaitu segala sumber daya yang diperlukan untuk
melakukan pelayanan kesehatan, seperti tenaga, dana, obat, fasilitas,
peralatan, bahan, teknologi, organisasi, informasi dan lain-lain.
Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input yang
bermutu pula. Hubungan struktur dengan mutu pelayanan kesehatan

35

adalah dalam perencanaan dan pergerakan pelaksanaan pelayanan


kesehatan.
b. Proses ialah interaksi profesional antara pemberi pelayanan dengan
konsumen (pasien/masyarakat). Proses ini merupakan variabel penilaian
mutu yang penting.
c. Output/Outcome ialah hasil pelayanan kesehatan merupakan perubahan
yang terjadi pada konsumen (pasien/masyarakat), termasuk kepuasan
dari konsumen tersebut.
Sistem klasifikasi indikator didasarkan atas kerangka kerja yang logis
dimana kontinum masukan (input) pada akhirnya mengarah pada luaran
(outcomes).
Indikator input (struktur) merujuk pada sumber-sumber yang diperlukan
untuk melaksanakan aktivitas personel, alat/fasilitas, informasi, dana,
peraturan/kebijakan. Struktur meliputi sarana fisik perlengkapan dan
peralatan, organisasi dan manajemen keuangan, sumberdaya manusia
lainnya di fasilitas kesehatan. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat
diukur dari :
a.
b.
c.
d.

Jumlah besarnya input


Mutu struktur atau mutu input
Besarnya anggaran atau biaya
Kewajaran

Indikator proses adalah memonitor tugas atau kegiatan yang dilaksanakan.


Indikator output mengukur hasil meliputi cakupan, termasuk pengetahuan,
sikap dan perubahan perilaku yang dihasilkan oleh tindakan yang

36

dilakukan. Indikator ini juga disebut indikator efek. Proses merupakan


semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga
kesehatan (dokter, perawat dan tenaga profesional lainnya) dan interaksi
dengan klien. Proses mencakup diagnosa, rencana pengobatan, indikasi
pengobatan, indikasi tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Baik
tidaknya proses dapat diukur dari :
a. Relevan tidaknya proses itu bagi klien.
b. Fleksibilitas dan efektifitas.
c. Mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang
semestinya.
d. Kewajaran, tidak kurang dan tidak berlebihan.
Indikator outcome dipergunakan untuk menilai perubahan atau dampak
(impact) suatu program, perkembangan jangka panjang termasuk
perubahan status kesehatan masyarakat/penduduk. Outcomes adalah hasil
akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap klien.
Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik
positif maupun negatif. Outcome jangka pendek adalah hasil dari segala
suatu tindakan tertentu atau prosedur tertentu. Outcome jangka panjang
adalah status kesehatan dan kemampuan fungsional klien.
Ilustrasi dari kontinum indikator dengan contoh kegiatan imunisasi : input
meliputi peralatannya, vaksin dan alat proteksi dan staf yang terlatih,
proses adalah kegiatan dalam melakukan aktifitas pemberian imunisasi,
output meliputi cakupan pemberian meningkat adalah output dan outcome
adalah dampaknya sebagai efek output antara lain menurunnya morbiditas

37

dan mortalitas dari upaya pencegahan penyakit melalui imunisasi


(outcome).
Indikator klinis adalah indikator yang berfokus pada hasil asuhan kepada
pasien dan proses serta spesifikasinya. Indikator klinis adalah ukuran
kuantitas sebagai pedoman untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas
asuhan pasien dan berdampak pada pelayanan. Indikator harus selalu
dimonitor agar diketahui jika terjadi penyimpangan, individu juga dapat
menilai tingkat prestasinya sendiri (self assessment). Kinerja bidan adalah
proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh suatu organisasi dalam
memberikan jasa atau produk kepada pelanggan. Sekumpulan prinsipprinsip pedoman untuk kegiatan dimana pekerjaan setiap individu
memberikan sumbangan bagi perbaikan pelayanan kesehatan secara
keseluruhan. Bagaimana saya dapat membantu orang lain untuk
memahami arti pekerjaan bagi keseluruhan. Secara garis besar ada lima
kegiatan utama bidan :
a. Merumuskan tanggungjawab dan tugas yang harus dicapai oleh
bidan/perawat dan disepakati oleh atasannya. Rumusan ini mencakup
kegiatan yang dituntut untuk memberikan sumbangan berupa hasil
kerja.
b. Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk hasil yang harus dicapai dalam
kurun waktu tertentu, termasuk penetapan standar prestasi dan tolak
ukurnya.
c. Melakukan monitoring, koreksi, memfasilitasi serta memberikan
kesempatan untuk perbaikan.

38

d. Menilai prestasi perawat/bidan tersebut dengan cara membandingkan


prestasi actual dengan standar.
Indikator inilah yang selalu diterapkan dilapangan, seorang bidan yang
mempunyai tanggungjawab dan tugas selalu memperhatikan tindakan yang
dilakukannya agar kliennya tidak kecewa dengan pelayanan yang
diberikan bidan kepadanya, dan hasilnya juga memuaskan. Klien puas
dengan pelayanan seorang bidan pun senang atas hasil pekerjaannya
tersebut.
3. Karakteristik Indikator
Indikator memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Sahih (valid) artinya indikator benar-benar dapat dipakai untuk
mengukur aspek-aspek yang akan dinilai.
b. Dapat dipercaya (reliable) mampu menunjukkan hasil yang sama pada
saat yang berulangkali, untuk waktu sekarang maupun yang akan
datang.
c. Peka (sensitive) cukup peka untuk mengukur sehingga jumlahnya tidak
perlu banyak.
d. Spesifik (specific) memberikan gambaran perubahan ukuran yang jelas
dan tidak tumpang tindih.
e. Relevan sesuai dengan aspek kegiatan yang akan diukur dan kritikal.
Contoh : pada unit bedah indikator yang dibuat berhubungan dengan
pre-operasi dan post-operasi.
4. Standar Outcome
Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan
profesional terhadap klien. Dapat berarti adanya perubahan derajat
kesehatan dan kepuasan baik positif maupun negatif. Outcome jangka

39

pendek adalah hasil dari segala suatu tindakan tetentu atau prosedur
tertentu. Outcome jangka panjang adalah status kesehatan dan kemampuan
fungsional klien. Standar outcome diukur melalui hasil :
a. Kepuasan pelanggan
Dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman klien. Berkaitan dengan
kepuasan, terdapat masalah pokok yang ditemukan yaitu kepuasan yang
bersifat subjektif. Tiap orang memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda. Sekalipun pelayanan kebidanan telah memuaskan klien, tetapi
masih banyak ditemukan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
profesi dank ode etik. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan
pembatasan yaitu :
1) Pembatasan pada derajat kepuasan klien
Pengukuran kepuasan dilakukan tidak secara individual, tetapi yang
dipakai adalah kepuasan rata-rata. Pelayanan kebidanan bermutu
apabila dapat memuaskan klien.
2) Pembatasan pada upaya yang dilakukan
Pelayanan kebidanan yang menimbulkan kepuasan harus memenuhi
kode etik dan standar pelayanan kebidanan. Mutu pelayanan
kebidanan merujuk pada tingkat kesempurnaan yang dapat
memuaskan dengan tingkat rata-rata klien serta penyelenggaraannya
sesuai dengan kode etik dan standar profesi kebidanan.
b. Ketepatan pelayanan kesehatan
Sesuai standar dan etika profesi. Ketetapan sebagai indikator mutu
pelayanan

kesehatan

dimaksudkan

adalah

penanganan kesehatan yaitu :


1) Tepat dalam pelayanan atau penanganannya
2) Tepat waktu pelaksanaan tindakan
3) Tepat dalam pemberian obat serta dosisnya
4) Tepat dalam penggunaan fasilitasnya
c. Efisiensi pelayanan kesehatan

keefektifan

dalam

40

Menggunakan input dan proses minimal dengan hasil maksimal. Mutu


pelayanan kesehatan dikatakan efisien erat hubungannya dengan :
1) Dapat dicegahnya yankes yang dibawah standar dan ataupun yang
berlebihan.
2) Biaya yang ditambahkan karena harus menangani efek samping atau
komplikasi karena yankes dibawah standar akan dapat dihindari.
3) Pemakaian sumber daya yang tidak pada tempatnya yang ditemukan
pada pelayanan yang berlebihan.
d. Efektifitas pelayanan kesehatan
Sesuai kebutuhan klien. Mutu pelayanan kesehatan dikatakan efektif
erat hubungannya dengan dapat diatasinya masalah kesehatan secara
tepat, karena pelayanan kesehatan yang diselenggarakan telah sesuai
dengan kemajuan ilmu dan tekhnologi dan ataupun standar yang telah
ditetapkan.
5. Efisiensi dan Efektifitas
a. Efisiensi
Efisiensi mutu pelayanan kesehatan merupakan dimensi penting dari
mutu karena efisiensi akan mempengaruhi hasil pelayanan kesehatan,
apalagi sumberdaya pelayanan kesehatan pada umumnya terbatas.
Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang optimal
daripada memaksimalkan pelayanan kepada pasien dan masyarakat.
Petugas akan memberikan pelayanan yang terbaik dengan sumber daya
yang dimiliki. Pelayanan yang kurang baik karena norma yang tidak
efektif atau pelayanan yang salah harus dikurangi atau dihilangkan,
dengan cara ini kualitas dapat ditingkatkan sambil menekan biaya.
Pelayanan yang kurang baik, disamping menyebabkan resiko yang tidak
perlu terjadi dan kurang nyamannya pasien, seringkali mahal dan

41

memakan waktu yang lama untuk memperbaiki. Peningkatan kualitas


memerlukan tambahan sumber daya, tetapi dengan menganalisis
efisiensi, manajer program kesehatan dapat memilih intervensi yang
paling cost-effective.
Efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna
pencapaian hasil yang optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuantujuan yang benar telah ditentukan dan berusaha untuk mencari caracara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Efisiensi
hanya

dapat

dievaluasi

dengan

penilaian-penilaian

relatif,

membandingkan antara masukan dan keluaran yang diterima. Sebagai


contoh untuk menyelesaikan sebuah tugas, cara A membutuhkan waktu
1 jam sedangkan cara B membutuhkan waktu 2 jam, maka cara A lebih
efisien daripada cara B. Dengan kata lain tugas tersebut dapat selesai
menggunakan cara dengan benar atau efisiensi. Mutu pelayanan
kesehatan dikatakan efisien erat hubungannya dengan :
1) Dapat dicegahnya pelayanan kesehatan yang dibawah standard an
ataupun yang berlebihan.
2) Biaya yang ditambahkan karena harus menangani efek samping
atau komplikasi karena yankes dibawah standar akan dapat
dihindari.
3) Pemakaian sumber daya yang tidak pada tempatnya yang
ditemukan pada pelayanan yang berlebihan.

42

b. Efektivitas
Efektivitas adalah pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuantujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan
menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas bisa juga
diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapain tujuantujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat
selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka
tersebut adalah benar atau efektif.
1) Besarnya masalah yang dapat diselesaikan.
2) Pentingnya cara penyelesaian masalah.
3) Sensitifitas cara penyelesaian masalah.
Mutu pelayanan kesehatan dikatakan efektif erat hubungannya dengan
dapat diatasinya masalah kesehatan secara tepat, karena pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan telah sesuai dengan kemajuan ilmu dan
tekhnologi dan ataupun standar yang telah ditetapkan.
Efektifitas adalah melakukan tugas yang benar sedangkan efisiensi
adalah melakukan tugas dengan benar. Penyelesaian yang efektif belum
tentu efisien begitu juga sebaliknya. Yang efektif bisa saja
membutuhkan sumber daya yang sangat besar sedangkan yang efisien
barangkali memakan waktu yang lama. Sehingga sebisa mungkin
efektifitas dan efisiensi bisa mencapai tingkat optimum untuk keduaduanya.
6. Penilaian Mutu Pelayanan Kebidanan Siklus PDCA
Konsep siklus PDCA pertama kali diperkenalkan oleh Walter Shewhart
pada tahun 1930 yang disebut dengan Shewhart cycle. PDCA singkatan

43

bahasa inggris dari Plan, Do, Check, Act ( Rencanakan, Kerjakan, Cek,
Tindak lanjuti) adalah suatu proses pemecahan masalah empat langkah
interatif yang umum digunakan dalam pengendalian kualitas. Selanjutnya
konsep ini dikembangkan oleh Dr.Walter Edwards Deming yang kemudian
dikenal dengan The Deming Wheel. (Tjitro, 2009).
Metode ini dipopulerkan oleh W.Edwads Deming yang sering dianggap
sebagai bapak pengendalian kualitas modern sehingga sering juga disebut
dengan siklus Deming. Deming sendiri selalu merujuk metode ini sebagai
siklus Shewhart dari nama Walter A. Shewhart yang sering dianggap
sebagai bapak pengendalian kualitas statistik. Siklus PDCA berguna
sebagai pola kerja dalam perbaikan suatu proses atau sistem mutu
pelayanan kesehatan.
PDCA merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan kerja,
pelaksanaan kerja, pengawasan kerja dan perbaikan kerja yang dilakukan
terus menerus dan berkesinambungan mutu pelayanan. Siklus PDCA
digunakan dalam pelayanan kesehatan untuk penyelesaian masalah dalam
rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Secara sederhana siklus
PDCA dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Siklus PDCA

44

Siklus PDCA terdiri dari empat tahapan yaitu :


a. Perencanaan (Plan)
Tahapan pertama adalah membuat suatu perencanaan. Perencanaan
merupakan suatu upaya menjabarkan cara penyelesaian masalah yang
ditetapkan ke dalam unsur-unsur rencana yang lengkap serta saling
terkait dan terpadu sehingga dapat dipakai sebagai pedoman dalam
melaksanakan cara penyelesaian masalah. Hasil akhir yang dicapai dari
perencanaan adalah tersusunnya rencana kerja penyelesaian masalah
mutu yang akan diselenggarakan. Syarat rencana kerja (Plan) yaitu :
1) Berorientasi ke masa depan.
2) Flesibel, logis dan masuk akal.
3) Mengandung uraian semua unsur rencana.
Rencana kerja penyelesaian masalah mutu yang baik mengandung
setidak-tidaknya tujuh unsur rencana yaitu :
1) Judul rencana kerja (topic)
2) Pernyataan tentang macam dan besarnya masalah mutu yang
dihadapi (problem statement).
3) Rumusan tujuan umum dan tujuan khusus, lengkap dengan target
yang ingin dicapai (goal, objective and target).
4) Kegiatan yang akan dilakukan (activities).
5) Organisasi dan susunan personalia pelaksana (organization and
personnels).
6) Biaya dan waktu yang diperlukan (budget and time).
7) Tolak ukur keberhasilan yang dipergunakan (milestone).
b. Pelaksanaan (Do)
Tahapan kedua yang dilakukan ialah melaksanakan rencana yang telah
disusun. Jika pelaksanaan rencana tersebut membutuhkan keterlibatan

45

staf lain diluar anggota tim, perlu terlebih dahulu diselenggarakan


orientasi, sehingga staf pelaksana tersebut dapat memahami dengan
lengkap rencana yang akan dilaksanakan. Pada tahap ini diperlukan
suatu kerjasama dari para anggota dan pimpinan manajerial. Untuk
dapat mencapai kerjasama yang baik, diperlukan keterampilan pokok
manajerial yaitu :
1) Keterampilan komunikasi (communication) untuk menimbulkan
pengertian staf terhadap cara penyelesaian mutu yang akan
dilaksanakan.
2) Keterampilan motivasi (motivation) untuk mendorong staf bersedia
menyelesaikan cara penyelesaian masalah mutu yang telah
direncanakan.
3) Keterampilan kepemimpinan (leadershif) untuk mengkoordinasikan
kegiatan cara penyelesaian masalah mutu yang dilaksanakan.
4) Keterampilan pengarahan (directing) untuk mengarahkan kegiatan
yang dilaksanakan. Dibutuhkan dua hal yaitu :
a) Pemahaman rencana kerja antara lain orientasi dan pelatihan.
b) Kerja sama antara lain komunikasi, motivasi, kepemimpinan,
pengarahan dan supervise.
c. Pemeriksaan (Check)
Tahapan ketiga yang dilakukan ialah secara berkala memeriksa
kemajuan dan hasil yang dicapai dan pelaksanaan rencana yang telah
ditetapkan. Tujuan dari pemeriksaan untuk mengetahui :
1) Sampai seberapa jauh pelaksanaan cara penyelesaian masalahnya
telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
2) Bagian mana kegiatan yang berjalan baik dan bagian mana yang
belum berjalan dengan baik.
3) Apakah sumberdaya yang dibutuhkan masih cukup tersedia.

46

4) Apakah cara penyelesaian masalah yang sedang dilakukan


memerlukan perbaikan atau tidak. Terdapat dua cara yang sering
dipergunakan untuk dapat memeriksa pelaksanaan cara penyelesaian
masalah yakni :
a) Lembaran pemeriksaan (check list)
Lembar pemeriksaan adalah suatu formulir yang digunakan untuk
mencatat secara periodik setiap penyimpangan yang terjadi.
Langkah pembuatan lembar pemeriksaan adalah : tetapkan jenis
penyimpangan yang diamati, tetapkan jangka waktu pengamatan,
lakukan perhitungan penyimpangan.
b) Peta kontrol (control diagram)
Peta kontrol adalah suatu peta/grafik yang menggambarkan
besarnya penyimpangan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu.
Peta kontrol dibuat berdasarkan lembar pemeriksaan. Langkahlangkah yang dilakukan dalam pembuatan peta kontrol adalah :
tetapkan garis penyimpangan minimum dan maksimum, tentukan
presentase penyimpangan, buat grafik penyimpangan dan nilai
grafik.

d. Perbaikan (Action)
Tahapan keempat yang dilakukan adalah melaksankan perbaikan
rencana kerja. Lakukanlah penyempurnaan rencana kerja atau bila perlu
mempertimbangkan pemilihan dengan cara penyelesaian masalah lain.
Untuk selanjutnya rencana kerja yang telah diperbaiki tersebut
dilaksanakan kembali. Jangan lupa untuk memantau kemajuan serta

47

hasil yang dicapai. Untuk kemudian tergantung dari kemajuan serta


hasil tersebut, laksanakan tindakan yang sesuai.
7. Cara Penilaian Mutu Pelayanan Kebidanan
a. Observasi
Observasi (pengamatan) adalah suatu prosedur yang berencana, yang
meliputi melihat, mendengar dan mencatat sejumlah dan taraf aktivitas
tertentu atau situasi tertentu yang ada hubungannya dengan masalah
yang diteliti. Observasi yaitu mengamati pada saat pelayanan.
Observasi adalah suatu penyelidikan yang dijalankan secara sistematis
dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata
terhadap kejadian-kejadian yang langsung. (Bimo Walgito, 1987 : 54).
Observasi adalah suatu tekhnik untuk mengamati secara langsung
maupun tidak langsung gejala-gejala yang sedang atau berlangsung
baik di dalam (di luar) sekolah. (Djumhur, 1985 : 51).
Observasi sebagai alat pengumpul data, pengamatan yang memiliki
sifat-sifat. (Depdikbud , 1975 : 50) antara lain :
1) Dilakukan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan lebih dulu.
2) Direncanakan secara sistematis.
3) Hasilnya dicatat dan diolah sesuai dengan tujuannya.
4) Dapat diperiksa validitas, reliabilitas dan ketelitiannya.
5) Bersifat kuantitatif.
b. Wawancara
Wawancara

adalah

suatu

metode

yang

dipergunakan

untuk

mengumpulkan data, dimana peneliti mendapat keterangan atau


informasi secara lisan dari sasaran penelitian (responden), atau
bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut (face to face).
Wawancara dengan diskusi, tanya jawab, cek pemahaman. (Kartono,
1980 : 171).

48

Interview (wawancara) suatu percakapan yang diarahkan pada suatu


masalah, ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang
atau lebih berhadap-hadapan fisik.
Dalam proses interview terdapat dua pihak dengan kedudukan yang
berbeda. Pertama berfungsi sebagai penanya disebut pula sebagai
interviewer, yang lainnya berfungsi sebagai pemberi informasi
(information supplyer), interviewer atau informan.
Interviewer mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meminta keterangan
(penjelasan), sambil menilai jawaban-jawabannya. Sekaligus ia
mengadakan paraphrase (menyatakan kembali isi jawaban interview
dengan kata-kata lain), mengingat-ingat dan mencatat jawabanjawaban. Disamping itu dia juga menggali keterangan-keterangan lebih
lanjut dan berusaha melakukan probing (rangsangan, dorongan).
c. Dokumen
Dokumen sebuah tulisan yang memuat informasi. Biasanya dokumen
ditulis dikertas dan informasinya ditulis memakai tinta baik memakai
tangan atau memakai media elektronik, melihat kelengkapan dokumen
rekam medic, register dan buku catatan.

C. Kompetensi dan Mutu Pelayanan Kesehatan

49

1. Pengertian Kompetensi
Cut
Zurnali (2010) dalam bukunya yang berjudul Learning
Organization, Competency, Organizational Commitment, dan Customer
Orientation : Knowledge Worker Kerangka Riset Manajemen
Sumberdaya Manusia di Masa Depan merangkum beberapa pengertian
kompetensi dari pakar. Berikut akan disajikan definisi kompetensi :
a. Richard E. Boyatziz (2008) mengemukakan : kompetensi merupakan
karakteristik-karakteristik dasar seseorang yang menentukan atau
menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol.
b. Menurut Glossary Our Workforce Matters (Sinnot. et.al: 2002),
kompetensi

adalah

karakteristik

dari

karyawan

yang

mengkontribusikan kinerja pekerjaan yang berhasil dan pencapaian


hasil organisasi. Hal ini mencakup pengetahuan, keahlian dan
kemampuan ditambah karakteristik lain seperti nilai, motivasi, inisiatif
dan kontrol diri.
c. Le Boterf dalam Denise et al (2007) menyatakan : kompetensi
merupakan sesuatu yang abstrak; hal ini tidak menunjukkan adanya
material dan ketergantungan pada kegiatan kecakapan individu. Jadi
kompetensi bukan keadaan tapi lebih pada hasil kegiatan dari
pengkombinasiaan sumberdaya personal (pengetahuan, kemampuan,
kualitas, pengalaman, kapasitas kognitif, sumberdaya emosional dan
lainnya) dan sumberdaya lingkungan (teknologi, database, buku,
jaringan hubungan dan lainnya).
d. Menurut Sinnot et al (2002) kompetensi adalah alat pengkritisi dalam
tuga kerja dan pergantian perencanaan. Di tingkat minimum,
kompetensi berarti : a) mengenali kapabilitas, sikap dan atribut yang

50

dibutuhkan untuk memenuhi staf saat ini dan dimasa depan sebagai
prioritas organisasi dan pertukaran strategis; dan b) memfokuskan
pada

usaha

pengembangan

karyawan

untuk

menghilangkan

kesenjangan antara kapabilitas yang dibutuhkan dengan yang tersedia.


e. Menurut Watson Wyatt dalam Ruky (2003:106) competency
merupakan

kombinasi

dari

keterampilan

(skill),

pengetahuan

(knowledge), dan perilaku (attitude) yang dapat diamati dan


diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan
prestasi

kerja

serta

kontribusi

pribadi

karyawan

terhadap

organisasinya.
f. Menurut Yodhia Antariksa (2007), secara general, kompetensi sendiri
dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara keterampilan (skill),
atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui
perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan
dievaluasi. Dalam sejumlah literature, kompetensi sering dibedakan
menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang
berkaitan dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan,
hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang
lain. Contoh soft competency adalah : leadership, communication,
interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut
hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan
kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain,
kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan
dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah :

51

electrical engineering, marketing research, financial analysis,


manpower planning, dll.
g. Menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan : pasal 1 (10),
kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan
standar yang ditetapkan.
h. Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46A Tahun
2003 Tanggal 21 November 2003 menyatakan bahwa, kompetensi
adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang Pegawai
Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku
yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga
Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara
professional, efektif dan efisien.

Tahun 1960, konsep kompetensi mulai diterapkan di Amerika Serikat


untuk program pendidikan guru. Pda tahun 1970, dikembangkan untuk
program pendidikan professional lainnya, untuk program pelatihan
kejuruan di Inggris dan Jerman pada tahun 1980 serta untuk pelatiahan
kejuruan dan pengenalan keterampilan professional di Australia pada
tahun 1990. Konsep kompetensi mulai menjadi trend dan banyak
dibicarakan sejak tahun 1993 dan saat ini menjadi sangat popular

52

terutama dilingkungan perusahaan multinasional dan nasional yang


modern (Centerpoint Technologies, 2011).
2. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari proses mencari tahu, dari yang tadinya
tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat menjadi dapat. Dalam proses
mencari tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep-konsep, baik
melalui proses pendidikan maupun melalui pengalaman. (Notoatmodjo,
2005).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam
menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari,
sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang
mendukung tindakan seseorang.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek
penelitian atau responden. (Notoatmodjo, 2003).
a. Pengetahuan dikatakan baik bila skor > 75%-100%
b. Pengetahuan dikatakan cukup bila skor 60%-75%
c. Pengetahuan dikatakan kurang bila skor < 60%
Seorang bidan, dalam melaksanakan tugasnya harus mempunyai
pengetahuan tentang ilmu kebidanan. Yaitu ilmu yang mempelajari
tentang keilmuan dan seni yang mempersiapkan kehamilan, menolong
persalinan, nifas dan menyusui, masa interval dan pengaturan kesuburan,
klimakterium dan menopause, bayi baru lahir dan balita, fungsi-fungsi

53

reproduksi manusia serta memberikan bantuan/ dukungan pada


perempuan, keluarga dan komunitasnya.
3. Keterampilan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keterampilan berarti cakap,
mampu dan cekatan dalam melaksanakan tugas.
Sedangkan didalam Bahasa Inggris, keterampilan (skill) mempunyai
beberapa pengertian, yaitu :
a. An ability that has been acquired by training (noun.cognition) atau
kemampuan yang didapat melalui suatu pelatihan.
b. Ability to produce solutions in some problem

domain

(noun.cognition) atau kemampuan untuk menghasilkan solusi atau


pemecahan atas suatu masalah.
D. Konsep Sarana dan Prasarana
1. Instalasi Gawat Darurat
Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang
memiliki kemampuan :
a. Melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat
b. Melakukan resusitasi dan stabilisasi
Pelayanan di Unit Gawat Darurat rumah sakit harus dapat memberikan
pelayanan 24 jam. Memiliki dokter spesialis empat besar yang siap panggil
(on-call), dokter umum yang siaga ditempat (on-site) dalam 24 jam yang
memiliki kualifikasi pelayanan GELS (General Emergency Life Support)
dan atau ATLS + ACLS dan mampu memberikan resusitasi dan stabilisasi
ABC (Airway, Breathing, Circulation) serta memiliki alat transportasi
untuk rujukan dan komunikasi yang siaga 24 jam. (Depkes RI, 2007).
a. Lingkup Sarana Pelayanan

54

1) Program Pelayanan pada UGD : True Emergency (Kegawatan


a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)

darurat)
False Emergency (Kegawatan tidak darurat)
Cito Operation.
Cito/ Emergency High Care Unit (HCU).
Cito Lab.
Cito Radiodiagnostik.
Cito Darah.
Cito Depo Farmasi.
2) Pelayanan Kegawatdaruratan pada UGD :
a) Pelayanan Kegawatdaruratan Bedah
b) Pelayanan Kegawatdaruratan Obgyn
c) Pelayanan Kegawatdaruratan Anak
d) Pelayanan Kegawatdaruratan Penyakit Dalam
e) Pelayanan Kegawatdaruratan Kardiovaskuler
b. Persyaratan Khusus
1) Area IGD harus terletak pada area depan atau muka dari tapak
RS.
2) Area IGD harus mudah dilihat serta mudah dicapai dari luar tapak
rumah sakit (jalan raya) dengan tanda-tanda yang sangat jelas dan
mudah dimengerti masyarakat umum.
3) Area IGD disarankan untuk memiliki pintu masuk kendaraan
yang berbeda dengan pintu masuk kendaraan ke area Instalasi
Rawat Jalan/ Poliklinik, Instalasi Rawat Inap serta Area Zona
Servis dari rumah sakit.
4) Untuk tapak RS yang berbentuk memanjang mengikuti panjang
jalan raya maka pintu masuk ke area IGD harus terletak pada
pintu masuk yang pertama kali ditemui oleh pengguna kendaraan
untuk masuk ke area RS.
5) Untuk bangunan RS yang berbentuk bangunan bertingkat banyak
(Super Block Multi Storey Hospital Building) yang memiliki
ataupun tidak memiliki lantai bawah tanah maka perletakan IGD

55

harus berada pada lantai dasar atau area yang memiliki akses
langsung.
6) IGD disarankan untuk memiliki Area yang dapat digunakan untuk
penanganan korban bencana masal.
7) Disarankan pada area untuk menurunkan atau menaikkan pasien
(Ambulance Drop-In Area) memiliki sistem sirkulasi yang
memungkinkan ambulan bergerak 1 arah.
8) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst. Bedah
Sentral.
9) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit Rawat
Inap Intensif ( ICU (Intensive Care Unit)/ ICCU (Intensive
Cardiac Care Unit)/ HCU (High Care Unit) ).
10) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit
Kebidanan.
11) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst.
Laboratorium.
12) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Instalasi
Radiologi.
13) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan BDRS (Bank
Darah Rumah Sakit) atau UTDRS (Unit Transfusi Darah Rumah
Sakit) 24 jam.
c. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas
No
.
A
1

Nama Ruangan

Fungsi

Besaran Ruang/
Luas

RUANG PENERIMAAN
Ruang Administrasi
Ruang ini digunakan untuk

3-5 m2/ petugas

Me

dan loket pendaftaran

(min. 16 m2)

inte

menyelenggarakan kegiatan
administrasi, meliputi :

pera

64

1. Pendataan pasien IGD


2. Penandatanganan surat
pernyataan dari keluarga pasien
IGD.
3. Pembayaran biaya pelayanan
medik.
2

Ruang Tunggu

Ruang dimana keluarga/ pengantar

1-1,5 m2/ orang

Kur

Pengantar Pasien

pasien menunggu. Ruang ini perlu

(min. 16 m2)

pen

disediakan tempat duduk dengan

Con

jumlah yang sesuai aktivitas


3

Ruang Rekam Medis

pelayanan.
Tempat menyimpan informasi

Sesuai

Me

tentang identitas pasien, diagnosis,

kebutuhan

arsi

Min. 16 m2

Tem

perjalanan penyakit, proses


pengobatan dan tindakan medis serta
dokumentasi hasil pelayanan.
Biasanya langsung berhubungan
dengan loket pendaftaran.

Ruang Triase

Ruang tempat memilah-milah tingkat


kegawatdaruratan pasien dalam
rangka menentukan tindakan
selanjutnyaterhadap pasien, dapat
berfungsi sekaligus sebagai ruang

pem

65

Ruang Persiapan

tindakan.
Ruang tempat persiapan penanganan Min. 3 m2/

Are

Bencana Masal

pasien korban bencana massal.

pen

pasien bencana

drai
B.
6

RUANG TINDAKAN
R. Resusitasi
Ruangan yang dipergunakan untuk

12-20 m2

melakukan tindakan resusitasi

la

terhadap pasien.

se

or

se

an

cr

tra

sy

de

ste

ok

Im

sp

str

de

to
7

R. Tindakan Bedah

Ruang untuk melakukan tindakan

Min. 16 m2

ad
M

66

bedah ringan pada pasien.

in

to

te
8

R. Tindakan Non

Ruang untuk melakukan tindakan

Bedah

non bedah pada pasien.

12-25 m2

vi
K

irr

ok

pu

sp

ke

te
9

R. Tindakan Anak

Ruang untuk melakukan tindakan

12-25 m2

medis pada pasien anak.

R. Tindakan

Ruang untuk melakukan tindakan

Kebidanan

kebidanan pada pasien.

In

tid

12-25 m2

gi

se

10

Ket : Kedua ruangan

su

ini bisa digabung atau

tia

dipisah.
R. Operasi

vi

(R.Persiapan dan
kamar Operasi) :
Ket : boleh ada/tidak

67

1. Ruang Persiapan

Ruang untuk mempersiapkan pasien Min. 6 m2

sebelum memasuki r.bedah.


2. Ruang Operasi

Ruang untuk melakukan pembedahan 36 m2

pada pasien.

la

ox

in

se

ap

be

va

ne

ur

pl

la

3. Ruang Pemulihan
C.
11

Ruang perawatan pasien pasca bedah

RUANG OBSERVASI
R. Observasi
Ruang yang dipergunakan untuk
melakukan observasi terhadap pasien

D.
12
13

Min. 7,2 m2 /

Te

tempat tidur.

tia

Min. 7,2 m2/

Te

tempat tidur

se

setelah diberikan tindakan medis.


periksa.
RUANG PENUNJANG MEDIS
Ruang Farmasi/Obat Ruang tempat menyimpan obat untuk Min. 3 m2
Ruang Linen Steril

keperluan pasien gawat darurat.


Tempat penyimpanan bahan-bahan

Min. 4 m2

th

Le

Le

68

14

Ruang Alat Medis

linen steril.
Ruang tempat penyimpanan

Min. 6 m2

Le

yang sudah disterilisasi.


Tempat untuk melaksanakan kegiatan Min. 4 m2

diagnostik cito.

ap

peralatan medik yang setiap saat


diperlukan. Peralatan yang disimpan
diruangan ini harus dalam kondisi
15

R. Radiologi

pr
16

Laboratorium Standar Ruang pemeriksaan laboratorium

Min. 4 m2

yang bersifat segera/ cito, tapi untuk


17

R. Dokter

beberapa jenis pemeriksaan tertentu.


Ruang Dokter terdiri dari 2 bagian :

(a
9-16 m2

1. Ruang kerja
2. Ruang istirahat/ kamar jaga

18

Ruang Pos Perawat

R. untuk melakukan perencanaan,

(Nurse Station)

pengorganisasian, asuhan dan

ad
La

ad
Te

ku

Min. 4 m2

9-16 m2

So

pelayanan keperawatan (pre dan post


conference, pengaturan jadwal),
dokumentasi s/d evaluasi pasien. Pos
perawat harus terletak di pusat blok
yang dilayani agar perawat dapat
19

Ruang Perawat

mengawasi pasiennya secara efektif.


Ruang istirahat perawat

69

20

21

Ruang Kepala IGD

Ruang tempat Kepala IGD

8-16 m2

w
Le

melakukan manajemen instalasinya,

co

diantaranya pembuatan program

ka

Gudang Kotor

kerja dan pembinaan.


Fasilitas untuk membuang kotoran

(Spoolhoek/ Dirty

bekas pelayanan pasien khususnya

be

Utility).

yang berupa cairan. Spoolhoek

kl

berupa bak atau kloset yang

la

4-6 m2

dilengkapi dengan leher angsa (water


22

Toilet (petugas,

seal).
KM/ WC

23

pengunjung)
R. Sterilisasi

Tempat pelaksanaan sterilisasi

2 m2 3 m2
Min. 4 m2

instrumen dan barang lain yang

de

diperlukan di Instalasi Gawat

bu

Darurat.

se

ya
24
25

R. Gas Medis
R. Parkir Troli

R. tempat menyimpan gas medis.


Tempat parkir troli selama tidak

Min. 3 m2
Min. 2 m2

da
G
Tr

26

R. Brankar

diperlukan
Tempat meletakkan tempat tidur

Min. 3 m2

Te

pasien selama tidak diperlukan.

70

d. Alur Kegiatan
Alur kegiatan pada Instalasi Gawat Darurat dapat dilihat pada bagan alir
berikut ini :
Area Persiapan
Bencana Masal

Pasien & Pengantar


Pasien

Pasien
Infeksius
Dekontaminasi

Pengantar
Pintu Masuk
UGD
Pasien
Infeksius
Pasien
TRIASE
(dokter
umum)

Ruang
Resusitasi

Ruang Tindakan
Bedah

Inst. Rawat Inap


Inst. Bedah
Inst. Kebidanan & Penyakit
Kandungan
Inst. Penunjang Medik, dll.
E. Penelitian Terkait

Pasien
Loket Pendaftaran

Ruang Tunggu

Ruang TindakanRuang Tindakan Anak


Non Bedah
& Kebidanan

Ruang
Observasi
Pulang

77

1. Indah Handriani (2015)


Dengan judul Pengaruh Proses Rujukan dan Komplikasi Terhadap
Kematian Ibu. Penelitian yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh
proses rujukan dan komplikasi terhadap kematian ibu di RSUD Sidoarjo
ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan case
control. Sampel kasus terdiri atas 25 orang ibu hamil yang di rujuk dan
mengalami kematian dan sampel kontrol 50 orang ibu hamil yang di
rujuk dan tidak mengalami kematian. Teknik pengumpulan data
menggunakan data sekunder dari buku register Maternal Neonatal
Emergency (MNE) dan rekam medik serta wawancara kepada ibu atau
keluarga atau suami dari responden. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah proses rujukan dan komplikasi berpengaruh terhadap kematian
ibu. Bidan perlu mengadakan health education bagi wanita usia
produktif, meningkatkan peran serta keluarga, masyarakat dan kader
dalam proses deteksi dini komplikasi selama kehamilan, persalinan dan
nifas, peningkatan kualitas Antenatal Care (ANC) dan peningkatan
kualitas rujukan dengan menggunakan sistem rujukan tertutup pada suatu
wilayah terkait dengan ibu hamil resiko tinggi yang terdeteksi di
inventarisasi dan di jadwal kontrol / terminasi serta di monitor (follow
up) sehingga resiko tinggi selalu terpantau.
2. Fauzia Laili (2014)
Dengan judul Hubungan Faktor Resiko Kegawatdaruratan Obstetri
Menurut Rochjati dengan Pelaksanaan Rujukan oleh Bidan Di RSUD
Gambiran Kediri. Kegawatdaruratan obstetri menurut Rochjati terbagi

78

menjadi 3 kelompok faktor resiko, yaitu APGO (Ada Potensi Gawat


Obstetri), AGO (Ada Gawat Obstetri) dan AGDO (Ada Gawat Darurat
Obstetri). Berbagai penelitian menyatakan bahwa salah satu upaya
penatalaksanaan yang efektif pada kegawatdaruratan obstetri yaitu
dengan pelaksanaan rujukan. Rujukan yang tepat dan terencana dapat
menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan faktor resiko kegawatdaruratan obstetri (APGO,
AGO dan AGDO) dengan pelaksanaan rujukan oleh bidan di RSUD
Gambiran Kediri. Desain penelitian secara kuantitatif menggunakan
pendekatan potong silang dilaksanakan mulai bulan Januari-Februari
2014 dengan jumlah sampel sebesar 150. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara consecutive sampling. Pengumpulan data secara sekunder
berdasarkan laporan ruang bersalin dan rekam medik rumah sakit periode
Januari-Desember 2011. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan faktor resiko kegawatdaruratan
obstetri pada AGDO dengan pelaksanaan rujukan. Selain itu,
meningkatnya

faktor

resiko

kegawatdaruratan

obstetri

akan

meningkatkan pelaksanaan rujukan oleh bidan.


3. Ade Surahwardy (2013)
Dengan judul Evaluasi Pelaksanaan Pelayanan Obstetri Neonatal
Emergensi Dasar (PONED) di Puskesmas Mamajang Kota Makassar.
Pada saat ini yang aktif melaksanakan program Pelayanan Obstetri
Emergensi Dasar (PONED) ada 2 yaitu puskesmas Jumpandang Baru dan
puskesmas Mamajang. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian

79

ini adalah penelitian kualitatif pendekatan deskriptif (explanatory


research). Penulis menggunakan wawancara, observasi dan analisis.
Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive sampling
yaitu informan yang dipilih dengan secara sengaja atau menunjuk
langsung kepada orang yang dianggap dapat mewakili karakteristik
populasi.

Kesimpulannya

adalah

Puskesmas

Mamajang

mampu

menjalankan program PONED yang memenuhi standar SDM, sarana dan


prasarana, alokasi dana, sosialisasi, rujukan, serta pelaporan dan
supervisi.
4. Demsa Simbolon (2011)
Dengan judul Determinan Kinerja Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Di Rumah Sakit Pemerintah Indonesia (Analisa Data Rifaskes 2011).
Rumah sakit memegang peran penting dalam menurunkan AKB dan AKI
karena sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna termasuk pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA). Namun
sampai saat ini AKB dan AKI Indonesia masih tetap tinggi dibandingkan
dengan negara ASEAN. Penyebab utamanya adalah komplikasi obstetri
sebagai penyulit atau penyakit yang timbul selama kehamilan, persalinan
dan paska persalinan yang dialami sekitar 20% dari seluruh ibu hamil,
tetapi kasus komplikasi obstetri yang ditangani secara baik kurang dari
10%. Penelitian menggunakan data RIFASKES 2011 dengan pendekatan
cross sectional study. Populasi dan sampel penelitian adalah seluruh
rumah sakit pemerintah Indonesia (685 RS). Variabel penelitian
diidentifikasi dari variable yang tersedia dalam kuesioner RIFASKES

80

2011. Kesimpulannya adalah tidak optimalnya kinerja pelayanan KIA


rumah sakit pemerintah Indonesia dipengaruhi karakteristik rumah sakit
yang rendah dan ketidak lengkapan SDM.
5. Ida Irmawati (2013)
Dengan judul Pengelolaan Rujukan Kedaruratan Maternal di Rumah
Sakit dengan Pelayanan PONEK. Penelitian ini dilakukan untuk
mengeksplorasi

permasalahan

dalam

pengelolaan

kasus

rujukan

kegawatan maternal di rumah sakit PPK 2. Studi ini menggunakan


metode deskriptip kualitatif, dengan responden primer 22 orang yang
terdiri dari 6 dokter UGD, 6 perawat UGD dan 10 bidan ruang kebidanan
dan penyakit kandungan. Pengumpulan data melalui wawancara
terstruktur pada responden, FGD dan observasi lapangan dengan
pengamatan langsung. Data sekunde memanfaatkan laporan rumah sakit,
data rekam medis dan data kepegawaian. Hasil penelitian memberikan
gambaran ada kekurang jelasan pengelolaan rujukan masuk terhadap
pasien dengan kegawatan obstetri ginekologi di RS tempat studi.
Sebanyak 32% responden menyatakan pernah menolak pasien dan 86%
responden menyatakan pernah merujuk kembali pasien dengan
kegawatan obstetri ginekologi ke rumah sakit lain. Kurangnya
ketersediaan SDM (Dokter), sarana yang adekuat untuk pengelolaan
kegawatan, serta metode atau prosedur pengelolaan rujukan yang tidak
jelas menyebabkan rumah sakit tidak mampu mengelola kasus rujukan
maternal sesuai kapasitasnya sebagai PONEK.
6. Atik Triratnawati (2003)

81

Dengan judul Penulusuran Kasus-Kasus Kegawatdaruratan Obstetri


Yang Berakibat Kematian Maternal. Kesadaran masyarakat akan tandatanda bahaya pada kehamilan dan pengetahuan mengenai kehamilan akan
meminimalkan kegawatdaruratan obstetri, namun banyak kepercayaan
tradisional dan praktek penundaan pengambilan keputusan untuk mencari
perawatan pada fasilitas kesehatan, masih dilakukan masyarakat. Tujuan
studi ini yaitu menulusuri 4 kasus kegawatdaruratan obstetri yang terjadi
di masyarakat, serta bagaimana peran dan pengetahuan anggota keluarga
terhadap masalah ini. Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan
wawancara mendalam terhadap suami dan anggota keluarga serta
melibatkan tujuh informan kunci.
7. Ita Rahmawati (2013)
Dengan judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Bidan
Desa Dalam Merujuk Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal di
Wilayah Kerja Puskesmas Mayong I. Faktor keterlambatan rujukan
yang meliputi keterlambatan pertama, kedua dan ketiga masih memegang
peranan dalam kejadian kematian maternal dan neonatal di Wilayah
Kerja Puskesmas Mayong I. Selain itu, faktor persiapan rujukan
mayoritas tidak sesuai dengan kebutuhan yang terjadi pada 28 kasus
rujukan maternal dan neonatal (57,1%) dan penapisan awal sudah
dilakukan oleh tenaga kesehatan pada 61,2% kasus rujukan.
8. Sri Handayani ( 2014)
Dengan judul Analisis Pelaksanaan Pelayanan Obstetri Neonatal
Emergensi Dasar (PONED) di Puskesmas PONED Kabupaten Kendal.

82

Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan faktor-faktor yang


mempengaruhi pelaksanaan PONED di Puskesmas yang berjalan baik
dan tidak dari segi komunikasi (sosialisasi pemasaran, struktur
organisasi), ketersediaan sumber daya (SDM, sarana prasarana,
keterjangkauan lokasi, dana), disposisi/sikap pelaksana program dan
struktur birokrasi (pencatatan pelaporan, pembinaan) . Jenis penelitian
adalah observasional kualitatif dengan pendekatan cross sectional.
Seluruh Puskesmas PONED di Kabupaten Kendal diteliti. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa di Puskesmas PONED yang belum
berjalan komunikasi belum optimal (sosialisasi pemasaran lintas sektor
belum dilaksanakan, belum mempunyai struktur organisasi lengkap).
Sumber daya belum memenuhi (SDM secara kuantitas belum memadai
dan secara kualitas belum mendapat pelatihan PONED, sarana prasarana
belum memenuhi standar minimal, jarak dari masyarakat ke Puskesmas
dan Rumah Sakit sama dekat, tidak ada dana khusus untuk program
PONED).
9. Sumarni (2011)
Dengan judul Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kematian Ibu di
Kabupaten Banyumas Jawa Tengah Periode Tahun 2009-2011. Angka
Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator status kesehatan.
Faktor tersebut antara lain : anemia, penyakit, antenatal care, riwayat
obstetri, ekonomi, keluarga dan pendidikan. Dari analisis kuantitatif
diperoleh hasil faktor yang menyebabkan antenatal care menjadi
penyebab dominan karena pengetahuan masyarakat yang kurang terhadap

83

komplikasi kebidanan, rujukan yang terlambat, kurang pedulinya


keluarga terhadap permasalahan hidup selama hamil, kurangnya
komunikasi antara tenaga kesehatan dalam mendeteksi komplikasi ibu
hamil.

10. Juharni (2012)


Dengan judul Faktor Resiko Kematian Ibu Sebagai Akibat Komplikasi
Kehamilan, Persalinan dan Nifas di Kabupaten Bima Tahun 2011-2012.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010
yaitu sekitar 350/100.000 kelahiran hidup, masih cukup tinggi jika
dibandingkan dengan angka nasional dan provinsi lainnya. Kabupaten
Bima merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat
yang memiliki kasus kematian ibu yang cukup tinggi pada periode tahun
2011-2012 yaitu 20 kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor
yang paling berkontribusi terhadap kematian ibu adalah kadar Hb 10 gr
%. Upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan kadar Hb ibu hamil,
peningkatan kemampuan bidan /dokter dalam memberikan penanganan
obstetri esensial komprehensif di rumah sakit serta perbaikan sistem
rujukan merupakan upaya pencegahan terhadap resiko kematian ibu.

84

F. Kerangka Teori
Faktor Predisposisi
(Predisposing Factor)
1. Pengetahuan Tenaga
Kesehatan :
a. Pendidikan
b. Pelatihan
c. Kompetensi :
1) Pengalaman
2)Pemungkin
Ketrampilan
Faktor
2.(Enabling
Pengetahuan
Ibu :
Factor)
a. Pendidikan
Penyuluhan
1. b.Tenaga
kesehatanatau
2. Sarana
kesehatan
informasi.
3. Ekonomi
Penguat
4.Faktor
Sosial
budaya
(Reinforcing
5. Geografis Factor)

Optimalisasi Penanganan
Kegawatdaruratan Obstetri.

1. Sikap dan Perilaku


Petugas Kesehatan.
2. Sikap dan Perilaku
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Keluarga.
Sumber : Modifikasi Kusmiyati, 2008, Lawrence Green, Mufdilah, 2009,
(Bobak,Lowdermilk &Jensen, 2004). Sarwono, 2008, Depkes RI 2003.

Anda mungkin juga menyukai