BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
seringkali
merupakan
kejadian
yang
berbahaya.
14
15
b. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan tersebut berbeda-beda dalam
rentang yang cukup luas, sebagai berikut :
16
17
c. Prinsip Dasar
Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan
utama (diagnosis) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan
cepat, tepat, dan tenang tidak panik, walaupun suasana keluarga pasien
ataupun pengantarnya mungkin dalam kepanikan. Semuanya dilakukan
dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur pemeriksaan dan
pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan
antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap
diperhatikan.
1) Menghormati hak pasien
Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa
memandang status sosial dan ekonominya. Dalam hal ini petugas
harus memahami dan peka bahwa dalam situasi dan kondisi gawat
darurat perasaan cemas, ketakutan, dan keprihatinanan adalah wajar
bagi setiap manusia dan keluarga yang mengalaminya.
2) Gentleness
Dalam melakukan pemeriksaan ataupun memberikan pengobatan
setiap langkah harus dilakukan dengan penuh kelembutan, termasuk
menjelaskan kepada pasien bahwa rasa sakit atau kurang enak tidak
dapat dihindari sewaktu melakukan pemeriksaan atau memberikan
pengobatan, tetapi prosedur akan dilakukan selembut mungkin
sehingga perasaan kurang enak itu diupayakan sesedikit mungkin.
3) Komunikatif
Petugas kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa
dan kalimat yang tepat, mudah dipahami dan memperhatikan nilai
18
5) Family support
Dukungan keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu,
petugas kesehatan harus mengupayakan hal itu antara lain dengan
senantiasa memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang
kondisi pasien, peka akan masalah keluarga yang berkaitan dengan
keterbatasan keuangan, keterbatasan transportasi, dan sebagainya.
Dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat di nomor
duakan, misalnya apabila pasien dalam keadaan syok, dan petugas
kesehatan kebetulan hanya sendirian, maka tidak mungkin untuk
meminta informed consent kepada keluarga pasien. Prosedur untuk
menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan walaupun keluarga
pasien belum diberi informasi.
d. Penilaian Awal
Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam
keadaan gawat darurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan
19
yang
dicurigai
dalam
keadaan
kegawatdaruratan
dan
20
Pada
kasus
demikian,
tungkai
diturunkan
dan
terlebih
lagi
pada
syok
septik.
Setiap
tanda
21
dan
dicatat
kemungkinan
terdapat
peningkatan
rendah
kemudian
semakin
bertambah,
hal
ini
22
6) Pemberian antibiotika
Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada
kasus sepsis, syok septik, cidera intraabdominal, dan peforasi
uterus. Pada kasus syok, pemberian antibiotika intravena lebih
diutamakan sebab lebih cepat menyebarkan obat ke jaringan yang
terkena infeksi. Apabila pemberian intravena tidak memungkinkan,
obat dapat diberikan intramuscular. Pemberian antibiotika peroral
diberikan jika pemberian intravena dan intramuscular tidak
memungkinkan, yaitu jika pasien dalam keadaan syok, pada infeksi
ringan, atau untuk mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi
diantisipasi dapat terjadi sebagai komplikasi.
7) Obat pengurang rasa nyeri
Pada beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri, penderita dapat
mengalami rasa nyeri yang membutuhkan pengobatan segera.
Pemberian
obat
pengurang
rasa
nyeri
jangan
sampai
23
9) Rujukan
Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai
untuk menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat,
maka kasus harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih
lengkap. Sebaiknya sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan
yang akan menerima rujukan dihubungi dan diberitahu terlebih
dahulu sehingga persiapan penanganan ataupun perawatan inap
telah dilkukan dan diyakini rujukan kasus tidak akan ditolak oleh
fasilitas kesehatan rujukan tersebut.
Kebanyakan ibu hamil tampak sehat-sehat saja sampai waktu
persalinan dan melahirkan. Meskipun sebagian besar ibu akan
mengalami persalinan normal, namun ada sekitar 10-15 % dari
mereka, khususnya di Indonesia akan mengalami masalah selama
proses persalinan dan kelahiran dan perlu dirujuk ketempat dimana
mereka bisa menerima pertolongan. Sulit untuk meramalkan ibu
mana yang akan mengalami masalah dan yang mana tidak. Oleh
sebab itu penting mendiskusikan kemungkinan rujukan dengan ibu
hamil semenjak ia dating untuk asuhan antenatal. Dari segi
penolong persalinan, seorang penolong persalinan juga sudah harus
mempunyai perencanaan yang baik mengenai sistem rujukan
berkaitan dengan kelengkapan fasilitas tempat rujukan, jarak dan
biaya pada tempat rujukan.
Berikut ini adalah ringkasan hal-hal yang penting untuk diingatkan
saat akan memberangkatkan ibu untuk dirujuk :
24
Bidan (B) yaitu jika mungkin pasien ditemani oleh seseorang bidan
atau petugas kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan
untuk memberikan penatalaksanaan awal kegawatdaruratan obstetri
dan bayi baru lahir. Alat (A) yaitu tersedian alat untuk pertolongan
persalinan bila ibu melahirkan saat diperjalanan ketempat rujukan.
Keluarga (K) yaitu beritahu ibu dan keluarga mengenai kondisi
terakhir ibu dan mengapa ibu perlu dirujuk. Amat dianjurkan agar
ada anggota keluarga khususnya suami menemani ibu hingga
ketempat rujukan. Surat (S) yaitu walaupun diterima oleh
bidan/petugas
kesehatan
adalah
sangat
dianjurkan
untuk
hasil
pemeriksaan,
diagnosis,
masalah
dan
25
Penanganan
kegawatdaruratan
maternal
dan
neonatal
meliputi
kapan
harus
mencari
pertolongan
dan
kapan
26
dalam
mendonorkan
dana
demi
tercapainya
27
28
29
rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan
bayi.
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para
ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir
dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah faktor memandirikan
peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatam
ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan
pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap
keluarga dalam menghadapi keadaan gawat.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun
beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah.
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya
disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya
murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan
dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari.
Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan
kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih,
namun praktik-praktik tradisional tertentu masih dilakukan.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan
dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat.
Tidak jarang pula nasihat-nasihat yang diberikan oleh teman atau tetangga
mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula
diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah ibu dengan tempat
pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh
faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa ibu ke
30
rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor
keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis, dan
kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga
oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa
segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan.
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih
diberlakukan juga pada masa paska persalinan. Pantangan ataupun anjuran
ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya,
ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak
produk ASI ; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap
dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktikpraktik yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi
fisik dan kesehatan ibu. Misalnya, mengurut perut yang bertujuan untuk
mengembalikan rahim ke posisi semula.
4. Manajemen Asuhan Kebidanan
Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan
dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis, mulai
dari pengkajian, analisa data, diagnosis kebidanan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.
Proses manajemen terdiri dari 7 langkah berurutan dimana setiap langkah
disempurnakan secara periodik. Proses dimulai dengan pengumpulan data
dasar dan berakhir dengan evaluasi. Ketujuh langkah tersebut membentuk
suatu kerangka lengkap yang diaplikasikan dalam situasi apa pun. Akan
tetapi, setiap langkah dapat diuraikan lagi menjadi langkah-langkah yang
lebih rinci dan bisa berubah sesuai dengan kondisi klien.
31
dilakukan
pengkajian
dengan
rangkaian
diidentifikasikan.
masalah
Langkah
ini
dan
diagnose
membutuhkan
yang
antisipasi
sudah
bila
32
33
34
35
36
37
38
39
pendek adalah hasil dari segala suatu tindakan tetentu atau prosedur
tertentu. Outcome jangka panjang adalah status kesehatan dan kemampuan
fungsional klien. Standar outcome diukur melalui hasil :
a. Kepuasan pelanggan
Dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman klien. Berkaitan dengan
kepuasan, terdapat masalah pokok yang ditemukan yaitu kepuasan yang
bersifat subjektif. Tiap orang memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda. Sekalipun pelayanan kebidanan telah memuaskan klien, tetapi
masih banyak ditemukan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
profesi dank ode etik. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan
pembatasan yaitu :
1) Pembatasan pada derajat kepuasan klien
Pengukuran kepuasan dilakukan tidak secara individual, tetapi yang
dipakai adalah kepuasan rata-rata. Pelayanan kebidanan bermutu
apabila dapat memuaskan klien.
2) Pembatasan pada upaya yang dilakukan
Pelayanan kebidanan yang menimbulkan kepuasan harus memenuhi
kode etik dan standar pelayanan kebidanan. Mutu pelayanan
kebidanan merujuk pada tingkat kesempurnaan yang dapat
memuaskan dengan tingkat rata-rata klien serta penyelenggaraannya
sesuai dengan kode etik dan standar profesi kebidanan.
b. Ketepatan pelayanan kesehatan
Sesuai standar dan etika profesi. Ketetapan sebagai indikator mutu
pelayanan
kesehatan
dimaksudkan
adalah
keefektifan
dalam
40
41
dapat
dievaluasi
dengan
penilaian-penilaian
relatif,
42
b. Efektivitas
Efektivitas adalah pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuantujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan
menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas bisa juga
diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapain tujuantujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat
selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka
tersebut adalah benar atau efektif.
1) Besarnya masalah yang dapat diselesaikan.
2) Pentingnya cara penyelesaian masalah.
3) Sensitifitas cara penyelesaian masalah.
Mutu pelayanan kesehatan dikatakan efektif erat hubungannya dengan
dapat diatasinya masalah kesehatan secara tepat, karena pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan telah sesuai dengan kemajuan ilmu dan
tekhnologi dan ataupun standar yang telah ditetapkan.
Efektifitas adalah melakukan tugas yang benar sedangkan efisiensi
adalah melakukan tugas dengan benar. Penyelesaian yang efektif belum
tentu efisien begitu juga sebaliknya. Yang efektif bisa saja
membutuhkan sumber daya yang sangat besar sedangkan yang efisien
barangkali memakan waktu yang lama. Sehingga sebisa mungkin
efektifitas dan efisiensi bisa mencapai tingkat optimum untuk keduaduanya.
6. Penilaian Mutu Pelayanan Kebidanan Siklus PDCA
Konsep siklus PDCA pertama kali diperkenalkan oleh Walter Shewhart
pada tahun 1930 yang disebut dengan Shewhart cycle. PDCA singkatan
43
bahasa inggris dari Plan, Do, Check, Act ( Rencanakan, Kerjakan, Cek,
Tindak lanjuti) adalah suatu proses pemecahan masalah empat langkah
interatif yang umum digunakan dalam pengendalian kualitas. Selanjutnya
konsep ini dikembangkan oleh Dr.Walter Edwards Deming yang kemudian
dikenal dengan The Deming Wheel. (Tjitro, 2009).
Metode ini dipopulerkan oleh W.Edwads Deming yang sering dianggap
sebagai bapak pengendalian kualitas modern sehingga sering juga disebut
dengan siklus Deming. Deming sendiri selalu merujuk metode ini sebagai
siklus Shewhart dari nama Walter A. Shewhart yang sering dianggap
sebagai bapak pengendalian kualitas statistik. Siklus PDCA berguna
sebagai pola kerja dalam perbaikan suatu proses atau sistem mutu
pelayanan kesehatan.
PDCA merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan kerja,
pelaksanaan kerja, pengawasan kerja dan perbaikan kerja yang dilakukan
terus menerus dan berkesinambungan mutu pelayanan. Siklus PDCA
digunakan dalam pelayanan kesehatan untuk penyelesaian masalah dalam
rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Secara sederhana siklus
PDCA dapat digambarkan sebagai berikut :
44
45
46
d. Perbaikan (Action)
Tahapan keempat yang dilakukan adalah melaksankan perbaikan
rencana kerja. Lakukanlah penyempurnaan rencana kerja atau bila perlu
mempertimbangkan pemilihan dengan cara penyelesaian masalah lain.
Untuk selanjutnya rencana kerja yang telah diperbaiki tersebut
dilaksanakan kembali. Jangan lupa untuk memantau kemajuan serta
47
adalah
suatu
metode
yang
dipergunakan
untuk
48
49
1. Pengertian Kompetensi
Cut
Zurnali (2010) dalam bukunya yang berjudul Learning
Organization, Competency, Organizational Commitment, dan Customer
Orientation : Knowledge Worker Kerangka Riset Manajemen
Sumberdaya Manusia di Masa Depan merangkum beberapa pengertian
kompetensi dari pakar. Berikut akan disajikan definisi kompetensi :
a. Richard E. Boyatziz (2008) mengemukakan : kompetensi merupakan
karakteristik-karakteristik dasar seseorang yang menentukan atau
menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol.
b. Menurut Glossary Our Workforce Matters (Sinnot. et.al: 2002),
kompetensi
adalah
karakteristik
dari
karyawan
yang
50
dibutuhkan untuk memenuhi staf saat ini dan dimasa depan sebagai
prioritas organisasi dan pertukaran strategis; dan b) memfokuskan
pada
usaha
pengembangan
karyawan
untuk
menghilangkan
kombinasi
dari
keterampilan
(skill),
pengetahuan
kerja
serta
kontribusi
pribadi
karyawan
terhadap
organisasinya.
f. Menurut Yodhia Antariksa (2007), secara general, kompetensi sendiri
dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara keterampilan (skill),
atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui
perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan
dievaluasi. Dalam sejumlah literature, kompetensi sering dibedakan
menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang
berkaitan dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan,
hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang
lain. Contoh soft competency adalah : leadership, communication,
interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut
hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan
kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain,
kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan
dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah :
51
52
53
domain
54
darurat)
False Emergency (Kegawatan tidak darurat)
Cito Operation.
Cito/ Emergency High Care Unit (HCU).
Cito Lab.
Cito Radiodiagnostik.
Cito Darah.
Cito Depo Farmasi.
2) Pelayanan Kegawatdaruratan pada UGD :
a) Pelayanan Kegawatdaruratan Bedah
b) Pelayanan Kegawatdaruratan Obgyn
c) Pelayanan Kegawatdaruratan Anak
d) Pelayanan Kegawatdaruratan Penyakit Dalam
e) Pelayanan Kegawatdaruratan Kardiovaskuler
b. Persyaratan Khusus
1) Area IGD harus terletak pada area depan atau muka dari tapak
RS.
2) Area IGD harus mudah dilihat serta mudah dicapai dari luar tapak
rumah sakit (jalan raya) dengan tanda-tanda yang sangat jelas dan
mudah dimengerti masyarakat umum.
3) Area IGD disarankan untuk memiliki pintu masuk kendaraan
yang berbeda dengan pintu masuk kendaraan ke area Instalasi
Rawat Jalan/ Poliklinik, Instalasi Rawat Inap serta Area Zona
Servis dari rumah sakit.
4) Untuk tapak RS yang berbentuk memanjang mengikuti panjang
jalan raya maka pintu masuk ke area IGD harus terletak pada
pintu masuk yang pertama kali ditemui oleh pengguna kendaraan
untuk masuk ke area RS.
5) Untuk bangunan RS yang berbentuk bangunan bertingkat banyak
(Super Block Multi Storey Hospital Building) yang memiliki
ataupun tidak memiliki lantai bawah tanah maka perletakan IGD
55
harus berada pada lantai dasar atau area yang memiliki akses
langsung.
6) IGD disarankan untuk memiliki Area yang dapat digunakan untuk
penanganan korban bencana masal.
7) Disarankan pada area untuk menurunkan atau menaikkan pasien
(Ambulance Drop-In Area) memiliki sistem sirkulasi yang
memungkinkan ambulan bergerak 1 arah.
8) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst. Bedah
Sentral.
9) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit Rawat
Inap Intensif ( ICU (Intensive Care Unit)/ ICCU (Intensive
Cardiac Care Unit)/ HCU (High Care Unit) ).
10) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit
Kebidanan.
11) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst.
Laboratorium.
12) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Instalasi
Radiologi.
13) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan BDRS (Bank
Darah Rumah Sakit) atau UTDRS (Unit Transfusi Darah Rumah
Sakit) 24 jam.
c. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas
No
.
A
1
Nama Ruangan
Fungsi
Besaran Ruang/
Luas
RUANG PENERIMAAN
Ruang Administrasi
Ruang ini digunakan untuk
Me
(min. 16 m2)
inte
menyelenggarakan kegiatan
administrasi, meliputi :
pera
64
Ruang Tunggu
Kur
Pengantar Pasien
(min. 16 m2)
pen
Con
pelayanan.
Tempat menyimpan informasi
Sesuai
Me
kebutuhan
arsi
Min. 16 m2
Tem
Ruang Triase
pem
65
Ruang Persiapan
tindakan.
Ruang tempat persiapan penanganan Min. 3 m2/
Are
Bencana Masal
pen
pasien bencana
drai
B.
6
RUANG TINDAKAN
R. Resusitasi
Ruangan yang dipergunakan untuk
12-20 m2
la
terhadap pasien.
se
or
se
an
cr
tra
sy
de
ste
ok
Im
sp
str
de
to
7
R. Tindakan Bedah
Min. 16 m2
ad
M
66
in
to
te
8
R. Tindakan Non
Bedah
12-25 m2
vi
K
irr
ok
pu
sp
ke
te
9
R. Tindakan Anak
12-25 m2
R. Tindakan
Kebidanan
In
tid
12-25 m2
gi
se
10
su
tia
dipisah.
R. Operasi
vi
(R.Persiapan dan
kamar Operasi) :
Ket : boleh ada/tidak
67
1. Ruang Persiapan
pada pasien.
la
ox
in
se
ap
be
va
ne
ur
pl
la
3. Ruang Pemulihan
C.
11
RUANG OBSERVASI
R. Observasi
Ruang yang dipergunakan untuk
melakukan observasi terhadap pasien
D.
12
13
Min. 7,2 m2 /
Te
tempat tidur.
tia
Te
tempat tidur
se
Min. 4 m2
th
Le
Le
68
14
linen steril.
Ruang tempat penyimpanan
Min. 6 m2
Le
diagnostik cito.
ap
R. Radiologi
pr
16
Min. 4 m2
R. Dokter
(a
9-16 m2
1. Ruang kerja
2. Ruang istirahat/ kamar jaga
18
(Nurse Station)
ad
La
ad
Te
ku
Min. 4 m2
9-16 m2
So
Ruang Perawat
69
20
21
8-16 m2
w
Le
co
ka
Gudang Kotor
(Spoolhoek/ Dirty
be
Utility).
kl
la
4-6 m2
Toilet (petugas,
seal).
KM/ WC
23
pengunjung)
R. Sterilisasi
2 m2 3 m2
Min. 4 m2
de
bu
Darurat.
se
ya
24
25
R. Gas Medis
R. Parkir Troli
Min. 3 m2
Min. 2 m2
da
G
Tr
26
R. Brankar
diperlukan
Tempat meletakkan tempat tidur
Min. 3 m2
Te
70
d. Alur Kegiatan
Alur kegiatan pada Instalasi Gawat Darurat dapat dilihat pada bagan alir
berikut ini :
Area Persiapan
Bencana Masal
Pasien
Infeksius
Dekontaminasi
Pengantar
Pintu Masuk
UGD
Pasien
Infeksius
Pasien
TRIASE
(dokter
umum)
Ruang
Resusitasi
Ruang Tindakan
Bedah
Pasien
Loket Pendaftaran
Ruang Tunggu
Ruang
Observasi
Pulang
77
78
faktor
resiko
kegawatdaruratan
obstetri
akan
79
Kesimpulannya
adalah
Puskesmas
Mamajang
mampu
80
permasalahan
dalam
pengelolaan
kasus
rujukan
81
82
83
84
F. Kerangka Teori
Faktor Predisposisi
(Predisposing Factor)
1. Pengetahuan Tenaga
Kesehatan :
a. Pendidikan
b. Pelatihan
c. Kompetensi :
1) Pengalaman
2)Pemungkin
Ketrampilan
Faktor
2.(Enabling
Pengetahuan
Ibu :
Factor)
a. Pendidikan
Penyuluhan
1. b.Tenaga
kesehatanatau
2. Sarana
kesehatan
informasi.
3. Ekonomi
Penguat
4.Faktor
Sosial
budaya
(Reinforcing
5. Geografis Factor)
Optimalisasi Penanganan
Kegawatdaruratan Obstetri.