Anda di halaman 1dari 101

Bahan Ajar Asuhan Kebidanan Kegawat

Daruratan Maternal &Neonatal

TIM PENGAJAR
1.Pesta Corry Sihotang Dipl Mw.SKM MKes
2.Syaniah Umar,SST MKeb
3.Maria Sondak SST,SKM Mkes
4. Afriani SKM Mkes
5.Agustina Ningsih SKM,MKes
Modul
KEGAWAT DARURATAN MATERNAL DAN
NEONATAL

DOSEN DAN TIM PENGAJAR :

1. PESTA CORRY SIHOTANG Dipl,Mw,SKM M.Kes


2. Syaniah Umar, M.Kes
3. Maria Sonda, M.Kes
4. Agustina Ningsih, M.Kes

PRODI D-III JURUSAN KEBIDANAN POLTEKKES


KEMENKES MAKASSAR
TAHUN 2016
DAFTAR ISI
A. Kompetensi MataKuliah

B. Analisis Instruksi

1. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal Pada Kehamilan

1.1 Defenisi Kegawatdaruratan

1.2 Tanda dan Gejala Kegawatdaruratan

1.3 Penyebab Kegawatdaruratan

1.4 Penilaian Awal Kegawatdaruratan dan Cara Merujuk dengan Cepat dan Tepat
1.5 Jenis-jenis Kegawatdaruratan Maternal Pada Kehamilan
1.6 Penanganan Syok
2. Jenis-jenis Kegawatdaruratan Maternal Pada Persalinan
2.1 PraEklampsia
2.2 Eklampsia
2.3 Plasentaprevia

2.4 Solusioplasenta

2.5 Distosia Bahu

2.6 Ruptur Uteri

3. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal pada Persalinan Kala III dan IV

3.1 Atonia Uteri

3.2 Laserasi Jalan Lahir

3.3 Retensio Plasenta

3.4 Sisa Plasenta

4. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal

4.1 Metritis

4.2 Abses Pelvis

4.3 Peritonitis

4.4 Bendungan Payudara


4.5 Infeksi Nifas

4.6 Infeksi Payudara

4.7 Infeksi Perineum


A. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa mampu :
1. Memahami konsep dasar kegawatdaruratan pada maternal dan neonatal
2. Memahami penilaian kondisi klien yang berkaitan dengan
kegawatdaruratan
3. Menentukan keputusan klinis yang berkaitan dengan kegawatdaruratan
sesuai kewenangan
4. Melakukan penanganan kegawatdaruratan pada kasus maternal ,BBL
dan neonatal yang relevan, yang meliputi :
a. Asuhan kegawatdaruratan pada kehamilanmuda
b. Asuhan kegawatdaruratan pada kehamilan lanjut
c. Asuhan kegawatdaruratan pada persalinan kala I, II, III dan IV
d. Asuhan kegawatdaruratan pada pasca persalinan
e. Asuhan kegawatdaruratan pada BBL &neonatus
5. Melakukan kolaborasi dan rujukan pada kasus yang memerlukan
penanganan di luarkewenangan
6. Melaksanakan itindakan kegawatdaruratan kebidanan segera setelah
melakukan tindakan
7. Melakukan pendokumentasian asuhan kebidanan pada kasus
Kegawatdaruratan maternal dan neonatal

B. MATERI
1. Memahami konsep dasar kegawatdaruratan pada maternal dan
neonatal
1.1 Defenisi Kegawat daruratan Maternal
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang
kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan
membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa
Kegawatdaruratan juga adalah perdarahan yang mengancam nyawa
selama kehamilan dan dekat cukup bulan meliputi perdarahan yang terjadi
pada awal minggu kehamilan (seperti abortus, molahidatidosa, kista
vaskuler, kehamilan ekstra uterin(ektopik), dan perdarahan pada minggu
akhir kehamilan, dan mendekati cukup bulan (plasenta previa, solusio
plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan pervagina setelah
seksiosesarea, retensioplasenta, perdarahan pasca persalinan, hematoma,
koagulopatiobstetrik).
Tujuan Pelayanan Gawat Darurat:
1.2 Pre hospital
1. Menyingkirkan benda-benda berbahaya ditempat kejadian yg
beresiko menyebabkan jatuh korban (Pecahan kaca atau dicurigai
ada bom)
2. Melakukan triase atau memilah dan menentukan kondisi korban
gawat darurat
3. Melakukan Fiksasi (Stabilisasi sementara)
4. Melakukan Evakuasi : korban dpindahkan ketempat lebih aman /
dikirim ke pelayanan kesehatan sesuai kondisi korban
5. Mempersiapkan masyarakat, awam khusus dan petugas kesehatan
melalui pelatihan siaga terhadap bencana
1.3 In Hospital
1. Memberikan pertolongan sesuai dengan kondisinya
2. Memberikan bantuan hidup dasar dan hidup lanjut
3. Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamik yang
akurat
4. Melakukan rehabilitasi agar produktifitas korban setelah kembali ke
masyarakat setidaknya setara bila dibanding sebelum bencana
menimpanya.
5. Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban untuk
mengenali kondisinya dengan segala kelebihan yang dimiliki
1.4 Post Hospital
1. Mengembalikan rasa percaya diri kepada korban
2. Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat tumbuh
dan berkembang
3. Meningkatkan kemampuan bersosialisasi kepada orang-orang
terdekat dan masyarakat yang lebih luas
4. Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat kehidupan
nyata korban
5. Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupannya pada masa
yang akan datang
1.5 Falsafah Pelayanan Gawat Darurat
1. A (Airway): Kebutuhan akan jalan nafas yang utuh tanpa sumbatan
2. B ( Breathing): Kebutuhan untuk bernafas secara normal
3. C ( Circulation): Sirkulasi yang adekuat
4. D ( Disability): Kebutuhan akan pergerakan yang normal
5. E (Exposure): Kebutuhan akan integritas fisik yang utuh

1.6 Dalam memberikan pertolongan pada kondisi gawat darurat


diperlukan kontrak antara petugas kesehatan dan korban , berupa:
1. Persetujuan kedua belah pihak (antara petugas kesehatan yang
berwenang (dokter dan keluarga korban)
2. Hal terpenting adalah korban memahami , mengisi persetujuan dan
setuju akan tindakan yang dilakukan
3. Bidan memastikan korban memahami, telah mengisi dengan benar
dan setuju dilakukan tindakan
1.7 Kompetensi praktis diperlukan petugas kesehatan dalam hal melakukan
interaksi dengan korban gawat darurat, berupa:
1. Mengakui terhadap keterbatasan yang dimiliki oleh diri sendiri
2. Melakukan tindakan dan prosedur sesuai aturan institusi atau
kewenangan yang dapat dilakukan
3. Tidak melakukan intevensi yang kita tidak dipersiapkan untuk
tindakan tersebut
4. Respek terhadap hak korban dan selalu melaporkan perkembangan
korban
5. Memelihara dokumentasi gawat darurat dengan teliti dan benar
6. Mendukung kebijakan institusi tempat kerja
1.8 Dalam pengelolaan korban gawat darurat maka perlu dilakukan
komunikasi , dengan tujuan:
1. Mendapatkan kepercayaan korban/keluarga /masyarakat , caranya
dengan memperkenalkan diri , hibur dan tunjukkan rasa hormat ,
tanyakan yang dirasakan
2. Mendapatkan informasi yang akurat dari korban dan masyarakat
3. Mendapatkan informasi pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi
korban (menggunakan GPS (Global Positioning System) , sehingga
korban tidak terlalu lama dijalan)
4. Memindahkan korban tanpa memperberat keadaan
5. Mencegah komplikasi dan rehabilitasi dini yang lebih akurat
1.9 Dokumentasi Legal Gawat Darurat
1. Tulisan harus jelas terbaca
2. Catat semua yang dilakukan , lakukan semua yang dicatat serta
pencatatan sesuai tempat dan waktu
3. Isi setiap tempat yang kosong
4. Bubuhi nama jelas dan tanda tangan
5. Jangan menghilangkan slip laboratorium atau berkas lain
6. Gambarkan kondisi korban secara objektif
7. Catat kejadian , pastikan instruksi tertulis
1.10 Tanda dan Gejala Kegawatdaruratan
1. Syok
2. Perdarahan
3. Tekanan Darah Meningkat
4. Nadi Cepat
5. Nyeri yang hebat
6. Mual
7. Abdomen Tegang
8. Tergantung dari kasus yang datang
1.11 Penyebab Kegawatdaruratan
Tergantung kejadian kegawatdaruratan pada kehamilan, persalinan,
nifas, dan neonatal.
1.12 Penilaian Awal Kegawatdaruratan dan Cara Merujuk dengan Cepat
dan Tepat

2. Penilaian Kondisi Yang Berkaitan Dengan Kegawatdaruratan


2.1 Standar Praktik Gawat Darurat
1. Assasment : Penilaian awal kondisi korban gawat darurat, berupa
primary survey dan secondary survey
2. Diagnosis: Melakukan diagnosis terhadap kondisi korban
3. Intervention: melakukan perencanaan akurat sesuai kondisi korban
4. Implementation: Melakukan implementasi lanjutan korban guna
stabilitas korban
5. Evaluation: Melakukan evaluasi serta tindakan lanjut bagi korban
6. Dokumentasi: Mendokumetasikan semua yang akan dilakukan dan
yang telah dilakukan
2.2 Hal-HalYang Dilakukan Sebelum Melakukan Secondary Survey
1. Telah melengkapi primary survey (Survei lengkap mengenai kondisi
korban)
2. Initiate Rescucitation: Pada kondisi gawat darurat, korban dalam
keadaan kritis dan membutuhkan tindakan resusitasi yang cepat
3. Re-Acces CAB: Sumbatan jalan nafas dan tidak stabilnya denyut
jantung membutuhkan tindakan untuk menstabilkan korban
4. Head to Toe Evaluation: Pengecekan fisik diperlukan untuk melihat
ada trauma atau tidak
5. Complete Neuroligical Check: Sesampainya di RS , sebaiknya
dilakukan pengecekan CT-SCAN
6. Rontgen . Diindikasikan apabila ada trauma
7. Special procedur: Jika terlihat ada indikasi
8. Tubes dan Finger incenary orifice
9. Re-Evaluation. Perlu dilakukan untuk monitoring apabila terjadi
kontra indikasi pada korban
3. Menentukan keputusan klinis yang berkaitan dengan kegawatdaruratan
sesuai kewenangan
3.1 TRIAGE
Jika kita berkunjung ke UGD atau IRD suatu rumah sakit sering kita jumpai
istilah triage (baca : trias) yang berasal dari bahasa Perancis. Triage adalah
pengelompokan korban/pasien berdasarkan berat ringannya trauma atau
penyakit serta kecepatan penanganan atau pemindahan.
3.2 Tujuan triage adalah Dapat menangani korban/pasien dengan cepat, cermat
dan tepat sesuai dengan sumber daya yang ada
3.3 Prinsip-prinsip.triage:
“Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sependek mungkin), The
Right Patient, to The Right Place at The Right Time serta melakukan yang
terbaik untuk jumlah terbanyak” dengan.seleksi.korban.berdasarkan :
3.4 Prioritas : penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan
dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul.
Tingkat.prioritas :
a. Prioritas I (prioritas tertinggi) warna merah untuk berat dan biru untuk sangat
berat. Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah
segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan
pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok
hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar)
tingkat II dan III > 25%
b. Prioritas II (medium) warna kuning. Potensial mengancam nyawa atau fungsi
vital bila tidak segera ditangani dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan
pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio
(luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma thorak/abdomen, laserasi luas,
trauma bola mata.
c. Prioritas III(rendah) warna hijau. Perlu penanganan seperti pelayanan biasa,
tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh
luka superficial, luka-luka ringan
d. Prioritas 0 warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat
parah.
3.5 Keputusan triage harus dihargai. Diskusi setelah tindakan. Hindari untuk tidak
memutuskan sesuatu. Pemimpin triage tidak harus dokter, perawat pun bisa
atau orang yang terlatih tergantung sumber daya manusia di tempat kejadian.
Tugas-tugas.Tim.triage
  a. Bertanggung jawab
b. Mencegah kerusakan berlanjut atau semakin parah
c. Pilah dan pilih korban
d. Memberi perlindungan kepada korban.
3.6 Dokumentasi/rekam medis triage
a. Informasi dasar : nama, umur, jenis kelamin, cedera, penyebab cedera,
pertolongan pertama yang telah diberikan
b. Tanda-tanda vital : tensi, nadi, respirasi, kesadaran
c. Diagnosis singkat tapi lengkap
d. Kategori triage
e. Urutan tindakan preoperatif secara lengkap
Study Kasus
1. Seorang perempuan datang ke RS mengeluh nyeri pada pinggang tembus ke
belakang , sesak nafas dan ada pengeluaran darah dari jalan lahir. Setelah
dilakukan anamnesa perempuan tersebut hamil 38 mggu, G4P3A0,
pembukaan 10 cm. RR: >30 x/i, HR : 100 x/i , TD: 80/60 mmHg .
Apakah ibu ini masuk dalam kasus gawat atau darurat, Jelaskan alasan
anda !
2. Jika jawaban anda gawat, apa tindakan awal yang anda lakukan sesuai kasus
tersebut diatas?
3. Dalam Memberikan pertolongan gawat darurat apa yang diperlukan antara
petugas dan korban?
4. Apa kompetensi praktis dalam melakukan interaksi dengan korban gawat
darurat?
5. Apa prinsip yang diperlukan selama proses transportasi?
6. Apa saja yang perlu didokumentasikan dalam dokumentasi legal darurat?
7. Jelaskan urutan standar praktek gawat darurat?
4. Melakukan penanganan kegawatdaruratan pada kasus maternal ,BBL
dan neonatal yang relevan
4.1 Jenis-jenis Kegawatdaruratan Maternal Pada Kehamilan Muda:
1. Abortus
a) Pengertian Abortus
Adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilan kurang dari 20
minggu, diagnosa ditegakkan berdasarkan adanya amenoroe, tanda-tanda
kehamilan, perdarahan hebat per-vagina, pengeluaran jaringan plasenta,
demam, menggigil.Kemungkinan gejala iritasi peritonium dan kemungkinan
syok.
Etiologi abortus
1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
2. Kelainan pada plasenta, yang disebabkan penyakit darah tinggi kronis
3. Faktor penyakitkronis yang diderita ibu, misalnya radang paru, anemia, tifus,
infeksi virus toksoplasmosis
b) Klasifikasi abortus
1. Abortus komplet
Dimana seluruh hasil konsepsi telah keluar dari rahim pada kehamilan <20
minggu.
2. Abortus Inkomplet
Adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari rahim dan masih ada yang
tertinggal.
3. Abortus Insipiens
Adalah abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks
yang telah mendatar, sedangkan konsepsi masih berada lengkap dirahim.
4. Abortus Iminens
Adalah abortus tingkat permulaan, terjadi perdarahan per-vagina,
sedangkan jalan lahir masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik didalam
rahim.
5. Missed Abortion
Adalah abortus yang ditandai dengan embrio dan fetus telah meninggal
dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi
seluruhnya masih dalam kandungan.
6. Abortus Habitualis
Adalah abortus yang terjadi sebanyak 3 kali berturut-turut atau lebih.
7. Abortus Infeksius
Adalah abortus yang disertai infeksi organ genitalia.
8. Abortus Septik
Adalah abortus yang terinfeksi dengan penyebaran mikroorganisme dan
produknya kedalam sirkulasi sistemik ibu.
c) Penanganan
Untuk menangani pasien abortus, ada beberapa langkah yang dibedakan

menurut jenis abortus yang dialami, antara lain :

1. Abortus Komplet. Tidak memerlukan penanganan penanganan khusus,

hanya apabila menderita anemia ringan perlu diberikan tablet besi dan

dianjurkan supaya makan makanan yang mengandung banyak protein,

vitamin dan mineral.

2. Abortus Inkomplet. Bila disertai dengan syok akibat perdarahan maka pasien

diinfus dan dilanjutkan transfusi darah. Setelah syok teratasi, dilakukan

kuretase, bila perlu pasien dianjurkan untuk rawat inap.

3. Abortus Insipiens. Biasanya dilakukan tindakan kuretase bila umur

kehamilan kurang dari 12 minggu yang disertai dengan perdarahan

4. Abortus Iminens. Istirahat baring, tidur berbaring merupakan unsur penting

dalam pengobatan karena cara ini akan mengurangi rangsangan mekanis

dan menambah aliran darah ke rahim. Ditambahkan obat penenang bila

pasien gelisah

5. Missed Abortion. Dilakukan kuretase. harus hati hati karena terkadang

plasenta melekat erat pada rahim.


d) Terapi

Terapi untuk perdarahan yang tidak mengancam nyawa adalah dengan

Macrodex, Haemaccel, Periston, Plasmagel, Plasmafundin (pengekspansi

plasma pengganti darah) dan perawatan di rumah sakit. Terapi untuk

perdarahan yang mengancam nyawa (syok hemoragik) dan memerlukan

anestesi, harus dilakukan dengan sangat hati-hati jika kehilangan darah

banyak. Pada syok berat, lebih dipilih kuretase tanpa anestesi kemudian

Methergin. Pada abortus pada demam menggigil, tindakan utamanya

dengan penisilin, ampisilin, sefalotin, rebofasin, dan pemberian infus.

2. Mola hidatidosa (Kista Vesikular)

a) Pengertian Mola Hidatidosa

Mola Hidatidosa (Hamil Anggur) adalah suatu massa atau pertumbuhan di

dalam rahim yang terjadi pada awal kehamilan. Mola Hidatidosa adalah

kehamilan abnormal, dimana seluruh villi korialisnya mengalami perubahan

hidrofobik. Mola hidatidosa juga dihubungkan dengan edema vesikular dari vili

khorialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus yang intak. Secara

histologist, ditemukan proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan

hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya

terdapat sedikit pembuluh darah.

b) Etiologi

Penyebab pasti mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-faktor yang

mungkin dapat menyebabkan dan mendukung terjadinya mola, antara lain:

Faktor ovum, di mana ovum memang sudah patologik sehingga mati,

tetapiterlambat dikeluarkan, Imunoselektif dari trofoblast, Keadaan sosioekonomi


yang rendah, Paritas tinggi, Kekurangan protein dan Infeksi virus dan faktor

kromosom yang belum jelas

c) Klasifikasi

1.      Mola Hidatidosa Sempurna

a. Mola Sempurna Androgenetic

b. Mola Sempurna Biparental

2.      Mola Hidatidosa Parsial

d) Tanda dan gejala

Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa.

Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 – 16 dimana ukuran rahim

lebih besar dari kehamilan biasa, pembesaran rahim yang terkadang diikuti

perdarahan, dan bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti

anggur pada pakaian dalam. Tanda dan gejala, yaitu :

1. Mual dan muntah yang parah yang menyebabkan 10% pasien masuk RS

2. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih besar):

3. Gejala – gejala hipertitoidisme seperti intoleransi panas, gugup, penurunan

BB yang tidak dapat dijelaskan, tangan gemetar dan berkeringat, kulit

lembab

4. Gejala – gejala pre-eklampsi seperti pembengkakan pada kaki dan tungkai,

peningkatan tekanan darah, proteinuria (terdapat protein pada air seni).

e) Manifestasi Klinis
1.Amenorrhoe dan tanda-tanda kehamilan.
2. Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat. Merupakan

gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten selama

berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan

anemia defisiensi besi.


3. Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan

usia kehamilan.

4. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin maupun ballottement.

5. Hiperemesis, pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.

6. Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke-24

7. Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa pasti

8. Gejala Tirotoksikosis

f) Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

penunjang seperti laboratorium, USG dan histologis. Pada mola hidatidosa yang

komplet terdapat tanda dan gejala klasik yakni:

1. Perdarahan vaginam

2. Hiperemesis

3. Hipertiroid

g) Penatalaksanaan

1. Perbaiki keadaan umum.

2. Bila mola sudah keluar spontan dilakukan kuret atau kuret isap. Bila

Kanalis servikalis belum terbuka dipasang laminaria dan 12 jam

kemudian dilakukan kuret.

3. Memberikan obat-obatan antibiotik, uterotonika dan perbaiki keadaan

umum penderita.

4. 7 – 10 hari setelah kerokan pertama, dilakukan kerokan ke dua untuk

membersihkan sisa-sisa jaringan.


5. Histerektomi total dilakukan pada mola resiko tinggi usia lebih dari 30

tahun, paritas 4 atau lebih, dan uterus yang sangat besar yaitu setinggi

pusat atau lebih.

h) Pengawasan Lanjutan

1. Ibu dianjurkan untuk tidak hamil dan dianjurkan memakai kontrasepsi

oral pil.

2. Mematuhi jadwal periksa ulang selama 2-3 tahun, yaitu setiap minggu

pada Triwulan pertama, setiap 2 minggu pada Triwulan kedua, setiap

bulan pada 6 bulan berikutnya, setiap 2 bulan pada tahun berikutnya,

dan selanjutnya setiap 3 bulan.

3. Setiap pemeriksaan ulang perlu diperhatikan :

a. Gejala klinis : keadaan umum, perdarahan

b. Pemeriksaan dalam : keadaan serviks, uterus bertambah kecil atau

tidak

c. Laboratorium : Reaksi biologis dan imunologis : 1x seminggu sampai

hasil negatif, 1x per 2 minggu selama Triwulan selanjutnya, 1x sebulan

dalam 6 bulan selanjutnya, 1x per 3 bulan selama tahun berikutnya.

Kalau hasil reaksi titer masih (+) maka harus dicurigai adanya

keganasan.

d. Sitostatika Profilaksis : Metoreksat 3x 5mg selama 5 hari.

3. Kehamilan Ekstrauteri (Ektopik)

Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi diluar

endometrium kavum uteri.


a) Penyebab

Gangguan ini adalah terlambatnya transport ovum karena obstruksi mekanis

pada jalan yang melewati tuba uteri. Kehamilan tuba terutama di ampula, jarang

terjadi kehamilan di ovarium.

b) Tanda dan Gejala

Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering unilateral (abortus

tuba), hebat dan akut (rupture tuba), ada nyeri tekan abdomen yang jelas dan

menyebar. Kavum douglas menonjol dan sensitive terhadap tekanan. Jika ada

perdarahan intra-abdominal, gejalanya sebagai berikut:

1. Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang pada abdomen

bagian atas.

2. Abdomen tegang.

3. Mual.

4. Nyeri bahu.

5. Membran mukosa anemis.

Jika terjdi syok, akan ditemukan nadi lemah dan cepat, tekanan darah di

bawah 100 mmHg, wajah tampak kurus dan bentuknya menonjol-terutama

hidung, keringat dingin, ekstremitas pucat, kuku kebiruan, dan mungkin terjadi

gangguan kesadaran.

c) Diagnosis

Ditegakkan melalui adanya amenore 3-10 minggu, jarang lebih lama,

perdarahan per vagina tidak teratur (tidak selalu).

d) Penanganan

Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)


1. Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi.

2. Pada laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan menjepit

bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan.

3. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga perut

sebanyak mungkin dikeluarkan.

Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu :

1. Kondisi penderita pada saat itu,

2. Keinginan penderita akan fungsi reproduksinya,

3. Lokasi kehamilan ektopik.

4. Hasil ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan

bagian tuba yang terganggu) pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan

terhadap kadar HCG (kuantitatif). Peninggian kadar HCG yang berlangsung

terus menandakan masih adanya jaringan ektopik yang belum terangkat.

Penanganan pada kehamilan ektopik dapat pula dengan :

1. Transfusi, infus, oksigen,

2. Atau kalau dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan antiinflamasi.

e) Terapi

Terapi untuk gangguan ini adalah dengan infuse ekspander plasma (Haemaccel,

Macrodex) 1000 ml atau merujuk ke rumah sakit secepatnya.

1. Penanganan Kehamilan Lanjut Dengan

1. Preeklampsia

2. Eklampsia

3. Plasenta Previa

4. Solutio Plasenta (Abruptio Plasenta)


1. Preeklampsia

a) Pengertian

     Preeklampsia merujuk pada kompleks gejala pada kehamilan yang meliputi

edema, proteinuria, dan hipertensi (>140/>90 atau peningkatan 30 mmHg sistolik

atau 15 mmHg diastolik di atas nilai normal) (Bresler & Sternbach, 2006). Sementara

menurut Taber (1994), preeklampsia merupakan berkembangnya hipertensi dengan

proteinuria atau edema atau keduanya yang disebabkan oleh kehamilan atau

dipengaruhi oleh kehamilan yang sekarang. Biasanya keadaan ini timbul setelah

umur kehamilan 20 minggu tetapi dapat pula berkembang sebelum saat tersebut

pada penyakit trofoblastik. Preeklampsia merupakan gangguan yang terutama

terjadi.pada.primigravida.

b). Manifestasi klinik : Menurut Taber (1994), data subjektif yang didapatkan adalah:

1. Kenaikan berat badan yang timbul secara cepat dalam waktu yang singkat

menunjukkan adanya retensi cairan dan dapat merupakan gejala paling dini dari

preeklampsia. Pasien sadar akan edema yang menyeluruh, terutama

pembengkakan pada muka dan tangan. Keluhan yang umum adalah sesaknya

cincin pada jari-jarinya. Sebagai usaha untuk membedakan edema kehamilan,

proses jinak, dari preeklampsia, tekanan darah pasien harus diketahui.

1. Sakit kepala : Meskipun sakit kepala merupakan gejala yang relatif biasa

selama kehamilan, sakit kepala dapat juga menjadi gejala awal dari edema otak.

Sebagai konsekuensinya, tekanan darah pasien harus ditentukan

2. Gangguan penglihatan mungkin merupakan gejala dari preeklampsia berat

dan dapat menunjukkan spasme arteriolar retina, iskemia, edema, atau pada kasus-

kasus yang jarang, pelepasan retina


3. Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas menunjukkan pembengkakan

hepar yang berhubungan dengan preeklampsia berat atau menandakan ruptur

hematoma.subkapsuler.hepar

c).Pemeriksaan.fisik.Menurut.Taber.(1994),

1. Tekanan darah meningkat

2. Edema menunjukkan retensi cairan. Edema yang dependen merupakan kejadian

yang normal selama kehamilan lanjut. Edema pada muka dan tangan tampaknya

lebih menunjukkan retensi cairan yang patologik

3. Kenaikan berat badan yang cepat merupakan suatu petunjuk dari retensi cairan

ekstravaskular

4. Pemeriksaan retina : Spasme arteriolar dan kilauan retina dapat terlihat

5. Pemeriksaan thorak : karena edema paru merupakan satu dari komplikasi serius

dari preeklampsia berat, paru-paru harus diperiksa secara teliti

6. Refleks tendon profunda (lutut dan kaki) : Hiperfleksia dan klonus merupakan

petunjuk dari peningkatan iritabilitas susunan saraf pusat dan mungkin

meramalkan suatu kejang eklampsia

d) Pemeriksaan.abdomen

Rasa sakit daerah hepar merupakan suatu tanda potensial yang tidak

menyenangkan dari preeklampsia berat dan dapat meramalkan ruptur dari

hepar. Pemeriksaan uterus penting untuk menilai umur kehamilan, adanya

kontraksi uterus dan presentasi janin

e) Pemeriksaan.pelvis

Keadaan serviks dan stasi dari bagian terbawah merupakan pertimbangan yang

penting dalam merencanakan kelahiran per vaginam atau per abdominan


f) Penatalaksanaan

Menurut Taber (1994), penatalaksanaannya adalah:

a.   Preeklampsia.ringan

Bila aterm, kelahiran dianjurkan untuk mencegah komplikasi ibu dan janin.

Sebelum aterm, tirah baring di rumah sakit biasanya dianjurkan sebagai usaha

untuk mempertahankan pasien dalam pengawasan yang cermat. Tekanan darah

diperiksa 4 kali sehari. Berat badan, protein urine dan keluaran urin diperiksa

setiap hari. Sebagai tambahan, jumlah trombosit, pengukuran estriol, nonstress

test dan sonografi membantu dalam evaluasi kesehatan ibu dan janin.

b.   Preeklampsia.berat

Pasien dirawat-inapkan dengan posisi tidur miring (lateral recumbent position)

untuk meningkatkan filtrasi glomerulus. Tekanan darah, berat badan, protein

urine, masukan dan keluaran dipantau dengan ketat. Tes-tes diagnostik dasar

mengevaluasi beratnya proses penyakit dan keadaan janin.

1. Terapi anti kejang : biasanya Magnesium Sulfat (MgSO4) dianjurkan untuk

mencegah kejang terutama selama persalinan. Dosis awal 4 gr dilarutkan dalam

100 ml dekstrosa 5% dan diberikan intravena dalam waktu 10 sampai 30 menit.

Kemudian diikutidengan 1 sampai 2 g per jam dalam infus intravena yang

diencerkan. Efek terapi magnesium  sulfat dapat diperiksa secara klinis dengan

aktivitas refleks patela. Refleks dan klonus kaki yang hiperaktif memberi kesan

kebutuhan pengobatan yang meningkat. Tidak adanya refleks menunjukkan

bahwa kecepatan infus harus dilambatkan atau dihentikan, karena hilangnya

refleks patela merupakan tanda pertama dari keracunan magnesium. Aliran urin

dan pernapasan harus dipantau secar ketat

2. Jika terjadi depresi pernapasan, 10 ml larutan kalsium glukonas 10%


intravena dalam waktu 3 menit dianjurkan sebagai antidotum terhadap

keracunan.magnesium

3. Terapi anti hipertensi : Jika tekanan darah secara tiba-tiba meningkat di atas

170 hingga 180 mmHg sistolik atau 110 hingga 120 mmHg diastolik, hidralazin

dianjurkan untuk mengurangi risiko perdarahan otak dan mungkin memperbaiki

aliran darah ke ginjal. Dosis awal 5 mg diberikan intravena dan tekanan darah

dipantau setiap 5 menit. Jika tekanan diastolik tidak turun di bawah 100 mmHg

dalam 20 menit, diberikan dosis ulangan 5 hingga 10 mg. Dosis ini diulangi

setiap interval 20 menit sampai tekanan diastolik turun menjadi 100 mmHg.

Tekanan darah yang turun terlalu cepat dapat mengganggu perfusi plasenta dan

bahaya terhadap janin meningkat

2. Eklampsia

a) Pengertian Eklampsia

Beberapa pengertian eklampsi adalah:

1. Istilah eklampsi berasal dari bahas yunani berarti halilintar, karena seolah–

olah gejala eklampsi timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda–tanda

lain. Eklampsi umumnya timbul pada pada wanita hamil atau dalam nifas

dengan tanda–tanda pre-eklampsi, timbul serangan kejang yang diikuti oleh

komA.

2. Eklampsi adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas

yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, kejang timbul bukan

akibat kelainan neurologic (PBPOGI, 1991).

3. Eklampsi adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam masa persalinan

atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau demam (dr. Handaya,

dkk).
b) Epidimiologi

Frekuensi eklampsi bervariasi. Frekuensi rendah pada umumnya merupakan

petunjuk tentangadanya pengawasan antenatal yang baik dan penanganan

preeklampsi yang sempurna. Di negara yang sedang berkembang, frekuensi

dilaporkan berkisar antara 0,3 -0,7%. Sedangkan di negara maju angka nya

lebih kecil, yaitu 0,05–0,1%.

c) Tanda-tanda dan gejala

Pada umumnya kejang di dahului oleh makin memburuknya preeklampsi dan

terjadinya gejala–gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan,

mual yang hebat, nyeri di epigastrium dan hiper-refleksi. Bila keadaan ini tidak

segera diobati akan timbul kejang. Terutama pada persalinan, bahaya ini besar.

Konvulsi eklampsi dibagi dalam 4 tingkat

1. Tingkat Awal (Aura) .

Keadaaan ini berlangsung kira–kira 30 detik, mata penderita terbuka tanpa

melihat, kelopak mata bergetar. Demikian pula tangannya dan kepala berputar ke

kiriataukekanan

2. Tingkat kejang tonik.

Berlangsung 15-30 detik atau kurang dari 30 detik, dalam tingkat ini semua otot

menjadi kaku, wajahnya keliatan kaku ( distorsi ), bola mata menonjol, tangan

menggenggam, kaki membengkok ke dalam, pernapasan berhenti,muka menjadi

sianotik, lidah dapat tergigit.

3. Tingkat Kejang Klonik.

Berlangsung antara 1-2 menit, semua otot berkontraksi dan berulang-ulang

dalam tempo yang cepat, terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup kembali

dengan kuat disertai pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian
disusul dengan kontraksi intermitten pada otot-oto muka dan otot seluruh tubuh.

Begitu kuat kontraksi otot-otot tubuh ini, sehingga seringkali penderita terlempar dari

tempat tidur. Seringpula lidah tergigit, dan mulut keluar liur yang berbusa kadan

disertai bercak-bercak darah, wajah tampak membengkak karena kongesti dan

sianosis, pada konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik pendarahan, klien menjadi

tidak sadar.

4. Tingkat Koma.

Lama kesadaran tidak selalu sama, secar perlahan-lahan pendrita mulai sadar lagi,

akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan berulang

sehingga ia tetap dalam koma. Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi

cepat dan suhu meningkat sampai 40 derajat celcius, mungkin karena gangguan

serebral. Penderita mengalami inkontinensia disertai dengan oliguria atauanuria dan

kadang-kadang terjadi aspirasi bahkan muntah. Penderita yang sadar kembali dari

koma, umumnya mengalami disorientasi dan sedikit gelisah.

5. Komplikasi

a.      Solusio plasenta.

b.      Hipofibrinogenia.

c.      Hemolisis

d.     Perdarahan otak.

e.      Kelainan mata, kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung

sampai 1 minggu, perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini

merupakan tanda gawat akan terjadinya apofleksia serebri.

f.       Edema paru.

g.      Nekrosis hati.

h.      Sindroma help.


i.        Kelainan ginjal.

j.        Komplikasi lain (lidah tergigit, trama dan fraktur karena jtuh dan

DIC).

k.      Prematuritas, dismaturitas dan IUFD.

6. Penatalaksanaan Eklampsia

Tujuan:

-Menghentikan atau mencegah kejang.

-  Mempertahankan fungsi organ vital

-  Koreksi hipoksia atau asidosis

- Mengendalikan tekanan darah dalam batas aman Pengakhiran

  Kehamilan mencegah atau mengatasi penyulit, khususnya krisis hipertensi, untuk

mencapai stabilisasi keadaan ibu seoptimal mungkin Penatalaksanaan yang

dilakukan pada ibu eklampsi:

7. Perawatan pada waktu kejang

Pada penderita yang mengalami kejang tujuan pertama pertolongan ialah

mencegah penderita mengalami penderita akibat kejang –kejang tersebut.dirawat

dikamar isolasi cukup terang agar bila terjadi sinosis segera dapat diatasi segera

dapat diketahui.

Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstermitas penderita yang kejang tidak

terlalu kuat menghentak hentak benda kuat disekitarnya selanjutnya masukkan

sudap lidah kedalam mulut si penderita dan jangan mencoba melepas sudap lidah

yang sedang tergigit karena dapat mematah kan gigi.

8. Perawatan koma

Tindakan pertama pada penderita koma adalah menjaga dan mengusaha kan

agar jalan nafas atas tetap terbuka.cara yang sederhana dan cukup efektif dalam
menjaga terbukanya jalan nafas atas adalah dengan manuver tik –neck lift,yaitu

kepala direndahkan dan leher dalam posisi ekstensi kebelakang atau head tilt –chain

lift dengan kepala direndahkan dan dagu ditarik ke atas,atau jau-thrsut,yaitu

mandibula kiri kanan diekstensikan keatas sambil mengangkat kepala

kebelakang.kemudian dapat dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngeal airway

9. Asuhan Ibu Dengan Eklampsi

Penatalaksanaan asuhan pada ibu dengan eklampsi adalah:

a) Segera istirahat baring selama ½-1 jam.

b) Nilai kembali tekanan darah, nadi, pernafasan, reflek patella, bunyi

jantung bayi, dan diuresis

c) Berikan infus terapi anti kejang ( misalnya MgSO4 ) dengan catatan

d) Reflek patella harus (+), pernafasan lebih dari 16 kali per menit serta

diuresis baik (harus sesuai instruksi dokter)

e) Ambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium, seperti : Hb, Ht, leukosit,

LED, ureum, kreatinin, gula darah, elektolit dan urin lengkap.

3. Plasenta previa

a) Pengertian Plasenta Previa

Plasenta Previa adalah Plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah

uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir

b) Etiologi

Mengapa Plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu dapat

diterangkan, bahwasanya vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atrofi

pada dosidua akibat persalinan yang lampau dan dapat menyebabkan plasenta

previa tidak selalu benar, karena tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta previa

didapati untuk sebagian besar pada penderita dengan paritas fungsi, memang
dapat dimengerti bahwa apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup atau

diperlukan lebih banyak seperti pada kehamilan kembar. Plasenta yang letaknya

normal sekalipun akan meluaskan permukaannya, sehingga mendekati atau

menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir

c) Gambaran klinis plasenta previa

1. Perdarahan tanpa nyeri

2. Perdarahan berulang

3. Warna perdarahan merah segar

4. Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah

5. Timbulnya perlahan-lahan

6. Waktu terjadinya saat hamil

7. His biasanya tidak ada

8. Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi

9. Denyut jantung janin ada

10. Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina

11. Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul

12. Presentasi mungkin abnormal.

d) Diagnosis

1. Anamnesis.Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu

berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan

tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada pemeriksaan

hematokrit.

2. Pemeriksaan Luar. Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas

panggul presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas
panggul mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas

panggul.

3. Pemeriksaan In Spekulo. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah

perdarahan berasal dari osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri

eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.

4. Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung. Penentuan letak plasenta secara

tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan ultrasonagrafi.

Ultrasonagrafi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat

tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak

menimbulkan rasa nyeri.

5. Pemeriksaan Ultrasonografi. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan

implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5

cm disebut plasenta letak rendah.

6. Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif.. Dilakukan dengan PDMO yaitu

melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan serviks pada

perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia berat, tidak

dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya menetukan diagnosis.

e) Klasifikasi

1. Plasenta Previa otalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan

Plasenta

2. Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup oleh

jaringan Plasenta

3. Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir Plasenta berada tepat pada

pinggir pembukaan.
4. Plasenta Letak Rendah, Plasenta yang letaknya abnormal pada segmen

bawah uterus tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir

f) Penatalaksanaan

Tindakan pada plasenta previa :

1. Tindakan dasar umum. Memantau tekanan darah, nadi, dan hemoglobin,

memberi oksigen, memasang infuse, member ekspander plasma atau serum

yang diawetkan. Usahakan pemberian darah lengkap yang telah diawetkan

dalam jumlah mencukupi.

2. Pada perdarahan yang mengancam nyawa, seksio sesarea segera dilakukan

setelah pengobatan syok dimulai.

3. Pada perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta previa

totalis atau parsialis, segera lakukan seksio sesaria; karena plasenta letak

rendah (plasenta tidak terlihat jika lebar mulut serviks sekitar 4-5 cm), pecahkan

selaput ketuban dan berikan infuse oksitosin; jika perdarahan tidak berhenti,

lakukan persalinan pervagina dengan forsep atau ekstraksi vakum; jika

perdarahan tidak berhenti lakukan seksio sesaria.

4. Tindakan setelah melahirkan.

1)      Cegah syok (syok hemoragik)

2)      Pantau urin dengan kateter menetap

3)      Pantau sistem koagulasi (koagulopati).

4)      Pada bayi, pantau hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit.

g) Terapi

Terapi atau tindakan terhadap gangguan ini dilakukan di tempat praktik. Pada

kasus perdarahan yang banyak, pengobatan syok adalah dengan infuse Macrodex,

Periston, Haemaccel, Plasmagel, Plasmafudin. Pada kasus pasien gelisah, diberikan


10 mg valium (diazepam) IM atau IV secara perlahan. (Prawirohardjo, Ilmu

Kebidanan : 2009)

4. Solusio (Abrupsio) Plasenta

a) Pengertian Solusio Plasenta

Solusio plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh jaringan plasenta

yang berimplantasi normal pada kehamilan di atas 22 minggu dan sebelum anak

lahir. (Cunningham, Obstetri Williams: 2004)

b) Etiologi

Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui pasti. Meskipun

demikian ada beberapa factor yang diduga mempengaruhi nya, antara lain :

1. penyakit hipertensi menahun

2. pre-eklampsia

3. tali pusat yang pendek

4. trauma

5. tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior uterus yang

sangat mengecil ( hidramnion pada waktu ketuban pecah, kehamilan ganda

pada waktu anak pertama lahir

Di samping hal-hal di atas, ada juga pengaruh dari :

1. umur lanjut

2. multiparitas

3. ketuban pecah sebelum waktunya

4. defisiensi asam folat

5. merokok, alcohol, kokain

6. mioma uteri
c) Klasifikasi

Secara klinis solusio plasenta dibagi dalam :

1. solusio placenta ringan

2. solusio placenta sedang

3. solusio placenta berat

Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tanda-tanda klinisnya, sesuai derajat

terlepasnya placenta. Pada solusio placenta, darah dari tempat pelepasan mencari

jalan keluar antara selaput janin dan dinding rahim dan akhirnya keluar dari serviks

dan terjadilah solusio placenta dengan perdarahan keluar / tampak. Kadang-kadang

darah tidak keluar tapi berkumpul di belakang placenta membentuk hematom

retroplasenta. Perdarahan ini disebut perdarahan ke dalam/ tersembunyi. Kadang-

kadang darah masuk ke dalam ruang amnion sehingga perdarahan tetap

tersembunyi.

d) Gejala klinis

1. Perdarahan yang disertai nyeri, juga diluar his.

2. Anemi dan syok, beratnya anemi dan syok sering tidak sesuai dengan

banyaknya darah yang keluar.

3. Uterus keras seperti papan dan nyeri dipegang karena isi uterus bertambah

dengan darah yang berkumpul di belakang placenta sehingga uterus teregang

(uterus en bois).

4. Palpasi sukar karena rahim keras.

5. Fundus uteri makin lama makin naik

6. Bunyi jantung biasanya tidak ada


7. Pada toucher teraba ketuban yang tegang terus menerus (karena isi uterus

bertambah

8. Sering ada proteinuri karena disertai preeclampsia

e) Diagnosis

Diagnosis solusio plasenta didasarkan adanya perdarahan antepartum yang

bersifat nyeri, uterus yang tegang dan nyeri. Setelah plasenta lahir, ditemukan

adanya impresi (cekungan) pada permukaan maternal plasenta akibat tekanan dari

hematom retroplasenta.

f) Gambaran klinik

1. Solusio plasenta ringan

Ruptura sinus marginalis sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu ataupun

janinnya. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitaman dan

jumlahnya sedikit sekali. Perut mungkin terasa agak sakit atau terus menerus agak

tegang. Uterus yang agak tegang ini harus diawasi terus menerus apakah akan

menjadi lebih tegang karena perdarahan terus menerus. Bagian bagian janin masih

mudah teraba.

2. Solusio plasenta sedang

Plasenta telah lepas lebih dari seperempatnya tapi belum sampai duapertiga luas

permukaannya. Tanda dan gejalanya dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio

plasenta ringan, atau mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang

disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam tampak

sedikit, mungkin perdarahan telah mencapai 1000ml. Dinding uterus teraba tegang

terus menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar diraba. Bila janin

masih hidup, bunyi jantungnya sukar didengar dengan stetoskop biasa, harus
dengan stetoskop ultrasonic. Tanda-tanda persalinan biasanya telah ada dan akan

selesai dalam waktu 2 jam. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin

telah terjadi, walaupun biasanya terjadi pada solusio plasenta berat.

3. Solusio plasenta berat.

Plasenta telah lepas lebih dari duapertiga permukaannya. Terjadi sangat tiba-tiba.

Biasanya ibu telah jatuh dalam syok dan janin telah meninggal. Uterus sangat

tegang seperti papan, sangat nyeri, perdarahan pervaginam tidak sesuai dengan

keadaan syok ibu, malahan mungkin , perdarahan pervaginam belum sempat terjadi.

Besar kemungkinan telah terjadi kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal.

g) Penanganan

1. Solusio plasenta ringan

Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu, perdarahannya kemudian

berhenti, perutnya tidak menjadi sakit, uterusnya tidak menjadi tegang maka

penderita dapat dirawat secara konservatif di rumah sakit dengan observasi

ketat.

2. Solusio plasenta sedang dan berat

Apabila perdarahannya berlangsung terus, dan gejala solusio plasenta

bertambah jelas, atau dalam pemantauan USG daerah solusio plasenta

bertambah luas, maka pengakhiran kehamilan tidak dapat dihindarkan lagi.

Apabila janin hidup, dilakukan sectio caesaria. Sectio caesaria dilakukan bila

serviks panjang dan tertutup, setelah pemecahan ketuban dan pemberian

oksitosin dalam 2 jam belum juga ada his. Apabila janin mati, ketuban segera

dipecahkan untuk mengurangi regangan dinding uterus disusul dengan


pemberian infuse oksitosin 5 iu dalam 500cc glukosa 5% untuk mempercepat

persalinan.

h) Pengobatan

Umum :

1. Transfusi darah.

Transfusi darah harus segera diberikan tidak peduli bagaimana keadaan umum

penderita waktu itu. Karena jika diagnosis solusio placenta dapat ditegakkan itu

berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000ml.

1. Pemberian O2

2. Pemberian antibiotik.

3. Pada syok yang berat diberi kortikosteroid dalam dosis tinggi.

2.5 Distosia bahu

a) Pengertian
Distosia bahu ialah kelahiran kepala janin dengan bahu anterior macet diatas
sacral promontory karena itu tidak bisa lewat masuk ke dalam panggul, atau
bahu tersebut bisa lewat promontorium, tetapi mendapat halangan dari tulang
sakrum.
Distosia bahu secara sederhana adalah kesulitan  pada saat melahirkan bahu
(Varney, 2004). Pada presentasi kepala bahu anterior terjepit di atas simpisis
pubis sehingga bahu tidak dapat melewati panggul kecil atau sempit panggul.
Bahu posterior tertahan di atas promontorium bagian atas. Distosia bahu terjadi
jika bahu masuk ke dalam panggul kecil dengan diameter biakromial pada posisi
anteroposterior dari panggul sebagai pengganti diameter oblik panggul yang
mana diameter oblik sebesar 12,75 cm lebih panjang dari diameter
anteroposterior (11 cm). Waktu untuk menolong distosia bahu kurang lebih 5-10
menit.
b) Patofisiologi
Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang menyebabkan
kepala berada pada sumbu normal dengan tulang belakang bahu pada
umumnya akan berada pada sumbu miring (oblique) di bawah ramus pubis.
Dorongan pada saat ibu meneran akan meyebabkan bahu depan (anterior)
berada di bawah pubis, bila bahu gagal untuk mengadakan putaran
menyesuaikan dengan sumbu miring dan tetap berada pada posisi
anteroposterior, pada bayi yang besar akan terjadi benturan bahu depan
terhadap simfisis sehingga bahu tidak bisa lahir mengikuti kepala.
c) Etiologi
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu
untuk “melipat” ke dalam panggul (misal : pada makrosomia) disebabkan oleh
fase aktif dan persalinan kala II yang pendek pada multipara sehingga
penurunan kepala yang terlalu cepat menyebabkan bahu tidak melipat pada saat
melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu tengah panggul setelah
mengalami pemanjangan kala II sebelah bahu berhasil melipat masuk ke dalam
panggul.

d) Penilaian Klinik
a.       Kepala janin telah lahir namun masih erat berada di vulva
b.      Kepala bayi tidak melakukan putaran paksi luar
c.       Dagu tertarik dan menekan perineum
d.      Tanda kepala kura-kura yaitu penarikan kembali kepala terhadap
perineum sehingga tampak masuk kembali ke dalam vagina.
e.       Penarikan kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang terperangkap
di belakang symphisis.
e) Faktor Risiko
a.       Ibu dengan diabetes, 7 % insiden distosia bahu terjadi pada ibu
dengan diabetes gestasional (Keller, dkk)
b.      Janin besar (macrossomia), distosia bahu lebih sering terjadi pada
bayi dengan berat lahir yang lebih besar, meski demikian hampir
separuh dari kelahiran doistosia bahu memiliki berat kurang dari 4000 g.
c.       Riwayat obstetri/persalinan dengan bayi besar
d.      Ibu dengan obesitas
e.       Multiparitas
f.       Kehamilan posterm, dapat menyebabkan distosia bahu karena janin
terus tumbuh setelah usia 42 mingu.
g.      Riwayat obstetri dengan persalinan lama/persalinan sulit atau
riwayat distosia bahu, terdapat kasus distosia bahu rekuren pada 5
(12%) di antara 42 wanita (Smith dkk., 1994)
h.      Cephalopelvic disproportion
f) Komplikasi pada Ibu
a.       Laserasi daerah perineum dan vagina yang luas
b.      Gangguan psikologi sebagai dampak dari pengalaman  yang
traumatik
c.       Depresi jika janin cacat atau meninggal
d.      Distosia bahu dapat menyebabkan perdarahan postpartum karena
atonia uteri,
e.       rupture uteri,

g) Komplikasi pada Bayi


a.       Terjadi peningkatan insiden kesakitan dan kematian intrapartum.
Pada saat  melahirkan bahu beresiko anoksia sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan otak.
b.      Kerusakan syaraf. Kerusakan atau kelumpuhan pleksus brakhialis
dan keretakan bahkan sampai fraktur tulang klavikula.
c.       Distosia bahu dapat disertai morbiditas dan mortalitas janin yang
signifikan. Kecacatan pleksus brachialis transien adalah cedera yang
paling sering, selain itu dapat juga terjadi fraktur klavikula, fraktur
humerus, dan kematian neonatal.
h) Penatalaksanaan Distosia Bahu
Penatalaksanaan ditosia bahu juga harus memperhatikan kondisi ibu dan
janin. Syarat-syarat agar dapat dilakukan tindakan untuk menangani distosia
bahu adalah :
a.       Kondisi vital ibu cukup memadai sehingga dapat bekerjasama
untuk menyelesaikan persalinan
b.      Masih mampu untuk mengejan
c.       Jalan lahir dan pintu bawah panggul memadai untuk akomodasi
tubuh bayi
d.      Bayi masih hidup atau diharapkan dapat bertahan hidup
e.       Bukan monstrum atau kelainan congenital yang menghalangi
keluarnya bayi
Karena distosia bahu tidak dapat diramalkan, pelaku praktik obstetric harus
mengetahui betul prinsip-prinsip penatalaksanaan penyulit yang terkadang
sangat melumpuhkan ini.
1. Teknik Penanganan Distosia Bahu
Prinsip utama dalam penanganan distosia bahu adalah melahirkan badan
bayi sesegera mungkin dengan beberapa teknik berikut :
a. Episiotomi
Episiotomi dilakukan dengan tujuan memperluas jalan lahir sehingga bahu
diharapkan dapat lahir.
b. Manuver Mc Robert (1983)
a.       Dengan posisi ibu berbaring, minta ibu untuk menarik kedua lututnya
sejauh mungkin ke arah dadanya, minta dua asisten (boleh suami atau anggota
keluarganya) untuk membantu ibu.
b.      Tekan kepala bayi secara mantap dan terus-menerus ke arah bawah
(kearah anus ibu) untuk menggerakkan bahu anterior di bawah symphisis pubis.
Hindari tekanan yang berlebihan pada bagian kepala bayi karena mungkin akan
melukainya.
c.       Secara bersamaan minta salah satu asisten untuk memberikan sedikit
tekanan supra pubis ke arah bawah dengan lembut. Jangan lakukan dorongan
pada pubis, karena akan mempengaruhi bahu lebih jauh dan bisa menyebabkan
ruptur uteri
c. Manuver Corkscrew Woods (1943)
a.       Masukkan satu tangan ke dalam vagina dan lakukan penekanan pada
bahu anterior, ke arah sternum bayi, untuk memutar bahu bayi dan mengurangi
diameter bahu
b.      Jika perlu, lakukan penekanan pada bahu posterior ke arah sternum.
d. Teknik Pelahiran Bahu Belakang
a.       Masukkan satu tangan ke dalam vagina dan pegang tulang lengan atas
yang berada pada posisi posterior
b.      Fleksikan lengan bayi di bagian siku dan letakkan lengan tersebut
melintang di dada bayi.
e. Manuver Rubin (1964)
a.       Pertama dengan menggoyang-goyang kedua bahu janin dari satu sisi ke
sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen.
b.      Bila tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu yang
paling mudah di akses, kemudian mendorongnya ke permukaan anterior bahu.
Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi kedua bahu kemudian akan
menghasilkan diameter antar-bahu dan pergeseran bahu depan dari belakang
simfisis pubis.
f. Manuver Hibbard (1982)
Menekan dagu dan leher janin ke arah rectum ibu dan seorang asisten
menekan kuat fundus saat bahu depan dibebaskan. Penekanan fundus yang
dilakukan pada saat yang salah akan mengakibatkan bahu depan semakin
terjepit (Gross dkk., 1987)
g. Posisi Merangkak
a.       Minta ibu untuk berganti posisi merangkak
b.      Coba ganti kelahiran bayi tersebut dalam posisi ini dengan cara
melakukan tarikan perlahan pada bahu anterior ke arah atas dengan hati-hati.
c.       Segera setelah lahir bahu anterior, lahirkan bahu posterior dengan tarikan
perlahan ke arah bagian bawah dengan hati-hati.
h. Manuver Zavanelli (Sandberg, 1985)
a.       Mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau posterior bila
kepala janin telah berputar dari posisi tersebut
b.      Memfleksikan kepala dan secara perlahan mendorongnya masuk kembali
ke vagina yang diikuti dengan pelahiran secara sesar.
c.       Memberikan terbutaline 250 mg subkutan untuk menghasilkan relaksasi
uterus.
i. Fraktur Klavikula
Mematahkan klavikula dengan cara menekan klavikula anterior terhadap
ramus pubis dapat dilakukan untuk membebaskan bahu yang terjepit.
j. Kleidotomi
Kleidotomi yaitu memotong klavikula dengan gunting atau benda tajam lain,
biasanya dilakukan pada janin mati (Schram, 1983)
k. Simfisiotomi
Simfisotomi yaitu mematahkan simfisis pubis untuk mempermudah persalinan
juga dapat diterapkan dengan sukses (Hartfield, 1986). Namun Goodwin dkk.
Melaporkan bahwa tiga kasus yang mengerjakan simfisiotomi, ketiga bayi mati
dan terdapat morbiditas ibu signifikan akibat cedera traktus urinarius.
2. Langkah- langkah Penatalaksanaan Distosia Bahu
a. Asuhan Persalinan Normal 2008
1) melakukan episiotomy,
2) melakukan manuver McRobert dengan tekanan supra pubik.
Biasanya dengan manuver tersebut janin dengan distosia bahu sudah dapat
dilahirkan. Namun jika bahu tidak lahir direkomendasikan manuver Corkscrew
Woods, teknik pelahiran bahu belakang dan melahirkan dengan posisi
merangkak. Sedangkan fraktur klavikula merupakan pilihan terakhir.
Penatalaksanaan distosia bahu (APN 2007)
a)    Mengenakan sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril.
b)    Melaksanakan episiotomi secukupnya dengan didahului dengan anastesi
lokal.
c)    Mengatur posisi ibu Manuver Mc Robert.
(1)  Pada posisi ibu berbaring terlentang, minta ibu menarik lututnya sejauh
mungkin kea rah dadanya dan diupayakan lurus. Minta suami/keluarga
membantu.
(2)  Lakukan penekanan ke bawah dengan mantap diatas simpisis pubis
untuk menggerakkan bahu anterior di atas simpisis pubis. Tidak diperbolehkan
mendorong fundus uteri, beresiko menjadi ruptur uteri.
d)    Ganti posisi ibu dengan posisi merangkak dan kepala berada di atas.
(1)  Tekan ke atas untuk melahirkan bahu depan.
(2)  Tekan kepala janin mantap ke bawah untuk melahirkan bahu belakang.
5)    Penatalaksanaan distosia bahu menurut Varney (2007)
a)    Bersikap relaks. Hal ini akan mengkondisikan penolong untuk
berkonsentrasi dalam menangani situasi gawat darurat secara efektif.
b)    Memanggil dokter. Bila  masih terus menolong sampai bayi lahir sebelum
dokter adatang, maka dokter akan menangani perdarahan yang mungkin terjadi
atau untuk tindakan resusitasi.
c)    Siapkan peralatan tindakan resusitasi.
d)    Menyiapkan peralatan dan obat-obatan untuk penanganan perdarahan.
e)    Beritahu ibu prosedur yang akan dilakukan.
f)     Atur posisi Mc Robert.
g)    Cek posisi bahu. Ibu diminta tidak mengejan. Putar bahu menjadi
diameter oblik dari pelvis atau anteroposterior bila melintang. Kelima jari satu
tangan diletakkan pada dada janin, sedangkan kelima jari tangan satunya pada
punggung janin sebelah kiri. Perlu tindakan secara hati-hati karena tindakan ini
dapat menyebabkan kerusakan pleksus syaraf brakhialis.
h)    Meminta pendamping  untuk menekan daerah supra pubik untuk
menekan kepala ke arah bawah dan luar. Hati-hati dalam melaksanakan tarikan
ke bawah karena dapat menimbulkan kerusakan pleksus syaraf brakhialis. Cara
menekan daerah supra pubik dengan cara kedua tangan saling menumpuk
diletakkan di atas simpisis. Selanjutnya ditekan ke arah luar bawah perut.

1) Bila  belum menunjukkan kemajuan, kosongkan kandung kemih karena


dapat menganggu turunnya bahu, melakukan episiotomy, melakukan
pemeriksaan dalam untuk mencari kemungkinan adanya penyebab lain
distosia bahu. Tangan diusahakan memeriksa kemungkinan :
2) Tali pusat pendek.
3) Bertambah besarnya janin pada daerah thorak dan abdomen oleh
karena tumor.
4) Lingkaran bandl yang mengindikasikan akan terjadi ruptur uteri.
5) Mencoba kembali melahirkan bahu. Bila distosia bahu ringan, janin
akan dapat dilahirkan.
k)    Lakukan tindakan perasat seperti menggunakan alat untuk membuka
botol (corkcrew) dengan cara seperti menggunakan prinsip skrup wood. Lakukan
pemutaran dari bahu belakang menjadi bahu depan searah jarum jam, kemudian
di putar kembali dengan posisi bahu belakang menjadi bahu depan berlawanan
arah dengan jarum jam putar 180⁰. Lakukan gerakan pemutaran paling sedikit 4
kali, kemudian melahirkan bahu dengan menekan kepada ke arah luar belakang
disertai dengan penekanan daerah suprapubik.
l)      Bila belum berhasil, ulangi melakukan pemutaran bahu janin seperti
langkah 11.
m)  Bila tetap belum berhasil, maka langkah selanjutnya mematahkan
klavikula anterior kemudian melahirkan bahu anterior, bahu posterior, dan badan
janin.
n)    Melakukan maneuver Zavenelli, yaitu suatu tindakan untuk memasukkan
kepala kembali ke dalam jalan lahir dengan cara menekan dinding posterior
vagina, selanjutnya kepala janin di tahan dan dimasukkan, kemudian dilakukan
SC.

a) Ruptur Uteri

Ruptur uterus adalah robekan pada uterus, dapat meluas ke seluruh dinding

uterus dan isi uterus tumpah ke seluruh rongga abdomen (komplet), atau dapat pula

ruptur hanya meluas ke endometrium dan miometrium, tetapi peritoneum di sekitar

uterus tetap utuh (inkomplet).

Klasifikasi

Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:

1.      Ruptur Uteri Gravidarum. Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi

pada korpus.
2.      Ruptur Uteri Durante Partum. Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya

sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.

Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan:

1.      Korpus Uteri. Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah

mengalami operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.

2.      Segmen Bawah Rahim. Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan

lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya

terjadilah ruptur uteri.

3.      Serviks Uteri. Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep

atau versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.

4.      Kolpoporeksis-Kolporeksis. Robekan – robekan di antara serviks dan

vagina.

Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan:

1.      Ruptur Uteri Kompleta. Robekan pada dinding uterus berikut

peritoneumnya (perimetrium), sehingga terdapat hubungan langsung antara rongga

perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis.

2.      Ruptur Uteri Inkompleta. Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut

robek. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas sampai ke ligamentum

latum.

Etiologi

Penyebab kejadian ruptur uteri, yakni:

1. tindakan obstetri,

2. ketidakseimbangan fetopelvik,

3. letak lintang yang diabaikan

4. kelebihan dosis obat bagi nyeri persalinan atau induksi persalinan,


5. jaringan parut pada uterus,

6. kecelakaan.

Penatalaksanaan

Tindakan pertama adalah memberantas syok, memperbaiki keadaan umum

penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotinika, antibiotika,

dsb. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan

laparatomi dengan tindakan jenis operasi:

1. Histerektomi baik total maupun sub total

2. Histerorafia, yaitu luka di eksidir pinggirnya lalu di jahit sebaik-baiknya

3. Konserfatif : hanya dengan temponade dan pemberian antibiotika yang

cukup.

Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adala :

1. Keadaan umum penderita

2. Jenis ruptur incompleta atau completa

3. Jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak rata dan

sudah banyak nekrosis

4. Tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim

5. Perdarahan dari luka : sedikit, banyak

6. Umur dan jumlah anak hidup

7. Kemampuan dan ketrampilan penolong

Manajemen

1. Segera hubungi dokter, konsultan, ahli anestesi, dan staff kamar operasi
2. Buat dua jalur infus intravena dengan intra kateter no 16 : satu oleh larutan

elektrolit, misalnya oleh larutan rimger laktat dan yang lain oleh tranfusi darah.

( jaga agar jalur ini tetap tebuka dengan mengalirkan saline normal, sampai

darah didapatkan ).

3. Hubungi bank darah untuk kebutuhan tranfusi darah cito, perkiraan jumlah

unit dan plasma beku segar yang diperlukan

4. Berikan oksigen

5. Buatlah persiapan untuk pembedahan abdomen segera ( laparatomi dan

histerektomi )

6. Pada situasi yang mengkhawatirkan berikan kompresi aorta dan tambahkan

oksitosin dalam cairan intra vena.

f) Melaksanakan Asuhan Kegawatdaruratan Pada

Persalinan Kala III dan IV

3.1 Kasus Atonia Uteri

a) pengertian Atonia Uteri

Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi dalam
15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri(plasenta telah
lahir).Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot myometrium
uterus untuk berkontraksi dan memendek.Atonia Uteri adalah suatu kondisi
dimana Myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka
darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak
terkendali. (Apri, 2007).

b) Faktor Penyebab Terjadinya Atonia Uteri

Beberapa faktor Predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca


persalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya adalah :

1. Uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya :

 Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)


 Kehamilan gemelli
 Janin besar (makrosomia)
2. Kala satu atau kala 2 memanjang

3. Persalinan cepat (partus presipitatus)

4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin

5. Infeksi intrapartum

6. Multiparitas tinggi

7. magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada


preeklamsia atau eklamsia.

8. umur yang terlalu tua atau terlalu muda(<20 tahun dan >35 tahun)

Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.

c) Manifestasi Klinis

1.      Uterus tidak berkontraksi dan lembek

2.      Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)

d) Tanda dan gejala atonia uteri

1. perdarahan pervaginam

Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa


sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan
disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku
darah

2. konsistensi rahim lunak

Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang


membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya

3. fundus uteri naik

4. terdapat tanda-tanda syok

a. nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)

b. tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg


c. pucat

d. keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap

e. pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih

f. gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran

g. urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)

e) diagnosis

Diagnosis ditegakan bila setelah bayi dan plasenta lahir  ternyata


perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi
yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis,
maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang
sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus
dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.

f) Pencegahan Atonia Uteri

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko


perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi
kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat
mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan
transfusi darah.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu


onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah
atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling
bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus
dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu
pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bonus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-
150 cc/jam.

Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini.
Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat,
mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit.
Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus
IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar.
Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.
g) Langkah-langkah Penatalaksanaan Atonia Uteri

Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum


pasien. Pasien bisa masih dalam keadaaan sadar, sedikit anemis, atau
sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan
tergantung pada keadaaan klinisnya.

Langkah penatalaksanaan Alasan


O
Masase fundus uteri segera Masase merangsang
setelah lahirnya plasenta(maksimal 15kontraksi uterus. Saat dimasase dapat
detik) dilakukan penilaia kontraksi uterus
Bersihkan bekuan darah Bekuan darah dan selaput
adan selaput ketuban dari vaginadan ketuban dalam vagina dan saluran
lubang servik serviks akan dapat menghalang
kontraksi uterus secara baik.

Pastikan bahwa kantung Kandung kemih yang


kemih kosong,jika penuh dapat penuh akan dapat menghalangi uterus
dipalpasi, lakukan kateterisasiberkontraksi secara baik.
menggunakan teknik aseptik
Lakukan Bimanual Internal Kompresi bimanual internal
(KBI) selama 5 menit memberikan tekanan langsung pada
pembuluh darah dinding uterusdan juga
merangsang miometrium untuk
berkontraksi.
Anjurkan keluarga untuk Keluarga dapat
mulai membantu kompresi bimanualmeneruskan kompresi bimanual
eksternal eksternal selama penolong melakukan
langkah-langkah selanjutnya
Keluarkan tangan perlahan- Menghindari rasa nyeri
lahan
Berikan ergometrin 0,2 mg Ergometrin dan misopostrol
IM (kontraindikasi hipertensi) atauakan bekerja dalam 5-7 menit dan
misopostrol 600-1000 mcg menyebabkan kontraksi uterus
Pasang infus menggunakan Jarum besar
jarum 16 atau 18 dan berikan 500ccmemungkinkan pemberian larutan IV
ringer laktat + 20 unit oksitosin.secara cepat atau tranfusi darah. RL
Habiskan 500 cc pertama secepatakan membantu memulihkan volume
mungkin cairan yang hilang selama
perdarahan.oksitosin IV akan cepat
merangsang kontraksi uterus.
Ulangi kompresi bimanual KBI yang dilakukan
internal bersama dengan ergometrin dan
oksitosin atau misopostrol akan
membuat uterus berkontraksi
Rujuk segera Jika uterus tidak
0 berkontaksiselama 1 sampai 2 menit,
hal ini bukan atonia sederhana. Ibu
membutuhkan perawatan gawat darurat
di fasilitas yang mampu melaksanakan
bedah dan tranfusi darah
Dampingi ibu ke tempat Kompresi uterus ini
1 rujukan. Teruskan melakukan KBI memberikan tekanan langung pada
pembuluh darah dinding uterus dan
merangsang uterus berkontraksi
Lanjutkan infus RL +20 IU RL dapat membantu
2 oksitosin dalam 500 cc larutan dengan memulihkan volume cairan yang hilang
laju 500 cc/ jam sehingga menghabiskan akibat perdarahan. Oksitosin dapat
1,5 I infus. Kemudian berikan 125merangsang uterus untuk berkontraksi.
cc/jam. Jika tidak tersedia cairan yang
cukup, berikan 500 cc yang kedua
dengan kecepatan sedang dan berikan
minum untuk rehidrasi

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini


(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini.

Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-


serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi
daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium
tersebut tidak berkontraksi.

h) Manajemen Atonia Uteri ( Penatalaksanaan)

1.   Resusitasi

Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal


yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-
tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan
golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.

2.  Masase dan kompresi bimanual

Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus


yang akan menghentikan perdarahan.Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya
plasenta (max 15 detik),Jika uterus berkontraksi maka lakukan evaluasi, jika uterus
berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina
dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera

3. Jika uterus tidak berkontraksi maka :


Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang
serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong,Lakukan kompresi bimanual
internal (KBI) selama 5 menit.

 Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2  menit, keluarkan


tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
 Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai
melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan
ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan
jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml
pertama secepat mungkin; Ulangi KBI
 Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala
empat

Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera.

4. pemberian Uterotonika

Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus


posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya
meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya
reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan
lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa
diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian
oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping
lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.

Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat


menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan
secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum
1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan
(IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan
vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan
vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.

Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil


prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal,
transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM
atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis
maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi
perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan
uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin
seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme
yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi
sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan,
berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal
ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh
diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan
disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan
sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus
penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang
disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan
pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu
dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan
masif yang terjadi.

5. Kompresi Bimanual
Ada beberapa macam pengertian dari kompresi bimanual,antara lain sebagai
berikut:
·         Kompresi bimanual adalah suatu tindakan untuk mengontrol dengan
segera homorrage postpartum.dinamakan demikian karena secara literature
melibatkatkan kompresi uterus diantara dua tangan.(varney,2004)
·         Menekan rahim diantara kedua tangan dengan maksud merangsang
rahim untuk berkontraksi dan mengurangi perdarahan (depkes RI,1996-1997)
·         Tindakan darurat yang dilakukan untuk menghentikan perdarahan
pasca salin.(depkes RI,1997)

1.      Kompresi Bimanual Eksterna (KBE)


Kompresi bimanual eksterna merupakan tindakan yang efektif untuk
mengendalikan perdarahan misalnya akibat atonia uteri. Kompresi bimanual ini
diteruskan sampai uterus dipastikan berkontraksi dan perdarahan dapat
dihentikan.ini dapat di uji dengan melepaskan sesaat tekanan pada uterus dan
kemudian mengevaluasi konsistensi uterus dan jumlah perdarahan.
Penolong dapat menganjurkan pada keluarga untuk melakukan kompresi
bimanual eksterna sambil penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk
penatalaksanaan atonia uteri. Dalam melakukan kompresi bimanual eksterna ini,
waktu sangat penting, demikian juga kebersihan. sedapat mungkin ,gantillah sarung
tangan atau cucilah tangan sebelum memulai tindakan ini.
KBE menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling
mendekatkan kedua beah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran
darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang,kompresi diteruskan , pertahankan
hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil diakukan kompresi
bimanual internal.
2.      Kompresi Bimanual Interna (KBI)
Ada kalanya setelah kelahiran plasenta terjadi perdarahan aktif dan uterus
tidak berkontraksi walaupun sudah dilakukan menajemen aktif kala III. Dalam kasus
ini uterus tidak berkontraksi dengan penatalaksanaan menajemen aktif kala III dalam
waktu 15 detik setelah plasenta lahir. Tindakan atau penanganan yang dapat
dilakukan adalah melakukan tindakan kompresi bimanual interna,kompresi bimanual
eksterna atau kompresi aorta abdominalis. Sebelum melakukan tindakan ini harus
dipastikan bahwa penyebab perdarahan aadalah atonia uteri,dan pastikan tidak ada
sisa plasenta.
Proses penanganan atonia uteri ini merupakan suatu rangkaian tindakan
dalam proses persalinan. Kompresi Bimanual adalah serangkaian proses yang
dilakukan untuk menghentikan perdarahan secara mekanik. Proses mekanik yang
digunakan adalah aplikasi tekanan pada korpus uteri sebagai upaya pengganti
kontraksi miometrium ( yang untuk sementara waktu tidak dapat berkontraksi).
Kontraksi miometrium dibutuhkan untuk menjepit anyaman cabang-cabang
pembuluh darah besar yang berjalan diantaranya.
Kompresi bimanual interna dilakukan saat terjadi perdarahan. Perdarahan
postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam setelah anak
lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta.
Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600
cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH,
1998).
Haemoragic Post Partum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml
dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Williams, 1998)
HPP biasanya kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah kelahiran
(Marylin E Dongoes, 2001).
Perdarahan Post partum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
·         Early Postpartum : Terjadi 24 jam pertama setelah bayi lahir
·         Late Postpartum : Terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir
Tiga hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan
komplikasi perdarahan post partum :
a.       Menghentikan perdarahan.
b.      Mencegah timbulnya syok.
c.       Mengganti darah yang hilang.Frekuensi perdarahan post partum 4/5-15
% dari seluruh persalinan.
Berdasarkan penyebabnya :
a.       Atoni uteri (50-60%)
b.      Retensio plasenta (16-17%)
c.       Sisa plasenta (23-24%)
d.      Laserasi jalan lahir (4-5%)
e.       Kelainan darah (0,5-0,8%)

Penatalaksanaan KBI dan KBE:


Persiapan
Tempat : Ruangan tertutup ,aman, tenang dan nyaman
Alat :
Lembar informed consent ( persetujuan ).Alas bokong dan alas penutup perut
bawah.Larutan antiseptik.Analgesik (tramadol 1-2 mg/kgBB).Oksitosin 20 IU (2
ampul).Ergometrin 0,20 mg/ml.Set infus (jarum ukuran 16 atau 18).Cairan infus
(ringer Laktat 3 botol).Misoprostol 600-1000mcg.Oksigen dan regulator 10,1
U/ml.Tensimeter dan stateskop.Lampu sorot.Sarung tangan DTT/steril (4
pasang).Tabung dan jarum suntik (5 ml dan nomor 23) 2 buahKateter nelaton.
Handuk bersih.Minuman manis untuk rehidrasi

Pasien sudah mengerti dengan tindakan yang akan dilakukan. Ia mengerti


bahwa tindakan dilakukan karenauterusnya tidak berkontraksi dengan baik,Keluarga
sudah memahami peran sertanya untuk tindakan kompresi bimanual eksterna.
Penolong : Siap melakukan kompresi bimanual interna,Kedua tangan sudah
memakai sarung tangan DTT.
Tindakan :
1.      Mengosongkan kandung kemih pasien
2.      Melakukan pemeriksaan dengan benar sehingga dapat dipastikan bahwa
perdarahan ini disebabkan oleh atonia uteri.
3.      LAKUKAN DENGAN SEGERA KOMPRESI BIMANUAL INTERNA (KBI)
a.       Penolong berdiri di depan vulva.
b.      Membasahi tangan kanan dengan larutan antiseptik.
c.       Menyisihkan kedua labia mayora ke arah lateral dengan ibu jari dan jari
telunjuk.
d.      Memasukkan tangan yang lain secara obstetrik ke dalam introitus vagina
(bila perlu berikan analgesik).
e.       Mengubah tangan obstetrik menjadi kepalan dan letakkan dataran
punggung jari telunjuk hingga kelingking pada forniks inferior dan dorong segmen
bawah rahim ke kranioanterior.
f.       Meletakkan telapak tangan luar pada dinding perut, upayakan untuk
mencakup bagian belakang korpus uterus seluas atau sebanyak mungkin.
g.      Melakukan kompresi uterus selama 5 menit dengan cara mendekatkan
telapak tangan luar dengan kepalan tangan dalam forniks anterior.
h.      Mempertahankan posisi demikian bila perdarahan berhenti, hingga
kontraksi uterus benar-benar membaik kemudian lanjutkan langkah berikutnya.
Amati apakah uterus berkontraksi, jika :
·         YA, maka lanjutkan KBI selama 2 menit, kemudian keluarkan tangan
perlahan-lahan lalu pantau kala IV dengan ketat.
·         TIDAK, maka lanjutkan langkah berikutnya.
4.      Meminta keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna.
Keluarkan perlahan-lahan tangan kanan dengan mengubah kepalan menjadi tangan
obstetrik.
5.      Memasukkan kedua tangan ke dalam wadah yang sudah berisi larutan
klorin 0,5% lalu bersihkan sarung tangan.
6.      Mengajarkan keluarga cara melakukan KBE (Kompresi Bimanual
Eksterna), kemudian minta keluarga melakukan KBE sementara bidan memasang
infus dan memberikan obat uterotonika.
Cara melakukan KBE adalah sebagai berikut :
a.       Penolong berdiri menghadap sisi kanan pasien.
b.      Tekan ujung jari telunjuk, tengah, dan manis satu tangan diantara
simpisis dan umbilikus pada korpus depan bawah sehingga fundus uterus naik ke
arah dinding abdomen.
c.       Meletakkan sejauh mungkin telapak tangan lain di korpus uterus bagian
belakang dan dorong uterus ke arah korpus depan.
d.      Menggeser perlahan-lahan ujung ketiga jari tangan pertama ke arah
fundus sehingga telapak  tangan dapat menekan korpus uterus bagian depan.
e.       Melakukan kompresi korpus uterus dengan jalan menekan dinding
belakang dan dinding depan uterus dengan telapak tangan kiri dan kanan
(mendekatkan tangan belakang dan depan).
f.       Perhatikan perdarahan. Bila perdarahan berhenti, pertahankan posisi
tersebut hingga uterus dapat berkontraksi dengan baik. Bila perdarahan belum
berhenti, lanjutkan pertolongan berikutnya.

7.      Memberikan Ergometrin 0,2 mgIM atau Misoprostol 600-1000 mcg per
rektal.
Ergometrin tidak diberikan untuk ibu hipertensi.
8.      Memasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan
Oksitosin 20 unit dalam 500 ml Ringer Laktat, habiskan 500 cc pertama secepat
mungkin.
9.      Memakai sarung tangan  DTT dan ulangi KBI.
Amati perkembangannya, apakan uterus berkontraksi. Jika :
YA, maka pantau pasien dengan seksama selama kala IV.
TIDAK, maka lanjutkan ke langkah berikutnya.
10.  Segera merujuk pasien
11.  Mendampingi pasien ke tempat rujukan
12.  Melakukan infus oksitosin 20 unit dalam 500 cc Ringer Laktat dengan laju
500 ml/jam hingga tiba di empat rujukan atau hingga menghabiskan 1,5 L infus,
kemudian lanjutkan dengan kecepatan 125 ml/jam. Jika tidak tersedia cairan yang
cukup, beri 500 ml kedua dengan kecepatan sedang dan berikan minuman untuk
rehidarasi.

3.2 Kasus Laserasi Jalan Lahir (Ruptur Perineum)

a.       Pengertian
Luka perineum pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan

dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manifulatif dan

traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu

dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan belum lengkap.

Pada primigravida, pemeriksaan yang ditemukan tanda-tanda perineum

utuh, vulva tertutup, himen pervoratus, vagina sempit dengan rugae.

Pada persalinan akan terjadi penekanan pada jalan lahir lunak oleh

kepala janin. Dengan perineum yang masih utuh pada primigravida akan

mudah terjadi robekan perineum Robekan ini biasanya disebabkan oleh

episiotomi, robekan spontan perineum, forseps dan vakum atau versi

ekstraksi. (Prawirohardjo, 2009; h. 526).

Episiotomi adalah insisi dari perineum untuk memudahkan persalinan dan

mencegah ruptur perineum totalis. (Sulistyawati & Nugraheny, 2010; h.

124).

b.      Etiologi

Partus presipitatus

Partus presipitatus partus yang sudah selesai kurang dari 3 jam yang

ditandai oleh sifat his yang normal, tonus otot diluar his juga bisa,

kelainan terletak pada kekuatan his. Bahaya partus presipitatus bagi ibu

ialah terjadi perlukaan luas pada jalan lahir, khusunya vagina dan

perineum(Prawirohardjo, 2010; h. 564).

c.       Pencegahan Laserasi

Laserasi pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala janin

dilahirkan, keadaan ini akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat

dan tidak terkendali. Adanya kerja sama yang baik antara pasien dengan
penolong persalinan saat kepala crowning sangat berperan dalam upaya

pencegahan laserasi dalam tahap ini pasien dan penolong berkerja sama

untuk mengendalikan kecepatan dan pengaturan diameter kepala saat

melewati introitus vagina melalui pengaturan irama, kekuatan, dan durasi

meneran. (Sulistyawati & Nugraheny,2010;h.126).

Fase – fase penyembuhan luka menurut Smeltzer (2002 : 490) adalah

sebagai berikut:

1.      Fase Inflamasi, berlangsung selama 1 sampai 4 hari.

Respons vaskular dan selular terjadi ketika jaringan teropong atau

mengalami cedera. Vasokonstriksi pembuluh terjadi dan

bekuan fibrinoplatelet terbentuk dalam upaya untuk mengontrol

pendarahan. Reaksi ini berlangsung dari 5 menit sampai 10 menit dan

diikuti oleh vasodilatasi venula.  Mikrosirkulasi kehilangan

kemampuan vasokonstriksinya karena norepinefrin dirusak oleh enzim

intraselular. Juga, histamin dilepaskan, yang

meningkatkan permeabilitas kapiler Ketika mikrosirkulasi mengalami

kerusakan, elemen darah seperti antibodi, plasma protein, elektrolit,

komplemen, dan air menembus spasium vaskular selama 2 sampai 3

hari, menyebabkan edema, teraba hangat, kemerahan dan nyeri.

2.    Fase Proliferatif, berlangsung 5 sampai 20 hari.

Fibroblas memperbanyak diri dan membentuk jaring-jaring untuk sel-sel

yang bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk kuncup pada pinggiran luka;

kuncup ini berkembang menjadi kapiler, yang merupakan sumber nutrisi

bagi jaringan granulasi yang baru.


Setelah 2 minggu, luka hanya memiliki 3 % sampai 5% dari kekuatan

aslinya. Sampai akhir bulan, hanya 35% sampai 59% kekuatan luka

tercapai. Tidak akan lebih dari 70% sampai 80% kekuatan dicapai

kembali. Banyak vitamin, terutama vitamin C, membantu dalam proses

metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka.

3.     Fase Maturasi, berlangsung 21 hari sampai sebulan atau bahkan

tahunan.

Sekitar 3 minggu setelah cedera, fibroblast mulai meninggalkan luka.

Jaringan parut tampak besar, sampai fibril kolagen menyusun kedalam

posisi yang lebih padat. Hal ini, sejalan dengan dehidrasi, mengurangi

jaringan parut tetapi meningkatkan kekuatannya. Maturasi jaringan seperti

ini terus berlanjut dan mencapai kekuatan maksimum dalam 10 atau 12

minggu, tetapi tidak pernah mencapai kekuatan asalnya dari jaringan

sebelum luka.

d.      Keuntungan dan Kerugian bentuk Episiotomi

1.    Episotomi Medialis

a.         Mudah dijahit

b.        Anatomis maupun fungsional sembuh dengan baik

c.         Nyeri dalam nifas Tak terlalu

d.        Dapat menjadi ruptur perineum totalis

2.      Episiotomi mediolateralis

a.       Lebih sulit dijahit

b.      anatomis maupun fungsional penyembuhan kurang sempurna

c.       Nyeri pada hari pertama nifas

d.      Jarang menjadi ruptur perineum totalis


(Sulistyawati & Nugraheny, 2010; h. 125)

e.       Robekan perineum dapat dibagi atas 4 derajat:

1)      Derajat I:mukosa vagina, komisura posterior, kulit pireneum

2)      Derajar II:mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot

perineum.

3)      Derajat III:mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot

perineum, otot sfingter ani.

4)      Derajar IV:mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot

perineum, otot sfingter ani, dinding depan rektum. (Sulistyawati &

Nugraheny, 2010; h.18).

f.       Penjahitan laserasi perineum

Tujuan dari dilakukanya penjahitan pada laserasi pereneum adalah

menyatukan kembali jaringan tubuh dan mencegah kehilangan darah

yang tidak perlu. Setiap dilakukan penusukan jarum saat menjahit, kita

sama saja membuat suatu luka baru pada jaringan, oleh karna itu upaya

penjahitan sesedikit mungkin namun dengan hasil perapatan jaringan

semaksimal mungkin. Jika episotomi sudah dilakukan, lakukan penilaian

dengan hati-hati untuk memastikan lukanya tidak meluas. Sebisa mungkin

gunakan teknik jahitan jelujur. Jika ada sayatan yang terlalu dalam

hingga mencapai lapisan otot, mungkin diperlukan penjahitan terputus

untuk merapatkan jaringan. (Sulistyawati & Nugraheny, 2010; h. 185-192)

g.  Penanganan
Perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk menyehatkan

daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam

masa antara kelahiran plasenta sampai dengan kembalinya organ genetik

seperti pada waktu sebelum hamil.(Rukiyah dkk, 2011; h.125).

1)   Tujuan perawatan perineum

Tujuan perawatan perineum menurut Hamilton adalah mancegah

terjadinya infeksi sehubungan dengan penyembuhan jaringan. (Rukiyah

dkk, 2011; h.125).

2)      Lingkup perawatan perineum

Lingkup perawatan perineum adalah mencegah kontaminasi dari rectum,

menangani dengan lembut pada jaringan yang terkena trauma, bersihkan

semua keluaran yang menjadi sumber bakteri dan bau. (Rukiyah, 2011; h.

125).

3)      Waktu perawatan perineum

Menurut feerer perawatan perineum adalah:

a.       Saat mandi: pada saat mandi ibu post partum pasti melepas

pembalut , setelah terbuka maka ada kemungkinan terjadi kontaminasi

bakteri pada cairan yang tertampung pada pembalut, demikian pula pada

perineum ibu, untuk itu diperluka pembersihan perineum. (Rukiyah dkk,

2011; h.125).

b.      Setelah buang air kecil: pada saat buang air kecil kemungkinan

besar terjadi kontaminasi air seni pada rektum akibatnya dapat memicu

pertumbuhan bakteri pada perineum untuk itu diperlukan pembersihan

perineum.

(Rukiyah dkk, 2011; h.126).


c.       Setelah buang air besar: pada saat buang air besar, diperlukan

pembersihan sisa-sisa kotoran di sekitar anus ke perineum yang letaknya

besebelahan maka diperlukan proses pembersihan anus dan perineum

secara keseluruhan. (Rukiyah dkk, 2011; h. 126)

4)      Faktor yang mempengaruhi perawatan perineum

a.       Gizi: faktor gizi terutama protein akan sangat mempengaruhi

terhadap proses penyembuhan luka pada perineum karna penggantian

jaringan sangat membutuhkan protein.

b.      Obat-obatan: Steroid: dapat menyamarkan adanya infeksi dengan

mengganggu respon inflamasi normal; antikoagulan: dapat menyebabkan

hemoragi, Antibiotik spektrum luas/spesifik: efek bila diberikan segera

sebelum pembedahan untuk patologi spesifik atau kontaminasi bakteri.

Jika diberikan setelah luka ditutup, tidak efektif karna koagulasi

intrvaskular.

c.       Keturunan: sifat genetik seseorang akan mempengaruhi

kemampuan dirinya dalam penyembuhan luka. Salah satu sifat genetik

yang mempengaruhi penyembuhan luka adalah kemampuan dalam

sekresi insulin dapat dihambat, sehingga menyebabkan glukosa darah

meningkat. Dapat terjadi penipisan protein-kalori.

d.      Sarana prasarana: kemampuan ibu dalam menyediakan sarana dan

prasarana dalam perawatan perineum akan sangat mempengaruhi

penyembuhan perineum, misalnya kemampuan ibu dalam menyediakan

antiseptik.
e.       Budaya dan keyakinan: budaya dan keyakinan akan mempengaruhi

penyembuhan perineum, misalnya kebiasaan terak telur, ikan dan daging

ayam, akan mempengaruhi asupan gizi ibu yang akan sangat

mempengaruhi penyembuhan luka.

(Rukiyah & Yulianti, 2010; h. 362-363)

5)        Dampak perawatan luka perineum yang tidak benar

1.        Infeksi : Kondisi perineum yangterkena lokia dan lembab akan

sangat menunjang perkembangbiakan bakteri yang dapat menyebabkan

timbulnya infeksi pada perineum.

2.        Komplikasi: Munculnya infeksi perineum dapat merambat pada

saluran kandung kemih ataupun pada jalan lahir yang dapat berakibat

pada munculnya kompikasi infeksi kandung kemih maupun infeksi pada

jalan lahir.

3.        Kematian ibu post partum : Penanganan komplikasi yang lambat

dapat menyebabkan terjadinya kematian ibu pada post partum mengingat

kondisi fisik ibu post partum masih lemah. (Rukiyah & Yulianti, 2010; h.

363).

6)      Cara perawatan Luka Perineum

a.    Persiapan

Ibu post partum: perawatan perineum sebaiknya dilakukan dikamar mandi

dengan posisi jongkok jika ibu telah mampu atau berdiri dengan posisi

kaki terbuka.
Alat dan bahan: alat yang digunakan adalah botol, baskom dan gayung,

air hangat dan handuk bersih, sedangkan bahan yang digunakan adalah

air hangat pembalut nifas baru.

b.    Penatalaksanaan

Perawatan khusus parineal bagi wanita setelah melahirkan anak

mengurangi rasa tidak ketidaknyamanan, dan meningkatkan

penyembuhan dengan prosedur pelaksanaan sebagai berikut:

a). Mencuci tangan

b). Mengisi botol plastik dengan air hangat

c). Buang pembalut yang telah digunakan dengan gerakan kebawah

mengarah ke rektum dan letakan pembalut tersebut ke dalam kantung

plastik

d). Berkemih dan BAB ke toilet

e). Semprotkan keseluruh perineum dengan air hangat

f). Keringkan perineum dengan menggunakan tissue dari depan

kebelakang.

g). Pasang pembalut dari arah depan kebelakang.

h). Cuci tangan kembali.

c.       Evaluasi: parameter yang digunakan dalam evaluasi hasil

perawatan adalah: perineum tidak lembab, posisi pembalut tepat, ibu

merasa nyaman.

(Rukiyah dkk, 2011; h.126-127)

3.3 Kasus Retensioplasenta


Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta
hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Saifuddin, 2007).

1. Etiologi
a. Etiologi dasar meliputi
• Faktor maternal: gravida berusia lanjut, multiparitas.
• Faktor uterus: bekas sectio caesaria (sering plasenta
tertanam pada jaringan cicatrix uterus), bekas pembedahan
uterus, anomali uterus, tidak efektif kontraksi uterus,
pembentukan contraction ring, bekas kuretase uterus (yang
terutama dilakukan setelah abortus), bekas pengeluaran
plasenta secara manual, bekas endometritis.
• Faktor plasenta: plasenta previa, implantasi cornual,
plasenta akreta, kelainan bentuk plasenta.
b. Etiologi berdasar abnormalitas pada tingkatan kala III,
meliputi :
• Plasenta belum lepas dari dinding uterus
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi
perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi perdarahan
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta dari
dinding uterus karena kontraksi uterus kurang kuat untuk
melepaskan plasenta (plasenta adhesiva), plasenta melekat
erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus
desidua sampai miometrium – sampai di bawah peritoneum
(plasenta akreta – perkreta).
• Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi
belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk
melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga
terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang
menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).

4. 2. Jenis Retensio Plasenta


a. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot
korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan
mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta
hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta
hingga mencapai/memasuki miometrium.
d. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta
yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan
serosa dinding uterus .
e. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam
kavum uteri, disebabkan oleh konstruksi ostium uteri.
5. 3. Penanganan
a. Retensio Plasenta dengan Separasi Parsial
• Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan
dengan tindakan yang akan diambil.
• Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan
bila ekpulsi plasenta tidak terjadi, cobakan traksi terkontrol
tali pusat.
• Pasang infus oksitosin 20 unit dalam 50 cc Ns/RL dengan
40 tetesan/menit. Bila perlu kombinasikan dengan
misoprostol 400 mg rektal.
• Bila troksi terkontrol gagal, lahirkan plasenta secara hati-
hati dan halus.
• Lakukan tranfusi darah bila diperlukan.
• Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 29 Iv/oral dan
metronidazol 20 l g supositorial/oral).
• Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat,
infeksi, syok neurogenik.
b. Plasenta Inkarserata
• Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik
dan pemeriksaan.
• Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk
menghilangkan kontruksi servik dan melahirkan plasenta .
• Pilih fluathane atau eter untuk kontruksi servik yang kuat
tetapi siapkan infus oksitosis 20 IV dalam 500 mg NS/RL
dengan 40 tetes/menit untuk mengantisipasi ganguan
kontraksi yang disebabkan bahan anestesi tersebut.
• Bila prosedur anestesi tidak tersedia tetapi serviks dapat
dilalui oleh cunam ovum. Lakukan manuver sekrup untuk
melahirkan plasenta. Untuk prosedur tersebut berikan
analgesik (tramadol 100 mg IV atau pethidme 50 mg IV dan
sedatif (diazepam 5mg IV) pada tabung suntik terpisah.
c. Plasenta akreta
Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar
adalah ikutnya fundus/korpus apabila tali pusat ditarik. Pada
pemeriksaan dalam, sulit ditentukan tepi plasenta karena
implantasi yang dalam upaya yang dapat dilakukan pada
fasilitas pelayanan kesehatan dasar adalah menentukan
diagnosis, stabilitas pasien dan rujuk ke RS.
6. C. Plasenta Manual
1. Pengertian
Plasenta manual adalah tindakan untuk melepas plasenta
secara manual (menggunakan tangan) dari tempat implantasi
dan kemudian melahirkannya keluar dari kavum uteri (APN,
2008). Plasenta manual dilakukan apabila terjadi perdarahan
(Saifuddin, 2007).

7.
8. 2. Penatalaksanaan Plasenta Manual (APN, 2008)
a. Persiapan
• Memasang set dan cairan infus.
• Menjelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan.
• Melakukan anestesi verbal/analgesia per rektal.
• Menyiapkan dan jalankan prosedur pencegahan infeksi.
b. Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri
• Memastikan kandungan kemih dalam keadaan kosong.
• Menjepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari
vulva, tegangkan dengan satu tangan sejajar lantai.
• Secara obstetrik, memasukkan tangan lainnya (punggung
tangan menghadap kebawah) ke dalam vagina dengan
menelusuri sisi bawah tali pusat.
• Setelah mencapai bukaan servik, minta seseorang
asisten/penolong lain untuk menegangkan klem tali pusat
kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus
uteri.
• Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam
hingga ke kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi
plasenta.
• Bentangkan tangan obstetrik menjadi datar seperti memberi
salam (ibu jari merapat ke jari telunjuk dan jari-jari lain saling
merapat).
c. Melepas plasenta dari dinding uterus
1.) Menentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta
paling bawah.
• Bila plasenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat
tetap di sebelah atas dan sisipkan ujung jari-jari tangan
diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung
tangan menghadap ke bawah (posterior ibu).
• Bila di korpus depan maka pindahkan tangan ke sebelah
atas tali pusat dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara
plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan
menghadap ke atas (anterior ibu).
2.) Setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan
dinding uterus, maka perluas pelepasan plasenta dengan
jalan menggeser tangan ke kanan dan kiri sambil digeserkan
ke atas (kranial) hingga semua perlekatan plasenta terlepas
dari dinding uterus.
d. Mengeluarkan plasenta
• Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri,
lakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada sisa plasenta
yang tertinggal.
• Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simpisis (tahan
segmen bawah uterus) kemudian instruksikan
asisten/penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan
dalam membawa plasenta keluar (hindari terjadinya percikan
darah).
• Lakukan penakanan (dengan tangan yang menahan
suprasimpisis) uterus ke arah dorso kranial setelah plasenta
dilahirkan dan tempatkan plasenta di dalam wadah yang
telah disediakan.
e. Pencegahan infeksi pasca tindakan
• Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan
peralatan lain yang digunakan.
• Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya
di dalam larutan klorin 0,5 % selama 10 menit.
• Cuci tangan.
• Keringkan tangan dengan handuk bersih.
f. Pemantauan pasca tindakan
• Periksa kembali tanda vital ibu.
• Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan.
• Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih
diperlukan dan asuhan lanjutan.
• Beritahu pada ibu dan keluarga bahwa tindakan telah
selesai.
• Lanjutkan pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan
sebelum dipindah ke ruang rawat gabung .

5.4 Kasus Sisa Plasenta

1. Pengertian Sisa Plasenta

Adalah tertinggalnya potongan-potongan plasenta seperti kotiledon

dan selaput plasenta yang menyebabkan

terganggunya kontraksi uterus sehingga sinus-sinus darah tetap

terbuka

dan menimbulkan perdarahan post partum.


Perdarahan postpartum dini

dapat terjadi

sebagai akibat

tertinggalnya sisa plasenta atau selaput janin. Bila hal tersebut terjadi,

harus dikeluarkan secara manual atau di kuratase dan pemberian

obat-

obat uterotonika intravena.

b) Etiologi

1. His yang kurang baik

2. Penanganan kala III yang salah

Dengan pendorongan dan pemijatan uterus akan mengganggu

mekanisme pelepasan plasenta dan menyebabkan pemisahan

sebagian plasenta

3. Abnormalitas plasenta

Abnormalitas plasenta meliputi bentuk plasenta dan penanaman

plasenta dalam uterus yang mempengaruhi mekanisme

pelepasan plasenta

g) Kelahiran bayi yang terlalu cepat

Kelahiran bayi yang terlalu cepat akan mengganggu pemisahan

plasenta secara fisiologis akibat gangguan dari retraksi sehingga

dapat terjadi gangguan retensi sisa plasenta.

c) Tanda dan Gejala Rest Plasenta

1) Tanda dan gejala yang selalu ada :


- Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah

tidak lengkap)

- Perdarahan segera

- Syok akibat hipovolemia

2) Tanda dan Gejala kadang-kadang ada :

(a) Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang

(b) Perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir

d) Penanganan

1.Berikan uterotonik, oksitosin, dan / atau metergin.

2. Lakukan ekplorasi digital (bila servik terbuka) dan mengeluarkan

bekuan darah atau jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui alat

kuretase, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan kuretase.

3. Bila kadar Hb < 8 gr% beri tranfusi darah, bila kadar Hb > 8 gr%

berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari (Saifuddin, 2006).

4. Penatalaksanaan Asuhan kegawatdaruratan pada kasus pasca


persalinan
4.1 Kasus Metritis
1. Pengertian Metritis

Metritis (miometriosis) adalah infeksi uterus setelah persalinan

yang merupakan salah satu penyebab terbesar kematian ibu. Penyakit

ini tidak berdiri sendiri tetapi merupakan lanjutan dari endometritis,

sehingga gejala dan terapinya seperti endometritis.

Infeksi masa nifas adalah semua peradanngan yang disebabkan

oleh masuknya kuman-kuman ke dalam alat- alat genital pada waktu


persalinan dan nifas. Perlukaan karena persalinan merupakan tempat

masuknya kuman ke dalam tubuh, sehingga menimbulkan infeksi pada

kala nifas ( TT Fat, 2011, 304).

2.      Etiologi

Bermacam-macam jalan kuman masuk ke dalam alat kandungan,

seperti eksogen (kuman datang dari luar), autogen (kuman masuk dari

tempat lain dalam tubuh), dan endogen (dari jalan lahir sendiri).

Penyebab yang terbanyak dan lebih dari 50%  adalah streptococcus

anaerob yang sebenarnya tidak patogen sebagai penghuni normal

jalan lahir.

Kuman- kuman masuk ke dalam endometrium, biasanya pada luka

bekas insersio plasenta, dan dalam waktu singkat mengikutsertakan

seluruh endometrium. Pada infeksi dengan kuman yang tidak seberapa

patogen, radang terbatas pada endometrium. Jaringan desidua

bersama-sama dengan bekuan darah menjadi nekrosis dan

mengeluarkan getah berbau dan terdiri atas keping-keping nekrotis

serta cairan. Pada batas antara daerah yang meradang dan daerah

sehat terdapat lapisan terdiri atas leukosit – leukosit. Pada infeksi yang

lebih berat, batas endometrium dapat dilampaui dan terjadilah

penjelaran.

Faktor resiko untuk terjadinya infeksi masa nifas sangat bervariasi

pada umumnya dibagi menjadi faktor yang berkaitan dengan:

a.       Faktor status sosial ekonomi

Penderita dengan status sosial ekonomi yang rendah mempunyai

risiko timbulnya infeksi nifas jika dibandingkan dengan penderita


dengan kelas sosial ekonomi menengah atau tinggi. Hal ini

berhubungan dengan keadaan gizi yang rendah, anemia, perawatan

antenatal yang tidak adekuat, dan lain-lain.

b.      Faktor proses persalinan

Proses persalinan sangat mempengaruhi risiko timbulnya infeksi

nifas, di antaranya adalah partus lama, tertinggalnya sisa-sisa

plasenta/ selaput ketuban, dan perdarahan yang terjadi.

c.       Faktor tindakan persalinan

Tindakan persalinan merupakan salah satu faktor risiko penting

untuk terjadinya infeksi nifas.

3.      Bakteriologi

Kuman-kuman yang sering menyebabkan infeksi antara lain

adalah.

a.       Streptococcus haemoliticus aerobic

Masuknya secara eksogen dan menyebabkan infeksi berat yang

ditularkan dari penderita lain, alat-alat yang tidak suci hama, tangan

penolong, dan sebagainya.

b.      Staphylococcus aureus

Masuk secara eksogen, infeksinya sedang, banyak ditemukan

sebagai penyebab infeksi di rumah sakit.

c.       Escherichia coli

Sering berasal dari kandung kemih dan rektum, menyebabkan

infeksi terbatas.

d.      Clostridium welchii


Kuman anaerobik yang sangat berbahaya, sering ditemukan pada

abortus kriminalis dan partus yang ditolong dukun dari luar rumah sakit.

4.      Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda metritis yaitu.

a.       Demam menggigil

b.      Nyeri di bawah perut

c.       Lochia berbau dan bernanah

d.      Nyeri tekan uterus

e.       Perdarahan pervaginam

f.       Syok

5.      Klasifikasi

Metritis digolongkan menjadi dua yaitu.

a.       Metritis Akuta

Metritis Akuta biasanya terdapat pada abortus septik atau infeksi

postpartum. Penyakit ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan

bagian dari infeksi yang lebih luas. Kerokan pada wanita dengan

endometrium yang meradang (endometritis) dapat menimbulkan

metritis akut. Pada penyakit ini miometrium menunjukkan reaksi radang

berupa pembengkakan dan infiltrasi sel-sel radang. Perluasan dapat

terjadi lewat jalan limfe atau lewat trombofeblitis dan kadang-kadang

dapat terjadi abses.

b.      Metritis kronik

Metritis kronik adalah diagnosis yang dahulu banyak dibuat atas

dasar menometroragia dengan uterus lebih besar dari biasa, sakit

pinggang dan leukorea. Akan tetapi pembesaran uterus pada seorang


multipara umumnya disebabkan oleh pertambahan jaringan ikat akibat

kehamilan. Bila pengobatan terlambat atau kurang adekuat dapat

menjadi abses pelvik, peritonitis, syok septik, dispareunia, trombosis

vena yang dalam, emboli pulmonal, infeksi pelvik yang menahun,

penyumbatan tuba dan infertilitas.

6.      Cara Terjadinya Infeksi

Cara terjadinya infeksi metritis yaitu.

a.       Manipulasi penolong yang tidak suci hama, atau

pemeriksaan dalam yang berulang-ulang dapat membawa bakteri yang

sudah ada ke dalam rongga rahim.

b.      Alat-alat yang tidak suci hama.

c.       Infeksi droplet, sarung tangan dan alat-alat terkena infeksi

kontaminasi yang berasal dari hidung, tenggorokan dari penolong dan

pembantunya atau orang lain

7.      Faktor Predisposisi Infeksi Masa Nifas

Faktor predisposisi infeksi masa nifas yaitu.

a.       Partus lama, partus terlantar, dan ketuban pecah lama.

b.      Tindakan obstetri operatif baik pervaginam maupun

perabdominal.

c.       Tertinggalnya sisa-sisa uri, selaput ketuban dan bekuan

darah dalam rongga rahim.

d.      Keadaan-keadaan yang menurunkan daya tahan seperti

perdarahan, kelelahan, malnutrisi, preeklamsi, eklamsi dan penyakit ibu

lainnya (jantung, tuberkulosis paru, pneumonia dan lain-lain).

8.      Penanganan
Penanganan yang dapat dilakukan yaitu.

a.       Berikan transfusi darah jika dibutuhkan (packet red cell)

b.      Berikan antibiotik spektrum luas dalam dosis yang tinggi

c.       Pertimbangakan pemberian anti tetanus profilaksis

d.      Bila dicurigai adanya sisa plasenta, lakukan pengeluaran

( digital atau dengan kuret tumpul besar)

e.       Bila ada pus, lakukan drainase (kalau perlu kalpotomi), ibu

dalam posisi flower

f.       Bila tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif dan

ada tanda peritonitis generalisata, lakukan laparotomi dan keluarkan

pus. Bila pada uterus nekrotik dan septik lakukan histerektomi subtotal.

9.      Pencegahan

9.1.Masa kehamilan

Mengurangi atau mencegah faktor-faktor predisposisi seperti

anemia, malnutrisi dan kelemahan, serta mengobati penyakit-penyakit

yang diderita oleh ibu. Pemeriksaan dalam jangan dilakukan kalau

tidak ada indikasi yang perlu. Begitu pula pada koitus ibu hamil tua

hendaknya dihindari atau dikurangi dan di lakukan hati-hati karena

dapat menyebabkan pecahnya ketuban, kalau ini terjadi infeksi akan

mudah masuk dalam jalan lahir.

9.2.Masa persalinan

Pencegahan yang dapat dilakukan pada masa persalinan yaitu.

a.       Hindari pemeriksaan dalam berulang-ulang, lakukan bila ada

indikasi dengan sterilitas yang baik, apalagi bila ketuban telah pecah.

b.      Hindari partus terlalu lama dan ketuban pecah lama.


c.       Jagalah sterilitas kamar bersalian dan pakailah masker, alat-

alat harus suci hama.

d.      Perlukaan-perlukaan jalan lahir karena tindakan baik

pervaginam maupun perabdominam dibersihkan, dijahit sebaik-baiknya

dan menjaga sterilitas.

e.       Perdarahan yang banyak harus dicegah, bila terjadi darah

yang hilang harus segera diganti dengan transfusi darah

9.3  Selama nifas

Pencegahan infeksi selama nifas antara lain:

a.       Perawatan luka post partum dengan teknik aseptik.

b.      Semua alat dan kain yang berhubungan dengan daerah

genital harus suci hama.

c.       Penderita dengan infeksi nifas sebaiknya diisolasi dalam

ruangan khusus, tidak bercampur dengan ibu nifas yang sehat.

d.      Membatasi tamu yang berkunjung.

4.2 Kasus Abses Pelvic

Penyakit radang panggul adalah infeksi saluran reproduksi bagian


atas. Penyakit tersebut dapat mempengaruhi endometrium (selaput
dalam rahim), saluran tuba, indung telur, miometrium (otot rahim),
parametrium dan rongga panggul. Penyakit radang panggul merupakan
komplikasi umum dari Penyakit Menular Seksual (PMS).
Peradangan tuba falopii terutama terjadi pada wanita yang secara
seksual aktif. Resiko terutama ditemukan pada wanita yang memakai
IUD. Bisasanya peradangan menyerang kedua tuba. Infeksi bisa
menyebar ke rongga perut dan menyebabkan peritonitis.
Penyakit radang panggul (PID) adalah infeksi rahim (rahim),
saluran tuba (saluran yang membawa telur dari ovarium ke rahim) dan
organ reproduksi lainnya yang menyebabkan gejala seperti nyeri perut
bagian bawah. Ini merupakan komplikasi serius dari beberapa penyakit
menular seksual (PMS), terutama klamidia dan gonore. PID dapat
merusak saluran tuba dan jaringan di dan dekat uterus dan ovarium.
PID dapat menyebabkan konsekuensi serius, termasuk kemandulan,
kehamilan ektopik (kehamilan di tuba fallopi atau di tempat lain di luar
rahim), pembentukan abses, dan nyeri panggul kronis.
Penyakit Radang Panggul atau Pelvic Inflammatory Disesase
(selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat menjadi PID) merupakan
istilah yang merujuk pada suatu infeksi pada uterus (rahim), tuba
fallopii (suatu saluran yang membawa sel telur dari ovarium ke uterus),
dan organ reproduksi lainnya. Penyakit ini merupakan komplikasi yang
umum terjadi pada penyakit-penyakit menular seksual (Sexually
Transmitted Disease/STDs), utamanya yang disebabkan oleh
chlamydia dan gonorrhea.PID dapat merusak tuba fallopii dan jaringan
yang dekat dengan uterus dan ovarium.
Penyakit radang panggul adalah infeksi saluran reproduksi bagian
atas. Penyakit tersebut dapat mempengaruhi endometrium (selaput
dalam rahim), saluran tuba, indung telur, miometrium (otot rahim),
parametrium dan rongga panggul. Penyakit radang panggul merupakan
komplikasi umum dari Penyakit Menular Seksual (PMS). Saat ini
hampir 1 juta wanita mengalami penyakit radang panggul yang
merupakan infeksi serius pada wanita berusia antara 16-25 tahun.
Lebih buruk lagi, dari 4 wanita yang menderita penyakit ini, 1 wanita
akan mengalami komplikasi seperti nyeri perut kronik, infertilitas
(gangguan kesuburan), atau kehamilan abnormal. Terdapat
peningkatan jumlah penyakit ini dalam 2-3 dekade terakhir berkaitan
dengan beberapa faktor, termasuk diantaranya adalah peningkatan
jumlah PMS dan penggunaan kontrasepsi seperti spiral. 15% kasus
penyakit ini terjadi setelah tindakan operasi seperti biopsi endometrium,
kuret, histeroskopi, dan pemasangan IUD (spiral). 85% kasus terjadi
secara spontan pada wanita usia reproduktif yang seksual aktif.
Penyakit radang panggul ( PRP ) terdiri dari kombinasi antara
endometritis, salpingitis, ooforitis, abses dan tuba-ovarium, dan
peritonis panggul. Organism yang biasa menjadi penyebab penyakit ini
adalah Neisseria gonorrhoeae atau Chlamidia trachomatis dan
mungkin organisme yang terlibat dalam vaginosos bakteri. Kondisi ini
diawali dengan adanya infeksi saluran genital bagian bawah ( vaginitis /
servisitis / uretritis / skenitis / bartolinitis ) yang naik, dengan berbagai
macam alas an, melewati barier mukosa serviks ( yang berubah )untuk
menjadi infeksi saluran genital atas. Barier mukosa serviks dapat
diubah oleh adanya menstruasi atau akibat pengaruh hormon. Naiknya
infeksi tersebut dapat difasilitasi dengan penyemprotan, dilatasi, dan
kuret, serta sperma. Naiknya infeksi pertama kali ke endometrium dan
kemudian ke tuba falopii, dibantu oleh sperma atau refluks darah
menstruasi. Proses peradangan dalam tuba pada akhirnya mengarah
ke inflamasi peritoneum. Factor risikonya adalah N. gonorrhoeae atau
Chlamidia trachomatis dan vaginosis bakteri, berganti-ganti pasangan
seksual dan praktik menyemprot vagina. Diafragma dan cap serviks
yang digunakan bersamaan dengan spermisida vagina dan kondom
dapat menurunkan risiko penyakit radang panggul. Kemungkinan
akibat dari PRP adalah infertilitas yang berkaitan dengan pelekatan
kedua tuba, kehamilan ektopik, nyeri abdomen bawah kronis berkaitan
dengan pelekatan panggul, serta adanya peningkatan kerentanan
terhadap kekambuhan.
Wanita dapat memiliki gejala PRP yang tidak jelas, sehingga anda
harus memiliki kecurigaan tinggi yang konstan untuk mendiagnosanya
secara dini terhadap proses infeksi . Semakin dini penetapan diagnosis
dan pengobatan, akibatnya akan semakin berkurang. Wanita yang
terinfeksi PRP akan mengalami nyeri abdomen bawah, umumnya
bilateral, yang berat atau ringan. Besar kemungkinannya wanita akan
memiliki rabas mukopurulen vagina /serviks, yang mengindikasikan
organism yang menginfeksi. Apabila uretra terinfeksi, wanita akan
mengalami gejala uretritis., disuria, inkontiensa urgensi. Metroragia
merupakan gejala umum yang terjadi pada endomtritis. Demam di atas
38oc serta mual/muntah yang merupakan tanda keparahan klinis
penyakit dan menggambarkan terjadinya peritonitis. Berdasarkan
pemeriksaan panggul, anda akan menemukan nyeri goyang pada
serviks, nyeri tekan adneksal bilateral dan pembesaran adneksal
apabila penyakit ini berkembang di saluran falopii. Leukosit akan
melebihi sel epitel pada sediaan basah. Wanita akan mengalami
peningkatan laju sedimentasi eritrosit.
Bidan seharusnya menangani secara empiris saat wanita
mengalami nyeri goyang pad serviks atau nyeri tekan uterus/adneksal,
tidak ada penyebab lain.

B       Penyebab
Penyakit radang panggul terjadi apabila terdapat infeksi pada
saluran genital bagian bawah, yang menyebar ke atas melalui leher
rahim. Butuh waktu dalam hitungan hari atau minggu untuk seorang
wanita menderita penyakit radang panggul. Bakteri penyebab tersering
adalah N. Gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis yang
menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan sehingga
menyebabkan berbagai bakteri dari leher rahim maupun vagina
menginfeksi daerah tersebut. Kedua bakteri ini adalah kuman
penyebab PMS. Proses menstruasi dapat memudahkan terjadinya
infeksi karena hilangnya lapisan endometrium yang menyebabkan
berkurangnya pertahanan dari rahim, serta menyediakan medium yang
baik untuk pertumbuhan bakteri (darah menstruasi). Peradangan
biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri, dimana bakteri masuk
melalui vagina dan bergerak ke rahim lalu ke tuba falopii.
90-95% kasus PID disebabkan oleh bakteri yang juga menyebabkan
terjadinya penyakit menular seksual (misalnya klamidia, gonore,
mikoplasma, stafilokokus, streptokokus). Infeksi ini jarang terjadi
sebelum siklus menstruasi pertama, setelah menopause maupun
selama kehamilan. Penularan yang utama terjadi melalui hubungan
seksual, tetapi bakteri juga bisa masuk ke dalam tubuh setelah
prosedur kebidanan/kandungan (misalnya pemasangan IUD,
persalinan, keguguran, aborsi dan biopsy endometrium.
Penyebab lainnya yang lebih jarang terjadi adalah:
1.       Aktinomikosis (infeksi bakteri)
2.       Skistosomiasis (infeksi parasit)
3.       Tuberkulosis.
4.       Penyuntikan zat warna pada pemeriksaan rontgen khusus.

Ada lima penyebab kelainan rongga panggul :

1. Gizi kurang baik selama pertumbuhan. Akibatnya, pertumbuhan


tulang dan panggul jadi kurang sempurna
2. Penyakit tulang. Contohnya penyakit rakitis yang diderita sejak
kecil hingga dewasa. Penyakit tulang bisa mengubah bentuk panggul
dan menyempitkan rongga bagian dalamnya.
3. Kelumpuhan. Bila salah satu kaki tidak dapat digunakan dengan
sempurna, mau tidak mau berat tubuh dipikul oleh kaki yang sehat.
Akibatnya, panggul bisa tumbuh miring.
4. Tumor. adanya tumor pada tulang panggul dapat mengubah
bentuk panggul dan menyebabkan sempitnya jalan lahir.
5. Kecelakaan. Tulang di tubuh bagian belakang yang mengalami
cedera bisa mengubah bentuk panggul, apalagi bila pengobatan tidak
sempurna.

Pelvic Inflammatory Disesase terjadi jika mikroorganisme


penyebab tersebut bergerak naik dari vagina atau servik menuju organ
reproduksi di atasnya.Dan kuman terbanyak penyebab PID ini adalah
gonorrhea dan chlamydia, yang juga penyebab penyakit menular
seksual terbanyak. Wanita yang telah memulai aktivitas seksualnya
pada usia remaja dan juga berganti-ganti pasangan (di bawah usia 25
tahun) memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan wanita berusia di atas
25 tahun untuk menderita PID. Hal ini dikarenakan serviks pada remaja
perempuan dan wanita muda belum sepenuhnya matur, sehingga
meningkatkan suseptibilitas terkena penyakit menular seksual yang
berkaitan pula dengan PID tersebut.Faktor resiko lainnya adalah
berganti-ganti pasangan seksual, sering mencuci vagina dengan
produk pembersih padahal dapat merubah suasana vagina sehingga
dapat memudahkan kuman untuk menembus barier alamiah
tersebut.Wanita yang menggunakan IUD (intrauterine device) juga
memiliki resiko untuk menderita PID dibandingkan dengan wanita yang
tidak menggunakan, terutama dalam 4 bulan setelah pemasangan
IUD.Hal ini disebabkan adanya penghubung yang memudahkan kuman
untuk masuk ke dalam uterus.
Namun resiko ini dapat ditekan, jika sebelum pemasangan telah
dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan menderita penyakit
menular seksual sebelumnya.Di samping itu faktor resiko lainnya
adalah pada saat menstruasi.Di mana minggu pertama haid
merupakan periode rawan untuk PID, karena jaringan nekrotik
merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan N.
gonorrhoeae.Oleh karenanya, penting diperhatikan oleh wanita yang
sedang menstruasi untuk meningkatkan kebersihan daerah sekitar
kemaluannya.

C      Faktor Resiko


Wanita yang aktif secara seksual di bawah usia 25 tahun berisiko
tinggi untuk mendapat penyakit radang panggul. Hal ini disebabkan
wanita muda berkecenderungan untuk berganti-ganti pasangan
seksual dan melakukan hubungan seksual tidak aman dibandingkan
wanita berumur. Faktor lainnya yang berkaitan dengan usia adalah
lendir servikal (leher rahim). Lendir servikal yang tebal dapat
melindungi masuknya bakteri melalui serviks (seperti gonorea), namun
wanita muda dan remaja cenderung memiliki lendir yang tipis sehingga
tidak dapat memproteksi masuknya bakteri.
Adapun Faktor resiko terjadinya PID adalah sebagai berikut:
1.       Riwayat penyakit radang panggul sebelumnya
2.       Pasangan seksual berganti-ganti, atau lebih dari 2 pasangan
dalam waktu 30 hari
3.       Wanita dengan infeksi oleh kuman penyebab PMS
4.       Menggunakan douche (cairan pembersih vagina) beberapa
kali dalam sebulan
5.       Penggunaan IUD (spiral) meningkatkan risiko penyakit
radang panggul. Risiko tertinggi adalah saat pemasangan spiral dan 3
minggu setelah pemasangan terutama apabila sudah terdapat infeksi
dalam saluran reproduksi sebelumnya.

D      Gejala Klinis


Gejala paling sering dialami adalah nyeri pada perut dan panggul.
Nyeri ini umumnya nyeri tumpul dan terus-menerus, terjadi beberapa
hari setelah menstruasi terakhir, dan diperparah dengan gerakan,
aktivitas, atau sanggama. Nyeri karena radang panggul biasanya
kurang dari 7 hari. Beberapa wanita dengan penyakit ini terkadang
tidak mengalami gejala sama sekali. Keluhan lain adalah mual, nyeri
berkemih, perdarahan atau bercak pada vagina, demam, nyeri saat
sanggama, dan menggigil.
Gejala biasanya muncul segera setelah siklus menstruasi.
Penderita merasakan nyeri pada perut bagian bawah yang semakin
memburuk dan disertai oleh mual atau muntah. Biasanya infeksi akan
menyumbat tuba falopii. Tuba yang tersumbat bisa membengkak dan
terisi cairan. Sebagai akibatnya bisa terjadi nyeri menahun, perdarahan
menstruasi yang tidak teratur dan kemandulan.
Infeksi bisa menyebar ke struktur di sekitarnya, menyebabkan
terbentuknya jaringan parut dan perlengketan fibrosa yang abnormal
diantara organ-organ perut serta menyebabkan nyeri menahun.
Di dalam tuba, ovarium maupun panggul bisa terbentuk abses
(penimbunan nanah). Jika abses pecah dan nanah masuk ke rongga
panggul, gejalanya segera memburuk dan penderita bisa mengalami
syok. Lebih jauh lagi bisa terjadi penyebaran infeksi ke dalam darah
sehingga terjadi sepsis.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan pada PID :
a.       Keluar cairan dari vagina dengan warna, konsistensi dan bau
yang abnormal
b.      Demam
c.       Perdarahan menstruasi yang tidak teratur atau spotting
(bercak-bercak kemerahan di celana dalam
d.      Kram karena menstruasi
e.       Nyeri ketika melakukan hubungan seksual
f.       Perdarahan setelah melakukan hubungan seksual
g.      Nyeri punggung bagian bawah
h.      Kelelahan
i.        Nafsu makan berkurang
j.        Sering berkemih
k.      Nyeri ketika berkemih.

E       Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
fisik. Dilakukan pemeriksaan panggul dan perabaan perut.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan antara lain sebagai berikut:
1        Pemeriksaan darah lengkap
2        Pemeriksaan cairan dari serviks
3        Kuldosintesis
4        Laparoskopi
5        USG panggul
Pemeriksaan darah dilakukan untuk melihat kenaikan dari sel
darah putih yang menandakan terjadinya infeksi. Kultur untuk GO dan
chlamydia digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Ultrasonografi
atau USG dapat digunakan baik USG abdomen (perut) atau USG
vagina, untuk mengevaluasi saluran tuba dan alat reproduksi lainnya.
Biopsi endometrium dapat dipakai untuk melihat adanya infeksi.
Laparaskopi adalah prosedur pemasukan alat dengan lampu dan
kamera melalui insisi (potongan) kecil di perut untuk melihat secara
langsung organ di dalam panggul apabila terdapat kelainan.
F       Komplikasi
Penyakit radang panggul dapat menyebabkan berbagai kelainan di
dalam kandungan seperti nyeri berkepanjangan, infertilitas dan
kehamilan abnormal. Penyakit ini dapat menyebabkan parut pada
rahim dan saluran tuba. Parut ini mengakibatkan kerusakan dan
menghalangi saluran tuba sehingga menyebabkan infertilitas. Parut
juga dapat menyebabkan sel telur tidak dapat melalui jalan normalnya
ke rahim sehingga dapat terjadi kehamilan ektopik.

G      Pencegahan
Cara terbaik untuk menghindari penyakit radang panggul adalah
melindungi diri dari penyakit menular seksual. Penggunaan kontrasepsi
seperti kondom dapat mengurangi kejadian penyakit radang panggul.
Apabila mengalami infeksi saluran genital bagian bawah maka
sebaiknya segera diobati karena dapat menyebar hingga ke saluran
reproduksi bagian atas. Terapi untuk pasangan seksual sangat
dianjurkan untuk mencegah berulangnya infeksi.
Wanita dapat melindungi diri mereka dari PID dengan mencegah
terkena STDs atau segera berobat ke dokter jika mereka menderita
STDs. Cara terbaik untuk mencegah STDs adalah dengan tidak
melakukan hubungan seksual berganti pasangan atau setia pada
pasangannya yang telah dikenalnya betul serta pernah menjalani
skrining test STDs. Kondom pria yang mengandung latex, yang
digunakan dengan benar dan berkelanjutan, dapat menurunkan resiko
terinfeksi chlamydia dan gonorrhea. CDC merekomendasikan
pemeriksaan chlamydia kepada seluruh wanita berusia 25 tahun atau
kurang yang telah aktif secara seksual ataupun kepada wanita yang
lebih tua dengan resiko menderita infeksi chlamydia (mereka yang
memiliki pasangan baru atau melakukan hubungan multipartner), serta
kepada seluruh wanita hamil.
Keluhan pada alat genital wanita, seperti adanya luka, keluar
cairan dengan bau yang abnormal, rasa nyeri ketika buang air kecil,
ataupun perdarahan di luar siklus menstruasi bisa jadi merupakan
pertanda infeksi STDs. Jika wanita tersebut mengalami keluhan
tersebut, sebaiknya menghentikan hubungan seksualnya untuk
sementara waktu dan segera berkonsultasi dengan dokter. Mengobati
STDs secara lebih dini dapat membantu mencegah PID. Setiap wanita
yang menderita STDs dan sedang menjalani pengobatan, sebaiknya
mengajak pasangannya ke dokter dan diperiksa terhadap kemungkinan
untuk menderita STDs. Hubungan seksual sebaiknya jangan dimulai
hingga pasangannya telah diperiksa dan telah menjalani pengobatan
dengan tuntas apabila mereka memang menderita STDs.

H      Penangganan

1        Pengobatan
Pelvic Inflammatory Disesase dapat diobati dengan beberapa
macam antibiotika.Namun pemberian antibiotika ini tidak sepenuhnya
mengembalikan kondisi pasien apabila telah terjadi kerusakan pada
organ reproduksi wanita ini. Jika seorang wanita memiliki nyeri pelvis
dan keluhan PID yang lain, sebaiknya segera berobat ke dokter.
Pemberian antibiotika yang tepat akan dapat mencegah kerusakan
lebih lanjut pada saluran reproduksi wanita. Seorang wanita yang
menunda pengobatan PID, akan lebih besar kemungkinannya untuk
menderita infertilitas atau dapat terjadi kehamilan ektopik oleh karena
kerusakan tuba fallopii.
Karena sulitnya untuk mengidentifikasi organisme yang menyerang
organ reproduksi internal dan juga kemungkinan lebih dari satu
organisme sebagai penyebab PID, maka PID biasanya diobati dengan
sedikitnya dua macam antibiotika yang memiliki efektivitas yang baik di
dalam mematikan organisme penyebab tersebut.Antibiotika ini dapat
diberikan secara oral maupun secara injeksi. Antibiotika yang dapat
digunakan antara lain: ofloxacin, metronidazole, dan doxycycline. Di
mana lamanya pengobatan biasanya ± 14 hari.
Pengobatan yang tepat dan sesuai dapat mencegah komplikasi
PID.Tanpa pengobatan yang tepat PID dapat menyebabkan kerusakan
permanen dari organ reproduksi wanita.Organisme penyebab PID
dapat menginvasi tuba fallopii dan menyebabkan terbentuknya jaringan
parut (scar tissue).
PID tanpa komplikasi bisa diobati dengan antibiotik dan penderita
tidak perlu dirawat. Jika terjadi komplikasi atau penyebaran infeksi,
maka penderita harus dirawat di rumah sakit. Antibiotik diberikan
secara intravena (melalui pembuluh darah) lalu diberikan per-oral
(melalui mulut). Jika tidak ada respon terhadap pemberian antibiotik,
mungkin perlu dilakukan pembedahan. Pasangan seksual penderita
sebaiknya juga menjalani pengobatan secara bersamaan dan selama
menjalani pengobatan jika melakukan hubungan seksual, pasangan
penderita sebaiknya menggunakan kondom.

2        Terapi
Tujuan utama terapi penyakit ini adalah mencegah kerusakan
saluran tuba yang dapat mengakibatkan infertilitas (tidak subur) dan
kehamilan ektopik, serta pencegahan dari infeksi kronik. Pengobatan
dengan antibiotik, baik disuntik maupun diminum, sesuai dengan
bakteri penyebab adalah pilihan utama. Kontrol setelah pengobatan
sebanyak 2-3 kali diperlukan untuk melihat hasil dan perkembangan
dari pengobatan. Pasangan seksual juga harus diobati. Wanita dengan
penyakit radang panggul mungkin memiliki pasangan yang menderita
gonorea atau infeksi Chlamydia yang dapat menyebabkan penyakit ini.
Seseorang dapat menderita penyakit menular seksual meskipun tidak
memiliki gejala. Untuk mengurangi risiko terkena penyakit radang
panggul kembali, maka pasangan seksual sebaiknya diperiksa dan
diobati apabila memiliki PMS.
Meskipun segera dilakukan pengobatan antimikroba yang tepat
untuk mengatasi metritis, kadang-kadang suatu flegmoon parametrium
akan mengalami supurasi sehingga terbentuk massa benjolan pada
ligamentum latum yang berfluktuasi dan bias menonjol diatas
ligamentum inguinale pouparti. Dalam keadaan ini, wanita tersebut
mungkin tidak menunjukkan gejala yang semakin memburuk tetapi
panas tetap memburuk tetapi panas tetap bertahan. Begitu terdapat
rupture abses kedalam kavum peritoni, peritonitis yang bias membawa
kematian dapat terjadi. Kemungkinan lebih besar lagi, terjadi robekan
kearah anterior sehingga tidak terjangkaub dengan tindakan drainase
lewat jarum yang diarahkan oleh komograi computer. Kadang-kadang
robekan terjadi kearah posterior lewat ruang retroperitonium kedalam
septum rekto vaginalisn dimana drainase operatif mudah digunakan.
Bila pelvic abses ada tanda cairan fluktuasi pada daerah cul-de-
sac, lakukan kolpotomi atau dengan laparotomi. Ibu posisi fowler.
Berikan anti biotika broad spektrum dalam dosis yang tinggi ampisilin
2g/IV kemudian 1g setiap 6jam ditambah gentamisin 5g/kg berat badan
IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500mg/IV setiap 8jam.
Lanjutkan antibiotika ini sampai ibu tidak panas selama 24 jam.
Pada keadaan yang sangat jarang sellulitis parametrium yang
terjadi akan meluas dan menjadi abses pelvis. Bila ini terjadi, maka
harus dilakukan drainase puss yang terbentuk, baik ke anterior dengan
melakukan pemasangan jarum berukuran besar maupu ke posterior
dengan melakukan kolpotomi selain itu, perlu juga diberikan antibiotika
yang adekuat.

4.3 Kasus Peritonitis


1. Pengertian
Dalam istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala,
diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muskular,
dan tanda-tanda umum inflamasi.
Peritonitis adalah peradangan membran serosa rongga abdomen dan
organ-organ yang terkandung didalamnya, Peradangan pada
peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga mulut
atau merupakan suatu respon inflamasi supuratif dari peritoneum yang
disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneal dapat berupa primer atau
sekunder, akut atau kronis dan diakibatkan oleh bakteri atau kimia

2. Patofisiologi
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen kedalam
organ abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi,
iskemia, trauma, atau perforasi tumor. Terjadi perforasi bakterial,
terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi
cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan
peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah.
Respon segerah dari saluran usus adalah hipermotilitas, di ikuti oleh
ileus pralitik, disertai akumulasi udarah dan cairan dalam usus.

3.Etiologi
a.Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi.
b.Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan
kegiatan seksual.
c.Infeksi dari saluran rahim dan dinding telur, yang mungkin
disebabkan oleh beberapa kuman(termasuk yang menyebabkan
gonore dan infeksi chlamidia)
d.Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di
perut(asites) dan mengalami infeksi.
e.Peritonitis dapat terjadi setelah pembedahan.
f.Dialisa pertioneal (pengobatan gagal ginjal) sering megakibatkan
peritonitis.
g.Iritasi tanpa infeksi.
h.Perforasi lambung, usus, kandung empeduh atau usus buntu.
i.Peradangan dinding peritoneum yang terjadi bila benda asing
termasuk bakteri atau gastrointestinal.
4.Tanda dan gejala
Tanda dan gejala peritonitis meliputi :
a.Pembengkakan nyeri perut
b.Demam dan menggigil
c.Kehilangan nafsu makan
d.Haus
e.Mual dan muntah
f.Urin terbatas
5.Penatalaksanaan
a.Pengantian cairan isotonis
b.Pemberian obat analgetik, antibiotik , antiemetic
c.Terapi O2
d.Lavasi periteneum dengan antibiotik
e.Tindakan bedah laparatomi
B.Konsep keperaawatan
1.Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses klien
perawatan secara menyeluruh. Pengkajian pasien dengan peritonitis
meliputi :
a. Aktivitas istiraahat
Gejala : kelemahan
Tanda : kesulitan ambulasi
b. Sirkulasi
Tanda : takikardi, berkeringat, pucat hipotensi
Tanda syok : edema jaringan
c. Eliminasi
Gejala : ketidakmampuan defekasi dan flatus. Diare kadang-kadang
Tanda : cegukan, disensi abdomen penurunan haluran urin, warna
gelep.penurunan tak ada bising usus,bising usus kasar.
d. Makanan dan cairan
Gejala : anoreksia, mual, muntah, haus.
Tanda : muntah proyektil, membran mukosa kering, lidah bengkak,
turgor kulit buruk.
e. Nyeri atau ketidak nyamanan
Gejala : nyeri abdomen tiba-tiba berat, umum ataau lokal, menyebar ke
bahu, terus menerus oleh gerakan.
Tanda : distensi, kaku nyeri tekan. Otot tegang (abdomen), lutut fleksi,
perilaku distraksi, gelisah, fokus pada diri sendiri.
f. Pernapasan
Tanda : pernapasan dangkal, takipnea.
g. Keamanan
Gejala : riwayat inflamasi organ pelvic(salpingitis) infeksi pasca
melahirkan, abses retroperitoneal.
h. Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala : riwayat adanya trauma penetrasi abdomen, perforasi kandung
kemih, penyakit saluran GI (apendiksitis perforasi ganggren atau ruptur
kandung empedu, perforasi Ca gaster, perforasi gaster atau ulkus
duadenal, obstruksi ganggrenosa usus, perforasi deventrikulum, ileitis
regional, herniastrangulasi).
2.Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien dengan ganguan
peritonitis adalah :
1.Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan akumulasi
cairan dalam rongga abdomen / peritoneal
2.Perubahan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan proses
inflamasi
3.Devisit volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan dari
ekstraseluler, intravaskular, dan area intestinal kedalam rongga
peritoneal
4.Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual, muntah
5.Infeksi berhubungan dengan invasi bakteri keseluruh permukaan
peritonium
6.Aniesietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
7.Resiko tinggi sepsis beruhubungan dengan masuknya bakteri ke
saluran sistemik
8.Gangguan body amige berhubungan dengan perut membesar
(asietas)
a.Penyimpangan KDM
3.Intervensi keperawatan
1.Pengkajian nyeri secara terus menerus, tanda-tanda vital, fungsi
gastrointenstinal, dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2.Gambaran sifat nyeri , lokasi di abdomen dan adanya perpindahan
lokasi harus di laporkan.
3.Pemberian obat analesik dan penempatan pasien pada posisi yang
nyaman itu akan membantu dalam menurunkan nyeri.
4.Pasien harus di tempatkan pada posisi miring dengan lutut fleksi,
yang dapat menurunkan tegangan pada organ abdomen.
4.Evaluasi
Evaluasi yang di harapkan pada pasien dengan peritonitis adalah :
1.Infeksi tidak terjadi/ terkontrol
2.Tidak terjadai defisit volume cairan
3.Tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi
4.Ansietas berkurang / terkontrol
5.Nyeri dapat berkurang atau hilang

4.4 Kasus Bendungan Payudara

A.      Pengertian Bendungan ASI(Payudara)


Bendungan air susu adalah terjadinya pembengkakan pada
payudara karena peningkatan aliran vena dan limfe sehingga
menyebabkan bendungan ASI dan rasa nyeri disertai kenaikan suhu
badan. (Prawirohardjo, 2005:700).
Pada hari-hari pertama, payudara sering terasa penuh dan nyeri
disebabkan bertambahnya aliran darah ke payudara bersamaan
dengan ASI mulai di produksi di dalam jumlah banyak
(Ambarwati,2008)
Bila ibu menyusui bayinya :
Susukan sesering mungkin
Kedua payudara disusukan
Ø  Kompres hangat payudara sebelum disusukan
Ø  Bantu dengan memijat payudara untuk pemulaan menyusui
Ø  Sangga payudara
Ø  Kompres dingin pada payudara di antara permulaan waktu
menyusui
Ø  Bila demem tinggi berikan PCT 500 mg per Oral setiap 4 jam
Ø  Lakukan evaluasi setelah 3 hari untuk mengetahui hasilnya

Bila ibu  tidak menyusui :


Ø  Sangga payudara
Ø  Kompres dingin payudara untuk mengurangi pembengkakan dan
rasa sakit
Ø  Bila di perlukan berikan PCT 500 mg per Oral setiap 4 jam
Ø  Jagan di pijat atau memakai kompres hangat payudara
Ø  Pompa dan kosongkan payudara

B.       Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan bendungan ASI, yaitu:
1.    Pengosongan mamae yang tidak sempurna (Dalam masa
laktasi, terjadi peningkatan produksi ASI pada Ibu yang produksi ASI-
nya berlebihan. apabila bayi sudah kenyang dan selesai menyusu, &
payudara tidak dikosongkan, maka masih terdapat sisa ASI di dalam
payudara. Sisa ASI tersebut jika tidak dikeluarkan dapat menimbulkan
bendungan ASI).
2.    Faktor hisapan bayi yang tidak aktif (Pada masa laktasi, bila Ibu
tidak menyusukan bayinya sesering mungkin atau jika bayi tidak aktif
mengisap, maka akan menimbulkan bendungan ASI).
3.    Faktor posisi menyusui bayi yang tidak benar (Teknik yang
salah dalam menyusui dapat mengakibatkan puting susu menjadi lecet
dan menimbulkan rasa nyeri pada saat bayi menyusu. Akibatnya Ibu
tidak mau menyusui bayinya dan terjadi bendungan ASI).
4.    Puting susu terbenam (Puting susu yang terbenam akan
menyulitkan bayi dalam menyusu. Karena bayi tidak dapat menghisap
puting dan areola, bayi tidak mau menyusu dan akibatnya terjadi
bendungan ASI).
5.    Puting susu terlalu panjang (Puting susu yang panjang
menimbulkan kesulitan pada saat bayi menyusu karena bayi tidak
dapat menghisap areola dan merangsang sinus laktiferus untuk
mengeluarkan ASI. Akibatnya ASI tertahan dan menimbulkan
bendungan ASI).

C.      Patofisiologi
Sesudah bayi lahir dan plasenta keluar, kadar estrogen dan
progesteron turun dalam 2-3 hari. Dengan ini faktor dari hipotalamus
yang menghalangi prolaktin waktu hamil, dan sangat di pengaruhi oleh
estrogen tidak dikeluarkan lagi, dan terjadi sekresi prolaktin oleh
hipofisis. Hormon ini menyebabkan alveolus-alveolus kelenjar
mammae terisi dengan air susu, tetapi untuk mengeluarkan dibutuhkan
refleks yang menyebabkan kontraksi sel-sel mioepitel yang mengelilingi
alveolus dan duktus kecil kelenjar-kelenjar tersebut. Refleks ini timbul
bila bayi menyusui. Apabila bayi tidak menyusu dengan baik, atau jika
tidak dikosongkan dengan sempurna, maka terjadi bendungan air susu.
Gejala yang biasa terjadi pada bendungan ASI antara lain payudara
penuh terasa panas, berat dan keras, terlihat mengkilat meski tidak
kemerahan. ASI biasanya mengalir tidak lancar, namun ada pula
payudara yang terbendung membesar, membengkak dan sangat nyeri,
puting susu teregang menjadi rata. ASI tidak mengalir dengan mudah
dan bayi sulit mengenyut untuk menghisap ASI. Ibu kadang-kadang
menjadi demam, tapi biasanya akan hilang dalam 24 jam
(wiknjosastro,2005)

D.      Penatalaksanaan
a.       Upaya pencegahan untuk bendungan ASI adalah :
b.      Menyusui dini, susui bayi sesegera mungkin (setelah 30 menit)
setelah dilahirkan
c.       Susui bayi tanpa jadwal atau ondemand
d.      Keluarkan ASI dengan tangan atau pompa, bila produksi
melebihi kebutuhan bayi
e.       Perawatan payudara pasca persalinan

Upaya pengobatan untuk bendungan ASI adalah :


a.       Kompres hangat payudara agar menjadi lebih lembek
b.      Keluarkan sedikit ASI sehingga puting lebih mudah ditangkap
dan dihisap oleh bayi.
c.       Sesudah bayi kenyang keluarkan sisa ASI
d.      Untuk mengurangi rasa sakit pada payudara, berikan kompres
dingin
5.    Untuk mengurangi statis di vena dan pembuluh getah bening
lakukan pengurutan (masase) payudara yang dimulai dari putin kearah
korpus. (Sastrawinata, 2004)

B.Tinjauan asuhan kebidanan


Konsep asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan bendungan ASI
menurut manajemen kebidanan Varney.
1.                   Manajemen Kebidanan
a.        Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan
oleh bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara
sistematis mulai dari pengkajian analisa data, diagnosa kebidanan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (PP IBI, 2006).
b.       Manajemen kebidanan adalah proses pemecahan masalah
yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan
tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan, ketrampilan dalam
rangkaian tahapan logis untuk pengambilan keputusan yang berfokus
pada klien (PPKC, 2002).
2.                   Langkah-langkah Manajemen Kebidanan menurut Varney
Menurut Varney (1997), proses manajemen kebidanan terdiri dari 7
(tujuh) langkah yang berurutan dimana setiap langkah disempurnakan
secara periodik. Proses dimulai dengan pengumpulan data dasar dan
berakhir dengan evaluasi. Ketujuh langkah tersebut membentuk suatu
kerangka lengkap yang dapat diaplikasikan dalam situasi apapun.
Ketujuh langkah manajemen kebidanan menurut Varney adalah
sebagai berikut :
a. Langkah I : Pengumpulan Data Dasar
Pada langkah pertama ini dilakukan pengkajian dengan
pengumpulan semua data yang diperlukan untuk mengevaluasi
keadaan klien secara lengkap, yaitu riwayat kesehatan, pemeriksaan
fisik sesuai dengan kebutuhan, meninjau catatan terbaru atau catatan
sebelumnya, meninjau data laboratorium dan membandingkan dengan
hasil studi. Pada langkah ini dikumpulkan semua informasi yang akurat
dari sumber yang berkaitan dengan kondisi klien, bidan mengumpulkan
data dasar awal yang lengkap.
b.       Langkah II : Interpetasi Data Dasar
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap
diagnosa atau masalah dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi
yang benar atas data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang
sudah dikumpulkan diinterpretasikan, sehingga ditemukan masalah
atau diagnosis yang spesifik. Kata masalah atau diagnosa keduanya
digunakan, karena beberapa masalah tidak dapat diselesaikan seperti
diagnosa tetapi sungguh membutuhkan penanganan yang dituangkan
ke dalam rencana asuhan kebidanan terhadap klien. Masalah yang
berkaitan dengan wanita yang diidentifikasikan oleh bidan sesuai
dengan pengarahan masalah ini sering menyertai diagnosa.
c.        Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah
potensial
Pada langkah ini kita mengidentifikasikan masalah atau diagnosa
potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang
sudah diidentifikasikan. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila
kemungkinan dilakukan pencegahan, sambil mengamati klien, bidan
diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnosa/masalah potensial ini
benar-benar terjadi. Pada langkah ini penting sekali melakukan asuhan
yang aman.
d.       Langkah IV : Identifikasi kebutuhan yang memerlukan
penanganan segera
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter
dan atau untuk dikonsulkan atau ditangani bersama dengan anggota
tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi. Langkah keempat ini
mencerminkan kesinambungan dari proses manajemen kebidanan.
Jadi manajemen bukan hanya selama asuhan primer periodik atau
kunjungan prenatal saja tetapi juga selama wanita tersebut bersama
bidan terus-menerus, misalnya pada waktu wanita tersebut dalam
persalinan.
e.        Langkah V : Merencanakan asuhan yang menyeluruh
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh,
ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan
kelanjutan manajemen terhadap diagnosa atau masalah yang telah
diidentifikasikan atau antisipasi. Pada langkah ini informasi/data dasar
yang tidak lengkap dapat dilengkapi rencana asuhan yang menyeluruh
tidak hanya meliputi apa yang sudah diidentifikasi dan kondisi klien
atau setiap masalah yang berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman
antisipasi terhadap wanita tersebut seperti apa yang diperkirakan akan
terjadi berikutnya
f.        Langkah VI : Melaksanakan Perencanaan
Pada langkah keenam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang
telah diuraikan pada langkah kesehatan dilaksanakan secara efisien
dan aman. Perencanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh bidan atau
sebagian oleh klien atau anggota tim kesehatan lainnya, jika bidan
tidak melakukannya sendiri ia tetap memikul tanggung jawab untuk
mengarahkan pelaksanaannya. Misalnya memastikan agar langkah-
langkah tersebut benar-benar terlaksana dalam situasi dimana bidan
berkolaborasi dengan dokter untuk menangani klien yang mengalami
komplikasi, maka keterlibatan bidan dalam manajemen asuhan bagi
klien adalah bertanggung jawab terlaksananya rencana asuhan
bersama yang menyeluruh tersebut. Manajemen yang efisien akan
menyingkat waktu dan biaya serta meningkatkan mutu dari asuhan
klien.
g.       Langkah VII : Evaluasi
Pada langkah ketujuh ini dilakukan evaluasi keefektifan dari
asuhan yang sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan
bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan
sebagaimana telah diidentifikasikan didalam masalah dan diagnosa
rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang benar efektif
pelaksanaannya, ada kemungkinan bahwa bagian sebagian rencana
tersebut telah efektif sedang sebagian belum efektif (PPKC, 2002).

4.5 Kasus Infeksi Nifas

a.   Pengertian Infeksi Nifas

Infeksi kala nifas adalah infeksi peradangan pada semua alat


genetalia pada masa nifas oleh sebab apapun dengan ketentuan
meningkatnya suhu badan melebihi 38 0C tanpa menghitung hari
pertama dan berturut-turut selama 2 (dua) hari.(Manuaba, 1998: 312).

b.    Keadaan Abnormal pada Rahim

Menurut Manuaba (1998:316) keadaan abnormal pada rahim yaitu:

1)        Subinvolusi uteri

2)        Flegmasia alba dolens

Masalah dalam Laktasi

1)        Payudara Bengkak (Engorgement)

2)        Kelainan putting susu

3)        Putting susu nyeri (Sore Nipple) dan Lecet (Crecked Nipple)

4)        Saluran Air susu tersumbat (Obstructive Duct)

5)        Mastitis

6)        Abses Payudara

7)        Air susu ibu kurang

8)        Bayi bingung putting

9)        Bayi enggan menyusu  (Mansjoer, 1999:305)

4.6 Kasus Infeksi Payudara


Infeksi Pada Payudara menyebabkan :

1)        Payudara Bengkak (Engorgement)


2)        Kelainan putting susu

3)        Putting susu nyeri (Sore Nipple) dan Lecet (Crecked Nipple)

4)        Saluran Air susu tersumbat (Obstructive Duct)

5)        Mastitis

6)        Abses Payudara

7)        Air susu ibu kurang

8)        Bayi bingung putting

9)        Bayi enggan menyusu  (Mansjoer, 1999:305)

Perawatan Payudara agar tidak infeksi:

1)        Menjaga payudara tetap bersih dan kering.

2)        Menggunakan BH yang menyokong payudara.

3)        Apabila puting susu lecet oleskan kolostrum atau ASI yang
keluar pada sekitar putting susu setiap kali selesai menyusui.

4)        Apabila lecet sampai berat  dapat diistirahatkan selama 24


jam. ASI dikeluarkan dan diminumkan dengan menggunakan
sendok.

5)        Untuk menghilangkan nyeri minum parasetamol 1 tablet


setiap 4-6 jam.

6)        Apabila payudara bengkak akibat pembendungan ASI,


lakukan : pengompresan payudara dengan menggunakan kain
basah hangat selama 5 menit, urut payudara dari arah pangkal
menuju puting dengan arah “Z”, keluarkan ASI sebagian dari
bagian depan payudara sehingga puting susu menjadi lunak,

4.7 Kasus Infeksi Perineum

1.        Infeksi : Kondisi perineum yangterkena lokia dan lembab akan

sangat menunjang perkembangbiakan bakteri yang dapat

menyebabkan timbulnya infeksi pada perineum.

2.        Komplikasi: Munculnya infeksi perineum dapat merambat

pada saluran kandung kemih ataupun pada jalan lahir yang dapat
berakibat pada munculnya kompikasi infeksi kandung kemih maupun

infeksi pada jalan lahir.

3.        Kematian ibu post partum : Penanganan komplikasi yang

lambat dapat menyebabkan terjadinya kematian ibu pada post partum

mengingat kondisi fisik ibu post partum masih lemah. (Rukiyah &

Yulianti, 2010; h. 363).

4.     Faktor Predisposisi Infeksi Masa Nifas

a.       Persalinan berlangsung lama sampai terjadi persalinan

terlantar.

b.      Tindakan operasi persalinan.

c.       Tertinggalnya placenta dan selaput ketuban dan bekuan

darah.

d.      Ketuban pecah dini atau pada pembukaan masih kecil melebihi

6 jam .

e.       Keadaan yang dapat menurunkan keadaan umum, yaitu

perdarahaan antepartum dan post partum, anemia pada saat

kehamilan, malnutrisi, kelelahan dan ibu hamil dengan penyakit infeksi.

(Rukiyah dkk, 2011; h.155).

5.      Cara perawatan Luka Perineum

a.    Persiapan

Ibu post partum: perawatan perineum sebaiknya dilakukan dikamar

mandi dengan posisi jongkok jika ibu telah mampu atau berdiri dengan

posisi kaki terbuka.


Alat dan bahan: alat yang digunakan adalah botol, baskom dan

gayung, air hangat dan handuk bersih, sedangkan bahan yang

digunakan adalah air hangat pembalut nifas baru.

b.    Penatalaksanaan

Perawatan khusus parineal bagi wanita setelah melahirkan anak

mengurangi rasa tidak ketidaknyamanan, dan meningkatkan

penyembuhan dengan prosedur pelaksanaan sebagai berikut:

a). Mencuci tangan

b). Mengisi botol plastik dengan air hangat

c). Buang pembalut yang telah digunakan dengan gerakan

kebawah mengarah ke rektum dan letakan pembalut tersebut ke dalam

kantung plastik

d). Berkemih dan BAB ke toilet

e). Semprotkan keseluruh perineum dengan air hangat

f). Keringkan perineum dengan menggunakan tissue dari depan

kebelakang.

g). Pasang pembalut dari arah depan kebelakang.

h). Cuci tangan kembali.

c.       Evaluasi: parameter yang digunakan dalam evaluasi hasil

perawatan adalah: perineum tidak lembab, posisi pembalut tepat, ibu

merasa nyaman.

(Rukiyah dkk, 2011; h.126-127)

DISKUSI PENYUSUNAN KURIKULUM INTITUSI SESUAI KKNI


KEGAWAT DARURATAN MATERNAL&NEONATAL

LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN KURIKULUM INSTITUSI :


1. Melakukan diskusi dengan user, strakeholder, alumni dan civitas akademik
(Dinkes,RS,OP,Alumni, Puskesma, Institusi Pendidikan, Pembimbing atau
dosen itu sendiri), atau dari hasil tracer study, kemampuan apa yang
dibutuhkan oleh seorang bidan lulusan diploma tiga kebidanan Poltekkes
Makassar, tanggal 18-21 juni 2012 di hotel Jakarta Makassar, sebagai berikut :
a) Lulusan Prodi D.III Kebidanan belum terampil dalam melakukan deteksi
dini pada kegawatdaruratan maternal neonatal.
b) Lulusan Prodi D.III Kebidanan belum terampil dalam melakukan deteksi
dini triage pada kegawatdarutan maternal neonatal.
c) Lulusan Prodi D.III Kebidanan belum mampu melakukan penanganan
kegawatdaruratan pada seksiosesarea.
d) Lulusan Prodi D.III Kebidanan belum mampu melakukan penanganan
kegawatdaruratan maternal pada syok.
2. Profil lulusan yang terkait dengan kebutuhan hasil kajian tersebut, adalah
sebagai care provider (pemberi asuhan kegawatdaruratan secara efektif,
cepat , dan benar).

3. Susun capaian pembelajaran (Profil learning outcomes) terkait profil tersebut


yang sesuai dengan template capaian pembelajaran yang baku, terdiri dari
elemen kemampuan, pengetahuan dan tanggungjawab sebagai berikut :

Parameter Deskripsi Capaian Pembelajaran/Learning Outcome Program


Studi
Deskripsi Generik Unsur Deskripsi Capaian
Level 5 Prodi DIII Pembelajar
Kebidanan an DIII
Kebidanan
a Mampu Mampu Mampu Terampil
. melakukan melakukan triage membedakan melakukan
deteksi dini pada pada pasien pasien yang Tiage
kegawatdaruratan kegawatdaruratan gawat dan tidak
b Mampu Mampu Mampu Terampil
. melakukan melakukan melaksanakan melakukanp
penanganan pada penanganan penanganan enanganan
kegawatdaruratan dengan ABCD ABCD ABCD
c Mampu Mampu Mampu Terampil
. melakukan melakukan melaksanakan melakukan
penanganan pada perawatan luka perawatan luka asuhan
pasien pada pada pada pasien
seksiosesarea seksiosesarea seksiosesarea seksiosesar
ea

4. Masukan capaian pembelajaran yang sudah tersusun dalam format sebagai


berikut :
Matriks Kompetensi/capaian pembelajaran pada kurikulum inti dan kurikulum
institusional

Profil Penciri Program Studi Penciri


Lulusan D- Prodi D-III
III Jurusan
Kebidanan Kebidanan
Poltekkes
Makassar
Capaian Capaian
Capaian pembelajaran/Kompe Pembelajar
Pembelajaran/Kompetensi tensi Pendukung an/Kompete
Utama (Pada Kurikulum nsi lain-lain
Inti)
Care Mampu melakukan triage, Mampu melakukan Mengenal
Provider Penanganan dengan triage, Penanganan triage,
ABCD Pada dengan ABCD Pada ABCD, dan
kegawatdaruratan, pada kegawatdaruratan, perawatan
kehamilan, persalinan, dan pada kehamilan, luka pada
nifas, dan Neonatal, persalinan, dan nifas, seksiosesar
Mampu melakukan dan Neonatal, ea
perawatan luka pada Mampu melakukan
pasien seksiosesarea perawatan luka pada
pasien seksiosesarea

Anda mungkin juga menyukai