Anda di halaman 1dari 16

ETNOGRAFI PAPUA

AKUNTANSI SMT I
FEB UNCEN
PAPUA
▪ “Orang Papua” yang sekarang kita kenal sebagai sebutan
untuk suku – suku bangsa yang berada di pulau paling timur
dari kawasan Nusantara ini (pulau Papua) telah mengalami
beberapa kali penamaan berdasarkan perkembangan
sejarahnya.
▪ Pulau New Guinea adalah pulau terbesar kedua di dunia,
letaknya antara 0º dan 12º LS di sebelah utara Benua Australia
dan berada di bawah garis khatulistiwa, sehingga termasuk
wilayah tropis lembab. Pulau New Guinea juga merupakan
pulau terbesar diantara gugusan Kepulauan Melanesia yang
terletak di sebelah timurnya dan terdiri dari Kepulauan
Salomon, New Hebrides, New Caledonia dan Fiji.
Pulau New Guinea sering disebut “Pulau Kasuari”
karena bentuknya menyerupai burung kasuari
raksasa.
Bagian Pulau New Guinea yang menyerupai kepala
burung raksasa itu terletak di ujung barat dan
dinamakan baik dalam percakapan umum maupun
dalam karangan- karangan ilmiah “Kepala Burung”.
Bagian pulau yang menyempit karena terbentuk Kaki
oleh Teluk Cenderawasih yang terdapat di sebelah
utara seolah-olah merupakan bagian tengkuk/leher
dari burung raksasa itu, sedangkan bagian lainnya
merupakan tubuh dan ekor burung.
Pulau Kimam yang terletak di sebelah selatan pada
bagian tengah pulau tersebut merupakan kaki-
kakinya.
Luas Pulau New Guinea adalah ± 892.000 km². Berdasarkan “Perjanjian Den Haag” tanggal 16 Mei 1895 Pulau New Guinea
dibagi menjadi dua bagian, bagian barat dan bagian timur. Bagian barat adalah suatu wilayah yang dikuasai oleh
pemerintah Hindia Belanda, bernama Nederlands Nieuw Guinea sedangkan bagian Timur Pulau New Guinea terdiri dari
dua wilayah yaitu Wilhelmstad yang dikuasai oleh Jerman dan wilayah Papua yang dikuasai oleh Inggris (Staatsblad van
Nederlandsch Indie 1895, No. 220 dan 221). Pada waktu sekarang bagian barat Pulau New Guinea yang Membentuk
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dari Negara Republik Indonesia mempunyai luas ± 416.000 km² (47 %) sedangkan
bagian timur Pulau New Guinea merupakan Negara merdeka sendiri bernama Papua New Guinea (PNG) dengan luas
wilayahnya ± 476.000 km² (53%).
Garis perbatasan yang membatasi Provinsi Papua dengan Negara Papua New Guinea yang
panjangnya ±736 km² itu ditarik dari arah utara ke selatan mulai dari titik garis meridian bujur
timur 141º di pantai utara lurus ke arah selatan sampai di sungai Fly, mengikuti kelokan-kelokan
sungai tersebut sampai titik garis meridian bujur timur 141.03º dan dari titik tersebut lurus ke
pantai selatan (J.R. Mansoben, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, 1995 : 25-26).
SEJARAH NAMA PAPUA

Peta pulau Papua buatan pelaut Spanyol tahun 1589, oleh


Abraham Ortelius (1527–1598) dalam Theatrum Orbis
Terrarum merupakan salah satu peta tua pulau Papua.
Dalam peta ini menggunakan nama "Nova Guinea"
berdasarkan nama dari pelaut Spanyol 1545.
NAMA “PAPUA” memang patut mendapat tempat
yang layak dalam sejarah ilmu pengetahuan
sejarah di tanah Papua, mengingat kebesaran
nama ini begitu membahana. Nama merupakan
sebuah identitas suatu wilayah, tanah, negeri
bahkan menunjukkan ciri dan kebudayaan
beberapa suku bangsa yang hidup dalam suatu
pulau atau wilayah. Artinya mengetahui asal usul
sebuah nama merupakan bagian penting dalam
kehidupan manusia. Sayangnya, tidak semua orang
bahkan orang Papua sendiri belum mengetahui
asal usul nama Papua. Dapat dimaklumi mengingat
selama ini tidak banyak catatan yang membahas
arti dibalik nama tersebut selain itu ada banyak
versi asal muasal nama Papua sehingga masih
menjadi tanda tanya sampai hari ini.
Penjelajah Portugis bernama Antonio de Abreu yang
menyinggahi pulau Seram pada 1512. Dan ketika mencapai
pulau Waigeo ia menyebut nama itu dengan nama Ilhas dos
Papuas ("Pulau Orang Papua") Abreu mendengar nama Papua
dari orang-orang Maluku dan migran Papua di Maluku. Itu
berarti nama tersebut sudah ada jauh sebelum abad ke-16
atau sebelum masuknya bangsa Eropa di Maluku dan Papua.

Pada bulan Juni 1528, beberapa pelaut tangguh dari Spanyol


dan Portugis berlayar hingga di tanah Papua. Alvaro de
Saavedra, Macias del Poyo, Simon de Brito, Fernando Romero
serta 30 pendayung mencapai salah satu pulau ‘orang Papua’
yang dinamakan "Isla del Oro" yang dianggap sebagai pulau
Supiori dan Biak sekarang.

Jadi, ketika bangsa Portugis dan Spanyol masuk pada periode


tahun 1500-an nama Papua sudah ada dan sering di pakai oleh
penduduk pesisir tanah Papua maupun para pedagang Melayu
dan Maluku. Sehingga dalam berbagai catatan para pelaut
Eropa sejak 1500-1800-an nama Papua sering ditulis dengan
bentuk-bentuk penulisan bahasa yang berbeda-beda seperti
“Papua”, “Papoia” “Papuas”, “Papoewa”, “Papou”, “Papuwa”,
“Papoes” dan berbagai bentuk penulisan lainnya.
Seorang Penyair Spanyol bernama Bartolomé Leonardo de
Argensola (1562 – 1631), dalam bukunya Conquista de las Islas
Malucas al rey Felipe III, menulis tentang pulau nama pulau
Papua. Dalam catatannya tahun 1609, ia menggunakan nama
Papua. Terdapat beberapa versi asal muasal nama Papua, yang
bahkan dicatat dalam tahun 1800-an.
Beberapa penulis Eropa seperti William Marsden (1812)
menulis bahwa Papua berasal dari bahasa Melayu. Catatannya
ini pun dikutip oleh beberapa penulis seperti Walter Hamilton
(1828), G. Windsor Earl, J.R. Logan (1849, 1850), Crawfurd
(1852), Edwin Adams (1856), Henry George Bohn (1861) dan
penulis lainnya. Namun, tidak ada penjelasan yang mendetail
tentang arti nama Papua tersebut bahwa itu dari bahasa
Melayu tua. William Marsden tidak memberikan argumen
maupun perincian spesifik tentang nama tersebut sehingga
dasar bahwa nama Papua berasal dari bahasa Melayu
sangatlah bias. Ada juga nama Papua dikatakan berasal dari
bahasa Tidore yang diartikan dalam beberapa versi misalnya
papo ua (tidak ada bapa), negeri yang jauh, dan diartikan juga
menjadi budak.
NAMA PAPUA TERKAIT
BAHASA BIAK
Persebaran suku bangsa Biak di pesisir tanah Papua dapat kita temukan jejak-jejak mereka di
beberapa wilayah tanah Papua di sepanjang pantai utara Papua seperti di wilayah teluk Saireri, Doreri
sampai kepulauan Raja Ampat, Onin Fakfak bahkan sampai kepulauan Maluku. Data-data tertulis
tahun 1600-1800-an menggunakan istilah Papua untuk merujuk kepada bahasa dan suku bangsa Biak
yang mencakup persebaran orang Biak di pesisir tanah Papua pada masa lalu. Nama Papua ini jauh
digunakan sebelum masuknya bangsa Eropa pada abad ke-16. Pelayaran orang Biak ke wilayah Raja
Ampat dalam cerita turun temurun sekitar 1200-1700-an, dan mungkin nama Sup Ibabwa sudah
digunakan pada masa itu. Meskipun tidak ada sumber data tertulis mengkonfirmasi hal ini, tapi
setidaknya ada sumber tertulis tentang perdagangan tempo dulu yang bisa menjadi acuan untuk
menghubungkan periode waktunya.
Seorang penjelajah Prancis bernama Dumont Urville ketika mengunjungi Doreri,
Manokwari pada tahun 1827, bersama rekan-rekan ekspedisinya sempat
mencatat beberapa hal tentang masyarakat setempat. Di sana orang Biak-Doreri
menyebut bahwa mereka adalah orang Papua. Dan pada tahun 1818, M.
Gaimard mencatat beberapa daftar kosa kata bahasa Biak yang dicatat di Doreri
(Manokwari) dan di Waigeo (Raja Ampat) dalam daftar kata itu ada nama
“Papou” yang artinya dalam bahasa Biak-Raja Ampat artinya sama yaitu
“Papoua”. (Dumont d’Urville, 1833:154)
Dan tampaknya cocok dengan apa yang dikemukkan oleh J. L. & F. J. F. Van Hasselt (1947) dan Kamma (1954). Dalam
kamus “Noemfoorsch Woordenboek (Kamus Bahasa Numfor”, 1947) disebutkan bahwa orang Biak di pulau Biak
Supiori mengatakan bahwa ‘mereka orang Papua’ sedangkan orang Numfor menyebut mereka ‘kawasa ori sar (orang
dari terbitnya matahari)’. Frasa Sup I babwa dan Sup Ori Sar sebenarnya kedua bentuk ini memiliki makna yang
sepandan.
Identitas asal muasal nama “Papua” mendapat banyak perhatian dari banyak penjelajah hingga sejarawan Eropa abad
ke-16 hingga abad ke-20. Mereka berupaya untuk menelusuri berbagai hal tentang nama Papua dan darimanakah asal
usul nama tersebut. Manuskrip-manuskrip abad ke-16 dan 17 menyimpan nama itu bertahun-tahun lamanya.
Seorang Antropog dan Sejarawan Dr. F. C. Kamma (1954) mengaitkan arti
nama itu dengan bahasa Biak. Kamma menjelaskan bahwa nama "Papua"
berasal dari frasa bahasa Biak yaitu 'Sup I babwa' atau Sup Ori Sar yang
artinya tanah di bawah Matahari (tanah matahari terbit). Dalam pelafalan
orang Biak Betew di kepulauan Raja Ampat mereka menyebutnya dengan
dialek mereka menjadi 'Sup I Papwa'. Fonem "b" berubah menjadi fonem "p".
Perubahan fonem "b" bisa berubah menjadi fonem "w" dan "p" hal ini sering
ditemukan dalam fonologi bahasa Biak. Contoh salah satu marga di Biak;
marga "Rumase-b" bisa berubah menjadi "Rumase-p", atau "Rumase-
w/Rumase-uw". Ini adalah salah satu contoh kecil tentang perubahan fonem
dalam bahasa Biak.
F. J. F. Van Hasselt, F. C. Kamma, dan J. H. F. Sollewijn Gelpke yakin bahwa kemungkinan besar nama Papua
berasal dari bahasa Biak. Dalam tulisannya ia menulis kesimpulannya, "Etimologi tentatif Kamma yang menurut
asal Papua Biak (Sup i) Papwa (tanah) di bawah, dari matahari terbenam) sesuai dengan semua bukti yang
tersedia. Tampaknya memberikan jawaban yang benar untuk sebuah pertanyaan yang terus mengkhawatirkan
saya sejak saya pertama kali mengajukannya kepada atasan saya pada saat kedatangan di Papua pada tahun
1945". (J. H. F. Sollewijn Gelpke, 1992:330)
NAMA IRIAN
Dalam konferensi Malino 1946 nama “Irian” diusulkan oleh F. Kaisepo. Kata itu berasal dari bahasa Biak yang artinya
“Sinar matahari yang menghalau kabut di laut”, sehingga ada “harapan bagi para nelayan Biak untuk mencapai
tanah daratan Irian” .
Pengertian lain dari kata ini juga pada orang Biak, bahwa Irian itu berasal dari dua kata yaitu “Iri” dan “an”. Iri berarti
“panas” dan an berarti “tanah”. Jadi artinya ”tanah yang panas”. Masyarakat Marind-anim di pantai selatan
mengatakan kata Irian berarti “tanah air”.
Akhirnya presiden Soekarno mempopulerkan kata Irian sebagai kata yang pertama dari singkatan “Ikut Republik
Indonesia Anti Nederland” (Koentjaraningrat, 1993:3-4) dan menggunakannya untuk menyebut orang Papua serta
Provinsi Paling Timur di Indonesia ini dengan nama Irian Barat, yang pakai hingga tahun 1973 kemudian berubah
menjadi Irian Jaya. Perubahan tersebut didasarkan atas Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1973 yang dilaksanakan
melalui Sidang Pleno Istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Provinsi Irian Barat pada tanggal
28 Februari 1973 dengan Surat Keputusan DPRD NO.1/DPRD/73.
Nama Irian Jaya kemudian diumumkan secara resmi oleh Soeharto, Presiden Republik Indonesia di kota
Tembagapura ketika beliau meresmikan dimulainya produksi tambang tembaga Freeport Indonesia Inc. Di Lembah
Wah pada tanggal 3 Maret 1973 (Mampioper 1988:2).
NAMA IRIAN JAYA
KEMBALI MENJADI PAPUA
Nama Irian Jaya digunakan sejak tahun 1973 sampai
pada tahun 2000 dan Presiden A. Wahid
mengembalikan atau menggantikan nama Irian
Jaya dengan Nama Papua dan hal tersebut
dilanjutkan dengan pemberian Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua melalui Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 yang juga disahkan oleh Presiden
pada tanggal 21 November 2001 dan kita
menggunakannya sampai sekarang.
CIRI DAN IDENTITAS
ORANG PAPUA
▪ Secara Umum orang Papua belum pernah diteliti oleh para ahli
mengenai ciri-ciri fisik atau ras nya, hanya beberapa orang dokter
dan ahli antropologi ragawi saja yang telah melakukan
pengukuran tinggi badan dan indeks ukuran tengkorak pada
beberapa individu di beberapa tempat yang terpencar. Bahan-
bahan itu belum cukup untuk mendapatkan gambaran yang
menyeluruh tentang ciri-ciri fisik masyarakat di Papua. Menurut
H.J.T. Bijlmer (1923: 335-488; 1926:2390-2396, dalam
Koentjaraningrat, 1993).
▪ Ada kecenderungan bahwa orang Papua makin jauh dari pantai
makin pendek tubuhnya, demikian pula bentuk tengkorak
penduduk pantai umumnya lonjong dan makin ke arah pedalaman
bentuknya menjadi sedang. Indeks ukuran bagian-bagian muka
pada beberapa penduduk pantai ada yang lebar, namun tidak
jarang pula ada orang pantai yang panjang bentuk mukanya dan di
daerah pedalaman keadaannya pun sama (Bijlmer, 1956, lihat
Koentjaraningrat, 1993). Seorang ahli ragawi Belanda J.P. Kleiweg
de Zwaam mengatakan bahwa suatu “ras papua” itu tidak ada
(1956:431, lihat Koentjaraningrat, 1993), memang diantara
penduduk Papua sendiri ada perbedaan ciri-ciri ras khusus.
Kebhinekaan ciri-ciri ras pada berbagai penduduk asli
Papua lebih jelas terlihat melalui ciri-ciri ras fenotip
mereka, yaitu warna dan bentuk rambut, walaupun
dalam hal ini tidak ada keseragaman. Warna rambut
orang Papua hampir semuanya hitam tetapi tidak
semuanya keriting. Penduduk yang tinggal di
sepanjang sungai Mamberamo, rambutnya banyak
yang berombak dan bahkan ada pula yang lurus
(Moszkowski, 1911: 317-318), sedang ada pula yang
lurus dan kejur (Neuhauss, 1911:280,dalam
Koentjaraningrat, 1993).

Anda mungkin juga menyukai