BERITA LAINNYA
KPU Pariaman Tetapkan DPT Pilgub Sumbar 65.159
Bawaslu Bersama Tim Gabungan Tertibkan APK Pasangan Calon Gubernur di Pariaman
Pemdes Koto Marapak Sediakan Pos Belajar dengan Fasilitas Lengkap
Selama 10 tahun terakhir penyelenggaraan Tabuik selalu diterpa oleh isu-isu miring,
yang mengaitkan aliran Syiah dan menyatakan Tabuik itu haram, isu tersebut selalu
muncul setiap penyelenggaraan pesta budaya Tabuik yang diselenggrakan pada
tanggal 1 hingga 10 Muharam Hijriah, ungkap Walikota Pariaman pada sambutannya
dalam pembukaan pesta Tabuik (23/9/2018).
Acara Tabuik yang diselenggarakan di Pantai Gondariah dihadiri oleh Mentri Pariwisata
diwakili oleh Plt Deputi 1 Pengembangan dan Pemasaran Pariwisata Ni Wayan Giri
Adniyani, Gurbernur Sumbar diwakili Kepada Dinas Pariwisata Oni Yulfian, Wakil Kota
Pariaman Genius Umar, pejabat di lingkungan Pemko dan para undangan lainnya.
Mukhlis menekankan bahwa iven tahunan Tabuik tidak ada sangkut pautnya dengan
agama. Ia menegaskan bahwasanya budaya Tabuik murni budaya warga Pariaman
yang harus ditumbuhkan dan dikembangkan.
“Jika ada orang-orang yang mengaitkan Tabuik Pariaman aliran Syiah, itu adalah
orang-orang syirik yang harus kita bantah tuduhan tersebut,” jelas Mukhlis.
Mukhlis juga menyinggung sejarah Tabuik yang berawal dari peristiwa Perang Karbala,
yakni Hasan dan Husen, tetapi di Pariaman dijadikan budaya adat Kota Pariaman,
bahkan menurutnya, budaya Tabuik ini sangat besar pengaruhnya untuk mengangkat
perekonomian warga khususnya warga Kota Pariaman.
Tak lupa, Mukhlis juga mengatakan selama 10 tahun kepimpinannya, sudah dibangun 2
Rumah Tabuik, sebelum ada Rumah Tabuik, pembuatan Tabuik selalu berpindah-
pindah, dengan adanya Rumah Tabuik maka pembuatan Tabuik menjadi permanen.
Untuk pembuatan Tabuik, panitia, ujar Mukhlis, tidak perlu susah untuk mencari dana,
karna dananya sudah masuk di anggaran APBD dengan jumlah sebesar 1,5 Miliyar,
dan panitia tidak perlu lagi susah payah mencari dana ke sana ke mari.
“Budaya Tabuik juga memberikan tempat ke pada sanggar-sanggar yang ada di Kota
Pariaman untuk tumbuh dan mengisi setiap kegiatan yang ada di Kota Pariaman, dan
Pariaman akan terus berbenah dan mempercantik pantainya, kita telah membangun
Pulau Angso Duo, terbukti setiap tahun wisatawan terus bertambah dan dalam 10 tahun
terakhir jumlah pengunjung ke Kota Pariaman mencapai 300.000 orang dan didalan
tahun 2017 sudah mencapai 3 juta wisawan yang datang ke Pariaman,” akhirnya
menguraikan.
https://reportaseinvestigasi.com/kontroversi-tabuik-piaman-wako-mukhlis-tegaskan-tabuik-murni-
budaya-rang-pariaman/
Tabot Bengkulu
Konon Tabot yang merupakan upacara belasungkawa pengikut syi’ah ini mulai diperkenalkan pertama kali
pada tahun 1685 oleh Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo, yang menikah dengan gadis Bengkulu.
Namun ada juga yang mengatakan, Tabot dibawa oleh para pekerja asal India Selatan (Madras dan Bengali)
yang berpaham Syi’ah pada tahun 1718. Para pekerja itu dibawa ke Bengkulu oleh kolonialis Inggris untuk
membangun Benteng Marlborough.
Parapekerja asal Madrasdan Bengali ini, kemudian membaur dengan penduduk setempat, termasuk dengan
keturunan Syekh Burhanuddin. Mereka beranak pinak, sehingga membentuk komunitas Sipai. Orang-
orang Sipai inilah yang melanjutkan dan menghidup-hidupkan tradisi Tabot. Artinya, tradisi Tabot ini belum
pernah secara luas diterima sebagai tradisi lokal oleh masyarakat Bengkulu pada umumnya. Dalam makna lain,
sepenggal ajaran syi’ah yang dibawa para pekerja dari Madras dan Bengali hanya diterima oleh orang-
orang Sipai saja.
Namun belakangan, orang-orang Sipai pun berhasil membebaskan diri dari kesesatan ajaran syi’ah, namun
masih mempraktekkan tradisi Tabot semata-mata untuk mengenang dan menghormati tradisi nenek moyang
mereka. Akhirnya, seiring perjalanan waktu, tradisi Tabot yang semula dimaksudkan untuk mengenang
kematian cucu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu Husein ra yang tewas di Padang Karbala,
kini berubah arah menjadi pesta budaya lokal yang didanai pemerintah setempat (pemprov maupun pemkot).
Yang namanya pesta, lebih banyak menjurus kepada hura-hura semata.
Pada tahun 2010, tradisi Tabot di Bengkulu yang berlangsung 6-16 Desember 2010, menelan biaya Rp 1,2
milyar.Sebesar Rp 500 juta berasal dari dana Pemprov bengkulu, sedangkan sebesar Rp 640 juta lainnya
berasal dari Pemkot Bengkulu. Selebihnya diperoleh dari donatur. Biasanya, tradisi Tabot yang kini diberi
nama Festival Tabot ini berlangsung pada tanggal 01 hingga 10 Muharram setiap tahunnya.
Secara lebih tegas, tradisi Tabot menjadi festival budaya lokal dengan nama Festival Tabot, sudah berlangsung
sejak 1990. Penyelenggaranya, tetap dari komunitas Sipai yang menamakan diri Kerukunan Keluarga Tabot
Bengkulu (KTB). Pada tahun 2010 lalu, diselenggarakan di depan Tugu Thomas Parr, Kelurahan Malabero,
dan dihadiri oleh seluruh unsur Muspida provinsi Bengkulu. Juga para bupati dan wakil bupati di seluruh
kabupaten dankota.
Tabut konon berasal dari bahasa Arab yaitu At-Tabut, yang berarti kotak atau peti mati sebagai perlambang
peti mati berisi jenazah Husein ra. Peti-peti tersebut kemudian akan dibuang ke laut (dilarung), namun kini
lebih sering dibuang ke rawa-rawa tak jauh dari pemakaman umum Karbela yang diakui sebagai tempat
dimakamkannya jasad Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo. Di Bengkulu, Tabot yang dilarung berjumlah
17 buah, untuk mengenang perintisTabot di daerah ini yang berjumlah 17 orang. Isi Tabot antara lain aneka
bendera berikut tiang, tombak bermata ganda, tiruan pedang Zufikar dalam ukuran yang jauh lebih kecil.
Pedang Zulfikar adalah senjata perang yang biasa digunakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sebelum melarung Tabot, sejumlah ritual lebih dulu dilaksanakan selama 10 hari sebelumnya, antara lain
upacara pengambilan tanah, upacara sakral duduk penja, upacara menjara, upacara arak jari-jari, hari Gam atau
tidak ada bunyi-bunyian, Tabot naik pangke, malam arak gedang dan arak-arakan Tabot terbuang. Itu semua
tidak ada contohnya dalam ajaran Islam.
Pada Festival Tabot 2010 lalu, Tabot yang diarak kemudian dibuang berjumlah 39 buah. Terdiri dari 17 Tabot
ritual dan 16 tabot turutan serta 6 Tabot pembangunan. Dari sekitar Rp 1,2 milyar biaya Festival Tabot, ada
sebagian (kecil) dari dana tersebut yang dialokasikan untuk dibagi-bagikan kepada Kerukunan Keluarga Tabot
(KKT).
Seiring perjalanan waktu, tradisi Tabot yang semula dapat ditemukan di sejumlah kawasan di Aceh (Pidie,
Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil), dan Sumatera Barat (Painan, Padang, Pariaman, Maninjau),
Alhamdulillah kini sudah tiada kecuali di Pariaman selain di Bengkulu. Di Pariaman, tradisi Tabot dinamakan
Tabuik, yang bermakna sama, peti.
Tabuik Pariaman
Pariaman bermakna daerah yang aman, adalah sebuah kota yang pernah menjadi bagian dari Kabupaten
Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sejak 2002 Kotif Pariaman menjadi Kota Pariaman dengan empat
Kecamatan. Di daerah ini Tabuik konon sudah dikenal sejak tahun 1831 yang dibawa oleh tentara Inggris asal
Sepoy atau Cipei (India). Bila di Bengkulu ada 17 Tabot, di Pariaman hanya ada 2 Tabuik yang melambangkan
peti jenazah Hasan ra dan Husein ra, cucu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Bila di bengkulu dinamakan Festival Tabot, di Pariaman dinamakan Pesta Budaya Tabuik Piaman yang sejak
1974 menjadi kegiatan rutin bidang wisata Pemkot Pariaman. Sebagaimana di Bengkulu, Tabuik Pariaman
juga diselenggarakan pada tanggal 1-10 Muharram, dan merupakan upacara peringatan atas meninggalnya
Husein ra (cucu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam).
Menurut Uun Halimah (uun-halimah.blogspot.com), prosesi panjang Tabuik diawali dengan membuat tabuik
di dua tempat, yaitu di pasar (tabuik pasar) dan subarang (tabuik subarang). Masing-masing terdiri dari dua
bagian (atas dan bawah) yang tingginya dapat mencapai 12 meter. Bagian atas mewakili keranda berbentuk
menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna-warni. Sedangkan, bagian bawah berbentuk
tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala manusia.
Bagian bawah ini menurut Uun Halimah pula, mewakili bentuk burung Buraq yang dipercaya membawa
Husein ra ke langit menghadap Yang Kuasa. Kedua bagian ini kemudian disatukan. Caranya, bagian atas
diusung secara beramai-ramai untuk disatukan dengan bagian bawah. Setelah itu, berturut-turut dipasang
sayap, ekor, bunga-bunga salapan dan terakhir kepala. Untuk menambah semangat para pengusung tabuik
biasanya diiringi dengan musik gendang tasa. Penyatuan dua bagian tabuik (atas dan bawah) biasanya usai
menjelang waktu shalat dzuhur tiba. Kedua tabuik tadi dipajang berhadap-hadapan dan merupakan
personifikasi dari dua pasukan yang akan berperang.
Ba’da Ashar, kedua tabuik diarak keliling Kota Pariaman. Masing-masing tabuik dibopong oleh delapan orang
pria. Arak-arakan berlanjut hingga ke Pantai Gandoriah. Di tempat ini kedua tabuik diadu, untuk
menggambarkan situasi perang diPadangKarbala. Usai diadu, kedua tabuik dibuang ke laut. Prosesi membuang
tabuik ke laut ini melambangkan dibuangnya segala silang sengketa di masyarakat. Sekaligus, melambangkan
terbangnya burung Buraq membawa jasad Husein ra ke Surga.
Terkesan, tradisi tabuik ini merupakan perpaduan antara tradisi syi’ah dan Hindu. Maka untuk memberi kesan
Islami, pada perayaan tabuik yang berlangsung selama 10 hari ini, dibumbui pula dengan hal-hal yang berbau
Islam, antara lain pengajian yang melibatkan ibu-ibu serta murid-murid TPA dan Madrasah Kota Pariaman.
Tahapan Pesta Budaya Tabuik di pariaman pada dasarnya sama saja dengan Festival Tabot di Bengkulu:
1. Membuat tabuik.
2. Menyatukan bagian atas dan bawah tabuik (tabuik naik pangkat).
3. Mengambil tanah yang dilakukan saat adzan Maghrib (maambiak tanah). Pengambilan tanah ini
mengandung pesan bahwa setiap manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Tanah
yang sudah diambil tadi kemudian diarak dan disimpan di dalam daraga, sebuah wadah berukuran 3 x
3 meter, dibalut kain putih, akhirnya dimasukkan ke dalam tabuik (pelambang peti jenazah).
4. Mengambil batang pisang (maambiak batang pisang), kemudian ditanamkan di dekat pusara.
5. Mengarak panja yang berisi jejari tangan tiruan keliling kampung (maarak panja-jari). Makna
simboliknya, untuk memberitahukan kepada pengikut Husein ra bahwa jari-jari tangan Husein ra yang
tercecer saat Perang Karbala telah ditemukan.
6. Mengarak sorban (maarak sorban), yang mengandung makana simbolik bahwa Husein ra telah tewas
dipenggal lawannya.
7. Membuang tabuik, yaitu membawa tabuik ke pantai dan dibuang ke laut.
Pada tahun 2010 lalu, Pesta Budaya Tabuik Piaman digelar pada tanggal 7 hingga 19 Desember 2010. Agar
terlihat Islami, pesta budaya ini diawali dengan Dzkir Bersama dan Tausiyah. Menurut Mukhlis Rahman
(Walikota Pariaman),pesta budaya tabuik tahun 2010 berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena pada
tahun 2010 ini juga ditampilkan pagelaran Barongsai, yang merupakan budaya khas Cina.
Jadi, pesta budaya tabuik pariaman ini campuran berbagai unsur, yaitu syi’ah, Hindu, Cina Konghucu dan
Islam. Boleh jadi, ini namanya sinkretisme yang mengandung kemusyrikan, dan dibiayai pemerintah setempat.
Nampaknya, pemkot Pariaman cukup serius menjadikan tradisi tabuik sebagai bagian dari objek wisata lokal
yang bisa dijual. Faktanya, pada tanggal 9 April 2011 lalu, pemkot Pariaman meresmikan dua unit Rumah
Tabuik, yang dimaksudkan sebagai pusat kebudayaan, seni, dan tradisi Pariaman. Dana pembuatan rumah
tabuik ini berasal dari APBN sebesar Rp2,3 miliar dan dana APBD Pariaman Rp1,71 miliar. Rumah tabuik
terdiri dari Rumah Tabuik Pasayang berlokasi di Jl. Syech Burhanuddin. Satu unit lainnya yaitu Rumah Tabuik
Subarang terletak di Jl. Imam Bonjol.
Menurut penjelasan pihak terkait, Rumah Tabuik didirikan untuk menjalankan fungsi sebagai Museum
Budaya, agar masyarakat luas dapat memperoleh informasi lengkap tentang proses pembuatan tabuik dan latar
belakang sejarah yang menyertainya. Juga, dimaksudkan sebagai pusat pembuatan seluruh prosesi Tabuik.
Yang lebih penting, dua unit rumah tabuik ini dimaksudkan sebagai alternatif tujuan wisata di kawasan
Sumatera Barat.
https://www.nahimunkar.org/ulama-sumbar-marah-besar-peringatan-tabot-tabuik-di-pariaman-haram-
ini-budaya-syiah/